Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014

download Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014

of 27

Transcript of Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014

  • 7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014

    1/27

    Waktu

    Senin, 24 November 2014

    Ketika bumi kian cepat rusak, ketika kering & panas menjalar membunuh hutan-hutan dan

    melelehkan es di kutub, dan laut tak sanggup lagi menampung air yang meluap dan kota-kota

    tenggelam, ketika pada suatu hari ini terjadi, apa yang bisa dilakukan manusia? Rage, rage

    against the dying of the light,baris sajak Dylan Thomas itu melintas. Marahlah kepada

    cahaya yang punah. Marahlah.

    Dalam filmInterstellar,sajak itulah yang tak selesai diucapkan seorang ilmuwan tua, Brand,

    menjelang mati. Ia telah diam-diam menyiapkan manusia untuk hengkang dari bumi yang

    makin hancur: manusia harus mencari sebuah planet lain sebagai alternatif. Tapi utopia itu

    tetap utopia: impian bagus yang tak punya tempat. Empat belas penjelajah diluncurkan,

    namun tanpa jejak tanpa kepastian.

    Tapi cerita ini tak seluruhnya mengusung fatalisme yang muram.

    Dengan gemuruh pesawat antarbintang yang menjangkau Lubang Hitam, dengan robot-robot

    yang pintar berbicara,Interstellarberangkat sebagai sebuahscience fictiondalam tradisi Star

    Trek.Tapi sebenarnya ia sebuah mithos yang tak jauh berbeda dari yang didongengkan orang

    sejak zaman dulu. Pertama dalam kekuatan bercerita. Kedua dalam kandungannya. Ketiga

    dalam perspektifnya tentang waktu.

    Salah satu kekuatan mithos ialah menunda sikap tak percaya. Kita tak mencegat keajaiban

    (atau keganjilan?) dalam narasinya dengan tanda tanya besar. Kita sepenuhnya terkesima,

    kita asyik, dan kita menyimpan kesangsian di depan layar ketika Ki Dalang berkisah tentang

    Bima yang memasuki tubuh Dewa Ruci yang kecil. Kita juga tak menggugat ketika

    Interstellardisorotkan, tak bertanya bagaimana mungkin Cooper, pilot itu, dengan sosok

    yang tetap gagah seperti ketika ia berangkat mengemudikan pesawat Endurance, balik ke

    kehidupan manusia tapi memasukinya di masa depan, ketika Murph, anaknya, telah jadi

    perempuan berusia 100 tahun. Bagaimana mungkin juga ayah itu, di ujung perjalanannya,

    justru tiba di masa lalunya sendiri, memberi isyarat seperti bisikan hantu kepada Murph yangmasih kecil? Dan benarkah ada "mereka", makhluk dengan dunia lima dimensi yang berniat

    menolong manusia?

    Interstellar, sebuah dongeng.

    Dan seperti umumnya dongeng, di dalamnya ada yang membuat kita lebih bijaksana, biarpun

    sedikit, tentang hidup. Film ini menunjukkan bahwa egoisme bukanlah ciri manusia. Ada

    saat-saat orang sanggup mengorbankan diri agar orang lain selamat.

    Cooper, misalnya, bersedia melakukan penjelajahan yang penuh teka-teki itu. Di satu saat

    bahkan ia melontarkan dirinya dalam pesawat yang nyaris habis energi, agar rekannya,

  • 7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014

    2/27

    Amelia, bisa sampai di sebuah planet tempat Edmunds, salah satu penjelajah ruang angkasa

    terdahulu, menemukan ruang hidup.

    Jika saya katakanInterstellarsebuah dongeng, ia dongeng yang, katakanlah, pasca-modern:

    ia mempertanyakan ide "kemajuan" dan agenda besarnya. Dengan segala teknologi dan derap

    modernitas untuk menguasai ruang & waktu, yang terjadi malah bumi yang rusak. Dan lihatCooper: seperti manusia pertama di angkasa luar dalam sajak Subagio Sastrowardoyo, ia

    terlontar dari bumi, kesepian, akibat "1.000 rumus ilmu pasti yang penuh janji".

    Tapi kutipan yang tepat untuk film ini saya kira bukan dari Subagio Sastrowardoyo atau

    Dylan Thomas, melainkan dari sebuah lagu yang dinyanyikan dalam suasana sentimental

    dalam film Casablanca:lagu tentang waktu dan manusia. Sementara waktu berlalu, as time

    goes by, kata lirik lagu itu, cerita tua yang sama, the same old story,selalu kembali.

    Waktu hadir di pusatInterstellar-- tapi, seperti dalam mithos tentang dewa dan manusia yang

    menitis, waktu itu tanpa batas yang jelas di antara masa lalu, kini, dan nanti. Dalam film ini,Cooper berada di tiga kurun sekaligus. Dan kita pun jadi bertanya, sambil mencoba

    memahami teori relativitas Einstein yang muskil itu, apa arti waktu jika demikian, dan

    benarkah waktu ada dan berlalu--atau manusialah yang mengkonstruksikannya demikian.

    Para pemikir "korelasionis" akan mengatakan bahwa waktu ada; tapi ia selalu ada dalam

    korelasi dengan manusia. Pertanyaan klasik para "korelasionis": mungkinkah akan ada warna

    andai kata tak ada mata manusia? Ataukah sebaliknya: benarkah warna, waktu, dan lain-lain

    memang pernah ada dan akan ada tanpa kita?

    Ilmu menunjukkan bahwa sudah terbentang alam semesta 14 miliar tahun yang lalu, sebelum

    manusia. Meillassoux menyebutnya "arche-fossil",jejak fenomena "nenek moyang" bahkan

    sebelum munculnya kehidupan--yang membuat pendapat "korelasionis" guyah. Tapi

    sebaliknya: bagaimana waktu bisa ada tanpa subyek yang menyusun "kemarin", "kini", dan

    "kelak"?

    Interstellar,sebagaimana dongeng, tak menjawab, sebab ia bukan sebuah eksplorasi filsafat.

    Ia pertama-tama sebuah keasyikan. Meskipun tak cuma itu.

    Yang membuat penjelajahan Cooper menarik adalah pertautannya yang erat dengan bumi,

    meskipun bumi itu sedang binasa--pertautan yang dibentuk cintanya kepada Murph. Bocah

    itu berumur sepuluh tahun ketika ditinggalkannya berangkat mengarungi alam semestamencari planet alternatif. Pada suatu saat, dari dalam kokpit Endurance pada jarak sekian

    ratus tahun cahaya, si ayah menyimak pesan anaknya--dan melihat bahwa yang berbicara

    kepadanya adalah Murph, seorang perempuan dewasa. Bapak itu menangis. Seseorang

    menghitung bahwa sejam di posisi "interstellar"itu sama dengan tujuh tahun di bumi.

    Tapi kerinduan seorang tua, cinta seorang anak, kasih yang mungkin tak sampai tapi keras

    kepala, kasih yang lebih kuat ketimbang pengharapan: semua itu membuat ruang & waktu tak

    lagi relevan.

    Benar, the same old story.Tapi siapa yang akan berkeberatan?

  • 7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014

    3/27

    Goenawan Mohamad

  • 7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014

    4/27

    Bahasa dan Kekerasan

    SENIN, 24 NOVEMBER 2014

    Flo K. Sapto W., praktisi pemasaran

    Baku tembak antara satuan TNI Yonif 134 Tuah Sakti dan Brimob Kepolisian Daerah

    Kepulauan Riau, Batam, salah satunya dipicu oleh percekcokan di kios bahan bakar minyak

    (Koran Tempo, 20 November 2014). Percekcokan lain yang diawali dengan sebuah cuitan di

    Twitter pada gilirannya juga memicu tawuran antara pelajar SMA 60 dan SMA 109 Jakarta.

    Bahasa sebagai pemicu dalam kedua pertikaian di atas awalnya hanyalah ekspresi dari sebuah

    ketidakberterimaan. Sayangnya, bahasa dirasakan tidak cukup untuk mengekspresikan segalaketidakberterimaan itu. Akibatnya, ketidakcukupan itu kemudian dialihkan ke sebuah naluri

    dasar fisik melalui kekerasan. Sebuah situasi yang agaknya merupakan kemunduran dari

    peradaban kemanusiaan. Mirip dengan perilaku manusia purba sebelum muncul tradisi literer.

    Kekuatan otot yang termanifestasikan dalam dominasi kekerasan fisik dianggap lebih unggul.

    Tentu hal ini menjadi sebuah ironi, manakala justru terjadi pada institusi terdidik (pelajar,

    prajurit). Secara lebih spesifik, apakah bahasa (Indonesia) dengan demikian gagal menjadi

    bahasa penjaga perdamaian dan pilar peradaban?

    Terkait dengan hal itu, sebuah kajian awal tentang penggunaan ragam bahasa kasar, halus,

    dan lugas di dunia industri memberikan hasil menarik. Ketiga jenis ragam bahasa tersebutadalah yang digunakan untuk komunikasi imperatif, evaluatif, maupun sekadar teguran yang

    berkaitan dengan kinerja. Menariknya, tidak ada satu pun responden yang memilih ragam

    bahasa kasar (menyakitkan dan merendahkan) sebagai opsi. Sedangkan opsi ragam bahasa

    halus (menyarankan) dipilih oleh 48 persen responden. Selanjutnya, opsi ragam bahasa lugas

    (to the point) dipilih oleh 52 persen responden.

    Uniknya, sebagian besar responden (65 persen) berusia di atas 36 tahun dan bergaji di atas Rp

    11 juta (40 persen). Secara umum, profil responden tersebut bisa diasumsikan sebagai pekerja

    yang sudah mapan dalam karier dan pendapatan. Posisi ini tentu didapatkan melalui sejumlah

    pengalaman panjang di dunia kerja atau usaha. Rentang pengalaman itu semestinya juga

    bersinggungan erat dengan berbagai jenis ragam bahasa perintah, kritik, teguran, dan

    evaluasi.

    Dengan demikian, dari profil responden tersebut, setidaknya bisa ditarik dua buah

    kesimpulan. Pertama, jika pilihan responden yang sudah berpengalaman di dunia kerja

    tersebut memang dijadikan acuan--yaitu pada ragam bahasa halus dan lugas--tentunya pilihan

    ini sudah melalui sebuah proses pengendapan. Dengan demikian, jika pilihan jenis ragam

    bahasa tertentu berkorelasi positif terhadap kecenderungan berbahasa, golongan responden

    ini juga tidak akan menggunakan ragam bahasa di luar pilihannya.

  • 7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014

    5/27

    Kedua, pilihan terhadap jenis ragam bahasa halus dan lugas tersebut sekadar merupakan

    manifestasi dari kebaikan universal. Dengan kata lain, disadari atau tidak, responden sangat

    dimungkinkan--pernah dan ada kecenderungan--menggunakan ragam bahasa kasar dalam

    situasi tidak normal. Apakah ini sebuah hipokritisme berbahasa?

    Terkait dengan tindak kekerasan, satu hal sederhana namun pasti adalah bahwa ragam bahasa

    kasar sangat berpotensi menimbulkan respons serupa, entah dalam bentuk bahasa maupun

    lainnya. Persis dengan prinsip jual-beli. *

  • 7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014

    6/27

    Debat Keadilan Subsidi BBM

    SENIN, 24 NOVEMBER 2014

    Yusuf Wibisono, Ketua Program Studi S1 Ilmu Ekonomi Islam FEUI

    Pencabutan subsidi bahan bakar minyak kembali menuai penolakan publik secara keras.

    Secara ekonomi, subsidi bukanlah sesuatu yang tabu. Yang menjadi isu adalah bagaimana

    desain subsidi agar efektif dan tepat sasaran.

    Desain subsidi terbaik adalah subsidi yang diarahkan dan tepat diterima oleh mereka yang

    berhak (targeted subsidy). Namun permasalahan terbesar targeted subsidyadalah,

    implementasi program membutuhkan basis data yang akurat, by name by address, dan selaludiperbarui secara berkala. Tanpa basis data yang kuat, subsidi akan menghadapi masalah

    kebocoran yang masif.

    Penargetan subsidi BBM agar tepat sasaran sulit dilakukan. Sebab, adanya kemudahan

    transportasi dan distribusi membuat pengalihan penggunaan dan penjualan di pasar gelap

    hampir tidak mungkin dihalangi. Terlebih lagi dengan wilayah geografis Indonesia yang

    sangat luas dan terdiri atas kepulauan yang dipisahkan oleh lautan. Subsidi BBM semakin

    tidak tepat sasaran ketika disparitas harga antara BBM bersubsidi dan BBM non-subsidi

    semakin lebar. Ketidaktepatan sasaran subsidi BBM juga terjadi dalam dimensi regional di

    mana sekitar 60 persen BBM bersubsidi habis di Jawa-Bali saja.

    Dalam konteks inilah, subsidi terhadap barang dan jasa yang hanya dikonsumsi masyarakat

    miskin (self-targeted subsidy program), seperti beras untuk rakyat miskin (raskin), bantuan

    operasional untuk puskesmas dan sekolah, hingga subsidi kereta api kelas ekonomi, menjadi

    menjanjikan karena diyakini jauh lebih tepat sasaran dan terhindar dari masalah targeting.

    Karena itu, terlepas dari defisit APBN dan minimnya ruang fiskal, subsidi BBM sudah

    selayaknya dicabut. Jika subsidi BBM berlanjut, berbagai distorsi dalam perekonomian akan

    semakin kuat, terutama semakin tidak terkendalinya alokasi anggaran subsidi BBM karena

    permintaan yang semakin tinggi, khususnya dari kendaraan bermotor pribadi.

    Subsidi BBM didominasi oleh bensin Premium dan solar, yang 97 persen dan 85 persen

    distribusinya disalurkan melalui SPBU, yang konsumennya sebagian besar adalah kendaraan

    bermotor pribadi. Kemacetan di berbagai kota besar akan semakin meningkat menuju

    kemacetan total (grid-lock).

    Dengan demikian, manfaat terdekat dari menghentikan subsidi BBM adalah struktur APBN

    yang lebih sehat, sehingga belanja untuk sektor yang lebih penting dapat ditingkatkan.

    Seluruh inefisiensi perekonomian yang terkait dengan BBM juga dapat ditekan, seperti

    lonjakan penjualan kendaraan bermotor pribadi dan penambahan ruas jalan tol. Dengan

  • 7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014

    7/27

    konsumsi BBM yang lebih sehat karena tidak lagi terdistorsi oleh subsidi, tekanan terhadap

    impor BBM akan menurun, neraca pembayaran luar negeri lebih sehat, dan nilai tukar lebih

    stabil.

    Meski pencabutan subsidi BBM memiliki banyak rasionalitas, dampak negatif kebijakan ini

    tidak bisa diremehkan dan harus diminimalkan dengan berbagai affirmative policydan

    program kompensasi. Dampak terbesar adalah kenaikan harga secara umum karena posisi

    BBM sebagai inputproduksi yang penting dan signifikan di semua sektor perekonomian.

    Ketika inflasi tidak dapat dihindarkan, daya beli masyarakat tergerus, sehingga berpotensi

    melonjakkan angka kemiskinan. Kenaikan biaya produksi juga berpeluang menyebabkan

    naiknya harga barang dan turunnya daya saing sehingga memicu kebangkrutan atau relokasi

    industri sehingga angka pengangguran meningkat. Kombinasi kemiskinan dengan

    pengangguran berpotensi memicu kerawanan sosial.

    Meski timingpencabutan subsidi ini sudah cukup tepat, di saat secara historis inflasi rendahdan di periode honeymoon,sayangnya kita tidak melihat pentahapan dalam pencabutan

    subsidi BBM. Di sisi lain, pemberian kompensasi bagi pihak yang akan terkena beban paling

    besar dari pencabutan subsidi BBM ini tidak dipersiapkan secara memadai.

    Lebih jauh lagi, ketika subsidi BBM dicabut, kita juga tidak melihat dana hasil penghematan

    subsidi BBM digunakan untuk affirmative policyseperti membangun sarana transportasi

    massal yang dapat dirasakan hasilnya dalam waktu cepat dan dalam cara yang berkeadilan,

    yaitu pembangunan bus rapid transport(BRT) dan kereta api, khususnya untuk daerah

    perkotaan di Jawa dan Sumatera, bukan justru memacu jalan tol.

    Pada saat yang sama, sebagian dana hasil penghematan subsidi BBM digunakan untuk

    program kompensasi untuk "tiga kartu sakti" yang substansinya adalah cash transfer. Meski

    dibutuhkan oleh kelompok miskin yang paling rentan dan tidak mampu bekerja, program

    "bagi-bagi uang" seperti ini diyakini tidak efektif karena sangat mudah disalahgunakan untuk

    kepentingan politik, tingkat salah sasaran yang tinggi, rawan korupsi, dan menimbulkan

    dampak negatif terhadap modal sosial (social capital) masyarakat.

    Jika kemudian penolakan terhadap kebijakan ini begitu keras, memang sebaiknya pemerintah

    lebih banyak berkaca daripada menuding, terlebih ketika Kabinet Kerja memang belum

    bekerja. *

  • 7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014

    8/27

    Kotoran

    Selasa, 25 November 2014

    Eddi Elison,mantan Sekretaris Tim Pemberantasan Mafia Perwasitan PSSI 1998

    Menanggapi "sepak bola gajah" yang terjadi di Yogyakarta, 26 Oktober lalu, pertandingan

    antara PSIS Semarang vs PSS Sleman dalam kompetisi Divisi Utama saat pertandingan

    delapan besar, Ketua Umum PSSI Djohar Arifin Husin menyebutnya sebagai "kotoran".

    Karena itu, harus disapu bersih.

    Meskipun tidak menyebutkan jenis kotorannya, Komisi Disiplin (Komdis) pimpinan HincaPanjaitan langsung "menyapu bersih" dengan menjatuhkan vonis terhadap klub PSIS dan

    PSS, meliputi manajer dan pelatih kedua klub, beberapa pemain yang terlibat dan diprediksi

    terlibat, termasuk juga pemijat. Keputusan ini tampaknya masih panjang, karena wasit yang

    memimpin pertandingan pun ikut diincar. "Orang luar" yang disinyalir bertindak sebagai

    "pawang" sepak bola gajah itu juga kini sedang dicari.

    Cukup bersidang sekali, PSIS dan PSS ditendang dari pertarungan babak delapan besar,

    sehingga mereka didenda dan tidak mungkin mendapat promosi ke tingkat Liga Super

    Indonesia. Selain itu, kedua manajer dan pelatih masing-masing klub serta beberapa pemain

    dihukum seumur hidup. Dalam sekali sidang, ada pemain lainnya yang juga dijatuhi hukuman

    bervariasi.

    Dengan menghukum pelatih dan pemain seumur hidup secara dadakan, PSSI telah memutus

    mata pencarian hidup mereka dan keluarga. Padahal mereka semua menggantungkan

    kehidupannya di bidang sepak bola, sesuai dengan bakat dan pilihannya. Karena itulah, kalau

    ada beberapa kalangan menyebutkan vonis tersebut sebagai pembinasaan, bukan pembinaan,

    tentu bisa dimengerti.

    Sejak lahirnya PSSI, terutama pada era Galatama dalam kepengurusan Ali Sadikin pada1980-an, terjadi sekian banyak atur-mengatur skor (nama "sepak bola gajah" belum dikenal),

    yang melibatkan pemilik klub, pelatih, dan pemain. Hukuman yang dijatuhkan oleh

    pengadilan negeri bertujuan "agar kapok/jera".

    Hal yang perlu dicatat tentang keputusan PSSI terkait dengan sepak bola gajah adalah

    Komdis terkesan melupakan etika dalam menjatuhkan vonis. Para "terdakwa" juga

    difungsikan sebagai saksi. Pemeriksaan terkesan mengejar target "harus disapu bersih", tanpa

    ada pertimbangan lainnya, seperti biografi terdakwa, sumbangsih mereka terhadap sepak

    bola, tingkah polah selama ini, dan lain-lain.

  • 7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014

    9/27

    Strategi yang dipakai Hinca, yang merupakan putra Kisaran, Asahan, itu tampaknya adalah

    pola EGP (emang gue pikirin), karena dikejar target pemasukan dana besar ke kas PSSI

    melalui denda. Khusus untuk kasus sepak bola gajah ini, Komdis menghasilkan Rp 3 miliar

    lebih.

    Bayangkan, selain memutus rantai kehidupan para terhukum, terjadi "perampasan" harta dan

    uang mereka, sehingga bisa disetarakan dengan peribahasa "sudah jatuh, tertimpa tangga

    pula".

    Bagi mereka yang terhukum, masih ada jalan untuk membela diri, yakni banding ke Komisi

    Banding, selain perlu melapor ke Komnas HAM, mengingat vonis tersebut dapat

    dikategorikan sebagai melanggar HAM, yang berbunyi: "Setiap orang berhak untuk hidup

    serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya." Bahkan UUD 1945 Pasal 27 ayat

    (2) menyebutkan, "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang

    layak bagi kemanusiaan." *

  • 7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014

    10/27

    Guru

    Selasa, 25 November 2014

    Bandung Mawardi, esais

    Di Indonesia, guru mendapat kehormatan melalui peringatan Hari Guru, mengacu pada

    sejarah pendirian Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), 25 November 1945. Kita tentu

    tak bakal cuma bermula dari PGRI saat ingin mengerti secara utuh kesejarahan dan peran

    guru.

    Sekolah pendidikan guru pertama didirikan di Solo, pada 1852. Pendirian sekolah itu

    dimaksudkan agar tersedia guru-guru untuk mengajar di sekolah-sekolah desa. Pada 1907, diHindia-Belanda tercatat ada 122 sekolah desa (Koentjaraningrat, 1984). Guru sangat

    diperlukan untuk mendidik dan mengajar. Pendirian sekolah dan kemunculan profesi guru

    dipengaruhi oleh kebijakan kolonial saat berpikiran memberi pendidikan bagi pribumi, sejak

    1849.

    Guru tercatat dalam Serat Jayengbayagubahan Ranggawarsita sebagai jenis profesi idaman.

    Teks sastra pada akhir abad XIX itu mengandung peringatan bahwa pekerjaan sebagai guru

    memang terhormat, tapi mengandung aib dan petaka jika tak dijalankan sesuai dengan

    amanah.

    Sejak awal abad XX, guru di Jawa adalah sosok mulia. Profesi guru mengantar orang masuk

    kelas priayi. Guru adalah teladan atas kehidupan beradab padazaman kemadjoean. Obsesi

    menjadi priayi melalui jalur keprofesian guru berlanjut sampai masa Orde Lama dan Orde

    Baru. Kita bisa simak ikhtiar guru-guru menapaki kelas priayi dalam novel moncer berjudul

    Para Priyayi(1992) garapan Umar Kayam.

    Guru-guru pada masa awal di Hindia-Belanda memiliki tugas berat dalam mengajar dan

    mendidik. Mereka dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran bercorak Eropa. Mereka mesti

    menempuh pendidikan guru sesuai dengan kurikulum kolonial dan bacaan-bacaan bertemakeguruan. Buku bisa dianggap sebagai pedoman menjadi guru. Pada 1915, terbit buku

    berjudulPemimpin Goeroekarangan J. Kats, terbitan G. Kolff & Co, Betawi. Tebal buku itu

    112 halaman, berisi uraian-uraian menjalankan pengajaran, penjagaan diri, dan pendidikan

    murid. Kats menjelaskan bahwagoeroe oetamaadalah guru yang sadar akan pemeliharaan

    diri dan berperan sebagai pendidik bagi jiwa dan hati murid-murid. Buku ini termasuk

    penting dalam daftar buku bacaan bagi guru-guru di Hindia-Belanda.

    Urusan mendidik dan mengajar mulai mendapat "tambahan" melalui pendirian Perguruan

    Taman Siswa (1922). Ki Hajar Dewantara menghendaki guru adalah teladan dan penggerak

    kebangsaan. Guru juga penentu peradaban bangsa agar tak terlena dalam imperatif-imperatif

  • 7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014

    11/27

    kolonial. Kebijakan pendidikan guru di Taman Siswa berbeda dengan tuntutan pemerintah

    kolonial dan Orde Lama. Ki Hajar menganjurkan, "Tiap-tiap orang jang tjukup pengetahuan

    dan kepandaian hendaknja mendjadi guru."Kecakapan diutamakan ketimbang ijazah. Usul

    ini menggunakan dalih jutaan murid di Indonesia pada masa 1950-an memerlukan guru.

    Pemikiran Ki Hajar berseberangan dengan pemerintah dan PGRI. Perkembangan sekolah danidealisme pendidikan memerlukan guru-guru dalam sistem pendidikan resmi.

    Tahun demi tahun berlalu, ambisi orang-orang menjadi guru bisa diwujudkan dengan

    mengikuti pendidikan di SPG, IKIP, atau fakultas pendidikan dan ilmu pendidikan di

    universitas. Guru-guru adalah kaum berijazah. Mereka bertugas mendidik dan mengajar demi

    pembangunan. Tugas itu tak semua bisa dipenuhi berbarengan dilema politik, nafkah, dan

    nasionalisme. Kini, kesejarahan guru telah bergerak jauh. Kita selalu menginginkangoeroe

    oetamaadalah pengisah kehormatan Indonesia melalui kerja, kerja, dan kerja. *

  • 7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014

    12/27

    Ebola dan Ketidaksetaraan

    Selasa, 25 November 2014

    Joseph E. Stiglitz,peraih Hadiah Nobel Ekonomi

    Krisis ebola yang terjadi saat ini sekali lagi mengingatkan kita akan segi-segi buruknya

    globalisasi. Krisis ebola ini juga mengingatkan kita akan pentingnya pemerintah dan

    masyarakat madani. Kita tidak berpaling kepada sektor swasta untuk mengatasi maraknya

    suatu penyakit seperti ebola, melainkan kepada lembaga-lembaga seperti Centers for Disease

    Control and Prevention (CADS) di Amerika Serikat, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),

    dan Mdecins Sans Frontires, kelompok doktor dan juru rawat yang rela menyabung nyawademi menyelamatkan nyawa orang lain di negara-negara miskin di seantero dunia.

    Pemerintah mungkin tidak sempurna dalam menangani krisis-krisis seperti ini, tapi salah satu

    alasan mengapa pemerintah tidak berbuat banyak seperti yang kita harapkan ialah bahwa kita

    tidak cukup mendanai lembaga-lembaga terkait di tingkat nasional dan global.

    Episode ebola ini memberikan banyak pelajaran. Satu alasan mengapa penyakit ini menyebar

    begitu cepat di Liberia dan Sierra Leone adalah karena keduanya adalah negara-negara yang

    dilanda perang. Sebagian besar rakyatnya hidup dengan gizi yang buruk dan sistem layanan

    kesehatannya porak-poranda.

    Lagi pula, di mana sektor swasta memainkan peran yang esensial, yaitu dalam pengembangan

    vaksin, tidak ada insentif baginya untuk mencurahkan sumber daya yang ada pada upaya

    mengatasi penyakit-penyakit yang melanda rakyat miskin atau negara miskin. Hanya ketika

    negara-negara maju terancam barulah ada cukup dorongan untuk melakukan investasi pada

    pengembangan vaksin-vaksin melawan penyakit-penyakit seperti ebola.

    Ini bukan kecaman terhadap sektor swasta. Bagaimanapun juga, perusahaan-perusahaan

    farmasi itu in business, bukan karena kebaikan hati, dan tidak ada uang untuk mencegah ataumenyembuhkan penyakit-penyakit yang diderita rakyat miskin itu. Apa yang dipertanyakan

    dalam krisis ebola ini adalah ketergantungan kita terhadap sektor swasta untuk melakukan

    sesuatu yang sebenarnya paling baik dilakukan oleh pemerintah. Dengan dana publik yang

    lebih besar, suatu vaksin ebola tampaknya sudah bisa dikembangkan bertahun-tahun yang

    lalu.

    Gagalnya Amerika dalam hal ini menarik perhatian khusus--begitu khusus sehingga beberapa

    negara Afrika telah memperlakukan para pengunjung dari Amerika dengan langkah-langkah

    pencegahan khusus. Tapi semua ini cuma merupakan gema dari suatu masalah yang lebih

    mendasar: sistem layanan kesehatan Amerika yang sebagian besar dikendalikan swasta itu

  • 7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014

    13/27

    sudah mengalami kegagalan.

    Benar, pada puncaknya, Amerika memiliki beberapa rumah sakit, universitas riset, dan pusat-

    pusat medis terkemuka di dunia. Tapi, walaupun AS membelanjakan dana yang lebih besar

    per kapita, dan menurut persentase PDB-nya dalam layanan medis lebih besar daripadanegara-negara mana pun, hasilnya benar-benar mengecewakan.

    Harapan hidup pria Amerika setelah dilahirkan dinilai paling buruk di antara 17 negara

    berpendapatan tertinggi di dunia, hampir empat tahun lebih pendek daripada pria Swiss,

    Australia, dan Jepang. Dan kedua terburuk bagi wanita Amerika, yaitu lebih dari lima tahun

    di bawah harapan hidup wanita di Jepang. Metrik kesehatan lainnya juga sama

    mengecewakannya.

    Banyak faktor menyumbang terhadap rendahnya layanan kesehatan di Amerika, yang

    memberikan pelajaran yang relevan bagi negara-negara lainnya Misalnya, akses memperoleh

    obat-obatan. AS termasuk di antara sedikit negara-negara maju yang tidak mengakui akses ini

    sebagai hak asasi manusia yang mendasar. Tidak mengejutkan bahwa banyak warga Amerika

    tidak memperoleh obat-obatan yang mereka butuhkan. Walaupun Undang-Undang

    Perlindungan Pasien dan Layanan Kesehatan yang Terjangkau (Obamacare) telah

    memperbaiki keadaan, cakupan asuransi kesehatan tetap rendah. Hampir separuh dari 50

    negara bagian AS menolak memperluas Medicaid, program layanan kesehatan bagi warga

    miskin.

    Ketidaksetaraan yang meluas juga merupakan faktor yang kritis bagi rendahnya layanankesehatan, terutama jika digabung dengan faktor-faktor tersebut di atas. Dengan

    meningkatnya kemiskinan dan semakin banyaknya orang tanpa akses ke layanan kesehatan,

    perumahan, pendidikan, serta ketidakamanan pangan (sering mengkonsumsi makanan murah

    yang menyumbang obesitas atau kegemukan), tidak mengherankan bila outcomekesehatan

    Amerika itu buruk.

    Kesehatan yang baik itu merupakan berkah. Tapi bagaimana negara membangun struktur

    layanan kesehatannya--dan masyarakatnya--sangat berarti dalam hasil akhirnya. Amerika dan

    dunia membayar mahal atas ketergantungannya yang berlebihan terhadap kekuatan pasar dan

    kurangnya perhatian terhadap nilai-nilai yang lebih luas, termasuk kesetaraan dan keadilan

    sosial. *

  • 7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014

    14/27

    Iklan 'Membunuh', Sebuah Peringatan danTanda Tanya

    Rabu, 26 November 2014

    Zainoel B. Biran,Psikolog Sosial

    Berbagai media elektronik visual di Indonesia menayangkan iklan rokok dengan sebuah

    peringatan tertulis yang gamblang. Tulisannya ada yang besar, ada pula yang kecil; ada yang

    berhuruf tebal, ada pula yang berhuruf tipis. Kalau kata-kata yang digunakan dirangkaikan,

    kita akan mendapatkan sebuah rangkaian pemaknaan yang bisa sangat menarik.

    Merokok (itu) Membunuhmu. (Tapi)It's an Adventure!(Merokok itu memberikan)Pleasure-

    Style-Confidence,(juga) Inspirasi Tanpa Batas. (Merokok itu) Stylish, (juga)My (own) Life,

    My (own) Adventure.(Orang boleh saja berbeda, karena itu)Be Yourself, Rise & Shine. Break

    the Limit! Taste the Power.Gerak Lebih Cepat, (dan)Let's Do It!(Ingat, rokok itu) Anugerah

    Alam Indonesia.

    Kita bisa saja membuat tafsiran yang bermacam-macam tentang iklan rokok seperti yang

    terpampang di banyak media. Salah satunya, merokok (itu boleh jadi) membunuhmu. Tapi,

    apa iya? Buktinya, para perokok banyak yang masih hidup, bahkan ada yang berumurpanjang; bahkan mungkin pula ada yang sempat ikut lomba maraton. Kebutuhan akan rokok

    nyatanya tetap tinggi. Merokok itu juga memberi kenikmatan, kepuasan, dan merupakan

    sebuah tantangan bagi sang pemberani.

    Di dalam masyarakat yang tengah dilanda konsumerisme, hedonisme, heroisme, dan juga

    kecenderungan "berani mati", seperti yang kita alami dewasa ini, apa yang ditawarkan

    menjadi sebongkah magnet yang berdaya kuat bagi sebagian warganya. Belum lagi imbauan

    bahwa rokok merupakan produk negeri sendiri. So,bila cinta negerimu, beli dan isaplah

    rokok--karena rokok (maksudnya, tembakau, juga cengkeh, atau rempah lainnya) adalahsuatu anugerah yang alami dan memang telah disediakan untuk negerimu.

    Banyak alasan lain yang dapat diajukan untuk mendukung pemuasan kebutuhan akan rokok

    ini. Dengan banyaknya dalih yang memuat kontradiksi, tapi menarik, ada kemungkinan orang

    akan berhenti membeli rokok demi alasan kesehatan (yang dapat berakibat kematian) menjadi

    sangat terbatas--tidak ada disonansi kognitif yang dapat memicu perubahan sikap dan

    keyakinan orang.

    Bila pemerintah benar-benar berniat mengubah perilaku merokok orang Indonesia, sikap

    yang lebih mengarah ke "cinta rokok" perlu dibanjiri dengan informasi faktual (dan ilmiah)

  • 7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014

    15/27

    tentang dampak merokok pada kesehatan diri, juga pada kesehatan anggota keluarga atau

    orang lain yang menjadi perokok pasif. Sajikan juga secara visual, dan auditif, apa yang

    terjadi pada tubuh bila kita menjadi perokok aktif ataupun pasif. Tayangan "berhentilah

    menikmati rokok sebelum rokok menikmati dirimu" masih perlu dikaji dampaknya karena

    hanya memuat satu informasi tentang kanker leher. Bagaimana pun, menurut saya, merokokharus dilarang. Sebab, seirama dengan gerak pemerintah baru yang menekankan "kerja-kerja-

    kerja", merokok juga membatasi semangat, laju, dan kesinambungan kegiatan kerja orang,

    selain juga menjadi penyebab dari banyak bencana. Merokok dulu, ah!Asyiiiik

    Pemerintah agaknya perlu juga segera memikirkan dan melaksanakan upaya-upaya

    "memperbaiki" nasib para petani dan pekerja pendukung industri rokok, dan mencari sumber

    penghasilan negara pengganti untuk mendapatkan dana yang selama ini diperoleh dari cukai

    rokok dan hal-hal lain yang berkaitan. Semoga.

  • 7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014

    16/27

    Menyiram atau Mencerabut Beringin Besar

    Rabu, 26 November 2014

    Arya Budi,Research Associate pada Poltracking Institute

    Babak baru politik nasional bisa jadi ditentukan beberapa hari ke depan dalam Munas IX

    Golkar. Ada dua hal yang menjelaskan Munas Golkar menjadi krusial dalam konstelasi

    politik nasional.

    Pertama, Partai Golkar teruji sebagai organisasi kepartaian yang mapan dan bisa dijelaskan

    dengan banyak kerangka teoretis pengorganisasian partai (Tomsa, 2008), dengan stok kader-politikus melimpah, sehingga posisi politiknya berpengaruh pada konstelasi inter-party

    politics.

    Kedua, posisi politik terkini Golkar terlihat memimpin Koalisi Merah Putih (KMP) yang

    berkekuatan 52 persen dan terkonsolidasi cukup matang dengan kendali palu pimpinan

    Dewan dan alat kelengkapan Dewan, selain kekuatan 91 kursi parlemen terbesar kedua

    setelah PDIP. Di titik inilah, sesi pemilihan ketua umum baru Golkar pada Munas IX dengan

    debat perihalstatus-quodan leadership renewal(pembaruan kepemimpinan) menjadi agenda

    paling krusial bukan hanya bagi Golkar, tapi juga bagi kepentingan politik KMP dan politik

    nasional secara keseluruhan. Walaupun, dalam kasus kepemimpinan partai di banyak negara,

    pembaruan kepemimpinan adalah bagian penting bagisurvival strategysebuah partai

    (Serenella Sferza, 2002).

    Terkait dengan hal ini, Rapimnas VII Golkar di Yogyakarta tempo hari telah mengirimkan

    dua pesan penting: 1) ambisi ketua umum inkumben mempertahankan struktur ruling elite

    yang dipimpinnya melalui deklarasi "kesiapan" maju dalam Munas IX; 2) Ical memiliki

    kekuatan jangkar politik di daerah, minimal struktur provinsi alias DPD I. Meski demikian,

    klaim dukungan DPD I sebenarnya tidak selalu linier dengan kemenangan kandidat.

    Pada Munas IX bisa jadi kontestannya tak sampai sejumlah nama yang sudah

    mendeklarasikan diri jika prasyarat dukungan 30 persen pemilik suara masih berlaku

    sebagaimana Tata Tertib Munas Riau Pasal 39 perihal mekanisme pencalonan ketua umum.

    Namun jika benar bahwa Aburizal Bakrie telah mendapatkan dukungan tertulis-institusional

    lebih dari 400 suara (tempo.co,23 November 2014), bisa jadi Ical menang secara aklamasi,

    kecuali terdapat perubahan tata tertib munas yang menyatakan bahwa jika calon ketua umum

    mendapatkan dukungan lebih dari 50 persen, otomatis menjadi ketua umum terpilih.

    Singkat cerita, potensi politik ketua umum inkumben Golkar memang besar, tapi hasil survei

    atas 173 pakar danpublic opinion makeryang dilakukan Poltracking Institute pada awal

  • 7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014

    17/27

    November 2014 menunjukkan bahwa Aburizal Bakrie merupakan tokoh Golkar paling tidak

    direkomendasikan sebagai satu dari delapan kandidat yang diukur. Riset ini menunjukkan

    bahwa 52 persen juri penilai yang terdiri atas akademikus di bidang sosial politik dan

    analis/peneliti politik memilih Aburizal Bakrie sebagai figur yang paling tidak

    direkomendasikan dibanding Agung Laksono (7 persen) atau Priyo Budi Santoso (2 persen),misalnya.

    Dalam hal ini, dari 10 aspek atau dimensi yang dinilai menggunakan interval poin 1-10, Ical

    hanya unggul pada dua aspek, yaitu aspek komunikasi elite (6,42 poin) dan kemampuan

    memimpin koalisi partai (6,48), yang masuk pada posisi urutan ketiga dan kedua. Sedangkan

    pada tujuh aspek lainnya, nilai Ical hanya berkisar 5,5 poin dengan posisi urutan kedua dari

    bawah dari delapan nama kandidat yang mendeklarasikan diri.

    Namun, selain reputational disincentivesakibat kekalahan Golkar pada pemilu legislatif dan

    kekalahan telak pilpres 2014 lalu atau persepsi publik soal personalitas dirinya, harus diakui

    bahwa Ical mempunyaipositional incentives, yang mana posisinya sebagai ketua umum

    sekaligus bakal capres sepanjang 2011-2013 memungkinkan dirinya menanam jangkar politik

    di daerah yang terus berputar sepanjang roadshow kampanye bakal capres hingga menjelang

    munas partai.

    Faksionalisasi yang dipimpin para calon ketua umum tentu semakin mengkristal dan, bisa

    jadi, dinamika faksi akan berujung pada model degeneratif (Boucek, 2009), yang saling

    menghancurkan karena konsolidasi kelompok yang retak menstimulasi bertumbuknya

    kepentingan-kepentingan individu elite di tiap faksi.

    Namun jika faksionalisasi Golkar mampu dilembagakan dengan baik dalam Munas IX esok,

    dua model dinamika faksi bisa saja tercipta: 1) kooperatif, di mana blok politik yang ada di

    dalam partai pada akhirnya bernegosiasi untuk sebuah kepentingan organisasi partai, 2)

    dinamika faksi kompetitif, yakni faksi yang ada terkonsolidasi dengan baik, sehingga

    menciptakan kompetisi dengan substansi kompetisi pada pengaruh kebijakan dan jabatan

    publik.

    Munas Golkar bisa saja memupuk-menyiram beringin yang mulai meranggas ditinggalkan

    pemilih, atau justru bisa mematahkan-mencerabut partai ini menjadi beberapa "beringin

    baru", bergantung pada resolusi politik dan elite pemimpin yang dihasilkannya.

  • 7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014

    18/27

    Gubernur Ahok

    Rabu, 26 November 2014

    Anton Kurnia,penulis

    Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok resmi dilantik Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai

    Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta. Ahok tercatat sebagai gubernur beretnis

    Tionghoa pertama di Jakarta.

    Menurut sejarawan Lance Castle, populasi penduduk Jakarta pada 1673 adalah orang Eropa

    sebanyak 2.750 jiwa, Tionghoa 2.747, Mardijker 5.326; pribumi, yang terdiri atas Jawa-Sunda 6.339, Bali 981, Melayu 611, dan yang terbesar kaum budak 13.278. Dua abad

    kemudian, tepatnya pada 1893, tercatat populasi orang Eropa sebanyak 9.017, Tionghoa

    26.5697, dan pribumi total 72.241. Orang Mardijker alias para budak Portugis yang

    dimerdekakan sudah dianggap tak ada dan perbudakan telah dihapuskan. Sementara itu,

    orang Arab hanya ada 318 orang.

    Dari data itu terbaca bahwa orang Tionghoa bukanlah penduduk kemarin sore yang tiba-tiba

    ada di Jakarta. Orang Tionghoa bahkan lebih dulu menjadi warga Jakarta ketimbang

    keturunan Arab. Jika kini Ahok, yang orang Tionghoa itu, menjadi Gubernur DKI Jakarta, ini

    adalah penghormatan terhadap sejarah. Sebab, orang Tionghoa adalah salah satu etnis terawal

    yang mendiami Jakarta.

    Banyak orang menolak Ahok menjadi gubernur hanya karena alasan primordial, bukan

    karena kapabilitasnya. Selain karena beretnis minoritas Tionghoa, dia non-muslim. Tepatnya

    beragama Kristen. Soal kapabilitas, tampaknya sulit dibantah bahwa Ahok cukup tegas, jujur,

    dan berprestasi sebagai wakil gubernur selama dua tahun mendampingi Gubernur Jokowi

    sejak dua tahun silam. Pelantikan Jokowi sebagai presiden membuka peluang agar Ahok

    berperan lebih besar dalam membenahi persoalan yang membelit Ibu Kota.

    Terkait dengan penolakan terhadap kepemimpinan Ahok oleh segelintir orang Islam yang

    melakukan aksi demonstrasi, saya justru teringat kisah seorang kawan tentang pemimpin non-

    muslim yang pernah dipercayai oleh Nabi Muhammad SAW saat terjadi krisis seputar

    peristiwa hijrah.

    Pada masa itu, untuk menghindari persekusi kaum Quraisy, umat Islam untuk pertama

    kalinya hijrah dari Mekah ke Habsyi--kini Ethiopia--pada tahun kelima dan ketujuh setelah

    Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul. Raja Habsyi saat itu bernama Najasyi (Negus),

    orang kulit hitam beragama Kristen. Dia dikenal sebagai seorang raja yang baik hati, taat

    pada ajaran agamanya, dan berkomitmen menjamin keselamatan segenap penduduk dan

  • 7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014

    19/27

    tamu-tamunya.

    Nabi Muhammad mempercayakan kepemimpinan, kecakapan, dan keadilan seorang non-

    muslim untuk keselamatan orang muslim pada peristiwa bersejarah itu. Walau Raja Negus

    beragama Kristen dan tak seiman, Nabi Muhammad mempercayainya karena dia seorangpemimpin yang adil dan cakap.

    Jakarta, ibu kota negara kita, yang penduduknya mayoritas muslim, membutuhkan pemimpin

    yang cakap, tegas, adil, dan tangkas untuk membenahi berbagai persoalan. Kerja sama Ahok

    sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan Jokowi yang notabenemantan atasan langsungnya

    untuk membenahi masalah yang membelit Ibu Kota--termasuk banjir, kemacetan, transportasi

    umum, dan kepadatan penduduk--amat kita tunggu.

    Bukankah yang penting bagi seorang pemimpin adalah kecakapan dan pengabdiannya?

  • 7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014

    20/27

    Negeri Upacara

    Jum'at, 28 November 2014

    Purnawan Andra,anggota staf Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya Kemdikbud

    Hidup manusia Indonesia penuh dengan upacara. Seluruh tahapan kehidupan, dari kelahiran,

    perkawinan, hingga kematian, ditandai dengan upacara. Hal ini terjadi karena masyarakat

    diikat oleh norma-norma hidup berdasarkan sejarah, tradisi, maupun agama. Karena itu,

    upacara menjadi penanda, tidak hanya dalam rangka perayaan diri dan kelompok/komunal,

    tapi juga merupakan penghargaan terhadap alam sekitar dan lingkungannya. Upacara hadir

    dalam konteks kultural dan spiritual.

    Dalam perkembangannya, upacara hadir dengan modifikasi dan kontekstualisasi pada setiap

    zaman. Upacara dihadirkan untuk mengagungkan perayaan simbol-simbol dengan efek

    legitimasi dan relasi antar-elemen, baik dalam konteks sosial kemasyarakatan, seni-budaya,

    hingga politik pemerintahan (Munawir Aziz, 2009).

    Upacara memperingati hari-hari tertentu yang ditetapkan pemerintah menjadi hari-hari politis

    tahunan, suatu kewajiban di seluruh gedung perkantoran publik, lengkap dengan pegawai

    negerinya. Dengan cara ini, semua partisipan merupakan anggota-anggota dari kongregasi

    nasional yang berkumpul di berbagai tempat di seluruh negeri pada saat yang sama untuk

    melaksanakan tugas yang sama.

    Slogan-slogan diciptakan dalam rangkaian peringatan hari-hari khusus. Hari Pahlawan

    misalnya. Konsep ini ditambah dengan ritual apel kehormatan dan ziarah ke Taman Makam

    Pahlawan, lengkap dengan pidato-pidato mengenai heroisme dan patriotisme. Sejarah Hari

    Pahlawan dipaparkan plus cerita jasa dan pengorbanan mereka yang telah gugur, sembari

    mengajak seluruh rakyat untuk mengikuti teladan para pahlawan yang telah mengabdikan diri

    bagi kepentingan rakyat. Semua berlangsung dalam kontinuitas isi dan ide.

    Seturut dengan Bandung Mawardi (2013), penghormatan atas pahlawan dimaknai dengan

    lencana dan nisan, juga dengan nada dan kata. Lagu-lagu semacam Gugur Bunga, Hari

    Pahlawan, danMengheningkan Ciptadigubah dan diperdengarkan ke publik sebagai rujukan

    dalam mengenang tokoh dan peristiwa-peristiwa bersejarah.

    Lebih lanjut, Schreiner (dalam Nordholt, 2005) mensinyalir bahwa ritual-ritual upacara

    lainnya, seperti mengheningkan cipta, pembacaan Pancasila dam Pembukaan UUD 1945,

    menggarisbawahi karakter liturgis kesempatan berkumpul seperti ini. Begitu juga ritual

    ziarah, dari bahasa Arab yang berarti "kunjungan ke tempat suci", mengilustrasikan "agama

    sipil" negara.

  • 7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014

    21/27

    Pada masa Orde Baru, ritual-ritual yang melibatkan partisipasi massa, seperti hari-hari

    peringatan yang ditetapkan lengkap dengan agenda acaranya itu, tidak dimaksudkan untuk

    merayakan bangsa ini, tapi cenderung untuk menegaskanstatus quopenguasa. Pertemuan

    massa dengan partisipasi yang tinggi tersebut diubah menjadi ritual-ritual negara yang sangat

    formal dengan kehadiran-kehadiran wajib yang memperkuat kontrol negara.

    Upacara menjadi kode-kode interaktif yang dapat dimaknai dan dibaca sebagai simbol

    artikulatif tentang pemikiran, propaganda, hingga agitasi. Melalui upacara, kekuasaan

    dijalankan sedemikian rupa dan dipusatkan dalam ruang politis yang seremonial. Padahal inti

    kekuasaan berarti menjamin kepastian hukum, kesejahteraan, dan keadilan sosial dalam

    kehidupan masyarakat yang berbudaya. Hal itu lebih penting daripada menjadikan Indonesia

    sebagai "negara teater" dengan "drama-drama" yang dicitrakan. *

  • 7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014

    22/27

    Pertaruhan Politik Golkar

    Jum'at, 28 November 2014

    Ridho Imawan Hanafi,Peneliti Soegeng Sarjadi Syndicate

    Aburizal Bakrie dalam posisinya saat ini mendapat perlawanan politik dari pesaingnya dalam

    ikhtiar mempertahankan posisi ketua umum dalam Musyawarah Nasional IX Partai Golkar.

    Ketetapan untuk menggelar munas pada akhir November 2014 telah menyulut kecurigaan

    internal partai, utamanya yang berseberangan dengan Aburizal, bahwa ini jalan untuk

    memuluskan upaya Aburizal mempertahankan kekuasaan. Kubu Aburizal bergeming dengan

    kecurigaan tersebut. Bahkan, mereka seolah sengaja menggunakan munas sebagai amunisiuntuk membuat lawan gagap.

    Dari sudut waktu, penyelenggaraan munas pada akhir November memang menguntungkan

    Aburizal. Pasalnya, para lawan politik tidak memiliki tempo yang cukup untuk melakukan

    persiapan. Memang selama ini ada pembicaraan informal di antara mereka untuk

    menghadang Aburizal, namun sifatnya masih sporadis. Hal ini belum mengkristal menjadi

    perlawanan masif terhadap inkumben. Alih-alih, yang terlihat akhirnya cuma sebatas letupan

    kekecewaan atas kepemimpinan Aburizal.

    Sementara itu, di sisi lain, meskipun Aburizal oleh sebagian dari mereka yang kecewa

    dikatakan gagal, selama masa kepemimpinannya telah mampu menanam investasi politik

    yang bisa kapan pun ia petik. Memegang posisi kendali partai telah memudahkan Aburizal

    melakukan konsolidasi politik sewaktu-waktu. Rentang jangkauan komunikasi yang

    dibangun selama lima tahun kepemimpinannya adalah modal politik yang tidak mudah

    disaingi lawan.

    Tidak hanya itu, keuntungan lain yang dimiliki Aburizal adalah banyaknya para pesaing yang

    ingin maju menjadi ketua umum. Posisi ini sekilas memang memperlihatkan betapa tidak

    sedikit pihak yang menghendaki Aburizal lengser. Namun persebaran suara itu justrumemperkuat posisi Aburizal. Dengan kata lain, apakah cukup melawan petahana dengan

    kekuatan suara yang tersebar? Tak bisa lain, para lawan harus mengkalkulasi kekuatan. Salah

    satunya adalah dengan me-resumeperlawanan dari sedikit aras.

    Toh,langkah seperti itu juga tidak mudah dilakukan. Para kandidat boleh berangkat dari niat

    dan visi yang berbeda, meskipun tujuan bisa sama, yakni melengserkan Aburizal. Namun

    apakah ada jaminan di antara para kandidat lawan tersebut tetap lurus berada dalam satu

    tujuan? Sebab, ketika arah perjalanan munas nanti berubah dari skenario yang dikehendaki,

    sehingga memungkinkan lawan bergandeng tangan dengan kawan, niat dan tujuan bisa mulai

    terlihat kabur. Dengan kata lain, penentang Aburizal bisa saja berbalik arah menjadi

  • 7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014

    23/27

    pendukung Aburizal, karena dalam posisi berhadapan dinilai tak lagi menguntungkan.

    Di sudut lain, posisi internal Aburizal yang masih kuat tampaknya juga akan mendapat

    tambahan dukungan politis dari eksternal partai. Posisi Golkar saat ini berada dalam Koalisi

    Merah Putih (KMP). Kesolidan KMP akan terancam manakala posisi Ketua Umum Golkartak lagi diduduki Aburizal. Sejauh ini, baru Aburizal yang tegas menginginkan Golkar tidak

    berubah haluan dari KMP. Sementara itu, para lawan masih belum sebenderang sikap politik

    Aburizal. Di sinilah ujian konsistensi Partai Golkar akan dilihat publik. Dan Aburizal

    memilih sikap ini.

    Apakah dengan demikian Aburizal akan melenggang mudah di munas? Jawabannya

    bergantung pada seberapa besar perlawanan yang digelorakan penantang. Aburizal sendiri

    bukan minus celah. Dari rekam jejak kepemimpinannya selama lima tahun, prestasi elektoral

    --sebagai salah satu ukuran--tidak bisa dikatakan mengkilap. Kesolidan internal, meskipun

    bisa digapai, juga telah memunculkan riak faksi-faksi internal. Aburizal juga terlihat tidak

    ramah terhadap perbedaan pandangan di antara kader, dan lebih memilih jalan pemecatan.

    Eksplorasi terhadap kelemahan kepemimpinan Aburizal ini bisa menjadi instrumen para

    penantang dalam menggalang dukungan. Sebagai hajat partai, memilih pemimpin partai,

    seperti diungkap Susan Scarrow dalamImplementing Intra-Party Democracy(2005),

    merupakan fase krusial. Kenapa? Karena hal itu akan digunakan untuk mendefinisikan citra

    dan wacana politik: mau dibawa ke mana partai ini? Golkar mau tidak mau juga akan

    berhadapan dengan tahun puncak politik 2019, di mana pemilihan legislator dan pemilihan

    presiden akan serentak.

    Menyadari kebutuhan itu, pertimbangan matang dalam memilih ketua umum sepantasnya

    dilakukan Golkar. Apakah akan tetap memilih berada pada jangkarstatus quo, atau

    melakukan perubahan. Pemimpin partai politik adalah salah satu aspek produk partai yang

    penting, di mana publik akan menaruh perhatian (Marshment dan Rudd, 2003). Partai Golkar

    sejauh ini sebenarnya tidak terlalu menggantungkan diri pada sosok figur. Namun, seiring

    dengan waktu, pengaruh sosok lambat laun telah menariknya masuk dalam jebakan

    personalisasi. *

  • 7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014

    24/27

    Mengadili Keyakinan

    Jum'at, 28 November 2014

    Ali Nur Sahid,Peneliti PUSAD Paramadina (Pusat Studi Agama dan Demokrasi Paramadina)

    Baru-baru ini Amnesty International mengeluarkan laporan tentang sejumlah orang yang

    diadili karena dianggap menodai agama di Indonesia (21/11/14). Dalam laporan tersebut,

    sejak 2005 terdapat 160 orang yang dijerat Undang-Undang Penodaan Agama. Kebanyakan

    mereka berasal dari kelompok minoritas keagamaan atau kelompok yang dianggap

    menyimpang dari ajaran agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah.

    Penyelesaian situasi ini harus menjadi agenda penting Menteri Agama Lukman Hakim

    Syaifuddin yang sedang menyiapkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat

    Beragama. Laporan Amnesty, satu-satunya yang berkaitan dengan isu agama tersebut, patut

    dijadikan perhatian serius karena beberapa pertimbangan. Pertama, situasi ini berbanding

    lurus dengan tingginya tingkat intoleransi masyarakat di beberapa wilayah yang terdapat

    kelompok agama minoritas, seperti Syiah di Sampang.

    Kedua, di sejumlah penampungan sementara, mereka yang terusir dari kampungnya, seperti

    di Lombok dan Syiah di Sidoarjo, masih harus menanggung beban terkatung-katung tanpa

    kepastian sampai kapan harus menetap di pengungsian. Inilah praktek menjerat keyakinan

    lewat undang-undang yang berlangsung sampai hari ini. Dasar hukumnya? Pada 1965,

    Soekarno mengesahkan Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan

    Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama--yang dilanjutkan oleh Presiden Soeharto pada

    1969 menjadi Undang-Undang Nomor 5/1969.

    Banyak kasus dari tindakan pemidanaan yang beralasan mereka dianggap telah menodai

    agama dengan merujuk penetapan presiden tersebut. Belakangan bahkan beleidini

    menginspirasi pembuatan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE

    Nomor 11/2008).

    Secara subtansi, ketentuan ini bisa menjerat individu di berbagai pelosok wilayah. Ekspresi

    damai kepercayaan seseorang yang dianggap menyimpang bisa berujung penjara.

    Penerapannya seperti pasal karet yang bisa menghabisi keyakinan siapa saja. Contoh,

    Alexander Aan yang dipenjara karena dituduh menjalankan ateisme--yang dinyatakan di

    Facebook. Alasan yang kerap dituduhkan adalah "mengganggu ketertiban umum" atau

    mengakibatkan "ketidakharmonisan di antara umat".

    Mengadili keyakinan itu abstrak. Suatu pandangan agama atau keyakinan itu boleh-boleh

    saja. Yang dapat diadili adalah manifestasi dari keyakinan seseorang yang dianggap

  • 7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014

    25/27

    melanggar HAM. Seperti disebutkan dalam ICCPR (International Convenant on Civil and

    Political Rights), yang sudah diratifikasi pemerintah Indonesia, tentang pembatasan

    kebebasan berekspresi, pengurungan dapat dilakukan di antaranya jika mengganggu

    kesehatan, atau mengancam keselamatan orang lain. ICCPR melindungi hak individu atau

    sekelompok orang, namun tidak melindungi entitas abstrak seperti agama, kepercayaan, ide,atau simbol.

    Praktek kriminalisasi keyakinan harus diakhiri. Kondisi yang harus ditangani saat ini adalah

    maraknyasyiarkebencian (hate speech) yang menghasut seseorang untuk memusuhi dan

    mendiskriminasi sang liyanberbasis kebangsaan, rasial, maupun keagamaan yang mengarah

    ke tindak kekerasan. Presiden Jokowi pernah mengalami hal itu saat maraknya kampanye

    hitam berbasis SARA pada pemilu lalu. Saatnya Jokowi membuktikan bahwa dia

    menghormati HAM. *

  • 7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014

    26/27

    Harga Mengambang BBM Bersubsidi

    SABTU, 29 NOVEMBER 2014

    Bramantyo Djohanputro, dosen di PPM School of Management, dan pengamat bidangmanajemen, keuangan, dan ekonomi.

    Penetapan kenaikan harga BBM bersubsidi selalu disertai gejolak. Gejolak yang

    menimbulkan risiko operasional dan risiko keuangan sektor publik ini sangat bergantung

    pada eksposur operasional dan keuangan terhadap risiko dan kekondusifan situasi sosial-

    politik untuk menerapkan kebijakan baru tersebut.

    Eksposur operasional tidak dapat dihindari, sekalipun umumnya berjangka pendek, karenadalam jangka panjang setiap penduduk melakukan penyesuaian terhadap kenaikan harga

    BBM bersubsidi. Yang memiliki eksposur jangka panjang adalah aspek keuangan karena

    harga minyak dunia akan selalu naik-turun.

    Dengan menetapkan harga BBM bersubsidi yang konstan, seperti dengan harga Rp 8.500 per

    liter untuk Premium saat ini, risiko sepenuhnya diserap oleh pemerintah melalui APBN. Bila

    harga minyak dunia naik, dan kenaikannya signifikan, bisa saja target alokasi subsidi BBM

    terlampaui. Dengan demikian, penetapan harga BBM bersubsidi perlu dimodifikasi untuk

    mengurangi risiko keuangan pemerintah.

    Ada tiga variabel harga yang perlu dipertimbangkan untuk mengalokasikan risiko keuangan,

    yaitu harga minyak dunia, alokasi subsidi BBM bersubsidi dari APBN, dan harga eceran

    BBM bersubsidi. Dari ketiganya, harga minyak dunia merupakan variabel yang tidak dapat

    dikontrol, uncontrollable,oleh pemerintah. Bila harga minyak mentah dunia turun pada

    November 2014, ada kemungkinan harga akan naik lagi pada Desember, bila mengacu ke

    perilaku harga pada tahun-tahun sebelumnya.

    Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM, harga minyak mencapai

    puncak pada Desember dan Januari, dan kemudian menurun, dan naik lagi pada Juni, Juli,

    yang terkadang relatif tetap tinggi sampai September, yang kemudian turun pada Oktober dan

    November. Sekalipun pola harga bulanan tersebut tidak stabil dari tahun ke tahun, paling

    tidak turunnya harga pada November 2014 sama sekali bukan indikasi sebuah penurunan

    harga secara permanen.

    Apalagi bila perkembangan harga dari tahun ke tahun mendapat perhatian dalam menetapkan

    harga subsidi. Berdasarkan data Kementerian ESDM juga, rata-rata harga minyak mentah

    Indonesia pada 2014 sebesar US$ 36,4. Harga tersebut melambung pada 2012 menjadi US$

    113, yang berarti harga meningkat secara geometrik sebesar 15 persen per tahun.

  • 7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014

    27/27

    Berdasarkan pola harga bulanan dan kecenderungan harga dari tahun ke tahun, kebijakan

    harga tetap BBM bersubsidi mengandung risiko keuangan APBN. Bila harga minyak mentah

    naik pada Desember 2014, penyerapan dana subsidi akan meningkat. Selanjutnya, bila harga

    minyak mentah rata-rata naik 15 persen tahun depan, alokasi subsidi harus dinaikkan sebesar

    15 persen, plus pertumbuhan riil penggunaan BBM subsidi, yang bersumber dari kenaikanjumlah penduduk dan kendaraan pribadi yang tetap menggunakan BBM bersubsidi.

    Untuk mengurangi eksposur keuangan APBN terhadap gejolak harga minyak dunia,

    kebijakan harga BBM bersubsidi perlu dimodifikasi dengan model kebijakan harga

    mengambang dengan capdanfloor.Harga mengambang berarti bahwa harga bergerak

    mengikuti pergerakan harga minyak dunia. Yang perlu dipatok adalah besaran subsidi per

    liter. Dengan kebijakan harga mengambang, risiko fluktuasi harga dialihkan dari APBN ke

    pengguna BBM bersubsidi. Dengan kebijakan seperti ini, mestinya tidak ada lagi masalah

    harga, baik saat harga minyak dunia naik maupun turun, karena harga BBM bersubsidi

    mengikuti naik-turunnya harga minyak dunia.

    Untuk mengurangi risiko berlebih para pengguna BBM bersubsidi, kebijakan capdanfloor

    diterapkan untuk membatasi gejolak harga, khususnya bila terjadi fluktuasi harga terlalu

    besar. Dengan harga dasar,floor price, harga BBM bersubsidi dipatok harga terendah, dan

    dengan harga batas atas, cap price, harga BBM bersubsidi dipatok harga tertingginya.

    Dengan demikian, pemerintah melalui APBN menyerap risiko dari fluktuasi ekstrem harga

    minyak, sedangkan penduduk menyerap risiko dari fluktuasi normal harga minyak.

    Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menggunakan dana penghematan

    subsidi BBM. Saat ini fokus pengalokasiannya adalah pada kompensasi masyarakat yangterkena imbas pengurangan subsidi dan pembangunan infrastruktur.

    Ada baiknya sebagian dana tersebut dialokasikan untuk penelitian dan pengembangan energi

    alternatif, khususnya energi terbarukan, seperti pengembangan energi surya melaluisolar

    cell. Kalau ini berhasil, Indonesia bisa mengalami kelimpahan energi luar biasa karena

    ketersediaan matahari sepanjang tahun, tidak seperti Britania Raya yang terbatas curahan

    sinar mataharinya tetapi memiliki pohonsolar cell.Atau, Kanada yang mampu

    mengkomersialkan produksisolar celluntuk kebutuhan listrik rumah tangga.*