Ske B blok 27 LI
-
Upload
lidya-nazir -
Category
Documents
-
view
225 -
download
0
description
Transcript of Ske B blok 27 LI
LEARNING ISSUE
TRAUMA CAPITIS
Cedera kepala dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan langsung pada
kepala. Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus dengan atau tanpa fraktur tulang
tengkorak.
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dibagi menjadi cedera kepala primer dan
cedera kepala sekunder . Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau
bersamaan dengan kejadian cedera, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera ini
umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat
fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani proses penyembuhan yang optimal.
Cedera kepala primer mencakup fraktur tulang, cedera fokal dan cedera otak difusa. Farktur
tulang kepala dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Cedera fokal, kelainan ini
mencakup kontusi kortikal, hematom subdural, epidural, dan intraserebral yang secara
makroskopis tampak dengan mata telanjang sebagai suatu kerusakan yang berbatas tegas.
Cedera otak difusa berkaitan dengan disfungsi otak yang luas, serta biasanya tidak tampak
secara makroskopis.
Cedera kepala skunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih
merupakan fenomena metabolik. Pada penderita cedera kepala berat, pencegahan cedera kepala
skunder dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan/keluaran penderita .
Penyebab cedera kepala skunder antara lain; penyebab sistemik (hipotensi, hipoksemia,
hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan hiponatremia) dan penyebab intracranial (tekanan intrakranial
meningkat, hematoma, edema, pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi) (1,
Aspek patologis dari cedera kepala antara lain; hematoma epidural (perdarahan yang
terjadi antara tulang tengkorak dan dura mater), perdarahan subdural (perdarahan yang terjadi
antara dura mater dan arakhnoidea), higroma subdural (penimbunan cairan antara dura mater dan
arakhnoidea), perdarahan subarakhnoidal cederatik (perdarahan yang terjadi di dalam ruangan
antara arakhnoidea dan permukaan otak), hematoma serebri (massa darah yang mendesak
jaringan di sekitarnya akibat robekan sebuah arteri), edema otak (tertimbunnya cairan secara
berlebihan didalam jaringan otak), kongesti otak (pembengkakan otak yang tampak terutama
berupa sulsi dan ventrikel yang menyempit), cedera otak fokal (kontusio, laserasio, hemoragia
dan hematoma serebri setempat), lesi nervi kranialis dan lesi sekunder pada cedera otak
Cedera kepala dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan langsung pada
kepala. Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus dengan atau tanpa fraktur tulang
tengkorak.Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa contre coup dan coup. Contre
coup dan coup pada cedera kepala dapat terjadi kapan saja pada orang-orang yang mengalami
percepatan pergerakan kepala. Cedera kepala pada coup disebabkan hantaman pada otak bagian
dalam pada sisi yang terkena sedangkan contre coup terjadi pada sisi yang berlawanan dengan
daerah benturan .
III.KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi
III.1.Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas;
1. Cedera kepala tumpul; biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh atau pukulan
benda tumpul . Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi yang cepat menyebabkan
otak bergerak di dalam rongga cranial dan melakukan kontak pada protuberans tulang
tengkorak
2. Cedera tembus; disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan
III.2.Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi;
1. Fraktur kranium; Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak . Fraktur
dapat berupa garis/ linear, mutlipel dan menyebar dari satu titik (stelata) dan membentuk
fragmen-fragmen tulang (kominutif). Fraktur tengkorak dapat berupa fraktur tertutup
yang secara normal tidak memerlukan perlakuan spesifik dan fraktur tertutup yang
memerlukan perlakuan untuk memperbaiki tulang tengkorak .
2. Lesi intrakranial; dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan subdural,
kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara bersamaan .
Perdarahan epidural
Hematoma epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak dengan duramater
(hematom ekstradural). Cirinya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering
terletak di area temporal atau temporo-parietal yang disebabkan oleh robeknya arteri meningea
media akibat retaknya tulang tengkorak. Gumpalan darah yang terjadi dapat berasal dari
pembuluh arteri, namun pada sepertiga kasus dapat terjadi akibat perdarahan vena, karena tidak
jarang perdarahan epidural terjadi akibat robeknya sinus venosus terutama pada region parieto
oksipital dan pada fosa posterior. Walaupun secara relatif perdarahan epidural jarang terjadi
(0,5% dari seluruh penderita cedera kepala dan 9% dari penderita yang dalam keadaan koma),
namun harus dipertimbangkan karena memerlukan tindakan diagnostik maupun operatif yang
cepat. Perdarahan epidural bila ditolong segera pada tahap dini, prognosisnya sangat baik karena
kerusakan langsung akibat penekanan gumpalan darah pada jaringan otak tidak terlalu lama.
Keberhasilan pada penderita perdarahan epidural berkaitan langsung dengan status neurologis
penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan perdarahan epidural dapat menunjukkan
interval lucid yang klasik atau keadaan dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-
tiba meninggal (talk and die). Keputusan perlunya suatu tindakan operatif memang tidak mudah
dan memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf.
Gambar: Perdarahan epidural
Gambar: Epidural Hematoma
Perdarahan subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural (kira-kira 30% dari cedera
kepala berat). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan yang terletak
antara korteks serebri dan sinus venosus tempat vena tadi bermuara, namun dapat juga terjadi
akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaan otak. Perdarahan subdural biasanya menutupi
seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak di bawahnya lebih berat dan prognosisnya
pun jauh lebih buruk daripada perdarahan epidural. Angka kematian yang tinggi pada perdarahan
ini hanya dapat diturunkan dengan tindakan pembedahan yang cepat dan penatalaksanaan
medikamentosa yang agresif.
Gambar :Perdarahan subdural
Gambar: Subdural Hematom
Kontusio dan perdarahan intraserebral
Kontusio serebri murni biasanya jarang terjadi. Diagnosis kontusio serebri meningkat sejalan
dengan meningkatnya penggunaan CT scan dalam pemeriksaan cedera kepala. Kontusio serebri
hampir selalu berkaitan dengan perdarahan subdural akut. Kontusio serebri sangat sering terjadi
di frontal dan lobus temporal, walaupun dapat terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk
batang otak dan serebelum. Batas perbedaan antara kontusio dan perdarahan intraserebral
traumatika memang tidak jelas. Kontusio serebri dapat saja dalam waktu beberapa jam atau hari
mengalami evolusi membentuk perdarahan intraserebral.
Cedera difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera akselerasi dan
deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala. Komosio serebri
ringan adalah cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis
yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan
kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari kontusio ini adalah keadaan
bingung dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama
sekali. Cedera komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan bingung disertai amnesia
retrograd dan amnesia antegrad (keadaan amnesia pada peristiwa-peristiwa sebelum dan sesudah
cedera).
Komosio serebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau hilangnya
kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini
merupakan ukuran beratnya cedera. Hilangnya kesadaran biasanya berlangsung beberapa waktu
lamanya dan reversibel. Dalam definisi klasik penderita ini akan kembali sadar dalam waktu
kurang dari 6 jam. Banyak penerita dengan komosio serebri klasik pulih kembali tanpa cacat
neurologis selain amnesia terhadap peristiwa yang terjadi, namun pada beberapa penderita dapat
timbul defisit neurologis untuk beberapa waktu. Defisit neurologis itu misalnya kesulitan
mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lainnya. Gejala-gejala ini dikenal
sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana penderita
mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa
atau serangan iskemia. Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma
selama beberapa waktu. Penderita sering menunjukkan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan
bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita-penderita
sering menunjukkan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia
dan dulu diduga akibat cedera otak karena hipoksia secara klinis tidak mudah, dan memang
kedua keadaan tersebut sering terjadi bersamaan.
III.3.Berdasarkan beratnya cedera kepala dikelompokkan menjadi
Cedera Kepala Ringan (CKR) → termasuk didalamnya Laseratio dan Commotio
Cerebri
o Skor GCS 13-15
o Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari 10 menit
o Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
o Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan kelainan pada
pemeriksaan neurologist.
Cedera Kepala Sedang (CKS)
o Skor GCS 9-12
o Ada pingsan lebih dari 10 menit
o Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad
o Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota gerak.
Cedera Kepala Berat (CKB)
o Skor GCS <8
o Gejalnya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih berat
o Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif
o Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang terlepas.
IV.GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis ditentukan berdasarkan derajat cedera dan lokasinya. Derajat cedera dapat
dinilai menurut tingkat kesadarannya melalui system GCS, yakni metode EMV (Eyes, Verbal,
Movement)
1. Kemampuan membuka kelopak mata (E)
Secara spontan 4
Atas perintah 3
Rangsangan nyeri 2
Tidak bereaksi 1
2. Kemampuan komunikasi (V)
Orientasi baik 5
Jawaban kacau 4
Kata-kata tidak berarti 3
Mengerang 2
Tidak bersuara 1
3. Kemampuan motorik (M)
Kemampuan menurut perintah 6
Reaksi setempat 5
Menghindar 4
Fleksi abnormal/Decorticate 3
Ekstensi/Decerebrate 2
Tidak bereaksi 1
Pemeriksaan korban cedera kepala yang kesadarannya baik mencakup pemeriksaan neurologis
yang lengkap. Sedangkan pada penderita yang kesadarannya menurun pemeriksaan yang
diutamakan adalah yang dapat memberikan pedoman dalam penanganan di unit gawat darurat,
yaitu:
1. tingkat kesadaran
2. Kekuatan fungsi motorik
3. Ukuran pupil dan responsnya terhadap cahaya
4. Gerakan bola mata (refleks okulo-sefalik dan vestibuler)
Sehubungan dengan tingginya insidensi kelainan/cedera sistemik penyerta (lebih dari 50%) pada
kasus-kasus cedera kepala berat, maka di dalam evaluasi klinis perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
1. Cedera daerah kepela dan leher: laserasi, perdarahan, otorre, rinorre,
racoon’s eyes (ekhimosis periorbital), atau Battle’s sign(ekhimosis retroaurikuler).
2. Cedera daerah toraks: fraktur iga, pneumotoraks, hematotoraks,
temponade jantung (bunyi jantung melemah, distensi vena jugularis dan hipotensi
aspirasi atau ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome)
3. Cedera daerah abdomen: khususnya laserasihepar, lien atau ginjal.
Adanya perdarahan ditandai dengan gejala akut abdomen yang tegang dan distensif.
4. Cedera derah pelvis: cedera pada penderita nonkomatus. Biasanya,
klinisnya tidak jelas dan membutuhkan konfirmasi radiologis. Cedera ini sering
berkaitan dengan kejadian kehilangan darah yang okult.
5. Cedera daerah spinal: trauma kepala dan spinal khususnya derah
servikal dapat terjadi secara bersamaan.
6. Cedera ekstremitas: dapat melibatkan jaringan tulang atau jaringan
lunak(otot, saraf, pembuluh darah).
VI.PEMERIKSAAN PENUNJANG
Yang dapat dilakukan pada pasien dengan trauma kapitis adalah:
1. CT-Scan
Untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek.
2. Lumbal Pungsi
Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan sebelum 6 jam dari
saat terjadinya trauma
3. EEG
Dapat digunakan untuk mencari lesi
4. Roentgen foto kepala
Untuk melihat ada tidaknya fraktur pada tulang tengkorak
VII.PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk memantau
sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan umum
seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit . Untuk
penatalaksanaan penderita cedera kepala, Adveanced Cedera Life Support (2004) telah
menepatkan standar yang disesuaikan dengan tingkat keparahan cedera yaitu ringan, sedang dan
berat .
Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan survei sekunder.
Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain : A (airway), B
(breathing), C (circulation), D (disability), dan E (exposure/environmental control) yang
kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera
kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan menjaga
homeostasis otak .
Kelancaran jalan napas (airway) merupakan hal pertama yang harus diperhatikan. Jika
penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat.
Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh
benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk
membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu
tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita
dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui
hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau
suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa
orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke
mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah
yang memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan napas
belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan
intubasi endotrakheal .
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan
denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya
perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut
nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif
normovolemik. Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya
dipertahankan di atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut
nadi dapat digunakan secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut arteri
radialis dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri femoralis
yang dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi hanya
teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila ada perdarahan
eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka .
Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi. Cairan resusitasi
yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua jalur intra vena.
Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya
terhadap cedera otak dibandingkan keadaan udem otak akibat pemberian cairan yang berlebihan.
Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down (kepala lebih rendah
dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan
intracranial .
Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat menentukan keluaran
penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila keadaan penderita sudah stabil yang berupa
pemeriksaan keseluruhan fisik penderita. Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala
meliputi respon buka mata, respon motorik, respon verbal, refleks cahaya pupil, gerakan bola
mata (doll’s eye phonomenome, refleks okulosefalik), test kalori dengan suhu dingin (refleks
okulo vestibuler) dan refleks kornea .
Tidak semua pederita cedera kepala harus dirawat di rumah sakit. Indikasi perawatan di
rumah sakit antara lain; fasilitas CT scan tidak ada, hasil CT scan abnormal, semua cedera
tembus, riwayat hilangnya kesadaran, kesadaran menurun, sakit kepala sedang-berat, intoksikasi
alkohol/obat-obatan, kebocoran liquor (rhinorea-otorea), cedera penyerta yang bermakna,
GCS<15>.
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan
suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat berupa
pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan
antikonvulsan .
Indikasi pembedahan pada penderita cedera kepala bila hematom intrakranial >30 ml,
midline shift >5 mm, fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan kedalaman
>1 cm .
ALGORITME 1PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA RINGAN
Definisi : penderita sadar dan berorientasi-(GCS 14-15) Riwayat : Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan Mekanisme cedera Waktu cedera Tidak sadar segera setelah cedera Tingkat kewaspadaan Amnesia : Retrograde, Antegrade Sakit kepala : ringan, sedang, berat Kejang
Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistcmik.Pemeriksaan neurologis terbatas.Pemeriksaan ronsen vertebra servikal dan lainnya sesuai indikasi.Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urine.Pemeriksaan CT scan kepala sangat ideal pads setiap penderita cedera kepala ringan, kecuali bila memang sama sekali asimtomatik dan pemeriks-'-n neurologis normal.
Observasi atau dirawat di RS CT scan tidak ada CT scan abnormal Semua cedera tembus Riwayat hilang kesadaran Kesadaran menurun
Sakit kepala sedang-berat Intoksikasi alkohol/obat-obatan Fraktur tengkorak Rhinorea-otorea Cedera penyerta yang bermakna Tak ada keluarga di rumah Tidak mungkin kembali ke RS segera Amnesia
Dipulangkan dari RS Tidak memenuhi kriteria rawat. Diskusikan kemungkinan kembali bila memburuk dan berikan lembar observasi. Jadwalkan untuk kontrol ulang di poliklinik biasanya setelah 1 minggu
ALGORITME 2PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA SEDANG
Definisi : Penderita biasanya tampak kebingungan atau mengantuk, namun masih mampu menuruti perintah-perintah sederhana (GCS : 9-13).
Pemeriksaan awal : Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditarnbah pemeriksaan darah sederhana Pemeriksaan CT scan kepala Dirawat untuk observasi
Setelah dirawat Pemeriksaan neurologis periodik, Pemmksaan CT scan ulang bila kondisi penderita memburuk atau bila penderita
akan dipulangkan.
Bila kondisi membaik (90%) Pulang Kontrol di poliklinik.
Bila kondisi memburuk (10%) Bila penderita tidak mampu
melakukan perintah-perintah lagi, segera lakukan pemeriksaan CT scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera kepala berat.
PENATALAKSANAAN AWAL CEDERA KEPALA BERAT
Definisi : penderita tidak mampu melakukan perintah-perintah sederhana karena kesadaran yang menurun (GCS 3-8)Pemeriksaan dan penatalaksaan
ABCDE Primary Sunny dan resusitasi Secondary Survey dan riwayat AMPLE Re-evaluasi neurologic
Respon buka mats • Reaksi Cahaya pupil Respon motorik • Refleks okulo sefalik (Doll's eyes) Respon verbal • Refleks Okulovestibuler (Test Kalori)
Obat-obatan Manitol • Antikonvulsan Hiperventilasi sedangTes Diagnostik (sesuai urutan)
CT Scan (semua penderita) Ventrikulografi udara Angiogram
ALGORITME 3DPL - ULTRASONOGRAFI - CT SCAN PADA CEDERA KEPALA
Penderita Cedera. Multipel dalam Koma
Resusitasi Cairan
TDS normal (>100 mm Hg)
Tidak terdapat tanda-tanda :- dilatasi pupil- refleks cahaya- hemiparesis
CT Scan kepala dan Abdomen
Terdapat tanda-tanda :
- dilatasi pupil- refleks cahaya -
- hemiparesis
CT Scan kepala
DPL/CT Abdomen
TDS abnormal (<100 mmHg)
DPL segera atau seliotomi(neurologis proritas yang kedua), bila dalam pembedahan timbul dilatasi pupil, pertimbangkan melakukan ventrikulografi udara atau eksploratosi
lubang bor, atau CT Scan setelah seliotomi.
Pada kasus borderline misalnya TDS dapat dikoreksi sementara tetapi cenderung untuk menurun, harts diupayakan memperoleh hasil CT Scan kepala sebelum penderita dibawa ke kamar operasi untuk seliotomi. Kasus seaport ini memerlukan keputusan klinis dan kerja sama yang balk antara ahli bedah trauma dan ahli bedah saraf.Catatan Algoritme 3:
1. Semua penderita cedera kepala berat yang koma harus dilakukan resusitasi (ABCDE) saat tiba di UGD
2. TDS=Tekanan Darah Sistolik. Segera setelah TD normal, lakukan pemeriksaan mini neurologis (GCS & Reaksi cahaya pupil). Bila TD tidak dapat dinormalkan. catat pemerksaan minineurologik dan tekanan darahnya.
3. Bila TDS tidak dapat diperbaild sampai diatas 100 nun Hg walaupun tclah dil resusitasi caimn secara agesif, prioritasnya sekarang adalah mencari pcnyebab hipote dan evaluasi neurosirurgis merupakan prioritas kedua. Pada kasus ini penderita dil DPL dan ultrasound di UGD atau langsung ke kamar operasi untuk seliotomy. Dan CT kepala dilakukan setelah seliotomy. Bila timbal tanda-tanda klinis suatu mass infra maka dilakukan ventrikulografi udara. Eksplorasi lubang bor atau craniotomy di operasi sementara seliotomy sedang berlangsung.
4. Bila TDS > 100 mm Hg setelah resusitasi dan terdapat gejala-gcjala suatu lesi intrakranial (pupil anisokor, hemiparesis) maka prioritas pertama adalah CT Scan k DPL dapat dilakukan di UGD, rang CT Scan atau kamar operasi namun evaluasi neurologi dan tindakan) tidak botch tertunda.
DAFTAR PUSTAKA
1. Advance Trauma Life Support, hal 196-235
2. Greenberg Michael I.2008.text-atlas of emergency medicine.Penerbit Erlangga.Jakarta,
hal 44-51
3. Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon Learning System
LLC, 2003
4. http://hubpages.com/hub/Cerebral_Hemorrhage_Kerala_shocking_fact
5. Satyanegara.Ilmu Bedah saraf. Penerbit EGC.Jakarta, hal 153-170
6. http://www.thecochranelibrary.com/userfiles/ccoch/file/CD001049.pdf
7. http://fhs.mcmaster.ca/surgery/documents/head_injury.pdf
8. Livingstone C. Neurology and Neurosurgery illustrated. Second edition. 1991