Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

download Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

of 40

Transcript of Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    1/40

    Iskandar

    Senin, 25 Agustus 2014

    Revolusi selalu berkecamuk sebelum jam malam. Dengan gelora hati. Setelah revolusi

    selesai, tak ada lagi yang berkecamuk. Tak ada lagi gelora hati. Perjuangan, termasuk dengan

    kekerasan, berhasil, dan berakhir, lalu berdirilah sebuah tata dan kedaulatan: sebuah

    bangunan yang dingin dengan garis-garis lempang.

    Saya ingat filmLewat Jam Malamyang skenarionya ditulis Asrul Sani dan diproduksi hanya

    beberapa tahun setelah perang kemerdekaan: Iskandar, seorang bekas gerilyawan, jadi

    seorang asing, ketika ia masuk ke kehidupan normal setelah perjuangan selesai dan Republik

    mulai bekerja sebagai sebuah pemerintahan.

    Iskandar dipekerjakan di kantor gubernuran. Ia tak betah. Ia kecewa. Tak ada lagi gairah.

    Yang ia saksikan sebagai hidup yang tertata itu adalah kepalsuan-satu hal yang tak

    dialaminya selama angkat senjata di hutan-hutan, ketika ia menyiapkan hidupnya dan

    matinya untuk Tanah Air. Cerita berakhir ketika Iskandar, yang resah dan risau dalam

    keadaan pasca-perjuangan itu, tewas ditembak mati polisi militer. Ia melarikan diri pada saat

    jam malam diberlakukan di kota itu.

    Demikianlah sang bekas gerilyawan bertabrakan dengan kedaulatan. Kedaulatan itulah yang

    menetapkan jam malam dan menyiapkan polisi militer. Kedaulatan itulah yang menyatakandiri mau menjaga agar tata sosial tak terganggu-meskipun dengan demikian para pencoleng

    ikut terlindungi.

    Iskandar tak sendirian. Di negeri lain, di masa lain, Hannah Arendt menulis buku tentang

    revolusi. Dalam On Revolutionia uraikan sebuah keadaan ketika-seperti yang dialami para

    relawan dalam pemilihan presiden 2014-ada pengalaman kolektif tentang kekuasaan. Di saat

    itu, politik hidup. Tapi kemudian perjuangan "selesai", dan satu sistem kekuasaan yang

    dianggap mewakili mereka yang berjuang pun ditegakkan. Kedaulatan hadir sebagai sebuah

    keniscayaan: sesuatu yang menjaga dan mengelola apa yang dianggap sebagai kelanjutan

    harapan perjuangan.

    Tapi bersama itu, politik mati-atau ditidurkan. Pengalaman kekuasaan tak lagi kolektif, tapi

    berkisar di sebuah lapisan yang terbatas. Dalam Revolusi Rusia, lapisan itu para anggota

    Partai Komunis, yang kemudian jadi nomenklatura. Dalam Revolusi Indonesia-juga dalam

    setiap perubahan besar sejak 1945, 1965, 1998-politik diambil alih partai, militer, dan di

    sana-sini birokrasi.

    Yang terjadi bukan hanya politik ditidurkan dan sebuah kepalsuan yang seperti dirasakan

    Iskandar menyeruak, tapi juga sebuah kekerasan disembunyikan di balik semua itu. Film

    Lewat Jam Malamtanpa banyak kata-kata memperlihatkannya: pasukan polisi militer dan

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    2/40

    bedil mereka itu, atas nama tata tertib yang lempang dan dingin, membunuh seseorang yang

    belum tentu bersalah.

    Kekerasan memang terjadi dan dilakukan ketika Republik hendak dilahirkan. Iskandar dan

    kawan-kawannya tak segan-segan membunuh tanpa menelaah adakah si korban pantas

    dilenyapkan. Tapi kekerasan juga terus ketika hukum dibangun. Kedaulatan mau tak mauharus ada dan bekerja.

    Kedaulatan itu, tempat "negara" mendasarkan dirinya, tiap kali bisa represif, tiap kali bisa

    mengasingkan mereka yang tak merasa lagi bisa berbagi dengannya. Juga tiap kali punya

    dalih, terkadang dengan janji tentang keadilan. Tapi sejarah berkali-kali menunjukkan bahwa

    janji semacam itu, atau klaim ke arah itu, melahirkan sebuah ketakaburan dan pemberhalaan.

    Keadilan atau Ratu Adil-meskipun mengimbau terus-menerus sehari-hari-tak pernah

    mewujud penuh di bumi.

    Itu sebabnya politik yang ditidurkan tiap kali akan terjaga-politik dalam arti gelora orangbanyak, di luar nomenklatura, ketika bergerak secara kolektif pengalaman berkuasa. Jika

    kemudian terjadi perubahan yang dahsyat itulah kekerasan sebagai awal kisah sebuah

    kedaulatan yang gagal.

    Walter Benjamin pernah menulis tentang kekerasan dan ia berbicara tentang "kekerasan ilahi"

    yang "murni", die g ttliche reine Gewalt. Sebagaimana saya memahaminya, itu adalah

    kekerasan yang murni karena tak tercemar dan murni karena tak bisa ditawar. Itu adalah

    sebuah guncangan terhadap kedaulatan yang dengan kekerasannya sendiri membuat hukum

    seakan-akan tak akan lapuk.

    Bagi Benjamin, kedaulatan yang terbaik justru kedaulatan yang lapuk. "Kekerasan ilahi"

    menegaskan itu. Akan ketahuan bahwa kedaulatan selalu bersifat sementara dan tak bisa

    menguasai semuanya. Dengan demikian rakyat yang di bawah itu bisa menegaskan bahwa

    politik tak bisa mereka lepaskan. Kalaupun tiap kali perjuangan bersama berakhir dengan

    kekecewaan, dan kedaulatan menabrak, mereka tetap tahu batas orang-orang yang berkuasa.

    Juga mereka tetap tahu daya sangkal mereka. Dalam politik, mereka tak sendiri.

    Bila Iskandar mati sendirian, ia sebenarnya gejala ketika politik disingkirkan.

    Goenawan Mohamad

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    3/40

    Legawa

    Minggu, 24 Agustus 2014

    Putu Setia

    ROMO Imam punya mainan baru:gadget dengan perangkat BlackBerry Messenger. Dia

    meminta saya menghubungi untuk sekedar latihan. Setelah perangkat saya tersambung, saya

    pun menulis asal-asalan tanpa mikir:"Rahajeng Romo, salam buat Mas Prabowo."

    Saya lupa apa yang saya tulis ketika Romo membalasnya: "Ah, jangan ngomongin Prabowo.

    Dia harus dikasihani. Dia sudah berjuang keras membesarkan partainya. Masyarakat pun

    menaruh harapan karena partainya nasionalis dan bisa jadi alternatif dari partai-partainasionalis lainnya. Dia hanya salah cari dukungan ketika ingin menjadi presiden. Dia

    dijerumuskan oleh partai yang berasaskan agama. Dan semakin terjerumus ketika masuk

    pengacara yang memang sudah tabiatnya suka memanas-manasi demi numpangpopularitas."

    Waduh, Romo menulis pesan kokseperti menulis artikel, saya membatin. Saya merespons

    pendek dengan niat Romo mencontoh pesan saya: "Terus saran untuk Prabowo, apa?"

    Setelah lama menunggu, datang balasan. Woo, tetap panjang: "Prabowo harus legawa

    menerima keputusan Mahkamah Konstitusi. Jika ia menuruti saran pengacara menggugat

    lewat PTUN dan Pengadilan Negeri, itu tak ada gunanya. Tak ada kaitan dengan sah-tidaknya

    presiden terpilih menurut konstitusi. Obyek gugatannya hanya ke Komisi Pemilihan Umum.

    Pengacara itu biasa menafsirkan hukum dengan tujuan memperpanjang perkara, itu kan

    ladang penghasilannya. Yang rugi Prabowo namanya semakin jelek. Semakin berlama-lama

    semakin terpuruk, dia dan partainya pun bisa ditinggal rakyat. Sekarang saja banyak yang

    menyesal memilih dia. Semua sudah selesai. Titik."

    Karena Romo menulis "titik", saya maunya tak menjawab. Tapi, takut dikira pesannya tak

    sampai, saya pun menulis: "Baik, Romo, saya setuju."Eh, Romo membalas lagi, tetap

    panjang: "Prabowo harus mengucapkan selamat kepada Jokowi, itu etika seorang kesatria,

    meski siap berada di luar pemerintahan. Koalisi permanen tak usah dilanjutkan karena

    memang beda betul asas dan perjuangan partainya. Lebih baik konsolidasi partai, siapkan

    kader yang baik untuk pemilu legislatif dan pemilu presiden yang serentak lima tahun lagi.

    Prabowo tak perlu maju. Jika kadernya berhasil lolos, apalagi memenangi presiden, dia yang

    dapat nama dan bisa jadi penentu kebijakan. Sapa rakyat dengan hati, bukan diajak turun ke

    jalan-jalan mengganggu pemerintahan. Aksi jalanan sudah kuno. Rakyat membutuhkan aksi

    bersama, ke desa menanam pohon, memperbaiki irigasi, membina pengusaha kecil, dan

    seterusnya. Sebagai mantan Ketua Kerukunan Tani dan Nelayan, Prabowo tahu itu."

    Sekarang saya sudah tak berniat menjawab Romo Imam. Toh, dia sudah tahu cara menulis

    dan mengirimnya. Tak sangka, sejam kemudian masuk lagi pesannya. "Selamat untuk Jokowi

    dan Jusuf Kalla. Saya kira Jokowi akan pusing antara memilih menteri profesional dan

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    4/40

    menjaga suasana kebatinan para pimpinan partai koalisinya. Sekarang ini, siapa sih yang tak

    ingin jabatan? Biarkan Jokowi bekerja, mari kita dukung. Oya, SBY bagaimana? Katanya

    sering menulis di Twitter. Ajari dongRomo ngetuit."

    Saya kaget. Bukan soal Jokowi, tapi yang terakhir itu. Langsung saya jawab: "Romo jangan

    ikut-ikutan ngetuit, bikin pesan BBM saja kepanjangan.Ngetuititu terbatas kata-katanya.Salah menyingkat bisa muncul salah paham. Nanti Romo bisa dipanggil mas atau kamu,

    belum lagi ketemu kata-kata kasar, kanbanyak yang nama jadi-jadian. Risiko besar kalau

    ulama seperti Romo punya akun Twitter, nanti di-bully." Saya tak tahu apakah Romo Imam

    paham apa yang saya maksudkan.

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    5/40

    Merdeka 100 Persen

    Senin, 25 Agustus 2014

    Anton Kurnia, Esais dan Penulis Cerpen

    Bangsa yang merdeka, menurut Tan Malaka (1897-1949) dalam risalahnya, Merdeka 100%

    (1946), adalah bangsa yang sanggup mandiri secara mental, budaya, politik, pertahanan, dan

    ekonomi; tidak bergantung pada dan dikuasai oleh bangsa lain.

    Jika menimbang definisi di atas, apakah kita sebagai bangsa memang telah merdeka dan

    layak merayakannya dengan gegap-gempita? Begitu meriahnya perayaan itu, sehingga-menurut laporan FITRA, LSM yang kritis terhadap penggunaan APBN-rangkaian pesta

    peringatan hari ulang tahun kemerdekaan ke-69 Republik Indonesia di Istana Negara

    menghabiskan dana lebih dari Rp 11 miliar.

    Kalau kita menggunakan ukuran Tan Malaka, tak berlebihan jika kita nyatakan bahwa

    sesungguhnya saat ini kita belum merdeka 100 persen. Mengapa begitu? Walau mungkin

    secara mental kita sudah bisa melepaskan diri dari karakter pecundang bangsa terjajah dan

    inferiority complexyang menyertainya, di bidang politik dan pertahanan kita sudah bisa

    menyatakan diri berdaulat. Secara budaya, kita bahkan bisa berekspansi ke antero lain dan

    menyumbang secercah cahaya untuk dunia melalui karya seni dan sastra. Tapi, secara

    ekonomi, kita masih separuh bergantung pada kekuatan kapitalisme dan neokolonialisme

    asing. Itu terbukti dengan masih dikuasainya sumber daya alam dan cabang-cabang produksi

    yang menguasai hajat hidup orang banyak, seperti minyak bumi dan pertambangan, oleh

    pihak asing.

    Seorang kawan menceritakan kepada saya kisah tentang kaum Mardijkers. Konon, orang-

    orang "Portugis Hitam", yakni budak-budak dari Afrika (terutama Mozambique dan Angola),

    India (Goa), dan Malaka yang dibawa kaum kolonial Portugis ke Hindia Belanda pada abad

    ke-16, saat tentara dagang Portugis kalah perang dari VOC alias Belanda, diberi pilihan olehpenguasa kolonial Belanda di Batavia (kini Jakarta). Pilihan itu: tinggal dan diberi lahan di

    kawasan Kampung Tugu (kini masuk wilayah Kecamatan Koja, Jakarta Utara) sebagai orang

    merdeka tapi harus pindah agama menjadi Kristen Protestan seperti orang-orang Belanda,

    atau tetap memeluk Katolik seperti majikan mereka orang-orang Portugis tapi dibuang ke

    Nusa Tenggara sebagai budak.

    Sebagian dari mereka memilih yang pertama, dan menetap di Kampung Tugu hingga

    beranak-pinak dan menurunkan beberapa generasi yang kemudian dikenal sebagai orang-

    orang yang mempopulerkan musik keroncong. Mereka inilah yang disebut kaum Mardijkers,

    yakni "orang-orang yang dimerdekakan". Walau secara formal mereka dianggap merdeka,

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    6/40

    bukan lagi budak, pada hakikatnya kaum Mardijkers ini tidak merdeka, bahkan terjajah

    sampai mati secara mental dan spiritual. Sebab, mereka terpaksa harus berganti keyakinan

    demi mendapatkan label "merdeka".

    Kita tentu tak mau seperti kaum Mardijkers. Secara formal telah merdeka tapi sebagai syaratharus menukar "kemerdekaan" itu dengan menggadaikan kedaulatan ekonomi kita kepada

    pihak asing. Seperti termaktub dalam risalah Tan Malaka, hendaknya kita bisa merdeka 100

    persen demi mewujudkan cita-cita bersama menjamin kesejahteraan, keamanan, dan

    kedamaian bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika hal itu telah terwujud, barulah kita layak

    merayakan kemerdekaan kita sebagai bangsa secara gegap-gempita.

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    7/40

    Ingar-bingar Golkar

    Senin, 25 Agustus 2014

    Agung Baskoro,Analis Politik Poltracking

    Setelah lama berkutat dalam kontestasi pemilu presiden kemarin, dinamika internal Golkar

    kembali memanas dengan pertarungan elitenya menyoal munas apakah harus segera digelar

    pada Oktober 2014 (sesuai dengan AD/ART) atau tetap pada April 2015 (rekomendasi

    Munas 2009). Itulah sarana untuk memilih ketua umum maupun secara tersirat ingin terlibat

    dalam dinamika pemerintahan yang baru.

    Berbeda dengan PDIP maupun Demokrat, yang cukup dengan membaca pikiran Megawati

    atau SBY, dalam memahami Golkar publik harus masuk ke sebuah faksi dan pertarungannya

    dengan faksi-faksi lain. Dalam kajian ilmu politik, faksi merupakan salah satu alasan utama

    hadirnya partai, sehingga eksistensi dan dinamika faksi menjadi hal wajar. Kehadiran faksi

    mengemuka, terutama disebabkan oleh dua kondisi, yakni (1) pemilu presiden dan (2)

    pemilihan ketua umum partai.

    Pertama, jamak diketahui publik bahwa, jauh sebelum pemilu presiden (pilpres)

    terselenggara, Aburizal Bakrie (ARB) gagal meraih elektabilitas tertinggi setelah dalam

    banyak survei dikalahkan oleh Jokowi dan Prabowo. Sempat menjadi polemik, ARB

    kemudian berhasil untuk sementara waktu mengkondisikan partai, walaupun pada akhirnya ia

    gagal maju sebagai calon presiden, wakil presiden, menteri utama, dan memenangkan Golkar

    dalam pemilu legislatif. Problem ini sempat muncul kembali dan dapat teratasi dengan sikap

    Golkar yang masuk ke Koalisi Merah Putih untuk mendukung Prabowo-Hatta. Namun, lagi-

    lagi, ARB gagal untuk memenangkan pasangan nomor urut 1 ini.

    Kedua, keberlanjutan efek gagal dari fase sebelum, selama, dan sesudah pemilu ini berakibat

    sistemik bagi pengaruh ARB sebagai ketua umum, maupun kansnya untuk memberikan

    pengaruh besar bagi Golkar di fase berikutnya, baik pada munas maupun setelah munas nantidigelar.

    Faksionalisasi di tubuh Golkar menjadi santapan publik sejak sebelum pilpres sebagai clique

    faction. Dalam hal ini, ada tiga bentuk faksionalisasi di dalam partai (Belloni & Beller, 1978),

    yaitu clique faction, personalorclient-group faction, dan institutionalizedor organized

    faction.Clique factionadalah faksi yang tidak terkonsolidasi, sehingga sifatnya cenderung

    parsial dan temporal.

    Sementarapersonal or client-group factionadalah faksi yang terkonsolidasi dengan adanya

    tokoh sentral di dalamnya sehingga berdurasi lama sampai terjadi kompromi antarpemimpin

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    8/40

    faksi. Sedangkan institutionalized or organized factionadalah faksi di dalam partai politik

    yang sudah terlembagakan, sehingga eksistensi faksi berlaku dan diatur secara yuridis di

    dalam internal partai.

    Sebelum pilpres, sebenarnya Golkar dihadapkan dengan problem faksionalisme akut antaraARB, Jusuf Kalla (JK), dan Akbar Tandjung (AT). Faksionalisasi yang terbentuk menguat

    dilatarbelakangi oleh tidak terpenuhinya target strategis Golkar dalam pemilu kemarin. Bila

    ARB memegang otoritas struktural sebagai ketua umum dan memiliki pengaruh kuat di

    barisan DPD tingkat provinsi, JK yang pernah menjadi ketua umum masih dianggap

    berpengaruh secara kultural. Sedangkan AT, dengan kapasitas sebagai Ketua Dewan

    Pertimbangan Partai maupun "mahaguru", dihormati di DPD tingkat II serta kader-kader

    muda karena peran pentingnya membesarkan Golkar pascareformasi. Namun, setelah pileg

    tuntas dan AT tidak dilirik kubu Jokowi, ia merapat ke kubu ARB serta mendukung penuh

    pasangan Prabowo-Hatta.

    Selama dan sesudah pilpres, faksionalisasi yang ada dalam Partai Golkar berubah dari clique

    faction menjadipersonalatau client-group faction, karena kekuasaan faksi yang ada

    terkonsolidasi dengan adanya figur yang punya modalitas patron. Salah satu modalitas

    penting bagi seseorang untuk menjadi patron di dalam partai adalah jabatan eksekutif

    tertinggi di dalam partai. Artinya, modalitas struktural yang dimiliki ARB menjadi hal paling

    penting atau bagi siapa pun yang ingin mengendalikan faksi partai beserta massa elite yang

    ada di dalamnya.

    Dalam bahasa Jeffrey Winters (2011), ini bentuk oligarki sultanistik untuk menjelaskanIndonesia era Orde Baru, yang fenomenanya kini tersebar ke dalam kelembagaan partai.

    Dinamika faksi, yang awalnya berkah karena dapat memperkuat imunitas partai, bisa menjadi

    masalah bila tak diikuti kedewasaan berpolitik para elitenya. Pada tahapan berikutnya,

    pertarungan diametral ARB versus AL ini sebenarnya adalah kelanjutan dari dinamika faksi

    yang gagal terkelola pada pemilu kemarin antara ARB dan JK.

    Penting bagi keduanya, setelah putusan MK keluar, untuk kembali duduk bersama

    merumuskan arah Golkar ke depan. Apalagi mengingat Visi Indonesia 2045 milik Golkar

    perlu dikawal implementasinya mulai saat ini, agar siapa pun pemerintahan yang berkuasa

    dapat memastikan rakyat sejahtera, sebagaimana panen raya segera tiba saat padi mulai

    menguning.

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    9/40

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    10/40

    mampu menampung semua penumpang. Pada akhirnya, banyak warga kembali memilih

    kendaraan pribadi.

    Pak Ahok, pasti Anda mengenal atau setidaknya tahu Wali Kota Bogota Enrique Penalosa

    (1998-2001). Beliaulah yang menjadi pelopor Bus Rapid Transit, yang kemudian ditiruJakarta sebagai busway. Enrique tak hanya membangun fisik sistem transportasi Bogota. Ia

    perlahan juga membangun budaya warganya. "Sebuah kota yang maju bukanlah tempat orang

    miskin naik kendaraan pribadi, melainkan tempat orang kaya pun naik sarana transportasi

    umum."

    Saya yakin Pak Ahok sependapat dengan Enrique. Gaya Anda memimpin Jakarta sudah pas:

    tegas, tanpa pandang bulu, dan setengah gila. Saya harap Anda segera mewujudkan ribuan

    bus Transjakarta yang nyaman, sistem jalan berbayar electronic road pricing, dan penertiban

    parkir serta pedagang kaki lima jalan terus. Setelah terwujud, jangan lupa kapan-kapan main

    ke rumah saya, Pak. Siapa tahu kemacetan telah berkurang.

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    11/40

    Arsitektur Baru Regulasi

    Selasa, 26 Agustus 2014

    Fadel Muhammad, Ketua Asosiasi Sarjana dan Praktisi Administrasi

    Presiden periode 2014-2019 telah terpilih dan ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi.

    Sebelumnya, dengan jelas kita dapat melihat visi, misi, dan program kerja calon presiden

    yang baru tersebut. Kemudian Lembaga Administrasi Negara (LAN) menawarkan arsitektur

    kabinet baru. Sementara itu, kita belum mendapat gambaran apa yang akan dilakukan oleh

    DPR sebagai lembaga legislatif lewat anggota atau lewat partai politik, khususnya yang

    menyangkut regulasi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

    Sejak Reformasi, peranan lembaga legislatif dan lembaga negara lainnya dalam sistem

    ketatanegaraan Indonesia meningkat. Namun setelah Reformasi berjalan 16 tahun, peranan

    lembaga legislatif (DPR) belum maksimal dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat.

    Meskipun produk domestik bruto (PDB) nasional Indonesia termasuk 20 besar negara di

    dunia, PDB per kapita masih sekitar US$ 4.000. Masih jauh di bawah Malaysia, apalagi

    Singapura. Indeks ini bahkan meningkat dari 0,33 pada 2001 menjadi 0,41 pada 2012.

    Industri dalam negeri khususnya pangan masih belum cukup kuat. Indonesia masih

    bergantung pada impor.

    Kinerja DPR di bidang legislasi belum memuaskan, ukurannya adalah tidak tercapainya

    target program legislasi nasional (prolegnas). Terdapat pertentangan antar-undang-undang,

    bahkan dengan Undang-Undang Dasar. Akibatnya, banyak UU yang digugat ke Mahkamah

    Konstitusi. Di samping itu, masih terdapat peraturan-perundang-undangan yang perlu

    dievaluasi kembali agar tidak terjadi peraturan berlebihan yang merugikan rakyat ( red tape).

    Itu sebabnya kita perlu menerapkan sebuah paradigma baru dalam penyusunan regulasi yang

    disebut better regulation.

    Di negara demokrasi dunia, kini dikenal sebuah konsep baru, yaitu better regulation, sebagaipengganti pendekatan deregulation yang sangat liberal, yaitu memberi kebebasan kepada

    pasar dan masyarakat untuk mengatur diri sendiri. Namun hasilnya banyak merugikan yang

    lemah dan terpinggirkan. Pendekatan baru yang disebut sebagai better regulationitu dinilai

    lebih proporsional dengan memberi peranan kepada negara untuk melakukan intervensi

    secara terbatas dan terukur.

    Lewat beberapa tulisan karya Robert Baldwin (2004), Toward Better Regulation(Australian

    Institute of Company Directos - 2013),Better Regulation Frame Work Manual(Department

    for Business Innovation and Skills -2013 ), dan lainnya, dapat diringkas beberapa prinsip

    penting soal better regulationini. (1) Proporsional, regulator melakukan intervensi bila

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    12/40

    diperlukan, secara terukur dan terbatas; (2) akuntabel; (3) konsisten, peraturan dan

    pelaksanaannya; (4) transparan; (5) targeting, jelas target yang ingin dicapai. Berbagai negara

    melakukan modifikasi atas prinsip yang dasarnya sama.

    Gerakan better regulationdi dunia dimulai sekitar tahun 2000-an. Di Inggris dimulai pada1997, sebagai pengganti pendekatan deregulationyang digunakan dalam kurun 1985-1997.

    Deregulasi seolah-olah mengatakan bahwa regulasi tidak dibutuhkan, padahal regulasi yang

    baik dibutuhkan oleh negara.Better regulationmenghapuskan berbagai macam peraturan

    yang berlebihan (red tape). Regulasi dibuat bilaself regulationtidak dapat menghasilkan

    sesuatu yang lebih baik. Itu sebabnya better regulationharus dijalankan secara proporsional,

    akuntabel, konsisten, transparan, dan jelas targetnya.

    Dengan demikian, DPR masa bakti 2014-2019 perlu menerapkan paradigma baru legislasi

    yang disebut sebagai better regulation. Sebuah regulasi yang lebih baik berdasarkan

    Pancasila dan UUD 1945. Untuk menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera,

    adil, dan makmur, DPR dan pemerintah perlu melakukan evaluasi mendalam dan terperinci

    soal regulasi yang telah dibuat dan yang belum dibuat, khususnya yang berhubungan dengan

    kesejahteraan rakyat, yang berhubungan dengan pemenuhan hak sipil, hak politik, hak sosial,

    hak budaya, dan hak ekonomi warga negara. Membuang yang tidak perlu, kemudian

    membuat regulasi yang lebih baik dan sesuai dengan konstitusi serta perkembangan zaman.

    Regulasi tersebut disusun berdasarkan prinsip kebebasan, keadilan, dan solidaritas, yang

    memberi kebebasan sekaligus memberi peran negara dalam melakukan intervensi secara

    terbatas, khususnya untuk hal-hal yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak danmembantu yang lemah.

    Sebagai prioritas, tampaknya peraturan perundang-undangan yang perlu mendapat perhatian

    adalah hal-hal yang berhubungan dengan kesejahteraan rakyat sebagaimana termaktub dalam

    UUD Pasal 27, 28, 29 yang menyangkut hak sipil dan politik. Kemudian Pasal 31, 32, 33, 34

    yang menyangkut jaminan terhadap hak sosial, ekonomi, dan budaya.

    Evaluasi menyeluruh dan penyusunan regulasi yang baik sesuai dengan Pancasila dan UUD

    berdasarkan pendekatan better regulationbelum pernah dilakukan di Indonesia. Kini saatnya

    DPR baru memberikan warna sejarah untuk kesejahteraan rakyat.

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    13/40

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    14/40

    anak-anak mereka. Beberapa teman saya, ada yang dengan sangat ketat membatasi anak-anak

    mereka menonton televisi, bahkan ada yang lebih ekstrem dengan tidak lagi memiliki televisi

    di rumahnya. Bagi mereka, hidup tanpa televisi sangat menyenangkan dan menyehatkan.

    Saya pun sekarang sudah mengikuti jejak teman saya tersebut, sejak setahun terakhir, saya

    tidak lagi menaruh televisi di ruang tamu, tapi saya pindahkan ke kamar tidur. Menghindaritamu betah berlama-lama berkunjung, karena pas datang bertamu televisi menayangkan

    sinetron favorit mereka, he-he-he.

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    15/40

    Sosialisasi

    Selasa, 26 Agustus 2014

    Ignatius Haryanto, Peneliti di LSPP Jakarta

    Kata "sosialisasi" memang sering diucapkan oleh banyak pejabat pemerintah, namun kerap

    kali ia terlupakan atau terlewatkan sebelum dilaksanakan. Misalnya, saat perhatian sebagian

    masyarakat Indonesia sedang terfokus pada mudik dan kembali ke Jakarta, tanpa sosialisasi

    tiba-tiba BPH Migas melakukan "kebijakan pengendalian BBM" pada awal Agustus lalu.

    Diakui atau tidak, pemerintah yang terlampau banyak memusatkan perhatian pada dirinya(self centered) memang suka menyepelekan sosialisasi. Padahal, bagaimanapun juga,

    masyarakat membutuhkan waktu dan persiapan yang cukup untuk memahami, kemudian

    menyesuaikan diri pada kebijakan baru tersebut.

    Sebenarnya, kebijakan yang baik akan melibatkan partisipasi banyak pihak terkait. Jika ada

    ruang partisipasi, kita bisa mengantisipasi kerumitan ataupun dampak kebijakan baru

    tersebut. Baru setelah semua hal dihitung dan kemudian diputuskan dimulailah tahap untuk

    mengumumkan hal ini kepada publik, seraya memberi ruang-waktu yang cukup bagi

    masyarakat untuk melakukan transisi menuju kebijakan baru.

    Sayang sekali, yang sering terjadi, pemerintah merasa sudah mensosialisasi jika

    menempelkan sepotong kertas A4 di depan kaca ruang instansi tersebut, atau mengumumkan

    via rilis atau bicara kepada media massa. Tentu saja dua cara ini keliru dan sangat tidak

    memadai untuk mengantisipasi perubahan yang dihasilkan kebijakan baru tersebut.

    Lihat saja yang dilakukan pemerintah Singapura ketika memperkenalkan kebijakan baru.

    Singapura membutuhkan beberapa bulan untuk memperkenalkan kebijakan baru penggunaan

    kartu elektronik dalam sistem transportasi mereka pada awal 2000-an. Ada iklan layanan

    masyarakat di televisi, keterangan pemerintah di surat kabar dan pemberitaan televisi, sertaada beberapa cara lain yang digunakan untuk mensosialisasi kebijakan baru tersebut. Selain

    itu, di berbagai stasiun dan terminal, ada poster yang menjelaskan detail perubahan kebijakan

    tersebut. Dengan sejumlah cara tadi, konsumen pun terpapar oleh informasi yang memadai

    untuk perubahan kebijakan baru itu.

    Biasanya, jika suatu kebijakan baru diterapkan, lalu masyarakat memprotes, barulah

    pemerintah menaruh perhatian serius terhadap kebijakan yang disorot tersebut. Atau

    pemerintah menunggu hingga protes mereda, dan kembali "memaksakan" kebijakannya.

    Sungguh bukan contoh kerja yang baik dan efisien.

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    16/40

    Masyarakat Indonesia berharap pemerintah baru nanti akan memberi perhatian yang lebih

    besar dalam urusan sosialisasi kebijakan-kebijakan baru. Soal metode sosialisasi, silakan

    dipikirkan pemerintah mendatang, entah lewat blusukanataupun cara-cara lainnya. Yang

    penting masyarakat menjadi tahu duduk perkaranya, mengetahui perubahan kebijakan, dan

    mengetahui manfaat apa dari perubahan kebijakan tadi. Tanpa itu, masyarakat tak akan patuhpada program-program pemerintah yang ada.

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    17/40

    Bendera Hitam

    Rabu, 27 Agustus 2014

    Idrus F. Shahab, Wartawan Tempo

    Hari itu, suatu Minggu pagi di bulan Zulkaidah ini, Wak Lihun membuktikan dirinya sebagai

    perkusionis hebat. Di kawasan Condet yang masih diselang-selingi deretan pohon pisang,

    sawo, dan duku, Wak Lihun dan kawan-kawan berjalan sepanjang 30 meter sambil menari,

    menepuk marwas, mengantar mempelai pria muda ke rumah keluarga calon istrinya. Wak

    Lihun beserta delapan rekannya yang mengenakan seragam sarung langsung terjun ke lokasi

    ngarak. Mengarak pengantin, maksudnya.

    Hari masih pagi, tapi matahari musim kemarau sudah membuat tubuh berkeringat dan kening

    berkerut tegang. Tapi, begitu Syarrul-leil dinyanyikan bareng-bareng, marawis ditepuk

    bergantian, suasana seketika menjadi riuh-rendah. Syarrul-leil mencairkan suasana, apalagi

    bila sinkopasi--tepukan jatuh di antara dua ketukan yang rumit dan gampang bikin orang

    terpeleset itu--mulai muncul.

    Wak Lihun yang memegang hajir,gendang besar, itu kelihatan bermain dengan semangat 45.

    Wak Lihun memasuki usia uzur, dengan rambutnya yang memutih perak itu, tersenyum

    lebar, seolah-olah ingin memperlihatkan gigi di gusi kiri dan kanannya yang tanggal, seraya

    bergoyang dan berputar-putar. Menggendong dan memukul gendang besarnya di tengah

    rekan-rekan juniornya, Wak Lihun tak ubahnya seperti matahari yang dikelilingi planet-

    planet yang bergerak mengikuti garis orbitnya.

    Wak Lihun, wajahnya secerah pagi itu. Baru kali ini ia terlepas dari batu besar yang selama

    ini mengimpit dadanya yang kerempeng. Seminggu ini, pikirannya melayang-layang dari

    masa lalu yang menenteramkan ke masa kini yang menggelisahkan, dan sebaliknya. Melihat

    tayangan pasukan berbendera hitam ISIS dengan kalimatsyahadat di sisi atasnya serta

    sebuah lingkaran putih di tengah-tengahnya di layar televisi, ia teringat cerita Ustad Romliyang mengajarnya mengaji di langgar dekat rumahnya dulu.

    Setelah memproklamasikan kekhalifahan di sebagian wilayah Suriah dan Irak, kelompok

    Islamic State of Iraq and al-Sham itu memang cepat sekali menjadi "musuh bersama" bagi

    kalangan main stream, sekaligus menjadisolidarity makerdi antara kelompok garis keras.

    Namun hati Wak Lihun tidak bisa dibohongi, ada sesuatu yang ikut hanyut dalam dirinya,

    mungkin sebuah mimpi yang tak mudah padam, ketika kekhalifahan itu ditahbiskan.

    Ia langsung teringat cerita Ustad Romli tentang khalifahUmar bin Abdul Aziz yang berhati-

    hati membedakan urusan pribadi dan pemerintahan.Khalifahmeniup mati lentera, manakala

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    18/40

    salah seorang anaknya mengajaknya berbicara soal pribadi. Urusan pribadi tak boleh dibiayai

    dengan ongkos negara. Ada juga cerita tentang khalifahUmar bin Khattab yang merasa

    bersalah mendengar sebuah keluarga yang kelaparan pada masa pemerintahannya. Sebagai

    hukuman, ia menaruh sekarung gandum pada punggungnya, dan berjalan kaki ia

    mengantarkan sendiri kepada keluarga yang malang itu.

    Wak Lihun menunggu cerita serupa dari khalifah ISIS Abu Bakar al-Baghdadi. Namun, yang

    muncul adalah cerita gerakan profetik bak Taliban yang hendak memberantas berhala dengan

    patung Buddha terbesar di Bamyan. Juga--ini terjadi pada ekstrem sebaliknya--cerita seperti

    Khmer Merah di Kamboja yang menghalalkan pembantaian warganya untuk membangun

    masyarakat baru tanpa kelas. Wak Lihun bingung.

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    19/40

    Politik Angkatan 45

    Rabu, 27 Agustus 2014

    Muhidin M. Dahlan, Kerani, @warungarsip

    Secara jujur, Ketua Lembaga Sastra Indonesia (Lestra/Lekra) Bakri Siregar (1980: 39)

    mengakui bahwa penemu label "Angkatan 45" adalah Rosihan Anwar. Label yang ditemukan

    jurnalisPedomanpada Januari 1948 itu merujuk pada seniman-sastrawan yang terhimpun

    dalam "Gelanggang", yang didirikan pada 19 November 1946 atas usaha penyair Chairil

    Anwar. Sebagai manifesto, ditunjuklah "Surat Kepercayaan Gelanggang".

    Angkatan 45, yang bermula dari angkatan sastra, kita tahu kemudian menjadi sebutan untuk

    figur-figur yang meletakkan dasar bagi semangat Revolusi 1945. Yang dimaksudkan pejuang

    kemerdekaan dalam pengertian kamus adalah serdadu non-laskar rakyat yang dalam banyak

    hal diorganisasi oleh kalangan komunis.

    Alih-alih label Angkatan 45 berusaha menyatukan seluruh kekuatan revolusioner yang ada di

    kalangan seniman/sastrawan dan serdadu rakyat, justru label ini dijadikan politik untuk

    membersihkan Revolusi Agustus dari seluruh unsur yang terkait dengan komunisme.

    Hans Bague Jassin, misalnya. Mula-mula ia memberikan lampu hijau bagi beberapa

    sastrawan Lekra masuk dalam barisan Angkatan 45 lewat penerbitan prosa dan puisi Gema

    Tanah Air. Namun pada cetakan Gema Tanah Air1976, di era ketika militer-non-laskar

    rakyat berkuasa penuh, nama-nama golongan Lekra-PKI itu dimumikan.

    Politik Angkatan 45 bukan hanya membersihkan sastra/seniman dari komunisme, tapi juga

    mengubur vitalitas laskar rakyat dalam meneguhkan fondasi Revolusi Agustus. Nama

    pemimpin dan jejak darah anggota-anggota laskar rakyat dihapus dari Pertempuran Besar 10

    November dan seluruh rute perang gerilya hingga era Clash II.

    Puncak penistaan laskar rakyat adalah "Pemberontakan Madiun" pada 1948. Ini bukan hanya

    peristiwa yang menjadi dalih bagi penguburan komunisme dalam kronik Revolusi 45, tapi

    juga penumpasan seluruh memori negara-bangsa bahwa ada unsur komunisme dalam vitalitet

    Revolusi Agustus kita.

    Memang, ada usaha sastrawan Lekra ataupun PKI untuk merebut memori yang

    (di)hilang(kan) dengan cara merevisi label "Angkatan 45" bukan sebagai golongan,

    melainkan sebuah semangat kepeloporan terhadap nilai revolusioner. Dan secara politik label

    "Angkatan 45" bergeser menjadi "Revolusi Agustus".

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    20/40

    Usaha ini membawa hasil yang gemilang. Komunisme masuk kembali dalam trek sejarah.

    Periode 1950-1965 menjadi babak fantastis bagi golongan revolusioner untuk menunjukkan

    bahwa semangat "Revolusi Agustus" belum selesai.

    Membaca arah dan gelagat angin seperti ini, sastrawan macam H.B. Jassin dan serdadu anti-komunis seperti Abdul Haris Nasution mengendurkan sedikit suaranya lantaran Sukarno

    memberi kembali tempat terhormat pada komunisme.

    Subuh 1 Oktober 1965, prahara datang dan memporak-porandakan komunisme. Bukan hanya

    komunisme, Sukarno pun tak menduga sama sekali bahwa angin barat ini turut

    menjungkalkan sosoknya dan warisan pemikirannya.

    Setelah prahara mereda, musim baru pun dimulai. Revolusi Agustus 1945 yang diberi label

    "Angkatan 45" kemudian kita tahu suci dari komunisme dan marhaenisme, baik dalam

    pikiran maupun tindakan.

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    21/40

    Semangat Kementerian Pemuda dan OlahRaga

    Rabu, 27 Agustus 2014

    Eddi Elison, Praktisi Olahraga Nasional

    Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) bersama staf sedang sibuk membahas dan

    mempersiapkan pembentukan kabinet, menyangkut tokoh calon menteri ataupun struktur

    kementerian, sebagaimana lazimnya setiap kementerian sudah punya program.

    Khusus bidang olahraga, kita merasa perlu mengemukakan pernyataan Presiden Sukarno saat

    meresmikan kontingen Indonesia untuk Asian Games IV di Bandung dengan ucapan: "Saya

    mau prestasi olahraga Indonesia 10 besar dunia!" Ucapan itu kemudian diimplementasikan

    dalam Rencana 10 Tahun Olahraga melalui sebuah surat keputusan.

    Masalah struktur, kita membatasi diri untuk menelaah Kementerian Pemuda dan Olahraga,

    kementerian yang terkesan berfungsi sebagai "pelengkap penderita" dibanding kementerian

    lainnya. Padahal, di era Sukarno (1945-1966), olahraga menempati posisi prioritas dalam

    konteks nation and character building, dalam napas gerakan kebangsaan yang amat kental

    memperlaju proses pengukuhan eksistensi sebuah negara kebangsaan (nation state).

    Bagi kabinet Jokowi mendatang, membangkitkan jiwa, spirit, dan nilai-nilai Trilogi

    Keolahragaan Nasional (Trilogi Ornas) adalah prioritas. Sebabnya, hal itu seiring sejalan

    dengan program Trisakti yang merupakan dasar materi kampanye Jokowi/JK. Trilogi Ornas

    adalah kompilasi historis kemantapan keolahragaan nasional, yakni PON I di Solo 1948

    sebagai PON Perjuangan yang membuktikan eksistensi RI yang masih tegak dan berdaulat--

    meskipun ditekan Belanda melalui Agresi Militer I, bahkan ibu kota negara terpaksa hijrah di

    Yogyakarta.

    Asian Games IV di Jakarta pada 1962 merupakan gebyar kemampuan Indonesia di benua

    Asia, dengan menunjukkan diri mampu membangun fasilitas olahraga terbesar di dunia

    (1962-1966)--Gelanggang Olahraga Bung Karno (GBK)--dan mampu melaksanakan multi-

    events, walaupun harus berhadapan dengan tekanan keras dari Asian Games Federation

    (AGF) dan IOC (International Olympic Committee). Indonesia menolak kehadiran Israel dan

    Taiwan yang saat itu tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia, sebagai

    konsekuensi politik luar negeri yang bebas dan aktif.

    Trilogi ketiga adalah Ganefo I di Jakarta 1963, yang merupakan jawaban dan tantangan

    kepada seluruh dunia atas "penghinaan" IOC yang menskors keanggotaan Indonesia. Selain

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    22/40

    itu, dalam rangka membangkitkan spirit Gerakan Non-Blok menentang dominasi Blok Barat

    di bidang olahraga.

    Jiwa, spirit, dan nilai-nilai Trilogi Ornas, sejak Orde Baru sampai saat ini, telah sirna akibat

    tererosi oleh politik transaksional dan pragmatis. Erosi terindikasi di era Orba melaluisemboyan "memasyarakatkan olahraga, mengolahragakan masyarakat", selanjutnya di era

    Reformasi "teramputasi" oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 yang beberapa pasalnya

    "simpang-siur", termasuk rohnya bertentangan dengan semangat dan ketentuan Olympic

    Charter, ayat 4; "The practice of sport is human right" (melakukan kegiatan olahraga adalah

    hak setiap manusia), sehingga prestasi olahraga Indonesia di peta dunia menjadi terbata-bata.

    Bayangkan, jika dalam Asian Games IV 1962 Indonesia dapat menduduki posisi kedua,

    setelah Jepang, pada perhelatan berikutnya dan terakhir (Asian Games XVI di Guangzhou),

    Indonesia hanya mampu menduduki posisi ke-15. Bahkan setelah 56 tahun kemudian, baru

    Indonesia mampu menjadi tuan rumah lagi, itu pun setelah Vietnam menarik diri untuk Asian

    Games 2018. Dalam pesta olahraga Asia Tenggara (SEA Games), Indonesia pada akhirnya

    hanya mampu tampil sebagai juara umum, bahkan pada SEA Games di Myanmar 2013,

    kontingen Garuda hanya berkutat di peringkat keempat.

    Saat Ganefo 1963, yang diikuti 51 negara, skuad Merah Putih mampu berada di posisi ketiga

    setelah RRT dan Uni Soviet. Setelah Ganefo "dibekukan" oleh kemasifan kondisi

    perpolitikan internasional, kemudian Indonesia kembali menjadi anggota IOC. Sebagai

    anggota IOC, Indonesia berpartisipasi dalam Olympic Games. Yang terakhir, dalam

    Olimpiade London 2012, kontingen Indonesia berada di tangga ke-26, masih sebagai "anakbawang". Belum lagi jika dikaitkan dengan prestasi internasional cabang-cabang olahraga,

    seperti sepak bola, peringkat Indonesia berada di bawah Thailand, Vietnam, Malaysia, dan

    Singapura. Di cabang bulu tangkis, khususnya Piala Thomas dan Uber, pemain bulu tangkis

    Indonesia tak mampu lagi merebut gelar.

    Jika mengacu pada jiwa, spirit, dan nilai Trilogi Ornas, jelas Kementerian Pemuda dan

    Olahraga harus melepas urusan kepemudaan ke kementerian lain, mengingat selama ini

    korelasi masalah kepemudaan dengan olahraga prestasi tidak sinkron karena kepemudaan

    orientasinya ke politik. Kembalikan seperti yang dilakukan Bung Karno; Kementerian

    Olahraga dengan Menteri Maladi, yang tidak mencampur kepemudaan dengan olahraga.

    Dengan demikian, Kementerian Olahraga akan lebih bebas memantapkan programnya dan

    anggarannya pun sendiri.

    Dengan menu baru, disesuaikan dengan kondisi saat ini, kita yakin prestasi olahraga

    Indonesia dapat ditingkatkan. Jokowi tidak perlu alergi terhadap masa lalu.

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    23/40

    BBM dan Kemiskinan

    Kamis, 28 Agustus 2014

    Kadir, Bekerja di Badan Pusat Statistik

    Di tengah membubungnya harapan terhadap pemerintahan mendatang, duet Jokowi-JK

    tampaknya bakal dihadapkan pada tantangan yang tak mudah di masa awal periode

    pemerintahan mereka. Salah satunya, soal seretnya ruang fiskal pada Anggaran Pendapatan

    dan Belanja Negara (APBN) 2015 akibat tekanan subsidi BBM.

    Konsekuensinya, ambisi menggenjot pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen akan sulitdiwujudkan. Begitu pula dengan program-program unggulan yang telah dijanjikan saat

    kampanye, kemungkinan besar tak sepenuhnya bisa direalisasi pada 2015.

    Seperti diketahui, APBN 2015 didasari asumsi bahwa harga BBM tidak mengalami

    penyesuaian. Akibatnya, subsidi BBM, yang pada tahun ini telah mencapai Rp 246,5 triliun,

    bakal melonjak hingga Rp 291,1 triliun pada 2015. Pendek kata, mau tidak mau, kenaikan

    harga BBM menjadi pilihan yang harus diambil oleh pemerintah Jokowi-JK.

    Repotnya, kebijakan menaikkan harga BBM amat tidak populer dan kerap menuai penolakan

    dari banyak kalangan. Pasalnya, kebijakan ini dipandang bakal menyengsarakan wong cilik,

    terutama kelompok warga miskin.

    Pengalaman menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM selalu memicu inflasi. Faktanya,

    dampak inflasi tersebut lebih dirasakan oleh wong cilikdalam bentuk penurunan daya beli.

    Soalnya, kenaikan harga BBM selalu berujung pada kenaikan harga komoditas lainnya,

    terutama bahan makanan, yang proses produksi dan rantai distribusinya menggunakan BBM.

    Padahal, 60-70 persen pengeluaran untuk penduduk miskin dan hampir miskin dialokasikan

    untuk kebutuhan makanan.

    Pada 2005, misalnya, kenaikan harga BBM terjadi dua kali, antara lain pada 1 Maret dan 1

    Oktober, telah memacu inflasi tahunan hingga mencapai 17,11 persen. Akibatnya, 4,2 juta

    orang jatuh miskin sepanjang Februari 2005-Maret 2006. Menurut Bank Dunia,

    memburuknya kondisi kemiskinan kala itu lebih disebabkan oleh lonjakan harga beras

    (Making The New Indonesia Work For The Poor, 2006). Diketahui, 20-25 persen

    pengeluaran bagi penduduk miskin dan hampir miskin dialokasikan untuk beras. Pengalaman

    serupa juga terjadi pada 2013. Kenaikan harga BBM pada akhir Juni mengerek inflasi pada

    Juli 2013, sehingga mencapai 3,29 persen. Akibatnya, 0,48 juta orang terjerembap ke jurang

    kemiskinan sepanjang Maret-September 2013.

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    24/40

    Meski demikian, Jokowi-JK tak boleh ragu untuk menaikkan harga (baca: menghapus

    subsidi) BBM. Sebab, dengan mekanisme pemberian kompensasi yang tepat sasaran dan

    pengendalian inflasi (kelompok bahan makanan) yang efektif, dampak kenaikan harga BBM

    terhadap kemiskinan bisa ditekan.

    Selain itu, dalam jangka panjang, penghapusan subsidi BBM sejatinya bakal berdampak

    penurunan angka kemiskinan. Dengan demikian, ada ruang untuk menggenjot pertumbuhan

    ekonomi. Selain itu, anggaran yang dialokasikan untuk program-program anti-kemiskinan

    dapat ditingkatkan. Banyak bukti memperlihatkan bahwa pertumbuhan ekonomi, yang

    dibarengi dengan pemerataan, merupakan resep terbaik untuk menyelesaikan ihwal

    kemiskinan.

    Sebaliknya, dalam jangka panjang, subsidi BBM justru bakal menghambat berbagai program

    anti-kemiskinan akibat keterbatasan anggaran. Ditengarai, selama ini, subsidi BBM juga telah

    berkontribusi terhadap kesenjangan ekonomi yang kian melebar. Pasalnya, 60-70 persen dari

    subsidi BBM, yang menyedot 20 persen anggaran negara, justru dinikmati golongan

    mampu.*

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    25/40

    Pembelajaran dan Internet

    Kamis, 28 Agustus 2014

    J. Sumardianta, Guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta

    Revolusi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) mengubah banyak hal. Ada tiga

    pergeseran yang digerakkan TIK: perubahan dari eksklusif menjadi inklusif, pergeseran dari

    vertikal ke horizontal, dan transformasi individual ke sosial.

    TIK, pada tataran pendidikan praktis, mendobrak pembelajaran. Dari individual menjadi

    kolaboratif; dari pasif menjadi pembelajaran berpikir aktif; dari guru monolog menjadi muridinteraktif. Model relasi kuasa guru-murid tidak relevan lagi. Dinding penyekat sosial telah

    dirubuhkan Internet. Sekolah harus semakin transparan dan inklusif.

    Saya punya murid hebat di kelas XI SMA jurusan IPA bernama Wahyu. Saat Wahyu duduk

    di bangku kelas X, saya mengajar Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di tujuh kelas paralel.

    Mengajar PKn itu gampang-gampang susah. Gampang bila kegiatan belajar mengajarnya

    inspiratif, susah bila materi yang diajarkan membuat murid bosan.

    Pada semester ganjil, saya hendak mengajarkan kompetensi dasar (KD). "Menunjukkan

    semangat kebangsaan, nasionalisme, dan patriotisme dalam kehidupan bermasyarakat,

    berbangsa, dan bernegara". Kalimat KD ini saja sudah abstrak. Bila diajarkan apa adanya,

    bakal tidak jelas hasilnya. Kelas bisa menjemukan. Murid terjebak dalam cara berpikir

    tingkat rendah, yakni menghafalkan materi ajar.

    Saya menugasi semua murid membuat video testimoni tentang heroisme kedua orang tua

    mereka dalam mendidik anak-anak. Diskusi dalam tujuh kelas paralel menyepakati bahwa

    pahlawan para murid yang sesungguhnya, ya, orang tua mereka. Sukarno, Hatta, dan Tan

    Malaka memang patriot. Tapi itu bakal menjadi pengetahuan dangkal nasionalisme bila

    pengajaran terjebak pada materialisme kurikulum.

    Tugas membuat video dikerjakan secara kelompok. Siswa yang memiliki peranti digital

    lengkap membantu siswa yang berperangkat terbatas. Testimoni direkam sendiri-sendiri. Bila

    tinggal bersama kedua orang tua, saat testimoni direkam, kedua orang tua berada di sisi

    kanan-kiri murid. Bila orang tua tinggal di luar kota, pernyataan orang tua direkam lewat

    pembicaraan telepon. Hasil testimoni kemudian diedit bersama dalam kelompok.

    Saya merasakan betul dahsyatnya kekuatan sinergis dalam kerja kelompok. Murid, dalam

    collaborative learning, belajar menyatukan kekuatan. Bukan berkompetisi saling

    melemahkan sebagaimana umum diperagakan dalam pembelajaran konvensional-individual.

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    26/40

    Testimoni Wahyu menggetarkan. Wahyu, saat unjuk kerja video buatannya, menangis

    tersedu-sedan. Teman sekelas menyoraki dia. Saya hardik mereka untuk berhenti

    menertawakan Wahyu. Apa salahnya seorang murid menangis saat pelajaran PKn? Saya

    memperbolehkan murid melepaskan ketegangan emosional yang telah lama mengendap dialam bawah sadar mereka.

    Dalam tayangan testimoni, Wahyu hanya bersama ibunya. Ayahnya meninggal karena sakit

    jantung saat Wahyu masih berusia balita. Ibunya pontang-panting sendirian membesarkan

    sang anak semata wayang. Wahyu tidak tega ibunya terus-terusan berpindah rumah

    kontrakan.

    Di mana hati diletakkan, di situ proses pembelajaran dimulai. Pembelajaran PKn menyentuh

    hati Wahyu. Anak ini telah mendapatkan valuedari kerja kelompok menyusun video. Saya

    langsung membidik tujuan hidupnya. Saya bilang ke Wahyu: wujudkanlah impian besarmu!

    Inilah model pendidikan kontekstual pada zaman Internet. *

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    27/40

    Arah (Lembaga) Kebudayaan Kita

    Kamis, 28 Agustus 2014

    Sugih Biantoro, Peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Kementerian

    Pendidikan dan Kebudayaan

    Setelah melewati pembelajaran demokrasi pada pemilu 2014, pasangan Jokowi-JK akhirnya

    terpilih menjadi pemegang tongkat estafet kepemimpinan Presiden SBY. Salah satu yang

    menjadi sorotan penulis adalah opsi tim transisi menyangkut usul tentang kementerian

    tambahan. Kementerian Pendidikan akan dipisah menjadi dua: Kementerian Pendidikan

    Dasar dan Menengah serta Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset Teknologi.

    Opsi tersebut menjelaskan bahwa Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah akan

    mengurusi pembangunan karakter, budi pekerti, nilai, norma, dan budaya bangsa. Kita bisa

    melihat sebetulnya ada distorsi kebudayaan di sana. Karakter dan nilai memang penting, tapi

    Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah akan membuat kita tahu akan ke mana arah

    kebudayaan ditempatkan. Kebudayaan akan selalu diarahkan sebagai bahan perumusan

    berbagai instrumen pendidikan.

    Sayangnya, pemerintah belum banyak melirik pendidikan yang bersifat informal, yang penuh

    dengan muatan budaya. Presiden terpilih pun, sampai tulisan ini dibuat, belum menanggapi

    opsi yang ditawarkan deputi rumah transisi. Bisa saja usul itu ditolak atau diterima. Namun di

    sinilah kiranya "pengawalan" terhadap penempatan kebudayaan dalam struktur kelembagaan

    perlu dilakukan.

    Apakah kebudayaan baik-baik saja di negeri ini? Kongres Kebudayaan yang terus berjalan

    hingga saat ini tampaknya dapat menjawab pertanyaan tersebut. Kebudayaan di Indonesia

    memerlukan arah yang jelas. Namun hal itu sulit tercapai apabila produk hukumnya saja

    sampai sekarang belum ada. Saat ini, Rancangan Undang-Undang (RUU) Kebudayaan

    sedang dalam proses-mungkin revisi substansi atau teknis-untuk segara ditindaklanjutimenjadi undang-undang. Sekian lama proses itu berlangsung, hasilnya tak kunjung ada. Saat

    ini, kita memang sudah memiliki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar

    Budaya, tapi aturan tersebut hanya mengurusi kebudayaan benda ( tangible heritage) dan

    belum menyentuh aspek-aspek non-benda (intangible heritage).

    Perhatian terhadap kebudayaan benda memang lebih melekat dalam kebijakan hukum

    pemerintah selama ini. Dapat saja itu terjadi karena kita tidak cukup kreatif untuk mengubah

    secara total aturan kolonial Belanda bernama Monumenten Ordonantie 1934, yang mengatur

    soal peninggalan-peninggalan budaya (monumen), sehingga kita hanya bisa"mengindonesiakan" aturan kolonial tersebut tanpa banyak mengubahnya, sehingga

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    28/40

    kemudian dihasilkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

    Kita bisa bayangkan, kurang-lebih 58 tahun kita masih berpatokan pada aturan kolonial. UU

    Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya merupakan perbaikan dari kekurangan-

    kekurangan yang terdapat pada UU Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.Memang, ada sejumlah perbaikan substansial, tapi tetap saja masih berfokus pada

    kebudayaan benda.

    Bukan berarti tangible heritagetidak dianggap penting. Presiden SBY, dalam beberapa

    kesempatan, mampu menempatkan situs-situs sejarah dan purbakala sebagai warisan yang

    penting bagi bangsa Indonesia. Itu dapat terlihat dalam kunjungannya ke kawasan cagar

    budaya Trowulan atau situs Gunung Padang. Bukan hanya kebanggaan atas kemegahan situs-

    situs tersebut, nilai sejarah peradaban juga penting guna membentuk identitas bangsa ini

    sehingga mampu melepaskan diri dari ikatan yang berbau kolonial. Konstruksi peninggalan

    sejarah dan purbakala seperti itu juga pernah dilakukan pada zaman Orde Lama dan Orde

    Baru. Artinya, urgensi kebudayaan perlu memperhatikan wujudnya, baik dalam bentuk

    tangible maupun intangible.

    Definisi kebudayaan yang luas tentu tidak dapat digeneralisasi. Namun memaknai

    kebudayaan dengan tidak mengkotak-kotakkan antara yang satu dengan yang lainnya tentu

    diperlukan untuk menentukan arah pengembangan ke depan, misalnya dalam lingkup

    kelembagaan.

    Sudah saatnya Jokowi dan jajaran pemerintahnya mampu memayungi dua wujud kebudayaantersebut secara beriringan. Ini juga menyangkut konsep revolusi mental yang sering

    didengungkan Jokowi selama masa kampanye. Penulis yakin bahwa revolusi mental tersebut

    akan terwujud jika kita mampu memanfaatkan unsur-unsur kebudayaan secara baik.

    Setidaknya, awal perhatian Jokowi pada masa-masa transisi ini adalah mempertimbangkan

    pembentukan struktur kelembagaan yang fokus dan jelas bertanggung jawab untuk mengurus

    persoalan kebudayaan bangsa ini. Tidak harus berdiri sendiri, menjadi "anak tiri" dari

    kementerian lain pun bisa saja. Setidaknya itu 'kebudayaan' tetap ada sebagai nomenklatur

    salah satu lembaga atau kementerian di negeri ini. Wadah itu bukan akhir, melainkan tahap

    awal untuk memberi kesempatan bagi semuastakeholder dalam menciptakan terobosan-

    terobosan baru, baik dalam pemenuhan kebutuhan di ranah aturan, substansi, maupun

    pemanfaatan kebudayaan bagi masyarakat luas. *

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    29/40

    Kritik terhadap Program Kartu IndonesiaSehat

    Jum'at, 29 Agustus 2014

    Kartono Mohamad, Dokter

    Pada umumnya para politikus, masyarakat, dan media massa beranggapan bahwa masalah

    kesehatan di negeri ini adalah masalah sulitnya orang miskin mendapatkan pelayanan

    pengobatan ketika sakit. Karena itu, konsep penyelesaiannya adalah menambah rumah sakit,

    puskesmas (balai pengobatan), penyediaan dokter, dan skema pembiayaan kesehatan bagi

    orang miskin. Joko Widodo mungkin pernah berhasil dengan program Kartu Sehat di Kota

    Solo dan beranggapan bahwa cara itu juga akan berhasil diterapkan di seluruh Indonesia.

    Untuk itu, dia mengajukan konsep Kartu Indonesia Sehat (KIS). Tapi Indonesia bukanlah

    Solo atau Jakarta, yang mempunyai sarana pelayanan pengobatan yang cukup dan sarana

    transportasi serta komunikasi yang sudah baik.

    Konsep penyelesaian masalah kesehatan rakyat dengan penekanan pada pengobatan, seperti

    penggunaan KIS, memang secara politis menarik. Sebab, pemerintah terkesan "baik hati"

    dengan memperhatikan kesehatan rakyat. Demikian pula pembangunan sarana pengobatan,

    baik rumah sakit maupun balai pengobatan (saat ini puskesmas identik dengan balaipengobatan), mengesankan hasil pembangunan dalam waktu singkat tampak bentuknya. Hal

    ini berbeda dengan program pencegahan yang hasilnya tidak segera tampak secara dramatis.

    Suatu hal yang juga mungkin kurang disadari para elite politik adalah: program kuratif

    memerlukan sarana yang mahal. Sebab, selain bangunan fisik, diperlukan pula sejumlah

    tenaga profesional dan teknologi yang memadai. Sementara itu, cakupannya sebatas orang

    yang datang berobat. Semakin lama, biayanya pun semakin mahal. Di sisi lain, secara

    kultural, masyarakat hanya akan berobat ke sarana itu setelah penyakitnya terasa sudah parah

    sehingga biaya pengobatannya pun akan lebih mahal.

    Konsep KIS memang menjanjikan bahwa pemerintah akan menanggung biaya pengobatan,

    tapi tidak menjamin bahwa seorang pengidap TBC, misalnya, akan datang ke puskesmas

    pada fase awal penyakitnya. Padahal, pada fase ini pengobatan akan lebih mudah dan lebih

    murah. KIS juga tidak akan menjamin bahwa orang tua akan menjaga anak-anaknya dari

    bahaya asap rokok di rumah supaya tidak mudah sakit. Di samping itu, program ini tidak

    akan membuat seseorang berusaha menghindari penyakit, termasuk penyakit menular

    seksual. Toh, kalau sakit akan dibayari oleh negara.

    Untuk itu, visi kesehatan pemerintah yang terpaku pada aspek kuratif akan mengecoh diri

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    30/40

    sendiri. Visi kesehatan pemerintah seharusnya tidak terpaku pada bantuan terhadap rakyat

    miskin untuk membayar biaya pengobatannya. Visi kesehatan pemerintah seharusnya

    mencita-citakan rakyat Indonesia yang tidak gampang jatuh sakit, sehingga mampu hidup

    lebih produktif. Contoh, pemerintah Kota Bangkok mempunyai visi bahwa pada 1998 tidak

    ada lagi perempuan di Kota Bangkok yang meninggal karena kehamilannya. Hal inidiwujudkan bukan dengan membuka tempat persalinan yang banyak, melainkan menjamin

    bahwa setiap kehamilan berlangsung secara sehat sejak awal.

    Karena itu, tugas menteri kesehatan bukan hanya menyebarkan dokter dan perawat ke seluruh

    pelosok negeri atau menyediakan rumah sakit di mana-mana. Tugas menteri kesehatan adalah

    menjaga agar rakyat tidak jatuh sakit, sehingga menghemat biaya pengobatan. Bukan hanya

    biaya yang dari pemerintah, tapi juga yang dibayar sendiri oleh rakyat, baik langsung maupun

    tidak langsung. Dengan begitu, uang yang dialokasikan untuk pengobatan dapat digunakan

    untuk hal yang lebih produktif dan meningkatkan daya tabung keluarga. Di samping itu,

    rakyat yang selalu dalam keadaan sehat juga akan menjadi sumber daya manusia yang lebih

    tangguh.

    Sudah seharusnya presiden melihat bahwa program kesehatan bukanlah program untuk

    menunjukkan budi baik (karitatif), melainkan sebuah program investasi untuk kepentingan

    ekonomi negara. Seperti kata Bismarck, kanselir Prusia (Jerman) pada awal era industrialisasi

    Jerman, "kalau mesin pabrik selalu dirawat agar dapat selalu berfungsi, para pekerja pun

    harus selalu dijaga agar mereka tetap sehat sehingga sanggup menjalankan mesin-mesin

    tersebut. Tanpa pekerja yang sehat, mesin-mesin itu juga tidak akan produktif."

    Patut pula dicatat bahwa konsep puskesmas yang dikembangkan oleh Dr Leimena, Menteri

    Kesehatan pada 1952, bukan sekadar balai pengobatan. Puskesmas adalah pusat untuk

    menjaga agar masyarakat di wilayah kerjanya tetap hidup sehat. Puskesmas harus diawaki

    oleh petugas yang mengerti soal pendidikan higienekepada rakyat sekitarnya. Saat ini

    puskesmas diawaki oleh dokter yang didorong untuk berpikir kuratif, dan perawat yang

    dididik untuk merawat pasien di rumah sakit.

    Konsep Leimena itu sudah berubah 180 derajat sejak awal Orde Baru. Puskesmas sudah

    dimaknai sebagai balai pengobatan dan menunggu orang sakit datang berobat. Secara tertulis,

    ada program-program pencegahan, tapi tidak berjalan karena anggaran tidak tersedia.

    Penekanan kuratif malah semakin menonjol. Bahkan, adakalanya pemerintah daerah melihat

    puskesmas sebagai sumber pendapatan. Dengan begitu, bagi pemerintah daerah, semakin

    banyak warga yang sakit akan semakin baik, karena semakin besar pula retribusi untuk

    daerah.

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    31/40

    Kompleksitas Masalah Kartu IndonesiaPintar

    Jum'at, 29 Agustus 2014

    Darmaningtyas, Pengamat Pendidikan

    Salah satu program unggulan presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) adalah Kartu Indonesia

    Pintar (KIP). Program ini mengadopsi Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang sudah diterapkan di

    Jakarta sejak 2013. KJP dimaksudkan untuk memberi bantuan personal kepada anak-anak

    dari golongan miskin agar tetap bersekolah tanpa mengalami hambatan mengenai pakaian

    seragam, sepatu, tas, atau bahkan transportasi.

    KJP ini melengkapi bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah untuk SD-SMP

    ataupun bantuan operasional pendidikan (BOP) untuk sekolah-sekolah negeri. BOS dan BOP

    merupakan bantuan pendanaan untuk institusi (sekolah), sedangkan KJP merupakan bantuan

    yang bersifat personal.

    Prinsip program KIP tidak berbeda dengan KJP. Yang berbeda adalah cakupannya saja, yaitu

    bantuan personal untuk anak-anak orang miskin agar dapat membeli peralatan sekolah yang

    bersifat personal, seperti pakaian seragam, sepatu, transportasi, dan uang saku.

    Karena KIP mencakup seluruh wilayah Indonesia, program ini memiliki kompleksitas yang

    lebih tinggi. Jika KJP hanya mencakup sekitar 332.465 murid miskin, KIP mungkin bisa

    mencapai 5 juta jiwa. Dengan cakupan yang lebih luas dan jumlah yang lebih besar itu, ada

    dua konsekuensi logis yang akan terjadi: 1) diperlukan kecermatan dalam identifikasi calon

    penerima KIP agar tepat sasaran; 2) dana yang diperlukan jauh lebih tinggi, bisa sepuluh kali

    lipat dari dana KJP 2013 sebesar hampir Rp 1 triliun.

    Besaran KJP antar-tingkat satuan pendidikan berbeda-beda, disesuaikan dengan unitcost/tahun/satuan pendidikan. Sebagai contoh, SD/SDLB/MI unit costper tahun sebesar Rp

    2.160.000 sehingga besaran KJP per bulan Rp 180.000. Perhitungan unit costitu sebatas pada

    komponen transportasi ke dan dari sekolah, pembelian buku, alat tulis, tas sekolah, baju,

    sepatu sekolah, serta tambahan makan dan minum.

    Implementasi KIP tidak jauh berbeda dengan KJP, yang merupakan bantuan personal.

    Dengan demikian, keberadaan KIP tidak perlu dipertentangkan dengan BOS yang diberikan

    oleh pemerintah dan BOP yang diberikan oleh pemda dan selama ini mampu menggratiskan

    biaya pendidikan dasar ataupun menengah (di beberapa daerah). BOS dan BOP tetap berjalan

    dan tidak terganggu oleh keberadaan KIP karena penerima manfaat BOS dan BOP adalah

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    32/40

    institusi (sekolah), sedangkan penerima KIP adalah pribadi.

    Problem terbesar dari KIP ini adalah masalah penyediaan dana yang cukup besar, bergantung

    pada banyaknya anak dari keluarga miskin. Namun masalah sumber dana tidak perlu

    dipersoalkan asalkan pemerintah memiliki komitmen/kebijakan yang jelas terhadap BBM.Jauh lebih positif dan jelas hasilnya bila pemerintah memotong subsidi BBM dan kemudian

    mengalihkannya untuk biaya pendidikan gratis 12 tahun dan implementasi KIP. Hanya, yang

    perlu diingat, besaran KIP tidak boleh sama di seluruh wilayah Indonesia, mengingat harga-

    harga, termasuk biaya transportasi daerah-daerah di kepulauan, jauh lebih mahal dibanding di

    Jawa dan Bali.

    Karena itu, perlu ada pemetaan harga-harga barang di setiap wilayah kepulauan. Kecuali itu,

    masyarakat perlu diedukasi agar tidak menyalahgunakan uang KIP untuk kepentingan

    konsumsi.

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    33/40

    Rabaan Sebait Pantun

    Jum'at, 29 Agustus 2014

    Taufik Ikram Jamil, Sastrawan

    Kalau roboh kota Melaka

    papan di Jawa kami tegakkan

    Kalau demikian bagaikan dikata

    jiwa dan raga kami serahkan

    Demikian sebait pantun lama yang kembali menyeruak dari benak saya ketika terkenang hari

    kemerdekaan ke-57 Malaysia, Minggu, 31 Agustus 2014. Pantun yang terpaut waktu

    berabad-abad kemudian meraba suhu hubungan Indonesia-Malaysia. Mungkin juga sebagai

    pantun yang dapat menjelaskan pengakuan Malaysia sebagai pewaris berbagai produk budaya

    akhir-akhir ini.

    Entah sejak kapan pantun itu muncul. Ada yang menyebutkan, setidak-tidaknya, puisi itu

    terinspirasi oleh upaya Pati Unus ketika membantu Melaka mengusir Portugis, yang

    meruntuhkan kerajaan tersebut pada 1511. Hubungan ini senada dengan masa sebelumnya,

    yakni Majapahit, bahkan Sriwijaya. Rentangan semua masa ini terangkum dalam sebutan

    serumpun dan Nusantara dalam bingkai Melayu sebagai ras.

    Pengalaman dalam rentangan masa itulah yang melatarbelakangi pemuka di sana, seperti

    Ibrahim Jaacob, meminta Sukarno memproklamasikan suatu negara-kalau tak bernama

    Melayu Raya, ya Indonesia Raya-dalam pertemuan pada 14 Agustus 1945. Meski kecewa

    karena Sukarno ternyata hanya memproklamasikan jajahan Hindia Belanda dengan nama

    Indonesia, karena berbagai sebab penting, pada 17 Agustus 1945, keinginan mereka tak

    terlerai, sebelum kemerdekaan Malaysia dikumandangkan di Melaka, 31 Agustus 1957.

    "Selain konfrontasi Indonesia-Malaysia 1960-an, alur sejarah itu pula yang mengalir dalam

    pengakuan berbagai produk budaya di Indonesia oleh Malaysia," kata kawan saya Abdul

    Wahab dalam pesan pendek telepon seluler. Sebab, dia menambahkan, keberadaan produk

    budaya seperti reog, batik, rendang, dan banyak lagi, juga mewarnai masyarakat setempat,

    bahkan jauh sebelum nama Malaysia ataupun Indonesia menyentuh telinga awam. Hal ini

    sejalan dengan migrasi Jawa ke Malaysia sejak berabad-abad lalu.

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    34/40

    Makin nyata, ketika diketahui banyak pembesar Malaysia berdarah Indonesia, bahkan

    sekaliber Perdana Menteri Malaysia Tun Nadjib Razak. Sebaliknya, bahasa pemersatu

    Indonesia adalah bahasa Melayu dari khazanah Johor-Riau, baik sebagai etnis maupun ras

    Melayu. Tokoh Hang Tuah yang juga membumi di Tanah Air, tak mungkin ditolak hanya

    karena ia berjasa di Melaka. Lagi pula, yang disebut pribumi atau Melayu di Malaysiaterutama adalah seseorang yang beragama Islam-agama yang dianut migran Jawa. Di sisi

    lain, Jawa tidak dapat dikatakan identik dengan Indonesia karena juga mewarnai sejumlah

    negara, yang selain Malaysia adalah Singapura dan Suriname.

    Jika ditarik ke belakang, ditemui kenyataan asal manusia Jawa, yakni Asia. Ini belum lagi

    memperkatakan keberadaan Indonesia-Malaysia yang dipengaruhi Traktat London 1824.

    Bukankah perjanjian yang membagi wilayah pengaruh Belanda dan Inggris alias penjajah ini

    yang mendasari penetapan wilayah kedua negara? Syahdan, pengakuan Malaysia terhadap

    produk budaya itu tak terlepas dari perkembangan kesejagatan (globalisasi) bersenjatakan

    ekonomi kreatif, melalui penguatan identitas yang dapat dijawab oleh tradisi.

    "Terlepas dari hal itu, mempersoalkan produk budaya jangan dipandang dari geopolitik,

    tetapi dari geobudaya. Kalau kasus Sipadan dan Ligitan lainlah, sebab hal itu masuk dalam

    ranah geopolitik. Untuk yang terakhir ini, usahlah aku komentari ya," demikian Wahab

    mengakhiri pesan pendek. Alasannya, penat, oh....

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    35/40

    Simpang Jalan Golkar

    Sabtu, 30 Agustus 2014

    Indra J. Piliang, Direktur Eksekutif Sang Gerilya Institute

    Meski Partai Golkar belum mengucapkan selamat kepada Jokowi-JK, pasangan ini telah

    dikukuhkan Mahkamah Konstitusi sebagai pemenang pemilihan presiden. Golkar sendiri

    mengalami gejolak yang hebat sejak lima tahun terakhir. Keadaan ini terjadi akibat kekalahan

    dalam pemilu legislatif 2014.

    Sebagai juara kedua dalam pemilihan legislatif 2009-sama dengan pemilihan legislatif 2014-Jusuf Kalla bisa maju sebagai calon presiden 2009 dengan menjadikan Wiranto sebagai calon

    wakil presiden. Hal ini berbeda dengan 2014, saat Golkar tak berhasil memajukan Aburizal

    Bakrie (ARB) sebagai calon presiden. Padahal, sejak Rapimnas 2012, ARB adalah satu-

    satunya calon presiden yang diusung Golkar.

    Keberhasilan ARB adalah menjadi Ketua Koalisi Merah Putih (KMP) yang bersifat

    "permanen" sampai 2019. Komunikasi yang dibangun ARB menempatkan Golkar sebagai

    partai penyeimbang. Terdapat sinyalemen ARB akan maju menjadi Ketua Umum Golkar

    periode 2015-2020. Kalau tidak, posisi politik Ketua KMP bisa saja diubah oleh Ketua

    Umum Golkar yang baru.

    Sekalipun jadwal musyarawah nasional belum jelas, posisi ARB masih kuat dalam

    mengendalikan Golkar di daerah-daerah. Bagi penganut paham konstitusionalitas, jadwal

    Munas disesuaikan dengan Anggaran Dasar pasal 30: "Musyawarah nasional adalah

    pemegang kekuasaan tertinggi partai yang diadakan sekali dalam 5 (lima) tahun". Munas

    terakhir terjadi pada Oktober 2009. Artinya, munas berikutnya berlangsung pada Oktober

    2014.

    Namun, terdapat klausul dalam Munas VIII Riau 2009 bahwa masa jabatan kepengurusanbisa diperpanjang sampai 2015. Klausul itu hanya berupa rekomendasi yang belum memiliki

    kekuatan hukum. Idealnya, kalau memang klausul itu diterima sebagai keputusan Munas

    VIII, hal itu akan dimasukkan dalam "aturan peralihan" dalam Anggaran Dasar. Faktanya,

    klausul itu sama sekali tidak ditandatangani pimpinan sidang, berbeda dengan dokumen-

    dokumen lainnya. Pernyataan politik Partai Golkar saja ikut ditandatangani oleh pimpinan

    sidang.

    Kalau hanya sekadar unjuk kekuatan, perbedaan pendapat soal Munas 2014 atau 2015 ini

    berakibat fatal bagi Golkar. Yang diperebutkan adalah suara DPD I guna menggelar munas

    luar biasa. Kalau ini yang terjadi, Golkar bisa saja memiliki kepengurusan kembar yang

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    36/40

    masing-masing berpegang pada AD-ART. Padahal, bukan zamannya lagi untuk memecah

    Golkar, yang setiap lima tahun "melahirkan" partai baru.

    Munas 2015 lemah secara hukum dan politik. Klausul itu ditujukan untuk menghadapi pilpres

    yang diikuti kader yang diusung Golkar, untuk putaran pertama, apalagi putaran kedua.Dalam pilpres 2009, tokoh-tokoh utama Golkar bukan berkonsentrasi pada pilpres, melainkan

    pada penggalangan dukungan suara untuk menjadi Ketum Golkar dalam Munas 2009. Mesin

    Golkar tak berjalan maksimal guna memenangkan JK-Wiranto. Dalam pilpres 2014, kader

    Golkar yang maju hanyalah JK dan berlangsung satu putaran.

    KMP sudah menyatakan diri sebagai penyeimbang pemerintah Jokowi-JK. Dengan diketuai

    oleh ARB, KMP berarti dipimpin Golkar. ARB akan kehilangan legitimasinya, begitu juga

    KMP, apabila dia tidak lagi menjadi ketua umum. Sasaran pertama KMP tentulah jabatan

    Ketua DPR, Ketua MPR, dan jabatan strategis lainnya. Dengan UU MD3 (MPR, DPR, DPD,

    dan DPRD) yang baru, KMP dengan mudah bisa mengambil pucuk-pucuk pimpinan di

    lembaga legislatif.

    Soliditas KMP bisa dicatat sebagai yang terbaik, dibanding pada dua pilpres sebelumnya.

    KMP tetap tak goyah dalam mengalihkan dukungan terhadap pemerintah Jokowi-JK, setelah

    MK mengetuk palu. Beberapa partai politik disebut bakal bergabung dengan koalisi yang

    dipimpin oleh PDI Perjuangan. Tapi hal ini baru sebatas wacana.

    Perkembangan terakhir ditunjukkan oleh Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang

    Yudhoyono. SBY memberi sinyal sebagai poros ketiga. Padahal, dalam sepuluh tahunterakhir, Golkar-lah yang berada di posisi itu, yakni menjadi partai tengah guna

    menyeimbangkan poros kiri (oposisi) dan kanan (pemerintah). Dalam masalah pengurangan

    subsidi bahan bakar fosil, terlihat sekali Jokowi-JK memerlukan dukungan SBY, alih-alih

    KMP.

    Bakal terjadi "permainan" segitiga politik dalam lima tahun ke depan. Konsentrasi penuh

    Jokowi-JK menjalankan pemerintahan dihadapkan dengan tiga kekuatan politik di DPR.

    Jangan lupa, MPR juga akan mendapatkan peran lebih besar. Sinyalemennya sudah tampak,

    yakni mendelegitimasikan rezim Jokowi-JK. Walau tidak akan sampai pada tindakan

    pemakzulan, seperti era Presiden Abdurrahman Wahid, kekuatan MPR bisa lebih banyak

    digunakan untuk menekan Jokowi-JK.

    Tinggal ketangguhan kepemimpinan Jokowi-JK yang ditunggu, dari sisi kekompakan

    ataupun dukungan dari partai-partai politik pengusung, relawan, dan individu-individu yang

    berkarakter kuat dan sekaligus berani. Pilihan prioritas kebijakan akan sangat menentukan

    bagi dukungan publik terhadap rezim Jokowi-JK. Apabila pilihan-pilihan itu ternyata

    memunculkan sentimen negatif, KMP dengan mudah mendapatkan panggung politik dengan

    segala armadanya yang sudah dipersiapkan dengan rapi.

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    37/40

    Sejarah dan Rekayasa Pemenang

    Sabtu, 30 Agustus 2014

    Agus Dermawan T., Pengamat Budaya dan Seni

    Pada 1987, Basoeki Abdullah mencipta puluhan lukisan bertema wayang orang. Lukisan

    berbahan pastel di atas kertas itu disiapkan untuk dijual, demi mencari dana bagi

    keberangkatan delegasi kesenian Indonesia ke Festival Babilonia di Irak. Dalam sejumlah

    lukisan, ia menggambarkan wajah Rahwana, Rama, sampai Buto Cakil dengan semaunya

    sendiri. Artinya, berbeda dengan persepsi publik. Bahkan, ketika menggambar Srikandi,

    wajahnya mirip dengan pedangdut Camelia Malik. Saya menanyakan ihwal ini kepadanya,"Kok?" Basoeki menjawab, "Di tanganku, wajah Drupadi sah untuk mirip dengan wajah

    ibumu!"

    Dalam kondisi mati kutu, saya dibawa Basoeki ke depan studionya, yang terletak di sudut

    Jalan Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta. Di situ ia menunjukkan Patung Pemuda di

    persimpangan, yang dibikin oleh pematung Moenir Pamoentjak. "Wajah patung itu alangkah

    mirip dengan Ibnu," ujar dia. Ibnu Sutowo adalah Direktur Utama Pertamina, yang mendanai

    pembuatan patung tersebut.

    Dari peristiwa kecil di atas, saya tiba-tiba percaya adagium klasik bahwa "sejarah ditulis oleh

    para pemenang". Dan pemenang cenderung menjadi penguasa. Sementara itu, penguasa

    adalah orang yang merasa sah untuk membuat apa saja, berkaitan dengan eksistensinya. Yang

    menguntungkan bisa ditonjolkan, yang melemahkan bisa dibikin kabur atau dihapuskan.

    Bahwa sejarah milik para pemenang, kitab Indonesia telah membuktikan berulang-ulang.

    Cerita yang paling melekat adalah filmPengkhianatan G-30-S PKIyang dibikin Arifin C.

    Noer pada 1982. Film ini oleh Orde Baru (dengan bantuan ahli filsafat-sejarah Nugroho

    Notosusanto) secara tak seimbang diskenariokan untuk melemahkan posisi Presiden Sukarno.

    Dan, sebaliknya, film ini sangat meluhurkan peran Soeharto. Demi menguatkan kemenangan,film ini dijadikan tontonan wajib televisi setiap 1 Oktober, sampai 1997.

    Namun, dari sekian banyak kisah "sejarah pemenang", yang paling kontekstual sekarang

    adalah sosok Muhammad Yamin (1903-1962), yang pada 22 Agustus kemarin berhari jadi

    (Tempo,18-24 Agustus 2014). Yamin adalah pemikir kemerdekaan legendaris dan

    multitalenta. Dari tangan Yaminlah tiba-tiba muncul wajah Gajah Mada, sang pencetus

    Sumpah Palapa.

    Padahal, dari sejarah yang membentang sejak Gajah Mada wafat pada 1364, wajah mahapatih

    ini tak pernah diketahui. Sampai pada suatu ketika, Yamin menemukan pecahan celengan

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    38/40

    zaman Trowulan yang berbentuk kepala manusia. Tanpa argumen arkeologis, Yamin

    menyatakan bahwa itu adalah kepala atau wajah Gajah Mada.

    Yang mengejutkan, setelah diusut-usut, raut muka yang terbentuk di keramik celengan itu

    mirip dengan wajah Yamin sendiri. Henk Ngantung, yang melukis wajah Gajah Mada versiYamin pada 1950, menguatkan cerita ini. "Kata Bung Karno, ketika Yamin berusia 45,

    dengan berat yang ditambah 17 kilo, wajahnya sangat mirip dengan Gajah Mada." Bung

    Karno memang terkesan oleh lukisan rekayasa ini, sehingga dimasukkan dalam buku

    Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi Presiden Soekarnojilid I (1964).

    Mungkin lantaran mirip Gajah Mada, Presiden Sukarno berkenan mengangkat Muhammad

    Yamin menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan pada Juli 1953. Dan

    Yamin melegitimasi wajah itu ke dalam buku-buku sekolah. Lagi-lagi, Yamin menjadi

    pemenang!

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    39/40

    Jejak Prof Tjahja

    Sabtu, 30 Agustus 2014

    Jalal, Penggiat Keberlanjutan

    Pada 25 Agustus 2014, bangsa ini kehilangan Prof Dr Surna Tjahja Djajadiningrat, guru besar

    Institut Teknologi Bandung dan Ketua Dewan Pertimbangan Program Penilaian Peringkat

    Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan (Proper) Kementerian Lingkungan

    Hidup.

    Kepada Pak Naya, begitu panggilan akrabnya, kita berutang banyak sekali. Pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, ketika pembangunan berkelanjutan masih dianggap sebagai subversi,

    Pak Naya dengan keberanian luar biasa terus membawa pesan soal itu. Dia terus menggedor

    kesadaran bangsa ini bahwa tata cara kita dalam membangun itu tidaklah tepat.

    Salah satu caranya adalah memberi pengantar dalam buku-buku terjemahan dari luar negeri,

    seperti State of the Worldyang disunting oleh Lester Brown. Penerjemahan buku-buku yang

    berisikan ide pembangunan berkelanjutan ke dalam bahasa Indonesia sangatlah penting, agar

    publik di sini mampu mencerna gagasan itu dengan cepat. Pengantar dari Pak Naya

    sedemikian fasihnya bertutur soal ide besar buku-buku itu. Penjelasannya kerap berisi

    konteks Indonesia, yang menjadikan buku-buku itu segera akrab dengan benak pembacanya.

    Dia juga kerap membicarakan hal-hal mengenai pembangunan berkelanjutan di dalam dan di

    luar kampus. Pak Naya sangat aktif memberi pengajaran soal bagaimana analisis mengenai

    dampak lingkungan dijalankan. Dia juga masuk ke dalam birokrasi, terutama di departemen

    yang mengurusi pertambangan dan energi. Energi intelektualnya dicurahkan untuk

    mendorong sektor yang tadinya terkenal sangat kotor menjadi lebih memperhatikan

    lingkungan. Kebijakan-kebijakan yang dibuatnya menunjukkan rekam jejaknya yang jelas.

    Belakangan, dia mengurusi perusahaan-perusahaan di luar sektor pertambangan dan energi,dengan menjadi ketua Dewan Pertimbangan Proper. Dia selalu memberi masukan-masukan

    yang bernas untuk mendorong kemajuan pengelolaan lingkungan. Dia tahu persis bahwa,

    tanpa membuat perusahaan berubah, mustahil kondisi keberlanjutan yang dicita-citakan

    Indonesia bisa dicapai.

    Dalam sebuah seminar tentang pembangunan berkelanjutan pada 2013, Pak Naya

    mendiskusikan soal skala dan kecepatan pengelolaan lingkungan yang diperlukan untuk

    membalikkan kondisi di Indonesia masih cenderung destruktif. Dia kemudian bertutur soal

    konsep ekonomi hijau, dan menegaskan bahwa ekonomi harus dibuat melek ekologi. Proses

    ekonomi yang selama ini linier-yang berakhir di tempat sampah-harus diubah menjadi

  • 8/11/2019 Caping +Cari Angin+Kolom Tempo 24.8.2014-30.8.2014

    40/40

    siklikal, seperti proses-proses di alam, yang tak menghasilkan sampah sama sekali. Ekonomi

    dalam konsep itu ditempatkan sebagai pelayan kepentingan sosial dan lingkungan, sehingga

    keberlanjutan bisa diraih.

    Kini, Pak Naya telah meninggalkan kita semua. Namun, jelas dia telah menunjukkan jalanyang harus diambil oleh bangsa ini, bila kita semua ingin melanjutkan kehidupan. Dia telah

    mengajarkan, memberi contoh, dan menginspirasi banyak sekali orang di Indonesia, sehingga

    keberlanjutan tak lagi dianggap sebagai pemikiran subversif.

    Keberlanjutan bukan berarti anti-pembangunan, melainkan pembangunan yang hakiki.

    Dengan banyaknya orang yang mempercayai dan bekerja untuk itu, jelas bahwa kerja Pak

    Naya akan terus dilanjutkan oleh generasi baru yang menapaki jejaknya. Tjahja itu tak akan

    padam.