BLOK 28 Ske A
-
Upload
timotius-wira-yudha -
Category
Documents
-
view
10 -
download
0
description
Transcript of BLOK 28 Ske A
Dokter Keluarga
Dokter keluarga adalah dokter praktek umum yang menyelenggarakan pelayanan
primer yang komprehensif, kontinyu, menutamakan pencegahan, koordinatif,
mempertimbangkan keluarga, komunitas dan lingkungannya dilandasi keterampilan dan
keilmuan yang mapan. Pelayanan Dokter Keluarga melibatkan Dokter Keluarga (DK)
sebagai penyaring di tingkat primer, dokter Spesialis (DSp) di tingkat pelayanan
sekunder, rumah sakit rujukan, dan pihak pendana yang kesemuanya bekerja sama
dibawah naungan peraturan dan perundangan. Pelayanan diberikan kepada semua
pasien tanpa memandang jenis kelamin, usia ataupun jenis penyakitnya.
Tugas Dokter Keluarga:
1) Menyelenggarakan pelayanan primer secara paripurna menyuruh, dan bermutu guna
penapisan untuk pelayanan spesialistik yang diperlukan, 2)Mendiagnosis secara cepat
dan memberikan terapi secara cepat dan tepat, 3)Memberikan pelayanan kedokteran
secara aktif kepada pasien pada saat sehat dan sakit, 4) Memberikan pelayanan
kedokteran kepada individu dan keluarganya, 5) Membina keluarga pasien untuk
berpartisipasi dalam upaya peningkatan taraf kesehatan, pencegahan penyakit,
pengobatan dan rehabilitasi, 6) Menangani penyakit akut dan kronik, 7) Melakukan
tindakan tahap awal kasus berat agar siap dikirim ke RS, 8) Tetap bertanggung-jawab
atas pasien yang dirujukan ke Dokter Spesialis atau dirawat di RS, 9)Memantau pasien
yang telah dirujuk atau di konsultasikan, 10) Bertindak sebagai mitra, penasihat dan
konsultan bagi pasiennya, 11) Mengkordinasikan pelayanan yang diperlukan untuk
kepentingan pasien, 12) Menyelenggarakan rekam Medis yang memenuhi
standar, 13) Melakukan penelitian untuk mengembang ilmu kedokteran secara umum
dan ilmu kedokteran keluarga secara khusus.
Wewenang Dokter Keluarga:
1) Menyelenggarakan Rekam Medis yang memenuhi standar, 2) Melaksanakan
pendidikan kesehatan bagi masyarakat, 3) Melaksanakan tindak pencegahan
penyakit, 4) Mengobati penyakit akut dan kronik di tingkat primer, 5)Mengatasi
keadaan gawat darurat pada tingkat awal, 6) Melakukan tindak prabedah, beda minor,
rawat pascabedah di unit pelayanan primer, 7)Melakukan perawatan
sementara, 8) Menerbitkan surat keterangan medis, 9)Memberikan masukan untuk
keperluan pasien rawat inap, 10) Memberikan perawatan dirumah untuk keadaan
khusus.
Kompetensi Dokter Keluarga:
Dokter keluarga harus mempunyai kompetensi khusus yang lebih dari pada seorang
lulusan fakultas kedokteran pada umumnya. Kompetensi khusus inilah yang perlu
dilatihkan melalui program perlatihan ini. Yang dicantumkan disini hanyalah
kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap Dokter Keluarga secara garis besar. Rincian
memgenai kompetensi ini, yang dijabarkan dalam bentuk tujuan pelatihan, akan
tercantum dibawah judul setiap modul pelatihan yang terpisah dalam berkas tersendiri
karena akan lebih sering disesuaikan dengan perkembangan ilmu dan teknologi
kedokteran.
a) Menguasai dan mampu menerapkan konsep operasional kedokteran
keluarga, b) Menguasai pengetahuan dan mampu menerapkan ketrampilan klinik dalam
pelayanan kedokteran keluarga, c) Menguasai ketrampilan berkomunikasi,
menyelenggarakan hubungan profesional dokter- pasien untuk :
(a) Secara efektif berkomunikasi dengan pasien dan semua anggota keluarga dengan
perhatian khusus terhadap peran dan risiko kesehatan keluarga, (b)Secara efektif
memanfaatkan kemampuan keluarga untuk berkerjasana menyelesaikan masalah
kesehatan, peningkatan kesehatan, pencegahan dan penyembuhan penyakit, serta
pengawasan dan pemantauan risiko kesehatan keluarga, (c) Dapat bekerjasama secara
profesional secara harmonis dalam satu tim pada penyelenggaraan pelayanan
kedokteran/kesehatan.
A. Memiliki keterampilan manajemen pelayanan kliniks.
a) Dapat memanfaatkan sumber pelayanan primer dengan memperhitungkan potensi
yang dimiliki pengguna jasa pelayanan untuk menyelesaikan.
masalahnya, b) Menyelenggarakan pelayan kedokteran keluarga yang bermutu sesuai
dengan standar yang ditetapkan.
B. Memberikan pelayanan kedokteran berdasarkan etika moral dan spritual.
C. Memiliki pengetahuan dan ketrampilan di bidang pengelolaan pelayanan kesehatan
termasuk sistem pembiayaan (Asuransi Kesehatan/JPKM).
Klinik dokter Keluarga ( KDK )
a) Merupakan klinik yang menyelenggarakan Sistem Pelayanan Dokter Keluarga
(SPDK), b) Sebaiknya mudah dicapai dengan kendaraan umum. (terletak di tempat
strategis), c) Mempunyai bangunan yang memadai, d)Dilengkapi dengan saraba
komunikasi, e) Mempunyai sejumlah tenaga dokter yang telah lulus pelatihan
DK, f) Mempunyai sejumlah tenaga pembantu klinik dan paramedis telah lulus
perlatihan khusus pembantu KDK, g) Dapat berbentuk praktek mandiri (solo) atau
berkelompok. h) Mempunyai izin yang berorientasi wilayah, i) Menyelenggarakan
pelayanan yang sifatnya paripurna, holistik, terpadu, dan
berkesinambungan, j) Melayani semua jenis penyakit dan golongan
umur, k) Mempunyai sarana medis yang memadai sesuai dengan peringkat klinik ybs.
Sistem Pelayanan Dokter Keluarga ( SPDK )
Untuk menunjang tugas dan wewenang nya diperlukan Sistem Pelayanan Dokter
Keluarga yang terdiri atas komponen :
a) Dokter keluarga yang menyelenggarakan pelayanan primer di klinik Dokter Keluarga
(KDK), b) Dokter Spesialis yang menyelenggarakan pelayanan sekunder di klinik
Dokter Spesialis (KDSp), c) Rumah sakit rujukan, d)Asuransi kesehatan/ Sistem
Pembiayaan, e) Seperangkat peraturan penunjang.
Dalam sistem ini kontak pertama pasien dengan dokter akan terjadi di KDK yang
selanjutnya akan menentukan dan mengkoordinasikan keperluan pelayanan sekunder
jika dipandang perlu sesuai dengan SOP standar yang disepakati. Pasca pelayanan
sekunder, pasien segera dirujuk balik ke KDK untuk pemantauan lebih lanjut. Tata
selenggarapelayanan seperti ini akan diperkuat oleh ketentuan yang diberlakukan dalam
skema JPKM/asuransi.
JPKM
Untuk efisiensi pembiayaan dan menjaga mutu pelayanan dokter keluarga, ditetapkan
JPKM. JPKM merupakan sistem pemeliharaan kesehatan menyeluruh yang terjamin
mutunya dengan pembiayaan praupaya . uraian tentang JPKM mencakup sbb :
a) Latar belakang (masalah pelayanan dan pembiayaan kesehatan) JPKM dirumuskan
sebagai upaya dirumuskan sebagai upaya Indonesia untuk mengatasi ancaman terhadap
akses pelayanan kesehatan akibat kenaikan biaya kesehatan yang juga mengacam
penurunan mutunya. Setelah bertahun-tahun terhadap pelbagai bentuk pemeliharaan
kesehatan mancanegara, disadari bahwa pembayaran tunai langsung dari kocek
konsumen atau pembayaran melalui pihak ketiga terhadap tagihan pemberi pelayanan
kesehatan telah mendorong kenaikan biaya kesehatan . karena itu, dalam sitem JPKM
dirumuskan keterlibatan masyarakat untuk membiayai kesehatan dengan iuran dimuka,
keterlibatan pihak ketiga sebagai badan penyelenggara yang bertanggungjawab
mengelola iuran secara efisien, keterlibatan sarana pelayanan kesehatan untuk
melaksanakan layanan bermutu namun ekonomis (cost- effrctive) dengan pembayaran
Pra-upaya, dan keterlibatan pemerintah sebagai badan pembina yang mengarahkan
hubungan saling menguntungkan antar para pelaku JPKM tersebut. Dengan demikian,
JPKM yang dalam UU No .23/1992 dinyatakan sebagai �suatu cara penyelenggaraan
pemeliharaan kesehatan yang paripurna, berdasarkan asas usaha bersama dan
kekeluargaan, yang berkesinambungan dan dengan mutu yang terjamin, serta dengan
pembiayaan yang dilaksanakan secara pra- upaya�, pada hakekatnya adalah sistem
pemeliharaan kesehatan yang memadu kan penataan subsistem pelayanan dengan
subsistem pembiayaan kesehatan. Tujuannya adalah meningkatkan taraf kesehatan
masyarakat dengan menjaga mutu pelayanan dan mengendalikan biaya pelayanan
sehingga tidak menghambat akses masyarakat.b) Beberapa bentuk pembiayaan
pemeliharaan kesehatan (tunai-langsung atau fee for service, asuransi ganti-rugi,
asuransi dengan taguhan provider, pelayanan kesehatan terkendali (managed care).
Dalam JPKM pelayanan kesehatan diselenggarakan oleh pelbagai sarana dan/atau
penyelenggara Pemeluharaan Kesehatan atau pemberi Pelayanaan Kesehatan (PPK)
yang dikontrak oleh Bapel serta dibayar secara pra-upaya. Dengan pembayaran secara
pra-upaya, ppk didorong untuk merencanakan pelayanan kesehatan berdasarkan profil
peserta dan efesiensi (cost- effectiveness), Hal ini akan mendorong penerapan standar
pelayanan dan upaya jaga mutu yang akan memelihara dan meningkatkan taraf
kesehatan peserta. c) JPKM sebagai bentuk pelayanan kesehatan terkendali di
Indonesia (pengertian, para pelaku, tujuh jurus, program pengembangan : visi-misi-
strategi-swot-tujuan-kegiatan-hasil-arah pengembangan selanjutnya). d) Peran dokter
keluarga dalam JPKM(pelayanan tingkat pertama yang bermutu sebagai ujung tombak
JPKM, health-resource-alocator terpecaya bagi keluarga).
Perbedaan Antara Dokter dan Dokter Keluarga
Perubahan yang dimaksudkan untuk memperbaiki sistem apapun yang sudah berjalan
hampir selalu – pada awalnya – mendatangkan “kerancuan”. Demikian pula perubahan
dalam pendidikan kedokteran dasar dan sistem pelayanan kesehatan. Penulis mencoba
mengemukaan wacana ini dalam upaya membantu menjernihkan kerancuan yang ada
yang menyangkut pengertian tentang definisi, kompetensi, dan kewenangan dokter
layanan primer.
A. Dokter
“Dokter” dalam wacana ini diberi tanda kutip karena merupakan istilah bukan sebutan
umum. Gelar “Dokter” diberikan kepada:
1. Lulusan institusi pendidikan kedokteran dasar yang menggunakan KIPDI I dan II dan
sebelumnya.
2. Lulusan institusi pendidikan kedokteran dasar yang menggunakan KIPDI
IIIsebelum menjalani program internsip. Mereka memperoleh gelar “Dokter” karena
sudah mampu melaksanakan tugas sebagai dokter layanan primer akan tetapi “belum
mahir” melaksanakannya sehingga masih memerlukan “proses pemahiran” dalam
program internsip. “Dokter” seperti itu telah mendapat “Sertifikat Kompetensi” dari
KDI. Sertifikat kompetensi ini bersifat sementara dan hanya digunakan untuk
mendaftarkan diri ke KKI agar memperoleh “Surat Tanda Registrasi” (STR) sementara
yang diperlukan untuk dapat “praktik atas nama sendiri di bawah seliaan (supervisi) –
dokter senior yang bersertifikat sebagai penyelia – di klinik tempatnya menjalani
internsip”. Dengan kata lain STR itu hanya berlaku sementara sepanjang masa internsip
dan hanya di klinik tertentu (terakreditasi) tempatnya menjalani program internsip. Jika
tempat internsip itu terdiri atas sejumlah klinik layanan primer, maka STR itu hanya
berlaku di klinik-klinik tersebut. “Dokter” seperti ini belum boleh menyelengarakan
praktik mandiri sebagai penyelenggara layanan kesehatan primer.
3. Lulusan institusi pendidikan kedokteran dasar yang menggunakan KIPDI
IIIsetelah menjalani program internsip. Mereka tetap menggunakan gelar “Dokter”
karena tingkat kemampuannya sama dengan mereka yang belum menjalani internsip.
Bedanya mereka diangap “telah mahir” menggunakan kemampuannya itu karena telah
menjalani internsip. Untuk itu mereka memperoleh “Sertifikat Kompetensi” dari KDI –
yang berlaku sampai dengan saat registrasi ulang berikutnya – sebagai penyelengara
layanan kesehatan primer karena diangggap “sudah mahir” melaksanakannya. Serifikat
Kompetensi itulah yang memungkinkan mereka mendaftar ke Konsil Kedokteran
Indonesia untuk legalitas praktik mandirinya sebagai dokter layanan primer. Proses
pemahiran melalui program internship ini sangat penting untuk menjamin mutu
layanannya.
Jadi, “Dokter” adalah predikat akademik-profesional yang diberikan kepada mereka
yang telah menyelesaikan pendidikan di institusi pendidikan kedokteran dasar. Bagi
mereka yang dididik menggunakan KIPDI I dan II dan sebelumnya, belum
diwajibkan untuk menjalani internsip, karena kepaniteraan yang cukup panjang selama
pendidikan dianggap cukup memadai. Oleh karena itu setelah lulus sebagai “dokter”,
langsung diberi wewenang untuk menjalankan praktik kedokteran mandiri yang
menangani masalah kesehatan tingkat primer tanpa memandang jenis penyakit,
golongan usia, organologi, ataupun jenis kelamin pasien yang dihadapinya.
Dari cakupan layannya yang luas itu lahirlah sebutan “Dokter Umum” yang
menjalankan “Praktik Umum” yang selama ini dikenal masyarakat. Perlu ditekankan di
sini, sebenarnya kedua sebutan itu diciptakan atau diberikan oleh masyarakat dan bukan
oleh institusi pendidikan kedokteran dasar. Kedua istilah tadi diperlukan untuk
membedakannya dengan dokter spesialis yang praktiknya dibatasi oleh jenis penyakit,
golongan usia, jenis kelamin, dan jenis organ. Hal itu diperjelas oleh kenyataan bahwa
dalam ijazah yang diperoleh dari intitusi pendidikan kedokteran dasar gelarnya adalah
“Dokter”. Semua institusai pendidikan kedokteran dasar sepakat bahwa “Dokter”
tersebut (yang lulus dari institusi pendidikan kedokteran dasar menggunakan KIPDI I
dan II dan sebelumnya) dianggap belum mampu menerapkan pendekatan kedokteran
keluarga karena pendidikannya yang “community oriented”, menerapkan paradigma
sakit (disease oriented), dan menganggap pasien sebagai “kumpulan organ”. Selain itu
harus diakui bahwa selama ini kompetensi “dokter” belum terformulasikan dengan jelas
dan sebagai konsekuensinya batasan “layanan primer” yang menjadi wewenangnya juga
belum jelas. Walaupun demikian, secara tersirat sudah tampak pada “Tanggung Jawab
Dokter di Indonesia” dan TIU dan TPK yang tercantum dalam KIPDI I dan II.
“Dokter” juga merupakan gelar akademik-professional yang diberikan kepada para
lulusan institusi pendidikan yang menggunakan KIPDI III sebelum dan setelah
menjalani internsip selama paling kurang 1 tahun. “Dokter” lulusan KIPDI III (baru
lulus sekitar tahun 2010) mempunyai wewenang yang sama dengan “dokter”
pendahulunya yaitu sebagai penyelenggara layanan kesehatan tingkat pertama (primer),
tanpa memandang jenis penyakit, golongan usia, 2
organologi, ataupun jenis kelamin pasien yang dihadapinya. Pembedanya adalah bahwa
“Dokter” cetakan KIPDI III ini sekaligus telah mampu menerapkan prinsip-prinsip
kedokteran keluarga dalam praktiknya. Kemampuan itu diperoleh selama pendidikan
dokter di institusi pendidikan kedokteran dasar. Hal itu dimungkinkan karena proses
pendidikannya yang “competency based” dan “family medicine based” yang
memandang individu seutuhnya sebagai bagian integral dari keluarga, komunitas, dan
lingkungannya.
Berbeda dengan KIPDI I dan II, dalam KIPDI III jelas tercantum kompetensi yang
harus dicapai selama pendidikan yang meliputi tujuh area kompetensi atau kompetensi
utama yaitu:
1. Keterampilan komunikasi efektif.
2. Keterampilan klinik dasar.
3. Keterampilan menerapkan dasar-dasar ilmu biomedik, ilmu klinik, ilmu perilaku dan
epidemiologi dalam praktik kedokteran keluarga.
4. Keterampilan pengelolaan masalah kesehatan pada indivivu, keluarga ataupun
masyarakat denga cara yang komprehensif, holistik, bersinambung, terkoordinasi dan
bekerja sama dalam konteks Pelayanan Kesehatan Primer.
5.Memanfaatkan, menilai secara kritis dan mengelola informasi.
6. Mawas diri dan mengembangkan diri/belajar sepanjang hayat.
7. Menjunjung tinggi etika, moral dan profesionalisme dalam praktik.
Ketujuh area kompetensi itu sebenarnya adalah “kemampuan dasar” seorang “dokter”
yang menurut WFME (World Federation for Medical Education) disebut “basic medical
doctor”. Untuk menjamin pencapaian ketujuh area kompetesi itu
diperlukan kepaniteraan (untuk mencapai kompetensi sebagai dokter layanan primer
yang menerapkan pendekatan kedokteran keluarga) daninternsip (untuk pemahiran
kompetensi yang telah diperolehnya). Agar lebih menjamin kemampuan dan kemahiran
tadi, maka kepaniteraan dan internsip sebaiknya atau seharusnya diselenggarakan di
tempat layanan primer yang menerapkan prinsip-prinsip kedokteran keluarga yang
terdiri atas:
1. Pelayanan yang holistik dan komprehensif
2. Pelayanan yang kontinu
3. Pelayanan yang mengutamakan pencegahan
4. Pelayanan yang koordinatif dan kolaboratif
5. Penanganan personal bagi setiap pasien sebagai bagian integral dari keluarganya
6. Pelayanan yang mempertimbangkan keluarga, lingkungan kerja, dan lingkungan
tempat tinggalnya
7. Pelayanan yang menjunjung tinggi etika, moral. dan hukum
8. Pelayanan yang sadar biaya dan sadar mutu
9. Pelayanan yang dapat diaudit dan dapat dipertangungjawabkan
Jika diperhatikan, penguasaan ketujuh arena kompetensi tadi akan menjamin
kemampuan dokter menerapkan prinsip-prinsip kedokteran keluarga karena pada
dasanya prinsip-prinsip kedokteran keluarga dapat diterapkan secara sempurna jika
ketujuh area kompetensi tadi tercapai.
Perlu ditekankan di sini bahwa penerapan prinsip-prinsip kedokteran keluarga bukan
hanya menjadi tanggung jawab “dokter” dan atau “Dokter Keluarga” saja melainkan
juga menjadi tanggung jawab setiap dokter di semua tingkat layanan, primer, sekunder,
dan tersier. Hanya saja “dokter” dan atau “Dokter Keluarga” bertanggung jawab
menerapkan prinsip-prinsip kedokteran keluarga di layanan
primer sedangkan dokter spesialis di layanan sekunder dan tersier dalam Sistem
Kesehatan Nasional. Jika hal itu disadari maka “Sistem Pelayanan Dokter Keluarga” –
akan dijelaskan kemudian – akan dapat terlaksana secara baik.
Jadi, secara akademik-profesional, yang dimaksud dengan “Dokter” (lulusan KIPDI-3)
adalah lulusan institusi pendidikan kedokteran dasar yang belummenjalani program
internsip – sehingga belum berwenang menyelenggarakan layanan kesehatan tingkat
primer dengan pendekatan kedokteran keluarga secara mandiri – dan yang
telah menyelesaikan program internsip dan memperoleh surat tanda registrasi dari
Konsil Kedokteran Indonesia – sehingga berwenang menyelenggarakan layanan
kesehatan tingkat primer dengan pendekatan kedokteran keluarga secara mandiri.
Secara operasional “dokter” dapat didefinisikan sebagai berikut:
“Dokter” adalah tenaga kesehatan (dokter) tempat kontak pertama pasien dengan
dokternya untuk menyelesaikan semua masalah kesehatan yang dihadapi – tanpa
memandang jenis penyakit, organologi, golongan usia, dan jenis kelamin – sedini dan
sedapat mungkin, secara menyeluruh, paripurna, bersinambung, dan dalam koordinasi
serta kolaborasi dengan profesional kesehatan lainnya, dengan menggunakan prinsip
pelayanan yang efektif dan efisien serta menjunjung tinggi tanggung jawab profesional,
hukum, etika dan moral”. Layanan yang diselenggarakannya sebatas kompetensi dasar
kedokteran yang diperolehnya selama pendidikan kedokteran dasar. 3
B. Dokter Keluarga
Dalam wacana berkut yang dimaksud dengan “dokter” adalah lulusan pendidikan
kedokteran dasar yang menggunakan KIPDI I, II, dan III dan sebelumnya.
Harus disadari layanan kesehatan tingkat primer bukan layanan kesehatan yang
sederhana seperti anggapan banyak orang selama ini. Kenyataannya masalah kesehatan
yang dihadapi di layanan primer sangat kompleks dan luas serta membutuhkan
pemahaman dasar ilmu kedokteran dan ilmu sosial yang luas dan dalam, seperti yang
disyaratkan dalam tujuh area kompetensi yang harus dicapai. Penyakit atau masalah
yang dihadapi masih belum spesifik sehingga penguasaan ketujuh area kompetensi
sangat diperlukan. Sebagai konsekuensi kekhususan masalah yang dihadapi itu, maka
telah diterbitkan buku ICPC (International Classification of Primary Care) yang lebih
berorientasi pada “keluhan yang membawa pasien ke dokter”. Buku ini berbeda dengan
ICD (International Classification of Diseases) yang lebih cocok untuk keperluan
layanan sekunder yang lebih mendasarkan klasifikasinya pada penyakit atau diagnosis.
Karena kekhususan dan kekompleksan masalah yang dihadapi oleh dokter layanan
primer, diperlukan perluasan dan pendalaman ilmu dan keterampilan “dokter” (layanan
primer). Harus disadari bahwa pendidikan kedokteran dasar tidak memungkinkan
– karena keterbatasan waktu studi – pencetakan “dokter” yang menguasai ilmu
dan keterampilan dokter layanan primer yang lebih luas dan dalam. Oleh karena
itu “dokter” harus mengikuti pendidikan tambahan atau lanjutan khusus agar
mempunyai kemampuan sebagai dokter layanan primer yang memadai untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat akan layanan primer yang bermutu tinggi. Untuk membedakan
dokter layanan primer yang disebut “dokter” yang baru selesai menjalani internsip
dengan “dokter” yang telah menjalani pendidikan khusus, diperlukan predikat yang
berbeda yaitu “Dokter Keluarga”.
Dengan demikian “Dokter Keluarga” - disingkat DK – secara akademik-profesional
didefinisikan sebagai “dokter” yang memperoleh pendidikan lanjutan khusus untuk
menerapkan prinsip-prinsip Kedokteran Keluarga dengan cakupan ilmu dan
keterampilan yang lebih luas dan dalam sebagai DokterLayanan Kesehatan Tingkat
Primer.
Untuk keperluan operasional DK dapat didefinisikan sebagai “tenaga kesehatan (dokter)
tempat kontak pertama pasien dokternya untuk menyelesaikan semua masalah
kesehatan yang dihadapi – tanpa memandang jenis penyakit, organologi, golongan usia,
dan jenis kelamin – sedini dan sedapat mungkin, secara menyeluruh, paripurna,
bersinambung, dan dalam koordinasi serta kolaborasi dengan profesional kesehatan
lainnya, dengan menggunakan prinsip pelayanan yang efektif dan efisien serta
menjunjung tinggi tanggung jawab profesional, hukum, etika dan moral”. Layanan yang
diselenggarakannya sebatas kompetensi dasar kedokteran ditambah dengan kompetensi
dokter layanan primer yang diperoleh dalam pendidikan lanjutan khusus.
Definisi di atas persis sama dengan definisi “Dokter” namun demikian “batas
kewenangan DK lebih luas” karena DK telah menjalani pendidikan lanjutan khusus.
Pascapendidikan lanjutan khusus itu, “Dokter” ybs memperoleh sertifikat kompetensi
sebagai “Dokter Keluarga” yang diterbitkan oleh Kolegium Ilmu Kedokteran Keluarga
untuk mendaftar ke Konsil Kedokteran Indonesia untuk legalitas praktiknya.
• Pendidikan lanjutan khusus maksudnya: Pendidikan lanjutan yang dirancang khusus
untuk mencapai tingkat kompetensi tertentu yang lebih tinggi sebagai dokter layanan
primer, yang dapat diperoleh melalui Pendidikan Kedokteran Bersinambung/
Pengembangan Profesional Bersinambung (PKB/PPB atau CME/CPD) yang terstruktur.
Setelah mencapai “angka kredit tertentu” mereka berhak menyandang gelar “Dokter
Keluarga” dan berwenang sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan tingkat primer
dengan wewenang yang lebih luas.
• Yang dimaksud dengan Pelayanan Kesehatan Tingkat Primer adalah penyelengaraan
Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) tempat kontak pertama pasien dengan dokter untuk
menyelesaikan masalah kesehatan secara dini, optimal, paripurna, dan menyeluruh.
Pelayanan kesehatan tingkat primer diselenggarakan oleh 3 kelompok dokter layanan
primer yang diuraikan berikut ini.
Dalam kurun waktu 5 tahun mendatang, kita akan mempunyai atau akan menghadapi 3
kelompok dokter yang semuanya adalah dokter layanan primer yaitu:
1. “Dokter” lulusan KIPDI 1 dan 2 dan sebelumnya
2. “Dokter” lulusan KIPDI 3 pasca-internsip
3. “Dokter Keluarga”
Untuk memudahkan maka semua dokter kelompok-1 akan diberi gelar Diploma Dokter
Keluarga yang disingkat DDK setelah menjalani program konversi yang
diselenggarakan oleh “Kolegium Ilmu Kedokteran Keluarga Indonesia” bersama
“Kolegium Dokter Indonesia”. Kelompok-2 disebut “Dokter” dan kelompok-3 disebut
“Dokter Keluarga”.
Daftar Pustaka:
1. Ali, Bahjuri Pungkas, dkk. (2005). Kajian kebijakan perencanaan tenaga kesehatan. Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat: Bappenas
2. Alisjahbana, Armida S. (2010). Laporan pencapaian tujuan pembangunan milenium Indonesia 2010. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas
3. Anonim. Tingkat pertumbuhan penduduk. Diambil tanggal 17 November 2015, darihttp://www.google.com/publicdata?ds=wb - wdi&met=sp_pop_grow&idim=country:IDN&dl=id&hl=id&q=pertumbuhan+penduduk+indonesia
4. Anonim. The relationship between nurse to population ratio and population density: a pilot study in a rural/frontier state. 2007. Diambil pada tanggal 17 November 2015 dari http://goliath.ecnext.com/coms2/gi_0199-7472046/The-relationship-between-nurse-to.html
5. Anonim. (2003). Indikator Indonesia sehat 2010 dan pedoman penetapan indikator provinsi sehat dan kabupaten/ kota sehat. Jakarta: Departemen Kesehatan
TUTORIAL BLOK 27 SKENARIO A
“DOKTER VS DOKTER LAYANAN PRIMER”
LEARNING ISSUE
Disusun oleh:
Timotius Wira Yudha
04121401065
Pendidikan Dokter Kelas Palembang 2012
Tutor: dr. Erial Bahar, M.Sc.
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
2015