Asal Usul Legenda

23
Asal Usul Kota Rembang Jawa Tengah Kabupaten Rembang, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah Rembang. Kabupaten ini berbatasan dengan Teluk Rembang (Laut Jawa) di utara, Kabupaten Tuban (Jawa Timur) di timur, Kabupaten Blora di selatan, serta Kabupaten Pati di barat. Makam pahlawan pergerakan emansipasi wanita Indonesia, R. A. Kartini, terdapat di Kabupaten Rembang, yakni di Desa Bulu yang masuk ke jalur Rembang-Blora (Mantingan). Sejarah Rembang Sumber lain tentang Rembang dapat diambil dari sebuah manuskrip/tulisan tidak di terbitkan oleh Mbah Guru. Di sebutkan antara lain: “…kira-kira tahun Syaka 1336 ada orang Campa Banjarmlati berjumlah delapam keluarga yang pandai membuat gula tebu ketika ada di negaranya…”Orang-orang tadi pindah untuk membuat gula merah yang tidak dapat di patahkan itu.Berangkatnya melalui lautan menuju arah barat hingga mendarat di sekitar sungai yang pinggir dan kanan kirinya tumbuh tak teratur pohon bakau. Kepindahannya itu di pimpin oleh kakek Pow Ie Din; setelah mendarat kamudian mengadakan do’a dan semedi, kemudian di mulai menebang pohon bakau tadi yang kemudian di teruskan oleh orang-orang lainnya. Tanah lapang itu kemudian di buat tegalan dan pekarangan serta perumahan yang selanjutnya menjadi perkampungan itu dinamakan kampung : Kabongan; mengambil kata dari sebutan pohon bakau, menjadi Ka-bonga-an (Kabongan),…. Pada suatu hari saat fajar menyingsing di bulan Waisaka; orang-orang akan mulai ngrembang (mbabat,Ind : memangkas) tebu. Sebelum di mulai mbabat diadakan upacara suci Sembayang dan semedi di tempat tebu serumpun yang akan dikepras/di pangkas dua pohon, untuk tebu “Penganten”.Upacara pengeprasan itu dinamakan “ngRembang”, sampai di jadikan nama Kota Rembang hingga saat ini.”Menurut

description

as

Transcript of Asal Usul Legenda

Page 1: Asal Usul Legenda

Asal Usul Kota Rembang Jawa Tengah

Kabupaten Rembang, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah

Rembang. Kabupaten ini berbatasan dengan Teluk Rembang (Laut Jawa) di utara, Kabupaten

Tuban (Jawa Timur) di timur, Kabupaten Blora di selatan, serta Kabupaten Pati di barat.

Makam pahlawan pergerakan emansipasi wanita Indonesia, R. A. Kartini, terdapat di Kabupaten

Rembang, yakni di Desa Bulu yang masuk ke jalur Rembang-Blora (Mantingan).

Sejarah Rembang

Sumber lain tentang Rembang dapat diambil dari sebuah manuskrip/tulisan tidak di terbitkan

oleh Mbah Guru. Di sebutkan antara lain: “…kira-kira tahun Syaka 1336 ada orang Campa

Banjarmlati berjumlah delapam keluarga yang pandai membuat gula tebu ketika ada di

negaranya…”Orang-orang tadi pindah untuk membuat gula merah yang tidak dapat di patahkan

itu.Berangkatnya melalui lautan menuju arah barat hingga mendarat di sekitar sungai yang

pinggir dan kanan kirinya tumbuh tak teratur pohon bakau. Kepindahannya itu di pimpin oleh

kakek Pow Ie Din; setelah mendarat kamudian mengadakan do’a dan semedi, kemudian di mulai

menebang pohon bakau tadi yang kemudian di teruskan oleh orang-orang lainnya.

Tanah lapang itu kemudian di buat tegalan dan pekarangan serta perumahan yang selanjutnya

menjadi perkampungan itu dinamakan kampung : Kabongan; mengambil kata dari sebutan

pohon bakau, menjadi Ka-bonga-an (Kabongan),…. Pada suatu hari saat fajar menyingsing di

bulan Waisaka; orang-orang akan mulai ngrembang (mbabat,Ind : memangkas) tebu. Sebelum di

mulai mbabat diadakan upacara suci Sembayang dan semedi di tempat tebu serumpun yang akan

dikepras/di pangkas dua pohon, untuk tebu “Penganten”.Upacara pengeprasan itu dinamakan

“ngRembang”, sampai di jadikan nama Kota Rembang hingga saat ini.”Menurut Mbah Guru,

upacara ngRembang sakawit ini dilaksanakan pada hari Rabu Legi, saat di nyanyikan Kidung,

Minggu Kasadha. Bulan Waisaka, Tahun Saka 1337 dengan Candra Sengkala : Sabda Tiga

Wedha Isyara.

Page 2: Asal Usul Legenda

Logo Kabupaten Rembang

Cerita Rakyat

Pada zaman dulu ada seorang saudagar kaya yang bernama Dampo Awang. Dia berasal dari

Negara Cina. Dia ingin pergi kesuatu tempat untuk mengajarkan ajaran Kong Hu Cu dengan

cara mengarungi samudera bersama para pengawal setianya. Suatu hari dia sampai di tanah Jawa

bagian timur. Dampo Awang sangat senang akan daerah itu sehingga dia bermaksud untuk

berlabuh disana dan menetap sambil mengembangkan ajaran yang dibawanya. Suatu saat

Dampo Awang bertemu dengan Sunan Bonang, Sunan Bonang adalah salah satu dari wali songo

atau sembilan wali yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.

Pada saat pertemuan pertama kali itu, Dampo Awang sudah memperlihatkan sikap kurang baik

pada Sunan Bonang. Dampo Awang takut jika ajaran yang selama ini dia ajarkan akan hilang

dan digantikan dengan ajaran agama islam. Perlu diketahui bahwa Dampo Awang sudah terbiasa

dengan orang awam di jawa sehingga dia dapat berbahasa dengan baik.Saat Sunan Bonang mau

mendirikan Salat Ashar. Dampo Awang berfikir untuk mecelekai Sunan Bonang. Dia menyuruh

pengawalnya untuk menaruh racun ke air putih dalam kendi yang berada diatas meja. Setelah

selesai shalat Sunan Bonang menuju ke meja makan.

Dampo Awang mengira bahwa Sunan Bonang akan meminum air dalam kendi tersebut. Tetapi

dugaan Dampo Awang keliru, sebenarnya Sunan Bonang mau mengaji. Hari demi hari telah

berlalu, setiap waktu shalat Sunan Bonang mengumandangkan adzan dan shalat, setelah shalat

Sunan Bonang mengaji diteras rumahnya. Setiap orang – orang yang lewat di depan rumahnya

dan mendengar suara Sunan Bonang saat mengaji dan adzan menjadi kagum akan ayat – ayat

alllah. Kemudian banyak penduduk menjadi pemeluk agama islam. Lama – kelamaan pengikut

sunan semakin banyak.

Tidak lama kemudian Dampo Awang mendengar peristiwa tersebut dia sangat marah karena

pengikutnya semakin berkurang lalu Dampo Awang mengirim pengawalnya untuk menjemput

Sunan Bonang . Mula – mula Sunan Bonang menolak tetapi karena dia merasa kasihan akan

pengawal - pengawal Dampo Awang, jika Sunan Bonang tidak ikut mereka akan dihukum

pancung. Akhirnya Sunan Bonang bersedia untuk datang ke kediaman Dampo Awang. Saat

Sunan Bonang tiba di kediaman Dampo Awang, Dampo Awang menyambutnya dengan ramah.

Namun dibelakang dari keramahan tersebut Dampo Awang telah merencanakan sesuatu.

Dampo Awang menyuguhi Sunan Bonang dengan buah - buahan segar, makanan yang enak -

enak, minuman segar, dll. Sunan Bonang tidak menaruh curiga sedikitpun kepada Dampo

Awang, padahal Dampo Awang berniat mencelakainya. Saat ditengah perjamuan, tiba - tiba

Dampo Awang meminta agar Sunan Bonang meninggalkan daerah itu. Tetapi Sunan Bonang

menolak karena dia sudah berniat untuk mengajarkan agama islam di daerah itu. Dampo Awang

sangat marah mendengar ucapan Sunan Bonang yang baru saja diucapkannya tadi. Lalu Dampo

Awang menyuruh pengawalnya untuk menyerang Sunan Bonang tetapi dengan waktu yang

sangat singkat Sunan Bonang dapat mengalahkan pengawal - pengawal Dampo Awang.

Page 3: Asal Usul Legenda

Dampo Awang tidak terima akan kekalahannya. Dia kembali ke negaranya untuk menyusun

stategi dan kekuataan baru. Setelah beberapa tahun Dampo Awang kembali lagi ke tanah jawa

sambil membawa pasukan yang lebih banyak dari sebelumnya. Pada saat sampai di tanah jawa

dia sangat kaget sekali karena semua penduduk di daerah itu sudah menganut agama islam.

Dampo Awang marah lalu mencari Sunan Bonang. Dampo Awang tidak bisa menahan

amarahnya ketika dia sudah bertemu dengan Sunan Bonang sehingga dia langsung menyerang

Sunan Bonang lebih dulu tetapi dengan singkat Sunan Bonang bisa mengalahkan Dampo Awang

dan pengawalnya.

Kemudian Dampo Awang diikat di dalam kapalnya setelah itu Sunan Bonang menendang

kapalnya sehingga seluruh bagian kapal tersebar kemana - mana. Setelah itu sebagian kapal

terapung di laut. Dampo Awang menyebutnya “Kerem  Tenggelam)“ sedangkan Sunan Bonang

menyebutnya “Kemambang (Terapung)“. Kemudian lama - kelamaan masyarakat mengucapkan

Rembang yang berasal dari kata Kerem dan Kemambang. Akhirnya di daerah itu dinamakan

Rembang yang sekarang menjadi salah satu Kabupaten yang ada di Jawa Tengah. Jangkarnya

sekarang ada di Taman Kartini sedangkan Layar kapal berada dibatu atau biasanya sering

disebut “Watu Layar“ dan kapalnya dikabarkan menjadi Gunung Bugel yang ada di kecamatan

Pancur karena bentuknya menyerupai sebuah kapal besar dan diatas Gunung ada sebuah makam

konon disana merupakan makam Dampo Awang.

Perlu diingat Asal Usul Kota Rembang Jawa Tengah banyak versinya sehingga tidak setiap

orang mengetahui Asal Usul Kota Rembang yang sama versinya.

Page 4: Asal Usul Legenda

ASAL USUL RAWA PENING

Pada zaman dahulu di desa Ngasem hidup seorang gadis bernama Endang

Sawitri. Penduduk desa tak seorang pun yang tahu kalau Endang Sawitri

punya seorang suami, namun ia hamil. Tak lama kemudian ia melahirkan

dan sangat mengejutkan penduduk karena yang dilahirkan bukan seorang

bayi melainkan seekor Naga. Anehnya Naga itu bisa berbicara seperti

halnya manusia. Naga itu diberi nama Baru Klinting.

Di usia remaja Baru Klinting bertanya kepada ibunya. Bu, “Apakah saya ini

juga mempunyai Ayah?, siapa ayah sebenarnya”. Ibu menjawab, “Ayahmu

seorang raja yang saat ini sedang bertapa di gua lereng gunung Telomaya.

Kamu sudah waktunya mencari dan menemui bapakmu. Saya ijinkan kamu

ke sana dan bawalah klintingan ini sebagai bukti peninggalan ayahmu dulu.

Dengan senang hati Baru Klinting berangkat ke pertapaan Ki Hajar

Salokantara sang ayahnya.

Sampai di pertapaan Baru Klinting masuk ke gua dengan hormat, di depan

Ki Hajar dan bertanya, “Apakah benar ini tempat pertapaan Ki Hajar

Salokantara?” Kemudian Ki Hajar menjawab, “Ya, benar”, saya Ki Hajar

Salokantara. Dengan sembah sujud di hadapan Ki Hajar, Baru Klinting

mengatakan berarti Ki Hajar adalah orang tuaku yang sudah lama aku cari-

cari, aku anak dari Endang Sawitri dari desa Ngasem dan ini Klintingan

yang konon kata ibu peninggalan Ki Hajar. Ya benar, dengan bukti

Klintingan itu kata Ki Hajar. Namun aku perlu bukti satu lagi kalau

memang kamu anakku coba kamu melingkari gunung Telomoyo ini, kalau

bisa, kamu benar-benar anakku. Ternyata Baru Klinting bisa melingkarinya

dan Ki Hajar mengakui kalau ia benar anaknya. Ki Hajar kemudian

memerintahkan Baru Klinting untuk bertapa di dalam hutan lereng gunung.

Suatu hari penduduk desa Pathok mau mengadakan pesta sedekah bumi

setelah panen usai. Mereka akan mengadakan pertunjukkan berbagai

macam tarian. Untuk memeriahkan pesta itu rakyat beramai-ramai mencari

hewan, namun tidak mendapatkan seekor hewan pun. Akhirnya mereka

menemukan seekor Naga besar yang bertapa langsung dipotong-potong,

dagingnya dibawa pulang untuk pesta. Dalam acara pesta itu datanglah

seorang anak jelmaan Baru Klinting ikut dalam keramaian itu dan ingin

menikmati hidangan. Dengan sikap acuh dan sinis mereka mengusir anak

itu dari pesta dengan paksa karena dianggap pengemis yang menjijikkan

dan memalukan. Dengan sakit hati anak itu pergi meninggalkan pesta. Ia

bertemu dengan seorang nenek janda tua yang baik hati. Diajaknya mampir

Page 5: Asal Usul Legenda

ke rumahnya. Janda tua itu memperlakukan anak seperti tamu dihormati

dan disiapkan hidangan. Di rumah janda tua, anak berpesan, Nek, “Kalau

terdengar suara gemuruh nenek harus siapkan lesung, agar selamat!”.

Nenek menuruti saran anak itu.

Sesaat kemudian anak itu kembali ke pesta mencoba ikut dan meminta

hidangan dalam pesta yang diadakan oleh penduduk desa. Namun warga

tetap tidak menerima anak itu, bahkan ditendang agar pergi dari tempat

pesta itu. Dengan kemarahan hati anak itu mengadakan sayembara. Ia

menancapkan lidi ke tanah, siapa penduduk desa ini yang bisa

mencabutnya. Tak satu pun warga desa yang mampu mencabut lidi itu.

Akhirnya anak itu sendiri yang mencabutnya, ternyata lubang tancapan tadi

muncul mata air yang deras makin membesar dan menggenangi desa itu,

penduduk semua tenggelam, kecuali Janda Tua yang masuk lesung dan

dapat selamat, semua desa menjadi rawa-rawa,

Karena airnya sangat bening, maka disebutlah “Rawa Pening” yang berada

di kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Page 6: Asal Usul Legenda

Legenda Terjadinya Bledug Kuwu

Berdirinya Kerajaan Medang Kamolan.

Konon tanah jawa ini pernah dikuasai oleh kerajaan Galuh, dipimpin oleh Prabu Sindulaya Sang Hyang Prabu Watu Gunung, yang berhasil mengangkat nama Galuh menjadi termasyhur dan rakyatnya hidup makmur. Pusat pemerintahannya di daerah Jawa Barat.

Prabu Watu Gunung dikaruniai 4 orang anak : Dyah Ayu Dewi (menjadi ratu di Nusatembini), Pangeran Adipati Dewata Cengkar, Dewata Pemunah Sakti (menjadi adipati di Madura), dan yang terakhir adalah Pangeran Adipati Dewata Agung (yang menjadi adipati di Pulau Bali).

Menurut cerita, rakyat Galuh tidak senang terhadap putra kedua, yaitu Pangeran Adipati Dewata Cengkar. Tingkah lakunya yang kasar terhadap rakyat kecil, suka menganiaya orang, ditambah hobinya berpesta pora, makin menambah kebencian rakyat. Satu hal lagi, pangeran tergila-gila makan daging manusia. Hal ini menjadikan hidup rakyat Galuh yang tadinya tenteram, menjadi gelisah dan takut. Akhirnya, sebagian rakyat mulai mengungsi untuk mencari perlindungan.

Perubahan keadaan rakyat ini ternyata tercium oleh sang prabu. Setelah beliau mengetahui bahwa putranyalah penyebab keresahan rakyat sedemikian rupa, maka dengan sangat marah sang paduka memanggil anaknya. Beliau sangat malu dan tercoreng mukanya. Karena emosi, beliau mengumpat dengan kasar dan memerintahkan agar Dewata Cengkar segera merubah sikapnya, kalau tidak harus pergi meninggalkan istana.

Dewata Cengkar tak berkata apa-apa, hatinya sakit mendengar kata-kata ayahnya, ia lalu bangkit dan meninggalkan istana tanpa pamit, sambil memandang ayahnya seolah-olah menantang.

Dalam waktu beberapa hari, Dewata Cengkar berhasil menghimpun beberapa prajurit istana yang masih setia padanya untuk ikut meninggalkan kerajaan Galuh. Dengan sembunyi-sembunyi, mereka menuju timur. Dalam waktu beberapa hari, mereka tiba di suatu tempat di pegunungan Kendeng, yang berhadapan dengan Teluk Lusi. Melihat lokasi yang bagus dan strategis ini, Dewata Cengkar lalu membangun satu bangunan sebagai istananya, lalu mengangkat dirinya menjadi raja dengan sebutan Prabu Dewata Cengkar.

Untuk membantu urusan pemerintahan, diangkatlah Aryo Tengger menjadi patih dan Rudo Pekso menjadi tumenggung. Kerajaan mereka dinamakan Medang Kamolan.

Semakin hari semakin makmur dan termasyhurlah kerajaan ini. Seiring waktu, rasa dendam Dewata Cengkar kepada ayahnya pun lenyap sudah, kalau saja tidak termakan rayuan Aryo Tenggger dan Rudo Pekso. Amarah itu tersulut kembali. Sang prabu sendiri lalu menghimpun kekuatan untuk menyerbu Galuh.

Saat itu kerajaan Galuh tidak dalam kondisi siap perang. Sejak kejadian rakyat banyak yang mengungsi dan kemudian diiukuti rakyat lain dan tidak ada yang mau kembali lagi, Galuh menjadi kosong dan kekuatan prajuritnya semakin lemah. Ini membuat sang Prabu Watu Gunung menjadi murung. Pada keadaan seperti itulah sang prabu mendengar ada serbuan dari kerajaan lain yang ternyata dipimpin oleh anak kandung yang diusirnya dulu, beliau murka.

”Dasar Dewata Cengkar tak tahu diri. Kerajaan Galuh ini nantinya akan kuwariskan kepadanya, akan menjadi miliknya, tapi bukan dengan cara seperti ini.”

Prabu Watu Gunung tak kuasa melawan nafsu Dewata Cengkar, setelah memperingatkan anaknya, beliau mesti rela mati dihantam gada Dewata Cengkar.

”Mampus kau keparat!” teriak Dewata Cengkar. Bersama pukulan itu, timbul cahaya yang sangat menyilaukan. Prabu Watu Gunung pun menghilang, bersama kerajaan dan rakyat Galuhnya, lalu berubah menjadi hutan belantara. Dari dalam hutan, terdengar suara Watu Gunung mengutuk putranya: ”Dewata Cengkar, semua sudah terlanjur. Dengan sifat-sifatmu yang seperti binatang itu, nantinya akan menjadi kenyataan.”

Dewata Cengkar sempat was-was mendengarnya, takut menjadi kenyataan. Namun Aryo Tengger dan Rudo Pekso segera mengalihkan perasaan sang prabu dengan menyanjungnya atas

Page 7: Asal Usul Legenda

kemenangan ini. Prajurit bersorak sorai pulang ke Medang Kamolan. Mereka merencanakan pesta pora.

Rakyat bersiap-siap menyambut kedatangan para prajurit dan rajanya dari medan perang. Umbul-umbul berwarna-warni dipasang di sepanjang jalan, rumah-rumah dihias. Para wanita bertugas menyiapkan makanan. Penari-penari bersiap untuk manggung.

Di dapur, saking bersemangatnya, seorang wanita terpotong jari kelingkingnya. Dia segera berlari ke kamar untuk mengambil obat, tapi alangkah kagetnya ia ketika kembali ke dapur, kelingkingnya sudah tidak ada, ikut teriris-iris dan masuk ke dalam panci masakan. Tidak mungkin baginya mencari kelingkingnya diantara daging yang sudah masak semua.

Pesta berlangsung sangat meriah. Sang prabu mengundang semua rakyat untuk memakan semua hidangan. Penari-penari bekerja semalam suntuk untuk menghibur sang prabu dan prajurit-prajuritnya.

Setelah pesta usai, sang prabu memanggil Aryo Tengger, sang patih.”Tih..patih..coba kamu kesini sebentar..””Daulat paduka, ada apa gerangan, apakah patih diperlukan?””Ya ya ya..sini cepat, dengarkan kata-kataku, tapi jangan salah paham dulu. Ini penting,dan sifatnya rahasia.””Baik paduka, patih akan merahasiakan.””Sekarang aku tanya kepadamu, daging apa yang paling kamu senangi?””Daging sapi paduka.””Bodoh Patih...daging paling enak itu ya daging manusia. Semasa di kerajaan Galuh aku sering makan daging manusia, sampai aku dimarahi dan diusir ayahku. Setelah disini, aku tak pernah lagi akan daging manusia sampai aku hampir lupa rasanya, seandainya tidak merasakannya saat pesta tadi.”“Apakah ada daging manusia dihidangkan paduka?””Ada, tapi tidak sengaja. Mungkin ada juru masak jarinya terpotong lalu tercampur bersama makanan.””Gila, mampus nanti dia kalau tertangkap.””Jangan ganggu dia, justru dengan jari kelingking itu gairahku bertambah hidup. Nantinya ada pekerjaan baru buatmu, Tih.””Pekerjaan apa paduka?’”Mulai besok kamu harus dapat memperoleh korban manusia yang dagingnya dimasak untukku.”

Patih Aryo Tengger bak tersambar petir mendengarnya. Tapi mau tak mau ia harus melaksanakannya. Awal yang tak disengaja itu akhirnya menjadi bencana bagi rakyat Medang Kamolan. Korban pertama, patih mengambil narapidana dari penjara, sampai akhirnya seluruh isi penjara habis. Lalu beralih mencari pemuda desa. Banyak pemuda yang keluar malam hari menghilang secara misterius.

Namun, serapat-rapat orang menyimpan bangkai akhirnya tercium juga. Rakyat akhirnya lari meninggalkan kerajaan. Patih mulai bingung mencari korban, apalagi akhir-akhir ini sang prabu mulai minta yang aneh-aneh. Karena biasanya mendapat pemuda, kali ini sang prabu minta daging wanita muda. Patih bingung karena tak ada lagi wanita muda yang masih tinggal disana. Semua telah pergi. Sampai akhirnya terdengar kabar bahwa di rumah Kaki Grenteng masih hidup seorang gadis muda yang bisa dijadikan korban. Patih memerintahkan seluruh anak buahnya untuk mengepung rumah Kaki Grenteng.

***

Ajisaka dan Buaya Putih

Tak disebutkan darimana asal Ajisaka. Tapi dia adalah seorang ilmuwan yang bermaksud akan menyebarkan agama ke Medang Kamolan, ditemani dua temannya, Dora dan Sembada.

Page 8: Asal Usul Legenda

Dengan menggunakan perahu mereka menuju negeri yang makmur itu, hingga tiba di tempat pemberhentian pertama, Nusa Majedi, yang sekarang bernama Bawean. Dari situ Ajisaka menyiapkan peralatan dan perbekalan. Dia memutuskan akan melanjutkan perjalanan bersama Dora, sedangkan Sembada ditugaskan tinggal di Nusa Majedi untuk sementara waktu, sambil menjaga barang-barang mereka. Keris pusaka ditinggalkannya bersama Sembada dengan pesan agar tidak memberikannya kepada siapapun, kecuali Ajisaka sendiri yang meminta. Sembada menerima tugas tersebut dengan patuh dan ikhlas.

Melewati samudera, gunung dan hutan belantarra, Sembada dan Dora mulai memasuki Medang Kamolan. Namun betapa terkejutnya mereka ketika bertemu rombongan penduduk Medang Kamolan yang bergegas keluar perbatasan. Para penduduk enggan menjawab ketika ditanya, malah terlihat takut, seakan-akan diancam dari belakang. Kecurigaan mereka makin bertambah ketika melewati beberapa desa yang kosong tak berpenghuni. Kalaupun ada, tinggal orang-orang lanjut usia.

Sampai akhirnya mereka tiba di sebuah rumah yang asri berhalaman luas. Mereka mengetuk pintu dan disambut dengan penuh curiga oleh Kaki Grenteng, sang pemilik rumah. Setelah mengetahui bahwa mereka hanyalah orang asing, Kaki Grenteng mempersilakan mereka masuk. Singkat cerita, mereka menjadi paham mengapa rakyat pada mengungsi keluar.

Kaki Grenteng lalu menceritakan kekuatirannya karena di rumahnya terdapat seorang gadis bernama Roro Cangkek. Pasti saat ini dia sedang diburu patih Aryo Tengger untuk menjadi santapan sang prabu.

Puas mendengar cerita dan menyantap makanan dan minuman yang dihidangkan, Ajisaka minta ijin untuk buang hajat. Saat menuju ke belakang, dia berpapasan dengan Roro Cangkek yang juga sangat kaget dan malu melihatnya karena sebagian pakaiannya terbuka. Roro Cangkek lalu lari ke dalam kamar, sedangkan Ajisaka yang masih tak habis pikir melihat ada bidadari di kampung terpencil seperti ini, lalu menyelesaikan urusannya.

Ternyata, saat Ajisaka membuang hajat itu, datang seekor ayam jago yang sedang kehausan, lalu meminum air seninya. Tak disangka, ayam jago itu lalu bersikap aneh, melonjak-lonjak kegirangan dan berkokok seperti ayam betina yang akan bertelur. Roro Cangkek yang mellihat keanehan tersebut lalu mendekati ayam jago itu, menggendongnya, membelainya dan membawanya ke lumbung padi.

Saat itu pula, ternyata pasukan patih Aryo Tengger telah mengepung rumah kaki Grenteng. Ia diperintahkan untuk segera menyerahkan Roro Cangkek. Akhirnya, dengan paksa mereka menggotong Roro Cangkek dari kamarnya. Kaki Grenteng dan istrinya yang sudah tua tak bisa berbuat apa-apa, mereka pingsan dipukuli oleh anak buah patih, sementara Ajisaka dan Dora didorong ke sudut agar menjauh namun tak disakiti karena mereka orang asing.

Roro Cangkek berteriak dengan memilukan. Ajisaka lalu menghadang para punggawa yang membawa Roro Cangkek, lalu mengatakan bahwa wanita itu mengidap suatu penyakit berbahaya yang sangat menular, bahkan dari hembusan nafasnya. Ajisaka lalu menawarkan dirinya sebagai pengganti Roro Cangkek untuk menjadi korban sang prabu.

Roro Cangkek memeluk kaki Ajisaka, tapi akhirnya Ajisaka pergi juga. Roro Cangkek hatinya hancur.Menghadap prabu Dewata Cengkar, Ajisaka dan Dora terlibat percakapan serius sebelum akhirnya hidup mereka berakhir menjadi santapan sang prabu. Sang prabu rupanya bersedia memenuhi 1 permintaan terakhir Ajisaka sebelum beliau memakannya. Ajisaka hanya minta sepetak tanah di alun-alun Medang Kamolan, seluas sorban di kepalanya. Sang prabu segera memenuhinya. Permintaan kecil, pikirnya.

Dengan disaksikan patih, tumenggung dan seluruh rakyat, Ajisaka membuka sorbannya, memegang ujung utara, dan sang prabu memegang ujung selatan. Mereka mulai mengukur, namun sorban tersebut malah semakin panjang dan panjang, tidak habis-habis gulungannya. Sang prabu mulai kelelahan dan malu dilihat rakyatnya, lalu menyerah kepada Ajisaka. Saat itu

Page 9: Asal Usul Legenda

posisi beliau sudah di tebing laut yang curam. Beliau bersedia menyerahkan kerajaan asalkan dibiarkan hidup. Rakyat tidak mau, mereka sudah cukup menderita karena perbuatan sang prabu dan meminta Ajisaka segera membunuhnya. Dengan memohon kepada Yang Maha Pencipta, Ajisaka mengibaskan sorbannya. Tubuh Dewata Cengkar terpental hingga ke tengah samudra, hilang dibawa ombak. Setelah itu muncul seekor buaya putih dengan mulut menganga seolah kelaparan. Buaya ini mengutuk Ajisaka dan bersumpah akan memangsa semua keturunannya yang lengah di samudera.

Rakyat menyambut gembira dan mengangkat sang dewa penolong menjadi raja Medang Kamolan. Sang patih dan tumenggung ditangkap rakyat lalu dilemparkan ke samudera agar berkumpul bersama tuannya.

***

Sementara itu, di rumah Kaki Grenteng.

Ayam jago yang dulu dikurung di gudang jerami kini telah bertelur. Bentuk telurnya berbeda dan tidak juga menetas pada waktunya seperti halnya ayam kampung. Hanya, lumbung padi mereka tidak pernah kosong, selalu terisi penuh. Hal ini membuat Kaki Grenteng dan istrinya curiga, lalu mereka membongkar tumpukan padi itu, dan tiba-tiba mundur ketakutan. Seekor ular berkepala besar muncul, dan dapat berbicara. Dia minta bertemu dengan Roro Cangkek, yang diakunya sebagai ibunya.

Roro Cangkek melihat ada kemiripan antara ular tersebut dengan Ajisaka, ditambah lagi dari penjelasan sang ular bahwa dirinya berasal dari telur seekor ayam jago yang meminum air seni Ajisaka. Sang ular meminta ijin pada ibunda Roro Congkek untuk mencari ayahnya. Oleh Roro Cangkek lalu diarahkan ke kerajaan Medang Kamolan, dimana sang prabu Ajisaka bertahta.

Sang ular pun bergerak menuju arah yang ditunjuk ibunya. Badannya yang demikian besar menyebabkan rumah penduduk dan hutan banyak yang rusak. Rakyat ketakutan. Pengawal istana bersiap siaga, apalagi setelah mendengar ular itu bermaksud ingin bertemu raja.

Prabu Ajisaka tak begitu saja percaya bahwa ular itu adalah anaknya, tetapi setelah mendengar ceritanya, beliau pun sadar bahwa ular itu benar. Tapi, untuk mengujinya, beliau menugaskan sang ular untuk membunuh seekor buaya putih di Samodra Kidul (Laut Selatan), lalu membawa pulang kepalanya. Jalan pulang ke Medang Kamolan harus melewati dasar bumi.

Sang ular melaksanakan tugas tersebut dengan mudahnya. Setelah menelan kepala buaya putih untuk diperlihatkan kepada sang prabu, ia lalu menerobos tebing di pinggir pantai, untuk terus menuju ke timur, ke Medang Kamolan.

Karena tidak yakin arah yang benar, ia naik sebentar ke permukaan, dan tiba di desa Jono, kecamatan Tawangharjo. Hingga saat ini, daerah terebut terkenal dengan penghasil ’bleng’, yaitu sejenis cairan untuk campuran membuat kerupuk, yang dapat diproses menjadi garam dapur. Kedua kalinya ia muncul ke permukaan yaitu di daerah Crewek, tetapi ternyata perjalanan masih cukup jauh.

Lalu, untuk ketiga kalinya, dengan tak sabar ia memusatkan seluruh kekuatannya untuk mengeluarkan badannya dari dasar bumi. Saking besarnya tubuh sang ular raksasa, sampai mengeluarkan suara BLEDUG...BLEDUG... Ia tiba di desa Kuwu, Kecamatan Grobogan. Tetapi tenaganya sudah habis, dan akhirnya ia lumpuh. Saat itu ia menjelma menjadi seorang anak kecil. Seorang dukun menemukannya dan menyembuhkannya dari penyakit lumpuh. Sang dukun menanyakan asal dan tujuan si anak, tetapi ia tak dapat menjawab. Akhirnya ia dikenal dengan nama Joko Linglung.

***

Begitulah. Sebenarnya masih ada lanjutan cerita si Joko Linglung ini, yaitu sampai dia menemukan ayah ibunya, lalu berakhir di Kesongo, daerah lain yang juga tandus, sebenarnya berpotensi pariwisata, tapi saat ini hanya menarik buat para geologis.

Page 10: Asal Usul Legenda

ASAL USUL API ABADI MRAPEN GROBOGAN

Pada jaman dahulu berdirilah kerajaan Demak yang didirikan Raden Patah dibantu oleh para

Wali dan guru agama. Akhirnya oleh Prabu Brawijaya, Raden Patah diijinkan dan bahkan

diangkat menjadi Bupati di Bintara Demak pada tahun 1503. Kemajuan Bintara sangat pesat dan

pengaruhnya sampai menyusup ke daerah Majapahit. Beberapa bangsawan Majapahit sudah

mulai masuk Islam. Tahun 1509 Raden Patah diangkat sebagai Sultan Demak dengan Gelarnya

Sultan Jimbun Ngalam Akbar atau Panembahan Jimbun. Dia memerintah sampai tahun 1518

dan digantikan oleh Adipati Umus (1518 – 1521). Usaha penaklukan Majapahit baru terlaksana

pada tahun 1525, yaitu pada masa kekuasaan Sultan Trenggono ( 1521 – 1546 ).

Dengan keruntuhan Majapahit tahun 1525, maka kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam di

Jawa menjadi penguasa tunggal. Sedang sisa – sisa penguasa Majapahit yang tidak mau tunduk

ke Demak memindahkan pusat kerajaannya ke Sengguruh. Ada pula yang menyingkir ke

Ponorogo dan lereng Gunung Lawu. Setelah R. Patah menjadi raja dia mulai menata wilayah

kerajaan. Kota Demak dijadikan pusat pemerintahan, pusat perdagangan dan pusat pendidikan

dan penyebaran agama Islam ke seluruh Jawa. Sebagai lambang negara Islam dibangunlah

sebuah masjid Agung yang merupakan perpaduan antara budaya Islam dengan budaya Hindu.

Ekspedisi pemboyongan dipimpin oleh Sunan Kalijaga tampak berjalan lancar.

Setelah sampai di Mrapen mereka merasa sangat lelah. Kemudian rombongan itu beristirahat

disitu. Karena tidak ada air untuk minum, maka Sunan Kalijogo bersemedi memohon kepada

Tuhan diberi air untuk minum para pengikutnya. Tongkat wasiatnya ditancapkannya ke tanah,

kemudian dicabutnya. Tetapi yang keluar bukan air namun api yang tidak dapat padam (Api

Abadi). Sejak itulah tempat itu disebut Mrapen. Kemudian di tempat lain dilakukan hal yang

sama dan keluarlah pancuran air yang jernih, yang dapat diminum. Demikian rombongan itu

minum dan setelah hilang lelahnya mereka melanjutkan perjalanannya ke Demak.

Sesampainya di Demak barang - barangnya yang dibawa diteliti. Ternyata ada yang ketinggalan

di Mrapen, berupa sebuah ompak (alis tiang). Sunan Kalijaga menyatakan ompak itu tidak perlu

diambil sebab nantinya akan banyak gunanya. Batu ompak itu kemudian dikenal dengan Watu

Page 11: Asal Usul Legenda

Bobot. Suatu ketika Sunan Kalijaga mengajak Jaka Supo pergi ke hutan mencari kayu jati yang

cocok untuk dibuat “Saka Guru“ Masjid Agung Demak. Jaka Suko adalah Putra Tumenggung

Mpu Supodriyo, seorang Wedana Bupati Mpu (tukang membuat alat perang dari besi) Kerajaan

Majapahit. Pada waktu itu Jaka Supa sendiri telah menjabat sebagai jajar Mpu walaupun dia

abdi Majapahit, tetapi dia telah belajar agama Islam pada Sunan Kalijaga.

Selama Sunan Kalijaga mengembara di hutan mencari kayu tersebut, dia berjumpa dengan Dewi

Rasa Wulan yang sedang “Tapa Ngidang“. Dewi Rasa Wulan sebenarnya adalah adiknya sendiri

yang lari dari Kadipaten Tuban, karena ditawari untuk menikah tidak mau. Oleh Sunan Kalijaga,

Dewi Rasa Wulan diajak ke Tuban. Di Tuban dia dikawinkan dengan Jaka Supa. Pada suatu

pagi, ketika Jaka Supa yang telah bernama Mpu Supa “Memadai” ( bahasa Jawa : Mandhe )

membuat keris, datanglah Sunan Kalijaga untuk minta kepada Jaka Supa membuat sebuah keris

yang baik. Sunan memberinya bahan berupa besi sebesar biji asam (sak klungsu) Jaka Supa

heran, dapatkah besi yang sekian besarnya dapat dibuat keris ? tetapi setelah dipegang ternyata

besi itu sangat berat dan berubah menjadi sebesar Gunung.

Mpu Supa sangat takut kepada Sunan Kalijaga, maka apa yang menjadi perintah Sunan Kalijaga

dikerjakan. Sunan Kalijaga memerintahkan supaya keris dibuat di Mrapen. Maka Mpu Supa

pergi ke Mrapen membuat keris tersebut. Untuk pembakarannya digunakan api abadi. Watu

Bobot digunakan sebagai landasannya. Sedang air sendang juga digunakan sebagai

penyepuhnya. Aneh, air yang tadinya jernih setelah dipakai untuk menyepuh keris berubah

warna menjadi kuning kecoklat - coklatan sampai sekarang. Setelah keris itu jadi, dalam Serat

Babad Demak (M. Atmo Darminto, 1962 : 55 – 56) dinyatakan : (tembang Dandang Gula) :

Sunan Kali angandika aris, Sunan arani kris dapur Sengkelat, dene kris abang warnane, nanging

iki tan patut, dipun angge wong laku santri, iki pantes kagema, mring patingginipun, negaraning

pulo Jawa, wus pinasthi besuk dadi pusaka ji, kang mengku nusu Jawa. Lah pundhinen jebeng

ingkang becik, bokmanawa Siradarbe darah, kang mengku nusa Jawane, nulya simpenen

tinampen gupuh, mring Ki Supa dhuwung pinundhi, dohing maling jeng Sunan, gawekena

ingsun, cothen pranti pembelehan, ingkang pantes dianggo wong laku santri, mengko sun golek

tosan.

Inti

Api abadi Mrapen adalah sebuah kompleks yang terletak di desa Manggarmas, kecamatan

Godong, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Kawasan ini terletak di tepi jalan raya Purwodadi

- Semarang, berjarak 26 km dari Kota Purwodadi. Kompleks api abadi Mrapen merupakan

fenomena geologi alam berupa keluarnya gas alam dari dalam tanah yang tersulut api sehingga

menciptakan api yang tidak pernah padam walaupun turun hujan sekalipun.

Banyak peristiwa besar mengambil api dari kompleks api abadi Mrapen sebagai sumber

obornya, misalnya pesta olahraga internasional Ganefo I tanggal 1 November 1963. Api abadi

dari Mrapen juga digunakan untuk menyalakan obor Pekan Olahraga Nasional (PON) mulai

Page 12: Asal Usul Legenda

PON X tahun 1981, POR PWI tahun 1983 dan HAORNAS. Api abadi dari Mrapen juga

digunakan untuk obor upacara hari raya Waisak.

Selain api abadi, di komplek tersebut juga terdapat kolam dengan air mendidih yang konon

dapat dipergunakan untuk mengobati penyakit kulit, serta batu bobot yang konon apabila

seseorang dapat mengangkatnya maka yang mengangkat tersebut akan mendapatkan

keinginannya.

Page 13: Asal Usul Legenda

Asal Usul Jawa BaratBaik orang Sunda maupun orang Jawa dua-duanya adalah orang Jawa. Dari sejarah kerajaan-kerajaan kuno di Pulau Jawa hampir tidak terlihat batas dan jarak untuk membedakan mana orang jawa dan mana orang sunda.

Kalau dijaman sekarang hubungan Jawa - Sunda sering dianggap sebagai dua suku yang sama sekali berbeda bagai minyak dan air dan hubungannya renggang secara historis akibat sejarah lama yang dikait-kaitkan dengan warisan luka perang Bubat akibat kegagalan perkawinan Raja Majapahit (hayam Wuruk) dan putri raja Pajajaran (Dyah Pitaloka), sebetulnya itu kaitan yang tidak mencerminkan hubungan Sunda -j awa secara utuh dan menyeluruh dalam rentang kurun sejarah yang panjang.

Jauh sebelum peristiwa Bubat muncul, sejarah banyak mengindikasikan bahwa sama sekali tidak ada penghalang hubungan antara Jawa dan Sunda karena pada dasarnya mereka lebih memiliki banyak kesamaan dan kemiripan akar budaya, kepercayaan, tradisi, genetik dan bahkan bahasa. Baik orang Sunda maupun orang jawa mereka tidak pernah mengangap asing satu dengan lainnya. Pertalian kekerabatan antara kerajaan Jawa dan sunda juga terjalin kuat sejak sejarah kerajaan di Jawa muncul di era sejarah.

Sebut saja Ketika Tarumanegara pecah maka kerajaan Kalingga dari Jawa Tengah (terkenal dengan Ratu Shima) menengahinya sehingga Tarumanegara dibelah dua secara damai menjadi Sunda dan Galuh. Ini karena keluarga diraja Kalingga memiliki hubungan keluarga dengan keturunan raja Tarumanegara yang berkuasa di Galuh. Berdasarkan sejarah, Sanjaya (pendiri Wangsa Sanjaya Mataram Kuno) adalah hasil keturunan campuran darah Tarumanegara (Galuh) dan Kalingga. Keeratan Sunda Galuh dan Kalingga memang bisa dimengerti karena Tarumanegara bukanlah kerajaan agresor yang ingin menguasai wilayah selebar-lebarnya seperti Sriwijaya ketika itu.

Hubungan kekerabatan keturunan raja-raja Sunda dan jawa juga terus berlangsung sampai keera Wangsa Isana (Empu Sendok). Di sini diceritakan bahwa Raja Sunda terkenal Prabu Sri Jaya Bhupati menikah dengan puteri kerajaan Medang (Dharmawangsa) dari jawa timur adik iparnya Airlangga. Prabu Sri Jaya Bhupati sendiri adalah keturunan campuran darah ningrat Sunda dan Sriwijaya. Ketika Medang diserang habis-habisan oleh Sriwijaya maka Jaya Bhupati diceritakan dalam posisi sulit dan dilemma dan sebab itu bersikap netral karena disatu pihak dia punya separo garis keturunan dari Sriwijaya dan dipihak lain isterinya adalah keturunan Raja Medang ketika itu. Kerajaan Sunda ketika terjadi perang yang sering terjadi berkali-kali antara Srivijaya dan kerajaan di tanah Jawa selalu mengambil sikap netral dan berusaha menjalin kekerabatan baik dengan Sriwijaya maupun dengan kerajaan Jawa.

Raden Wijaya sendiri yaitu pendiri kerajaan besar Majapahit menurut sumber merupakan darah campuran antara keturunan raja Sunda dengan keturunan Ken Arok Sang pendiri Singosari.

Perkawinan kerabat raja Sunda dengan keturunan Singosari tentu dimaksud untuk simbol persahabatan kedua kerajaan yang juga pernah dilakukan Kerajaan Sunda terhadap Kerajaan Medang, Kalingga dan Srivijaya. Tetapi khusus tentang pernyataan bahwa Raden Wijaya adalah separo Sunda banyak disangkal ahli sejarah khususnya mereka yang mempercayai seratus persen kitab Nagarakartagama karangan Empu prapanca.

Alasanya karena Nagara Kartagama ditulis belum lama setelah Raden Wijaya wafat dan diperkuat oleh prasasti lainnya. Dalam Nagara kartagama dituliskan bahwa Dyah Lembu Tal yang dalam versi ahli yang mempercayai Raden Wijaya punya darah keturunan kerajaan Sunda disebutkan sebagai Ibu dari Raden Wijaya ternyata dalam Nagarakertagama disebutkan Lembu Tal ini adalah laki-laki yang tidak lain ayahnya Raden Wijaya (bukan Ibu) dan ibunya Raden Wijaya sendiri malah tidak disebut-sebut dalam nagarakartagama.

Page 14: Asal Usul Legenda

Saya sendiri belum mempercayai Nagarakartagama sepenuhnya sebagai tulisan jujur, jadi masih lebih meyakini Lembu Tal itu ibunya Raden wijaya dan punya keterkaitan keturunan dengan keluarga Raja-raja Sunda. Negarakertagama sebagai karya tulis jelas didedikasikan untuk puja-puji kebesaran Majapahit dan Raja-rajanya dan menyembunyikan borok didalamnya.Itulah sebabnya Nagarakartagama tidak pernah menyinggung lebih dalam lagi leluhur raja-raja majapahit yaitu mulai dari pertempuran berdarah dan perebutan kekuasaan dari sejak Ken Arok Tunggul Ametung sampai keanak cucunya. Demikian pula walau Bubat disinggung dalam Nagarakertagama tapi perang Bubat antara Pajajaran dan Majapahit yang menyebabkan matinya calon penganten dan calon mertua Hayam Wuruk dari kerajaan Sunda tidak disinggung sama sekali.

Penyebutan Lembu Tal sebagai ayah Raden Wijaya ada kemungkinan karena untuk menghindarkan pertentangan garis keturunan dalam dinasti Ken Arok mengingat dinasti ini sepanjang sejarahnya sangat sarat dengan perang keluarga dan pembunuhan yang berkaitan dengan tahta dan keturunan. Penyebutan ayah Raden Wijaya adalah seorang lelaki keturunan kerajaan Sunda mungkin bisa menjadi pemicu untuk menghasut keturunan lain berontak.Tapi memang perlu diakui tidak ada yang pasti dalam mengungkap status asal usul Raden Wijaya ini sehingga memerlukan penelitian lebih lanjut.

Kembali kepada pertanyaan Siapa itu orang Sunda dan siapa Orang Jawa, maka dari rentetan cerita diatas saya berkesimpulan mereka sebenarnya satu kerabat dekat yang memiliki tali persaudaraan, punya kesamaan tradisi dan kepercayaan.

Yang lebih mengejutkan lagi prsasti tentang Kerajaan Sunda pada jaman Raja Jaya Bhupati yang ditulis sekitar awal abad ke-11 diketemukan di Cibadak sukabumi, ternyata ditulis dalam bahasa Jawa kuno.

Ini memberi indikasi kuat bagi saya sebenarnya yang namanya bahasa kehidupan orang Pulau Jawa kuno adalah kurang lebih hampir sama dan cenderung dipengaruhi banyak oleh kata-kata dari bahasa India kuno. Pada perkembangannya karena pengaruh kekuasaan kerajaan wijaya, maka antara Jawa Barat dan jawa belahan lainnya berubah kearah berbeda.

Jawa-Barat hampir bisa dikatakan secara kontinyu dikuasai oleh kerajaan keturunan Tarumanegara dan pecahannya sampai era kerajaan islam terutama banten dan kesultanan Cirebon berdiri. Ini yang menyebabkan Jawa sebelah barat kemudian berkembang secara eksklusif baik dari segi bahasa maupun identitas kesukuan dan pada perkembangan sejarah modern kemudian mereka menamakan dirinya sebagai orang Sunda atau lebih tegas lagi berubah menjadi suku sunda karena memang dari dulunya merupakan masyarakakat dibawah langsung kerajaan Sunda.

Kerajaan Tarumanegara, Sunda atau pajajaran walau suatu ketika pernah menjadi kerajaan dibawah bayang-bayang kekuasaan Srivijaya, singosari ataupun Majapahit tapi tidak pernah secara langsung dikuasia atau disentuh kerajaan besar tersebut.

Pertama karena kerajaan Sunda selalu menerapkan strategi hubungan baik dan kekeluargaan dengan kerajaan yang berusaha mencaploknya. Ini terbukti bahwa keturunan kerajaan Sunda banyak menikah dengan keturunan raja-raja Jawa dan Sumatera.

Kedua, karena letak Jawa Barat adalah dipintu masuk antara Sumatera dan jawa maka kerajaan Sunda memiliki letak yang strategis.

Sriwijaya terlalu kuat disebelah barat untuk bisa ditundukan sepenuhnya oleh kerajaan jawa dan sebaliknya pula kerajaan jawa yang dalam perkembangannya lebih menjurus kewilayah timur (jawa timur) terlalu jauh untuk dijangkau dan dirundukan Sriwijaya.

Dengan demikian wilayah jawa barat merupakan wilayah yang tidak pernah sepenuhnya dan secara kontinu dijadikan pusat pemerintahan maupun kegiatan militer kerajaan Jawa, kecuali

Page 15: Asal Usul Legenda

pada masa kerajaan Islam Demak yang menyerang Sunda Kelapa dan membangun pertahanan disitu.

Inilah yang menyebabkan wilayah Jawa-Barat relatif tidak banyak tersentuh pengaruh budaya kerajaan kerajaan Jawa selain kerajaan Sunda. Dengan demikian dalam perkembangannya daerah jawa barat berubah menjadi pusat budaya dan bahasa yang berkembang kearahnya tersendiri.

Sejurus dengan pengaruh retaknya hubungan Majapahit pajajaran akibat perang bubat pada abad ke-14 kemudian munculnya era penyebaran kebudayaan Islam di Jawa yang dilanjutkan dengan lahirnya penjajahan barat, maka Jawa barat sudah renggang terpisah dari wilayah jawa lainnya dan berkembang sendiri mencari bentuknya sendiri.

Maka dari situlah apa yang terlihat sekarang lahir perbedaan antara bahasa dan budaya Sunda dan non-Sunda di tanah Java Dvipa. Orang modern kemudian menyebut budaya Java warisan kerajaan Sunda disebut Jawa-sunda atau Sunda saja dan wilayah Jawa lainnya bekas kekuasaan Majapahit sebagai Jawa-Jawa atau Jawa saja.

Majapahit tidak pernah mengganggu kerajaan Sunda bukan karena Majapahit takut Sunda tapi merupakan bentuk tanggung-jawab moral Hayam Wuruk terhadap masyarakat Sunda yang merasa prihatin tidak bisa mengatasi kesalah pahaaman atas terjadinya malapetaka Bubat dan tidak ingin mengingat-ingat kisah pahitnya dengan Dyah Pitaloka.

Ini menunjukkan bahwa Hayam wuruk memang tidak bermaksud menciptakan perang Bubat demi kekuasaan.