caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

download caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

of 41

Transcript of caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    1/41

    Bandit

    Senin, 29 September 2014

    Bajingan dan pahlawan kadang-kadang manunggal dalam evolusi.

    Di Indonesia kita tahu kisah Ken Arok, di Australia orang kenal cerita Ned Kelly.

    DalamPararatonyang ditulis pada 1481 ditunjukkan Ken Arok sebagai seseorang yang

    bermula dari kehidupan yang terkutuk: "perilakunya tak baik, memutuskan kendali

    kesusilaan, jadi pengganggu Hyang yang gaib", lumaku tan rahayu amegati apusira

    pinakapamacana ning hyan Suksma.Ia juga dengan ambisi berkuasa yang ganas membunuh

    siapa saja yang ia perlukan untuk naik takhta. Dan ia memang naik takhta dan jadi pendiri

    Kerajaan Singasari di abad ke-14.

    Ia sendiri mati terbunuh, tapi berangsur-angsur evolusi terjadi: ia jadi pahlawan yang tak

    pernah hilang. Di abad ke-20 baik Muhammad Yamin maupun Pramoedya Ananta Toer

    membangun, dalam karya fiksi mereka, sosok Arok yang heroik.

    Di Australia, di abad ke-19, Ned Kelly memasuki sejarah sebagai perampok, pembunuh,

    musuh kekal polisi. Tapi, sementara ia bermula dari manusia yang dikecam, ia berakhir jadi

    tokoh yang memikat imajinasi orang Australia. Pelukis termasyhur Sidney Nolan

    menampilkannya dalam kanvas-kanvas yang memukau: Ned Kelly dalam topeng

    pelindungnya yang persegi dan penuh teka-teki. Sejak awal 1900-an beberapa film dibuat,termasuk yang dibintangi Mick Jagger dan Heath Ledger.

    Daftar bandit ini bisa panjang. Di Meksiko di awal abad ke-20: Pancho Villa. Di India di

    abad kita: Phoolan Devi. Di antara penduduk Turki Siprus: Hassanpoulia, jagoan yang mati

    pada 1896.

    Di Amerika Serikat lebih terkenal: Billy the Kid. Setelah terbunuh pada 1881, ia juga lahir

    kembali sebagai kisah penjahat yang memikat, meskipun kebajingannya sebenarnya tak

    pernah spektakuler. Michael Ondaatje menulis novel puitik yang ia sebut The Collected

    Works of Billy the Kid: Left-Handed Poemspada 1970. Jauh sebelum itu, sederet film dibuat,antara lain oleh Sam Peckinpah, dan Bob Dylan menggubah musiknya. Bahkan sebelum itu

    pada 1938, si bandit masuk di pusat sebuah karya ballet Aaron Copland.

    Di Italia ada Salvatore Giuliano. Penjahat dari dusun miskin di Sisilia ini mulai beroperasi

    sebagai penyelundup kecil bahan makanan di pasar gelap ketika Italia Selatan terancam

    kelaparan setelah Perang Dunia II. Tapi segera ia sudah jadi legenda bahkan sebelum mati

    dibunuh pada 1950.

    Syahdan, di suatu hari di tahun 1944, penjahat berwajah tampan ini merampok rumah

    seorang bangsawan putri dari Pratameno. Bersama anak buahnya, Giuliano diam-diam masuk

    ke kediaman sang duchessa.Dengan hormat dan sopan, si kepala bandit mencium tangan

    nyonya rumah, tapi ia meminta agar emas berlian diserahkan. Ketika permintaannya ditolak,

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    2/41

    Giuliano mengancam akan menculik anak-anak keluarga itu. Sang duchessamenyerah.

    Giuliano pun pergi dengan harta rampasan yang cukup setelah mencopot cincin berlian dari

    jari nyonya rumah dan meminjam satu buku karya John Steinbeck dari perpustakaan, buku

    yang seminggu kemudian ia kembalikan.

    Dengan cerita semacam itu sutradara Francesco Rosi membuat sebuah film dokumenter gayaneo-realis tentang Giuliano pada 1962. Dan tak mengherankan bila sejarawan Marxis

    terkenal, Eric Hobsbawm, dalamBandits,menyebut Giuliano salah satu contoh bajingan

    dalam "tradisi" Robin Hood. Giuliano pernah menembak mati kepala kantor pos yang

    mencuri parsel yang dikirim untuk orang dusun dari kerabatnya di Amerika, dan ia bunuh

    pemilik toko yang jadi lintah darat.

    Sudah tentu, evolusi dari bandit ke pahlawan bukan sebuah peristiwa sejarah. Umumnya ia

    lebih sebuah proses imajinasi sosial yang terbentur. Ia lahir ketika orang banyak merasakan

    ada Keadilan (dengan "K") tapi tak bisa diutarakan dalam suasana Ketidakadilan, ada Juru

    Selamat tapi tak terlihat.

    Dalam pelbagai dongeng rakyat yang dibangun dari tokoh nyata seperti Ken Arok dan

    Pancho Villa, sang pelanggar hukum adalah ungkapan bahwa hukum telah kehilangan

    auranya. Atau lebih tepat: kehilangan daya tipunya. Sang bandit jadi "pahlawan" dengan

    menegaskan kata "lawan": ia bongkar ilusi dan tunjukkan bahwa hukum yang dirumuskan

    para legislator dan aparat negara sesungguhnya sebuah pencurian hak, yakni hak menentukan

    apa yang adil.

    Di Indonesia, hukum disebut "undang-undang". Seperti juga "undangan", ia memanggil dan

    memberi tahu orang ramai. Tampak, ada jalinan erat antara "undang-undang" dan bahasa:dalam hukum--yang dirumuskan dengan kata-kata--ada kemestian berkomunikasi. Dan

    seperti bahasa, "undang-undang" adalah sebuah konvensi, sebuah pegangan yang disepakati

    secara umum, tapi sekaligus tak bisa lepas dari dialek dan aksen yang berbeda-beda di suatu

    saat, di suatu tempat.

    Dengan kata lain, interpretasi, itulah proses yang menentukan. Penafsiran adalah cara

    mengakomodasi kecenderungan yang partikular dalam konstruksi hukum yang berniat

    universal itu. Maka tak ada undang-undang yang tak ditafsirkan, juga ketika tafsir dinyatakan

    terlarang.

    Penafsiran itulah cara membuat Keadilan (dengan "K") mewujud dalam hidup sehari-hari.

    Tapi tak pernah selesai. Ia selalu sia-sia. Dalam sejarah, Keadilan acap menggerakkan

    lahirnya hukum, tapi hukum tak pernah sama dengan Keadilan.

    Maka hukum hanya akan jadi berhala, ketika para penguasa tak mau mengakui bahwa seadil-

    adilnya undang-undang, hukum hanya gema dari Keadilan yang entah di mana. Derrida

    pernah mengatakan, "Keadilan" selalu hanya akan datang, "a-venir",tapi saya kira tidak.

    Keadilan telah hadir hari ini, namun selalu sejenak, selalu akhirnya mengelak.

    Dalam sejenak itulah terjadi revolusi, meledak protes, ada kemarahan. Dan kadang-kadang

    ada bandit, ada pahlawan.

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    3/41

    Goenawan Mohamad

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    4/41

    Penyeimbang

    Sabtu, 27 September 2014

    Putu Setia

    Kemarin, saya diundang makan malam oleh Romo Imam. "Untuk merayakan kembalinya

    Orde Baru," katanya, bercanda. "Ini hari kedua, apa sudah ada perubahan?"

    "Saya sudah lupa Orde Baru, kecuali menonton filmPengkhianat G30S/PKIdi TVRI," kata

    saya. "Kalau saya saja lupa, bagaimana dengan anak-anak kita? Apa yang penting Romo?"

    Romo mengambil piring. "Selain tiap Rabu malam Menteri Penerangan Harmoko

    mengumumkan harga cabe keriting sesuai petunjuk Pak Harto, kita harus tetap dalam koridor

    demokrasi Pancasila. Persis yang dikatakan Fadli Zon seusai votingRUU Pilkada yang

    menyebutkan, pilkada lewat DPRD adalah kemenangan demokrasi Pancasila. Cara Soeharto

    melanggengkan demokrasi yang disebutnya Pancasila itu adalah membuat kekuatan

    penyeimbang."

    Saya kaget. "Penyeimbang itu istilah Pak SBY. Romo mengada-ada," kata saya. Romo

    tertawa: "Tapi roh dari kekuatan penyeimbang itu adalah produk Orde Baru. Di DPR,

    Soeharto mengangkat anggota TNI dan polisi yang jumlahnya sepertiga dari seluruh anggota

    DPR. Fraksi ABRI, begitu namanya dulu, menjadi kekuatan penyeimbang, meski sering tak

    berfungsi karena di lain pihak Soeharto selalu menargetkan suara Golkar 70 persen."

    "Pak Harto perlu aman di DPR kan?" tanya saya. "Oya, pasti, tapi Soeharto tetap merasa tak

    aman," kata Romo. "Di MPR masih ditambah anggota dari berbagai golongan dan disebut

    Fraksi Utusan Golongan. Dengan begitu, kalaupun ada voting, tak mungkin pemerintah

    kalah. Kekuatan penyeimbang ini akan bergerak kalau ada yang utak-atik kebijakan Soeharto.

    Memilih presiden dan wakil presiden pun tak pernah dengan voting. Apanya di-votingkalau

    calonnya tunggal? Demokrasi Pancasila tak boleh ada musyawarah lonjong, harus bulat."

    Romo meneruskan: "Nah, kita kembali ke Orde Baru, tanda-tandanya dari UU Pilkada yang

    mencabut kembali hak rakyat untuk memilih bupati, wali kota, dan gubernur. Suara rakyatsulit ditebak, lebih mudah mengurusi perut 40 sampai 100 anggota DPRD. Lalu ada pula

    kekuatan penyeimbang yang diperkenalkan SBY."

    "Saya tak paham," celetuk saya. Romo menjelaskan: "Partai Demokrat yang Ketua Umumnya

    SBY menyebut menjadi penyeimbang. Demokrat tak mau disebut ada di koalisi Merah Putih

    untuk pencitraan. Sebagai penyeimbang, Demokrat akan membela kepentingan rakyat.

    Karena itu, sebelum SBY ke luar negeri, Demokrat mengumumkan pemihakan pada pilkada

    langsung meski dengan catatan perbaikan. Tapi kemudian, dengan dalih catatannya tidak

    diakomodasi, mereka walk out. Padahal catatan itu sudah disetujui. Karena penyeimbang

    justru tumbang, kemenangan ada pada koalisi yang ingin ke demokrasi Orde Baru."

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    5/41

    "Apakah SBY dikhianati?" tanya saya. "Hanya Tuhan dan SBY yang tahu. Dia di luar

    negeri," kata Romo. "Ada yang bilang SBY minta agar dalang walk outitu diusut, tapi ada

    yang bilang walk outitu sudah seizin SBY. Mana yang betul, entahlah. Di masa Orde Baru

    pun penyeimbang itu biasa nakal-nakal dikit, motifnya daya tawar yang ujung-ujungnya duit.

    Kasihan SBY yang sepuluh tahun memerintah berakhir dengan citra buruk seperti ini.""Aduh, saya ikut kasihan. Kesempatan terbaik dengan kursi yang mencukupi sebagai

    kekuatan penyeimbang disia-siakan. Padahal nanti kursi Demokrat jauh berkurang.

    Jangankan menjadi penyeimbang, menjadi penyumbang pun sulit," kata saya dengan sedih.

    "Duh, Romo, apa yang sebaiknya dilakukan SBY supaya saya tetap mengaguminya?"

    Kali ini Romo Imam yang menunjukkan wajah sedih: "Waktu tersisa 22 hari terlalu singkat

    untuk mengembalikan citra baiknya itu.Duh..."

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    6/41

    Matinya Nalar Demokrasi

    Senin, 29 September 2014

    Wiwin Suwandi, Pemerhati Tata Negara dan Pegiat Antikorupsi

    Dalam teori kekuasaan, demokrasi lahir paling akhir setelah tirani, monarki, dan aristokrasi.

    Demokrasi adalah pilihan terbaik karena menempatkan demos (rakyat) sebagai pemilik

    kedaulatan.

    Tampaknya hal ini tak dipahami Koalisi Merah Putih, yang ngotot mendorong usulan kepala

    daerah dipilih oleh DPRD-tidak lagi secara langsung oleh rakyat-dalam Rapat Paripurna DPRtentang Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah pada 25 September 2014,

    yang akhirnya mereka menangi. Kemenangan tersebut terasa semu dan hambar di tengah

    mayoritas aspirasi rakyat yang masih menghendaki pilkada langsung.

    Inilah tirani partai politik. Tirani yang dibangun di atas watak kekuasaan yang otoriter:

    memaksakan sesuatu yang bertentangan dengan aspirasi mayoritas sebagai landasan

    demokrasi. Tirani yang dibangun di atas keangkuhan dan libido kekuasaan.

    Undang-Undang Pilkada sah secara politik, iya, tapi tidak menurut demokrasi yang bertumpu

    pada asas daulat rakyat. Itu keputusan politik, bukan keputusan demokratis. Itu kemenangan

    parpol, bukan kemenangan rakyat. Parpol telah membajak demokrasi dengan menggunakan

    hak konstitusionalnya di parlemen untuk membalut keputusan tersebut dengan baju undang-

    undang. Seolah-olah sidang paripurna demokratis karena melalui mekanisme voting. Padahal

    demokrasi tidak sesederhana dan sesempit itu.

    Nyata bahwa Undang-Undang Pilkada yang baru disahkan bertentangan dengan asas dan

    teori pembentukan peraturan perundang-undangan. Sejatinya, tujuan sebuah undang-undang

    dibentuk adalah menjamin terpenuhinya hak-hak konstitusional warga negara, apa pun isu

    yang diwakili dalam beleiditu. Dengan demikian, sebuah rancangan undang-undang harusdidahului dengan kajian akademik yang memuat landasan filosofis, sosiologis, dan historis.

    Landasan filosofis memuat prinsip daulat rakyat. Bagaimana posisi rakyat sebagai pemilik

    kedaulatan di hadapan negara sebagai organisasi politik yang rentan silang kepentingan?

    Apakah undang-undang itu mengayomi segenap rakyat atau hanya menjadi alat kepentingan

    elite penguasa?

    Landasan sosiologis memuat asas keterwakilan, yakni undang-undang harus mewakili

    aspirasi segenap warga negara. Karena itu, sebuah rancangan undang-undang mesti melewati

    uji publik sebelum diputuskan menjadi undang-undang. Uji publik itu bisa bersifat formal,

    misalnya, jajak pendapat dengan metode survei penjaringan aspirasi atau melihat respons pro-

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    7/41

    kontra yang muncul di tengah masyarakat. Jika mayoritas publik menolak, pembahasan

    rancangan undang-undang itu wajib dihentikan.

    Landasan historis memuat aspek sejarah, yakni undang-undang harus sejalan dengan

    perjalanan bangsa sebagai negara kesatuan. Ini bukan soal kita pernah melaksanakandemokrasi perwakilan melalui pemilihan kepala daerah oleh DPRD pada rezim Orde Lama

    dan Orde Baru dan terbukti gagal. Tapi bagaimana kegagalan menerapkan demokrasi

    perwakilan itu menjadi "cermin" untuk tidak lagi kembali pada sistem (perwakilan) itu.

    UU Pilkada yang baru disahkan telah membawa kita kembali ke belakang, ke era otoriter

    Orde Baru, zaman saat kekuasaan oligarki bertakhta. Karena itu, demokrasi harus

    diselamatkan. Uji materi terhadap UU Pilkada adalah jalan konstitusional untuk

    mengembalikan asas daulat rakyat itu dan menyelamatkan demokrasi.

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    8/41

    Ambivalensi Demokrat

    Senin, 29 September 2014

    Arya Budi, Peneliti Poltracking Institute

    Hasil Rapat Paripurna DPR RI pada 26 September 2014 pada dasarnya mengkonfirmasikan

    dua nalar penting representasi politik: populisme dan elitisme. Koalisi Merah Putih (KMP),

    yang terdiri atas Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat

    Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Golongan Karya, berada dalam garis

    elitisme dengan mendukung pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Sementara itu, koalisi

    partai yang tergabung dalam pencalonan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Partai DemokrasiIndonesia Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Hati Nurani Rakyat) berada

    pada posisi politik populisme.

    Tentu, dasar pilihan semua fraksi adalah kepentingan politik. Populisme tidak semata

    bermakna pembelaan terhadap kepentingan rakyat. Debat mekanisme pemilihan kepala

    daerah dalam Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah adalah persoalan

    populisme (kepala daerah dipilih langsung oleh publik-pemilih) dan elitisme (menyerahkan

    atau mengembalikan pemilihan kepala daerah dipilih langsung oleh DPRD alias elite partai).

    Bagi partai-partai yang tergabung dalam KMP, memenangkan opsi kepala daerah dipilih

    DPRD dengan hasil voting 226 suara adalah titik awal memasang jangkar politik elektoral

    dari level pusat melalui penguasaan kursi parlemen sampai level daerah lewat penguasaan

    kursi legislatif sekaligus eksekutif. Tentu, output-nya adalah 2019.

    Bagi partai-partai pendukung pemerintah Jokowi-Kalla, kalahnya opsi kepala daerah dipilih

    langsung oleh rakyat dengan hasil votinghanya 135 suara berarti lonceng peringatan untuk

    bersiap dengan inefektivitas pemerintah akibat manuver politik dari level pusat hingga

    daerah. Tentu, cerita akan berubah jika gugatan terhadap hasil rapat final pembahasan RUU

    Pilkada ini dikabulkan Mahkamah Konstitusi.

    Dalam konfrontasi politik inilah panggung paripurna bagi DPR periode 2014-2019

    mempertontonkan ambivalensi Partai Demokrat yang sebenarnya berkekuatan 129 suara dari

    148 anggota. Sikap politik Demokrat terlihat "tak berjenis kelamin". Media massa, baik

    elektronik, online, maupun cetak, sudah merekam drama dan kronologi politik sidang

    paripurna RUU Pilkada yang digelar seharian.

    Sikap ambivalen Demokrat ditunjukkan oleh dua drama politik. Pertama, Demokrat semula

    berada dalam satu barisan dengan partai anggota KMP yang lantang mendukung pemilihan

    kepala daerah oleh DPRD melalui fraksinya di DPR sejak isu ini diputar oleh para elite KMP.

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    9/41

    Namun Demokrat mengubah sikap seusai pemutaran video Susilo Bambang Yudhoyono yang

    memperlihatkan dukungannya terhadap pilkada langsung, yang kemudian disusul dengan

    pilkada langsung "bersyarat".

    Kedua, sepanjang rapat paripurna, Demokrat memperjuangkan opsi ketiga, yakni pilkadalangsung dengan sepuluh syarat. Namun, ketika partai pengusung Jokowi-Kalla telihat

    "mengalah" dengan mendukung usul Demokrat itu dan pimpinan sidang di bawah Priyo Budi

    Santoso (Golkar) mencabut keputusan dua opsi, Fraksi Demokrat membacakan sikap untuk

    netral diikuti walk-out.

    Ambivalensi Demokrat inilah yang barangkali disebut Erving Goffman (1959) sebagai

    dramaturgi: merintih di depan panggung paripurna, tetapi sebenarnya tertawa riang di

    belakang panggung. Prasangka politik bisa saja muncul. Pertama, pimpinan sidang adalah

    elite Golkar yang bisa memainkan palu secara ritmis: memutuskan dua opsi (pilkada

    langsung dan pilkada oleh DPRD), dan lalu mencabutnya sebagai pembenar bahwa usul

    Demokrat tak diakomodasi.

    Atau prasangka kedua, yakni Demokrat bukan aktor tunggal ketika kursi rapat paripurna

    berada di bawah kendali Ketua Fraksi Demokrat yang sejak awal berpolemik dengan

    perubahan sikap DPP Demokrat dalam soal dukungan terhadap pilkada langsung. Ketiga,

    terlepas dari pernyataan "kecewa" SBY setelah mengetahui kronologi rapat paripurna yang

    sesungguhnya, sikap Demokrat menunjukkan karakter kepemimpinan SBY yang bipolar.

    Bagaimanapun, walau ada enam anggotanya yang bertahan dan memilih pilkada langsung,Demokrat perlu dilihat sebagai entitas tunggal. Seluruh fungsionaris Demokrat meletakkan

    legitimasi politiknya pada figur SBY yang secara struktural adalah Ketua Umum, Ketua

    Dewan Pembina, sekaligus Ketua Majelis Tinggi Demokrat, plus Presiden RI yang

    mempunyai kontrol dan akses atas alat dan sumber daya negara. Nasib demokrasi lokal yang

    sebenarnya dalam kontestasi rapat paripurna 26 September terletak di tangan Demokrat-di

    bawah kendali SBY-akhirnya terpasung.

    Padahal, secara politik, sidang kemarin adalah the last minutebagi Demokrat untuk

    menggunakan kekuatan politiknya di parlemen dengan 148 kursi sebelum kursinya menyusut

    dua kali lipat menjadi 61 kursi setelah pelantikan anggota Dewan baru pada 1 Oktober 2014.

    Dominasi Demokrat dan kepemimpinan SBY menemukan antiklimaks di penghujung

    periode, baik eksekutif maupun legislatif.

    Drama sidang paripurna RUU Pilkada mengingatkan saya pada tesis Joseph Schumpeter

    (1961) bahwa democracy is a competition among elites. Demokrasi lokal menjadi 'untuk,

    oleh, dan dari elite'. Partai dan elite di dalamnya bekerja dengan nalarnya sendiri.

    Representasi adalah narasi kosong yang kadang terkesan utopis. Dan rakyat akan

    mengingatnya, walau sekejap saja.

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    10/41

    Belanja Online

    Senin, 29 September 2014

    Nur Haryanto, [email protected]

    Dari akun Facebook saya muncul berita soal pria Tionghoa yang baru saja membuat sejarah

    sepekan lalu. Kabar itu dikirim oleh teman saya, warga Beijing, Cina, Senin lalu. Pria dalam

    berita itu bernama Jack Ma.

    Jack Ma baru saja sukses menjual saham perdana Alibaba Group melalui initial public

    offering(IPO) di Bursa Efek New York, Amerika Serikat. Harga saham Alibaba ditutupmenguat 38 persen menjadi US$ 93,89 per lembar, Kamis pekan lalu waktu setempat. Jack

    Ma sontak jadi orang terkaya di Cina dengan pundi-pundi mencapai US$ 25 miliar atau lebih

    dari Rp 290 triliun.

    Saya membaca kabar itu dan memberi tanda jempol. Sedikit komentar basa-basi, tapi intinya

    salut atas sukses Jack Ma, bisnis online, serta teknologi informasi di Cina yang semakin pesat

    kemajuannya. Tapi, kalau dipikir-pikir, sukses itu bertolak belakang dengan kebijakan

    pemerintah Republik Rakyat Cina. Sebab, sampai kini pemerintah Cina belum membuka

    akses sejumlah situs Internet, seperti YouTube, Twitter, bahkan Facebook sekalipun. Kalau

    teman saya ini mempunyai akun Facebook sejak tiga bulan lalu, itu lain cerita.

    Soal belanja onlinedi Cina, saya jadi ingat tiga tahun lalu. Saat itu saya bertandang ke kantor

    teman saya ini di Beijing. Di depan gerbang kantor itu,sekitar pukul 10.00, beberapa pegawai

    yang kebanyakan wanita bermunculan keluar. Mereka menyambut para kurir yang datang

    membawa berbagai barang pesanan.

    Saya amati, pada boks-boks itu tertulis amazon.com, 360buy.com, ZTO.cn, dan banyak lagi

    dengan huruf Mandarin yang saya tak pahami. Para kurir itu membawa barang-barang

    pesanan yang terbungkus kertas warna cokelat. Macam-macam ukurannya, dari yang sebesarkotak sepatu sampai seukuran kotak ponsel.

    Menurut teman saya, belanja online di Cina mulai ramai sekitar awal 2008. Barang-barang

    yang dijual beragam, dari peralatan elektronik, rumah tangga, sampai suku cadang kendaraan.

    "Memang lebih murah beli barang melalui online," kata teman saya ini.

    Hari itu, saya diajak teman saya jalan-jalan di Kota Beijing. Menjelang sore, dia meminta

    saya mampir ke apartemennya. Rupanya, istrinya sudah menyiapkan sambutan dengan

    masakan spesial: bebek panggang. Juga berbagai makanan khas Cina lain. "Jangan khawatir,

    semuanya tidak memakai babi," kata teman saya bercanda.

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    11/41

    Bersama keluarganya, saya menyantap makanan di atas satu meja kecil di apartemen seluas

    150 meter persegi miliknya. Anak teman saya yang berusia tujuh tahun pun ikut dan terlihat

    riang. Setelah makan, bocah itu mengajak saya menuju ujung ruangan di dekat jendela. Di

    sana, dia mengeluarkan hamster dari kandang dan mengulurkan peliharaan kesayangannya itu

    ke tangan saya. Teman saya mendekat "Kandang hamster itu juga dibeli dari toko online."

    Mungkin teman saya ini masuk dalam kategori warga Cina yang dimuat di situs

    /marketmechina.com/, pekan ini. Media onlineitu menyebutkan Cina memiliki sekitar 193

    juta pembeli online.Dan prediksi Boston Consulting Group, situs ini mengutipnya, adalah

    konsumen di Cina akan menghabiskan $1.000 per tahun untuk belanja onlinepada tahun

    depan-jumlah yang sama dengan di Amerika Serikat dengan 170 juta pembeli onlinesaat ini.

    Seakan tahu jalan pikiran saya, pekan lalu kurir datang membawa barang pesanan ke rumah.

    Saya buka bungkusnya, tripodkamera buatan Cina: kuat, ringan, dan lebih murah daripada

    beli di toko.

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    12/41

    Mencegah Korupsi

    Selasa, 30 September 2014

    Ahmad Taufik, wartawan, kandidat komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi 2014

    Ada dua pendekatan penting dalam menghambat berkembangnya korupsi, yakni mencegah

    dan memberantas.

    Orang medis mengatakan mencegah lebih baik daripada mengobati. Jokowi menyebutnya

    Revolusi Mental, seraya menganjurkan gerakan rakyat untuk tidak memberi suap dan hadiah

    (gratifikasi). Dari sini, diharapkan frekuensi penyalahgunaan wewenang yang mengharapkansuap akan berkurang.

    Sedangkan dalam memberantas, melihat karakternya yangpunitivealias menghukum, atau

    membikin jera, tak dapat kita menggunakan gerakan rakyat. Tidak bisa tidak, kita hanya

    dapat mengandalkan negara untuk memberantas.

    Dalam UU Nomor 31 Tahun 1999joUU Nomor 20 Tahun 2001, ada 13 pasal yang memberi

    definisi korupsi, semuanya dirumuskan dalam 30 bentuk/jenis tindak pidana. Dari 30 jenis

    itu, bisa dikelompokkan menjadi tujuh, yaitu kerugian negara, suap-menyuap, penggelapan

    dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, serta

    gratifikasi.

    Lalu, dari mana kita mulai untuk menangani kasus korupsi? Saya termasuk yang tidak

    percaya, bahwa korupsi adalah budaya. Korupsi bisa diminimalkan. Seperti yang disebut di

    atas, bisa dimulai dari mencegah, dan itu datang dari diri kita sendiri, lingkungan, dan dengan

    cara mengorganisasi sebuah gerakan bersama. Bukankah seorang sahabat Nabi berkata,

    kejahatan yang terorganisasi bisa mengalahkan kebaikan yang tak terorganisasi?

    Selama ini, memang kartel dan mafia yang mengorganisasi kejahatan untuk menguasaibidang-bidang yang menguntungkan. Namun, jika gerakan rakyat bisa mengorganisasi diri

    dengan baik untuk mencegah korupsi, nantinya orang-orang "jahat" saja yang bertahan

    melakukannya. Meski, kita harus berhati-hati membedakan sanksi terhadap orang yang lalai

    (culpa) dan yang sengaja (dobus).

    Di mana pun, gerakan rakyat dapat menjadi instrumen efektif untuk mematahkan suatu

    kebiasaan buruk di antara para pejabat atau pegawai negeri, atau sekadar menghabisi lawan

    politik. Karena itulah, agar tak disalahgunakan untuk kepentingan tertentu, kontrol di atas

    menjadi penting.

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    13/41

    Agar senantiasa bersih dari kepentingan politik, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang

    selama ini memainkan peran sentral dalam memerangi korupsi, juga harus sering melakukan

    kontrol diri. Bukankah untuk membersihkan ruangan, dibutuhkan sapu yang bersih pula.

    Apalagi, khusus untuk KPK, pada saat yang sama dia juga harus mempertajam

    kemampuannya "bersahabat dengan koruptor" dalam bentuk yang kita kenal sebagaijusticecollaborator atau whistle blower.

    Karena korupsi juga merupakan tindakan kolektif, seorang koruptor yang ditangkap

    diharapkan dapat mengaku dan menunjukkan pelaku lain yang lebih besar. "Getok tular" ini

    dinilai cukup berhasil, namun jika tak dikelola dengan baik, akhirnya, sang justice

    collaboratorbisa menjadi mesin ATM atau bahkan korban tebang pilih.

    Walhasil, dengan mencegah dan memberantas korupsi serta mengembalikan kekayaan

    nasional kepada yang berhak, pemerintah tak perlu membebani rakyat dengan berbagai

    kenaikan biaya hidup. Ayolah berbuat, kita semua bekerja bersama-sama untuk kepentingan

    rakyat.

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    14/41

    Kereta Api

    Selasa, 30 September 2014

    Iwel Sastra, komedian, @iwel_mc

    Sambil sarapan, seorang profesor ahli kereta api berbincang santai dengan seorang profesor

    ahli pesawat terbang. Perbincangan tersebut mengarah pada perdebatan, karena profesor ahli

    kereta api berpendapat suatu saat kecepatan kereta api bisa mengalahkan kecepatan pesawat

    terbang.

    Profesor ahli pesawat terbang mengatakan, sampai kapan pun kecepatan pesawat terbang takakan bisa ditandingi oleh kereta api. Lalu dia menanyakan apa alasan koleganya itu sehingga

    begitu yakin kecepatan kereta api bisa mengalahkan kecepatan pesawat terbang. Dengan

    santai, profesor ahli kereta api menjawab, "Saya akui sekarang pesawat terbang lebih cepat

    karena kereta api baru bisa merangkak. Saya yakin, kalau nanti kereta api sudah bisa berdiri

    dan berlari, pasti lebih cepat daripada pesawat."

    Anekdot di atas menggambarkan, pada zaman serba sibuk seperti sekarang ini, salah satu

    alasan orang memilih suatu jenis transportasi adalah karena kecepatannya. Di kota besar

    seperti Jakarta, banyak orang beralih naik kereta api karena, selain memiliki cepat, juga

    terhindar dari kemacetan. Sewaktu SMA, saya punya teman yang tinggal dekat rel kereta api.

    Setiap hari, suara kereta api yang bising terdengar sangat kencang di rumahnya. Ini juga yang

    membuat dia jadi terbawa berbicara dengan volume kencang di sekolah. Kepada teman ini,

    saya pernah mengusulkan supaya kereta api yang lewat dekat rumahnya itu tidak ngebut, dan

    sebaiknya diberi polisi tidur atau tulisan "pelan-pelan banyak anak-anak".

    Dalam bahasa Inggris, kereta api disebut train. Di Indonesia disebut kereta api karena

    teknologi awal yang menggerakkan kereta api adalah ketel uap yang dipanaskan dengan api.

    Meskipun sekarang teknologinya sudah berubah, nama kereta api masih melekat dan setiap

    28 September diperingati sebagai Hari Kereta Api. Saking melekatnya penyebutan namakereta api, lagu anak-anak yang berjudul Naik Kereta Apihingga sekarang belum ada yang

    berani merevisi menjadi naik kereta rel listrik atau naik Commuter Line.

    Belasan tahun lalu, saat masih kuliah di Universitas Indonesia kampus Depok, saya terpaksa

    menjadi pelanggan setia kereta api. Saya memilih naik kereta supaya bisa sampai di kampus

    tepat waktu. Kenyataannya, saya sering terlambat masuk kuliah karena terlalu lama

    menunggu kereta yang datang terlambat. Begitu datang, keadaan kereta sangat penuh sesak.

    Penumpang harus punya strategi masing-masing supaya bisa dapat tempat untuk berdiri.

    Strategi saya mendapatkan tempat untuk berdiri adalah dengan menggunakan jurus bangau,

    yaitu berdiri dengan satu kaki.

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    15/41

    Selain di dalam gerbong, banyak penumpang yang duduk di atas gerbong. Biasanya yang

    memilih duduk di atas gerbong adalah penumpang berusia muda. Sepertinya mereka salah

    memaknai istilah "young on top".

    Permasalahan kereta api dari dulu hingga sekarang masih berputar di tempat yang sama, yaitukurangnya angkutan dan gangguan sinyal. Kedua hal ini menjadi faktor utama keterlambatan

    kereta. Perawatan kereta api dan fasilitasnya harus selalu mendapat perhatian serius. Jangan

    sampai ada kereta api yang mogok di jalan. Bus mogok di jalan, penumpang biasanya turun

    membantu kondektur mendorong bus. Kalau kereta api mogok di jalan, penumpang bingung.

    Bagaimana cara mendorongnya?

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    16/41

    Kabinet Obesitas

    Selasa, 30 September 2014

    Feri Amsari, Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas

    Hukum Universitas Andalas

    Postur kabinet pemerintah Joko Widodo dirancang terlalu "gemuk". Dengan 34 kursi menteri,

    pemerintah baru diduga akan lamban berlari.

    Jumlah 34 kursi menteri sebanding dengan jumlah maksimal kementerian yang dapat

    dibentuk berdasarkan Pasal 15 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.Artinya, Jokowi berencana menempatkan seorang menteri untuk memimpin satu

    kementerian. Padahal, dalam kajian hukum tata negara, seorang menteri dapat memimpin dua

    atau lebih kementerian (department). Dengan cara itu, postur kabinet akan menjadi lebih

    ramping.

    Kabinet Presiden Eisenhower, misalnya, menempatkan Departemen Kesehatan, Pendidikan,

    dan Kesejahteraan berada di bawah kepemimpinan satu menteri. Itu sebabnya, hingga kini,

    meskipun memiliki beban kerja sangat berat, kabinet di Amerika tidak pernah menyentuh

    jumlah 20 menteri. Presiden Obama hanya memiliki 15 menteri dan 6 pejabat setingkat

    menteri.

    Dengan postur ramping itu, menurut Patrick Weller, kabinet akan mudah mengorganisasi diri

    dan menata pemerintahan (2007; h. 214). Sedangkan jumlah yang terlalu besar akan membuat

    presiden kesulitan membangun kerja sama antarkementerian. Apalagi banyaknya menteri

    dengan "isi kepala" yang berbeda akan menciptakan masalah internal tersendiri bagi presiden

    baru. Kondisi itu semakin membuat pemerintah menjadi lamban di tengah tuntutan agar

    pemerintah baru berlari lebih cepat mengatasi ketertinggalan dari negara tetangga.

    Dengan jumlah kursi menteri yang terlalu banyak, presiden terpilih akan ditudingmenerapkan "politik balas budi". Semua pihak harus mendapat untung dari pembagian kursi

    kabinet. Akibatnya, pemerintah Jokowi-JK mengalami kelambanan bekerja sebagaimana

    dialami kabinet Presiden SBY, Megawati, dan Abdurrahman Wahid. Kabinet "obesitas"

    cenderung bekerja lamban.

    Ada dua penyebab kelambanan itu. Pertama, koordinasi bertingkat dalam kabinet. Sebelum

    penentuan kebijakan, selain berkoordinasi kepada presiden atau wakil presiden, para menteri

    harus lebih dulu "melaporkan" kepada menteri koordinator. Sedangkan menteri koordinator

    mesti menyampaikan laporan itu kepada presiden. Kebijakan bertingkat seperti itusebenarnya tidak diperlukan. Sebagai kepala pemerintahan, presiden adalah koordinator

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    17/41

    tunggal para menteri. Jika menteri koordinator dihapus, setiap kebijakan dapat diputus lebih

    cepat. Sayangnya, dalam politik balas budi, jabatan menteri koordinator diperlukan untuk

    menghormati ketua atau tokoh senior partai/militer.

    Kedua, kelambanan terjadi karena menyusupnya banyak kepentingan. Pembagian kursi yangmenampung seluruh partai pendukung membuat kabinet dipenuhi banyak kepentingan

    berbeda. Masing-masing menteri tidak hanya bekerja untuk presiden, tapi juga partainya.

    Misalnya, dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, Partai Golkar dan PKS acap kali memilih

    jalan yang berbeda dengan kebijakan pemerintah SBY. Pilihan politik partai itu tentu

    mempengaruhi sikap kadernya di kabinet. Akibatnya, para menteri acap kali bimbang

    menentukan kebijakan penting akibat perbedaan pandang antara pemerintah dan partai

    pendukungnya. Ketika itu, para menteri akan berada di wilayah "simalakama": takut diganti

    (reshuffle) di jajaran kabinet atau dipecat dari partai. Akhirnya, kinerja kabinet semakin

    lamban.

    Dengan postur berat tersebut, pemerintah Jokowi-JK tak hanya berpotensi lamban, tapi juga

    akan lelah berlari. Apalagi setiap pemerintah baru akan mendapatkan rintangan yang tidak

    ringan. Presiden baru akan menghadapi budaya birokrasi institusi yang rumit, "bayang-

    bayang" presiden sebelumnya, permasalahan yang tiba-tiba muncul, relasi rumit pendukung

    yang beragam, dan "membaca" kelompok mana saja yang dapat dipercaya (Patrick Sanaghan;

    2008; h.7). Kondisi itu jamak dihadapi oleh kabinet obesitas.

    Sesungguhnya, dalam sejarah tata negara, kabinet merupakan sebuah ruang kecil (cabinet).

    Ruang kecil itu dijadikan tempat raja (kepala negara dan pemerintahan) mengadakan rapatdengan beberapa profesional kepercayaan terpilih (zaken kabinet).

    Sejarah itu memperlihatkan bahwa kabinet tidak pernah dirancang berjumlah besar.

    Kelompok kecil para menteri itu bertugas "membaca" seluruh potensi masalah yang terjadi

    dan menemukan solusinya. Kebijakan kabinet itulah yang harus diejawantahkan ribuan

    birokrat pekerja di bawah kendali menteri. Kabinet ramping tak hanya membuat pemerintah

    dapat "berlari dengan napas panjang", tapi juga akan menghemat anggaran negara.

    Kantor transisi pemerintah Jokowi-JK tentu juga memahami pentingnya kabinet yang

    ramping, namun acap kali "kehendak" partai membuat postur kabinet mengalami kelebihan

    bobot. Dengan postur obesitas tersebut, kabinet akan sulit mengiringi "lari" presiden baru

    yang "lincah blusukan" itu. Sebelum para menteri ikut berlari, "keringat masalah kabinet"

    sudah mulai menetes.

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    18/41

    Koh Put On dan G30S

    Rabu, 01 Oktober 2014

    Agus Dermawan T.Pengamat Budaya dan Seni

    Kho Wan Gie, kelahiran Indramayu, Jawa Barat, 1908, adalah kartunis Tionghoa pertama

    yang paling dikenal. Kartunnya mulai dimuat pada 1930 di Sin Po, koran berbahasa Melayu

    untuk warga Tionghoa. Pada 1931, Kho membikin komik berjudulPut On. Serial yang sangat

    digemari ini hadir setiap Jumat dan Sabtu.

    Nama Put On sesungguhnya sulit dicari dalam khazanah nama Tionghoa. Kho menciptanama ini dari kata-kata Inggris,put(menaruh) dan on(di atas). Jadi makna nama Put On

    adalah: agar komik strip ini diposisikan sebagai bacaan utama bagi warga Tionghoa

    intelektual.

    Sambutan masyarakat terhadap sosok Put On memang luar biasa. Salah satu daya tarik komik

    ini adalah upayanya melibatkan banyak tokoh. Seperti ibunya yang dipanggil Nee (ibu,

    Mandarin). Lalu Si Tong dan Si Peng, adik laki-lakinya. Juga sahabatnya, A Liuk dan On

    Tek. Put On punya pacar bernama Dortji.

    Put On menyentuh hati karena jenaka, serta nasibnya yang selalu tertimpa kemalangan kecil-

    kecil. Swee-siao, orang Tionghoa bilang. Namun, lebih dari itu, Put On dikenal sebagai figur

    yang suka menolong, punya empati tinggi, serta bergaul dengan semua suku. Meski nasib diri

    dan komunitasnya sering diganggu peraturan pemerintah yang tidak jelas, Put On sangat cinta

    kepada bangsa dan negara Indonesia. Itu sebabnya Put On beraksi terus sampai hampir 30

    tahun kemudian. Ketika Indonesia akan merebut Irian Barat pada 1961, Put On menyatakan

    ingin menjadi sukarelawan Trikora, atau Tri Komando Rakyat!

    Begitu legendarisnya Put On, sampai-sampai namanya dipakai masyarakat untuk sebutan

    orang yang gemuk dan naif: "Put On, luh!" Kenaifan Put On ternyata inspiratif. Buktinya,sejumlah media massa lalu membuat kartun sejenis, Seperti Si Tololdi Star Magazine. Oh

    Koendi majalah Star Weekly. Sampai akhirnya Oh Koen diganti tokoh lucu yang sama sekali

    berkarakter lain, Si Apiauw. (Komik ini ciptaan Goei Kwat Siong, yang cucunya kini bekerja

    sebagai staf ahli animasi di studio televisi CNN, Atlanta, Amerika Serikat).

    Tapi Put On tetap paling tersohor. Put On kemudian juga hadir di majalah bulananPantja

    Warna. Ketika Sin Potidak terbit, Koh Put On lincah pindah rumah. Ia pun masuk ke koran

    Warta Bhakti.

    Gerakan 30 September meletus pada 1965. Orang-orang Tionghoa, apalagi seniman

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    19/41

    Tionghoa ternama, diburu algojo antikomunis. Kho, yang tidak berpolitik, mungkin tidak

    menjadi sasaran. Tapi, tohdia kelabakan, sehingga menghilangkan diri dari percaturan.

    "Takut dibawa ke Sukabumi," kata sahabatnya, Siauw Tik Kwie, sang pencipta komik Sie

    Djien Koei. "Sukabumi" adalah sebutan untuk kuburan bagi orang yang dibikin mati oleh

    pisau politik.

    Zaman terus berjalan. Pada pertengahan 1970-an, tiba-tiba muncul komikNona Agogo, Djali

    Tokcher, dan sebagainya. Aparat usil curiga, jangan-jangan ini karya Kho Wan Gie! Di

    tengah kecurigaan itu muncul komik bertokoh dan berjudul Sopoiku(bahasa Jawa), yang

    artinya "siapa dia?". Sebuah nama yang agaknya meledek polisi politik, yang mungkin dulu

    pernah mencari-cari dirinya. Lalu sejarah menulis: beberapa tahun setelah itu Sopoiku hilang

    tak tentu rimbanya.

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    20/41

    Lokomotif Reformasi dan GerbongDemokrasi

    Rabu, 01 Oktober 2014

    Candra Malik, Peminat Tasawuf

    Batang pokok demokrasi, yaitu hak rakyat untuk memilih atau tidak memilih--selain hak

    untuk dipilih--secara langsung, telah ditebang oleh DPR. Sampai sekarang memang tak jelas

    benar mengapa anggota parlemen disebut sebagai wakil rakyat. Mereka lebih cocok disebut

    wakil konstituen, jika bukan wakil partai politik. Padahal tak jelas betul pula apakah setiap

    pemilih yang mencoblos gambar wajah mereka dulu sewaktu pemilu adalah konstituen atau

    anggota partai politik mereka.

    Sesampai di gedung parlemen, tak banyak yang benar-benar menyuarakan aspirasi rakyat.

    Yang ada pun lantas tak populer. Dari yang sedikit itu, masih juga tergeser ke pojokan karena

    ketajamannya dikeroyok oleh batu dan besi. Kalaupun tak menjadi tumpul, mata pisau wakil-

    wakil rakyat yang benar-benar wakil rakyat serta-merta bengkok atau patah setiap membentur

    perlawanan dari wakil-wakil partai politik. Pertarungan menjadi tidak seimbang. Suara rakyat

    dikalahkan.

    Banyak orang baik di lingkaran politik, sesungguhnya. Mereka adalah orang-orang yang

    berangkat dari rumah-rumah idealisme untuk cita-cita yang luhur membangun harkat dan

    martabat bangsa dan negara. Namun kutukan dewa hukum bahwa kekuasaan cenderung

    untuk korup telah membuat orang-orang baik itu patah arang.

    Bangsa ini memang suka euforia. Jika senang, mereka mudah menjadi terlalu senang sampai

    lupa diri. Reformasi yang pada zamannya dielu-elukan sebagai sukses besar perjuangan

    rakyat, baru hari-hari ini diratapi sebagai prestasi kebablasan. Tak ada yang serius

    mengingatkan sesama rakyat untuk tidak terlalu lama berpesta. Diam-diam, pelan tapi pasti,lokomotif reformasi membawa gerbong-gerbong demokrasi achteruit(baca: atret).

    Jika kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, lalu siapa yang memilih

    anggota DPRD? Mengapa tidak sekalian saja dipilih oleh partai politik? Tak perlu lagi bawa-

    bawa nama rakyat. Ya, ini kalimat patah hati, melampaui patah arang. Sesungguhnya bangsa

    ini dibawa ke arah kehancuran ketika oleh wakil rakyat diseret mundur. Semakin tidak jelas

    ke mana bangsa ini digerakkan para pengendali negara dan pemerintah. Runyam jika kepala

    negara dan pemerintah pun mengkhianati rakyat.

    Gerakan pemunduran bangsa ini bahaya laten. Rakyat dipaksa oleh kenyataan di gedung

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    21/41

    legislatif, yudikatif, dan eksekutif untuk tidak lagi percaya pada negara dan pemerintah.

    Wakil rakyat yang jauh lebih paham tentang politik beserta seluruh adagiumnya yang seolah

    adiluhung itu tentu cakap benar bersilat lidah di depan rakyat yang dianggapnya awam.

    Mereka bukan saja menutup mata dan telinga sendiri, tapi juga mulai menutup mata dan

    telinga rakyat--bahkan diam-diam telah berusaha membungkam mulut rakyat.

    Sejarah menulis bangsa ini rentan untuk dipecah belah. Politik adu domba lebih menakutkan

    daripada serangan fisik. Politik kebencian menyerang langsung ke ulu hati rakyat dan

    pecahlah kebersatuan: sama bangsa tapi saling mencurigai, bahkan saling memusuhi. Jika

    bangsa adalah suatu kumpulan manusia yang dipersatukan oleh persamaan, bangsa ini justru

    dipersatukan oleh perbedaan. Ini kokoh sekaligus ringkih. Tapi, jika partai politik berusaha

    menjajah rakyat, mereka membangunkan singa golongan putih.

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    22/41

    Berinovasi Hemat-Cerdas*

    Rabu, 01 Oktober 2014

    Iwan Pranotodan Gautam Kumar Jha**

    "Jika kehidupan memberi cuka asam, kita buat menjadi acar." Demikianlah inti terdalam

    gagasan berinovasi hemat-cerdas. Kerugian dimanfaatkan menjadi keuntungan. Di bawah ini

    satu ilustrasi dari ratusan bahkan ribuan kisah bagaimana masyarakat awam di desa India

    mewujudkan keuntungan dari kerugian.

    Walau terkesan mirip dongeng pengantar tidur yang terlalu indah untuk dipercaya, gagasan"memanfaatkan cuka untuk membuat acar" ini sungguh nyata. Inovasi hemat cerdas yang

    berciri inklusif ini juga bukan hal baru dan bukan ada di India saja. Bahkan, sebenarnya

    gelombang berinovasi dengan dasar prinsip ini sudah terwujud sejak era Benjamin Franklin

    pada abad ke-19. Beliau yang dari keluarga sederhana ini salah satu pelopor inovasi hemat-

    cerdas di dunia Barat. Beliau dan inovator lainnya sudah menggerakkan budaya berinovasi

    sebelum inovasi diindustrikan, dielitekan, dan diasingkan dari masyarakat kebanyakan seperti

    sekarang. Namun, pada abad ke-21 ini, budaya berinovasi hemat cerdas ini mulai bertunas

    kembali.

    Bapak Kanak Das tinggal di Desa Morigaon, di Negara Bagian Assam, India. Setiap hari,

    beliau bersepeda di jalan penuh lubang. Akibatnya, saat bersepeda, badannya terguncang-

    guncang. Keluhan sudah disuarakan, tapi semakin hari jalan tidak juga bertambah baik.

    Pengalaman menyebalkan ini secara perlahan ditafsirkannya sebagai sebuah masalah yang

    harus dipecahkan.

    Bapak yang tak lulus SMA ini kemudian bertanya ke dirinya sendiri, bagaimana

    memanfaatkan guncangan menjadi percepatan. Bagaimana gundukan dan lubang di jalan

    yang tak rata dapat dibuat menjadi sumber energi bagi sepedanya?

    Lalu beliau menerawang dan merancang solusinya. Angan-angannya adalah menciptakan

    sistem yang mengubah energi guncangan menjadi energi percepatan perputaran roda. Singkat

    kata, beliau berhasil mewujudkan sebuah rekacipta baru, sebuah sepeda yang, jika mengalami

    guncangan, roda belakangnya berputar mempercepat.

    Dalam bahasa Hindi dan kehidupan masyarakat India, katajugaad dipakai untuk menjelaskan

    sikap berinovasi hemat-cerdas seperti yang dilakukan Pak Kanak Das itu. Baca, misalnya,

    Jugaad Innovation(Radjou et al, 2012.)

    Di Indonesia, istilah yang agak mirip, yakni inovasi akar rumput, dikenalkan oleh Prof E.

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    23/41

    Gumbira Sa'id, pada 2009. Adapun pada 1980-an, sikap menyelesaikan masalah dengan

    cerdas menggunakan peralatan dan bahan seadanya dipopulerkan melalui filmMacGyver.

    Dari ilustrasi di atas dapat disimak prinsip berinovasi hemat-cerdas. Pertama, pelaku inovasi

    ini masyarakat awam, berpendidikan rendah, dan dari pedesaan. Mereka bukan rekayasawan,

    bukan ilmuwan, bukan peneliti negara atau lembaga litbang, bukan pula penduduk kota besar.Ini menegaskan bahwa berinovasi bukan kegiatan eksklusif milik kaum elite saja.

    Kedua, tempat berinovasinya bukan di laboratorium canggih, tapi rumah sederhana biasa di

    desa. Guru besar di Jindal School of Government and Public Policy, Shiv Visvanathan, dalam

    The Illiteracy of Innovation(The Hindu, 10 September 2014), menegaskan bahwa sekarang

    daerah miskin dan padat telah menjadi lahan berinovasi. Lebih lanjut, saat sekarang badan

    inovasi nasional tak boleh dibayangkan seperti Xerox Park atau Silicon Valley semata, tapi

    perlu dibangun dalam sebuah kerangka budaya.

    Ketiga, solusi yang dibuat bukan sekadar tambal-sulam sementara, melainkan solusi

    mendasar permanen, menyeluruh, dan berparadigma baru. Bukan saja berpikir di luar kotak,

    tapi Pak Kanak Das juga "menciptakan sebuah kotak baru." Dan, proses berinovasi ini

    ramping modal.

    Sementara itu, mitos kuno bahwa semakin besar investasi riset akan semakin besar hasil

    inovasinya, sekarang malah dipertanyakan. Banyak data tak mendukung mitos ini.

    Ini berarti bahwa, walaupun dana dibutuhkan untuk berinovasi, ada pendorong lain. Sikap

    percaya diri dan budaya berinovasi masyarakat justru lebih penting. Karena itu, selainlembaga penelitian resmi negara melakukan inovasi, perlu ada kebijakan penggeloraan

    masyarakat dalam berinovasi dan dorongan untuk menyelesaikan masalahnya.

    Kerja sama Indonesia-India di masa mendatang perlu mencakup pengembangan budaya

    berinovasi ini. Indonesia perlu menyerap bukan hasil inovasinya, melainkan budaya

    berinovasi hemat cerdas di masyarakat. Bukan inovasi sebagai kata benda, tapi inovasi

    sebagai kata kerja.

    Perlu diteliti dan dikembangkan penumbuhan budaya ini di Indonesia. Akademikus ilmu

    budaya perlu memeloporinya. Kerja sama budaya dalam artian keserasian kehidupan

    masyarakat bersama lingkungannya merupakan salah satu penyelesaian masalah kehidupan

    abad ke-21 yang amat penting. Terlebih lagi, kerja sama budaya bukan terbatas pada

    pengkajian budaya masa lalu, tapi juga pengembangan budaya masa depan kedua bangsa.

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    24/41

    G 30 S dan Rekonsiliasi Kultural

    Kamis, 02 Oktober 2014

    Munawir Aziz, peneliti, alumnus Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM).

    Peristiwa Gerakan 30 September (G-30 S) pada 1965 merupakan tragedi sejarah yang sampai

    saat ini masih diperdebatkan. Kontestasi pengetahuan tentang tragedi ini meliputi siapa aktor,

    korban, dan penonton yang terlibat dalam pusaran peristiwa tersebut. Publikasi hasil riset

    dan karya akademis yang mengisahkan peristiwa itu belum sepenuhnya menjadi karya

    komprehensif tentang bagaimana alur sejarah yang sesungguhnya.

    Sesungguhnya bisa dimengerti kenapa peristiwa 1965 menjadi "fase gelap". Ini karena saatperistiwa terjadi, terdapat beragam kepentingan ekonomi, politik, dan pengetahuan dalam

    skala regional, nasional, hingga internasional. Selain itu, kontestasi ideologi setelah Perang

    Dunia II juga berimbas pada perumusan falsafah bangsa dalam fase awal kemerdekaan.

    Meski demikian, gesekan-gesekan ideologi sampai sekarang masih berlangsung. Namun peta

    kepentingan dan komunitas yang terlibat di dalamnya berubah. Sekarang ini, ideologi-

    ideologi keislaman transnasional menggempur kekuatan Pancasila, sebagai benteng untuk

    mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena itu, perlu ada

    kejernihan cara pandang dalam melihat kontestasi ideologi transnasional dan kepentingan dibaliknya setelah masa Orde Baru. Selain itu, perlu ada kesepahaman tentang posisi korban

    dan pelaku pada fase sejarah dekade kedua masa kemerdekaan, yakni pada akhir

    kepemimpinan Sukarno.

    Penjernihan tentang posisi korban dan pelaku amat penting untuk merumuskan upaya

    rekonsiliasi terhadap tragedi 1965. Gagasan rekonsiliasi ini memang tidak mudah untuk

    dilakukan dalam skala nasional. Namun perlu langkah-langkah kultural dengan menjembatani

    perbedaan latar belakang kelompok dengan pandangan masa kini terhadap keutuhan

    Indonesia.

    Apa yang diperjuangkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika menjadi presiden perlu

    diapresiasi sebagai langkah politik yang berani. Gus Dur pernah mengajukan usul agar TAP

    MPRS XXV/66, yang mengatur masalah larangan pencabutan ajaran komunis. Usul ini

    ditentang habis-habisan oleh kelompok Islam formalis-puritan yang terlalu khawatir kader-

    kader komunis bakal muncul kembali.

    Sesungguhnya, pelajaran penting dari ide Gus Dur itu adalah bangsa ini merupakan bangsa

    ksatria yang mau mengakui kesalahan dan belajar dari fase sejarah yang gelap. Kesediaan

    mengakui kesalahan pada akhirnya akan memberi ruang bagi komunikasi kultural antar-

    kelompok, sehingga tidak ada lagi pertarungan politik yang merugikan keutuhan bangsa.

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    25/41

    Rekonsiliasi kultural inilah yang kemudian dikerjakan oleh aktivis Syarikat di Yogyakarta,

    yang mengembangkan jaringan-jaringan komunitas yang peduli kepada keluarga korban

    tragedi 1965 dan anggota PKI yang terdiskriminasi.

    Rekonsiliasi kultural perlu dikembangkan secara lebih menyeluruh dengan melacakperistiwa-peristiwa gelap yang terjadi dalam rentang sejarah bangsa ini, misalnya peristiwa

    pada 1998, yang menjadi sejarah gelap bagi orang-orang Cina di negeri ini. Rekonsiliasi

    kultural merupakan bagian dari visi "revolusi mental" yang perlu dikembangkan jika bangsa

    ini ingin menjadi besar di bawah pemimpin yang bertumpu pada politik kebangsaan dan

    kerakyatan.

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    26/41

    Penyembelihan Demokrasi

    Kamis, 02 Oktober 2014

    Umbu T.W. Pariangu, Dosen FISIPOL, Undana, Kupang.

    Awalnya, pengesahan RUU Pilkada diharapkan menjadi batu ujian bagi keberlangsungan

    embusan roh demokrasi, apakah demokrasi harus menemui ajalnya pada altar rezim elektoral

    parlemen atau sebaliknya tetap berembus mengisi dan menggerakkan "raga" politik dan

    daulat rakyat. Namun, dengan dikembalikannya pilkada ke DPRD lewat voting dalam Sidang

    Paripurna DPR pada Kamis pekan lalu, ini menjadi semacam mimpi buruk bagi demokrasi

    kita. Babak baru pengerdilan dan penyembelihan demokrasi seakan-akan telah dimulai olehsekelompok (fraksi) elite politik di Senayan.

    Sulit untuk tidak menarik kesimpulan bahwa pengembalian pilkada ke DPRD merupakan

    bagian dari luapan kekecewaan politik koalisi Merah Putih atas kekalahan mereka dalam

    pemilihan presiden. Kekecewaan itu bersambung dengan napas panjang politik

    subyektivisme dan rivalitas emosional politik yang belum terkubur.

    Habermas, dalam teori rasionalitas publiknya, selalu menekankan pentingnya posisi dan suara

    rakyat sebagai alat kontrol bagi partai, eksekutif, dan legislatif untuk menguji legitimasi

    kekuasaan dari berbagai godaan manipulasi massa dalam proses pemilu. Ketika hak bersuara

    rakyat direduksi, daya legitimasi kekuasaan akan kehilangan substansi karena dibajak oleh

    oligarki elite yang eksklusif dan terputus dari ruang-ruang terbuka (publik), sehingga rakyat

    tak lagi memperoleh ruang untuk mengakses kekuasaan atau pemerintahan (kratos).

    Dalam ruang gelap inilah kekuasaan tidak lagi dijadikan alat untuk mengejar kepentingan

    publik (res-publica), melainkan untuk pemenuhan kepentingan pribadi (res-privata) sebagai

    tujuan utama. Padahal, penguatan kultur demokrasi bagi rakyat bukan hanya melalui edukasi

    wacana, tapi juga praksis nyata yang terus berproses dalam peristiwa sosial-politik

    (Habermas, 1993). Menurut Siti Aminah (Kuasa Negara pada Ranah Politik Lokal, 2014:202-204), protes yang selalu mengemuka dalam setiap pilkada di hampir sebagian besar

    daerah di Indonesia muncul akibat kurangnya edukasi politik kepada rakyat ataupun

    sentralisme partai politik dalam merekrut kader-kadernya, sehingga menimbulkan

    monetokrasi (demokrasi uang) yang masif.

    Dalam perspektif minoritas kreatif yang diusungnya, Arnold Toynbee mengatakan lebih

    mudah mereproduksi politik kehancuran daripada menginisiasi politik kebaikan. Artinya,

    lahirnya pemimpin-pemimpin daerah berprestasi mestinya menjadi tren demokrasi langsung

    yang perlu terus dipelihara. Kalaupun jumlah mereka sejauh ini masih minoritas dibanding

    jumlah kepala daerah yang terjerat korupsi, tidak berarti pilkada langsung serta-merta divonis

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    27/41

    gagal melahirkan pemerintahan yang demokratis. Ini silogisme yang cacat dan prematur.

    Pada akhirnya, kita memang mendukung pihak-pihak yang menggugat hasil votingRUU

    Pilkada ke Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi. Namun, sejatinya, sejak jauh-jauh

    hari publik sudah menuntut ketegasan presiden untuk menolak dilanjutkannya "bola panas"pembahasan RUU Pilkada ke DPR, mengingat inisiatif pembahasan hal tersebut berasal dari

    pemerintah. Tapi SBY sepertinya sengaja membiarkan energi dan emosi publik terkuras

    dengan membiarkan "bola panas" RUU tersebut diolah oleh blunder kaki-kaki politik

    parlemen yang sarat akan siasat.

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    28/41

    Capaian MDGs Kita

    Kamis, 02 Oktober 2014

    Ivan Hadar, Koordinator Nasional Target MDGs 2007-2010

    Pada Oktober 2015, target waktu pencapaian delapan poin Tujuan Pembangunan Milenium

    (MDGs) akan berakhir. Kini, segala sesuatu harus dilakukan dengan segera dan cepat dalam

    kaitan dengan pemberantasan kemiskinan dan kelaparan, akses terhadap pendidikan dasar

    dan perbaikan kesehatan, serta pelestarian lingkungan hidup dan kerja sama global.

    Salah satu target terpenting MDGs adalah memangkas jumlah orang miskin menjadi tinggalseparuh jumlah yang tercatat pada 1990. Saat itu, persentase jumlah orang miskin mencapai

    angka 43 persen. Kita patut bersyukur bahwa secara global, target tersebut telah tercapai pada

    2010, saat jumlah orang miskin berkurang menjadi 21 persen, sekitar 50 persen dari jumlah

    pada 1990.

    Meski demikian, jumlah tersebut masih terbilang besar. Betapa tidak? Dengan menggunakan

    angka US$ 1,25 per hari sebagai batas kemiskinan, tercatat hampir 1,2 miliar warga dunia

    masih berkutat dalam kemiskinan, termasuk 400 juta anak yang masih hidup dalam kondisi

    kemiskinan ekstrem (data Bank Dunia pada 2013). Apalagi, penyebab pengurangan

    kemiskinan global terutama adalah perkembangan positif di Asia, khususnya Cina. Di negara

    itu, selama dua dekade terakhir, ratusan juta orang mengalami peningkatan kesejahteraan

    sosial-ekonomi.

    Sementara itu, gambar positif pengurangan kemiskinan berubah menjadi negatif ketika

    dihadapkan pada kenyataan bahwa fenomena kelaparan di dunia semakin luas. Saat ini,

    sekitar 1 miliar penduduk dunia mengalami kekurangan makanan, meningkat sekitar 2 persen

    dibandingkan pada 1990. Artinya, target penurunan tingkat kelaparan hingga 50 persen

    diprediksi tidak akan tercapai.

    Beberapa target MDGs lainnya juga belum menunjukkan perkembangan yang membesarkan

    hati. Janji negara-negara kaya untuk memberikan hibah 0,7 persen dari PDB-nya untuk

    pencapaian MDGs di negara-negara miskin hanya ditepati oleh beberapa negara Eropa.

    Angka kematian ibu, penyebaran HIV/AIDS dan malaria, pelestarian hutan, serta akses air

    bersih dan sanitasi masih jauh dari harapan. Bagaimana dengan pencapaian MDGs

    Indonesia?

    BPS mengukur garis kemiskinan dengan penghasilan Rp 300 ribu per orang per bulan untuk

    penduduk perkotaan dan Rp 250 ribu per orang per bulan untuk penduduk desa. Pengukuran

    itu sama dengan US$ 1,5-1,6 per orang per bulan dengan patokan kurs, sementara acuan

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    29/41

    internasional menggunakan patokan tarif pasar. Berdasarkan indikator tersebut, angka

    kemiskinan di Indonesia pada Maret 2014 mencapai 28,28 juta jiwa atau 11,25 persen dari

    jumlah total penduduk. Dibanding pada September 2013, telah terjadi penurunan jumlah

    orang miskin dari 11,46 persen menjadi 11,25 persen.

    Meski demikian, pada saat yang sama, terjadi kenaikan indeks kedalaman kemiskinan dari

    1,75 persen menjadi 1,89 persen. Begitu pula dengan indeks keparahan kemiskinan, yang

    naik dari 0,43 persen menjadi 0,48 persen (BPS, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat

    kemiskinan di Indonesia semakin parah karena menjauhi garis kemiskinan, sementara

    ketimpangan pengeluaran penduduk miskin semakin melebar.

    Ada tiga hal yang diyakini bisa mengatasi akar masalah kemiskinan dan kelaparan (MDGs 1-

    2) di Indonesia, yakni memprioritaskan perluasan kesempatan kerja, meningkatkan kualitas

    infrastruktur pendukung, dan menguatkan sektor pertanian.

    Ihwal pendidikan dasar dan kemelekhurufan, Indonesia tercatat telah mencapai target

    minimal MDGs, yaitu akses bagi semua anak usia sekolah untuk mengecap pendidikan wajib

    6 tahun. Bahkan, lebih dari itu, negeri ini menetapkan pendidikan dasar melebihi target

    MDGs dengan menambahkan sekolah menengah pertama sebagai sasaran pendidikan dasar

    universal.

    Meski demikian, tantangan utama dalam percepatan pencapaian sasaran MDGs pendidikan

    adalah meningkatkan pemerataan akses secara adil bagi semua anak, baik laki-laki maupun

    perempuan, untuk memperoleh pendidikan dasar yang berkualitas di semua daerah.Kebijakan alokasi dana pemerintah bagi sektor pendidikan minimal sebesar 20 persen-30

    persen untuk Aceh dan Papua-dari jumlah anggaran nasional diharapkan berlanjut untuk

    mengakselerasi pencapaian pendidikan dasar universal.

    Menjelang berakhirnya time framepencapaian target MDGs pada 2015, komunitas

    internasional di bawah PBB mulai mendiskusikan perumusan agenda pembangunan global

    setelah 2015. Ihwal upaya memformulasipost-2015 development agenda, Indonesia

    mendukung tersusunnya roadmapbagi intergovernmental processguna menyusun agenda

    pembangunan setelah 2015 dan berpandangan bahwa agenda dimaksudkan harus dibangun

    berdasarkan lessons learned(pembelajaran) dan best practices(praktek-praktek terbaik)

    dalam pelaksanaan MDGs.

    Kita semua sepakat bahwa negeri ini mendukung pandangan yang menetapkanpoverty

    eradicationsebagai visi agenda pasca-2015 melalui pertumbuhan dan pemerataan yang

    berkelanjutan (sustainable growth with equity) serta memperhatikan aspek sosial dan

    perlindungan lingkungan hidup. Indonesia diharapkan berkontribusi lebih banyak terhadap

    agenda pembangunan global pasca-2015 dibanding pada saat ini.

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    30/41

    Mabuk

    Jum'at, 03 Oktober 2014

    Toto Subandriyo, penulis

    Minuman keras oplosan (dengan nama lokal besotan, cokrik, dan lainnya) telah menjadi

    persoalan yang sangat memusingkan pemerintah daerah di Indonesia. Bukan hanya di daerah-

    daerah pesisir yang secara sosiologis memiliki kultur yang lebih permisif terhadap

    keberadaan minuman keras, di daerah-daerah pedalaman pun hal ini menjadi masalah.

    Kehadiran minuman keras telah menjadi sarana dan bahasa pergaulan seperti halnya rokok.

    Bagi telinga warga Kota Tegal, Brebes, dan sekitarnya, ucapan "dudu batir angger ora gelemnginung" (bukan sahabat jika tidak mau minum) menjadi ungkapan yang jamak terdengar.

    Di seluruh pelosok negeri ini sudah tidak terhitung lagi korban jiwa melayang setelah pesta

    minuman oplosan. Sebut saja tragedi besotanyang menggemparkan masyarakat Tegal pada

    pertengahan 2009 (yang merenggut nyawa 23 warga), tewasnya 14 orang warga Surabaya

    setelah menenggak cokrikpada akhir September 2013, serta melayangnya nyawa 9 warga

    Malang setelah pesta minuman oplosan belum lama ini.

    Menurut para ahli, pada era sekarang ini tradisi mabuk lebih merupakan bentuk darifenomena eskapisme. Menurut Kartini Kartono (2005), fenomena eskapisme ini merupakan

    cara melarikan diri dari tekanan masalah yang dipicu oleh tekanan sosial-ekonomi. Fenomena

    eskapisme merupakan bentuk frustrasi negatif yang sangat merugikan pribadi seseorang.

    Penyelesaian rasa frustrasi mengandung usaha untuk mereduksi ketegangan-ketegangan yang

    ada.

    Makin beratnya beban hidup akibat melambungnya harga kebutuhan pokok sehari-hari akan

    menggerus daya beli sehingga memicu fenomena eskapisme semu. Henri Josserand, dari

    Global Information and Early Warning System Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO),

    mengingatkan bahwa inflasi yang disebabkan oleh melambungnya harga bahan pangan

    merupakan pukulan paling berat bagi warga miskin. Hal itu mengingat pengeluaran untuk

    pangan dari warga kelas menengah ke bawah menempati persentase terbesar dari pengeluaran

    total keluarga.

    Peristiwa tragis korban minuman keras oplosan yang selalu terulang ini menunjukkan bahwa

    fungsi pengawasan dan penegakan hukum terhadap barang haram ini belum berjalan optimal.

    Ketentuan hukum belum diterapkan secara tegas untuk menimbulkan efek jera bagi para

    pelanggar ketentuan.

    Selama ini, pengawasan aparat penegak hukum lebih terfokus pada peredaran produk

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    31/41

    minuman keras resmi sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1997

    tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol, serta Peraturan Menteri

    Perdagangan Nomor 15/M-Dag/Per/3/2006 tentang Pengawasan dan Pengendalian Impor,

    Pengedaran, Penjualan, dan Perizinan Minuman Beralkohol. Itu semua nyaris tidak

    menyentuh peredaran minuman keras oplosan seperti cokrikdan besotan, yangdiperdagangkan secara terselubung dan kucing-kucingan.

    Tak ada lagi alasan bagi seluruh pemangku kepentingan untuk bersikap masa bodoh terhadap

    persoalan ini. Upaya pencegahan harus dibangun dari individu-individu dan keluarga. Harus

    ada pula pihak-pihak yang tak bosan memberi pencerahan tentang bahaya minuman keras

    bagi keselamatan jiwa. Pengawasan dan penegakan hukum yang tegas menjadi kunci

    keberhasilan upaya tersebut. Waspadalah, jangan sampai ciumengantarkan Anda ke ruang

    ICU!

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    32/41

    Berjaya Lewat Laut

    Jum'at, 03 Oktober 2014

    Ade Febransyahdan Ajo Zein

    Dalam periode 20072014, Bank Dunia menempatkan Indonesia sebagai negara yang masih

    berkutat dalam problem logistik. Indeks kinerja logistik (logistics performance index) kita

    masih belum memuaskan, di kisaran 2,763,13 dari skala 5,0.

    Masih adanya persoalan kinerja logistik membuat para pelaku bisnis dan masyarakat

    pengguna terbebani biaya tinggi. Ketidakefisienan rantai pasokan membuat pelaku bisnis,khususnya UMKM, sulit berkompetisi. Di tengah rendahnya kinerja logistik nasional, rantai

    pasokan pun akan dikuasai oleh jaringan retail modern besar yang berorientasi margin tanpa

    peduli asal-usul produk tersebut. Lemahnya rantai pasokan nasional semakin mengucilkan

    banyak pelaku lokal di tengah gempuran liberalisasi perdagangan.

    Ketika problem kinerja logistik dilihat secara parsial, upaya untuk mengatasinya pun menjadi

    terlokalkan. Infrastruktur sering kali dijadikan sebagai kambing hitam akibat rendahnya

    kinerja logistik. Meski ketersediaan infrastruktur yang memadai merupakan syarat untuk

    kinerja logistik, tidak ada kausalitas di antara keduanya. Diperlukan strategi desain yang tepat

    untuk aliran produk yang efisien dan efektif.

    Dari MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) 2011

    2025, ada enam koridor ekonomi utama di Indonesia, yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan,

    Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan Papua-Kepulauan Maluku. Setiap koridor ekonomi

    memilliki tema pembangunannya sendiri-sendiri. Dengan keberagaman tema pembangunan

    dari semua koridor ekonomi tersebut, tantangan ke depan adalah menciptakan integrasi ke

    dalam dan koneksi ke global (locally integrated, globally connected).

    Konektivitas kemudian menjadi kata kunci dalam pembangunan ekonomi. Bagi paraeksportir, kemudahan, kelancaran, dan keefektifan biaya dalam pengiriman produk menjadi

    keharusan. Namun, pada kenyataanya, semuanya masih sulit terwujud karena konektivitas

    antar-pemangku kepentingan pembangunan ekonomi masih rendah.

    Menyadari Indonesia adalah negara kelautan, pendekatan yang mengoptimalkan pergerakan

    aliran produk lewat laut perlu dikedepankan. Gagasan tol laut yang diperkenalkan Jokowi

    semasa kampanye sangat menarik untuk dikonsepkan lebih lanjut. Untuk mengoptimalkan

    segala pergerakan produk, diperlukan desain rantai pasokan yang tepat. Penjabaran tol laut

    dapat dilakukan dengan mengadopsi konsep cross dockingyang sukses dipraktekkan dalam

    industri retail.

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    33/41

    Idenya sederhana saja. Ketika banyak pemasok yang digunakan untuk menyalurkan berbagai

    produk ke banyak titik permintaan, adakanlah beberapa pengepul (pooler) sebagai tempat

    persinggahan aliran produk dari pemasok sebelum dikirim ke titik-titik permintaan. Model

    cross dockinguntuk rantai pasokan tidak ubahnya seperti sistem hub and spokedalam

    industri penerbangan. Ketimbang mengangkut sedikit penumpang dari satu lokasi (spoke) kesatu lokasi lainnya yang jauh, akan lebih baik mengantarkan sedikit penumpang dari

    beberapa lokasi ke satu hub ataupool. Selanjutnya, dari satu hubakan diantarkan banyak

    penumpang ke beberapa tujuan akhir.

    Secara intuitif, mengirimkan produk dalam jumlah besar dari satu tempat ke beberapa titik

    permintaan akan lebih efisien ketimbang mengirimkan dalam jumlah kecil dari satu pemasok

    ke satu titik permintaan. Lewat pengoptimalan, model cross dockingini terbukti mampu

    mengefisienkan rantai pasokan guna menghindari pemborosan.

    Dengan membangun fasilitas cross dockingdi beberapa pulau kecil, pengembangan daerah

    pesisir, daerah terpencil, dan sektor UMKM dimungkinkan tanpa keharusan membangun

    infrastruktur darat yang mahal. Cross dockingharus didesain untuk memiliki fasilitas

    pertambahan nilai dari berbagai produk yang masuk. Buah-buahan dan sayur-sayuran dapat

    diolah dan dikemas menarik agar siap dipasarkan. Demikian pula untuk produk perikanan, di

    mana nelayan cukup berlabuh dan ikan tangkapan dapat langsung diproses sehingga lebih

    segar saat dikirim. Hal yang sama dapat berlaku untuk berbagai produk peternakan. Karena

    ada nilai tambah dari proses manufaktur yang dijalankan cross docking, akan terjadi

    penghematan dalam sistem rantai pasokan nasional.

    Membingkai kembali Indonesia sebagai negara kelautan membutuhkan pandangan imajinatif-

    konstruktif dari setiap pemangku kepentingan. Bayangkan kembali, lewat rantai pasokan

    nasional yang kokoh, hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, dan produk dari

    sektor UMKM dapat dialirkan secara cepat dan murah melewati pulau-pulau kecil kita

    sebelum dikirim ke berbagai tujuan akhir.

    Peran pulau-pulau kecil sebagai tempat persinggahan aliran berbagai produk merupakan

    penentu keberhasilan konektivitas aliran barang di darat dan laut. Memang lewat lautlah

    nasib bangsa ini di masa depan akan ditentukan.Jalesveva jayamahe!

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    34/41

    Pabrik Gula

    Jum'at, 03 Oktober 2014

    Khudori,anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010sekarang).

    Dari sejarah terbaca tak ada kegiatan ekonomi di Indonesia yang lebih advancedaripada

    industri pergulaan. Jejak-jejaknya mudah ditemukan: pabrik gula (PG) BUMN di Jawa yang

    dikelola PT PN IXXI dan PT RNI dan pusat riset gula yang dulu termasyhur, P3GI di

    Pasuruan. PG-PG ini dibangun pada era kolonialisme Belanda abad ke-18.

    Di masa itu, dengan meningkatkan kualitas produk dan produktivitas perusahaan, konsolidasiperusahaan, mendirikan lembaga riset, serta peningkatan produktivitas kebun, industri

    pergulaan di Jawa berubah secara radikal: dari tidak efisien menjadi yang terefisien di dunia

    hingga mengalahkan industri gula Eropa. Secara ekonomi, industri ini memberi kemakmuran

    luar biasa kepada Belanda. Pada periode 18601865, 56,8 persen pendapatan nasional

    Belanda ditopang oleh industri gula. Pada 1930, Hindia Belanda menjadi eksportir gula

    terbesar kedua di dunia. Industri gula telah menjadi "gabus tempat mengapung Holland".

    Satu abad berlalu, kini Indonesia menjadi importir gula terbesar kedua setelah Rusia.

    Penurunan kinerja ini tidak terjadi tiba-tiba, melainkan merupakan hasil pergulatan ekonomi-

    politik puluhan tahun. Kemerosotan terjadi karena miskin inovasi, PG absolete, tua, dan

    kapasitas giling kecil (di bawah 3.000 ton tebu per hari). Saat ini jumlah PG 59 buah, 68

    persen di antaranya berusia di atas 90 tahun dan 80 persen terdapat di Jawa. Akibat mesin tua,

    kinerja PG, terutama PG BUMN, tak maksimal.

    Selain itu, berbeda dengan PG swasta, PG-PG BUMN yang sebagian besar berada di Jawa

    tidak memiliki lahan sendiri. Pasokan tebu PG sepenuhnya bergantung pada lahan petani.

    Padahal, kondisi petani cukup beragam dalam hal kemampuan finansial maupun penguasaan

    teknis budi daya tebu. Manajemen di lahan yang terpisah dari manajemen giling (PG) ini

    membuat PG tidak mudah mengintegrasikan kegiatan tanam, tebang, angkut, dan giling.Munculnya masalah di satu titik akan berdampak panjang bagi titik-titik berikutnya. Hadirnya

    gula rafinasi yang tak terkendali membuat aneka masalah gula kian kusut.

    Aneka masalah ini membuat PG kita tidak kompetitif. Ini salah satu alasan PT RNI hendak

    menutup dua PG-nya. Di negara produsen dan eksportir gula utama, seperti Brasil, Australia,

    dan Thailand, biaya pokok produksi gula hanya sekitar 5080 persen dibanding biaya gula

    kita. Budi daya tebu dilakukan secara mekanis dan prosesnya semi-otomatis di pabrik.

    Alokasi biaya tenaga kerja relatif kecil. Kapasitas giling PG besar rata-rata 1015 ribu ton

    tebu per hari. PG amat efisien (Toharisman, 2014).

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    35/41

    PG tidak hanya menghasilkan gula seperti di Indonesia, tapi juga produk turunan lain yang

    bernilai ekonomi tinggi, seperti etanol, listrik, dan kertas. Tebu sebenarnya bisa disulap

    menjadi puluhan produk turunan bernilai tinggi.

    Untuk meningkatkan daya saing PG, sejumlah langkah simultan harus dilakukan. Pertama,PG-PG kecil bisa diamalgamasi atau dikonsoliasi menjadi sebuah PG besar, sehingga biaya

    produksi gula dan produk hilir lainnya bisa lebih ekonomis. Kedua, produktivitas gula

    ditingkatkan dengan perbaikan varietas tebu dan kultur teknis. Ketiga, kehilangan gula

    selama perjalanan dari kebun ke PG ditekan seminimal mungkin. Keempat, kalau

    memungkinkan, menyatukan kembali manajemen di lahan dan giling. Kelima, orientasi

    produksi bukan hanya gula, tapi juga diperluas ke produk turunan lainnya.

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    36/41

    Idul Qurban

    Sabtu, 04 Oktober 2014

    Achmad Fauzi, Aktivis Multikulturalisme

    Perayaan Idul Qurban menjadi alegori sarat makna bagi manusia. Selain sebagai sarana untuk

    mendekatkan diri kepada Tuhan, nilai kurban melukiskan bentuk pengorbanan harta-benda

    yang disukai untuk orang lain. Ada tradisi saling menyantuni yang diamanatkan agama untuk

    terus dihidupkan dalam keseharian. Bahkan, jika saripati Idul Qurban diperas lagi, akan

    ditemukan bagaimana Tuhan memberikan pelajaran kepada manusia untuk selalu menjaga

    nilai kemanusiaan.

    Ketika Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Tuhan untuk mengorbankan anak semata

    wayangnya, Ismail, sebagai bentuk penghambaan yang tiada tara, sedikit pun beliau tidak

    merasa keberatan. Padahal, Ibrahim telah sekian lama mendambakan keturunan yang saleh.

    Perintah Tuhan itu dilaksanakan Ibrahim dengan penuh ketabahan dan kepasrahan. Totalitas

    penghambaan inilah yang mengajarkan kita untuk berlomba mengasihi dan mengorbankan

    hal duniawi yang disukai untuk orang lain.

    Lebih jauh lagi, kajian esoteris tentang Idul Qurban memiliki relevansi dengan harmonisasi

    hubungan horizontal. Alasan Tuhan menggantikan leher Nabi Ismail dengan domba yanggemuk adalah untuk menjaga satu hal: kemanusiaan. Domba adalah simbol sifat

    kebinatangan pada diri manusia yang harus dibunuh. Adapun martabat kemanusiaan menjadi

    ihwal pokok dalam agama yang wajib dijunjung tinggi. Ambivalen jika agama yang agung

    justru mewarisi tradisi memenggal leher demi mengekspresikan nilai penghambaan dan

    keikhlasan kepada Tuhan.

    Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa penyembelihan hewan kurban menarasikan proses

    pembunuhan sifat kebinatangan manusia. Berkurban bukan sekadar merelakan seekor

    kambing kesayangan untuk disembelih dan dibagikan kepada yang membutuhkan. Tapi, yang

    lebih penting, ini berarti mengorbankan hawa nafsu yang cenderung membelenggu manusia.

    Seperti nafsu amarah, tamak, kikir, dan nafsu menerabas segala cara untuk mencapai tujuan.

    Banyak orang keliru memaknai bentuk pengorbanan dalam mengabdi kepada Tuhan. Demi

    agama dan Tuhan, tak jarang orang lupa sifat kemanusiaannya. Beribu-ribu tahun lamanya

    agama ini dikaji dan diyakini oleh jagat manusia, namun praktek "memenggal leher" orang

    yang dianggap berbeda aliran atas dalih iman dan keyakinan masih saja terjadi. Begitu pula

    dalam relasi sosial berbasis suku, agama dan komunitas, peristiwa intoleran telah menjadi

    budaya paling ekstrem, meskipun banyak orang mengutuknya.

    Simak kondisi kebebasan beragama semester pertama (JanuariJuni 2014) yang masih

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    37/41

    mengkhawatirkan. Berdasarkan catatan Setara Institute, tercatat 60 peristiwa dengan 81

    bentuk tindakan pembiaran, penyegelan tempat ibadah, dan tindakan intoleransi yang

    menyebar di 17 provinsi.

    Pertemuan sumbu-sumbu emosi di tengah masyarakat memang mengetengahkanpenyelewengan makna pengorbanan. Nafsu kebinatangan, yang seharusnya mampu

    ditundukkan oleh kesucian jiwa, justru menjadikan sifat-sifat manusia yang berakal dan

    berbudi luhur sebagai tumbal. Padahal, siapa pun yang membunuh seorang manusia bukan

    karena qisashatau membuat kerusakan di muka bumi, seolah-olah telah membunuh manusia

    seluruhnya. Sebaliknya, dengan memelihara kehidupan seorang manusia, berarti telah

    memelihara kehidupan semua manusia (Q.S. Almaidah: 32).

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    38/41

    Falsafah Nawa Cita

    Sabtu, 04 Oktober 2014

    Atantya H. Mulyanto, praktisi manajemen, President Director & CEO PT Survindo Putra

    Pratama grup Surveyor Indonesia (Persero)

    Joko Widodo dan Jusuf Kalla akan dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI pada 20

    Oktober 2014. Berdasarkan dokumen Komisi Pemilihan Umum (KPU), pasangan Joko

    Widodo dan Jusuf Kalla mengusung visi Nawa Cita. Adapun sembilan agenda Nawa Cita

    tersebut antara lain meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional,

    mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomidomestik, dan melakukan revolusi karakter bangsa.

    Nawa Cita akan dijadikan pedoman tata kelola (manajemen) pemerintah pimpinan Presiden

    Joko Widodo. Nawa Cita sejatinya diturunkan dari cita-cita ideologi Tri Sakti yang

    dicetuskan Sukarno, Presiden Republik Indonesia pertama. Dalam pidato "Tahun Vivere

    Pericoloso" pada 17 Agustus 1964, Bung Karno mengungkapkan tiga paradigma besar yang

    bisa membangkitkan Indonesia menjadi bangsa yang besar, baik secara politik maupun

    ekonomi.

    Pertama, berdaulat dalam politik. Melalui kontemplasi, disimpulkan bahwa penderitaan

    rakyat Indonesia disebabkan oleh sistem kolonialisme dan imperialisme yang lahir dari rahim

    kapitalisme dan feodalisme bangsa sendiri. Sebagai antitesis kolonialisme dan imperialisme,

    Bung Karno menekankan pentingnya nasionalisme, yang hidup di taman sarinya

    internasionalisme. Nasionalisme yang ingin mengangkat harkat dan derajat hidup manusia,

    yang berperikemanusiaan, yang tidak menginginkan terjadinyaI'exploitation de nation par

    nation (penindasan suatu bangsa terhadap bangsa lain), ataupunI'exploitation de l'homme par

    I'homme(penindasan manusia terhadap manusia lain). Dengan demikian, watak dari

    nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang berperikemanusiaan, yang menginginkan

    terwujudnya kesejahteraan bersama, atau Sosio-Nasionalisme.

    Kedua, berdikari dalam bidang ekonomi. Ini tidak dapat dipisahkan dengan konsep pertama

    "berdaulat di bidang politik". Melalui demokrasi ekonomi, bangsa Indonesia anti terhadap

    kolonialisme dan imperialisme. Kapitalisme menyebabkan akumulasi kapital, konsentrasi

    kapital, sentralisai kapital, dan industrieel reserve-armee(barisan penganggur). Kapitalisme

    mengarah kepada verelendung(memelaratkan kaum buruh).

    Ketiga, berkepribadian dalam kebudayaan. Aspek budaya bagi Bung Karno sama pentingnya

    dengan aspek lainnya. Bangsa Indonesia harus menghormati budaya warisan nenek moyangdan menghargai nilai-nilai luhur kebudayaan masyarakat. Karakter dan kepribadian budaya

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    39/41

    Nusantara haruslah dijaga dan dilestarikan. Misalnya, budaya gotong royong yang

    melambangkan kolektivitas sebuah komunitas yang guyub dan berbagai karya budaya yang

    mewarnai dunia seni. Indonesia memiliki kekayaan budaya, seperti budaya Jawa yang kaya

    akan nilai luhur.

    Dalam konteks kekinian, pidato Trisakti Bung Karno pada 1963 tentang (1) berdaulat secara

    politik, (2) mandiri secara ekonomi, dan (3) berkepribadian secara sosial-budaya adalah butir-

    butir gagasan yang layak dihidupkan dan ditumbuhkan oleh generasi muda kita. Kita kini

    hidup pada era globalisasi yang penuh dengan kompetisi yang sangat ketat. Namun, sebagai

    bangsa kita tak boleh kehilangan jati diri. Kita hidup di tengah era globalisasi, tapi kita tak

    boleh terbawa arus globalisasi itu sendiri.

    Dalam hal berdaulat secara politik, Indonesia adalah negara merdeka dengan ideloginya

    sendiri, yaitu Pancasila. Sebagai negara berdaulat, RI tak boleh didikte oleh negara mana pun

    di dunia, termasuk negara-negara raksasa. Dengan menganut politik bebas aktif, kita justru

    harus ikut mewarnai kehidupan bangsa-bangsa di dunia, dan ikut pula menciptakan

    perdamaian dunia.

    Mengenai kemandirian ekonomi, Bung Karno telah mewariskan kepada bangsa ini sebuah

    konsep yang disebut berdiri di atas kaki sendiri (berdikari). Ini bukan berarti kita menolak

    investasi asing ataupun barang-barang impor yang kita butuhkan. Kita butuh investasi asing

    ataupun barang impor, tapi itu hanya menjadi pelengkap. Sebaliknya, kita justru harus bisa

    mengolah dan mengembangkan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, dengan tenaga-

    tenaga terdidik yang kita miliki. Kita harus bisa menciptakan pasar sendiri, bukan menjadipasar bagi produk asing.

    Soal kemandirian sosial-budaya, ini penting kita kembangkan agar tidak terombang-ambing

    oleh semua hal yang berbau asing. Kita punya kekayaan sosial dan budaya yang luar biasa

    kaya dan beragam, dan ini harus kita kembangkan untuk mewujudkan kepribadian bangsa.

    Kita harus menjadi bangsa besar dan kuat, dengan terus mengembangkan kekayaan sosial-

    budaya yang kita miliki.

    Ajaran Trisakti Bung Karno tersebut sangat relevan dengan situasi saat ini, dan layak

    diangkat dan direvitalisasi oleh generasi muda kita sebagai pegangan bangsa ini di masa

    mendatang.

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    40/41

    Akses terhadap Buku

    Sabtu, 04 Oktober 2014

    Agus M. Irkham, Pegiat Literasi

    Festival Taman Bacaan Masyarakat di Kendari dihelat pada 1721 September 2014. Perayaan

    literasi tersebut digagas bersamaan dengan puncak peringatan Hari Aksara Internasional ke-

    49. Festival yang dibuka oleh Dr Wartanto, Direktur Pembinaan Pendidikan Masyarakat

    Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, itu dihadiri oleh 300 pengelola taman bacaan

    masyarakat (TBM) se-Indonesia.

    Untuk menyemarakkan festival, diselenggarakan pula berbagai acara pendamping. Acara itu

    dimulai dari bedah buku, pelatihan menulis, peluncuran buku, jumpa penulis, hingga diskusi

    tentang masih terjadinya ketidakadilan akses masyarakat terhadap buku di wilayah Indonesia

    timur, seperti NTB, Maluku, Papua, dan Papua Barat.

    Ketidakadilan akses buku tersebut tecermin dalam data jumlah perpustakaan, penerbit, dan

    TBM. Jumlah total perpustakaan di Indonesia ada 61.477. Dari jumlah tersebut, mayoritas

    masih berada di Pulau Jawa, yakni 36.929 perpustakaan (60 persen), kemudian Kalimatan

    3.031 perpustakaan (4,9 persen) dan Maluku-Papua hanya 246 perpustakaan (0,4 persen).

    Dari jumlah total penerbit di Indonesia yang menjadi anggota Ikapi sebanyak 1.121 penerbit,

    Jawa menempati jumlah tertinggi dengan 1.004 penerbit (89,56 persen), Sulawesi dan

    Kalimantan masing-masing hanya 14 penerbit (1,24 persen). Bali, NTT, dan NTB 23 penerbit

    (2 persen). Adapun Papua hanya memiliki 1 penerbit!

    Sementara itu, jumlah TBM dari angka total 2.467 di wilayah Indonesia timur hanya ada 106

    TBM, atau hanya 4 persen. Persentase terbesar (1.495 TBM) ada di Jawa.

    Bagaimana benang ruwet persoalan ketidakadilan akses buku itu dapat diudar? Salah satusebab terjadinya ketidakadilan akses buku di Indonesia timur adalah biaya pengiriman yang

    mahal. Karena itu, tak mengherankan jika harga buku di Kupang, misalnya, bisa 3040

    persen di atas harga aslinya. Bahkan, di Papua bisa 34 kali lipat dari harga semula.

    Menyadari kondisi sulit tersebut, para pegiat literasi di tingkat lokal tergerak untuk mencari

    jalan keluar. Salah satunya adalah komunitas bloggerNTT yang bernama Flobamora

    Community (FC). Berdasarkan tuturan Dicky, salah satu anggota FC, kepada saya saat

    Festival TBM kemarin, mereka menggelindingkan program Buku bagi NTT. Program ini

    menjadi salah satu wujud nyata Gerakan NTT Cinta Baca.

  • 8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014

    41/41

    Ada dua kegiatan penting dalam program tersebut, pertama para anggota FC yang menetap di

    NTT mengumpulkan donasi (uang) dan titik-titik lokasi yang akan diberi buku. Kedua, para

    anggota FC dan sukarelawan yang kebetulan adalah mahasiswa yang sedang berkuliah di

    Jawa berjejaring untuk mengumpulkan bantuan buku. Buku yang terkumpul nantinya dikirim

    ke NTT dan biaya kirimnya dibayarkan lewat donasi yang berhasil dikumpulkan.

    Melalui akun Twitter @bukubagiNTT, para sukarelawan yang sudah tersebar di Jakarta,

    Bandung, Yogya, Semarang, Bali, dan Surabaya menjalin komunikasi, mengajak seluruh

    masyarakat untuk ikut menyumbangkan buku.

    Sampai September 2014, @bukubagiNTT sudah berhasil mengumpulkan ribuan eksemplar

    buku dan telah didistribusikan ke taman bacaan, perpustakaan sekolah, rumah baca, serta

    rumah belajar di Sumba, Rote Ndao, dan Flores Timur.

    Langkah taktis yang dilakukan FC bisa menjadi sebuah jalan keluar alternatif untuk

    mengatasi ketidakadilan akses buku. Dan seyogianya langkah ini didukung tidak saja oleh

    masyarakat secara individual, tapi juga industri perbukuan.