BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · manusia dan mahluk hidup lainnya yang...

96
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan penduduk menimbulkan berbagai implikasi yang bersifat multidimensi dan multisektor, seperti mengakibatkan pesatnya pertumbuhan wilayah perkotaan yang pada akhirnya berakibat pada peningkatan kebutuhan perumahan. Namun di lain pihak, peruntukan lahan untuk perumahan di wilayah perkotaan tidak mengalami penambahan, namun malah cenderung semakin berkurang, sehingga menyebabkan terjadinya aglomerasi, dan pada akhirnya akan berdampak pada timbulnya kawasan permukiman baru dan kota baru. Kondisi ini terjadi di kota-kota besar seperti DKI Jakarta. Oleh karena itu di sekitar DKI Jakarta bermunculan permukiman baru dan kota baru. Permukiman baru muncul di berbagai lokasi dengan jumlah yang cukup banyak, sedangkan kota baru yang ada di sekitar DKI Jakarta ada dua yakni Kota Baru Bumi Serpong Damai (BSD) dan Kota Baru Cibinong. Namun demikian dilihat dari morfologinya Kota Baru BSD mempunyai berbagai keunikan dan kelebihan dibanding Kota Baru Cibinong, sehingga Kota Baru BSD menarik untuk dikaji lebih jauh. Adapun salah satu cara untuk memotret kota baru ini dapat dilakukan dengan melihat kualitas lingkungannya yang dilihat dari kualitas air dan kualitas udara, melihat keberlanjutannya serta membuat model pengelolaan lingkungan di Kota Baru BSD. 5.1. Kualitas Lingkungan BSD Pertumbuhan penduduk di perkotaan yang tinggi berakibat pada meningkatnya kebutuhan akan rumah dan kebutuhan untuk hidup layak serta pada tuntutan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Akibatnya, kegiatan di dalam kota dan pinggiran kota besar (kota satelit) menimbulkan berbagai implikasi negatif yang mendorong pada terjadinya penurunan kualitas lingkungan seperti terjadinya polusi udara dan air. Adapun kualitas udara dan kualitas air tersebut dapat dilihat pada Tabel 10 dan 11. Kondisi atmosfir di Kawasan Kota Baru BSD tercemar gas beracun CO, serta tercemar oleh SO x , NO x , ozon (O 3 ) dan TSP. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan mengingat udara merupakan kebutuhan semua mahluk hidup, termasuk di dalamnya manusia, adanya bahan pencemar tersebut akan mengakibatkan kondisi kesehatan manusia dan mahluk hidup lainnya yang melakukan pernafasan akan terganggu kesehatannya. Disamping hal tersebut tingginya SO x , NO x dan CO juga akan

Transcript of BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · manusia dan mahluk hidup lainnya yang...

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan penduduk menimbulkan berbagai implikasi yang bersifat

multidimensi dan multisektor, seperti mengakibatkan pesatnya pertumbuhan wilayah

perkotaan yang pada akhirnya berakibat pada peningkatan kebutuhan perumahan.

Namun di lain pihak, peruntukan lahan untuk perumahan di wilayah perkotaan tidak

mengalami penambahan, namun malah cenderung semakin berkurang, sehingga

menyebabkan terjadinya aglomerasi, dan pada akhirnya akan berdampak pada

timbulnya kawasan permukiman baru dan kota baru. Kondisi ini terjadi di kota-kota

besar seperti DKI Jakarta. Oleh karena itu di sekitar DKI Jakarta bermunculan

permukiman baru dan kota baru. Permukiman baru muncul di berbagai lokasi dengan

jumlah yang cukup banyak, sedangkan kota baru yang ada di sekitar DKI Jakarta ada

dua yakni Kota Baru Bumi Serpong Damai (BSD) dan Kota Baru Cibinong. Namun

demikian dilihat dari morfologinya Kota Baru BSD mempunyai berbagai keunikan dan

kelebihan dibanding Kota Baru Cibinong, sehingga Kota Baru BSD menarik untuk

dikaji lebih jauh. Adapun salah satu cara untuk memotret kota baru ini dapat dilakukan

dengan melihat kualitas lingkungannya yang dilihat dari kualitas air dan kualitas udara,

melihat keberlanjutannya serta membuat model pengelolaan lingkungan di Kota Baru

BSD.

5.1. Kualitas Lingkungan BSD

Pertumbuhan penduduk di perkotaan yang tinggi berakibat pada meningkatnya

kebutuhan akan rumah dan kebutuhan untuk hidup layak serta pada tuntutan untuk

memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Akibatnya, kegiatan di dalam kota dan

pinggiran kota besar (kota satelit) menimbulkan berbagai implikasi negatif yang

mendorong pada terjadinya penurunan kualitas lingkungan seperti terjadinya polusi

udara dan air. Adapun kualitas udara dan kualitas air tersebut dapat dilihat pada Tabel

10 dan 11. Kondisi atmosfir di Kawasan Kota Baru BSD tercemar gas beracun CO,

serta tercemar oleh SOx, NOx, ozon (O3) dan TSP. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan

mengingat udara merupakan kebutuhan semua mahluk hidup, termasuk di dalamnya

manusia, adanya bahan pencemar tersebut akan mengakibatkan kondisi kesehatan

manusia dan mahluk hidup lainnya yang melakukan pernafasan akan terganggu

kesehatannya. Disamping hal tersebut tingginya SOx, NOx dan CO juga akan

64

mengakibatkan terjadinya hujan asam yang dapat mengakibatkan berbagai masalah

muncul seperti terjadinya kerusakan bangunan, kerusakan ekosistem daratan dan

kerusakan ekosistem perairan.

Tabel 10. Kualitas udara di BSD

LokasiParameter kualitas udara (µg/m3)

SO2 NO2 O3 CO TSP Pb

Permukiman 23.45 1.12 20.4 295 25 < 1Pertokoan 32.14 2.11 22.1 317 30 < 1Industri 26.4 1.43 21.5 309 25 < 1

Baku mutu* 900 400 235 30.000 230 2

Keterangan: * = PP No.41 Thn. 1999

Tabel 11. Kualitas air di BSD

No Parameter SatuanLokasi

Perumahanluar

PerumahanBSD

Pertokoan IndustriBMII*

Fisika1 suhu oC 26 26 27 28 dev. 3

Kimia1 pH *) - 6.0 6.5 6.5 6.5 6 - 92 BOD5 mg/l 5.13 4.94 5.22 11.71 33 COD + mg/l 20.68 92.26 93.84 98.58 254 Nitrat-

NO3-Nmg/l 0.076 0.170 0.111 1.903 10

5 TotalFosfat(PO4-P)

mg/l 0.034 0.090 0.052 0.140 0.2

6 Kadmium-Cd

mg/l <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 0.01

7 Deterjen mg/l 0.010 0.008 0.007 0.009 0.28 Timah

Hitam- Pbmg/l <0,005 <0,005 <0,005 <0,005

0.03

9 Air Raksa(Hg)

mg/l 0.0005 0.0005 0.0006 0.0006 0.002

10 Arsen-As mg/l 0.0003 0.0003 0.0004 0.0004 111 Fenol mg/l 0.0009 0.0009 <0,0001 0.0009 0.001

BM II*= Baku Mutu Air kelas II

Berdasakan baku mutu menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2001

tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lampiran 1)

memperlihatkan bahwa BOD dan COD baik yang berada di perumahan, pertokoan dan

65

industri semuanya sudah berada di bawah ambang batas nilai yang dipersyaratkan.

Sedangkan parameter lainnya yakni nitrat-NO3-N, total fosfat (PO4-P), kadmium (Cd),

deterjen, timah hitam (Pb), air raksa (Hg), arsen (As) dan fenol yang ada dalam

perairan sekitar lokasi penelitian semuanya berada di bawah baku mutu yang ditetapkan

(Lampiran 1).

5.2. Analisis Keberlanjutan

Keberlanjutan pembangunan di kota baru ini merupakan hal yang menarik

untuk dikaji, mengingat keberlanjutan kota baru dapat berpengaruh pada berbagai hal

seperti pada peningkatan pembangunan fisik dan ekonomi. Walau dampak dari

pembangunan ekonomi tersebut pada akhirnya akan semakin menarik para migran yang

ingin mencari penghidupan yang lebih layak di perkotaan. Selain hal tersebut

pembangunan fisik juga dapat berdampak negatif pada berbagai hal, terutama yang ada

kaitannya dengan lingkungan. Bahkan tidak hanya itu akibat pembangunan fisik,

malah dapat terbentuk lokasi-lokasi yang mungkin malah menjadi rawan terjadinya

bencana, dapat mengganggu kestabilan lingkungan seperti menimbulkan masalah

banjir, dsb.

Analisis keberlanjutan Kota Baru BSD ini dilakukan berdasarkan modifikasi

dari metode Rapfish yang digunakan untuk menilai status keberlanjutan. Hasil analisis

keberlanjutan Kota Baru BSD dinyatakan dalam indeks keberlanjutan Kota Baru BSD

(ikb-KOBA). Adapun hasil dari analisis yang dinyatakan sebagai indeks keberlanjutan

ini mencerminkan status keberlanjutan pada Kota Baru BSD berdasarkan kondisi

eksisting. Nilai tersebut ditentukan dari pendapat pakar, dengan kisaran nilai antara

0 – 100 %. Kriteria tidak berkelanjutan atau buruk, jika nilai indeks terletak antara

0 – 24,99 %. Kriteria kurang berkelanjutan apabila nilai indeksnya terletak antara

25 – 49,99 %. Kriteria cukup berkelanjutan apabila nilai indeksnya terletak antara

50 – 74,99 %. Kriteria berkelanjutan atau baik, jika nilai indeksnya 75 – 100 %

(Kavanagh, 2001).

Pada analisis keberlanjutan ini, yang dianalisis adalah dimensi ekologi,

ekonomi, sosial-budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan. Pada analisis

keberlanjutan Kota Baru BSD, sifatnya multidimensi, karena menggabungkan seluruh

atribut yang ada pada enam dimensi penentuan indeks keberlanjutan yaitu dimensi

66

ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, infrastruktur dan teknologi, serta hukum dan

kelembagaan.

5.2.1. Dimensi Ekologi

Hasil analisis keberlanjutan dapat dilihat pada Gambar 14. Pada Gambar 14

terlihat bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi adalah 42,22 % (dengan

skala sustainabilitas 0 – 100, dan nilai indeks < 50). Hal ini memperlihatkan bahwa

berdasarkan kriteria Kavanagh (2001), maka status keberlanjutan untuk dimensi ekologi

di Kota Baru BSD termasuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan.

Gambar 14. Indeks keberlanjutan dimensi ekologi Kota Baru BSD

Gambar 14 memperlihatkan bahwa walaupun Kota Baru BSD masuk ke dalam

kota baru yang relatif hijau dan relatif asri, namun aspek lingkungan masih harus

mendapat perhatian yang lebih serius, sehingga harus dicari upaya-upaya agar dimensi

ekologi menjadi berkelanjutan. Adapun peran masing-masing aspek pada atribut

ekologi ini dianalisis dengan menggunakan analisis leverage yang bertujuan untuk

melihat atribut yang sensitif dalam memberikan kontribusi terhadap keberlanjutan

dimensi ekologinya, hasil analisis leverage ini dapat dilihat pada Gambar 15.

Berdasarkan wawancara terhadap pakar, agar nilai indeks ini di masa yang akan

datang dapat terus meningkat sampai mencapai status berkelanjutan, perlu perbaikan-

perbaikan terhadap atribut-atribut yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks

RAPPERUMTES Ordination

GoodBad

Up

Down-60

-40

-20

0

20

40

60

-20 0 20 40 60 80 100 120

Status Permukiman

42,22 %

67

dimensi ekologi. Atribut-atribut yang diperkirakan dapat memberikan pengaruh

terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi ekologi di Kota Baru BSD ada lima dari

sebelas atribut. Adapun ke sebelas atribut tersebut adalah: (1) keadaan perumahan, (2)

ketersediaan instalasi pengolah limbah cair, (3) ketersediaan TPS sampah, (4) kondisi

drainase, (5) ketersediaan RTH, (6) ketersediaan air bersih, (7) kondisi jalan Kota Baru

BSD, (8) pencemaran udara/emisi, (9) penggunaan lahan BSD, (10) manajemen

banjir/bencana dan (11) permasalahan transportasi. Untuk lebih jelasnya atribut-atribut

dimensi ekologi dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15. Peran masing-masing atribut dimensi ekologi yang dinyatakandalam bentuk perubahan nilai root mean square (RMS)

Pada Gambar 15 terlihat adanya atribut-atribut sensitif yang dapat memberikan

pengaruh besar terhadap nilai indek keberlanjutan dimensi ekologi (hasil analisis

laverage). Berdasarkan hasil analisis laverage tersebut diperoleh lima atribut yang

sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi yaitu (1) ketersediaan air

bersih, (2) manajemen banjir/bencana, (3) permasalahan transportasi, (4) pencemaran

udara/emisi, dan (5) ketersediaan pengolah limbah cair. Hasil analisis laverage dapat

dilihat pada Gambar 16.

Ketersediaan air bersih di Kota Baru BSD merupakan hal yang harus

diutamakan, mengingat di kota baru terjadi alih fungsi lahan yang cukup drastis, dalam

Leverage of Attributes

0.78

3.01

0.39

1.55

0.99

4.94

2.17

3.21

1.47

3.55

3.36

0 1 2 3 4 5 6

Permasalahan transportasi

Managemen Banjir/bencana

Psnggnaan lahan BSD

Pencemaran udara/emisi

Kondisi jalan Kota baru BSD

Ketersediaan air bersih

Ketersediaan RTH

Kondisi drainase

Ketersediaan TPS Sampah

Ketersediaan instalasi pengolah limbah cair

Keadaan perumahan

Attribute

Root mean square Change % in Ordination when Selected AttributeRemoved (on Status scale 0 to 100)

68

hal ini lahan yang tadinya terbuka, menjadi kawasan terbangun sehingga

memungkinkan terjadinya run off air pada saat hujan, sehingga air yang masuk ke

dalam tanah, untuk menjadi air tanah menjadi minimal, oleh karena itu maka air tanah

yang umumnya relatif bersih akan menjadi masalah dilokasi ini. Selain air tanah, di

Kota Baru BSD juga terdapat air sungai, namun kondisi air sungai dan air drainase di

lokasi penelitian juga kurang menggembirakan mengingat di lokasi ini apabila dilihat

dari bau dan warnanya, memberikan indikasi sudah tercemar berat, sehingga

ketersediaan air bersih menjadi masalah di kota baru. Di lain pihak, kebutuhan air di

Kota Baru akan cenderung semakin meningkat sejalan dengan perkembangan jumlah

penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat, sehingga kelangkaan air

bersih akan semakin meningkat. Oleh karena itu maka sumberdaya air harus dikelola,

dipelihara, dimanfaatkan, dilindungi dan dijaga kelestariannya, untuk melakukan hal

tersebut, agar semuanya dapat terlaksana dengan baik, maka hal yang lebih ideal adalah

dengan cara memberikan peran kepada masyarakat dalam setiap tahapan pengelolaan

sumberdaya air.

Atribut sensitif ke dua adalah harus memperhatikan manajemen banjir/bencana.

Hal ini sangat mungkin terjadi, mengingat dari hasil survay terlihat bahwa wilayah di

sekitar Kota Baru BSD relatif pemanfaatan ruangnya masih belum terkendali dengan

baik, sehingga kondisi ini memungkinkan terjadinya bencana, seperti bencana banjir,

sehingga apabila pengelolaan dan pemanfaatan ruang tidak terkendali akan dapat

menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan tersebut, yang pada akhirnya akan

berdampak ke Kota Baru BSD. Oleh karena itu maka kesesuaian lahan di kota baru

yang diperuntukan untuk berbagai kepentingan harus benar-benar memperhatikan dan

mengimplementasikan Rencana Tata Ruang Wilayah, seperti yang tercantum pada

Undang-undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pada

pasal 29 ayat(1) dijelaskan bahwa: ”Ruang terbuka hijau terdiri dari ruang terbuka hijau

publik dan ruang terbuka hijau privat” dan selanjutnya pada ayat (2) disebutkan bahwa:

”Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 persen dari luas

wilayah kota”. Pada ayat (3) disebutkan bahwa ruang terbuka hijau publik pada wilayah

kota paling sedikit 20 % dari luas wilayah kota.

Atribut sensitif ketiga adalah permasalahan transportasi. Permasalahan

transportasi tersebut nampak jelas terutama pada saat pagi hingga menjelang malam,

69

yakni di beberapa lokasi terjadi antrian kendaraan yang cukup panjang. Walau

kendaraan-kendaraan berat sudah dialihkan ke pinggir kota, masalah transportasi di

Kota Baru BSD ternyata masih menjadi masalah yang masih harus dipecahkan dengan

baik, mengingat selain akan terjadi kemacetan, juga akan mengakibatkan terjadinya

pencemaran dan terjadinya peningkatan GRK terutama NOx, SOx dan CO2.

Terjadinya pembakaran bahan bakar fosil (BBF) yang aktif pada kegiatan

transportasi ini pada akhirnya akan menyumbang terjadinya pemanasan global, yang

pada akhirnya berujung pada terjadinya perubahan iklim global, sehingga menimbulkan

berbagai bencana. Selain menyumbang GRK, dari pembakaran BBF transportasi ini

juga akan dihasilkan logam berat terutama timbal atau Pb (Volesky, 2000). Di lain

pihak adanya pencemaran juga dapat berimplikasi terhadap berkurangnya pendapatan

sebagai akibat adanya masalah kesehatan, sehingga akan dikeluarkan biaya ekstra untuk

menanggulanginya (Syahril et al. 2002). Berdasarkan hal tersebut, maka dengan

meningkatnya transportasi, bukan saja akan meningkatkan pembakaran BBF, namun

logam berat Pb yang berasal dari pembakaran BBF tersebut juga akan memberikan

dampak yang buruk bagi kesehatan masyarakat.

Atribut sensitif keempat adalah pencemaran udara/emisi. Terjadinya

pencemaran atau emisi GRK di Kota Baru harus menjadi perhatian yang serius,

mengingat di wilayah ini transportasi belum dapat dikelola secara baik, apalagi jika di

lokasi tersebut terjadi kemacetan, sehingga pada akhirnya akan mengakibatkan

terjadinya peningkatan GRK terutama NOx, SOx dan CO2. Selain adanya pencemaran

yang berasal dari Kota Baru, pencemaran udara ini juga ditambah dengan bahan

pencemar dan emisi dari lokasi lain, terutama dari jaringan jalan yang berada di

pinggiran Kota Baru BSD, mengingat kendaraan dari kota baru di alihkan ke pinggir

kota, namun mengingat udara bersifat dinamis, maka udara yang berasal dari pinggiran

kota tersebut, dengan adanya angin, pada akhirnya akan masuk ke dalam wilayah Kota

Baru BSD.

Atribut sensitif kelima adalah ketersediaan pengolah limbah cair. Limbah cair

pada dasarnya dapat dihasilkan dari berbagai kegiatan seperti dari pertokoan, industri,

perhotelan, rumah sakit, permukiman, dsb. Namun sayangnya walaupun Kota Baru

BSD adalah hunian hijau, namun limbah domestik yang ada di lokasi kajian

mengindikasikan tidak pernah dilakukan pengelolaan, sehingga limbah cair domestik

70

akan masuk ke dalam sungai tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu. Kondisi

yang sama juga terjadi pada limbah lain seperti limbah industri dan limbah perkotaan,

limbah rumah sakit, dsb yang hampir semuanya langsung masuk ke dalam badan air

tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu. Oleh karena itu maka ketersediaan

instalasi pengolah limbah cair (IPAL) harus mendapat perhatian yang sangat serius.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka kemungkinan terjadinya kerentanan

dan kerawanan ekologis di lokasi penelitian yang merupakan lokasi yang relatif asri

menjadi tidak terhindarkan dalam pengembangan kawasan Kota Baru BSD. Oleh

karena itu, maka perlu dilakukan penataan daerah, baik di dalam kota baru itu sendiri,

maupun di wilayah sekitar kawasan Kota Baru BSD secara terpadu, sesuai fungsi lahan.

5.2.2. Dimensi Ekonomi

Berdasarkan hasil analisis keberlanjutan terhadap dimensi ekonomi

memperlihatkan bahwa nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi sebesar 53,17

(Gambar 16). Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi ini lebih besar dibanding

nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi. Selain itu besarnya nilai indeks

keberlanjutan ekonomi lebih besar dari 50. Hal ini mengandung arti bahwa dimensi

ekonomi pada pengelolaan kawasan Kota Baru BSD masuk pada kategori cukup

berkelanjutan (Kavanagh, 2001). Kondisi ini memperlihatkan bahwa pengelolaan

kawasan Kota Baru BSD lebih memberikan manfaat secara ekonomi dibanding aspek

ekologi.

Indeks keberlanjutan pada dimensi ekonomi cukup berkelanjutan, namun

demikian pada dimensi ekonomi juga masih terdapat berbagai kelemahan yang masih

perlu diperbaiki, sehingga menjadi sangat berlanjut. Adapun perbaikan-perbaikan

tersebut, idealnya harus dilakukan terhadap atribut-atribut yang sensitif berpengaruh

terhadap nilai indeks dimensi ekonomi, sehingga nilai indeks ini dimasa yang akan

datang dapat terus meningkat sampai mencapai status sangat berkelanjutan.

Adapun atribut-atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap

tingkat keberlanjutan pada dimensi ekonomi terdiri dari delapan atribut, yaitu: (1)

peluang usaha, (2) kelayakan lingkungan usaha, (3) kemampuan daya beli masyarakat,

(4) tingkat pengangguran, (5) kawasan industri, (6) tingkat pendapatan, (7) keberadaan

pertokoan, dan (8) keberdaaan kawasan bisnis.

71

53.17

GOODBAD

UP

DOWN

-60

-40

-20

0

20

40

60

0 20 40 60 80 100 120

Gambar 16. Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi Kota Baru BSD

Besarnya nilai indeks keberlanjutan ekonomi dipengaruhi oleh atribut-atribut

keberlanjutan seperti telah disebutkan di atas, namun demikian atribut-atribut tersebut

memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap besarnya nilai indeks keberlanjutan.

Dalam rangka melihat atribut-atribut yang lebih sensitif memberikan kontribusi

terhadap nilai indek keberlanjutan ekonomi, dilakukan analisis laverage. Hasil analisis

laverage diperoleh empat atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan

dimensi ekonomi yaitu (1) keberadaan kawasan bisnis, (2) tingkat pengangguran, (3)

keberadaan kawasan industri, dan (4) keberadaan pertokoan kawasan. Hasil analisis

laverage dapat dilihat seperti Gambar 17.

Atribut sensitif pertama adalah keberadaan kawasan bisnis. Pada kota baru,

selain adanya zonasi perumahan masyarakat identik, juga harus terdapat kawasan bisnis,

mengingat dengan tersedianya kawasan bisnis, maka di perumahan tersebut juga identik

dengan relatif dapat terpenuhinya tuntutan-tuntutan dari penghuni perumahan tersebut

untuk berusaha dan untuk mencari nafkah ke lokasi yang tidak terlalu jauh. Keberadaan

kawasan bisnis yang strategis akan memudahkan masyarakat untuk mendapat barang-

barang kebutuhannya, untuk menjual barang-barang yang diproduksinya atau untuk

bertransaksi di berbagai bidang. Selain hal tersebut dengan adanya kawasan bisnis yang

72

berkembang di kota baru ini berarti ada tempat usaha yang baik, mudah ditemukan dan

dijangkau, sehingga akan menarik baik bagi konsumen perumahan kota baru itu sendiri

maupun untuk penghuni yang mata pencahariannya atau yang hobbinya berbisnis.

Keberadaan kawasan bisnis di area kota baru yang relatif dekat dengan kawasan

permukiman tentunya akan memberikan keuntungan bagi masyarakat setempat, namun

juga keberadaan kawasan bisnis tersebut juga harus memperhatikan aspek lingkungan

sekitar, sehingga kawasan kota baru tetap berkelanjutan walau dalam kondisi apapun.

Gambar 17. Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi yang dinyatakandalam bentuk perubahan nilai root mean square (RMS)

Atribut sensitif ke dua adalah tingkat pengangguran. Walaupun Kota Baru BSD

adalah kota baru yang sudah modern dengan kondisi keberlanjutan yang masuk pada

kategori cukup, namun ternyata juga tidak pernah terlepas dari masalah pengangguran.

Berdasarkan wawancara dengan masyarakat setempat diketahui bahwa pada umumnya

masyarakat yang ada di lokasi tersebut mempunyai pekerjaan tetap, namun demikian

diantara masyarakat tersebut terutama yang berada di sekitar perumahan terencana

cukup banyak yang tidak mempunyai pekerjaan tetap (pengangguran), sehingga dapat

mengganggu ketentraman. Berdasarkan wawancara juga terungkap bahwa penganggur

yang paling banyak terutama berasal dari masyarakat pendatang yang datang ke kota

baru untuk mencari pekerjaan. Oleh karena itu maka terjadinya urbanisasi dari desa ke

Leverage of Attributes

0.44

0.66

0.48

1.81

1.19

0.31

1.48

2.57

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

Kawasan bisnis

Keberadaan industri

Tingkat pendapatan

Pertokoan kawasan

Tingkat pengangguran

Kemampuan daya beli masy

Kelayakan lingk usaha

Peluang usaha

Attribute

Root mean square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (onStatus scale 0 to 100)

73

kota merupakan salah satu aspek yang perlu diwaspadai mengingat urbanisasi seringkali

meningkatkan jumlah penganggur, di lain pihak meningkatnya jumlah penganggur ini

seringkali berdampak pada ketidak kondusifan di dalam kawasan.

Hingga saat ini pengangguran masih menjadi masalah besar di berbagai lokasi,

bahkan di kota besar sekalipun, oleh karena itu maka harus dicari jalan keluar yang

tepat, mengingat pengangguran dapat menjadi persoalan yang berakibat pada

terganggunya stabilitas sosial, politik dan ekonomi. Oleh karenanya apabila masalah

pengangguran tidak dapat terpecahkan, maka suatu saat akan sangat membahayakan

kelangsungan pemerintahan suatu negara, mengingat pengangguran akan

mengakibatkan timbulnya kerawanan sosial.

Atribut sensitif ke tiga adalah keberadaan kawasan industri. Pada dasarnya Kota

Baru BSD merupakan kota baru mandiri, dalam arti masalah ekonomi dan sosial,

berupaya untuk dipecahkan sendiri, termasuk di dalamnya masalah pengangguran.

Dalam rangka menunjang Kota Baru BSD menjadi wilayah yang mandiri, maka selain

harus terdapat kawasan bisnis. Hal yang juga sangat perlu ada adalah terdapatnya

kawasan industri, mengingat kawasan industri merupakan kawasan yang dapat

menggairahkan kondisi ekonomi kawasan, dapat meningkatkan PAD, dan PDRB serta

akan membantu pemerintah untuk mengurangi pengangguran. Oleh karena itu maka

kawasan industri mutlak harus ada di kota baru. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian

Miranti (2007) yang mengatakan bahwa industri ini merupakan sektor yang mampu

menyerap tenaga kerja cukup besar. Pada 2006, industri ini memberikan kontribusi

sebesar 11,7 % terhadap total ekspor nasional, 20,2 % terhadap surplus perdagangan

nasional, dan 3,8 % terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) nasional.

Selain hal tersebut di atas, keberadaan kawasan industri juga perlu mendapat

perhatian yang cukup serius, mengingat di lokasi ini akan terjadi aktifitas antropogenik

yang begitu tinggi, termasuk di dalamnya pembakaran BBF, pembuangan sampah dan

pembuangan limbah cair. Hal ini akan menimbulkan masalah yang cukup serius karena

menurut Abou et al. (2002) pada limbah industri ditemukan limbah B3 dengan jumlah

umumnya lebih tinggi dibanding kegiatan lain. Namun demikan limbah B3 dari industri

pada lokasi yang terkonsentrasi di kawasan industri (point source) seperti yang terjadi

di Kota Baru BSD, relatif lebih mudah untuk dilakukan pengawasan dan

penanganannya karena dapat dibuat IPAL komunal (Allenby, 1999).

74

Atribut sensitif ke empat adalah keberadaan pertokoan di kawasan kota baru. Di

pertokoan banyak transaksi yang terjadi, dan di kawasan pertokoan pula peredaran uang

sangat besar, sehingga pertokoan idealnya harus mengikuti pusat permukiman berada,

begitu pula dengan kebalikannya. Hal ini terjadi karena masyarakat merupakan faktor

penting dalam penentuan keberadaan pertokoan, mengingat keberadaan pertokoan

disamping dapat memberi manfaat tapi juga dapat menimbulkan kerugian bagi

masyarakat, terutama yang tinggal berdekatan dengan pertokoan pada khususnya. Oleh

karena itu penerimaan masyarakat akan keberadaan pertokoan menjadi sangat penting

untuk diperhatikan, mengingat bukan tidak mungkin di lokasi tersebut dapat terjadi

konflik dengan masyarakat.

5.2.3. Dimensi Sosial dan Budaya

Pada penelitian ini didapatkan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya

sebesar 26,49 %. Nilai dimensi sosial budaya ini jauh di bawah nilai 50, sehingga

termasuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan (Kavanagh, 2001). Selain hal itu nilai

dimensi sosial budaya ini juga berada di bawah indeks keberlanjutan dimensi ekologi

maupun dimensi ekonomi. Hal ini memperlihatkan bahwa di kawasan kota baru

terdapat indikasi bahwa adanya kegiatan yang mendekati gaya metropolitan di kota baru

mengakibatkan relatif melunturnya aspek sosial budaya, yang terlihat dari tidak terdapat

lagi budaya asli wilayah tersebut, sehingga budaya masyarakat setempat sudah luntur

dan tidak didapati lagi di kawasan Kota Baru BSD. Selain itu masyarakat di Kota Baru

BSD juga relatif lebih bersifat individual, sehingga perlu dilakukan berbagai hal untuk

meningkatkan status nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya ini, terutama

dalam hal perbaikan terhadap beberapa atribut yang sensitif yang akan mempengaruhi

nilai indeks tersebut secara nyata. Untuk lebih jelasnya nilai indeks keberlanjutan untuk

dimensi sosial dan budaya dapat dilihat pada Gambar 18.

Adapun peran masing-masing aspek pada atribut sosial budaya ini dianalisis

dengan menggunakan analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 19. Pada Gambar 19

terlihat bahwa atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat

keberlanjutan pada dimensi sosial-budaya terdiri dari lima atribut, yaitu: (1) kepedulian,

dan tanggung jawab masyarakat terhadap sumberdaya, (2) status kesehatan masyarakat,

(3) pengaruh keberadaan BSD pada nilai sosial budaya lokal, (4) keragaman budaya

dalam masyarakat dan (5) konflik dengan masyarakat lokal.

75

Gambar 18. Indeks keberlanjutan dimensi sosial dan budaya Kota Baru BSD

Berdasarkan hasil analisis laverage diperoleh tiga atribut yang paling sensitif

terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya yaitu (1) pengaruh

keberadaan BSD pada nilai sosial budaya lokal, (2) keragaman budaya dalam

masyarakat, dan (3) konflik dengan masyarakat lokal. Atribut-atribut tersebut perlu

dikelola dan terus ditingkatkan dengan baik agar nilai indeks keberlanjutan dimensi

sosial-budaya ini meningkat di masa yang akan datang. Pengelolaan atribut dilakukan

dengan cara meningkatkan peran setiap atribut yang memberikan dampak positif dan

menekan setiap atribut yang dapat berdampak negatif terhadap indeks keberlanjutan

dimensi sosial-budaya dalam pengembangan permukiman tepi sungai di Jakarta. Hasil

analisis laverage dapat dilihat seperti Gambar 19.

Pada Gambar 19 terlihat bahwa atribut yang paling sensitif yang harus benar-

benar diperhatikan adalah adanya pengaruh keberadaan Kota Baru BSD pada nilai

sosial budaya lokal, keragaman budaya dalam masyarakat, dan konflik antara

masyarakat yang tinggal di kawasan permukiman Kota Baru BSD dengan masyarakat

lokal. Hal ini dapat dimengerti mengingat masyarakat yang tinggal di suatu kawasan

perumahan perkotaan, seperti halnya di BSD pada umumnya terdiri dari beragam etnik,

adat juga latar belakang yang berbeda-beda. Oleh karena itu maka keragaman tersebut

26,49 %

RAPPERUMTES Ordination

Down

Up

BadGood

-60

-40

-20

0

20

40

60

0 20 40 60 80 100 120

Status Permukiman

26,49 %

76

harus menjadi modal dasar untuk melakukan pembangunan, mengingat apabila

keragaman itu tidak dikelola dengan baik, pada umumnya akan memudahkan terjadinya

konflik.

Gambar 19. Peran masing-masing atribut dimensi sosial dan budaya yang dinyatakandalam bentuk perubahan nilai root mean square (RMS)

Dalam rangka menjaga agar tidak terjadi konflik, maka masyarakat yang

mempunyai karakter multi-etnis dan multi-agama seperti yang terjadi di Kota Baru BSD

harus selalu menggali wawasan kebangsaan, sehingga dapat menghindari adanya

berbagai ketegangan dan dapat menghindarkan terjadinya konflik masyarakat. Konflik

horisontal antar kelompok masyarakat tertentu di kawasan permukiman seharusnya bisa

dihindari apabila ada rasa toleransi yang tinggi terhadap perbedaan yang ada.

Kondisi tersebut terjadi karena adanya toleransi antara etnis yang satu dengan

etnis yang lain tidak pernah hadir dengan sendirinya. Dalam hal ini toleransi baru akan

muncul jika dari lubuk hati masing-masing terdapat empati. Adapun yang dimaksud

dengan empati di sini adalah hati nurani manusia untuk ikut serta merasakan apa yang

dirasakan oleh orang lain; seperti turut bergembira pada saat melihat orang lain

bahagia, dan turut berduka apabila orang lain ada yang sedang mendapatkan

masalah/musibah/kedukaan atau dengan kata lain empati merupakan rasa kepedulian

terhadap sesama. Oleh karena itu maka apabila masing-masing anggota masyarakat

Leverage of Attributes

2.39

1.88

3.72

3.70

3.87

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5

Kepedulian&tg.jawab

Pada sumberdaya

Status kesehatan

masyarakat

Keragaman budaya

dlm masyarakat

Konflik dengan

Masyarakat lokal

Keberadaan BSD

pada sosial budaya

Attribute

Root mean square Change % in Ordination when Selected AttributeRemoved (on Status scale 0 to 100)

77

memiliki rasa empati terhadap orang lain, maka akan terbangun rasa untuk saling

menerima dan menghargai orang lain, sehingga nilai toleransi akan terbangun dengan

baik.

Pada suatu kawasan permukiman yang terdapat di perkotaan, kemungkinan

adanya keranekaragaman etnis sangat tinggi, mengingat masyarakat yang ada di kota

baru berasal dari berbagai daerah, dengan adat istiadat dan bahkan mungkin agama yang

beranekaragam. Oleh karena itu maka pada kawasan permukiman baru, seperti halnya

di Kota Baru BSD, potensi bahaya konflik selalu tinggi. Adapun konflik yang

mungkin muncul di kawasan kota baru antara lain adalah konflik ketenaga kerjaan,

konflik agama, konflik budaya (adat istiadat dan kebiasaan), konflik pertanahan (walau

awalnya lebih ke antara pengembang dan masyarakat lokal), konflik atas sumber daya

alam, dsb. Satu jenis atau berbagai jenis konflik tersebutpada umumnya akan muncul

ke permukaan dalam bentuk konflik antar etnis dan konflik antar agama. Adanya

ketidak adilan baik dalam hal aspek sosial, budaya, maupun ekonomi seringkali menjadi

lahan subur untuk terjadinya konflik. Oleh karena itu dalam satu kawasan permukiman

di kota baru seperti BSD harus selalu dijaga agar masyarakat yang ada di dalamnya

merasa diperlakukan adil, dan jangan sampai membiarkan terjadinya kepentingan dari

luar yang sengaja memanaskan suasana dalam kawasan permukiman tersebut, sehingga

akan meredam terjadinya konflik.

Kenyataan yang ada saat ini, baik di kota baru, maupun di seluruh peloksok

perkotaan, cenderung terdapat kesenjangan yang diakibatkan oleh kebijakan

pembangunan ekonomi yang kurang mendukung. Hal ini terjadi karena adanya

perubahan yang sangat cepat, sementara kondisi budaya bangsa belum dapat

mengimbangi perubahan yang sangat cepat tersebut. Hal ini pada akhirnya

mengakibatkan krisis ekonomi merambah ke aspek-aspek lainnya, sehingga krisis

ekonomi tersebut akhirnya berkembang menjadi krisis moral, krisis sosial, krisis politik,

dan krisis multidimensional yang mengakibatkan terbentuknya konflik sosial, bahkan

malah pada akhirnya mengakibatkan terjadinya disintegrasi bangsa. Oleh karena itu

maka agar hal tersebut tidak sampai terjadi, maka hal yang harus benar-benar

diperhatikan sedini mungkin adalah melakukan pengelolaan terhadap keragaman

budaya yang ada pada suatu kawasan permukiman dan kota baru sebaik dan secermat

mungkin.

78

Dalam rangka menciptakan terwujudnya masyarakat yang merasa diperlakukan

adil dan damai serta terwujudnya masyarakat yang kondusif di kawasan kota baru

dengan masyarakat sekitarnya, adalah harus memahami adanya ragam budaya atau

multikulturalisme, yakni mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan,

baik secara individual maupun secara kebudayaan. Oleh karena itu maka masyarakat

harus dipandang sebagai pemilik sebuah kebudayaan, dan kebudayaan sendiri

merupakan modal dasar pembangunan, sehingga adanya kebudayaan yang

beranekaragam menjadi modal pembangunan yang sangat besar untuk memajukan

sebuah kota baru, bahkan bangsa dan negara. Selain hal tersebut pada konteks

keragaman budaya, multikulturalisme jangan diartikan sebagai konsep keanekaragaman

secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa, mengingat multikulturalisme

menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Oleh karena itu maka

pemahaman multikulturalisme harus mengedepankan kesederajatan dan keadilan

dengan memperhatikan dan menekankan pada proses penegakan hukum,

memungkinkan terbukanya kesempatan untuk bekerja dan berusaha, mengedepankan

HAM, mengakui hak budaya komunitas dan golongan minoritas, mengedepankan

prinsip-prinsip etika dan moral, namun tetap menekankan pada mutu dan produktivitas.

5.2.4. Dimensi Infrastruktur dan Teknologi

Analisis terhadap keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi pada Kota

Baru BSD menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi

yang cukup tinggi, yakni sebesar 52,20 %. Nilai tersebut memperlihatkan bahwa

keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi pada pengelolaan Kota Baru BSD

masuk pada kategori cukup berkelanjutan (Kavanagh, 2001).

Adapun atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat

keberlanjutan pada dimensi infrastruktur dan teknologi terdiri dari tiga belas atribut,

yaitu: (1) ketersediaan sarana dan prasarana penanganan bencana, (2) ketersediaan

sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik cair, (3) ketersediaan sarana dan

prasarana pengolahan limbah industri cair, (4) ketersediaan sarana dan prasarana

pengolahan limbah padat, (5) ketersediaan sarana dan prasarana monitoring kualitas

perairan, (6) ketersediaan sarana dan prasarana monitoring kualitas udara, (7)

ketersediaan sarana dan prasarana fasilitas sosial, (8) penggunaan sarana transportasi,

(9) ketersediaan sarana dan prasarana menurunkan emisi GRK, (10) ketersediaan sarana

79

dan prasarana jalan yang efektif dan efisien, (11) akses masyarakat terhadap utilitas

ekonomi, (12) ketersediaan sarana dan prasarana komuter, dan (13) ketersediaan sarana

dan prasarana early warning system.

Gambar 20. Indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi Kota Baru BSD

Adapun peran masing-masing aspek pada atribut infrastruktur dan teknologi ini

dianalisis dengan menggunakan analisis leverage. Atribut-atribut yang lebih sensitif

yang memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur

dan teknologi hasil analisis laverage ini diperoleh empat atribut yang paling sensitif

terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi yaitu (1)

ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik cair, (2) ketersediaan

sarana dan prasarana pengolahan limbah industri cair, (3) ketersediaan sarana dan

prasarana jalan yang efektif dan efisien, dan (4) ketersediaan sarana dan prasarana

komuter. Dalam rangka meningkatkan keberlanjutan dimensi infrastruktur dan

teknologi, maka atribut-atribut tersebut perlu dikelola dengan baik agar nilai indeks

keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi ini meningkat untuk masa yang akan

datang, dengan cara meningkatkan peran setiap atribut yang memberikan dampak

positif dan menekan setiap atribut yang dapat berdampak negatif terhadap indeks

keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi. Hasil analisis laverage tersebut

dapat dilihat seperti Gambar 21.

52,20 %

RAPPERUMTES Ordination

Down

Up

Bad Good

-60

-40

-20

0

20

40

60

-20 0 20 40 60 80 100 120

Status Permukiman

52,20 %

80

Atribut yang paling penting dari dimensi infrastruktur dan teknologi adalah

ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik cair. Hal ini merupakan

satu petunjuk bahwa dalam rangka melestarikan lingkungan Kota Baru BSD sarana

pendukung seperti pengolahan limbah domestik cair di suatu kawasan kota baru tidak

dapat diabaikan bahkan harus mendapatkan perhatian yang sangat serius, karena hampir

setiap aktivitas masyarakat di permukiman akan menghasilkan limbah domestik cair.

Selain itu dalam satu kawasan permukiman, jumlah rumah yang ada di dalamnya tidak

mungkin jumlahnya sedikit, sehingga limbah domestik yang akan dihasilkan juga

jumlahnya akan sangat banyak.

Gambar 21. Peran masing-masing atribut dimensi infrastruktur dan teknologi yangdinyatakan dalam bentuk perubahan nilai root mean square (RMS).

Menurut Sitepu (2009) pada limbah domestik ini tidak sekedar hanya terdapat

limbah organik mudah urai (BOD), TSS, Minyak dan lemak, namun dapat

mengakibatkan tercemarnya lingkungan adalah H2S, orthofosfat, ammonia, nitrit, DO,

BOD, COD, phenol dan detergen serta fecal coli. Selanjutnya disarankan agar dalam

rangka menghindari terjadinya pencemaran akibat limbah domestik di kawasan

perumahan yang dibutuhkan bukan hanya persepsi semata, namun perlu tindakan nyata

untuk mewujudkan persepsi tersebut dalam berbagai aksi, seperti aksi melakukan

Leverage of Attributes

3.43

1.67

1.23

1.03

1.11

2.74

4.54

8.18

0.52

0.69

3.21

0.24

2.46

0 2 4 6 8 10

Sarana penurun emisi GRK

Sarana pengolah limbah padat

Jalan yang efektif&efisien

Akses terhadap utilitas ekonomi

Penggunaan sarana transportasi

Sarana monitoring kualitas air

Sarana pengolah limbah industry cair

Sarana Pengolah limbah domestic cair

Sarana penanganan bencana

Sarana fasilitas sosial

Ketersediaan sarana komuter

Sarana early warning

Sarana monitoring kualitas udarak

Attribute

Root mean square Change % in Ordination when Selected AttributeRemoved (on Status scale 0 to 100)

81

pembangunan IPAL domestik, melakukan pengolahan limbah domestik cair yang

efisien dan efektif sehingga dapat menurunkan bahan pencemar dalam limbah cair yang

jenisnya semakin beragam. Oleh karena itu maka tersedianya sarana dan prasarana

pengolahan limbah domestik cair yang memadai di suatu kawasan permukiman atau di

kota baru tentunya bukan hanya akan menciptakan suasana yang nyaman bagi

penghuninya, namun juga akan dapat menyelamatkan lingkungan dan menjaga

kelestarian lingkungan secara makro.

Dalam kota baru selain harus tersedia sarana dan prasarana pengolahan limbah

domestik cair, juga perlu disediakan sarana dan prasarana pengolahan limbah industri

cair, mengingat di kota baru selain terdapat permukiman juga terdapat kawasan bisnis,

yang di dalamnya terdapat kegiatan industri. Pada kawasan industri hal yang paling

sering terjadi adalah sangat sulitnya menghilangkan limbah. Hal ini terjadi karena

industri yang ada di kota baru pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya, belum

menerapkan konsep produksi bersih, seperti yang diinginkan oleh masyarakat dunia

yang tertuang pada Agenda 21 yang menganjurkan dilaksanakannya teknologi bersih,

sehingga dapat mengurangi jumlah limbah dan memudahkan pembuangan limbah

secara aman (Memahami KTT Bumi, 1992).

Limbah industri seringkali banyak disoroti oleh berbagai kalangan, karena

limbah industri pada umumnya mengandung berbagai senyawa baik dalam bentuk padat,

gas maupun cair yang mengandung senyawa organik dan anorganik yang umumnya

termasuk ke dalam limbah yang di dalamnya mengandung bahan berbahaya dan

beracun (B3) dengan jumlah yang seringkali melebihi batas yang ditentukan. Kondisi

tersebut pada akhirnya akan mengakibatkan terjadinya pencemaran, sehingga akan

menimbulkan terjadinya degradasi lingkungan.

Industri pada umumnya berpotensi untuk mencemari lingkungan. Oleh karena

itu maka salah satu masalah yang perlu mendapat perhatian di kawasan industri yang

ada di Kota Baru BSD adalah belum terdapatnya pengolah air buangan (limbah cair

industri). Dalam pengolahan air buangan ini, berdasarkan pengamatan di lapang, ada

indikasi bahwa perusahaan yang memiliki IPAL di lokasi penelitian relatif hampir tidak

ada. Hal ini disebabkan operasional IPAL dan pemeliharaannya membutuhkan

keterampilan tenaga-tenaga pelaksana dan biaya pengoperasian IPAL tersebut relatif

82

sangat mahal, sehingga menjadi kendala bukan hanya untuk kota baru, namun juga di

kawasan industri lainnya yang tersebar di seluruh peloksok tanah air.

Kesadaran masyarakat industri dalam melakukan pengelolaan terhadap

lingkungan, dalam hal ini terhadap limbah cair yang dihasilkannya juga pada umumnya

masih minim. Bahkan tidak hanya itu masih ada beberapa perusahaan (secara umum

terjadi di Indonesia) yang beranggapan bahwa program lingkungan dianggap sebagai

penghalang oleh perusahaan untuk meningkatkan keuntungan perusahaan. Kondisi ini

terjadi karena pengetahuan dan kesadaran para pelaku industri yang relatif minim.

Selain hal tersebut, khusus untuk perusahaan yang sudah melakukan program

lingkungan, pada umumnya perusahaan tersebut juga sangat tertutup dalam hal

informasi kualitas air buangannya. Oleh karenanya, maka perusahaan-perusahaan

seringkali tidak mau memberikan informasi yang sebenarnya tentang kondisi kualitas

limbah cairnya. Hal ini terjadi karena perusahaan-perusahaan seringkali relatif tidak

melaksanakan pengelolaan terhadap lingkungan, atau kalaupun melakukan pengelolaan,

maka pengelolaan yang dilakukan relatif tidak optimal, sehingga kualitas limbah cair

yang dihasilkannya dan selanjutnya dibuang ke perairan masih relatif jelek.

Relatif tidak adanya IPAL di industri-industri Kota Baru BSD diduga karena

tingginya biaya investasi dan biaya operasional IPAL. Pada saat ini sebenarnya sudah

ada aturan (namun bersifat sukarela) untuk industri-industri yang mengekspor

produknya ke berbagainegara. Dalam hal ini apabila industri tersebut melakukan ekspor

produknya ke negara-negara Eropa. Negara Eropa umumnya sudah menerapkan agar

perusahaan pengekspor ecolabelling sudah menerapkan ecolabelling, sehingga mulai

dari input, proses dan out put tidak akan menghasilkan bahan pencemar dan tidak akan

merusak lingkungan. Oleh karena itu, maka berapapun mahalnya instalasi dan

operasionalnya, industri tersebut pada umumnya akan berupaya membangun IPAL dan

melaksanakan produksi bersih, sehingga produknya dapat diekspor. Oleh karena itu,

maka ada baiknya jika perusahaan-perusahaan yang berlokasi di Kota Baru BSD

didorong agar melakukan ekspor ke negara-negara Eropa, sehingga perusahaan tersebut

dituntut oleh konsumennya untuk melaksanakan program ecolabelling secara sukarela.

Atribut sensitif lain yang harus diperhatikan pada pengelolaan lingkungan di kota

baru adalah ketersediaan sarana dan prasarana jalan yang efektif dan efisien, dan

ketersediaan sarana dan prasarana komuter. Hal ini disebabkan keberadaan sarana

83

transportasi yang memadai dan sistem transportasi dan terutama infrastruktur jalan raya

yang efektif dan efisien merupakan salah satu alat terpenting untuk mencapai standar

kehidupan yang tinggi, tanpa menimbulkan pencemaran lingkungan. Oleh karenanya

sangat wajar jika pada akhirnya membawa konsekuensi penggunaan teknologi baru

yang lebih canggih, seperti interchanges, jalan-jalan layang (fly overs), jalan bebas

hambatan (freeways), jalur kereta layang (elevated railways track). Adapun tanda-tanda

lalu lintas yang terkoordinasi, dan sebagainya untuk menampung kecepatan yang lebih

tinggi dan aliran (jumlah) lalu lintas yang lebih besar, terutama di daerah perkotaan,

sehingga efektifitas tersebut tidak terlalu mengakibatkan terjadinya kemacetan lalu

lintas dan pencemaran udara dan kebisingan.

Dalam rangka menciptakan jaringan jalan yang efektif dan efisien, maka harus

dibuat perencanaan tata guna lahan atau perencanaan sistem transportasisedemikian

rupa, sehingga dapat mencapai keseimbangan yang efisien antara potensi tata guna

lahan dengan kemampuan transportasi. Selain hal tersebut dalam melakukan

pengembangan teknologi di bidang transportasi juga hendaknya adalah teknologi

prasarana transportasi berupa jaringan jalan, mengingat sistem transportasi yang

berkembang semakin cepat menuntut perubahan tata jaringan jalan yang dapat

menampung kebutuhan lalu lintas yang berkembang tersebut.

Transportasi juga memegang peran strategis untuk berfungsinya suatu

metropolitan, yang di dalamnya bukan hanya metropolitan semata sebagai kota induk,

namun juga terdapat kota di sekitarnya yang bersifat satelit, yang mandiri atau masih

erat terkait dengan kota induknya. Adapun kota tersebut, tidak lain adalah kota baru.

Jaringan transportasi penumpang untuk menghubungkan antara kawasan permukiman di

kota baru dengan tempat kerja merupakan fungsi yang amat menentukan struktur

transportasi antara kota induk dan kota satelitnya.

Tingginya peradaban masyarakat kota metropolitan yang didukung oleh tingginya

pendapatan, pada umumnya akan mendorong meningkatnya penggunaan kendaraan

pribadi. Hal ini disebabkan penggunaan kendaraan pribadi merupakan cerminan

peningkatan taraf hidup seseorang, sekaligus memenuhi kebutuhan mobilitas yang

tinggi di perkotaan. Pertumbuhan penggunaan kendaraan pribadi yang disatu sisi

merupakan keberhasilan dari penyediaan sistem jaringan transportasi (jalan) dengan

peningkatan kemakmuran dan mobilitas penduduk, disisi lain menimbulkan kerusakan

84

kualitas kehidupan karena terjadinya kemacetan, polusi udara dan polusi suara (Tamin,

2005). Oleh karena itu maka untuk menghindari pemakaian kendaraan pribadi yang

berlebihan maka perlu diciptakan kendaraan pengangkut penumpang masal yang aman,

nyaman dan cepat. Khusus untuk masyarakat Kota Baru BSD yang umumnya bekerja

di kota utama atau di kota satelit lainnya, dalam rangka menjaga efisiensi dan efektitas

serta untuk menghindari terjadinya pencemaran maka harustersedia sarana dan

prasarana komuter, atau dengan kata lainperlu tersedia kendaraan yang dapat

mengangkut penumpang yang jumlahnya banyak dan mobilitasnya tinggi. Hal ini

sesuai dengan pendapat Dardak (2006) yang mengatakan bahwa diperlukan jaringan

transportasi massal (mass transit) yang beragam jenis dan kombinasinya dengan ongkos

yang mampu dibayar oleh masyarakat dan tidak terlalu membebani anggaran daerah.

Oleh karena itu maka kapasitas sistem jaringan transportasi komuter harus didesain

sedemikian rupa untuk dapat menampung bangkitan lalu lintas dari sistem kegiatan

sehingga tidak terjadi kemacetan.

5.2.5. Dimensi Hukum dan Kelembagaan

Hasil analisis terhadap dimensi hukum dan kelembagaan (Gambar 22)

mendapatkan hasil bahwa nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan

adalah 59,95 % (Kavanagh, 2001). Hal ini menunjukkan bahwa status keberlanjutan

untuk dimensi hukum dan kelembagaan adalah cukup berkelanjutan. Seperti pada

dimensi lainnya, peran masing-masing aspek pada atribut hukum dan kelembagaan ini

dianalisis dengan menggunakan analisis leverage seperti yang terlihat pada Gambar 23.

Walaupun dimensi hukum dan kelembagaan sudah cukup berkelanjutan, maka perlu

dilakukan lagi upaya agar dimensi hukum dan kelembagaan menjadi sangat

berkelanjutan. Untuk itu perlu dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap atribut-atribut

yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks dimensi hukum dan kelembagaan sangat

perlu dilakukan sehingga nilai indeks ini dimasa yang akan datang dapat terus

meningkat sampai mencapai status berkelanjutan. Atribut-atribut yang dinilai oleh para

pakar didasarkan pada kondisi eksisting wilayah.

85

Gambar 22. Indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan Kota BaruBSD

Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat

keberlanjutan pada dimensi hukum dan kelembagaan terdiri dari delapan atribut, yaitu:

(1) tersedianya organisasi pengelola lingkungan, (2) keberadaan peraturan perundang-

undangan tentang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan di lingkup kawasan

kota baru, (3) kompetensi pengelola kawasan kota baru, (4) sinkronisasi peraturan

dengan pusat, (5) kelengkapan dokumen pengelolaan lingkungan, (6) intensitas

pelanggaran hukum, (7) egosektoral dalam pengelolaan lingkungan, dan (8) konsistensi

penegakan hukum.

Dalam rangka melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan kontribusi

terhadap nilai indek keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan dilakukan analisis

laverage. Berdasarkan hasil analisis laverage diperoleh enam atribut yang sensitif

terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan yaitu (1)

kompetensi pengelola kawasan kota baru, (2) egosektoral dalam pengelolaan

lingkungan, (3) konsistensi penegakan hukum, (4) tersedianya organisasi pengelola

lingkungan, (5) intensitas pelanggaran hukum, dan (6) sinkronisasi peraturan dengan

pusat. Atribut-atribut tersebut perlu dikelola dengan baik agar nilai indeks

RAPPERUMTES Ordination

Down

Up

Bad Good

-60

-40

-20

0

20

40

60

-20 0 20 40 60 80 100 120

Status Permukiman

59,95 %

86

keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan ini meningkat untuk masa yang akan

datang. Adapun hasil analisis laverage dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 23.

Gambar 23. Peran masing-masing atribut dimensi hukum dan kelembagaan yangdinyatakan dalam bentuk perubahan nilai root mean square (RMS).

Pada dasarnya terdapat berbagai hal yang sangat penting untuk memelihara dan

mempertahankan kelestarian lingkungan di kawasan kota baru, baik di kawasan

permukimannya maupun di lokasi lain di kota baru. Adapun hal-hal yang sangat

penting tersebut adalah kompetensi pengelola kawasan kota baru. Hal ini sangat

penting untuk diperhatikan, mengingat keberhasilan pengelolaan lingkungan akan

sangat tergantung pada kompetensi pengelolanya. Pengelola yang kompeten di

bidangnya pada umumnya akan memahami apa yang harus dilakukan dalam melakukan

pengelolaan lingkungan sekaligus akan mengetahui parameter kunci dan trik-trik

implementasi pengelolaan lingkungan, sehingga pengelolaan dapat dilakukan dengan

baik dan relatif akan berhasil dengan baik.

Pada pengelolaan lingkungan, termasuk di kota baru, seringkali egosektoral

dalam pengelolaan lingkungan sangat kental terjadi terutama antara dinas-dinas di

kabupaten atau kota yang berkepentingan. Kondisi ini seringkali mengakibatkan

gagalnya pengelolaan lingkungan di satu wilayah. Selain adanya egosektoral, hal yang

juga tidak kalah pentingnya adalah konsistensi penegakan hukum. Ada indikasi bahwa

Leverage of Attributes

4.02

1.45

1.51

4.24

3.61

4.82

4.68

4.48

0 1 2 3 4 5 6

Intensitas pelanggaran hukum

Keberadaan peraturan pengelolaan SDA

Kelengkapan dokumen pengelolaan lingkungan

Organisasi pengelola lingkungan

Sinkronisasi peraturan dgn pusat

Kompetensi pengelola kota baru

Egosektoral dalam pengelolaan lingkungan

Konsistensi penegakan hukum

Attribute

Root mean square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on

Status scale 0 to 100)

87

penegakan hukum di Indonesia belum berjalan dengan baik, sehingga kondisi ini

mengakibatkan tidak menariknya masyarakat atau perusahaan untuk berpartisipasi

melakukan pengelolaan lingkungan. Untuk itu maka hal ini harus menjadi perhatian

yang cukup serius bukan hanya di lokasi penelitian namun untuk Indonesia secara

keseluruhan.

Atribut sensitif yang harus diperhatikan agar dimensi hukum dan kelembagaan

berlanjut dengan baik atau bahkan sangat baik adalah tersedianya organisasi pengelola

lingkungan. Adanya kelembagaan ini secara tidak langsung juga akan membangun

“wadah” jaringan kerjasama antara stakeholders yang berfungsi sebagai jaringan

kerjasama dan koordinasi. Pihak yang membentuk wadah tersebut dapat terdiri dari

beberapa unit seperti masyarakat, pengembang, pemerintah dan instansi terkait.

Adapun prinsip organisasi tersebut adalah pelibatan stakeholders yang peduli dan

berkepentingan terhadap kegiatan pengelolaan lingkungan kawasan, danketerlibatan

stakeholder akan lebih bersifat terbuka, berdasarkan kesetaraan dan partisipasi,

mekanisme negosiasi yang saling menguntungkan, berkeadilan, keputusan berdasarkan

prinsip demokrasi.

Atribut sensitif yang harus diperhatikan agar dimensi hukum dan kelembagaan

berlanjut dengan baik adalah masih tingginya intensitas pelanggaran hukum. Hal ini

terjadi karena kompetensi pengelola kawasan kota baru, para penegak hukum serta

pihak eksekutif dan legislatif yang relatif belum mempunyai kompetensi yang baik

dalam melakukan pengelolaan lingkungan. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan relatif

kurang dapat membedakan mana yang betul-betul benar dan mana yang sesungguhnya

salah/keliru/kurang pas.

Atribut sensitif yang harus diperhatikan agar dimensi hukum dan kelembagaan

berlanjut dengan baik adalah sinkronisasi peraturan dengan pusat. Dalam hal ini

seringkali tata tertib dalam masyarakat dan di kawasan kotabaru dapat saja tidak

sinkron, sehingga akan membuat kebingungan masyarakat bawah yang pada akhirnya

berujung pada gagalnya pengelolaan lingkungan di kawasan kota baru.

5.2.6. Multidimensi

Hasil analisis Rap-KOBA multidimensi pengelolaan lingkungan kota baru

yang keberlanjutan dilakukan berdasarkan kondisi eksisting, diperoleh nilai indeks

keberlanjutan sebesar 46,75 % dan termasuk dalam status kurang berkelanjutan. Nilai

88

ini diperoleh berdasarkan penilaian 45 atribut dari lima dimensi keberlanjutan yaitu

dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, dan infrastruktur dan teknologi, serta hukum

dan kelembagaan. Hasil analisis multidimensi dengan Rap-KOBA mengenai

pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD memperlihatkan bahwa diantara kelima

dimensi tersebut, dimensi yang mempunyai indeks keberlanjutan paling tinggi adalah

dimensi hukum dan kelembagaan, diikuti dimensi ekonomi dan infrastruktur dan

teknologi yang keduanya masuk pada kategori berkelanjutan. Hasil analisis

memperlihatkan bahwa dimensi hukum dan kelembagaan, dimensi ekonomi dan

infrastruktur serta dimensi teknologi dan ketiga dimensi tersebut masuk pada kategori

cukup berkelanjutan. Namun dimensi ekologi masuk pada kategori belum berlanjut,

serta dimensi sosial budaya masuk pada kategori buruk

Atribut-atribut yang sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks

keberlanjutan multidimensi berdasarkan hasil analisis laverage masing-masing dimensi

sebanyak 22 atribut. Atribut-atribut ini perlu dilakukan perbaikan ke depan untuk

meningkatkan status keberlanjutan pengelolaan lingkungan di Kota Baru BSD.

Perbaikan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kapasitas atribut yang mempunyai

dampak positif terhadap peningkatan nilai indeks keberlanjutan dan menekan sekecil

mungkin atribut yang berpeluang menimbulkan dampak negatif atau menurunkan nilai

indeks keberlanjutan kawasan.

Hasil analisis dengan menggunakan Rap-KOBA (MDS) diperoleh nilai indeks

keberlanjutan untuk dimensi ekologi sebesar 42,22 % dengan status kurang

berkelanjutan, dimensi ekonomi sebesar 53,17 % dengan status cukup berkelanjutan,

dimensi sosial-budaya sebesar 26,49 % dengan status tidak berkelanjutan, dimensi

infrastruktur dan teknologi sebesar 52,20 % dengan status cukup berkelanjutan, dan

dimensi hukum dan kelembagaan sebesar 59,95 % dengan status cukup berkelanjutan.

Atribut-atribut yang dinilai oleh para pakar tersebut didasarkan pada kondisi eksisting

wilayah. Adapun nilai indeks lima dimensi keberlanjutan hasil analisis Rap-KOBA

dapat dilihat pada Gambar 24.

Pada konsep pembangunan berkelanjutan harus mengintegrasikan setidaknya

aspek ekologi, ekonomi, dan sosial. Konsep ini pada dasarnya telah disepakati secara

global sejak diselenggarakannya United Nation Conference on The Human Environment

di Stockholm tahun 1972, dengan harapan agar dapat memenuhi kebutuhan generasi

89

sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi

kebutuhannya (WCED, 1987). Selain hal tersebut menurut Komisi Burtland,

pembangunan berkelanjutan bukanlah kondisi yang kaku mengenai keselarasan, tetapi

lebih merupakan suatu proses perubahan agar eksploitasi sumberdaya, arah investasi,

orientasi perkembangan teknologi, dan perubahan institusi dibuat konsisten dengan

masa depan seperti halnya kebutuhan saat ini. Kaitan pernyataan tersebut di atas

dengan nilai keberlanjutan pada setiap dimensi pada penelitian ini, bahwa semua nilai

indeks keberlanjutan dari setiap dimensi tersebut tidak harus memiliki nilai yang sama

besar.

Gambar 24. Indeks keberlanjutan multidimensi permukiman Kota Baru BSD

Hal ini disebabkan kawasan Kota Baru BSD memiliki masalah yang berbeda-

beda, sehingga prioritas dimensi apa yang lebih dominan untuk menjadi perhatian pun

juga akan berbeda. Pada prinsipnya nilai indeks keberlanjutan gabungan dari kelima

dimensi yang dilihat di sini masih berada pada kategori kurang berlanjut. Oleh karena

itu maka dalam rangka meningkatkan keberlanjutan pada setiap dimensi harus benar-

benar memperhatikan atribut-atribut sensitif terutama pada dimensi ekologi dan sosial

budaya. Namun demikian pada dimensi lainnya pun tetap harus ditingkatkan status

keberlanjutannya, dengan cara memperhatikan atribut-atribut sensitif yang dapat

meningkatkan status keberlanjutan dari semua dimensi pada Rap-KOBA tersebut.

46,75 %

RAPPERUMTES Ordination

Down

Up

Bad Good

-60

-40

-20

0

20

40

60

0 20 40 60 80 100 120

Status Permukiman Multidimensi

46,75 %

90

Gambar 25. Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan KotaBaru BSD

Hasil analisis Monte Carlo menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan

pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD pada taraf kepercayaan 95 %, memperlihatkan

hasil yang tidak banyak mengalami perbedaan dengan hasil analisis Rap-KOBA

(multidimensional scaling). Hal ini mengandung arti bahwa kesalahan dalam analisis

dapat diperkecil baik dalam hal pemberian skoring setiap atribut, variasi pemberian

skoring akibat terjadinya perbedaan opini relatif kecil, dan proses analisis data yang

dilakukan secara berulang-ulang stabil, serta kesalahan dalam menginput data dan data

hilang dapat dihindari. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis MDS dan Monte

Carlo seperti pada Tabel 12.

Hasil analisis Rap-KOBA tersebut di atas, juga menunjukkan bahwa semua

atribut yang dikaji terhadap status keberlanjutan pengelolaan lingkungan Kota Baru

BSD, cukup akurat, sehingga memberikan hasil analisis yang semakin baik dan dapat

dipertanggung jawabkan. Hal ini terbukti dari nilai stress yang hanya antara 13 sampai

14 % dan nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh antara 0,94 dan 0,97. Hal ini

sesuai dengan pendapat Fisheries (1999), yang menyatakan bahwa hasil analisis cukup

memadai apabila nilai stress lebih kecil dari ketetapan yang ada, yakni nilai 0,25 (25 %).

(42,22 %)

(53,17%)

(26,49 %)(52,20 %)

(59,95 %) 0

20

40

60

80

100Ekologi

Ekonomi

Sosial dan BudayaInfrastruktur dan Teknologi

Hukum dan Kelembagaan

(42,22 %)

(59,95 %)

(52,20 %) (26,49 %)

(53,17 %)

91

Tabel 12. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Monte Carlo dengananalisis Rap-KOBA

Dimensi KeberlanjutanNilai Indeks Keberlanjutan (%)

PerbedaanMDS Monte Carlo

Ekologi 42,22 42,29 0,07

Ekonomi 43,71 43,24 0,47

Sosial-Budaya 26,49 27,02 0,53

Infrastruktur dan Teknologi 52,20 46,46 5,74

Hukum dan Kelembagan 59,95 58,23 1,72

Multi-Dimensi 46,69 45,05 1,64

Nilai koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan dari penelitian ini mendekati

nilai 1,0. Berdasarkan kesepakatan terhadap nilai koefisien determinasi bahwa kualitas

hasil analisis dikatakan semakin baik jika nilai koefisien determinasi semakin besar

(mendekati 1). Hal ini memperlihatkan bahwa kualitas hasil analisis berdasarkan nilai

R2-nya semakin baik. Dengan demikian berdasarkan dua parameter (nilai “stress” dan

R2) tersebut menunjukkan bahwa seluruh atribut yang digunakan pada analisis

keberlanjutan pengelolaan lingkungan kota baru di kawasan Kota Baru BSD, Kabupaten

Tangerang Selatan masuk pada kategori yang relatif baik dalam menerangkan kelima

dimensi pembangunan yang dianalisis. Adapun nilai stress dan koefisien determinasi

seperti Tabel 13.

Tabel 13. Hasil analisis Rap-KOBA untuk nilai stress dan koefisien determinasi (R2)

ParameterDimensi keberlanjutan

A B C D E F

Stress 0,14 0,13 0,13 0,14 0,13 0,13

R2 0,94 0,96 0,97 0,94 0,97 0,94

Iterasi 3 3 3 3 3 3Keterangan : A = Dimensi Ekologi, B = Dimensi Ekonomi, C = Dimensi Sosial-Budaya,

D = Dimensi Infrastruktur-Teknologi, E = Dimensi Hukum-Kelembagaan,dan F = Multidimensi

Pada penelitian ini selanjutnya dilakukan pengujian terhadap tingkat

kepercayaan nilai indeks multidimensi serta pada setiap dimensi yang digunakan,

dengan analisis Monte Carlo. Adapun yang dimaksud dengan analisis Monte Carlo

92

adalah analisis berbasis komputer yang dikembangkan pada tahun 1994 dengan

menggunakan teknik random number dan didasarkan pada teori statistika, sehingga dari

sini akan didapatkan dugaan peluang suatu solusi persamaan atau model matematis

(EPA 1997). Pada penelitian ini penggunaan analisis Montecarlo dimaksudkan untuk

melihat pengaruh kesalahan pembuatan skor pada setiap atribut pada setiap dimensi

yang digunakan pada penelitian ini, terutama untuk melihat pengaruh kesalahan yang

disebabkan oleh kesalahan prosedur atau pemahaman terhadap atribut, variasi

pemberian skor karena perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda,

stabilitas proses analisis MDS, kesalahan memasukkan data atau ada data yang hilang

(missing data), dan nilai “stress” yang terlalu tinggi. Adanya analisis Montecarlo ini,

harapannya agar hasil akhir analisis keberlanjutan ini dapat mempunyai tingkat

kepercayaan yang tinggi (Kanvanagh, 2001 serta Fauzi dan Anna, 2002).

Berdasarkan hasil analisis Monte Carlo (Tabel 14) terlihat bahwa nilai status

indeks keberlanjutan pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD ada pada selang

kepercayaan 95% dengan hasil antara analisis MDS dengan analisis Monte Carlo yang

hampir mirip. Kondisi ini memperlihatkan bahwa kesalahan dalam pembuatan skor

setiap atribut dapat dikatakan relatif kecil; variasi pemberian skor akibat perbedaan

opini juga relatif kecil. Kondisi ini juga memperlihatkan bahwa proses analisis yang

dilakukan pada penelitian ini mempunyai ulangan yang cukup dan relatif stabil pada

setiap ulangan; serta dapat dikatakan terhindar dari kesalahan pemasukan data dan data

yang hilang (Kanvanagh, 2001).

Tabel 14. Hasil analisis Monte Carlo pada selang kepercayaan 95%.

Status IndeksHasil analisis

PerbedaanMDS Monte Carlo

Multidimensi 36,86 36,43 0,43Ekologi 36,14 36,44 0,30Ekonomi 53,18 52,74 0,44Sosial-Budaya 40,42 41,38 0,96Infrastruktur danTeknologi

23,17 24,04 0,87

Hukum danKelembagaan

26,07 27.10 1,03

Perbedaan yang relatif kecil ini juga memperlihatkan bahwa hasil analisis

keberlanjutan pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD dengan menggunakan metode

93

MDS memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi (Pitcher, 1999). Oleh karena itu maka

hasil analisis ini dapat direkomendasikan untuk dijadikan salah satu alat evaluasi dalam

menilai secara cepat (rapid appraisal) keberlanjutan dari sistem pengelolaan lingkungan

kota baru di suatu wilayah/daerah.

5.2.7. Faktor Kunci Pengelolaan Kawasan

Pada proses pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD ini, semua atribut sensitive

yang merupakan faktor pengungkit ini harus diperhatikan dengan seksama dan harus

dilakukan berbagai upaya terhadap hal-hal yang berkaitan dengan faktor pengungkit

tersebut, sehingga status keberlanjutan dari setiap dimensi dapat ditingkatkan dan

pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD menjadi berkelanjutan. Dalam arti dalam

melakukan pembangunan kota baru ini secara ekonomi akan sangat menguntungkan,

secara ekologi akan membuat lingkungan kawasan kota baru menjadi lestari, namun

tetap berkeadilan dan memberikan kemakmuran dan tidak terdapat konflik pada

masyarakat yang ada di dalamnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Munasinghe (1993)

bahwa dalam pembangunan berkelanjutan, paling tidak harus menjabarkan konsep

pembangunan berkelanjutan yakni secara ekonomi harus menguntungkan, berkeadilan,

namun tidak mengakibatkan rusaknya lingkungan. Untuk lebih jelasnya faktor

pengungkit setiap dimensi pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD dapat dilihat pada

Tabel 15.

Secara operasional, seluruh faktor pengungkit tersebut memiliki keterkaitan

dalam bentuk pengaruh dan ketergantungan antar faktor. Hal ini perlu diperhatikan

dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD secara

berkelanjutan. Namun mengingat cukup banyak faktor pengungkit yang didapat, dan

pasti ada yang lebih dominan yang akan menentukan keberlanjutan pengelolaan

lingkungan Kota Baru BSD, maka pada penelitian ini dilakukan analisis lanjutan dalam

rangka menentukan faktor dominan penentu keberlanjutan pengelolaan lingkungan Kota

Baru BSD dengan menggunakan analisis prospektif. Untuk selanjutnya faktor dominan

yang dihasilkan dari analisis prospektif tersebut digunakan sebagai basis dalam

perumusan prioritas kebijakan dalam pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD.

94

Tabel 15 Faktor pengungkit setiap dimensi pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD

Dimensi Faktor pengungkit

Ekologi 1. ketersediaan air bersih

2. manajemen banjir/bencana

3. permasalahan transportasi

4. pencemaran udara/emisi

5. ketersediaan pengolah limbah cair

Ekonomi 6. keberadaan kawasan bisnis

7. tingkat pengangguran

8. keberadaan kawasan industri

9. keberadaan pertokoan kawasan

Sosial-

budaya

10. pengaruh keberadaan BSD pada nilai sosial budaya lokal

11. keragaman budaya dalam masyarakat

12. konflik dengan masyarakat lokal

Infrastruktur

dan

Teknologi

13. ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik

cair

14. ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah industri

cair

15. ketersediaan sarana dan prasarana jalan yang efektif dan efisien

16. ketersediaan sarana dan prasarana komuter

Hukum dan

Kelembagaan

17. kompetensi pengelola kawasan kota baru

18. egosektoral dalam pengelolaan lingkungan

19. konsistensi penegakan hukum

20. tersedianya organisasi pengelola lingkungan

21. intensitas pelanggaran hukum

22. sinkronisasi peraturan dengan pusat

Pada penelitian ini penentuan faktor dominan didasarkan pada faktor pengungkit

yang mempunyai pengaruh besar, namun tingkat ketergantungannya rendah. Hasil

analisis prospektif yang dilakukan pada penelitian ini, diperoleh lima faktor kunci

(faktor penentu) keberhasilan pengelolaan pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD

yaitu faktor-faktor yang mempunyai pengaruh yang besar dengan tingkat

ketergantungan yang kecil (Bourgeois dan Jesus, 2004). Adapun faktor-faktor kunci

tersebut adalah (1) pencemaran udara/emisi, (2) ketersediaan pengolah limbah cair, (3)

ketersediaan sarana dan prasarana komuter, (4) tersedianya organisasi pengelola

95

lingkungan, dan (5) ketersediaan sarana dan prasarana jalan yang efektif dan efisien.

Untuk lebih jelasnya hasil analisis prospektif ini dapat dilihat pada Gambar 26.

Mengingat ke lima faktor tersebut di atas merupakan faktor kunci keberhasilan

pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD, maka faktor-faktor tersebut perlu sangat

diperhatikan dan ditindaklanjuti, seperti pada uraian di bawah ini.

Pencemaran Udara/Emisi

Kota metropolitan DKI Jakarta dengan kota satelitnya, seperti Kota Baru BSD

merupakan kota-kota yang melaksanakan pembangunan ekonomi cukup pesat. Di lain

pihak peningkatan pembangunan ekonomi tersebut selalu diikuti dengan meningkatnya

kegiatan industri dan meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor. Peningkatan

kedua hal tersebut, umumnya tidak hanya memberikan kesejahteraan kepada

masyarakat, namun juga menyebabkan menurunnya kualitas udara terutama di wilayah

perkotaan, termasuk di dalamnya di Kota Baru BSD. Menurunnya kualitas udara

wilayah perkotaan dari sektor transportasi dan industri ini, disebabkan tingginya

pembakaran bahan bakar fosil (BBF). Bahkan menurut Lvovsky et al. (2000), dari

sektor transportasi saja di wilayah kota baru dapat terjadi peningkatan penggunaan BBF

hingga 53 persen. Tingginya penggunaan bahan bakar fosil (BBF) tersebut

menyebabkan kontribusi sektor transportasi terhadap turunnya kualitas udara di

berbagai kota besar di dunia yang rata-rata mencapai 70 persen atau lebih (Tietenberg ,

2003).

Selain adanya peningkatan transportasi yang signifikan dari kegiatan di kota, di

kota metropolitas dan kota satelitnya seringkali untuk mempercepat terjadinya

pertumbuhan ekonomi, maka aktivitas industri atau aktivitas ekonomi lainnya juga

semakin meningkat. Bahkan bukan hanya itu kawasan perkotaan (dan daerah manapun)

pada umumnya selalu berupaya untuk mencari investor yang akan berinvestasi di

bidang industri. Namun kenyataannya karena sarana dan prasarana di perkotaan cukup

mendukung, maka kegiatan industri dan kegiatan ekonomi lainnya lebih terpusat di

kota-kota besar dan kota satelitnya. Di lain pihak dampak dari terkonsentrasinya

pembangunan ekonomi dan industri di perkotaan ini adalah tingginya arus urbanisasi.

Tingginya urbanisasi di perkotaan juga seringkali tidak diimbangi dengan penyediaan

sarana transportasi umum yang memadai menyebabkan meningkatnya penggunaan

kendaraan yang berdampak pada meningkatnya kemacetan dan degradasi kualitas udara

96

(Panyacosit, 2000). Oleh karenanya maka kegiatan ekonomi dan industri yang terdapat

di wilayah perkotaan dan kota satelitnya seperti Kota Baru BSD seringkali menanggung

masalah tingginya pencemaran udara dan emisi gas rumah kaca (GRK).

Adapun jenis polutan yang diemisikan oleh kendaraan bermotor dan industri

akibar dari pembakaran BBM sangat bergantung pada kondisi mesin industri, kondisi

kendaraan dan kualitas bahan bakar yang digunakannya. Mesin yang menggunakan

bahan bakar bensin sebagian berkontribusi terhadap gas buang Karbon monoksida (CO),

Nitrogen oksida (NOx), dan Hidrokarbon (HC) serta logam berat timbal (Pb), sedangkan

mesin yang menggunakan bahan bakar solar mengemisikan debu/partikulat dan Sulfur

dioksida (SO2) (Volesky, 1990). Dampak terparah dari menurunnya kualitas udara

adalah pada kesehatan masyarakat, baik secara sosial maupun ekonomi (Ostro, 1994;

Small dan Kazimi, 1995; Lvovsky et al., 2000). Mengingat tingginya pembakaran BBF

akibat tingginya kegiatan transportasi dan industri serta telah memberi dampak negatif

pada lingkungan dan dampak negatif pada aspek sosial, terutama kesehatan, maka

pencemaran udara dari emisi mesin kendaraan bermotor dan industri tersebut harus

ditanggulangi sebaik mungkin baik maupun oleh pemerintah Kota Metropolitan DKI

Jakarta, oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Tanggerang Selatan dan pengelola Kota

Baru BSD maupun secara nasional, dengan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk

pengendalian pencemaran.

Ketersediaan Pengolah Limbah Cair.

Air merupakan sumber kehidupan sehingga tidak akan ada kehidupan yang tidak

membutuhkan air. Namun seiring dengan laju pembangunan yang sangat pesat yang

menghasilkan limbah cair dan di dalamnya terdapat berbagai bahan pencemar, telah

mengakibatkan langkanya sumberdaya air yang kualitasnya baik. Idealnya bahwa

walaupun air ada dalam jumlah yang tetap, namun kualitasnya telah menurun, sehingga

terjadinya kelangkaan air yang sudah jadi masalah yang cukup serius. Di sisi lain,

rendahnya kualitas air ini dapat membawa dampak negatif baik pada biota yang hidup

di dalamnya, maupun untuk manusia yang mengkonsumsi biota tersebut.

Salah satu penyebab terjadinya penurunan kualitas air tersebut disebabkan oleh

adanya limbah cair yang dihasilkan dari berbagai kegiatan antropogenik seperti dari

kawasan permukiman, kegiatan perkotaan, industri, rumah sakit, rumah makan yang

97

umumnya tidak melakukan pengolahan terlebih dahulu, namun langsung membuangnya

ke badan air seperti ke sungai. Oleh karena itu maka kualitas badan air seperti sungai,

situ, kolam dan lain sebagainya di kota-kota besar berada jauh di bawah persyaratan

yang diijinkan, yang dapat dilihat secara kasat mata berupa perubahan warna, tingkat

kekeruhan air dan dari baunya, serta seringkali setelah dibuktikan di laboratorium,

kualitas berbagai parameter kualitas air, menjadi buruk (di luar ambang batas yang

sudah ditentukan) yang dikenal dengan istilah pencemaran.

Pencemaran air terjadi sebagai akibat adanya dampak negatif karena masuknya

zat pencemar ke dalam suatu perairan, sehingga berpengaruh terhadap kehidupan biota,

sumberdaya dan ekosistem peairan serta kesehatan manusia yang hidup di sekitar

perairan tersebut (Sutamiharja 1978). Selanjutnya Sutamiharja (1978) menyatakan

bahwa bahan pencemar atau zat pencemar menurut sumbernya terbagi menjadi dua

yaitu yang berasal dari alam dan yang berasal dari kegiatan manusia. Pencemaran yang

diakibatkan oleh kegiatan manusia diantaranya adalah pemanfaatan sumberdaya alam

pada proses pertambangan, perindustrian dan pertanian. Dalam rangka mengetahui

apakah suatu badan air sudah tercemar atau belum dan bagaimana tingkat

pencemarannya, perlu diuji sifat-sifat air, dan disesuaikan dengan baku mutu air sesuai

dengan kriterianya yang umumnya dilakukan baik secara langsung dilakukan

pengukuran di lapangan maupun dengan cara terlebih dahulu dibawa ke laboratorium.

Di daerah perkotaan, tercemarnya sumberdaya air ini umumnya terjadi sebagai

akibat adanya aktivitas pemenuhan kebutuhan manusia. Hal ini terjadi karena seringkali

manusia hanya berorientasi pada proses produksi dan konsumsi saja. Dalam hal ini

setelah selesai memproduksi atau mengkonsumsi suatu barang, pada umumnya manusia

tidak peduli lagi dengan limbah yang dihasilkan dari aktivitas tersebut. Terjadinya

pencemaran badan air di perkotaan ini umumnya terjadi karena manusia seringkali

membuang limbahnya secara langsung ke dalam saluran air atau kalaupun mengalami

pengolahan, maka pengolahan yang dilakukan umumnya hanya bersifat alakadarnya.

Air tercemar ini selanjutnya akan mengalir ke dalam parit, untuk kemudian terbawa

masuk ke dalam badan air (sungai maupun danau). Bahkan apabila turun hujan, bahan

pencemar ini akan terbawa hingga ke laut.

Limbah cair yang dihasilkan dari kegiatan antropogenik yang langsung dibuang

ke dalam badan air tersebut seringkali mengakibatkan menjadi sangat tercemarnya

98

badan air baik oleh bahan organik maupun oleh bahan berbahaya dan beracun (B3).

Oleh karenanya maka air buangan ini tidak boleh dibuang begitu saja karena akan

mengganggu ekosistem air penerimanya. Berdasarkan hal tersebut, maka keberadaan

instalasi pengolah air limbah (IPAL) di kawasan kota baru sangat diperlukan

keberadaannya dalam rangka mempertahankan atau bahkan memperbaiki kualitas

lingkungan ekosistem air penerima limbah cair dari kegiatan kegiatan antropogenik

tersebut.

Kondisi tersebut di atas terjadi karena kurang terencananya kondisi infrastruktur

pembuangan air limbah cair untuk pengolah limbah cair dari industri, domestik, rumah

sakit, rumah makan, hotel, dsb. Selain itu jika infrastruktur ada, pada umumnya belum

mempertimbangkan kapasitas dan spesifikasi yang sesuai menyebabkan rendahnya

kualitas output air limbah di perkotaan. Melihat kondisi tersebut maka perlu dipikirkan

kembali suatu sistim penanganan air limbah domestik yang memenuhi baku mutu yang

ditentukan, dengan meminimalkan tingkat bahan pencemar hingga berada di bawah

ambang maksimal. Penanganan air limbah cair tersebut tidak saja dilakukan dengan

memperbaiki teknik penanganan air limbah namun termasuk sistim pengelolaan air

secara terpadu yang dikenal dengan waste water treatment plant. Dengan adanya

pengelolaan secara terpadu tersebut diharapkan kualitas badan air dapat dikembalikan

pada ambang normal dan meminimalkan polusi yang timbul. Berdasarkan hal tersebut

maka maka pencemaran badan air tersebut harus ditanggulangi sebaik mungkin baik

maupun oleh pemerintah Kota Metropolitan DKI Jakarta, oleh Pemerintah Daerah

Tingkat II Tanggerang Selatan dan pengelola Kota Baru BSD maupun secara nasional,

dengan cara menyediakan pengolah limbah cair, baik limbah cair yang berasal dari

kegiatan kawasan permukiman, industri, rumah sakit, perkantoran, perhotelan,

pertokoan, rumah makan dan kegiatan ekonomi lainnya.

Ketersediaan Sarana dan Prasarana Komuter

Pengembangan jaringan transportasi pada awalnya merupakan usaha untuk

memfasilitasi pergerakan dari asal (origin) ke tujuan (destination) yang timbul akibat

kegiatan sosial dan ekonomi. Pergerakan transportasi merupakan salah satu kegiatan

ekonomi yang mencoba untuk meningkatkan nilai ekonomis suatu barang. Oleh karena

itu kebutuhan sistem transportasi yang efisien dan efektif menjadi dasar dalam

99

melakukan perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pengawasan dan pengembangan

sistem transportasi.

Dalam rangka menciptakan sistem transportasi yang efisien dan efektif tersebut,

hal yang pertama harus digaris bawahi dan perlu dibuat dengan sebaik mungkin adalah

perencanaan transportasi, baik yang menyangkut tata ruang pada zona wilayah maupun

pada penyediaan sarana transportasinya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Kenworthy

dan Laube (2002) yang menyatakan bahwa ada korelasi antara pola tata guna lahan

dengan sistem transportasi dan kepadatan penduduk. Selain itu perencanaan

transportasi juga sangat berkaitan dengan perencanaan atau sistem ekonomi dari suatu

wilayah. Oleh karena itu maka perencanaan, pengembangan dan pembangunan

prasarana dan sarana transportasi merupakan implikasi dari proses pemenuhan

kebutuhan manusia dan peningkatan nilai ekonomis dari suatu barang.

Adapun salah satu sarana dan prasarana transportasi yang perlu direncanakan

dengan baik untuk kota satelit seperti halnya Kota Baru BSD yang merupakan kota

satelit pada wilayah metropolitan DKI Jakarta adalah tersedianya sarana dan prasarana

untuk angkutan umum yang memuat banyak penumpang dan melayani hampir seluruh

lokasi perkotaan yang disebut komuniter (selanjutnya disebut komuter). Hal ini sesuai

dengan hasil penelitian JICA (2001) yang mengatakan bahwa jumlah keseluruhan

perjalanan oleh komuter yang terjadi di dalam DKI Jakarta sebanyak 16 juta orang

setiap hari dan 25% diantaranya adalah komuniter komuter dari Kota Satelit Bogor,

Depok, Tangerang dan Bekasi. Hal ini juga sangat wajar, mengingat hasil penelitian

Luo (2007) di tiga negara kota metropolitan di Asia yang mempunyai income tinggi,

memperlihatkan bahwa rata-rata panjang perjalanan yang dilakukan masyarakat di kota

metropolitan dari tiga negara yang diteliti untuk Kota Kuala Lumpur-Malaysia 2,7 km,

untuk masyarakat Kota Manila-Filipina 4 km, dan panjang perjalanan masyarakat Kota

Chengdu-Cina mencapai 9 km.

Khusus untuk Kota Metropolitan DKI Jakarta, saat ini telah tersedia moda

angkutan umum penumpang komuter berupa BRT Transjakarta. Khusus untuk kota

satelit, pada umumnya tidak terjangkau oleh komuter berupa BRT Transjakarta, namun

beberapa kota satelit sudah menyediakan feeder untuk Transjakarta tersebut. Mengingat

kinerja angkutan umum penumpang harus memenuhi syarat dan mencakup berbagai hal

yang meliputi daerah pelayanan dan jangkauan rute, struktur dan ruang rute, rute secara

100

langsung dan mudah, panjang rute, duplikasi rute, headway, frekuensi, standar muatan,

dan kecepatan perjalanan (NCHRP, 1980).

Mengingat tingginya calon penumpang dari kota satelit dan di kota utama,

maka semuanya harus dilayani dengan baik, dengan tetap mengikuti konsep

pembangunan berkelanjutan, yakni pembangunan untuk memenuhi kebutuhan

manusia pada saat ini tanpa merusak kemampuan generasi yang akan datang untuk

memenuhi kebutuhannya (WCED, 1987). Adapun konsep pembangunan

berkelanjutan pada bidang transportasi, harus dapat memberikan kenyamanan bagi

warga kota dan lingkungan dengan beberapa kriteria. Kriteria-kriterianya antara lain

pengoperasian transportasi diharapkan dapat meningkatkan kualitas udara, mengurangi

pencemaran, mengurangi kebisingan dan mengurangi dampak lalu lintas, meningkatkan

keselamatan, mengurangi kecelakaan lalu lintas, dan mengurangi konsumsi energi.

Transportasi berkelanjutan dalam arti yang lebih luas merupakan usaha untuk

menurunkan tingkat kemacetan, menghemat biaya fasilitas, meningkatkan keselamatan,

meningkatkan pergerakan non kendaraan, menggunakan lahan secara efisien, sehingga

menghasilkan mobilitas yang tinggi untuk setiap kendaraan (Litman, 2004).

Berdasarkan hal tersebut maka masalah transportasi harus ditanggulangi sebaik

mungkin baik maupun oleh pemerintah Kota Metropolitan DKI Jakarta, oleh

Pemerintah Daerah Tingkat II Tanggerang Selatan dan pengelola Kota Baru BSD

dengan tetap mengikuti konsep pembangunan transportasi yang berkelanjutan, yang

salah satu caranya dapat dilakukan dengan menyediakan sarana dan prasarana komuter

sebaik mungkin.

Tersedianya Organisasi Pengelola Lingkungan,

Pada pengelolaan lingkungan, harus ada yang mengerakan agar dilakukan

pengelolaan lingkungan. Hal ini berlaku untuk berbagai lokasi, termasuk di dalamnya

untuk Kota Baru BSD. Agar pengelolaan lingkungan berjalan dengan baik, dan untuk

menjamin kelestarian lingkungan, maka di lokasi kota baru harus tersedia organisasi

pengelola lingkungan, atau dengan kata lain harus dibentuk kelembagaannya.

Dalam rangka mensukseskan kegiatan pengelolaan lingkungan di kawasan Kota

Baru BSD, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan kelembagaan

pengelolaan lingkungan kawasan kota baru yaitu: (1) pengelolaan kegiatan pengelolaan

101

lingkungankawasan memerlukan hubungan antar lembaga yang terintegrasi, (2)

pengelolaan kegiatan pengelolaan lingkungan kawasan memerlukan partisipasi

stakeholder, (3) pengelolaan kegiatan pengelolaan lingkungan kawasan memerlukan

sumber dana yang memadai, (4) memerlukan media konsultatif antara stakeholder

kegiatan pengelolaan lingkungan kawasan, (5) memerlukan kepedulian masyarakat dan

institusi masyarakat lokal untuk mengontrol jalannya kelembagaan kegiatan

pengelolaan lingkungan kawasan, (6) memerlukan perangkat hukum yang jelas agar

pengelolaan lingkungan berjalan dengan baik, dan (7) memerlukan kolaborasi dengan

pemerintah setempat dan pemerintah pusat serta dengan pihak lain, misalnya perguruan

tinggi, kalangan industri dan pengelola kegiatan pengelolaan lingkungan kawasan

lainnya. Untuk itu maka dalam rangka mensukseskan kegiatan pengelolaan lingkungan

di kawasan Kota Baru BSD, maka hal yang harus diperhatikan dan harus segera

diadalkan adalah membentuk struktur organisasi kegiatan pengelolaan lingkungan

kawasan Kota Baru BSD.

Ketersediaan Sarana dan Prasarana Jalan yang Efektif dan Efisien

Pada sistem transportasi hal yang ideal dilakukan adalah menyesuaikan dengan

tujuan proyek transportasi, tetapi harus tetap mengacu pada aspek ekologi, sosial dan

ekonomi, sehingga sistem transportasi tersebut menjadi berkelanjutan, dan mampu

mewujudkan agar orang tidak bergantung pada penggunaan kendaraan pribadi. Oleh

karena itu maka keberlanjutan transportasi harus dapat memenuhi beberapa tujuan: 1)

dapat meningkatkan kualitas dan aksesibilitas layanan transportasi umum; 2) tersedia

lokasi untuk berjalan dan bersepeda yang lebih menarik; 3) dapat mengurangi

kebutuhan perjalanan; 4) dapat mengurangi bahkan membuang hambatan psikologi dan

mendukung kebijakan publik untuk menggunakan kendaraan alternatif; dan 5) membuat

image bahwa transportasi menjadi sebuah komponen penting untuk strategi perencanaan

ruang suatu wilayah (Paulley dan Pedler, 2000). Oleh karena itu maka harus ada

pelayanan sebaik mungkin pada penumpang. Adapun faktor penting dalam menentukan

kualitas pelayanan adalah perceived quality yaitu tingkat kualitas pelayanan yang

dirasakan oleh pengguna, dimana kualitas pelayanan yang dirasakan oleh pengguna

dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman layanan sebelumnya (Cronin dan Taylor,

1992).

102

Pada dasarnya menciptakan transportasi berkelanjutan tidaklah mudah, dan tidak

hanya sekedar keberadaan jalan padat atau tidak padat. Hal ini sesuai dengan pendapat

Cook et al. (2004) yang mengatakan bahwa kriteria evaluasi masyarakat terhadap sistem

transportasi berkelanjutan adalah: 1) teknologi baru; 2) sangat cepat; 3) langsung; 4)

tidak menunggu; 5) antrian sedikit; 6) dapat memilih perjalanan sendiri; 7) tidak

mengalami frustasi; 8) baik bagi lingkungan; 9) tidak berdebat dengan supir; 10) tidak

kuatir seorang diri berada di angkutan; 11) mudah dinaiki; 12) tidak ada supir; dan 13)

lebih dapat diakses dari pada moda angkutan umum lain. Hal ini sejalan dengan

pendapat (Jeon dan Amekudzi, 2005) yang mengatakan bahwa sistem transportasi

dikatakan berkelanjutan apabila dapat memberikan penyelesaian yang efektif dan

efisien kepada pemakainya seperti adil dan aman mengakses pelayanan ekonomi dan

sosial mendasar, harus meningkatkan pembangunan ekonomi dan tidak

membahayakan lingkungan.

Menurut Litman (2008) keberlanjutan mobilitas tersebut dapat dicapai dengan

cara: 1) meningkatkan aksesibilitas dan memaksimalkan penggunaan ruang; 2)

meningkatkan bagian moda transportasi yang bersahabat secara lingkungan misalnya

angkutan umum, sepeda, berjalan dan lain-lain; 3) mengurangi kemacetan; 4)

meningkatkan keselamatan; 5) mengurangi pencemaran udara, kebisingan dan

gangguan pemandangan. Hal tersebut memperlihatkan bahwa pada konsep

transportasi berkelanjutan, kegiatan manusia yang berkaitan dengan pergerakan

manusia dan barang seharusnya terjadi dengan cara-cara yang berkelanjutan baik

secara lingkungan, sosial dan ekonomika. Berdasarkan hal tersebut maka dalam

rangka membuat transportasi yang berkelanjutan, sehingga dapat mendukung

pengelolaan lingkungan di kawasan Kota Baru BSD yang baik, maka hal yang harus

diperhatikan dan harus segera diadakan adalah menyediakan sarana dan prasarana jalan

yang efektif dan efisien di kawasan Kota Baru BSD dan menuju ke atau dari kota utama

dan kota satelit lainnya.

Pada penelitian ini, selain terdapat lima parameter kunci seperti diuraikan di atas,

pada analisis prospektif juga diperoleh enam buah faktor penghubung yakni faktor yang

mempunyai pengaruh yang besar namun juga ketergantungannya juga besar (Bourgeois

dan Jesus, 2004). Adapun ke enam faktor penghubung yang mempunyai pengaruh yang

besar terhadap keberhasilan pengelolaan lingkungan di kawasan Kota Baru BSD,

103

namun memiliki ketergantungan pada faktor lainnya yang cukup besar. Mengingat ke

enam faktor pengungkit tersebut mempunyai pengaruh yang besar, maka jika kita

menginginkan keberhasilan pengelolaan lingkungan di kawasan Kota Baru BSD, ke

enam faktor pengungkit tersebut juga harus diperhatikan dengan seksama. Adapun

faktor-faktor tersebut adalah keberadaan kawasan bisnis, keberadaan kawasan industri,

ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik cair, ketersediaan sarana

dan prasarana pengolahan limbah industri cair, kompetensi pengelola kawasan kota baru

dan egosektoral dalam pengelolaan lingkungan (Gambar 26).

Gambar 26. Pemetaan faktor pengungkit pada pengelolaan lingkungan kawasanKota Baru BSD

5 6

3

1316

710

81820

14

12

15

4

912

17

2122

11

104

Keterangan gambar:

1. ketersediaan air bersih

2. manajemen banjir/bencana

3. permasalahan transportasi

4. pencemaran udara/emisi

5. ketersediaan pengolah limbah cair

6. keberadaan kawasan bisnis

7. tingkat pengangguran

8. keberadaan kawasan industri

9. keberadaan pertokoan kawasan

10. pengaruh keberadaan BSD pada nilai sosial budaya lokal

11. keragaman budaya dalam masyarakat

12. konflik dengan masyarakat lokal

13. ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik cair

14. ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah industri cair

15. ketersediaan sarana dan prasarana jalan yang efektif dan efisien

16. ketersediaan sarana dan prasarana komuter

17. kompetensi pengelola kawasan kota baru

18. egosektoral dalam pengelolaan lingkungan

19. konsistensi penegakan hukum

20. tersedianya organisasi pengelola lingkungan

21. intensitas pelanggaran hukum

22. sinkronisasi peraturan dengan pusat

Berdasarkan hasil analisis prospektif tersebut diatas, memperlihatkan bahwa

hasil analisis prospektif pada dasarnya telah sesuai dengan kondisi lapangan di lokasi

tersebut, pada saat dilakukan penelitian. Ke lima faktor kunci tersebut harus benar-

benar diperhatikan dalam pengembangan pengelolaan lingkungan di kawasan Kota Baru

BSD. Hal ini diperlukan mengingat kondisi eksisting pengelolaan lingkungan di

kawasan Kota Baru BSD memperlihatkan kurang berkelanjutan, dan hanya dimensi

ekonomi, dimensi infrastruktur dan teknologi serta dimensi hukum dan kelembagaan

105

yang memperlihatkan status yang cukup berkelanjutan, sedangkan dimensi sosial

budaya dan dimensi ekologi masih ada dalam status yang kurang berkelanjutan. Upaya-

upaya untuk meningkatkan status berkelanjutan kawasan kota baru ini sangat perlu

dilakukan mengingat kawasan Kota Baru BSD dalam kondisi seperti ini saja sudah

mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang ada di dalamnya .

5.3. Model Pengelolaan Lingkungan Kota Baru BSD

Pertumbuhan kota metropolitan dan kota satelitnya seperti kota baru yang cepat

seringkali menimbulkan berbagai implikasi negatif, seperti kurang mampunya

infrastruktur perkotaan dalam menampung aktivitas warga, pelayanan publik yang

kurang baik akibat dari minimnya SDM yang tersedia, timbulnya masalah sosial seperti

pengangguran, kriminalitas dan kemiskinan, dan rendahnya kualitas lingkungan berupa

terjadinya polusi udara, tanah dan air, dsb. Adapun salah satu permasalahan rendahnya

kualitas lingkungan seringkali berhubungan erat dengan besarnya jumlah penduduk,

besarnya kegiatan bisnis seperti industri, pertokoan, dsb serta tingginya kegiatan

pembakaran BBF terutama pada kegiatan transportasi dan kegiatan industri. Dalam

rangka mensukseskan pengelolaan lingkungan yang baik di kotabaru, maka terlebih

dahulu dibuatmodel dinamikpengelolaan lingkungan kota baruyang berkelanjutan, yang

nantinya diharapkan akan memberikan arah pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan

di kota baru.

Pada pembuatan model ini terlebih dahulu dilakukan identifikasi sistem yakni

suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan dengan pernyataan khusus dari

masalah yang harus dipecahkan. Hasil identifikasi sistem dengan menggunakan model

diagram input output atau diagram lingkar sebab-akibat. Adapun diagram sebab akibat

model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota baru dapat dilihat pada

Gambar 27 sedangkan stockflow diagram-nya dapat dilihat pada Gambar 28.

Model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota baru pada penelitian

ini dibedakan atas dua submodel yaitu (1) submodel lingkungan, (2) submodel ekonomi

dan sub model sosial. Ketiga sub model tersebut merupakan rangakian dari beberapa

variabel-variabel yang saling berhubungan dan berinteraksi antara satu elemen dengan

elemen lainnya sehingga terbentuk suatu model pengelolaan lingkungan yang

berkelanjutan di kota baru.

106

5.3.1. Submodel lingkungan

Submodel lingkungan dalam model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan

di kota baru, merupakan bagian pemodelan untuk mengetahui pengaruh variabel-

variabel dalam model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota baruterhadap

keberlanjutan sistem. Pengaruh variabel-variabel tersebut terhadap sistem kemudian

disajikan dalam diagram sebab akibat (causal loop) pada Gambar 27.

Gambar 27. Diagram lingkar sebab-akibat pengendalian lingkungan dalampembangunan kota baru berkelanjutan

107

JasaPHRAngkKom

BankSewa

EkLain

PDRBAngKom PDRBPHRPDRBJasa

PDRBBankSewa

PDRBEkLain

PDRB Tangsel

PangsaJasa

PangsaPHRPangsaAngkKom

penduduk pekerja

PangsaBankSewa

PangsaEkLain

infrastrukfur

Kapasitas Jalan

Drainase

kerusakanperbaikan

pengurangan

Populasi Tangsel

pertumbuhan

fraksi pertumbuhan fraksi pengurangan

jumlah rumah

pendidikan

kesadaran l ingkungan %

IPAL diperlukan

kepedulian lingkungan %

penduduk komuter

bebanNO3

KonsPO4perHari

bebanPO4

KonsNO3perhari

emisi udara

emisiSOx

emisiCOx

emisiNOx

biaya pekerja

kendaraan bermotor

roda duaroda empat

limbah cair

bebanCOD

KonsCODperHari

bebanBOD

KonsBODperhari

Gambar 28. Diagram stock-flow model pengendalian lingkungan dalam pembangunankota baru berkelanjutan

108

Gambar 29. Diagram sebab-akibat submodel lingkungan dalam pembangunan kotabaru berkelanjutan

Berdasarkan diagram sebab akibat (causal loop) di atas diketahui bahwa pada sub

model lingkungan, tingginya penduduk kota baru menyebabkan tingginya kegiatan

antropogenik. Di lain pihak tingginya kegiatan antropogenik mengakibatkan tingginya

limbah cair dan tingginya emisi gas, yang mengakibatkan tingginya pencemaran

lingkungan. Tingginya pencemaran lingkungan ini pada akhirnya akan berdampak

terhadap tingginya biaya pengelolaan dan memburuknya kualitas lingkungan.

Pencemaran sendiri akan terjadi apabila total bahan pencemar yang masuk ke

lingkungan baik yang berasal dari limbah cair maupun yang berasal dari emisi gas

tinggi. Tingginya biaya pengelolaan lingkungan akibat adanya pencemaran ini pada

akhirnya akan mempengaruhi masyarakat yang ada di dalamnya. Sebagai contoh

apabila biaya pengelolaan tersebut ada pada sisi industri, maka biaya pengelolaan

tersebut akan dibebankan pada masyarakat, karena biaya tersebut akan dimasukan

sebagai ongkos produksi. Di lain pihak terjadinya pencemaran di kota baru juga akan

berdampak langsung pada masyarakat misalnya dapat mengganggu terjadinya kesehatan

pada masyarakat yang ada di dalam kota baru tersebut. Model pengelolaan lingkungan

yang berkelanjutan di kota barukhususnya sub model lingkungan yang selanjutnya

digambarkan dalam bentuk stock flow diagram (SFD) dapat dilihat pada Gambar 30.

109

bebanNO3

KonsPO4perHari

bebanPO4

KonsNO3perhari

emisi udara

emisiSOx

emisiCOx

emisiNOx

pengurangan

Populasi Tangsel

pertumbuhan

fraksi pertumbuhan fraksi pengurangan

limbah cair

bebanCOD

KonsCODperHari

bebanBOD

KonsBODperhari

Gambar 30. Diagram stock-flow submodel lingkungan dalam pembangunan kota baruberkelanjutan

Pada Gambar 30 terlihat bahwa berdasarkan diagram alir sub model lingkungan

di atas, terlihat bahwa pertumbuhan penduduk berdampak pada terjadinya peningkatan

bahan pencemar perairan yang dicerminkan oleh terjadinya peningkatan bahan

pencemar organik seperti terjadinya peningkatan BOD, COD, posfat, dan nitrat.

Pertumbuhan penduduk juga berdampak pada terjadinya peningkatan bahan pencemar

udara yang dicerminkan dari terjadinya peningkatan emisi gas di udara dan peningkatan

konsentrasi COx, NOx dan SOx.

Pada penelitian ini, untuk mendapat gambaran kondisi lingkungan kaitannya

dengan jumlah masyarakat dan kegiatan antropogenik di Kota Baru BSD dibuat

simulasinya yang didasarkan pada data lima tahun sebelumnya dan pada kondisi

eksisting. Simulasi yang disusun ke dalam model, dilakukan interpretasi kondisi faktor

ke dalam peubah model. Dalam hal ini dilakukan beberapa perubahan pada peubah

tertentu di dalam model, sehingga data yang bersangkutan dapat disimulasikan.

Simulasi model dilakukan melalui kajian data yang disusun, diketahui bahwa

terdapat faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap model pengelolaan lingkungan

110

yang berkelanjutan di kota baru antara lain pertumbuhan penduduk, beban pencemaran

perairan dankualitas udara. Kondisi (state) faktor-faktor tersebut di masa yang akan

datang, disusun pada simulasi yang mungkin terjadi. Adapun Submodel lingkungan

mengenai kondisi di masa datang disajikan pada Gambar 31 sampai dengan Gambar 39.

2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.00

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

4:

4:

4:

10

35

60

0

15

30

0

0

0

0

0

1

1: bebanCOD 2 2: bebanBOD 2 3: bebanNO3 2 4: bebanPO4 2

1

1

1

1

22

2

2

3

3

3

3

4

4

4

4

Gambar 31. Simulasi sub-model lingkungan berdasarkan beban pencemaran (ton/hari)parameter BOD, COD, NO3 dan PO4

2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:

1:

1:

5

15

25

1: bebanBOD

1

1

1

1

Gambar 32. Simulasi sub-model lingkungan berdasarkan beban pencemaran (ton/hari)parameter BOD

111

Pada Gambar 31 dan 32 terlihat bahwa bahan pencemar organik mudah urai atau

bahan pencemar organik yang dapat diuraikan secara biologi (BOD) yang masuk ke

dalam perairan memperlihatkan terjadinya peningkatan dari tahun ke tahun. Pada

Lampiran 3 terlihat bahwa beban pencemar organik yang dapat diuraikan secara biologi

(BOD) pada tahun 2008 sebesar 6,17 ton per hari, pada saat dilaksanakan penelitian

mencapai 9,53 ton/hari, dan pada tahun 2016 berdasarkan hasil simulasi akan menjadi

19,67 ton/hari. Hal ini disebabkan kegiatan apapun pada akhirnya akan menghasilkan

limbah berupa limbah padat atau sampah dan limbah cair. Di lain pihak, baik limbah

padat maupun limbah cair masih banyak yang membuang ke dalam sungai/badan

air/perairan umum. Selain itu setiap orang dan setiap kegiatan juga akan menyumbang

bahan organik ke dalam badan air tempat bermuaranya limbah cair baik yang berasal

dari kegiatan domestik, kegiatan industri atau kegiatan perkotaan lainnya, sehingga

sangat wajar jika jumlah penduduk makin meningkat maka nilai BOD akan semakin

meningkat. Kondisi ini juga akan semakin diperparah akibat meningkatnya

kemakmuran dan peradaban. Hal ini sesuai dengan pendapat Metcalf dan Eddy (1991)

yang mengatakan bahwa semakin meningkat gaya hidup dan semakin makmur, maka

sisa bahan organik yang terbuang ke lingkungan juga akan semakin meningkat.

Pada sub model lingkungan dan pada simulasinya juga terlihat bahwa selain

adanya peningkatan bahan organik yang dapat diuraikan secara biologi, bahan organik

yang sulit terurai dan hanya dapat diuraikan secara kimia juga (COD) juga akan terjadi

peningkatan. Untuk lebih jelasnya besarnya peningkatan COD dari tahun ke tahun

dapat dilihat pada Gambar 33 dan pada Lampiran 3. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa

pada tahun 2008 nilai beban pencemaran COD pada perairan di lokasi penelitian adalah

14,41 ton/hari, namun pada saat dilakukan penelitian meningkat menjadi 23,41 ton/hari,

dan dari hasil simulasi pada tahun 2016 beban COD menjadi 52,08 ton/hari. Terjadinya

peningkatan COD ini dari tahun ke tahun juga disebabkan karena semakin banyaknya

masyarakat dan kegiatan antropogenik lainnya di perkotaan terutama pada kegiatan

industry, dan pada kegiatan bisnis lainnya yang menggunakan produk bahan organik

yang sulit terurai, sehingga dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, akan

semakin meningkatkan kegiatan antropogenik, maka semakin meningkat pula bahan

organik sulit terurai sehingga meningkatkan nilai COD (Metcalf dan Eddy, 1991).

112

2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:

1:

1:

10

35

60

1: bebanCOD

1

1

1

1

Gambar 33. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan beban pencemaran (ton/hari)parameter COD

Pada sub model lingkungan dan pada simulasinya juga terlihat adanya

peningkatan bahan organik yang tercermin dari konsentrasi nitrat (NO3) yang terdapat

pada perairan. Seperti pada parameter bahan organik lainnya, konsentrasi nitrat juga

terjadi peningkatan dari waktu ke waktu. Untuk lebih jelasnya besarnya peningkatan

nitrat dari tahun ke tahun dapat dilihat pada Gambar 34 dan pada Lampiran 3. Pada

Lampiran 3 terlihat bahwa pada tahun 2008 nilai beban pencemaran nitrat pada perairan

di lokasi penelitian adalah 0,05 ton/hari, namun pada saat dilakukan penelitian

meningkat menjadi 0,08 ton/hari, dan dari hasil simulasi pada tahun 2016 beban COD

menjadi 0,33 ton/hari. Terjadinya peningkatan nitrat dari tahun ke tahun juga

disebabkan oleh semakin banyaknya masyarakat dan kegiatan antropogenik yang

dilakukan di kota baru, sehingga dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, akan

semakin meningkatkan kegiatan antropogenik, maka semakin meningkat pula nitrat

yang terbuang ke dalam perairan.

113

2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:

1:

1:

0

0

0

1: bebanNO3

1

1

1

1

Gambar 34. Simulasi sub-model lingkungan berdasarkan beban pencemaran (ton/hari)parameter NO3

Hasil pemodelan dan simulasi yang dilakukan pada penelitian ini juga

memperlihatkan kandungan posfat yang cenderung semakin meningkat. Hal ini

ditunjukkan nilai beban pencemaran fosfat pada tahun 2008 sebesar 0,14 ton/hari

menjadi 0,22 ton/hari pada tahun 2011 (saat dilakukan penelitian), kemudian

peningkatan juga terjadi pada tahun-tahun berikutnya hingga perkiraan tahun 2016

mencapai 0,44 ton/hari. Kondisi ini sangat membahayakan kehidupan badan air

penerimanya (Martin, 1985) mengingat menurut Odum (1971) kandungan posfor yang

tinggi dalam ekosistem akan mengakibatkan terjadinya blooming fitoplankton yang

dapat memfiksasi nitrogen secara langsung dari atmosfir. Untuk lebih jelasnya hasil

pemodelan dan simulasi beban pencemaran posfat dapat dilihat pada Gambar 35 dan

Lampiran 3.

Kota Metropolitan DKI Jakarta merupakan ibukota negara yang dikelilingi

oleh kota satelit Bogor, Bekasi, Tangerang, dan Depok. Mengingat DKI Jakarta

merupakan pusat pemerintahan sekaligus pusat perekonomian maka dinamika di kota

utama dan kota satelitnya akan sangat tinggi. Dalam hal ini akan semakin

meningkatkan perjalanan antar kota yang pada umumnya saling bergantung satu sama

lain. Di lain pihak perjalanan ini merupakan aktivitas setiap manusia untuk melakukan

berbagai kebutuhan misalnya kegiatan usaha harian seperti kegiatan dasar (basic

activity) dan kegiatan jasa (services activity) serta kegiatan sosial, yang merupakan

kegiatan berkala (periodic activity). Tingginya dinamika di kota metropolitan dan di

114

kota baru ini akan semakin meningkatkan terjadinya pencemaran udara yang

terutama berasal dari sisa pembakaran BBF seperti NOx, SOx dan COx (Gambar 36).

Oleh karena itu maka tidak mengherankan jika dari tahun ke tahun terjadi

peningkatan bahan pencemar udara seperti tersebut di atas, seiring dengan

meningkatnya jumlah manusia dan kegiatan antropogenik yang dilakukannya.

2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:

1:

1:

0

0

1

1: bebanPO4

1

1

1

1

Gambar 35. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan beban pencemaran (ton/hari)parameter PO4

Pada sub model lingkungan dan pada simulasinya juga terlihat adanya

peningkatan pencemaran udara yang tercermin dari konsentrasi NOx yang terdapat pada

atmosfir. Adapun peningkatan konsentrasi NOx di atmosfir ini juga dapat dilihat pada

Gambar 36 dan pada Lampiran 3. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa pada tahun 2008

nilai konsentrasi NOx di atmosfir 53,38 µg/ Nm3, namun pada saat dilakukan penelitian

meningkat menjadi 81,14 µg/ Nm3, dan dari hasil simulasi pada tahun 2016

konsentrasinya akan meningkat menjadi 163,12 µg/ Nm3. Terjadinya peningkatan NOx

di atmosfir dari tahun ke tahun juga disebabkan karena semakin banyaknya masyarakat

dan kegiatan antropogenik terutama dari kegiatan pembakaran BBF yang dilakukan di

kota baru, sehingga dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, akan semakin

meningkatkan kegiatan antropogenik, maka semakin meningkat pula NOx di atmosfir.

115

2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.00

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

100

250

400

2000

5000

8000

50

150

250

1: emisiSOx 2: emisiCOx 3: emisiNOx

1

1

1

1

2

2

2

2

3

3

3

3

Gambar 36. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan kualitas udara ambien(µg/Nm3) parameter NOx, COx dan SOx

2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:

1:

1:

50

150

250

1: emisiNOx

1

1

1

1

Gambar 37. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan kualitas udara ambien(µg/Nm3) parameter NOx

Pada submodel lingkungan dan pada simulasinya juga terlihat adanya

peningkatan pencemaran udara yang tercermin dari konsentrasi COx yang terdapat pada

atmosfir. Adapun peningkatan konsentrasi COx di atmosfir ini juga dapat dilihat pada

Gambar 38 dan pada Lampiran 3. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa pada tahun 2008

116

nilai konsentrasi COx di atmosfir 2316,96 µg/ Nm3, namun pada saat dilakukan

penelitian meningkat menjadi 3523,77 µg/ Nm3, dan dari hasil simulasi pada tahun 2016

konsentrasinya akan meningkat menjadi 7087,59 µg/Nm3. Terjadinya peningkatan COx

di atmosfir dari tahun ke tahun juga disebabkan karena semakin banyaknya masyarakat

dan kegiatan antropogenik terutama dari kegiatan pembakaran BBF yang dilakukan di

kota baru, sehingga dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, akan semakin

meningkatkan kegiatan antropogenik, maka semakin meningkat pula COx di atmosfir.

2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:

1:

1:

2000

5000

8000

1: emisiCOx

1

1

1

1

Gambar 38. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan kualitas udara ambien(µg/Nm3) parameter COx

Pada sub model lingkungan dan pada simulasinya juga terlihat adanya

peningkatan pencemaran udara yang tercermin dari konsentrasi SOx yang terdapat pada

atmosfir. Adapun peningkatan konsentrasi SOx di atmosfir ini juga dapat dilihat pada

Gambar 39 dan pada Lampiran 3. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa pada tahun 2008

nilai konsentrasi SOx di atmosfir 106,58 µg/ Nm3, namun pada saat dilakukan penelitian

meningkat menjadi 162,09 µg/ Nm3, dan dari hasil simulasi pada tahun 2016

konsentrasinya akan meningkat menjadi 326,03 µg/ Nm3. Terjadinya peningkatan SOx

di atmosfir dari tahun ke tahun juga disebabkan oleh semakin banyaknya masyarakat

dan kegiatan antropogenik terutama dari kegiatan pembakaran BBF yang dilakukan di

kota baru, sehingga dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, akan semakin

meningkatkan kegiatan antropogenik, maka semakin meningkat pula SOx di atmosfir.

117

2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:

1:

1:

100

250

400

1: emisiSOx

1

1

1

1

Gambar 39. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan kualitas udara ambien(µg/Nm3) parameter SOx

Kota besar merupakan kota yang mempunyai anekaragam kegiatan ekonomi yang

tercermin dari tingginya kegiatan antropogenik. Tingginya kegiatan antropogenik ini

mengakibatkan tingginya motorisasi, bahkan hasil penelitian Jraiw (2003) di negara

yang sedang berkembang seperti Indonesia menunjukkan bahwa laju motorisasi lebih

tinggi dari laju peningkatan penduduk. Oleh karena itu maka dapat dimengerti jika

kepadatan lalu lintas di kota besar terutama yang ada pada negara sedang berkembang

menyebabkan emisi karbon dan menghasilkan bahan pencemar udara yang luar biasa.

Oleh karena itu maka sumber pencemaran udara di negara berkembang 81 % -nya

berasal dari sektor transportasi. Hal ini juga ditunjukkan oleh terus bertambahnya laju

kemacetan di negara berkembang, juga di Kota Baru BSD yang merupakan lokasi

penelitian penulis. Oleh karena itu maka sangat wajar jika dari penelitian ini terlihat

adanya kenaikan bahan pencemar udara baik dilihat dari parameter NOx, COx maupun

SOx. Bahan-bahan pencemar tersebut cenderung akan naik terus pada masa-masa

mendatang seperti ditunjukan oleh hasil simulasi penelitian ini. Hal ini sesuai dengan

laporan WHO (2000) bahwa di pusat-pusat kota,dari proses pembakaran bahan bakar

fosil di dalam mesin kendaraan akan dihasilkan 95% CO, 70% NOx, 60% tembaga dan

50% hidrokarbon (HC). Kondisi ini tentu akan sangat mengganggu lingkungan

mengingat bahan-bahan tersebut termasuk ke dalam GRK yang nantinya akan

menyumbang terjadinya pemanasan global dan pada akhirnya akan mengakibatkan

terjadinya perubahan iklim global. Di lain pihak bahan-bahan tersebut juga jika tercuci

oleh air hujan akan mengakibatkan terjadinya hujan asam.

118

5.3.2. Submodel Ekonomi

Komponen-komponen yang saling berhubungan dalam sub model ekonomi pada

model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota baruadalah infrastruktur,

jumlah perumahan/rumah, jumlah industri, dan aktifitas ekonomi yang akan

berpengaruh terhadap komponen pendapatan kota baru. Adanya kegiatan-kegiatan

tersebut yang pada umumnya merupakan aktifitas ekonomi di kota baru, pada akhirnya

akan berpengaruh terhadap pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Tangerang Selatan.

Adapun sub model ekonomi dalam pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di Kota

Baru BSD dapat dilihat pada Gambar 40. Model pengelolaan lingkungan yang

berkelanjutan di kota baru khususnya sub model ekonomi tersebut selanjutnya

digambarkan dalam bentuk stock flow diagram (SFD) dapat dilihat lebih jelas pada

Gambar 41.

Gambar 40. Diagram sebab-akibat submodel ekonomi dalam pembangunan kota baruberkelanjutan

119

JasaPHRAngkKom

BankSewa

EkLain

PDRBAngKom PDRBPHRPDRBJasa

PDRBBankSewa

PDRBEkLain

PDRB Tangsel

PangsaJasa

PangsaPHRPangsaAngkKom

penduduk pekerja

PangsaBankSewa

PangsaEkLain

infrastrukfur

Jalan

Drainase

kerusakanperbaikan

biaya pekerja

kendaraan bermotor

roda duaroda empat

Gambar 41. Diagram stock-flow submodel ekonomi dalam pembangunan kota baruBerkelanjutan

Berdasarkan informasi yang dirilis oleh Pemerintah Daerah Tangerang Selatan

(2009), sektor ekonomi yang berkembang di Tangerang Selatan sebenarnya bukan

berasal dari kegiatan bisnis yang terdapat di dalamnya seperti dari industri, namun

berasal dari sektor ekonomi tersier. Dalam hal ini hampir 60% PDRB di Kabupaten

Tangerang Selatan disumbangkan oleh sektor pengangkutan, sektor komunikasi serta

sektor perdagangan, hotel dan restoran. Selanjutnya berasal dari sektor jasa (13%) dan

sektor bank, persewaan dan jasa perusahaan, dan sisanya adalah sektor ekonomi lain.

Adapun keterkaitan antara PDRB yang terdapat di Tangerang Selatan pada umumnya

dan di Kota Baru BSD pada umumnya dapat dilihat pada SFD.

Pada penelitian ini, untuk mendapat gambaran kondisi ekonomi kaitannya dengan

PDRB dan kegiatan yang menyumbang PDRB di Kota Baru BSD dibuat simulasinya

yang didasarkan pada data lima tahun sebelumnya. Simulasi yang disusun ke dalam

model, dilakukan interpretasi kondisi faktor ke dalam peubah model. Simulasi model

dilakukan melalui kajian data yang disusun, diketahui bahwa terdapat faktor-faktor yang

paling berpengaruh terhadap sub model ekonomi pada pengelolaan lingkungan yang

120

berkelanjutan di kota baru. Adapun sub model ekonomi mengenai kondisi di masa

datang secara keseluruhan disajikan pada Gambar 42.

Pada Gambar 42 dan Lampiran 3 terlihat kurva pertumbuhan pendapatan yang

diperoleh dari kegiatan transportasi dan komunikasi lebih tajam dibandingkan dengan

pendapatan dari hasil lainnya. Namun demikian kurva peningkatan pendapatan yang

berasal dari perdagangan dan hotel merupakan penyumbang PDRB ke dua, sedang

penyumbang PDRB ke tiga adalah dari sektor jasa, diikuti dari kegiatan bank sewa dan

terakhir dari kegiatan ekonomi lainnya.

2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.00

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

4:

4:

4:

5:

5:

5:

1500000

3500000

5500000

1000000

3000000

5000000

500000

2000000

3500000

500000

1500000

2500000

1: PDRBAngKom 2: PDRBPHR 3: PRDBJasa 4: PDRBBankSewa 5: PDRBEkLain

1

1

1

1

2

2

2

2

3

3

3

3

4

4

4

4

5

5

5

5

Gambar 42. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB (jutaan rupiah)

Pada Gambar 42 dan 43 terlihat bahwa PDRB yang berasal dari kegiatan

transportasi dan kegiatan telekomunikasi di lokasi penelitian. Hal ini juga terlihat lebih

jelas pada Lampiran 3 yang memperlihatkan terjadinya peningkatan PDRB dari

berbagai kegiatan yang ada di lokasi penelitian dari tahun ke tahun. Pada Lampiran 3

terlihat bahwa beban besarnya PDRB yang berasal dari kegiatan transportasi dan

telekomunikasi pada tahun 2008 jumlahnya mencapai Rp. 1.504.093.710.000,-. PDRB

pada saat dilaksanakan penelitian dari kegiatan transportasi dan tekomunikasi besarnya

mencapai Rp. 2.287.538.520.000,- dan dari hasil simulasi PDRB tahun 2016

diperkirakan akan mencapai Rp. 4.601.057.050.000,-.

121

2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:

1:

1:

1500000

3500000

5500000

1: PDRBAngKom

1

1

1

1

Gambar 43. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB dari kegiatan transportasidan komunikasi (jutaan rupiah)

Penyumbang ke dua terbesar PDRB Tangerang Selatan berasal dari sektor hotel

dan restoran (Gambar 44). Hal ini juga terlihat lebih jelas pada Lampiran 3 yang

memperlihatkan terjadinya peningkatan PDRB dari kegiatan hotel dan restoran yang ada

di lokasi penelitian dari tahun ke tahun. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa beban

besarnya PDRB yang berasal dari kegiatan hotel dan restoran pada tahun 2008

jumlahnya mencapai Rp. 1.344.914.560.000. PDRB pada saat dilaksanakan penelitian

dari kegiatan hotel dan restoran besarnya mencapai Rp. 2.045.446.920.000,- dan dari

hasil simulasi PDRB tahun 2016 diperkirakan bahwa PDRB dari kegiatan hotel dan

restoran akan melonjak secara tajam mencapai Rp. 4.114.124.370.000,-.

Penyumbang ke tiga terbesar PDRB Tangerang Selatan berasal dari sektor jasa

(Gambar 44). Hal ini juga terlihat lebih jelas pada Lampiran 5 yang memperlihatkan

terjadinya peningkatan PDRB dari kegiatan jasa yang ada di lokasi penelitian dari tahun

ke tahun. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa beban besarnya PDRB yang berasal dari

kegiatan jasa pada tahun 2008 jumlahnya relatif rendah yakni Rp. 924.479.450.000.

PDRB pada saat dilaksanakan penelitian dari kegiatan jasa besarnya mencapai Rp.

406.017.690.000,- dan dari hasil simulasi PDRB tahun 2016 diperkirakan bahwa PDRB

dari kegiatan jasa mencapai Rp. 2.828.003.790.000,-.

122

0:51 27 Okt 2011Page 1

2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.00

Years

1:

1:

1:

1000000

3000000

5000000

1: PDRBPHR

1

1

1

1

Gambar 44. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB perdagangan hotel danrestoran (jutaan rupiah)

2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:

1:

1:

500000

2000000

3500000

1: PDRBJasa

1

1

1

1

Gambar 45. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB jasa-jasa (jutaan rupiah)

Penyumbang PDRB Tangerang Selatan lainnya berasal dari sektor bank,

persewaan dan jasa perusahaan (Gambar 46). Hal ini juga terlihat lebih jelas pada

Lampiran 3 yang memperlihatkan terjadinya peningkatan PDRB dari kegiatan jasa yang

ada di lokasi penelitian dari tahun ke tahun. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa beban

besarnya PDRB yang berasal dari kegiatan jasa pada tahun 2008 jumlahnya relatif

rendah yakni Rp. 820.289.460.000. PDRB pada saat dilaksanakan penelitian dari

kegiatan jasa besarnya mencapai Rp. 1.247.557.740.000,- dan dari hasil simulasi PDRB

123

tahun 2016 diperkirakan bahwa PDRB dari kegiatan jasa mencapai Rp.

2.509.284.220.000,-.

0:50 27 Okt 2011Page 1

2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.00

Years

1:

1:

1:

500000

2000000

3500000

1: PDRBBankSewa

1

1

1

1

Gambar 46. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB bank, persewaan dan jasaperusahaan (jutaan rupiah)

Penyumbang PDRB Tangerang Selatan lainnya berasal dari sektor ekonomi

lainnya (Gambar 47). Hal ini juga terlihat lebih jelas pada Lampiran 3 yang

memperlihatkan terjadinya peningkatan PDRB dari kegiatan ekonomi lainnya yang ada

di lokasi penelitian dari tahun ke tahun. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa beban

besarnya PDRB yang berasal dari kegiatan ekonomi lainnya pada tahun 2008 jumlahnya

relatif rendah yakni Rp. 561.422.350.000. PDRB pada saat dilaksanakan penelitian

dari kegiatan ekonomi lainnya besarnya mencapai Rp. 853.853.220.000,- dan dari hasil

simulasi PDRB tahun 2016 diperkirakan bahwa PDRB dari kegiatan ekonomi lainnya

mencapai Rp. 1.717.403.810.000,-.

Pada kota baru, jalan merupakan salah satu infrastruktur terpenting sebagai salah

satu faktor daya tarik investasi di suatu daerah. Jalan kota Tangerang Selatan

berdasarkan kompilasi data untuk Penyusunan RTRW Kota Tangerang Selatan (2008)

memiliki total panjang 115,81 km dengan 70,36% dari panjang total tersebut dalam

kondisi baik, 18,37% dalam kondisi sedang dan 11,28% dalam kondisi rusak. Data ini

berbeda dengan data Dinas Pekerjaan Umum Kota Tangerang Selatan yang menyatakan

bahwa total panjang jalan kota adalah 137,773 km dan diperkirakan 5% rusak ringan,

5% rusak sedang dan 20% rusak berat. Berdasarkan kewenangannya, di Kota

124

Tangerang Selatan terdapat satu ruas jalan negara dengan panjang 9.160 km, kemudian

jalan provinsi sebanyak 12 ruas dengan panjang 48.900 km dan jalan kota sebanyak

1175 ruas dengan panjang 640.929 km. Total panjang jalan di Tangerang Selatan

adalah 698.989 km. Salah satu kondisi yang menyebabkan kemacetan adalah kerusakan

jalan serta proses perbaikan jalan. Perbaikan jalan yang tidak tuntas juga menjadi

penyebab kembali rusaknya jalan di Tangerang Selatan.

Gambar 47. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB sektor ekonomi lain(jutaan rupiah)

Seperti halnya di kota-kota besar dan pada kota satelit lainnya, di kawasan

Tangerang Selatan juga terdapat titik-titik rawan kemacetan. Titik rawan kemacetan

utama di Tangerang Selatan terdapat pada 12 titik yang umumnya terdapat pada sekitar

persimpangan jalan atau pasar. Stasiun kereta rel listrik (KRL) berjumlah lima buah

dan tersebar di tiga kecamatan yaitu Serpong, Ciputat dan Ciputat Timur. Titik rawan

kemacetan dan titik lokasi stasiun KRL didapatkan dari Kompilasi Data untuk

Penyusunan RTRW Kota Tangerang Selatan (2008). Di lokasi penelitian terdapat tiga

buah yaitu Sungai Cisadane, Angke dan Pasanggrahan sepanjang 178 kilometer.

Sementara untuk anak sungai sebanyak sembilan buah dengan panjang 38,5 kilometer.

Mengingat di Tangerang Selatan sektor transportasi dan telekomunikasi merupakan

kegiatan yang menyumbang PDRB paling tinggi, maka pada penelitian ini juga dilihat

simulasi pada sub model ekonomi berdasarkan infrastruktur, total panjang jalan seperti

terlihat pada Gambar 48, serta berdasarkan kerusakan jalan. Berdasarkan infrastruktur

0:51 27 Okt 2011Page 1

2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.00

Years

1:

1:

1:

500000

1500000

2500000

1: PDRBEkLain

1

1

1

1

125

dan total panjang jalan terlihat bahwa PDRB akan dibantu meningkat apabila

perumbuhan infrastrukturnya meningkat dan jalan yang dibangun semakin banyak.

Namun demikian apabila jalannya rusak, maka dapat berakibat pada

menurunnya PDRB, karena kerusakan jalan sangat besar pengaruhnya pada kemacetan

lalulintas dan lamanya daya tempuh perjalanan. Oleh karena itu maka pada penelitian

ini juga dilihat simulasi kerusakan jalan dengan maka persentase tambahan biaya

transportasi yang dikeluarkan oleh pekerja akibat kerusakan jalan seperti yang

tercantum pada Gambar 49. Adapun besarnya persentase tambahan biaya transportasi

yang dikeluarkan oleh pekerja akibat kerusakan jalan dapat dilihat pada Gambar 50.

Seiring dengan waktu dan relatif murahnya kendaraan dan baiknya akses jalan, maka

akan terjadi peningkatan jumlah kendaraan baik yang roda dua maupun kendaraan roda

empat. Untuk lebih jelasnya simulasi pertumbuhan kendaraan roda dua dan roda empat

dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 51 dan Lampiran 3.

2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:

1:

1:

700

702

704

1: Jalan

1

1

1

1

Gambar 48. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan infrastruktur, total panjang jalan(km)

126

23:14 31 Okt 2011Page 1

2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.00

Years

1:

1:

1:

29

30

31

1: kerusakan jalan

1

1

1

1

Gambar 49. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan infrastruktur (persentasekerusakan jalan)

2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:

1:

1:

5

6

6

1: biay a tambahan transport

1

1

1

1

Gambar 50. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan persentase tambahan biayatransportasi yang dikeluarkan oleh pekerja akibat kerusakan jalan.

127

15:57 31 Okt 2011Page 1

2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.00

Years

1:

1:

1:

2:

2:

2:

17500

19500

21500

10000

25000

40000

1: roda empat 2: roda dua

1

1

1

1

2

2

2

2

Gambar 51. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan jumlah kendaraan roda dua danroda empat

Berdasarkan pemodelan yang dibuat, kondisi jalan (panjang total) adalah tetap,

sedangkan kerusakan dan perbaikan jalan selalu dilakukan sehingga berpotensi

meningkatkan kemacetan jalan yang akan dilintasi oleh pekerja yang sebagian besar

komuter, yakni tinggal di kawasan Tangerang Selatan tetapi berkerja di wilayah utama

yakni DKI Jakarta. Adanya kemacetan tersebut akan meningkatkan biaya konsumsi

bahan bakar yang berakibat pada peningkatan biaya transportasi serta meningkatkan

buangan gas (COx, NOx dan SOx) yang sifatnya akan merusak lingkungan. Hal ini akan

semakin diperparah oleh tingginya pertumbuhan pembelian kendaraan bermotor baik

roda empat maupun roda dua, yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan/pembuatan

jalan di Tangerang Selatan. Tingkat pertumbuhan sepeda motor adalah yang paling

tinggi. Hal ini merupakan salah satu penyebab tingginya tingkat kecelakaan yang

terutama disebabkan oleh rendahnya tingkat kedisiplinan pengendara sepeda motor,

ditambah lagi dengan rendahnya tingkat kedisiplinan pengendara moda kendaraan lain

seperti truk, mobil pribadi, dan angkutan umum.

5.3.3. Submodel Sosial

Submodel sosial dalam model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota

baru, merupakan bagian pemodelan untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel dalam

model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota baru terhadap keberlanjutan

sistem. Pengaruh variabel-variabel tersebut terhadap sistem tersebut disajikan dalam

diagram sebab akibat (causal loop) pada Gambar 52. Pada Gambar 52 terlihat bahwa

128

pertumbuhan penduduk, pendidikan dan penduduk komuter akan mempengaruhi

penduduk kota baru, selanjutnya sub model sosial ini digambarkan dalam bentuk stock

flow diagram (SFD) (Gambar 53).

Gambar 52. Diagram sebab-akibat submodel sosial dalam pembangunan kota baruberkelanjutan

penduduk pekerja

infrastrukfur

pengurangan

Populasi Tangsel

pertumbuhan

fraksi pertumbuhan fraksi pengurangan

jumlah rumah

pendidikan

kesadaran lingkungan %

IPAL diperlukan

kepedulian lingkungan %

penduduk komuter

Gambar 53. Diagram stock-flow submodel sosial dalam pembangunan kota baruberkelanjutan

129

Pada Gambar 52 dan 53 terlihat bahwa berdasarkan diagram alir sub model sosial

di atas, terlihat bahwa pengurangan dan penambahan populasi berdampak pada

pertumbuhan penduduk kota baru. Penduduk komuter juga akan mempengaruhi

penduduk kota baru, dalam hal ini jika semua fasilitas komuter baik, diduga dapat

meningkatkan penduduk kota baru dan sebaliknya. Selain hal itu pendidikan penduduk

kota baru juga akan mempengaruhi kesadaran penduduk itu sendiri terhadap kesadaran

lingkungan. Dalam hal ini semakin tinggi tingkat pendidikannya, maka kecenderungan

kesadaran lingkungannya akan semakin meningkat, sehingga bukan tidak mungkin

masyarakat sendiri yang akan meminta kota baru untuk melestarikan lingkungannya

secara lebih baik lagi, misalnya dengan cara melakukan pembangunan IPAL untuk

limbah cair bagi berbagai kegiatan antropogenik, sehinggapada akhirnyaakan

berdampak positif pada penduduk kota baru itu sendiri. Hal ini sesuai dengan teori

Kuznet yang mengatakan bahwa semakin meningkat kesejahteraan, semakin tinggi

kepeduliannya terhadap lingkungan.

Adapun populasi Tangerang Selatan berdasarkan hasil simulasi, penduduk usia

kerja, jumlah rumah dan penduduk komuter mulai tahun 2008 hingga tahun 2016 dapat

dilihat pada Gambar 54. Pada sub model sosial berdasarkan jumlah penduduk, besarnya

peningkatan populasi Tangerang Selatan dari tahun ke tahun juga dapat dilihat pada

Gambar 55 dan pada Lampiran 3 yakni pada tahun 2008 besarnya populasi Tangerang

Selatan 918.783 orang, namun pada saat dilakukan penelitian meningkat menjadi

1.397.354 dan pada tahun 2016 diperkirakan menjadi 2.810.578 orang.

Pada sub model sosial berdasarkan simulasi jumlah penduduk usia kerja (15-65

tahun), besarnya peningkatan penduduk usia kerja diTangerang Selatan dari tahun ke

tahun juga dapat dilihat pada Gambar 55 dan pada Lampiran 3 yakni pada tahun 2008

besarnya penduduk usia kerja (15-65)Tangerang Selatan 459.392 orang, yakni

setengahnya dari jumlah populasi yang ada di Tangerang Selatan. Pada saat dilakukan

penelitian meningkat menjadi 698.677 orang dan pada tahun 2016 diperkirakan

menjadi 1.405.289 orang.

Pada submodel sosial berdasarkan simulasi jumlah rumah, besarnya peningkatan

jumlah rumah di Tangerang Selatan dari tahun ke tahun juga dapat dilihat pada Gambar

57 dan pada Lampiran 3 yakni pada tahun 2008 jumlah rumah di Tangerang Selatan

130

321.574 rumah. Pada saat dilakukan penelitian meningkat menjadi 489.074 rumah dan

pada tahun 2016 diperkirakan menjadi 983.702 rumah.

17:52 30 Okt 2011Page 1

2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.00

Years

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

4:

4:

4:

500000

2000000

3500000

450000

950000

1450000

300000

650000

1000000

300000

700000

1100000

1: Populasi Tangsel 2: penduduk pekerja 3: jumlah rumah 4: penduduk commuter

1

1

1

1

2

2

2

2

3

3

3

3

4

4

4

4

Gambar 54. Simulasi submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk dan pendudukusia kerja (15-65), jumlah rumah serta penduduk komuter

0:53 27 Okt 2011Page 1

2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.00

Years

1:

1:

1:

500000

2000000

3500000

1: Populasi Tangsel

1

1

1

1

Gambar 55. Simulasi submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk

131

2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:

1:

1:

450000

950000

1450000

1: penduduk pekerja

1

1

1

1

Gambar 56. Simulasi submodel sosial berdasarkan penduduk usia kerja (15-65)

2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:

1:

1:

300000

650000

1000000

1: jumlah rumah

1

1

1

1

Gambar 57. Simulasi submodel sosial berdasarkan jumlah rumah

Pada submodel sosial berdasarkan simulasi jumlah penduduk yang commuter,

besarnya peningkatan jumlah penduduk yang komuter di Tangerang Selatan dari tahun

ke tahun juga dapat dilihat pada Gambar 58 dan pada Lampiran 3 yakni pada tahun

2008 besarnya jumlah penduduk yang komuter Tangerang Selatan 328.465 orang, yakni

jumlahnya mencapai 2/3 dari dari jumlah penduduk usia kerja yang ada di Tangerang

Selatan. Pada saat dilakukan penelitian meningkat menjadi 499.554 orang dan pada

tahun 2016 diperkirakan menjadi 1.004.782 orang yakni mencapai tiga kali lipat dari

tahun 2008.

132

17:52 30 Okt 2011Page 1

2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.00

Years

1:

1:

1:

300000

700000

1100000

1: penduduk commuter

1

1

1

1

Gambar 58. Simulasi submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk yang komuter

5.3.4. Validitas Model

Seperti dijelaskan di atas bahwa validasi model dalam sistem dinamik dapat

dilakukan atas dua yaitu validasi struktur model dan validasi kinerja model.

(1). Validasi Struktur Model

Validitas atau keabsahan merupakan kriteria penilaian keobyektifan dari suatu

pekerjaan ilmiah yang dalam pemodelan ditunjukkan dari sejauhmana model dapat

menirukan fakta. Validasi model ini akan dapat menyimpulkan apakah model dari

sistem yang dibangun merupakan perwakilan yang sah dari realitas yang dikaji sehingga

dapat menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan (Eriyatno, 1999). Dalam pemodelan,

hasil simulasi adalah perilaku variabel yang diinteraksikan dengan bantuan komputer.

Tampilan perilaku variabel tersebut dapat bersifat terukur yang disusun menjadi data

simulasi dan bersifat tidak terukur yang disusun menjadi pola simulasi. Keserupaan

dunia model dengan dunia nyata ditunjukkan dari sejauhmana data simulasi dan pola

simulasi dapat menirukan data statistik dan informasi aktual. Adapun proses melihat

keserupaan tersebut dikenal sebagai validasi output atau kinerja model.

Validasi struktur model merupakan proses validasi utama dalam berpikir sistem.

Pada saat melakukan perancangan dan justifikasi, pembuat model dituntut untuk

mengumpulkan informasi sebanyak mungkin atas sistem yang menjadi obyek penelitian.

Informasi ini dapat berupa pengalaman dan pengetahuan dari orang yang memahami

133

mekanisme kerja pada sistem atau berasal dari studi literatur. Pada proses ini bertujuan

untuk melihat sejauh mana keserupaan struktur model mendekati struktur nyata, karena

pada uji kesesuaian struktur dilakukan untuk menguji apakah struktur model tidak

berlawanan dengan pengetahuan yang ada tentang struktur dari sistem nyata dan apakah

struktur utama dari sistem nyata telah dimodelkan (Sushil, 1993). Hal ini akan

meningkatkan tingkat kepercayaan atas ketepatan dari struktur model.

(2). Validasi Kinerja/Output Model

Validasi perilaku model dilakukan dengan membandingkan antara besar dan sifat

kesalahan dapat digunakan: 1) Absolute Mean Error (AME) adalah penyimpangan

(selisih) antara nilai rata-rata (mean) hasil simulasi terhadap nilai aktual, 2) Absolute

Variation Error (AVE) adalah penyimpangan nilai variasi (variance) simulasi terhadap

aktual.

a. Sub Model Lingkungan

Pada validasi dari sub model lingkungan, dibagi lagi menjadi dua, yakni validasi

untuk lingkungan perairan yang dilihat dari beban pencemaran perairan diwilayah yang

dikaji, dengan hasil validasi dapat dilihat pada Tabel 16. Hasil uji menunjukkan bahwa

keluaran model pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD, untuk sub model lingkungan

pada perairan memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) untuk beban pencemaran

BOD menyimpang 0,167% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar

0,5%. Pada sub model lingkungan di perairanuntuk beban pencemaran CODmemiliki

nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.0625% dan Absolute Variation Error

(AVE) menyimpang sebesar 0.125%. Pada sub model lingkungan di perairanuntuk

beban pencemaran NO3 memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang

0.0526% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 0.632%. Pada sub

model lingkungan di perairan untuk beban pencemaran PO4 memiliki nilai Absolute

Mean Error (AME) menyimpang 0.0426% dan Absolute Variation Error (AVE)

menyimpang sebesar 0.462%. Nilai validasi dari sub model lingkungan, dilihat dari

beban pencemaran perairan total diwilayah yang dikaji memiliki nilai Absolute Mean

Error (AME) menyimpang 0.0426% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang

sebesar 0.461%. Adapun validasi kinerja model untuk pencemaran air yang dilihat dari

beban pencemarannya dapat dilihat pada Tabel 16 .

134

Hasil uji menunjukkan bahwa keluaran model pengelolaan lingkungan Kota Baru

BSD, untuk sub model lingkungan pada pencemaran udara, pencemaran COx memiliki

nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.03% dan Absolute Variation Error

(AVE) menyimpang sebesar 0.07%. Khusus untuk sub model lingkungan pada

pencemaran udara, pencemaran SOx memiliki nilai Absolute Mean Error (AME)

menyimpang 0.02% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 0.81%.

Pada pencemaran udara, pencemaran NOx memiliki nilai Absolute Mean Error (AME)

menyimpang 0.06% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 4.25%.

Nilai validasi dari sub model lingkungan, dilihat dari pencemaran udara total di wilayah

yang dikaji memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.06% dan

Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 4.25%. Adapun validasi kinerja

model untuk pencemaran air yang dilihat dari beban pencemarannya dapat dilihat pada

Tabel 17 dan Tabel 18.

Pada validasi dari sub model ekonomi, dibagi lagi menjadi dua, yakni validasi

untuk ekonomi lingkungan yang dilihat dari PDRB dari angkutan umum dan

telekomunikasi, perdagangan, hotel dan restoran serta jasa di wilayah yang dikaji, dan

dilihat berdasarkan PDRB dari bank sewa dan ekonomi lain, dengan hasil validasi dapat

dilihat pada Tabel 19 dan Tabel 20. Khusus untuk sub model ekonomi pada PDRB dari

angkutan umum dan telekomunikasi, perdagangan, hotel dan restoran serta jasamemiliki

nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.01% dan Absolute Variation Error

(AVE) menyimpang sebesar 0.97%. Adapun nilai total PDRB dari PDRB dari

angkutan umum dan telekomunikasi, perdagangan, hotel dan restoran serta jasa

memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.06% dan Absolute Variation

Error (AVE) menyimpang 0.76%

Pada sub model ekonomi pada PDRB dari bank sewa memiliki nilai Absolute

Mean Error (AME) menyimpang 0.05% dan Absolute Variation Error (AVE)

menyimpang sebesar 0.50%. Pada sub model ekonomi pada PDRB dari ekonomi lain

memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0% dan Absolute Variation

Error (AVE) menyimpang sebesar 0.33%. Adapun nilai total PDRB dari bank sewa

dan ekonomi lain memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.04% dan

Absolute Variation Error (AVE)menyimpang 0.07%. Adapun validasi kinerja model

untuk ekonomi dapat dilihat pada Tabel 19 dan Tabel 20.

135

Pada sub model sosial pada jumlah penduduk memiliki nilai Absolute Mean

Error (AME) menyimpang 0.0149% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang

sebesar 0.343%. Pada sub model sosial pada usia kerja memiliki nilai Absolute Mean

Error (AME) menyimpang 0.0429% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang

sebesar 0.195%. Adapun untuk jumlah rumah memiliki nilai Absolute Mean Error

(AME) menyimpang 0.0103% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang

0.377%. Adapun validasi kinerja model untuk ekonomi dapat dilihat pada Tabel 20.

136

Tabel 16. Validasi submodel lingkungan, beban pencemaran pada air

Tahun

Beban (Ton/hari)

BOD COD NO3 PO4

Aktual Simulasi Aktual Simulasi Aktual Simulasi Aktual Simulasi

2008 5.32 6.17 14.36 14.41 0.04 0.05 0.14 0.142009 6.88 7.13 15.95 16.95 0.06 0.07 0.15 0.162010 8.76 8.25 19.93 19.93 0.09 0.08 0.18 0.19

Mean 6.986666667 7.183333333 16.74666667 17.09666667 0.063333333 0.066666667 0.156666667 0.163333333AME 0.166666667 0.0625 0.052631579 0.042553191Varian 2.966933333 1.083733333 8.232233333 7.633733333 0.000633333 0.000233333 0.000433333 0.000633333AVE 0.5 0.125 0.631578947 0.461538462

Tabel 17. Validasi submodel lingkungan, pencemaran pada udara

Tahun

Udara Ambien (µg/ Nm3)

COx SOx NOx

Aktual Simulasi Aktual Simulasi Aktual Simulasi

2008 2021 2,316.96 105 106.58 44 53.382009 2594 2,664.49 113 122.57 67 61.382010 2980 3,064.15 155 140.95 71 70.57

Mean 2787.00 2864.32 134.00 131.76 69.00 65.98AME 0.03 0.02 0.06Varian 74498.00 79864.06 882.00 168.91 8.00 42.23AVE 0.07 0.81 4.25

136

137

Tabel 18. Validasi submodel ekonomi, PDRB dari angkutan umum dan telekomunikasi, perdagangan, hotel dan restoran serta jasa

Tahun

Produk Domestik Regional Bruto (Juta Rupiah)

Angkutan & Komunikasi PHR Jasa

Aktual Simulasi Aktual Simulasi Aktual Simulasi

2008 1,508,827.17 1,504,093.71 1,496,249.28 1,344,914.56 908,703.88 924,479.452009 1,795,403.91 1,729,707.77 1,586,935.03 1,546,651.74 1,013,260.29 1,063,151.372010 1,980,050.97 1,989,163.93 1,786,129.34 1,778,649.50 1,133,417.77 1,222,624.08

Mean 1,887,727.44 1,859,435.85 1,686,532.18 1,662,650.62 1,073,339.03 1,142,887.73AME 0.01 0.01 0.06Varian 17047267171.65 33658749480.97 19839186837.07 26911480322.51 7218909460.34 12715772617.37AVE 0.97 0.36 0.76

Tabel 19. Validasi submodel ekonomi, PDRB dari bank sewa dan ekonomi lain

Tahun

Produk Domestik Regional Bruto (Juta Rupiah)

Bank Sewa Ekonomi Lain Total

Aktual Simulasi Aktual Simulasi Aktual Simulasi

2008 831,165.50 820,289.46 526,917.33 561,422.35 5,275,215.92 5,155,199.532009 869,902.65 943,332.88 636,658.83 645,635.70 5,710,165.72 5,928,479.462010 1,070,088.81 1,084,832.81 755,009.61 742,481.06 6,568,208.87 6,817,751.38

Mean 969,995.73 1,014,082.85 695,834.22 694,058.38 6,139,187.29 6,373,115.42AME 0.05 0.00 0.04Varian 20037249909.87 10011115095.00 7003453533.47 4689511876.76 368119026353.00 395402273850.25AVE 0.50 0.33 0.07

137

138

Tabel 20. Submodel sosial

Tahun

Penduduk

Jumlah Usia Kerja Jumlah Rumah

Aktual Simulasi Aktual Simulasi Aktual Simulasi

2008 918,783 918,783 448,816 459,392 315,688 321,5742009 1,055,215 1,056,600 500,434 528,300 366,548 369,8102010 1,250,780 1,215,091 588,737 607,545 436,843 425,282

Mean 1,152,997 1,135,846 544,586 567,923 401,696 397,546AME 0.014876014 0.042852815 0.010328732Varian 19,122,844,430 12,559,698,541 3,898,778,891 3,139,885,013 2,470,722,978 1,538,571,392AVE 0.34320971 0.194649119 0.377278875

138

139

5.3.5. Skenario

Berdasarkan hasil analisis tersebut di atas, pada penelitian ini dibuat

skenario dan simulasinya. Skenario yang diambil di sini berupa empat alternatif

kebijakan yang diikuti dengan pelaksanaan serta pengawasan yang tepat yaitu :

1. Alternatif kebijakan untuk tidak mengadakan perubahan (skenario do

nothing)

Alternatif ini diambil sebagai pembanding dalam pengambilan alternatif

kebijakan lainnya, juga sebagai alternatif kebijakan apabila kebijakan

lainnya kenyataannya tidak lebih baik dari yang sudah ada sekarang.

Dalam pemilihan alternatif kebijakan ini tidak ada perubahan parameter

yang dilakukan

2. Alternatif kebijakan berupa kombinasi dari

a. Lingkungan: pembuatan instalasi pengolahan air limbah (tingkat

pertumbuhan 3%) dan penggunaan katalisator pada tiap

kendaraan yang ada di Kota Tangerang Selatan. Uji emisi gas

buang kendaraan dilakukan secara periodik dan konsisten

sehingga diharapkan emisi gas buang kendaraan berkurang lebih

dari 20%

b. Ekonomi: peningkatan kapasitas insfrastrutur jalan, dengan

menambah panjang jalan, membuat jalan alternatif atau

memperlebar jalan sehingga diperoleh peningkatan kapasitas

jaringan jalan secara periodik. Tingkat perbaikan jalan rusak

bertambah 10%.

c. Sosial: pengendalian pertumbuhan penduduk dengan

pemantapan program keluarga berencana.

3. Alternatif kebijakan berupa kombinasi dari

a. Lingkungan: pembuatan instalasi pengolahan air limbah (tingkat

pertumbuhan 5%) dan penggunaan katalisator pada tiap

kendaraan yang ada di Kota Tangerang Selatan. Uji emisi gas

buang kendaraan dilakukan secara periodik dan konsisten

140

sehingga diharapkan emisi gas buang kendaraan berkurang lebih

dari 40%

b. Ekonomi: pembatasan umur kendaraan pribadi dan peningkatan

kapasitas insfrastrutur jalan, dengan menambah panjang jalan,

membuat jalan alternatif atau memperlebar jalan sehingga

diperoleh peningkatan kapasitas jaringan jalan secara periodik.

Tingkat perbaikan jalan rusak bertambah 20%.

c. Sosial: pengendalian pertumbuhan penduduk dengan

pemantapan program keluarga berencana diiringi dengan

pembuatan kebijakan daerah tentang urbanisasi.

4. Alternatif kebijakan berupa kombinasi dari

a. Lingkungan: pembuatan instalasi pengolahan air limbah (tingkat

pertumbuhan 7%) dan penggunaan katalisator pada tiap

kendaraan yang ada di Kota Tangerang Selatan. Uji emisi gas

buang kendaraan dilakukan secara periodik dan konsisten

sehingga diharapkan emisi gas buang kendaraan berkurang lebih

dari 50%

b. Ekonomi: pembatasan umur kendaraan pribadi dan peningkatan

kapasitas insfrastrutur jalan, dengan menambah panjang jalan,

membuat jalan alternatif atau memperlebar jalan sehingga

diperoleh peningkatan kapasitas jaringan jalan secara periodik.

Tingkat perbaikan jalan rusak bertambah 30%. Pada kebijakan

ini juga Kebijakan peningkatan pajak kendaraan pribadi

c. Sosial: pengendalian pertumbuhan penduduk dengan

pemantapan program keluarga berencana diiringi dengan

pembuatan kebijakan daerah tentang urbanisasi. Kebijakan

tambahan untuk pembangunan pemukiman terpadu sehat

Adapun hasil simulasi dari setiap skenario tersebut dapat dilihat pada

Gambar 59 sampai dengan Gambar 78 dan pada Lampiran 5.

141

Simulasi skenario submodel lingkungan

Pada penelitian ini dibuat simulasi dari skenario submodel lingkungan

yang terdiri dari kualitas air dan kualitas udara.

Kualitas Air

Hasil simulasi skenario 1, 2, 3, dan 4 tentang beban COD dapat dilihat

pada Gambar 59. Pada Gambar 59 terlihat trend penurunan COD pada skenario 2,

3 dan 4. Adapun skenario terbaik (optimis) terjadi pada skenario 4 yang

menghasilkan penurunan COD yang sangat signifikan.

Gambar 59. Beban pencemaran COD (ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4

Beban pencemaran BOD (ton/hari)

Hasil simulasi skenario 1, 2, 3, dan 4 tentang beban BOD dapat dilihat

pada Gambar 60. Pada Gambar 60 terlihat trend penurunan BOD pada skenario 2,

3 dan 4. Adapun skenario terbaik (optimis) terjadi pada skenario 4 yang

menghasilkan penurunan BOD yang sangat signifikan, sehingga akan sangat

mengurangi pencemaran bahan organik.

142

Gambar 60. Beban pencemaran BOD (ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4

Beban pencemaran NO3 (ton/hari)

Hasil simulasi skenario 1, 2, 3, dan 4 tentang beban NO3 dapat dilihat pada

Gambar 61. Pada Gambar 61 terlihat trend penurunan NO3 pada skenario 2, 3 dan

4. Adapun skenario terbaik (optimis) terjadi pada skenario 4 yang menghasilkan

penurunan NO3 yang sangat signifikan, sehingga akan sangat mengurangi

pencemaran bahan organik yang dapat menyuburkan perairan kelewat subur,

seperti terjadinya blooming plankton

Gambar 61. Beban pencemaran NO3 (ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4

143

Beban pencemaran PO4 (ton/hari)

Hasil simulasi skenario 1, 2, 3, dan 4 tentang beban PO4 dapat dilihat pada

Gambar 62. Pada Gambar 62 terlihat trend penurunan PO4 pada skenario 2, 3 dan

4. Adapun skenario terbaik (optimis) terjadi pada skenario 4 yang menghasilkan

penurunan PO4 yang sangat signifikan, sehingga akan sangat mengurangi

pencemaran bahan organik yang dapat menyuburkan perairan dan mengurangi

adanya faktor pembatas akibat unsur phosphor yang meningkat.

Gambar 62. Beban pencemaran PO4 (ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4

Kualitas Udara

Pada penelitian ini juga dilakukan simulasi terhadap kualitas udara pada

skenario 1, 2, 3 dan 4. Sebagai contoh hasil simulasi skenario 1, 2, 3, dan 4

tentang emisi COx (µg/ Nm3) dapat dilihat pada Gambar 63. Pada Gambar 63

terlihat trend penurunan COx pada skenario 2, 3 dan 4. Adapun skenario terbaik

(optimis) terjadi pada skenario 4 yang menghasilkan penurunan COx yang sangat

signifikan, sehingga akan sangat mengurangi pencemaran udara, sekaligus akan

menyumbang gas rumah kaca yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan

iklim global.

144

Gambar 63. Emisi COx (µg/Nm3) skenario 1, 2, 3 dan 4

Emisi NOx (µg/ Nm3)

Hasil simulasi skenario 1, 2, 3, dan 4 tentang emisi NOx (µg/Nm3) dapat

dilihat pada Gambar 64. Pada Gambar 64 terlihat trend penurunan COx pada

skenario 2, 3 dan 4. Adapun skenario terbaik (optimis) terjadi pada skenario 4

yang menghasilkan penurunan NOx yang sangat signifikan, sehingga akan sangat

mengurangi pencemaran udara, sekaligus akan menyumbang gas rumah kaca yang

dapat mengakibatkan terjadinya perubahan iklim global.

Gambar 64. Emisi NOx (µg/Nm3) skenario 1, 2, 3 dan 4

145

Emisi SOx (µg/Nm3)

Hasil simulasi skenario 1, 2, 3, dan 4 tentang emisi SOx (µg/Nm3) dapat

dilihat pada Gambar 65. Pada Gambar 65 terlihat trend penurunan SOx pada

skenario 2, 3 dan 4. Adapun skenario terbaik (optimis) terjadi pada skenario 4

yang menghasilkan penurunan SOx yang sangat signifikan, sehingga akan sangat

mengurangi pencemaran udara, sekaligus akan menyumbang gas rumah kaca yang

dapat mengakibatkan terjadinya perubahan iklim global.

Gambar 65. Emisi SOx (µg/Nm3) skenario 1, 2, 3 dan 4

Simulasi skenario submodel ekonomi

Pada penelitian ini juga dilakukan simulasi terhadap sub model ekonomi

pada skenario 1, 2, 3 dan 4. Sebagai contoh hasil simulasi skenario 1, 2, 3, dan 4

dapat dilihat pada Gambar 66. Pada Gambar 66 terlihat trend peningkatan PDRB

pengangkutan dan komunikasi pada skenario 2, 3 dan 4. Adapun skenario terbaik

(optimis) terjadi pada skenario 4 yang menghasilkan PDRB pengangkutan dan

komunikasi yang meningkat secara sangat signifikan, sehingga akan sangat

membantu meningkatkan PDRB Kota Tangsel. Kondisi yang sama juga terjadi

kegiatan ekonomi lainnya seperti yang tersaji pada Gambar 66-70.

146

Gambar 66. Sub model ekonomi dari kegiatan pengangkutan dankomunikasi skenario 1, 2, 3 dan 4

Gambar 67. Submodel ekonomi dari kegiatan perdagangan hotel danRestoran skenario 1, 2, 3 dan 4

PDRB Jasa : jasa-jasa

Di Kota Tangerang Selatan, selain terdapat kegiatan ekonomi seperti

tersebut di atas, juga terdapat penelirimaan PDRB yang berasal dari bidang jasa

yang hasil simulasi skenario 1, 2, 3 dan 4 nya seperti ditunjukan oleh Gambar 68.

Selain itu PDRB juga dapat berasal dari bank, persewaan dan jasa perusahaan

147

(Gambar 69) serta dari kegiatan ekonomi lainnya yang skenarionya dapat dilihat

pada Gambar 70.

Gambar 68. Submodel ekonomi dari kegiatan jasa skenario 1, 2, 3 dan 4

Gambar 69. Submodel ekonomi dari kegiatan bank, persewaan dan jasaperusahaan skenario 1, 2, 3 dan 4

148

Gambar 70. Submodel ekonomi dari kegiatan ekonomi lain skenario 1, 2, 3 dan 4

Infrastruktur, total panjang jalan (km)

Hasil simulasi skenario 1, 2, 3 dan 4 dalam hal infrastruktur panjang jalan

dari tahun 2008 hingga 2016 dapat dilihat pada Gambar 71, sedangkan simulasi

kerusakan jalannya dapat dilihat pada Gambar 72.

Gambar 71. Infrastruktur jalan skenario 1, 2, 3 dan 4

149

Gambar 72. Infrastruktur kerusakan jalan skenario 1, 2, 3 dan 4

Adapun hasil simulasi persentase tambahan biaya transportasi yang

dikeluarkan oleh pekerja akibat kerusakan jalan dengan skenario 1, 2, 3 dan 4

tersaji pada Gambar 73.

Gambar 73. Persentase tambahan biaya transportasi yang dikeluarkan olehpekerja akibat kerusakan jalan skenario 1, 2, 3 dan 4

Hasil simulasi jumlah kendaraan roda dua pada skenario 1, 2, 3 dan 4

dapat dilihat pada Gambar 74. Pada simulasi tersebut terlihat bahwa baik pada

skenario 1, 2, 3, dan 4 akan terjadi kenaikan kendaraan roda dua, namun dengan

kecepatan peningkatan yang berbeda-beda antar skenario.

150

Gambar 74. Jumlah kendaraan roda dua, skenario 1, 2, 3 dan 4

Hasil simulasi jumlah kendaraan roda empat pada skenario 1, 2, 3 dan 4

dapat dilihat pada Gambar 75. Pada simulasi tersebut terlihat bahwa baik pada

skenario 1, 2, 3, dan 4 akan terjadi kondisi yang sama dengan pada kendaraan

roda dua, namun dengan kecepatan peningkatan yang berbeda-beda antar skenario.

jumlah kendaraan roda empat, namun dengan kecepatan peningkatan yang

berbeda-beda antar skenario. Selain itu kenaikan jumlah kendaraan roda empat

lebih rendah dibanding roda dua.

Gambar 75. Jumlah kendaraan roda empat, skenario 1, 2, 3 dan 4

151

Simulasi skenario submodel sosial

Hasil simulasi terhadap jumlah penduduk pada skenario 1, 2, 3 dan 4 dapat

dilihat pada Gambar 76.

Gambar 76. Skenario sub model sosial berdasarkan jumlah penduduk, skenario1, 2, 3 dan 4

Hasil simulasi terhadap jumlah rumah pada skenario 1, 2, 3 dan 4 dapat

dilihat pada Gambar 77. Pada simulasi tersebut terlihat bahwa baik pada skenario

1, 2, 3, dan 4 akan terjadi kondisi yang sama dengan pada simulasi lainnya yakni

akan terjadi peningkatan jumlah rumah seiring dengan meningkatnya jumlah

penduduk, namun dengan kecepatan peningkatan yang berbeda-beda antar

skenario.

Hasil simulasi terhadap jumlah penduduk komuter pada skenario 1, 2, 3

dan 4 dapat dilihat pada Gambar 78. Pada simulasi tersebut terlihat bahwa baik

pada skenario 1, 2, 3, dan 4 akan terjadi kondisi yang sama dengan pada simulasi

lainnya yakni akan terjadi peningkatan jumlah jumlah penduduk komuter seiring

dengan meningkatnya jumlah penduduk di Tangerang Selatan, namun dengan

kecepatan peningkatan yang berbeda-beda antar skenario.

152

Gambar 77. Skenario submodel sosial berdasarkan jumlah rumah, skenario 1, 2,3 dan 4

Gambar 78. Skenario submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk komuter,skenario 1, 2, 3 dan 4

Berdasarkan skenario yang dibangun seperti tersebut di atas, idealnya

skenario yang sebaiknya diimplementasikan adalah skenario ke 3 yakni

melakukan pembuatan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dengan tingkat

pertumbuhan 5%. Pada dasarnya pertumbuhan instalasi pengolah air limbah

sebanyak 5% didasarkan pada hasil penelitian Sitepu (2009) yang mengatakan

bahwa kawasan permukiman umumnya belum mempunyai IPAL dan penelitian

Napitupulu (2009) yang mengatakan bahwa setelah ada undang-undang yang

mengatur pencemaran, ternyata pertumbuhan IPAL hanya kurang dari 5%.

153

Nilai tingkat pertumbuhan IPAL 5% masih dimungkinkan untuk terjadi,

mengingat kesadaran masyarakat dengan semakin baik dengan semakin

meningkatnya kesejahteraan. Hal ini sesuai dengan Teori Kuznet yang

mengatakan bahwa semakin makmur, kesadaran terhadap lingkungan semakin

meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Iwami (2001); Bartz dan Kelly

(2004); Susandi (2004) yang memperlihatkan bahwa terdapat relasi antara tingkat

pencemaran dan pendapatan, yakni membuktikan bahwa pencemaran dan emisi

akan meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan, namun pencemaran

dan emisi juga akan menurun pada tingkat pendapatan tertentu yang digambarkan

dalam bentuk environmental kuznets curve (EKC). Selanjutnya Bartz dan Kelly

(2004) juga mengatakan bahwa meningkatnya pendapatan akan menurunkan

tingkat pencemaran, karena pada tingkat pendapatan tertentu marginal abatement

cost akan meningkat sehingga kontrol terhadap lingkungan seperti pencemaran

dan emisi juga meningkat. Oleh karena itu maka dengan adanya kesadaran

masyarakat terhadap lingkungan yang semakin membaik, diduga akan

meningkatkan paksaan terhadap kegiatan antropogenik seperti kegiatan industri

untuk membangun IPAL juga akan semakin meningkat, dan nilai 5% dirasa cukup

wajar.

Pada skenario ini Pemda juga idealnya mewajibkan setiap kendaraan yang

ada di Kota Tangerang Selatan memakai katalisator, yakni alat yang dipasang

pada kendaraan dengan tujuan untuk menurunkan pencemaran dan menurunkan

emisi gas buang. Setelah dilakukan aturan yang mewajibkan penggunaan

katalisator, selanjutnya dilakukan pemeriksaan terhadap setiap kendaraan yang

ada di Kota Tangerang apakah mereka sudah menggunakan katalisator atau belum.

Berdasarkan hal tersebut, maka Pemda Tangerang Selatan idealnya melakukan

pemeriksaan terhadap kendaraan bermotor. Pemeriksaan terhadap katalisator

kendaraan ini dapat dilakukan bersamaan dengan pembayaran pajak kendaraan.

Selain itu Pemda juga hendaknya melakukan uji emisi gas buang kendaraan secara

periodik dan konsisten. Apabila hal tersebut dilakukan secara tertib, teratur dan

mengikat pada seluruh warga tanpa pandang bulu, maka diharapkan akan dapat

menekan emisi gas buang kendaraan lebih dari 40%. Apabila emisi gas buang di

Tangerang Selatan dapat diturunkan sebanyak 40%. Hal ini mengandung arti

154

bahwa Pemda Tangerang Selatan telah ikut serta membantu pemerintah pusat

dalam mengimplementasikan janji pemerintah untuk menurunkan GRK sebanyak

26%.

Pada skenario ke tiga ini selain dilakukan hal tersebut di atas, juga

dilakukan pembatasan umur kendaraan pribadi. Hal ini dapat dilakukan misalnya

dengan mengenakan pajak pada kendaraan pribadi yang umurnya tua, yakni

pajaknya relatif lebih tinggi (progressive taxation). Hal ini juga dimaksudkan

untuk mengurangi pencemaran dan mengurangi emisi gas buang, mengingat pada

kendaraan yang sudah tua, apalagi jika tidak terurus, umumnya pembakaran bahan

bakarnya kurang sempurna, sehingga seringkali dihasilkan bahan pencemaran

atmosfir yang cukup tinggi, begitu pula halnya dengan gas rumah kaca yang

dihasilkannya.

Selain itu dapat dilakukan peningkatan kapasitas insfrastrutur jalan,

dengan menambah panjang jalan, membuat jalan alternatif atau memperlebar jalan

sehingga diperoleh peningkatan kapasitas jaringan jalan secara periodik. Tingkat

perbaikan jalan rusak bertambah 20%. Perbaikan jalan 20% ini didasarkan pada

hasil studi literature di beberapa kabupaten dan kota sekitar DKI Jakarta yang

memperlihatkan bahwa perbaikan jalan yang dilakukan selama ini pada umumnya

maksimal 20%.

Adanya infrastruktur yang baik akan memperbaiki kualitas lingkungan.

Hal ini disebabkan pada kondisi normal kendaraan dapat melaju dengan cepat

apabila jalan yang dilalui dalam kondisi mulus, apalagi jika lebar jalan tersebut

diperluas dan panjang jalan ditambah, sehingga dari situ akan terdapat jalan

alternatif yang akan menjadi pilihan pengemudi kendaraan. Selain hal tersebut di

atas, peningkatan kapasitas insfrastrutur jalan, dengan menambah panjang jalan,

membuat jalan alternatif atau memperlebar jalan yang memperlancar perjalanan

seringkali juga berdampak positif pada terjadinya peningkatkan kegiatan ekonomi.

Hal yang tidak kalah pentingnya jika akan mengimplementasikan skenario

ke tiga adalah melakukan pengendalian pertumbuhan penduduk dengan

pemantapan program keluarga berencana (KB). Hal ini dilakukan mengingat

munculnya berbagai masalah lingkungan, ada indikasi bahwa penyebab utamanya

adalah akibat ketidak mampuan pemerintah untuk menurunkan kecepatan

155

pertumbuhan penduduk. Untuk itu, Pemda harus segera mencanangkan kembali

program KB, dan membentuk kembali Dinas atau Subdit yang menangani khusus

KB dan aktif mensosialisasikan ke seluruh peloksok Kabupaten Tangerang

Selatan.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah mendorong Pemda dan

Pemerintah Pusat untuk membuat kebijakan daerah tentang urbanisasi, dan

mendorong pemerintah pusat untuk mengadakan berbagai program yang dapat

mencegah terjadinya urbanisasi seperti dengan menggalakan program

pengembangan perdesaan, program agropolitan, program minapolitan, program

agrowisata, dan sebagainya. Salah satu contoh program agropolitan atau

minapolitan, merupakan satu program pemerintah untuk membuat pusat

pertumbuhan ekonomi baru di kawasan perdesaan. Adanya pertumbuhan

ekonomi baru ini pada akhirnya dapat menurunkan tingkat urbanisasi, mengingat

masyarakat desa yang umumnya sulit mencari penghidupan di desa dengan

adanya pertumbuhan ekonomi di pusat pertumbuhan baru yang ada di desa inti

atau di hinterland-nya, akan mendorong masyarakat tersebut untuk berupaya di

kampungnya sendiri.

5.4. Prioritas Kebijakan Pengembangan Kota Baru BSD

Berdasarkan hasil analisis MDS dan hasil pembuatan model selanjutnya

dibuat prioritas kebijakan. Hasil analisis MDS yang dilakukan pada penelitian ini

diperoleh 22 buah faktor pengungkit dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya,

infrastruktur dan teknologi dan hukum kelembagaan. Ke 22 faktor pengungkit

tersebut selanjutnya dianalisis lagi dengan menggunakan analisis prospektif,

sehingga diperoleh lima buah faktor kunci yang akan menentukan keberhasilan

pengelolaan lingkungan di kawasan Kota Baru BSD ditambah dengan enam buah

faktor penghubung yang juga mempunyai pengaruh yang besar. Berdasarkan

faktor kunci dan faktor penghubung ini digabung dengan hasil pemodelan dengan

memperhatikan alternatif skenario kebijakan ke-3, yakni alternatif kebijakan

berupa kombinasi dari lingkungan berupa pembuatan instalasi pengolahan air

limbah (tingkat pertumbuhan 5%) dan penggunaan katalisator pada tiap kendaraan

yang ada di Kota Tangerang Selatan serta uji emisi gas buang kendaraan

dilakukan secara periodik dan konsisten. Khusus untuk ekonomi dilakukan

156

pembatasan umur kendaraan pribadi dan peningkatan kapasitas insfrastrutur jalan,

dengan menambah panjang jalan, membuat jalan alternatif atau memperlebar jalan

sehingga diperoleh peningkatan kapasitas jaringan jalan secara periodik. Tingkat

perbaikan jalan rusak bertambah 20%. Aspek sosialnya berupa pengendalian

pertumbuhan penduduk dengan pemantapan program keluarga berencana diiringi

dengan pembuatan kebijakan daerah tentang urbanisasi. Maka disusun prioritas

kebijakan pengelolaan lingkungan di kawasan Kota Baru BSD, yakni:

1. Dalam rangka meningkatkan produktifitas pengelolaan lingkungan di

kawasan Kota Baru BSD, keefisienan dan keefektipan proses

pengelolaan lingkungan, maka kegiatan pengelolaan lingkungan di

kawasan Kota Baru BSD harus mampu mengadakan teknologi produksi

bersih yang dapat menurunkan pencemaran udara dan terlepasnya emisi

gas buang yang merupakan salah satu penyumbang yang cukup dominan

untuk gas rumah kaca, sehingga masalah pencemaran udara dan emisi

GRK dapat tertanggulangi dengan baik.

2. Kawasan Kota Baru BSD juga harus membangun instalasi pengolahan

air limbah (IPAL) komunal untuk masing-masing kegiatan sehingga

dapat mengolah limbah cair yang dihasilkan dari proses kegiatan

antropogenik dan tidak membuangnya ke lingkungan secara langsung.

Adanya pengolahan limbah cair yang dihasilkan dari berbagai kegiatan

antropogenik ini relatif akan menjaga kualitas air, sehingga tidak terjadi

pencemaran air pada ekosistem air penerimanya

3. Pada pembangunan kawasan kota baru juga harus dicari berbagai upaya

agar pencemaran udara dan terlepasnya GRK tidak semakin tinggi.

Untuk ini hal yang dapat dilakukan antara lain adalah mengurangi

sedapat mungkin penggunaan kendaraan pribadi, dengan menyediakan

moda transportasi umum yang dapat menjangkau semua lokasi baik

yang ada di pusat kota maupun ke kota satelit lainnya di kawasan

metropolitan DKI Jakarta. Selain itu moda transportasi tersebut harus

dibuat senyaman mungkin dan dapat berjalan secara cepat sehingga akan

menjadi pilihan bagi para pengguna jasa transportasi. Untuk itu maka

sarana dan prasarana komuter harus tersedia dengan baik, baik di Kota

157

Baru BSD, kota utama maupun di kota satelit lainnya yang semuanya

berhubungan dengan Kota Baru BSD.

4. Selain itu hal yang juga tidak kalah pentingnya untuk menurunkan

pencemaran udara dan GRK di Kota Baru BSD dan sekitarnya adalah

sosialisasi kepada masyarakat dan seluruh stakeholder untuk selalu

berupaya mengurangi pencemaran udara dan emisi GRK, sehingga

kesehatan akan terjamin dan berbagai musibah yang mungkin terjadi

akibat adanya pencemaran dan terjadinya pemanasan global dan

perubahan iklim global dapat diminimalkan.

5. Dalam kegiatan pengelolaan Kota Baru BSD, harus dibuat standar

mutu pelayanan transportasi, baik dalam penyediaan sarana maupun

prasarananya, sehingga kegiatan transportasi baik di dalam kota baru,

maupun menuju ke kota utama dan ke kota satelit lainnya akan dapat

berjalan secara efektif dan efisien, akan terhindar dari terjadinya

kemacetan dan akan mengurangi terjadinya pencemaran udara dan

terlepasnya GRK.

6. Sosialisasi kepada masyarakat yang ada di kawasan kota baru dan para

stakeholder-nya , juga hendaknya mempunyai pemahaman, kepedulian,

dan tanggung jawab yang tinggi terhadap sumberdaya alam dan

lingkungan yang ada di kawasan Kota Baru BSD dan sekitarnya,

sehingga mereka akan cenderung untuk menjaga sumberdaya dan

lingkungan yang ada di kawasan kota baru tersebut,

7. Semua pihak (pemerintah, pengusaha, perguruan tinggi dan masyarakat)

hendaknya selalu mencari atau menemukan inovasi-inovasi baru teknik

pelestarian lingkungan dan sumberdaya alam dan menjauhkan diri

dari sifat egosektoral, sehingga akan didapatkan teknik pengelolaan dan

pelestarian lingkungan yang paling efisien dan efektif. Begitu pula

halnya dalam meningkatkan kondisi ekonomi dan kondisi sosial dengan

tanpa mengganggu kelestarian lingkungan.

8. Di kawasan kota baru, khususnya dan di kota metropolitan pada

umumnya, hendaknya segera dibuat kelembagaan lengkap dengan

organisasi dan peraturan perundang-undangan serta melakukan

158

penegakan hukum tentang pengelolaan sumberdaya alam dan

pelestarian lingkungan, terkait dengan kegiatan pengelolaan lingkungan

kota baru, sehingga daya dukung lingkungan tidak terlampaui,

lingkungan tetap terjaga, serta memunculkan rasa kebersamaan dan

keadilan.

9. Di Tanggerang Selatan pada umumnya dan di kawasan Kota Baru BSD

pada khususnya, yang umumnya penduduknya adalah penduduk

pendatang dari berbagai daerah dan mempunyai budaya yang berbeda-

beda, hendaknya kebijakan pemerintah menjamin bahwa budaya lokal

tetap dilestarikan, misalnya dengan membuat program-program yang

melibatkan budaya lokal sebagai bagian dari budaya di kota baru,

penyelenggaraan festival budaya lokal, dan sebagainya.