Bell's Palsy

20
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bell’s palsy merupakan lesi pada nervus VII (n.fasialis) perifer, yang mengakibatkan kelumpuhan otot-otot wajah, bersifat akut, dimana penyebabnya tidak diketahui dengan pasti (idiopatik). Pada sebagian besar penderita Bell’s Palsy kelumpuhannya dapat menyembuh, namun pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan gejala sisa. Gejala sisa ini berupa kontraktur, dan spasme spontan. 1 Permasalahan yang ditimbulkan Bell’s palsy cukup kompleks, diantaranya masalah fungsional, kosmetika dan psikologis sehingga dapat merugikan tugas profesi penderita, permasalahan kapasitas fisik (impairment) antara lain berupa asimetris wajah, rasa kaku dan tebal pada wajah sisi lesi, penurunan kekuatan otot wajah pada sisi lesi, potensial terjadi kontraktur dan perlengketan jaringan, potensial terjadi iritasi pada mata sisi lesi. Sedangkan permasahan fungsional (fungsional limitation) berupa gangguan fungsi yang melibatkan otot-otot wajah, seperti makan dan minum, berkumur, gangguan menutup mata, gangguan bicara dan gangguan ekspresi wajah. Semua hal ini dapat 1

Transcript of Bell's Palsy

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bell’s palsy merupakan lesi pada nervus VII (n.fasialis) perifer, yang

mengakibatkan kelumpuhan otot-otot wajah, bersifat akut, dimana penyebabnya

tidak diketahui dengan pasti (idiopatik). Pada sebagian besar penderita Bell’s

Palsy kelumpuhannya dapat menyembuh, namun pada beberapa diantara mereka

kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan gejala sisa. Gejala sisa ini berupa

kontraktur, dan spasme spontan.1

Permasalahan yang ditimbulkan Bell’s palsy cukup kompleks, diantaranya

masalah fungsional, kosmetika dan psikologis sehingga dapat merugikan tugas

profesi penderita, permasalahan kapasitas fisik (impairment) antara lain berupa

asimetris wajah, rasa kaku dan tebal pada wajah sisi lesi, penurunan kekuatan

otot wajah pada sisi lesi, potensial terjadi kontraktur dan perlengketan jaringan,

potensial terjadi iritasi pada mata sisi lesi. Sedangkan permasahan fungsional

(fungsional limitation) berupa gangguan fungsi yang melibatkan otot-otot wajah,

seperti makan dan minum, berkumur, gangguan menutup mata, gangguan bicara

dan gangguan ekspresi wajah. Semua hal ini dapat menyebabkan individu

tersebut menjadi tidak percaya diri.

1.2 Tujuan

Karangan ini dibuat untuk menerangkan tentang penyakit Bell’s palsy bagi

melengkapkan tugas kepaniteraan klinik senior di Bagian Neurologi Universitas

Sumatera Utara.

1

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Kelumpuhan wajah adalah suatu bentuk kecacatan yang memberikan

dampak yang kuat pada seseorang. Kelumpuhan nervus facialis dapat disebabkan

oleh bawaan lahir (kongenital), neoplasma, trauma, infeksi., paparan toksik

ataupun penyebab iatrogenik. Yang paling sering menyebabkan kelumpuhan

unilateral pada wajah adalah Bell’s palsy.1

Bell’s palsy ditemukan oleh dokter dari inggris yang bernama Charles

Bell. Bell’s palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan

yang akut dan idiopatik akibat disfungsi nervus facialis perifer. 2

2.2 Epidemiologi

Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis

fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986

dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat,

insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63%

mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per

100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi,

dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan

perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun

lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama.

Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur

15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan

kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil,

bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.1

2.3 Etiologi

Diperkirakan, penyebab Bell’s palsy adalah edema dan iskemia akibat

penekanan (kompresi) pada nervus fasialis. Penyebab edema dan iskemia ini

2

sampai saat ini masih diperdebatkan. Dulu, paparan suasana/suhu dingin

(misalnya hawa dingin, AC, atau menyetir mobil dengan jendela yang terbuka)

dianggap sebagai satu-satunya pemicu Bell’s palsy. Akan tetapi, sekarang mulai

diyakini HSV sebagai penyebab Bell’s palsy, karena telah diidentifikasi HSV

pada ganglion geniculata pada beberapa penelitian otopsi. Murakami et all juga

melakukan tes PCR (Polymerase-Chain Reaction) pada cairan endoneural N.VII

penderita Bell’s palsy berat yang menjalani pembedahan dan menemukan HSV

dalam cairan endoneural. Virus ini diperkirakan dapat berpindah secara axonal

dari saraf sensori dan menempati sel ganglion, pada saat adanya stress, akan

terjadi reaktivasi virus yang akan menyebabkan kerusakan local pada myelin.1,3

2.4. Anatomi Nervus Fasialis

Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :

1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator

palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan

stapedius di telinga tengah.

2. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius

superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,

rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual

dan lakrimalis.

3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua

pertiga bagian depan lidah.

4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba

dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus

trigeminus.

Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh

otot mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius

Wrisberg yang mengantarkan rasa pengecapan dari 2/3 bagian anteriort lidah dan

sensasi kulit dari dinding anterior kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut

rasa pengecapan pertama-tama melintasi nervus lingual, yaitu cabang dari nervus

mandibularis lalu masuk ke korda timpani dimana ia membawa sensasi

3

pengecapan melalui nervus fasialis ke nukleus traktus solitarius. Serabut-serabut

sekretomotor menginervasi kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus superfisial

major dan kelenjar sublingual serta kelenjar submaksilar melalui korda

tympani.1,3

Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus

abdusens, dan serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan

melewati bagian ventrolateral nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di

bagian lateral traktus kortikospinal. Karena posisinya yang berdekatan

(jukstaposisi) pada dasar ventrikel IV, maka nervus VI dan VII dapat terkena

bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk ke

meatus akustikus internus bersama dengan nervus akustikus lalu membelok tajam

ke depan dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Pada

sudut ini (genu) terletak ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena

sangat dekat dengan genu. Nervus fasialis terus berjalan melalui kanalis fasialis

tepat di bawah ganglion genikulatum untuk memberikan percabangan ke

4

ganglion pterygopalatina, yaitu nervus petrosus superfisial major, dan di sebelah

yang lebih distal memberi persarafan ke m. stapedius yang dihubungkan oleh

korda timpani. Lalu nervus fasialis keluar dari kranium melalui foramen

stylomastoideus kemudian melintasi kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima

cabang yang melayani otot-otot wajah, m. stilomastoideus, platisma dan m.

digastrikus venter posterior.1,3

2.5 Patofisiologi

Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi

akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen

stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral.

Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya

proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter

nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui

tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui

kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada

pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik

tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan

gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis

bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi

supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras

kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah

somatotropik wajah di korteks motorik primer.4

Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan

kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s

palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen

stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN

bias terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum

timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis.

Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus

longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai

5

kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain

itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bersamaan dengan tuli perseptif

ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah).

Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah

reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang

saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf

melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus

fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. 1

Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari

otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak

dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang

berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan

platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa

disalurkan secara wajar sehingga tertimbun. Gejala-gejala pengiring seperti

6

ageusia dan hiperakusis tidak ada karena bagian nervus fasialis yang terjepit di

foramen stilomastoideum sudah tidak mengandung lagi serabut korda timpani

dan serabut yang mensyarafi muskulus stapedius. 4

2.6. Gejala Klinis

Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat

didiagnosa dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak.

Lipatan-lipatan di dahi akan menghilang dan Nampak seluruh muka sisi yang

sakit akan mencong tertarik ke arah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer

ini tergantung dari lokalisasi kerusakan. 5,6

a. Kerusakan setinggi foramen stilomastoideus

Gejala : kelumpuhan otot-otot wajah pada sebelah lesi

Sudut mulut sisi lesi jatuh dan tidak dapat diangkat

Makanan berkumpul diantara pipi dan gusi pada sebelah lesi

Tidak dapat menutup mata dan mengerutkan kening pada sisi lesi

Kelumpuhan ini adalah berupa tipe flaksid, LMN. Pengecapan dan

sekresi air liur masih baik.

b. Lesi setinggi diantara khorda tympani dengan n.stapedeus (didalam

kanalis fasialis)

Gejala seperti (a) ditambah dengan gangguan pengecapan 2/3 depan lidah

dan gangguan salivasi

c. Lesi setinggi diantara n.stapedeus dengan ganglion genikulatum

Gejala seperti (b) ditambah dengan gangguan pendengaran yaitu

hiperakusis

d. Lesi setinggi ganglion genikulatum

Gejala seperti (c) ditambah dengan gangguan sekresi kelenjar hidung dan

gangguan kelenjar air mata (lakrimasi)

e. Lesi di porus akustikus internus

Gangguan seperti (d) ditambah dengan gangguan pada N.VIII.

Yang paling sering ditemui ialah kerusakan pada tempat setinggi foramen

stilomastoideus dan pada setinggi ganglion genikulatum. Adapun penyebab yang

7

sering pada kerusakan setinggi genikulatum adalah : Herpes Zoster, otitis media

perforata dan mastoiditis.5

2.7. Diagnosis

Diagnosis Bell’s palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis

dan pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan

adanya parese dari nervus fasialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat

memejamkan mata dan adanya rasa nyeri pada telinga. Hiperakusis dan augesia

juga dapat ditemukan. Harus dibedakan antara lesi UMN dan LMN. Pada Bell’s

palsy lesinya bersifat LMN. 1

A. Pemeriksaan Fisis

Kelumpuhan nervus fasialis mudah terlihat hanya dengan pemeriksaan fisik

tetapi yang harus diteliti lebih lanjut adalah apakah ada penyebab lain yang

menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis. Pada lesi supranuklear, dimana

lokasi lesi di atas nukleus fasialis di pons, maka lesinya bersifat UMN. Pada

kelainan tersebut, sepertiga atas nervus fasialis normal, sedangkan dua pertiga

di bawahnya mengalami paralisis. Pemeriksaan nervus kranialis yang lain

dalam batas normal. 1

B. Pemeriksaan Laboratorium

8

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan

diagnosis Bell’s palsy. Namun pemeriksaan kadar gula darah atau HbA1c

dapat dipertimbangkan untuk mengetahui apakah pasien tersebut menderita

diabetes atau tidak. Pemeriksaan kadar serum HSV juga bisa dilakukan

namun ini biasanya tidak dapat menentukan dari mana virus tersebut berasal.1

C. Pemeriksaan Radiologi

Bila dari anamneses dan pemeriksaan fisik telah mengarahkan ke diagnose

Berll’s palsy maka pemeriksaan radiologi tidak dip[erlukan lagi, karena

pasien-pasien dengan Bell’s palsy umumnya akan mengalami perbaikan

dalam 8-10 minggu. Bila tidak ada perbaikan ataupun mengalami perburukan,

pencitraan mungkin akan membantu. MRI mungkin dapat menunjukkan

adanya tumor (misalnya Schwannoma, hemangioma, meningioma). Bila

pasien ada riwayat trauma CT Scan harus dilakukan.1

2.8. Diagnosa Banding

Kondisi lain yang dapat menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis

diantaranya tumor, infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay

Hunt syndrom), penyakit Lyme, AIDS, infeksi Tuberculosa pada mastoid

ataupun telinga tengah, Guillen Barre syndrome.1,3

2.9. Penatalaksanaan

Melindungi mata pada saat tidur dan pemberian tetes mata

metilselulosa, memijat otot-otot yang lemah dan mencegah kendornya otot-otot

di bagian bawah wajah merupakan kondisi yang dapat dikelola secara umum

Belum ada bukti yang mendukung bahwa tindakan pembedahan efektif terhadap

nervus fasialis, bahkan kemungkinan besar dapat membahayakan.

Pemberian kortikosteroid (prednison dengan dosis 40 -60 mg/hari per oral atau 1

mg/kgBB/hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian),

dimana pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya

untuk meningkatkan peluang kesembuhan pasien.1,2,3

9

Dasar dari pengobatan ini adalah untuk menurunkan kemungkinan

terjadinya kelumpuhan yang sifatnya permanen yang disebabkan oleh

pembengkakan nervus fasialis di dalam kanal fasialis yang sempit.

Penemuan genom virus disekitar nervus fasialis memungkinkan digunakannya

agen-agen antivirus pada penatalaksanaan Bell’s palsy. Acyclovir (400 mg

selama 10 hari) dapat digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s palsy yang

dikombinasikan dengan prednison atau dapat juga diberikan sebagai dosis

tunggal untuk penderita yang tidak dapat mengkonsumsi prednison. Penggunaan

Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit

untuk mencegah replikasi virus.1,2,3

2.10. Komplikasi

Kira-kira 30% pasien Bell’s palsy yang sembuh dengan gejala sisa seperti

fungsi motorik dan sensorik yang tidak sempurna, serta kelemahan saraf

parasimpatik. Komplikasi yang paling banyak terjadi yaitu disgeusia atau

ageusia, spasme nervus fasialis yang kronik dan kelemahan saraf parasimpatik

yang menyebabkan kelenjar lakrimalis tidak berfungsi dengan baik sehingga

tampak seperti air mata buaya (crocodile tears).1

2.11. Prognosis

Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa.

Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:1

(1) Usia di atas 60 tahun

(2) Paralisis komplit

(3) Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh,

(4) Nyeri pada bagian belakang telinga dan

(5) Berkurangnya air mata.

Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita

sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita

yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan

beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau

10

kurang, hanya punya perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan

meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka

penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears

dan kadang spasme hemifasial. 1

Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding

penderita nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang

non DM. Hanya 23 % kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s

palsy kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh

ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis.1

11

BAB III

KESIMPULAN

Bell’s palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan

yang akut dan idiopatik akibat disfungsi nervus facialis perifer. Penyebab Bell’s

palsy adalah edema dan iskemia akibat penekanan (kompresi) pada nervus

fasialis.

Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat

didiagnosa dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak.

Lipatan-lipatan di dahi akan menghilang dan Nampak seluruh muka sisi yang

sakit akan mencong tertarik ke arah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer

ini tergantung dari lokalisasi kerusakan.

12

Daftar Pustaka

1. Monnel, K., Zachariah, S., Khoromi, S. 2009. Bell’s Palsy. Available

from : http://emedicine.medscape.com/article/1146903. Accessed June 1,

2010.

2. Holland, J. Bell’s Palsy. Brithis Medical Journal. 2008;01;1204.

3. Ropper AH, Brown RH. Bell’s Palsy Disease Of The Cranial Nerve.

Adams and Victor’s Principles of Neurology, 8th ed. New York : McGraw

Hill, 2005. 1181-1184.

4. Mardjono, M. Sidharta, P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi

Klinis Dasar, 5th ed. Jakarta : PT Dian Rakyat, 2005. 159-163.

5. Sjahrir, Hasan. Nervus Fasialis. Medan ;Yandira Agung, 2003.

6. Rohkamm, Reinhard. Facial Nerve Lesions. Color Atlas of Neurology 2nd

ed. George Thieme Verlag: German, 2003. 98-99.

13