Bronkiolitis

25
BRONKIOLITIS Bronkiolitis akut adalah penyakit saluran pernapasan bayi yang lazim, akibat dari obstruksi radang saluran pernapasan kecil yang biasanya diakibatkan oleh virus. Bronkiolitis ditandai oleh batuk, pilek, panas, muntah, sulit makan, irritabilitas, wheezing pada saat ekspirasi, krepitasi, takipnea, cyanosis, dada hiperinflasi, retraksi, dan air trapping/hiperaerasi paru pada foto dada Penyakit ini terjadi selama umur 2 tahun pertama, dengan insidens puncak pada sekitar umur 6 bulan, dan pada banyak tempat, penyakit ini sering menyebabkan rawat inap bayi di rumah sakit. Insidensnya tertinggi selama musim dingin dan awal musim semi. Penyakit ini terjadi secara sporadik dan epidemik. 1

Transcript of Bronkiolitis

BRONKIOLITIS

Bronkiolitis akut adalah penyakit saluran pernapasan bayi yang lazim, akibat dari obstruksi radang saluran pernapasan kecil yang biasanya diakibatkan oleh virus. Bronkiolitis ditandai oleh batuk, pilek, panas, muntah, sulit makan, irritabilitas, wheezing pada saat ekspirasi, krepitasi, takipnea, cyanosis, dada hiperinflasi, retraksi, dan air trapping/hiperaerasi paru pada foto dada Penyakit ini terjadi selama umur 2 tahun pertama, dengan insidens puncak pada sekitar umur 6 bulan, dan pada banyak tempat, penyakit ini sering menyebabkan rawat inap bayi di rumah sakit. Insidensnya tertinggi selama musim dingin dan awal musim semi. Penyakit ini terjadi secara sporadik dan epidemik.

ETIOLOGI & EPIDEMIOLOGIBronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV), 6090% dari kasus, dan sisanya disebabkan oleh virus Parainfluenzae tipe 1,2, dan 3, Influenzae B, Adenovirus tipe 1,2, dan 5, Mycoplasma pneumonia, Bordetella pertussis, Chlamydia pneumonia dan Ureaplasma urealyticum. RSV adalah penyebab utama bronkiolitis dan merupakan satu-satunya penyebab yang dapat menimbulkan epidemi. Hayden dkk (2004) mendapatkan bahwa infeksi RSV menyebabkan bronkiolitis sebanyak 45%-90% dan menyebabkan pneumonia sebanyak 40%. Penekanan masalah di sini tidak hanya berkaitan dengan dampak akut dari bronkiolitis namun juga kemungkinan perkembangan menjadi asthma.Bronkiolitis sering mengenai anak usia dibawah 2 tahun dengan insiden tertinggi pada bayi usia 6 bulan. Pada daerah yang penduduknya padat insiden bronkiolitis oleh karena RSV terbanyak pada usia 2 bulan. Makin muda umur bayi menderita bronkiolitis biasanya akan makin berat penyakitnya. Bayi yang menderita bronkiolitis berat mungkin oleh karena kadar antibodi maternal (maternal neutralizing antibody) yang rendah. Selain usia, bayi dan anak dengan penyakit jantung bawaan, bronchopulmonary dysplasia, prematuritas, kelainan neurologis dan immunocompromized mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya penyakit yang lebih berat. Insiden infeksi RSV sama pada laki-Iaki dan wanita, namun bronkiolitis berat lebih sering terjadi pada laki-Iaki. Faktor resiko terjadinya bronkiolitis adalah jenis kelamin laki-laki, status sosial ekonomi rendah, jumlah anggota keluarga yang besar, perokok pasif, berada pada tempat penitipan anak atau ke tempat-tempat umum yang ramai, rendahnya antibodi maternal terhadap RSV, dan bayi yang tidak mendapatkan air susu ibu RSV menyebar melalui droplet dan inokulasi/kontak langsung, seseorang biasanya aman apabila berjarak lebih 6 kaki dari seseorang yang menderita infeksi RSV. Droplet yang besar dapat bertahan di udara bebas selama 6 jam, dan seorang penderita dapat menularkan virus tersebut selama 10 hari.Di negara dengan 4 musim, bronkiolitis banyak terdapat pada musim dingin sampai awal musim semi, di negara tropis pada musim hujan.

Anak yang lebih tua dan orang dewasa mentoleransi edema bronkiolus lebih baik daripada bayi, dan tidak akan berkembang menjadi bronkiolitis kronis walaupun jalan napas saluran pernapasannya yang lebih kecil terinfeksi oleh virus.Pada satu laporan, pemeriksaan fungsi paru yang canggihdilakukan terhadap populasi besar bayi-bayi normal. Analisis tindak lanjut menunjukkan bahwa penyakit paru mengi secara bermakna lebih lazim dijumpai pada bayi yang hantaran pernapasan total awalnya ada pada sepertiga terendah dari mereka yang diuji. Penurunan fungsi paru dapat memainkan peran penting dalam menentukan bayi mana yang dengan infeksi virus yang akan berkembang menjadi bronkiolitis.

PATOGENESIS & PATOFISIOLOGIRSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80-350nm), termasuk paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan bagian penting dari RSV untuk menginfeksi sel, yaitu protein G (attachment protein )yang mengikat sel dan protein F (fusion protein) yang menghubungkan partikel virus dengan sel target dan sel tetangganya. Kedua protein ini merangsang antibodi neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua macam strain antigen RSV yaitu A dan B. RSV strain A menyebabkan gejala yang pernapasan yang lebih berat dan menimbulkan sekuele. Masa inkubasi RSV 2 - 5 hari. Virus bereplikasi di dalam nasofaring kemudian menyebar dari saluran nafas atas ke saluran nafas bawah melalui penyebaran langsung pada epitel saluran nafas dan melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran napas melalui kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran napas menyebabkan terjadi edema submukosa dan pelepasan debris dan fibrin kedalam lumen bronkiolus . Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier, mukus tertimbun di dalam bronkiolus . Kerusakan sel epitel saluran napas juga mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar terhadap alergen/iritan, sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, substance P) yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Pada akhirnya kerusakan epitel saluran napas juga meningkatkan ekpresi Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan produksi sitokin yang akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran nafas, akumulasi sel-sel debris dan mukus serta spasme otot polos saluran napas. Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu, menurunkan compliance, meningkatkan tahanan saluran napas, dead space serta meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan kerja sistem pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran napas, hiperaerasi, atelektasis, hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolik sampai gagal napas. Karena resistensi aliran udara saluran nafas berbanding terbalik dengan diameter saluran napas pangkat 4, maka penebalan dinding bronkiolus sedikit saja sudah memberikan akibat cukup besar pada aliran udara. Apalagi diameter saluran napas bayi dan anak kecil lebih sempit. Resistensi aliran udara saluran nafas meningkat pada fase inspirasi maupun pada fase ekspirasi. Selama fase ekspirasi terdapat mekanisme klep hingga udara akan terperangkap dan menimbulkan overinflasi dada. Volume dada pada akhir ekspirasi meningkat hampir 2 kali di atas normal. Atelektasis dapat terjadi bila obstruksi total. Anak besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis bila terserang infeksi virus. Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak yang lebih besar mungkin merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon proteksi imunologi terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap. Infeksi yang berulang pada saluran napas bawah akan meningkatkan resistensi terhadap penyakit. Akibat infeksi yang berulang-ulang, terjadi cumulatif immunity sehingga pada anak yang lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih tahan terhadap infeksi bronkiolitis dan pneumonia karena RSV. Penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi epitel bronkus dalam 3-4 hari, sedangkan regenerasi dari silia berlangsung lebih lama dapat sampai 15 hari . Ada 2 macam fenomena yang mendasari hubungan antara infeksi virus saluran napas dan asma: (1) Infeksi akut virus saluran napas pada bayi atau anak keci lseringkali disertai wheezing. (2) Penderita wheezing berulang yang disertai dengan penurunan tes faal paru, ternyata seringkali mengalami infeksi virus saluran napas pada saat bayi/usia muda. Infeksi RSV dapat menstimulasi respon imun humoral dan selular. Respon antibodi sistemik terjadi bersamaan dengan respon imun lokal. Bayi usia muda mempunyai respon imun yang lebih buruk. Glezen dkk (dikutip dari Bar-on, 1996) mendapatkan bahwa terjadi hubungan terbalik antara titer antibodi neutralizing dengan resiko reinfeksi. Tujuh puluh sampai delapan puluh persen anak dengan infeksi RSV memproduksi IgE dalam 6 hari perjalanan penyakit dan dapat bertahan sampai 34 hari. IgE-RSV ditemukan dalam sekret nasofaring 45% anak yang terinfeksi RSV dengan mengi, tapi tidak pada anak tanpa mengi. Bronkiolitis yang disebabkan RSV pada usia dini akan berkembang menjadi asma bila ditemukan IgE spesifik RSV .

MANIFESTASI KLINISSebagian besar bayi yang terkena bronkiolitis mempunyai riwayat terpajan dengan anak yang lebih tua atau orang dewasa yang menderita penyakit pernapasan ringan pada minggu sebelum mulainya penyakit. Bayi mula-mula menderita infeksi ringan pada saluran pernapasan atas disertai dengan ingus yang serous dan bersin. Gejala-gejala ini biasanya berakhir beberapa hari dan dapat disertai dengan penurunan nafsu makan dan demam 38,5-39C, walaupun demikian suhu dapat berkisar dari subnormal sampai meningkat dengan jelas. Perkembangan kegawatan pernapasan secara bertahap ditandai dengan batuk mengi paroksismal, dispnea, dan irritabilitas. Bayi akan mengalami kesulitan untuk menyusu-ibu ataupun botol, karena frekuensi pernapasan yang cepat tersebut tidak memberikan kesempatan untuk mengisap dan menelan. Pada kasus ringan, gejala-gejala menghilang dalam 1-3 hari. Pada penderita yang terkena lebih berat, gejala-gejala dapat berkembang dalam berberapa jam dan perjalanan penyakit berlarut-larut. Manisfestasi sistemik lainnya, seperti muntah dan diare biasanya tidak ada.Suatu pemeriksaan mengungkapkan bahwa bayi takipnea sering dalam keadaan sangat distress. Pernapasan berkisar dari 60-80/menit; haus-udara berat dan sianosis dapat terjadi. Cuping hidung melebar, dan penggunaan otot-otot asesoris pernapasan menimbulkan retraksi interkostal dan subkostalyang dangkal karena paru terus-menerus terdistensi oleh udara yang terperangkap. Depresi hati dan limpa akibat overinflasi paru dapat mengakibatkannya teraba di bawah tepi kosta. Krepitasi halus yang tersebar dapat didengar pada akhir inspirasi dan awal ekspirasi. Fase ekspirasi pernapasan diperpanjang, dan mengi biasanya dapat didengar. Pada sebagian besar kasus yang berat, suara pernapasan hampir tidak dapat didengar bila obstruksi bronkiolus hampir total. Pada beberapa pasien dengan bronkiolitis didapatkan konjungtivitis ringan, otitis media serta faringitis.Ada bentuk kronis bronkiolitis, biasanya disebabkan oleh karena adenovirus atau inhalasi zat toksis (hydrochloric, nitric acids ,sulfur dioxide).

Pemeriksaan rontgenografi menunjukkan adanya hiperinflasi paru dan kenaikan diameter anteroposterior pada pandangan lateral. Daerah konsolidasi tersebar ditemukan pada sekitar 30% penderita dan disebabkan oleh atelektasis akibat obstruksi atau karena radang alveolus. Pneumonia bakteri awal tidak dapat dikesampingkan atas dasar radiografi saja.

Biasanya sel darah putih dan hemogram sel ada dalam batas-batas normal. Limfopenia, yang biasanya terkait dengan banyak penyakit virus, biasanya tidak ditemukan. Biakan nasofaring menunjukkan flora bakteri yang normal. Virus dapat diperagakan pada sekresi nasofaring dengan deteksi antigen atau dengan biakan.

DIAGNOSISDiagnosis bronkiolitis berdasarkan gambaran klinis, umur penderita dan adanya epidemi RSV di masyarakat . Kriteria bronkiolitis terdiri dari: (1) wheezing pertama kali, (2) umur 24 bulan atau kurang, (3) pemeriksaan fisik sesuai dengan gambaran infeksi virus misalnya batuk, pilek, demam dan (4) menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi yang dapat menyebabkan wheezing. Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI), yang menilai distres napas berdasarkan 2 variabel respirasi yaitu wheezing dan retraksi. Bila skor lebih dari 15 dimasukkan kategori berat, bila skor kurang 3 dimasukkan dalam kategori ringan.Pulse oximetry merupakan alat yang tidak invasif dan berguna untuk menilai derajat keparahan penderita. Saturasi oksigen < 95% merupakan tanda terjadinya hipoksia dan merupakan indikasi untuk rawat inap.Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI)SKORSkor maksimal

01234

Wheezing :-Ekspirasi-Inspirasi-Lokasi(-)(-)(-)AkhirSebagian2 dr 4 lap paru

Semua3 dr 4 lap paruSemua422

Retraksi :-Supraklavikular-Interkostal-Subkostal(-)(-)(-)RinganRinganRinganSedangSedangSedangBeratBeratBerat333

TOTAL 17

Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Hitung lekosit biasanya normal. Pada pasien dengan peningkatan lekosit biasanya didominasi oleh PMN dan bentuk batang. Kim dkk (2003) mendapatkan bahwa ada subgrup penderita bronkiolitis dengan eosinofilia.17 Analisa gas darah dapat menunjukkan adanya hipoksia akibat V/Q mismatch dan asidosis metabolik jika terdapat dehidrasi.Gambaran radiologik mungkin masih normal bila bronkiolitis ringan. Umumnya terlihat paru-paru mengembang (hyperaerated). Bisa juga didapatkan bercak-bercak yang tersebar, mungkin atelektasis (patchy atelectasis ) atau pneumonia (patchy infiltrates). Pada x-foto lateral, didapatkan diameter AP yang bertambah dan diafragma tertekan ke bawah. Pada pemeriksaan x-foto dada, dikatakan hyperaerated apabila kita mendapatkan: siluet jantung yang menyempit, jantung terangkat, diafragma lebih rendah dan mendatar, diameter anteroposterior dada bertambah, ruang retrosternal lebih lusen, iga horisontal, pembuluh darah paru tampak tersebar. Bayi-bayi dengan bronkiolitis mengalami wheezing untuk pertama kalinya, berbeda dengan asma yang mengalami wheezing berulang. Asma bronkiale merupakan diagnosis banding yang tersering. Diagnosis banding bronkiolitis adalah: asma bronkiale, pneumonia, aspirasi benda asing, refluks gastroesophageal, sistik fibrosis, gagal jantung, miokarditis . Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan aspirasi atau bilasan nasofaring. Pada bahan ini dapat dilakukan kultur virus tetapi memerlukan waktu yang lama, dan hanya memberikan hasil positif pada 50% kasus. Ada cara lain yaitu dengan melakukan pemeriksaan antigen RSV dengan menggunakan cara imunofluoresen atau ELISA. Sensitifitas pemeriksaan ini adalah 80-90%.

DIAGNOSIS BANDINGKeadaan yang paling lazim terancu dengan bronkiolitis akut adalah asma. Satu atau lebih dari yang berikut ini mendukung diagnosis asma: riwayat keluarga asma, episode berulang pada bayi yang sama, mulainya mendadak tanpa infeksi yang mendahului, ekspirasi sangat memanjang, eosinofilia, dan respons perbaikan segera pada pemberian satu dosis albuterol aerosol. Serangan berulang menggambarkan titik pembeda yang sangat penting: kurang dari 5% serangan berulang bronkiolitis klinis mempunyai penyebab infeksi virus. Wujud lain yang dapat terancukan dengan bronkiolitis akut adalah gagal jantung kongestif, benda asing di dalam trakea, pertussis, keracunan organofosfat, kistik fibrosis, atau bronkopneumonia bakteri yang disertai dengan overinflasi bakteri.

PERJALANAN DAN PROGNOSISFase penyakit yang paling kritis terjadi selama 48-72 jam pertama sesudah batuk dan dispnea mulai. Selama masa ini, bayi tampak sangat sakit, serangan apnea terjadi pada bayi yang sangat muda, dan asidosis respiratoir mungkin ada. Sesudah periode kritis, perbaikan terjadi dengan sangat cepat dan seringkali secara dramatis. Penyembuhan selesai dalam beberapa hari. Angka fatalitas kasus di bawah 1%; kematian dapat merupakan akibat dari serangan apnea yang lama, asidosis respiratoir berat yang tidak terkompensasi, atau dehidrasi berat akibat akibat dari serangan apnea yang lama, asidosis respiratoir berat yang tidak terkompensasi, atau dehidrasi berat akibat kehilangan penguapan air dan takipnea serta ketidakmampuan minum cairan. Bayi yang memiliki keadaan-keadaan, misalnya penyakit jantung congenital, dysplasia bronkopulmonal, penyakit immunodefisiensi, atau kisik fibrosis mempunyai angka morbiditas yang lebih besar dan mempunyai sedikit kenaikan angka mortalitas. Angka mortalitasnya tidak sebesar pada bayi yang beresiko tinggi seperti di masa yang silam. Perkiraan mortalitas pada bayi beresiko tinggi yang menderita bronkiolitis VSR ini telah menurun dari 37% pada tahun 1982 menjadi 3,5% pada tahun 1988. Komplikasi bakteri seperti bronkopneumonia atau otitis media, tidak lzim terjadi. Kegagalan jantung selama bronkiolitis jarang, kecuali pada anak yang memiliki dasar penyakit jantung. Ada proporsi yang bermakna bahwa bayi-bayi yang menderita bronkiolitis mengalami hiper-reaktivitas saluran pernapasan selama akhir masa kanak-kanak, tetapi hubungan antara kedua hal ini, jika ada, belum dapat dimengerti. Kesan bahwa satu periode bronkiolitis dapat mengakibatkan kelainan saluran pernapasan kecil yang jangkanya sangat lama memerlukan pengamatan lebih lanjut. Kelainan ini sebagian dapat dijelaskan melalui penemuan bahwa bayi yang memiliki hantaran pernapasan total rendah lebih mungkin mengalami bronkiolitis dalam responsnya terhadap infeksi virus pernapasan. Bayi dengan bronkiolitis yang padanya berkembang saluran pernapasan. Bayi dengan bronkiolitis yang padanya berkembang saluran pernapasan reaktif kemungkinan besar mempunyai riwayat keluarga asma dan alergi, episode bronkiolitis akut lama, dan terpajan asap rokok.

TATA LAKSANAPrinsip dasar penanganan bronkiolitis adalah terapi suportif: oksigenasi, pemberian cairan untuk mencegah dehidrasi, dan nutrisi yang adekuat. Bronkiolitis ringan biasanya bisa rawat jalan dan perlu diberikan cairan peroral yang adekuat. Bayi dengan bronkiolitis sedang sampai berat harus dirawat inap. Penderita resiko tinggi harus dirawat inap, diantaranya: berusia kurang dari 3 bulan, prematur, kelainan jantung, kelainan neurologi, penyakit paru kronis, defisiensi imun, distres napas. Tujuan perawatan di rumah sakit adalah terapi suportif, mencegah dan mengatasi komplikasi, atau bila diperlukan pemberian antivirus. Di Bagian Anak RS Dr Soetomo Surabaya selain terapi suportif, secara rutin nebulasi agonis 2 juga diberikan pada setiap penderita bronkiolitis. Steroid sistemik diberikan pada kasuskasus berat. Antibiotika diberikan bilamana keadaan umum penderita kurang baik, atau ada dugaan infeksi sekunder dengan bakteri. Penanganan bronkiolitis di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Dr. Soetomo: 1. Cairan dan nutrisi: adekuat, tergantung kondisi penderita 2. Oksigenasi dengan oksigen nasal atau masker, monitor dengan pulse oxymetry dan bila perlu dilakukan analisa gas darah. Bila ada tanda gagal napas diberikan bantuan ventilasi mekanik. 3. Bronkodilator: nebulasi agonis beta2: salbutamol 0,1 mg/kg BB/dosis, diencerkan dengan cairan normal saline, diberikan 4 6 kali per-hari 4. Steroid, pada bronkiolitis berat: deksametason 0,1-0,2 mg/kg/dosis, IV 5. Antibiotika: penyakit berat, keadaan umum kurang baik, curiga infeksi sekunder 6. Digitalisasi: bila ada tanda payah jantung Terapi OksigenOksigen harus diberikan kepada semua penderita kecuali untuk kasus-kasus yang sangat ringan. Saturasi oksigen menggambarkan kejenuhan afinitas hemoglobin terhadap oksigen di dalam darah. Oksigen dapat diberikan melalui nasal prongs (2 liter/menit) , masker (minimum 4 liter/menit) atau head box. Terapi oksigen dihentikan bila pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse oximetry (SaO2) pada suhu ruangan stabil diatas 94%. Pemberian oksigen pada saat masuk sangat berpengaruh pada skor beratnya penyakit dan lama perawatan di rumah sakit. Penderita bronkiolitis kadang-kadang membutuhkan ventilasi mekanik, yaitu pada kasus gagal napas, serta apnea berulang. CPAP biasa digunakan untuk mempertahankan tekanan positif paru. CPAP mungkin memberi keuntungan dengan cara membuka saluran napas kecil , mencegah air trapping dan obstruksi. Bayi dengan hipoksemia berat yang tidak membaik dengan ventilasi konvensional membutuhkan ventilasi dengan high-frequency jet ventilation atau extracorporeal membrane oxygenation (ECMO). Terapi cairan Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu dapat dengan infus dan diet sonde/nasogastrik). Jumlah cairan disesuaikan dengan berat badan, kenaikan suhu dan status hidrasi. Cairan intravena diberikan bila pasien muntah dan tidak dapat minum, panas, distres napas untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Dapat dibenarkan pemberian retriksi cair an 2/3 dari kebutuhan rumatan, untuk mencegah edema paru dan edema otak akibat SIADH (Syndrome of Inappropriate Anti Diuretic Hormone). Selanjutnya perlu dilakukan koreksi terhadap kelainan asam basa dan elektrolit yang mungkin timbul. Antibiotika apabila terdapat perubahan pada kondisi umum penderita, peningkatan lekosit atau pergeseran hitung jenis, atau tersangka sepsis maka diperiksa kultur darah, urine, feses dan cairan serebrospinal, secepatnya diberikan antibiotika yang memiliki spektrum luas. Pemberian antibiotik secara rutin tidak menunjukkan pengaruh terhadap perjalanan bronkiolitis. Akan tetapi keterlambatan dalam mengetahui virus RSV atau virus lain sebagai penyebab bronkiolitis dan menyadari bahwa infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder dapat menjadi alasan untuk memberikan antibiotika. Antivirus (Ribavirin)Ribavirin adalah synthetic nucleoside analogue, menghambat aktivitas virus termasuk RSV. Ribavirin menghambat translasi messenger RNA (mRNA) virus kedalam protein virus dan menekan aktivitas polymerase RNA. Titer RSV meningkat dalam tiga hari setelah gejala timbul atau sepuluh hari setelah terkena virus. Karena mekanisme ribavirin menghambat replikasi virus selama fase replikasi aktif, maka pemberian ribavirin lebih bermanfaat pada fase awal infeksi. Efektivitas ribavirin sampai saat ini masih kontroversi. Dapat terjadi perbaikan SaO2, penurunan penggunaan ventilasi mekanik, lama perawatan dirumah sakit lebih singkat, dan perbaikan fungsi paru. Tetapi pada penelitian lain penggunaan ribavirin tidak memberikan efek perbaikan. Perbedaan hasil tersebut kemungkinan karena desain, metode yang dipakai berbeda termasuk jumlah sampel yang terlibat, dan keterlambatan dalam memulai terapi. Kekurangan dari terapi ribavirin harganya yang mahal, resiko terjadi toksisitas pada pekerja. Menurut American Academy of Pediatrics/AAP (1996), ribavirin hanya direkomendasikan pada bronkiolitis dengan kondisi spesifik. Bronkodilator Penggunaan bronkodilator untuk terapi bronkiolitis telah lama diperdebatkan selama hampir 40 tahun. Terapi farmakologis yang paling sering diberikan untuk pengobatan bronkiolitis adalah bronkodilator dan kortikosteroid. Obat-obat beta2 agonis sangat berguna pada penyakit dengan penyempitan saluran napas karena menyebabkan efek bronkodilatasi, mengurangi pelepasan mediator dari sel mast, menurunkan tonus kolinergik, mengurangi sembab mukosa dan meningkatkan pergerakan silia saluran napas sehingga efektivitas dari mukosilier akan lebih baik. Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa pasien-pasien yang diberikan beta2 agonis secara nebulisasi menunjukkan perbaikan skor klinis dan saturasi oksigen, tetapi beberapa studi yang lain tidak. Sebuah penelitian meta-analisis oleh Kellner dkk (1996) mengenai efikasi bronkodilator pada penderita bronkiolitis mendapatkan bahwa bronkodilator menyebabkan perbaikan klinis yang singkat (short-term improvement) pada bronkiolitis ringan dan sedang. Uji efikasi salbutamol secara inhalasi terhadap penderita bronkiolitis pernah dilakukan di bagian anak RS Dr.Soetomo Surabaya pada tahun 1999. Terjadi penurunan skor RDAI pada kelompok salbutamol terutama menit ke 60 dan rata-rata waktu lama inap menjadi lebih pendek. Studi terbaru Wainwright (2003), menunjukkan hasil bahwa epinefrin secara nebulisasi tidak menurunkan lama perawatan dirumah sakit. Epinefrin memberi efek alfa dan beta adrenergik. Beberapa studi menggunakan racemic epinephrine untuk menurunkan efek epinefrin terhadap jantung. Kristjansson (1993), menggunakan racemic epinephrine nebulisasi . Racemic epinefrin memberi perbaikan skor klinik dan SaO2. Dari sini disimpulkan bahwa racemic epinephrine aman dan cukup efektif untuk pengobatan bronkiolitis pada anak kurang dari 18 bulan. Walaupun pemakaian nebulisasi dengan beta2 agonis sampai saat ini masih kontroversi, tetapi masih bisa dianjurkan dengan alasan 1.Pada bronkiolitis selain terdapat proses inflamasi akibat infeksi virus juga ada bronkospasme dibagian perifer saluran napas (bronkioli) 2.Beta agonis dapat meningkatkan mukosilier 3.Sering tidak mudah membedakan antara bronkiolitis dengan serangan pertama asma 4.Efek samping nebulasi beta agonis yang minimal dibandingkan epinefrin. Kortikosteroid Banyak studi terdahulu yang telah dilakukan untuk mencari efektifitas kortikosteroid untuk pengobatan bronkiolitis. Penelitian pada 61 penderita bronkiolitis anak dengan menggunakan deksametason oral pada anak yang telah menggunakan nebulasi salbutamol tidak didapatkan perbedaan antara grup perlakuan dan plasebo pada saturasi oksigen, laju nafas, skor RDAI dan lamanya rawat inap. Hasil yang hampir sama juga didapatkan pada pemberian deksamateson intravena pada penderita bronkiolitis, dan ternyata tidak didapatkan perbedaan pada skor klinis, laju nafas, skor klinis, dan tes fungsi paru pada hari ke 3. Richter melakukan penelitian nebulasi budesonide pada penderita bronkiolitis saat rawat inap dan dilanjutkan sampai dengan 6 minggu dan ternyata mendapatkan hasil bahwa tidak mengurangi gejala bronkiolitis dan tidak mencegah wheezing pasca bronkiolitis. Tetapi Schuh dkk (2002) yang melakukan penelitian pada penderita bronkiolitis yang rawat jalan mendapatkan hasil bahwa dengan pemberian deksametason oral 1 mg/kg BB mengurangi angka rawat inap penderita bronkiolitis. Penelitian meta-analisis tentang penggunaan kortikosteroid sistemik pada bayi dengan bronkiolitis menunjukkan perbaikan dalam hal gejala klinis, lama perawatan dan lama timbulnya gejala. Sedangkan AAP tidak merekomendasikan penggunaan kortikosteroid pada bayi yang dirawat dirumah sakit dengan bronkiolitis. Pemberian kortikosteroid oral 1mg/kgbb pada bayi usia 8 mgg-23 bulan dengan bronkiolitis sedang-berat, terdapat perbaikan klinis pada 4 jam pertama dan penurunan jumlah pasien yang dirawat pada kelompok studi. Tetapi tidak ada perbedaan skor klinis setelah 7 hari terapi.Preparat steroid inhalasi dibuat untuk mendapatkan efek topikal yang maksimal dengan efek sistemik yang minimal. Beberapa preparat inhalasi yang tersedia diantaranya Beclomethason propionate, budesonide, flunisolide, fluticason propionate, triamcinolone acetonide. Perbedaannya terletak pada afinitasnya terhadap reseptor glukokortikoid, lipofilitas dan bioavaibilitas sistemik. Preparat steroid inhalasi yang ideal bila memiliki efek topikal yang tinggi, bioavaibilitas sistemik rendah serta proses inaktivasi di hepar yang cepat dan sempurna, misalnya flutikason, budesonid, mometason. Mekanisme kerja kortikosteroid inhalasi , yaitu:- Didalam sel, kortikosteroid menembus membran sel dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid dalam sitoplasma, yang selanjutnya menembus nucleus dan berikatan dengan glucocorticoid respon elements (GRE) untuk meningkatkan transkripsi gen reseptor-2 dalam paru manusia dan tikus, membutuhkan waktu 6-12 jam. - Menghambat pembentukan sitokin tertentu, seperti IL-1, TNFa, GM-CSF, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-8. - Meningkatkan pembentukan reseptor-2 dan mencegah reaksi takifilaksis akibat pemakaian obat agonis 2 jangka panjang- Mempercepat regenerasi sel epitel- Mengurangi jumlah sel-sel inflamasiPENCEGAHANPencegahan dapat dilakukan dengan menghindari faktor paparan asap rokok dan polusi udara, membatasi penularan terutama dirumah sakit misalnya dengan membiasakan cuci tangan dan penggunaan sarung tangan dan masker, isolasi penderita, menghindarkan bayi/anak kecil dari tempat keramaian umum, pemberian ASI, menghindarkan bayi/anak kecil dari kontak dengan penderita ISPA. Penggunaan imunoglobulin (RSV-IG) pada bayi berumur kurang dari 24 bulan dengan Bronchopulmonary dysplasia (BPD), bayi prematur (kurang dari 35 minggu) menunjukkan hasil penurunan signifikan: jumlah yang terinfeksi RSV, jumlah penderita masuk rumah sakit serta memperpendek waktu perawatan di rumah sakit dan ICU. RSV-IG dapat di toleransi dengan baik.Palivizumab adalah humanized murine monoclonal anti-F glycoprotein antibody, yang mencegah masuknya RSV kedalam sel host. Respigram adalah human polyclonal hyperimmune globulin , diberikan secara intra vena , juga bisa dipakai sebagai imunoprofilaksis pasif pada bronkiolitis. Tahun 1998, AAP merekomendasikan Palizumab sebagai profilaksis RSV pada anak kurang dari 2 tahun dengan penyakit paru menahun, anak yang mendapat terapi RSV dalam 6 bulan pertama dan bayi prematur (32-35 minggu). AAP tidak merekomendasikan pada pasien dengan penyakit jantung sianosis atau immunocompromised karena belum pernah dilakukan penelitian pada kelompok ini. Penelitian penggunaan vaksin RSV menggunakan virus hidup (live attenuated, subunit, live recombinant) dan synthetic peptide sampai saat ini tidak memberikan proteksi yang adekuat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Richard E., Md. Behrman, Robert M., Md. Kliegman, Hal B., Md. Jenson. Diseases of the Blood. Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. USA: W B Saunders. 2004.2. Hay, William W, Myron J. Levin, Judith M. Sondheimer, Robin R. Deterding. Current Diagnosis & Treatment In Pediatrics 18th edition. Mc. Graw Hill. 2007.3. Schwartz, M. William. Clinical Handbook Of Pediatrics. Lippincott Williams & Wilkins. 2003.4. Meadow, Roy, Simon Newell. Lecture Notes Pediatrica 7th edition. Erlangga. 20055. Crain, Ellen F, Jeffrey C. Gershel. Clinical Manual Of Emergency Pediatrics 4th edition. Mc Graw Hill. 2003.6. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak Edisi I. Ikatan Dokter Anak Indonesa. i2004.7. Panduan Pelayanan Medis. Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM. 2007.8. www.cpddokter.com. Tata Laksana Bronkiolitis.9. www.pediatrika.com. Bronkiolitis.10. www.medicastore.com Bronkiolitis.

14