Bell's Palsy
-
Upload
ritaresmiasih -
Category
Documents
-
view
31 -
download
2
Transcript of Bell's Palsy
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bell’s palsy merupakan lesi pada nervus VII (n.fasialis) perifer, yang
mengakibatkan kelumpuhan otot-otot wajah, bersifat akut, dimana penyebabnya
tidak diketahui dengan pasti (idiopatik). Pada sebagian besar penderita Bell’s
Palsy kelumpuhannya dapat menyembuh, namun pada beberapa diantara mereka
kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan gejala sisa. Gejala sisa ini berupa
kontraktur, dan spasme spontan.1
Permasalahan yang ditimbulkan Bell’s palsy cukup kompleks, diantaranya
masalah fungsional, kosmetika dan psikologis sehingga dapat merugikan tugas
profesi penderita, permasalahan kapasitas fisik (impairment) antara lain berupa
asimetris wajah, rasa kaku dan tebal pada wajah sisi lesi, penurunan kekuatan
otot wajah pada sisi lesi, potensial terjadi kontraktur dan perlengketan jaringan,
potensial terjadi iritasi pada mata sisi lesi. Sedangkan permasahan fungsional
(fungsional limitation) berupa gangguan fungsi yang melibatkan otot-otot wajah,
seperti makan dan minum, berkumur, gangguan menutup mata, gangguan bicara
dan gangguan ekspresi wajah. Semua hal ini dapat menyebabkan individu
tersebut menjadi tidak percaya diri.
1.2 Tujuan
Karangan ini dibuat untuk menerangkan tentang penyakit Bell’s palsy bagi
melengkapkan tugas kepaniteraan klinik senior di Bagian Neurologi Universitas
Sumatera Utara.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Kelumpuhan wajah adalah suatu bentuk kecacatan yang memberikan
dampak yang kuat pada seseorang. Kelumpuhan nervus facialis dapat disebabkan
oleh bawaan lahir (kongenital), neoplasma, trauma, infeksi., paparan toksik
ataupun penyebab iatrogenik. Yang paling sering menyebabkan kelumpuhan
unilateral pada wajah adalah Bell’s palsy.1
Bell’s palsy ditemukan oleh dokter dari inggris yang bernama Charles
Bell. Bell’s palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan
yang akut dan idiopatik akibat disfungsi nervus facialis perifer. 2
2.2 Epidemiologi
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis
fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986
dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat,
insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63%
mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per
100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi,
dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan
perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun
lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama.
Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur
15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan
kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil,
bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.1
2.3 Etiologi
Diperkirakan, penyebab Bell’s palsy adalah edema dan iskemia akibat
penekanan (kompresi) pada nervus fasialis. Penyebab edema dan iskemia ini
2
sampai saat ini masih diperdebatkan. Dulu, paparan suasana/suhu dingin
(misalnya hawa dingin, AC, atau menyetir mobil dengan jendela yang terbuka)
dianggap sebagai satu-satunya pemicu Bell’s palsy. Akan tetapi, sekarang mulai
diyakini HSV sebagai penyebab Bell’s palsy, karena telah diidentifikasi HSV
pada ganglion geniculata pada beberapa penelitian otopsi. Murakami et all juga
melakukan tes PCR (Polymerase-Chain Reaction) pada cairan endoneural N.VII
penderita Bell’s palsy berat yang menjalani pembedahan dan menemukan HSV
dalam cairan endoneural. Virus ini diperkirakan dapat berpindah secara axonal
dari saraf sensori dan menempati sel ganglion, pada saat adanya stress, akan
terjadi reaktivasi virus yang akan menyebabkan kerusakan local pada myelin.1,3
2.4. Anatomi Nervus Fasialis
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator
palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan
stapedius di telinga tengah.
2. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,
rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual
dan lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua
pertiga bagian depan lidah.
4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba
dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus
trigeminus.
Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh
otot mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius
Wrisberg yang mengantarkan rasa pengecapan dari 2/3 bagian anteriort lidah dan
sensasi kulit dari dinding anterior kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut
rasa pengecapan pertama-tama melintasi nervus lingual, yaitu cabang dari nervus
mandibularis lalu masuk ke korda timpani dimana ia membawa sensasi
3
pengecapan melalui nervus fasialis ke nukleus traktus solitarius. Serabut-serabut
sekretomotor menginervasi kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus superfisial
major dan kelenjar sublingual serta kelenjar submaksilar melalui korda
tympani.1,3
Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus
abdusens, dan serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan
melewati bagian ventrolateral nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di
bagian lateral traktus kortikospinal. Karena posisinya yang berdekatan
(jukstaposisi) pada dasar ventrikel IV, maka nervus VI dan VII dapat terkena
bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk ke
meatus akustikus internus bersama dengan nervus akustikus lalu membelok tajam
ke depan dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Pada
sudut ini (genu) terletak ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena
sangat dekat dengan genu. Nervus fasialis terus berjalan melalui kanalis fasialis
tepat di bawah ganglion genikulatum untuk memberikan percabangan ke
4
ganglion pterygopalatina, yaitu nervus petrosus superfisial major, dan di sebelah
yang lebih distal memberi persarafan ke m. stapedius yang dihubungkan oleh
korda timpani. Lalu nervus fasialis keluar dari kranium melalui foramen
stylomastoideus kemudian melintasi kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima
cabang yang melayani otot-otot wajah, m. stilomastoideus, platisma dan m.
digastrikus venter posterior.1,3
2.5 Patofisiologi
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi
akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen
stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral.
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya
proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter
nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui
tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui
kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada
pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik
tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan
gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis
bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi
supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras
kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah
somatotropik wajah di korteks motorik primer.4
Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan
kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s
palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen
stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN
bias terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum
timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis.
Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus
longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai
5
kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain
itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bersamaan dengan tuli perseptif
ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah).
Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah
reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang
saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf
melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus
fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. 1
Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari
otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak
dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang
berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan
platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa
disalurkan secara wajar sehingga tertimbun. Gejala-gejala pengiring seperti
6
ageusia dan hiperakusis tidak ada karena bagian nervus fasialis yang terjepit di
foramen stilomastoideum sudah tidak mengandung lagi serabut korda timpani
dan serabut yang mensyarafi muskulus stapedius. 4
2.6. Gejala Klinis
Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat
didiagnosa dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak.
Lipatan-lipatan di dahi akan menghilang dan Nampak seluruh muka sisi yang
sakit akan mencong tertarik ke arah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer
ini tergantung dari lokalisasi kerusakan. 5,6
a. Kerusakan setinggi foramen stilomastoideus
Gejala : kelumpuhan otot-otot wajah pada sebelah lesi
Sudut mulut sisi lesi jatuh dan tidak dapat diangkat
Makanan berkumpul diantara pipi dan gusi pada sebelah lesi
Tidak dapat menutup mata dan mengerutkan kening pada sisi lesi
Kelumpuhan ini adalah berupa tipe flaksid, LMN. Pengecapan dan
sekresi air liur masih baik.
b. Lesi setinggi diantara khorda tympani dengan n.stapedeus (didalam
kanalis fasialis)
Gejala seperti (a) ditambah dengan gangguan pengecapan 2/3 depan lidah
dan gangguan salivasi
c. Lesi setinggi diantara n.stapedeus dengan ganglion genikulatum
Gejala seperti (b) ditambah dengan gangguan pendengaran yaitu
hiperakusis
d. Lesi setinggi ganglion genikulatum
Gejala seperti (c) ditambah dengan gangguan sekresi kelenjar hidung dan
gangguan kelenjar air mata (lakrimasi)
e. Lesi di porus akustikus internus
Gangguan seperti (d) ditambah dengan gangguan pada N.VIII.
Yang paling sering ditemui ialah kerusakan pada tempat setinggi foramen
stilomastoideus dan pada setinggi ganglion genikulatum. Adapun penyebab yang
7
sering pada kerusakan setinggi genikulatum adalah : Herpes Zoster, otitis media
perforata dan mastoiditis.5
2.7. Diagnosis
Diagnosis Bell’s palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis
dan pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan
adanya parese dari nervus fasialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat
memejamkan mata dan adanya rasa nyeri pada telinga. Hiperakusis dan augesia
juga dapat ditemukan. Harus dibedakan antara lesi UMN dan LMN. Pada Bell’s
palsy lesinya bersifat LMN. 1
A. Pemeriksaan Fisis
Kelumpuhan nervus fasialis mudah terlihat hanya dengan pemeriksaan fisik
tetapi yang harus diteliti lebih lanjut adalah apakah ada penyebab lain yang
menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis. Pada lesi supranuklear, dimana
lokasi lesi di atas nukleus fasialis di pons, maka lesinya bersifat UMN. Pada
kelainan tersebut, sepertiga atas nervus fasialis normal, sedangkan dua pertiga
di bawahnya mengalami paralisis. Pemeriksaan nervus kranialis yang lain
dalam batas normal. 1
B. Pemeriksaan Laboratorium
8
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan
diagnosis Bell’s palsy. Namun pemeriksaan kadar gula darah atau HbA1c
dapat dipertimbangkan untuk mengetahui apakah pasien tersebut menderita
diabetes atau tidak. Pemeriksaan kadar serum HSV juga bisa dilakukan
namun ini biasanya tidak dapat menentukan dari mana virus tersebut berasal.1
C. Pemeriksaan Radiologi
Bila dari anamneses dan pemeriksaan fisik telah mengarahkan ke diagnose
Berll’s palsy maka pemeriksaan radiologi tidak dip[erlukan lagi, karena
pasien-pasien dengan Bell’s palsy umumnya akan mengalami perbaikan
dalam 8-10 minggu. Bila tidak ada perbaikan ataupun mengalami perburukan,
pencitraan mungkin akan membantu. MRI mungkin dapat menunjukkan
adanya tumor (misalnya Schwannoma, hemangioma, meningioma). Bila
pasien ada riwayat trauma CT Scan harus dilakukan.1
2.8. Diagnosa Banding
Kondisi lain yang dapat menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis
diantaranya tumor, infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay
Hunt syndrom), penyakit Lyme, AIDS, infeksi Tuberculosa pada mastoid
ataupun telinga tengah, Guillen Barre syndrome.1,3
2.9. Penatalaksanaan
Melindungi mata pada saat tidur dan pemberian tetes mata
metilselulosa, memijat otot-otot yang lemah dan mencegah kendornya otot-otot
di bagian bawah wajah merupakan kondisi yang dapat dikelola secara umum
Belum ada bukti yang mendukung bahwa tindakan pembedahan efektif terhadap
nervus fasialis, bahkan kemungkinan besar dapat membahayakan.
Pemberian kortikosteroid (prednison dengan dosis 40 -60 mg/hari per oral atau 1
mg/kgBB/hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian),
dimana pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya
untuk meningkatkan peluang kesembuhan pasien.1,2,3
9
Dasar dari pengobatan ini adalah untuk menurunkan kemungkinan
terjadinya kelumpuhan yang sifatnya permanen yang disebabkan oleh
pembengkakan nervus fasialis di dalam kanal fasialis yang sempit.
Penemuan genom virus disekitar nervus fasialis memungkinkan digunakannya
agen-agen antivirus pada penatalaksanaan Bell’s palsy. Acyclovir (400 mg
selama 10 hari) dapat digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s palsy yang
dikombinasikan dengan prednison atau dapat juga diberikan sebagai dosis
tunggal untuk penderita yang tidak dapat mengkonsumsi prednison. Penggunaan
Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit
untuk mencegah replikasi virus.1,2,3
2.10. Komplikasi
Kira-kira 30% pasien Bell’s palsy yang sembuh dengan gejala sisa seperti
fungsi motorik dan sensorik yang tidak sempurna, serta kelemahan saraf
parasimpatik. Komplikasi yang paling banyak terjadi yaitu disgeusia atau
ageusia, spasme nervus fasialis yang kronik dan kelemahan saraf parasimpatik
yang menyebabkan kelenjar lakrimalis tidak berfungsi dengan baik sehingga
tampak seperti air mata buaya (crocodile tears).1
2.11. Prognosis
Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa.
Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:1
(1) Usia di atas 60 tahun
(2) Paralisis komplit
(3) Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh,
(4) Nyeri pada bagian belakang telinga dan
(5) Berkurangnya air mata.
Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita
sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita
yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan
beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau
10
kurang, hanya punya perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan
meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka
penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears
dan kadang spasme hemifasial. 1
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding
penderita nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang
non DM. Hanya 23 % kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s
palsy kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh
ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis.1
11
BAB III
KESIMPULAN
Bell’s palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan
yang akut dan idiopatik akibat disfungsi nervus facialis perifer. Penyebab Bell’s
palsy adalah edema dan iskemia akibat penekanan (kompresi) pada nervus
fasialis.
Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat
didiagnosa dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak.
Lipatan-lipatan di dahi akan menghilang dan Nampak seluruh muka sisi yang
sakit akan mencong tertarik ke arah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer
ini tergantung dari lokalisasi kerusakan.
12
Daftar Pustaka
1. Monnel, K., Zachariah, S., Khoromi, S. 2009. Bell’s Palsy. Available
from : http://emedicine.medscape.com/article/1146903. Accessed June 1,
2010.
2. Holland, J. Bell’s Palsy. Brithis Medical Journal. 2008;01;1204.
3. Ropper AH, Brown RH. Bell’s Palsy Disease Of The Cranial Nerve.
Adams and Victor’s Principles of Neurology, 8th ed. New York : McGraw
Hill, 2005. 1181-1184.
4. Mardjono, M. Sidharta, P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi
Klinis Dasar, 5th ed. Jakarta : PT Dian Rakyat, 2005. 159-163.
5. Sjahrir, Hasan. Nervus Fasialis. Medan ;Yandira Agung, 2003.
6. Rohkamm, Reinhard. Facial Nerve Lesions. Color Atlas of Neurology 2nd
ed. George Thieme Verlag: German, 2003. 98-99.
13