Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

download Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

of 39

Transcript of Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    1/39

    Digul

    Senin, 18 Agustus 2014

    Tanah Merah, sebuah desa cantik di atas Sungai Digul---Surat Van der Plas kepada Van

    Mook, 18 April 1943

    Di bekas wilayah hukuman itu saya melangkah masuk ke halaman penjara tua yang didirikan

    pemerintah kolonial untuk para tahanan politik pada tahun 1920-an: ruang sempit, kawat

    berduri di atas tembok, sel di bawah tanah tempat orang hukuman yang bandel dikurung. Di

    bawah matahari yang terik dan udara yang gerah di Boven Digul, yang sama sekali tak mirip"desa cantik", sejauh mana yang terhukum bisa bertahan?

    Saya tergetar, sebentar. Pernahkah ayah saya disekap di bui itu? Saya tak bisa

    membayangkannya. Saya tak pernah dengar ceritanya. Ia dibuang ke tempat yang terpencil

    itu, bersama ibu saya, setelah dipenjara dan ditahan di rumah sejak pemberontakan tahun

    1927. Saya baru dilahirkan sekitar sembilan tahun semenjak mereka dipulangkan ke Jawa.

    Bapak tak sempat bercerita banyak tentang masa lalunya kepada saya: ia ditembak mati

    tentara Belanda ketika saya berumur lima tahun. Ibu terlalu sibuk membesarkan kami. Yang

    membekas dari Digul pada keluarga kami sesuatu yang tanpa kata-kata: salah satu kakak lahir

    di pembuangan itu.

    Mungkin itu sebabnya di keluarga kami, masa lalu itu jarang jadi percakapan.

    Jangan-jangan Digul sebenarnya bukanlah sebuah drama yang menarik untuk dikisahkan

    berulang kali?

    Ibu cuma kadang-kadang bercerita tentang penduduk Papua setempat yang disebut "orang

    Kaya-Kaya" yang datang dari hutan, "para hantu rimba" yang ikut membantu kerja, dan

    memanggil Ibu "mama kuminis" dan Bapak "papa kuminis"; tentang para tahanan politik

    yang dengan sengaja membuang obat yang didapat dari Rumah Sakit Wilhelmina (dengan

    harapan pemerintah kolonial akan bangkrut membiayai kamp tahanannya); tentang orang

    buangan yang berani, terutama seorang pemuda bernama Salim.

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    2/39

    Kakak saya pernah menyebutkan, dalam album keluarga ada potret Ayah di antara teman-

    temannya dalam kamp, tapi potret itu lenyap ketika pasukan Belanda menggeledah rumah

    kami dan Ayah ditangkap, kemudian dieksekusi.

    Kenangan mirip potret yang kabur, bahkan lenyap. Ia masa lalu yang berubah bersama yang

    terjadi di hari ini. DalamA Certain Age, sebuah buku "sejarah" yang memukau sebab tak

    lazim, Rudolf Mrazek mengeluarkan catatan wawancaranya dengan bekas-bekas buangan

    Digul. Kita ketemu dengan Sukarsih Moerwoto, misalnya. Aktivis pergerakan nasional ini

    yang selama tujuh tahun dibuang merasa bahwa di Digul "tak cukup ada makanan. Tak cukup

    ada kebahagiaan". Tapi ia juga mengatakan tak ada rasa tertekan. Tak ada kawat berduri di

    sekitar kamp mereka. "Kami sering berpiknik, dan kadang-kadang naik kanu di sungai. Kami

    mendayung dan kemudian makan siang."

    Ada surat kabar yang datang tiap enam pekan, dan ketika Bung Hatta diinternir di sana, ia

    tidak hanya membawa enam peti buku, tapi juga sebuah gramofon. Hatta mengajar ekonomi,

    Sjahrir, kadang-kadang, mengajar bahasa Inggris dan menyanyi.

    Seperti diuraikan Mrazek dalam tulisan yang lain, "Sjahrir in Boven Digoel", dalam buku

    MakingIndonesia(editor Daniel S. Lev dkk.), di kamp itu ada klub debat; para tahanan

    mendiskusikan buku Ramsay MacDonald, Socialism: Critical and Constructive, dan karya

    Firmin Riz,L'energie americaine. Mereka membentuk grup gamelan dan musik Sumatera,bahkan ada kelompok jazz yang disebut "Digoel Buseneert". Pelajaran bahasa Inggris maju;

    di sana-sini ada penawaran jasa laundrydan barbershop.

    Ada sekolah buat anak-anak: sekolah Katolik dan Protestan, dan sebuah sekolah yang diajar

    seorang bekas tokoh komunis, Soetan Said Ali, yang dalam sebuah laporan resmi disebut

    "sebuah sekolah kecil komunis di Tanah Tinggi".

    Tapi tentu tak semua diperkenankan berkembang. Para tahanan yang keras kepala dipisahkan

    di tempat yang jauh. Tokoh PKI Aliarcham, salah satu pelopor pemberontakan tahun 1926,

    adalah salah satunya. Ia meninggal di tempat sunyi itu.

    Pada akhirnya, Digul adalah proyek penjinakan. Gubernur Jenderal De Graeff

    mengemukakan tujuan itu ketika kamp itu dibuka: "Ambisi politik yang ada harus diatasi

    dengan ketertarikan akan hal-hal yang lebih bersifat rumah tangga dan sosial."

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    3/39

    Tapi bagaimana mungkin penjinakan ala borjuis itu terjadi ketika Digul, betapapun jauh

    bedanya dengan kamp konsentrasi Hitler, tetap menunjukkan sifat dasar kekuasaan. Apalagi

    kekuasaan kolonial: sebuah kekuatan yang mengecualikan diri dari tuntutan kesetaraan. Ia

    membangun kamp, ia memisah-misahkan sesama manusia. Tapi tiap kali tuntutan melawan

    itu tak bisa diredam, dan politik bangkit.

    Maka apa pun desain pemerintah Hindia Belanda, sebuah kamp selalu menyiapkan hari

    akhirnya sendiri. Dalam sejarah kolonialisme di Indonesia, hari akhir itu 17 Agustus 1945.

    Goenawan Mohamad

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    4/39

    Elegi Assaat

    Senin, 18 Agustus 2014

    Muhidin M. Dahlan, kerani @warungarsip

    Kehadiran Assaat dalam sejarah Republik Indonesia, sebagai (acting) Presiden RI, tak

    ubahnya seperti elegi, kalau bukan tragedi. Pasalnya, sosok yang lahir di Agam, Sumatera

    Barat, 18 September 1904, ini adalah "noktah semangka" (PSI-Masjumi) yang tak boleh ada

    dalam sejarah kepresidenan RI.

    Hitunglah, berapa jumlah presiden RI dari Agustus 1945 hingga Oktober 2014. Makajawaban umum adalah enam: Sukarno, Soeharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid,

    Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Sosok Assaat tak ada di sana.

    Jika kita merujuk ke kronik Indonesia, setelah nota kesepakatan Konferensi Meja Bundar

    (KMB) ditandatangani pada 27 Desember 1949, Assaat ditunjuk sebagai Presiden Republik

    Indonesia yang berkedudukan di Jakarta, menggantikan Sukarno yang dalam waktu

    bersamaan menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS).

    Walau hanya menjabat hingga 15 Agustus 1950, Assaat adalah salah satu patok penting

    ketika Indonesia sedang dalam pergolakan perang, pertarungan diplomasi, dan pencarian

    bentuk negara. Assaat menjadi saksi bagaimana Republik berada dalam simpang revolusi

    yang pelik menuju liberalisme.

    Setelah Presiden RIS Sukarno dilantik, sebagaimana kronik koran Tanah Air edisi 19

    Desember 1949 menuliskan, Assaat yang menjadi pejabat Presiden RI segera mengambil

    tindakan pertama mengubah model parlemen menjadi parlemen nasional, yang memberi

    tempat bagi kaum progresif.

    RI, yang menjadi negara bagian dari RIS, adalah ejawantah bahwa kronik sejarah RI yanglahir dari Revolusi Agustus 1945 tak terputus. Sebab, RIS yang merupakan kemenangan

    terbaru dari Belanda di meja diplomasi itu memiliki bentuk dan konstitusi sendiri yang

    berbeda dengan konstitusi RI 18 Agustus 1945. Beruntunglah ada Assaat. Rantai sejarah RI

    itu tetap tersambung dalam kekuasaannya yang berumur sangat pendek, 9 bulan.

    Namun revolusi memakan anaknya sendiri. Ketika Demokrasi Terpimpin mulai dipraktekkan

    dan ketidakpuasan merebak di daerah, terutama di Sumatera Barat, Assaat memilih masuk

    hutan. Ia bergabung dengan gerilyawan PSI-Masjumi (hijau-merah, semangka) yang

    menamakan diri Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Dan nama Assaat

    pun padam bersama ditumpasnya gerakan ini dalam operasi militer yang sistematis dan

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    5/39

    masif.

    Pergantian rezim dari Sukarno ke Soeharto menjadi momentum dan kesempatan baru bagi

    Assaat. Ia muncul lagi untuk pertama kalinya ke publik di hari penguburan sahabat

    politiknya, Sjahrir. Bersama Sjafruddin Prawiranegara-sekondan politiknya di PRRI-Assaatberdiri di sisi kuburan Sutan Sjahrir saat Hatta mengucapkan kata-kata pungkas sebagaimana

    dicatat koranPelopor Baru, 20 April 1966: "Sjahrir berjuang untuk Indonesia merdeka, tetapi

    ia sakit dan meninggal dalam tahanan Republik Indonesia jang merdeka ... bukankah itu suatu

    tragedi?"

    Assaat-selain Sjahrir dan Sjafruddin-adalah nama di tapal revolusi yang menjadi musuh

    politik dan dipenjarakan Sukarno sejak 1962 hingga 1966. Pergantian rezim tak jua

    memulihkan nasib Assaat. Sejarah yang disusun Sukarno dan diwariskan hingga kini tak

    pernah lagi memberi tempat bagi Assaat untuk dikenang dalam memori kepresidenan,

    lantaran keterlibatannya dalam pemberontakan PRRI. Bahkan hingga diresmikannya

    Museum Presiden pada Agustus 2014, Assaat tak pernah ada di sana.

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    6/39

    Antara Relawan dan Aktivis

    Senin, 18 Agustus 2014

    Seno Gumira Ajidarma, wartawan

    Relawan, dengan mukjizat kata "rela" di sana, telah menjadi keberdayaan sosial yang

    penting. Yakni ketika ia terbukti mampu mengorganisasikan dirinya sendiri menjadi gejala

    umum yang berpengaruh, sehingga tak kalah mangkusdansangkiluntuk bersaing dengan

    mesin politik ampuh dari sebuah partai.

    Gerakan para relawan memang suatu bentuk kepedulian, tapi yang menuntut untukdiwujudkan secara konkret: waktu, dana, tenaga, sebagai bentuk keberpihakan berdasarkan

    tujuan bersama yang mengatasi tujuan partai, berdasarkan kesadaran untuk bersikap radikal-

    yakni berpihak dengan total, tanpa kompromi apa pun.

    Apakah ini yang disebut aktivisme?

    Dalam bahasa Jerman, istilah "Aktivismus" mulai muncul pada akhir Perang Dunia I, untuk

    menandai prinsip keterlibatan politik secara aktif oleh kaum intelektual. Dengan kata lain,

    privilese intelektual untuk berada di menara gading, dan cukup "hanya berpikir" saja, tentu

    harus ditinggalkan. Jadi, bukan hanya pemikiran, tapi juga usaha untuk membela dan

    mewujudkan pemikiran itulah yang membuatnya disebut aktivisme.

    Dalam konteks Jerman, Aktivismus ini merupakan bagian dari ekspresionisme, yang sayap

    politiknya waktu itu kuat. Biasanya dihubungkan dengan Kurt Hiller, pengarah organisasi

    Neuer Club yang menaungi para penyair ekspresionis awal; maupun Franz Pfemfert, pendiri

    majalahDie Aktionpada 1911 yang sangat politis.

    Lantas, diingat maupun tidak asal-usulnya ini, aktivisme dipahami sebagai sikap berapi-api

    terhadap aksi politik, yang menghasilkan praktek politik dengan semangat tinggi-yangmengandaikan terdapatnya peran khusus bagi aktivis. Ini tercatat berlangsung dalam gerakan

    revolusi, dan terutama penting dalam partai-partai politik radikal. Tidak aneh jika bentuk

    ekstremnya adalah penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan politik.

    Bagi aliran politik sayap kiri, istilah militan disebut secara bergantian dalam pengertian yang

    sama dengan aktivis, tapi yang pertama mengacu dengan selayaknya kepada derajat

    radikalisme dalam politik seseorang, sedangkan yang kedua kepada derajat keterlibatannya-

    jadi, meskipun berkorelasi, keduanya dapat dipisahkan. Menurut Leopold Labedz, aktivis di

    semua partai lebih peduli kepada kemurnian deklarasi daripada para anggotanya, seperti

    terjadi pada semua partai komunis sebelum mereka berkuasa, dan peran kaum aparat menjadi

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    7/39

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    8/39

    Kepanduan dan Mangkunegara VII

    Senin, 18 Agustus 2014

    Heri Priyatmoko, alumnus pascasarjana sejarah FIB, UGM

    Saban kali memperingati Hari Pramuka, nama Lord Baden Powell sekonyong-konyong

    melintas dalam benak anak negeri. Pertanyaan penting: apakah kita tidak punya tokoh bangsa

    yang patut dikenang dan ditutur-ulangkan dalam riwayat dunia kepanduan?

    Mari kita buka almari sejarah yang berdebu untuk membedah bundelan arsip lokal yang

    kusam di Perpustakaan Reksopustoko Mangkunegaran. Bakal kita temukan kisah historiskeberanian Mangkunegara VII menentang pemerintah kolonial Belanda yang hendak

    membumikan Persatuan Pandu Hindia Belanda atau Nederlans Indische Padvinders

    Vereeniging (NIPV) di tanah jajahan.

    Orang nomor satu di praja Mangkunegaran ini emohmemenuhi permintaan pejabat kolonial

    lantaran syarat mutlak anggota NIPV ialah kudu setia dan patuh kepada Ratu Belanda sebagai

    junjungan. Tata tertib itu sengaja dipasang supaya tunas muda dari bangsa Eropa, Indo, dan

    pribumi turut melanggengkan kekuasaan politik kolonial dansendika dawuhkepada Belanda.

    Organisasi tersebut jelas berpeluang melemahkan loyalitas kawula-gustidan mengganggu

    virus nasionalisme yang tengah ditiupkan para aktivis. Apabila NIPV merebak, kekuasaan,

    wibawa, dan pengaruh Mangkunegara VII bakal melorot. Alih-alih mengikuti kemauan

    pejabat Belanda mendirikan NIPV, raja yang juga seorang intelektual ini malah mendirikan

    Javaansche Padvinders Organisatie (JPO), yang bercorak Jawa dan digarap secara mandiri

    pada 1916.

    Gusti yang pernah bersekolah di negeri Belanda itu paham bahwa kepanduan merupakan cara

    jitu membangun "negara" yang kokoh dan mentalitas manusia yang bagus. Kegiatan positif

    ini memperluas cakrawala para pemuda di luar jam sekolah dan di luar rumah. Jugameningkatkan budi pekerti, jasmani, rohani, serta menambah aneka rupa kepandaian. Gusti

    punya mimpi, yakni pemuda-pemudi anggota JPO hidupnya berfaedah bagi penduduk dan

    menjadi warga negara yang baik, kelak.

    Himodigdoyo (1950) menyebutkan bahwa pendidikan kepanduan ada yang berwujud

    keterampilan dan permainan. Tapi tujuan pokoknya ialah pendidikan mental, berupa disiplin,

    kepemimpinan, ketaatan, kesetiaan, kepatuhan atau loyalitas, ketahanan hidup, dan memupuk

    rasa welas asih terhadap sesama. Kepanduan menyuntikkan spirit universalisme, humanisme,

    sekaligus nasionalisme.

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    9/39

    JPO ikut diterjunkan sewaktu Mangkunegara VII membasmi buta sastra dan membangun

    sekolahan di area pedesaan. Wong ndesodibekali bermacam keterampilan yang sederhana

    dan sesuai dengan kebutuhan lingkungannya. Bahkan diterbitkan pula majalahKepandoean,

    Pemimpin-JPO, danKorban. Inilah bukti konkret usaha penguasa pribumi menebalkan rasa

    cinta rakyat kepada negeri. Propaganda lewat aneka majalah memang sangat efektif selepasrakyat melek huruf. Apalagi majalah tersebut dikonsumsi masyarakat umum. Buahnya,

    jumlah anggota JPO kian membengkak dan secara diam-diam sukses menyelipkan misi

    terselubung tanpa sepengetahuan pemerintah kolonial.

    Dari pengkisahan sejarah di atas, kita diajak berpikir ulang bahwa kemajuan suatu negeri

    tidak hanya bergantung pada kekuatan bala tentara dan para politikus andal. Ia bergantung

    pula pada tabiat anak muda yang telah disiapkan jauh hari oleh pemimpin negeri. Lewat

    Pramuka, mental dan kemandirian tunas muda digembleng.

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    10/39

    Yamin dan Konstitusi

    Selasa, 19 Agustus 2014

    Bandung Mawardi, penulis

    Empat belas tahun setelah pengesahan UUD 1945, 18 Agustus 1945, Muhammad Yamin

    menerbitkan buku fenomenal berjudulNaskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Buku

    sengaja diterbitkan agar ada dokumentasi lengkap tentang kesejarahan konstitusi, meski tak

    lengkap dan mengandung kelemahan. Yamin bermaksud: " mendalamlah pengertian kita

    kepada penulisan pertama dari sedjarah ketatanegaraan Indonesia jang disusun oleh ahli 62

    pemikir Indonesia dalam abad ke-20 jang kita huni."

    Selama puluhan tahun, buku susunan Yamin itu menjadi bacaan penting untuk studi

    konstitusi. Sekarang, kita bisa membaca secara kritis dan mengomentari keterangan-

    keterangan berlebihan dari ambisi imajinatif Yamin untuk membesarkan sejarah Indonesia.

    Yamin memang rajin menulis kajian-kajian hukum dan sejarah bermisi memberi pemaknaan

    Indonesia. Kritik pun diarahkan ke Yamin akibat "kegemaran" membawa semangat imajinatif

    bercampur fakta. Ingat, Yamin adalah pujangga, sejak masa 1920-an. Sides Sudiyarto D.S.

    (1979), dalam puisi berjudulProf. Muhammad Yamin S.H. - 1962, memberi julukan dan

    pujian: Wahai penyair madah kelana putra Indonesia/ Dikau pemikir hukum dan keadilan/

    Pejuang nasib negara pembela bahasa/ tegas lurus membela bangsa. Puisi wagu tapi

    informatif mengenai peran Yamin bagi Indonesia. Yamin adalah pujangga, ahli bahasa, ahli

    hukum, dan ahli sejarah. Yamin juga mendapat julukan sebagai pembuat "mitos-mitos"

    modern di Indonesia.

    Yamin berjasa, meski sering berlaku berlebihan dalam urusan literasi sejarah Indonesia.

    Penerbitan bukuNaskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945menjadi bukti keinginan

    Yamin untuk "mengakrabkan" sejarah konstitusi bagi publik. Buku itu bermakna, saat kita

    memperingati 18 Agustus 1945 sebagai acuan Hari Konstitusi. Sukarno memberi anjuranuntuk membaca buku susunan Yamin: "Membolak-balik halaman buku ini sama dengan

    menggali tambang emas Konstitusi-Proklamasi. Pada hakekatnja sama pula hal itu dengan

    membatja penuh chidmat epos Revolusi Indonesia jang merintis djalan kebesaran bangsa

    Indonesia."

    Sukarno tampak memberi sanjungan dan menempatkan Yamin sebagai "pengisah" mumpuni

    mengenai arus sejarah Indonesia, bermula dari Proklamasi dan UUD 1945. Yamin tentu

    pantas diakui sebagai penulis ampuh, mendokumentasikan dan memberi penjelasan-

    penjelasan konstitusi melalui publikasi bukuProklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia,

    Konstitusi Indonesia dalam Gelanggang Demokrasi, Uraian tentang Undang-Undang Dasar

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    11/39

    1945, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Yamin adalah pelopor

    literasi konstitusi.

    Ambisi menggerakkan literasi untuk sejarah dan konstitusi sudah diumumkan Yamin dalam

    Kongres Pemuda II (1928). Yamin menantang peminggiran sejarah Indonesia oleh paraintelektual Barat. Yamin menginginkan ada rintisan penulisan sejarah Indonesia. Penulisan

    dan publikasi buku dari Yamin adalah ombak literasi agar sejarah dan konstitusi bisa

    dipelajari secara reflektif dan kritis.

    Kita mulai membuat tradisi peringatan Hari Konstitusi. Peringatan tentu mengacu ke

    peristiwa bersejarah 18 Agustus 1945. Kita pun pantas memberi penghormatan bagi Yamin

    saat mengingat agenda literasi konstitusi demi pembelajaran publik.

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    12/39

    Pungo

    Selasa, 19 Agustus 2014

    Mustafa Ismail, pegiat kebudayaan, @musismail

    Dalam bahasa Aceh,pungomemiliki arti generik "gila". Namun sesungguhnya makna kata

    itu lebih luas, bahkan tidak melulu negatif. Meskipun seratus persen waras, seseorang yang

    berkendaraan secara ugal-ugalan kerap diserapahi dengan kalimat "pungo" alias gila. Begitu

    pula laku sosial lain, yang dianggap tak sesuai dengan tatanan atau kaidah-kaidah normal,

    disebut sebagaipungo--meskipun orang itu tidak gila.

    Pungomenjadi terminologi untuk menjelaskan sebuah laku sosial maupun pemikiran yang

    keluar dari "keumuman" atau kesepakatan umum. Kata itu menjadi semacam saringan untuk

    menilai kepantasan. "Pungo" menampung semua tingkatan gangguan jiwa--mulai dari yang

    pura-pura gila, kelihatan gila, tak sadar telah gila, hingga yang benar-benar gila.

    Dalam dunia psikologi, gangguan jiwa dijelaskan sebagai gangguan cara berpikir (cognitive),

    kemauan (volition), emosi (affective), dan perilaku (psychomotor). Penyebabnya, macam-

    macam. Ada yang karena merasa diperlakukan tidak adil, cinta tak berbalas, kehilangan

    orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, tidak terpenuhinya keinginan, dan sebagainya.

    Dan semua orang berpotensipungoalias mengalami gangguan jiwa.

    Maka, menjadi logis jika ada orang yang tampak sehat, necis, gagah, pintar, namun tak

    disadari mengalami guncangan jiwa. Pasca-pemilu legislatif, misalnya, media ramai

    memberitakan sebagian calon legislator yang tidak terpilih bertingkah aneh-aneh. Mereka

    tidak bisa mengontrol emosi.

    Yang lebih menarik, belakangan politik tidak hanya mengganggu kewarasan aktornya,

    bahkan pendukungnya. Jika kita amati media sosial, kita akan menemukan bagaimana

    pendukung capres meluapkan dukungannya yang lebih menonjolkan emosi ketimbang logika.Pembelaan-pembelaan mereka kadang cenderung brutal dan di luar patokan normal. Bahkan

    ada yang merasa lebih baik mati jika calon presidennya kalah.

    Sekilas, seolah-olah itu cetusan spontan. Namun itu memperlihatkan betapa politik mudah

    membuat akal sehat menjadi tumpul. Politik telah mengombang-ambingkan hidup dan

    harapan sebagian orang. Boleh jadi, mereka bukanlah orang-orang yang mendapatkan

    manfaat langsung dari terpilih atau tidaknya calon yang mereka dukung. Namun doktrin-

    doktrin yang mereka terima dari lingkungan mereka bisa memberi angin bahwa apa yang

    mereka lakukan adalah memperjuangkan kebenaran, bahkan jihad.

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    13/39

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    14/39

    Membangun Kota Cerdas danBerketahanan

    Selasa, 19 Agustus 2014

    Nirwono Joga, Koordinator Gerakan Indonesia Menghijau

    Abad ke-21 adalah abad perkotaan, lebih dari setengah penduduk dunia telah tinggal di

    kota/kawasan perkotaan. Kota kecil berkembang menjadi kota sedang, ke kota besar, kota

    raya (metropolis), kota mega (megapolis), hingga mencapai kota dunia (ecumenopolis).

    Sebuah kehormatan, Jakarta menjadi tuan rumah Kongres Dunia Ke-24 Organisasi Perencana

    Kota dan Permukiman di Asia-Pasifik (Eastern Regional Organization for Planning and

    Human Settlements), dengan tema "Menuju Perkotaan yang Berketahanan dan Pintar:

    Inovasi, Perencanaan, dan Determinasi dalam Mengelola Kota-kota Besar di Dunia", yang

    berlangsung selama 10-13 Agustus 2014.

    Pertemuan ini membahas perkembangan kota yang cerdas dalam arti hijau, memanfaatkan

    teknologi, serta memiliki ketahanan terhadap perubahan iklim dan bencana kota. Kegiatan ini

    menjadi ajang saling berbagi pengetahuan dan pengalaman lintas negara dalam pengelolaan

    kota hijau, seperti konsumsi energi terbarukan, serta model sistem transportasi yang cerdas,efisien, dan ramah lingkungan.

    Kota-kota di Indonesia tengah menghadapi tantangan yang cukup besar dalam menghadapi

    dampak perubahan iklim dan degradasi kualitas lingkungan, perkembangan kota yang cepat

    dan dinamis, pertumbuhan jumlah penduduk dan penambahan jumlah pendatang, serta

    dukungan media sosial dan tarikan kepentingan politik penguasa dan pengusaha. Untuk itu,

    pemerintah harus mengembangkan kota cerdas dan berketahanan.

    Ada lima langkah untuk mewujudkan kota cerdas dan berketahanan. Pertama, setiap wargaharus diberi kesempatan ikut bicara tentang nasib dan masa depan kotanya (city-citizen).

    Pemerintah kota harus melakukan inovasi bersama penduduk. Warga didorong melaksanakan

    perubahan gaya hidup dan berpartisipasi dalam pembangunan kota dengan sepenuh hati,

    membangun budaya perilaku positif, dan menularkan virus perubahan gaya hidup hijau.

    Para perencana kota harus berhenti sejenak, merenung, dan mawas diri, untuk kemudian

    meningkatkan kadar profesionalisme, pemikiran, penalaran, kepekaan, dan kesadaran batin,

    intuisi, serta insting, untuk serius mewujudkan kota cerdas dan berketahanan.

    Kedua, keberagaman mosaik masyarakat perkotaan harus diwadahi dan tecermin dalam tata

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    15/39

    ruangnya. Kota bersifat jamak (plural) dan rakyat diberi pilihan-pilihan alternatif secara

    terbuka. Hal ini tecermin pada tingkat keamanan/kriminalitas, keterhubungan secara

    internasional, cuaca/sinar matahari, kualitas arsitektur bangunan-lanskap-kota, isu

    lingkungan, akses terhadap ruang terbuka hijau, desain urban, transportasi publik, toleransi,

    kondisi bisnis, pengembangan kebijakan yang proaktif, dan layanan kesehatan.

    Ketiga, pusat-pusat lingkungan sebagai simpul jasa transportasi umum harus berada dalam

    jarak jangkau berjalan kaki atau bersepeda (otomobilitas-aksesibilitas). Pengembangan

    kawasan terpadu meliputi hunian vertikal (rusun, apartemen), perkantoran, pasar, dan

    sekolah. Penghuni cukup berjalan kaki atau bersepeda dalam kawasan dan menggunakan

    transportasi publik (bus, KA) ke luar kawasan.

    Keempat, pembangunan dan pelestarian RTH berupa taman kota sebagai surga perkotaan.

    Kehadiran taman-taman kota ibarat bak oasis di padang gurun, sebagai daerah resapan dan

    tangkapan air, paru-paru kota untuk menyerap polusi udara dan menciptakan iklim mikro,

    serta wadah berinteraksi sosial, rekreasi, dan berolahraga.

    Kelima, perencanaan tata lingkungan perumahan dan permukiman diarahkan ke terciptanya

    rasa-tempat dan semangat komunitas agar tumbuh rasa memiliki, solidaritas sosial yang

    tinggi, suasana yang guyub dan rukun antarwarga kota.

    Kota menumbuhkan semangat kewargaan dan rasa memiliki yang kuat, menciptakan

    keseimbangan lingkungan yang mendukung keberlanjutan pembangunan, membentuk kohesi

    sosial yang kental, guyub, dan tidak mudah terprovokasi dari luar, menyediakan perluasankesempatan kerja, menumbuhkan rasa aman, menggulirkan perekonomian kota, serta

    dirmeriahkan dengan kegiatan seni budaya masyarakat.

    Saatnya, kota-kota menjalin komunikasi yang erat, saling bertukar informasi, berbagi

    pengetahuan dan pengalaman dalam mengelola kota/kawasan perkotaan. Wali kota/bupati

    dituntut piawai mengidentifikasi aset dan mengembangkan potensi kota, termasuk warga,

    sebagai investasi pengembangan kota ke depan.

    Prinsip kerja sama antarkota berupa kompetisi yang sehat, bersahabat, dan hubungan yang

    setara dengan mengoptimalkan keunikan kota/kabupaten masing-masing untuk saling

    mendukung dan melengkapi, bukan saling melemahkan pertumbuhan ekonomi dan

    perkembangan kota/kabupaten tetangga.

    Ke depan, para pengelola kota harus bertekad membuat kotanya menjadi tempat tinggal yang

    aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Mereka harus merencanakan dan merancang

    kota yang berwawasan lingkungan, menyediakan ruang terbuka hijau minimal 30 persen,

    mengolah air yang lestari, mengelola sampah dan limbah ramah lingkungan,

    mengembangkan transportasi publik berkelanjutan, menerapkan persyaratan bangunan hijau,

    memanfaatkan energi terbarukan, dan memberdayakan komunitas hijau masyarakat.

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    16/39

    Bahasa Negara

    Rabu, 20 Agustus 2014

    Maryanto, pemerhati politik bahasa

    Sehari setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 berkumandang, bahasa Indonesia diresmikan

    menjadi bahasa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hari jadi bahasa negara ini

    sayangnya masih sepi dari perhatian publik. Urusan publik seolah selesai ketika bahasa ini

    digunakan sebagai infrastruktur komunikasi formal antara rakyat dan aparat negara. Pasal 36

    Undang-Undang Dasar 1945 menyiratkan bahasa Indonesia adalah identitas negara dengan

    ciri kebinekaan bangsa.

    Untuk mendirikan negara bangsa ini, sejak awal bangunan Indonesia dirancang tidak

    berlandaskan strategi kesukuan. Refleksi kesukuan Indonesia adalah sejumlah bahasa daerah

    yang--dengan istilah Ferdinand de Saussure--disebutparole.Saussure (1916)

    menggambarkanparolesangat beragam dalam tuturan masyarakat: gambarannya seperti

    bentuk pion, kuda, dan sebagainya, dalam wujud permainan catur. Kehadiran bahasa negara

    menjadi strategi menemukan kesatuan muasal. Sebagai contoh, kata aku, kula, kulo, ulon, dan

    ulunbisa dicari kesamaan asalnya meski bentuk tuturan semua itu beragam.

    Atas keanekaragaman tuturan masyarakat Indonesia, bahasa negara perlu hadir memberikan

    ruang apresiasi bagi semua bentukparole. Bahasa negara-bahasa Indonesia-pernah dituding

    sebagai bagian strategi "jawanisasi" ketika zaman Orde Baru. Apresiasi bahasa Indonesia

    condong berpihak hanya pada penutur suku Jawa. Ketika itu, kualitas kebinekaan Indonesia

    merosot tajam.

    Sama bahayanya, klaim kesukuan yang sering terlontar bahwa bahasa Indonesia masih

    termasuk bahasa Melayu. Klaim itu masih dicoba untuk menguatkan anggapan bahwa orang

    Indonesia merupakan kelompok etnis Melayu Austronesia. Walhasil, sebagian warga

    Indonesia sekarang melakukan gerakan kontra-identitas. Misalnya, di wilayah Papua sudahmuncul gerakan membentuk pola pikir mereka sebagai orang Melanesia.

    Ungkapan "Dirgahayu Indonesia" harus tetap bergema. Republik Indonesia tak boleh

    terjerembap dalam strategi kesukuan dan/atau keagamaan. Caranya: kerja bahasa negara ini

    harus dioptimalkan untuk strategi berbangsa dan bernegara Indonesia.

    Kelembagaan bahasa negara sekarang tampak lebih optimal dengan terbentuknya Pusat

    Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan (sebuah unit kerja baru pada Badan

    Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) di kawasan Pusat Perdamaian dan

    Keamanan Indonesia (Indonesia Peace and Security Center/IPSC), Sentul, Bogor, Jawa Barat.

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    17/39

    Tergabungnya kelembagaan bahasa ini sebagai salah satu instalasi strategis nasional di

    kawasan IPSC, jika nantinya dikelola dengan baik, akan mengoptimalkan pemanfaatan

    potensi bahasa sebagai bentuk diplomasi.

    Dalam waktu dekat, kawasan IPSC itu bakal diwariskan oleh pemerintah Susilo BambangYudhoyono sebagai pekerjaan besar kepada pemerintahan baru. Presiden terpilih dalam

    pemilihan presiden 2014-Joko Widodo-terlihat siap menerima warisan ini. Dalam debat

    capres soal hubungan internasional dan ketahanan nasional, Jokowi menyatakan tekadnya

    untuk mengedepankan diplomasi. Sudah semestinya, ia menyiapkan langkah-langkah yang

    terukur melalui kegiatan diplomasi kebahasaan.

    Untuk hubungan internasional, misalnya, Jokowi perlu berani secara tegas menginstruksikan

    semua pejabat Indonesia agar berbahasa negara dalam dinas di luar negeri. Janganlah malu

    berbahasa Indonesia di forum resmi antarbangsa.Kegiatan diplomasi kebahasaan,

    sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 16 Tahun 2010 mengenai bahasa pejabat, masih perlu

    diperkuat.

    Untuk ketahanan nasional, kegiatan diplomasi kebahasaan juga tidak kalah penting. Ini

    karena bahasa tidak selamanya mendamaikan. Dalam ranah forensik, dikenal adanya tuturan

    kebencian atas seorang/sekelompok warga komunitas. Tidak jarang, tindakan kebencian yang

    berujung pada perbuatan jahat bermula dengan kata-kata yang berbau tidak menyenangkan

    atau, bahkan, menyerang kehormatan harkat manusia. Dalam proses pemilihan presiden

    2014, Jokowi pernah menjadi korban kejahatan itu.

    Seperti halnya teori kejahatan, susur galur motif perbuatan verbal bisa dilakukan dalam dunia

    kebahasaan. Dengan karyaHow to Things With Words, J.L. Austin (1962) mengabadikan

    teori mengenai bagaimana setiap tindakan bahasa dibuat, termasuk untuk membuat situasi

    konflik atau damai. Mengingat besarnya potensi konflik warga komunitas, diplomasi bahasa

    negara sangat penting dipraktekkan di dalam negeri.

    Terjadi kejahatan terbesar terhadap negara apabila ada sekelompok warga Indonesia yang

    berbuat makar; mengingkari cita-cita terbentuknya NKRI. Di era otonomi daerah, perbedaan

    paroleberbahasa daerah kerap dibenturkan agar tercipta situasi konflik komunitas dengan

    negara. Untuk itu, melalui strategi dan diplomasi kebahasaan, kerja bahasa negara perlu

    dikelola-seperti disebutkan Kepala Badan Bahasa Prof Mahsun (2014 dalam komunikasi

    pribadi)-sebagai "politik identitas".

    Sebuah kemauan politik untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai identitas negara pada 18

    Agustus 1945. Hikmah hari jadi bahasa negara itu sekarang masih sepi dalam ingatan publik.

    Sebab, bahasa Indonesia baru resmi bagi kuasa negara; belum sepenuhnya merdeka menjadi

    bahasa rakyat.

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    18/39

    Gapura

    Rabu, 20 Agustus 2014

    Musyafak, Staf Balai Litbang Agama Semarang

    Menjelang perayaan hari ulang tahun kemerdekaan RI, biasanya masyarakat sibuk merias

    desa atau kompleks huniannya. Agustus adalah bulan ketika suasana permukiman disegarkan.

    Parit atau selokan dibersihkan, umbul-umbul dipasang di sisi jalan, pagar-pagar dicat ulang,

    juga lampu kerlap-kerlip dipasang. Gapura pun kerap kena sentuhan warna baru atau hiasan

    anyar. Bahkan gapura kerap menjadi perhatian utama untuk disolek seindah mungkin.

    Banyak dalih mengapa pengindahan gapura didahulukan. Sebagai pintu masukkeluar

    kampung atau lingkungan perumahan, gapura adalah hal pertama yang menyapa mata orang.

    Dengan gapura, citra muka suatu area dirancang. Sebagai garis batas wilayah, gapura

    sekaligus menjadi penanda hidupnya sebuah komunitas. Bentuk, warna, dan aksesori gapura

    adalah penanda identitas kultural bagi komunitas di dalamnya. Status sosial ekonomi suatu

    komunitas juga bisa ditangkap lewat gapura.

    Menurut riwayat (Wardhana, 2008), gapura atau pintu gerbang sudah ada sejak zaman

    Kerajaan Majapahit. Gapura Bajangratu, bagian dari Situs Trowulan, adalah bukti historis

    keberadaan gapura di zaman baheula.

    Gapura, dengan bermacam desain arsitekturalnya, dibangun untuk menandai batas wilayah,

    pintu gerbang kerajaan atau tempat ibadah, juga pintu pertama memasuki rumah. Tiap-tiap

    daerah punya corak gapura yang khas. Gapura di Jawa lain dengan di Bali. Gerbang masjid

    berbeda dengan gapura kelenteng atau pura.

    Kini bentuk dan corak gapura kian variatif. Gapura bisa mewah dengan tekstur dan bahan

    bangunan yang wah. Bisa pula sesederhana portal besi atau beton. Fungsi gapura juga

    semakin beragam. Pada waktu yang sama, satu gapura bisa berfungsi sebagai batas atau tandanama wilayah, pos keamanan, monumen, dan tempat iklan.

    Tapi gapura bukan sekadar perkara bentuk fisik ataupun fungsi praktis semata. Selain

    identitas kultural, gapura memuat anasir-anasir sosial dan politik lainnya. Gapura adalah

    infrastruktur untuk menjaga tertib sosial. Gapura menjadi sarana penubuhan kekuasaan dan

    penyuntikan ideologi. Ketika Orde Baru berkuasa, banyak gapura dibubuhi tulisan butir-butir

    P4, slogan keluarga berencana, atau program-program pokok PPK.

    Bagi suatu kawasan, gapura memang pintu masuk. Tapi, di waktu yang sama, gapura juga

    mencegah orang-orang tertentu agar tidak masuk. Semacam benteng, gapura memproteksi

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    19/39

    potensi gangguan dari luar. Bagi sebuah kawasan dan komunitasnya, gapura adalah pengukuh

    tata tertib yang mesti dipatuhi. Kita mudah menjumpai hal itu pada gapura-gapura gang,

    kampung, atau perumahan yang memperingatkan pemulung atau pengamen untuk tidak

    masuk.

    Begitulah gapura berfaedah untuk menyaring dan memilah orang yang datang. Satu sisi

    gapura menyambut tamu, dalam waktu yang sama juga menolak mereka yang disinyalir

    berpotensi mengoyak rajutan keamanan dan kenyamanan.

    Gapura juga bisa merepresentasikan ideologi serta afiliasi politik suatu komunitas. Warna dan

    simbol-simbol yang dilekatkan pada gapura tidak jarang mengusung ide dan cita politik

    khusus.

    Sampai hari ini gapura dibangun dalam pelbagai bentuk. Orang-orang yang membuatnya

    hendak melesakkan berbagai simbol kultural, kode sosial, juga ide politik. Gapura bukan

    hanya besi atau beton yang mati. Gapura hidup dan bicara mengudarkan makna yang kadang

    tidak kita sadari.

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    20/39

    Merdeka dari Impor Pangan

    Rabu, 20 Agustus 2014

    Kadir, bekerja di BPS

    Tahun ini, Badan Urusan Logistik (Bulog) berencana mengimpor beras sebesar 500 ribu ton

    untuk memperkuat cadangan beras nasional. Dari rencana impor sebanyak itu, yang sudah

    direalisasi sekitar 50 ribu ton (Antara, 8 Agustus).

    Di tengah ingar-bingar perayaan hari kemerdekaan nasional, impor beras tersebut kembali

    mempertegas satu hal: Indonesia belum merdeka dari jebakan impor pangan. Padahal, negeriyang luas daratannya mencapai 188 juta hektare ini telah diberkahi Tuhan dengan kesuburan

    tanah yang melegenda. Bukankah di negeri yang subur ini, "tongkat kayu bisa jadi tanaman"?

    Ironisnya, bukan hanya beras yang kita impor. Data statistik menunjukkan, nyaris semua

    komoditas pangan strategis negeri ini harus dicukupi dari impor. Selama dasawarsa terakhir,

    tujuh komoditas pangan utama yang mencakup gula, kedelai, jagung, beras, bawang merah,

    daging sapi, dan cabai harus dicukupi dari impor.

    Seolah tak bisa direm, tren impor pangan juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Dalam

    sepuluh tahun terakhir, impor tujuh komoditas pangan utama tersebut meningkat rata-rata 58

    persen per tahun. Seandainya ketujuh komoditas pangan tersebut tak bisa dihasilkan oleh

    petani kita, mungkin bisa dimaklumi. Tapi, faktanya, negeri ini pernah swasembada, bahkan

    berjaya, sebagai eksportir pada sebagian besar komoditas tersebut. Tengoklah catatan

    berikut.

    Sebelum merdeka, Nusantara adalah pengekspor gula terbesar di dunia. Hingga 1970-an, kita

    termasuk salah satu pengekspor sapi. Pada 1984, kita swasembada beras dan gula, bahkan

    mampu mengekspor beras ke luar negeri, sehingga membikin harga beras di pasar

    internasional jatuh dari US$ 250 per ton menjadi US$ 150 per ton. Satu tahun kemudianhingga 1995, kita juga berhasil swasembada kedelai.

    Kini, situasinya justru terbalik. Secara faktual, lebih dari separuh kebutuhan gula nasional

    harus diimpor. Tahun lalu, kita juga harus mengimpor setara dengan 700 ribu ekor sapi untuk

    memenuhi kebutuhan daging nasional. Dalam soal beras, kita sering dituduh sebagai biang

    kerok melambungnya harga beras di pasar internasional karena terlalu banyak mengimpor.

    Kita juga kerap dipusingkan dengan harga kedelai yang melambung karena 70 persen

    kebutuhan kedelai nasional harus diimpor.

    Miris! Itulah faktanya. Pemerintah saat ini boleh saja berbangga dengan segala pencapaian

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    21/39

    pembangunan yang berhasil direngkuh selama sepuluh tahun terakhir. Namun, dalam soal

    kemandirian pangan, nyaris tak ada prestasi yang bisa dibanggakan.

    Kapasitas produksi pangan memang berhasil digenjot. Tapi, pada saat yang sama, hal itu tak

    mampu memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat seiring dengan perbaikan dayabeli masyarakat, dan jumlah penduduk kelas menengah yang terus bertumbuh. Alhasil,

    pemerintah terbukti telah gagal dalam mewujudkan swasembada beras, jagung, kedelai, gula,

    dan daging sapi.

    Karena itu, harapan agar negeri ini merdeka dari impor pangan ada pada pemerintah

    mendatang. Janji duet Jokowi-JK untuk mewujudkan swasembada pangan, setidaknya untuk

    komoditas strategis seperti beras dan gula, harus dibuktikan.

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    22/39

    Desakralisasi Otoritas Media

    Kamis, 21 Agustus 2014

    Muhamad Heychael, Koordinator Divisi Penelitian Remotivi

    Satu hal yang patut disyukuri pasca-kampanye pemilu presiden lalu adalah literasi media.

    Pertarungan dua poros politik yang melibatkan peran media secara tidak langsung mengajak

    publik memahami bahwa media bukanlah produsen informasi yang bebas nilai.

    Kita tentu ingat bagaimana berita TV Oneyang membingkai PDIP sebagai partai komunis

    dan kader-kadernya sebagai keturunan anggota PKI. PemberitaanMetro TVjuga bukan tanpamasalah. Persoalan pelanggaran hak asasi manusia hingga kasus penyalahgunaan lambang

    negara (logo kampanye Koalisi Merah Putih) menjadi informasi yang terus dilekatkan pada

    calon presiden nomor urut satu, Prabowo Subianto.

    Akibat keberpihakan yang telanjang tersebut, publik menyadari bahwa informasi yang

    diusung stasiun televisi bias. Kesadaran ini mencuat antara lain lewat berbagai perdebatan

    publik di media sosial. Masing-masing pendukung kubu capres/cawapres mengkritik sumber

    informasi yang diusung sang lawan politik. Publik kerap melihat media semata sebagai

    produk kerja politik, sehingga gagal melihat hasil kerja jurnalistik dengan jernih.

    Sebenarnya terdapat perbedaan yang mendasar antara pembingkaian berita dan informasi

    sesat. Sebuah berita bisa saja berpihak, tapi tetap dikerjakan berdasarkan kaidah jurnalistik,

    sehingga tetap merupakan sebuah fakta. Bingkai dalam pemberitaan adalah pemilahan dan

    penonjolan fakta tertentu. Misalnya, berita berjudul "Prabowo-Hatta Menang di Penjara

    Khusus Koruptor" (Tempo.co, 9 Juli 2014) atau "Di Lokalisasi Gang Dolly, Jokowi-JK

    Menang" (Viva.co.id, 5 Agustus 2014) jelas merupakan strategi pembingkaian media. Meski

    demikian, keduanya dikerjakan dengan kaidah jurnalistik: memiliki sumber yang jelas dan

    data yang akurat.

    Hal berbeda bisa ditemui pada Seputar Indonesiaedisi 11 Juni 2014 mengenai dugaan

    bocornya materi debat capres dan cawapres yang dituduhkan kepada kubu Jokowi-Jusuf

    Kalla. Berita tersebut jelas cacat secara jurnalistik karena didasari sumber yang sumir, bukan

    prinsip cover both sides. Cacat jurnalistik yang sama kita temui pada berita-berita VOA Islam

    atau Obor Rakyatyang memberitakan bahwa Jokowi berasal dari etnis Tionghoa serta

    beragama non-Islam.

    Pada kenyataannya, publik seringkali mengabaikan kualitas informasi media dan

    mengedepankan preferensi politik atau ideologi. Kebenaran informasi tidak diukur dari

    validitasnya, melainkan ditentukan oleh kesesuaian dengan pilihan politik. Dari sini kita

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    23/39

    melihat bahwa hal yang luput dari kritik publik atas media adalah diterimanya asumsi media

    sebagai sumber informasi yang "benar". Kritik atas keberpihakan media tidak dilanjutkan

    menjadi kritik atas kredibilitas informasi media. Dalam kata lain, maraknya kritik publik

    lebih merupakan kritik atas preferensi politik media, bukan kritik terhadap otoritas media

    dalam menyampaikan informasi.

    Apa yang kita perlukan dalam waktu-waktu ke depan adalah desakralisasi otoritas media,

    sehingga publik memahami bahwa informasi yang dihasilkan media bukan wahyu yang tak

    bisa dipertanyakan. Idealnya, diskusi atau perdebatan publik dilakukan di atas pertanyaan

    mengenai validitas informasi media. Hanya dengan begitu dialog bisa dicapai, karena

    tanpanya yang terjadi adalah seolah berdiskusi padahal masing-masing pihak bercakap

    sendiri.

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    24/39

    Masjid Cheng Hoo

    Kamis, 21 Agustus 2014

    Achmad Fauzi, Aktivis Multikulturalisme

    Masjid Muhammad Cheng Hoo memberikan keteladanan penting tentang inklusivisme

    beragama. Masjid yang terletak di Kota Surabaya ini bisa dijadikan referensi bagi masjid dan

    tempat ibadah lain dalam mengatur pola interaksi dengan umat agama lain. Ketika

    mengumandangkan azan subuh, misalnya, muazin tidak menggunakan pengeras suara,

    sehingga warga sekitar yang mayoritas non-muslim tidak terganggu. Eksplanasi tersebut

    untuk menghindari pola-pola konflik yang berbasis perebutan aset massa. Apalagi, ketikapergumulan penyiaran agama telah melampaui batas-batas demarkasi teologi masing-masing

    agama, masjid menjadi momentum terbaik untuk menyebarkan ajaran agama yang moderat,

    toleran, dan menjunjung tinggi kepelbagaian.

    Masjid Muhammad Cheng Hoo merupakan rumah ibadah yang bercorak unik dan

    multikultural. Ide penamaannya diilhami oleh tokoh legendaris Tionghoa, Laksamana Cheng

    Hoo, yang dikenal saleh dan toleran dalam beragama. Jejak historis dari ekspedisi Laksamana

    Cheng Hoo pada abad ke-15 diakui telah menaburkan benih-benih ajaran Islam yang penuh

    kelembutan, yang di dalamnya menyeruak aroma toleransi dan penghormatan terhadap

    budaya-budaya lokal. Keberadaan Masjid Muhammad Cheng Hoo terbuka untuk siapa saja

    tanpa memandang agama, ras, warna kulit, ataupun golongan. Dulu, Nabi Muhammad juga

    memperlakukan masjid secara terbuka dan menjadikannya tempat dialog lintas agama.

    Masjid Muhammad Cheng Hoo berhasil menjadi simbol keragaman. Ini menjadi aset bagi

    masyarakat dalam mewujudkan inspirasi semangat kepelbagaian. Zaman dulu, masjid berdiri

    berdampingan secara damai di antara gereja. Kelenteng berdiri di antara vihara dan pura.

    Tapi kini suasana yang ada sudah berbeda. GKI Yasmin saja hingga kini masih menjadi

    objek konflik antar-agama meski putusan MA telah berkekuatan hukum tetap.

    Padahal Presiden berharap GKI Yasmin dan masjid di dekatnya dapat berdiri secara

    berdampingan sehingga menjadi miniatur kerukunan antar-umat beragama di Indonesia.

    Itulah tantangan kita bersama untuk beragama secara toleran. Sentimen negatif itu dapat

    tereliminasi jika tempat ibadah sebagai pusat peradaban selalu menggemakan tema

    kerukunan sebagai isu utama. Rumah ibadah seharusnya menjadi tempat menyemai

    kedamaian, inklusivisme, dan rasa saling menghargai antar-umat beragama.

    Banyak prestasi gemilang yang telah diraih oleh masjid monumental ini dalam menghadirkan

    wajah Islam yang ramah. Tak hanya dalam bidang penggemblengan akidah, dalam aspek

    kemasyarakatan pun Masjid Muhammad Cheng Hoo membangun jembatan komunikasi

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    25/39

    dengan warga sekitar. Hal itu terlihat dari ragam kegiatan yang ada, seperti pembagian buku

    serta alat tulis kepada anak-anak kecil yang berada lingkungan di sekitar, pembagian bahan

    pokok murah, perayaan Nuzulul Quran, donor darah, serta pengobatan tradisional akupunktur

    Tiongkok. Di bidang pendidikan, mereka telah mendirikan Istana Balita dan usaha-usaha

    lainnya. Ini sebuah kemajuan yang menggembirakan. Masjid Muhammad Cheng Hoo takkenal lelah dalam memancangkan pilar-pilar kesalehan sebagai mercusuar bagi umat dan

    menjadi "kiblat" bagi masjid-masjid lain di Indonesia.

    Ke depan, lembaga-lembaga keagamaan harus proaktif meneladani dan merumuskan kembali

    strategi dakwah bernapaskan toleransi, inklusivisme, kebangsaan, dan kemanusiaan.

    Walhasil, dari masjid, jalan spiritual yang sejuk dan mengayomi seluruh umat manusia

    kembali menemui jalan terang.

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    26/39

    Arah Pertanian dan 'Tepungisasi'

    Kamis, 21 Agustus 2014

    Agus Pakpahan, Ekonom Kelembagaan dan Sumber Daya Alam

    Era Revolusi Industri ketiga menurut Rifkin akan dicirikan antara lain oleh Internet-energi,

    yang berasal dari bermacam sumber energi, khususnya bioenergi. Reiner Kmmel (2011),

    dalam bukunya The Second Law of Economics: Energy, Entropy, and the Origins of Wealth,

    menunjukkan bahwa kunci utama kemajuan suatu negara secara dominan adalah dukungan

    energinya.

    Kmmel menunjukkan bahwa elastisitas perubahan outputterhadap perubahan input energi

    untuk industri di Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat (ekonomi keseluruhan) masing-

    masing adalah 0,73, 0,52, dan 0,35. Jadi, selain masalah pangan, yang juga berada dalam

    kondisi tertinggal sebagaimana diperlihatkan oleh Global Food Security Index (GFSI) dari

    The Economist dan Global Hunger Index (GHI) dari IFPRI, Indonesia perlu berkonsentrasi

    pada pembangunan pertanian dengan manfaat multidimensi, sebagaimana peran dan fungsi

    pertanian itu sendiri yang bersifat multidimensi.

    Walau fakta dunia menunjukkan bahwa hampir semua negara yang berada di garis

    khatulistiwa dan beriklim tropis ini-di belahan bagian utara maupun selatan khatulistiwa-

    merupakan negara miskin (Sachs, 2000), kita punya potensi besar untuk bisa melepaskan diri

    dari kemiskinan dan ketertinggalan selama ini.

    Karena itu, kita perlu membangun kerangka dasar cara berpikir kita sendiri. Sumber daya

    utama pertanian adalah sinar matahari, yang kemudian diolah oleh tanaman menjadi hasil-

    hasil pertanian. Selama ribuan tahun, telah terjadi evolusi tanaman lokal yang telah berhasil

    beradaptasi dengan lingkungan setempat. Namun, mengingat kita mengikuti pihak pendatang

    yang mengusahakan komoditas-komoditas untuk kepentingan mereka di tanah Nusantara,

    sampai sekarang flora dan fauna asli tidak termanfaatkan atau bahkan semakin terdesak danbanyak yang sudah punah atau mendekati kepunahan.Apa artinya semua itu bagi kepentingan

    jangka panjang Indonesia?

    Apabila tidak ada perubahan yang mendasar dalam kerangka berpikir tersebut, sudah dapat

    dipastikan pertanian Indonesia tidak akan berkelanjutan atau hanya akan bergantung pada

    input dari luar.Mengingat pertanian merupakan fondasi peradaban yang dibangun di atasnya,

    maka ketidakmandirian dalam budaya membangun pertanian Nusantara akan membuat

    kemiskinan permanen bangsa-bangsa di wilayah tropis menjadi kenyataan.

    Sifat wilayah tropis adalah memiliki banyak jenis tanaman atau hewan (biodiversitas tinggi).

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    27/39

    Berbeda dengan sifat alam temperate, yaitu sedikit jenis tanaman atau hewannya tapi

    volumenya per unit wilayah besar. Karena itu, pemikiran yang berkembang di negara

    temperateadalah pemikiran skala ekonomi sebagai basis industrialisasi. Bagi kita, untuk

    mencapai skala ekonomi yang tinggi, diperlukan proses transformasi dari banyak jenis

    komoditas ke jenis sekunder sebagai kombinasi, atau campuran dari banyak komoditasmenjadi satu atau dua jenis komoditas baru. Dalam berbagai kesempatan, saya menamakan

    proses ini sebagai "tepungisasi", yaitu membuat tepung Nusantara berdasarkan seluruh

    produk lokal, seperti sagu, sukun, jagung, dan ubi sebagai basis ketahanan pangan, energi,

    dan ekologi Indonesia pada masa yang akan datang.

    Tepungisasi, selain penting untuk pangan dan energi, turut mengurangi tekanan pertanian

    terhadap lingkungan, khususnya terhadap sumber daya air dan kemungkinan konflik akibat

    berbagai kepentingan terhadap sumber daya air. Perlu diingat bahwa Indonesia terdiri atas

    pulau-pulau. Sistem kepulauan dengan sendirinya memiliki potensi air lebih terbatas

    dibanding sistem benua. Sebagai ilustrasi, Chapagain dan Hoekstra (2011) menunjukkan

    bahwa rata-rata water footprintuntuk produksi padi adalah 1325 meter kubik/ton. Artinya,

    dengan produksi padi 70 juta ton/tahun, air yang digunakan sebanyak 92.75 miliar meter

    kubik.

    Jelas, meningkatnya jumlah penduduk Indonesia akan meningkatkan pula kebutuhan air.

    Dengan model tepung tersebut, kita tidak perlu menambah jumlah sawah secara besar-

    besaran, melainkan cukup mengolah hasil-hasil pertanian lokal yang sudah adaptif dengan

    lingkungannya, misalnya sagu yang sekarang jumlahnya masih jutaan hektare. Mulai

    sekarang, kita harus mempersiapkan sistem pertanian yang hemat air, hemat ruang, sertahemat energi. Hal ini akan berdampak positif, selain ketahanan pangan dan energi serta

    industrialisasi, terhadap sistem ekologi kepulauan dan menjadi faktor pemicu pertumbuhan

    serta pemerataan ekonomi secara regional.

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    28/39

    Mengingat Muhammad Yamin

    Jum'at, 22 Agustus 2014

    L.R Baskoro, wartawan Tempo

    Jika dia masih hidup, hari ini, Jumat 22 Agustus, umurnya 111 tahun. Dialah Muhammad

    Yamin. Mungkin sebagian besar dari kita pertama kali mengenal namanya saat duduk di

    bangku SD atau SMP, kala mulai membaca buku sejarah persiapan kemerdekaan Indonesia

    dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

    (BPUPKI) yang gemuruh dengan pidato dan perdebatan itu.

    Dia, Yamin, salah satu bapak bangsa yang ikut menyumbangkan pikirannya di sana. Dia

    menunjuk bentuk kesatuan ("tidak federasi!" kata dia) yang paling tepat untuk negeri ini dan

    mendesak UUD mesti memuat perlindungan HAM. Sebagai ahli hukum, dia sadar konstitusi

    yang akan menjadi landasan bangsa ini mesti berisi hal yang melindungi sekaligus

    merekatkan bangsa sebagai kesatuan.

    Kesadaran pentingnya kesatuan ini jelas diwacanakan karena dia pencinta berat sejarah.

    Berbeda dengan para bapak bangsa yang lain, kelebihan Yamin adalah "kegilaannya" akan

    sejarah dan sastra. Pada usianya yang belum genap 17 tahun, puisinya bertaburan di majalah

    Jong Sumatradan bertahun kemudian dia menerjemahkan karya-karya William Shakespeare

    dan Rabindranath Tagore.

    Kegilaannya akan sejarah tak hanya tampak pada keseriusan mempelajari Kerajaan

    Sriwijaya, Majapahit, atau kemudian menulis berbagai buku sejarah, termasuk Tata Negara

    Majapahitsebanyak empat jilid (dari tujuh jilid yang direncanakan), tapi juga bagaimana ia

    hingga perlu mengambil les privat kepada sejarawan Poerbatjaraka untuk belajar bahasa

    Sanskerta.

    Yamin sangat yakin sejarah adalah masa lampau yang tak bisa ditinggalkan untukmembentuk masa depan. Dalam konteks ini, tak mengherankan jika kemudian Sukarno cocok

    dengan Yamin. Keduanya senang mencari dan menciptakan simbol-simbol untuk merekatkan

    bangsa, sekaligus menggagas kebesaran bangsa ini-dengan berkaca pada kejayaan masa lalu.

    Di sinilah bangsa ini memerlukan pengetahuan sejarah-juga kepiawaian menulis-Yamin.

    Ketika menjelang hari-hari akhir Kongres Pemuda II pada Oktober 1928, ratusan pemuda

    kebingungan akan "melahirkan" apa dari perhelatan itu, Yamin menyodorkan "teks sumpah

    pemuda", naskah yang kita kenal hingga sekarang sebagai puncak dari Kongres 1928. Ketika

    Bung Karno letih mencari nama yang pas untuk gagasan lima silanya, Yamin menyodorkan

    Pancasila-bukan Pancadharma seperti yang sebelumnya dipikirkan Bung Karno. Kata

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    29/39

    Pancasila dijumput Yamin dari kitab Sutasomakarangan Empu Tantular, pujangga pada era

    Raja Hayamwuruk.

    Kita tahu pengetahuan sejarah Yamin ini terus mewarnai perjalanan negeri ini-hingga dia

    wafat pada 17 Oktober 1962. Dia tak saja terlibat dalam pembuatan simbol burung Garuda,termasuk melahirkan tulisan Bhinneka Tunggal Ika, juga pada hal lain: menciptakan simbol

    dan sumpah Polisi Militer dan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).

    Yamin, seperti yang ditulis oleh majalah Tempo dalam edisi khususnya yang terbit pekan ini,

    adalah tokoh kontroversial. Sejumlah tindakannya dianggap berupaya melencengkan sejarah.

    Tapi, betapapun, sumbangsihnya tetap lebih besar daripada "dosa"-nya. Dari Yamin, yang

    perlu kita petik: kecintaan dan antusiasmenya akan sejarah dan sastra. Dua hal ini makin

    diabaikan oleh sebagian pendidik kita.

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    30/39

    Agenda Prioritas Bidang Pers

    Jum'at, 22 Agustus 2014

    Agus Sudibyo, Direktur Eksekutif Matriks Indonesia

    Perkembangan kebebasan pers di Indonesia sesungguhnya mendapat banyak pengakuan dari

    dunia internasional. Indonesia dianggap berhasil melakukan transisi demokrasi dan

    melembagakan kebebasan pers. Pelembagaan kebebasan pers di Indonesia bahkan dijadikan

    model bagi negara-negara lain, seperti Malaysia, Myanmar, dan Timor Leste. Namun ada

    satu masalah yang membuat indeks kebebasan pers Indonesia tidak kunjung meningkat,

    bahkan beberapa kali menurun. Masalah tersebut adalah tingginya angka kekerasan terhadapwartawan, sebagaimana selalu mewarnai laporan akhir tahun asosiasi jurnalis dan Dewan

    Pers.

    Pemerintah yang baru harus mengambil langkah konkret untuk mengatasi permasalahan ini.

    Apalagi fakta menunjukkan pelaku kekerasan terhadap wartawan umumnya adalah kalangan

    pemerintah dan aparat penegak hukum. Yang paling dibutuhkan dalam konteks ini adalah

    penegakan hukum secara tegas dan konsekuen. Para pelaku kekerasan harus diberi hukuman

    yang setimpal dan diberi efek jera. Harus ada penyelesaian yang jelas secara hukum ataupun

    politis atas kasus pembunuhan Udin, wartawan Bernas Yogyakarta. Kasus ini sudah terlalu

    lama mengambang. Sudah lima presiden tidak berhasil menyelesaikannya.

    Para pejabat pemerintah dan penegak hukum juga harus dididik dalam hal fungsi-fungsi pers

    serta mekanisme penyelesaian sengketa dengan pers. Mereka perlu diajari bagaimana

    menyelesaikan masalah dengan media atau wartawan, bagaimana menghindari tindakan main

    hakim sendiri kepada wartawan, bagaimana menghadapi wartawan abal-abal, dan seterusnya.

    Upaya-upaya untuk melakukan kampanye media literasi di kalangan badan publik harus

    menjadi prioritas pemerintah.

    Selanjutnya, presiden yang baru harus memilih Menteri Komunikasi dan Informasi yangmenguasai persoalan dan relatif bebas kepentingan politik. Jika Menkominfo masih dipilih

    dengan pertimbangan bagi-bagi jabatan politis dalam koalisi partai politik pendukung

    pemerintahan, kinerjanya akan tetap mengecewakan. Mereka suka membuat kontroversi

    sendiri, gamang dalam mengambil tindakan saat situasi genting, dan sering menunjukkan

    gelagat kepentingan politik tertentu saat membuat keputusan atau pernyataan publik.

    Persoalan pers, penyiaran, serta teknologi informasi dan media sosial sangat menentukan ke

    depan. Karena itu, dibutuhkan menteri yang benar-benar mumpuni, profesional, dan visioner.

    Untuk meningkatkan profesionalisme dan etika pers ataupun penyiaran, pemerintah juga

    perlu memperkuat kedudukan Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia. Kedua lembaga

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    31/39

    ini harus menjadi "wasit" sekaligus pembuat kebijakan dalam bidang pers dan penyiaran. KPI

    harus dibuat semakin independen dari intervensi industri dan pemerintah. Fungsi KPI sebagai

    regulator bidang penyiaran harus dipulihkan. Pada sisi lain, Dewan Pers perlu diberi daya

    dukung administrasi, kelembagaan, dan sumber daya manusia yang memadai agar dapat

    meningkatkan kinerjanya sebagai lembaga pembinaan profesionalisme, etika media, sertalembaga penyelesaian sengketa pers.

    Di sisi lain, TVRI dan RRI harus diselamatkan kedudukannya sebagai lembaga penyiaran

    publik. Berbeda dengan RRI yang kondisinya relatif baik, kondisi TVRI saat ini sangat

    memprihatinkan. TVRI berjalan di tempat, bahkan dalam beberapa hal mengalami

    kemunduran akibat konflik yang tak kunjung padam. Tarik-menarik kepentingan politik

    antara unsur-unsur DPR, pemerintah, dan kalangan internal TVRI bahkan belakangan

    semakin kusut. Masalah ini bagaimanapun harus diselesaikan. Namun penyelesaiannya jelas

    bukan dengan cara mengembalikan kedudukan TVRI sebagai lembaga corong pemerintah,

    tapi mengembalikan khitahTVRI sebagai lembaga penyiaran publik. Presiden yang baru

    perlu memahami persoalan itu.

    Jika lima tahun ke depan dilakukan amendemen terhadap UU Pers, harus dipastikan

    amendemen ini memperkuat pelembagaan kebebasan pers, bukan sebaliknya. UU Pers

    Nomor 40 Tahun 1999 masih mengandung beberapa kekurangan sehingga gagasan

    amendemen menjadi relevan. Namun, fakta juga menunjukkan, belakangan ini sering terjadi

    amendemen sebuah undang-undang yang tujuannya baik, tapi justru berakhir dengan

    keburukan. Undang-undang baru hasil amendemen mengandung substansi-substansi yang

    bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi, perlindungan HAM, kebebasan berpendapat,atau keterbukaan informasi.

    Amendemen UU Pers yang menganulir prinsip-prinsip kebebasan pers hanya akan

    menghadapkan pemerintah dan DPR pada hubungan yang antagonistik dengan komunitas

    pers nasional. Amendemen itu juga akan membuat buruk citra Indonesia di mata dunia

    internasional. Pemerintah yang baru harus menghindari amendemen semacam ini.

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    32/39

    Noken

    Jum'at, 22 Agustus 2014

    Amiruddin al-Rahab, Pemerhati politik di Papua

    Noken, barang sederhana yang terbuat dari rajutan rumput, atau kini benang sintetis, telah

    menjadi leksikon politik nasional.Noken"manggung" di Mahkamah Konstitusi. Seluruh

    Nusantara kini berkenalan dengan noken. Terima kasih MK.

    Jika Anda blusukanke kampung-kampung di pedalaman Papua, Anda akan mudah berjumpa

    dengan iringan mama-mama yang memikul noken di kepala, dengan ditahan oleh tengkukdan punggung.Nokenini sesak oleh isi hasil kebun, bayi, atau hewan piaraan kesayangan.

    Juga ada nokenlaki-laki, berbentuk kecil, yang dipakai dengan menyelempangkannya di

    pundak. Isinya perlengkapan kecil-kecil, seperti pisau, sirih-pinang, rokok, pemantik api,

    bahkan ponsel.

    Bagi mama-mama di pegunungan Papua, nokenyang terisi penuh mengisyaratkan bahwa

    harapan baru akan datang. Mereka bergembira. Untuk itu, itu jika ada pesta adat, atau bakar

    batu untuk makan bersama, mama-mama akan datang dengan nokenyang penuh. Jika noken

    kosong, itu pertanda datangnya masa paceklik atau komunitas itu berada dalam kesusahan.

    Kembali ke urusan di MK. Jika Anda menangkap makna mendalam dari apa isi nokenyang

    dipersoalkan di MK itu, tampaklah isi noken itu menunjukkan harapan baru. Mengenai

    persoalan prosedur dan hukum formal bukan lagi urusan mama-mama pemilik nokenitu.

    Noken kecemplungke dalam politik adalah kecelakaan, bukan sesuatu yang dirancang. Ketika

    pemilu pada 1971, dua tahun setelah Pepera, harus dilaksanakan, semua orang di Papua harus

    pula dilibatkan.

    Kepada dunia internasional, pesan harus disampaikan bahwa rakyat di Papua bisa

    berpartisipasi dalam pesta demokrasi Indonesia. Lantas bagaimana caranya hal itu dilakukan

    di tengah keterbatasan transportasi, komunikasi, serta akses ke pedalaman? Akibat populasi

    tidak melek huruf yang tinggi, kampanye tidak bisa dilakukan secara sempurna. Tak ada cara

    lain, sistem perwakilan harus ditempuh.

    Dalam kondisi keterpaksaan dan keterbatasan itulah nokenberjasa. Ingat, Golkar menang

    telak karena waktu itu Golkar menggunakan lambang cermin di pegunungan Papua, bukan

    pohon beringin. Tentu tangan aparatur pemerintah bermain leluasa pula. Sejak 1971 sampai

    1997, hal itu terus berlangsung dengan pemenang yang sama pula.

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    33/39

    Reformasi datang, sistem berubah, namun jasa nokentetap diperlukan oleh aktor-aktor

    politik. Bahkan, nokentetap dipakai ketika diterapkannya sistem pemilihan langsung kepala

    daerah dan kepala negara. Tapi aparatur negara tidak lagi bisa bersikap dominan. Elite atau

    orang besar dari klan-klan dan suku-suku telah menjadi bagian dari sistem politik baru yangdominan. Mereka menjadi tokoh protagonis dalam menjalankan sistem nokendalam politik.

    Itu terjadi karena politik masuk sampai ke dalam honai, yang sebelumnya tidak pernah

    terjadi.

    Noken dan politik pada era reformasi ini tidak bisa dipisahkan lagi. Dulu karena

    keterpaksaan, sekarang menjadi kebutuhan. Kebutuhan akan nokenkian mendesak ketika

    sarana dan prasarana untuk menjalankan pemilu secara langsung tidak berkembang sesuai

    dengan perkembangan sistem politik yang ada.

    Karena itu, mempersoalkan sistem nokendi Papua bak pepatah lama, "menepuk air di dulang,

    terciprat muka sendiri". Untuk itu, peserta pemilu dan penyelenggara pemilu lebih baik

    berterima kasih kepada nokenketimbang mempersoalkannya.

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    34/39

    Ketidakpercayaan Sosial

    Sabtu, 23 Agustus 2014

    Candra Malik, peminat tasawuf

    Kehilangan terbesar adalah kehilangan rasa percaya diri. Namun, kehilangan yang lebih besar

    lagi adalah kehilangan kepercayaan dari orang lain, apalagi jika disusul dengan sanksi sosial.

    Yang kurang-lebih sama besarnya adalah kehilangan kepercayaan kepada orang lain, yang

    bisa menyebabkan sikap antisosial. Satu dan lainnya sama-sama berpotensi mencerabut

    kodrat kita sebagai makhluk sosial. Kita menjadi penyendiri. Kita menyendiri.

    Saat ini, kita hidup dalam suasana batin yang mengarah ke sana ketika gotong-royong

    semakin mahal. Siskamling mulai digantikan oleh portal-portal di mulut gang, baik di

    kampung-kampung maupun kompleks-kompleks perumahan, terutama di kota-kota.

    Ketidakbersediaan sebagian warga untuk begadangdi gardu ronda memicu kesepakatan

    untuk membuka peluang kerja jasa keamanan, dan kita cukup membayar kompensasi

    ketidakbersediaan untuk meronda malam.

    Padahal, sesungguhnya kita sedang mengalami kehilangan; kehilangan rasa percaya diri,

    kehilangan kepercayaan kepada orang lain, dan kehilangan kepercayaan dari orang lain. Kita

    tidak lagi saling percaya. Pagar-pagar rumah semakin tinggi, pintu-pintu rumah siang-malam

    dikunci, dan penghuni rumah tidak serta-merta membukakan pintu jika diketuk. Jangankan

    pengamen, tamu pun kesulitan mendapat akses untuk ditemui oleh tuan rumah.

    Di sebagian rumah, penghuninya masih menyambut ucapan salam dari luar rumah. Sebagian

    lainnya telah menutup pintu rapat-rapat dan hanya memberi lonceng mesin suara. Semakin

    sulit menemukan rumah dengan keakraban penghuninya, bahkan kepada orang-orang yang

    lalu-lalang, melalui bahasa pelepas dahaga, yaitu ketersediaan kendi air minum di pagar.

    Rukun tetangga dan rukun warga menjadi alat sosial belaka untuk mengurus surat-surat.

    Musyawarah warga menjadi barang mewah. Warga menjadi berkelompok berdasarkan selera

    sosial, entah itu dalam kegiatan beragama, berkesenian, berolahraga, atau berekreasi. Masih

    ada pemersatu itu yang, syukurlah, bisa bertahan meski batasannya makin longgar. Bukan

    lagi melulu berdasarkan tempat tinggal, tapi lebih pada kesamaan selera sosial. Dinamika ini

    meretas keberagaman sekaligus keseragaman sosial.

    Menjadi beragam karena memang aneka rupa selera sosial memunculkan warna-warni itu.

    Menjadi seragam karena setiap komunitas kemudian melahirkan simbol-simbol identitas. Jika

    dalam wilayah sosial yang melintas batas itu terus terjadi krisis kehilangan kepercayaan,

    kondisinya bisa semakin runyam. Keberagaman justru bisa memicu kecurigaan

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    35/39

    antarkomunitas dan kerukunan antarmanusia menjadi semakin jauh panggang dari api.

    Lahirnya tokoh-tokoh sosial yang mendobrak kebekuan itu sungguh melegakan, dan kita

    butuh lebih banyak dan lebih banyak lagi tokoh-tokoh itu. Mereka tidak harus aparatur

    negara, tidak harus wakil rakyat. Apalagi kita sama-sama tahu betapa birokrasi dan protokolbegitu menyebalkan dan melelahkan. Masyarakat memerlukan terobosan dan kepemimpinan

    untuk menjaga nyala api Bhinneka Tunggal Ika dan gotong-royong agar tidak padam.

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    36/39

    Ketahanan yang Berbasis Tepung

    Sabtu, 23 Agustus 2014

    Rofandi Hartanto, Pengajar Ilmu dan Teknologi Pangan UNS Surakarta

    Selama ini ada kebijakan yang kurang tepat yang dilaksanakan pemerintah kita. Kebijakan

    pilihan tunggal atas pangan, yaitu beras, sebenarnya telah mengorbankan biodiversitas

    alamiah pangan kita. Stigma underdogatas jenis-jenis pangan lain seperti jagung, sagu, dan

    singkong tanpa terasa telah membebani orientasi pangan tunggal yang menjadi sangat mahal

    dan relatif sulit dikendalikan.

    Ketika kebijakan pangan nasional berbasis beras, permasalahan suplai dari tahun ke tahun

    bertambah berat, akibat pertambahan penduduk yang makin besar. Angka 250 juta jiwa,

    populasi terpadat keempat dunia, menjadi beban terus-menerus setiap periode pemerintahan,

    tidak terkecuali pemerintah mendatang.

    Untuk itu, sebagai ilustrasi, pemenuhan kebutuhan beras dalam negeri dengan menerapkan

    kebijakan pencetakan sawah baru sejumlah 400 ribu hektare, untuk memenuhi defisit pangan

    sebesar 2 juta ton per tahun, haruslah dianggap sebagai strategi jangka pendek.

    Untuk strategi jangka menengah dan jangka panjang, alternatif lain harus dicari, yang salah

    satunya adalah kebijakan pangan berbasis tepung. Mengapa berbasis tepung? Karena jika kita

    tengok kebijakan pangan dunia, (tepung) gandum meliputi lebih dari dua pertiga penduduk

    dunia. Adapun pangan berbasis beras hanya didominasi oleh negara-negara Asia Selatan,

    Asia Tenggara, Asia Timur Jauh, serta Cina. Kebijakan pangan berbasis tepung dirasa tepat,

    karena sebenarnya kebijakan ini bersinggungan dengan kebutuhan tepung dan ketersediaan

    tepung yang sangat melimpah di negeri ini.

    Mengapa pangan nasional sebaiknya berbasis tepung? Pertama, tepung adalah sumber

    karbohidrat utama, sama seperti beras, jagung, dan singkong. Tepung sendiri adalah produkantara dari sumber-sumber pangan seperti disebutkan sebelumnya. Keunggulan tepung dari

    sumber asalnya adalah pengolahan lebih lanjut menjadi berbagai pangan dalam bentuk basah

    dan kering, bergantung pada tujuan kita mengolah bahan pangan. Tepung, dengan demikian,

    bisa menjadi cadangan pangan masa depan. Adapun sumber-sumber tepung kita jauh lebih

    berlimpah dibanding beras yang selalu membebani anggaran untuk ketahanan pangan.

    Untuk sedikit membandingkan atau sedikit mempertimbangkan bagi pemenuhan pangan

    nasional, jika program beras nasional adalah pemenuhan dalam jangka pendek pengamanan

    kebutuhan beras dalam negeri seperti disebutkan sebelumnya, tepung akan menjadi cadangan

    pangan nasional dalam jangka menengah dan panjang. Karena, untuk mengambil contoh,

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    37/39

    ketersediaan tepung sagu akan 50 kali lebih besar dibanding beras.

    Sebenarnya, apa yang menjadi konsep pemerintah selama ini dalam ketahanan pangan dan

    energi sebagai dasar dalam penyelenggaraan negara sudah tepat. Tapi, sebagai sebuah visi ke

    depan, barangkali ini kurang menggigit. Maksudnya, visi pangan hanya untuk kebutuhansendiri tidaklah cukup memadai sebagai sebuah negara yang dikaruniai Tuhan dengan

    sumber daya alam yang sangat melimpah.

    Bayangkan kita memiliki 90 juta hektare lahan hutan produktif, 59 juta hektare lahan kritis,

    dan 10 juta hektare lahan pertanian produktif. Dengan potensi yang ada, Indonesia nantinya

    harus menjadi lumbung pangan dunia. Kita tidak boleh berpuas diri hanya dengan memenuhi

    kebutuhan pangan sendiri. Kemandirian pangan, sebagai sebuah negara besar, adalah sebuah

    keniscayaan. Tapi, sebagai sebuah visi negara besar, kecukupan pangan ditambah

    ketersediaan pangan bagi dunia tampaknya merupakan keharusan. Masalah pangan dan

    energi yang telah menjadi isu penting dalam dua dasawarsa terakhir agaknya harus menjadi

    tantangan yang mesti dijawab.

    Dengan itu, urgensi ketahanan pangan berbasis tepung menemukan muaranya. Pertama,

    tepung dapat diproduksi dari aneka macam komoditas utama, seperti singkong dan sagu, serta

    komoditas lainnya seperti umbi-umbian talas,ganyong, irut, gembili, gadung, dan iles-iles,

    baik sebagai pangan alternatif maupun pangan fungsional.

    Kedua, tepung sebagai cadangan pangan sekaligus sebagai cadangan energi hijau.

    Bergantung pada cara pengolahan yang dipilih, tepung dapat menjadi aneka pangan basahseperti kue, pangan kering untuk penyimpanan yang lama, seperti biskuit dan bahan baku

    utama mi dan bihun, sekaligus sebagai cadangan energi (bioetanol).

    Ketiga, daya simpan tepung dapat mencapai bulanan bahkan tahunan. Dengan penurunan

    kadar air dan dan teknik penyimpanan tertentu, ini akan mencegah invasi bakteri dan kapang

    untuk masa yang lama. Keempat, teknologi pengolahan/pemanfaatan tepung dari teknologi

    konvensional (bagaimana membuat adonan kue yang cocok) hingga teknologi nano, nantinya

    akan menjadi tantangan.

    Jangan sampai, kiranya, kita yang mempunyai sumber daya tepung yang luar biasa namun

    bergantung pada negara lain karena kurang mampu mengelola dan mengembangkannya-yang

    pada gilirannya membuat ketahanan pangan ataupun kelimpahan pangan hanya menjadi

    mimpi di siang bolong.

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    38/39

    ISIS di Antara Kita

    Sabtu, 23 Agustus 2014

    Ahmad Taufik, Pendiri Garda Kemerdekaan

    Video ajakan bergabung dengan Islamic State of Iraq and al-Sham (ISIS) sekarang disebut

    Islamic State (IS) disambut gegap gempita di berbagai pelosok Indonesia. Banyak orang

    berbondong-bondong masuk, melalui acara baiat (sumpah setia). Selain janji surga dengan

    jalan jihad, ada rindu cerita masa lalu, juga akibat kekuatan propaganda. Tak mengherankan

    jika rekaman video kegiatan mereka selalu diunggah ke situs termasyhur saat ini, YouTube.

    Bukti tersebarnya ISIS diketahui belakangan setelah populer dan dijadikan musuh bersama.

    Polisi menemukan sejumlah identitas ISIS di berbagai tempat publik, dari bendera sampai

    mural (seni gambar di tembok). Padahal, sebenarnya, sebelum sepopuler sekarang, ISIS

    sudah berusaha bereksistensi. Bendera hitam dengan kalimat la ilaha ilallahterlihat berkibar

    saat hari bebas kendaraan bermotor (car free day) di Solo dan Jakarta.

    Kenapa IS mendapat sambutan? Selain propaganda media, utopia negara Islam, dan janji

    surga, bibit IS tumbuh subur di negeri ini. Ada beberapa asumsi penyebab tumbuh suburnya

    kelompok itu. Bekas Perdana Menteri Inggris Tony Blair (2001) menyebut, "...negara gagal,

    kemiskinan, dan pemutusan hubungan kerja (PHK)." Alan B. Krueger, dalam buku What a

    Makes a Terrorist, (kalau kita mau menyebut ISIS teroris), berkata menjadi teroris adalah

    pilihan hidup, cita-cita atau karier, seperti menjadi dokter, jurnalis, dan jenis pekerjaan lain.

    Menurut Mohamad Guntur Romli (2009), berkembangnya kelompok radikal yang

    mengedepankan kekerasan merupakan jalan lahir dari ketegangan, perebutan kekuasaan,

    hingga konflik di Timur Tengah. Di Indonesia, banyak alumnus dari perguruan tinggi atau

    pesantren di Timur Tengah yang pulang membawa "semangat kekerasan" dari tempat

    pendidikannya itu. Kemudian, pihak yang berkonflik, melalui alumnus, mengajak pihak lain

    untuk menjadi sekutu.

    Satu faktor lagi penyebab tumbuh suburnya kelompok pro-kekerasan adalah peran aparat

    keamanan (polisi). Aparat gamang menindak penyeru penyebar kebencian (hate crime). Hal

    ini merupakan sumbangan bagi berkembangnya kelompok "jalan kekerasan", seperti ISIS

    sekarang ini, sehingga pelakunya merasa mendapat perlindungan.

    Sebenarnya, hanya memusuhi ISIS adalah salah, karena kelompok ini bisa berubah rupa.

    Sebelum ini kita mengenal Al-Qaidah di Timur Tengah dan Jamaah Islamiyah (JI) di

    Nusantara. Saat ini yang terpenting adalah mengidentifikasinya. Ada tiga ciri untuk

    mengetahui kelompok seperti ISIS itu.

  • 8/11/2019 Caping + Kolom Tempo 17.8.2014-23.8.2014

    39/39

    Pertama, kemantapan niat untuk mendirikan negara Islam dengan memberlakukan syariat

    Islam sesuai dengan pemahaman kelompok mereka sendiri, sehingga seluruh konsep

    kehidupan bernegara, selain pemberlakuan syariat Islam seperti yang mereka pahami,

    menjadi batil (wajib diperangi). Kedua, tafsir kebenaran bersifat tunggal, sesuai denganpemahaman kelompok mereka. Untuk itu, siapa pun yang tidak menerima pemahaman tafsir

    kebenaran mereka dianggap sesat dan kafir. Karena itu, setiap yang kafir, halal darahnya

    untuk dibunuh. Ketiga, penganut agama selain Islam yang mereka pahami, agar tidak

    dibunuh atau dipersekusi, diwajibkan membayarjizyahatau pajak perlindungan.

    Nah, dengan tiga identifikasi tersebut, jangan-jangan kita juga turut serta menumbuhsuburkan

    "ISIS-ISIS" lain di negeri ini. Jika asumsi itu benar, sia-sialah 69 tahun kemerdekaan yang

    telah kita capai sekarang ini.