Tutorial Ske a Blok 19 2015 (2)

51
Analisis masalah a. Seorang anak laki-laki, umur 10 tahun mengeluh mata kanannya kabur sejak 2 hari yang lalu sejak terkena bola bulu tangkis 1. Bagaimana anatomi pada mata normal? Orbita berbentuk buah pir, dengan nervus optikus sebagai tangkainya. Lingkaran anterior lebih kecil sedikit dari pada lingkaran di bagian dalam. Volume orbita kira-kira 30cc dan bola mata hanya menempati seperlima bagian ruangan, selebihnya diisi lemak dan otot. Pada bagian anterior, terdapat septum orbitae (pemisah antara palpebra dan orbita). Orbita berhubungan dengan sinus frontalis di atas, sinus maksilaris di bawah, sinus ethmoidalis dan sinus sphenoid di medial. Dasar orbita yang tipis mudah rusak oleh trauma langsung terhadap bola mata sehingga menimbulkan 'fraktur blow- out' dengan herniasi isi orbita ke dalam antrum maksilaris. Infeksi pada sinus ethmoidalis dan sphenoid dapat mengikis dinding medialnya yang setipis kertas (lamina papyracea) dan

description

fk unsri 2013

Transcript of Tutorial Ske a Blok 19 2015 (2)

Analisis masalaha. Seorang anak laki-laki, umur 10 tahun mengeluh mata kanannya kabur sejak 2 hari

yang lalu sejak terkena bola bulu tangkis

1. Bagaimana anatomi pada mata normal?

Orbita berbentuk buah pir, dengan nervus optikus sebagai tangkainya. Lingkaran anterior

lebih kecil sedikit dari pada lingkaran  di bagian dalam.

Volume orbita kira-kira 30cc dan bola mata hanya menempati seperlima bagian ruangan,

selebihnya diisi lemak dan otot. Pada bagian anterior, terdapat septum orbitae (pemisah

antara palpebra dan orbita).

Orbita berhubungan dengan sinus frontalis di atas, sinus maksilaris di bawah, sinus

ethmoidalis dan sinus sphenoid di medial. Dasar orbita yang tipis mudah rusak oleh trauma

langsung terhadap bola mata sehingga menimbulkan 'fraktur blow-out' dengan herniasi isi

orbita ke dalam antrum maksilaris. Infeksi pada sinus ethmoidalis dan sphenoid dapat

mengikis dinding medialnya yang setipis kertas (lamina papyracea) dan mengenai orbita.

Defek pada atapnya (misal : neurofibromatosis) dapat berakibat timbulnya pulsasi pada bola

mata yang berasal dari otak.

Dinding Orbita:

o Atap orbita => terdiri dari facies orbitalis osis frontalis. Di bagian anterior lateral atas,

terdapat fosa lakrimalis yang berisi kelenjar lakrimal. Di posterior atap, terdapat ala parva

osis sphenoid yang mengandung kanalis optikus.

o Dinding lateral => dipisahkan dari bagian atap oleh fisura ortalis superior yang

memisahkan ala parva dan ala magna osis sphenoidalis. Bagian anterior dinding lateral

dibentuk oleh facies orbitalis osis zygomatici (malar), merupakan bagian terkuat orbita.

o Dasar orbita => dipisahkan dari dinding lateral oleh fisura orbitalis inferior. Bagian

dasar yang luas terbentuk dari pars orbitalis osis maksilaris (merupakan tempat yang paling

sering terjadinya fraktur). Processus orbitalis osis platini membentuk daerah segitiga kecil

pada dasar posterior.

Apeks Orbita => merupakan tempat masuknya semua saraf dan pembuluh darah ke mata

serta merupakan tempat asal semua otot ekstraokuler kecuali obliquus inferior.

o Fisura orbitalis superior  => 

vena ophthalmika superior, nervus lakrimalis, frontalis, dan trabekularis => berjalan di

bagian lateral fisura (di luar anulus Zinn)

o Ramus superior dan inferior nervus okulomotorius, nervus abducens dan nasosiliaris =>

berjalan di bagian medial fisura (di dalam anulus Zinn)

o Vena ophthalmika superior sering bergabung dengan vena ophthalmika inferior

sebelum keluar dari orbita.

o Kanalis Optikus (di dalam anulus Zinn) => dilalui nervus optikus dan arteri

ophthalmika

Perdarahan

Arteri Carotis Interna => Arteri Ophtalmika (berjalan dengan nervus optikus menuju orbita

dan bercabang)

o  => Arteri Retina Sentralis (cabang intraorbita pertama, memasuki nervus optikus

sekitar 8-15mm di belakang bola mata.

o => Arteri Lakrimalis => perdarahi glandula lakrimalis dan kelopak mata atas.

o => Arteri Siliaris Posterior Longa dan Brevis (cabang muskularis ke berbagai otot

orbita)

o Longa => perdarahi korpus siliare dan beranastomose dengan arteri siliaris anterior

membentuk circulus arterialis mayor iris.

o Brevis => perdarahi khoroid dan bagian nervus optikus.

o => Arteri Siliaris Anterior (cabang muskularis menuju muskuli recti) => perdarahi

sklera, episklera, limbus,  konjungtiva.

o => Arteri Palpebralis (cabang ke kelopak mata) 

ACPL (Artery Cyliaris Posterior Longus) + ACA (Artery Cyliaris Anterior) => di

pangkal iris membentuk sirkulus arteriosus mayor.

Bola Mata

Bola mata dewasa normal hampir mendekati bulat dengan diameter anteroposterior sekita

24,5 mm. Pada saat bayi, panjangnya 16,5 mm.

Konjungtiva

=> merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus :

o Permukaan posterior kelopak mata => konjungtiva palpebralis

K. Palpebralis melekat erat ke tarsus

o Permukaan anterior sklera => konjungtiva bulbaris

K. bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan melipat berkali-kali.

Pelipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan

konjungtiva sekretorik. Kecuali di limbus (tempat kapsul tenon menyatu dengan

konjungtiva sejauh 3 mm), konjungtiva bulbaris melekat longgar dengan kapsul tenon

dan sklera di bawahnya.

o Konjungtiva fornik

Perdarahan konjungtiva versal dari arteri siliaris anterior dan arteri palpebralis.

Persarafannya berasal dari cabang pertama N. V. 

Kapsula Tenon (Fascia Bulbi)

Kapsula Tenon merupakan membran fibrosa yang membungkus bola mata dari limbus

sampai ke nervus optikus. Di dekat limbus, konjungtiva-kapsula tenon-dan episklera

menyatu. Segmen bawah kapsula tenon tebal dan menyatu dengan fasia muskulus rektus

inferior dan muskulus obliquus inferior membentuk ligamentum suspensorium

bulbi(Ligamentum Lock-wood), tempat terletaknya bola mata.

Sklera dan Episklera

Sklera merupakan 5/6 bagian dinding bola mata berupa jaringan kuat yang berwarna putih.

Permukaan luar sklera anterior dibungkus oleh lapisan tipis jaringan elastik halus yang

disebut episklera.

Dibagian anterior, sklera bersambung dengan kornea dan dibagian belakang bersambung

dengan duramater nervus optikus. Beberapa sklera berjalan melintang bagian anterior nervus

optikus sebagai Lamina Cribrosa. Persarafan sklera berasal dari saraf-saraf siliaris.

Episklera banyak mengandung pembuluh darah.

Sumber: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21388/4/Chapter%20II.pdf

Kornea

Kornea merupakan lapisan transparan yang melapisi 1/3 depan bola mata.

Permukaannya licin dan mengkilat. Lebih tebal di bagian pinggir dari pada sentral. Indeks

biasnya 1,337 dengan daya refraksi + 42 dioptri.

Kornea bersifat avaskuler sehingga nutrisinya berasal dari pembuluh darah limbus, air mata,

dan akuos humor. Dipersarafi oleh N. V1 (N. Ophthalmicus).

Lapisan kornea :

1. Epitel : terdiri dari 5-6 lapis sel berbentuk kubus sampai gepeng.

2. Membrana Bowman : Lapisan jernih aseluler.

3. Stroma : terdiri dari kumpulan sel yang membentuk jaringan ikat yang kuat.

4. Membrana Dessement : sebuah membran jernih yang elastik, tampak amorf.

5. Endotel : merupakan satu lapis sel berbentuk kubus.

Bila ada infeksi kronik, kornea akan memutih dan terbentuk vaskuler pada kornea.

Uvea

Uvea merupakan lapisan vaskuler tengah mata dan dilindungi oleh sklera dan. Bagian ini ikut

memasok darah ke retina. Terdiri dari :

o Iris => merupakan perpanjangan korpus siliare ke anterior. Di dalam stroma iris

terdapat sfingter dan otot dilatator. Perdarahan iris berasal dari circulus mayor iris,

persarafannya berasal dari serat di dalam nervi siliare.

Iris berfungsi mengendalikan banyak cahaya yang masuk ke dalam mata. Ukuran pupil

ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi akibat aktivitas parasimpatik yang

dihantarkan melalui N. Kranialis III dan dilatasi yang ditimbulkan oleh aktivitas simpatik.

o Korpus Siliare

Korpus siliare dan epitel siliaris pembungkusnya berfungsi untuk produksi akuos humor.

Muskulus siliaris tersusun dari gabungan serat longitudinal, sirkuler, radial. Fungsi serat

sirkuler adalah untuk mengerutkan dan relaksasi serat Zonula yang berorigo di lembah di

antara prosesus siliaris.

o Koroid => merupakan segmen posterior dari uvea, di antara retina dan sklera.

Tersusun dari 2 lapis pembuluh darah

Lensa

Lensa merupakan struktur bikonveks, avaskuler, tak berwarna, dan hampir transparan

sempurna. Lensa Kristalin => saat neonatal bentuknya hampir bulat dengan konsentrasi cair.

Daya akomodasinya sangat kuat. Lensa kristalin ini tumbuh seumur hidup di ekuator lensa

sehingga semakin tua lensanya semakin padat dan daya akomodasinya turun.

Saat dewasa, bentuknya cembung ganda, permukaan anterior lebih flat dibanding posterior.

Diameter 9 mmm, tebal 4,5-6 mm. Warnanya bening keabuan, transparan, avaskuler. Daya

refraksinya +16 dioptri, indeks bias 1,337.

Konsistensinya 65% air dan 35% protein (kristalin). Kandungan kalsium lensa lebih banyak

dari pada jaringan tubuh lain. Asam askorbat dan glutation terdapat dalam bentuk teroksidasi

maupun tereduksi. Tidak ada serat nyeri, pembuluh darah.

Menggantung pada korpus siliare melalui Zonula Zinii. Di anteriornya terdapat akuos humor

dan di posteriornya terdapat vitreus humor.

Aquaeus Humor

Akuos humor merupakan cairan yang mengisi COA, diproduksi oleh korpus siliare di COP

(Kamera Okuli Posterior) yang selanjutnya mengisi COA dan dieksresi melalui trabekula.

Sepuluh persennya dieksresikan melalui iris.

Fungsi:

o Nutrisi lensa dan kornea sampai epitel

o Pertahankan TIO normal 10-20 mmHg.

Kamera Okuli Anterior (COA)

Sudut COA merupakan  terbentuk dari perifer kornea dengan akar iris, besarnya 45'. COA

berisi cairan Akuos humor yang dihasilkan corpus siliaris. 

Garis Schwalbe merupakan tanda dari berakhirnya kornea. Jalinan trabekula terdapat di atas

kanalis Schlemm.

Retina

Retina merupakan jaringan saraf tipis yang semi transparan, membentang dari papil saraf

optic ke depan sampai Oraserata. Tebalnya 0,1 mm, dan semakin tebal pada bagian posterior.

Pada retina terdapat :

o Makula => merupakan pigmentasi kekuningan (Xantofil) yang membatasi arcade

arteri retina sentralis sehingga Fovea menjadi avaskular

o Fovea => merupakan bagian di tengah makula, merupakan cekungan sehingga

menghasilkan pantulan khusus dengan ophthalmoscop yang disebut refleks fovea.

o Foveola => bagian paling tengah dari Fovea. Seluruhnya berupa sel Cone/ Sel kerucut

(sel foto reseptor) dan semakin ke perifer digantikan oleh sel Rod.

Vitreus

Korpus vitreus mengisi 2/3 bagian isi bola mata dan mempertahankan bentuknya selalu bulat.

Konsistensinya 99% air dan berbentuk gel.

ADNEKSA MATA

Alis Mata

Alis mata merupakan lipatan kulit menebal yang ditutupi rambut. Lipatan kulit ini ditunjang

oleh serat otot di bawahnya. Glabela merupakan prominentia tanpa rambut di antara alis.

Palpebra

Palpebra merupakan modifikasi lipatan kulit yang dapat menutup dan melindungi bola mata

bagian anterior. Struktur palpebra :

o Lapisan Kulit => lapisan kulit luar, berbeda dengan kulit pada bagian tubuh lain

karena lebih longgar, tipis, dan elastik. Terdapat sedikit folikel rambut dan lemak subkutan.

o Muskulus Orbikularis Okuli => berfungsi untuk menutup palpebra. Dipersarafi oleh

N. Facialis.

o Jaringan Alveolar => jaringan aerolar submuskular yang terdapat di bawah muskulus

orbikularis okuli.

o Tarsus => struktur penyokong utama palpebra berupa jaringan fibrosa padat. Terdapat

tarsus superior dan inferior.

o Konjungtiva Palpebra => selapis membran yang melekat pada tarsus di bagian

posterior palpebra.

Tepian Palpebra :

1. Tepian Anterior

o Bulu mata

o Glandula Zeis => modifikasi kelenjar sebasea kecil yang bermuara ke dalam

folikel rambut pada dasar bulu mata.

o Glandula Moll => modifikasi kelenjar keringat yang bermuara ke dalam satu

baris dekat bulu mata.

2. Tepian Posterior => bagian posterior palpebra  yang berkontak dengan mata dan di

sepanjangnya bermuara dari kelenjar sebasea yang telah dimodifikasi (Glandula Meibom)

3. Punktum Lakrimale

Aparatus Lakrimalis

Terdiri dari glandula lakrimalis > duktus sekretori > menyebar di permukaan mata > masuk

ke punctum superior atau inferior > menuju kanalis superior atau inferior > menyatu di

kanalis komunis > sakus lakrimalis > duktus lakrimalis > bermuara pada meatus inferior dari

rongga nasal.

Pasokan darah dari aparat lakrimal berasal dari arteria lakrimalis

PERSYARAFAN MATA

Nervus Optikus

Nervus opticus merupakan kumpulan dari 1 juta serat saraf. Terdapat beberapa bagian :

o Pars Intra Okuler

Terdapat papil saraf optik berwarna merah muda dengan diameter 1,5 mm, berbatas tegas,

tempat keluar masuk arteri dan vena sentralis retina. Terdapat cekungan (cup) normal

dibanding papil (disc) dengan C/D = 0,3.

o Pars Intra Orbita

Keluar dari sklera, diameter 3 mm, panjang 25-30 mm. Berbentuk S dan berjalan dalam

muskular memasuki foramen optikum 4-9 mm.

o Pars Intra Kranial

Panjangnya 10 mm dan bergabung dengan nervus optikum sebelahnya membentuk kiasma

optikum

Ganglion retina dan aksonnya merupakan bagian dari susunan saraf pusat sehingga tidak

dapat beregenerasi bila terpotong. Mendapat pasokan darah dari cabang arteri retina.

Kiasma Optikus

Kiasma dibentuk dari pertemuan kedua nervi optici dan merupakan tempat penyilangan serat-

serat nasal ke tractus optikus. Kiasma menerima perdarahan dari circulus Willis.

2. Bagaimana fisiologi penglihatan normal?

3. Apa yang menyebabkan mata kanannya kabur setelah terkena bola bulu tangkis?

-Terkena benda/trauma tumpul pada mata menyebabkan rupturnya pembuluh

darah iris dan badan siliaris sehingga bilik mata depan terpenuhi oleh darah Hal

ini menyebabkan rangsangan cahaya sampai ke retina menjadi terganggu sehingga

menyebabkan cahaya tidak sepenuhnya mencapai retina disertai gangguan visus

Mata kabur.

-Terkena benda/trauma tumpul pada mata menyebabkan terjadinya peningkatan

tekanan intraocular sesaat (seperti pada kasus rokbeknya trabekulum meshwork dan

terdapat gumpalan darah pada trabekulum meshwork) hal ini menyebabkan

rupturnya pembuluh darah yang berujung terjadinya mata kabur.

b. Mata merah ada, keluar darah -, nyeri, mual, muntah +, penderita dibawa ke mantri

diberikan obat tetes Cendoxytrol ® dan obat makan. Keluhan tidak berkurang penderita

dibawa ibu ke RS karena mata kanan makin kabur

1. Bagaimana mekanisme terjadinya mata merah?

Mata merah yang terjadi akibat pelebaran pembuluh darah konjungtiva sebagai reaksi

dari trauma pada bola mata. Darah terdapat di antara konjungtiva dan sclera. Pada kasus ini

perdarahan terjadi di bilik mata anterior dan subkonjungiva. Karena darah nya terkumpul di

bilik mata anterior (Camera Oculi Anterior/COA) yaitu daerah di antara kornea dan iris yang

terjadi akibat trauma tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar. Darah yang

terkumpul di bilik mata depan biasanya terlihat dengan mata telanjang dan bercampur dengan

aqueous humor (cairan mata yang jernih).

2. Bagaimana mekanisme terjadinya mual, muntah? (akibat tingginya tekanan

intarokuler)

Rangsangan nyeri pada saraf simpatis di mata kanan ↑ peristaltik proton pump

terbuka ion H teraktivasi ion H berikatan dengan ion Cl pada lambung HCl HCl

↑ mengiritasi lambung mual

Jika pH semakin asam dikompensasi oleh lambung dengan mengeluarkan isi lambung,

melalui saraf aferen n. Vagus, dan saraf simpatis impuls dibawa ke pusat muntah di medula

oblongata kemudian dibawa oleh saraf eferen n.V,VII,IX,X,XI ke traktus gastrointestinal

bagian atas, saraf vagus dan saraf simpatis ke traktus GI yang lebih bawah dan melalui saraf

spinalis ke diafragma dan otot abdomen kontraksi dan peningkatan tekanan di dalam

lambung muntah yang projektil.

3. Apa indikasi dari obat tetes yang diberikan?

Indikasi

Infeksi mata yang disebabkan oleh bakteri yang peka terhadap neomisina dan polimiksina,

blefaritis tidak bernanah, konjungtivitis tidak bernanah, skleritis, tukak kornea, dan keratitis.

Kontraindikasi

Penderita yang hipersensitiif atau alergi terhadap salah satu komponen obat. Penderita

tuberkulosis mata, infeksi maya yang disebabkan jamur dan viru, cacar air, konjungtivitis

atau blefaritis akut yang bernanah.

Dosis dan aturan pakai

4-6 kali sehari sebanyak 1-2 tetes.

c. Pemeriksaan oftamologi

- AVOD : 1/300

- AVOS : 6/6 E

- TIOD : 35,50 mmHg

- TIOS : 18,5 mmHg

- Palpebra blefarospasme +,

- Konjungtiva subkonjungtiva bleeding +,

- Kornea odema

- Bilik mata depan terdapat darah + (Black ball eye)

- Iris, pupil, lensa dan segmen posterior tidak dapat dinilai

1. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan?

AVOD&AVOS Visus mata kanan menurun.

AVOD :1/300, pada orang normal dapat melihat 300 meter, tapi pasien hanya dapat melihat 1

meter. Mekanisme nya karena adanya sel-sel darah merah di bilik anterior sehingga

mengganggu media refraksi, penglihatan turun.

TIOD & TIOS tek. Intraokuler kanan meningkat.

TIO Normal : 10-21 mmHg TIOD : 35,50 mmHg Abnormal (tinggi)

Mekanisme : trauma merobek pembuluh darah di iris dan merusak sudut bilik mata depan.

Darah di dalam aqueous dapat membentuk suatu lapisan yang dapat terlihat (hifema).

Glaukoma akut terjadi bila anyaman trabekular tersumbat oleh fibrin dan sel atau bila

pembentukan bekuan darah menimbulkan blokade pupil yang akan mengakibatkan TIO

meningkat.

Pada traumatic hifema, TIO bisa meningkat karena beberapa alasan. Pada onset yang akut,

peningkatan TIO berhubungan dengan 1) oklusi dari anyaman trabekular oleh bekuan darah,

sel sel inflamasi, ataupun debris aritrosit; atau 2) blok pupil sekunder terhadap bekuan darah

berbentuk tombol yang terdapat pada bilik mata depan dan bilik mata belakang.

TIOS : 18,5 mmHg Normal

Blefarospasme (+)

Interpretasi: Positif, jika ditemukan kedipan mata yang kuat melebihi normal (yaitu 10-15

kali) dalam satu menit. Mekanisme: Adanya gangguan pada ganglia basalis yang

menyebabkan produksi asetilkholin yang berlebihan.

Subkonjungtiva bleeding (+)

Interpretasi: Tidak normal Normal: tidak ada perdarahan.

Mekanisme: Di konjungtiva banyak terdapat saraf dan pembuluh darah kecil yang rapuh,

seperti arteri konjungtiva dan arteri episklera. Pembuluh darah yang rapuh ini bisa pecah dan

mengakibatkan perdarahan subkonjungtiva (daerah dibawah konjungtiva) yang tampak

sebagai patch merah terang (paling banyak) atau merah gelap.

Kornea edema (+)

Trauma tertutup ( bola bulu tangkis ) robeknya pembuluh darah iris atau badan siliar

darah berpindah ke bilik mata depan blokade trabekular oleh sel darah merah cairan

aquos humor tidak bisa dikeluarkan (gangguan aliran aquos humor) akumulasi cairan pada

bilik mata depan kornea edema

black ball eye

Tidak normal karena ada akumulasi darah di camera occuli anterior yang disebabkan

robeknya pembuluh darah iris/badan siliar yang akan bercampur dengan aquous humor yang

jernih.

Berdasarkan tampilan klinisnya dibagi menjadi beberapa grade (Sheppard) :

1. Grade I : darah mengisi kurang dari sepertiga COA

2. Grade II : darah mengisi sepertiga hingga setengah COA

3. Grade III : darah mengisi hampir total COA

4. Grade IV : darah memenuhi seluruh COA

iris, pupil, lensa, segmen posterior tidak dapat dinilai.

Normalny semua dapat dilihat. Akan tetapi pada kasus ini terjadi pendarahan di bilik

anteriornya sehingga lensa yang seharusnya bening, menjadi tertutupi dan tidak dapat dinilai.

Begitu juga dengan iris, dan pupil. Sedangkan segmen posterior tidak dapat dinilai karena

terjadi edema.

2. Bagaimana cara pemeriksaan TIO?

Tonometri digital palpasi

Merupakan pengukuran tekanan bola mata dengan jari pemeriksa

Alat : jari telunjuk kedua tangan pemeriksa

Teknik :

Mata ditutup

Pandangan kedua mata menghadap kebawah

Jari-jari yang lain bersandar pada dahi dan pipi pasien

Kedua jari telunjuk menekan bola mata pada bagian belakang kornea bergantian

Satu telunjuk mengimbangi saat telunjuk lain menekan bola mata

Nilai : didapat kesan berapa ringannya bola mata ditekan

Tinggi rendahnya tekanan dicatat sebagai berikut : N : normal, N+1 : agak tinggi, N+2 : lebih

tinggi lagi, N-1 : lebih rendah dari normal dst.

Keuntungan :

cari ini sangat baik pada kelainan mata bila tonometer tidak dapat dipakai atau sulit

Kekurangan :

cari ini memerlukan pengalaman pemeriksa karena terdapat faktor subjektif

Tonometri Schiotz

Tonometer Schiotz merupakan tonometer indentasi atau menekan permukaan kornea dengan

beban yang dapat bergerak bebas pada sumbunya. Benda yang ditaruh pada bola mata

(kornea) akan menekan bola mata kedalam dan mendapatkan perlawanan tekanan dari dalam

melalui kornea. Keseimbangan tekanan tergantung beban tonometer.

Alat dan Bahan : Tonometer Schiotz dan anestesi local (pantokain 0.5%)

Teknik :

Pasien diminta rileks dan tidur telentang

Mata diteteskan pantokain dan ditunggu sampai pasien tidak merasa perih

Kelopak mata pasien dibuka dengan telunjuk dan ibu jari, jangan sampai bola mata

tertekan

Pasien diminta melihat lurus keatas dan telapak tonometer Schiotz diletakkan pada

permukaan kornea tanpa menekannya

Baca nilai tekanan skala busur schiotz yang berantara 0-15. Apabila dengan beban 5.5

gr (beban standar) terbaca kurang dari 3 maka ditambahkan beban 7.5 atau 10 gr.

Nilai : pembacaan skala dikonversikan pada table tonometer schoitz untuk mengetahui

tekanan bola mata dalam mmHg

Pada tekanan lebih dari 20mmHg dicurigai glaucoma, jika lebih dari 25 mmHg pasien

menderita glaucoma.

Kekurangan : tonometer schiotz tidak dapat dipercaya pada penderita myopia dan penyakit

tiroid dibanding dengan tonometer aplanasi karena terdapat pengaruh kekakuan sclera pada

penderita myopia dan tiroid.

Tonometri aplanasi

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendapatkan tekanan intra ocular dengan menghilangkan

pengaruh kekakuan sclera dengan mendatarkan permukaan kornea.

Tekanan merupakan tenaga dibagi dengan luas yang ditekan. Untuk mengukur tekanan mata

harus diketahui luas penampang yang ditekan alat sampai kornea rata dan jumlah tenaga yang

diberikan. Pada tonometer Aplanasi Goldmann jumlah tekanan dibagi penampang dikali 10

dikonversi dalam mmHg tekanan bola mata. Dengan tonometer aplanasi tidak diperhatikan

kekakuan sclera karena pada tonometer ini pengembangan dalam mata 0.5 mm 3 sehingga

tidak terjadi pengembangan sclera yang berarti. Pada tonometer schiotz , pergerakan cairan

bola mata sebanyak 7-14 mm3 sehingga kekakuan sclera memegang peranan dalam

penghitungan tekanan bola mata

Alat :

Slit lamp dengan sinar biru

Tonometer Aplanasi

Flouresein strip

Obat anastesi local

Teknik :

Mata yang akan diperiksa diberi anastesi topical pantocain 0.5%

Pada mata tersebut ditempelkan kertas flouresein yaitu pada daerah limbus inferior.

Sinar oblik warna biru disinarkan dari slit lamp kedasar telapak prisma tonometer Aplanasi

Goldmann

Pasien diminta duduk dan meletakkan dagunya pada slitlamp dan dahinya tepat

dipenyangganya.

Pada skala tonometer aplanasi dipasang tombol tekanan 10mmHg

Telapak prisma aplanasi didekatkan pada kornea perlahan lahan

Tekanan ditambah sehingga gambar kedua setengah lingkaran pada kornea yang telah

diberi flouresein terlihat bagian luar berhimpit dengan bagian dalam

Dibaca tekanan pada tombol putaran tonometer aplanasi yang member gambaran

setengah lingkaran yang berhimpit. Tekanan tersebut merupakan TIO dalam mmHg.

Nilai : dengan tonometer Aplanasi, jika TIO > 20 mmHg sudah dianggap menderita

glaucoma.

d. Analisis aspek klinis

1. Apa Diagnosis banding pada kasus ?

DD Hifema dengan

glaucoma sekunder

pasca trauma

Glaucoma primer

Sudut tertup

Glaucoma primer

sudut terbuka

Erosi kornea

Mata kabur + + + +

Mata merah + + - +

Tidak Keluar

darah

+ + + +

Nyeri + + + +

Mual muntah + + + -

Gangguan visus + + + +

Peningkatan

Tekanan

Intraokular

+ + + +

Palpebral

blefarospasme

+ - - -

Konjungtiva

subkonjungtiva

bleeding

+ + - -

Edema kornea + + + +

Bilik mata depan

terisi darah

(Black Ball Eye)

+ + - -

Iris, pupil, lensa,

dan segmen

posterior tidak

dapat di nilai

+ ++ +

2. Apa diagnosis pada kasus?

Hifema traumatic grade IV dengan komplikasi glaucoma sekunder et causa trauma

tumpul

3. Apa faktor resiko diagnosis pada kasus?

- olah raga yang mengakibatkan trauma tumpul ataupun trauma tembus

- leukimia dan retinoblastoma yang menyebabkan pendarahan spontan pada anak

- paska pembedahan

4. Bagaimana patofisiologi diagnosis pada kasus?

Terkena bola bulu tangkis 2 hari yang lalu (trauma tumpul pada mata)

Ruptur pembuluh darah ciliaris dan corpus ciliaris

Peningkatan aliran di bilik mata depan

Iris Terdorong ke belakang

Robeknya trabekulum meshwork

hambat aliran aqueous humour keluar

Peningkatan Tekanan Intraokular

Penekanan pada N.opticus

Spasme otot kelopak mata

Palpebra blefarospasme

Perdarahan pemb. Darah konjungtiva ( arteri ciliaris anterior dan posterior)

Darah terjebak antara konjungtiva dan sklera

Pendarahan subkonjungtiva

Nyeri mata

Darah terperangkap di chamber anterior

Darah tidak keluar

Mata Merah

Black Ball Eye

Iris, pupil, lensa, dan segmen posterior tidak dapat di nilai

Rangsamg reflex vagal

Terjadilah mual dan muntah

Kehilangan protein dan cairan plasma ke intertitial

Edema kornea

Rangsangan cahaya ke retina terganggu

Gangguan penglihatan

Mata Kabur

Tekanan Intraokular Dextra 35,5 mmHg

Gangguan Visus

AVOD 1/300

5. Bagaimana tatalaksana diagnosis kasus?

Walaupun perawatan penderita hifema ini masih banyak diperdebatkan, namun pada

dasarnya penatalaksanaan hifema ditujukan untuk :

Menghentikan perdarahan atau mencegah perdarahan ulang

Mengeluarkan darah dari bilik mata depan

Mengendalikan tekanan bola mata

Mencegah terjadinya imbibisi kornea

Mengobati uveitis bila terjadi akibat hifema ini

Menemukan sedini mungkin penyulit yang mungkin terjadi

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka cara pengobatan penderita dengan traumatic

hyphaema pada prinsipnya dibagi dalam 2 golongan besar yaitu (1) Perawatan dengan

cara konservatif / tanpa operasi, dan (2) Perawatan yang disertai dengan tindakan

operasi.

Perawatan Konservatif / Tanpa Operasi

Tirah baring sempurna (bed rest total)

Penderita ditidurkan dalam keadaan terlentang dengan posisi kepala di angkat (diberi

alas bantal) kurang dari 600, hal ini akan mengurangi tekanan darah pada pembuluh

darah iris serta memudahkan kita mengevaluasi jumlah perdarahannya. Ada

persesuaian pendapat dari banyak sarjana mengenai tirah baring sempurna ini sebagai

tindakan pertama yang harus dikerjakan bila mengenai kasus traumatic hyphaema.

Bahkan Darr dan Rakusin menunjukkan bahwa dengan tirah baring sempurna

absorbsi dari hyphaema dipercepat dan sangat mengurangi timbulnya komplikasi

perdarahan sekunder.

Bebat mata

Mengenai pemakaian bebat mata, masih belum ada persesuaian pendapat di antara

para sarjana. Edward-Layden lebih condong untuk menggunakan bebat mata pada

mata yang terkena trauma saja, untuk mengurangi pergerakan bola mata yang sakit.

Bila mungkin kedua mata ditutup untuk memberika istirahat pada mata. Selanjutnya

dikatakan bahwa pemakaian bebat pada kedua mata akan menyebabkan penderita

gelisah, cemas dan merasa tidak enak, dengan akibat penderita (matanya) tidak

istirahat. Akhirnya Rakusin mengatakan dalam pengamatannya tidak ditemukan

adanya pengaruh yang menonjol dari pemakaian bebat atau tidak terhadap absorbsi,

timbulnya komplikasi maupun prognosis dari tajamnya penglihatannya.

Pemakaian obat-obatan

Pemberian obat-obatan pada penderita dengan traumatic hyphaema tidaklah mutlak,

tapi cukup berguna untuk menghentikan perdarahan, mempercepat absorbsinya dan

menekan komplikasi yang timbul. Untuk maksud di atas digunakan obat-obatan

seperti:

Koagulansia

Golongan obat koagulansia ini dapat diberikan secara oral maupun parenteraI,

berguna untuk menekan/menghentikan perdarahan, Misalnya : Anaroxil, Adona AC,

Coagulen, Transamin, vit K, dan vit C.

Midriatika Miotika

Masih banyak perdebatan mengenai penggunaan obat-obat golongan midriatika atau

miotika, karena masing-masing obat mempunyai keuntungan dan kerugian sendiri-

sendiri. Miotika memang akan mempercepat absorbsi, tapi meningkatkan kongesti

dan midriatika akan mengistirahatkan perdarahan.

Ocular Hypotensive Drug

Semua sarjana menganjurkan pemberian acetazolamide (Diamox) secara oral

sebanyak 3x sehari bilamana ditemukan adanya kenaikan tekanan intraokuler.

Kortikosteroid dan Antibiotika

Pemberian hidrokortison 0,5% secara topikal akan mengurangi komplikasi iritis dan

perdarahan sekunder dibanding dengan antibiotik.

Obat-obat lain

Sedatif diberikan bilamana penderita gelisah. Bila ditemukan rasa sakit diberikan

analgetik aau asetozalamid bila sakit pada kepala akibat tekanan bola mata naik.

Analgetik diberikan untuk mengatasi nyeri seperti asetaminofen dengan atau tanpa

kodein.

Perawatan Operasi

Perawatan cara ini akan dikerjakan bilamana ditemukan:

Glaukoma sekunder yang berkurang / menghilang dengan pengobatan

konservatif 

Kemungkina timbulnya hemosiderosis kornea dan tidak ada pengurangan dari

tingginya hifema dengan perawatan non operasi selam 3-5 hari

Atas dasar di atas Darr menentukan cara pengobatan  traumatic hyphaema,

sedang Rakusin menganjurkan tindakan operasi setelah hari kedua bila ditemukan

hyphaema dengan tinggi perdarahannya ¾ bilik depan bola mata. Tindakan operasi

yang dikerjakan adalah:

Paracentesa: mengeluarkan cairan/darah dari bilik depan bola mata melalui

lubang yang kecil di limbus

Melakukan irigasi di bilik depan bola mata dengan larutan fisiologik

Dengan cara seperti melakukan ekstraksi katarak dengan membuka

korneoscleranya sebesar 1200

Tindakan pembedahan parasentese dilakukan bila terlihat tanda-tanda imbibisi kornea,

glaukoma, hifema penuh dan berwarna hitam atau bila darah setelah 5 hari  tidak

memperlihatka tanda-tanda berkurang.

Untuk mencegah atropi papil saraf optik dilakukan pembedahan bila:

Tekanan bola mata maksimal > 50 mmHg selama 5 hari

Tekanan bola mata maksimal > 35 mmHg selama 7 hari

Untuk mencegah imbibisi kornea,dilakukan pembedahan bila:

Tekanan bola mata rata-rata > 25 mmHg selama 6 hari

Bila terdapat tanda-tanda dini imbibisi kornea

Untuk mencegah sinekia posterior perifer dilakukan pembedahan bila:

Hifema total bertahan selama 5 hari

Hifema difus bertahan selama 9 hari

6. Apa saja komplikasi trauma?

1. Perdarahan sekunder

Komplikasi ini sering terjadi pada hari ke 3 sampai ke 6, sedangkan insidensinya sangat

bervariasi, antara 10 - 40%. Perdarahan sekunder ini timbul karena iritasi pada iris

akibat traumanya, atau merupakan lanjutan dari perdarahan primernya. Perdarahan

sekunder biasanya lebih hebat daripada yang primer. Terjadi pada 1/3 pasien, biasanya

antara 2-5 hari setelah trauma inisial dan selalu bervariasi sebelum 7 hari post-trauma.

2. Glaukoma sekunder

Timbulnya glaukoma sekunder pada hifema traumatik disebabkan oleh tersumbatnya

trabecular meshwork oleh butir-butir/ gumpalan darah. Adanya darah dalam COA dapat

menghambat aliran cairan bilik mata oleh karena unsur-unsur darah menutupi sudut

COA dan trabekula sehingga terjadinya glaukoma. Glaukoma sekunder dapat pula

terjadi akibat kontusi badan siliar berakibat suatu reses sudut bilik mata sehingga terjadi

gangguan pengaliran cairan mata.

3. Hemosiderosis kornea

Pada penyembuhan darah pada hifema dikeluarkan dari COA dalam bentuk sel darah

merah melalui sudut COA menuju kanal Schlemm sedangkan sisanya akan diabsorbsi

melalui permukaan iris. Penyerapan pada iris dipercepat dengan adanya enzim

fibrinolitik di daerah ini.Sebagian hifema dikeluarkan setelah terurai dalam bentuk

hemosiderin. Bila terdapat penumpukan dari hemosiderin ini, dapat masuk ke dalam

lapisan kornea, menyebabkan kornea menjadi bewarna kuning dan disebut

hemosiderosis atau imbibisio kornea, yang hanya dapat ditolong dengan keratoplasti.

Imbibisio kornea dapat dipercepat terjadinya oleh hifema yang penuh disertai

glaukoma. Hemosiderosis ini akan timbul bila ada perdarahan/perdarahan sekunder

disertai kenaikan tekanan intraokuler. Gangguan visus karenahemosiderosis tidak selalu

permanen, tetapi kadang-kadang dapat kembali jernih dalam waktu yang lama (2

tahun). Insidensinya ± 10%.3 Zat besi di dalam bola mata dapat menimbulkan siderosis

bulbi yang bila didiamkan akan dapat menimbulkan ftisis bulbi dan kebutaan.

4. Sinekia Posterior

Sinekia posterior bisa timbul pada pasien traumatik hifema.Komplikasi ini akibat dari

iritis atau iridocyclitis.Komplikasi ini jarang pada pasien yang mendapat terapi

medikamentosa dan lebih sering terjadi pada pada pasien dengan evakuasi bedah pada

hifema.Peripheral anterior synechiae anterior synechiae terjadi pada pasien dengan

hifema pada COA dalam waktu yang lama, biasanya 9 hari atau lebih.Patogenesis dari

sinekia anterior perifer berhubungan dengan iritis yang lama akibat trauma atau dari

darah pada COA. Bekuan darah pada sudut COA kemudian bisa menyebabkan

trabecular meshwork fibrosis yang menyebabkan sudut bilik mata tertutup.

5. Atrofi optik

Atrofi optik disebabkan oleh peningkatan tekanan intra okular.

6. Uveitis

Penyulit yang harus diperhatikan adalah glaukoma, imbibisio kornea, uveitis. Selain

dari iris, darah pada hifema juga datang dari badan siliar yang mungkin juga masuk ke

dalam badan kaca (corpus vitreum) sehingga pada funduskopi gambaran fundus tak

tampak dan ketajaman penglihatan menurunnya lebih banyak.Hifema dapat sedikit,

dapat pula banyak. Bila sedikit ketajaman penglihatan mungkin masih baik dan tekanan

intraokular masih normal. Perdarahan yang mengisi setengah COA dapat menyebabkan

gangguan visus dan kenaikan tekanan intra okular sehingga mata terasa sakit oleh

karena glaukoma. Jika hifemanya mengisi seluruh COA, rasa sakit bertambah karena

tekanan intra okular lebih meninggi dan penglihatan lebih menurun lagi.

7. Bagaimana prognosis diagnosis kasus?

Vitam : dubia at bonam

Fungsionam : dubia at malam

8. Apa SKDI kasus?

3A

Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan-

pemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya : pemeriksaan

laboratorium sederhana atau X-ray). Dokter dapat memutuskan dan member terapi

pendahuluan, serta merujuk ke spesialis yang relevan (bukan kasus gawat darurat)

I. Learning Issue

1. Anatomi dan fisiologi mata

Otot-otot Penggerak Bola Mata

Otot ini menggerakkan mata dengan fungsi ganda dan untuk pergerakkan mata tergantung

pada letak dan sumbu penglihatan sewaktu aksi otot. Otot penggerak mata terdiri atas 6 otot

yaitu :

1. Oblik inferior, aksi primer - ekstorsi dalam abduksi

sekunder - elevasi dalam aduksi

- abduksi dalam elevasi

2. Oblik superior, aksi primer- intorsi pada abduksi

sekunder - depresi dalam aduksi - abduksi dalam depresi

3. Rektus inferior, aksi primer- depresi pada abduksi

sekunder - ekstorsi pada abduksi

- aduksi pada depresi

4. Rektus lateral, aksi - abduksi

5. Rektus medius, aksi - aduksi

6. Rektus superior, aksi primer - elevasi dalam abduksi

sekunder - intorsi dalam aduksi - aduksi dalam elevasi

1. Otot Oblik Inferior

Oblik inferior mempunyai origo pada foss lakrimal tulang lakrimal, berinsersi pada sklera

posterior 2 mm dari kedudukan makula, dipersarafi saraf okulomotor, bekerja untuk

menggerakkan mata keatas, abduksi dan eksiklotorsi.

2. Otot Oblik Superior

Oblik superior berorigo pada anulus Zinn dan ala parva tulang sfenodi di atas foramen optik,

berjalan menuju troklea dan dikatrol batik dan kemudian berjalan di atas otot rektus superior,

yang kemudian berinsersi pada sklera dibagian temporal belakang bola mata. Oblik superior

dipersarafi saraf ke IV atau saraf troklear yang keluar dari bagian dorsal susunan saraf pusat.

Mempunyai aksi pergerakan miring dari troklea pada bola mata dengan kerja utama terjadi

bila sumbu aksi dan sumbu penglihatan search atau mata melihat ke arch nasal. Berfungsi

menggerakkan bola mata untuk depresi (primer) terutama bila mata melihat ke nasal, abduksi

dan insiklotorsi.

Oblik superior merupakan otot penggerak mata yang terpanjang dan tertipis.

3. Otot Rektus Inferior

Rektus inferior mempunyai origo pada anulus Zinn, berjalan antara oblik inferior dan bola

mata atau sklera dan insersi 6 mm di belakang limbus yang pada persilangan dengan oblik

inferior diikat kuat oleh ligamen Lockwood.

Rektus inferior dipersarafi oleh n. III

Fungsi menggerakkan mata - depresi (gerak primer)

- eksoklotorsi (gerak sekunder)

- aduksi (gerak sekunder)

Rektus inferior membentuk sudut 23 derajat dengan sumbu penglihatan.

4. Otot Rektus Lateral

Rektus lateral mempunyai origo pada anulus Zinn di atas dan di bawah foramen optik. Rektus

lateral dipersarafi oleh N. VI. Dengan pekerjaan menggerakkan mata terutama abduksi.

5. Otot Rektus Medius

Rektus medius mempunyai origo pada anulus Zinn dan pembungkus dura saraf optik yang

sering memberikan dan rasa sakit pada pergerakkan mata bila terdapat neuritis retrobulbar,

dan berinsersi 5 mm di belakang limbus. Rektus medius merupakan otot mata yang paling

tebal dengan tendon terpendek. Menggerakkan mata untuk aduksi (gerak primer).

6. Otot Rektus Superior

Rektus superior mempunyai origo pada anulus Zinn dekat fisura orbita superior beserta

lapis dura saraf optik yang akan memberikan rasa sakit pada pergerakkan bola mata bila

terdapat neuritis retrobulbar. Otot ini berinsersi 7 mm di belakang limbus dan dipersarafi

cabang superior N.III.

Fungsinya menggerakkan mata-elevasi, terutama bila mata melihat ke lateral.

- aduksi, terutama bila tidak melihat ke lateral

- insiklotorsi

Fisiologi Mata Terhadap serangan dari luar

A. Proteksi Non-imun (Sawar Anatomik)

Mekanisme perlindungan yang bersifat non imun secara alamiah antara lain :

1.      Palpebra, yang melindungi mata dari paparan dengan lingkungan luar.

Palpebra  melindungi permukaan okuler terhadap organisme yang tersebar di udara, benda

asing dan trauma minor.

2.      Bulu mata, mampu mendeteksi adanya benda asing dan segera memicu kedipan mata.

3.      Air mata, mempunyai efek mengencerkan dan membilas. Memegang peranan dalam

menjaga integritas dari epitel konjungtiva dan kornea yang berfungsi sebagai barier anatomi.

Pembilasan yang terus menerus pada permukaan okuler mencegah melekatnya

mikroorganisme pada mata.

Integrasi antara palpebra, silia, air mata dan permukaan okuler merupakan

sebuah mekanisme proteksi awal terhadap benda asing. Epitel kornea adalah epitel skuamosa

non keratin yang terdiri hingga lima lapis sehingga akan menyulitkan mikroorganisme untuk

menembus lapisan-lapisan tersebut. Selain itu kornea juga diinervasi oleh ujung serabut saraf

tidak bermielin sehingga akan memberikan peringatan awal yang sangat cepat bagi mata

terhadap trauma dikarenakan oleh sensitifitasnya.

B. Proteksi Imun

1. Sistem Lakrimalis

Proteksi imun untuk mucosal surface termasuk permukaan okuler adalah Mucosa-Associated

Lymphoid Tissue (MALT) . MALT terbentuk oleh adanya interkoneksi dari daerah mukosa

yang memberikan gambaran imunologis spesifik tertentu yaitu terdapat banyak APC,

struktur khusus untuk memproses antigen secara terlokalisir (tonsil) dan sel efektor (sel T

intraepitelial dan sel mast yang berlimpah). Salah satu fungsi utama MALT adalah untuk

menciptakan keseimbangan antara imunitas dan toleransi untuk mencegah kerusakan jaringan

mukosa.

Jaringan limfoid difus pada permukaan glandula lakrimal, duktus lakrimal, konjungtiva

(conjunctival associated lymphoid tissue atau CALT) dan berlanjut sampai kanalikulus serta

sistem drainase lakrimal (lacrimal drainade–associated lymphoid tissue atau LDALT) secara

keseluruhan disebut Eye-Associated Lymphoid Tissue (EALT). EALT merupakan kumpulan

sel-sel limfoid yang terletak pada epitel permukaan mukosa. Sel-sel ini menghasilkan antigen

dan mampu menginduksi terjadinya respon imun seluler maupun humoral. Kelenjar

lakrimalis merupakan penghasil IgA terbesar bila dibandingkan dengan jaringan okuler

lainnya.

2. Tear Film

Air mata mengandung berbagai mediator seperti histamin, triptase, leukotrin dan

prostaglandin yang berhubungan dengan alergi pada mata. Mediator-mediator itu berasal dari

sel mast. Semuanya dapat menimbulkan rasa gatal, kemerahan, air mata dan mukus yang

berhubungan dengan penyakit alergi akut dan kronis. Pengerahan komponen seluler lokal

melibatkan molekul adhesi seperti Intercelluler Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) di epitel

konjungtiva yang meningkatkan adhesi leukosit ke epitel dan endotel. Ekspresi molekul

adhesi diatur oleh banyak komponen ekstraseluler dan intraseluler seperti sitokin

proinflamasi, matriks protein ekstraseluler dan infeksi virus.

Pada lapisan mukus yang diproduksi oleh sel goblet dan sel epitel konjungtiva, glikocalyx

yang disintesis epitel kornea membantu perlekatan lapisan mukus sehingga berhubungan

dengan imunoglobulin pada lapisan akuos. Pada lapisan akuos sendiri, banyak mengandung

faktor-faktor terlarut yang berperan sebagai antimikroba. Seperti laktoferin, lisozim, dan β-

lisin. Laktoferin berfungsi utama dalam mengikat besi yang dibutuhkan oleh pertumbuhan

bakteri, sehingga bersifat bakteriostatik dan bakterisidal. Lisozim efektif dalam

menghancurkan dinding sel bakteri gram positif. β-lisin memiliki kemampuan dalam merusak

dinding sel mikroorganisme. Selain faktor terlarut tersebut, lapisan akuos juga mengandung

banyak IgA yang sangat efektif dalam mengikat mikroba, lalu melakukan opsonisasi,

inaktivasi enzim dan toksin dari bakteri, serta berperan langsung sebagai efektor melalui

Antigen Dependent Cell Cytotoxycity (tanpa berinteraksi dengan komplemen).

3. Konjungtiva

Konjungtiva terdiri dari dua lapisan : lapisan epitel dan lapisan jaringan ikat yang disebut

substansia propria. Konjungtiva tervaskularisasi dengan baik dan memiliki sistem drainase

limfe yang baik ke limfonodi preaurikularis dan submandibularis. Jaringan ini mengandung

banyak sel Langerhans, sel dendritik dan makrofag yang berperan sebagai Antigen Presenting

Cell (APC) yang potensial. Folikel pada konjungtiva yang membesar setelah infeksi ataupun

inflamasi pada ocular surface menunjukkan adanya kumpulan sel T, sel B dan APC. Folikel

ini merupakan daerah untuk terjadinya respon imun terlokalisir terhadap antigen oleh sel B

dan sel T secara lokal di dalam folikel.

Proteksi imun untuk mucosal surface termasuk ocular adalah Mucosa-Associated Lymphoid

Tissue. MALT terbentuk oleh adanya interkoneksi dari daerah mukosa yang memberikan

gambaran imunologis spesifik tertentu yaitu banyak terdapat APC, struktur khusus untuk

memproses antigen secara terlokalisir (Peyer’s patches atau tonsil) dan sel efektor (sel T

intraepitelial dan sel mast yang berlimpah). Salah satu fungsi utama MALT adalah untuk

menciptakan keseimbangan antara imunitas dan toleransi untuk mencegah kerusakan jaringan

mukosa.

Substansia propria kaya akan sel-sel imun dari bone marrow yang akan membentuk sistem

imun mukosa pada konjungtiva yang dikenal dengan Conjunctiva Associated Limphoied

Tissue (CALT) yang merupakan salah satu bagian dari MALT. CALT merupakan sistem

imunoregulasi yang utama bagi konjungtiva. Pada substansia propria terdapat neutrofil,

limfosit, IgA, IgG, sel dendrite dan sel mast. Eosinofil dan basofil tidak ditemukan pada

konjungtiva yang sehat. Konjungtiva mengandung banyak sel mast. IgA merupakan antibodi

yang paling banyak dalam lapisan air mata. IgA menyerang bakteri dengan cara

“membungkusnya” sehingga mencegah terjadinya perlekatan antara bakteri dengan sel epitel.

Molekul terlarut yang banyak adalah komplemen. Respon imun yang terjadi pada

konjungtiva sebagian besar merupakan respon imun yang dimediasi oleh antibodi dan

limfosit, namun juga terdapat respon imun yang dimediasi oleh IgE terhadap sel mast pada

reaksi alergi.

4. Sklera

Sklera sebagian besar terdiri atas jaringan ikat kolagen. Hal ini menyebabkan sklera bersifat

relatif lebih avaskuler dibandingkan dengan konjungtiva. Karenanya pada sklera hanya

terdapat sedikit sel imun jika dibandingkan dengan konjungtiva. Dalam keadaan normal

sklera hanya sedikit mengandung sel-sel limfosit, makrofag dan neutrofil. Namun sebagai

respon imun saat terjadi inflamasi pada sklera sel-sel imun tersebut memasuki sklera melalui

pembuluh darah episklera dan pembuluh darah koroid Pada saat istirahat IgG ditemukan

dalam jumlah yang cukup besar.

5. Kornea

Kornea unik karena bagian perifer dan sentral jaringan menunjukkan lingkungan mikro

imunologis yang jelas berbeda. Hanya bagian limbus yang tervaskularisasi. Limbus banyak

mengandung sel Langerhans, namun bagian perifer, parasentral dan sentral dari kornea dalam

keadaan normal sama sekali tidak mengandung APC. Namun demikian, berbagai stimulus

dapat membuat sitokin tertentu (seperti IL-1) menarik APC ke sentral kornea. Komplemen,

IgM dan IgG ada dalam konsentrasi sedang di daerah perifer, namun hanya terdapat IgG

dengan level yang rendah pada daerah sentral.

Sel kornea juga terlihat mensintesis berbagai protein imunoregulasi dan antimikrobial. Sel

efektor tidak ada atau hanya sedikit terdapat pada kornea normal, namun PMN, monosit dan

limfosit siap siaga bermigrasi melalui stroma jika stimulus kemotaktik teraktivasi. Limfosit,

monosit dan PMN dapat pula melekat pada permukaan endotel selama inflamasi,

memberikan gambaran keratik presipitat ataupun garis Khodadoust pada rejeksi endotel

implan kornea. Proses lokalisasi dari suatu respon imun tidak terjadi pada kornea, tidak

seperti halnya pada konjungtiva.

Kornea juga menunjukkan suatu keistimewaan imun (Immune Privilege) yang berbeda

dengan uvea. Keistimewaan imun dari kornea bersifat multifaktorial. Faktor utama adalah

struktur anatomi limbus yang normal, dan lebih khusus lagi kepada keseimbangan dalam

mempertahankan avaskularitas dan tidak adanya APC pada daerah sentral kornea. Ditambah

oleh tidak adanya pembuluh limfe pada daerah sentral, menyebabkan lambatnya fase

pengenalan pada daerah sentral. Meski demikian, sel-sel efektor dan molekul-molekul

lainnya dapat menginfiltrasi kornea yang avaskuler melalui stroma. Faktor lain adalah adanya

sistem imunoregulasi yang intak dari bilik mata depan, dimana mengadakan kontak langsung

dengan endotel kornea.

6. Bilik Depan Mata, Uvea Anterior dan Vitreus

Bilik mata depan merupakan rongga berisi cairan humor akuos yang bersirkulasi

menyediakan medium yang unik untuk komunikasi interseluler antara sitokin, sel imun dan

sel pejamu dari iris, badan siliar dan endotel kornea. Meskipun humor akuos relatif tidak

mengandung protein jika dibandingkan dengan serum (sekitar 0,1 – 1,0 % dari total protein

serum), namun humor akuos mengandung campuran kompleks dari faktor-faktor biologis,

seperti sitokin, neuropeptida, dan inhibitor komplemen yang mampu mempengaruhi peristiwa

imunologis dalam mata. Terdapat blood aquous barrier yakni Tight junction antara epitel

nonpigmen memberikan barier yang lebih eksklusif yang dapat mencegah makromolekul

interstisiel menembus secara langsung melalui badan silier ke humor akuos. Meski demikian,

sejumlah kecil makromolekul plasma melintasi barier epitel nonpigmen ini dan dapat

meresap dengan difusi ke anterior melalui uvea memasuki bilik mata depan melalui

permukaan iris anterior.

Intraokuler tidak mengandung pembuluh limfe. Pengaliran sangat tergantung pada saluran

aliran humor akuos untuk membersihkan substansi terlarut dan pada endositosis oleh sel

endotelial trabekula meshwork atau makrofag untuk pembersihan partikel-partikel.

Traktus uvea merupakan bagian yang penting dalam sudut pandang imunologi.Uvea banyak

mengandung komponen seluler dari sistem imun termasuk makrofag, sel mast, limfosit dan

sel plasma. Iris dan badan siliar mengandung banyak makrofag dan sel dendritik yang

berperan sebagai APC ataupun sebagai sel efektor. Proses imun tidak mungkin terjadi secara

terlokalisasi, namun APC meninggalkan mata melalui trabekula meshwork bergerak ke lien

tempat terjadinya proses imun seluler, berupa aktivasi sel T supresor CD8+. Konsentrasi IgG,

komplemen dan kalikrein sangat rendah didapat pada bilik mata depan yang normal.

Uvea anterior memiliki sistem imunoregulasi yang telah digambarkan sebagai immune

privilege (keistimewaan imun). Konsep modern mengenai immune privilege ini mengacu

pada pengamatan bahwa implan tumor atau allograft dengan tidak diharapkan dapat bertahan

lebih baik dalam regio ini, sedangkan implan atau graft yang sama mengalami penolakan

lebih cepat pada daerah tanpa keistimewaan imun. Daerah immune privilege lain yaitu ruang

subretina, otak dan testis. Meskipun sifat dasar dari antigen yang terlibat mungkin penting,

immune privilege dari uvea anterior telah diamati dengan banyak antigen, meliputi antigen

transplantasi, tumor, hapten, protein terlarut, autoantigen, bakteri dan virus.

Immune privilege dimediasi oleh pengaruh fase aferen dan efektor dari lintasan respon imun.

Imunisasi dengan menggunakan segmen anterior sebagai fase aferen dari respon imun primer

berakibat dihasilkannya efektor imunologis yang unik. Imunisasi seperti dengan protein lensa

atau autoantigen lain melalui bilik mata depan tidak menyebabkan terjadinya pola imunitas

sistemik yang sama seperti yang ditimbulkan oleh imunisasi pada kulit. Imunisasi oleh injeksi

bilik mata depan pada hewan coba menyebabkan terjadinya perubahan bentuk imunitas

sistemik terhadap antigen yang disebut Anterior Chamber-Associated Immune Deviation

(ACAID).

Pada vitreus tidak ditemukan kekhususan tertentu. Gel vitreus dapat mengikat protein dan

berfungsi sebagai depot antigen. Gel vitreus secara elektrostatik dapat mengikat substansi

protein bermuatan dan mungkin kemudian berperan sebagai depot antigen dan substrat untuk

adhesi sel leukosit. Karena vitreus mengandung kolagen tipe II, ia dapat berperan sebagai

depot autoantigen potensial pada beberapa bentuk uveitis terkait arthritis.

7. Retina dan Koroid

Sirkulasi retina menunjukkan adanya blood retinal barrier pada tight junction antara sel

endotel pembuluh darah. Pembuluh darah koriokapiler sangat permeabel terhadap

makromolekul, memungkinkan terjadinya transudasi sebagian besar makromolekul plasma ke

ruang ekstravaskular dari koroid dan koriokapiler. Tight junction antar sel RPE menyediakan

barier fisiologis antara koroid dan retina. Pembuluh limfe tidak didapatkan pada retina dan

koroid, namun APC ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi. Mikroglia (derifat monosit)

pada retina memiliki peran dalam menerima stimulus antigenik, dapat mengadakan

perubahan fisik dan bermigrasi sebagai respon terhadap berbagai stimuli.

RPE dapat diinduksi untuk mengekspresikan molekul MHC kelas II, yang menunjukkan

bahwa RPE juga dapat berinteraksi dengan sel T. Namun pada keadaan normal, segmen

posterior tidak mengandung sel limfosit. Perisit yang berada pada pembuluh darah retina

dapat mensintesis berbagai sitokin yang berbeda (seperti TGF-β)yang dapat mengubah respon

imun yang terjadi setelahnya. Proses imun yang terlokaliser juga tidak terjadi pada segmen

posterior ini.

Fisiologi

Refraksi ialah tindakan atau proses membiaskan. Media refrakta terdiri atas : kornea, ,aquous

humor, lensa, dan badan kaca. Kornea merupakan tonjolan jernih di mata depan dan elemen

pemfokus yang terfiksasi. Kornea memfokuskan bayangan dengan membiaskan atau

membelokkan berkas cahaya. Apabila kornea terlalu melengkung maka mata akan

berpenglihatan dekat, dan apabila kelengkungan kornea kurang yang akan terjadi adalah mata

akan berpenglihatan jauh.

Lensa memiliki pembungkus yang lentur dan ditopang di bawah tegangan oleh serat – serat

penunjang. Saat otot mata berfungsi memfokuskan bayangan berelaksasi, tegangan ini

menjaga agar lensa tetap gepeng dan berada pada dayanya yang paling rendah, dan mata

berfokus pada benda jauh. Titik ketika benda jauh terfokuskan saat otot- otot yang

memfokuskan berelaksasi disebut titik jauh. Lensa berubah menjadi bentuk yang lebih bulat,

terutama karena bagian depan menjadi lebih lengkung, daya pemfokusan lensa kemudian

menjadi lebih besar, benda yang terletak dekat dengan mata di bawa ke focus di retina. Titik

terdekat ketika benda masih dapat difokuskan saat lensa berada dalam keadaan paling tebal.  

Aqueous humor mengisi ruang antara lensa dan kornea. Cairan ini terdiri dari air, diproduksi

terus-menerus, dan jumlah cairan yang berlebih keluar melalui canalis schlemm. Aqueous

humor mengandung banyak komponen darah dan menyalurkan zat gizi ke lensa dan kornea

yang tidak berpembuluh darah. Aqueous humor berfungsi untuk mempertahankan tekanan

internal mata.

Cahaya masuk melalui kornea diteruskan ke pupil. Pupil merupakan lubang bundar anterior

di bagian tengah iris yang mengatur jumlah cahaya yang masuk ke mata. Pupil membesar bila

intensitas cahaya kecil (bila berada di tempat gelap), dan apabila berada di tempat terang atau

intensitas cahayanya besar, maka pupil akan mengecil. Yang mengatur perubahan pupil

tersebut adalah iris. Iris merupakan cincin otot yang berpigmen dan tampak di dalam aqueous

humor, karena iris merupakan cincin otot yang berpigmen, maka iris juga berperan dalam

menentukan warna mata. Setelah melalui pupil dan iris, maka cahaya sampai ke lensa. Lensa

ini berada diantara aqueous humor dan vitreous humor, melekat ke otot–otot siliaris melalui

ligamentum suspensorium. Fungsi lensa selain menghasilkan kemampuan refraktif yang

bervariasi selama berakomodasi, juga berfungsi untuk memfokuskan cahaya ke retina.

Apabila mata memfokuskan pada objek yang dekat, maka otot–otot siliaris akan berkontraksi,

sehingga lensa menjadi lebih tebal dan lebih kuat. Dan apabila mata memfokuskan objek

yang jauh, maka otot–otot siliaris akan mengendur dan lensa menjadi lebih tipis dan lebih

lemah. Bila cahaya sampai ke retina, maka sel–sel batang dan sel–sel kerucut yang

merupakan sel–sel yang sensitif terhadap cahaya akan meneruskan sinyal–sinyal cahaya

tersebut ke otak melalui saraf optik. Bayangan atau cahaya yang tertangkap oleh retina adalah

terbalik, nyata, lebih kecil, tetapi persepsi pada otak terhadap benda tetap tegak, karena otak

sudah dilatih menangkap bayangan yang terbalik itu sebagai keadaan normal.

Jaras

Cahaya yang sampai di retina tersebut akan mengakibatkan hiperpolarisasi dari reseptor pada

retina. Hiperpolarisasi ini akan mengakibatkan timbulnya potensial aksi pada sel-sel

ganglion, yang aksonnya membentuk nervus optikus. Kedua nervus optikus akan bertemu

pada kiasma optikum, di mana serat nervus optikus dari separuh bagian nasal retina

menyilang ke sisi yang berlawanan, yang kemudian akan menyatu dengan serat nervus

optikus dari sisi temporal yang berlawanan, membentuk suatu traktus optikus. Serat dari

masing-masing traktus optikus akan bersinaps pada korpus genikulatum lateralis dari

thalamus. Kemudian serat-serat tersebut akan dilanjutkan sebagai radiasi optikum ke korteks

visual primer pada fisura calcarina pada lobus oksipital medial. Serat-serat tersebut kemudian

juga akan diproyeksikan ke korteks visual sekunder.

Selain ke korteks visual, serat-serat visual tersebut juga ditujukan ke beberapa area seperti:

(1)nukleus suprakiasmatik dari hipotalamus untuk mengontrol irama sirkadian dan perubahan

fisiologis lain yang berkaitan dengan siang dan malam, (2) ke nukleus pretektal pada otak

tengah, untuk menimbulkan gerakan refleks pada mata untuk fokus terhadap suatu obyek

tertentu dan mengaktivasi refleks cahaya pupil, dan (3) kolikulus superior, untuk mengontrol

gerakan cepat dari kedua mata.

Daftar Pustaka

Artini W, Hutauruk JA, Yudisianil. Pemeriksaan Dasar Mata. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

2011

Vaughan, Daniel, dkk. Oftalmologi Umum.Jakarta: Widya Medika.2000