Cari Angin

33
Damai Putu Setia Damai itu indah. Spanduk itu terpampang di depan kantor Komando Distrik Militer. Di sebelahnya ada gardu jaga dan seorang prajurit bersenjata lengkap-- entah ada pelurunya atau hampa--berdiri tegak dengan wajah garang. Damai itu ada di dalam hati, kita ciptakan kedamaian dalam diri kita sebelum mengajak orang lain berdamai, apalagi menginginkan dunia yang damai. Kata menyejukkan ini terdengar di sela-sela lagu Kristiani pada sebuah misa Natal--entah di mana, karena saya mendengarnya lewat radio. Ingin merasakan Indonesia yang damai seperti dulu, ritual kebaktian Natal tidak dijaga polisi. Tulisan ini ada di Facebook, di-posting oleh seorang budayawan, yang--agak relevan disebut--seorang muslim. Tetapi kenapa damai yang indah itu begitu mahal, kenapa ritual keagamaan harus dijaga polisi? Ini pertanyaan batin saya yang jawabannya melebar ke mana-mana. Setelah Amrozi meledakkan bom pertama di Bali, Oktober 2002, ada ide agar persembahyangan umat Hindu di pura yang besar dijaga oleh aparat keamanan. Ide ini datang dari aparat keamanan sendiri, tentu dengan niat baik untuk antisipasi. Namun ide itu ditentang. Alasan yang masuk akal adalah berbagai analisis bahwa sasaran teroris di 1

description

cari angin di Tempo

Transcript of Cari Angin

Page 1: Cari Angin

Damai

Putu Setia

Damai itu indah. Spanduk itu terpampang di depan kantor Komando Distrik Militer. Di sebelahnya ada gardu jaga dan seorang prajurit bersenjata lengkap--entah ada pelurunya atau hampa--berdiri tegak dengan wajah garang.

Damai itu ada di dalam hati, kita ciptakan kedamaian dalam diri kita sebelum mengajak orang lain berdamai, apalagi menginginkan dunia yang damai. Kata menyejukkan ini terdengar di sela-sela lagu Kristiani pada sebuah misa Natal--entah di mana, karena saya mendengarnya lewat radio.

Ingin merasakan Indonesia yang damai seperti dulu, ritual kebaktian Natal tidak dijaga polisi. Tulisan ini ada di Facebook, di-posting oleh seorang budayawan, yang--agak relevan disebut--seorang muslim.

Tetapi kenapa damai yang indah itu begitu mahal, kenapa ritual keagamaan harus dijaga polisi? Ini pertanyaan batin saya yang jawabannya melebar ke mana-mana.

Setelah Amrozi meledakkan bom pertama di Bali, Oktober 2002, ada ide agar persembahyangan umat Hindu di pura yang besar dijaga oleh aparat keamanan. Ide ini datang dari aparat keamanan sendiri, tentu dengan niat baik untuk antisipasi. Namun ide itu ditentang. Alasan yang masuk akal adalah berbagai analisis bahwa sasaran teroris di Indonesia sesungguhnya untuk menyatakan perang terhadap Amerika Serikat. Bukan perang terhadap orang Bali, apalagi memerangi umat Hindu.

Tapi masyarakat Bali penganut Hindu punya alasan lain, yang boleh diperdebatkan apakah masuk akal atau kurang masuk akal, yakni mereka percaya Tuhan tidak tidur. Karena Tuhan tidak tidur, apalagi saat diberikan persembahan, tak mungkin Tuhan membiarkan ada bom meledak. Segala niat

1

Page 2: Cari Angin

jahat yang mendomplengi ritual kedamaian itu pastilah "dicegah oleh Tuhan".

Saya setuju persembahyangan tidak dijaga polisi, apalagi sampai memakai alat detektor logam di pintu masuk pura. Kalaupun ada polisi yang bertugas, biarlah hanya mengurus lalu lintas di jalanan. Tapi saya tak menggunakan alasan seperti tadi: sasaran teroris adalah Amerika atau Tuhan pasti mencegah karena Beliau tidak tidur. Alasan saya hanya satu: kalau itu sampai terjadi--sembahyang dijaga polisi--akan menjadi trauma berkepanjangan bahwa bumi ini sangat tidak damai.

Rasa takut kita tumbuh, bahkan dipupuk dengan teror ketakutan tanpa akhir, sehingga jika pada suatu saat kita bersembahyang tidak melihat ada polisi yang menjaga, sembahyang kita menjadi tidak khusuk. Bagaimana menciptakan damai dalam diri kalau batin kita bertanya-tanya: ada bom apa tidak, ya?

Seribu anggota Banser Ansor siap mengamankan malam Natal. Puluhan ribu polisi siap menjaga gereja. Pecalang--aparat keamanan milik adat di Bali--juga diminta menjaga sejumlah gereja di Bali. Adakah ini menimbulkan rasa aman untuk mereka yang menjalankan ritual Natal? Saya tak tahu karena saya tidak merayakan Natal. Namun seorang sahabat Kristiani mengatakan, ia justru merasakan ini sebagai "menebar ketakutan", seolah-olah misa Natal itu sesuatu yang sangat berbahaya. Yang lebih parah lagi, seolah-olah ada sekelompok orang yang tidak merayakan Natal ingin mengacaukan misa Natal.

Pada akhirnya, perlu-tidaknya penjagaan--tidak bisakah menjaga keamanan dengan diam-diam--tentu umat Kristiani yang paling tahu jawabannya. Barangkali benar ada ketakutan, karena sejumlah gereja pernah dirusak--menjelang atau sesudah Natal--tapi apa itu sepanjang tahun?

Natal tanpa dijaga polisi bukan hanya untuk menghindari kesan umat Kristiani punya musuh besar di Nusantara ini, tetapi juga memang kita ingin Indonesia yang damai--seperti dulu.

2

Page 3: Cari Angin

3

Page 4: Cari Angin

Lilin Gus Dur

Putu SetiaAda lilin dinyalakan. Berpuluh-puluh jumlahnya, untuk

mendoakan kepulangan Gus Dur--sapaan akrab Abdurrahman Wahid--ke alam maya yang sejati. Di sekitar lilin ada berbagai manusia dengan keyakinan yang berbeda, namun tak ada bisik-bisik di antara mereka: "Kamu beragama apa, ya?"

Di pemakaman keluarga di kompleks Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, masih mengalir orang-orang yang datang berziarah, ayat-ayat Al-Quran berkumandang. Mereka kebanyakan orang yang tak bisa melayat langsung pada saat Gus Dur wafat, atau juga tak bisa menghadiri pemakaman Gus Dur karena pejabat dan tentara begitu banyaknya atas nama penghormatan negara kepada tokoh yang wafat.

Di vihara, foto Gus Dur dipajang dan orang-orang memegang segepok dupa menyala, di ketinggian patung Buddha menjadi saksi. Sedangkan umat Hindu di Bali--untuk menghindari kesan ritual identik dengan sesajen--menggunakan upacara Agni Hotra untuk mendoakan Gus Dur.

Gus Dur adalah sebuah keajaiban, begitu sebuah kalimat yang muncul di "dunia maya kiasan" alias Internet. Ajaib karena ia tak takut melawan setiap usaha yang menindas kaum minoritas. Ia Bapak Pluralisme. Istilah ini tak hanya diucapkan para sahabat Gus Dur--baik yang bersaksi di televisi maupun tidak--tapi juga diucapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menjadi inspektur upacara pemakaman.

Bapak Pluralisme telah tiada. "Tak ada tokoh yang bisa menggantikannya," kata Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. "Raja Yogya" ini tak sendirian berpandangan begitu. Kalau pernyataan ini

4

Page 5: Cari Angin

dimaksudkan sebagai sebuah sanjungan buat Gus Dur, memang enak didengar, karena sudah semestinya Gus Dur memperoleh hak itu. Tapi, jika pesimisme itu menyiratkan akan punahnya orang-orang yang berpaham pluralis, sungguh hal ini memprihatinkan. Kami, orang Bali, warga Tionghoa, umat Buddha, Konghucu, Hindu, dan entah siapa lagi, akan merasa waswas sebagai penghuni Nusantara yang berlandaskan Pancasila dan punya sesanti Bhinneka Tunggal Ika ini.

Saya tahu banyak sekali tokoh--ulama, pengusaha, pejabat, budayawan--yang memiliki paham pluralis tinggi di negeri ini. Mereka sama sekali tak punya masalah dalam sekat-sekat primordial, baik agama, suku, maupun hal lainnya. Di akhir dasawarsa 1970-an, ketika saya belum mengenal Gus Dur, saya menemukan Kiai Hamam Jafar di Pondok Pesantren Pabelan, Muntilan, sebagai ulama rakyat yang sederhana dan sangat toleran. Sambil berbincang soal lele dumbo di pesantrennya, saya pun sempat "berkenalan" dengan Islam beberapa hari di sana.

Di awal dasawarsa 1980-an, ketika saya bertemu dengan Gus Dur--saya orang yang kerap sibuk mencarikan mesin tik dan kertas begitu Gus Dur akan menulis kolom untuk majalah Tempo--secara perlahan saya pun tahu orang-orang di sekitar Gus Dur yang sebagian besar berpaham pluralis.

Memang, Kiai Hamam Jafar sudah lama tiada. Gus Dur baru saja wafat. Apakah kita harus kehilangan "bapak pluralis"? Bukankah negeri ini masih punya Mustofa Bisri, Djohan Effendi, Komarudin Hidayat, Ulil--maaf, nama ini mendadak melintas, kalau sempat mengingat, tentu masih banyak. Atau sejumlah orang yang tak diragukan kepluralisannya tapi "label agamanya kurang" lantaran lebih dikenal sebagai budayawan, wartawan, pengusaha, pengajar, dan sebagainya.

Atau biarkan predikat "bapak pluralis" itu hanya melekat pada Gus Dur--karena beliau yang lebih berani tampil tanpa takut. Namun mari kita bersama-sama menjaganya, jangan biarkan paham itu hilang meskipun tanpa "bapak".

5

Page 6: Cari Angin

6

Page 7: Cari Angin

Sensasi Cikeas

Putu Setia

Hari berkabung wafatnya Gus Dur sudah lewat. Renungan tahun baru sudah lebih dulu lewat. Jadi, saya sudah boleh mencari angin ke mana pun saya mau. Saya pilih Padepokan Romo Imam, sudah kangen dengan ide-idenya yang nyeleneh.

“Kebetulan kau datang, aku sudah lama cari kau,” kata Romo, bergurau dengan dialek Batak, padahal dia orang Jawa. “Ada pesanan untuk menulis buku, hanya kau yang mampu. Kau kan bekas wartawan anu (dia menyebut nama majalah, tapi saya risi menuliskannya di sini). Ini pekerjaan gampang, dua-tiga hari juga jadi.”

Belum habis keheranan saya, Romo melanjutkan: “Judulnya boleh dipilih, sudah banyak disediakan. Ada Cumi-cumi Cikeas, Lumba-lumba Cikeas, Paus Cikeas, Buaya Cikeas, masih banyak lagi, pokoknya ada kata Cikeas dan ada binatang lautnya.”

Saya pikir Romo bergurau terus, makanya saya jawab: “Romo, saya tak paham isi lautan, saya petani. Bagaimana kalau judulnya Rambutan Cikeas? Kebetulan anak saya tinggal di Bukit Golf Bojongnangka Gunung Putri, hanya berbatasan kali dengan Cikeas. Banyak pohon rambutan. Kalau lagi musim, petani kesulitan memasarkannya, sampai busuk di pohon.”

“Stop,” teriak Romo. “Ini buku pesanan yang menyangkut SBY di Puri Cikeas. Terserah, apakah kau mendukung bukunya George Aditjondro ataukah mendukung bukunya Setiyardi. Aditjondro seniormu, Setiyardi juniormu. Jadi, kamu paling cocok.”

Saya sontak terdiam. Romo melanjutkan: “Saat ini, apa pun yang diperbuat orang, apa pun yang dikatakan orang, pasti dikaitkan dengan SBY. Yang ada hanya dua kutub, anti-

7

Page 8: Cari Angin

SBY atau dukung SBY. Masyarakat sedang sakit, begitu gampangnya orang memberi label. Kalau kau membela Aditjondro, berarti kau anti-SBY. Kalau membela Setiyardi, berarti mendukung SBY….”

“Romo…,” saya menyela, tapi tak boleh. “Jangan interupsi, ini bukan Pansus Century yang sidangnya amburadul itu. Pemesan buku sudah menyiapkan kliping koran, majalah, tabloid, juga dari situs berita online. Tinggal dijahit, tak perlu lagi penelitian. Kalau ada yang meragukan, selipkan kata konon, jangan-jangan, boleh jadi, diduga, dan sebagainya. Kau pilih yang mana, yang anti-SBY atau dukung SBY?”

“Kayaknya sensasional…,” jawab saya, dan langsung dipotong Romo: “Betul sekali, memang buku sensasi. Romo ingin mengangkat namamu ke forum nasional, menjadi selebritas. Percuma kau menulis buku budaya dan buku agama. Meskipun sudah ada puluhan, namamu tak bunyi. Apalagi menulis buku jurnalistik, ah, sudah banyak pengelola media massa, khususnya televisi, yang tak lagi mengikuti kaidah jurnalistik. Mereka mewawancarai orang seperti jaksa dalam sidang, mereka menjual penderitaan, menjual tangis, menjual keberingasan, ah, banyak lagi. Ayo, terima tawaran ini, tulis sensasi soal Cikeas dan boleh pakai judul-judul tadi.”

“Saya tak mau hidup dari menjual sensasi. Buku harus mencerdaskan. Di mana moral seorang penulis jika buku sengaja merangsang nafsu benci para pembacanya, buku yang mengobarkan semangat untuk permusuhan dan saling menyerang. Boleh saja sebuah buku menceritakan kejelekan, tapi tetap dalam semangat menciptakan yang baik dari pelajaran jelek itu. Bukan memfitnah.”

Romo menghampiri saya: “Kau seperti pendeta, bicara soal moral. Eh, kau memang pendeta.” Romo terkekeh, lalu melanjutkan: “Jadi, sebagai mantan wartawan….”

“Romo,” saya memotong. “Meski kini saya pendeta, darah wartawan saya masih mengalir, tak ada kata mantan. Kata guru saya, wartawan yang baik tidak pernah menjual

8

Page 9: Cari Angin

sensasi, saya ingin mendekati yang baik itu.” Dan Romo pun memeluk saya. ***

9

Page 10: Cari Angin

Gaduh

Putu Setia

Tanah air sedang gaduh, kata seseorang. Akankah kegaduhan ini bisa berakhir, tanya seseorang. Tidak, kegaduhan sudah menjadi budaya baru menggantikan budaya warisan leluhur, jawab seseorang. Benar, karena kegaduhan sudah bisa menjadi komoditas yang layak jual, seseorang nimbrung. Dan kegaduhan juga bisa menjadi sarana korupsi buat pegawai kecil, jadi ada pemerataan, seseorang menceletuk.

Ingar-bingar, semua orang berbicara tanpa fokus. “Sudah diberi tahu Ibu kalau kita kirim uang sepuluh juta?” tanya anak sulung saya kepada adiknya. “Sudah saya SMS,” katanya singkat. “Lho, berita sepenting itu di-SMS, telepon dong,” sang kakak marah. “Laporan bailout Century triliunan rupiah saja pakai SMS,” sang adik menjawab, lalu pergi.

“Edan,” sang kakak mangkel. “Yang sopan dikit, kenapa sih?” saya menasihati. “Edan kan lebih sopan dari bangsat, orang terhormat di Senayan meneriakkan bangsat, tak masalah.”

Kegaduhan itu banyak di gedung wakil rakyat, yang penghuninya berpredikat “yang terhormat”. Misalnya pada sidang panitia khusus kasus Bank Century. Tetapi kegaduhan bukan muncul dari penanya kepada saksi, melainkan dari penanya kepada penanya lainnya. Ya, sebut saja--maaf, contoh kecil karena namanya mudah dieja--antara Ruhut dan Gayus. Kalau saksi, tak peduli menteri atau wakil presiden, tak pernah bikin gaduh. Karena mereka--para saksi itu--diletakkan sebagai pesakitan oleh kelompok penanya.

Kalau ada jawaban saksi yang “tidak berkenan” di benak sang penanya, langsung dihardik, “Anda disumpah, jangan berbohong.” Wajahnya dibuat seram, tangannya mengepal. Saksi pun menjawab tenang, meski batinnya berontak:

10

Page 11: Cari Angin

“Benar, Pak.” Tidak ada saksi yang menjawab begini: “Anda jangan menghardik saya. Memangnya saya ke sini sebagai tersangka? Justru karena saya disumpah, saya menjawab jujur. Kalian bisa saja berdusta, karena kalian tidak disumpah.” Oh, tak akan ada saksi yang berani begitu--entah kalau nanti Marsillam Simanjuntak menjadi terperiksa di sana.

Pameran kegaduhan yang berakar pada kekurangan etika dan kesopanan di dalam gedung wakil rakyat memang bisa menyulut kegaduhan lain di luar gedung. Meski sebagian besar rakyat mencemooh diam-diam, ada saja anak-anak muda yang terbakar, lalu terjadilah unjuk rasa dengan gaduh. “Kompor” dari Senayan ini--tak hanya kasus Bank Century, tapi juga banyak yang lain--mudah membakar emosi di kota-kota besar. Lihatlah betapa kegaduhan itu memiliki rating tinggi pada siaran televisi: bentrokan pengunjuk rasa dengan polisi, misalnya, atau pagar gedung pemerintah yang dirobohkan.

Kenapa harus merusak fasilitas pemerintah? Seorang pegawai kantor gubernuran yang pagar kantornya dirusak berseloroh: “Ya, biarkan saja. Nanti kan tinggal panggil tukang las. Lumayan ada komisi barang sepuluh ribu dari tukang las.” Korupsi kecil-kecil akibat kegaduhan ini ternyata banyak ragamnya, dari kaca kantor yang kena lemparan batu sampai mobil yang hancur.

Media, khususnya televisi, tanpa berita kegaduhan adalah hambar. Karena itu, seorang reporter TV yang telat datang pada saat aksi, meminta para mahasiswa untuk mengulang menggoyang-goyang pagar, padahal mahasiswa sudah letih. “Sebentar saja, Mas, supaya ada gambarnya,” sang reporter meminta.

Oposisi tanpa gaduh, sidang pansus tanpa gaduh, aksi demo tanpa merusak, kenapa tidak? Kegaduhan harus mulai diredam. Kalau ada sebuah gerakan moral yang peduli soal ini, yang melibatkan berbagai elemen termasuk tokoh pers, saya ingin mendaftar sebagai orang biasa yang tak tahan bising.

11

Page 12: Cari Angin

12

Page 13: Cari Angin

Buruk

Putu SetiaTak ada berita baik di negeri ini. Semuanya buruk.

Memang, jurnalistik klasik sudah memfatwakan hal itu, yang buruk sangat baik diberitakan. Bad is news, kata bahasa kerennya.

Rupanya, ini dipegang oleh para jurnalis sampai saat ini. Bahkan narasumber, dan mereka yang sengaja mendekatkan diri agar dijadikan narasumber, menyiapkan di kepalanya apa yang buruk-buruk. Mereka sadar betul, jika berani mengatakan yang buruk, pasti jadi news. Artinya, wajahnya terpampang di media massa dan televisi. Perhatikan belakangan ini, betapa banyak orang yang berpredikat “pengamat” dan “ahli”. Entah apa yang diamatinya, dan keahliannya pun tak perlu dibuktikan dengan karya. Yang penting bisa bicara menggebu.

Ke mana pun melangkah, kita seperti dikejar berita buruk. Apalagi menjelang 100 hari pemerintahan SBY jilid dua, tak satu pun berita baik jadi headline. Bangun pagi ada berita tanah longsor, siang hari penculikan bayi, sore hari bentrokan mahasiswa dengan polisi. Berita buruk saling bersaing merebut kapling: penjara bak hotel mewah, pembobolan anjungan tunai mandiri, bonek Persebaya yang rusuh. Lalu, di malam hari--kadang sampai larut--sidang Pansus Century yang selalu menyalah-nyalahkan. Perjalanan demokrasi kita baru sampai ke tahap ini: ramai-ramai memilih orang untuk kemudian kita salah-salahkan ramai-ramai.

Persaingan berita buruk itu pun luar biasa, dan membuat narasumber berita buruk merasa gerah. Bambang Soesatyo, anggota Pansus dari Golkar yang pernah jadi wartawan, misalnya, curiga jangan-jangan temuan Satuan Tugas Makelar Kasus (ini nama tak resmi tapi populer) tentang “penjara mewah” itu hanya pengalihan dari isu Pansus Century. Artinya, Bambang berharap berita buruk dari

13

Page 14: Cari Angin

Pansus Century tetap menjadi berita utama negeri ini, jangan direcoki berita buruk lainnya. Kecurigaan ini menuai sindiran, apakah gempa di Haiti, penculikan bayi, korban mutilasi Babe, juga pengalihan dari isu Pansus Century? Belakangan muncul “sindiran balik”, yakni pembobolan di anjungan tunai mandiri (ATM) sesungguhnya sudah terjadi sejak dulu dan berdampak “sistemik”, cuma berita itu menghilang karena berhasil dialihkan oleh isu Pansus Century. Anda boleh tertawa atau mengelus dada, inilah risiko sebuah negeri yang menempatkan berita buruk sebagai berita utama.

Presiden SBY pun kerap terpancing, beliau menyebutkan: itu berita fitnah, itu mengadu domba, itu politik kotor, itu memprihatinkan. SBY ibarat menari dalam gendang orang lain. Mungkin lebih bijak jika yang “menari” itu bawahan SBY, sementara beliau berfokus pada pekerjaan utama bagaimana menyuguhkan yang terbaik untuk negeri ini.

Yang lebih bijak lagi “anak-anak bangsa” (sudah lama saya tak dengar istilah ini), bagaimana menyuguhkan berita buruk dalam sudut pandang (angle) yang baik. Pansus Century bukan untuk menyalah-nyalahkan, melainkan mengetahui di mana kekurangan kita dalam mengelola keuangan negara. Penculikan bayi bisa jadi berita baik tentang bagaimana kita belajar menjaga persalinan di puskesmas dan rumah sakit. Pembobolan ATM, kenapa harus memberi angle yang membuat nasabah panik, kenapa tidak menebarkan kebaikan kepada nasabah dengan memberitahukan apa yang harus diwaspadai? Bukankah bertebarannya ATM sampai ke luar kota, dari sudut pandang lain, adalah simbol kesejahteraan masyarakat?

Berita buruk bisa kita pandang dari sisi baiknya--kalau kita mau--tanpa harus menutupi keburukan itu. Jangan beri predikat tanah air ini sebagai “negeri terburuk”. Right or wrong is my country. Kalau bukan kita, siapa lagi yang mencintai negeri ini?

14

Page 15: Cari Angin

Wali Kota Sampah

Toriq Hadad

SAYA sangat yakin para penguasa di Tangerang dan Tangerang Selatan tidak berpikir bahwa kita hidup pada 1629. Saya hakulyakin bahwa tak ada satu pihak yang merasa sedang bermain peran sebagai pasukan Mataram dan lainnya menjadi pemegang kekuasaan Batavia. Perang lebih dari 380 tahun yang lalu itu berakhir begini: dalam serangan pamungkas, Dipati Ukur, panglima Sunda yang memimpin pasukan Mataram, meracuni Sungai Ciliwung yang mengalir ke Batavia.

Kota yang kini ibu kota negara itu menurut sejarah gagal ditaklukkan, tapi gubernur jenderal Belanda yang mendirikan Batavia, Jan Pieterszoon Coen, tewas akibat kolera. Saya tak tahu pasti apakah Dipati Ukur menuangkan sejenis racun dalam jumlah banyak ke Ciliwung ataukah ia membuang timbunan sampah-sampah busuk ke aliran sungai yang membelah Batavia itu. Yang pasti, bakteri kolera mudah berjangkit di kawasan dengan air tercemar dan sanitasi buruk.

Saya khawatir timbunan sampah yang sekarang mengepung Tangerang Selatan ini bakal mengundang banyak bakteri, mungkin bukan sekadar kolera. Sampah bertumpuk di kompleks-kompleks perumahan, di pinggir jalan, di banyak tempat lain. Di Pasar Ciputat, selain di sekitar lokasi, di trotoar pembatas jalan pun sampah teronggok. Semakin hari jumlahnya semakin banyak. Sudah enam bulan ini sampah Pasar Ciputat tidak diangkut secara rutin. Bau amis, anyir, busuk, meruap ke seantero kawasan.

Dulu Bandung pernah bergelar “lautan sampah”, dan sekarang gelar itu sudah pantas disandangkan pada Tangerang Selatan. Sungguh ironis, kota yang belum “seumur jagung”, belum punya dewan perwakilan rakyat, belum punya wali kota definitif, sudah harus “berenang

15

Page 16: Cari Angin

sendirian” untuk menanggulangi lautan sampah. Kenyamanan hidup warga kota yang merupakan kawasan terakhir “pemekaran” wilayah di Indonesia itu sirna setelah pemerintah daerah Tangerang menarik 40-an truk sampah. Truk itu dulu secara rutin mengangkut sampah di kawasan yang berpenduduk 1,2 juta orang tersebut.

Penguasa sementara Tangerang Selatan menyiapkan truk pengganti, walau tak sebanyak yang dulu ada. Tapi problem utama muncul tiba-tiba: sampah tak bisa lagi dibuang di tempat milik pemerintah daerah Tangerang. Dibuang di satu tempat di Bogor juga ditolak. Tangerang Selatan belum punya tempat pembuangan sendiri. Lokasi tersedia, tapi penduduk setempat memprotes. Tak ada orang yang mau hidup dekat dengan sampah. Kepala Dinas Kebersihan Tangerang Selatan, juga penjabat wali kota, pusing tujuh keliling.

Inilah contoh pemekaran yang kurang mulus. Provinsi Banten dan Tangerang berebut menempatkan wali kota sementara. Kendati bukan “wakil” Tangerang yang sekarang menjabat, pemda Tangerang seharusnya ikut turun tangan soal sampah ini. Sebagian pajak penduduk Ciputat, Pamulang, dan sekitarnya ini masih mengalir ke kas Tangerang.

Oktober nanti wali kota definitif Tangerang Selatan akan dipilih langsung. Siapa saja boleh maju. Penjabat sementara wali kota Shaleh M.T., Rano Karno yang sekarang Wakil Bupati Tangerang, atau Airin Rachmi yang kerabat Gubernur Banten, silakan maju. Tapi saya--dan saya kira banyak yang lain--sebagai penduduk Tangerang Selatan hanya akan memilih “wali kota sampah”: dia yang sanggup menyelamatkan kawasan ini dari timbunan lautan sampah.***

16

Page 17: Cari Angin

Konten Multimedia

Putu Setia

Warung Internet di desa pegunungan itu tak pernah sepi. Dari 12 kamar yang tersedia, tak satu pun kosong. Pelanggannya anak-anak muda, pelajar sekolah menengah. “Mereka main games, boleh bertaruh antarkamar, tapi tak boleh buka situs porno,” kata penjaga warung. “Saya matikan komputernya kalau ada yang buka situs porno.”

Pengawasan ketat ini berkaitan dengan kontrol yang juga sering dilakukan polisi kecamatan. Cuma, yang mengherankan penjaga warung, baru-baru ini ada permintaan polisi agar pelanggan yang membuka Facebook juga dilarang. Alasannya, banyak “penculikan anak” yang berlatar belakang Internet. Untungnya, kata penjaga warung, anak-anak muda itu hampir tak pernah buka Facebook. “Hare gini main Facebook di Internet? Kan ada HP Cina yang murah untuk Facebook-an,” kata seorang anak.

Jika seluruh warung Internet bisa diawasi seperti itu, Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Konten Multimedia tak diperlukan. Cukup polisi yang rajin memantau dan pemilik warung yang ketat mengawasi. Namun itu tentu tak mungkin. Di kecamatan pelosok itu hanya ada dua warung Internet. Bagaimana bisa mengawasi warung Internet di perkotaan yang ada di setiap sudut? Berapa banyak polisi yang dibutuhkan untuk itu? Lagi pula persaingan antar-warung Internet tak memungkinkan ada kontrol content.

Apa pun alasannya, saya yakin kontrol terhadap content multimedia yang hendak dilakukan oleh pemerintah tak akan jalan. Dua menteri komunikasi dan informatika sebelum Tifatul Sembiring, yakni Sofyan Djalil dan Muhammad Nuh, saya kira cukup cerdas untuk memasukkan ke laci rancangan itu, apalagi ia dibuat oleh stafnya dengan semangat

17

Page 18: Cari Angin

“pegawai departemen penerangan”, lembaga sensor kelas wahid era Orde Baru. Apa yang membuat Tifatul, menteri yang gemar berpantun ini, membuka laci itu kembali? “Daun talas melayang ke onak, alasannya sayang sama anak-anak.”

Tifatul mengulang kesalahan berpikir pemrakarsa Undang-Undang tentang Pornografi. Hanya dengan alasan melindungi generasi muda dari kebejatan moral akibat pornografi, semua aurat--wanita, yang laki tidak--harus ditutupi. Lalu ada kekecualian, misalnya jika berkaitan dengan adat, agama, ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Content multimedia ini pun nantinya ada kekecualian, misalnya, jika menyangkut situs yang menjurus ke buka-bukaan, boleh di kawasan ilmu pengetahuan, di dunia kedokteran, atau boleh diakses orang dewasa dengan batasan umur--seolah-olah semua syahwat orang dewasa tak lagi “aktif”.

Kita menuju ke mana? Beberapa negara memang ada yang membatasi content multimedia sehingga dijuluki negara “musuh Internet”. Misalnya Cina, Kuba, Mesir, Iran, Arab Saudi, dan beberapa lainnya. Pembatasan bisa tidak pada content yang sama, misalnya yang satu menekankan pornografi, lainnya soal politik atau agama. Google di Cina konon tak bisa digunakan untuk mencari content tragedi Tiananmen 1989, kemerdekaan Tibet, atau Falun Gong. Apakah pemerintah suatu saat akan membatasi pencarian content “tragedi 30 September 1965” atau “terbunuhnya Munir” atau “kasus Bank Century”? Siapa tahu, kalau dicoba pembatasan yang “kecil-kecil” dulu tanpa ada reaksi, “kasus besar” bisa saja diselundupkan.

Jadi, Pak Menteri Tifatul, “ke Patrol menjelang senja, kontrol multimedia sangat sia-sia”. Lebih baik jalankan undang-undang yang sudah ada, dan pengawasan diserahkan kepada keluarga. Kalaupun dipaksakan, “nasi putih di Bukittinggi, bebek panggang di Senayan, sayur lodeh di Madiun”. Artinya--ini bukan pantun--ya, sia-sia juga, bagaimana makannya?

18

Page 19: Cari Angin

Pasar Malam

Toriq Hadad

Belakangan ini saya sering absen dari forum diskusi, debat, atau acara apa pun yang berbau politik. Bukan apa-apa. Sejak Pansus Century bekerja, saya sering ditanya-tanya, “Sampean ini asal Pasuruan, ya?” Setelah saya jawab, saya sudah tahu akan muncul pertanyaan susulan yang sungguh mati malas saya menjawabnya: “Pasti sampean kenal Misbakhun.”

Ya, saya tahu Misbakhun, meskipun belum pernah bertemu. Yang saya kenal baik di lapangan sepak bola sekitar akhir tahun 1970-an adalah bapak mertuanya, seorang pegawai pabrik gula sederhana yang kini telah tiada.

Saya pernah dua kali bicara di telepon dengan Misbakhun, jauh sebelum dia “ngetop” seperti sekarang. Saya tahu dia pernah menjadi ajudan Hadi Poernomo, bekas Dirjen Pajak yang banyak menerima hibah di daftar hartanya. Teman-teman majalah Tempo yang sempat berjumpa dengannya terkesan oleh jam tangan Rolex mahal di tangannya.

Sahabat-sahabat saya yang tinggal di Pasuruan bercerita tentang “kreativitas” dia semasa kampanye legislatif kemarin. Dia buat stiker untuk ditempelkan di mobil: “Demi Allah, kalau saya terpilih sebagai anggota DPR, 100 persen gaji pokok akan saya serahkan pada masyarakat Pasuruan-Probolinggo.” Dalam hati, saya kagum. Strategi anggota Partai Keadilan Sejahtera ini sangat “menjual”. Pasti banyak orang kepincut. Kalau saya ketemu dia, akan saya tanya berapa sisa penghasilan yang ia nikmati. Sebab, penghasilan anggota DPR mungkin lebih dari dua kali lipat gaji pokoknya.

Sebelum masuk Senayan, dia sukses menjadi pengusaha rumput laut. Saya tak paham kenapa ia memilih politik. Barangkali dia ingin meniru-niru pengusaha era Orde Baru: bisnis perlu ditopang koneksi politik supaya tumbuh lebih “kencang”. Padahal risikonya juga besar. Contohnya yang ia alami sekarang. Ia terseret kasus letter of credit (L/C) dari Bank Century senilai US$ 22,5 juta untuk perusahaan miliknya. Kalau terbukti L/C itu bodong, dia bisa repot. Saya dengar Jumat pekan lalu Presiden Yudhoyono pun sudah mengeluarkan instruksi agar semua urusan jahat Century dibongkar, termasuk L/C yang disangka bodong itu.

Di keramaian rapat paripurna DPR, saya melihat Misbakhun setuju dengan opsi yang melawan partai pemerintah. Saya tak tahu apa dia juga ikut

19

Page 20: Cari Angin

jejingkrakan, bernyanyi-nyanyi, berlarian memberikan selamat kepada anggota Dewan yang membelot dari fraksinya.

Saya tak melihat televisi manakala anggota Dewan saling dorong, adu mulut, menyerbu meja pimpinan sidang. Tapi ada bagian sidang paripurna yang saya tonton: sering kali anggota Dewan celetak-celetuk lewat mikrofon, menyindir ketua sidang, menyindir fraksi lain, bicara apa saja, sak enak udele dhewe (yang tak bisa diterjemahkan menjadi “seenak pusar sendiri”, melainkan “seenak hati”).

Saya ingat pasar malam di alun-alun Pasuruan, para pedagang obat saling celetuk untuk menarik perhatian. Bedanya, pedagang obat biasanya pakai kaus oblong, sedangkan yang di Senayan berjas-dasi.

Kalau sekali waktu ketemu, saya akan bilang kepada Misbakhun untuk balik ke bisnis rumput laut saja. Koneksi politik atau cantolan orang penting tak selalu jadi resep sukses yang jitu. Pedagang baiknya tetap saja berdagang, pengacara hendaknya beperkara saja, artis lebih manfaat menghibur rakyat. Serahkan politik kepada ahlinya. Kalau semua mau jadi politikus, akibatnya seperti paripurna kemarin itu: Senayan berubah jadi pasar malam.***

20

Page 21: Cari Angin

Nyepi

Putu Setia

Dua hari lagi umat Hindu di Indonesia merayakan Hari Raya Nyepi, tahun baru Saka 1932. Atas nama toleransi, kebinekaan, dan persaudaraan, hari itu dinyatakan sebagai hari libur nasional. Senin besok boleh disebut harpitnas--hari kejepit nasional.

Selamat bagi Anda yang tidak merayakan Nyepi, karena libur jadi panjang. Bagi Anda yang merayakannya, bersiaplah menjalani pantangan di hari itu, agar renungan Anda tentang kehidupan ini lebih tuntas. Ada atau tidak ucapan selamat, Nyepi harus dimaknai sebagai beban, bagaimana kita melakukan introspeksi untuk memperbaiki hidup. Ucapan selamat kadang menimbulkan salah paham, meskipun lucu.

Ada kisah lama, merayakan Nyepi di Jakarta yang riuh. Pintu pagar sudah tertutup ketika siang itu ada yang mengetok, ternyata seorang kawan, pimpinan media massa terkenal. Ia bersama istri dan dua anak yang masih kecil. “Selamat Hari Raya Nyepi, saya baru sadar setelah menonton televisi semalam, ada pidato dari Menteri Agama yang menyampaikan ucapan selamat,” kata kawan itu. Karena langkah kakinya sudah menuju kamar tamu, saya tak bisa berbuat apa-apa.

Kami ngobrol panjang sebelum diakhiri karena ada “insiden”, sang anak menangis. “Haus?” tanya ibunya. Anak itu mengangguk. Terpaksalah dengan memakai kata-kata yang tak membuat teman tersinggung, saya jelaskan bahwa di rumah ini tak ada makanan dan minuman, karena kami puasa total. Teman saya kaget. Dan beberapa hari kemudian dia menelepon meminta maaf, “Saya baru tahu kalau menerima tamu pun tak boleh. Jadi, saya mengganggu, ya?” Saya tertawa untuk menyenangkannya.

21

Page 22: Cari Angin

Nyepi di Bali memang sangat sepi. Semua orang, apa pun agamanya, dilarang ke jalan umum. Listrik tak boleh menyala, kecuali keluarga itu punya bayi atau orang sakit yang diberi penerangan terbatas. Dulu, listrik dimatikan dari gardu. Belakangan tidak, karena orang memprotes, listrik tak hanya alat penerang, tetapi energi peralatan modern.

Saya pernah mengusulkan ide--ada yang menyebutnya ide gila--membebaskan orang non-Hindu di Bali melakukan kegiatan apa pun saat Nyepi. Alasan saya sebenarnya bukan hanya toleransi atau menghormati perbedaan, tetapi “sangat religius”, yakni pengendalian diri itu tak harus dipaksakan oleh pihak luar, apalagi oleh negara. Pengendalian diri harus muncul dari dalam diri sendiri. Ternyata yang keberatan juga tokoh-tokoh Islam dan Protestan. Mereka mengaku senang, toh setahun sekali, apalagi dengan alasan mengurangi polusi udara. Mereka menyebut, semangat Nyepi menular ke berbagai kota besar dengan adanya bebas kendaraan bermotor pada hari tertentu. Udara menjadi bersih.

Tentu saja sejarah awal adanya Nyepi bukan untuk membersihkan udara, melainkan membersihkan diri. Lewat perenungan intens itu kita jadi tahu apa yang salah selama ini dan bagaimana memperbaikinya di hari mendatang. Nyepi ibarat kembali ke titik nol.

Semua orang menunggu dan memerlukan saat seperti itu, saat jeda untuk introspeksi. Para wakil rakyat di Senayan, misalnya, perlu merenung apa sudah pantas meneriakkan kebenaran dan kejujuran kalau lembaga itu tetap menjadi lembaga terkorup. Pimpinan partai yang berkoalisi perlu merenung apa tak malu hanya menuntut hak (meminta jatah menteri), sementara kewajibannya membantu pemerintahan tak dijalankan, justru pemerintah digerogoti. Para mahasiswa yang anarkistis perlu memahami, ulahnya yang merusak fasilitas umum sangat menyakiti rakyat. Mari kita introspeksi--cukup sehari saja--siapa tahu ada titik cahaya terang esok hari, untuk Indonesia yang lebih baik.

22

Page 23: Cari Angin

23

Page 24: Cari Angin

Pahlawan Sakit HatiPutu Setia

Misalkan Susno Duadji, mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian, tidak berani membuka aib di institusinya, akankah kasus Gayus Tambunan terbongkar? Mungkin tidak.

Perlawanan Susno di awal-awalnya dibantah, bahkan ia distatuskan sebagai “terperiksa”--istilah yang hanya ada di kepolisian. Orang tahu, akhirnya Susno menang dalam “pertempuran”--dan memenangi pula opini publik. Berkat dia, “manusia Rp 28 miliar Gayus Tambunan” akhirnya diciduk, perwira tinggi polisi dicopot, pengacara ditahan, pegawai pajak banyak yang nonaktif, hakim dan jaksa dibidik. Susno adalah pahlawan, kata sejumlah orang.

Apakah “kepahlawanan” Susno ini memang lahir dari niatnya memperbaiki negeri, ataukah karena ia merasa sakit hati setelah dicopot dari jabatan bergengsi--dan basah--sebagai Kepala Bareskrim? Kalau Susno tetap duduk manis di kursinya sambil menonton anak buahnya menikmati “hasil pemakelaran”, kisahnya jadi beda. Ia tinggal menunggu respons anak buahnya untuk mendukungnya menjadi Kapolri, Oktober nanti. Jadi, Susno melawan karena sakit hati, besar kemungkinannya.

Dalam kasus lain, suap di parlemen untuk mengegolkan Miranda Goeltom menjadi Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, apakah keonaran memalukan ini akan terbongkar kalau saja Agus Condro Prayitno tidak “bernyanyi” menyerang fraksinya sendiri? Mungkin tidak juga. Agus, anggota Fraksi PDI Perjuangan itu, dengan gagah berani menyebutkan menerima cek pelawat senilai Rp 500 juta, lalu mengembalikannya, seraya menyebutkan semua temannya sefraksi dan anggota sekomisinya yang menerima suap itu. Agus betul-betul pahlawan, kata sejumlah orang. Berkat dia, orang yang berpenampilan alim di parlemen kelihatan belangnya, anggota Dewan yang biasa vokal mendadak bisu.

24

Page 25: Cari Angin

Apakah “kepahlawanan” Agus ini ingin meningkatkan citra parlemen--yang semakin terpuruk--atau karena ia sakit hati tidak dicalonkan lagi oleh partainya? Ya, dugaannya sakit hati.

Ternyata, perkara sakit hati ditakdirkan sebagai senjata untuk membongkar aib negeri ini. Sah-sah saja pahlawan lahir dari orang sakit hati, seperti pula pemimpin yang dilahirkan dari orang-orang yang terzalimi.

Untuk sesaat, patut disyukuri, ketimbang begitu banyak korupsi dan penilepan pajak yang tak bisa dibuka. Untuk jangka panjang, ini menyedihkan, bahwa korupsi dan penyelewengan demikian melekatnya dan saling terkait dalam sebuah institusi. Semuanya sama-sama saling tahu dan saling rikuh mempersoalkan--sampai saatnya muncul seseorang yang “sakit hati”. Maka, resep memunculkan orang sakit hati bisa dipertimbangkan untuk era tak normal ini, tanpa harus memberikan predikat pahlawan kepadanya.

Di masa normal, resepnya bisa sederhana, seperti diwariskan para leluhur kita. Saling menegur, saling menasihati, saling memperhatikan. Kalau Gayus Tambunan sampai punya mobil dan rumah mewah, kenapa sih teman-temannya tak tahu? Lalu, kalau tahu, kenapa tak curiga dari mana kekayaan itu? Polisi-polisi yang punya rumah besar plus mobil mewah, ya, sudah layak untuk “diperhatikan” kekayaannya.

Korupsi juga bisa dibaca dari sejak menginginkan jabatan. Merebut jabatan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia dengan menyuap Rp 24 miliar, jelas ujungnya korupsi. Bagaimana modal bisa balik dari gaji meskipun gajinya Rp 200 juta? Ada calon bupati yang menghabiskan dana kampanye Rp 30 miliar, ini ujungnya sudah nyata korupsi. Lima tahun menjabat, modal itu tak akan balik dari gaji. Nenek moyang mana bisa dimintai uang kecuali jual jabatan?

Tegur, nasihati, dan awasi dia.

25

Page 26: Cari Angin

Solidaritas Politikus

Toriq Hadad

SEPASANG orang tua memutuskan membuat tes kecil untuk anak remaja laki-lakinya. Pasangan tersebut khawatir, anak mereka satu-satunya itu belum juga memilih profesi untuk masa depannya.

Pasangan itu lalu menyediakan tiga macam barang: lembaran uang kertas, kitab suci, dan sebotol minuman keras. Si ayah punya firasat, kalau anaknya mengambil uang maka dia akan menjadi pengusaha. Kalau pilih kitab suci, tentu dia akan menjadi pemuka agama. Kalau pilih botol minuman keras? Dia kelak menjadi pemabuk.

Kedua orang tua itu bersembunyi di balik tirai. Apa yang dilakukan si anak? Dia masukkan lembaran uang ke dalam dompet. Kitab suci ia tenteng dengan kalem, sementara tangan yang satu lagi mengambil botol minuman keras. Tiga benda itu ia ambil sekaligus dan cepat menghambur pergi ke luar rumah.

Pasangan itu memekik, “Waduh.... Ini lebih buruk dari yang kita bayangkan. Anak kita akan jadi politikus!”

***

Saya percaya, humor adalah cermin sesuatu yang dirasakan masyarakat. Tapi saya tak tahu mengapa masyarakat di tempat humor itu lahir begitu sinis kepada politikus. Masyarakat kita belum tentu sama sinisnya kepada politikus. Buktinya, banyak orang berebut menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kalau perlu dengan mengeluarkan uang yang tak sedikit untuk merebut simpati pemilih.

Tapi belakangan ini, setelah melihat lagak-lagu politikus Senayan membangun solidaritas untuk membela seorang anggota DPR yang diperiksa polisi, jangan-jangan mulai

26

Page 27: Cari Angin

banyak orang Indonesia yang melarang anaknya menjadi politikus.

Misbakhun, anggota Dewan asal PKS, menyandang status sebagai saksi plus tersangka kasus surat utang perusahaan miliknya, PT Selalang Prima Internasional. Sebelum diperiksa polisi, Bakhun secara terbuka seperti meminta perlindungan Komisi III DPR dan menganggap kasus yang menimpa dirinya sarat muatan politis.

Kira-kira jalan pikiran Bakhun begini. Karena dia dulu inisiator kasus Century, sekarang ini pemerintah mencari-cari kesalahannya, seakan hendak balas dendam. Mayoritas anggota Komisi III memang tak “terharu” oleh pernyataan Misbakhun. Tapi dua anggota Dewan---Lily Wahid dan Akbar Faisal—tergerak untuk ikut mendampingi Misbakhun di Markas Besar Kepolisian. Sejumlah anggota Dewan juga menyatakan akan tetap membela Misbakhun, apa pun yang terjadi.

Anggota Dewan pasti tahu rekannya belum tentu bebas dari masalah hukum. Tapi jangan-jangan ada kolega Misbakhun yang berpikir, kalau kelak dia diperiksa penegak hukum, rekannya juga akan menggalang solidaritas yang sama.

Terserah Anda mau bilang ini solidaritas model apa: sempit, ngawur, atau kacau-balau? Bila solidaritas kita artikan semacam “tali” sosial yang mengikat satu orang dengan yang lainnya, kenyataan yang kita alami sehari-hari sudah sangat membingungkan.

Seorang pejabat Orde Baru yang diisukan terlibat kasus korupsi besar-besaran, eh, malah merebut banyak suara dan menjadi bintang politik. Dia yang masih punya kewajiban segunung kepada negara malah kebanjiran tamu saat menggelar hajat. Di Batam, solidaritas “sakit hati” yang dipicu ucapan kasar pekerja asing akhirnya berujung pembakaran pabrik. Di Jakarta, “solidaritas instan” bisa mendadak terbentuk, misalnya untuk “mengadili” maling di jalanan.

27

Page 28: Cari Angin

Tak ada alasan untuk kecil hati. Toh masih ada solidaritas “koin untuk Prita dan Bilqis”. Ada juga yang instan, tanpa komando, tanpa aba-aba. Bila ada pengendara sepeda motor di Jakarta yang mengalami tabrakan, seketika itu juga pengendara motor yang lewat akan berhenti dan menolong korban sampai ke rumah sakit serta mengamankan barang-barangnya.

Barangkali tak ada lagi anggota DPR yang sehari-hari naik motor ke Senayan. Tapi sungguh tak ada salahnya belajar dari solidaritas pengendara motor itu.

28