BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jembatan - sinta.unud.ac.id II.pdf · Jenis struktur pelengkung seperti...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jembatan - sinta.unud.ac.id II.pdf · Jenis struktur pelengkung seperti...
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jembatan
Jembatan merupakan salah satu bentuk konstruksi yang berfungsi
meneruskan jalan melalui suatu rintangan. Seperti sungai, lembah dan lain-lain
sehingga lalu lintas jalan tidak terputus olehnya. Menurut Struyk (1995) dalam
Suryantara (2004), jembatan merupakan struktur yang melintasi sungai, teluk,
atau kondisi-kondisi lain berupa rintangan yang berada lebih rendah. Rintangan
yang dimaksud yaitu dapat berupa sungai, jurang, laut, ruas jalan tidak sebidang
dan lain sebagainya. Sehingga memungkinkan kendaraan, kereta api maupun
pejalan kaki dapat melintas dengan lancar dan aman.
Dalam perencanaan konstruksi jembatan dikenal dua bagian yang
merupakan satu kesatuan yang utuh yakni :
1. Bangunan Bawah ( Sub Struktur )
2. Bangunan Atas ( Super Struktur )
Bangunan atas terdiri dari lantai kendaraan, trotoar, tiang-tiang sandaran dan
gelagar. Bangunan bawah terdiri dari pondasi, abutmen, pilar jembatan dan lain-
lain.
Pemilihan bentuk jembatan sangat dipengaruhi oleh kondisi dari lokasi
jembatan tersebut. Pemilihan lokasi tergantung medan dari suatu daerah dan
tentunya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat di daerah. Bentuk dari
konstruksi jembatan harus layak dan ekonomis.
Perencanaan konstruksi jembatan berkaitan dengan letaknya. Oleh beberapa
ahli menentukan syarat-syarat untuk acuan dari suatu perencanaan jembatan
sebagai berikut :
1. Letaknya dipilih sedemikian rupa dari lebar pengaliran agar bentang
bersih jembatan tidak terlalu panjang.
2. Kondisi dan parameter tanah dari lapisan tanah dasar hendaknya
memungkinkan perencanaan struktur pondasi lebih efesien.
6
3. Penggerusan ( scowing ) pada penampang sungai hendaknya dapat
diantisipasi sebelumnya dengan baik agar profil saluran di daerah
jembatan dapat teratur dan panjang.
Dari syarat-syarat tersebut diatas telah dijelaskan bahwa pemilihan
penempatan jembatan merupakan salah satu dari rangkaian sistem perencanaan
konstruksi jembatan yang baik, namun demikian aspek–aspek yang lain tetap
menjadi bagian yang penting, misalnya saja sistem perhitungan konstruksi;
penggunaan struktur ataupun mengenai sistem nonteknik seperti obyektivitas
pelaksana dalam merealisasikan jembatan tersebut. Mengenai bentuk-bentuk
jembatan dapat dibedakan menurut:
a. Material yang digunakan
Jembatan kayu
Jembatan baja
Jembatan beton
Jembatan gabungan baja dan beton
b. Jenis konstruksinya
Jembatan ulir
Jembatan gelagar
Jembatan plat
Jembatan gantung
Jembatan dinding penuh
Jembatan lengkungan
c. Menurut penggolongan
Jembatan yang dapat digerakan, merupakan jenis jembatan baja yang
pelaksanaannya dibuat sebagai gelagar dinding penuh.
Jembatan tetep, jenis jembatan seperti ini digunakan untuk keperluan
lalu lintas. Seperti jembatan kayu, jembatan beton dan jembatan batu.
2.2 Jembatan Pelengkung
Melengkung adalah sebuah keunikan dari sebuah jembatan yang
ditunjukkan seperti setengah lingkaran atau elips. Jembatan pelengkung adalah
jembatan dengan struktur setengah lingkaran dimana pada kedua ujungnya
7
bertumpu pada abutmen. Pada umumnya jembatan pelengkung dibuat untuk
melewatkan kendaraan atau kereta api yang menyeberangi lembah atau sungai
yang dalam. Jembatan ini biasanya dibuat dari beton atau baja. Salah satu aspek
penting pada konstruksi pelengkung adalah bahwa struktur tersebut harus didesain
untuk memikul sejumlah tertentu variasi beban, baik momen lentur maupun gaya
gaya aksial tanpa terjadi perubahan bentuk yang mencolok pada struktur.
Schodek (1998) membedakan jembatan berdasarkan jenis strukturnya
menjadi beberapa klasifikasi, yaitu :
1. Pelengkung Terjepit
Pelengkung jenis ini memiliki perletakan jepit pada kedua ujungnya yang
tidak memperbolehkan adanya rotasi pada perletakan struktur. Akibatnya
terjadi sejumlah gaya vertikal dan horisontal serta momen pada perletakan
struktur. Jenis pelengkung seperti ini sangat dipengaruhi oleh penurunan
relatif oleh tumpuannya. Struktur jembatan pelengkung jenis ini hanya
dibangun pada keadaan tanah yang relatif stabil. Pelengkung terjepit
merupakan struktur yang sangat kuat dibandingkan struktur pelengkung
lainnya.
Gambar 2.1 Pelengkung terjepit
Sumber : Suryantara (2004)
2. Pelengkung Dua Sendi
Pelengkung jenis ini mempunyai tumpuan sendi pada kedua ujungnya yang
memungkinkan terjadinya rotasi. Gaya-gaya yang dihasilkan pada
perletakan hanyalah gaya vertikal dan gaya horisontal. Jenis pelengkung
seperti ini relatif tidak dipengaruhi oleh penurunan tumpuan karena
8
memungkinkan adanya rotasi pada sendi. Umumnya struktur pelengkung
jenis ini menggunakan material baja.
Gambar 2.2 Pelengkung dua sendi
Sumber : Suryantara (2004)
3. Pelengkung Tiga Sendi
Pelengkung jenis ini merupakan pekengkung yang memiliki tiga buah sendi
pada strukturnya, yaitu dua buah pada masing-masing perletakannya dan
satu buah sendi pada puncak pelengkung. Jenis struktur pelengkung seperti
ini tidak dipengaruhi oleh penurunan tumpuan. Namun, penambahan sendi
pada puncak pelengkung akan mengurangi kekakuan struktur dan
menyebabkan defleksi yang besar. Selain itu, pelengkung jenis ini tergolong
struktur statis tak tentu karena kedua segmen pelengkung dapat saling
berputar.
Gambar 2.3 Pelengkung tiga sendi
Sumber : Suryantara (2004)
9
4. Pelengkung Terikat
Pada pelengkung jenis ini struktur diikat pada pelengkung dan merupakan
variasi pelengkung yang dapat diaplikasikan pada jenis tanah yang tidak
terlalu padat. Pada jenis pelengkung seperti ini, gaya horisontal yang
terjadi pada struktur plengkung utama dapat diimbangi oleh gaya
horisontal pada pelengkung samping sehingga gaya horisontal yang
diterima pondasi relatif lebih kecil.
Gambar 2.4 Pelengkung terikat
Sumber : Suryantara (2004)
Menurut bentuknya, jembatan pelengkung memiliki tiga variasi bentuk:
1. True Arch yaitu apabila konstruksi pelengkung ada dibawah lantai
kendaraan.
Gambar 2.5 True arch
10
2. Tied Arch, yaitu apabila konstruksi pelengkung berada pada atas lantai
kendaraan.
Gambar 2.6 Tied arch
3. Half True Arch yaitu gabungan dari True Arch dan Tied Arch yang
konstruksi pelengkungnya berada dibawah dan diatas lantai kendaraan.
Gambar 2.7 Half true arch
2.3 Pembebanan Jembatan
Dalam perencanaan jembatan, pembebanan yang diberlakukan pada
jembatan jalan raya, adalah mengacu pada standar “RSNI T-02-2005 Pembebanan
Untuk Jembatan”. Standar ini menetapkan ketentuan pembebanan dan aksi-aksi
yang akan digunakan dalam perencanaan jembatan jalan raya termasuk jembatan
pejalan kaki dan bangunan-bangunan sekunder yang terkait dengan jembatan.
Standar Pembebanan untuk Jembatan 2004 memuat beberapa penyesuaian
berikut:
a. Gaya rem dan gaya sentrifugal yang semula mengikuti Austroads,
dikembalikan ke Peraturan Nr. 12/1970 dan Tata Cara SNI 03-1725-1989
yang sesuai AASHTO
11
b. Faktor beban ultimit dari “Beban Jembatan” BMS-1992 direduksi dari
nilai 2 ke 1,8 untuk beban hidup yang sesuai AASHTO
c. Kapasitas beban hidup keadaan batas ultimit (KBU) dipertahankan sama
sehingga faktor beban 1,8 menimbulkan kenaikan kapasitas beban hidup
keadaan batas layan (KBL) sebesar 2/1,8 - 11,1 %.
d. Kenaikan beban hidup layan atau nominal (KBL) meliputi :
Beban T truk desain dari 45 ton menjadi 50 ton.
Beban roda desain dari 10 ton menjadi 11,25 ton.
Beban D terbagi rata (BTR) dari q = 8 kPa menjadi 9 kPa.
Beban D” garis terpusat (BGT) dari p = 44 kN/m menjadi 49 kN/m.
e. Beban mati ultimit (KBU) diambil pada tingkat nominal (faktor beban = 1)
dalam pengecekan stabilitas geser dan guling dari pondasi langsung.
Sesuai standar ini, beban truk legal adalah 50 ton dengan konfigurasi satu
truk setiap jalur sepanjang bentang jembatan
Selain daripada RSNI T-02-2005 Pembebanan Untuk Jembatan, ada standar
lain yang umum digunakan dalam perencanaan jembatan, yaitu Bridge
Management System (BMS). Adapun pembebanan untuk jembatan yang
dijelaskan dalam Bridge Management System ini meliputi:
2.3.1 Beban Gravitasi
Beban gravitasi meliputi beban-beban yang disebabkan oleh berat dari
komponen yang ada pada jembatan. Beban ini meliputi beban permanen dan
transien yang bekerja menuju pusat bumi. Perhitungan untuk beban gravitasi ini
memanfaatkan prinsip hukum Newton yaitu :
(2.1)
Dimana : F merupakan gaya gravitasi dalam satuan Newton (N); m adalah massa
(kg); dan a adalah percepatan gravitasi sebesar 9,81 m/s2.
2.3.2 Beban Permanen
Beban permanen yaitu beban-beban yang bekerja pada jembatan dalam
jangka waktu yang lama dan/ atau bahkan selama masa layan jembatan. Adapun
yang tergolong dalam beban permanen ini antara lain:
12
Beban mati dari komponen struktur dan non struktur (berat sendiri)
Beban mati dari lapisan aus dan utilitas (berat tambahan, seperti pipa dan
kabel, dan lain sebagainya)
Beban mati dari timbunan tanah
Beban tekanan tanah dan surcharge
Beban pelaksanaan tetap
Beban mati dari komponen struktur dan nonstruktur merupakan beban
permanen yang harus diperhitungkan dalam perencanaan dan analisis. Komponen
struktur terdiri dari seluruh elemen yang berfungsi sebagai penahan beban bagi
jembatan, seperti balok memanjang, struktur pelengkung, pilar, dan abutmen.
Komponen nonstruktur meliputi trotoar, parapet, railing, rambu-rambu,
iluminator, dan lain-lain. Berat dari komponen-komponen ini dapat dihitung
berdasarkan bentuk geometri masing-masing komponen dan berat jenis bahannya.
Beban mati akibat lapisan aus dan utilitas dihitung berdasarkan ketebalan
lapisannya. Yang dimaksud lapisan aus disini adalah lapisan penutup lantai
kendaraan, seperti aspal atau beton. Beban ini perlu diperhitungkan sebagai beban
tambahan pada pelat lantai kendaraan karena setelah sekian kali dilewati
kendaraan kondisi permukaan lantai menjadi tidak rata lagi (aus pada daerah
lintasan roda). Ketebalan dari lapisan aus ini sangat bervariasi. Oleh karenanya,
faktor untuk beban mati tambahan ini lebih besar dari faktor beban untuk berat
sendiri. Misalnya menurut BMS faktor untuk berat sendiri adalah 1,3 dan 0,7
sementara untuk beban tambahan adalah 2,0 dan 0,7; sementara menurut
AASHTO faktor beban untuk berat sendiri diberikan 1,25 dan 0,9 sementara
untuk untuk beban tambahan adalah 1,5 dan 0,65.
Beban utilitas adalah beban yang diterima jembatan akibat pipa dan kabel
yang mungkin ada pada jembatan. Beban ini sulit diprediksi, sehingga dengan
memakai faktor beban yang lebih besar, kesalahan prediksi dapat dikurangi
pengaruhnya.
Beban mati akibat timbunan tanah sering dijumpai pada jembatan
pelengkung atau pada tumit dari struktur dinding penahan tanah seperti abutmen
ataupun sayap (wing wall). Tekanan tanah pada dinding penahan terjadi
dibelakang dinding dan surcharge diatas tanah di belakang dinding. Beban akibat
13
tekanan tanah ini juga memiliki variasi tinggi sehingga faktor beban yang
digunakan harus dinaikan.
Beban mati akibat pelaksanaan yang sifatnya permanen seperti berat sendiri
dan gaya prategang pada struktur tertentu harus diperhitungkan dalam analisis
dengan faktor beban yang sesuai.
2.3.3 Beban Transien
Yang tergolong dalam beban transien disini adalah beban hidup yang terjadi
pada jembatan. Untuk jembatan jalan raya, umumnya berupa beban kendaraan
ringan dan sepeda motor. Disamping yang juga tergolong dalam jenis beban ini
yaitu beban pejalan kaki. Namun yang paling kritis dalam beban transien ini
adalah beban truk, sehingga pengaruh beban kendaraan ringan dapat diabaikan.
Dalam analisis, selain beban truk, harus diperhatikan juga mengenai pengaruh lain
seperti beban kejut lalu lintas (impact) atau efek dinamis, gaya rem (braking
force), dan gaya sentrifugal.
Jumlah lajur dalam perencanaan jembatan merupakan kriteria penting,
karenanya harus ditetapkan terlebih dahulu. Jumlah lajur lalu-lintas rencana
adalah integer dari lebar jembatan dibagi lebar lajur rencana. BMS sendiri
menentukan lebar lajur rencana adalah sebesar 2750 mm.
2.3.4 Beban Lalu Lintas
Beban lalu lintas yang umum digunakan dalam perencanaan jembatan
adalah beban “D” dan beban “T”. Beban “D” merupakan beban lajur yang bekerja
pada seluruh lebar lajur kendaraan dan menimbulkan pengaruh pada jembatan
yang setara atau ekivalen dengan iring-iringan kendaraan yang sebenarnya.
Jumlah beban “D” ini sangat tergantung pada lebar lajur kendaraan itu sendiri.
Beban “T” adalah beban truk yang didefinisikan sebagai kendaraan berat
tiga as yang ditempatkan pada beberapa posisi dalam lajur lalu lintas rencana.
Tiap as terdiri dari dua bidang kontak pembebanan yang dimaksudkan sebagai
simulasi pengaruh roda kendaraan berat. Hanya satu truk yang diterapkan tiap
lajur lalu lintas.
14
2.3.4.1 Beban Lajur “D”
a. Intensitas dari beban lajur “D”
Beban lajur “D” didefinisikan sebagai beban yang terdiri dari beban merata
yang tersebar sepanjang lajur kendaraan, dikenal dengan UDL yang digabungkan
dengan beban garis, dikenal dengan KEL, seperti terlihat pada gambar berikut:
Gambar 2.8 Beban lajur “D”
Sumber : BMS (1992), bagian 2
Beban terbagi rata UDL mempunyai intensitas q kPa dimana besarnya q ini
tergantung dari panjang total (L) yang dibebani sebagai berikut:
L ≤ 30 m, maka q = 8,0 kPa
L 30 m, maka q =
kPa
Sementara untuk beban garis KEL dengan intensitas p kPa harus
ditempatkan tegak lurus dari arah lalu lintas pada jembatan dan ditetapkan sebesar
44 kPa.
b. Penyebaran beban lajur “D” pada arah melintang
Beban “D” harus disusun pada arah melintang sedemikian rupa sehingga
menimbulkan momen maksimum. Penyusunan komponen-komponen UDL dan
KEL dari beban “D” pada arah melintang harus sama. Bila:
Lebar lajur kendaraan jembatan ≤ 5,5 m maka beban “D” harus
ditempatkan pada seluruh jalur dengan intensitas 100%.
15
Lebar lajur kendaraan jembatan > 5,5 m maka beban “D” harus
ditempatkan pada seluruh jalur dengan intensitas 100%. Hasilnya adalah
beban garis sebesar 5,5 kN/m dan beban terpusat ekivalen sebesar 5,5 p
kN, yang bekerja berupa STRIP pada jalur sebesar 5,5 m. Lajur lalu
lintas yang berupa strip ini dapat ditempatkan dimana saja pada jalur
jembatan. Beban “D” tambahan sebesar 50% dari intensitas awal harus
ditempatkan pada sisa lebar lajur kendaraan. Penyebaran beban dapat
dilihat pada Gambar 2.9 berikut:
Gambar 2.9 Penyebaran beban lajur “D” pada arah melintang
Sumber : BMS (1992), bagian 2
2.3.4.2 Beban Truk “T”
Beban truk atau beban “T” ini terdiri dari kendaraan truk semi trailler yang
mempunyai susunan dan berat as seperti pada Gambar 2.10, dimana berat dari
masing-masing as disebarkan menjadi dua beban merata yang sama besar yang
merupakan bidang kontak antara dua roda truk dengan lantai kendaraan.
Dengan tidak memperhitungkan panjang jembatan atau susunan bentang,
hanya ada satu kendaraan truk yang dapat ditempatkan pada satu lajur lalu lintas
rencana, meskipun pada kenyataan di lapangan suatu jembatan dapat saja dibebani
oleh iring-iringan truk. Dengan catatan kendaraan truk ini harus ditempatkan di
tengah-tengah lajur lalu lintas rencana.
16
Gambar 2.10 Penyebaran beban truk “T”
Sumber : BMS (1992), bagian 2
2.3.5 Beban Dinamis
Faktor beban dinamis (DLA) berlaku pada beban KEL, beban “D” dan
beban “T” untuk simulasi kejut dari kendaraan bergerak pada struktur jembatan.
Besar dari faktor beban dinamis ini adalah sama untuk semua bagian struktur
jembatan sampai pondasi.
Untuk beban “T”, nilai DLA adalah 0,3
Untuk beban KEL, nilai DLA merupakan fungsi dari panjang bentang
ekivalen (Le), yaitu:
Le ≤ 50 m, maka DLA = 0,4
50 m < Le < 90 m, maka DLA = 0,525 – 0,0025 Le
Le 90 m, maka DLA = 0,3
Dimana :
Le adalah panjang bentang aktual (untuk bentang sederhana)
Le = √ (untuk bentang menerus)
17
2.3.6 Beban/ Gaya Rem
Pengaruh percepatan dan pengereman dari lalu lintas harus diperhitungkan
sebagai gaya dalam arah memanjang dan dianggap bekerja pada permukaan lantai
kendaraan. Dengan ditentukan sesuai persyaratan berikut:
HTB = 250 untuk Lt ≤ 80 m
HTB = 250 + 2,5*(Lt-80) untuk 80 < Lt < 180 m
HTB = 500 untuk Lt > 180 m
Dengan besarnya gaya rem adalah HTB/jumlah balok girder. Dengan lengan kerja
gaya, y = 1,8 + (tebal lapisan aspal+overlay) + (0,5 . tinggi girder).
2.3.7 Beban Seret dan Tumbukan pada Pilar
Untuk beban seret dan tumbukan pada pilar, gaya seret nominal ultimate
dan daya layan pada pilar akibat aliran air tergantung pada kecepatan air rata-rata,
yaitu:
D
2
DEF A..(Vs)C0,5.T (2.2)
Dimana :
Vs = kecepatan air rata-rata (m/dt) untuk keadaan batas yang ditinjau
CD = koefisien seret yang tergantung dari bentuk pilar (Gambar 2.12
BMS 1992, bagian 2)
AD = luas proyeksi pilar tegak lurus arah aliran (m2) dengan tinggi
sama dengan kedalaman aliran (Gambar 2.13, BMS 1992,
bagian 2)
Gaya akibat tumbukan dengan batang kayu dihitung dengan asumsi bahwa
batang dengan massa minimum sebesar 2 ton hanyut pada kecepatan aliran
rencana harus bisa ditahan dengan gaya maksimum berdasarkan dari lendutan
elastis ekivalen dari pilar dengan rumus:
d
).(VMT
2
S
EF (2.3)
Dimana:
M = massa batang kayu (2 ton)
Vs = kecepatan air (m/dt) untuk keadaan batas yang ditinjau
d = lendutan elastis ekivalen (m), Tabel 2.8, BMS 1992, bagian 2
18
2.3.8 Pengaruh Temperatur
Semua elemen struktur diberikan pengaruh temperatur untuk menghitung
perpanjangan dan penyusutan pada jembatan. Pengaruh suhu di Indonesia
umumnya kecil dan masih mampu diserap oleh perletakan dan disalurkan ke
bangunan bawah oleh bangunan atas.
2.3.9 Pengaruh Beban Gempa
Untuk beban rencana gempa minimum, dihitung dengan analisa statik
ekivalen, dimana rumus yang digunakan adalah:
TEQ = Kh . I. WT (2.4)
dengan
Kh = C. S (2.5)
Keterangan:
TEQ = gaya geser dasar total dalam arah yang ditinjau
Kh = koefisien beban gempa horisontal
C = koefisien geser tanah dasar untuk daerah, waktu getar alami, dan kondisi
tanah setempat yang sesuai (Gambar 2.14, BMS 1992, bagian 2)
T = waktu getar alami (diperoleh saat analisis Modal di Run analysis pada
SAP2000)
I = faktor kepentingan (Tabel 2.13, BMS 1992, bagian 2)
S = faktor tipe bangunan (Tabel 2.14, BMS 1992, bagian 2)
WT = berat total nominal bangunan yang mempengaruhi percepatan gempa
diambil sebagai beban mati ditambah beban mati tambahan.
2.3.10 Beban Pelaksanaan
Berdasarkan BMS 1992, bagian 2, perencana jembatan harus
memperhitungkan adanya gaya-gaya yang timbul selama pelaksanaan konstruksi,
stabilitas, dan daya tahan dari bagian-bagian komponen jembatan. Apabila
rencana pelaksanaan tergantung pada metode pelaksanaan yang akan digunakan,
maka struktur harus mampu menahan semua beban pelaksanaan secara aman.
Adapun beban pelaksanaan yang dimaksud disini adalah:
19
Beban yang disebabkan oleh aktivitas pelaksanaan itu sendiri, dan
Aksi lingkungan yang mungkin timbul selama waktu pelaksanaan
2.4 Kombinasi Pembebanan
Faktor beban dan kombinasi pembebanan yang digunakan mengacu pada
BMS 1992 bagian 2. Dimana faktor beban dan kombinasi beban yang akan
digunakan seperti yang nampak dalam Tabel 2.1 dan Tabel 2.2 berikut:
Tabel 2.1 Faktor beban pada keadaan batas ultimate
No. Aksi Durasi Faktor Beban pada Keadaan
Batas Ultimate
1 Berat sendiri Tetap 1,3
2 Beban tambahan Tetap 1,8
3 Beban lajur “D” Transien 1,8
4 Beban truk “T” Transien 1,8
5 Gaya rem Transien 1,8
6 Beban trotoar Transien 1,8
7 Aliran/ benda hanyutan Transien 1,8
8 Angin Transien 1,2
9 Gempa Transien 1
Sumber : BMS (1992)
Tabel 2.2 Kombinasi beban ultimate
Aksi Kombinasi Beban
1 2 3 4 5 6
Aksi Tetap Beban berat sendiri x x x x x x
Beban mati tambahan x x x x x x
Aksi Transient
Beban truk “T” atau Beban lajur “D” x o o o
Beban pejalan kaki x
Beban angin o x o
Gaya rem x o o o
Aliran/hanyutan o x o o
Aksi Lain Beban gempa x
keterangan : x berarti memasukan faktor beban ultimate penuh.
o berarti memasukan nilai yang sama dengan beban layan
Sumber : BMS (1992)
20
2.5 Metode dan Overhead Form Traveller (Traveller)
Metode analisis konstruksi bertahap dengan bantuan Traveller adalah
metode terkini yang digunakan/ diaplikasikan untuk konstruksi yang
menggantung atau kantilever. Umumnya namun tidak selalu metode ini
digunakan untuk jenis struktur beton bertulang yang menggantung. Dek beton
dan jenis struktur menggantung lainnya seringkali dibangun dengan bantuan
struktur sementara atau bekisting yang ditujukan untuk pengecoran di tempat.
Struktur sementara atau bekisting ini kemudian akan dilepas setelah beton
mengering.
Sebagai pengganti bekisting untuk pengecoran di tempat yang memerlukan
tata cara penyusunan yang rumit dan penyangga scaffolding yang banyak, maka
digunakanlah form traveller sebagai bekisting pada daerah terbuka pada struktur
kantilever. Penggunaan form traveller ini memberikan keuntungan untuk struktur
dengan bentang panjang seperti jembatan yang umumnya terdapat jurang atau
sungai di bawah jembatan tersebut yang menyulitkan untuk aksesibilitas kerja.
Form traveller tradisional menggunakan bagian-bagian semacam bekisting yang
dapat digerakan sepanjang arah konstruksi sementara ditunjang oleh bagian
struktur yang telah disiapkan. Sebuah form traveller umumnya berupa frame yang
mendukung bekisting dengan roda rel sehingga dapat bergerak dari satu section ke
section yang lainnya.
Struktur jembatan beton konvensional menggunakan banyak penunjang
dalam pembangunan dek jembatan, terutama pada pertemuan antara balok
maupun jaringan dek. Untuk lebih efisiensi biaya dan waktu, digunakanlah form
traveller. Desain form traveller konvensional terdiri atas sling bawah dan traveler
atas. Seperti namanya, sling bawah digantung dibawah struktur jembatan yang
telah dinaikan sebelumnya dan diteruskan sampai ujung struktur untuk
mendukung bekisting untuk section berikutnya yang akan dibangun. Selama
proses pembangunan, sling bawah ini tetap dilanjutkan untuk pengembangan
struktur. Disisi lain, traveler atas adalah bagian dari form traveller yang diletakan
diatas struktur yang telah dinaikan sebelumnya. Traveler atas ini dapat bergerak
maju menuju segmen struktur yang akan dicor sekaligus sebagai tempat bekisting
digantungkan.
21
Prinsip kerja dari form traveller ini adalah form traveller dipasang
sedemikian hingga pada struktur yang telah dinaikan sebelumnya. Kemudian form
traveller ini digerakan menuju section yang akan dibangun untuk selanjutnya
dilakukan cor ditempat. Selanjutnya, seluruh beban dari section/ bagian yang baru
dibangun ditahan oleh bagian struktur yang telah selesai dibangun sebelumnya.
Segera setelah segmen tersebut kuat untuk menerima/ menahan bebannya sendiri,
maka form traveller dapat digerakan menuju bagian yang akan dibangun
selanjutnya.
Gambar 2.11 Form traveller
2.6 Konsep Beton Bertulang
Beton bertulang adalah beton yang ditulangi dengan luas dan jumlah
tulangan yang tidak kurang dari nilai minimum, yang disyaratkan dengan atau
tanpa prategang, dan direncanakan berdasarkan asumsi bahwa kedua material
bekerja bersama-sama dalam menahan gaya yang bekerja.
Karena beton merupakan material yang kuat menahan tekan, namun lemah
dalam menahan tarik, maka beton akan mengalami retak jika beban yang
dipikulnya menimbulkan tegangan tarik yang melebihi kekuatan tariknya.
Kemudian timbul ide untuk mengkombinasikan material beton ini dengan
material baja yang mempunyai kelebihan yang kuat menahan tarik. Dengan
menanamkan material baja seperlunya pada beton diperoleh material beton
22
bertulang dengan baja sebagai andalan pemikul tarik dan beton sebagai andalan
pemikul tekan
2.7 Perencanaan Pelengkung
Analisa struktur untuk menganalisa konstruksi pelengkung adalah dengan
membagi pelengkung menjadi bagian-bagian yang sama panjangnya disepanjang
sumbu sendiri pelengkung. Semakin banyak potongan/ section yang dibuat maka
semakin teliti hasil yang akan diperoleh. Tinjauan konstruksi dapat dilihat dalam
gambar berikut:
Gambar 2.12 Gambar penampang pelengkung
Tiap potongan merupakan suatu bagian kecil, sehingga dapat dianggap
keseluruhan terbagi atas beberapa garis lurus yang patah-patah yang tingginya
mengikuti persamaan busur lingkaran:
L : (x-a)2 + (y-b)
2 = R
2 (2.26)
Pelengkung dengan batang non prismatis, yaitu pelengkung dengan
penampang berbeda pada ujung-ujungnya, besarnya harga „n‟ sebagai
perbandingan antara momen inersia penampang pada suatu titik dengan momen
inersia penampang pada puncak lengkungan, tidak sama dengan satu. Besarnya
momen inersia di setiap titik tentu berbeda dan bervariasi dan merupakan fungsi
dari x, atau dapat dirumuskan sebagai berikut:
(2.27)
Salah satu cara untuk menganalisa konstruksi pelengkung dengan batang
non prismatis adalah dengan membagi balok pelengkung menjadi beberapa
23
segmen (bagian-bagian kecil) dengan jarak yang sama terhadap sumbu
longitudinal pelengkung. Semakin banyak segmen/ bagian yang dibuat, semakin
teliti hasil analisa yang diperoleh.
Gambar 2.13 Gambar penampang pelengkung non-prismatis
Sumber: Sutarja, 2014
Untuk penyelesaian analisa, digunakan beberapa asumsi yaitu:
1. Tiap potongan merupakan suatu bagian yang kecil, sehingga dapat
diasumsikan sebagai batang yang lurus. Dengan demikian, pelengkung
akan terlihat tersusun dari beberapa garis lurus yang patah-patah seperti
pada Gambar 2.14.
Gambar 2.14 Gambar Pembagian Pias Pelengkung
24
2. Karena tiap potongan merupakan bagian yang kecil, maka panjang
segmen ditentukan dengan persamaan Phytagoras, yaitu:
√ (2.28)
Gambar 2.15 Pias Pelengkung
Sumber: Sutarja, 2014
Pelengkung terjepit pada kedua sisinya dapat dianalisa apabila gaya desak,
gaya lintang, dan momen di sembarang penampang yang tegak lurus terhadap
sumbu kelengkungannya tersebut telah diketahui. Gaya desak (N) yang berupa
dorongan, adalah gaya yang bekerja tegak lurus terhadap penampang di titik
beratnya. Gaya lintang (V) adalah gaya yang bekerja sejajar dengan penampang.
Momen (M) adalah momen total terhadap titik kerja gaya desak pada penampang.
Gaya desak, gaya lintang, dan momen di sembarang tempat sepanjang pelengkung
terjepit akan dapat dengan mudah dianalisa dengan statika sederhana apabila
keenam reaksi pada kedua tumpuannya diketahui. Dengan meninjau seluruh
kerangka terdapat enam redundan yang tidak diketahui dan tiga persamaan statika
yang tersedia, maka lengkungan terjepit tergolong statis tak tentu derajat tiga.
25
2.8 Konsep Prategang
Ada beberapa definisi mengenai beton prategang, beberapa diantaranya
adalah:
a. Menurut PBI-1971
Beton prategang, adalah beton bertulang di dalam mana telah ditimbulkan
tegangan-tegangan intern dengan nilai dan pembagian yang sedemikian
rupa hingga tegangan-tegangan akibat beban-beban dapat dinetralkan
sampai suatu taraf yang diinginkan
b. Menurut Draft Konsensus Pedoman Beton 1988
Beton prategang, adalah beton bertulang di mana telah diberikan tegangan
dalam untuk mengurangi tegangan tarik potensial dalam beton akibat
pemberian beban yang bekerja.
c. Menurut ACI
Beton prategang, adalah beton yang mengalami tegangan internal dengan
besar dan distribusi sedemikian rupa sehingga dapat mengimbangi sampai
batas tertentu tegangan yang terjadi akibat beban eksternal
Adapun konsep-konsep dasar dari beton prategang pada dasarnya adalah
memberikan tegangan terlebih dahulu pada beton bertulang sebelum beton
bertulang menerima beban luar. Ada tiga konsep yang mendasari beton prategang
ini yaitu:
a. Konsep pertama Sistem prategang untuk mengubah beton menjadi bahan
yang elastis. Ini merupakan buah pemikiran Eugene Freyssinet yang
memvisualisasikan beton prategang pada dasarnya adalah beton yang di
ditransformasikan dari bahan yang getas menjadi bahan yang elastis
dengan memberikan tekanan (desakan) terlebih dahulu (pratekan) pada
bahan tersebut. Dari konsep ini lahirlah kriteria “tidak ada tegangan tarik”
pada beton. Pada umumnya telah diketahui bahwa jika tidak ada tegangan
tarik pada beton, berarti tidak akan terjadi retak, dan beton tidak
merupakan bahan yang getas lagi melainkan berubah menjadi bahan yang
26
elastis. Dalam bentuk yang paling sederhana, ambilah balok persegi
panjang yang diberi gaya prategang oleh sebuah tendon sentries (egs
berimpit cgc). Lihat gambar 2.16. Akibat gaya prategang F, akan timbul
tegangan tekan merata sebesar :
= A
F (2.29)
Jika M adalah momen eksternal pada penampang akibat beban dan berat
sendiri balik, maka tegangan pada setiap titik sepanjang penampang
akibat M adalah :
= I
y M (2.30)
Di mana Y adalah jarak dari sumbu yang melalui titik berat dan I adalah
momen inersia penampang. Jadi distribusi tegangan yang dihasilkan
adalah :
= A
F +
I
y M (2.31)
Gambar 2.16 Distribusi tegangan beton prategang sentries
Sumber: Sutarja (2011)
Bila tendon ditempatkan eksentris (sebesar e), maka distribusi
tegangannya (lihat Gambar 2.17) menjadi :
27
= A
F ±
I
ve F ±
I
y M
dimana I
y e F adalah tegangan akibat momen eksentris.
Gambar 2.17 Distribusi tegangan beton prategang eksentries
Sumber: Sutarja (2011)
b. Konsep kedua, sistem prategang untuk kombinasi baja mutu tinggi
dengan beton. Konsep ini mempertimbangkan beton prategang sebagai
kombinasi (gabungan) dari baja dan beton, seperti pada beton bertulang,
dimana baja menahan tarikan dan beton menahan tekanan, dengan
demikian kedua bahan membentuk kopel penahan untuk melawan momen
eksternal (Gambar 2.18). Pada beton prategang, baja mutu tinggi dipakai
dengan jalan menariknya sebelum kekuatannya dimanfaatkan
sepenuhnya. Jika baja mutu tinggi ditanam pada beton, seperti pada beton
bertulang biasa, beton disekitarnya akan menjadi retak berat sebelum
seluruh kekuatan baja digunakan (Gambar 2.19). oleh karena itu baja
perlu ditarik sebelumnya (pratarik) terhadap beton. Dengan menarik dan
menjangkarkan ke beton dihasilkan tegangan dan regangan yang
diinginkan pada kedua bahan, tegangan dan regangan tekan pada beton
28
serta tegangan dan regangan pada baja. Kombinasi ini memungkinkan
pemakaian yang aman dan ekonomis dari kedua bahan dimana hal ini
tidak dapat dicapai jika baja hanya ditanamkan dalam beton seperti pada
beton bertulang biasa.
Gambar 2.18 Momen penahan internal pada balok beton prategang dan beton
bertulang
Sumber: Sutarja (2011)
Gambar 2.19 Balok beton menggunakan baja mutu tinggi
Sumber: Sutarja (2011)
c. Konsep ketiga, sistem prategang untuk mencapai pertimbangan beban.
Konsep ini terutama menggunakan prategang sebagai suatu usaha untuk
membuat seimbang gaya-saya pada sebuah batang (lihat Gambar 2.20 dan
29
Gambar 2.21). Penerapan dari konsep ini menganggap beton diambil
sebagai benda-benda dan menggantikan tendon dengan gaya-gaya yang
bekerja dan pada beton sepanjang beton.
Gambar 2.20 Balok prategang dengan tendon parabola
Sumber: Sutarja (2011)
Gambar 2.21 Balok prategang dengan tendon membengkok
Sumber: Sutarja (2011)
2.9 Pengenalan Program SAP2000
Program SAP2000 merupakan salah satu program analisis struktur yang
lengkap namun mudah untuk digunakan. Prinsip utama penggunaan program ini
adalah pemodelan struktur, eksekusi analisis, dan pemeriksaan atau optimalisasi
30
desain., yang semuanya dilakukan dalam satu langkah atau satu tampilan. Untuk
tampilan dari SAP2000 sendiri berupa tampilan real time sehingga memudahkan
pengguna untuk melakukan pemodelan secara menyeluruh dalam waktu singkat
namun dengan hasil yang tepat.
Output yang dihasilkan juga dapat ditampilkan sesuai dengan kebutuhan
baik berupa model struktur, grafik, maupun spreadsheet. Semua hasil output ini
dapat disesuaikan dengan kebutuhan penyusunan laporan analisis dan desain.
Analisis SAP2000 menggunakan finite element method baik untuk static
analysis maupun dynamic analysis (nonliniear analysis). Semuanya terintegrasi
dalam satu paket yang dilengkapi dengan beberapa database untuk keperluan
analisis dan desain seperti database tampang struktur untuk berbagai bentuk mulai
dari yang simetris maupun non simetris. Beberapa kemampuan yang dimiliki oleh
program SAP2000 antara lain:
Analisis yang cepat dan akurat
Model pembebanan yang lebih lengkap, baik itu static loading (beban
diam) maupun dinamic loading (beban bergerak).
Pemodelan elemen shell yang lebih akurat
Analisis dinamik dengan Ritz dan Eigenvalue
Sistem koordinate ganda untuk bentuk geometri struktur yang kompleks
SAP2000 tidak membatasi kapasitas analisis sehingga dapat diaplikasikan
untuk bentuk yang paling kompleks sekalipun. Program ini juga dilengkapi
dengan analisis struktur jembatan dengan pembebanan bergerak, dan pilihan
analisis dengan time history yang dapat disesuaikan dengan kondisi di daerah
tertentu. Efek gerakan tanah dasar juga dapat mempengaruhi struktur yang
dimodelkan.
Untuk keperluan desain struktur, SAP2000 mnyediakan fasilitas yang
lengkap untuk perencanaan struktur beton maupun baja. Desain struktur baja
dilengkapi dengan input dimensi dan bentuk yang disesuaikan dengan database
yang berlaku untuk beberapa aturan perencanaan. Hal yang sama juga berlaku
untuk perencanaan struktur beton. Program SAP2000 dilengkapi dengan
perhitungan penulangan yang dibutuhkan. Elemen-elemen tertentu dapat
digabungkan menjadi satu grup yang memudahkan dalam perencanaan. Tampilan
31
data perhitungan untuk masing-masing elemen dapat ditampilkan langsung
dengan meng-klik elemen yang dikehendaki.
Program SAP2000 ini sendiri didukung oleh berbagai peraturan yang dapat
dipilih dalam perencanaan. Untuk struktur beton, peraturan yang mendukung
antara lain:
U.S. ACI 318-05 (2005)/ IBC 2003 dan AASHTO LRFD (1997)
Canadian CSA-A23.3-94 (1994)
British BS 81 10-85 (1989)
Eurocode 2 ENV 1992-1-1 (1992)
New Zealand NZS 3101-95 (1995)
Sementara untuk mendukung perencanaan struktur baja, antara lain:
U.S. AISC/ASD (1989), AISC/LRFD (1994), AASHTO LRFD (1997)
Canadian CAN/CSA-S16.1-94 (1994)
British BS 5950 (1990)
Eurocode 3 (ENV 1993-1-1)
2.10 Sistem Koordinat pada SAP
Pada program SAP 2000, setiap model struktur menggunakan koordinat
yang berbeda, untuk menentukan join dan arah beban, displacement, gaya-gaya
dalam dan tegangan. Semua sistem koordinat pada model, ditentukan dengan
mengikuti sistem koordinat global X, Y, Z. Dan setiap bagian joint dan frame dari
struktur / penampang, mematuhi sistem koordinat lokal 1,2,3.
Pada setiap penampang punya sistem koordinat lokal yang digunakan untuk
menentukan potongan property, beban dan gaya-gaya dalam. Sumbu 1 pada
sistem koordinat lokal batang adalah sumbu yang arahnya searah sumbu
penampang. Sumbu 2 dan sumbu 3 adalah sumbu yang tegak lurus. Hal ini dapat
dilihat dari ketentuan element/forces pada SAP dimana momen 3-3 berarti momen
yang terjadi pada pada sumbu 3-3 lokal frame. Begitu pula gaya-gaya yang lain
menyesuaikan dengan sumbu yang dimaksud.
32
2.11 Analisis Konstruksi Bertahap
Berdasarkan Analysis Reference Manual SAP2000, 2002, kenonlinieran
struktur dapat digolongkan menjadi: kenonlinieran material seperti berbagai
macam kenonlinieran sambungan dan batas tegangan pada elemen batang serta
diagram tegangan regangan material; kenonlinieran geometri seperti analisis efek
P-delta dan konstruksi bertahap.
Konstruksi bertahap merupakan bagian dari analisis statis nonlinier yang
menganalisa struktur dalam beberapa fase tingkat/ tahap (Analysis Reference
Manual SAP 2000, 2002). Ide dasar dari analisis ini adalah pada tahap awal,
kondisi awal struktur adalah nol, dalam artian elemen struktur memiliki gaya-gaya
dalam dan lendutan sama dengan nol. Semua elemen belum terbebani dan belum
terjadi lendutan. Untuk tahapan analisa selanjutnya, merupakan kelanjutan dari
analisis nonlinier pada tahapan sebelumnya. Maksud dari pernyataan ini yaitu
gaya-gaya dalam dan deformasi pada tahap sebelumnya diikutsertakan pada
analisis tahap berikutnya.
Masih berdasarkan Analysis Reference Manual SAP2000, 2002, analisis
konstruksi bertahap merupakan bagian analisis nonlinier khusus yang memerlukan
beberapa kondisi sehingga dapat diterima program. Konstruksi bertahap
memungkinkan kita sebagai pengguna untuk menentukan tahapan yang ingin
ditambahkan atau dikurangi dari struktur yang dianalisis, memilih secara selektif
beban yang akan dikerjakan pada struktur, serta mempertimbangkan perilaku
material struktur terhadap waktu, seperti usia, penyusutan, dan rangkaknya.
Analisis konstruksi bertahap digolongkan menjadi analisis nonlinier statik
karena dalam analisisnya struktur yang dianalisis dapat berubah seiring waktu.
Oleh karena itu, analisis konstruksi bertahap dapat dikerjakan bersamaan dengan
beberapa tahap yang melibatkan analisis nonliniear lainnya seperti Time History
Analysis dan Stiffness Basis Analysis. Dalam analisis konstruksi bertahap, hasil
analisis pada tahap terakhirlah yang akan digunakan sebagai acuan.
Dalam SAP2000, untuk setiap analisis nonlinier konstruksi bertahap, akan
ditentukan beberapa tahapan yang akan digunakan. Tahapan-tahapan ini akan
dianalisis sesuai dengan urutan tahapan yang ditentukan, mulai dari tahap pertama
dan seterusnya. Pengguna dapat menentukan berapa banyak tahapan yang
33
diinginkan dalam satu Load Case. Analisis konstruksi bertahap juga dapat
diteruskan dari satu Load Case ke Load Case lainnya. Dalam tiap tahapan, perlu
ditentukan beberapa hal sebagai berikut:
a. Durasi, dalam hari. Hal ini akan digunakan untuk Time-dependent effects.
Namun, jika analisis ini tidak ingin digunakan, atur durasinya menjadi
nol.
b. Jumlah objek yang dikelompokan dalam tahap tersebut ditambahkan ke
struktur. Usia/ umur objek merupakan fungsi dari Time-dependent effects
jika diperhitungkan.
c. Jumlah objek yang dihilangkan dari struktur.
d. Jumlah objek yang akan dibebani ditentukan. Apakah seluruh objek yang
ada akan dibebani ataukah hanya objek dalam grup yang baru
ditambahkan dalam tahapan ini yang akan dibebani.
Objek dapat ditentukan secara detail dengan menggunakan kelompok-
kelompok. Pada umumnya penggunaan kelompok/ grup ini akan sangat
memudahkan, sehingga dalam analisis konstruksi bertahap, langkah pertama
dalam analisis adalah untuk menentukan kelompok/ grup untuk setiap tahapannya.
Setiap tahapan dalam analisis konstruksi bertahap dianalisis secara terpisah
untuk tahapan yang telah ditentukan. Analisis setiap tahap memiliki dua bagian,
yaitu :
(1) Perubahan struktur dan pengaplikasian beban dianalisis.
(2) Ketika ditentukan kondisi durasi sama dengan nol, kemudian dianalisis
time-dependent material effects. Selama masa ini, struktur tidak
berubah dan pengaplikasian beban dianggap konstan.
Dalam analisis konstruksi bertahap ini, kondisi yang benar-benar dipakai
adalah kondisi terakhir dari struktur. Jika suatu objek berada di beberap
kelompok, maka objek tersebut akan diasumsikan sesuai dengan kelompok
terakhir yang mengikutsertakannya.