Bells Palsy

27
Clinical Science Session BELL’S PALSY Oleh : Aufa Azri Dany 1010312075 Resty Fadya 0910313244 Preseptor dr. Bestari J Budiman, Sp.THT-KL(K) BAGIAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA & LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

description

BELLS PALSY

Transcript of Bells Palsy

Clinical Science Session

BELL’S PALSY

Oleh :

Aufa Azri Dany 1010312075

Resty Fadya 0910313244

Preseptor

dr. Bestari J Budiman, Sp.THT-KL(K)

BAGIAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA & LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR. M. DJAMIL

PADANG

2015

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat, rahmat dan

hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan refrat yang berjudul “Bell’s Palsy”.

Refrat ini merupakan salah satu pemenuhan syarat kepaniteraan klinik di bagian Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas

Andalas. Kami mengucapkan terima kasih kepada dr. Bestari J Budiman, Sp.THT-KL(K) selaku

preseptor, beserta semua pihak yang telah membantu penyusunan ini.

Akhir kata penulis berharap agar refrat ini bisa bermanfaat bagi kita bersama, serta dapat

menambah wawasan, pengetahuan dan pemahaman sebagai klinisi yang nantinya dapat

diaplikasikan untuk penatalaksanaan pasien dengan lebih baik dan komprehensif.

Padang, 12 Oktober 2015

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bell’s palsy merupakan kelemahan wajah tipe lower motor neuron yang

disebabkan oleh gangguan idiopatik saraf fasialis, tanpa disertai penyakit neurologik

lainnya. Saraf fasialis (N.VII) mengandung sekitar 10.000 serabut saraf yang terdiri dari

7.000 serabut saraf motorik untuk otot-otot wajah dan 3.000 serabut saraf lainnya

membentuk saraf intermedius (Nerve of Wrisberg) yang berisikan serabut sensorik untuk

pengecapan 2/3 anterior lidah dan serabut parasimpatik untuk kelenjer parotis,

submandibula, sublingual dan lakrimal.

Sindrom ini pertama kali ditemukan pada tahun 1821 oleh seorang anatomis dan

dokter bedah bernama Sir Charles Bell. Pasien yang terkena biasanya tidak dapat

menutup mata mereka. Penampilan wajah menjadi asimetris, dan air liur giring ke sudut

mulut. Tergantung pada lokasi lesi, beberapa pasien mungkin mengeluh intoleransi

kebisingan atau hilangnya sensasi rasa.

Kejadian bell palsy setiap tahunnya adalah sekitar 30 pasien per 100 000. 71%

pasien dapat sembuh tanpa pengobatan dan dari 71% tersebut terdapat 84% pasien yang

sembuh total atau mendekati pemulihan normal. Sisanya akan mengalami persisten

sedang kelemahan yang parah, kontraktur wajah, atau sinkinesis.

Bell’s palsy berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI),

merupakan standar kompetensi dengan level kemampuan 4. Artinya adalah dokter

mampu membuat diagnosis klinis dan melaksanakan penatalaksanaan penyakit secara

mandiri dan tuntas. Oleh karena itu, penulis tertarik mengangkat topik ini sebagai judul

penulisan referat.

1.2 Rumusan Masalah

Refrat ini membahas mengenai bell’s palsy meliputi , defenisi, anatomi saraf

fasialis, epidemiologi, faktor risiko, patogenesis, klasifikasi, gejala dan tanda klinis,

diagnosis, tatalaksana, komplikasi dan prognosis dari bell’s palsy.

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan refrat ini adalah untuk memahami mengenai defenisi, anatomi

saraf fasialis, epidemiologi, faktor risiko, patogenesis, klasifikasi, gejala dan tanda klinis,

diagnosis, tatalaksana, komplikasi dan prognosis dari bell’s palsy.

1.4 Metode Penulisan

Metode penulisan makalah ini adalah dengan studi kepustakaan dengan merujuk

pada berbagai literature.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Nervus Fasialis

Saraf kranialis tujuh berasal dari batang otak, berjalan melalui tulang temporal, dan

berakhir pada otot-otot wajah. Inti saraf ketujuh terletak pada daerah pons. Inti ini mendapat

informasi dari girus presentralis dari korteks motorik yang mengurus persarafan dahi

ipsilateral dan kontralateral. Traktus kortikalis serebrum juga mensarafi belahan kontralateral

bagian wajah lainnya. Saat saraf meninggalkan batang otak, suatu cabang saraf kedelapan

yang dikenal sebagai saraf intermedius memisahkan diri dan bergabung dengan saraf ketujuh

untuk memasuki kanalis akustikus internus.

Gambar 1. Perjalanan beserta cabang dan efektor nervus fasialis

Saraf membelok ke depan dan masuk ke ganglion genikulatum. Sejumlah serabut saraf

melalui ganglion dan membentuk saraf petrosus superfisialis mayor. Saraf ini berjalan sepanjang

dasar fossa media dan masuk ke dalam kanalis pterigoideus. Selanjutnya melintas menuju

ganglion sfenopalatina dan beranastomosis dengan serabut yang mengurus apparatus lakrimalis.

Saraf-saraf membuat belokan tajam ke posterior pada ganglion genikulatum dan berjalan

turun lewat segmen labirin menuju segmen timpani dari saraf. Saraf memasuki segmen timpani

dan membuatgenu (putaran) kedua. Saraf berjalan turun secara vertical dan mengeluarkan

cabang untuk otot stapedius. Di bawah tingkat ini, muncul cabang kedua dan masuk kembali ke

dalam telinga sebagai saraf korda timpani. Korda membawa serabut-serabut nyeri, raba, dan

suhu, serta pengecapan untuk duapertiga anterior lidah. Saraf ini juga mengurus salivasi kelenjar

submandibularis.

Bagian utama dari saraf fasialis membawa serabut-serabut motorik dan keluar dari

foramen stilomastoideum tepat di medial prosesus mastoideus. Tujuh puluh persen serabut pada

tempat ini merupakan serabut motorik untuk wajah. Selanjutnya saraf membelok ke anterior dan

memecah menjadi lima cabang utama, yaitu temporalis, zigomatikus, bukalis, mandibularis, dan

servikalis.

Gambar 2. Cabang Nervus Facialis

2.2. Definisi

Bell’s Palsy merupakan suatu kelainan pada saraf wajah yang menyebabkan kelemahan

atau kelumpuhan tiba – tiba pada otot di satu sisi wajah. Bell’s Palsy sering timbul secara

mendadak, biasanya sehabis bangun tidur, perjalanan dengan kendaraan, dan sering setelah

terpapar angin langsung di dekat jendela bis atau kereta api, berjaga tidak tidur sampai larut

malam atau tidur di lantai tanpa alas.

Gambar 3. Cedera Nervus Facialis

Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy à di bagian perifer nukleus nervus VII.

Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Jika lesinya berlokasi di bagian proksimal

ganglion genikulatum, maka paralisis motorik akan disertai gangguan fungsi pengecapan dan

gangguan fungsi otonom. Lesi yang terletak antara ganglion genikulatum dan pangkal korda

timpani akan mengakibatkan hal serupa tetapi tidak mengakibatkan gangguan lakrimasi. Jika

lesinya berlokasi di foramen stilomastoideus maka yang terjadi hanya paralisis fasial (wajah).

2.3. Epidemiologi

Data epidemiologi memperlihatkan bahwa 11 – 40 orang per 100,000 penduduk terkena

bells palsy setiap tahunnya. Penderita terbanyak adalah masyarakat yang berusia antara 30 dan

45 tahun. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Penderita

diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Pada kehamilan

trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih

tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat Walaupun cukup banyak pasien yang sembuh sempurna, namun terdapat hingga 30%

pasien yang mengalami perburukan, dengan gejala fasial yang semakin menonjol, gangguan

psikologis, dan nyeri saraf facial.

2.4. Etiologi dan faktor risiko

Bell palsy diyakini disebabkan oleh peradangan pada saraf wajah di ganglion geniculate,

yang mengarah ke kompresi dan mungkin iskemia dan demielinasi. Ganglion ini terletak pada

kanal wajah di persimpangan segmen labirin dan timpani, di mana kurva saraf tajam ke arah

foramen stylomastoid. Bell palsy sebagai idiopatik, dan penyebab proses inflamasi pada saraf

wajah masih belum jelas. Baru-baru ini, perhatian telah difokuskan pada infeksi virus herpes

simpleks tipe 1 (HSV-1) sebagai penyebabnya karena penelitian telah menemukan peningkatan

HSV-1 titer pada pasien yang terkena. Namun, penelitian telah gagal untuk mengisolasi DNA

virus dalam spesimen biopsi, meninggalkan peran penyebab HSV-1 di question.

Beberapa keadaan yang dicurigai menjadi penyebab Bell’s Palsy yaitu: 1) Infeksi 2)

Kelainan anatomi 3) Vaskuler 4) Imunologi, 5) Genetik.a,g Pada pasien yang tidak mengalami

perbaikan dalam 3 bulan, perlu investigasi lebih lanjut khususnya pemeriksaan radiologi untuk

menilai abnormalitas kanal fasialis.

2.5. Patofisiologi

Mekanisme terjadinya bells palsy masih belum diketahui pasti. Teori vaskuler/pembuluh

darah. Pada Bell’s palsy terjadi akibat berkurangnya asupan darah ke saraf fasialis yang

disebabkan oleh pelebaran pembuluh darah yang terletak antara saraf fasialis dan dinding kanalis

fasialis. Sebab pelebaran pembuluh darah ini bermacam-macam (infeksi virus, proses

imunologik dll).Kurangnya asupan darah yang terjadi menyebabkan gangguan mikrosirkulasi di

dalam saraf fasialis sehingga saraf kekurangan oksigen yang mengakibatkan gangguan fungsi

saraf fasialis.

2.6. Tanda dan Gejala

• Lemah pada otot wajah

• Gangguan untuk menutup mata

• Sakit di telinga atau mastoid

• Perubahan sensasi kecap

• Hiperakusis

• Numbness pada pipi atau mulut

• Epiphora

• Sakit di bagian auricular

• Penglihatan kabur

Berdasarkan letak lesi :

a. Lesi di luar foramen stilomastoideus

Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan berkumpul di antar pipi dan

gusi.

Lipatan kulit dahi menghilang.

Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka aur mata

akan keluar terus menerus.

b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)

Gejala dan tanda klinik seperti pada (a)

Hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan)

Salivasi di sisi yang terkena berkurang

Hilangnya daya pengecapan pada lidah

c. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)

• Gejala dan tanda klinik (a), (b)

• hiperakusis.

d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)

• Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c)

• Nyeri di belakang dan di dalam liang telinga.

• Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan konka.

• Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster

di ganglion genikulatum.

e. Lesi di daerah meatus akustikus interna

• Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c), (d), ditambah dengan tuli sebagi akibat

dari terlibatnya nervus akustikus.

f. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons

• Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda terlibatnya

nervus trigeminus, nervus akustikus, dan kadang-kadang juga nervus abdusens,

nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus.

2.7. Diagnosis

Anamnesis

• Rasa lemah di sebagian sisi dan disertai adanya rasa nyeri pada belakang telinga

• Paraestasia salah satu sisi wajah

• Kelainan di mulut pada saat bangun tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau

berbicara

• Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis

• Kelopak mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos)

• Waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya maka bola mata tampak berputar ke

atas (tanda Bell).

• Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila berkumur atau minum maka air keluar

melalui sisi mulut yang lumpuh.

• Makanan berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah

menghilang.

• Lipatan kulit dahi menghilang.

• Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar

terus menerus.

• Hilangnya ketajaman pengecapan lidah

• Hiperakusis (sensasi pendengaran yang berlebihan)

• Nyeri, linu dan rasa tidak enak di belakang dan di dalam liang telinga. Keluhan tersebut

terjadi mendadak dan mencapai puncaknya dalam 2 hari, disusul dengan telinga

berdenging, nyeri kepala dan perasaan melayang.

• Tuli

• Beberapa bulan pasca onset, dengan manifestasi klinik: air mata bercucuran dari mata

yang terkena pada saat penderita makan.

• Ujung mulut biasanya tertarik ke bawah dan menyebabkan air liur mudah menetes

• Karena kelopak mata tidak dapat ditutup, dapat terjadi kekeringan ataupun ulserasi pada

konjungtiva.

• Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di ruangan

terbuka atau di luar ruangan.

• Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran pernafasan,

otitis, herpes, dan lain-lain

GRADING

• Grade 1

Fungsi fasial masih normal 

• Grade 2 (Disfungsi ringan)

Kelemahan yang ringan yang ditemukan saat inspeksi. Tonus otot normal dan simetris,

pergerakkan dahi normal, mata dapat menutup secara sempurna, mulut sedikit asimetris

dengan usaha yang maksimal.

• Grade 3 (Disfungsi sedang)

Terjadi gangguan pergerakan dahi, ada kontraktur, mata dapat menutup dengan usaha

maksimal, pergerakkan mulut sedikit melemah, tonus otot normal.

• Grade 4 (Disfungsi sedang yang berat)

Kelemahan yang nyata terjadi pada grade ini dimana tidak ada pergerakkan dahi sama

sekali, mata tidak menutup secara sempurna, mulut asimetris

• Grade 5 (Disfungsi parah)

Disfungsi yang parah. Terjadi paresis unilateral, tidak ada pergerakkan dahi, mata tidak

dapat menutup sama sekali, pergerakkan mulut sedikit.

• Grade 6 (Paresis total)

Paresis total. Tidak ada pergerakkan sama sekali.

Pemeriksaan Fisik

Vital Sign

o Blood Preasure Normal

o Heart Rate Normal

o Respiratory Rate Normal

Inspeksi

o Tampak kelemahan pada wajah

o Wajah tidak simetris

o Ekspresi wajah tidak sama

Palpasi

o Nyeri tekan pada belakang telinga

o Suhu normal

Pemeriksaan neurologis ditemukan paresis N.VII tipe perifer.

o Gerakan volunter yang diperiksa, dianjurkan minimal :

1. Mengerutkan dahi

2. Memejamkan mata

3. Mengembangkan cuping hidung

4. Tersenyum

5. Bersiul

6. Mengencangkan kedua bibir

Pemeriksaan Radiologis

- Bukan indikasi pada Bell’s palsy

- Pemeriksaan CT-Scan dilakukan jika dicurigai adanya fraktur atau metastasis

neoplasma ke tulang, stroke, sklerosis multipel dan AIDS pada CNS.

- Pemeriksaan MRI pada pasien Bell’s palsy akan menunjukkan adanya penyangatan

(enhancement) pada nervus fasialis atau pada telinga, ganglion genikulatum.

Pemeriksaan Penunjang

1. Uji kepekaan saraf (Nerve Excitability Test)

Membandingkan kontraksi otot-otot wajah kiri & kanan setelah diberi rangsang

listrik. Perbedaan rangsang lebih 3,5 mA menunjukkan keadaan patologik dan jika lebih

20 mA menunjukkan kerusakan saraf fasialis irreversibel.

2. Uji konduksi saraf (Nerve Conduction Test)

Untuk menentukan derajat denervasi dengan cara mengukur kecepatan hantaran

listrik pada saraf fasialis kiri dan kanan.

3. Elektromiografi

Menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya otot-otot wajah.

4. Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah.

Rasa manis (gula), rasa asin dan rasa pahit (pil kina).

Elektrogustometri membandingkan reaksi antara sisi yang sehat dan yang sakit

dengan stimulasi listrik pada 2/3 bagian depan lidah terhadap rasa kecap pahit atau

metalik.

Gangguan rasa kecap pada Bell’s palsy menunjukkan letak lesi saraf fasialis

setinggi khorda timpani atau proksimalnya.

5. Uji Schirmer

Menggunakan kertas filter khusus yang diletakkan di belakang kelopak mata

bagian bawah kiri dan kanan.

Penilaian berdasarkan atas rembesan air mata pada kertas filter, berkurang atau

mengeringnya air mata menunjukkan lesi saraf fasialis setinggi ganglion genikulatum.

2.8 Penatalaksanaan

• Kortikosteroid

Prednisone,1 mg/kg atau 60 mg/hari untuk 6 hari, diikuti dengan penurunan dosis

secara bertahap sampai total pengobatan 10 hari.

• Antivirus

acyclovir 400 mg, 5 kali sehari, untuk 10 hari.

valacyclovir 500 mg, 2 kali sehari untuk 5 hari.

• Terapi lokal

Mata pasien harus dijaga karena rentan untuk mengalami pengeringan, abrasi

kornea dan corneal ulcer. Gunakan lubrikan okular topical. Gunakan pemberat

eksternal di daerah kelopak mata yang dapat memperbaiki logopthalmus. Botulinum

toksin bisa diinjeksikan secara transkutaneous yang dapat merelaksasi otot fasialis.

• Fisioterapi

Permasalahan yang ditimbulkan Bell’s palsy cukup kompleks, diantaranya

1. Imparment

Impairment yang sering terjadi pada kondisi Bell’s palsy adalah adanya asimetris

pada wajah, rasa kaku dan tebal pada wajah sisi yang lesi, adanya penurunan

kekuatan otot wajah pada sisi yang lesi dan spasme.

2. Functional limitation

Adanya ganguan fungsi yang melibatkan otot-otot wajah, seperti menutup mata,

berkumur, mengunyah, makan dan minum, ganguan bicara dan adanya gangguan

ekspresi wajah.

3. Participation restriction

Pasien cenderung menarik diri dari pergaulan karena kurang percaya diri dengan

kondisi wajahnya.

Fisioterapis mempunyai peranan penting di dalamnya

• Dapat membantu mengatasi permasalahan kapasitas fisik pada pasien

• Mengembalikan kamampuan fungsional pasien

• Memberi motivasi dan edukasi pada pasien untuk menunjang keberhasilan terapi

pasien.

• Untuk pengobatan konservatif dapat dilakukan dengan infra red, massage dan latihan

aktif dari otot-otot wajah.

• Walaupun masih menjadi peredebatan diantara para ahli mengenai terapi yang sesuai

untuk kasus Bell’s palsy, sementara ini teknologi fisioterapi yang akan diaplikasikan

kepada pasien antara lain (1) massage, (2) stimulasi elektris, (3) terapi latihan dengan

menggunakan cermin (mirror exercise), (4) edukasi kepada pasien. Adapun untuk

pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pasien.

• Saat massage à tangan akan merangsang reseptor sensorik dari kulit dan jaringan

subcutaneous à sehingga dapat memberikan efek rileksasi dan mengurangi kaku

pada wajah.

• Terapi latihan dengan menggunakan cermin (mirror exercise) à memberikan

biofeedback & untuk mencegah terjadinya kontraktur dan melatih kembali gerakan

volunter pada wajah pasien.

• Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada stadium

akut.

Latihan Wajah

• Latihan ini dilakukan minimal 2-3 kali sehari

• Pada fase akut dapat dimulai dengan kompres hangat dan pemijatan pada wajah

• latihan ini dilakukan di depan cermin

• Gerakan yang dapat dilakukan berupa:

1.    Tersenyum

2.    Mencucurkan mulut, kemudian bersiul

3.    Mengatupkan bibir

4.    Mengerutkan hidung

5.    Mengerutkan dahi

6.    Gunakan telunjuk dan ibu jari untuk menarik sudut mulut secara manual

7.    Mengangkat alis secara manual dengan keempat jari

2.9 Komplikasi

Pasien dengan Bell palsy mungkin tidak dapat menutup mata pada sisi yang

terkena, yang dapat menyebabkan iritasi dan ulserasi kornea. Mata harus dilumasi dengan

air mata buatan sampai kelumpuhan wajah menyelesaikan. Kelemahan kelopak mata

permanen mungkin memerlukan tarsorrhaphy atau implantasi bobot emas di tutup atas.

Asimetri wajah dan kontraktur otot mungkin memerlukan prosedur bedah

kosmetik atau toksin botulinum (Botox) suntikan. Dalam kasus ini, konsultasi dengan

dokter mata atau ahli bedah kosmetik yang dibutuhkan.

2.10 Prognosis

Prognosis pasien Bell’s palsy umumnya baik, terutama pada anak-anak.

Penyembuhan komplit dapat tercapai pada 85 % kasus, penyembuhan dengan asimetri

otot wajah yang ringan sekitar 10% dan 5% penyembuhan dengan gejala sisa berat.

Bell’s palsy biasanya dapat sembuh tanpa deformitas. Hanya 5% yang mengalami

deformitas. Deformitas pada Bell’s palsy dapat berupa :

Regenerasi motorik inkomplit

Ini merupakan deformitas terbesar dari kelumpuhan saraf fasialis. Dapat terjadi

akibat penekanan saraf motorik yang mensarafi otot-otot ekspresi wajah. Regenerasi saraf

yang tidak maksimal dapat menyebabkan kelumpuhan semua atau beberapa otot wajah.

Manifestasi dari deformitas ini dapat berupa inkompetensi oral, epifora dan hidung

tersumbat.

Regenerasi sensorik inkomplit

Manifestasinya dapat berupa disgeusia, ageusia atau disesthesia.

Regenerasi Aberrant

Selama regenerasi dan perbaikan saraf fasialis, ada beberapa serabut saraf yang

tidak menyambung pada jalurnya tapi menyambung dengan serabut saraf yang ada

didekatnya. Regenerasi aberrant ini dapat menyebabkan terjadinya gerakan involunter

yang mengikuti gerakan volunter (sinkinesis).

BAB III

KESIMPULAN

Bell’s Palsy merupakan suatu kelainan pada saraf wajah yang menyebabkan kelemahan

atau kelumpuhan tiba – tiba pada otot di satu sisi wajaH. Data epidemiologi memperlihatkan

bahwa 11 – 40 orang per 100,000 penduduk terkena bells palsy setiap tahunnya. Beberapa

keadaan yang dicurigai menjadi penyebab Bell’s Palsy yaitu: 1) Infeksi 2) Kelainan anatomi 3)

Vaskuler 4) Imunologi, 5) Genetik

Mekanisme terjadinya bells palsy masih belum diketahui pasti. Teori vaskuler/pembuluh

darah. Pada Bell’s palsy terjadi akibat berkurangnya asupan darah ke saraf fasialis yang

disebabkan oleh pelebaran pembuluh darah yang terletak antara saraf fasialis dan dinding kanalis

fasialis. Sebab pelebaran pembuluh darah ini bermacam-macam (infeksi virus, proses

imunologik dll).Kurangnya asupan darah yang terjadi menyebabkan gangguan mikrosirkulasi di

dalam saraf fasialis sehingga saraf kekurangan oksigen yang mengakibatkan gangguan fungsi

saraf fasialis. Manifestasi Klinik pada Bells Palsy terlihat pada lemah pada otot wajah, gangguan

untuk menutup mata, sakit di telinga atau mastoid, Perubahan sensasi kecap , Hiperakusis,

Numbness pada pipi atau mulut , Epiphora , Sakit di bagian auricular, Penglihatan kabur.

Berdasarkan gejala tersebut Bells Palsy dapat di grading menjadi Grade 1, Grade 2

(Disfungsi ringan), Grade 3 (Disfungsi sedang), Grade 4 (Disfungsi sedang yang berat), Grade 5

(Disfungsi parah), Disfungsi yang parah., Grade 6 (Paresis total). Tatalaksana pasien Bells Palsy

meliputi Kortikosteroid , Antivirus, Terapi lokal dan Fisioterapi Prognosis pasien Bell’s palsy

umumnya baik, terutama pada anak-anak

DAFTAR PUSTAKA

1. Almeida, John R. de, Gordon H. Guyatt, Sachin Sud, Joanne Dorion, et al. 2014.

Management of Bell palsy: clinical practice guideline. Canadian Medical Association.

CMAJ, September 2, 2014, 186(12)

2. Baugh, Reginald, Gregory Basura, Lisa Ishii, Seth R. Scwartz, et al. 2013. Clinical

practice guideline summary: Bell’s Palsy. AAO-HNS Bulletin NOVEMBER 2013

3. Bulstrode NW, Harrison DH. The phenomenon of the late recovered Bell's palsy:

treatment options to improve facial symmetry. Plast Reconstr Surg. 2005; 115: 1466–

1471.

4. De Diego-Sastre JI, Prim-Espada MP, Fernandez-Garcia F. The epidemiology of Bell’s

palsy. Rev Neurol 2005;41:287-90. (In Spanish.)

5. Gronseth, Gary S. & Remia Paduga. 2012. Evidence-based guideline update: Steroids

and antivirals for Bell palsy Report of the Guideline Development Subcommittee of the

American Academy of Neurology. American Academy of Neurology. Neurology 79

November 27, 2012

6. Holland NJ, Weiner GM. Recent developments in Bell’s palsy. BMJ 2004; 329: 553-7.

7. Linder T, Bossart W, Bodmer D. Bell’s palsy and herpes simplex virus: fact or mystery?

Otol Neurotol 2005; 26:109-13.

8. Lo B. Bell Palsy. [Update Feb 24,2010: cited Dec 21,2010]. Available from:

http://www.emedicine.medscape.com/article/791311-overview

9. Neely JG, Neufeld PS. Defining functional limitation, disability, and societal limitations

in patients with facial paresis: initial pilot questionnaire. Am J Otol 1996; 17:340-2

10. Peitersen E. Bell’s palsy: the spontaneous course of 2,500 peripheral facial nerve palsies

of different etiologies. Acta Otolaryngol Suppl 2002;549:4-30.

11. Qin, Daqiang, Zhiyuan Ouang, & Wei Luo. 2009. Familial recurrent Bell’s Palsy.

Department of Neurology, Second Affiliated Hospital, School of Medicine, Zhejiang

University, Hangzhou. Neurology India | Nov-Dec 2009 | Vol 57 | Issue 6

12. Stjernquist-Desatnik A, Skoog E, Aurelius E. Detection of herpes simplex and varicella-

zoster viruses in patients with Bell’s palsy by the polymerase chain reaction technique.

Ann Otol Rhinol Laryngol 2006;115:306-11.

13. Sullivan, Frank M., Iain R. C. Swan, Peter T. Donnan, Jillian M. Morrison, et al. 2007.

Early treatment of prednisolone or acyclovir in Bell’s Palsy. The New England Journal of

Medicine. n engl j med 357;16

14. Vrabec, Jeffrey T. & Jerry W. Lin. 2014. Acute paralysis of the facial nerve. In Bailey's

Head and Neck Surgery-OTOLARYNGOLOGY FIFTH EDITION. Philadelphia

15. Wackym, Phillip A & John S. Rhee. 2003. Facial Paralysis. In Ballenger’s

Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery Sixteenth Edition. Ontario: BC Decker Inc.

Page 494-496