BAB II TINJAUAN TEORI - repository.uph.edurepository.uph.edu/4269/4/Chapter2.pdf · diafragma...
Transcript of BAB II TINJAUAN TEORI - repository.uph.edurepository.uph.edu/4269/4/Chapter2.pdf · diafragma...
11
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Anatomi
Anatomi dan fisiologi paru-paru dimana masing-masing terletak
disamping garis medialis di rongga toraks. Paru-paru berbentuk kerucut yang
memiliki 2 apeks, basal, permukaan kosta, dan permukaan medialis. Bagian
apeks (puncak) dibagian dasar leher sekitar 25 mm diatas klavikula tengah dan
dasarnya pada diafragma. Paru dibagi menjadi dua yaitu paru kanan dan kiri,
pada paru kanan terdiri dari tiga lobus sedangkan pada paru kiri terdiri dari dua
lobus dan lobus ini merupakan lobus yang dapat terlihat, paru-paru tebagi lagi
menjadi sub-sub kecil yang disebut bronkopulmonari segmene. Paru-paru
dipisahkan oleh ruang yang dinamakan mediastrium. Didalamnya terdapat
jantung pembuluh darah besar, esofagus, bagian dari trakea, nodus limfe, serta
saraf (Somantri, 2012, p.8 ; Waugh & Grant, 2011, p.152).
Waugh & Grant (2011), didalam paru-paru terdapat rongga torak yang
merupakan ruangan kosong atau pemisah berfungsi untuk melindungi organ
paru-paru. Pleura terdiri dari membran serosa dan terdapat disetiap masing-
masing paru. Ada dua pleura yaitu pleura parietal dan pleura viseral yang
terdapat cairan serserosa yang terbagi menjadi dua lapisan yang satu ada pada
rongga toraks dan paru-paru. Suplai darah pada paru-paru dari arteri pulmonal.
Dua bronkus primer terbentuk dari trakea yang bercabang manjadi dua yaitu
12
bronkus kanan dan bronkus kiri. Bronkus kanan lebih besar, pendek dan
vertikal, dan terbagi menjadi tiga cabang kemudian terbagi menjadi cabang-
cabang kecil sedangkan bronkus kiri lebih sempit dibandingkan dengan bronkus
kanan terbagi menjadi dua cabang.
Bronkus terdiri dari jaringan ikat dilapisi oleh epitelium kolumnar
bersilia. Fungsi dari bronkus adalah pengendali udara yang masuk ke paru-paru,
diameter saluran napas berkontraksi atau melakukan relaksasi otot involunter
yang dikendalikan oleh saraf otonom dengan demikian mengatur volume udara
yang masuk ke dalam paru-paru. Jaringan paru-paru yang lebih dalam menjadi
jaringan ikat yang diebut dengan lobulus, tiap lobulus disuplai oleh udara yang
berasal dari bronkiolus terminal, bercabang menjadi bronkiolus respiratorik,
duktus alveolus dan terdapat 150 juta alveoli di paru-paru orang dewasa. Hal ini
memungkinkan adanya pertukaran gas di paru-paru (respirasi eksternal)
berlangsung di membran yang disusun oleh dinding alveolar dan dinding
kapiler yang bergabung menjadi mebran yang disebut membran respiratorik.
Untuk fungsinya sebagai pertahanan tubuh terhadap mikroba. Pada saat udara
diinspirasikan alveoli, udara akan bersih. Fungsi lainnya untuk pelembap dan
penghangat, jika udara yang masuk tidak lembap akan mengakibatkan iritasi
mukosa dan mendorong infeksi (Waugh & Grant, 2011, p.152-158 ; Black &
Hawks, 2014, p.213-214).
13
Gambar 2.1 Anatomi Paru-paru
Lewis, et al (2014)
2.1.2 Fisiologi
Pernapasan merupakan pertukaran gas antara sel tubuh dan
lingkungan pertukaran gas yang terjadi disebut dengan respirasi eksternal
sedangkan yang melibatkan jariangan disebut dengan respirasi internal
(Waugh & Grant, 2011). Yang diutarakan oleh Black & Hawks (2014), tidak
berbeda jauh dengan pedapat sebelumnya. Pernapasan adalah terjadinya proses
ganda yaitu pertukaran gas (O2 dan CO2) di dalam jaringan yang disebut
pernapasan dalam dan didalam paru-paru disebut pernapasan luar. Otot yang
digunakan untuk bernapas adalah otot interkosta dan diafragma. Otot
interkosta tersusun dari dua lapisan yaitu internal dan eksternal saat otot
interkosta berkontraksi, otot ini akan bersama-sama menarik iga lain menuju
14
iga pertama. Otot interkosta distimulasi oleh saraf interkosta. Sedangkan
diafragma memisahkan rongga toraks dan abdomen.
Dalam sistem pernapasan ada istilah ventilasi yang berhubungan
dengan proses volume udara yang masuk dan keluar dari hidung atau mulut
dalam proses bernapas. Setelah proses ventilasi terjadi udara masuk kedalam
paru-paru dan terjadi proses distribusi udara sebanyak 500 ml ke setiap alveoli
di dalam paru-paru sesuai dengan jumlah aveoli sekitar 300 juta alveoli. Proses
terjadinya perfusi merupakan sirkulasi darah dalam pembuluh kapiler paru
yang sangat padat dan terdapat sekitar 6 milyar yang mengelilingi 3 juta alveoli
di setiap paru-paru.Terjadinya siklus pernapasan untuk frekuensi napas normal
adalah 12-15 napas per menit dalam siklus pernapasan terjadi dalam tiga fase
yaitu inspirasi, ekspirasi, dan istirahat (Somantri, 2012).
2.1.3 Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang
parenkim paru-paru disebabkan oleh Mycrobacterium tuberculosis (Somantri,
2012). Sedangkan menurut Black & Hawks (2014), tuberkulosis paru adalah
penyakit yang disebabkan dari mycrobacterium tuberculosis, bakteri ini
anaerob yang tahan terhadap asam (acid fast bacillus (AFB)). Yang
penularannya melalui udara yang bentuknya partikel kecil berdiameter 1-5 mm
melalui droplet yang terinfeksi tuberkulosis tersebut keluar ketika berbicara,
bernyanyi, bersin, batuk, tertawa setelah itu terhirup oleh orang yang rentan
dan menembus sampai jaringan paru-paru.
15
2.1.4 Etiologi
Etiologi tuberkulosis paru disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis yang merupakan jenis kuman berukuran panjang 1-4 mm dengan
tebal 0,3-0,6 mm. kuman ini tahan terhadap asam serta sangat tahan terhadap
zat kimia dan faktor fisik. Mikroorganisme ini bersifat anaerob yaitu menyukai
daerah yang banyak oksigen, karena itu paru-paru menjadi daerah kondusif
untuk penyakit tuberkulosis karena paru-paru memiliki kandungan oksigen
yang sangat tinggi (Somantri, 2012). Tidak berbeda jauh yang di utarakan oleh
Black & Hawks (2014) bahwa tuberkulosis paru disebabkan oleh
Mycrobacterium tuberculosis yang ditularkan oleh orang yang terjangkit
tuberkulosis paru melalui udara (airbone).
Gambar 2.2 Mycrobacterium Tuberculosis
Lewis, et al (2014)
16
2.1.5 Faktor resiko
Faktor resiko untuk tuberkulosis bisa terjadi pada siapa saja yang
rentan seperti kekebelan tubuh yang lemah, malnutrisi, orang lanjut usia.
Tuberkulosis faktro resiko tinggi terjadi dengan orang yang terinfek HIV,
tunawima, orang dengan kecanduan narkoba dan alkohol, orang merokok,
kemiskinan,serta imigran atau orang-orang yang datang dari negara-negara
dengan endemik tuberkulosis paru yang tinggi (Doenges et.al, 2015).
2.1.6 Manifestasi
Manifestasi dari tuberkulosis paru menurut Black & Hawks (2014),
dalam tuberkulosis paru primer tetap tidak dikenali karena relatif tanpa gejala,
karena kebanyakan penderita memiliki basilus tuberkel seumur hidup tetapi
tidak mengalami penyakti tuberkulosis aktif, karena daya tahan tubuh mereka
cukup untuk menghalangi infeksi primer. Akan tetapi jika tuberkulsisi aktif
akan mengalami gejala paru yaitu dispnea, batuk non produktif/produktif yang
merupakan reaksi reaksi tubuh untuk mengeluarkan sputum karena adanya
produksi radang timbul pada waku lama (>3 minggu), hemoptisis, nyeri dada
yang berupa pleuritik dan nyeri dada tumpul, sesak di dada biasanya akan
timbul pada tahap lanjut infiltrasi radang sampai setengah paru, creackles/
ronchi dapat ditemukan pada auskultasi. Untuk gejala umum tuberkulosis paru
yaitu adanya rasa lelah yang dirasakan, anoreksia (hilangnya nafsu makan),
berat badan menurun, demam rendah diikuti adanya menggigil dan berkeringat
(sering terjadi pada malam hari). Gejala tuberkulosis paru pada anak-anak
biasanya adanya demam lama tetapi tidak tinggi (>2 minggu) disertai keringat
17
malam dan ini terjadi tanpa sebab yang jelas, batuk >3 minggu, berat badan
menurun tanpa jelas dengan penanganan gizi yang adekuat, nafsu makan tidak
ada, dan diare tidak sembuh dengan pengobatan (IDAI, 2007).
2.1.7 Klasifikasi
Klasifikasi tuberkulosis menurut KEMENKES (2015) :
1) Pasien baru tuberkulosis: pasien yang belum pernah mendapatkan
pengobatan tuberkulosis sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun
kurang dari 1 bulan (˂ dari 28 dosis).
2) Pasien yang pernah diobati tuberkulosis: pasien yang sebelumnya pernah
menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis). selanjutnya
diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu:
• Pasien kambuh: pasien tuberkulosis yang pernah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis tuberkulosis berdasarkan
hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar
kambuh atau karena reinfeksi).
• Pasien yang diobati kembali setelah gagal: pasien tuberkulosis pernah
diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan yang terakhir.
• Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up):
pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi
ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat
/default).
18
• Lain-lain: pasien tuberkulosis yang pernah diobati namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
2.1.8 Patofisiologi
Saat seseorang menghirup basil Mycobacterium tuberculosis
menyebar melalui airbone (bersin, batuk, berbicara, bernyanyi), sehingga
menginfeksi saluran pernapasan atas dan adanya faktor pendukung infeksi
terjadi seperti imun yang kurang baik, konsentrasi dari organisme, jumlah
bakteri diudara, lama waktu terpapar oleh bakteri. Infeksi meningkat (ghon
focus) Sistem kekebalan tubuh merespon dengan melakukan reaksi inflamasi
dan mencegah penyebaran. Terjadi proses peradangan dan suhu tubuh menjadi
meningkat dan terat reaksi sistematis mempengaruhi gangguan nutrisi
sehingga pasien mengalami anoreksia. Limfosit meningkat dan bekerja
sehingga membentuk eksudat dan terjadi penumpukan dalam alveoli. Terjadi
pembentukkan jaringan fibrotik dan parut sehingga terjadi sesak nafas Setelah
itu terjadi nekrosis menjadi skar kalogenosa shingga bakteri menjadi dorman,
jika bakteri aktif dan sistem tubuh tidak bisa bekrja dengan baik setelah
nekrosis terjadi pembuluh darah disekitar pecah (haemoptoe) sehinga terjadi
peningkatan sputm pada trakea sehingga merangsang silia untuk mengeluarkan
(batuk) shingga menyebar melalui droplet (Lewis et.al, 2014, p. 528-529 );
(Black & Hawks, 2014).
19
2.1.9 Pathway tuberkulosis paru
Bagan 2.1 Sumber : (Lewis et.al, 2014, p. 528-529 ); (Black & Hawks, 2014).
Etiologi
Mycrobacterium
tuberculosis
mM
Penyebaran melalui udara (airbone :
bersin, batuk, berbicara, bernyanyi, )
Menginfeksi saluran pernapasan
(alveoli dan bronkeolus)
(
Sistem imun bereaksi
demam, anoreksia, batuk
MK : Perubahan
pemunuhan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh
Limfosit
Penumpukan eksudat dalam
alveoli
Pembentukan jaringan
fibrotik dan parut (sesak)
Nekrosis
MK : Berisihan jalan
nafas tidak efektif
Skar kolagenosa
Bakteri dorman
Pembuluh darah
sekitarnya pecah
(Haemoptoe)
Peningkatan sputum di
trakea
MK : Bersihan
jalan nafas
tidak efektif
Merangsang silia
untuk mengeluarkan
mukus/sputum
Penyebaran melalui droplet
MK : Resiko penyebaran
infeksi
MK : Kurang pengetahuan
MK : Gangguan
pertukaran gas
Terhirup oleh seseorang yang rentan Terinfeksi
Faktor pendukung : imun yang lemah, konsentrasi
organisme, jumlah bekteri di udara, lama waktu terpapar.
:
20
2.1.10 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk tuberkulosis paru adalah uji kulit
tuberkulin ada reaksi positif (area indurasi 10 mm atau lebih, timbul 48-72 jam
setelah injeksi antigen intradermal) pada punggung permukaan lengan bawah,
melakukan foto rontgen (chest x-ray) jika terjadi perubahan mengindikasikan
tuberkulosis yang lebih berat dapat mencakup area berlubang dan fibrosa,
pemeriksaan histologi atau kultur jaringan (termasuk kumbah lambung urine
dan CSF serta biopsi kulit) menunjukkan hasil positif untuk mycrobecterium
tuberculosis, pemeriksaan needle biopsi of lung tissue hasil positif untuk
granuloma tuberkulosis karena adanya sel-sel besar yang mengindikasikan
nekrosis, pemeriksaan elektrolit mungkin abnormal bergatung pada lokasi dan
beratnya infeksi, pemeriksaan ABGs kemungkinan hasil abnormal tetapi
tergantung pada lokasi, berat, dan sisa kerusakan paru, pemeriksaan
bronkografi merupakan pemeriksaan khusus untuk melihat kerusakan bronkus,
pemeriksaan leukositosis laju endap darah (LED) akan meningkat, test fungsi
paru hasilnya VC menurun, dead space meningkat TLC meningkat dan
saturasi oksigen menurun, periksa kultur sputum menunjukkan hasil positif
untuk Mycobacterium tuberculosis pada stadium aktif Ziehl Neelsen (Acid-fast
Staind applied to smear of body fluid) menunjukkan hasil positif untuk bakteri
tahan asam (BTA) (Somantri, 2012 & Lewis et al, 2014).
21
2.1.11 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dapat diberikan dengan cara pendekatan dua fase
untuk terapi yaitu pada lini pertama pengobatan tuberkulosis paru dengan obat-
obatan tuberkulosis yaitu Isoniazid (INH/H) dengan dosis 5 mg/kgBB per oral
bisa juga melalui intravena dan intramuskular dapat diberikan tiap hari atau
dua hingga tiga kali seminggu. Rifampin/Rifampisin (RIF) dengan dosis 10
mg/KgBB/hari per oral. kombinasi RIF dan INH memungkinkan aksi melawan
organisme yang aktif, lambat, dan tumbuh secara intermiten. Efek samping
dari RIF adalah membuat cairan tubuh seperti urine keringat, dan air liur
membuat sputum berwarna oranye, bahkan bisa membuat mual dan dapat
ditangani dengan membagi dosis menjadi separuh dan diminum dua kali sehari
Pirazinamid (PZA/Z) dan etambutol (EMB/E) dengan dosis Dewasa: 15
mg/KgBB per oral, untuk pengobatan ulang mulai dengan 25 mg/KgBB/ hari
selama 60 hari, kemudian diturunkan sampai 15 mg/Kg/BB/Hari. Anak (6-12
tahun) : 10-15 mg/Kg BB/hari. Efek samping: optik neuritis (efek terburuk
adalah kebutaan) dan skin rash. Penggunaan ekspektoran, pemberian vitamin,
melakukan fisioterapi dan rehabilitasi, konsultasi secara teratur, melakukan
pencegahan dengan menempatkan pasien ke ruangan isolasi yang bertekanan
negatif agar udara dan partikel-partikel tidak keluar saat pintu
dibuka.(Somantri, 2012, p.71-72) & (Black & Hawks, 2014, p.323-324).
22
2.2 Tinjauan Literatur
Pada pemberian asuhan keperawatan tuberkulosis paru banyak
sekali yang melakukan penelitian pada pemberian asuhan keperawatan
1. Studi kasus yang dilakukan oleh Majampoh et.al (2013), di sebuah
rumah sakit di Manado Dari hasil penelitian yang telah di analisis
pengaruh pemberian posisi semi fowler terhadap kestabilan pola napas,
bahwa pasien yang setelah diberikan intervensi posisi semi fowler
memiliki rata-rata skor dyspnea lebih rendah yaitu 23,53. Frekuensi
pernapasan sebelum diberikan posisi semi fowler termasuk frekuensi
pernapasan normal yaitu sebanyak 32 orang (80,0%) dari 40 responden.
2. Pada studi kasus yang dilakukan Prayitno (2015), di RSUSD Dr.
Moewardi Surakarta kepada pasien tuberkulosis paru bahwa pemberian
intervensi posisi semi fowler terjadi kestabilan pola napas yang
dibuktikan dengan pasien mengatakan tidak mengalami sesak nafas, RR
menjadi normal (16-24x/menit) dan SaO2 menjadi normal 95-100%.
3. Dalam pemberian asuhan keperawatan masih banyak lagi yang bisa
diberikan kepada pasien tuberkulosis paru dalam penelitian Dwidiyanti
(2014), intervensi kepada pasien tuberkulosis secara holistik SOWAN.
Penjelasan SOWAN yaitu supporting dalam konsep bahwa perawat
memberi dukungan dan juga memperhatikan faktor-faktor yang
mempengaruhi ketidak mampuan pasien dalam merawat dirinya sendiri.
Observation dalam kemampuan minum obat termasuk dukungan dari
PMO, tetap memantau dan memperhatikan kemampuan mengontrol
23
emosi, kemampuan mengatur jadwal kegiatan harian, dan mencapai
tujuan untuk menjadi sehat mandiri. Well-being yaitu hasil apa yang
telah tercapai selama perawatan berlangsung seperti pengobatan
tuberkulosis paru yang sudah diberikan secara intensif, pasien sudah
memiliki kemandirian secara fisik, psikologi, sosial dan spiritual.
Perawat memperhatikan hasil pelayanan keperawatan secara mnyeluruh
sehingga perawat dan pasien bekerja sama dalam mencapai tujuan sehat
mandiri. Action merupakan hubungan perawat dengan pasien dalam
mencapai tujuan selama perawatan berlangsung. Yang terakhir adalah
nursing merupakan tujuan yang jelas dan mengetahui cara membantu
untuk penanganan pasien membuat perawat mampu dan bisa
menggunakan waktu bersama pasien dengan manfaat dan tujuan yang
jelas.
4. Pada studi kasus yang dilakukan oleh Nugroho (2014) di ruang isolasi
rumah sakit PKU Muhammadiyah Surakarta diganosa keperawatan
utama yang diangkat adalah kebersihan jalan nafas tidak efektif pada
pasien tuberkulosis paru. Intervensi yang diberikan adalah posisikan
pasien semi fowler, dorong dan latih untuk batuk efektif, dan lakukan
kolaborasi kepada tim medis untuk pemberian oksigen 4 liter / menit.
5. Penelitian yang dilakukan oleh Pranowo (2009), bahwa batuk efektif
sangat penting untuk diajarkan kepada pasien. Batuk efektif dapat
membantu meningkatkan ekspansi paru, mobilisasi sekresi dan
mencegah efek samping dari retensi sekresi seperti pneumonia,
24
atelektasis dan demam, dan batuk efektif bagi penderita tuberculosis
paru tidak harus mengeluarkan banyak tenaga untuk mengeluarkan
secret. Dijelaskan oleh hasil penelitian batuk efektif mengeluarkan
sputum untuk pemeriksaan BTA sputum. Pada penemuan BTA terjadi
peningkatan jumlah penemuan BTA sebelumnya merupakan BTA
negative pada specimen 1 pada specimen 2 dan 3 menjadi specimen
positif. Jumlah penemuan BTA positif pada specimen 1 adalah 6
responden, pada specimen 2 adalah 17 responden, pada specimen 3
adalah 21 responden. Jumlah volume sputum yang dihasilkan
menyebabkan lebih mudahnya petugas laborat memeriksa BTA pasien.
Karena untuk menegakkan diagnosis tuberkulosis paru secara tepat
salah satu diantaranya adalah dengan pemeriksaan sputum. Penting
untuk mendapatkan sputum yang benar, bukan ludah ataupun secret
hidung sehingga dapat diketemukan Basil Tahan Asam yang positif.
6. Penelitian yang dilakukan Zahroh & Adi (2015), penyuluhan yang
dilakukan untuk melakukan dan mengajarkan teknik batuk efektif bagi
pasien tuberkulosis paru sangat berpengaruh sekali, setelah dilakukan
batuk efektif peneliti mendapatkan hasil yang signifikan yaitu dari 28
responden tidak ada responden yang mengalami gejala berat (0%) dan
adanya penurunan gejala klinis dari sebelumnya 39% dengan tanda dan
gejala berat menjadi tidak ada reponden yang mengalami tanda dan
gejala yang berat. Bahwa disimpulkan oleh peneliti penyulahan teknik
25
batuk efektif berpengaruh sekali pada penurunan tanda dan gejala pada
pasien tuberkulosis paru.
7. Pada artikel yang dibuat oleh Pratomo, Burhan & Tambunan (2012)
menjelaskan bahwa penyuluhan dan intervensi nutrisi dengan tujuan
meningkatkan asupan energi serta suplementasi nutrisi. Pada pasien
tuberkulosis paru sering terjadi penurunan berat badan dan terjadi
anoreksia karena akan memperlambat kesembuhan bagi pasien
tuberkulosis paru, peningkatan angka kematian, risiko kekambuhan,
dan kejadian hepatitis akibat OAT.
8. Pada penilitian yang dilakukan Terok, Bawotong, & Untu (2012), pada
pasien tuberkulosis paru di Manado di disimpulkan bahwa peran
petugas kesehatan sangat penting khusunya perawat, karena dukungan
sosial dalam hal ini adalah dukungan informatif karena sangat ini
sangat penting dalam meningkatkan kualiatas kehidupan pasien
tuberkulosis paru seperti memberikan nasihat, dan dorongan dalam
pelaksanaan pengobatan yang rutin dan teratur dengan komunikasi
terpeutik yang efektif. Selain itu juga dapat membantu pasien
tuberkulosis paru mengatasi gangguan psikologis stres, dan belajar
berhubungan dengan orang lain.
9. Menurut Nuraeni (2015) di RSUD Cideres kabupaten Majalengka. Pada
penelitian ini bahwa hubungan pengetahuan sangat penting terutama
dengan kecemasan yang dirasakan oleh pasien karena setiap pasien
tuberkulosis paru harus mendapatkan informasi yang benar mencakup
26
pengobatan yang panjang, pemahaman tentang tuberkulosis paru.
Dampak kecemasan dapat mempengaruhi proses penyembuhan menjadi
lama, tidak teratur untuk minum obat serta memeriksakan kondisi
kesehatan sesuai dengan jadwal. Sebagai perawat perlu adanya
intervensi kepada pasien tuberkulosis paru dengan memberikan
edukasi/informasi terkait tuberkulosis paru sehingga menambah
wawasan dan pengetahuan bagi pasien sehingga dapat mengurangi
kecemasan.
10. Dhewi, Armiyati, & Supriyono (2011) dalam penelitiannya di BKPM
Pati bahwa pengetahuan, sikap pasien dan dukungan sangat
berpengaruh bagi pasien, terutama dalam kepatuhan minum obat dalam
penelitian ini juga sangat berpengaruh bagi kesembuhan pasien karena
bagi pasien yang memiliki kurang pengetahuan tentang penyakit
tuberkulosis paru penyakit ini masih dianggap tidak menular dan
merupakan penyakit kutukan , maka dari itu peneliti juga menekankan
bahwa perawat sebagai edukator bisa memberikan
informasi/pengetahuan kepada pasien karena membantu dalam
peningkatan kesehatan.