Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

50
Caraka Senin, 12 Mei 2014 Hermes, yang bertugas menyampaikan pesan dewa-dewa Yunani Kuno kepada manusia, konon berjalan hanya di malam hari. Ia, sang caraka, menempuh jalur dan tikungan yang sulit. Kearifan acap datang dalam perumpamaan; Hermes adalah salah satunya. Sebuah pesan, apalagi dari yang mahajauh, tak pernah transparan. Mungkin itu sebabnya dengan latar yang gelap dan tak lurus oknum mithologi yang misterius ini tampil dalam pelbagai awatara. Hanya ada satu identitasnya yang agak tetap: ia seorang putra Zeus, raja kahyangan itu; ia lincah dalam pelbagai hal yang berhubungan dengan kata-kata. Nama Hermes terkait dengan ermeneus, sang penafsir. Setidaknya itu yang disebut dalam rekaman percakapan Sokrates dengan Kratylos di abad ke-4 sebelum Masehi. Sokrates, sebagaimana dikutip Plato, menjelaskan bahwa sang penafsir dianggap juga sang pembawa pesan—tapi juga sang "pencuri", "pendusta", dan "tukang menawar". Dan semua awatara itu, kata Sokrates, ada urusannya dengan bahasa. Hermes adalah si cerdik dalam hal cerita dan percakapan. "Cerdik". "Pencuri". "Pendusta". "Tukang menawar". Dengan imaji-imaji Hermes yang hanya berjalan di malam hari itu agaknya kita diharapkan mafhum bila sebuah pesan tak pernah terjamin akan transparan dan seutuhnya lurus. Bila pesan adalah ibarat utusan dari satu pihak ke pihak lain, bentrokan bukan hal yang luar biasa.

description

diambil dari situs tempo.co

Transcript of Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

Page 1: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

Caraka

Senin, 12 Mei 2014

Hermes, yang bertugas menyampaikan pesan dewa-dewa Yunani Kuno kepada manusia, konon berjalan hanya di malam hari. Ia, sang caraka, menempuh jalur dan tikungan yang sulit.

Kearifan acap datang dalam perumpamaan; Hermes adalah salah satunya. Sebuah pesan, apalagi dari yang mahajauh, tak pernah transparan. Mungkin itu sebabnya dengan latar yang gelap dan tak lurus oknum mithologi yang misterius ini tampil dalam pelbagai awatara. Hanya ada satu identitasnya yang agak tetap: ia seorang putra Zeus, raja kahyangan itu; ia lincah dalam pelbagai hal yang berhubungan dengan kata-kata.

Nama Hermes terkait dengan ermeneus, sang penafsir. Setidaknya itu yang disebut dalam rekaman percakapan Sokrates dengan Kratylos di abad ke-4 sebelum Masehi. Sokrates, sebagaimana dikutip Plato, menjelaskan bahwa sang penafsir dianggap juga sang pembawa pesan—tapi juga sang "pencuri", "pendusta", dan "tukang menawar".

Dan semua awatara itu, kata Sokrates, ada urusannya dengan bahasa. Hermes adalah si cerdik dalam hal cerita dan percakapan.

"Cerdik". "Pencuri". "Pendusta". "Tukang menawar". Dengan imaji-imaji Hermes yang hanya berjalan di malam hari itu agaknya kita diharapkan mafhum bila sebuah pesan tak pernah terjamin akan transparan dan seutuhnya lurus. Bila pesan adalah ibarat utusan dari satu pihak ke pihak lain, bentrokan bukan hal yang luar biasa.

Ada sebuah dongeng tentang asal-usul huruf Jawa yang mengisyaratkan itu. "Ha-na-ca-ra-ka…" adalah kisah tentang dua orang utusan Raja Ajisaka yang sama-sama setia, tapi akhirnya bersengketa. Yang satu diberi pesan baginda agar menjaga keris pusakanya selama ia mengembara ke tempat lain. Yang lain diberi pesan untuk mengambilnya kembali. Ajisaka yakin pesan itu punya makna yang sama: perintah yang menegaskan miliknya, titah yang harus ditaati. Tapi sang Raja keliru. Makna itu tak bisa lagi lurus ketika menempuh proses interpretasi. Kedua utusannya saling membunuh. Ajisaka ingin mencegah hal yang sama terjadi; ia bermaksud menstabilkan makna dengan mencatatnya dalam huruf hitam di atas putih.

Tapi stabilitas itu tak tercapai. Hanya mereka yang yakin bahwa manusia bisa mengandalkan rasionalitasnya yang percaya bahwa makna (karena dijaga huruf dan kata yang definitif) tak akan cair, mengalir, berubah.

Page 2: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

Mereka salah duga. Makna lahir dalam percakapan, dan percakapan tak pernah beku.

Di sini saya akan kembali ke Sokrates. Ia, yang mengaitkan nama Hermes dengan bahasa dan juga segala sifat yang tak lurus, juga orang yang memusuhi karya manusia yang hidup dalam bahasa: puisi. Dalam Politeia, ia ingin para penyair dibuang dari negeri yang ideal.

Di satu pihak ia mengakui, puisi bisa dilihat sebagai penyalur sabda dewa-dewa ke dalam bahasa manusia; tapi di sisi lain ia menganggap puisi menyesatkan. Puisi adalah suara irasional, dan hanya intelek (nous) yang mampu menangkap kebenaran.

Tapi jika Sokrates benar mengenai Hermes, ia salah menduga bahwa kebenaran hanya tersingkap secara demikian—dan bahwa puisi mendistorsikan komunikasi. Bahasa bukan cul-de-sac, bukan sebuah tabung yang terbuka di pangkal dan tertutup di ujungnya. Bahasa adalah sebuah proses tanpa ujung, tanpa tutup—dan sesungguhnya ke dalamnya selalu hadir apa yang diam.

Berabad-abad kemudian sejak Plato dan Sokrates, setelah sejarah mengajarkan banyak kekecewaan dan harapan dalam komunikasi manusia, kita bisa berbicara tentang bahasa justru dengan berpegang pada puisi: ketika ke dalam diri kita sebuah sajak Rendra bisa mengungkapkan secercah makna, kita mengalaminya seperti ketika kita bertemu dengan sebuah karya Rusli atau S. Teddy. Sebuah keseluruhan makna terjadi tanpa karya itu mengekspresikannya seluruhnya, dengan garis, warna, kata. "Tiap patah kata," kata Gadamer, "sebagai sebuah kejadian di suatu saat, membawa serta apa yang tak dikatakan." Ke dalam apa yang tak dikatakan itu kata menjawab dan juga menyeru.

Seperti dalam Stanza Rendra ini:

Ada burung dua, jantan dan betinaHinggap di dahan

Ada daun, tidak jantan tidak betinaGugur dari dahan

Ada angin dan kapuk randu, dua-dua sudah tuaPergi ke selatan

Ada burung, daun, kapuk, angin, dan mungkin juga debuMengendap dalam nyanyiku

Goenawan Mohamad

Page 3: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

Yang Mulia

Sabtu, 10 Mei 2014

Putu Setia

Yang mengesankan dari kesaksian Wakil Presiden Boediono di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat lalu, adalah cara dia menyapa hakim dan jaksa. Boediono, sebagaimana layaknya para terdakwa dan saksi dalam persidangan yang lain, menyebut "Yang Mulia". Berbeda dengan mantan wakil presiden Jusuf Kalla, yang cukup menyapa hakim dan jaksa dengan "Bapak" atau "Pak". Apakah Jusuf Kalla terpengaruh lagu dangdut: "Bapak hakim dan bapak jaksa, tolonglah...."

Bagaimana seharusnya menyapa para hakim dalam persidangan? Saya pernah berbincang-bincang dengan seorang pakar hukum (dan teman itu, alhamdulillah, pernah menjadi Menteri Hukum dan HAM). Dia menyebutkan, hakim dalam sidang harus disapa "Yang Mulia". Dengan pakaian kebesaran itu, hakim adalah "wakil Tuhan". Keputusan hakim selalu membawa-bawa nama Tuhan. Semua orang harus hormat kepada hakim. Kalau di luar sidang mau disapa "Mas", "Bapak", "Bung", "Kakak", terserah. Diajak bercanda juga bisa.

Artinya, kita menghormati simbol. Saya pernah ikut mengecam seorang teman ketika ia ditangkap karena membakar gambar Presiden Yudhoyono yang persis sebagai simbol kepala negara. Sepanjang presiden itu masih sah, adalah penghinaan membakar fotonya. Sebaliknya, saya pernah membela sebuah kelompok yang dituduh menginjak-injak bendera Merah Putih, padahal yang diinjak itu kain merah dan kain putih yang membentang semrawut. Itu bukan bendera, karena bendera kebangsaan adalah simbol yang jelas perbandingan ukuran panjang dan lebar maupun porsi merah dan putihnya. Kalau semua warna merah dan putih yang bersanding dianggap "bendera", tim nasional PSSI tak boleh bercelana putih dan berbaju merah, karena "bendera" itu kadang dijatuhkan dan dilecehkan.

Dulu, sewaktu saya kecil, masyarakat sangat menghormati simbol. Polisi yang berpakaian seragam pun dianggap simbol negara. Saat itu ada polisi di desa yang bertengkar dan lawannya meminta, kalau mau tanding, buka dulu baju seragam. Alasannya, berkelahi melawan polisi berseragam berarti melawan aparat negara, berarti memusuhi negara.

Kalau polisi berseragam saja dihormati, apalagi presiden. Bukankah menyapa Presiden Sukarno tak boleh sembarangan? Di kelas II SMP, ketika akan ikut menyambut kedatangan presiden, saya dimarahi guru karena menulis dalam poster "Selamat Datang Bapak Presiden Soekarno". Harus ada kata PJM di depan kata "bapak". Apa itu PJM? Paduka Jang Mulia. Foto resmi presiden ketika itu tertulis "PJM Soekarno, Presiden RI".

Page 4: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

Siapa yang tahu sejarahnya kenapa anggota DPR disapa "Yang Terhormat"? Karena mereka mewakili rakyat. Kalau mereka tak diberi predikat "terhormat", seluruh rakyat jadinya tidak terhormat. Sampai sekarang pun sebutan itu muncul dalam forum resmi, meski kita tahu sudah sekian banyak anggota DPR yang ditahan karena korupsi.

Presiden dan wakil presiden, walau tak lagi dengan sapaan Paduka Yang Mulia, tetaplah simbol negara. Ke mana-mana dikawal secara kenegaraan. Jangankan masih menjabat, baru jadi calon presiden saja dikawal. Coba lihat sebentar lagi, Jokowi pasti dikawal, suka atau tak suka. Berlebihan jika ada yang mengecam Boediono karena dikawal pasukan resmi ketika menjadi saksi di Pengadilan Tipikor. Yang dikawal bukan Boediono sebagai orang Yogya, melainkan simbol kenegaraan. Dan jika dalam sidang Boediono menyebut hakim dengan "Yang Mulia", itu bukan merendahkan jabatan wakil presiden, melainkan karena hakim simbol pengadil di dunia ini, "mewakili" Pengadil Maha Tinggi. Mari kita hormati simbol-simbol kenegaraan, untuk menghormati negara kita.

Page 5: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

Politik Simbol

Senin, 12 Mei 2014

Ali Rif'an,  Peneliti Pol-Tracking Institute

Simbol memang tidak bisa mengubah bangsa secara langsung, karena tidak memiliki energi konkret. Akan tetapi, simbol memiliki kekuatan abstrak, semacam informasi yang bisa menggerakkan, yang jika digunakan dengan baik bisa mengubah suatu bangsa.

Dalam sejarah negara-negara di dunia, para pemimpin besar selalu memproduksi simbol sebagai modalitas untuk menggerakkan masyarakat. Mahatma Gandhi, misalnya, lekat dengan simbol anti-kekerasan, Sukarno punya simbol anti-imperialisme, Nelson Mandela sebagai simbol anti-rasisme, Khomeini sebagai simbol revolusi Islam, serta Bung Hatta sebagai simbol koperasi Indonesia.

Pertanyaannya, bagaimana dengan simbol yang dimiliki oleh para capres mendatang? Tentu ada banyak simbol yang telah diproduksi, khususnya capres dari PDI Perjuangan, Joko Widodo (Jokowi), dan capres dari Partai Gerindra, Prabowo Subianto.

Jokowi, misalnya, dikenal dengan simbol "pro-wong cilik", sementara Prabowo "pemimpin kuat". Itu terlihat dari gaya komunikasi Jokowi serta gestur dalam kesehariannya yang sederhana, sementara Prabowo Subianto terkesan berkelas. Saat berkampanye, Jokowi sering blusukan dan berjalan kaki, sementara Prabowo Subianto menunggang kuda dan memakai helikopter, seperti saat memimpin kampanye di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), 23 Maret lalu.

Simbol-simbol yang dibangun oleh kedua capres di atas agaknya tidak sembarangan, alias memiliki dasar filosofis dan historis. Sebab, simbol sejatinya adalah rangkuman gagasan dan arah perjuangan. Dengan simbol "pro-wong cilik", orientasi mendasar kepemimpinan Jokowi adalah bagaimana ngopeni (mengurus) rakyat, menyapa, dan memberdayakan mereka, serta mengangkat harkat dan martabat rakyat kecil.

Masyarakat, yang selama ini tak memiliki akses dengan presiden, di pemerintahan Jokowi, barangkali akan mendapatkan kemudahan. Mungkin Jokowi akan seperti mendiang Gus Dur yang mengubah "Istana Kepresidenan" menjadi "Istana Rakyat". Sedangkan dengan simbol "pemimpin kuat", Prabowo Subianto ingin membawa bangsa ini menjadi "macan Asia". Orientasi mendasar Prabowo dalam kepemimpinannya ke depan barangkali adalah bagaimana membuat bangsa ini disegani oleh negara-negara lain.

Page 6: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

Prabowo tipe pemimpin yang kuat dari sisi gagasan dan narasi, sementara Jokowi tipe pemimpin yang bekerja dari hati dan tanpa basa-basi. Gaya bahasa Jokowi sangat alami dan merakyat, sementara gaya bahasa Prabowo lantang dan seperti bangsawan.

Tapi menariknya, meski antara Jokowi dan Prabowo terlihat kontras, keduanya merupakan antitesis dari gaya kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Gaya blusukan Jokowi, misalnya, antitesis dari kepemimpinan SBY yang terkesan penuh citra. Sedangkan gaya lantang Prabowo menjadi antitesis kepemimpinan SBY yang terkesan "lembek". Itulah kenapa kedua tokoh ini mendapat sambutan positif dari masyarakat, khususnya sambutan terhadap Jokowi dengan elektabilitas tak tertandingi.

Pertanyaannya, antara gaya Jokowi dan Prabowo, mana yang lebih cocok memimpin roda pemerintahan mendatang? Setiap dari kita pasti punya jawabannya. Yang jelas, masyarakat kita adalah masyarakat majemuk, tentu selera capres sangat berbeda-beda. Adanya simbol dalam politik sangat berguna untuk memberikan disparitas antara satu kandidat dan kandidat lainnya. Selain itu, simbol berguna untuk menarik simpati pemilih. Simbol ibarat merek, semakin bagus akan diminati pembeli. Tentu saja antara merek dan kualitas barang harus sepadan. Karena, ketika simbol tidak dibarengi kualitas, yang terjadi adalah kekuatan horor. Julia Kristeva dalam Power of Horror mengatakan horor adalah kekuatan sistematis yang secara berkelanjutan mengembangkan cara untuk menjadikan pihak lain sebagai obyek kebencian (Piliang, 2005: 125).

Tentu kita tidak ingin horor politik-seperti saling serang dan menikam-terjadi dalam pilpres. Masa kampanye pilpes nanti jangan sampai diisi oleh kampanye hitam, baik saling sindir melalui puisi maupun melalui ungkapan-ungkapan berbau rasis yang bisa memprovokasi masyarakat. Perang simbol sangat diperlukan, tapi perang otot jangan. Sebab, jika politik sudah menggunakan otot, simbol positif dapat berubah menjadi simbol negatif. Seperti Qarun yang terkenal dengan simbol kerakusan manusia, Qabil sebagai simbol kekerasan manusia, Hitler sebagai simbol genosida,Usamah bin Ladin-yang oleh George W. Bush dikatakan sebagai simbol terorisme global-dan lain-lain.

Akhir kata, kita tak ingin di antara salah satu capres kita nanti ada yang mendapatkan (kutukan) simbol negatif. Publik ingin pilpres mendatang berjalan pada jalurnya. Hindari kampanye hitam, apalagi politik otot.

Page 7: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

Jahiliah Rasisme

Senin, 12 Mei 2014

Azis Anwar Fachrudin, Santri di Jaringan GusDurian, Yogyakarta

Rasisme mulai mewarnai kampanye pilpres, terutama di jejaring sosial. Rasisme itu tidak hanya menyoal agama, tapi juga latar belakang keluarga (nasab). Yang memprihatinkan, sebagian dari kampanye rasis itu muncul dari mereka yang menisbahkan diri pada (organisasi) Islam.

Kepada mereka yang demikian, mari menengok kembali beberapa fragmen dalam sejarah Nabi (sirah nabawiyah).

Pertama, risalah Islam lahir sebagai, antara lain, antitesis era pra-Islam yang disebut "Jahiliah". Di antara ciri-ciri Jahiliah: fanatisme tribal ('ashabiyyah qabaliyyah). Gengsi suku, nasab, dan saudara-sedarah di atas segala. Di antara ungkapan yang menjadi peribahasa waktu itu: unshur akhaka zhaliman aw mazhluman (tolong saudaramu, baik ia yang berbuat zalim maupun dizalimi). Kebenaran, dalam dunia Jahiliah, bukan didasarkan pada keadilan dan moralitas, melainkan suku: "Benar atau salah, yang benar dan aku bela tetaplah anggota sukuku!" (Dalam konteks saat ini, "suku", dalam taraf tertentu, bisa dianalogikan dengan afiliasi politik)

Sejarah mencatat, terdapat sengketa cukup lama antara, misalnya, suku Quraisy versus suku Khuza'ah (di Mekah) dan suku Aus versus suku Khazraj (di Madinah). Sengketa itu pelan-pelan dikikis setelah Islam mereka terima. Islam mendasarkan persaudaraan (ukhuwah) pada iman, bahkan lebih luas lagi dalam level "negara" pada kontrak sosial Piagam Madinah, yang mengikat setara kepada segenap warga Madinah (muslim, Yahudi, dan sedikit penganut kepercayaan lain) untuk saling membela jika musuh dari luar menyerang.

Dalam Islam, kemuliaan tak lagi diukur dengan nasab, melainkan dengan ketakwaan dan moral. Sebagian orang yang masuk Islam mula-mula justru para budak, seperti Bilal dan Shuhaib. Narasi bangsawan musyrik Mekah lalu menyebut diri mereka kaum elite (mala') yang tak pantas mengikuti jalan para budak muslim yang-mereka sebut-kaum pandir (sufaha') itu.

Begitulah "pandangan dunia" Jahiliah. Maka, ketika ada muslim yang masih berpandangan bahwa seseorang benar semata karena ia dari ras A, dan seseorang salah semata karena ia dari ras B, hakikatnya muslim itu kembali ke alam Jahiliah.

Page 8: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

Kedua, ketika Nabi dan para pengikutnya hijrah ke Madinah, status mereka ialah para imigran (Muhajirin). Tapi kemudian Nabi menjadi pemimpin politik, "mengatasi" mereka yang pribumi.

Sejarah mencatat, perbedaan status ini sering dimanfaatkan oleh kaum munafik di Madinah, pimpinan Abdullah bin Ubay bin Salul. Sebagaimana direkam Al-Quran, narasi yang dikampanyekan kaum munafik itu: mestinya orang-orang pribumi-mulia (al-a'azz) tidak dikuasi oleh para imigran-hina (al-adzall). Kampanye itu ingin memecah-belah Madinah yang sebelumnya sudah bersatu (Muhajirin dan Anshar dipersaudarakan Nabi) dan sedang mempertahankan eksistensi politiknya.

Politik rasis-diskriminatif dengan narasi imigran-pribumi itu ialah manuver kaum munafik Madinah. Mestinya orang-orang Islam tak hendak mengulanginya, termasuk dalam kampanye menjelang pilpres kali ini.

Ketiga, satu dari tiga sikap Jahiliah yang dilarang Nabi, dan ini direkam dalam beberapa riwayat hadis sahih, ialah mencela nasab (at-tha'nu fil-ansab). Saya berharap para tokoh organisasi Islam yang berpengaruh di negeri ini masih menyadari sabda Nabi itu.

Page 9: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

Bahasa Politik

Senin, 12 Mei 2014

Bagja Hidayat, @hidayatbagdja

Dalam buku When Cultures Collide, Richard D. Lewis menganalisis 65 bahasa dari cara bertutur pemakainya dalam diplomasi dan negosiasi. Untuk bahasa Indonesia, ahli komunikasi dari Inggris yang fasih berbicara dalam sebelas bahasa itu menyimpulkan bahwa kita cenderung eufimistik dan ambigu. Jika berbicara, kalimat orang Indonesia tak langsung pada makna dan maksud sebenarnya.

Tentu saja Richard Lewis menganalisis pemakaian dan tuturan bahasa Indonesia modern. Edisi ketiga buku ini terbit akhir tahun lalu dan mendapat penghargaan Klub Buku Eksekutif di Amerika Serikat. Ia mengamati bahasa Indonesia yang sudah terpengaruh oleh bahasa Jawa atau Sunda, bahasa-ibu penutur terbesarnya. Kecuali bagi orang Riau, bahasa Indonesia adalah bahasa asing.

Bagi orang Jawa atau Sunda, bahasa adalah séloka, kata tak mesti diucapkan sesuai dengan makna sebenarnya. Konon, bahasa Jawa dan Sunda paling banyak punya padanan istilah untuk penis dan vagina, sebagai cara kita bersopan santun. Dan eufimisme pada era Orde Baru menjadi alat politik yang efektif untuk memanipulasi keadaan. Tentara yang menangkap dan menginterogasi seseorang disebut "mengamankan", kenaikan harga diumumkan sebagai "penyesuaian".

Politik bahasa lebih dari tiga dekade itu berpengaruh ke dalam bahasa politik kita hari-hari ini. Sampai sebulan sebelum pemilihan legislatif, kita tak tahu dan terus menebak-nebak apakah Joko Widodo akan dicalonkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Dan sampai hari ini kita tak tahu apakah Jokowi punya keinginan dan niat yang tulus menjadi seorang presiden. Dalam pernyataan publiknya, Gubernur Jakarta ini selalu mengelak, "Copras, capres, copras, capres, ora urus!"

Dalam mandat yang diberikan Ketua PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri pun Jokowi disebut sebagai "petugas partai". Artinya, ia hanya menjalankan titah pihak lain, seorang yang sejak awal tak punya niat menggapai kedudukan itu. Padahal, dari banyak liputan media, kita tahu di belakang dia ada sebuah tim siber yang menyiapkan pencalonannya sejak ia menjabat Wali Kota Solo. Mungkin itu semacam strategi politik, strategi politik di Indonesia.

Sebab, orang yang sejak awal berterus-terang ingin menjadi presiden segera dicemooh sebagai gila kekuasaan. Popularitas politikus semacam ini akan selalu rendah. Pada Jokowi,

Page 10: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

sejak ia ikut bertarung dalam pemilihan Gubernur Jakarta pada 2012, popularitasnya sebagai calon presiden selalu di atas 40 persen. Di sini, ambisi politik adalah sebuah aib. Dan kita punya kata peyoratif untuk mencemooh pejabat publik yang bekerja sungguh-sungguh: pencitraan.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dihujat ketika ia menangis dalam acara televisi Mata Najwa dan apa yang dilakukannya membereskan ibu kota Jawa Timur itu dicurigai sebagai upaya mendapat simpati publik untuk meraih kekuasaan yang lebih tinggi. Di zaman ketika kenyinyiran disebarkan dengan mudah dan cepat ini, dan kebebalan dipertontonkan 24 jam, kita terbiasa tak mudah percaya.

Dengan cara berkomunikasi kita seperti itu, bahasa Indonesia menjadi bahasa yang mendua dan penuh sopan santun yang sering kali menipu. Sebagai bahasa yang lahir karena politik, bukan alat politik sejak mula, pemakaian bahasa Indonesia ditentukan oleh elite yang bermain peran di dalamnya.

Page 11: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

Merekrut Presiden

Selasa, 13 Mei 2014

Flo. K. Sapto W, Praktisi pemasaran

Pemimpin tertinggi di sebuah institusi umumnya membawa atmosfer tersendiri. Misalnya, petinggi sebuah perusahaan sayuran dan makanan segar sangat mengutamakan suasana kekeluargaan. Sapaan ramah dan kebiasaan selalu datang lebih pagi dan pulang paling akhir menjadi stimulus positif. Adapun pemimpin di grup perusahaan lain sangat menekankan produktivitas. Output karyawan dihitung layaknya sebuah mesin. Sementara itu, ada juga pemimpin korporasi yang gemar sekali mengumbar caci-maki dan umpatan.

Pemilik tidak pernah terlepas dari perbandingan kinerja para middle manager-nya dengan para penghuni kebun binatang. Anjing ekspatriat peliharaan pemilik perusahaan sering kali dipuji lebih cerdas daripada jajaran struktural perusahaan. Meeting reguler di sebuah perusahan minuman juga dikenal sebagai arena akrobat. Pemimpin tertingginya sangat gemar melempar segala jenis alat kantor. Setiap kali ada ketidakbecusan kinerja, akan ada lemparan pena, penghapus, spidol, bahkan hand phone. Konon, dua situasi terakhir-yaitu umpatan dan lemparan-dipercaya cukup efektif meningkatkan optimalisasi kinerja. Namun, bagi para sebagian eksekutif muda, situasi itu ditanggapi dengan santai. Gaji puluhan juta cukup sebanding dengan risiko itu. Bagi studi menajemen sendiri, tipe karakter atau perilaku manakah yang sebaiknya dimiliki oleh para pemimpin atau pemilik perusahaan?

Menurut Gary Yukl dalam Leadership in Organizations (2010), pola kepemimpinan yang efektif adalah kombinasi antara task oriented behaviors, relations oriented behaviors, dan change oriented behaviors. Ketiganya secara sederhana dijabarkan sebagai gabungan dari perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada operasionalisasi pekerjaan, pendekatan relasional, dan ketanggapan terhadap perubahan. Apakah pendekatan perilaku ini berlaku juga dalam penetapan karakter calon presiden?

Tanpa bermaksud menyederhanakan faktor ideologi, dikotomi pemimpin perusahaan atau kepala negara, serta kompetensi lainnya, pada prinsipnya, secara manajerial, pemilihan presiden identik dengan upaya perekrutan pada umumnya. Tujuan perekrutan sendiri, seperti yang dijelaskan oleh William P. Anthony, et al., dalam Human Resource Management (2006), adalah mendapatkan kandidat yang mampu mematuhi prosedur dan kebijakan perusahaan. Pada saat yang sama, kandidat juga dituntut untuk mengembangkan kreativitasnya. Dalam prakteknya, terobosan-terobosan inovatif sering kali bisa didapatkan dari kandidat yang memiliki pengalaman organisasi sosial kemasyarakatan yang beragam. Hal ini akan berbeda dengan kandidat yang relatif hanya berkutat dalam komunitas yang

Page 12: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

seragam-misalnya organisasi intra sekolah.

Berdasarkan rekam jejak, kecenderungan perilaku kandidat juga bisa didapatkan. Kecenderungan ini umumnya akan terlihat pada kondisi spesifik (marah, sedih, terpojok, dan lainnya). Di sinilah kandidat akan menunjukkan karakter aslinya, apakah ia cenderung berperilaku panik, murka, emosional, atau tetap bijaksana dan tegas. Satu hal yang telah dijadikan catatan-terutama oleh publik sebagai pemilik saham negeri ini-karakter tegas tentu  tidak sama dengan kejam.

Page 13: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

Miskin, Rentan, dan Timpang

Selasa, 13 Mei 2014

Kadir, Bekerja di Badan Pusat Statistik

Rezim berkuasa saat ini kembali menorehkan capaian gemilang dalam hal pembangunan ekonomi. Hal ini tecermin dari laporan terbaru Bank Dunia yang menyebutkan bahwa Indonesia termasuk dalam 10 besar ekonomi dunia.

Produk domestik bruto (PDB) Indonesia dalam purchasing power parity atau paritas daya beli pada 2011 dilaporkan mencapai US$ 2.058 miliar. Dengan PDB sebesar ini, Indonesia berada pada urutan ke-10 dari 199 negara, dan berkontribusi sebesar 2,3 persen terhadap PDB dunia.

Capaian ini tentu membanggakan. Namun, di balik kebanggaan itu, ada kecenderungan bahwa kemajuan ekonomi yang telah dicapai selama ini, yang tergambar melalui angka-angka PDB dan pertumbuhan ekonomi, hanya menguntungkan kelompak menengah-kaya, dan kian meninggalkan kelompok miskin. Dengan kata lain, yang kaya semakin kaya, dan yang miskin tetap-bahkan bertambah-miskin.

Data-data statistik telah memberi konfirmasi mengenai hal ini. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Sesunas), misalnya, menunjukkan bahwa saat pengeluaran kelompok terkaya tumbuh menjulang sepanjang 2013, pengeluaran kelompok termiskin justru tumbuh negatif.

Jadi, tidak mengherankan bila kemajuan yang terjadi masih menyisakan sekitar 28 juta penduduk miskin. Ekonomi memang tumbuh mengesankan selama dasawarsa terakhir. Namun, faktanya, pertumbuhan ini hanya mampu menghela sekitar 8 juta orang keluar dari kemiskinan.

Secara faktual, meski PDB per kapita telah mencapai US$ 8.539 per tahun pada 2011, sekitar 43 persen penduduk Indonesia masih hidup dengan pengeluaran di bawah US$ 2 per hari atau US$ 730 per tahun. Artinya, nyaris 103 juta penduduk Indonesia masih berkategori miskin menurut standar Bank Dunia.

Jumlah penduduk hampir miskin (near poor) juga masih sangat tinggi. Pada 2011, jumlah penduduk dengan pengeluaran per bulan kurang dari

Rp 350 ribu atau satu setengah kali garis kemiskinan mencapai 40 persen dari jumlah total penduduk. Angka ini menunjukkan 66 juta penduduk Indonesia sangat rentan (vulnerable)

Page 14: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

terperosok ke jurang kemiskinan bila terjadi gejolak ekonomi

Tidak membikin heran bila rasio Gini telah mencapai 0,41 poin. Angka ini memberi konfirmasi bahwa pendapatan yang tercipta dalam perekonomian sebagian besar dinikmati oleh kelas menengah dan kaya. Hasil Susenas juga memperlihatkan, pada 2013, sekitar 49 persen pendapatan yang tercipta dalam perekonomian dinikmati oleh 20 persen penduduk terkaya. Sebaliknya, 40 persen penduduk termiskin hanya kebagian sekitar 17 persen dari angka pendapatan total.

Itu pun dengan catatan, gambaran distribusi pendapatan yang terpotret melalui data Susenas sebetulnya cenderung kurang menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Pasalnya, rasio Gini galibnya dihitung dengan menggunakan data pendapatan, bukan data pengeluaran yang dikumpulkan melalui Susenas, yang cenderung underestimate.

Sejumlah persoalan yang diulas tersebut merupakan buah dari pertumbuhan ekonomi yang kurang berkualitas. Selama ini, pertumbuhan lebih ditopang oleh sektor jasa (non-tradable) sehingga kurang melibatkan penduduk miskin. Karena itu, persoalan kemiskinan, kerentanan, dan ketimpangan pendapatan yang semakin jomplang harus menjadi fokus perhatian pemerintah mendatang. Tak bisa ditawar lagi, pertumbuhan ekonomi mesti berkualitas.

Page 15: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

Demi Indonesia 2045

Selasa, 13 Mei 2014

Agus Pakpahan, Ekonom Kelembagaan dan Sumber Daya Alam

Tahun 2045, tahun di mana kita akan merayakan seabad Indonesia merdeka, tinggal 31 tahun lagi. Apakah kita akan menjadi negara maju dalam tempo 31 tahun? Kalau kecepatan pembangunan bisa seperti Korea Selatan selama 1970–2000, kita bisa mencapainya.

Dewasa ini, upah minimum di Korea Selatan adalah US$ 4,63 per jam, berbanding dengan upah minimum di Indonesia sekitar US$ 0,52 per jam. Artinya, produktivitas tenaga kerja di Korea Selatan minimum 8,9 kali lebih besar daripada produktivitas tenaga kerja kita. Jadi, kalau kita ingin pada 2045 mencapai posisi Korea Selatan dewasa ini, untuk gambaran kasar, paling tidak kita harus mampu meningkatkan produktivitas tenaga kerja kita 8,9 kali dari posisi sekarang. Mewujudkan hal tersebut bukanlah perkara mudah. Mengapa?

Mari kita lihat gambaran kekuatan makro-ekonomi kita dalam konteks global, sebagaimana dicerminkan dalam neraca pembayaran (barang, jasa, dan modal) Indonesia. Kita menyaksikan bahwa neraca jasa ini selalu defisit, kecuali untuk tenaga kerja Indonesia (TKI) dan turisme. Persoalan jasa ini merupakan simbol kelemahan sumber daya manusia dan institusi kita, yang masih belum mampu mengangkatnya menjadi sektor riil yang strategis.

Lemahnya sektor jasa ini tentu berkaitan dengan lemahnya nilai devisa dari perdagangan, mengingat yang diperdagangkan di pasar dunia sebagian besar adalah bahan mentah atau produk hasil tenaga kerja murah. Jadi, data pada tabel neraca pembayaran menunjukkan, walaupun kita banyak memiliki utang luar negeri, produk Indonesia yang dijual ke pasar dunia tergolong produk murah.

Kita perlu membangun strategi baru. Belajar dari perkembangan faktor K-pengubah siklus dunia, sebagaimana digambarkan oleh George Modelski, mau-tidak mau, Indonesia harus bisa memanfaatkan perkembangan terakhir faktor K20, yaitu teknologi komputer, Internet (IT), dan bioteknologi.

Rancang bangun besar ekonomi Indonesia dewasa ini masih berdasarkan K13 model perkebunan yang dikembangkan pada 1640 dan struktur ekonomi dualistik masih berlaku. Model ini sudah perlu diganti karena fenomena inilah yang berlaku bagi Indonesia sekarang. Model penggantinya adalah industri berdasarkan inovasi.

Landasan teorinya bukanlah teori keunggulan komparatif (comparative advantage),

Page 16: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

melainkan teori kreatif seperti yang disampaikan Schumpeter. Cara yang paling mudah adalah dengan meniru apa yang telah sukses di negara lain dan berhasil menjadi negara maju. Meniru tidak sama dengan menyalin atau menyontek, melainkan melakukan inovasi yang disesuaikan dengan situasi-kondisi yang kita hadapi untuk 31 tahun mendatang.

Dari semua kasus yang sukses, baik di Barat maupun di Timur, ternyata terdapat kesamaan bersama (common denominator), yaitu lahirnya kepercayaan seluruh masyarakat bahwa kondisi sosial masyarakat bisa diperbaiki dengan diterimanya kaidah-kaidah ilmu pengetahuan sebagai faktor utama perubahan.

Kesadaran tersebut melahirkan komitmen antarkelompok penguasa, pengusaha, ilmuwan, teknolog, industri, dan masyarakat pada umumnya untuk melakukan perubahan-perubahan nyata dalam memperbaiki harkat dan derajat kehidupan.

Dapat dilihat bahwa yang paling sulit dalam perbuatan meniru ini adalah melahirkan kesadaran dan membangun komitmen tersebut. Ilustrasi yang paling gamblang adalah bagaimana Jepang selama 10 tahun terakhir ini memilih kebijakan suku bunga bank sangat rendah, nol atau negatif. Di sinilah tampak bahwa nasionalisme bisa tidak bertentangan dengan kapitalisme. Artinya, demi murahnya modal untuk digunakan pihak yang memerlukannya, pemilik modal rela tidak menerima pendapatan dari bunga. Inilah model patriotisme kaum kaya Jepang demi negaranya.

Dengan mengambil ilustrasi ini, tidak ada cara lain bagi Indonesia untuk dapat meningkatkan produktivitas ekonominya lebih dari 10 kali lipat atau lebih dari produktivitas sekarang, demi Indonesia 2045 yang lebih baik, kecuali dengan lahirnya para pemimpin, pengusaha kaya (konglomerat), ilmuwan, dan semua lapisan masyarakat Indonesia yang berkomitmen bersama demi Indonesia 2045 dan periode seterusnya yang lebih baik.

Hasil Pemilu 2014 merupakan jawaban konkret yang akan memberi gambaran apakah Indonesia akan mengarah ke sana atau tidak.

Page 17: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

Tragedi Mei dan Keadilan bagi Korban

Rabu, 14 Mei 2014

Mimin Dwi Hartono, Staf Komnas HAM, pendapat pribadi

Tragedi Mei, yaitu peristiwa kerusuhan massal pada 13-15 Mei 1998 di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya, telah terjadi enam belas tahun lalu. Tapi negara masih mengabaikan hak-hak korban atas kebenaran dan keadilan karena ketidakjelasan proses hukum seusai penyelidikan Komnas HAM.

Sebelum penyelidikan Komnas HAM berdasarkan mandat Pasal 18 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, pada 23 Juli 1998 dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang merampungkan laporannya pada 23 Oktober 1998.

TGPF menemukan fakta bahwa kerusuhan tersebut diduga mengakibatkan lebih dari seribu orang meninggal akibat terjebak dalam bangunan yang terbakar atau dibakar, ratusan orang luka-luka, penculikan terhadap beberapa orang, pemerkosaan atau pelecehan seksual terhadap puluhan perempuan yang sebagian besar dari etnis tertentu, serta ribuan bangunan dibakar.

Laporan TGPF menghasilkan delapan poin rekomendasi, tapi sebagian besar tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah, misalnya terkait dengan rehabilitasi dan kompensasi bagi para korban ataupun pengadilan militer untuk petinggi ABRI yang diduga terlibat dan/atau membiarkan tragedi tersebut.

Salah satu rekomendasi TGPF yang ditindaklanjuti adalah Komnas HAM membentuk Tim Penyelidikan Pro-Justicia dugaan pelanggaran HAM yang berat atas Tragedi Mei.

Pada 2003, Tim Penyelidikan Komnas HAM menyimpulkan adanya bukti permulaan yang cukup atas dugaan telah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dalam Tragedi Mei sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU tentang Pengadilan HAM.

Berdasarkan catatan Komnas HAM, hasil penyelidikan Komnas HAM disampaikan ke Kejaksaan Agung selaku penyidik dan penuntut pada 9 September 2003.

Selain itu, Komnas HAM mengadakan pertemuan-pertemuan dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat agar mengeluarkan rekomendasi pembentukan Pengadilan HAM ad hoc. Berdasarkan Pasal 43 ayat (1) dan (2) UU tentang Pengadilan HAM, untuk peristiwa yang terjadi sebelum 2000, pembentukan pengadilan HAM ad hoc harus melalui rekomendasi

Page 18: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

DPR.

Pada 2008, Jaksa Agung menyatakan bahwa hasil penyelidikan belum bisa ditindaklanjuti karena pengadilan HAM ad hoc belum terbentuk. Merespons hal tersebut, Komnas HAM berpendapat bahwa penyidikan dan penuntutan dapat dilakukan tanpa menunggu pembentukan pengadilan HAM ad hoc.  

Proses hukum atas Tragedi Mei yang mengambang dan berlarut-larut telah merugikan banyak pihak, terutama hak para korban atas keadilan dan asas persamaan di depan hukum yang menjadi inti negara hukum.

Hak korban atas keadilan dan kepastian hukum telah diabaikan oleh negara selama bertahun-tahun. Mereka tidak pernah tahu siapa yang bertanggung jawab atas Tragedi Mei yang telah merampas hak-hak asasinya, termasuk yang paling mendasar, yaitu hak untuk hidup.

Pihak yang diduga adalah para pelaku menghadapi tuduhan yang belum berdasar pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Berkembangnya opini publik yang menyalahkan pihak tertentu tidak bisa dielakkan karena pembiaran oleh negara selama belasan tahun.

Sedangkan masyarakat umum tidak mendapatkan hak atas informasi atas sebuah kebenaran karena tidak ada ketegasan dari negara untuk mengadili siapa yang bersalah atau bertanggung jawab dalam Tragedi Mei. Kepastian atas proses hukum Tragedi Mei sangat penting bagi masyarakat agar mengetahui fakta yang sebenarnya dan tidak menjadi beban bangsa yang berlarut.

Pemerintah ataupun presiden yang sedang berkuasa selalu akan dibayangi oleh tekanan dari dalam dan luar negeri karena dinilai tidak mau (unwilling) dan/atau tidak mampu (unable) menuntaskan Tragedi Mei. Dalam setiap sidang di Perserikatan Bangsa-Bangsa atau forum-forum internasional, ketidakjelasan status hukum Tragedi Mei akan selalu dipersoalkan, sehingga menggerus kredibilitas negara.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih mempunyai sisa waktu dalam masa pemerintahannya untuk melaksanakan kewajiban konstitusionalnya dalam menuntaskan proses hukum atas Tragedi Mei. Namun tampaknya hal itu sulit diharapkan karena selama hampir 10 tahun memerintah tidak ada langkah konkret untuk menindaklanjuti kasus Tragedi Mei dan kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya.

Keengganan pemerintah ini lebih merupakan alasan politis daripada persoalan substansi penyelidikan. Untuk itu, tidak bisa ditangani hanya melalui pendekatan hukum an sich, tapi juga melalui pendekatan politik.

Momentum pemilihan presiden pada 9 Juli menjadi sangat strategis dan penting untuk memastikan bahwa presiden terpilih mempunyai komitmen politik dan hak asasi manusia

Page 19: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

yang kuat.

Publik berharap presiden mendatang berani membuka kebenaran dan  menuntaskan proses hukum atas Tragedi Mei. Perlu ditegaskan bahwa penundaan atas proses hukum dalam Tragedi Mei yang berlarut-larut adalah bentuk dari pengabaian hak atas keadilan yang melekat pada korban.

Page 20: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

Mata Hitam

Rabu, 14 Mei 2014

Anton Kurnia, Penulis esai dan cerpen

Ochi chornye, atau Mata Hitam, bisa jadi lagu cinta dari Rusia yang paling terkenal di dunia. Aslinya lirik lagu ini ditulis penyair Ukrainia bernamaYevhen Hrebinka dalam bahasa Ukrainia. Ia lalu menerjemahkan puisi melankolis itu ke bahasa Rusia dan dipublikasikan dalam Literaturnaya gazeta pada 17 Januari 1843. Setahun kemudian puisi ini digubah menjadi komposisi lagu oleh Florian Hermann dan dipopulerkan oleh Feodor Chaliapin.

Lagu ini lalu diadaptasi menjadi berbagai versi, antara lain sebagai Black Eyes dalam bahasa Inggris dan Les yeux noirs dalam versi Prancis. Lagu ini pun pernah menjadi nomor jazz standar pada masanya yang dibawakan oleh para master semacam Louis Armstrong dan Django Reinhardt dalam berbagai pentas.

Di Indonesia, kita mengenal lagu ini sebagai lagu cinta berlirik bahasa Sunda, Panon Hideung (artinya Mata Hitam). Komposisi nadanya bisa dibilang sama dengan Ochi chornye, hanya berbeda lirik dan bergeser maknanya walau tetap berkisah tentang jatuh cinta yang sendu terhadap seorang gadis bermata hitam. Siapakah penggubahnya?

Panon Hideung dianggit oleh maestro musik nasional yang pada 11 Mei ini kita peringati 100 tahun kelahirannya: Ismail Marzuki (1914-1958). Konon, lagu ini diadaptasi Ismail yang asli Betawi dari versi Rusia pada 1936 sebagai persembahan bagi seorang "euis Bandung" yang memikat hatinya. Gadis yang beruntung itu adalah Eulis Zuraidah, penyanyi keroncong dan dirigen orkestra asal Kota Kembang yang kemudian dinikahi Ismail pada 1940.

Hingga kini lagu Panon Hideung amat populer di Bandung dan sekitarnya, serta kerap dinyanyikan dalam beragam kesempatan. Bahkan, bagi sebagian orang yang tak tahu sejarahnya, lagu itu dianggap lagu asli Sunda yang menasional. Panon Hideung tak jarang dibawakan dalam pentas internasional dengan iringan musik tradisonal semacam angklung sebagai "lagu daerah" Jawa Barat.

Di Rusia, Ochi chornye amat populer. Banyak orang hafal di luar kepala nada dan liriknya. Dalam film dokumenter Gerimis Kenangan karya sutradara Seno Joko Suyono yang meraih Piala Citra pada FFI 2006, ada adegan ketika kru film mewawancarai secara acak sejumlah warga Moskow yang tengah berada di jalanan dan meminta mereka menyanyikan lagu ini. Ternyata sebagian besar bisa menyanyikannya. Dan seperti banyak orang di sini, mereka pun tak tahu riwayat intertekstualitas budaya antara Ochi chornye dan Panon Hideung yang

Page 21: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

menghubungkan sejarah kedekatan rakyat Rusia dengan Indonesia pada masa lalu.

Alih-alih tampak sebagai seorang musikus penjiplak, Panon Hideung justru membuat Ismail tampil sebagai duta budaya yang efektif. Ismail yang pada 2004 dinobatkan sebagai pahlawan nasional membuktikan bahwa musik adalah bahasa universal yang mampu melintasi sekat-sekat negara, bangsa, bahasa, bahkan ruang dan waktu. Lagi pula, ia tak pernah mendaku bahwa lagu ini karya orisinalnya.

Ismail Marzuki adalah salah satu komponis terbesar kita dengan karya-karya yang terus dikenang dan dimaknai kembali hingga kini oleh generasi setelahnya, seperti Rayuan Pulau Kelapa, Sepasang Mata Bola, dan Sabda Alam. Sejarah dan waktulah yang mencatat dan mengabadikan pencapaiannya yang gemilang.

Page 22: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

Ekalaya

Rabu, 14 Mei 2014

Purnawan Andra, Peminat kajian sosial budaya masyarakat

Dalam cerita Mahabharata, Ekalaya adalah seorang kesatria yang ingin menimba ilmu panah kepada Mahaguru Drona. Tapi Drona tahu Ekalaya mempunyai bakat yang jauh melebihi Arjuna, murid kesayangannya. Maka ia mengajukan syarat mau menerima Ekalaya sebagai murid asal menyerahkan ibu jari kanannya kepada Drona. Kita tahu, tanpa kelengkapan jari-jari tangan, seorang kesatria tak akan mampu memanah dengan baik. Namun Ekalaya tetap memberikan jempolnya kepada Drona sebagai ketaatan murid kepada gurunya.

Ekalaya adalah potret keinginan kuat seseorang untuk memperoleh pendidikan. Tapi harapannya berhadapan dengan Drona (baca: institusi pendidikan) yang tak menerima dan mengelolanya dengan baik, bahkan mengebiri kemampuannya, karena alasan dan logika yang tak masuk akal: suka atau tidak suka.

Fitrah sekolah sebagai sebuah institusi pendidikan adalah organisasi belajar. Pendidikan memperlakukan individu sebagai pribadi dalam sistem yang dibangun sebagai dasar bertindak dalam praksis harian, sehingga kultur edukatif benar-benar hadir dan menjiwai seluruh proses pendidikan (Soedjatmoko, 2009). Artinya, sekolah menciptakan iklim harian dan kultur sekolah yang mendukung siswa gemar belajar tanpa dipaksa atau diancam perolehan nilai, dengan mengajarkan "etos", konsep nilai berupa ketekunan, konsistensi, serta keseriusan siswa.

Namun Romo Mangun menyebut bahwa institusi-institusi pendidikan formal saat ini telah mendidik siswanya menjadi robot dengan suasana penuh siksaan dan tekanan. Dari kebijakan ujian nasional (UN) saja, kita lihat wajah pendidikan kita. UN selalu hadir dalam suasana menegangkan, mengancam, dan menakutkan, bukan dipahami sebagai proses wajar untuk menuju tingkatan yang lebih tinggi.

Untuk menghadapi UN, sekolah perlu mengadakan doa dan zikir bersama disertai isak tangis penuh haru yang diakhiri ikrar kejujuran. UN dikesankan menjadi pertaruhan hidup siswa: lulus berarti fase hidup selanjutnya terbentang di masa depan, sedangkan tidak lulus UN berarti kesalahan, kegagalan, menghadapi malu atas semacam "dosa".

Dunia pendidikan dikelola dengan visi pendidikan dan spiritualitas yang dangkal, lebih suka mencari jalan pintas. Arti pendidikan yang sebenarnya direduksi. Proses menjadi tidak penting karena hasil lebih utama, entah bagaimana cara mendapatkannya. Maka wajar jika

Page 23: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

setiap menjelang UN selalu ada fenomena jual-beli jawaban, bocoran soal, hingga siswa yang bunuh diri karena gagal lulus.

Siswa seharusnya mendapatkan tanah tumbuh dan iklim kesempatan untuk berkembang menjadi semakin cerdas dan manusiawi. Sebagai sebuah lembaga ilmiah, sekolah harus mampu menciptakan iklim yang kondusif dan menjadi tempat bagi seluruh civitas academica untuk mengembangkan segenap potensi keilmuan, memupuk kreativitas, dan melakukan kegiatan-kegiatan inovatif guna meraih capaian intelektual dan kepribadian yang optimal. Pendidikan berkualitas bukan sekadar masalah teknis didaktik-metodik, tapi juga hal-hal yang ideologis, strategis-paradigmatis. Jangan sampai negara bersikap seperti Drona terhadap Ekalaya, dengan tidak memfasilitasi hak tumbuh-kembang siswa yang menjadi fitrah pendidikan.

Page 24: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

Golkar untuk Jokowi?

Jum'at, 16 Mei 2014

M. Alfan Alfian, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta

Pada Selasa, 13 Mei 2014, calon presiden PDIP, Joko Widodo (Jokowi), bertemu dengan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie di Pasar Gembrong, Jakarta. Aburizal memberi sinyal positif bahwa partainya akan merapat ke poros pilpres PDIP. Tetapi, pada hari berikutnya, Aburizal bertemu dengan Presiden Yudhoyono sebagai king maker Partai Demokrat, di Istana. Aburizal juga menerima kedatangan Prabowo Subianto (Gerindra) dan juga Wiranto (Hanura). Berikutnya, Aburizal menemui Megawati. Pertemuan-pertemuan politik itu semakin membuat publik susah menerka ke mana arah koalisi Golkar.

Sementara itu, poros pilpres PDIP sudah semakin pasti. Koalisi PDIP, Partai NasDem, dan PKB telah diresmikan. Realitas inilah yang membuat Jokowi sebagai capres kian terpastikan, karena boarding pass pilpres sudah dipegang. Karena itu, apakah Golkar jadi masuk atau tidak ke poros Jokowi, tidak begitu berpengaruh. Tetapi, apakah PDIP sesungguhnya membutuhkan Golkar dan sebaliknya?

Saya berpendapat, kendatipun pihak-pihak tertentu PDIP menginginkan koalisi ramping, secara empiris PDIP tetap harus merangkul Golkar, kalau ingin membangun pemerintahan presidensial yang kuat. PDIP tidak cukup sekadar mengandalkan retorika pro-rakyat. Secara empiris, kekuatan presidensial akan optimal manakala dukungan parlemennya sangat kuat. Dalam konteks inilah, Golkar sebagai kekuatan politik yang cukup signifikan di parlemen tidak boleh serta merta diabaikan.

Jadi, bagaimanapun, PDIP tetap membutuhkan Golkar, justru untuk menjamin stabilitas pemerintahan presidensial. Adapun di tengah terombang-ambingnya Golkar dalam proses pencarian mitra koalisi, saya berpendapat seharusnya skala prioritasnya ke PDIP ketimbang yang lain. Mengapa demikian? PDIP punya capres yang paling potensial elektabilitasnya dari yang lain. Dengan kecepatan merapat ke PDIP, Golkar bisa memainkan peran dalam merancang dan menentukan langkah politik selanjutnya.

Tetapi, rupanya Golkar tidak bisa lincah, justru karena Aburizal diberati status resmi yang disandangnya sebagai capres Golkar. Status itu belum dicabut melalui Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas), ketika Aburizal berikhtiar menjalin komunikasi politik dengan yang lain. Komunikasi menjadi keharusan, mengingat persyaratan dukungan elektoral Golkar tidak cukup baginya untuk mengajukan capres-cawapres sendiri.

Page 25: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

Realitas demikian menghempaskan Aburizal dari impiannya memegang boarding pass pilpres. Kartu politik Aburizal pun tidak leluasa dimainkan, karena lemahnya kemampuan dalam meyakinkan yang lain. Dengan kata lain, Aburizal tidak bisa menjadi magnet politik yang kuat dalam menginisiasi poros pilpres. Sebaliknya pihaknya lebih banyak ditentukan oleh yang lain.

Dari ranah internal, gagasan politik yang lebih realistis hadir dari Dewan Pertimbangan yang mengajukan tiga nama tokoh Golkar yang boleh diambil partai lain sebagai cawapres. Mereka adalah Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, dan Luhut Panjaitan.

Dari sisi tersebut, Golkar perlu dihitung kekuatannya secara formal dan informal. Bagi PDIP yang sudah punya boarding pass pilpres, pertimbangan dukungan formal Golkar, mungkin bisa diabaikan. Tetapi kekuatan informalnya perlu dicermati, terutama dari sisi kekuatan tokoh dan daya magnet politiknya. Aburizal bisa menurunkan statusnya menjadi bakal cawapres, tapi kalaulah demikian ia segera masuk ke barisan tokoh Golkar yang akan dinilai pihak lain. Misalnya, apakah Aburizal lebih tepat mendampingi Jokowi dibandingkan dengan Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, Luhut Pandjaitan atau yang lain?

Dalam konteks ini, saya berpendapat cawapres Jokowi hendaknya politikus yang andal dalam mengelola potensi konflik dan menggalang dukungan parlemen. Kalau tidak, potensi instabilitas politik demikian tinggi dalam konstelasi parlemen multipartai dewasa ini. Kuncinya tetap pada keandalan para elitenya menggalang konsensus dan mengelola konflik. Golkar punya stok ke arah ciri-ciri demikian. Lagi pula, fleksibilitas Golkar membuat koalisi lebih terjamin.

PDIP dan Golkar sesungguhnya punya pengalaman sejarah Koalisi Kebangsaan pada pilpres 2004. Di bawah Akbar Tandjung, Golkar tetap konsisten kendati koalisi berada di luar pemerintahan. Namun, fenomena yang mengemuka kemudian, Golkar formal, yang pro-koalisi kebangsaan, secara faktual segera tenggelam oleh kekuatan informal Jusuf Kalla yang merebut kendali Golkar pada Musyawarah Nasional (Munas) 2004. Meski demikian, pengalaman koalisi kebangsaan tetap menegaskan adanya persambungan frekuensi politik Golkar-PDIP.

Dari sisi ini, hendaknya pendukung Jokowi bisa memahami bahwa, dalam politik, sesuatu yang sangat ideal tidak serta-merta mudah diwujudkan. Rasionalitas politik tetap harus mengemuka. Kerja sama politik terbuka, bahkan dengan partai yang kurang disukai sekalipun, sesungguhnya merupakan hal yang lazim. Maka Golkar pun bukan sesuatu yang harus dipandang negatif bagi Jokowi.*

Page 26: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

Revolusi Metal

Jum'at, 16 Mei 2014

Iwel Sastra, Komedian @iwel_mc

Istilah revolusi metal yang saya tulis terinspirasi ketika melihat laki-laki berdandanan metal ala Kirk Hammett, gitaris grup band Metallica. Rambut gondrong, jenggotan, pakai kaus warna hitam plus celana ketat, tapi ikut larut di antara penonton yang sedang menikmati penampilan JKT48, girl band yang beranggotakan puluhan remaja putri cantik dan manis. Sebelumnya, kita juga pernah mendengar istilah "wajah Rambo hati Rinto". Maksudnya, berwajah jantan seperti Rambo yang diperankan oleh Sylvester Stallone, tapi hatinya cengeng seperti lagu-lagu yang diciptakan oleh Rinto Harahap.

Istilah revolusi metal ini kemudian saya gunakan untuk menunjuk pada fenomena bahwa segala sesuatu tidak bisa lagi dinilai dari luar. Dulu, orang yang bertato dicitrakan sebagai preman atau penjahat, sekarang ini tato menjadi bagian dari fashion yang tren bagi sebagian orang, termasuk perempuan. Dulu, laki-laki yang bertubuh kekar dengan wajah maskulin dianggap sebagai lelaki sejati. Tapi sekarang, kita tidak boleh terlalu cepat menyimpulkan sebelum mendengar dia berbicara atau melihat bahasa tubuhnya. Bisa-bisa nanti kecewa, cyin....

Penampilan luar adalah kemasan yang bisa diciptakan seseorang dalam rangka pencitraan. Sebagai contoh, pada pemilu legislatif yang lalu, rakyat hanya disodori foto-foto para caleg tanpa mengenal lebih jauh siapa mereka sesungguhnya. Ada foto caleg yang dipasang di papan reklame, ada yang di pohon, dan ada yang di tiang listrik. Caleg yang fotonya dipasang di tiang listrik ini disebut caleg nyentrik, alias "nyender di tiang listrik".

Mengenal caleg hanya dengan melihat tampak luar tanpa mengenal lebih dalam memunculkan kekecewaan di kemudian hari. Ini bisa dilihat setelah caleg terpilih ditetapkan melalui pleno KPU, kemudian ramai berita mengenai anak buronan BLBI yang lolos ke Senayan. Jika pemilih membaca berita ini setelah yang bersangkutan terpilih, tentu sudah tidak ada artinya. Ibaratnya seorang perempuan dinikahi seorang pria, beberapa hari setelah pernikahannya baru tahu bahwa pria yang dinikahinya masih memiliki istri yang sah. Ini bukan lagi sekadar nasi yang telah jadi bubur, bahkan angpau pun telah jadi bubur.

Dari daerah, dikabarkan tukang tambal ban, tukang bakso, hingga tukang ojek berhasil terpilih menjadi anggota DPRD. Tidak ada salahnya, memang. Karena, menurut undang-undang, siapa pun berhak mencalonkan diri selama memenuhi syarat. Kalau dipaksakan, profesi apa pun tetap bisa relevan menjadi anggota legislatif. Misalnya anggota legislatif

Page 27: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

yang memiliki latar belakang tukang ojek, bisa duduk di komisi yang mengurusi transportasi. Sedangkan yang memiliki latar belakang tukang bakso bisa duduk di komisi yang mengurusi pangan. Begitu seterusnya, semua pasti bisa dihubung-hubungkan. Meskipun secara kualitas tetap menimbulkan kekhawatiran.

"Tak kenal maka tak sayang" bukanlah pepatah yang ditujukan hanya kepada kaum jomblo. Pepatah ini ditujukan kepada siapa saja untuk mengenal seseorang lebih jauh bahkan untuk mengenal calon pemimpin mereka. Orang barat sering bilang, "Don't judge the book by it's cover." Jangan menilai buku hanya dari sampul depannya. Sampul depannya jelek belum tentu isinya bagus, he-he-he. Makna dari ungkapan yang saya plesetkan ini adalah kita jangan terlalu cepat menyimpulkan apa yang terlihat tanpa mengenal lebih dalam. *

Page 28: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

Terlambat

Jum'at, 16 Mei 2014

Wahyu Dhyatmika, [email protected]

Mengapa orang Indonesia cenderung tak bisa tepat waktu? Mengapa kita kerap menganggap remeh keharusan untuk hadir pada suatu acara persis pada jam yang tertera dalam undangan sang tuan rumah? Kecuali untuk urusan yang teramat penting dan terkait dengan orang yang amat kita hargai-atau takuti-biasanya kita datang terlambat. Lima menit, sepuluh menit, bahkan sampai setengah jam.

Saya pernah mengundang seseorang untuk membicarakan sebuah proyek kerja sama yang teramat penting untuk lembaga kami. Saya harus menunggu sekitar 20 menit, sebelum batang hidungnya muncul dengan permintaan maaf panjang-lebar. Hujan deras, banjir, lalu macet: serangkaian alasan yang sudah amat biasa kita dengar sebagai biang kerok keterlambatan. Tapi, anehnya, saya memaafkan dia. Begitu saja, dengan ringan, dengan penuh pemakluman, maaf saya berikan.

Setelah itu, saya jadi berpikir. Mengapa kekesalan saya menguap dengan begitu cepat? Mengapa saya tidak murka sampai ke ubun-ubun karena dia tak berusaha lebih keras-tak berangkat lebih cepat, misalnya-untuk tepat waktu memenuhi undangan saya?

Jawaban untuk pertanyaan retorika itu menyambar cepat di dalam kepala saya: karena saya juga tak bisa memastikan saya akan selalu datang tepat waktu. Sesederhana itu. Bila saya berada di posisinya, belum tentu saya tidak terlambat. Karena itulah, saya memaafkan keterlambatannya karena saya yakin saya juga berpotensi terlambat bila harus datang ke kantornya.

Kalau begitu, ini seperti lingkaran setan. Sebuah keterlambatan jadi dimaklumi karena semua orang sadar mereka pun berpeluang tidak tepat waktu. Akhirnya, lambat-laun, keterlambatan diterima sebagai budaya, sebagai bagian dari kebiasaan kita.

Perhatikan surat undangan untuk acara apa pun di negeri ini: panitia pasti mencantumkan jam dimulainya acara lebih awal 30 menit sampai 1 jam. Soalnya, panitia yakin hadirin pasti datang terlambat sehingga acara pasti tertunda, setidaknya 30 menit. Akibatnya, mereka yang hadir persis pada jam yang diminta jadi kecele. Sementara mereka yang terlambat malah beruntung.

Kecenderungan ini amat mengganggu. Mengapa kita bisa menenggang rasa untuk jam karet?

Page 29: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

Mengapa kita permisif soal keterlambatan? Dalam rangka mencari jawaban, saya melakukan studi perbandingan dengan bertanya pada seorang kawan dari Jerman, sebuah negeri yang warganya dikenal disiplin dan amat tepat waktu. "Mengapa orang Jerman jarang terlambat? Apa rahasianya?" saya bertanya.

Jawabannya membuat saya tertohok. Dia bilang, orang Jerman menganggap terlambat adalah sebuah tindakan yang amat kasar dan tidak sopan. Jika Anda datang terlambat memenuhi sebuah janji, mau tak mau, Anda membuat seseorang atau beberapa orang menunggu. "Apa hubungannya menunggu dan sopan santun?" saya mengejar.

Menurut kawan saya: orang yang dipaksa menunggu hanya bisa berpangku tangan, tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tidak bisa mengerjakan sesuatu yang seharusnya dia kerjakan jika dia punya waktu. Dia tidak bisa menemui klien lain, atau pergi ke toko untuk membeli buku pesanan anaknya. Pendeknya, dia kehilangan sepotong waktu gara-gara menunggu Anda. "Dengan datang terlambat, Anda merampok sepotong waktu dari kehidupannya."

Saya terenyak. Ketika terlambat disamakan dengan sebuah pencurian, mendadak dia jadi punya makna baru. Tepat waktu bukan hanya soal disiplin semata, tapi juga soal menghargai orang lain. Kalau kita mengakui keberadaan orang lain dan mengapresiasinya sepenuh hati, maka datang terlambat sama saja dengan membuang relasi itu ke tempat sampah.

Dengan perspektif macam itu, mereka yang terlambat memang melakukan perbuatan tak sopan, yang tak bisa diampuni begitu mudah. Tak ada lagi maaf bagimu. *

Page 30: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

Statistik Buku

Jum'at, 16 Mei 2014

Agus M. Irkham, Pegiat Literasi

Kita perlu memiliki statistik perbukuan Indonesia sepanjang 2013. Berapa jumlah judul buku baru yang diterbitkan? Berapa jumlah total buku yang beredar? Berapa total volume industri penerbit buku? Berapa jumlah buku pelajaran SD, SMP, dan SMA yang diperlukan secara nasional? Berapa jumlah penerbit dan toko buku? Berapa besar angka Book Production Consumption (BPC) kita? BPC menjadi alat ukur untuk mengetahui seberapa besar persentase pengeluaran suatu masyarakat (bangsa) yang digunakan untuk membeli buku. Melalui BPC, kita jadi tahu harga buku yang berlaku di suatu negara lebih mahal atau sebaliknya dibanding harga buku di negara lain.

Jawaban atas berderet pertanyaan tersebut, sejauh pengamatan saya, tidak ada. Baik jawaban kira-kira, apalagi jawaban pasti. Sebuah paradoks tersendiri. Saat kita menyusuri toko buku, deretan rak buku banyak memajang buku berisi tentang metodologi penelitian ataupun publikasi hasil penelitian. Tapi belum ada penelitian khusus tentang statistik perbukuan kita paling mutakhir yang merupakan input untuk memotret perkembangan dunia industri perbukuan di Tanah Air. Padahal industri perbukuan ini menjadi rahim bagi sosialisasi ilmu, pengetahuan, dan hasil penelitian. Produk industri perbukuan justru hampir-hampir  tidak pernah diteliti. Ada semacam pengabaian akademik dalam gerak langkah bertumbuhnya industri perbukuan kita.

Penelitian yang paling sederhana pun tidak pernah kita lakukan. Misalnya, melihat kecenderungan atau tren buku tiap tahun, penelitian tentang minat baca yang kita lakukan sendiri, bukannya merujuk pada penelitian lembaga asing yang kemudian kita kutip sekadar untuk semakin menegaskan bahwa minat baca masyarakat kita menempati  nomor sepatu.

Perayaan Hari Buku Nasional setiap 17 Mei pun tidak mampu kita jadikan momentum untuk melahirkan gagasan melakukan riset yang mendalam tentang perkembangan industri perbukuan kita. Padahal,  riset tersebut dapat menjadi rujukan, input, dan peta jalan bagi seluruh stakeholder perbukuan di Indonesia. Baik dari penulis, penerjemah, editor, penerbit, agen, distributor, penyedia kertas, toko buku, maupun pemerintah.  

Riset industri perbukuan yang terakhir saya baca dilakukan Teddy Surianto  pada 1995 berjudul "Potret Distribusi Buku di Indonesia" yang terhimpun dalam buku kumpulan esai berjudul Buku dalam Indonesia Baru (Yayasan Obor Indonesia, 1999, yang disunting  Alfons Taryadi).  

Page 31: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

Dalam riset itu tergambar dengan jelas kondisi industri perbukuan di Indonesia. Deretan pertanyaan pada awal tulisan ini terjawab semua.  Tak terkecuali angka PBC kita yang terjun bebas ke angka 0,144 persen. Artinya, kita harus membayar 10 kali lipat lebih mahal ketimbang masyarakat konsumen buku di negara maju. Setelah Teddy Surianto, belum ada lagi riset mendalam mengenai wajah industri perbukuan kita hingga hampir dua dekade sekarang ini. Ketiadaan riset itu juga  barangkali yang menyebabkan RUU Perbukuan Nasional yang drafnya sudah ada sejak Juli 2006 hingga kini belum kunjung disahkan menjadi undang-undang. Layaknya hendak membuat peraturan terhadap sesuatu yang kita sendiri tidak tahu makhluk seperti apa yang akan kita atur itu. Jadilah kita bak saat berjalan menyalakan lilin guna menerangi langkah, mata masih terbebat kain tebal. * 

Page 32: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

Pemimpin Profetik

Jum'at, 16 Mei 2014

Husein Ja'far Al Hadar, Peminat Masalah Agama

Pemimpin adalah wakil Allah (khalifatullah) di bumi atau suatu negara. Jika disadari dalam kerangka itu, kepemimpinan tak akan dipahami, dihayati, dan dijalankan sebagai yang profan-imanen, melainkan sakral-transenden. Pemimpin adalah gelar profetik, sehingga tak ada bedanya antara pemimpin negara dan imam salat atau khatib Jumat.

Sebab, pada dasarnya, kepemimpinan adalah sebuah tugas suci, meski itu dilakoni di negeri sekuler sekalipun. Apalagi pemimpin Indonesia, negeri berdasarkan Pancasila yang sangat religius ini. Sebagaimana seorang imam atau khatib, ia bukan hanya mengemban amanat rakyat atau umat, tapi juga amanat Tuhan. Karena itu, ia harus pribadi yang paling memiliki sifat-sifat ketuhanan: adil, bijaksana, rahman (pengasih), rahim (penyayang), dan sebagainya. Inilah (seharusnya) visi-misi dasar seorang pemimpin (politik).

Visi-misi profetik itulah yang kerap absen dalam kontestasi kepemimpinan (politik) di negeri ini. Maka, penulis kerap menemui sebagian kita yang sering merasa tak pantas dan saling dorong saat diminta menjadi imam salat atau khatib Jumat, tapi begitu bernafsu dan saling berebut menjadi pemimpin negara. Bahkan, memperebutkannya dengan menghalalkan segala cara. Maka, nilai profetik kepemimpinan pun menjadi sirna. Kepemimpinan hanya dipahami sebagai jabatan, rakyat sebatas komoditas, dan koalisi dijalankan dalam kerangka "dagang sapi". Padahal, sebagaimana kata Sayidina Ali bin Abu Thalib dalam salah satu wasiatnya sebagai khalifah pada Malik Asytar, pola pandang seorang pemimpin pada rakyatnya harus berbasis subyek-subyek, bukan subyek-obyek.

Jadi, pemimpin akan benar-benar merasakan perasaan, keluhan, dan harapan rakyatnya. Dengan begitu, para pemimpin menyadari, tidak bisa tidak, mereka harus merangkul rakyat dalam kepemimpinannya sebagai urusan bersama (res publica). Mereka juga selalu menyadari bahwa kekuasaan sejati selamanya milik rakyat.

Maka, dalam konteks kepemimpinan yang profetik, sebagaimana menjadi isi doa Emha Ainun Nadjib (2012), para bakal calon pemimpin justru harus berharap bisa menjadi "pemimpin boneka". Namun, tentu bukan "boneka manusia", tapi "boneka Allah". Dengan begitu, pemimpin kita benar-benar seorang khalifatullah di Indonesia.     

Akhirnya, seperti didendangkan Iwan Fals, pemimpin memang sepatutnya "manusia setengah dewa". Seorang manusia yang memiliki sifat-sifat ketuhanan atau para dewa. Namun, seperti

Page 33: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

dikemukakan Sayyid Fadlullah (ulama Libanon), visi-misi pemimpin profetik itu bukan berarti untuk membentuk "negara agama" (daulah diniyah) atau mau menyesatkan agama, keyakinan, atau mazhab lain atas nama kemurnian. Tapi, untuk membentuk "negara kemanusiaan" (daulah insaniyah). Sebab, ketika nilai-nilai kemanusiaan tegak (keadilan, perdamaian, kesejahteraan, toleransi, dll), di sanalah visi agama dan nilai-nilai ketuhanan bersemi.

Page 34: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

Menang Sebelum Bertarung?

Jum'at, 16 Mei 2014

Agung Baskoro, Analis Politik Poltracking

Tak lama setelah hasil rekapitulasi pemilu legislatif (pileg) ditetapkan KPU (9 Mei) dan tak ingin mengulang kesalahan pada Pemilu 1999, PDIP terus bergerilya memastikan mitra koalisi. Terakhir, 13 Mei lalu, Poros Joko Widodo (Jokowi) kembali memperoleh dukungan tambahan dari Golkar, setelah sebelumnya NasDem dan PKB sepakat untuk bersama.

Bila digabung secara keseluruhan, poros ini akan mendapatkan raihan suara sebesar 49,46 persen, sebuah angka solid yang cukup untuk memajukan paket pasangan capres-cawapres ataupun mengimbangi peta dukungan eksekutif di parlemen nanti. Bila melihat peta persaingan sementara ini, Poros Jokowi hanya bisa diimbangi oleh Poros Prabowo Subianto yang telah memperoleh mitra koalisi melalui PPP dan PAN. Dan bila diakumulasikan, total suara yang berhasil dikumpulkan oleh ketiganya berjumlah 25,93 persen. Di sisi yang lain, Partai Demokrat, PKS, dan Hanura belum memutuskan ke mana arah dukungan akan diberikan atau malah bersepakat untuk memunculkan poros baru yang gagal diinisiasi oleh ARB.

Dalam konteks ini, sebenarnya, secara matematis, pemenang pemilu presiden (pilpres) 9 Juli nanti sudah bisa ditebak. Namun politik bukan sekadar hitungan di atas kertas, karena banyak faktor turut mempengaruhi. Bila ditelusuri, pilpres adalah kontestasi figur, walaupun dalam pileg yang lalu kondisi ini sudah terjadi dan menjelaskan bagaimana terdongkraknya suara PDIP, Gerindra, dan PKB dengan kehadiran Jokowi, Prabowo, Rhoma Irama, Jusuf Kalla, Mahfud Md., serta sederet nama-nama besar lainnya. Fakta ini diperkuat pula oleh temuan Poltracking, sepanjang Oktober 2013, Desember 2013, dan Maret 2014, yang menjelaskan bahwa kedekatan pemilih dengan partai (party ID) hanya 17-25 persen.

Pekerjaan rumah bagi Poros Jokowi ataupun Poros Baru--bila terbentuk nantinya--menyisakan siapa figur yang layak menjadi cawapres. Sebab, pada saat yang bersamaan, Poros Prabowo telah memastikan Hatta Rajasa sebagai cawapres yang diusung. Figur cawapres memiliki posisi sentral pada pilpres kali ini karena menentukan siapa pemenang dan bagaimana pemerintahan bergulir efektif di masa mendatang.

Bila merujuk pada survei profesor dari Poltracking akhir Maret 2014, syarat cawapres ideal (baca: basis elektabilitas dan kualitas) akan mudah dipenuhi oleh poros mana pun. Sebab, nama-nama ini berasal dari proses seleksi sosok kuat di internal partai, publik, dan telah diuji melalui 330 profesor di seluruh Indonesia, yang merepresentasikan orang-orang dengan

Page 35: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

predikat puncak dalam dunia akademik. Basis penilaian yang dilakukan oleh para profesor ini mencakup tujuh dimensi kepemimpinan, meliputi integritas, visi dan gagasan, leadership dan keberanian mengambil keputusan, kompetensi dan kapabilitas, pengalaman dan prestasi kepemimpinan, kemampuan memimpin pemerintahan dan negara, serta kemampuan memimpin koalisi partai politik di pemerintahan.

Hasilnya, di luar skema Jokowi, Prabowo, ARB, Wiranto, Surya Paloh, Hatta Rajasa, dan Megawati (yang memang sudah direstui oleh partai masing-masing ataupun sudah memberikan tiketnya kepada kandidat lain) dan masuk pula dalam survei ini, maka berturut-turut terdapat nama Jusuf Kalla, Mahfud Md., Dahlan Iskan, Tri Rismaharini, Yusril Ihza Mahendra, Basuki Tjahaja Purnama, Anies Baswedan, dan Akbar Tandjung pada peringkat 15 besar.

Ada ungkapan menarik dari Pierre Salinger, juru bicara Presiden AS John F. Kennedy, tentang pedoman, bagaimana seharusnya seorang wakil presiden bersikap. "Dia harus rela berjalan satu langkah di belakang, bersedia berbicara dengan nada lebih rendah, dan sama sekali tak boleh bermimpi merebut jabatan presiden." (Pour, 2001). Memilih cawapres menjadi pekerjaan tidak mudah, di tengah persaingan mitra koalisi dan tingginya rivalitas calon yang ingin menunjukkan eksistensi. Sampai pada tahapan ini, menemukan dwitunggal seperti halnya Soekarno-Hatta dan SBY-JK bukan hanya dominasi elite partai semata, karena ini menyangkut nasib lima tahun Indonesia Raya. Maka sudah semestinya mempertimbangkan harapan rakyat menjadi utama.

Pertarungan pilpres kali ini kembali akhirnya ditentukan oleh ke mana arah SBY bergerak, karena raihan suara Demokrat cukup signifikan untuk membentuk poros baru bersama partai sisa, yakni PKS dan Hanura. Sekaligus dapat memberi dinamika (sintesis) di tengah pertarungan gagasan Revolusi Mental Jokowi dan Nasionalisme Ekonomi Prabowo.

Bila hal ini terealisasi, publik setidaknya dapat lebih leluasa memilih menu terbaik sampai lima tahun yang akan datang. Sebab, hal ini sebenarnya memang terintegrasi melalui proses konvensi calon presiden Demokrat yang telah berlangsung sejak setahun lalu. Pilihan SBY untuk membentuk poros baru lebih strategis karena, secara internal ataupun eksternal, Demokrat dapat kembali solid dan publik sejenak dapat mengalihkan perhatiannya ke capres Demokrat dari Nazaruddin Effect ataupun berbagai kasus hukum yang kini membelit banyak kader partai berlambang mirip logo Mercy ini.