BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jembatan - sinta.unud.ac.id II.pdf · Jenis struktur pelengkung seperti...

29
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jembatan Jembatan merupakan salah satu bentuk konstruksi yang berfungsi meneruskan jalan melalui suatu rintangan. Seperti sungai, lembah dan lain-lain sehingga lalu lintas jalan tidak terputus olehnya. Menurut Struyk (1995) dalam Suryantara (2004), jembatan merupakan struktur yang melintasi sungai, teluk, atau kondisi-kondisi lain berupa rintangan yang berada lebih rendah. Rintangan yang dimaksud yaitu dapat berupa sungai, jurang, laut, ruas jalan tidak sebidang dan lain sebagainya. Sehingga memungkinkan kendaraan, kereta api maupun pejalan kaki dapat melintas dengan lancar dan aman. Dalam perencanaan konstruksi jembatan dikenal dua bagian yang merupakan satu kesatuan yang utuh yakni : 1. Bangunan Bawah ( Sub Struktur ) 2. Bangunan Atas ( Super Struktur ) Bangunan atas terdiri dari lantai kendaraan, trotoar, tiang-tiang sandaran dan gelagar. Bangunan bawah terdiri dari pondasi, abutmen, pilar jembatan dan lain- lain. Pemilihan bentuk jembatan sangat dipengaruhi oleh kondisi dari lokasi jembatan tersebut. Pemilihan lokasi tergantung medan dari suatu daerah dan tentunya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat di daerah. Bentuk dari konstruksi jembatan harus layak dan ekonomis. Perencanaan konstruksi jembatan berkaitan dengan letaknya. Oleh beberapa ahli menentukan syarat-syarat untuk acuan dari suatu perencanaan jembatan sebagai berikut : 1. Letaknya dipilih sedemikian rupa dari lebar pengaliran agar bentang bersih jembatan tidak terlalu panjang. 2. Kondisi dan parameter tanah dari lapisan tanah dasar hendaknya memungkinkan perencanaan struktur pondasi lebih efesien.

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jembatan - sinta.unud.ac.id II.pdf · Jenis struktur pelengkung seperti...

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jembatan

Jembatan merupakan salah satu bentuk konstruksi yang berfungsi

meneruskan jalan melalui suatu rintangan. Seperti sungai, lembah dan lain-lain

sehingga lalu lintas jalan tidak terputus olehnya. Menurut Struyk (1995) dalam

Suryantara (2004), jembatan merupakan struktur yang melintasi sungai, teluk,

atau kondisi-kondisi lain berupa rintangan yang berada lebih rendah. Rintangan

yang dimaksud yaitu dapat berupa sungai, jurang, laut, ruas jalan tidak sebidang

dan lain sebagainya. Sehingga memungkinkan kendaraan, kereta api maupun

pejalan kaki dapat melintas dengan lancar dan aman.

Dalam perencanaan konstruksi jembatan dikenal dua bagian yang

merupakan satu kesatuan yang utuh yakni :

1. Bangunan Bawah ( Sub Struktur )

2. Bangunan Atas ( Super Struktur )

Bangunan atas terdiri dari lantai kendaraan, trotoar, tiang-tiang sandaran dan

gelagar. Bangunan bawah terdiri dari pondasi, abutmen, pilar jembatan dan lain-

lain.

Pemilihan bentuk jembatan sangat dipengaruhi oleh kondisi dari lokasi

jembatan tersebut. Pemilihan lokasi tergantung medan dari suatu daerah dan

tentunya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat di daerah. Bentuk dari

konstruksi jembatan harus layak dan ekonomis.

Perencanaan konstruksi jembatan berkaitan dengan letaknya. Oleh beberapa

ahli menentukan syarat-syarat untuk acuan dari suatu perencanaan jembatan

sebagai berikut :

1. Letaknya dipilih sedemikian rupa dari lebar pengaliran agar bentang

bersih jembatan tidak terlalu panjang.

2. Kondisi dan parameter tanah dari lapisan tanah dasar hendaknya

memungkinkan perencanaan struktur pondasi lebih efesien.

6

3. Penggerusan ( scowing ) pada penampang sungai hendaknya dapat

diantisipasi sebelumnya dengan baik agar profil saluran di daerah

jembatan dapat teratur dan panjang.

Dari syarat-syarat tersebut diatas telah dijelaskan bahwa pemilihan

penempatan jembatan merupakan salah satu dari rangkaian sistem perencanaan

konstruksi jembatan yang baik, namun demikian aspek–aspek yang lain tetap

menjadi bagian yang penting, misalnya saja sistem perhitungan konstruksi;

penggunaan struktur ataupun mengenai sistem nonteknik seperti obyektivitas

pelaksana dalam merealisasikan jembatan tersebut. Mengenai bentuk-bentuk

jembatan dapat dibedakan menurut:

a. Material yang digunakan

Jembatan kayu

Jembatan baja

Jembatan beton

Jembatan gabungan baja dan beton

b. Jenis konstruksinya

Jembatan ulir

Jembatan gelagar

Jembatan plat

Jembatan gantung

Jembatan dinding penuh

Jembatan lengkungan

c. Menurut penggolongan

Jembatan yang dapat digerakan, merupakan jenis jembatan baja yang

pelaksanaannya dibuat sebagai gelagar dinding penuh.

Jembatan tetep, jenis jembatan seperti ini digunakan untuk keperluan

lalu lintas. Seperti jembatan kayu, jembatan beton dan jembatan batu.

2.2 Jembatan Pelengkung

Melengkung adalah sebuah keunikan dari sebuah jembatan yang

ditunjukkan seperti setengah lingkaran atau elips. Jembatan pelengkung adalah

jembatan dengan struktur setengah lingkaran dimana pada kedua ujungnya

7

bertumpu pada abutmen. Pada umumnya jembatan pelengkung dibuat untuk

melewatkan kendaraan atau kereta api yang menyeberangi lembah atau sungai

yang dalam. Jembatan ini biasanya dibuat dari beton atau baja. Salah satu aspek

penting pada konstruksi pelengkung adalah bahwa struktur tersebut harus didesain

untuk memikul sejumlah tertentu variasi beban, baik momen lentur maupun gaya

gaya aksial tanpa terjadi perubahan bentuk yang mencolok pada struktur.

Schodek (1998) membedakan jembatan berdasarkan jenis strukturnya

menjadi beberapa klasifikasi, yaitu :

1. Pelengkung Terjepit

Pelengkung jenis ini memiliki perletakan jepit pada kedua ujungnya yang

tidak memperbolehkan adanya rotasi pada perletakan struktur. Akibatnya

terjadi sejumlah gaya vertikal dan horisontal serta momen pada perletakan

struktur. Jenis pelengkung seperti ini sangat dipengaruhi oleh penurunan

relatif oleh tumpuannya. Struktur jembatan pelengkung jenis ini hanya

dibangun pada keadaan tanah yang relatif stabil. Pelengkung terjepit

merupakan struktur yang sangat kuat dibandingkan struktur pelengkung

lainnya.

Gambar 2.1 Pelengkung terjepit

Sumber : Suryantara (2004)

2. Pelengkung Dua Sendi

Pelengkung jenis ini mempunyai tumpuan sendi pada kedua ujungnya yang

memungkinkan terjadinya rotasi. Gaya-gaya yang dihasilkan pada

perletakan hanyalah gaya vertikal dan gaya horisontal. Jenis pelengkung

seperti ini relatif tidak dipengaruhi oleh penurunan tumpuan karena

8

memungkinkan adanya rotasi pada sendi. Umumnya struktur pelengkung

jenis ini menggunakan material baja.

Gambar 2.2 Pelengkung dua sendi

Sumber : Suryantara (2004)

3. Pelengkung Tiga Sendi

Pelengkung jenis ini merupakan pekengkung yang memiliki tiga buah sendi

pada strukturnya, yaitu dua buah pada masing-masing perletakannya dan

satu buah sendi pada puncak pelengkung. Jenis struktur pelengkung seperti

ini tidak dipengaruhi oleh penurunan tumpuan. Namun, penambahan sendi

pada puncak pelengkung akan mengurangi kekakuan struktur dan

menyebabkan defleksi yang besar. Selain itu, pelengkung jenis ini tergolong

struktur statis tak tentu karena kedua segmen pelengkung dapat saling

berputar.

Gambar 2.3 Pelengkung tiga sendi

Sumber : Suryantara (2004)

9

4. Pelengkung Terikat

Pada pelengkung jenis ini struktur diikat pada pelengkung dan merupakan

variasi pelengkung yang dapat diaplikasikan pada jenis tanah yang tidak

terlalu padat. Pada jenis pelengkung seperti ini, gaya horisontal yang

terjadi pada struktur plengkung utama dapat diimbangi oleh gaya

horisontal pada pelengkung samping sehingga gaya horisontal yang

diterima pondasi relatif lebih kecil.

Gambar 2.4 Pelengkung terikat

Sumber : Suryantara (2004)

Menurut bentuknya, jembatan pelengkung memiliki tiga variasi bentuk:

1. True Arch yaitu apabila konstruksi pelengkung ada dibawah lantai

kendaraan.

Gambar 2.5 True arch

10

2. Tied Arch, yaitu apabila konstruksi pelengkung berada pada atas lantai

kendaraan.

Gambar 2.6 Tied arch

3. Half True Arch yaitu gabungan dari True Arch dan Tied Arch yang

konstruksi pelengkungnya berada dibawah dan diatas lantai kendaraan.

Gambar 2.7 Half true arch

2.3 Pembebanan Jembatan

Dalam perencanaan jembatan, pembebanan yang diberlakukan pada

jembatan jalan raya, adalah mengacu pada standar “RSNI T-02-2005 Pembebanan

Untuk Jembatan”. Standar ini menetapkan ketentuan pembebanan dan aksi-aksi

yang akan digunakan dalam perencanaan jembatan jalan raya termasuk jembatan

pejalan kaki dan bangunan-bangunan sekunder yang terkait dengan jembatan.

Standar Pembebanan untuk Jembatan 2004 memuat beberapa penyesuaian

berikut:

a. Gaya rem dan gaya sentrifugal yang semula mengikuti Austroads,

dikembalikan ke Peraturan Nr. 12/1970 dan Tata Cara SNI 03-1725-1989

yang sesuai AASHTO

11

b. Faktor beban ultimit dari “Beban Jembatan” BMS-1992 direduksi dari

nilai 2 ke 1,8 untuk beban hidup yang sesuai AASHTO

c. Kapasitas beban hidup keadaan batas ultimit (KBU) dipertahankan sama

sehingga faktor beban 1,8 menimbulkan kenaikan kapasitas beban hidup

keadaan batas layan (KBL) sebesar 2/1,8 - 11,1 %.

d. Kenaikan beban hidup layan atau nominal (KBL) meliputi :

Beban T truk desain dari 45 ton menjadi 50 ton.

Beban roda desain dari 10 ton menjadi 11,25 ton.

Beban D terbagi rata (BTR) dari q = 8 kPa menjadi 9 kPa.

Beban D” garis terpusat (BGT) dari p = 44 kN/m menjadi 49 kN/m.

e. Beban mati ultimit (KBU) diambil pada tingkat nominal (faktor beban = 1)

dalam pengecekan stabilitas geser dan guling dari pondasi langsung.

Sesuai standar ini, beban truk legal adalah 50 ton dengan konfigurasi satu

truk setiap jalur sepanjang bentang jembatan

Selain daripada RSNI T-02-2005 Pembebanan Untuk Jembatan, ada standar

lain yang umum digunakan dalam perencanaan jembatan, yaitu Bridge

Management System (BMS). Adapun pembebanan untuk jembatan yang

dijelaskan dalam Bridge Management System ini meliputi:

2.3.1 Beban Gravitasi

Beban gravitasi meliputi beban-beban yang disebabkan oleh berat dari

komponen yang ada pada jembatan. Beban ini meliputi beban permanen dan

transien yang bekerja menuju pusat bumi. Perhitungan untuk beban gravitasi ini

memanfaatkan prinsip hukum Newton yaitu :

(2.1)

Dimana : F merupakan gaya gravitasi dalam satuan Newton (N); m adalah massa

(kg); dan a adalah percepatan gravitasi sebesar 9,81 m/s2.

2.3.2 Beban Permanen

Beban permanen yaitu beban-beban yang bekerja pada jembatan dalam

jangka waktu yang lama dan/ atau bahkan selama masa layan jembatan. Adapun

yang tergolong dalam beban permanen ini antara lain:

12

Beban mati dari komponen struktur dan non struktur (berat sendiri)

Beban mati dari lapisan aus dan utilitas (berat tambahan, seperti pipa dan

kabel, dan lain sebagainya)

Beban mati dari timbunan tanah

Beban tekanan tanah dan surcharge

Beban pelaksanaan tetap

Beban mati dari komponen struktur dan nonstruktur merupakan beban

permanen yang harus diperhitungkan dalam perencanaan dan analisis. Komponen

struktur terdiri dari seluruh elemen yang berfungsi sebagai penahan beban bagi

jembatan, seperti balok memanjang, struktur pelengkung, pilar, dan abutmen.

Komponen nonstruktur meliputi trotoar, parapet, railing, rambu-rambu,

iluminator, dan lain-lain. Berat dari komponen-komponen ini dapat dihitung

berdasarkan bentuk geometri masing-masing komponen dan berat jenis bahannya.

Beban mati akibat lapisan aus dan utilitas dihitung berdasarkan ketebalan

lapisannya. Yang dimaksud lapisan aus disini adalah lapisan penutup lantai

kendaraan, seperti aspal atau beton. Beban ini perlu diperhitungkan sebagai beban

tambahan pada pelat lantai kendaraan karena setelah sekian kali dilewati

kendaraan kondisi permukaan lantai menjadi tidak rata lagi (aus pada daerah

lintasan roda). Ketebalan dari lapisan aus ini sangat bervariasi. Oleh karenanya,

faktor untuk beban mati tambahan ini lebih besar dari faktor beban untuk berat

sendiri. Misalnya menurut BMS faktor untuk berat sendiri adalah 1,3 dan 0,7

sementara untuk beban tambahan adalah 2,0 dan 0,7; sementara menurut

AASHTO faktor beban untuk berat sendiri diberikan 1,25 dan 0,9 sementara

untuk untuk beban tambahan adalah 1,5 dan 0,65.

Beban utilitas adalah beban yang diterima jembatan akibat pipa dan kabel

yang mungkin ada pada jembatan. Beban ini sulit diprediksi, sehingga dengan

memakai faktor beban yang lebih besar, kesalahan prediksi dapat dikurangi

pengaruhnya.

Beban mati akibat timbunan tanah sering dijumpai pada jembatan

pelengkung atau pada tumit dari struktur dinding penahan tanah seperti abutmen

ataupun sayap (wing wall). Tekanan tanah pada dinding penahan terjadi

dibelakang dinding dan surcharge diatas tanah di belakang dinding. Beban akibat

13

tekanan tanah ini juga memiliki variasi tinggi sehingga faktor beban yang

digunakan harus dinaikan.

Beban mati akibat pelaksanaan yang sifatnya permanen seperti berat sendiri

dan gaya prategang pada struktur tertentu harus diperhitungkan dalam analisis

dengan faktor beban yang sesuai.

2.3.3 Beban Transien

Yang tergolong dalam beban transien disini adalah beban hidup yang terjadi

pada jembatan. Untuk jembatan jalan raya, umumnya berupa beban kendaraan

ringan dan sepeda motor. Disamping yang juga tergolong dalam jenis beban ini

yaitu beban pejalan kaki. Namun yang paling kritis dalam beban transien ini

adalah beban truk, sehingga pengaruh beban kendaraan ringan dapat diabaikan.

Dalam analisis, selain beban truk, harus diperhatikan juga mengenai pengaruh lain

seperti beban kejut lalu lintas (impact) atau efek dinamis, gaya rem (braking

force), dan gaya sentrifugal.

Jumlah lajur dalam perencanaan jembatan merupakan kriteria penting,

karenanya harus ditetapkan terlebih dahulu. Jumlah lajur lalu-lintas rencana

adalah integer dari lebar jembatan dibagi lebar lajur rencana. BMS sendiri

menentukan lebar lajur rencana adalah sebesar 2750 mm.

2.3.4 Beban Lalu Lintas

Beban lalu lintas yang umum digunakan dalam perencanaan jembatan

adalah beban “D” dan beban “T”. Beban “D” merupakan beban lajur yang bekerja

pada seluruh lebar lajur kendaraan dan menimbulkan pengaruh pada jembatan

yang setara atau ekivalen dengan iring-iringan kendaraan yang sebenarnya.

Jumlah beban “D” ini sangat tergantung pada lebar lajur kendaraan itu sendiri.

Beban “T” adalah beban truk yang didefinisikan sebagai kendaraan berat

tiga as yang ditempatkan pada beberapa posisi dalam lajur lalu lintas rencana.

Tiap as terdiri dari dua bidang kontak pembebanan yang dimaksudkan sebagai

simulasi pengaruh roda kendaraan berat. Hanya satu truk yang diterapkan tiap

lajur lalu lintas.

14

2.3.4.1 Beban Lajur “D”

a. Intensitas dari beban lajur “D”

Beban lajur “D” didefinisikan sebagai beban yang terdiri dari beban merata

yang tersebar sepanjang lajur kendaraan, dikenal dengan UDL yang digabungkan

dengan beban garis, dikenal dengan KEL, seperti terlihat pada gambar berikut:

Gambar 2.8 Beban lajur “D”

Sumber : BMS (1992), bagian 2

Beban terbagi rata UDL mempunyai intensitas q kPa dimana besarnya q ini

tergantung dari panjang total (L) yang dibebani sebagai berikut:

L ≤ 30 m, maka q = 8,0 kPa

L 30 m, maka q =

kPa

Sementara untuk beban garis KEL dengan intensitas p kPa harus

ditempatkan tegak lurus dari arah lalu lintas pada jembatan dan ditetapkan sebesar

44 kPa.

b. Penyebaran beban lajur “D” pada arah melintang

Beban “D” harus disusun pada arah melintang sedemikian rupa sehingga

menimbulkan momen maksimum. Penyusunan komponen-komponen UDL dan

KEL dari beban “D” pada arah melintang harus sama. Bila:

Lebar lajur kendaraan jembatan ≤ 5,5 m maka beban “D” harus

ditempatkan pada seluruh jalur dengan intensitas 100%.

15

Lebar lajur kendaraan jembatan > 5,5 m maka beban “D” harus

ditempatkan pada seluruh jalur dengan intensitas 100%. Hasilnya adalah

beban garis sebesar 5,5 kN/m dan beban terpusat ekivalen sebesar 5,5 p

kN, yang bekerja berupa STRIP pada jalur sebesar 5,5 m. Lajur lalu

lintas yang berupa strip ini dapat ditempatkan dimana saja pada jalur

jembatan. Beban “D” tambahan sebesar 50% dari intensitas awal harus

ditempatkan pada sisa lebar lajur kendaraan. Penyebaran beban dapat

dilihat pada Gambar 2.9 berikut:

Gambar 2.9 Penyebaran beban lajur “D” pada arah melintang

Sumber : BMS (1992), bagian 2

2.3.4.2 Beban Truk “T”

Beban truk atau beban “T” ini terdiri dari kendaraan truk semi trailler yang

mempunyai susunan dan berat as seperti pada Gambar 2.10, dimana berat dari

masing-masing as disebarkan menjadi dua beban merata yang sama besar yang

merupakan bidang kontak antara dua roda truk dengan lantai kendaraan.

Dengan tidak memperhitungkan panjang jembatan atau susunan bentang,

hanya ada satu kendaraan truk yang dapat ditempatkan pada satu lajur lalu lintas

rencana, meskipun pada kenyataan di lapangan suatu jembatan dapat saja dibebani

oleh iring-iringan truk. Dengan catatan kendaraan truk ini harus ditempatkan di

tengah-tengah lajur lalu lintas rencana.

16

Gambar 2.10 Penyebaran beban truk “T”

Sumber : BMS (1992), bagian 2

2.3.5 Beban Dinamis

Faktor beban dinamis (DLA) berlaku pada beban KEL, beban “D” dan

beban “T” untuk simulasi kejut dari kendaraan bergerak pada struktur jembatan.

Besar dari faktor beban dinamis ini adalah sama untuk semua bagian struktur

jembatan sampai pondasi.

Untuk beban “T”, nilai DLA adalah 0,3

Untuk beban KEL, nilai DLA merupakan fungsi dari panjang bentang

ekivalen (Le), yaitu:

Le ≤ 50 m, maka DLA = 0,4

50 m < Le < 90 m, maka DLA = 0,525 – 0,0025 Le

Le 90 m, maka DLA = 0,3

Dimana :

Le adalah panjang bentang aktual (untuk bentang sederhana)

Le = √ (untuk bentang menerus)

17

2.3.6 Beban/ Gaya Rem

Pengaruh percepatan dan pengereman dari lalu lintas harus diperhitungkan

sebagai gaya dalam arah memanjang dan dianggap bekerja pada permukaan lantai

kendaraan. Dengan ditentukan sesuai persyaratan berikut:

HTB = 250 untuk Lt ≤ 80 m

HTB = 250 + 2,5*(Lt-80) untuk 80 < Lt < 180 m

HTB = 500 untuk Lt > 180 m

Dengan besarnya gaya rem adalah HTB/jumlah balok girder. Dengan lengan kerja

gaya, y = 1,8 + (tebal lapisan aspal+overlay) + (0,5 . tinggi girder).

2.3.7 Beban Seret dan Tumbukan pada Pilar

Untuk beban seret dan tumbukan pada pilar, gaya seret nominal ultimate

dan daya layan pada pilar akibat aliran air tergantung pada kecepatan air rata-rata,

yaitu:

D

2

DEF A..(Vs)C0,5.T (2.2)

Dimana :

Vs = kecepatan air rata-rata (m/dt) untuk keadaan batas yang ditinjau

CD = koefisien seret yang tergantung dari bentuk pilar (Gambar 2.12

BMS 1992, bagian 2)

AD = luas proyeksi pilar tegak lurus arah aliran (m2) dengan tinggi

sama dengan kedalaman aliran (Gambar 2.13, BMS 1992,

bagian 2)

Gaya akibat tumbukan dengan batang kayu dihitung dengan asumsi bahwa

batang dengan massa minimum sebesar 2 ton hanyut pada kecepatan aliran

rencana harus bisa ditahan dengan gaya maksimum berdasarkan dari lendutan

elastis ekivalen dari pilar dengan rumus:

d

).(VMT

2

S

EF (2.3)

Dimana:

M = massa batang kayu (2 ton)

Vs = kecepatan air (m/dt) untuk keadaan batas yang ditinjau

d = lendutan elastis ekivalen (m), Tabel 2.8, BMS 1992, bagian 2

18

2.3.8 Pengaruh Temperatur

Semua elemen struktur diberikan pengaruh temperatur untuk menghitung

perpanjangan dan penyusutan pada jembatan. Pengaruh suhu di Indonesia

umumnya kecil dan masih mampu diserap oleh perletakan dan disalurkan ke

bangunan bawah oleh bangunan atas.

2.3.9 Pengaruh Beban Gempa

Untuk beban rencana gempa minimum, dihitung dengan analisa statik

ekivalen, dimana rumus yang digunakan adalah:

TEQ = Kh . I. WT (2.4)

dengan

Kh = C. S (2.5)

Keterangan:

TEQ = gaya geser dasar total dalam arah yang ditinjau

Kh = koefisien beban gempa horisontal

C = koefisien geser tanah dasar untuk daerah, waktu getar alami, dan kondisi

tanah setempat yang sesuai (Gambar 2.14, BMS 1992, bagian 2)

T = waktu getar alami (diperoleh saat analisis Modal di Run analysis pada

SAP2000)

I = faktor kepentingan (Tabel 2.13, BMS 1992, bagian 2)

S = faktor tipe bangunan (Tabel 2.14, BMS 1992, bagian 2)

WT = berat total nominal bangunan yang mempengaruhi percepatan gempa

diambil sebagai beban mati ditambah beban mati tambahan.

2.3.10 Beban Pelaksanaan

Berdasarkan BMS 1992, bagian 2, perencana jembatan harus

memperhitungkan adanya gaya-gaya yang timbul selama pelaksanaan konstruksi,

stabilitas, dan daya tahan dari bagian-bagian komponen jembatan. Apabila

rencana pelaksanaan tergantung pada metode pelaksanaan yang akan digunakan,

maka struktur harus mampu menahan semua beban pelaksanaan secara aman.

Adapun beban pelaksanaan yang dimaksud disini adalah:

19

Beban yang disebabkan oleh aktivitas pelaksanaan itu sendiri, dan

Aksi lingkungan yang mungkin timbul selama waktu pelaksanaan

2.4 Kombinasi Pembebanan

Faktor beban dan kombinasi pembebanan yang digunakan mengacu pada

BMS 1992 bagian 2. Dimana faktor beban dan kombinasi beban yang akan

digunakan seperti yang nampak dalam Tabel 2.1 dan Tabel 2.2 berikut:

Tabel 2.1 Faktor beban pada keadaan batas ultimate

No. Aksi Durasi Faktor Beban pada Keadaan

Batas Ultimate

1 Berat sendiri Tetap 1,3

2 Beban tambahan Tetap 1,8

3 Beban lajur “D” Transien 1,8

4 Beban truk “T” Transien 1,8

5 Gaya rem Transien 1,8

6 Beban trotoar Transien 1,8

7 Aliran/ benda hanyutan Transien 1,8

8 Angin Transien 1,2

9 Gempa Transien 1

Sumber : BMS (1992)

Tabel 2.2 Kombinasi beban ultimate

Aksi Kombinasi Beban

1 2 3 4 5 6

Aksi Tetap Beban berat sendiri x x x x x x

Beban mati tambahan x x x x x x

Aksi Transient

Beban truk “T” atau Beban lajur “D” x o o o

Beban pejalan kaki x

Beban angin o x o

Gaya rem x o o o

Aliran/hanyutan o x o o

Aksi Lain Beban gempa x

keterangan : x berarti memasukan faktor beban ultimate penuh.

o berarti memasukan nilai yang sama dengan beban layan

Sumber : BMS (1992)

20

2.5 Metode dan Overhead Form Traveller (Traveller)

Metode analisis konstruksi bertahap dengan bantuan Traveller adalah

metode terkini yang digunakan/ diaplikasikan untuk konstruksi yang

menggantung atau kantilever. Umumnya namun tidak selalu metode ini

digunakan untuk jenis struktur beton bertulang yang menggantung. Dek beton

dan jenis struktur menggantung lainnya seringkali dibangun dengan bantuan

struktur sementara atau bekisting yang ditujukan untuk pengecoran di tempat.

Struktur sementara atau bekisting ini kemudian akan dilepas setelah beton

mengering.

Sebagai pengganti bekisting untuk pengecoran di tempat yang memerlukan

tata cara penyusunan yang rumit dan penyangga scaffolding yang banyak, maka

digunakanlah form traveller sebagai bekisting pada daerah terbuka pada struktur

kantilever. Penggunaan form traveller ini memberikan keuntungan untuk struktur

dengan bentang panjang seperti jembatan yang umumnya terdapat jurang atau

sungai di bawah jembatan tersebut yang menyulitkan untuk aksesibilitas kerja.

Form traveller tradisional menggunakan bagian-bagian semacam bekisting yang

dapat digerakan sepanjang arah konstruksi sementara ditunjang oleh bagian

struktur yang telah disiapkan. Sebuah form traveller umumnya berupa frame yang

mendukung bekisting dengan roda rel sehingga dapat bergerak dari satu section ke

section yang lainnya.

Struktur jembatan beton konvensional menggunakan banyak penunjang

dalam pembangunan dek jembatan, terutama pada pertemuan antara balok

maupun jaringan dek. Untuk lebih efisiensi biaya dan waktu, digunakanlah form

traveller. Desain form traveller konvensional terdiri atas sling bawah dan traveler

atas. Seperti namanya, sling bawah digantung dibawah struktur jembatan yang

telah dinaikan sebelumnya dan diteruskan sampai ujung struktur untuk

mendukung bekisting untuk section berikutnya yang akan dibangun. Selama

proses pembangunan, sling bawah ini tetap dilanjutkan untuk pengembangan

struktur. Disisi lain, traveler atas adalah bagian dari form traveller yang diletakan

diatas struktur yang telah dinaikan sebelumnya. Traveler atas ini dapat bergerak

maju menuju segmen struktur yang akan dicor sekaligus sebagai tempat bekisting

digantungkan.

21

Prinsip kerja dari form traveller ini adalah form traveller dipasang

sedemikian hingga pada struktur yang telah dinaikan sebelumnya. Kemudian form

traveller ini digerakan menuju section yang akan dibangun untuk selanjutnya

dilakukan cor ditempat. Selanjutnya, seluruh beban dari section/ bagian yang baru

dibangun ditahan oleh bagian struktur yang telah selesai dibangun sebelumnya.

Segera setelah segmen tersebut kuat untuk menerima/ menahan bebannya sendiri,

maka form traveller dapat digerakan menuju bagian yang akan dibangun

selanjutnya.

Gambar 2.11 Form traveller

2.6 Konsep Beton Bertulang

Beton bertulang adalah beton yang ditulangi dengan luas dan jumlah

tulangan yang tidak kurang dari nilai minimum, yang disyaratkan dengan atau

tanpa prategang, dan direncanakan berdasarkan asumsi bahwa kedua material

bekerja bersama-sama dalam menahan gaya yang bekerja.

Karena beton merupakan material yang kuat menahan tekan, namun lemah

dalam menahan tarik, maka beton akan mengalami retak jika beban yang

dipikulnya menimbulkan tegangan tarik yang melebihi kekuatan tariknya.

Kemudian timbul ide untuk mengkombinasikan material beton ini dengan

material baja yang mempunyai kelebihan yang kuat menahan tarik. Dengan

menanamkan material baja seperlunya pada beton diperoleh material beton

22

bertulang dengan baja sebagai andalan pemikul tarik dan beton sebagai andalan

pemikul tekan

2.7 Perencanaan Pelengkung

Analisa struktur untuk menganalisa konstruksi pelengkung adalah dengan

membagi pelengkung menjadi bagian-bagian yang sama panjangnya disepanjang

sumbu sendiri pelengkung. Semakin banyak potongan/ section yang dibuat maka

semakin teliti hasil yang akan diperoleh. Tinjauan konstruksi dapat dilihat dalam

gambar berikut:

Gambar 2.12 Gambar penampang pelengkung

Tiap potongan merupakan suatu bagian kecil, sehingga dapat dianggap

keseluruhan terbagi atas beberapa garis lurus yang patah-patah yang tingginya

mengikuti persamaan busur lingkaran:

L : (x-a)2 + (y-b)

2 = R

2 (2.26)

Pelengkung dengan batang non prismatis, yaitu pelengkung dengan

penampang berbeda pada ujung-ujungnya, besarnya harga „n‟ sebagai

perbandingan antara momen inersia penampang pada suatu titik dengan momen

inersia penampang pada puncak lengkungan, tidak sama dengan satu. Besarnya

momen inersia di setiap titik tentu berbeda dan bervariasi dan merupakan fungsi

dari x, atau dapat dirumuskan sebagai berikut:

(2.27)

Salah satu cara untuk menganalisa konstruksi pelengkung dengan batang

non prismatis adalah dengan membagi balok pelengkung menjadi beberapa

23

segmen (bagian-bagian kecil) dengan jarak yang sama terhadap sumbu

longitudinal pelengkung. Semakin banyak segmen/ bagian yang dibuat, semakin

teliti hasil analisa yang diperoleh.

Gambar 2.13 Gambar penampang pelengkung non-prismatis

Sumber: Sutarja, 2014

Untuk penyelesaian analisa, digunakan beberapa asumsi yaitu:

1. Tiap potongan merupakan suatu bagian yang kecil, sehingga dapat

diasumsikan sebagai batang yang lurus. Dengan demikian, pelengkung

akan terlihat tersusun dari beberapa garis lurus yang patah-patah seperti

pada Gambar 2.14.

Gambar 2.14 Gambar Pembagian Pias Pelengkung

24

2. Karena tiap potongan merupakan bagian yang kecil, maka panjang

segmen ditentukan dengan persamaan Phytagoras, yaitu:

√ (2.28)

Gambar 2.15 Pias Pelengkung

Sumber: Sutarja, 2014

Pelengkung terjepit pada kedua sisinya dapat dianalisa apabila gaya desak,

gaya lintang, dan momen di sembarang penampang yang tegak lurus terhadap

sumbu kelengkungannya tersebut telah diketahui. Gaya desak (N) yang berupa

dorongan, adalah gaya yang bekerja tegak lurus terhadap penampang di titik

beratnya. Gaya lintang (V) adalah gaya yang bekerja sejajar dengan penampang.

Momen (M) adalah momen total terhadap titik kerja gaya desak pada penampang.

Gaya desak, gaya lintang, dan momen di sembarang tempat sepanjang pelengkung

terjepit akan dapat dengan mudah dianalisa dengan statika sederhana apabila

keenam reaksi pada kedua tumpuannya diketahui. Dengan meninjau seluruh

kerangka terdapat enam redundan yang tidak diketahui dan tiga persamaan statika

yang tersedia, maka lengkungan terjepit tergolong statis tak tentu derajat tiga.

25

2.8 Konsep Prategang

Ada beberapa definisi mengenai beton prategang, beberapa diantaranya

adalah:

a. Menurut PBI-1971

Beton prategang, adalah beton bertulang di dalam mana telah ditimbulkan

tegangan-tegangan intern dengan nilai dan pembagian yang sedemikian

rupa hingga tegangan-tegangan akibat beban-beban dapat dinetralkan

sampai suatu taraf yang diinginkan

b. Menurut Draft Konsensus Pedoman Beton 1988

Beton prategang, adalah beton bertulang di mana telah diberikan tegangan

dalam untuk mengurangi tegangan tarik potensial dalam beton akibat

pemberian beban yang bekerja.

c. Menurut ACI

Beton prategang, adalah beton yang mengalami tegangan internal dengan

besar dan distribusi sedemikian rupa sehingga dapat mengimbangi sampai

batas tertentu tegangan yang terjadi akibat beban eksternal

Adapun konsep-konsep dasar dari beton prategang pada dasarnya adalah

memberikan tegangan terlebih dahulu pada beton bertulang sebelum beton

bertulang menerima beban luar. Ada tiga konsep yang mendasari beton prategang

ini yaitu:

a. Konsep pertama Sistem prategang untuk mengubah beton menjadi bahan

yang elastis. Ini merupakan buah pemikiran Eugene Freyssinet yang

memvisualisasikan beton prategang pada dasarnya adalah beton yang di

ditransformasikan dari bahan yang getas menjadi bahan yang elastis

dengan memberikan tekanan (desakan) terlebih dahulu (pratekan) pada

bahan tersebut. Dari konsep ini lahirlah kriteria “tidak ada tegangan tarik”

pada beton. Pada umumnya telah diketahui bahwa jika tidak ada tegangan

tarik pada beton, berarti tidak akan terjadi retak, dan beton tidak

merupakan bahan yang getas lagi melainkan berubah menjadi bahan yang

26

elastis. Dalam bentuk yang paling sederhana, ambilah balok persegi

panjang yang diberi gaya prategang oleh sebuah tendon sentries (egs

berimpit cgc). Lihat gambar 2.16. Akibat gaya prategang F, akan timbul

tegangan tekan merata sebesar :

= A

F (2.29)

Jika M adalah momen eksternal pada penampang akibat beban dan berat

sendiri balik, maka tegangan pada setiap titik sepanjang penampang

akibat M adalah :

= I

y M (2.30)

Di mana Y adalah jarak dari sumbu yang melalui titik berat dan I adalah

momen inersia penampang. Jadi distribusi tegangan yang dihasilkan

adalah :

= A

F +

I

y M (2.31)

Gambar 2.16 Distribusi tegangan beton prategang sentries

Sumber: Sutarja (2011)

Bila tendon ditempatkan eksentris (sebesar e), maka distribusi

tegangannya (lihat Gambar 2.17) menjadi :

27

= A

F ±

I

ve F ±

I

y M

dimana I

y e F adalah tegangan akibat momen eksentris.

Gambar 2.17 Distribusi tegangan beton prategang eksentries

Sumber: Sutarja (2011)

b. Konsep kedua, sistem prategang untuk kombinasi baja mutu tinggi

dengan beton. Konsep ini mempertimbangkan beton prategang sebagai

kombinasi (gabungan) dari baja dan beton, seperti pada beton bertulang,

dimana baja menahan tarikan dan beton menahan tekanan, dengan

demikian kedua bahan membentuk kopel penahan untuk melawan momen

eksternal (Gambar 2.18). Pada beton prategang, baja mutu tinggi dipakai

dengan jalan menariknya sebelum kekuatannya dimanfaatkan

sepenuhnya. Jika baja mutu tinggi ditanam pada beton, seperti pada beton

bertulang biasa, beton disekitarnya akan menjadi retak berat sebelum

seluruh kekuatan baja digunakan (Gambar 2.19). oleh karena itu baja

perlu ditarik sebelumnya (pratarik) terhadap beton. Dengan menarik dan

menjangkarkan ke beton dihasilkan tegangan dan regangan yang

diinginkan pada kedua bahan, tegangan dan regangan tekan pada beton

28

serta tegangan dan regangan pada baja. Kombinasi ini memungkinkan

pemakaian yang aman dan ekonomis dari kedua bahan dimana hal ini

tidak dapat dicapai jika baja hanya ditanamkan dalam beton seperti pada

beton bertulang biasa.

Gambar 2.18 Momen penahan internal pada balok beton prategang dan beton

bertulang

Sumber: Sutarja (2011)

Gambar 2.19 Balok beton menggunakan baja mutu tinggi

Sumber: Sutarja (2011)

c. Konsep ketiga, sistem prategang untuk mencapai pertimbangan beban.

Konsep ini terutama menggunakan prategang sebagai suatu usaha untuk

membuat seimbang gaya-saya pada sebuah batang (lihat Gambar 2.20 dan

29

Gambar 2.21). Penerapan dari konsep ini menganggap beton diambil

sebagai benda-benda dan menggantikan tendon dengan gaya-gaya yang

bekerja dan pada beton sepanjang beton.

Gambar 2.20 Balok prategang dengan tendon parabola

Sumber: Sutarja (2011)

Gambar 2.21 Balok prategang dengan tendon membengkok

Sumber: Sutarja (2011)

2.9 Pengenalan Program SAP2000

Program SAP2000 merupakan salah satu program analisis struktur yang

lengkap namun mudah untuk digunakan. Prinsip utama penggunaan program ini

adalah pemodelan struktur, eksekusi analisis, dan pemeriksaan atau optimalisasi

30

desain., yang semuanya dilakukan dalam satu langkah atau satu tampilan. Untuk

tampilan dari SAP2000 sendiri berupa tampilan real time sehingga memudahkan

pengguna untuk melakukan pemodelan secara menyeluruh dalam waktu singkat

namun dengan hasil yang tepat.

Output yang dihasilkan juga dapat ditampilkan sesuai dengan kebutuhan

baik berupa model struktur, grafik, maupun spreadsheet. Semua hasil output ini

dapat disesuaikan dengan kebutuhan penyusunan laporan analisis dan desain.

Analisis SAP2000 menggunakan finite element method baik untuk static

analysis maupun dynamic analysis (nonliniear analysis). Semuanya terintegrasi

dalam satu paket yang dilengkapi dengan beberapa database untuk keperluan

analisis dan desain seperti database tampang struktur untuk berbagai bentuk mulai

dari yang simetris maupun non simetris. Beberapa kemampuan yang dimiliki oleh

program SAP2000 antara lain:

Analisis yang cepat dan akurat

Model pembebanan yang lebih lengkap, baik itu static loading (beban

diam) maupun dinamic loading (beban bergerak).

Pemodelan elemen shell yang lebih akurat

Analisis dinamik dengan Ritz dan Eigenvalue

Sistem koordinate ganda untuk bentuk geometri struktur yang kompleks

SAP2000 tidak membatasi kapasitas analisis sehingga dapat diaplikasikan

untuk bentuk yang paling kompleks sekalipun. Program ini juga dilengkapi

dengan analisis struktur jembatan dengan pembebanan bergerak, dan pilihan

analisis dengan time history yang dapat disesuaikan dengan kondisi di daerah

tertentu. Efek gerakan tanah dasar juga dapat mempengaruhi struktur yang

dimodelkan.

Untuk keperluan desain struktur, SAP2000 mnyediakan fasilitas yang

lengkap untuk perencanaan struktur beton maupun baja. Desain struktur baja

dilengkapi dengan input dimensi dan bentuk yang disesuaikan dengan database

yang berlaku untuk beberapa aturan perencanaan. Hal yang sama juga berlaku

untuk perencanaan struktur beton. Program SAP2000 dilengkapi dengan

perhitungan penulangan yang dibutuhkan. Elemen-elemen tertentu dapat

digabungkan menjadi satu grup yang memudahkan dalam perencanaan. Tampilan

31

data perhitungan untuk masing-masing elemen dapat ditampilkan langsung

dengan meng-klik elemen yang dikehendaki.

Program SAP2000 ini sendiri didukung oleh berbagai peraturan yang dapat

dipilih dalam perencanaan. Untuk struktur beton, peraturan yang mendukung

antara lain:

U.S. ACI 318-05 (2005)/ IBC 2003 dan AASHTO LRFD (1997)

Canadian CSA-A23.3-94 (1994)

British BS 81 10-85 (1989)

Eurocode 2 ENV 1992-1-1 (1992)

New Zealand NZS 3101-95 (1995)

Sementara untuk mendukung perencanaan struktur baja, antara lain:

U.S. AISC/ASD (1989), AISC/LRFD (1994), AASHTO LRFD (1997)

Canadian CAN/CSA-S16.1-94 (1994)

British BS 5950 (1990)

Eurocode 3 (ENV 1993-1-1)

2.10 Sistem Koordinat pada SAP

Pada program SAP 2000, setiap model struktur menggunakan koordinat

yang berbeda, untuk menentukan join dan arah beban, displacement, gaya-gaya

dalam dan tegangan. Semua sistem koordinat pada model, ditentukan dengan

mengikuti sistem koordinat global X, Y, Z. Dan setiap bagian joint dan frame dari

struktur / penampang, mematuhi sistem koordinat lokal 1,2,3.

Pada setiap penampang punya sistem koordinat lokal yang digunakan untuk

menentukan potongan property, beban dan gaya-gaya dalam. Sumbu 1 pada

sistem koordinat lokal batang adalah sumbu yang arahnya searah sumbu

penampang. Sumbu 2 dan sumbu 3 adalah sumbu yang tegak lurus. Hal ini dapat

dilihat dari ketentuan element/forces pada SAP dimana momen 3-3 berarti momen

yang terjadi pada pada sumbu 3-3 lokal frame. Begitu pula gaya-gaya yang lain

menyesuaikan dengan sumbu yang dimaksud.

32

2.11 Analisis Konstruksi Bertahap

Berdasarkan Analysis Reference Manual SAP2000, 2002, kenonlinieran

struktur dapat digolongkan menjadi: kenonlinieran material seperti berbagai

macam kenonlinieran sambungan dan batas tegangan pada elemen batang serta

diagram tegangan regangan material; kenonlinieran geometri seperti analisis efek

P-delta dan konstruksi bertahap.

Konstruksi bertahap merupakan bagian dari analisis statis nonlinier yang

menganalisa struktur dalam beberapa fase tingkat/ tahap (Analysis Reference

Manual SAP 2000, 2002). Ide dasar dari analisis ini adalah pada tahap awal,

kondisi awal struktur adalah nol, dalam artian elemen struktur memiliki gaya-gaya

dalam dan lendutan sama dengan nol. Semua elemen belum terbebani dan belum

terjadi lendutan. Untuk tahapan analisa selanjutnya, merupakan kelanjutan dari

analisis nonlinier pada tahapan sebelumnya. Maksud dari pernyataan ini yaitu

gaya-gaya dalam dan deformasi pada tahap sebelumnya diikutsertakan pada

analisis tahap berikutnya.

Masih berdasarkan Analysis Reference Manual SAP2000, 2002, analisis

konstruksi bertahap merupakan bagian analisis nonlinier khusus yang memerlukan

beberapa kondisi sehingga dapat diterima program. Konstruksi bertahap

memungkinkan kita sebagai pengguna untuk menentukan tahapan yang ingin

ditambahkan atau dikurangi dari struktur yang dianalisis, memilih secara selektif

beban yang akan dikerjakan pada struktur, serta mempertimbangkan perilaku

material struktur terhadap waktu, seperti usia, penyusutan, dan rangkaknya.

Analisis konstruksi bertahap digolongkan menjadi analisis nonlinier statik

karena dalam analisisnya struktur yang dianalisis dapat berubah seiring waktu.

Oleh karena itu, analisis konstruksi bertahap dapat dikerjakan bersamaan dengan

beberapa tahap yang melibatkan analisis nonliniear lainnya seperti Time History

Analysis dan Stiffness Basis Analysis. Dalam analisis konstruksi bertahap, hasil

analisis pada tahap terakhirlah yang akan digunakan sebagai acuan.

Dalam SAP2000, untuk setiap analisis nonlinier konstruksi bertahap, akan

ditentukan beberapa tahapan yang akan digunakan. Tahapan-tahapan ini akan

dianalisis sesuai dengan urutan tahapan yang ditentukan, mulai dari tahap pertama

dan seterusnya. Pengguna dapat menentukan berapa banyak tahapan yang

33

diinginkan dalam satu Load Case. Analisis konstruksi bertahap juga dapat

diteruskan dari satu Load Case ke Load Case lainnya. Dalam tiap tahapan, perlu

ditentukan beberapa hal sebagai berikut:

a. Durasi, dalam hari. Hal ini akan digunakan untuk Time-dependent effects.

Namun, jika analisis ini tidak ingin digunakan, atur durasinya menjadi

nol.

b. Jumlah objek yang dikelompokan dalam tahap tersebut ditambahkan ke

struktur. Usia/ umur objek merupakan fungsi dari Time-dependent effects

jika diperhitungkan.

c. Jumlah objek yang dihilangkan dari struktur.

d. Jumlah objek yang akan dibebani ditentukan. Apakah seluruh objek yang

ada akan dibebani ataukah hanya objek dalam grup yang baru

ditambahkan dalam tahapan ini yang akan dibebani.

Objek dapat ditentukan secara detail dengan menggunakan kelompok-

kelompok. Pada umumnya penggunaan kelompok/ grup ini akan sangat

memudahkan, sehingga dalam analisis konstruksi bertahap, langkah pertama

dalam analisis adalah untuk menentukan kelompok/ grup untuk setiap tahapannya.

Setiap tahapan dalam analisis konstruksi bertahap dianalisis secara terpisah

untuk tahapan yang telah ditentukan. Analisis setiap tahap memiliki dua bagian,

yaitu :

(1) Perubahan struktur dan pengaplikasian beban dianalisis.

(2) Ketika ditentukan kondisi durasi sama dengan nol, kemudian dianalisis

time-dependent material effects. Selama masa ini, struktur tidak

berubah dan pengaplikasian beban dianggap konstan.

Dalam analisis konstruksi bertahap ini, kondisi yang benar-benar dipakai

adalah kondisi terakhir dari struktur. Jika suatu objek berada di beberap

kelompok, maka objek tersebut akan diasumsikan sesuai dengan kelompok

terakhir yang mengikutsertakannya.