BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Asal Usul …repository.unwira.ac.id/4584/6/BAB V.pdfBAB V...

36
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Asal Usul Tarian Ha’i Nggaja Pada masa penjajahan Belanda di zaman raja Mari Longa, perjuangan sengit Mari Longa masuk keluar hutan melawan penjajah sangat luar biasa. Setelah berjuang sekian lama melawan penjajah, Mari Longa rupanya tidak ingin keluar masuk hutan lagi, maka munculah gagasan untuk membangun sebuah benteng pertahanan, atau dalam bahasa Lio disebut Potu. Karena itu, Mari Longa dan anak buahnya mulai membangun benteng tersebut. Benteng dibangun dalam tujuh lapis atau bagian. Lapis pertama atau lapis dalam di susun batu-batu besar. Lapis kedua, di isi tanah. Lapis ke tiga di tanam bambu berisi air. Lapis ke empat berisi bongkahan tanah, lapis ke lima di tanam kayu deo, lapis ke enam di susun batu-batu besar dan lapis ke tujuh atau bagian paling luar di tanam bambu yang ujungnya sudah diruncing dan digantung onak dan duri. Setelah selesai membangun benteng, Mari Longa mengundang anak buahnya dari Detu Soko, Pe’i Benga, Muku Reku, Detu Nio, Kanga Nara dan beberapa kampung lain untuk mengatur strategi perang, sekaligus meresmikan benteng pertahanan. Acara peresmian benteng diwarnai dengan tarian Gawi atau tandak dan tarian Ha’i Nggaja. Menurut Perpetua Sura dan Yoseph Jando (wawancara tanggal 10 April 2014, di Woloara), tarian Ha’i Nggaja diciptakan oleh para leluhur, tidak hanya untuk merayakan kemenangan dalam perang, tetapi juga untuk merayakan keberhasilan panen dalam kegiatan pertanian atau perladangan. Hal ini dapat dilihat pada syair-syair lagu yang digubah oleh Nikolaus Doja (almarhum), yang di dalam syair lagu tersebut termuat makna-makna kemenangan lainnya. 42

Transcript of BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Asal Usul …repository.unwira.ac.id/4584/6/BAB V.pdfBAB V...

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Asal Usul Tarian Ha’i Nggaja

Pada masa penjajahan Belanda di zaman raja Mari Longa, perjuangan sengit

Mari Longa masuk keluar hutan melawan penjajah sangat luar biasa. Setelah berjuang

sekian lama melawan penjajah, Mari Longa rupanya tidak ingin keluar masuk hutan

lagi, maka munculah gagasan untuk membangun sebuah benteng pertahanan, atau

dalam bahasa Lio disebut Potu. Karena itu, Mari Longa dan anak buahnya mulai

membangun benteng tersebut. Benteng dibangun dalam tujuh lapis atau bagian. Lapis

pertama atau lapis dalam di susun batu-batu besar. Lapis kedua, di isi tanah. Lapis ke

tiga di tanam bambu berisi air. Lapis ke empat berisi bongkahan tanah, lapis ke lima di

tanam kayu deo, lapis ke enam di susun batu-batu besar dan lapis ke tujuh atau bagian

paling luar di tanam bambu yang ujungnya sudah diruncing dan digantung onak dan

duri. Setelah selesai membangun benteng, Mari Longa mengundang anak buahnya dari

Detu Soko, Pe’i Benga, Muku Reku, Detu Nio, Kanga Nara dan beberapa kampung

lain untuk mengatur strategi perang, sekaligus meresmikan benteng pertahanan. Acara

peresmian benteng diwarnai dengan tarian Gawi atau tandak dan tarian Ha’i Nggaja.

Menurut Perpetua Sura dan Yoseph Jando (wawancara tanggal 10 April 2014,

di Woloara), tarian Ha’i Nggaja diciptakan oleh para leluhur, tidak hanya untuk

merayakan kemenangan dalam perang, tetapi juga untuk merayakan keberhasilan

panen dalam kegiatan pertanian atau perladangan. Hal ini dapat dilihat pada syair-syair

lagu yang digubah oleh Nikolaus Doja (almarhum), yang di dalam syair lagu tersebut

termuat makna-makna kemenangan lainnya.

42

Selama masa perjuangan Raja Mari Longa, dan semenjak tarian ini diciptakan,

tidak ada orang yang menulis atau mencatat kisah sejarah tarian Ha’i Nggaja, yang

ada hanya cerita dari mulut ke mulut. Pada zaman raja Mari Longa, tarian ini selalu

disajikan ketika raja Mari Longa meresmikan benteng pertahanan, dan juga saat

menyambut kembali Mari Longa dan anak buahnya dari medan pertempuran.

Setelah raja Mari Longa gugur dalam medan pertempuran, tarian Ha’i Nggaja

ini di wariskan dan dilestarikan secara turun temurun oleh masyarakat Desa Woloara

dengan ketua Nikolaus Doja (almarhum) sebagai pelatih tarian dan juga penggubah

syair nyanyian Ha’i Nggaja

Dalam perkembangannya, tarian ini tidak hanya dipentaskan saat acara

syukuran kemenangan atau kesuksesan dan ritual adat, tapi juga dipentaskan saat

menyambut tamu, pertunjukan atau hiburan bagi wisatawan asing, dan juga dalam

mengikuti festival-festival kebudayaan.

B. Pengertian Ha’i Nggaja

Ha’i Nggaja merupakan sebuah tarian tradisional dari daerah Lio khususnya

pada masyarakat Dusun Nuaone, Desa Woloara, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten

Ende. Secara etimologis tarian Ha’i Nggaja terdiri dari dua suku kata yang masing-

masing mempunyai arti. Ha’i berarti kaki atau hentakan kaki, sedangkan Nggaja

merupakan sebuah simbol kemenangan. Jadi tarian Ha’i Nggaja berarti hentakan kaki

sebagai ungkapan kemenangan.

Tarian Ha’i Nggaja adalah tarian yang menjadi lambang kemenangan dalam

perang. Pada masa sekarang tarian ini dipentaskan dalam pesta adat (nggua),

pengangkatan, dan terutama pelantikan mosalaki (tua adat), atau juga saat menyambut

tamu, sebagai penghormatan dan tanda keperkasaan suku. Tarian ini diiringi musik

wani (gendang), serta nyanyian yang bersahut-sahutan antara laki-laki dan perempuan.

43

Gerak kaki dan tangan bertempik sorak kegirangan karena memenangi perang,

sekaligus merupakan simbol kejantanan laki-laki yang umumnya disyukuri oleh para

perempuan, (wawancara Perpetua Sura (40) dan Yosep Jando (80) tanggal 10 April

2014, di Woloara).

C. Pola Gerak dan Pola Lantai Tarian Ha’i Nggaja

1. Pola Gerak

Pada awalnya gerak manusia merupakan suatu kebiasaan untuk maksud-

maksud tertentu. Pengembangan gerak manusia yang digarap sebagai tari, banyak

mendapat pengaruh dari gerak-gerak alamiah yang dipergunakan dalam

kehidupan sehari-hari. Pola gerakan tarian Ha’i Nggaja terdiri dari dua (2)

gerakan yaitu:

a. Pola gerak I : gerak maju

Pola lantai : berbentuk horizontal

Artinya : dengan posisi berhadapan, dan mata saling memandang,

para penari Ha’i Nggaja melakukan gerakan tari

berdasarkan ritme dengan bergerak maju.

b. Pola gerak II : gerak mundur

Pola lantai : berbentuk horizontal

Artinya : dengan posisi berhadapan dan mata saling memandang,

para penari Ha’i Nggaja melakukan gerakan tari

berdasarkan ritme dengan bergerak mundur.

2. Pola lantai

Pola lantai yang dipakai dalam tarian ini adalah berbentuk horizontal

dengan berdiri berhadapan, kaki sejajar, dan mata saling memandang. Untuk lebih

jelasnya lihat tabel dibawah ini:

44

Tabel 5: Pola Lantai tarian Ha’i Nggaja

Pola gerak Pola lantai

Gerak maju O O O O O O

O O O O O O

Gerak mundur O O O O O O

O O O O O O

artinya : Arah hadap (horizontal)

artinya :

D. Pelaku Tarian Ha’i Nggaja

Berdasarkan hasil wawancara bersama Perpetua Sura (40) dan Lambertus

Pamo (45) tanggal 10 april 2014, yang pantas melakukan tarian Ha’i Nggaja adalah

para orang tua, remaja, maupun anak-anak. Artinya siapa saja boleh melakukan tarian

ini, semuanya tergantung moment atau peristiwanya. Untuk acara syukuran

kemenangan dalam perang maupun syukuran panen maka tarian Ha’i Nggaja hanya

khusus dibawakan oleh para penari orang tua saja, karena dalam upacara ritual bersifat

sakral dan penuh daya magis, sehingga tidak diperbolehkan sembarang orang

menarikannya. Lain halnya untuk kebutuhan pertunjukan atau festival budaya, tarian

Ha’i Nggaja bisa dibawakan oleh siapa saja, baik orang tua, remaja, maupun anak-

anak, tergantung kebutuhan.

E. Busana dan Properti

Busana adalah sesuatu yang di pakai oleh penari untuk menutupi tubuh saat

melakukan gerakan tarian. Busana yang dikenakan para penari Ha’i Nggaja adalah

pakaian adat Ende-Lio yang terdiri dari:

45

No

1

2

>

O Penari

1. Busana penari wanita

Lawo boge nake (sarung adat);

Lambu muku (baju adat);

Fu wege (rambut diikat dengan tusuk konde);

Tusuk konde

Gambar 1: Busana Perempuan

(Koleksi Hermanus W. Laka 14 April 2014)

2. Busana penari pria:

Ragi mite (sarung hitam);

Lambu sabhe (baju dalam pria);

Lambu putih lima bewa (baju putih tangan panjang);

46

Luka (selendang);

Lesu (penutup kepala laki-laki);

Gambar 2: Busana laki-laki

(Koleksi Hermanus W. Laka 14 April 2014)

F. Setting dan Tempat Pertunjukkan

Tarian Ha’i Nggaja dipentaskan dimana kegiatan upacara atau hari besar itu

dilaksanakan. Untuk upacara syukuran kemenangan atau upacara yang bersifat magis,

tarian Ha’i Nggaja dipentaskan di tengah kampung atau dilapangan (kanga) dekat

47

tubuh musu (mesbah). Masyarakat Desa Woloara meyakini bahwa tempat ini menjadi

tempat leluhur tinggal dan terlibat dalam berbagai upacara yang dilaksanakan dan

mereka juga turut melindungi masyarakat penghuni. Untuk acara festival atau

pertunjukan, dilaksanakan pada tempat yang sudah ditentukan oleh panitia

penyelenggara, baik di dalam gedung maupun di alam terbuka (wawancara Perpetua

Sura tanggal 10 April 2014 di Woloara)

G. Bentuk Lagu dan Syair Nyanyian

1. Bentuk Lagu

Lagu merupakan bentuk karya seni musik yang merupakan ekspresi

(ungkapan pikiran perasaan manusia) dalam rangkaian nada, baik menggunakan

teks maupun tanpa teks. Lagu sebagai iringan pada tarian Ha’i Nggaja berisi

penyampaian permohonan serta rasa kegembiraan dan syukuran melalui teksnya.

Bentuk lagu dalam teks nyanyian Ha’i Nggaja terdiri dari tiga bagian

yaitu: Bagian Oro pembukaan, bagian lagu (puncak gerak) yang terdiri dari syair

lagu 1, syair lagu 2, syair lagu 3, syair lagu 4 dan bagian akhir yaitu Oro penutup

Oro adalah nyanyian sahut menyahut antara penyanyi (solis) dengan

penari pada bagian awal sebelum melakukan gerakan (oro pembuka), dan pada

bagian akhir setelah melakukan gerakan tarian (oro penutup), sebagai penunjuk

berakhirnya tarian Ha’i Nggaja.

Bagian lagu (puncak gerak) terdiri dari empat syair lagu yaitu syair lagu 1

yang di dalamnya terdapat bagian reff, bagian tanya, dan bagian jawab. Syair lagu

2 yang di dalamnya terdapat bagian reff, bagian tanya, dan bagian jawab. Syair

lagu 3 yang terdiri dari bagian ref, bagian tanya, bagian jawab. Syair lagu 4 yang

terdiri dari bagian reff, bagian tanya, dan bagian jawab.

48

Bentuk penyajian lagu dalam tarian ini yakni sebagai berikut:

Penyanyi dan penari Menyanyikan bagian oro pembukaan

Menyanyikan syair lagu 1 dengan bagian-bagiannya, kemudian syair lagu

2 dengan bagian-bagiannya, dilanjutkan syair lagu 3 dengan bagian-

bagiannya, dan terakhir syair lagu 4 dengan bagian-bagiannya.

Bagian terakhir penyanyi dan penari sama-sama menyanyikan Oro

penutup sebagai penutup tarian.

Bentuk teks lagu (melodi dan syair lagu) nyanyian Ha’i Nggaja dapat di

lihat pada teks berikut ini:

49

HA’I NGGAJA

Do: Cipt : Nikolaus Doja

Bagian Oro pembukaan:

Penyanyi (tanya):

2 3 2 6 7 4 6 6 1 1 7 . 1 5 5

Le ja i - na ki - ta te - bo bo - u lo.............. u bu

Penari (jawab):

1 6 2 2 7 6 4 4

O........................ lo o u bu

Penyanyi (tanya):

7 7 6 6 4 4 6 6 7 1 5 5

Bo – u mondo to - lo po - ngo pu’ - u u - ju

Penari (jawab):

1 6 2 2 7 6 4 4

O....................... pu – u u - ju

Penyanyi (tanya):

5 6 5 2 3 1 2 2 4 3 4

O............ le.....e........e.......o e le.....le le le

Penari (jawab):

1 1 1 2 2 2 3 2 6

O....o.....o.......o........o.......o......o.......e......e

Syair lagu 1 :

(Reff)

3 5 1 1 . 7 1 5 3 6 6 5 6 5 3 . 2 1 1 . .

Ki ta pa ti ka ti’i mi nu ba pu a ta ma ta

50

(bagian tanya)

6 6 . 7 1 7 6 5 3 6 5 4 3 . 2 1 1 .

Le ja i na ki ta te bo bo u lo mondo

6 6 . 7 1 7 6 5 3 6 5 4 3 . 2 1 1 .

Ki ta me ra bo u pu’u u ju to lo pongo

6 6 . 7 1 7 6 5 3 6 5 4 3 . 2 1 1 .

O la ga re se - wi wi nu nu se - le ma

6 6 . 7 1 7 6 5 3 6 5 4 3 . 2 1 1 .

Bo ka ki ta modha la i ki ta la la mbeja

(bagian Jawab)

. 3 4 5 7 6 5 4 3 . 2 1 1 3 3 1 4 3 2 . 1 1

Le ja i na ki ta pa ti ka - du’ a ba pu a ta ma ta

. 3 4 5 7 6 5 4 3 . 2 1 1 3 3 1 4 3 2 . 1 1

Pa ti ka - no’ o su a sa sa ri na embu mamo ka

Catatan: dilanjutkan ke syair lagu 2, 3, dan 4, kemudian oro penutup.

Bagian Oro penutup:

Penyanyi (tanya)

5 6 5 2 3 1 2 2 4 3 4

O............ le.....e........e.......o e le.....le le le

Penari (jawab)

1 1 1 2 2 2 3 2 6

O....o.....o.......o........o.......o......o.......e......e

51

Keterangan urutan nyanyian:

1. Bagian pertama Penyanyi dan penari menyanyikan Oro pembuka

2. Menyanyikan syair lagu 1

3. Setelah sampai pada bagian jawab syair lagu 1, nyanyian di lanjutkan ke syair lagu 2

dengan notasi lagu dan irama atau ritme yang sama seperti syair lagu 1

4. Setelah sampai pada bagian jawab syair lagu 2, nyanyian di lanjutkan ke syair lagu 3

5. Setelah sampai pada bagian jawab syair lagu 3, nyanyian di lanjutkan ke syair lagu 4

6. Setelah sampai pada bagian jawab syair lagu 4, kemudian di lanjutkan ke bagian oro

penutup

7. Bagian terakhir Penyanyi dan penari menyanyikan Oro penutup

8. Notasi lagu dan ritme yang sama juga berlaku untuk menyanyikan semua syair lagu,

baik syair lagu 1, syair lagu 2, syair lagu 3, dan syair lagu 4.

Gambar 3: Penyanyi sedang menyajikan lagu

(koleksi Hermanus W. Laka 14 April 2014)

52

2. Syair Lagu Ha’i Nggaja

Syair lagu dalam nyanyian Ha’i Nggaja terdiri dari beberapa bagian

utama yaitu:

Bagian Oro pembuka,

Syair lagu 1 yang terdiri dari bagian reff, bagian tanya, dan bagian jawab

Syair lagu 2 yang terdiri dari bagian reff, bagian tanya, dan bagian jawab

Syair lagu 3 yang terdiri dari bagian reff, bagian tanya, dan bagian jawab

Syair lagu 4 yang terdiri dari bagian reff, bagian tanya dan bagian jawab.

bagian Oro penutup.

Syair lagu nyanyian Ha’i Nggaja dapat dilihat pada teks berikut ini:

HA’I NGGAJA

Cipt: Nikolaus Doja (alm)

Syair lagu Terjemahan

Bagian Oro pembukaan Bagian Oro pembukaan

Penyanyi: Penyanyi:

Le ja i-na ki-ta te-bo bo-u lo......... u-bu hari ini kita semua berkumpul

Penari: penari:

O . . . lo o u bu o.............mari berkumpul

penyanyi: Penyanyi:

bo-u mondo to-lo pongo pu-u u - ju kita berkumpul untuk mengikat tali

persaudaraan, dengan menari

penari: penari:

O . . . pu - u u – ju o...........pusat dan ujung

53

penyanyi + penari: penyanyi + Penari:

o....le....e ole...le lele o...o...o...o......e o...le...e ole...le...le lele o...o...o...o...e...

bagian lagu/gerak Bagian lagu/gerak

penyanyi: Penyanyi:

Syair lagu 1: Syair lagu 1:

kita pati ka ti’i minu bapu ata mata Kita memberi makan dan minum

kepada nenek moyang

leja ina kita tebo bou lo mondo Hari ini kita berkumpul bersama

kita mera bopu pu’u uju tolo pongo Kita berkumpul untuk menari

ola gare se wiwi nunu se lema Satu hari satu suara

boka kita modha lai kita lala mbeja Jantung basah hati kita remuk

leja ina kita pati ka Hari ini kita memberi makan

du’a bapu ata mata Orang tua dan nenek moyang

pati ka no’o sua sasa Memberi makan dengan memohon

rina embu mamo ka minta nenek moyang datang makan

rina mamo ma’e segu no’o tete keu Minta nenek jangan tolak Seperti

Seperti kulit pinang

ono embu ma’e tibha no’o longgo lima Minta moyang jangan tolak dengan

Telapak tangan

tipo kami ngere nio pama ngere naka Rangkul kami seperti kelapa

Jaga kami seperti nangka

bhondo kami ma’e lo’o kapa ma’e Rejeki kami jangan hanya sedikit

ndara tebal Jangan tipis

kami gha lo’o ngongo boko Kami disini kecil tak berdaya

kami benge ngai ngura...... Kami seperti anak kecil

54

Syair lagu 2: Syair lagu 2:

ae tiwu telu leka ema ngga’e peso welu Air tiga warna yang Tuhan ciptakan

ae po lo bupu no’o nuwa muri jemu Air merah putih dan biru

mutu ta’u aro paru ga ana mbana Mutu takut dan lari segan anak jalan

mutu kai poa kota kai langga kasa Mutu lompat pagar

mutu nuka deki bhu ria kema lepa Mutu mendaki sampai bhu ria buat

Rumah

ebe bou ngere uwi onu Mereka berkumpul seperti ubi jalar

tolo pongo pu’u uju Melihat pusat dan ujung

mera gare tau pape leku Duduk bicara untuk membahas sejarah

tibhi kanga kali tubu Membersih lapangan membuat mezbah

Konde kai si’i Seku ndua ghawa nua Konde menyuruh Seku ke kampung

Mota gha aku Ndale tape ruti uli Mota aku disini Ndale tahan untuk

tinggal

Tau kaju mbotu noki ae benu po’o mencari kayu penuh dapur air penuh

lumbung

Lepa leka pati nata so’o ti’i mbako memberikan siri pinang dan rokok

Seku ndua deki ghawa nua Seku turun sampai di kampung

Gare no’o nara Rangga Cerita dengan saudaranya Rangga

Mota Konde ruti mera leda Mota Konde tahan untuk tetap tinggal

Ka iwa dowa ndua Dia tidak lagi pulang

Syair lagu 3: Syair lagu 3:

Rangga kai ate dhoa no’o Mota weta Rangga merasa kasihan dengan

dhoa saudarinya Mota

Rangga kai sua sasa leka bhaku rate Rangga memohon di kuburan nenek

55

moyang

Tubu kanga lodo nda keda wawo naka mesbah di lapangan

Miu mulu aku ndu dheko aku jejo kamu dahulu saya ikuti dari belakang

Wi’isia aku nuka da ghele nua besok saya pulang ke kampung

rina embu mamo ku kajo minta pada nenek moyang

Mota aku no’o walo Mota saya bawa pulang

Mota kaki kai leka Numba Mota suaminya Numba

Aku mbana no’o wola Saya jemput bawa pulang

Rangga numba ebe nuka deki bhu ria Rangga Numba naik sampai bhu ria

Rangga Numba ebe ndawi lima gawi Rangga numba berpegangan tangan

Limba Dan menari gawi

Mota kai tana Rangga tama pere emba Mota tanya Rangga ikut mana

Rangga gare aku mai mo’o no’o weta Rangga bilang saya datang jemput

saudari

Mota penu no’o nara Rangga Mota menjawab saudaranya rangga

Walo kita ghawa nua Mari pulang ke kampung

Rangga gege Mota leka kele Rangga pegang Mota di ketiak

wi leka buku lima Pegang dan tarik di tangan

Mu tu kai pati ka nitu iju kipu Mutu memberi makan roh jahat

Kai ti’i minu pa’i eo nggela sawi Dia memberi minum roh jahat bibir

Sumbing

Rina leka nitu tipo ebe ngere nio Minta roh jahat pegang mereka

seperti Pegang kelapa

Ono leka pa’i ebe pama ngere naka Minta roh jahat jaga mereka seperti

Jaga nangka

56

Bhondo kami gha ma’e lo’o Banyak kami disisni janganlaah sedikit

Kapa kami ma’e ndara Tebal kami janganlah tipis

Riwu kami gha ngere ipu Banyak kami seperti ikan dilaut

Nggama ngere ngana raga Banyak kami seperti semut di pohon

Mutu kai poa kota tau nge tana Mutu lompat pagar panjang tanah

Mutu kai langga kasa tau ngenda watu Mutu melewat pagar batu

Kea gawi no’o wedho wanda Menari gawi dan wanda pa’u

Ghele leka seka kangga Disana diatas lapangan mezbah

Bobi ta’u konde no’o ratu Bobi takut konde dan ratu

Mutu gare ebe ndu Mutu bicara merekapun ikut

Syair lagu 4: Syair lagu 4:

Ogo kai pai kunu one kai mera ubu Ogo panggil semua keluarganya

Ogo kai kuni mbana leka nua-nua Ogo suruh pergi ke kampung

Nosi ata fai ata kaki mbana gawi Panggil laki-laki dan perempuan

untuk Ikut gawi

Wengi telu kita nuka mbana ghele nua Tiga hari lagi kita naik ke kampung

Gawi ga’i nggo wani no’o wedho Menari gawi main gong wani dan

wanda Menari wanda pa’u

Deki wengi telu ebe nuka Pada hari yang ketiga mereka mendaki

Tama nua mutu ema Masuk kampung Mutu

Mutu konde ratu bobi bau Mutu Konde Ratu Bobi bau

Ebe simo pati nata Mereka memberi makan siri pinang

Ogo no’o kunu one ebe kai gawi Ogo dan keluarganya menari gawi

Nebu gawi ata fai nua beu mai sementara gawi seorang perempuan

dari kampung yang jauh datang

57

Mota no’o seku ebe teke lima gawi Mota Seku gawi bergandeng tangan

Konde kai ate nara no’o ko’o vai Konde simpati pada perempuan itu

Konde kai tana leka weta Konde bertanya pada perempuan itu

Miu nua leka emba? kamu kampung dimana?

Mota seku ebe penu bala Mota dan Seku menjawab

Kami ina weta rangga kami adalah saudarinya Rangga

Bagian Oro penutup Bagian Oro panutup

Penyanyi + penari Penyanyi + Penari

o... le....e...o ele...le lele o...o...o...o...e... o...le....e...o........ele....lelele o...o...o...

o...e.....

H. Bentuk Penyajian Tarian Ha’i Nggaja

Pada awalnya, para penari masuk ke tempat pertunjukan yang telah di siapkan

dalam dua barisan dengan arah berhadapan. Dalam posisi Horizontal, Para penari

berdiri berhadapan dengan posisi saling berpegangan tangan satu sama lain dan kaki

masih dalam posisi sejajar. Dalam posisi tangan saling berpegangan, mereka

melangkah ke depan dan ke belakang sambil tangan diayunkan kedepan dan

kebelakang pada setiap kali hitungan, menyesuaikan dengan irama nyanyian. Untuk

lebih jelasnya dapat dilihat pada komposisi gerak dalam hitungan sebagai berikut:

1. Pada awalnya, para penari berbaris masuk membentuk dua barisan dengan

arah hadap (horizontal), posisi kaki sejajar dan saling bergandengan tangan

dalam keadaan siap;

58

Gambar 4: posisi penari pada awal masuk

(koleksi Hermanus W. Laka 14 April 2014)

2. Penyanyi mulai menyanyikan lagu (bagian oro pembukaan), dan dijawab oleh

para penari. Mereka saling sahut menyahut antara penyanyi dan penari

sebelum melakukan gerakan;

3. Penyanyi menyanyikan syair lagu 1 dengan diiringi irama pukulan wani

(gendang) sebagai pengatur ritme;

4. Pada hitungan ke tujuh dari ritme nyanyian, penari mulai melakukan gerakan

maju dan mundur sebanyak enam hitungan;

5. Irama hentakan kaki para penari disesuaikan dengan Pola ritme dan melodi

lagu yang dinyanyikan oleh para penyanyi;

6. Gerakan pertama dilakukan dengan melangkah dan menghentahkan kaki

kanan ke depan dalam hitungan pertama. posisi tumit kaki kanan sejajar

dengan ujung jari kaki kiri atau ujung jari kaki kiri sejajar dengan tumit kaki

kanan;

59

7. Gerakan maju diikuti dengan hentakan kaki kiri dalam hitungan kedua. Posisi

tumit kaki kiri sejajar dengan ujung jari kaki kanan atau ujung jari kaki kanan

sejajar dengan tumit kaki kiri;

8. Pada hitungan ke tiga, gerakan maju diikuti lagi dengan menghentakan kaki

kanan ke depan. Posisi kaki kanan berada sejajar dengan posisi kaki kiri;

9. Gerakan maju dilakukan sebanyak tiga langkah, dengan rincian dua langkah

kaki kanan dan satu langkah kaki kiri. Artinya gerakan di mulai dengan

hentakan kaki kanan, kemudian dibalas hentakan kaki kiri, dan diikuti lagi

dengan hentakan kaki kanan;

Gambar 5: penari melakukan gerakan maju

(koleksi Hermanus W. Laka 14 April 2014)

10. Pada hitungan keempat, penari melakukan gerakan mundur. Gerakan diawali

dengan hentakan kaki kanan ke belakang. Posisi ujung jari kaki kanan berada

60

sejajar dengan tumit kaki kiri, atau tumit kaki kiri berada sejajar dengan ujung

jari kaki kanan

11. Kemudian pada hitungan ke lima di ikuti gerakan kaki kiri. Posisi ujung jari

kaki kiri berada sejajar dengan tumit kaki kanan, atau tumit kaki kanan sejajar

dengan ujung jari kaki kiri;

12. Pada hitungan ke enam, gerakan di ikuti lagi dengan menghentakan kaki

kanan ke belakang. Posisi kaki kanan berada sejajar dengan posisi kaki kiri;

Gambar 6: penari melakukan gerakan mundur

(Koleksi Hermanus W. Laka 14 April 2014)

13. Posisi badan para penari agak condong ke depan, dan sedikit jongkok

14. Setiap gerakan, baik gerakan maju maupun gerakan mundur selalu diiringi

suara sahutan oleh para penari. Artinya sambil melakukan gerakan, Setiap

61

irama hentakan kaki selalu di iringi dengan suara sahutan (pus), sehingga

semua pola gerak membentuk motif ritme seperdelapan sebagai berikut:

Gerakan maju: Gerakan mundur:

x p x p x/p x p x p x/p

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Keterangan x : hentakan kaki

p : pusssss (suara sahut menyahut para penari)

xp : hentakan kaki ke tiga jatuh bersamaan dengan suara

sahutan penari (pussss)

1&4 : gerakan kaki kanan

2&5 : gerakan kaki kiri

3&6 : gerakan kaki kanan

15. Setiap gerakan baik gerakan maju maupun gerakan mundur, selalu diawali

dengan hentakan kaki kanan dan diakhiri dengan kaki kanan.

16. Setiap gerakan selalu dibangun dengan suasana penuh semangat. Saat kaki

dihentakan pada hitungan ke enam, selalu diikuti dengan suara sahutan (hoe)

dari seorang penari hingga hitungan ketiga. Kemudian pada hitungan ke tiga

suara sahutan itu dibalas oleh semua penari. Artinya sahutan segha sebagai

balasan dari para penari di suarakan saat hentakan kaki kanan pada hitungan

ke tiga, sambil maju dan bergerak merapat. Namun tidak semua gerakan

dilakukan sahut sahutan (segha). Suara segha akan di perdengarkan apabila

para penyanyi mulai menyanyikan bagian reff pada setiap syair lagu.

moti sahutan segha:

x h x h x h x/sg

(6) (1) (2) (3)

keterangan: x : hentakan kaki

62

h : hoe (suara teriakan seorang penari)

sg : segha (suara sahutan semua penari)

xsg : bunyi hentakan kaki, diiringi sahutan segha dari

para penari.

6 : hitungan ke enam

1 : hitungan pertama

2 : hitungan ke dua

3 : hitungang ke tiga

I. Makna Tarian Ha’i Nggaja

Makna yang terkandung dalam tarian Ha’i Nggaja adalah makna kemenangan,

yang menggambarkan kejadian atau peristiwa kehidupan masyarakat setempat, baik

yang berhubungan dengan peristiwa kemenangan dalam perang, maupun yang

berhubungan dengan keberhasilan mereka dalam kegiatan pertanian atau perladangan

Adapun makna tarian Ha’i Nggaja terdapat pada gerak dan syair-syair lagu

yang dinyanyikan oleh penyanyi dan penari. Gerakan yang disertai dengan syair lagu

dari masing-masing pola gerak mempunyai makna. Gerakan dan syair lagu dalam

tarian Ha’i Nggaja mempunyai hubungan dan merupakan satu kesatuan, karena setiap

gerakan selalu diiringi dengan nyanyian.

1. Makna gerakan

Dilihat dari segi kekompakkan gerak maju dan mundur secara bersama

sama, dengan saling bergandengan tangan dan mata memandang, ketika saling

berhadapan mengartikan adanya kekompakan dalam menjalankan suatu

kehidupan bersama dengan mengutamakan persatuan, tenggang rasa, saling

membantu, gotong royong, rela berkorban, menyesuaikan satu dengan yang lain

untuk mewujudkan keselarasan hidup bersama sabagai makluk sosial. Hal ini

63

secara eksplisit disimbolkan melalui tarian Ha’i Nggaja dengan bergandengan

tangan tidak terputus.

2. Makna syair lagu

Teks atau syair lagu dalam tarian Ha’i Nggaja memiliki berbagai makna

yang harus diketahui oleh masyarakat umumnya dan secara khusus generasi

muda, karena dalam teks atau syair lagu Ha’i Nggaja terkandung makna yang

harus diketahui dan dipelajari yakni:

Dalam syair-syair lagu pengiring tarian Ha’i Nggaja secara keseluruhan

mengandung makna Historis (sejarah), makna sosiologis, makna kebersamaan,

makna pengharapan dan permohonan akan kesehatan, makna pengharapan dan

permohonan akan keberhasilan, makna persatuan dan kesatuan, makna religius

(ucapan syukur dan persembahan),makna didaktis, makna estetis (keindahan)

yang terdiri dari makna estetis individual dan makna estetis kolektif.

a. Makna Historis

Makna historis adalah makna yang mengisahkan tentang peristiwa-

peristiwa kehidupan masa lampau. Makna historis diwujudkan dalam bentuk

petuah atau nasehat agar kehidupan masyarakatnya bersatu padu, rukun dan

damai.

Makna historis yang terungkap dalam teks terdapat dalam semua syair

lagu, dari syair lagu 1 sampai syair lagu 4. Contoh makna historis terdapat

pada syair lagu:

Ae tiwu telu leka ema ngga’e peso welu

Ae polo bupu no’o nuwa muri jemu

Mutu ta’u aro paru ga ana mbana

Mutu kai poa kota ka langga kasa

64

Mutu nuka deki bhu ria kema lepa

Artinya:

Air tiga warna yang Tuhan ciptakan

Air merah putih dan biru

Mutu takut dan lari terpontang panting

Mutu melompat pagar

Mutu mendaki sampai bhu ria dan membangun rumah.

b. Makna sosiologis

Makna sosiologis yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah makna

konsepsi yang mengarahkan pada setiap manusia, dalam hal ini, masyarakat

setempat pemilik budaya untuk berusaha memikirkan masalah hidup di alam

semesta, dan menerima hidup dalam alam seperti apa adanya serta mencoba

untuk melihat hubungan secara keseluruhan. Makna sosiologis yang di lihat

dalam konteks syair lagu ini ditandai dengan adanya sikap-sikap antara lain,

bekerja sama, bersifat terbuka, dan solidaritas dan saling mendukung satu

sama lain sebagai kesadaran diri dari masyarakat pendukung budaya tersebut.

Berkaitan dengan makna sosiologis teks atau nyanyian Ha’i Nggaja,

mencakup beberapa hal pokok yakni makna kebersamaan, makna

pengharapan akan kesehatan, dan makna pengharapan akan keberhasilan,

makna persatuan dan kesatuan.

Makna Kebersamaan

Dalam konteks budaya, makna kebersamaan merupakan refleksi

kesadaran diri bahwa manusia sebagai makhluk sosial, di samping

sebagai makhluk pribadi yang memiliki keterbatasan dan kekurangan.

65

Manusia dalam kehidupannya tentunya saling membutuhkan satu sama

lain, karena kebersamaan merupakan hakekat dasar dari manusia.

Konsep diatas mengemban makna ajakan yang ditujukan kepada

partisipan, dalam hal ini masyarakat setempat untuk terlibat bersama

dalam mengikuti tarian Ha’i Nggaja. Kebersamaan yang dimaksud di

sini adalah kebersamaan dalam kekompakan yang berhubungan dengan

bernyanyi dan menari disertai hentakan kaki seiring irama lagu dalam

tarian Ha’i Nggaja untuk meramaikan acara tersebut.

Hentakan kaki, syair lagu (nyanyian) dan tarian yang dimaksud di

sini diumpamakan dengan contoh kalimat “ngere wando ngesu” (seperti

suara alu dan lesung), karena untuk menimbulkan bunyi, alu dan lesung

tidak dapat dipisahkan atau berdiri sendiri. Oleh karena itu, hentakan

kaki, syair lagu dan tarian merupakan unsur-unsur yang mutlak dan

saling mendukung dalam Ha’i Nggaja. Kekompakan ini juga merupakan

suatu simbol kebersamaan.

Makna kebersamaan dapat diperhatikan dalam syair lagu bagian

Oro pembukaan sebagai berikut:

Leja ina kita tebo bou lo ubu

o..........lo ubu

bou mondo tolo pongo pu’u uju

o..........pu’u uju

artinya:

pada hari ini kita semua berkumpul

o...........mari berkumpul

kita berkumpul untuk megikat tali persaudaraan

66

dengan menari bersama

o............mari menari bersama

Makna Pengharapan akan Kesehatan

Pengharapan akan kesehatan merupakan suatu hal yang sangat

diharapkan dari setiap umat manusia yang senantiasa di jaga. Setiap

manusia selalu menaruh suatu harapan akan kesehatan dalam mengarungi

bahtera hidup. Makna pengharapan akan kesehatan tertuang dalam syair

lagu sebagai berikut:

“tipo kami ngere nio, pama kami ngere naka”

artinya:

”rangkul kami seperti merangkul kelapa, jaga kami seperti menjaga

pinang”

Contoh kutipan tersebut di atas, mengandung makna pengharapan

agar dapat terhindar atau dijauhkan dari sakit atau penyakit, dijauhkan

dari malapetaka, diberikan keturunan dan di jauhkan dari kematian.

Untuk menghindari hal-hal yang diutarakan di atas, maka masyarakat

melakukan ritual. Hal ini dimaknai sebagai wujud pengharapan manusia

akan keselamatan. Dalam kegiatan ritual tidak terlepas dilakukan tarian

Ha’i Nggaja sebagai suatu wahana komunikasi antara manusia dengan

Wujud Tertinggi yang dimediasi oleh embu mamo (leluhur).

Makna Pengharapan akan kesehatan dapat dilihat dalam syair

lagu sebagai berikut:

Rina mamo ma’e segu no’o tete keu

Ono embu ma’e tibha no’o longgo lima

Tipo kami ngere nio pama kami ngere naka

67

Artinya:

Minta nenek moyang jangan tolak seperti kulit pinang

Jangan tolak kami seperti membalikan telapak tangan

Rangkul kami seperti rangkul kelapa

Jaga kami seperti manjaga pinang

Makna Pengharapan akan Keberhasilan

Pengharapan akan keberhasilan dalam kehidupan masyarakat

(keluarga) merupakan harapan manusia umumnya dan secara khusus

termasuk dalam kehidupan sosiokultural masyarakat Desa Woloara.

Dalam teks syair Ha’i Nggaja terungkap harapan-harapan akan

keberhasilan yang terungkap dalam syair berikut:

“bhondo kami ma’e lo’o kapa ma’e ndara”

Rejeki kami banyak jangan hanya sedikit, tebal janganlah tipis.

“riwu kami ngere ipu”

Banyaklah kami seperti ikan dilaut

“nggama ngere ngana raga”

Banyaklah kami seperti semut yang berjalan.

Wacana tersebut mengindikasikan pengharapan akan kelimpahan

rejeki, dan diberikan keturunan agar beranak cucu dan bertambah banyak

memenuhi bumi.

Makna persatuan dan kesatuan

Syair lagu dalam tarian Ha’i Nggaja juga bermaksud mengajak

semua warga masyarakat untuk hidup bersatu padu, satu hati, satu suara,

demi membangun daerah, sehingga terwujudnya masyarakat yang adil

dan makmur, hidup rukun dan damai, dan mempunyai prinsip hidup.

68

Hal ini secara nyata terungkap dalam teks syair lagu berikut:

“leja ina kita tebo bou lo mondo

Kita mera bou pu’u uju tolo pongo

Ola gare se wiwi nunu se lema

Boka kita modha lai kita lala mbeja”

Artinya:

Hari ini kita berkumpul bersama

Kita berkumpul untuk menari bersama

Kita semua haruslah satu hati dan satu suara

Jantung kita basah hati kita remuk

c. Makna Religius

Makna religius (ucapan syukur dan persembahan) merupakan

proyeksi makna yang paling menonjol atau yang berkaitan dengan tindakan

atau perilaku keagamaan. Tindakan-tindakan atau perilaku religius

merupakan proses refleksi atas ketidakberdayaan manusia. Ketidakberdayaan

inilah yang mengusung semangat spiritualitas yang tinggi dalam kehidupan

manusia.

Dengan ide semangat spiritualitas, manusia mengungkapkan diri dan

hidupnya untuk dibentuk sesuai dengan semangat Sang Pencipta. Hal ini

secara nyata ditemukan dalam kehidupan sosial kolektif orang Woloara.

Tarian Ha’i Nggaja dimaknai sebagai praktik religiusitas etnik Lio pada

Wujud Tertinggi. Praktik ini dimaknai sebagai ungkapan pengakuan atas

ketidakberdayaan manusia, sekaligus pengakuan Tuhan diyakini sebagai

sumber kehidupan utama dan leluhur sebagai mediasi.

Hal ini secara nyata terungkap dalam teks syair lagu berikut:

69

“Leja ina kita pati ka du’a bapu ata mata”

pada hari ini kita memberi makan nenek moyang

“pati ka no’o sua sasa eina embu mamo ka”

Memberi makan dengan permohonan minta nenek moyang datang

makan sesajian

“kami gha loo ngongo boko, kami benge ngai ngura”

Kami yang kecil dan lemah tak berdaya, kami seperti anak kecil.

“Rangga kai sua sasa leka bhaku rate”

Rangga memohon di kuburan nenek moyang

“tubu kanga lodo nda keda wawo naka”

Di mesbah lapangan ditengah-tengah kampung

“Miu mulu aku ndu dheko aku jejo”

Kamu dahulu, saya ikut dari belakang

Wi’isia aku nuka da ghele nua”

Besok saya pulang ke kampung

Kutipan syair lagu di atas menggambarkan permohonan kepada

leluhur untuk melindungi warga masyarakat dari segala bencana yang akan

menimpa. Keda (mesbah) dimaknai sebagai simbol pengasal leluhur, yang

dipancangkan di tengah kampung. Hal ini dimaknai bahwa kemanapun orang

Lio (orang woloara) berada, harus selalu mengingat akan tanah air atau

kampung halaman, karena disana bersemayamnya leluhur yang selalu

mengikuti warganya kemanapun mereka berada.

Konsep di atas mengemban makna pelestarian. konsep keseimbangan

antara manusia dengan wujud tertinggi, manusia dengan manusia, dan

manusia dengan pelestarian alam lingkungan.

70

Konsep di atas juga tersirat makna keharmonisan atau keseimbangan.

Ketiga kekuatan di atas, Wujud Tertinggi, leluhur, dan roh alam sebagai satu

kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, namun tetap menempatkan Tuhan

sebagai penguasa yang tersirat dan tersurat. Yang tersurat dalam konteks ini

dapat dilihat dengan kasat mata, sedangkan yang tersirat tidak dapat di lihat

dengan kasat mata seperti jin (nitu), dan leluhur. Namun secara rohani

diyakini selalu berada di tengah-tengah mereka.

d. Makna Didaktis

Makna didaktis yang dimaksudkan di sini adalah suatu konsepsi yang

mengandung seperangkat norma dan nilai pendidikan dan pengajaran tentang

pengetahuan religi, kemasyaratan, hukum, dan budaya. Pengajaran Konsepsi

pemaknaan pendidikan dan pengajaran bertujuan untuk menafsirkan dan

merekontruksi realitas dalam tatanan yang bersifat intelektual bagi

pencapaian kesejahteraan hidup sebagai individu dan guyub tutur dalam

bermasyarakat.

Makna didaktis dalam teks nyanyian Ha’i Nggaja merupakan esensi

pokok yang sedang dihadapi masyarakat dalam menghadapi era globalisasi.

Globalisasi telah menimbulkan pergulatan budaya antara global, nasional dan

lokal, telah menimbulkan semakin tinggi intensitasnya. Masyarakat

dihadapkan pada dua kutub, di satu sisi, dipengaruhi budaya global sebagai

buah peradaban perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada sisi

lain, terjadi penguatan budaya lokal, atau nasionalisme lokal yang

menunjukkan jati diri sebagai pemertahanan di tengah arus global. Pengajaran

tentang kemasyarakatan, kehidupan sosial kolektif masih nampak dalam

kehidupan masyarakat etnik Lio. Hal ini tercermin dalam perilaku masyarakat

71

etnik Lio, bila ada warga yang ditimpah kesulitan atau bencana secara

spontan mereka datang membantunya. Perilaku seperti ini menunjukkan rasa

kesetiakawanan dalam kehidupan sosial kolektif masih nampak, serta peran

serta penguasa adat (mosalaki) dan seluruh masyarakat dalam tarian Ha’i

Nggaja, dimaknai sebagai ajaran dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini

terindikasi manusia sebagai makluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu

sama lain. Realitas ini menunjukkan manusia dalam hidup dan kehidupannya

selalu saling membutuhkan sama sama lain. Rasa ketergantungan ini sebagai

wujud ajaran sosial kolektif untuk membendung rasa individualisme yang

telah menggejolak pada era globalisasi dewasa ini. Contoh makna didaktis

dapat dilihat pada kutipan berikut ini:

Leja ina kita tebo bou lo mondo

Kita mera bou pu’u uju tolo pongo

Ola gare sa wiwi nunu sa lema

Boka kita modha lai kita lala mbeja

Ebe bou ngere uwi onu

Tolo pango pu’u uju

Mera gare tau pape leku

Tibhi kanga kali tubu

Artinya:

Hari ini kita berkumpul bersama

Kita berkumpul untuk menari

Satu hati satu suara

Jantung kita basah hati kita remuk

Mereka berkumpul seperti ubi jalar

72

Melihat pusat dan ujung

Duduk bicara untuk membahas sejarah

Membersih lapangan membuat mesbah

e. Makna Estetis (Keindahan)

Cita rasa dan ekspresi estetis berupa nada dan irama. Gaya tarian dan

nyanyian Ha’i Nggaja dimaknai estetis bagi pengungkap dan penikmat

budaya. Makna estetis yang dimaksudkan pada konteks ini adalah suatu

pranata budaya yang secara maknawi berperan untuk memberikan sentuhan

rasa sebagai salah satu sarana untuk pemuasan kebutuhan manusia. Hal ini

dapat dikatakan bahwa kebahagian tidak dapat dipisahkan dari keindahan

(estetis).

Nada dan irama dalam syair nyanyian Ha’i Nggaja dimaknai sebagai

estesis yang menimbulkan rasa senang atau gembira. Makna estetis dalam

teks nyanyian Ha’i Nggaja menyangkut dua hal pokok yaitu (1) makna estetis

individual, dan (2) makna estetis kolektif. Contoh makna estetis dapat dilihat

dalam kutipan berikut ini:

Makna estetis Individual

Ogo no’o kunu one ebe kei gawi

Nebu gawi ebe ata fai nua beu mai

Mota no’o seku ebe teke lima gawi

Konde kai ate nara no’o ko’o fai

Konde kai tana leka weta

Miu nua leka emba?

Mota seku ebe penu bala

Kami inia weta rangga

73

Artinya:

Ogo dan keluarganya menari gawi

Sementara gawi seorang perempuan dari kampung yang jauh

datang

Mota seku gawi bergandengan tangan

Konde ada hati dengan perempuan itu

Konde bertanya pada perempuan itu

Kamu kampung dimana?

Mota dan seku menjawab

Kami adalah saudarinya rangga

Kutipan data tersebut di atas meyatakan makna kesenangan yang

dinyatakan secara pribadi dari seorang pemuda terhadap seorang gadis.

Ekspresi kesenangan atau kegembiraan yang diungkapkan dalam teks

nyanyian Ha’i Nggaja sebagai kiasan muda-mudi. Kiasan tersebut

bermakna estesis tentang kisah cinta antara pemuda dan pemudi etnik

Lio, namun tetap berpedoman pada tata norma yang menjadi rujukkan.

Makna estetis kolektif

Kenikmatan secara kolektif menuntut guyub kultur dan guyub

tutur pemiliknya untuk mengakui karyanya sebagai kekayaan yang

memerlukan penerimaan apa adanya. Hal ini secara nyata harus adanya

peran serta masyarakat untuk bersama-sama dalam mengikuti tarian Ha’i

Nggaja dan atraksi gawi atau tandak. Tarian Ha’i Nggaja merupakan

sebuah seni pertunjukkan tradisional dalam khazanah budaya Lio-Ende.

Makna estetis kolektif dapat dilihat pada data berikut.

“Ogo kai pai kunu one kai mera ubu

74

Ogo kai kuni mbana leka nua-nua

Nosi ata fai ata kaki mbana gawi

Wengi telu kita nuka mbana ghele nua

Gawi ga’i nggo wani no’o wedho wanda”

Artinya:

Ogo panggil keluarga untuk duduk berkumpul

Ogo suruh masuk ke kampung - kampung

Panggil laki-laki dan perempuan untuk ikut gawi

Menari gawi, bunyikan gong wani, dan menari Ha’i

Nggaja.

Kutipan tersebut di atas menunjukkan rasa estetis dalam

kebersamaan yaitu mengundang para penguasa adat dan masyarakat

lainnya untuk bernyanyi dan menari bersama melalui tarian Ha’i Nggaja,

gawi (tandak), serta membunyikan nggo wani (gong gendang) guna

memeriakan acara.

Seni pertunjukkan pada masa lampau dimotivasi oleh

kepercayaan religius dalam konsep kehidupan tradisional. Tingkah laku

seremonial, termasuk yang diekspresikan melalui gerakan tubuh dan juga

nada suara, serta kata-kata dalam nyanyian, sebenarnya merupakan

materialisasi dari konteks mistis yang menjadi dasar dari tingkalaku

seremonial. Mistis di masa lalu memberikan intensif dan justifikasi bagi

tindakan ritual dan menuntun tampilan pertunjukkan yang benar dari

tindakan yang suci (Kessing dalam Devung, 1997:37).

Di zaman dahulu ritual termasuk musik, nyanyian, dan tarian

dilakukan dengan serius dan kusuk. Kondisi ini masih nampak pada

75

budaya etnik Lio dalam tarian Ha’i Nggaja dan juga tarian gawi atau

tandak. Para mosa laki (tua adat) dan ana kalo fai walu (yatim piatu dan

janda) atau dengan kata lain tua adat dan seluruh masyarakat mengambil

bagian tarian Ha’i Nggaja yang diiringi dengan syair-syair yang sangat

memikat peserta. Tarian Ha’i Nggaja walaupun dalam waktu lama,

masyarakat tetap bersemangat walau hanya diiring dengan alunan suara

dan sentakan kaki

J. Fungsi Tarian Ha’i Nggaja

Adapun yang menjadi dasar dan fungsi dari tarian Ha’i Nggaja adalah dimana

memberikan nilai positif kepada generasi penerus masyarakat Desa Woloara bahkan

masyarakat luas, bahwa tarian Ha’i Nggaja merupakan ungkapan rasa kegembiraan

dan syukur kepada Du’a Ngga’e (Tuhan) dan kepada roh-roh nenek moyang yang

telah memberikan kemenangan, kemakmuran, kedamaian, keselamatan kepada

manusia.

Tarian Ha’i Nggaja juga merupakan suatu ajang pertunjukan yang dapat

memberikan nilai budaya dalam suatu kegiatan masyarakat untuk belajar memahami

tata nilai budaya yang terkandung dalam tarian Ha’i Nggaja, agar dapat menghormati

dan menghargai para leluhur atau nenek moyang. Budaya warisan leluhur harus

ditegakan untuk mengikat tali persaudaraan, persahabatan diantara anggota

masyarakat.

Tarian Ha’i Nggaja juga merupakan salah satu tarian yang menyatukan tali

persahabatan antara satu sama lain, dan mereka juga melakukan tarian Ha’i Nggaja

sebagai ucapan syukur kepada Du’a Ngga’e (Tuhan alam semesta) dan nenek moyang

yang telah memberikan segalanya yang mereka miliki saat ini.

76

Selain itu juga tarian Ha’i Nggaja dapat dikatakan sebagai suatu ajang untuk

mendorong dan menciptakan hubungan antara manusia dengan Tuhan,

manusia

dengan sesama manusia, manusia dengan alam semesta.

Tarian Ha’i Nggaja dapat memberikan suatu pengertian kepada mereka

dalam

hal ini para penari Ha’i Nggaja yang adalah persekutuan yang terjalin sejak

dahulu

kala untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan, demi mencapai keserasian

dalam

tarian Ha’i Nggaja, dimana hentakan kaki dan alunan syair yang dilantunkan

oleh

penyannyi dan penari Ha’i Nggaja yang menggambarkan kehidupan orang Lio

yang

selalu silihberganti, dan selalu kuat dalam menghadapi segala tantangan dan

cobaan

yang datang dari dalam maupun dari luar.

K. Fungsi Lagu dalam Tarian Ha’i Nggaja

Secara umum lagu pengiring tarian Ha’i Nggaja berfungsi sebagai

sarana

upacara adat, sebagai pengiring tarian, sebagai media komunikasi, sebagai

sarana

hiburan, sebagai ungkapan rasa kegembiraan, sebagai ungkapan sejarah,

sebagai

ungkapan permohonan, sebagai bentuk pemujaan kepada Du’a Ngga’e (Tuhan)

dan

kepada nenek moyang.