caping+cari angin+kolom tempo 30.3.2014-5.4.2014

45
Golput Senin, 31 Maret 2014 Apa nama yang akan kita berikan kepada seseorang yang menolak tapi tak menolak, dan terus demikian, dan menyebabkan sebuah struktur terguncang? Mungkin "golput". Mungkin Bartleby. Cerita Herman Melville, Bartleby the Scrivener, berkisah tentang seorang juru salin di sebuah kantor pengacara di Wall Street. Begitu masuk bekerja, ia menunjukkan diri sebagai orang yang sangat rajin: ia menyalin semua dokumen yang diberikan kepadanya. Tiba-tiba, pada satu hari, ia seperti menampik. Tapi sebenarnya tak jelas demikian. Ia hanya mengatakan, "I would prefer not to." Kalimat itu sopan sekali. Kalimat itu juga membingungkan. Kurang-lebih berarti "sebaiknya saya lebih suka tidak". Dan majikannya tercengang. Dan itu bukan yang terakhir kali. Kalimat itu diutarakan Bartleby tiap kali ia diminta mengerjakan sesuatu. Akhirnya kian sedikit ia jalankan tugasnya. Rekan-rekan sekerjanya mulai kesal. Majikannya makin tak paham. Apalagi ketika Bartleby sama sekali berhenti menyalin dan tak mau beranjak dari ruang kerjanya yang sempit. Ketika pada suatu hari Minggu sang majikan menengok kantornya, ia dapatkan Bartleby masih di dalam. Orang ini menetap. Sang majikan jengkel. Tapi ia juga merasa kasihan. Ia tak bisa mengusir pegawai yang aneh itu. Ia merasakan, tiap hari Minggu malam, Wall Street lengang dan muram seperti kota hantu. Bartleby pasti sering memandang lewat jendela kamar kerjanya dan hanya menemui tembok yang kosong.

Transcript of caping+cari angin+kolom tempo 30.3.2014-5.4.2014

Page 1: caping+cari angin+kolom tempo 30.3.2014-5.4.2014

Golput

Senin, 31 Maret 2014

Apa nama yang akan kita berikan kepada seseorang yang menolak tapi tak menolak, dan terus demikian, dan menyebabkan sebuah struktur terguncang? Mungkin "golput". Mungkin Bartleby.

Cerita Herman Melville, Bartleby the Scrivener, berkisah tentang seorang juru salin di sebuah kantor pengacara di Wall Street. Begitu masuk bekerja, ia menunjukkan diri sebagai orang yang sangat rajin: ia menyalin semua dokumen yang diberikan kepadanya. 

Tiba-tiba, pada satu hari, ia seperti menampik. 

Tapi sebenarnya tak jelas demikian. Ia hanya mengatakan, "I would prefer not to." 

Kalimat itu sopan sekali. Kalimat itu juga membingungkan. Kurang-lebih berarti "sebaiknya saya lebih suka tidak". Dan majikannya tercengang. Dan itu bukan yang terakhir kali. Kalimat itu diutarakan Bartleby tiap kali ia diminta mengerjakan sesuatu. 

Akhirnya kian sedikit ia jalankan tugasnya. Rekan-rekan sekerjanya mulai kesal. Majikannya makin tak paham. Apalagi ketika Bartleby sama sekali berhenti menyalin dan tak mau beranjak dari ruang kerjanya yang sempit. 

Ketika pada suatu hari Minggu sang majikan menengok kantornya, ia dapatkan Bartleby masih di dalam. Orang ini menetap. Sang majikan jengkel. Tapi ia juga merasa kasihan. Ia tak bisa mengusir pegawai yang aneh itu. Ia merasakan, tiap hari Minggu malam, Wall Street lengang dan muram seperti kota hantu. Bartleby pasti sering memandang lewat jendela kamar kerjanya dan hanya menemui tembok yang kosong.

"I would prefer not to.""You will not?""I prefer not."

Kalimat Bartleby tak pernah jelas. Orang hanya bisa membaca tubuhnya. Akhirnya majikannya tak berbuat apa-apa terhadapnya: ia justru yang memutuskan pindah kantor. Ia sewakan kantor itu kepada orang lain.

Sang penyewa bertindak lebih drastis. Ia usir Bartleby. Tapi orang ini tak mau pergi: ia duduk-duduk dan tidur di tangga. Majikannya yang lama, yang mengisahkan kejadian ini, datang dan mencoba membujuknya untuk pergi dari emper itu. Ia bahkan menawarkan sebuah kamar di rumahnya untuk ditempati. Tapi Bartleby menjawab: I would prefer not to.

Mungkin ini sebuah cerita sedih: Bartleby akhirnya dipenjarakan dan mati karena ia menolak makan. "Sebaiknya saya lebih suka tidak." 

Page 2: caping+cari angin+kolom tempo 30.3.2014-5.4.2014

Tapi bisa juga kesedihan itu tak harus dilihat sebagai sesuatu yang tragis. Deleuze, yang ikut membahas karya Melville ini, menyimpulkan, kisah Bartleby justru sebuah teks yang sangat lucu, dan yang lucu, yang komikal, katanya, "selamanya harfiah". Kisah ini bukan sebuah kiasan. 

Memang tak ada makna lain yang tersirat dalam "I would prefer not to".Tapi sikap Bartleby tetap tak bisa ditebak karena mula-mula, setelah ia mengucapkan kalimat itu, ia toh mengerjakan apa yang jadi tugasnya. Sampai pada satu titik mungkin ketika ia sadar bahwa kata-kata itu punya dampak kepada orang sekelilingnya. Kemudian, kepada dirinya sendiri. 

Dampak itu terasa karena kalimat itu bergema di sebuah kantor pengacara di Wall Street, dunia tembok-tembok kekar, di ruang yang tertib, di antara dokumen-dokumen yang cermat, di celah-celah bahasa hukum yang ingin persis dan prediksi yang ingin tepat. Di antara itu semua, kata-kata Bartleby tak menampik, tapi juga tak menerima. Ia menghapus makna yang diacunya sendiri, tapi juga menghapus makna lain yang mungkin. Ia menggunakan ungkapan yang lempang tanpa kiasan, tapi, setidaknya bagi Deleuze, "ia menciptakan sebuah vakum dalam bahasa (langue)".Sebagaimana ia berhenti menyalin dokumen, ia pun berhenti menyalin bahasa orang lain yang umum.

Akhirnya ia memang seorang luar, sepenuhnya. Andai ia menyatakan maksud yang jelas ia menolak, ia masih meletakkan diri dalam satu posisi. Tapi tidak. Dalam ambiguitas itu, ia melakukan resistansi. 

Saya tak bisa menyimpulkan bahwa resistansi itu efektif. Deleuze memang bertepuk tangan: "Bartleby telah memenangi hak untuk lanjut hidup, artinya, untuk tetap tak bergerak dan tegak di depan sebuah dinding buta." Tapi orang lain bisa mengatakan aksi Bartleby hanya mengarah ke sebuah impase; tak ada langkah tegas ke pembebasan. 

Bartleby memang bisa dipandang sebagai tubuh yang memprotes "kandang besi" yang membentuk Wall Street. Tapi ia sendiri. Ia menyendiri. Ia menolak apa pun yang dari luar, juga makanan; ia seperti seorang pertapa yang memegang teguh puasa dan prinsip. Tapi ia juga seperti penderita anoreksia yang sekaligus narsis. 

Di penjara dan di kuburannya, ia tak mengubah apa-apa.

Tapi mungkinkah ia sepenuhnya sendiri? Ada yang terjadi, meskipun tak senantiasa terjadi: seseorang yang sebenarnya bisa menyingkirkannya--sang majikan di kantor pengacara itu--tak hendak melakukan tindakan itu. Bahkan ia mengalah. Kemudian menawarkan tempat. Kemudian mengirimi Bartleby makanan. 

Bisa saja sang majikan melakukan itu buat menyelamatkan mukanya sendiri, atau ia tak mau heboh, atau ia entah. Tapi yang jelas, ia merasa Bartleby bukan unsur yang bisa dibuang. Ia merasa Bartleby tak sendirian.

Maka apa nama yang akan kita berikan kepada mereka yang menolak tapi tak menolak? Mungkin "golput" bila ambiguitas itu, ketakjelasan bahasa itu, bisa memberi isyarat: kami bukan hanya sedang tak mau diganggu. 

Goenawan Mohamad

Page 3: caping+cari angin+kolom tempo 30.3.2014-5.4.2014

Nyepi

Sabtu, 29 Maret 2014

Putu Setia@mpujayaprema

Esok hari, kehidupan seperti berhenti di Bali. Tak ada mobil bergerak di jalanan. Baliho partai yang memenuhi tikungan jalan, bebas dari cemoohan, karena tak ada orang berlalu-lalang. Pelabuhan dan bandar udara ditutup. Ini bukan lantaran kabut asap, Bali tak punya hutan, apa yang dibakar. Umat Hindu merayakan pergantian Tahun Saka dan Bali masih boleh menutup diri.

Nyepi tentu hakekatnya adalah sepi. Dalam kesepian dan kesunyian kita belajar untuk mendengar dan sesekali berhenti berbicara. Ayo dengarkan apa kata orang, jangan cuma meminta orang untuk mendengar suara kita. Tapi, karena orang lain juga melakukan hal yang sama, lalu apa yang didengar? Televisi dan radio tak boleh siaran-kecuali lewat parabola atau Internet. Ya, dengarkan suara hati. Cobalah kita bertanya pada hati dan dengarkan apa jawabnya.

Mari bertanya: "Wahai hati kecilku yang jernih suci, sesungguhnya apakah aku layak mencalonkan diri sebagai presiden?" Dan hati mungkin menjawab: "Kamu sama sekali tak layak nyapres. Pemilu yang lalu sudah jadi calon, kalah pula. Usia sudah tua, cara kamu berkampanye saja sudah tidak kreatif, meniru-niru jadi tukang becak atau pedagang asongan, bukan menjadi diri sendiri. Sudahlah, beri kesempatan calon lebih muda."

Atau barangkali hati menjawab begini: "Kamu mau jadi presiden? Lumuran darahmu di masa lalu masih berbekas, bukan di tubuhmu, tetapi di tubuh rakyat. Betul orang bisa tobat, betul juga kesalahan di masa lalu bisa tak diulang di masa depan, betul sekali setiap saat orang bisa berbuat baik untuk menebus kesalahannya. Tetapi itu tak pernah kamu buktikan dengan langkah nyata, tiba-tiba saja mau berubah secara mendadak. Tidak, kamu tak layak nyapres. Kalau mau berbuat baik untuk negeri ini, masih ada pekerjaan lain, bukan sebagai presiden."

Mungkin hati menjawab lebih halus: "Ya, sudahlah, lupakan niatmu menjadi presiden. Padi yang mestinya menguning sudah lama dilanda lumpur dan tak ada rasa menyesal yang kamu tunjukkan, baik pada alam maupun pada sesama manusia. Semesta telah memberi kode dan kamu tak pernah membacanya, karena matamu ditutup oleh kekayaan semu. Berikan kesempatan pada sahabatmu untuk nyapres, kamu peluk-peluk boneka lebih humanis."

Dalam keadaan hening, hati pasti berbicara lebih jujur. Misalnya seperti ini: "Di antara calon yang lain, kamu memang ditunggu-tunggu untuk menjadi presiden. Tapi kamu harus introspeksi diri, apa betul punya misi dan visi untuk negeri yang begitu luas? Rakyat sudah berkali-kali kecewa, menggebu-gebu dengan euforia tinggi memilih presiden, ternyata belakangan mendapatkan presiden yang tak banyak berbuat. Aku khawatir kamu hanya

Page 4: caping+cari angin+kolom tempo 30.3.2014-5.4.2014

mengulang sejarah. Coba kamu telisik dirimu, memangnya kamu tahu masalah yang lebih makro, kamu punya kontak-kontak di mancanegara, kamu punya perhatian yang lebih dari sekadar melihat got mampet dan blusukan ke mana-mana? Presiden harus kerja keras, tapi tak bisa setiap hari hanya bersalaman dengan rakyat dan itu pun dengan liputan seabrek jurnalis. Presiden harus banyak berpikir, mencari solusi, lalu memerintahkan pembantunya untuk mengerjakan. Yang penting lagi, ayomi seluruh rakyat, bukan mementingkan partai. Mandat itu dari rakyat, bukan dari partai."

Contoh bagaimana hati menjawab bisa diperpanjang. Yang pasti jawaban lebih jujur akan diperoleh karena kita dalam keadaan hening untuk bertanya, dan jawabannya hanya kita yang tahu. Terserah kemudian kita mengikuti kata hati atau tidak. Selamat Nyepi dan melakukan perenungan.

Page 5: caping+cari angin+kolom tempo 30.3.2014-5.4.2014

Pilihan, Citra, Luka

Selasa, 01 April 2014

Geger Riyanto, Esais, @gegerriy

Saya sangsi kalau masyarakat Indonesia dikatakan pelupa. Bila dicermati dengan saksama, kita sebenarnya tak pernah melupakan apa pun. Dan penekanan saya, khususnya, kita sebenarnya tak pernah melupakan bagaimana pada masa Orde Baru  nyawa ditaksir murah, hak-hak dirampas, dan kekayaan ditimbun oleh satu keluarga  Paman Gober.

Hanya, kita perlu menyadari, manusia berbeda dengan komputer. Dan ingatan? Ingatan bukanlah bank data yang mampu menyimpan fakta masa lalu penuh presisi. Ingatan, sekali ini para penjaja motivasi pendidikan itu benar, disimpan oleh tubuh dalam bentuk kilasan perasaan-perasaan kuat. Tak perlu semenit untuk melupakan kata-kata yang kita ucapkan, kita tahu. Tapi butuh lebih dari satu usia hidup seseorang untuk melupakan satu pengalaman amat menyakitkan yang melanda diri.

Jadi, kabar baiknya, para sejarawan yang gemar mengkritik bahwa masyarakat kita amnesia itu keliru. Masyarakat kita adalah pengingat yang baik, manakala kita memahami kelambu otak bukanlah kertas untuk ditulisi teks-teks ingatan terinci. Kita, memang, tidak mengingat Orde Baru lengkap dengan segenap detail kasus korupsi dan perlakuan sewenang-wenangnya terhadap warga. Namun kita masih-dan mungkin akan terus-mengingat kesan-kesan yang tak bisa dikatakan sepenuhnya keliru menggambarkan rezim bersangkutan: keras, tertib, dan (jamak pula) keji.

Kabar lainnya-kabar buruknya, mungkin?-adalah ingatan yang terekam dalam wujud bayang-bayang ini pada hari-hari belakangan memberi pihak-pihak tertentu tempat istimewa di hati khalayak luas. Dalam kegusaran yang sebenarnya lazim menimpa masyarakat yang terguncang sistem pasar bebas, orang-orang mencari mesias pembawa ketertiban. Mereka haus akan induk yang sekonyong-konyong saja hilang digantikan rangkaian kekerasan di sana-sini; baik kekerasan sistemik, kesenjangan, kebutuhan hidup yang kian tak terjangkau, maupun kekerasan fisik yang Anda tentu tahu dan akrab menyapanya setiap hari di media.

Dan menjelang pemilu di mana perubahan ada di ujung jari warga awam, ingatan yang juga kekaburan masa lampau kolektif ini merekonstruksi sosok yang bukan hanya mewarisi citra rezim yang tertib, tapi juga terlibat langsung dalam sejarah peristiwa-peristiwa penertibannya. Lewat kerja kognitif yang sebenarnya absurd, ia menjadi identik sebagai sosok dari masa lalu yang akan mengembalikan masa yang jaya dan tenang itu. (Caranya? Entahlah. Citra hanya memerlukan ciri. Bukan program.)

Page 6: caping+cari angin+kolom tempo 30.3.2014-5.4.2014

Khalayak, berarti, bukannya tak ingat akan luka yang pernah ditorehkan kalau kita mau menyebut warisan Orde Baru demikian. Kita bukannya lupa saat itu gangguan terhadap rezim diatasi dengan penghilangan. Di satu sudut gelap batinnya, khalayak ini mendambakan ketegasan yang nyaris tak berbatasan dengan kekejaman itu. Trauma diintimidasi oleh rezim menjelma menjadi ingatan buram bahwa kita pernah punya bapak yang arif yang menghukum kita demi kebaikan kita sendiri. Sosok yang kita kira tak enggan menyakiti kita, kalau saya boleh mengutip Anas, "sedang musim."

Kita biasa memilih penguasa kita dengan alasan-alasan yang absurd. Kali ini, boleh jadi, kita akan memilih dengan alasan yang lebih absurd lagi. *

Page 7: caping+cari angin+kolom tempo 30.3.2014-5.4.2014

Gelar Akademis dalam Kampanye

Selasa, 01 April 2014

Antyo Rentjoko, bekas blogger, @PamanTyo

Papan pemeragaan Pemilu 2014 itu dicoblos oleh Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Umum DPP Demokrat, di Tulungagung, Jawa Timur, Selasa 18 Maret lalu. Semua nama calon legislator dalam kartu suara raksasa itu bertulisan "Prof. Dr. Ir. Calon Anggota DPR"-semuanya dalam huruf kapital. Kalau nama itu dieja jadilah "profesor doktor insinyur calon anggota dé-pé-èr". Semuanya sama. Lalu jadilah tampak generik, mirip spesifikasi suku cadang. Lalu, apanya yang menarik? Ada tiga tilikan.

Pertama: orang tahu, pada awal pembentukannya, Demokrat memang lekat dengan citra akademis. Banyak doktor dan guru besar bergabung di dalamnya. Kedua: memang jamak jika dalam kampanye pemilihan legislatif ataupun kepala daerah gelar akademis ditampilkan. Ada kesan kalau gelar lebih dari satu itu mentereng. Namun, sejauh saya lihat, beberapa materi pencitraan diri caleg ataupun calon bupati dan calon wali kota tak ada yang berfoto di perpustakaan pribadinya. Mungkin perpustakaan dianggap sebagai dunia kaum menak, jauh dari hamba sahaya.

Ketiga: di luar urusan pemilu, masyarakat kita sangat menghargai gelar akademis. Dengan demikian, undangan pernikahan pun menjadi dokumen perkawinan akademis. Dalam bahasa humor pemandu acara, "Inilah pernikahan daripada Insinyur Bambang Hartono melawan Doktoranda Sri Rahayu." Melawan? Memangnya tinju? Lagi pula insinyur dan doktoranda itu gelar lama-kecuali pengantinnya sudah tua.

Gelar akademis dan profesi memang penting dalam masyarakat. Siapa pun yang memiliki gelar, secara legal dan bermartabat, tentu berhak memasangnya untuk urusan apa pun. Bahwa seorang Fuad Hassan sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tetap tak mencantumkan gelar ketika menandatangani Kepmen 036/U/1993 tentang Gelar dan Sebutan Lulusan Perguruan Tinggi, anggap saja dia menempatkan diri sebagai birokrat, bukan dosen. 

Cara Fuad yang tanpa gelar juga dilakukan oleh Satryo Soemantri Brodjonegoro (Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, 1999-2007). Semua dokumen dinas tak memuat gelar "Prof. Dr. Ir.". Tentulah mau pasang gelar atau tidak itu soal pilihan. Menjadi tak elok jika mereka yang mendapatkan gelar dengan membeli pun memajangnya dengan rasa penuh wibawa.

Pada gilirannya adalah bisnis. Cobalah Anda ketik "jual ijazah" dalam Google, muncullah sejumlah penyedia. Ada yang menawarkan ijazah S-1 dan S-2 seharga Rp 2-3,5 juta. Murah nian. Menurut pontianak.tribunnews.com, Kamis, 16 Januari 2014, ijazah palsu di

Page 8: caping+cari angin+kolom tempo 30.3.2014-5.4.2014

Kalimantan Barat juga diminati caleg. Ongkosnya Rp 15-30 juta. "Untuk jurusan, bisa sarjana hukum, fisipol, banyaklah, tinggal milih saja," demikian Tribun mengutip perkataan seorang caleg berinisial Mar.

Dari pasar ijazah di internet itu, sejauh saya lihat sekilas, tak ada yang menawarkan gelar berlatar keilmuan tertentu, semisal matematika, fisika, astronomi, filsafat, arkeologi, dan antropologi. 

Eh, tapi kalau menilik kampanye, benarkah masyarakat mencoblos seorang kandidat karena sebelumnya terkesan oleh gelarnya? Apakah gelar menjadi nilai plus selain cita-cita politik yang ditawarkan oleh kandidat? Jika ya, berarti dakwaan bahwa masyarakat kita kagum gelar adalah benar. Yang diperlukan tinggal peningkatan kawaskitan dan kecendekiawanan dari setiap pengusung gelar. Jika tidak, berarti pencantuman gelar tak membawa manfaat. Lalu, buat apa merangkai gelar sampai berganda? *

Page 9: caping+cari angin+kolom tempo 30.3.2014-5.4.2014

Jokowi, Ahok, dan Marhaenisme

Selasa, 01 April 2014

JJ Rizal, Sejarawan

Marhaenisme bangkit dari kubur sejarah. Setelah puluhan tahun raib di ruang publik, ujug-ujug Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki T. Purnama, alias Ahok, menggunakannya untuk menerawang dunia batin Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, alias Jokowi. Syukur, akhirnya keluar juga pemikiran penting itu dari seorang pejabat. Padahal, setelah Sukarno dijatuhkan dan semua eksperimen politiknya digulung, mulailah para pejabat diharamkan mengucapkan kata itu. Demikianlah Orde Baru membunuh Marhaenisme. 

"Jokowi itu penganut paham Marhaenisme," kata Ahok. Ia lalu menyoroti Marhaenisme seraya mengaitkannya dengan sosok Megawati, Ketua Umum PDI Perjuangan yang dianggapnya sebagai representasi pemikiran Sukarno. "…Mega itu bukan cuma anak biologis Bung Karno, tapi juga anak ideologisnya," ujar Ahok. Jokowi, kata Ahok, melihat Mega sebagai representasi Marhenisme. Sebaliknya, Mega pun melihat jiwa Marhaen dalam Jokowi.

Ahok memang tak secara khusus menelaah Marhaenisme persis yang sudah dilakukan oleh tokoh politik seperti Sarmidi Mangunsarkoro, Soewirjo, Sitor Situmorang, dan Sunawar Sukowati. Bahan untuk memahami pemikiran Ahok itu pun hanya pernyataannya bahwa Marhaenisme adalah paham yang menentang penindasan terhadap rakyat kecil. Paham ini dijadikan ideologi oleh PDI Perjuangan dengan mengacu pada sosok Sukarno. 

Singkat, tapi Ahok cukup tepat. Marhaenisme memang paham yang menolak penindasan rakyat kecil. Istilah Marhaenisme dan Marhaen pertama kali disebut dalam pidato Sukarno sebagai ketua PNI (Partai Nasional Indonesia) yang didirikannya pada Juli 1927. Namun, secara resmi istilah Marhaen memperoleh definisi dalam pidato pembelaannya, Indonesia Menggugat, di Bandung pada 1930. Lebih jauh, hal ini dijabarkan dalam "Sukarno, Marhaen, dan Proletar" dalam Pikiran Rakyat pada 1933. Sukarno menyatakan bahwa "pergaulan hidup Marhaen adalah pergaulan hidup yang sebagian besar terdiri dari kaum petani kecil, buruh kecil, pedagang kecil, pelayar kecil; kaum marhaen adalah yang semuanya kaum kecil sengsara dan melarat." 

Tapi, Ahok lupa bahwa sebagai ideologi partai, Marhaenisme berakhir dengan berfusinya PNI ke dalam PDI pada 1975. Setelah Soeharto jatuh pada 1998, memang terdapat parpol dan ormas yang seideologi dengan Sukarno. Mereka ada yang langsung menyebut diri Marhaenis, seperti PNI Front Marhaen, PNI Massa Marhaen, Partai Rakyat Marhaen, Kesatuan Buruh Marhaenis, dan Keluarga Besar Marhaenis. Tapi, PDI Perjuangan, meskipun getol memasang

Page 10: caping+cari angin+kolom tempo 30.3.2014-5.4.2014

gambar Sukarno dan mengklaim sebagai partainya wong cilik, tak termasuk yang beralih ideologi ke Marhaenisme. 

Hal lain yang dilupakan Ahok adalah kaitan antara Marhaenisme dan Marxisme-Komunisme. Ahok sebagai politikus bisa saja menaruh Marhaenisme sebagai mahkota bagi Jokowi dan Megawati. Bahkan, ia bisa menghiaskannya sebagai "Marhaenis asli" dan Marhaen adalah "roh" mereka. Tapi, masih segar dalam ingatan bagaimana Ahok pada 26 April 2013 dengan nada ketus menyebut wong cilik di sekitar Waduk Pluit yang hendak digusurnya sebagai Komunis. Ia memang meralat dan menyatakan ucapan yang ditujukan kepada LSM yang mengatasnamakan warga Waduk Pluit dan menempuh cara Komunis. Tapi, sikap Ahok mengingatkan kita pada yang disebut Sukarno komunisto-phobi. 

Ahok lupa bahwa akar Marhaenisme adalah keyakinan pemikiran Marxis-Komunis, seperti juga Islam dan Nasionalis adalah syarat mutlak jika ingin mencapai cita-cita kemerdekaan. Sukarno juga mendukung ketika pada 1964 timbul penafsiran Marhaenisme adalah Marxisme-Komunisme yang diterapkan sesuai dengan kondisi di Indonesia. Penulis biografi politiknya, Bernard Dahm, menyatakan Sukarno percaya komunisme adalah avant-garde yang dibutuhkan untuk melaksanakan keadilan sosial dan kemakmuran rakyat. Karena itulah Sukarno selepas Gestok 1965 berkukuh menolak membubarkan PKI (Partai Komunis Indonesia). 

Sukarno pun kerap mewanti-wanti masyarakat agar jangan bersikap komunisto-phobi dan memahami betul bahwa gagasan Marhaenisme adalah hogere optrekking atau peningkatan ke derajat yang lebih tinggi dari metode berjuang serta berpikir Marxis-Komunis. Bahkan, Sukarno mengatakan bahwa Pancasila hogere optrekking dari Declaration of Independent dan Communist Manifest. 

Dalam amanat pada gemblengan pendidikan kader pelopor Marhaenis 24-25 Maret 1965 di Jakarta, Sukarno menyatakan Marhaenis tidak hanya terdapat dalam PNI, tapi ada pula dalam partai lain. Sukarno pun menegaskan barangsiapa bersikap komunisto-phobi dan tidak bersifat progresif revolusioner adalah Marhaenis gadungan. Berlatar belakang itu, apakah Ahok bisa disebut Marhaenis gadungan? 

Mungkin tidak harus sejauh itu, tapi jelas Ahok adalah gambaran, yang disebut Syafi'i Ma'arif dalam Menggugat Nurani Bangsa, sebagai tipe pemimpin lemah karakter karena tak cukup mengaitkan diri dengan darah-daging pemikiran yang membentuk Indonesia. Keretakan antara kata dan laku adalah salah satu gejala utamanya. Masalah dalam sisi moral-psikologis ini dialami oleh banyak politikus kini dan sangat perlu untuk dicari pemecahannya. *

Page 11: caping+cari angin+kolom tempo 30.3.2014-5.4.2014

Politik BunyiRabu, 02 April 2014

Purnawan Andra, peminat kajian sosial budaya masyarakat

Setiap kali momen pemilu datang, kita selalu mendapati pergelaran yang sama pada musim kampanye: konvoi massa memakai kaus partai, bersepeda motor memenuhi jalanan dengan knalpot terbuka memekakkan telinga. Hal ini terutama tampak di daerah. Seiring entakan berirama suara knalpot, mereka menari di atas sadel. Mereka menjadi barisan penguasa jalanan yang mampu membikin pengguna jalan lainnya menyingkir ke tepian.

Entah apa yang ada di kepala mereka. Mungkin kegembiraan dan kebahagiaan lepas dari segala aturan lalu lintas, mengekspresikan diri dengan lantang, melepaskan beban hidup yang selama ini mengimpit dengan menari-nari dan bertemu dengan orang lain yang "berseragam" sama, artinya satu "pemikiran".

Mereka menjadi satu kelompok yang eksis, di jalanan. Inilah identitas kelompok, kolektif dan bukan personal, yang pada akhirnya mampu meniadakan perasaan takut, mengabaikan bahaya, ancaman, dan larangan, termasuk perhitungan nilai kepantasan dan ketidakpatutan.

Sayangnya, kolektivitas semacam ini kerap dimaknai sebagai alibi atas sikap mau menang sendiri, semaunya sendiri, yang kadang berubah menjadi tindakan anarkisme yang merugikan orang lain. Keberhasilan menyingkirkan orang lain dari jalanan yang dilewatinya adalah kebahagiaan yang dirayakan dan dinikmati oleh konvoi bermotor.

Padahal suara knalpot dengan kuantitas dan kualitas berlebihan memang mampu membikin riuh, gaduh, dan kebisingan yang luar biasa. Tapi suasana seperti ini juga bisa saja merusak telinga, membikin stres, dan terutama meningkatkan kadar emosi. Namun harus diakui bahwa, pada akhirnya, memang demikianlah potret sosial-budaya masyarakat kita.

Kampanye dengan massa bersepeda motor yang menggunakan knalpot terbuka adalah ritus politik yang terus berulang setiap waktu. Sejak saya kecil hingga kini, kegiatan semacam ini tak berubah mengisi agenda kampanye. Barisan "knalpot bermotor" ini berputar-putar sepanjang kota, lalu menuju lapangan di mana telah dibangun panggung musik (dangdut) dengan seseorang berteriak-teriak seperti berpidato, orang-orang mengepalkan tangan meninju udara, lalu setelah menari bergoyang dangdut bersama, barisan ini kembali berputar kota menggeber knalpot butut.

Kampanye menjadi bermakna tunggal, hanya berisi konvoi sepeda motor berknalpot butut dan panggung dangdut di lapangan. Agenda setting yang lebih penting tentang kampanye itu sendiri menjadi terabaikan.

Page 12: caping+cari angin+kolom tempo 30.3.2014-5.4.2014

Barangkali budaya politik di negara kita adalah politik bunyi. Bunyi dari kampanye dengan motor berknalpot butut, panggung musik (dangdut), dan orasi dari atas panggung. Semakin keras bunyi yang dihasilkan, hingga semakin jauh dan banyak orang yang menangkap bunyinya (meski belum tentu mendengarkan baik-baik), seolah menampilkan besarnya hajatan partai yang dilangsungkan, tak peduli berapa banyak orang yang datang.

Bunyi kampanye tidak sekadar masalah identitas kultural masyarakat, eksistensi pribadi, atau kelompok maupun representasi politik bangsa. Di balik fenomenanya yang "mengganggu" itu, masih tersimpan permasalahan kehidupan lebih dari 200 juta penduduk Indonesia yang menunggu solusi nyata dari para caleg dan partai yang berkampanye, bukan sekadar bunyi orasi berisi janji-janji. *

Page 13: caping+cari angin+kolom tempo 30.3.2014-5.4.2014

Cepot

Rabu, 02 April 2014

Bagja Hidayat, @hidayatbagdja

ASEP Sunandar Sunarya meninggal di usia 58, Senin lalu. Dalam dunia wayang golek, dia seperti Srimulat bagi para pelawak. Asep menjadi pionir dan kiblat mendalang di zaman modern. Inovasi panggungnya sangat terkenal: cepot berkaki satu dengan kepala bisa mengangguk, Gareng sebagai tambahan punakawan, buta copot kepala hingga wayang bisa memuntahkan mi.

Dan bukan hanya karena itu Asep dikenang banyak orang. Ia menghibur karena memenuhi daya khayal penonton akan dunia lain yang disediakan pewayangan. Kita datang ke pertunjukan Asep tak hanya untuk menonton nayaga dan panggung Giri Harja III yang megah, tapi juga menyimak "dunia lain" yang dimodifikasi Asep dari kisah Ramayana dan Mahabharata dengan sangat lokal dan kontekstual.

Di antara sekian banyak tokoh wayang yang berkarakter karena suaranya berbeda-beda, agaknya Asep identik atau mengidentikkan diri dengan Cepot. Inovasinya mendalang sangat bertumpu pada tokoh ini. Asep menciptakan kaki dan kepala Cepot bisa mengangguk, yang membuatnya terkenal ke seluruh dunia. Dan Cepot komplet sebagai tokoh. Meski memanggil Semar dengan "ayah", Cepot bukan anaknya. Ia bayangannya sehingga selalu ada di sisi Semar tiap kali tampil.

Astrajingga bermuka merah karena ia gampang naik darah. Ia pemarah yang lucu. Muka merah itu berkombinasi dengan hidung minimalis dan bibir menyeringai tertawa lebar menunjukkan satu gigi. Ia punakawan paling lucu dan pintar sekaligus paling filosofis. Ada satu cerita Cepot patah hati serius karena cintanya ditolak seorang putri dan kemarahannya membuat Tumaritis dan Hastinapura guncang.

Tentu saja Cepot tak ada dalam cerita asli Ramayana atau Mahabharata. Cepot kreasi asli dalang-dalang di Jawa Barat untuk dua epos besar India itu. Dan dalang yang berhasil adalah dalang yang bisa memainkan Cepot dengan sempurna: lucu, gampang marah, cerdas, sekaligus omongannya penuh renungan. Sebab, dengan sifat yang witty seperti itu, Cepot ditunggu penonton.

Dalam sebuah jeda perang Ayodya dan Alengka memperebutkan Dewi Shinta, Cepot tampil dengan pikirannya yang unik. Ia berdebat dengan seorang kesatria tentang perlunya berdoa di zaman perang "konyol" itu. Kesatria itu menyergah bahwa doa tak diperlukan manusia karena

Page 14: caping+cari angin+kolom tempo 30.3.2014-5.4.2014

Tuhan telah menggariskan nasib dan Ia mahatahu apa yang ada dalam hati dan pikiran kita. Dengan gaya humornya, Cepot sampai pada jawaban-jawaban filosofis yang masuk akal dan membumi.

Bagi Cepot, berdoa tak semata meminta dan memohon pertolongan dari sesuatu di luar akal manusia, kekuatan yang tak teraba pancaindra. Bagi dia, berdoa adalah cara bersyukur dan mendekat kepada Tuhan. Pada momen berdoa, kata Cepot, ada pengalaman individual yang transenden dan kejujuran pengakuan sebagai makhluk yang dhaif. Dan itulah iman, sesuatu yang membedakan manusia di mata Tuhan.

Dengan cara berpikir seperti itu, Astrajingga sesungguhnya tokoh sentral dalam wayang golek. Ia tak melulu arif seperti Semar, tak selamanya bijak seperti Kresna, atau selalu melucu layaknya Gareng. Astrajingga paduan itu semua. Ia mengingatkan pada Nasruddin Hoja atau Abu Nuwas, filsuf yang berpikir dari sisi humor. Asep Sunandar mentransformasikannya dalam kesenian yang amat digemari di Jawa Barat. *

Page 15: caping+cari angin+kolom tempo 30.3.2014-5.4.2014

Mengukur Peluang Partai Islam

Rabu, 02 April 2014

Saidiman Ahmad, mahasiswa Australian National University

Tujuh orang berpose. Lima perempuan. Dua laki-laki. Masing-masing membawa poster putih-hitam-kuning lambang Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Lima perempuan itu tak berkerudung. Dibiarkannya rambut sebahu mereka jatuh ke pundak. Di Gelora Bung Karno, pada kampanye besar PKS, paduan suara Gereja Spiritus Santos, Ende, Nusa Tenggara Barat, dipercaya menyanyikan lagu mars partai dakwah itu.

Apa yang menjelaskan ini semua? Bagaimana sebuah partai yang lahir dari gerakan Islamis (Muhtadi 2012) bisa tampil dengan aroma pluralisme yang sangat kentara? Apakah partai Islamis ini sudah tidak cukup percaya diri dengan kekuatan ideologi Islam yang mereka usung untuk meraih suara publik muslim Indonesia?

Sebuah studi ambisius dilakukan oleh Charles Kurzman dan Ijlal Naqvi (2010), Do Muslims Vote Islamic?, untuk melacak tren prestasi partai-partai Islam di 21 negara dalam rentang waktu 40 tahun (1969 sampai 2009). Walaupun masing-masing pemilu memiliki tingkat kebebasan dan kejujuran yang bervariasi, secara keseluruhan prestasi partai-partai Islam sangat tidak meyakinkan (hlm. 55).

Di beberapa tempat seperti Aljazair, Turki, Tunisia, dan Mesir, partai Islam belakangan memang keluar sebagai pemenang pemilu. Namun jargon-jargon kampanye yang mereka usung cenderung tidak Islamis. Hampir semua partai Islamis itu justru mengusung jargon perubahan ekonomi, keadilan sosial, pemberantasan korupsi, dan semacam itu.

Apakah ideologi Islamis tidak laku? Penjelasan terbaik untuk pertanyaan ini dikemukakan oleh Tom Pepinsky, William Liddle, dan Saiful Mujani (2012). Artikel mereka, Testing Islam's Political Advantage: Evidence from Indonesia, berusaha melacak apakah partai-partai Islam memiliki keunggulan komparatif dengan ideologi Islam yang mereka usung.

Mari kita masuk sedikit lebih detail soal metodologi yang digunakan oleh Mujani dkk dalam studi ini. Studi ini menggunakan data kuantitatif dari survei opini publik yang dilakukan secara nasional pada 2008. Mereka membagi partai-partai di Indonesia ke dalam dua kelompok besar: partai Islam dan partai Pancasila. Ketiga peneliti itu kemudian mengasumsikan tiga kondisi pengenalan pemilih pada platform ekonomi partai: yakin positif, tidak jelas, dan yakin negatif. Dengan menggunakan pendekatan eksperimental, kedua kelompok partai dan asumsi keadaan itu disimulasikan. Pertanyaan besarnya adalah partai

Page 16: caping+cari angin+kolom tempo 30.3.2014-5.4.2014

mana yang akan dipilih oleh pemilih jika mereka tahu program ekonomi dua kelompok partai itu sama-sama buruk, sama-sama baik, dan tidak tahu atau ragu.

Temuannya sangat menarik. Secara umum, para pemilih Indonesia cenderung menjatuhkan pilihan pada partai-partai Pancasila jika mereka secara jelas mengetahui program kedua partai, baik dalam kesan positif maupun negatif. Partai-partai Islam hanya punya keunggulan untuk terpilih jika platform ekonomi partai tidak jelas di mata pemilih. Jelasnya, dalam pertarungan antara partai Islam dan partai Pancasila, hanya ketika pemilih tidak yakin ihwal tawaran program kedua partai itulah partai Islam cenderung memiliki keunggulan elektoral.

Temuan ini secara meyakinkan menantang argumen kaum esensialis yang menyatakan bahwa Islam sekonyong-konyong akan menarik preferensi publik pemilih semata-mata karena ia mengusung Islam. Di sisi yang lain, studi ini juga secara serius menantang kaum reduksionis yang menyatakan Islam sebagai ideologi sama sekali bukan faktor dalam perilaku pemilih Indonesia. Selain itu, studi ini lebih jauh juga menjelaskan bagaimana ideologi itu memiliki keunggulan. Wajar bahwa paper yang disusun oleh Pepinsky, Liddle, dan Mujani ini kemudian diganjar penghargaan Franklin L. Burdette/Pi Sigma Alpha dari American Political Science Association (APSA) sebagai paper terbaik dalam konferensi mereka pada 2012.

Mengacu pada penjelasan akademis ini, memburuknya prediksi perolehan suara partai-partai Islam bisa disebabkan oleh dua kemungkinan: persepsi yang baik atas tawaran program dua kelompok partai (Islam dan Pancasila), atau sebaliknya, pemilih yakin bahwa tawaran kebijakan semua partai sama buruknya. Prasyarat kondisi kebimbangan tidak dominan terjadi, sehingga preferensi publik secara umum pada ideologi Islam tidak berkembang.

Dengan demikian, kampanye dengan semangat toleransi, pluralisme, dukungan pada pertumbuhan ekonomi, pemberantasan korupsi, reformasi birokrasi, dan sederet agenda politik sekuler lainnya ada kemungkinan adalah strategi terbaik bagi partai-partai Islam untuk bertahan. Menampilkan wajah yang terlalu berwarna Islamis akan membuat partai-partai ini terperosok lebih jauh. Namun meninggalkan ideologi Islam sama sekali juga bukan pilihan bijak bagi mereka. Sebab, masih ada sekelompok pemilih yang memandang Islam sebagai satu-satunya alasan bagi mereka untuk memilih partai. *

Page 17: caping+cari angin+kolom tempo 30.3.2014-5.4.2014

Pertengkaran tanpa Persoalan

Kamis, 03 April 2014

Husein Ja'far Al Hadar, Pendiri Cultural Islamic Academy Jakarta

Dalam salah satu syairnya berjudul Hai, Ma! (1992), W.S. Rendra menulis, "... hidup cemar oleh basa-basi dan orang-orang mengisi waktu dengan pertengkaran edan yang tanpa persoalan ..." Rendra sedang menyindir kita, umat beragama, masyarakat politik, dan yang lainnya juga, yang memang sering bertengkar tanpa persoalan. Basa-basi saja.

Dalam sebuah acara televisi di AS pada 2005 yang dipandu oleh John Stewart, ternyata terungkap bahwa pejabat tinggi FBI tak bisa menjawab saat ditanya tentang hal-hal yang sangat mendasar tentang Islam. Bahkan mereka bukan hanya mengakui ketidaktahuan, tapi lebih buruk lagi, mereka sejak awal melepaskan keingintahuan untuk tahu, sehingga, John Stein, Redaktur Keamanan Nasional untuk Congressional Quarterly di Washington, yang juga aktif mewawancarai pejabat dan petinggi AS, pernah berkata, "Sebagian besar pejabat AS (bukan hanya anggota Kongres, tapi juga intelijen dan penegak hukum AS) yang telah saya wawancarai tidak mengetahui apa-apa tentang Islam secara mendasar," (John L. Esposito, 2010). Padahal mereka berada dalam garis depan perang kontra-terorisme yang sering distigmakan pada Islam sebagai agama teror.

Kita pun di Indonesia kerap terjebak oleh apa yang disindir oleh Rendra itu. Kita membenci dan memerangi penganut agama atau mazhab yang berbeda tanpa tahu apa agama atau mazhab itu. Begitu pula dalam politik. Bahkan, ironisnya, kita membenci dan bertengkar hanya karena provokasi dan fitnah belaka dari mereka yang berkepentingan semata. Padahal, dalam kajian hikmah tasawuf, lebih jauh lagi, kita dituntut untuk memahami substansi sesuatu yang sering kali sama dan bahkan satu, walaupun secara kulit berbeda dan beragam. Agar kita tak bertengkar hanya karena perbedaan kulit, yang secara substansi sebenarnya kita sama dan satu, sehingga paradigma dan sikap hidup kita sesuai dengan nilai dasar bangsa ini, yakni Bhinneka Tunggal Ika.

Pertengkaran sering kali muncul hanya karena lemahnya komunikasi. Komunikasi hanya menjadi basa-basi belaka, layaknya komunikasi dua orang yang sama-sama tuli. Meminjam istilah Emha Ainun Nadjib (2007), begitu banyak insiden, kekacauan dan pertengkaran yang melanda bangsa ini akibat dari dialektika ketulian massal. Jurgen Habermas, filsuf Jerman kontemporer, menyebutnya sebagai problem komunikasi. Dalam dialognya dengan Giovanna Borradori, yang kemudian dimuat dalam buku Philosophy in a Time of Terror (2003), Habermas menilai masalah sering kali timbul dari distorsi dalam komunikasi; kesalahpahaman dan ketidakmengertian. Komunikasi hanya menjadi basa-basi dan formalitas

Page 18: caping+cari angin+kolom tempo 30.3.2014-5.4.2014

belaka, bukan sebuah dialektika dialogis yang tulus untuk mencari solusi dan menyemai perdamaian. Sebab, pada dasarnya, pertengkaran memang bukan muncul karena persoalan, tapi hanya karena hasrat kebencian yang tak berdasar atau pragmatis semata.

Akhirnya, kita harusnya bukan hanya menghindari apa yang disindir oleh Rendra tersebut, tapi justru membalikkan paradigma itu. Seharusnya, jika pun ada persoalan, itu harus diselesaikan tanpa pertengkaran, yakni melalui komunikasi. Sebab, kita semua tahu dan sadar bahwa pertengkaran tak akan pernah menjadi solusi dan menyelesaikan masalah, tapi memperburuk masalah atau malah menambah persoalan baru. *

Page 19: caping+cari angin+kolom tempo 30.3.2014-5.4.2014

Musim KampanyeKamis, 03 April 2014

Anton Kurnia, esais dan penulis cerpen

Rasyid Khalifa, pendongeng ulung dalam novel Salman Rushdie, Harun dan Samudra Dongeng, diminta oleh sebuah partai politik untuk meramaikan kampanye mereka. "Musuh-musuhku menyewa orang-orang murahan untuk menjejali telinga orang dengan cerita-cerita buruk tentang diriku, dan orang-orang ceroboh itu menelannya mentah-mentah seperti susu. Untuk alasan ini, aku berpaling kepadamu, Tuan Rasyid. Anda akan menceritakan kisah-kisah bahagia, kisah pujian, dan orang-orang akan mempercayaimu, merasa bahagia, serta kemudian memilihku," ujar sang pemimpin partai.

Rasyid, yang lurus hati, tentu saja keberatan jika harus membual demi seorang politikus yang tidak jujur dan manipulatif. "Jelas sekali Anda ingin aku menceritakan kisah-kisah penuh bumbu!" kata dia, memprotes, seraya menolak melakukan hal itu.

Begitulah. Pada musim kampanye, para politikus justru seakan tak peduli apa yang sebenarnya terjadi atau apa yang sesungguhnya bergejolak di benak khalayak. Bagi mereka, yang penting adalah perolehan suara sebanyak-banyaknya agar mereka mendapatkan kursi, entah itu di pemerintahan (presiden, gubernur, wali kota, bupati) atau parlemen. Kalau perlu, hal itu dilakukan dengan segala cara. Termasuk dengan berbohong, menipu, memberi janji kosong dan angin surga, atau pencitraan palsu. Setelah mereka terpilih, bagaimana nanti saja soal janji-janji itu, bukan?

Hari-hari ini kita tengah kembali menghadapi musim kampanye. Kita sedang menjelang pemilihan umum pertama pada 9 April 2014 untuk memilih para legislator yang notabene adalah wakil rakyat.

Di media sosial, orang-orang ramai mengeluhkan pawai kampanye bermotor partai-partai politik di jalan-jalan yang amat mengganggu kenyamanan dan ketenteraman. Para peserta pawai itu tak peduli bahwa aksi mereka membikin telinga orang pekak dengan suara knalpot serta derum gas sepeda motor dan mobil mereka. Mereka juga seakan tak ambil pusing aksi-aksi mereka menyebabkan jalanan macet dan jantung orang deg-degan karena cemas akan terjadinya huru-hara.

Sementara mereka yang peduli kelestarian lingkungan dan kebersihan mengeluhkan betapa para calon anggota legislatif (caleg) kerap mencederai pepohonan yang berfungsi sebagai paru-paru kota dengan menempelkan dan memaku poster-poster bergambar wajah mereka secara semaunya. Ada juga yang seenaknya menempel dan mengelem gambar-gambar wajah asing mereka di dinding-dinding umum atau pagar rumah penduduk. Belum lagi baliho-

Page 20: caping+cari angin+kolom tempo 30.3.2014-5.4.2014

baliho berukuran besar yang dipasang sesukanya tanpa peduli cita rasa keindahan kota.

Banyak orang muak mendengar, melihat, dan mengalami semua itu. Maka, orang awam cenderung ingin agar musim kampanye lekas berakhir dan euforia pemilu ini segera berlalu demi ketenangan jiwa dan raga. Mereka memilih masa bodoh dengan siapa yang akan mereka pilih dalam hari pencoblosan nanti, karena sebal dengan kelakuan tak bertanggung jawab para politikus dan kawanannya. Kalau perlu, menjadi kaum golput saja. Tak memilih juga sebuah pilihan, bukan? Apalagi jika banyak dari calon terpilih itu tampak tidak layak dipilih.

Jika belum berkuasa saja tingkahnya sudah semaunya, bagaimana kalau sudah berkuasa nanti? Bisa-bisa korupsi sampai mati tanpa peduli jeritan rakyat yang terimpit kenyataan hidup!

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi terakhir, kata kampanye memang diartikan sebagai "kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi politik atau calon yang bersaing memperebutkan kedudukan di parlemen untuk mendapat dukungan massa pemilih dalam suatu pemungutan suara".

Dalam definisi itu, jelaslah bahwa rakyat tidak dilibatkan sebagai subyek yang layak dihormati. Rakyat hanya dijadikan obyek yang diharapkan melakukan apa yang dibutuhkan oleh "organisasi politik atau calon yang bersaing" itu demi keuntungan mereka, bukan demi kepentingan rakyat banyak. Apalagi demi cita-cita mulia memperbaiki masa depan bersama yang adil sejahtera melalui program-program terencana yang berkesinambungan. *

Page 21: caping+cari angin+kolom tempo 30.3.2014-5.4.2014

Korupsi Partai

Kamis, 03 April 2014

Hifdzil Alim, Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM

Menyimak surat dakwaan tindak pidana korupsi Andi Alifian Mallarangeng melalui Koran Tempo, 11 Maret lalu, sepertinya ada ancaman yang membahayakan keberlangsungan hidup partai politik di republik ini. Tengok saja, setidaknya ada duit haram sekitar Rp 7,2 miliar yang mengalir ke anggota partai. Rp 2,5 miliar dari Rp 7,2 miliar tersebut ditengarai masuk ke bendahara sebuah partai. Apakah aliran uang haram tersebut benar-benar diterima oleh anggota partai sebagaimana isi surat dakwaan?

Partai politik adalah tentang kekuasaan. Begitu Joseph Lapalombara dan Jeffrey Anderson memulai tulisannya yang berjudul Political Parties yang dimuat Encyclopedia of Government and Politics (volume I). Jarang ada yang meragukan kalau partai cenderung memiliki hubungan dekat dengan kekuasaan. Partai adalah sarana untuk mencapai kekuasaan. Atau jangan-jangan partai adalah kekuasaan itu sendiri.

Sulit mempercayai bahwa seharusnya partai politik dibentuk sebagai penyambung lidah aspirasi rakyat. Kenyataannya, partai terkesan hanya milik elite. Sartori (1976:18) mengutarakan, parties has determined by a concurrence of events. Tampaknya, partai didirikan dengan persetujuan laku pada zamannya. Kaidah demikian, boleh jadi, hadir sebagai basis legitimasi penilaian bahwa partai bekerja sesuai dengan pesanan. Masalahnya, siapa yang dominan menjadi pemesan? Elite atau rakyat?

Belum lagi ketika partai berdiri tanpa memiliki ideologi yang benar-benar jelas, konsistensi partai atas keinginan pemesannya tak bisa dielakkan. Apalagi dalam usaha melanggengkan kekuasaan, peran partai tidak ubahnya, sama persis, dengan laku segelintir elite yang menyusupkan kepentingannya dalam tujuan partai. Akibatnya, partai memutuskan hubungan dengan rakyat dan memilih kawin dengan elite. Potret buram partai sedang dicetak.

Samar-samarnya keberadaan ideologi membikin partai tambah sulit melepaskan diri dari peran sebagai boneka kekuasaan. Di bagian lain, hal ini juga memperumit keberlangsungan hidup partai. Studi Veri Junaedi dkk (2011) sampai pada kesimpulan, keberlanjutan hidup partai harus ditopang dengan dana yang sangat besar. Celakanya, dana itu tak dapat lagi dipungut dari rakyat yang sudah diputus hubungannya.

Lalu, apa jalan keluar partai untuk menutup ongkos pembiayaannya? Hukum memberi batasan. UU Nomor 2 Tahun 2008 dan UU Nomor 2 Tahun 2011 mengatur hanya ada tiga

Page 22: caping+cari angin+kolom tempo 30.3.2014-5.4.2014

sumber dana untuk partai. Pertama, iuran anggota. Kedua, sumbangan. Ketiga, APBN/APBD alias belas kasih negara.

Rasa-rasanya, sulit menemukan anggota partai yang all-out memberikan hartanya kepada partai tanpa ada umpan balik. Mau tidak mau, iuran anggota menciptakan transaksi kepentingan antara pengorder dan pelaksana. Sekali lagi, partai semakin terjebak dalam keinginan si pemesan, tanpa ia mampu bernegosiasi.

Bagaimana dengan sumbangan, apakah bisa menghidupi gerak-langkah partai? Besaran sumbangan paling banyak senilai Rp 1 miliar bagi perorangan dalam satu tahun anggaran. Perusahaan dan/atau badan usaha maksimal Rp 7,5 miliar, juga dalam satu tahun anggaran, begitu undang-undang tentang partai politik memberi ketentuan. Jumlah ini kelihatannya tak cukup mengkover, misalnya, biaya "pertarungan" antarpartai di 33 provinsi dengan 77 daerah pemilihan, seperti yang tercantum dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum.

Sumber ketiga, belas kasih negara, seterang-terangnya tak bisa menopang kebutuhan partai. Meski ia dihitung dari jumlah suara yang diperoleh dalam pemilihan umum, koefisien pengalinya sangat kecil. Hanya Rp 108 kepeng. Margin pendapatannya berkisar Rp 400 juta sampai Rp 2,3 miliar setiap partai. Bila pun ada perubahan koefisien pengali, naga-naganya juga tak jauh dari angka dua ratusan kepeng. Angka yang tak cukup membuat kenyang perut partai demi melanjutkan hidupnya.

Apa tak ada sumber lain demi memenuhi pundi keuangan partai? Ada! Salah satunya melalui pemotongan pajak yang dibayar oleh para wajib pajak (Koran Tempo, 16 Mei 2013). Tapi, jalan keluar ini menuntut partai menyerahkan dirinya sebagai obyek pengawasan serius dari rakyat. Gelagatnya, opsi ini bakal sulit diambil partai, mengingat ia sudah memutuskan hubungan dengan rakyat sebagai pemesannya.

Maka habis sudah pilihan. Tinggal satu pilihan: korupsi. Sayangnya, cara ini ditawarkan oleh setan. Dan parahnya, partai mengambilnya. Surat dakwaan KPK terhadap Andi Alifian Mallarangeng, memuat contoh vulgar bagaimana cara partai-melalui anggotanya-menyamun duit negara. Meskipun lagi-lagi, rupa-rupa cara itu harus dibuktikan terlebih dulu oleh jaksa penuntut umum di meja hijau.

Namun jangan khawatir, pembuat hukum telah memikirkan jauh-jauh hari perihal korupsi oleh partai. Kalau ada partai yang berani korupsi, dan terbukti, Pasal 20 UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 sudah menanti. Pidana terhadap partai bisa menjadi dasar pembubarannya. Akhirnya, akankah ada partai yang dibubarkan? Jalan hukum masih sangat panjang. *

Page 23: caping+cari angin+kolom tempo 30.3.2014-5.4.2014

Kontroversi Kampanye Negatif

Jum'at, 04 April 2014

Wawan Sobari, dosen Universitas Brawijaya

Memasuki minggu kedua kampanye terbuka pemilu legislatif, Komisi Penyiaran Indonesia menemukan iklan televisi yang diduga bertujuan menyerang Joko Widodo (Jokowi). Pihak Jokowi pun menilai iklan itu sebagai "kampanye negatif" (Tempo.co, 29/3). Kampanye negatif memang jamak dipersepsikan tak patut dan isinya terkesan agresif, meski sebenarnya bukan pelanggaran.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD tidak menetapkan larangan kampanye negatif. Pasal 86 hanya menetapkan setidaknya empat kategori larangan. Pertama, melanggar kewibawaan dan eksistensi negara (mempersoalkan Pancasila, keutuhan NKRI). Kedua, melanggar prinsip imparsialitas (mengikutsertakan pegawai negeri, kepala desa, TNI, hakim, BPK, dan penggunaan fasilitas pemerintah).

Ketiga, melakukan kampanye hitam (menghasut, menghina). Keempat, melakukan tindakan kriminal (mengganggu ketertiban, kekerasan, merusak, politik uang). Sedangkan Peraturan KPU No. 15/2013, yang merevisi Peraturan KPU No. 1/2013 tentang Pedoman Kampanye Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, isinya setali tiga uang.

Kampanye pemilu dalam Undang-Undang No. 8/2012 dimaksudkan sebagai kegiatan peserta pemilu untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program peserta pemilu. Sedangkan kampanye negatif secara akademis merujuk pada strategi kandidat atau partai untuk bersikap kritis terhadap kandidat atau partai lawan berdasarkan catatan (kinerja) masa lampaunya (Kosmidis, 2011). Kedua definisi itu bertentangan dalam hal penyajian bahan kampanye. Namun keduanya tetap sama secara substantif bahwa kampanye merupakan kegiatan untuk meyakinkan dan mempersuasi pemilih. Kampanye negatif lebih konkret daripada sekadar menampilkan atribut, janji, dan idelogi calon atau parpol.

Selain tidak dilarang, argumen mendorong kampanye negatif yang berkaitan dengan arah kemajuan demokrasi. Tidak dimungkiri bahwa masih banyak penyimpangan dalam praktek demokrasi, seperti masih kuatnya KKN, tekanan kebebasan beragama, dan belum bersihnya lembaga peradilan. Tapi bukan berarti Indonesia harus tetap tinggal di kelas demokrasi elektoral. Lima belas tahun reformasi semestinya menjadi fondasi kokoh untuk perbaikan kualitas demokrasi menuju kemapanan demokrasi.

Guna mencapai kemapanan demokrasi, kampanye negatif bisa menawarkan perbaikan

Page 24: caping+cari angin+kolom tempo 30.3.2014-5.4.2014

rasionalitas pemilih. Warga terbiasa berargumen sebelum mengambil keputusan memilih. Syaratnya, bahan kampanye yang jadi rujukan warga harus berdasarkan data dan fakta otentik.

Sementara itu, modal menuju pemilih rasional sesungguhnya sudah ada sejak Pemilu 2009. Rilis hasil riset opini Lembaga Survei Indonesia pada Januari 2009 menyimpulkan bahwa tingginya keterpilihan Partai Demokrat (PD) disebabkan oleh adanya peningkatan preferensi terhadap Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk terpilih kembali. Pun, PD kala itu ditetapkan sebagai partai dengan indeks citra positif tertinggi.

Agak kontras dengan argumen kedua, alasan ketiga bersandar pada asumsi teoretis para ekonom-politik tentang pragmatisme pemilih. Warga pada dasarnya mengalami keterbatasan informasi untuk mendukung keputusan memilih. Maka tak mengherankan bila mereka memilih secara serampangan demi memenuhi kepentingan formalitas saja. Alasannya, upaya mencari informasi cukup melelahkan dan menyita waktu.

Sebaliknya, kampanye negatif mampu menyajikan rekam jejak kinerja pemimpin dan parpol terpilih secara obyektif. Misalnya, publik bisa membandingkan capaian kinerja koalisi pemerintahan pimpinan PD dengan koalisi pimpinan PDIP pada periode sebelumnya. Maka, perbandingan data tersebut bisa menjadi langkah efisien untuk memenuhi kebutuhan informasi dalam mendukung pilihan.

Kekhawatiran dampak ambivalen kampanye negatif terhadap demokrasi karena menimbulkan efek demobilisasi pemilih belum sepenuhnya terbukti. Penurunan tajam angka partisipasi sebesar 22 persen dalam tiga pemilu terakhir terjadi karena banyak faktor. Studi Kahn dan Kenney (1999) menemukan bahwa publik sebenarnya mampu membedakan antara iklan politik negatif yang mengkritisi kinerja dan kampanye hitam yang menyerang persoalan privat. Setelah diukur, efek terhadap penurunan partisipasi menunjukkan perbedaan antara kampanye yang mengkritisi proposal kebijakan lawan dan kampanye yang menyerang karakter dan kehidupan personal lawan.

Agar demokrasi kita naik kelas, Pemilu 2014 semestinya tidak hanya menjadi sarana memilih wakil rakyat. Lebih dari itu, pemilu mesti menjadi ajang justifikasi perbandingan kualitas hasil dan dampak kinerja perwakilan dan pemerintahan. Tentu saja bukan sekadar dampak yang bersifat materiil, seperti ekonomi dan infrastruktur, tapi juga termasuk dampak non-materiil, seperti keamanan, keadilan, dan kebebasan warga. Kampanye negatif bisa memfasilitasi warga untuk melakukan upaya komparasi itu. Juga, kampanye negatif pantas menjadi solusi moderat bagi pemilih agar tak terjebak dalam situasi irasional dan apatis.

Page 25: caping+cari angin+kolom tempo 30.3.2014-5.4.2014

Politik Kenangan

Jum'at, 04 April 2014

Ahmad Khotim Muzakka, Peneliti

Apa yang bisa dimanfaatkan dari masa lalu? Dalam konteks politik 2014, masa lalu bisa menjadi amunisi. Ingatan akan masa lalu bisa dijadikan amunisi untuk merebut simpati. Politik kenangan itu, akhir-akhir ini, juga kita temui di papan reklame dan poster. Salah satu yang populer diperbincangkan, dan suatu saat juga berubah candaan, adalah poster bergambar mantan presiden Soeharto. Di sana, dibumbui tulisan: "Piye, ijeh penak zamanku tho?"

Kalimat yang memiliki arti "gimana, masih enak zamanku, kan?" itu mendapatkan berbagai respons beragam. Orang-orang yang dulu merasa bahwa segala sesuatu lebih enak di zaman dulu memperbandingkan masa kini. Masa lalu, dalam konteks politik, berubah wajah laiknya cermin bagi bangsa.

Apakah politik kenangan bisa melejitkan prestasi kekinian? Sejarawan David Reeve, dalam bukunya, Golkar, Sejarah yang Hilang (2013), memperlihatkan kedigdayaan partai berlambang beringin. Sebanyak 62,8 persen suara diperoleh partai kuning tersebut pada pemilu 3 Juli 1971. Angka tersebut terpaut jauh dibanding perolehan angka dari NU 18,7 persen, serta PNI dan Parmusi, yang masing-masing hanya puas dengan angka 6,9 persen dan 5,4 persen. Prestasi yang membanggakan, bukan?

Namun sayangnya, prestasi itu dicederai oleh intrik. Menurut David Reeve, pencapaian tersebut tak lepas dari campur tangan pemerintahan Orde Baru. Intrik tersebut, di antaranya, sebagaimana ditulis Reeve, "serangan terhadap dampak-dampak yang diklaim merusak persaingan ideologi partai; melemahkan perlawanan sipil terorganisasi; memasukkan semua pegawai negeri, termasuk pegawai perusahaan-perusahaan negara, ke dalam "Korps Karyawan" yang sangat besar; pembentukan "pemerintahan hierarkis, berjenjang dan terpusat".

Penjelasan itu menyembulkan kecurigaan, mungkinkah tanpa semua itu pencapaian gemilang di kursi DPR bisa mencapai angka semaksimal itu? Tentu saja, dua jawaban kemungkinan. Pertama, hal itu bisa saja terjadi. Sebab, toh, dalam fakta sejarahnya memang telah menunjukkan yang demikian. Namun persetujuan tersebut sekaligus menutup fakta-fakta lain. Kemungkinan kedua, tentunya, angka 62,8 persen tersebut tidak bisa dipenuhi jika cara-cara tidak sportif di atas tidak dilakukan.

Politik kenangan juga coba dipakai oleh pemerintahan dewasa ini. Di banyak iklan yang

Page 26: caping+cari angin+kolom tempo 30.3.2014-5.4.2014

disebar, Presiden SBY mengajak masyarakat untuk mengingat prestasi yang telah berhasil dibubuhkan dalam rentang 10 tahun terakhir. Kenangan yang baru kemarin sore itu "diputar-ulang" terkesan untuk mengalihkan dari isu tak sedap partai berlambang bintang segitiga itu.

Politik kenangan ini masih harus diuji oleh sejarah. Maka itu, kiranya, bagi para politikus yang sedang bertarung di Pemilu 2014 tidak cukup hanya membekali dirinya dengan pencapaian masa lalu. Apalagi jika bukti-bukti yang dipaparkan berjarak terlalu jauh dengan fakta sekarang.

Sebenarnya apa yang sebaiknya ditawarkan oleh suatu partai? Apakah hanya "menjual" pencapaian masa lalu? Ataukah lewat pencapaian masa kini dan para politikusnya yang sedang berupaya keras berjuang? Jangan-jangan, yang diobrolkan hanya klangenan saja. Apa kata dunia?

Page 27: caping+cari angin+kolom tempo 30.3.2014-5.4.2014

Berpuisi, Berpolitik

Jum'at, 04 April 2014

Bandung Mawardi, Kritikus Sastra

Dulu, puisi merangsang pembentukan Indonesia. Muhammad Yamin (1903-1962) menggubah puisi berimajinasi Indonesia, puisi bagi gerakan kaum muda, 1928. Puisi berjudul Indonesia, Toempah Darahkoe berisi janji suci: Semendjak diri lahir ke boemi/ Sampai bertjerai dari badan dan njawa/ Karena kita sedarah-sebangsa/ Bertanah air Indonesia. Puisi menggerakkan imajinasi Indonesia, membuktikan pesona kata dan makna di arus nasionalisme.

Kita sengaja menghadirkan puisi lawas agar ada ingatan peran puisi untuk berpolitik dan beradab di Indonesia. Sekarang, puisi digubah dan dibacakan berpamrih serangan politik. Di panggung propaganda, suguhan puisi memberi sengatan politik. Puisi bermisi kritik dan sindiran. Puisi menjadi sensasi. Serangan puisi tak mendapat balasan puisi. Jokowi memberi pengakuan tak bisa berpuisi.

Kita mengerti bahwa suguhan puisi dari Prabowo dan Fadli Zon bergerak ke persaingan politik. Pilihan kata tak perlu pelik. Puisi hampir lugas. Keduanya sengaja menggubah puisi demi pamrih besar: gapaian popularitas dan kekuasaan. Kita tak menemukan olahan kata dan imajinasi mengarah ke kontribusi perkembangan sastra mutakhir.

Mereka berbeda dengan Muhammad Yamin, menggubah puisi dalam pergulatan ide dan gerakan nasionalisme, sejak awal abad XX. Puisi hadir bersama teks-teks politik dan intelektual. Puisi berkehendak mencipta Indonesia. Semaian imajinasi muncul berbarengan dengan gairah kebangsaan. Puisi memang masuk ke arus politik, meski tak menjatuhkan derajat puisi sebagai propaganda murahan. Puisi tetap mempertimbangkan diksi dan imajinasi. Sekarang, puisi dari dua pujangga-politisi justru menguak hasrat memperalat kata dan makna berdalih kekuasaan.

Puisi gubahan pujangga tulen dan pujangga "dadakan" tentu mengandung perbedaan besar, bermula dari penggunaan kias sampai kesadaran beramanat. Puisi itu pertaruhan kata, pergulatan makna tak usai. Octavio Paz berkata: "Puisi adalah pekerjaan paling ambigu: tugas dan sebuah misteri, masa lalu dan sakramen, profesi dan hasrat." Pertaruhan puisi sering membuat pujangga bertarung kata dan imajinasi, berharap menghasilkan puisi tak picisan. Keinsafan atas puisi dan pujangga mulai diruntuhkan oleh penggampangan pembuatan puisi berdalih politik. Puisi ada di jeratan propaganda berisi ejekan, kemarahan, sindiran, hujatan.

Page 28: caping+cari angin+kolom tempo 30.3.2014-5.4.2014

Puisi dalam pemilu mengingatkan kita akan kontribusi pujangga bernama M.R. Dajoh (1909-1975). Pada 1953, M.R. Dajoh membuat lirik untuk Lagu Pemilihan Umum, bersesuaian dengan komposisi lagu garapan Ismail Marzuki. M.R. Dajoh menulis: Pemilihan umum! Kesana beramai!/ Marilah, marilah saudara-saudara!/ Memilih bersama para wakil kita./ Menurut pilihan, bebas rahasia./ Itu hak semua warga senegara./ Njusun kehidupan adil sedjahtera. Lirik memang tak terlalu puitis, tapi beramanat demi selebrasi demokrasi. Apakah para caleg dan capres mengetahui kontribusi dua seniman kondang penggarap lagu bersejarah itu?

Puisi-puisi gubahan Prabowo dan Fadli Zon telanjur memicu polemik. Kita bisa menandingkan puisi mereka dengan puisi berjudul Aku Menuntut Perubahan gubahan Wiji Thukul: kami tak percaya lagi pada itu/ partai politik/ omongan kerja mereka/ tak bisa bikin perut kenyang/ mengawang jauh dari kami/ punya persoalan/ bubarkan saja itu komedi gombal. Puisi bisa memuliakan politik dan meremehkan partai politik. Oh!

Page 29: caping+cari angin+kolom tempo 30.3.2014-5.4.2014

Debar di Bilik SuaraSabtu, 05 April 2014

Indra Tranggono, Pemerhati Kebudayaan

Apakah rakyat masih memiliki debar perasaan menjelang pencoblosan? Atau, dalam pemilu ini, segalanya tinggal soal teknis, tak ada persoalan psikologis? Jadi, cukup bles, dan semuanya beres?

Dulu, ketika politik masih mengandung kegentingan, debar perasaan masih menggetarkan hati siapa pun yang memiliki hak pilih. Kegentingan itu bisa kita baca sebagai pertarungan ideologis yang seru antarparpol, yang diikuti para pendukungnya. Misalnya pada Pemilu 1955 yang masih kental dengan ideologi atau politik aliran. Persaingan dan pertarungan politik saat itu sangat keras, bahkan bisa menimbulkan gesekan horizontal.

Lihatlah gesekan yang terjadi antarpendukung PNI, Masyumi, NU, dan PKI-empat partai besar saat itu. Namun, seperti dikatakan Goenawan Mohamad, persaingan yang terjadi tidak semata-mata karena perebutan kekuasaan, melainkan yang utama untuk menciptakan Indonesia lebih baik (bermartabat). Politikus idealis zaman itu tidak mencari kamukten (kejayaan material dan non-material) seperti saat ini.

Pemilu 1971 pada era Orde Baru pun menyimpan kegentingan. Ada sepuluh parpol yang bertarung dan bersaing, di antaranya Parmusi, NU, PNI, Murba, Golongan Karya, Partai Katolik, Pakindo, Perti, IPKI, dan PSII. Di sini, nuansa ideologis masih kental. Persaingan politik masih terasa.

Pemilu selanjutnya, ketika jumlah parpol peserta pemilu disederhanakan dari sepuluh menjadi tiga-PPP, Golkar, dan PDI-unsur ideologi tak lagi dominan karena Soeharto mewajibkan semua parpol berasaskan Pancasila. Namun pendukung setiap parpol toh tetap menggunakan mindset ideologis dalam memilih parpol. Tak ayal, sisa-sisa kegentingan tetap terasa. Gesekan horizontal antarpendukung parpol pun masih ada. Orang-orang juga masih punya debar dalam dada menjelang pencoblosan.

Pemilu pada era demokrasi liberal tak lagi menimbulkan suasana kental ideologis, meski setiap parpol peserta pemilu berhak mengusung ideologi masing-masing. Di sini, ideologi-Islam, nasionalisme sekuler, dan nasionalisme religius-cenderung hadir sebagai cap atau penanda (merek), tapi tak merepresentasikan perjuangan ideologis parpol secara otentik dan total. Kinerja mereka dalam praksis kekuasaan cenderung sama. Sama-sama oportunis dan doyan duit. Yang beraliran agama ataupun yang beraliran nasionalisme sama-sama gemar nyolong duit negara. Mereka tidak memperjuangkan konstituennya menuju sejahtera karena yang disejahterakan hanyalah elite parpol.

Page 30: caping+cari angin+kolom tempo 30.3.2014-5.4.2014

Tak ada lagi debar di dada dalam pemilu saat ini, ketika orang berada di bilik pencoblosan. Publik pemilih justru dibuat bingung karena harus memilih caleg yang tidak sepenuhnya dikenal, kecuali melalui iklan politik atau media sosialisasi. Selain itu, dalam benak para pemilih ada ketidakyakinan atau ketidakpercayaan pada caleg-caleg itu terkait dengan perjuangan aspirasi rakyat. "Akhirnya, mereka toh hanya berjuang untuk kamukten-nya sendiri," ujar rakyat.

Tak ada ideologi yang menjadikan idealisme meranggas dan mati. Parpol tak lebih dari mesin politik yang berwujud lembaga bersimbol dan dioperasikan para zombie haus darah. Tak ada pula konstituen politik. Yang ada kumpulan orang yang bingung, cemas, dan rapuh. Mereka menjadi "makanan" para zombie politik: diisap suaranya, setelah itu ditinggalkan.

Page 31: caping+cari angin+kolom tempo 30.3.2014-5.4.2014

Survei PolitikSabtu, 05 April 2014

Kadir, bekerja di Badan Pusat Statistik

Statistik kadang-kadang identik dengan kebohongan, yang dibungkus dengan cita rasa ilmiah, cita rasa kuantitatif. Dalam soal statistik, sungguh menarik bila kita mencermati dua hasil kerja statistik (baca: survei) terbaru mengenai tingkat keterpilihan (elektabilitas) sejumlah figur sebagai calon presiden (capres).

Dua hasil survei ini dirilis oleh lembaga survei yang berbeda pada Maret lalu, dalam rentang waktu yang hampir bersamaan. Anehnya, meski kedua survei dilakukan pada bulan yang sama, bahkan pada rentang waktu yang hampir bersamaan, hasilnya sungguh jauh berbeda.

Hasil survei pertama dirilis oleh Indonesia Network Election Survey (INES) pada 31 Maret. Survei dihelat pada 14-21 Maret lalu, dan hasilnya menunjukkan, lima figur dengan elektabilitas tertinggi adalah Prabowo Subianto (35,6 persen), Megawati Soekarnoputri (17,1 persen), Jokowi (16,2 persen), Wiranto (9,5 persen), dan Aburizal Bakrie  (7,5 persen).

Selang beberapa hari sebelumnya (26 Maret), Charta Politika juga merilis hasil survei mengenai elektabilitas capres. Dari sejumlah figur yang disurvei pada 1-8 Maret 2014, hasilnya menunjukkan, lima figur dengan elektabilitas tertinggi adalah Jokowi (37,4 persen), Prabowo (14,5 persen), Aburizal Bakrie (9,9 persen), Wiranto (7,2 persen), dan Jusuf Kalla (5,5 persen).

Hasil survei memang merupakan potret pandangan pemilih pada saat survei dilakukan. Tapi, apakah pandangan itu begitu dinamis dengan volatilitas yang sangat tinggi, sehingga bisa berubah dalam sekejap waktu?  Menariknya lagi, konon kedua survei ini menggunakan metode pencuplikan sampel berpeluang (probability sampling method), sehingga kesahihannya bisa dipertanggungjawabkan menurut kaidah statistik.

Secara statistik, perbedaan hasil dua buah survei yang memotret variabel yang sama (elektabilitas) dari populasi yang sama (pemilih) memang sebuah keniscayaan. Namanya juga survei sampel. Perbedaan muncul karena setiap survei memotret populasi dari sampel responden yang berbeda. Namun, lain soal bila perbedaan yang terjadi begitu tajam, bahkan dengan pola yang saling bertolak belakang.

Dengan perbedaan setajam ini, pertanyaan yang menyeruak bisa jadi bukan soal hasil survei mana yang paling presisi, tapi mana yang bisa menjadi pegangan (baca: benar) untuk menggambarkan preferensi pemilih. Karena itu, cukup beralasan bila kita sedikit khawatir: lembaga survei telah menjadi alat politik untuk mendongkrak atau mengambrukkan figur

Page 32: caping+cari angin+kolom tempo 30.3.2014-5.4.2014

dalam semalam. Dan, bisa jadi survei-survei politik yang dilakukan selama ini atas pesanan pihak-pihak yang ingin dilambungkan popularitasnya.

Idealnya, ada semacam lembaga (watchdog) yang memiliki otoritas untuk memverifikasi kesahihan dan keandalan metodologi yang digunakan oleh lembaga survei. Siapa yang bisa menjamin sampel 1.200 atau 6.588 responden tidak bias dalam menggambarkan pandangan 187 juta pemilih yang begitu heterogen?

Lembaga yang dimaksud dapat berasal dari kalangan akademisi, praktisi lembaga survei, atau lembaga khusus bentukan pemerintah. Selain aspek metodologi, independensi, dan obyektivitas, lembaga survei juga harus dikawal. Dengan demikian, hasil survei politik yang disajikan di ruang publik adalah potret mengenai realitas, bukan informasi yang bias dan menyesatkan.