caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
Transcript of caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
1/41
Bandit
Senin, 29 September 2014
Bajingan dan pahlawan kadang-kadang manunggal dalam evolusi.
Di Indonesia kita tahu kisah Ken Arok, di Australia orang kenal cerita Ned Kelly.
DalamPararatonyang ditulis pada 1481 ditunjukkan Ken Arok sebagai seseorang yang
bermula dari kehidupan yang terkutuk: "perilakunya tak baik, memutuskan kendali
kesusilaan, jadi pengganggu Hyang yang gaib", lumaku tan rahayu amegati apusira
pinakapamacana ning hyan Suksma.Ia juga dengan ambisi berkuasa yang ganas membunuh
siapa saja yang ia perlukan untuk naik takhta. Dan ia memang naik takhta dan jadi pendiri
Kerajaan Singasari di abad ke-14.
Ia sendiri mati terbunuh, tapi berangsur-angsur evolusi terjadi: ia jadi pahlawan yang tak
pernah hilang. Di abad ke-20 baik Muhammad Yamin maupun Pramoedya Ananta Toer
membangun, dalam karya fiksi mereka, sosok Arok yang heroik.
Di Australia, di abad ke-19, Ned Kelly memasuki sejarah sebagai perampok, pembunuh,
musuh kekal polisi. Tapi, sementara ia bermula dari manusia yang dikecam, ia berakhir jadi
tokoh yang memikat imajinasi orang Australia. Pelukis termasyhur Sidney Nolan
menampilkannya dalam kanvas-kanvas yang memukau: Ned Kelly dalam topeng
pelindungnya yang persegi dan penuh teka-teki. Sejak awal 1900-an beberapa film dibuat,termasuk yang dibintangi Mick Jagger dan Heath Ledger.
Daftar bandit ini bisa panjang. Di Meksiko di awal abad ke-20: Pancho Villa. Di India di
abad kita: Phoolan Devi. Di antara penduduk Turki Siprus: Hassanpoulia, jagoan yang mati
pada 1896.
Di Amerika Serikat lebih terkenal: Billy the Kid. Setelah terbunuh pada 1881, ia juga lahir
kembali sebagai kisah penjahat yang memikat, meskipun kebajingannya sebenarnya tak
pernah spektakuler. Michael Ondaatje menulis novel puitik yang ia sebut The Collected
Works of Billy the Kid: Left-Handed Poemspada 1970. Jauh sebelum itu, sederet film dibuat,antara lain oleh Sam Peckinpah, dan Bob Dylan menggubah musiknya. Bahkan sebelum itu
pada 1938, si bandit masuk di pusat sebuah karya ballet Aaron Copland.
Di Italia ada Salvatore Giuliano. Penjahat dari dusun miskin di Sisilia ini mulai beroperasi
sebagai penyelundup kecil bahan makanan di pasar gelap ketika Italia Selatan terancam
kelaparan setelah Perang Dunia II. Tapi segera ia sudah jadi legenda bahkan sebelum mati
dibunuh pada 1950.
Syahdan, di suatu hari di tahun 1944, penjahat berwajah tampan ini merampok rumah
seorang bangsawan putri dari Pratameno. Bersama anak buahnya, Giuliano diam-diam masuk
ke kediaman sang duchessa.Dengan hormat dan sopan, si kepala bandit mencium tangan
nyonya rumah, tapi ia meminta agar emas berlian diserahkan. Ketika permintaannya ditolak,
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
2/41
Giuliano mengancam akan menculik anak-anak keluarga itu. Sang duchessamenyerah.
Giuliano pun pergi dengan harta rampasan yang cukup setelah mencopot cincin berlian dari
jari nyonya rumah dan meminjam satu buku karya John Steinbeck dari perpustakaan, buku
yang seminggu kemudian ia kembalikan.
Dengan cerita semacam itu sutradara Francesco Rosi membuat sebuah film dokumenter gayaneo-realis tentang Giuliano pada 1962. Dan tak mengherankan bila sejarawan Marxis
terkenal, Eric Hobsbawm, dalamBandits,menyebut Giuliano salah satu contoh bajingan
dalam "tradisi" Robin Hood. Giuliano pernah menembak mati kepala kantor pos yang
mencuri parsel yang dikirim untuk orang dusun dari kerabatnya di Amerika, dan ia bunuh
pemilik toko yang jadi lintah darat.
Sudah tentu, evolusi dari bandit ke pahlawan bukan sebuah peristiwa sejarah. Umumnya ia
lebih sebuah proses imajinasi sosial yang terbentur. Ia lahir ketika orang banyak merasakan
ada Keadilan (dengan "K") tapi tak bisa diutarakan dalam suasana Ketidakadilan, ada Juru
Selamat tapi tak terlihat.
Dalam pelbagai dongeng rakyat yang dibangun dari tokoh nyata seperti Ken Arok dan
Pancho Villa, sang pelanggar hukum adalah ungkapan bahwa hukum telah kehilangan
auranya. Atau lebih tepat: kehilangan daya tipunya. Sang bandit jadi "pahlawan" dengan
menegaskan kata "lawan": ia bongkar ilusi dan tunjukkan bahwa hukum yang dirumuskan
para legislator dan aparat negara sesungguhnya sebuah pencurian hak, yakni hak menentukan
apa yang adil.
Di Indonesia, hukum disebut "undang-undang". Seperti juga "undangan", ia memanggil dan
memberi tahu orang ramai. Tampak, ada jalinan erat antara "undang-undang" dan bahasa:dalam hukum--yang dirumuskan dengan kata-kata--ada kemestian berkomunikasi. Dan
seperti bahasa, "undang-undang" adalah sebuah konvensi, sebuah pegangan yang disepakati
secara umum, tapi sekaligus tak bisa lepas dari dialek dan aksen yang berbeda-beda di suatu
saat, di suatu tempat.
Dengan kata lain, interpretasi, itulah proses yang menentukan. Penafsiran adalah cara
mengakomodasi kecenderungan yang partikular dalam konstruksi hukum yang berniat
universal itu. Maka tak ada undang-undang yang tak ditafsirkan, juga ketika tafsir dinyatakan
terlarang.
Penafsiran itulah cara membuat Keadilan (dengan "K") mewujud dalam hidup sehari-hari.
Tapi tak pernah selesai. Ia selalu sia-sia. Dalam sejarah, Keadilan acap menggerakkan
lahirnya hukum, tapi hukum tak pernah sama dengan Keadilan.
Maka hukum hanya akan jadi berhala, ketika para penguasa tak mau mengakui bahwa seadil-
adilnya undang-undang, hukum hanya gema dari Keadilan yang entah di mana. Derrida
pernah mengatakan, "Keadilan" selalu hanya akan datang, "a-venir",tapi saya kira tidak.
Keadilan telah hadir hari ini, namun selalu sejenak, selalu akhirnya mengelak.
Dalam sejenak itulah terjadi revolusi, meledak protes, ada kemarahan. Dan kadang-kadang
ada bandit, ada pahlawan.
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
3/41
Goenawan Mohamad
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
4/41
Penyeimbang
Sabtu, 27 September 2014
Putu Setia
Kemarin, saya diundang makan malam oleh Romo Imam. "Untuk merayakan kembalinya
Orde Baru," katanya, bercanda. "Ini hari kedua, apa sudah ada perubahan?"
"Saya sudah lupa Orde Baru, kecuali menonton filmPengkhianat G30S/PKIdi TVRI," kata
saya. "Kalau saya saja lupa, bagaimana dengan anak-anak kita? Apa yang penting Romo?"
Romo mengambil piring. "Selain tiap Rabu malam Menteri Penerangan Harmoko
mengumumkan harga cabe keriting sesuai petunjuk Pak Harto, kita harus tetap dalam koridor
demokrasi Pancasila. Persis yang dikatakan Fadli Zon seusai votingRUU Pilkada yang
menyebutkan, pilkada lewat DPRD adalah kemenangan demokrasi Pancasila. Cara Soeharto
melanggengkan demokrasi yang disebutnya Pancasila itu adalah membuat kekuatan
penyeimbang."
Saya kaget. "Penyeimbang itu istilah Pak SBY. Romo mengada-ada," kata saya. Romo
tertawa: "Tapi roh dari kekuatan penyeimbang itu adalah produk Orde Baru. Di DPR,
Soeharto mengangkat anggota TNI dan polisi yang jumlahnya sepertiga dari seluruh anggota
DPR. Fraksi ABRI, begitu namanya dulu, menjadi kekuatan penyeimbang, meski sering tak
berfungsi karena di lain pihak Soeharto selalu menargetkan suara Golkar 70 persen."
"Pak Harto perlu aman di DPR kan?" tanya saya. "Oya, pasti, tapi Soeharto tetap merasa tak
aman," kata Romo. "Di MPR masih ditambah anggota dari berbagai golongan dan disebut
Fraksi Utusan Golongan. Dengan begitu, kalaupun ada voting, tak mungkin pemerintah
kalah. Kekuatan penyeimbang ini akan bergerak kalau ada yang utak-atik kebijakan Soeharto.
Memilih presiden dan wakil presiden pun tak pernah dengan voting. Apanya di-votingkalau
calonnya tunggal? Demokrasi Pancasila tak boleh ada musyawarah lonjong, harus bulat."
Romo meneruskan: "Nah, kita kembali ke Orde Baru, tanda-tandanya dari UU Pilkada yang
mencabut kembali hak rakyat untuk memilih bupati, wali kota, dan gubernur. Suara rakyatsulit ditebak, lebih mudah mengurusi perut 40 sampai 100 anggota DPRD. Lalu ada pula
kekuatan penyeimbang yang diperkenalkan SBY."
"Saya tak paham," celetuk saya. Romo menjelaskan: "Partai Demokrat yang Ketua Umumnya
SBY menyebut menjadi penyeimbang. Demokrat tak mau disebut ada di koalisi Merah Putih
untuk pencitraan. Sebagai penyeimbang, Demokrat akan membela kepentingan rakyat.
Karena itu, sebelum SBY ke luar negeri, Demokrat mengumumkan pemihakan pada pilkada
langsung meski dengan catatan perbaikan. Tapi kemudian, dengan dalih catatannya tidak
diakomodasi, mereka walk out. Padahal catatan itu sudah disetujui. Karena penyeimbang
justru tumbang, kemenangan ada pada koalisi yang ingin ke demokrasi Orde Baru."
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
5/41
"Apakah SBY dikhianati?" tanya saya. "Hanya Tuhan dan SBY yang tahu. Dia di luar
negeri," kata Romo. "Ada yang bilang SBY minta agar dalang walk outitu diusut, tapi ada
yang bilang walk outitu sudah seizin SBY. Mana yang betul, entahlah. Di masa Orde Baru
pun penyeimbang itu biasa nakal-nakal dikit, motifnya daya tawar yang ujung-ujungnya duit.
Kasihan SBY yang sepuluh tahun memerintah berakhir dengan citra buruk seperti ini.""Aduh, saya ikut kasihan. Kesempatan terbaik dengan kursi yang mencukupi sebagai
kekuatan penyeimbang disia-siakan. Padahal nanti kursi Demokrat jauh berkurang.
Jangankan menjadi penyeimbang, menjadi penyumbang pun sulit," kata saya dengan sedih.
"Duh, Romo, apa yang sebaiknya dilakukan SBY supaya saya tetap mengaguminya?"
Kali ini Romo Imam yang menunjukkan wajah sedih: "Waktu tersisa 22 hari terlalu singkat
untuk mengembalikan citra baiknya itu.Duh..."
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
6/41
Matinya Nalar Demokrasi
Senin, 29 September 2014
Wiwin Suwandi, Pemerhati Tata Negara dan Pegiat Antikorupsi
Dalam teori kekuasaan, demokrasi lahir paling akhir setelah tirani, monarki, dan aristokrasi.
Demokrasi adalah pilihan terbaik karena menempatkan demos (rakyat) sebagai pemilik
kedaulatan.
Tampaknya hal ini tak dipahami Koalisi Merah Putih, yang ngotot mendorong usulan kepala
daerah dipilih oleh DPRD-tidak lagi secara langsung oleh rakyat-dalam Rapat Paripurna DPRtentang Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah pada 25 September 2014,
yang akhirnya mereka menangi. Kemenangan tersebut terasa semu dan hambar di tengah
mayoritas aspirasi rakyat yang masih menghendaki pilkada langsung.
Inilah tirani partai politik. Tirani yang dibangun di atas watak kekuasaan yang otoriter:
memaksakan sesuatu yang bertentangan dengan aspirasi mayoritas sebagai landasan
demokrasi. Tirani yang dibangun di atas keangkuhan dan libido kekuasaan.
Undang-Undang Pilkada sah secara politik, iya, tapi tidak menurut demokrasi yang bertumpu
pada asas daulat rakyat. Itu keputusan politik, bukan keputusan demokratis. Itu kemenangan
parpol, bukan kemenangan rakyat. Parpol telah membajak demokrasi dengan menggunakan
hak konstitusionalnya di parlemen untuk membalut keputusan tersebut dengan baju undang-
undang. Seolah-olah sidang paripurna demokratis karena melalui mekanisme voting. Padahal
demokrasi tidak sesederhana dan sesempit itu.
Nyata bahwa Undang-Undang Pilkada yang baru disahkan bertentangan dengan asas dan
teori pembentukan peraturan perundang-undangan. Sejatinya, tujuan sebuah undang-undang
dibentuk adalah menjamin terpenuhinya hak-hak konstitusional warga negara, apa pun isu
yang diwakili dalam beleiditu. Dengan demikian, sebuah rancangan undang-undang harusdidahului dengan kajian akademik yang memuat landasan filosofis, sosiologis, dan historis.
Landasan filosofis memuat prinsip daulat rakyat. Bagaimana posisi rakyat sebagai pemilik
kedaulatan di hadapan negara sebagai organisasi politik yang rentan silang kepentingan?
Apakah undang-undang itu mengayomi segenap rakyat atau hanya menjadi alat kepentingan
elite penguasa?
Landasan sosiologis memuat asas keterwakilan, yakni undang-undang harus mewakili
aspirasi segenap warga negara. Karena itu, sebuah rancangan undang-undang mesti melewati
uji publik sebelum diputuskan menjadi undang-undang. Uji publik itu bisa bersifat formal,
misalnya, jajak pendapat dengan metode survei penjaringan aspirasi atau melihat respons pro-
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
7/41
kontra yang muncul di tengah masyarakat. Jika mayoritas publik menolak, pembahasan
rancangan undang-undang itu wajib dihentikan.
Landasan historis memuat aspek sejarah, yakni undang-undang harus sejalan dengan
perjalanan bangsa sebagai negara kesatuan. Ini bukan soal kita pernah melaksanakandemokrasi perwakilan melalui pemilihan kepala daerah oleh DPRD pada rezim Orde Lama
dan Orde Baru dan terbukti gagal. Tapi bagaimana kegagalan menerapkan demokrasi
perwakilan itu menjadi "cermin" untuk tidak lagi kembali pada sistem (perwakilan) itu.
UU Pilkada yang baru disahkan telah membawa kita kembali ke belakang, ke era otoriter
Orde Baru, zaman saat kekuasaan oligarki bertakhta. Karena itu, demokrasi harus
diselamatkan. Uji materi terhadap UU Pilkada adalah jalan konstitusional untuk
mengembalikan asas daulat rakyat itu dan menyelamatkan demokrasi.
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
8/41
Ambivalensi Demokrat
Senin, 29 September 2014
Arya Budi, Peneliti Poltracking Institute
Hasil Rapat Paripurna DPR RI pada 26 September 2014 pada dasarnya mengkonfirmasikan
dua nalar penting representasi politik: populisme dan elitisme. Koalisi Merah Putih (KMP),
yang terdiri atas Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat
Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Golongan Karya, berada dalam garis
elitisme dengan mendukung pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Sementara itu, koalisi
partai yang tergabung dalam pencalonan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Partai DemokrasiIndonesia Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Hati Nurani Rakyat) berada
pada posisi politik populisme.
Tentu, dasar pilihan semua fraksi adalah kepentingan politik. Populisme tidak semata
bermakna pembelaan terhadap kepentingan rakyat. Debat mekanisme pemilihan kepala
daerah dalam Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah adalah persoalan
populisme (kepala daerah dipilih langsung oleh publik-pemilih) dan elitisme (menyerahkan
atau mengembalikan pemilihan kepala daerah dipilih langsung oleh DPRD alias elite partai).
Bagi partai-partai yang tergabung dalam KMP, memenangkan opsi kepala daerah dipilih
DPRD dengan hasil voting 226 suara adalah titik awal memasang jangkar politik elektoral
dari level pusat melalui penguasaan kursi parlemen sampai level daerah lewat penguasaan
kursi legislatif sekaligus eksekutif. Tentu, output-nya adalah 2019.
Bagi partai-partai pendukung pemerintah Jokowi-Kalla, kalahnya opsi kepala daerah dipilih
langsung oleh rakyat dengan hasil votinghanya 135 suara berarti lonceng peringatan untuk
bersiap dengan inefektivitas pemerintah akibat manuver politik dari level pusat hingga
daerah. Tentu, cerita akan berubah jika gugatan terhadap hasil rapat final pembahasan RUU
Pilkada ini dikabulkan Mahkamah Konstitusi.
Dalam konfrontasi politik inilah panggung paripurna bagi DPR periode 2014-2019
mempertontonkan ambivalensi Partai Demokrat yang sebenarnya berkekuatan 129 suara dari
148 anggota. Sikap politik Demokrat terlihat "tak berjenis kelamin". Media massa, baik
elektronik, online, maupun cetak, sudah merekam drama dan kronologi politik sidang
paripurna RUU Pilkada yang digelar seharian.
Sikap ambivalen Demokrat ditunjukkan oleh dua drama politik. Pertama, Demokrat semula
berada dalam satu barisan dengan partai anggota KMP yang lantang mendukung pemilihan
kepala daerah oleh DPRD melalui fraksinya di DPR sejak isu ini diputar oleh para elite KMP.
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
9/41
Namun Demokrat mengubah sikap seusai pemutaran video Susilo Bambang Yudhoyono yang
memperlihatkan dukungannya terhadap pilkada langsung, yang kemudian disusul dengan
pilkada langsung "bersyarat".
Kedua, sepanjang rapat paripurna, Demokrat memperjuangkan opsi ketiga, yakni pilkadalangsung dengan sepuluh syarat. Namun, ketika partai pengusung Jokowi-Kalla telihat
"mengalah" dengan mendukung usul Demokrat itu dan pimpinan sidang di bawah Priyo Budi
Santoso (Golkar) mencabut keputusan dua opsi, Fraksi Demokrat membacakan sikap untuk
netral diikuti walk-out.
Ambivalensi Demokrat inilah yang barangkali disebut Erving Goffman (1959) sebagai
dramaturgi: merintih di depan panggung paripurna, tetapi sebenarnya tertawa riang di
belakang panggung. Prasangka politik bisa saja muncul. Pertama, pimpinan sidang adalah
elite Golkar yang bisa memainkan palu secara ritmis: memutuskan dua opsi (pilkada
langsung dan pilkada oleh DPRD), dan lalu mencabutnya sebagai pembenar bahwa usul
Demokrat tak diakomodasi.
Atau prasangka kedua, yakni Demokrat bukan aktor tunggal ketika kursi rapat paripurna
berada di bawah kendali Ketua Fraksi Demokrat yang sejak awal berpolemik dengan
perubahan sikap DPP Demokrat dalam soal dukungan terhadap pilkada langsung. Ketiga,
terlepas dari pernyataan "kecewa" SBY setelah mengetahui kronologi rapat paripurna yang
sesungguhnya, sikap Demokrat menunjukkan karakter kepemimpinan SBY yang bipolar.
Bagaimanapun, walau ada enam anggotanya yang bertahan dan memilih pilkada langsung,Demokrat perlu dilihat sebagai entitas tunggal. Seluruh fungsionaris Demokrat meletakkan
legitimasi politiknya pada figur SBY yang secara struktural adalah Ketua Umum, Ketua
Dewan Pembina, sekaligus Ketua Majelis Tinggi Demokrat, plus Presiden RI yang
mempunyai kontrol dan akses atas alat dan sumber daya negara. Nasib demokrasi lokal yang
sebenarnya dalam kontestasi rapat paripurna 26 September terletak di tangan Demokrat-di
bawah kendali SBY-akhirnya terpasung.
Padahal, secara politik, sidang kemarin adalah the last minutebagi Demokrat untuk
menggunakan kekuatan politiknya di parlemen dengan 148 kursi sebelum kursinya menyusut
dua kali lipat menjadi 61 kursi setelah pelantikan anggota Dewan baru pada 1 Oktober 2014.
Dominasi Demokrat dan kepemimpinan SBY menemukan antiklimaks di penghujung
periode, baik eksekutif maupun legislatif.
Drama sidang paripurna RUU Pilkada mengingatkan saya pada tesis Joseph Schumpeter
(1961) bahwa democracy is a competition among elites. Demokrasi lokal menjadi 'untuk,
oleh, dan dari elite'. Partai dan elite di dalamnya bekerja dengan nalarnya sendiri.
Representasi adalah narasi kosong yang kadang terkesan utopis. Dan rakyat akan
mengingatnya, walau sekejap saja.
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
10/41
Belanja Online
Senin, 29 September 2014
Nur Haryanto, [email protected]
Dari akun Facebook saya muncul berita soal pria Tionghoa yang baru saja membuat sejarah
sepekan lalu. Kabar itu dikirim oleh teman saya, warga Beijing, Cina, Senin lalu. Pria dalam
berita itu bernama Jack Ma.
Jack Ma baru saja sukses menjual saham perdana Alibaba Group melalui initial public
offering(IPO) di Bursa Efek New York, Amerika Serikat. Harga saham Alibaba ditutupmenguat 38 persen menjadi US$ 93,89 per lembar, Kamis pekan lalu waktu setempat. Jack
Ma sontak jadi orang terkaya di Cina dengan pundi-pundi mencapai US$ 25 miliar atau lebih
dari Rp 290 triliun.
Saya membaca kabar itu dan memberi tanda jempol. Sedikit komentar basa-basi, tapi intinya
salut atas sukses Jack Ma, bisnis online, serta teknologi informasi di Cina yang semakin pesat
kemajuannya. Tapi, kalau dipikir-pikir, sukses itu bertolak belakang dengan kebijakan
pemerintah Republik Rakyat Cina. Sebab, sampai kini pemerintah Cina belum membuka
akses sejumlah situs Internet, seperti YouTube, Twitter, bahkan Facebook sekalipun. Kalau
teman saya ini mempunyai akun Facebook sejak tiga bulan lalu, itu lain cerita.
Soal belanja onlinedi Cina, saya jadi ingat tiga tahun lalu. Saat itu saya bertandang ke kantor
teman saya ini di Beijing. Di depan gerbang kantor itu,sekitar pukul 10.00, beberapa pegawai
yang kebanyakan wanita bermunculan keluar. Mereka menyambut para kurir yang datang
membawa berbagai barang pesanan.
Saya amati, pada boks-boks itu tertulis amazon.com, 360buy.com, ZTO.cn, dan banyak lagi
dengan huruf Mandarin yang saya tak pahami. Para kurir itu membawa barang-barang
pesanan yang terbungkus kertas warna cokelat. Macam-macam ukurannya, dari yang sebesarkotak sepatu sampai seukuran kotak ponsel.
Menurut teman saya, belanja online di Cina mulai ramai sekitar awal 2008. Barang-barang
yang dijual beragam, dari peralatan elektronik, rumah tangga, sampai suku cadang kendaraan.
"Memang lebih murah beli barang melalui online," kata teman saya ini.
Hari itu, saya diajak teman saya jalan-jalan di Kota Beijing. Menjelang sore, dia meminta
saya mampir ke apartemennya. Rupanya, istrinya sudah menyiapkan sambutan dengan
masakan spesial: bebek panggang. Juga berbagai makanan khas Cina lain. "Jangan khawatir,
semuanya tidak memakai babi," kata teman saya bercanda.
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
11/41
Bersama keluarganya, saya menyantap makanan di atas satu meja kecil di apartemen seluas
150 meter persegi miliknya. Anak teman saya yang berusia tujuh tahun pun ikut dan terlihat
riang. Setelah makan, bocah itu mengajak saya menuju ujung ruangan di dekat jendela. Di
sana, dia mengeluarkan hamster dari kandang dan mengulurkan peliharaan kesayangannya itu
ke tangan saya. Teman saya mendekat "Kandang hamster itu juga dibeli dari toko online."
Mungkin teman saya ini masuk dalam kategori warga Cina yang dimuat di situs
/marketmechina.com/, pekan ini. Media onlineitu menyebutkan Cina memiliki sekitar 193
juta pembeli online.Dan prediksi Boston Consulting Group, situs ini mengutipnya, adalah
konsumen di Cina akan menghabiskan $1.000 per tahun untuk belanja onlinepada tahun
depan-jumlah yang sama dengan di Amerika Serikat dengan 170 juta pembeli onlinesaat ini.
Seakan tahu jalan pikiran saya, pekan lalu kurir datang membawa barang pesanan ke rumah.
Saya buka bungkusnya, tripodkamera buatan Cina: kuat, ringan, dan lebih murah daripada
beli di toko.
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
12/41
Mencegah Korupsi
Selasa, 30 September 2014
Ahmad Taufik, wartawan, kandidat komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi 2014
Ada dua pendekatan penting dalam menghambat berkembangnya korupsi, yakni mencegah
dan memberantas.
Orang medis mengatakan mencegah lebih baik daripada mengobati. Jokowi menyebutnya
Revolusi Mental, seraya menganjurkan gerakan rakyat untuk tidak memberi suap dan hadiah
(gratifikasi). Dari sini, diharapkan frekuensi penyalahgunaan wewenang yang mengharapkansuap akan berkurang.
Sedangkan dalam memberantas, melihat karakternya yangpunitivealias menghukum, atau
membikin jera, tak dapat kita menggunakan gerakan rakyat. Tidak bisa tidak, kita hanya
dapat mengandalkan negara untuk memberantas.
Dalam UU Nomor 31 Tahun 1999joUU Nomor 20 Tahun 2001, ada 13 pasal yang memberi
definisi korupsi, semuanya dirumuskan dalam 30 bentuk/jenis tindak pidana. Dari 30 jenis
itu, bisa dikelompokkan menjadi tujuh, yaitu kerugian negara, suap-menyuap, penggelapan
dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, serta
gratifikasi.
Lalu, dari mana kita mulai untuk menangani kasus korupsi? Saya termasuk yang tidak
percaya, bahwa korupsi adalah budaya. Korupsi bisa diminimalkan. Seperti yang disebut di
atas, bisa dimulai dari mencegah, dan itu datang dari diri kita sendiri, lingkungan, dan dengan
cara mengorganisasi sebuah gerakan bersama. Bukankah seorang sahabat Nabi berkata,
kejahatan yang terorganisasi bisa mengalahkan kebaikan yang tak terorganisasi?
Selama ini, memang kartel dan mafia yang mengorganisasi kejahatan untuk menguasaibidang-bidang yang menguntungkan. Namun, jika gerakan rakyat bisa mengorganisasi diri
dengan baik untuk mencegah korupsi, nantinya orang-orang "jahat" saja yang bertahan
melakukannya. Meski, kita harus berhati-hati membedakan sanksi terhadap orang yang lalai
(culpa) dan yang sengaja (dobus).
Di mana pun, gerakan rakyat dapat menjadi instrumen efektif untuk mematahkan suatu
kebiasaan buruk di antara para pejabat atau pegawai negeri, atau sekadar menghabisi lawan
politik. Karena itulah, agar tak disalahgunakan untuk kepentingan tertentu, kontrol di atas
menjadi penting.
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
13/41
Agar senantiasa bersih dari kepentingan politik, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang
selama ini memainkan peran sentral dalam memerangi korupsi, juga harus sering melakukan
kontrol diri. Bukankah untuk membersihkan ruangan, dibutuhkan sapu yang bersih pula.
Apalagi, khusus untuk KPK, pada saat yang sama dia juga harus mempertajam
kemampuannya "bersahabat dengan koruptor" dalam bentuk yang kita kenal sebagaijusticecollaborator atau whistle blower.
Karena korupsi juga merupakan tindakan kolektif, seorang koruptor yang ditangkap
diharapkan dapat mengaku dan menunjukkan pelaku lain yang lebih besar. "Getok tular" ini
dinilai cukup berhasil, namun jika tak dikelola dengan baik, akhirnya, sang justice
collaboratorbisa menjadi mesin ATM atau bahkan korban tebang pilih.
Walhasil, dengan mencegah dan memberantas korupsi serta mengembalikan kekayaan
nasional kepada yang berhak, pemerintah tak perlu membebani rakyat dengan berbagai
kenaikan biaya hidup. Ayolah berbuat, kita semua bekerja bersama-sama untuk kepentingan
rakyat.
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
14/41
Kereta Api
Selasa, 30 September 2014
Iwel Sastra, komedian, @iwel_mc
Sambil sarapan, seorang profesor ahli kereta api berbincang santai dengan seorang profesor
ahli pesawat terbang. Perbincangan tersebut mengarah pada perdebatan, karena profesor ahli
kereta api berpendapat suatu saat kecepatan kereta api bisa mengalahkan kecepatan pesawat
terbang.
Profesor ahli pesawat terbang mengatakan, sampai kapan pun kecepatan pesawat terbang takakan bisa ditandingi oleh kereta api. Lalu dia menanyakan apa alasan koleganya itu sehingga
begitu yakin kecepatan kereta api bisa mengalahkan kecepatan pesawat terbang. Dengan
santai, profesor ahli kereta api menjawab, "Saya akui sekarang pesawat terbang lebih cepat
karena kereta api baru bisa merangkak. Saya yakin, kalau nanti kereta api sudah bisa berdiri
dan berlari, pasti lebih cepat daripada pesawat."
Anekdot di atas menggambarkan, pada zaman serba sibuk seperti sekarang ini, salah satu
alasan orang memilih suatu jenis transportasi adalah karena kecepatannya. Di kota besar
seperti Jakarta, banyak orang beralih naik kereta api karena, selain memiliki cepat, juga
terhindar dari kemacetan. Sewaktu SMA, saya punya teman yang tinggal dekat rel kereta api.
Setiap hari, suara kereta api yang bising terdengar sangat kencang di rumahnya. Ini juga yang
membuat dia jadi terbawa berbicara dengan volume kencang di sekolah. Kepada teman ini,
saya pernah mengusulkan supaya kereta api yang lewat dekat rumahnya itu tidak ngebut, dan
sebaiknya diberi polisi tidur atau tulisan "pelan-pelan banyak anak-anak".
Dalam bahasa Inggris, kereta api disebut train. Di Indonesia disebut kereta api karena
teknologi awal yang menggerakkan kereta api adalah ketel uap yang dipanaskan dengan api.
Meskipun sekarang teknologinya sudah berubah, nama kereta api masih melekat dan setiap
28 September diperingati sebagai Hari Kereta Api. Saking melekatnya penyebutan namakereta api, lagu anak-anak yang berjudul Naik Kereta Apihingga sekarang belum ada yang
berani merevisi menjadi naik kereta rel listrik atau naik Commuter Line.
Belasan tahun lalu, saat masih kuliah di Universitas Indonesia kampus Depok, saya terpaksa
menjadi pelanggan setia kereta api. Saya memilih naik kereta supaya bisa sampai di kampus
tepat waktu. Kenyataannya, saya sering terlambat masuk kuliah karena terlalu lama
menunggu kereta yang datang terlambat. Begitu datang, keadaan kereta sangat penuh sesak.
Penumpang harus punya strategi masing-masing supaya bisa dapat tempat untuk berdiri.
Strategi saya mendapatkan tempat untuk berdiri adalah dengan menggunakan jurus bangau,
yaitu berdiri dengan satu kaki.
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
15/41
Selain di dalam gerbong, banyak penumpang yang duduk di atas gerbong. Biasanya yang
memilih duduk di atas gerbong adalah penumpang berusia muda. Sepertinya mereka salah
memaknai istilah "young on top".
Permasalahan kereta api dari dulu hingga sekarang masih berputar di tempat yang sama, yaitukurangnya angkutan dan gangguan sinyal. Kedua hal ini menjadi faktor utama keterlambatan
kereta. Perawatan kereta api dan fasilitasnya harus selalu mendapat perhatian serius. Jangan
sampai ada kereta api yang mogok di jalan. Bus mogok di jalan, penumpang biasanya turun
membantu kondektur mendorong bus. Kalau kereta api mogok di jalan, penumpang bingung.
Bagaimana cara mendorongnya?
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
16/41
Kabinet Obesitas
Selasa, 30 September 2014
Feri Amsari, Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas
Hukum Universitas Andalas
Postur kabinet pemerintah Joko Widodo dirancang terlalu "gemuk". Dengan 34 kursi menteri,
pemerintah baru diduga akan lamban berlari.
Jumlah 34 kursi menteri sebanding dengan jumlah maksimal kementerian yang dapat
dibentuk berdasarkan Pasal 15 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.Artinya, Jokowi berencana menempatkan seorang menteri untuk memimpin satu
kementerian. Padahal, dalam kajian hukum tata negara, seorang menteri dapat memimpin dua
atau lebih kementerian (department). Dengan cara itu, postur kabinet akan menjadi lebih
ramping.
Kabinet Presiden Eisenhower, misalnya, menempatkan Departemen Kesehatan, Pendidikan,
dan Kesejahteraan berada di bawah kepemimpinan satu menteri. Itu sebabnya, hingga kini,
meskipun memiliki beban kerja sangat berat, kabinet di Amerika tidak pernah menyentuh
jumlah 20 menteri. Presiden Obama hanya memiliki 15 menteri dan 6 pejabat setingkat
menteri.
Dengan postur ramping itu, menurut Patrick Weller, kabinet akan mudah mengorganisasi diri
dan menata pemerintahan (2007; h. 214). Sedangkan jumlah yang terlalu besar akan membuat
presiden kesulitan membangun kerja sama antarkementerian. Apalagi banyaknya menteri
dengan "isi kepala" yang berbeda akan menciptakan masalah internal tersendiri bagi presiden
baru. Kondisi itu semakin membuat pemerintah menjadi lamban di tengah tuntutan agar
pemerintah baru berlari lebih cepat mengatasi ketertinggalan dari negara tetangga.
Dengan jumlah kursi menteri yang terlalu banyak, presiden terpilih akan ditudingmenerapkan "politik balas budi". Semua pihak harus mendapat untung dari pembagian kursi
kabinet. Akibatnya, pemerintah Jokowi-JK mengalami kelambanan bekerja sebagaimana
dialami kabinet Presiden SBY, Megawati, dan Abdurrahman Wahid. Kabinet "obesitas"
cenderung bekerja lamban.
Ada dua penyebab kelambanan itu. Pertama, koordinasi bertingkat dalam kabinet. Sebelum
penentuan kebijakan, selain berkoordinasi kepada presiden atau wakil presiden, para menteri
harus lebih dulu "melaporkan" kepada menteri koordinator. Sedangkan menteri koordinator
mesti menyampaikan laporan itu kepada presiden. Kebijakan bertingkat seperti itusebenarnya tidak diperlukan. Sebagai kepala pemerintahan, presiden adalah koordinator
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
17/41
tunggal para menteri. Jika menteri koordinator dihapus, setiap kebijakan dapat diputus lebih
cepat. Sayangnya, dalam politik balas budi, jabatan menteri koordinator diperlukan untuk
menghormati ketua atau tokoh senior partai/militer.
Kedua, kelambanan terjadi karena menyusupnya banyak kepentingan. Pembagian kursi yangmenampung seluruh partai pendukung membuat kabinet dipenuhi banyak kepentingan
berbeda. Masing-masing menteri tidak hanya bekerja untuk presiden, tapi juga partainya.
Misalnya, dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, Partai Golkar dan PKS acap kali memilih
jalan yang berbeda dengan kebijakan pemerintah SBY. Pilihan politik partai itu tentu
mempengaruhi sikap kadernya di kabinet. Akibatnya, para menteri acap kali bimbang
menentukan kebijakan penting akibat perbedaan pandang antara pemerintah dan partai
pendukungnya. Ketika itu, para menteri akan berada di wilayah "simalakama": takut diganti
(reshuffle) di jajaran kabinet atau dipecat dari partai. Akhirnya, kinerja kabinet semakin
lamban.
Dengan postur berat tersebut, pemerintah Jokowi-JK tak hanya berpotensi lamban, tapi juga
akan lelah berlari. Apalagi setiap pemerintah baru akan mendapatkan rintangan yang tidak
ringan. Presiden baru akan menghadapi budaya birokrasi institusi yang rumit, "bayang-
bayang" presiden sebelumnya, permasalahan yang tiba-tiba muncul, relasi rumit pendukung
yang beragam, dan "membaca" kelompok mana saja yang dapat dipercaya (Patrick Sanaghan;
2008; h.7). Kondisi itu jamak dihadapi oleh kabinet obesitas.
Sesungguhnya, dalam sejarah tata negara, kabinet merupakan sebuah ruang kecil (cabinet).
Ruang kecil itu dijadikan tempat raja (kepala negara dan pemerintahan) mengadakan rapatdengan beberapa profesional kepercayaan terpilih (zaken kabinet).
Sejarah itu memperlihatkan bahwa kabinet tidak pernah dirancang berjumlah besar.
Kelompok kecil para menteri itu bertugas "membaca" seluruh potensi masalah yang terjadi
dan menemukan solusinya. Kebijakan kabinet itulah yang harus diejawantahkan ribuan
birokrat pekerja di bawah kendali menteri. Kabinet ramping tak hanya membuat pemerintah
dapat "berlari dengan napas panjang", tapi juga akan menghemat anggaran negara.
Kantor transisi pemerintah Jokowi-JK tentu juga memahami pentingnya kabinet yang
ramping, namun acap kali "kehendak" partai membuat postur kabinet mengalami kelebihan
bobot. Dengan postur obesitas tersebut, kabinet akan sulit mengiringi "lari" presiden baru
yang "lincah blusukan" itu. Sebelum para menteri ikut berlari, "keringat masalah kabinet"
sudah mulai menetes.
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
18/41
Koh Put On dan G30S
Rabu, 01 Oktober 2014
Agus Dermawan T.Pengamat Budaya dan Seni
Kho Wan Gie, kelahiran Indramayu, Jawa Barat, 1908, adalah kartunis Tionghoa pertama
yang paling dikenal. Kartunnya mulai dimuat pada 1930 di Sin Po, koran berbahasa Melayu
untuk warga Tionghoa. Pada 1931, Kho membikin komik berjudulPut On. Serial yang sangat
digemari ini hadir setiap Jumat dan Sabtu.
Nama Put On sesungguhnya sulit dicari dalam khazanah nama Tionghoa. Kho menciptanama ini dari kata-kata Inggris,put(menaruh) dan on(di atas). Jadi makna nama Put On
adalah: agar komik strip ini diposisikan sebagai bacaan utama bagi warga Tionghoa
intelektual.
Sambutan masyarakat terhadap sosok Put On memang luar biasa. Salah satu daya tarik komik
ini adalah upayanya melibatkan banyak tokoh. Seperti ibunya yang dipanggil Nee (ibu,
Mandarin). Lalu Si Tong dan Si Peng, adik laki-lakinya. Juga sahabatnya, A Liuk dan On
Tek. Put On punya pacar bernama Dortji.
Put On menyentuh hati karena jenaka, serta nasibnya yang selalu tertimpa kemalangan kecil-
kecil. Swee-siao, orang Tionghoa bilang. Namun, lebih dari itu, Put On dikenal sebagai figur
yang suka menolong, punya empati tinggi, serta bergaul dengan semua suku. Meski nasib diri
dan komunitasnya sering diganggu peraturan pemerintah yang tidak jelas, Put On sangat cinta
kepada bangsa dan negara Indonesia. Itu sebabnya Put On beraksi terus sampai hampir 30
tahun kemudian. Ketika Indonesia akan merebut Irian Barat pada 1961, Put On menyatakan
ingin menjadi sukarelawan Trikora, atau Tri Komando Rakyat!
Begitu legendarisnya Put On, sampai-sampai namanya dipakai masyarakat untuk sebutan
orang yang gemuk dan naif: "Put On, luh!" Kenaifan Put On ternyata inspiratif. Buktinya,sejumlah media massa lalu membuat kartun sejenis, Seperti Si Tololdi Star Magazine. Oh
Koendi majalah Star Weekly. Sampai akhirnya Oh Koen diganti tokoh lucu yang sama sekali
berkarakter lain, Si Apiauw. (Komik ini ciptaan Goei Kwat Siong, yang cucunya kini bekerja
sebagai staf ahli animasi di studio televisi CNN, Atlanta, Amerika Serikat).
Tapi Put On tetap paling tersohor. Put On kemudian juga hadir di majalah bulananPantja
Warna. Ketika Sin Potidak terbit, Koh Put On lincah pindah rumah. Ia pun masuk ke koran
Warta Bhakti.
Gerakan 30 September meletus pada 1965. Orang-orang Tionghoa, apalagi seniman
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
19/41
Tionghoa ternama, diburu algojo antikomunis. Kho, yang tidak berpolitik, mungkin tidak
menjadi sasaran. Tapi, tohdia kelabakan, sehingga menghilangkan diri dari percaturan.
"Takut dibawa ke Sukabumi," kata sahabatnya, Siauw Tik Kwie, sang pencipta komik Sie
Djien Koei. "Sukabumi" adalah sebutan untuk kuburan bagi orang yang dibikin mati oleh
pisau politik.
Zaman terus berjalan. Pada pertengahan 1970-an, tiba-tiba muncul komikNona Agogo, Djali
Tokcher, dan sebagainya. Aparat usil curiga, jangan-jangan ini karya Kho Wan Gie! Di
tengah kecurigaan itu muncul komik bertokoh dan berjudul Sopoiku(bahasa Jawa), yang
artinya "siapa dia?". Sebuah nama yang agaknya meledek polisi politik, yang mungkin dulu
pernah mencari-cari dirinya. Lalu sejarah menulis: beberapa tahun setelah itu Sopoiku hilang
tak tentu rimbanya.
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
20/41
Lokomotif Reformasi dan GerbongDemokrasi
Rabu, 01 Oktober 2014
Candra Malik, Peminat Tasawuf
Batang pokok demokrasi, yaitu hak rakyat untuk memilih atau tidak memilih--selain hak
untuk dipilih--secara langsung, telah ditebang oleh DPR. Sampai sekarang memang tak jelas
benar mengapa anggota parlemen disebut sebagai wakil rakyat. Mereka lebih cocok disebut
wakil konstituen, jika bukan wakil partai politik. Padahal tak jelas betul pula apakah setiap
pemilih yang mencoblos gambar wajah mereka dulu sewaktu pemilu adalah konstituen atau
anggota partai politik mereka.
Sesampai di gedung parlemen, tak banyak yang benar-benar menyuarakan aspirasi rakyat.
Yang ada pun lantas tak populer. Dari yang sedikit itu, masih juga tergeser ke pojokan karena
ketajamannya dikeroyok oleh batu dan besi. Kalaupun tak menjadi tumpul, mata pisau wakil-
wakil rakyat yang benar-benar wakil rakyat serta-merta bengkok atau patah setiap membentur
perlawanan dari wakil-wakil partai politik. Pertarungan menjadi tidak seimbang. Suara rakyat
dikalahkan.
Banyak orang baik di lingkaran politik, sesungguhnya. Mereka adalah orang-orang yang
berangkat dari rumah-rumah idealisme untuk cita-cita yang luhur membangun harkat dan
martabat bangsa dan negara. Namun kutukan dewa hukum bahwa kekuasaan cenderung
untuk korup telah membuat orang-orang baik itu patah arang.
Bangsa ini memang suka euforia. Jika senang, mereka mudah menjadi terlalu senang sampai
lupa diri. Reformasi yang pada zamannya dielu-elukan sebagai sukses besar perjuangan
rakyat, baru hari-hari ini diratapi sebagai prestasi kebablasan. Tak ada yang serius
mengingatkan sesama rakyat untuk tidak terlalu lama berpesta. Diam-diam, pelan tapi pasti,lokomotif reformasi membawa gerbong-gerbong demokrasi achteruit(baca: atret).
Jika kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, lalu siapa yang memilih
anggota DPRD? Mengapa tidak sekalian saja dipilih oleh partai politik? Tak perlu lagi bawa-
bawa nama rakyat. Ya, ini kalimat patah hati, melampaui patah arang. Sesungguhnya bangsa
ini dibawa ke arah kehancuran ketika oleh wakil rakyat diseret mundur. Semakin tidak jelas
ke mana bangsa ini digerakkan para pengendali negara dan pemerintah. Runyam jika kepala
negara dan pemerintah pun mengkhianati rakyat.
Gerakan pemunduran bangsa ini bahaya laten. Rakyat dipaksa oleh kenyataan di gedung
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
21/41
legislatif, yudikatif, dan eksekutif untuk tidak lagi percaya pada negara dan pemerintah.
Wakil rakyat yang jauh lebih paham tentang politik beserta seluruh adagiumnya yang seolah
adiluhung itu tentu cakap benar bersilat lidah di depan rakyat yang dianggapnya awam.
Mereka bukan saja menutup mata dan telinga sendiri, tapi juga mulai menutup mata dan
telinga rakyat--bahkan diam-diam telah berusaha membungkam mulut rakyat.
Sejarah menulis bangsa ini rentan untuk dipecah belah. Politik adu domba lebih menakutkan
daripada serangan fisik. Politik kebencian menyerang langsung ke ulu hati rakyat dan
pecahlah kebersatuan: sama bangsa tapi saling mencurigai, bahkan saling memusuhi. Jika
bangsa adalah suatu kumpulan manusia yang dipersatukan oleh persamaan, bangsa ini justru
dipersatukan oleh perbedaan. Ini kokoh sekaligus ringkih. Tapi, jika partai politik berusaha
menjajah rakyat, mereka membangunkan singa golongan putih.
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
22/41
Berinovasi Hemat-Cerdas*
Rabu, 01 Oktober 2014
Iwan Pranotodan Gautam Kumar Jha**
"Jika kehidupan memberi cuka asam, kita buat menjadi acar." Demikianlah inti terdalam
gagasan berinovasi hemat-cerdas. Kerugian dimanfaatkan menjadi keuntungan. Di bawah ini
satu ilustrasi dari ratusan bahkan ribuan kisah bagaimana masyarakat awam di desa India
mewujudkan keuntungan dari kerugian.
Walau terkesan mirip dongeng pengantar tidur yang terlalu indah untuk dipercaya, gagasan"memanfaatkan cuka untuk membuat acar" ini sungguh nyata. Inovasi hemat cerdas yang
berciri inklusif ini juga bukan hal baru dan bukan ada di India saja. Bahkan, sebenarnya
gelombang berinovasi dengan dasar prinsip ini sudah terwujud sejak era Benjamin Franklin
pada abad ke-19. Beliau yang dari keluarga sederhana ini salah satu pelopor inovasi hemat-
cerdas di dunia Barat. Beliau dan inovator lainnya sudah menggerakkan budaya berinovasi
sebelum inovasi diindustrikan, dielitekan, dan diasingkan dari masyarakat kebanyakan seperti
sekarang. Namun, pada abad ke-21 ini, budaya berinovasi hemat cerdas ini mulai bertunas
kembali.
Bapak Kanak Das tinggal di Desa Morigaon, di Negara Bagian Assam, India. Setiap hari,
beliau bersepeda di jalan penuh lubang. Akibatnya, saat bersepeda, badannya terguncang-
guncang. Keluhan sudah disuarakan, tapi semakin hari jalan tidak juga bertambah baik.
Pengalaman menyebalkan ini secara perlahan ditafsirkannya sebagai sebuah masalah yang
harus dipecahkan.
Bapak yang tak lulus SMA ini kemudian bertanya ke dirinya sendiri, bagaimana
memanfaatkan guncangan menjadi percepatan. Bagaimana gundukan dan lubang di jalan
yang tak rata dapat dibuat menjadi sumber energi bagi sepedanya?
Lalu beliau menerawang dan merancang solusinya. Angan-angannya adalah menciptakan
sistem yang mengubah energi guncangan menjadi energi percepatan perputaran roda. Singkat
kata, beliau berhasil mewujudkan sebuah rekacipta baru, sebuah sepeda yang, jika mengalami
guncangan, roda belakangnya berputar mempercepat.
Dalam bahasa Hindi dan kehidupan masyarakat India, katajugaad dipakai untuk menjelaskan
sikap berinovasi hemat-cerdas seperti yang dilakukan Pak Kanak Das itu. Baca, misalnya,
Jugaad Innovation(Radjou et al, 2012.)
Di Indonesia, istilah yang agak mirip, yakni inovasi akar rumput, dikenalkan oleh Prof E.
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
23/41
Gumbira Sa'id, pada 2009. Adapun pada 1980-an, sikap menyelesaikan masalah dengan
cerdas menggunakan peralatan dan bahan seadanya dipopulerkan melalui filmMacGyver.
Dari ilustrasi di atas dapat disimak prinsip berinovasi hemat-cerdas. Pertama, pelaku inovasi
ini masyarakat awam, berpendidikan rendah, dan dari pedesaan. Mereka bukan rekayasawan,
bukan ilmuwan, bukan peneliti negara atau lembaga litbang, bukan pula penduduk kota besar.Ini menegaskan bahwa berinovasi bukan kegiatan eksklusif milik kaum elite saja.
Kedua, tempat berinovasinya bukan di laboratorium canggih, tapi rumah sederhana biasa di
desa. Guru besar di Jindal School of Government and Public Policy, Shiv Visvanathan, dalam
The Illiteracy of Innovation(The Hindu, 10 September 2014), menegaskan bahwa sekarang
daerah miskin dan padat telah menjadi lahan berinovasi. Lebih lanjut, saat sekarang badan
inovasi nasional tak boleh dibayangkan seperti Xerox Park atau Silicon Valley semata, tapi
perlu dibangun dalam sebuah kerangka budaya.
Ketiga, solusi yang dibuat bukan sekadar tambal-sulam sementara, melainkan solusi
mendasar permanen, menyeluruh, dan berparadigma baru. Bukan saja berpikir di luar kotak,
tapi Pak Kanak Das juga "menciptakan sebuah kotak baru." Dan, proses berinovasi ini
ramping modal.
Sementara itu, mitos kuno bahwa semakin besar investasi riset akan semakin besar hasil
inovasinya, sekarang malah dipertanyakan. Banyak data tak mendukung mitos ini.
Ini berarti bahwa, walaupun dana dibutuhkan untuk berinovasi, ada pendorong lain. Sikap
percaya diri dan budaya berinovasi masyarakat justru lebih penting. Karena itu, selainlembaga penelitian resmi negara melakukan inovasi, perlu ada kebijakan penggeloraan
masyarakat dalam berinovasi dan dorongan untuk menyelesaikan masalahnya.
Kerja sama Indonesia-India di masa mendatang perlu mencakup pengembangan budaya
berinovasi ini. Indonesia perlu menyerap bukan hasil inovasinya, melainkan budaya
berinovasi hemat cerdas di masyarakat. Bukan inovasi sebagai kata benda, tapi inovasi
sebagai kata kerja.
Perlu diteliti dan dikembangkan penumbuhan budaya ini di Indonesia. Akademikus ilmu
budaya perlu memeloporinya. Kerja sama budaya dalam artian keserasian kehidupan
masyarakat bersama lingkungannya merupakan salah satu penyelesaian masalah kehidupan
abad ke-21 yang amat penting. Terlebih lagi, kerja sama budaya bukan terbatas pada
pengkajian budaya masa lalu, tapi juga pengembangan budaya masa depan kedua bangsa.
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
24/41
G 30 S dan Rekonsiliasi Kultural
Kamis, 02 Oktober 2014
Munawir Aziz, peneliti, alumnus Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM).
Peristiwa Gerakan 30 September (G-30 S) pada 1965 merupakan tragedi sejarah yang sampai
saat ini masih diperdebatkan. Kontestasi pengetahuan tentang tragedi ini meliputi siapa aktor,
korban, dan penonton yang terlibat dalam pusaran peristiwa tersebut. Publikasi hasil riset
dan karya akademis yang mengisahkan peristiwa itu belum sepenuhnya menjadi karya
komprehensif tentang bagaimana alur sejarah yang sesungguhnya.
Sesungguhnya bisa dimengerti kenapa peristiwa 1965 menjadi "fase gelap". Ini karena saatperistiwa terjadi, terdapat beragam kepentingan ekonomi, politik, dan pengetahuan dalam
skala regional, nasional, hingga internasional. Selain itu, kontestasi ideologi setelah Perang
Dunia II juga berimbas pada perumusan falsafah bangsa dalam fase awal kemerdekaan.
Meski demikian, gesekan-gesekan ideologi sampai sekarang masih berlangsung. Namun peta
kepentingan dan komunitas yang terlibat di dalamnya berubah. Sekarang ini, ideologi-
ideologi keislaman transnasional menggempur kekuatan Pancasila, sebagai benteng untuk
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena itu, perlu ada
kejernihan cara pandang dalam melihat kontestasi ideologi transnasional dan kepentingan dibaliknya setelah masa Orde Baru. Selain itu, perlu ada kesepahaman tentang posisi korban
dan pelaku pada fase sejarah dekade kedua masa kemerdekaan, yakni pada akhir
kepemimpinan Sukarno.
Penjernihan tentang posisi korban dan pelaku amat penting untuk merumuskan upaya
rekonsiliasi terhadap tragedi 1965. Gagasan rekonsiliasi ini memang tidak mudah untuk
dilakukan dalam skala nasional. Namun perlu langkah-langkah kultural dengan menjembatani
perbedaan latar belakang kelompok dengan pandangan masa kini terhadap keutuhan
Indonesia.
Apa yang diperjuangkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika menjadi presiden perlu
diapresiasi sebagai langkah politik yang berani. Gus Dur pernah mengajukan usul agar TAP
MPRS XXV/66, yang mengatur masalah larangan pencabutan ajaran komunis. Usul ini
ditentang habis-habisan oleh kelompok Islam formalis-puritan yang terlalu khawatir kader-
kader komunis bakal muncul kembali.
Sesungguhnya, pelajaran penting dari ide Gus Dur itu adalah bangsa ini merupakan bangsa
ksatria yang mau mengakui kesalahan dan belajar dari fase sejarah yang gelap. Kesediaan
mengakui kesalahan pada akhirnya akan memberi ruang bagi komunikasi kultural antar-
kelompok, sehingga tidak ada lagi pertarungan politik yang merugikan keutuhan bangsa.
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
25/41
Rekonsiliasi kultural inilah yang kemudian dikerjakan oleh aktivis Syarikat di Yogyakarta,
yang mengembangkan jaringan-jaringan komunitas yang peduli kepada keluarga korban
tragedi 1965 dan anggota PKI yang terdiskriminasi.
Rekonsiliasi kultural perlu dikembangkan secara lebih menyeluruh dengan melacakperistiwa-peristiwa gelap yang terjadi dalam rentang sejarah bangsa ini, misalnya peristiwa
pada 1998, yang menjadi sejarah gelap bagi orang-orang Cina di negeri ini. Rekonsiliasi
kultural merupakan bagian dari visi "revolusi mental" yang perlu dikembangkan jika bangsa
ini ingin menjadi besar di bawah pemimpin yang bertumpu pada politik kebangsaan dan
kerakyatan.
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
26/41
Penyembelihan Demokrasi
Kamis, 02 Oktober 2014
Umbu T.W. Pariangu, Dosen FISIPOL, Undana, Kupang.
Awalnya, pengesahan RUU Pilkada diharapkan menjadi batu ujian bagi keberlangsungan
embusan roh demokrasi, apakah demokrasi harus menemui ajalnya pada altar rezim elektoral
parlemen atau sebaliknya tetap berembus mengisi dan menggerakkan "raga" politik dan
daulat rakyat. Namun, dengan dikembalikannya pilkada ke DPRD lewat voting dalam Sidang
Paripurna DPR pada Kamis pekan lalu, ini menjadi semacam mimpi buruk bagi demokrasi
kita. Babak baru pengerdilan dan penyembelihan demokrasi seakan-akan telah dimulai olehsekelompok (fraksi) elite politik di Senayan.
Sulit untuk tidak menarik kesimpulan bahwa pengembalian pilkada ke DPRD merupakan
bagian dari luapan kekecewaan politik koalisi Merah Putih atas kekalahan mereka dalam
pemilihan presiden. Kekecewaan itu bersambung dengan napas panjang politik
subyektivisme dan rivalitas emosional politik yang belum terkubur.
Habermas, dalam teori rasionalitas publiknya, selalu menekankan pentingnya posisi dan suara
rakyat sebagai alat kontrol bagi partai, eksekutif, dan legislatif untuk menguji legitimasi
kekuasaan dari berbagai godaan manipulasi massa dalam proses pemilu. Ketika hak bersuara
rakyat direduksi, daya legitimasi kekuasaan akan kehilangan substansi karena dibajak oleh
oligarki elite yang eksklusif dan terputus dari ruang-ruang terbuka (publik), sehingga rakyat
tak lagi memperoleh ruang untuk mengakses kekuasaan atau pemerintahan (kratos).
Dalam ruang gelap inilah kekuasaan tidak lagi dijadikan alat untuk mengejar kepentingan
publik (res-publica), melainkan untuk pemenuhan kepentingan pribadi (res-privata) sebagai
tujuan utama. Padahal, penguatan kultur demokrasi bagi rakyat bukan hanya melalui edukasi
wacana, tapi juga praksis nyata yang terus berproses dalam peristiwa sosial-politik
(Habermas, 1993). Menurut Siti Aminah (Kuasa Negara pada Ranah Politik Lokal, 2014:202-204), protes yang selalu mengemuka dalam setiap pilkada di hampir sebagian besar
daerah di Indonesia muncul akibat kurangnya edukasi politik kepada rakyat ataupun
sentralisme partai politik dalam merekrut kader-kadernya, sehingga menimbulkan
monetokrasi (demokrasi uang) yang masif.
Dalam perspektif minoritas kreatif yang diusungnya, Arnold Toynbee mengatakan lebih
mudah mereproduksi politik kehancuran daripada menginisiasi politik kebaikan. Artinya,
lahirnya pemimpin-pemimpin daerah berprestasi mestinya menjadi tren demokrasi langsung
yang perlu terus dipelihara. Kalaupun jumlah mereka sejauh ini masih minoritas dibanding
jumlah kepala daerah yang terjerat korupsi, tidak berarti pilkada langsung serta-merta divonis
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
27/41
gagal melahirkan pemerintahan yang demokratis. Ini silogisme yang cacat dan prematur.
Pada akhirnya, kita memang mendukung pihak-pihak yang menggugat hasil votingRUU
Pilkada ke Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi. Namun, sejatinya, sejak jauh-jauh
hari publik sudah menuntut ketegasan presiden untuk menolak dilanjutkannya "bola panas"pembahasan RUU Pilkada ke DPR, mengingat inisiatif pembahasan hal tersebut berasal dari
pemerintah. Tapi SBY sepertinya sengaja membiarkan energi dan emosi publik terkuras
dengan membiarkan "bola panas" RUU tersebut diolah oleh blunder kaki-kaki politik
parlemen yang sarat akan siasat.
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
28/41
Capaian MDGs Kita
Kamis, 02 Oktober 2014
Ivan Hadar, Koordinator Nasional Target MDGs 2007-2010
Pada Oktober 2015, target waktu pencapaian delapan poin Tujuan Pembangunan Milenium
(MDGs) akan berakhir. Kini, segala sesuatu harus dilakukan dengan segera dan cepat dalam
kaitan dengan pemberantasan kemiskinan dan kelaparan, akses terhadap pendidikan dasar
dan perbaikan kesehatan, serta pelestarian lingkungan hidup dan kerja sama global.
Salah satu target terpenting MDGs adalah memangkas jumlah orang miskin menjadi tinggalseparuh jumlah yang tercatat pada 1990. Saat itu, persentase jumlah orang miskin mencapai
angka 43 persen. Kita patut bersyukur bahwa secara global, target tersebut telah tercapai pada
2010, saat jumlah orang miskin berkurang menjadi 21 persen, sekitar 50 persen dari jumlah
pada 1990.
Meski demikian, jumlah tersebut masih terbilang besar. Betapa tidak? Dengan menggunakan
angka US$ 1,25 per hari sebagai batas kemiskinan, tercatat hampir 1,2 miliar warga dunia
masih berkutat dalam kemiskinan, termasuk 400 juta anak yang masih hidup dalam kondisi
kemiskinan ekstrem (data Bank Dunia pada 2013). Apalagi, penyebab pengurangan
kemiskinan global terutama adalah perkembangan positif di Asia, khususnya Cina. Di negara
itu, selama dua dekade terakhir, ratusan juta orang mengalami peningkatan kesejahteraan
sosial-ekonomi.
Sementara itu, gambar positif pengurangan kemiskinan berubah menjadi negatif ketika
dihadapkan pada kenyataan bahwa fenomena kelaparan di dunia semakin luas. Saat ini,
sekitar 1 miliar penduduk dunia mengalami kekurangan makanan, meningkat sekitar 2 persen
dibandingkan pada 1990. Artinya, target penurunan tingkat kelaparan hingga 50 persen
diprediksi tidak akan tercapai.
Beberapa target MDGs lainnya juga belum menunjukkan perkembangan yang membesarkan
hati. Janji negara-negara kaya untuk memberikan hibah 0,7 persen dari PDB-nya untuk
pencapaian MDGs di negara-negara miskin hanya ditepati oleh beberapa negara Eropa.
Angka kematian ibu, penyebaran HIV/AIDS dan malaria, pelestarian hutan, serta akses air
bersih dan sanitasi masih jauh dari harapan. Bagaimana dengan pencapaian MDGs
Indonesia?
BPS mengukur garis kemiskinan dengan penghasilan Rp 300 ribu per orang per bulan untuk
penduduk perkotaan dan Rp 250 ribu per orang per bulan untuk penduduk desa. Pengukuran
itu sama dengan US$ 1,5-1,6 per orang per bulan dengan patokan kurs, sementara acuan
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
29/41
internasional menggunakan patokan tarif pasar. Berdasarkan indikator tersebut, angka
kemiskinan di Indonesia pada Maret 2014 mencapai 28,28 juta jiwa atau 11,25 persen dari
jumlah total penduduk. Dibanding pada September 2013, telah terjadi penurunan jumlah
orang miskin dari 11,46 persen menjadi 11,25 persen.
Meski demikian, pada saat yang sama, terjadi kenaikan indeks kedalaman kemiskinan dari
1,75 persen menjadi 1,89 persen. Begitu pula dengan indeks keparahan kemiskinan, yang
naik dari 0,43 persen menjadi 0,48 persen (BPS, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
kemiskinan di Indonesia semakin parah karena menjauhi garis kemiskinan, sementara
ketimpangan pengeluaran penduduk miskin semakin melebar.
Ada tiga hal yang diyakini bisa mengatasi akar masalah kemiskinan dan kelaparan (MDGs 1-
2) di Indonesia, yakni memprioritaskan perluasan kesempatan kerja, meningkatkan kualitas
infrastruktur pendukung, dan menguatkan sektor pertanian.
Ihwal pendidikan dasar dan kemelekhurufan, Indonesia tercatat telah mencapai target
minimal MDGs, yaitu akses bagi semua anak usia sekolah untuk mengecap pendidikan wajib
6 tahun. Bahkan, lebih dari itu, negeri ini menetapkan pendidikan dasar melebihi target
MDGs dengan menambahkan sekolah menengah pertama sebagai sasaran pendidikan dasar
universal.
Meski demikian, tantangan utama dalam percepatan pencapaian sasaran MDGs pendidikan
adalah meningkatkan pemerataan akses secara adil bagi semua anak, baik laki-laki maupun
perempuan, untuk memperoleh pendidikan dasar yang berkualitas di semua daerah.Kebijakan alokasi dana pemerintah bagi sektor pendidikan minimal sebesar 20 persen-30
persen untuk Aceh dan Papua-dari jumlah anggaran nasional diharapkan berlanjut untuk
mengakselerasi pencapaian pendidikan dasar universal.
Menjelang berakhirnya time framepencapaian target MDGs pada 2015, komunitas
internasional di bawah PBB mulai mendiskusikan perumusan agenda pembangunan global
setelah 2015. Ihwal upaya memformulasipost-2015 development agenda, Indonesia
mendukung tersusunnya roadmapbagi intergovernmental processguna menyusun agenda
pembangunan setelah 2015 dan berpandangan bahwa agenda dimaksudkan harus dibangun
berdasarkan lessons learned(pembelajaran) dan best practices(praktek-praktek terbaik)
dalam pelaksanaan MDGs.
Kita semua sepakat bahwa negeri ini mendukung pandangan yang menetapkanpoverty
eradicationsebagai visi agenda pasca-2015 melalui pertumbuhan dan pemerataan yang
berkelanjutan (sustainable growth with equity) serta memperhatikan aspek sosial dan
perlindungan lingkungan hidup. Indonesia diharapkan berkontribusi lebih banyak terhadap
agenda pembangunan global pasca-2015 dibanding pada saat ini.
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
30/41
Mabuk
Jum'at, 03 Oktober 2014
Toto Subandriyo, penulis
Minuman keras oplosan (dengan nama lokal besotan, cokrik, dan lainnya) telah menjadi
persoalan yang sangat memusingkan pemerintah daerah di Indonesia. Bukan hanya di daerah-
daerah pesisir yang secara sosiologis memiliki kultur yang lebih permisif terhadap
keberadaan minuman keras, di daerah-daerah pedalaman pun hal ini menjadi masalah.
Kehadiran minuman keras telah menjadi sarana dan bahasa pergaulan seperti halnya rokok.
Bagi telinga warga Kota Tegal, Brebes, dan sekitarnya, ucapan "dudu batir angger ora gelemnginung" (bukan sahabat jika tidak mau minum) menjadi ungkapan yang jamak terdengar.
Di seluruh pelosok negeri ini sudah tidak terhitung lagi korban jiwa melayang setelah pesta
minuman oplosan. Sebut saja tragedi besotanyang menggemparkan masyarakat Tegal pada
pertengahan 2009 (yang merenggut nyawa 23 warga), tewasnya 14 orang warga Surabaya
setelah menenggak cokrikpada akhir September 2013, serta melayangnya nyawa 9 warga
Malang setelah pesta minuman oplosan belum lama ini.
Menurut para ahli, pada era sekarang ini tradisi mabuk lebih merupakan bentuk darifenomena eskapisme. Menurut Kartini Kartono (2005), fenomena eskapisme ini merupakan
cara melarikan diri dari tekanan masalah yang dipicu oleh tekanan sosial-ekonomi. Fenomena
eskapisme merupakan bentuk frustrasi negatif yang sangat merugikan pribadi seseorang.
Penyelesaian rasa frustrasi mengandung usaha untuk mereduksi ketegangan-ketegangan yang
ada.
Makin beratnya beban hidup akibat melambungnya harga kebutuhan pokok sehari-hari akan
menggerus daya beli sehingga memicu fenomena eskapisme semu. Henri Josserand, dari
Global Information and Early Warning System Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO),
mengingatkan bahwa inflasi yang disebabkan oleh melambungnya harga bahan pangan
merupakan pukulan paling berat bagi warga miskin. Hal itu mengingat pengeluaran untuk
pangan dari warga kelas menengah ke bawah menempati persentase terbesar dari pengeluaran
total keluarga.
Peristiwa tragis korban minuman keras oplosan yang selalu terulang ini menunjukkan bahwa
fungsi pengawasan dan penegakan hukum terhadap barang haram ini belum berjalan optimal.
Ketentuan hukum belum diterapkan secara tegas untuk menimbulkan efek jera bagi para
pelanggar ketentuan.
Selama ini, pengawasan aparat penegak hukum lebih terfokus pada peredaran produk
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
31/41
minuman keras resmi sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol, serta Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 15/M-Dag/Per/3/2006 tentang Pengawasan dan Pengendalian Impor,
Pengedaran, Penjualan, dan Perizinan Minuman Beralkohol. Itu semua nyaris tidak
menyentuh peredaran minuman keras oplosan seperti cokrikdan besotan, yangdiperdagangkan secara terselubung dan kucing-kucingan.
Tak ada lagi alasan bagi seluruh pemangku kepentingan untuk bersikap masa bodoh terhadap
persoalan ini. Upaya pencegahan harus dibangun dari individu-individu dan keluarga. Harus
ada pula pihak-pihak yang tak bosan memberi pencerahan tentang bahaya minuman keras
bagi keselamatan jiwa. Pengawasan dan penegakan hukum yang tegas menjadi kunci
keberhasilan upaya tersebut. Waspadalah, jangan sampai ciumengantarkan Anda ke ruang
ICU!
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
32/41
Berjaya Lewat Laut
Jum'at, 03 Oktober 2014
Ade Febransyahdan Ajo Zein
Dalam periode 20072014, Bank Dunia menempatkan Indonesia sebagai negara yang masih
berkutat dalam problem logistik. Indeks kinerja logistik (logistics performance index) kita
masih belum memuaskan, di kisaran 2,763,13 dari skala 5,0.
Masih adanya persoalan kinerja logistik membuat para pelaku bisnis dan masyarakat
pengguna terbebani biaya tinggi. Ketidakefisienan rantai pasokan membuat pelaku bisnis,khususnya UMKM, sulit berkompetisi. Di tengah rendahnya kinerja logistik nasional, rantai
pasokan pun akan dikuasai oleh jaringan retail modern besar yang berorientasi margin tanpa
peduli asal-usul produk tersebut. Lemahnya rantai pasokan nasional semakin mengucilkan
banyak pelaku lokal di tengah gempuran liberalisasi perdagangan.
Ketika problem kinerja logistik dilihat secara parsial, upaya untuk mengatasinya pun menjadi
terlokalkan. Infrastruktur sering kali dijadikan sebagai kambing hitam akibat rendahnya
kinerja logistik. Meski ketersediaan infrastruktur yang memadai merupakan syarat untuk
kinerja logistik, tidak ada kausalitas di antara keduanya. Diperlukan strategi desain yang tepat
untuk aliran produk yang efisien dan efektif.
Dari MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) 2011
2025, ada enam koridor ekonomi utama di Indonesia, yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan Papua-Kepulauan Maluku. Setiap koridor ekonomi
memilliki tema pembangunannya sendiri-sendiri. Dengan keberagaman tema pembangunan
dari semua koridor ekonomi tersebut, tantangan ke depan adalah menciptakan integrasi ke
dalam dan koneksi ke global (locally integrated, globally connected).
Konektivitas kemudian menjadi kata kunci dalam pembangunan ekonomi. Bagi paraeksportir, kemudahan, kelancaran, dan keefektifan biaya dalam pengiriman produk menjadi
keharusan. Namun, pada kenyataanya, semuanya masih sulit terwujud karena konektivitas
antar-pemangku kepentingan pembangunan ekonomi masih rendah.
Menyadari Indonesia adalah negara kelautan, pendekatan yang mengoptimalkan pergerakan
aliran produk lewat laut perlu dikedepankan. Gagasan tol laut yang diperkenalkan Jokowi
semasa kampanye sangat menarik untuk dikonsepkan lebih lanjut. Untuk mengoptimalkan
segala pergerakan produk, diperlukan desain rantai pasokan yang tepat. Penjabaran tol laut
dapat dilakukan dengan mengadopsi konsep cross dockingyang sukses dipraktekkan dalam
industri retail.
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
33/41
Idenya sederhana saja. Ketika banyak pemasok yang digunakan untuk menyalurkan berbagai
produk ke banyak titik permintaan, adakanlah beberapa pengepul (pooler) sebagai tempat
persinggahan aliran produk dari pemasok sebelum dikirim ke titik-titik permintaan. Model
cross dockinguntuk rantai pasokan tidak ubahnya seperti sistem hub and spokedalam
industri penerbangan. Ketimbang mengangkut sedikit penumpang dari satu lokasi (spoke) kesatu lokasi lainnya yang jauh, akan lebih baik mengantarkan sedikit penumpang dari
beberapa lokasi ke satu hub ataupool. Selanjutnya, dari satu hubakan diantarkan banyak
penumpang ke beberapa tujuan akhir.
Secara intuitif, mengirimkan produk dalam jumlah besar dari satu tempat ke beberapa titik
permintaan akan lebih efisien ketimbang mengirimkan dalam jumlah kecil dari satu pemasok
ke satu titik permintaan. Lewat pengoptimalan, model cross dockingini terbukti mampu
mengefisienkan rantai pasokan guna menghindari pemborosan.
Dengan membangun fasilitas cross dockingdi beberapa pulau kecil, pengembangan daerah
pesisir, daerah terpencil, dan sektor UMKM dimungkinkan tanpa keharusan membangun
infrastruktur darat yang mahal. Cross dockingharus didesain untuk memiliki fasilitas
pertambahan nilai dari berbagai produk yang masuk. Buah-buahan dan sayur-sayuran dapat
diolah dan dikemas menarik agar siap dipasarkan. Demikian pula untuk produk perikanan, di
mana nelayan cukup berlabuh dan ikan tangkapan dapat langsung diproses sehingga lebih
segar saat dikirim. Hal yang sama dapat berlaku untuk berbagai produk peternakan. Karena
ada nilai tambah dari proses manufaktur yang dijalankan cross docking, akan terjadi
penghematan dalam sistem rantai pasokan nasional.
Membingkai kembali Indonesia sebagai negara kelautan membutuhkan pandangan imajinatif-
konstruktif dari setiap pemangku kepentingan. Bayangkan kembali, lewat rantai pasokan
nasional yang kokoh, hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, dan produk dari
sektor UMKM dapat dialirkan secara cepat dan murah melewati pulau-pulau kecil kita
sebelum dikirim ke berbagai tujuan akhir.
Peran pulau-pulau kecil sebagai tempat persinggahan aliran berbagai produk merupakan
penentu keberhasilan konektivitas aliran barang di darat dan laut. Memang lewat lautlah
nasib bangsa ini di masa depan akan ditentukan.Jalesveva jayamahe!
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
34/41
Pabrik Gula
Jum'at, 03 Oktober 2014
Khudori,anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010sekarang).
Dari sejarah terbaca tak ada kegiatan ekonomi di Indonesia yang lebih advancedaripada
industri pergulaan. Jejak-jejaknya mudah ditemukan: pabrik gula (PG) BUMN di Jawa yang
dikelola PT PN IXXI dan PT RNI dan pusat riset gula yang dulu termasyhur, P3GI di
Pasuruan. PG-PG ini dibangun pada era kolonialisme Belanda abad ke-18.
Di masa itu, dengan meningkatkan kualitas produk dan produktivitas perusahaan, konsolidasiperusahaan, mendirikan lembaga riset, serta peningkatan produktivitas kebun, industri
pergulaan di Jawa berubah secara radikal: dari tidak efisien menjadi yang terefisien di dunia
hingga mengalahkan industri gula Eropa. Secara ekonomi, industri ini memberi kemakmuran
luar biasa kepada Belanda. Pada periode 18601865, 56,8 persen pendapatan nasional
Belanda ditopang oleh industri gula. Pada 1930, Hindia Belanda menjadi eksportir gula
terbesar kedua di dunia. Industri gula telah menjadi "gabus tempat mengapung Holland".
Satu abad berlalu, kini Indonesia menjadi importir gula terbesar kedua setelah Rusia.
Penurunan kinerja ini tidak terjadi tiba-tiba, melainkan merupakan hasil pergulatan ekonomi-
politik puluhan tahun. Kemerosotan terjadi karena miskin inovasi, PG absolete, tua, dan
kapasitas giling kecil (di bawah 3.000 ton tebu per hari). Saat ini jumlah PG 59 buah, 68
persen di antaranya berusia di atas 90 tahun dan 80 persen terdapat di Jawa. Akibat mesin tua,
kinerja PG, terutama PG BUMN, tak maksimal.
Selain itu, berbeda dengan PG swasta, PG-PG BUMN yang sebagian besar berada di Jawa
tidak memiliki lahan sendiri. Pasokan tebu PG sepenuhnya bergantung pada lahan petani.
Padahal, kondisi petani cukup beragam dalam hal kemampuan finansial maupun penguasaan
teknis budi daya tebu. Manajemen di lahan yang terpisah dari manajemen giling (PG) ini
membuat PG tidak mudah mengintegrasikan kegiatan tanam, tebang, angkut, dan giling.Munculnya masalah di satu titik akan berdampak panjang bagi titik-titik berikutnya. Hadirnya
gula rafinasi yang tak terkendali membuat aneka masalah gula kian kusut.
Aneka masalah ini membuat PG kita tidak kompetitif. Ini salah satu alasan PT RNI hendak
menutup dua PG-nya. Di negara produsen dan eksportir gula utama, seperti Brasil, Australia,
dan Thailand, biaya pokok produksi gula hanya sekitar 5080 persen dibanding biaya gula
kita. Budi daya tebu dilakukan secara mekanis dan prosesnya semi-otomatis di pabrik.
Alokasi biaya tenaga kerja relatif kecil. Kapasitas giling PG besar rata-rata 1015 ribu ton
tebu per hari. PG amat efisien (Toharisman, 2014).
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
35/41
PG tidak hanya menghasilkan gula seperti di Indonesia, tapi juga produk turunan lain yang
bernilai ekonomi tinggi, seperti etanol, listrik, dan kertas. Tebu sebenarnya bisa disulap
menjadi puluhan produk turunan bernilai tinggi.
Untuk meningkatkan daya saing PG, sejumlah langkah simultan harus dilakukan. Pertama,PG-PG kecil bisa diamalgamasi atau dikonsoliasi menjadi sebuah PG besar, sehingga biaya
produksi gula dan produk hilir lainnya bisa lebih ekonomis. Kedua, produktivitas gula
ditingkatkan dengan perbaikan varietas tebu dan kultur teknis. Ketiga, kehilangan gula
selama perjalanan dari kebun ke PG ditekan seminimal mungkin. Keempat, kalau
memungkinkan, menyatukan kembali manajemen di lahan dan giling. Kelima, orientasi
produksi bukan hanya gula, tapi juga diperluas ke produk turunan lainnya.
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
36/41
Idul Qurban
Sabtu, 04 Oktober 2014
Achmad Fauzi, Aktivis Multikulturalisme
Perayaan Idul Qurban menjadi alegori sarat makna bagi manusia. Selain sebagai sarana untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan, nilai kurban melukiskan bentuk pengorbanan harta-benda
yang disukai untuk orang lain. Ada tradisi saling menyantuni yang diamanatkan agama untuk
terus dihidupkan dalam keseharian. Bahkan, jika saripati Idul Qurban diperas lagi, akan
ditemukan bagaimana Tuhan memberikan pelajaran kepada manusia untuk selalu menjaga
nilai kemanusiaan.
Ketika Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Tuhan untuk mengorbankan anak semata
wayangnya, Ismail, sebagai bentuk penghambaan yang tiada tara, sedikit pun beliau tidak
merasa keberatan. Padahal, Ibrahim telah sekian lama mendambakan keturunan yang saleh.
Perintah Tuhan itu dilaksanakan Ibrahim dengan penuh ketabahan dan kepasrahan. Totalitas
penghambaan inilah yang mengajarkan kita untuk berlomba mengasihi dan mengorbankan
hal duniawi yang disukai untuk orang lain.
Lebih jauh lagi, kajian esoteris tentang Idul Qurban memiliki relevansi dengan harmonisasi
hubungan horizontal. Alasan Tuhan menggantikan leher Nabi Ismail dengan domba yanggemuk adalah untuk menjaga satu hal: kemanusiaan. Domba adalah simbol sifat
kebinatangan pada diri manusia yang harus dibunuh. Adapun martabat kemanusiaan menjadi
ihwal pokok dalam agama yang wajib dijunjung tinggi. Ambivalen jika agama yang agung
justru mewarisi tradisi memenggal leher demi mengekspresikan nilai penghambaan dan
keikhlasan kepada Tuhan.
Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa penyembelihan hewan kurban menarasikan proses
pembunuhan sifat kebinatangan manusia. Berkurban bukan sekadar merelakan seekor
kambing kesayangan untuk disembelih dan dibagikan kepada yang membutuhkan. Tapi, yang
lebih penting, ini berarti mengorbankan hawa nafsu yang cenderung membelenggu manusia.
Seperti nafsu amarah, tamak, kikir, dan nafsu menerabas segala cara untuk mencapai tujuan.
Banyak orang keliru memaknai bentuk pengorbanan dalam mengabdi kepada Tuhan. Demi
agama dan Tuhan, tak jarang orang lupa sifat kemanusiaannya. Beribu-ribu tahun lamanya
agama ini dikaji dan diyakini oleh jagat manusia, namun praktek "memenggal leher" orang
yang dianggap berbeda aliran atas dalih iman dan keyakinan masih saja terjadi. Begitu pula
dalam relasi sosial berbasis suku, agama dan komunitas, peristiwa intoleran telah menjadi
budaya paling ekstrem, meskipun banyak orang mengutuknya.
Simak kondisi kebebasan beragama semester pertama (JanuariJuni 2014) yang masih
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
37/41
mengkhawatirkan. Berdasarkan catatan Setara Institute, tercatat 60 peristiwa dengan 81
bentuk tindakan pembiaran, penyegelan tempat ibadah, dan tindakan intoleransi yang
menyebar di 17 provinsi.
Pertemuan sumbu-sumbu emosi di tengah masyarakat memang mengetengahkanpenyelewengan makna pengorbanan. Nafsu kebinatangan, yang seharusnya mampu
ditundukkan oleh kesucian jiwa, justru menjadikan sifat-sifat manusia yang berakal dan
berbudi luhur sebagai tumbal. Padahal, siapa pun yang membunuh seorang manusia bukan
karena qisashatau membuat kerusakan di muka bumi, seolah-olah telah membunuh manusia
seluruhnya. Sebaliknya, dengan memelihara kehidupan seorang manusia, berarti telah
memelihara kehidupan semua manusia (Q.S. Almaidah: 32).
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
38/41
Falsafah Nawa Cita
Sabtu, 04 Oktober 2014
Atantya H. Mulyanto, praktisi manajemen, President Director & CEO PT Survindo Putra
Pratama grup Surveyor Indonesia (Persero)
Joko Widodo dan Jusuf Kalla akan dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI pada 20
Oktober 2014. Berdasarkan dokumen Komisi Pemilihan Umum (KPU), pasangan Joko
Widodo dan Jusuf Kalla mengusung visi Nawa Cita. Adapun sembilan agenda Nawa Cita
tersebut antara lain meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional,
mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomidomestik, dan melakukan revolusi karakter bangsa.
Nawa Cita akan dijadikan pedoman tata kelola (manajemen) pemerintah pimpinan Presiden
Joko Widodo. Nawa Cita sejatinya diturunkan dari cita-cita ideologi Tri Sakti yang
dicetuskan Sukarno, Presiden Republik Indonesia pertama. Dalam pidato "Tahun Vivere
Pericoloso" pada 17 Agustus 1964, Bung Karno mengungkapkan tiga paradigma besar yang
bisa membangkitkan Indonesia menjadi bangsa yang besar, baik secara politik maupun
ekonomi.
Pertama, berdaulat dalam politik. Melalui kontemplasi, disimpulkan bahwa penderitaan
rakyat Indonesia disebabkan oleh sistem kolonialisme dan imperialisme yang lahir dari rahim
kapitalisme dan feodalisme bangsa sendiri. Sebagai antitesis kolonialisme dan imperialisme,
Bung Karno menekankan pentingnya nasionalisme, yang hidup di taman sarinya
internasionalisme. Nasionalisme yang ingin mengangkat harkat dan derajat hidup manusia,
yang berperikemanusiaan, yang tidak menginginkan terjadinyaI'exploitation de nation par
nation (penindasan suatu bangsa terhadap bangsa lain), ataupunI'exploitation de l'homme par
I'homme(penindasan manusia terhadap manusia lain). Dengan demikian, watak dari
nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang berperikemanusiaan, yang menginginkan
terwujudnya kesejahteraan bersama, atau Sosio-Nasionalisme.
Kedua, berdikari dalam bidang ekonomi. Ini tidak dapat dipisahkan dengan konsep pertama
"berdaulat di bidang politik". Melalui demokrasi ekonomi, bangsa Indonesia anti terhadap
kolonialisme dan imperialisme. Kapitalisme menyebabkan akumulasi kapital, konsentrasi
kapital, sentralisai kapital, dan industrieel reserve-armee(barisan penganggur). Kapitalisme
mengarah kepada verelendung(memelaratkan kaum buruh).
Ketiga, berkepribadian dalam kebudayaan. Aspek budaya bagi Bung Karno sama pentingnya
dengan aspek lainnya. Bangsa Indonesia harus menghormati budaya warisan nenek moyangdan menghargai nilai-nilai luhur kebudayaan masyarakat. Karakter dan kepribadian budaya
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
39/41
Nusantara haruslah dijaga dan dilestarikan. Misalnya, budaya gotong royong yang
melambangkan kolektivitas sebuah komunitas yang guyub dan berbagai karya budaya yang
mewarnai dunia seni. Indonesia memiliki kekayaan budaya, seperti budaya Jawa yang kaya
akan nilai luhur.
Dalam konteks kekinian, pidato Trisakti Bung Karno pada 1963 tentang (1) berdaulat secara
politik, (2) mandiri secara ekonomi, dan (3) berkepribadian secara sosial-budaya adalah butir-
butir gagasan yang layak dihidupkan dan ditumbuhkan oleh generasi muda kita. Kita kini
hidup pada era globalisasi yang penuh dengan kompetisi yang sangat ketat. Namun, sebagai
bangsa kita tak boleh kehilangan jati diri. Kita hidup di tengah era globalisasi, tapi kita tak
boleh terbawa arus globalisasi itu sendiri.
Dalam hal berdaulat secara politik, Indonesia adalah negara merdeka dengan ideloginya
sendiri, yaitu Pancasila. Sebagai negara berdaulat, RI tak boleh didikte oleh negara mana pun
di dunia, termasuk negara-negara raksasa. Dengan menganut politik bebas aktif, kita justru
harus ikut mewarnai kehidupan bangsa-bangsa di dunia, dan ikut pula menciptakan
perdamaian dunia.
Mengenai kemandirian ekonomi, Bung Karno telah mewariskan kepada bangsa ini sebuah
konsep yang disebut berdiri di atas kaki sendiri (berdikari). Ini bukan berarti kita menolak
investasi asing ataupun barang-barang impor yang kita butuhkan. Kita butuh investasi asing
ataupun barang impor, tapi itu hanya menjadi pelengkap. Sebaliknya, kita justru harus bisa
mengolah dan mengembangkan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, dengan tenaga-
tenaga terdidik yang kita miliki. Kita harus bisa menciptakan pasar sendiri, bukan menjadipasar bagi produk asing.
Soal kemandirian sosial-budaya, ini penting kita kembangkan agar tidak terombang-ambing
oleh semua hal yang berbau asing. Kita punya kekayaan sosial dan budaya yang luar biasa
kaya dan beragam, dan ini harus kita kembangkan untuk mewujudkan kepribadian bangsa.
Kita harus menjadi bangsa besar dan kuat, dengan terus mengembangkan kekayaan sosial-
budaya yang kita miliki.
Ajaran Trisakti Bung Karno tersebut sangat relevan dengan situasi saat ini, dan layak
diangkat dan direvitalisasi oleh generasi muda kita sebagai pegangan bangsa ini di masa
mendatang.
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
40/41
Akses terhadap Buku
Sabtu, 04 Oktober 2014
Agus M. Irkham, Pegiat Literasi
Festival Taman Bacaan Masyarakat di Kendari dihelat pada 1721 September 2014. Perayaan
literasi tersebut digagas bersamaan dengan puncak peringatan Hari Aksara Internasional ke-
49. Festival yang dibuka oleh Dr Wartanto, Direktur Pembinaan Pendidikan Masyarakat
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, itu dihadiri oleh 300 pengelola taman bacaan
masyarakat (TBM) se-Indonesia.
Untuk menyemarakkan festival, diselenggarakan pula berbagai acara pendamping. Acara itu
dimulai dari bedah buku, pelatihan menulis, peluncuran buku, jumpa penulis, hingga diskusi
tentang masih terjadinya ketidakadilan akses masyarakat terhadap buku di wilayah Indonesia
timur, seperti NTB, Maluku, Papua, dan Papua Barat.
Ketidakadilan akses buku tersebut tecermin dalam data jumlah perpustakaan, penerbit, dan
TBM. Jumlah total perpustakaan di Indonesia ada 61.477. Dari jumlah tersebut, mayoritas
masih berada di Pulau Jawa, yakni 36.929 perpustakaan (60 persen), kemudian Kalimatan
3.031 perpustakaan (4,9 persen) dan Maluku-Papua hanya 246 perpustakaan (0,4 persen).
Dari jumlah total penerbit di Indonesia yang menjadi anggota Ikapi sebanyak 1.121 penerbit,
Jawa menempati jumlah tertinggi dengan 1.004 penerbit (89,56 persen), Sulawesi dan
Kalimantan masing-masing hanya 14 penerbit (1,24 persen). Bali, NTT, dan NTB 23 penerbit
(2 persen). Adapun Papua hanya memiliki 1 penerbit!
Sementara itu, jumlah TBM dari angka total 2.467 di wilayah Indonesia timur hanya ada 106
TBM, atau hanya 4 persen. Persentase terbesar (1.495 TBM) ada di Jawa.
Bagaimana benang ruwet persoalan ketidakadilan akses buku itu dapat diudar? Salah satusebab terjadinya ketidakadilan akses buku di Indonesia timur adalah biaya pengiriman yang
mahal. Karena itu, tak mengherankan jika harga buku di Kupang, misalnya, bisa 3040
persen di atas harga aslinya. Bahkan, di Papua bisa 34 kali lipat dari harga semula.
Menyadari kondisi sulit tersebut, para pegiat literasi di tingkat lokal tergerak untuk mencari
jalan keluar. Salah satunya adalah komunitas bloggerNTT yang bernama Flobamora
Community (FC). Berdasarkan tuturan Dicky, salah satu anggota FC, kepada saya saat
Festival TBM kemarin, mereka menggelindingkan program Buku bagi NTT. Program ini
menjadi salah satu wujud nyata Gerakan NTT Cinta Baca.
-
8/11/2019 caping+cari angin+kolom tempo 28.9.2014-4.10.2014
41/41
Ada dua kegiatan penting dalam program tersebut, pertama para anggota FC yang menetap di
NTT mengumpulkan donasi (uang) dan titik-titik lokasi yang akan diberi buku. Kedua, para
anggota FC dan sukarelawan yang kebetulan adalah mahasiswa yang sedang berkuliah di
Jawa berjejaring untuk mengumpulkan bantuan buku. Buku yang terkumpul nantinya dikirim
ke NTT dan biaya kirimnya dibayarkan lewat donasi yang berhasil dikumpulkan.
Melalui akun Twitter @bukubagiNTT, para sukarelawan yang sudah tersebar di Jakarta,
Bandung, Yogya, Semarang, Bali, dan Surabaya menjalin komunikasi, mengajak seluruh
masyarakat untuk ikut menyumbangkan buku.
Sampai September 2014, @bukubagiNTT sudah berhasil mengumpulkan ribuan eksemplar
buku dan telah didistribusikan ke taman bacaan, perpustakaan sekolah, rumah baca, serta
rumah belajar di Sumba, Rote Ndao, dan Flores Timur.
Langkah taktis yang dilakukan FC bisa menjadi sebuah jalan keluar alternatif untuk
mengatasi ketidakadilan akses buku. Dan seyogianya langkah ini didukung tidak saja oleh
masyarakat secara individual, tapi juga industri perbukuan.