Bab II Referat Anak
-
Upload
sugard-darmanto -
Category
Documents
-
view
24 -
download
0
description
Transcript of Bab II Referat Anak
1
BAB I
PENDAHULUAN
Bronchiolitis adalah cedera inflamasi akut bronkiolus yang biasanya disebabkan
oleh infeksi virus. Meskipun dapat terjadi pada orang dari segala usia, gejala yang parah
biasanya hanya terlihat pada bayi muda.1,2,3
Infeksi saluran pernapasan akut yaitu bronchiolitis adalah penyebab signifikan.
pada anak-anak kurang dari lima tahun dan masih merupakan penyebab utama kematian
anak di dunia. Pada tahun 2000, infeksi saluran pernapasan akut diperkirakan
menyumbang 1,9 juta kematian di seluruh dunia; Menurut buletin WHO, sekitar 150 juta
kasus baru terjadi setiap tahun; 11-20000000 (7-13%) dari kasus-kasus ini cukup berat
sehingga membutuhkan rumah sakit. Di seluruh dunia, 95% dari semua kasus terjadi di
negara berkembang. Sebanyak 70% dari kematian ini terjadi di Afrika dan Asia
Tenggara. 3
Namun, sedikit yang diketahui tentang kematian RSV terkait di negara
berkembang. Morbiditas dan mortalitas mungkin lebih tinggi di negara-negara
berkembang karena gizi buruk dan kurangnya sumber daya untuk perawatan medis
suportif. 3
Bronchiolitis biasanya menyerang anak-anak muda dari 2 tahun, dengan
puncaknya pada bayi usia 3-6 bulan. Bronkiolitis akut adalah penyebab paling umum
infeksi saluran pernapasan bawah pada tahun pertama kehidupan. Hal ini paling sering
dikaitkan dengan respiratory syncytial virus (RSV). 3
Meskipun telah terjadi peningkatan dalam perawatan untuk pasien dengan
bronkiolitis, kontroversi masih ada mengenai pengobatan yang optimal dari pasien
tersebut. Akibatnya, penatalaksanaan sangat bervariasi. 3
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Bronkiolitis adalah penyakit infeksi respiratorik akut-bawah yang ditandai dengan
adanya inflamasi pada bronkiolus. Umumnya infeksi disebabkan oleh virus. Penyakit ini
terjadi selama usia 2 tahun pertama dengan insidens puncaknya pada sekitar usia 6 bulan.
Secara klinis ditandai dengan episode wheezing, nafas cepat dan retraksi dada.1,2
Virus paling sering adalah respiratory syncytial virus dan metapneumovirus
manusia. Kondisi ini dapat terjadi pada orang dari segala usia, tetapi gejala yang parah
biasanya terlihat hanya pada bayi muda.3
B. EPIDEMIOLOGI
Bronchiolitis adalah penyebab signifikan penyakit pernapasan di seluruh dunia.
Menurut buletin WHO, sekitar 150 juta kasus baru terjadi setiap tahun; 11-20000000 (7-
13%) dari kasus-kasus ini cukup berat sehingga membutuhkan rumah sakit. Di seluruh
dunia, 95% dari semua kasus terjadi di negara berkembang.3
Bronkiolitis merupakan infeksi saluran respiratori tersering pada bayi. Paling
sering terjadi pada usia 2-24 bulan, puncaknya terjadi pada usia 2-8 bulan. Sembilan
puluh lima persen kasus terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun dan 75 % diantaranya
terjadi pada anak berusia di bawah 1 tahun.1
Orenstein menyatakan bahwa bronkiolitis paling sering terjadi pada bayi laki-laki
berusia 3-6 bulan yang tidak mendapat ASI dan hidup di lingkungan padat penduduk.
Selain Orenstein, Louden menyatakan bahwa bronkiolitis terjadi 1,25 kali lebih banyak
pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Dominasi pada anak laki-laki yang dirawat
juga disebutkan oleh Shay, yaitu 1,6 kali lebih banyak daripada anak perempuan,
sedangkan Fjaerli menyebutkan 63 % kasus bronkiolitis adalah laki-laki.
Sebanyak 11,4% anak berusia di bawah 1 tahun dan 6% anak berusia 1-2 tahun di
AS pernah mengalami bronkiolitis. Penyakit ini menyebabkan 90.000 kasus perawatan di
RS dan menyebabkan 4500 kematian setiap tahunnya. Bronkiolitis merupakan 17 % dari
3
semua kasus perawatan di RS pada bayi. Frekuensi bronkiolitis di Negara-negara
berkembang hampir sama dengan di AS. Insidens terbanyak terjadi pada musim dingin
atau musim hujan di Negara-negara tropis.3 Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU Dr.
Soetomo Surabaya pada tahun 2002 dan tahun 2003, bronkiolitis banyak didapatkan pada
bulan Januari sampai bulan Mei.1
Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi di Negara-negara berkembang
daripada di Negara-negara maju. Hal ini mungkin disebabkan oleh rendahnya status gizi
dan ekonomi, kurangnya tunjangan medis, serta kepadatan penduduk di Negara
berkembang. Angka mortalitas di negara berkembang pada anak-anak yang dirawat
adalah 1-3 %.1,2
C. ETIOLOGI
Sebagian besar kasus disebabkan oleh virus, seperti RSV, metapneumovirus
manusia, virus parainfluenza, virus influenza, atau adenovirus. Bronchiolitis sangat
menular. Virus itu menyebar dari orang ke orang melalui kontak langsung dengan sekret
hidung, tetesan udara, dan muntahan. RSV adalah agen yang paling sering terisolasi pada
75% dari anak-anak muda dari 2 tahun yang dirawat di rumah sakit untuk bronchiolitis.
RSV adalah virus RNA dalam family Paramyxoviridae dan genus Pneumovirus.3
RSV memiliki dua subtipe, yaitu A dan B, dimana diidentifikasi berdasarkan
variasi struktural dalam protein G. Subtipe A menyebabkan infeksi paling parah. Salah
satu subtipe atau yang lain biasanya mendominasi selama musim tertentu; dengan
demikian, penyakit RSV memiliki "baik" dan "buruk".3
Virus RSV lebih virulen daripada virus lain dan menghasilkan imunitas yang
tidak bertahan lama. Infeksi ini pada orang dewasa tidak menimbulkan gejala klinis. RSV
adalah golongan paramiksovirus dengan bungkus lipid serupa dengan virus
parainfluenza, tetapi hanya mempunyai satu antigen permukaan berupa glikoprotein dan
nukleokapsid RNA helik linear. Tidak adanya genom yang bersegmen dan hanya
mempunyai satu antigen bungkus berarti bahwa komposisi antigen RSV relatif stabil darI
tahun ke tahun.2,4
Virus parainfluenza merupakan penyebab (10-30%) dari semua kasus
bronchiolitis. Wabah bronchiolitis karena virus parainfluenza biasanya dimulai pada awal
4
tahun dan cenderung terjadi setiap tahun. Adenovirus menyumbang 5-10% dari kasus
bronchiolitis. Virus influenza menyumbang 10-20%. Infeksi Mycoplasma pneumoniae
menyumbang 5-15%, khususnya di kalangan anak-anak dan orang dewasa. 3
Paramyxovirus hMPV, pertama kali diidentifikasi di Belanda pada tahun 2001,
telah diketahui terlibat sebagai agen etiologi dalam bronchiolitis. Studi serologis
menunjukkan bahwa pada usia 5 tahun, semua anak Belanda telah mengalami
serokonversi. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa hMPV menyumbang 5-50%
dari kasus bronchiolitis dan penelitian lain menemukan bahwa gabungan infeksi hMPV-
RSV sangat terkait dengan bronchiolitis parah, dengan peningkatan 10 kali lipat dalam
unit perawatan intensif anak (PICU) masuk. 3
Bocavirus manusia (HBoV), ditemukan pada tahun 2005, diketahui menyebabkan
infeksi saluran baik atas dan pernapasan yang lebih rendah dan telah terlibat dalam kedua
sindrom pertusis dan bronchiolitislike. Arnold et al menunjukkan bahwa 5,6% dari 1474
kerokan hidung dikumpulkan selama periode 20-bulan di Rumah Sakit San Diego Anak
dinyatakan positif HBoV, sebagian besar dari Maret sampai Mei.3
D. FAKTOR RESIKO
Bronkiolitis sering mengenai anak usia dibawah 2 tahun dengan insiden tertinggi
pada bayi usia 6 bulan. Makin muda usia bayi menderita bronkiolitis biasanya akan
makin berat penyakitnya. Bayi yang menderita bronkiolitis berat mungkin oleh karena
kadar antibodi maternal (maternal neutralizing antibody) yang rendah. Selain usia, bayi
dan anak dengan penyakit jantung bawaan, bronchopulmonary dysplasia, prematuritas
dan BBLR, kelainan neurologis, immunocompromized dan adanya anomaly jalan nafas
mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya penyakit yang lebih berat. Insiden
infeksi RSV sama pada laki-Iaki dan wanita, namun bronkiolitis berat lebih sering terjadi
pada laki-Iaki. Selain itu, faktor resiko terjadinya bronkiolitis adalah status sosial
ekonomi yang rendah, jumlah anggota keluarga yang besar, perokok pasif, dan berada
pada tempat penitipan anak atau tempat dengan lingkungan yang padat penduduk. 1,2,3
5
E. PATOFISIOLOGI
Infeksi virus pada epitel bersilia bronkiolus menyebabkan respons inflamasi akut,
ditandai dengan obstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi mukus, timbunan debris
selular/ sel-sel mati yang terkelupas, kemudian diikuti dengan infiltrasi limfosit
peribronkial dan edema submukosa. Karena tahanan aliran udara berbanding terbalik
dengan diameter penampang saluran respiratori, maka sedikit saja penebalan mukosa
akan memberikan hambatan aliran udara yang besar, terutama pada bayi yang memilki
penampang saluran respiratori yang kecil. Resistensi pada bronkiolus meningkat selama
fase inspirasi dan ekspirasi, akan tetapi karena radius saluran respiratori lebih kecil
selama ekspirasi, maka akan menyebabkan air tapping dan hiperinflasi. Ateletaksis dapat
terjadi pada saat terjadi obstruksi total dan udara yang terjebak diabsorbsi.3
Proses patologis ini akan mengganggu pertukaran gas normal di paru. Penurunan
kerja ventilasi paru akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi perfusi yang
berikutnya akan menyebabkan terjadinya hipoksemia dan kemudian terjadi hipoksia
jaringan. Retensi karbondioksida (hiperkapnea) tidak selalu terjadi. Semakin tinggi laju
respiratori, maka semakin rendah tekanan oksigen arteri. Kerja pernapasan akan
meningkat selama end expiratory lung volume meningkat dan compliance paru menurun.
Hiperkapnea biasanya baru terjadi bila respirasi 60x/menit.3
Pemulihan sel epitel paru tampak setelah 3-4 hari, tetapi silia akan diganti setelah
dua minggu. Jaringan mati (debris) akan dibersihkan oleh makrofag. Berbeda dengan
bayi, anak besar dan orang dewasa dapat mentolerir edema saluran napas lebih baik, oleh
karena itu pada anak besar dan dewasa jarang terjadi bronkiolitis bila terserang infeksi
virus saluran napas.1,2
F. MANIFESTASI KLINIK
Mula-mula menderita gejala ISPA ringan berupa pilek yang encer dan bersin.
Gejala ini kadang disertai demam dan nafsu makan berkurang. Kemudian satu atau dua
hari kemudian timbul distres nafas yang ditandai oleh batuk paroksismal, wheezing dan
sesak napas. Bayi-bayi akan menjadi rewel, muntah serta sulit makan dan minum. Pada
6
kasus yang berat dapat terjadi gangguan pernapasan ditandai dengan takipnea, napas
cuping hidung, retraksi, lekas marah dan bahkan sianosis.3,6
Pada pemeriksaan fisik ditemukan distres nafas dengan frekuensi nafas diatas 50-
60 kali per menit (takipnea), kadang disertai sianosis, nadi juga biasanya meningkat
(takikardi). Suhu badan bisa normal atau meningkat tinggi sampai 41 ºC. Terdapat nafas
cuping hidung, penggunaan otot bantu pernafasan dan retraksi interkostal, subkostal dan
suprasternal. Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru
(terperangkapnya udara dalam paru). Terdapat ekspirasi yang memanjang, wheezing
yang dapat terdengar dengan ataupun tanpa stetoskop, serta terdapat crackles. Pada
auskultasi dapat didapatkan rhonki basah halus nyaring pada akhir atau awal ekspirasi.
Suara perkusi paru hipersonor. Hepar dan lien dapat teraba dibawah tepi kosta akibat
pendorongan diafragma karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi. Sering terjadi
hipoksia dengan saturasi oksigen <92% pada udara kamar. Pada beberapa pasien dengan
bronkiolitis didapatkan konjungtivitis ringan, otitis media serta faringitis.2,5
Apnea terjadi pada awal perjalanan penyakit dan dapat menjadi gejala. Apnea
sentral nonobstruktif terjadi selama tidur tenang dan berhubungan dengan peningkatan
indeks apnea (persentase waktu bayi menghabiskan apnea), tingkat serangan apnea
(jumlah episode apnea per satuan waktu), dan persentase apnea (distribusi episode apnea
dalam kondisi tidur yang diberikan).3
Apnea jarang berlangsung lama; Namun, sekitar 10% dari pasien apnea
memerlukan intubasi dan ventilasi mekanis. Pengamatan bahwa sangat sedikit kasus
sindrom kematian bayi mendadak yang disebabkan bronchiolitis menunjukkan bahwa
sebagian besar bayi dengan apnea dapat sembuh spontan. Penyakit RSV ringan pada bayi
muda bukan merupakan indikasi untuk rawat inap untuk mengamati untuk apnea.3
Ralston et al menemukan bahwa kejadian keseluruhan apnea berkisar antara 1,2%
sampai 23,8% pada bayi dirawat di rumah sakit dengan RSV bronchiolitis. Analisis lebih
lanjut menunjukkan bahwa apnea terjadi lebih sering pada bayi prematur (kisaran, 4,9-
37,5% ) dari pada bayi cukup bulan (kisaran, 0,5-12,4%).3
Kneyber et al menemukan bahwa terkuat faktor risiko independen untuk apnea
RSV terkait adalah usia yang lebih muda dari 2 tahun. Apnea saat masuk ditemukan
meningkatkan risiko apnea berulang. Selain itu, kemungkinan ventilasi mekanik
7
meningkat secara signifikan pada anak-anak yang menderita apnea berulang. Manifestasi
infeksi RSV nonrespiratori adalah termasuk otitis media, miokarditis, supraventricular
dan ventrikel disritmia, dan sindrom hormon antidiuretik (SIADH).3
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut survei dari dokter anak berbasis rumah sakit, uji diagnostik yang paling
umum adalah tes antigen virus yang cepat dari sekret nasofaring untuk RSV (RSV),
analisis gas darah arteri (ABG)(pada pasien sakit parah, terutama yang memerlukan
ventilasi mekanis), jumlah sel darah putih (WBC) radiografi diferensial, protein C-reaktif
(CRP) dan radiografi dada.3
Tes umum lainnya adalah pulse oximetry, kultur darah, analisis dan kultur urin,
dan kultur dan analisis cairan serebrospinal (CSF). Berat jenis urine dapat
menggambarkan keseimbangan cairan dan kemungkinan dehidrasi. Kimia serum tidak
terpengaruh langsung oleh infeksi tetapi dapat membantu dalam mengukur keparahan
dehidrasi. 3
Pada anak-anak yang sebelumnya sehat dengan bronkiolitis virus, radiografi dada,
hitung darah lengkap (CBC), atau kultur darah biasanya tidak perlu. Namun, tes ini harus
dipertimbangkan dengan cermat pada orang dengan penyakit parah atau penampilan yang
sangat sakit, riwayat penyakit jantung atau paru, suhu yang nyata meningkat, atau faktor
risiko lain untuk penyakit yang lebih berat. Beberapa anak-anak beresiko untuk
kegagalan pernafasan akut mungkin memerlukan pemantauan kadar karbon dioksida
darah.3
- Pemeriksaan darah tepi tidak khas, jumlah leukosit berkisar antara 8000-15000 sel/μl.
Pada keadaan leukositosis, batang dan PMN banyak ditemukan.
- Analisis Gas Darah : hiperkapnia sebagai tanda dari air tapping, asidosis metabolik
atau respiratorik. Analisa gas darah (AGD) diperlukan untuk anak dengan gangguan
pernafasan berat, khususnya yang membutuhkan ventilator mekanik, gejala kelelahan
dan hipoksia.
- Foto Thorak diindikasikan pada :
o Pasien yang diperkirakan memerlukan perawatan lebih
o Pasien dengan pemburukan klinis yang tidak terduga
8
o Pasien dengan penyakit jantung dan paru yang mendasari.
Rontgen thoraks AP dan lateral dapat terlihat gambaran hiperinflasi paru dengan
diameter anteroposterior membesar pada foto lateral disertai dengan diafragma datar,
penonjolan ruang retrosternal dan penonjolan ruang interkostal. Dapat terlihat bercak
konsolidasi yang tersebar pada sekitar 30 % penderita dan disebabkan oleh ateletaksis
akibat obstruksi atau karena radang alveolus.
- Identifikasi virus dengan memeriksa sekresi nasal dengan menggunakan tekhnik
imunofluoresens atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA).
- Histopatologi: hipertrofi dan timbunan infiltrat meluas ke peribronkial, destruksi dan
deorganisasi jaringan otot dan elastis dinding mukosa. Terminal bronkiolus tersumbat
dan dilatasi. Alveoli overdistensi, atelektasis dan fibrosis. Sensifitas pemeriksaan ini
adalah 80-90%.1,2,4
- Elektrokardiografi (EKG) atau ekokardiografi harus disediakan bagi anak-anak
dengan aritmia atau kardiomegali.3
- Dalam situasi langka, seperti immunodeficiency berat atau mungkin aspirasi benda
asing, bronkoskopi dapat diindikasikan untuk lavage bronchoalveolar sebagai
diagnostik atau penghapusan benda asing sebagai terapeutik.3
H. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pertama sekali dapat dicatat bahwa
bayi dengan bronkiolitis menderita suatu infeksi ringan yang mengenai saluran
pernapasan bagian atas disertai pengeluaran sekret-sekret encer dari hidung dan bersin-
bersin. Gejala-gejala ini biasanya akan berlangsung selama beberapa hari dan disertai
demam dari 38,50C hingga 390C, akan tetapi bisa juga tidak disertai demam, bahkan
pasien bisa mengalami hipotermi. Pasien mengalami penurunan nafsu makan, kemudian
ditemukan kesukaran pernafasan yang akan berkembang perlahan-lahan dan ditandai
dengan timbulnya batuk-batuk, bersin paroksimal, dispneu, dan iritabilitas. Pada kasus
ringan gejala akan menghilang dalam waktu 1-3 hari. Kadang-kadang, pada penderita
yang terserang lebih berat, gejala-gejala dapat berkembang hanya dalam beberapa jam
9
serta perjalaan penyakitnya akan berlangsung berkepanjangan. Keluhan muntah-muntah
dan diare biasanya tidak didapatkan pada pasien ini.1
Kebanyakan bayi-bayi dengan penyakit tersebut, mempunyai riwayat keberadaan
mereka diasuh oleh orang dewasa yang menderita penyakit saluran pernafasan ringan
pada minggu sebelum awitan tersebut terjadi pada mereka. Disamping itu, kita juga harus
menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi yang dapat menyebabkan wheezing.7
Berikut adalah gambaran klinis pada bronkiolitis yang terdiri dari:5
- Wheezing, yang tidak membaik dengan tiga dosis bronkodilator kerja-cepat
- Ekspirasi memanjang/expiratory effort
- Hiperinflasi dinding dada, dengan hipersonor pada perkusi
- Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
- Crackles atau ronki pada auskultasi dada
- Sulit makan, menyusu atau minum.
Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Hitung lekosit biasanya berkisar 8000-
15000. Pada pasien dengan peningkatan lekosit biasanya didominasi oleh PMN dan
bentuk batang. Analisa gas darah dapat menunjukkan adanya hipoksia akibat V/Q
mismatch dan asidosis metabolik jika terdapat dehidrasi.
Gambaran radiologik mungkin masih normal bila bronkiolitis ringan. Umumnya
terlihat paru-paru mengembang (hyperaerated). Bisa juga didapatkan bercak-bercak yang
tersebar, mungkin atelektasis (patchy atelectasis ) atau pneumonia (patchy infiltrates).
Pada x-foto lateral, didapatkan diameter AP yang bertambah dan diafragma tertekan ke
bawah. Pada pemeriksaan x-foto dada, dikatakan hyperaerated apabila kita mendapatkan:
siluet jantung yang menyempit, jantung terangkat, diafragma lebih rendah dan mendatar,
diameter anteroposterior dada bertambah, ruang retrosternal lebih lusen, iga horisontal,
pembuluh darah paru tampak tersebar.3
Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan aspirasi atau
bilasan nasofaring. Pada bahan ini dapat dilakukan kultur virus tetapi memerlukan waktu
yang lama, dan hanya memberikan hasil positif pada 50% kasus. Ada cara lain yaitu
dengan melakukan pemeriksaan antigen RSV dengan menggunakan cara imunofluoresen
atau ELISA. Sensitifitas pemeriksaan ini adalah 80-90%.1,2,3,4,7
10
Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory Distress
Assessment Instrument (RDAI), yang menilai distres napas berdasarkan 2 variabel
respirasi yaitu wheezing dan retraksi. Bila skor lebih dari 15 dimasukkan kategori berat,
bila skor kurang 3 dimasukkan dalam kategori ringan.Pulse oximetry merupakan alat
yang tidak invasif dan berguna untuk menilai derajat keparahan penderita. Saturasi
oksigen < 95% merupakan tanda terjadinya hipoksia dan merupakan indikasi untuk rawat
inap.6
SKOR Skor
maksimal0 1 2 3 4
Wheezing :
-Ekspirasi
-Inspirasi
-Lokasi
(-)
(-)
(-)
Akhir
Sebagian
2 dr 4 lap
paru
Semua
3 dr 4 lap
paru
Semu
a
4
2
2
Retraksi :
-
Supraklavik
ular
-Interkostal
-Subkostal
(-)
(-)
(-)
Ringan
Ringan
Ringan
Sedang
Sedang
Sedang
Berat
Berat
Berat
3
3
3
TOTAL 17
11
Tabel 1. Skor Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI)
I. DIAGNOSIS BANDING
a. Asma bronchial
Terdapat riwayat keluarga asma, episode berulang pada bayi yang sama, mulainya
mendadak tanpa infeksi yang mendahului, ekspirasi sangat memanjang, eosinofilia
dan respons perbaikan segera pada pemberian satu dosis albuterol aerosol.
b. Pneumonia
- Aspirasi benda asing
- Refluks gastroesophageal
- Sistik fibrosis
- Miokarditis 1,2
J. KOMPLIKASI
Komplikasi dari bronkiolitis sangat minimal dan tergantung dari penatalaksanaan
penyakit sebelumnya. Pada beberapa kasus didapatkan adanya gangguan fungsi paru
yang menetap, dimana timbulnya whezing berulang dan hiperaktifitas bronkial. Beberapa
studi kohort menghubungkan infeksi bronkiolitis akut berat pada bayi akan berkembang
menjadi asma. Suau studi kohort prospektif menemukan bahwa 23 % bayi dengan
riwayat bronkhiolitis berkembang menjadi asma pada usia 3 tahun, dibandingkan
dengan 1 % pada kelompok kontrol.2
K. PENATALAKSANAAN
12
Infeksi virus RSV biasanya sembuh sendiri (self limited) sehingga sebagian
besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif, yaitu pemberian
oksigen, hidrasi, dan kontrol demam, penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi
oksigen minimal, tunjangan respirasi bila perlu dan nutrisi. Setelah itu barulah digunakan
bronkodilator, antiinflamasi seperti kortikosteroid, antiviral seperti ribavirin, dan
pencegahan dengan vaksin RSV, RSV immunoglobuline (polyclnal) atau humanized RSV
monoclonal antibody (palvizumad).1,3
Bronkiolitis ringan biasanya bisa rawat jalan dan perlu diberikan cairan peroral
yang adekuat. Bayi dengan bronkiolitis sedang sampai berat harus dirawat inap.
Penderita resiko tinggi harus dirawat inap, diantaranya: berusia kurang dari 3
bulan, prematur, kelainan jantung, kelainan neurologi, penyakit paru kronis,
defisiensi imun dan distres napas.
Terapi medis yang digunakan dalam penatalaksanaan bronchiolitis pada bayi dan
anak-anak masih kontroversial. Meskipun banyak obat-obatan saat ini, terapi oksigen
cukup memperbaiki kondisi anak-anak dengan bronkiolitis. Meskipun patogenesis dari
bronkiolitis adalah peradangan yang menyebabkan obstruksi jalan napas, kortikosteroid
juga belum jelas terbukti secara signifikan dalam meningkatkan status klinis pasien
dengan bronkiolitis. Penggunaan bronkodilator untuk relaksasi otot polos bronkus, juga
tidak rutin digunakan. 3
Indikasi-indikasi untuk perawatan di rumah sakit:
- Tanda klinis gangguan pernafasan atau tanda kelelahan
- Apnoe
- Ketidakmampuan untuk makan
- Hypoksemia
- Pasien dengan kondisi dasar medis.
1. Pengobatan Suportif
a. Pengawasan
Untuk pasien yang dirawat inap penting dilakukan pengawasan sistem jantung paru
dan jika ada indikasi dilakukan pemasanag pulse oxymetri.
b. Oksigenasi
13
Oksigenasi sangat penting untuk menjaga jangan sampai terjadi hipoksia, sehingga
memperberat penyakitnya. Hipoksia terjadi akibat gangguan perfusi ventilasi paru-
paru. Pemberian oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen transkutan lebih
tinggi dari 92%. Oksigenasi dengan kadar oksigen 30 – 40 % sering digunakan untuk
mengoreksi hipoksia, gunakan nasal kanul (dengan kecepatan maksimun 2L/m);
masker muka atau head box. Jika mungkin gunakan oksigen yang
dilembabkan. Jika hipoksemia menetap dengan atau tanpa distress berat, meskipun
sudah diberikan oksigen dengan kecepatan tinggi, maka segera lakukan permintaan
untuk penangan ICU anak dengan pemasangan ventilator. Unger dan Cunningham
menemukan bahwa suplementasi oksigen adalah penentu utama panjang rawat inap.
Penggunaan high-flow Kanula hidung dapat mengurangi tingkat intubasi pada bayi
dengan bronkiolitis. 3,5
Beri oksigen pada semua anak dengan wheezing dan distres pernapasan berat. Metode
yang direkomendasikan untuk pemberian oksigen adalah dengan nasal prongs atau
kateter nasal. Bisa juga menggunakan kateter nasofaringeal. Pemberian oksigen
terbaik untuk bayi muda adalah menggunakan nasal prongs. Teruskan terapi oksigen
sampai tanda hipoksia menghilang.5
c. Pengaturan Cairan
Pemberian cairan sangat penting untuk mencegah dehidrasi akibat keluarnya cairan
lewat evaporasi, karena pernafasan yang cepat dan kesulitan minum. Jika tidak terjadi
dehidrasi diberikan cairan rumatan. Berikan tambahan cairan 20 % dari kebutuhan
rumatan jika didapatkan demam yang naik turun atau menetap (suhu > 38,5 0C). Cara
pemberian cairan ini bisa secara intravena atau pemasangan selang nasogastrik. Akan
tetapi harus hati-hati pemberian cairan lewat lambung karena dapat terjadi aspirasi
dan menambah sesak nafas, akibat lambung yang terisi cairan dan menekan
diafragma ke paru-paru. Selain itu harus dicegah terjadinya overload cairan.
Lakukan pemeriksaan serum elektrolit dan jika mendapatkan nilai yang tidak
normal lakukan penggantian dengan cairan elektrolit.Terapi oral lebih disukai. Terapi
parenteral mungkin diperlukan pada pasien yang tidak mampu makan minum atau
pasien dengan frekuensi napas lebih dari 70 kali / menit.3
d. Ventilasi mekanik
14
Bayi dengan bronkiolitis dan apnea berulang atau peningkatan kerja bernapas dengan
gagal napas sesekali membutuhkan ventilasi mekanis. Continuous positive airway
pressure (CPAP) dan ventilasi wajib intermiten (IMV) dengan tekanan akhir ekspirasi
positif (PEEP) efektif dalam mengobati bayi dengan bronkiolitis. Ventilasi
bertekanan negatif telah berhasil digunakan pada bayi dengan bronchiolitis, dengan
mengurangi kebutuhan akan intubasi endotrakeal. Beberapa studi juga telah
menemukan penggunaan surfaktan dan nitrat oksida dalam kasus-kasus gangguan
pernapasan berat; Namun, hasilnya tidak cukup konklusif untuk mendukung
penggunaan rutin dalam penatalaksanaan bronchiolitis. Sebuah meta-analisis dari
beberapa penelitian kecil menunjukkan bahwa terapi surfaktan dapat mempersingkat
durasi tinggal di ICU pada anak-anak yang menjalani ventilasi untuk bronchiolitis.
Heliox merupakan campuran dari oksigen (20-30%) dan helium (70-80%) yang
memiliki viskositas lebih rendah dari udara. Ini telah berhasil digunakan dalam kasus-
kasus obstruksi jalan napas, croup, operasi saluran napas dan asma yang bermanfaat
mengurangi usaha pernafasan.3
2. Pengobatan Medikamentosa
a. Antivirus (Ribavirin)
Bronkiolitis paling banyak disebabkan oleh virus sehingga ada pendapat untuk
mengurangi beratnya penyakit dapat diberikan antivirus. Ribavirin adalah obat
antivirus yang bersifat virus statik. The American of Pediatric
merekomendasikan penggunaan ribavirin pada keadaan diperkirakan penyakitnya
menjadi lebih berat seperti pada penderita bronkiolitis dengan kelainan
jantung, fibrosis kistik, penyakit paru-paru kronik, immunodefisiensi, dan pada
bayi-bayi prematur. Ada beberapa penelitian prospektif tentang penggunaan
ribavirin pada penderita bronkiolitis dengan penyakit jantung dapat menurunkan
angka kesakitan dan kematian jika diberikan pada saat awal. Penggunaan ribavirin
biasanya dengan cara nebulizer aerosol 12-18 jam per hari atau dosis kecil dengan 2
jam 3 x/hari.
Studi plasebo-terkontrol belum menemukan ribavirin secara klinis efektif pada anak
dengan bronkiolitis. Tindak lanjut studi jangka panjang ribavirin belum konsisten
15
menunjukkan efek menguntungkan pada fungsi paru. Selain itu, terapi ini sangat
mahal. Penggunaan ribavirin aerosol pada pasien ventilasi mekanik membutuhkan
administrasi oleh dokter dan staf pendukung akrab dengan mode ini administrasi dan
ventilator tertentu. Mengingat biaya tinggi dan kurangnya manfaat terbukti, terapi
ribavirin sulit untuk membenarkan dalam pengaturan ini.
Virus adalah agen etiologi utama dalam bronchiolitis; Oleh karena itu, pemberian
rutin antibiotik belum terbukti mempengaruhi perjalanan penyakit ini. Meskipun
teknik diagnostik cepat yang tersedia untuk mengidentifikasi RSV sebagai agen
penyebab bronkiolitis, mereka tidak tersedia untuk virus lain. Dalam kecil, bayi yang
sakit akut, klinis termasuk adanya invasi bakteri sekunder mungkin sulit. Dengan
demikian, pemberian antibiotik spektrum luas pada bayi yang sakit kritis sering
dibenarkan sampai hasil kultur terbukti negatif.
Perlu diingat bahwa hasil tes positif untuk RSV tidak mengecualikan koinfeksi
dengan patogen pernapasan lainnya. Koinfeksi dengan parainfluenza, influenza,
campak, adenovirus, hMPV, pertusis, Legionella, dan Pneumocystis semua mungkin.
Kasus yang parah dan mereka yang tidak mengikuti kursus khas untuk RSV
bronchiolitis dapat mengambil manfaat dari penyelidikan untuk co-infeksi. Penelitian
telah menunjukkan bahwa risiko infeksi bakteri serius bersamaan pada bayi beracun-
muncul rendah.
b. Bronkodilator
Secara umum jangan gunakan bronkodilator pada pasien anak dengan usia dibawah 6
bulan. Bronkodilator juga tidak dianjurkan dan sebetulnya merupakan kontra indikasi
karena dapat memperberat keadaan anak. Penderita dapat menjadi lebih gelisah dan
keperluan oksigen akan meningkat. Salah satu pendekatan praktis adalah dengan
melanjutkan penggunaan bronkodilator hanya pada pasien yang menunjukkan
perbaikan klinis setelah penggunaan awal obat ini.3
Cochrane (2000) mereview manfaat penggunaasn bronkodilator untuk bronchiolitis
memiliki bukti yang kurang. Cochrane (2010) menemukan bahwa bronkodilator
tidak meningkatkan saturasi oksigen, tidak dapat mempersingkat perawatan di rumah
sakit, dan tidak mengurangi kebutuhan untuk rawat inap, atau mengurangi lamanya
penyakit di rumah.3
16
Penyebab obstruksi saluran respiratori adalah inflamasi dan penyempitan akibat
edema mukosa dan sumbatan mukosa, serta kolapsnya saluran respiratori kecil pada
bayi dengan bronkiolitis, sehingga pendekatan logis terapi adalah kombinasi α-
adrenergik dan agonis β-adrenergik.
Dalam suatu percobaan menggunakan placebo-controlled secara acak pada 800 bayi
(usia 6 minggu sampai 12 bulan) yaitu memberikan nebulasi epinefrin ditambah
deksametason oral, epinefrin nebulasi ditambah placebo oral, placebo nebulisasi
ditambah deksametason oral dan nebulasi plasebo ditambah plasebo oral. Hasilnya
adalah kombinasi epinefrin nebulasi dan deksametason oral dapat mengurangi risiko
kunjungan kembali ke UGD.3
Kesimpulannya, beta–agonis masih sering digunakan dengan alasan 15 – 25 % pasien
bronkiolitis nantinya akan menjadi asma. β2-agonis dapat dijadikan percobaan pada
pasien yang lebih tua dengan riwayat pribadi atau keluarga asma dan kemudian untuk
menilai respon klinis dalam 10-15 menit. Dapat diberikan nebulasi β agonis
(salbutamol 0,1mg/kgBB/dosis, 4-6 x/hari) diencerkan dengan salin normal untuk
memperbaiki kebersihan mukosilier.1 Inhalasi β2-agonis diberikan satu kali sebagai
trial dose. Dosis ulangan dapat diberikan bila pasien menunjukkan perbaikan klinis
fungsi paru yang jelas dan menetap.3
c. Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat dipertimbangkan atau mengurangi patologi utama peradangan
dan edema dari mukosa bronchiolar berdasarkan kepercayaan akan efek
antiinflamasinya. Namun, data menunjukkan bahwa agen ini tidak boleh digunakan
secara rutin. Sejumlah penelitian telah gagal untuk meyakinkan manfaat penggunaan
rutin glukokortikoid dalam pengobatan bayi dengan bronchiolitis.3
Kortikosteroid mungkin berguna pada pasien dengan riwayat penyakit saluran napas
reaktif. Pengobatan steroid belum terbukti menurunkan kejadian jangka panjang asma
bronchial setelah infeksi RSV. Pengobatan steroid nebulasi belum terbukti berkhasiat.
Namun, dalam percobaan pada 800 bayi. Hanya bayi dalam kelompok epinefrin-
deksametason secara signifikan lebih kecil kemungkinannya untuk dirawat di rumah
sakit dalam waktu 7 hari pengobatan.3 Kortikosteroid yang digunakan adalah
prednison, metilprrednisolon, hidrokortison, dan deksametason. Untuk penyamaan
17
dilakukan konversi rata-rata dosis per hari serta rata-rata total paparan obat tersebut
dengan ekuivalen mg/kgBB prednison. Rata-rata dosis per hari berkisar antara 0,6-6,3
mg/kgBB, dan rata-rata total paparan antara 3,0-18,9 mg/kgBB. Cara pemberian
adalah secara oral, intramuskular, dan intravena.1
d. Antibiotik
Pemberian antibiotik biasanya tidak diperlukan pada penderita bronkiolitis, karena
sebagian besar disebabkan oleh virus, kecuali jika ada tanda-tanda infeksi sekunder
dapat diberikan antibiotik spektrum luas.
Pemberian antibiotik justru akan meningkatkan infeksi sekunder oleh kuman yang
resisten terhadap antibiotik tersebut.
Apabila terdapat napas cepat saja, pasien dapat rawat jalan dan diberikan
kotrimoksazol (4 mg TMP/kgBB/kali) 2 kali sehari, atau amoksisilin (25
mg/kgBB/kali), 2 kali sehari, selama 3 hari. Apabila terdapat tanda distres
pernapasan tanpa sianosis tetapi anak masih bisa minum, rawat anak di rumah sakit
dan beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/ kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam), yang
harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberi respons
yang baik maka terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin
oral (25 mg/kgBB/kali, dua kali sehari) untuk 3 hari berikutnya. 5
Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan yang berat
(tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya, kejang,
letargis atau tidak sadar, sianosis, distres pernapasan berat) maka ditambahkan
kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam) sampai keadaan
membaik, dilanjutkan per oral 4 kali sehari sampai total 10 hari. 5
Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat (pneumonia berat) segera berikan
oksigen dan pengobatan kombinasi ampilisin-kloramfenikol atau ampisilin-
gentamisin. Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB/kali IM atau IV
sekali sehari).5
3. Kriteria Pulang
Pasien direkomendasikan pulang dengan kriteria :
- Status pernafasan
18
Laju pernafasan kurang dari 70 kali dalam 1 menit dan tidak didapatkan tanda
klinis usaha pernafasan lebih
Orang tua dapat membersihkan saluran pernafasan anak dengan menggunakan
alat sedot gelembung.
Pasien dapat berada dalam ruang dengan udara bebas dengan oksigen terapi
yang stabil.
Saturasi oksigen harus lebih dari 90% tanpa pemberian oksigen tambahan
kecuali anak dengan penyakit paru kronis, penyakit jantung atau mempunyai
faktor resiko lain harus dilakukan diskusi terlebih dahulu dengan konsultan.
- Status nutrisi
Pasien dapat makan melalui mulut pada tingkatan dapat mencegah dehidrasi
- Sosial
Peralatan dirumah mampu untuk digunakan dalam perawatan dirumah
Orang tua atau penjaga anak mampu untuk melakukan perawatan dirumah
Dilakukan edukasi keluarga yang lengkap
- Peninjauan lebih lanjut
Ketika ada indikasi, perawat rumah dan penyedia alat medis harus melakukan
visit terakhir. Pemberi pertolongan utama harus memberikan persetujuan untuk
pemulangan. Kontrol untuk peninjauan lebih lanjut harus dilakukan.
4. Edukasi Keluarga
Dilakukan pada saat pasien akan dipulangkan. Yaitu dengan memberitahukan :
- Informasi mengenai penyakit bronkiolitis
- Bagaimana cara membersihkan jalan nafas dengan menggunakan penghisap
gelembung.
- Segera memanggil bantuan atau membawa pasien ke rumah sakit kembali jika
didapatkan gangguan pernafasan
- Cara pencegahan penyakit dan penyebarannya dengan menghindari anak dari
paparan asap rokok ataupun zat yang mengiritasi lainnya, melakukan cuci tangan,
dll.1
19
L. PENCEGAHAN
Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari faktor paparan asap rokok dan
polusi udara, membatasi penularan terutama dirumah sakit misalnya dengan
membiasakan cuci tangan dan penggunaan sarung tangan dan masker, isolasi penderita,
menghindarkan bayi/anak kecil dari tempat keramaian umum, pemberian ASI,
menghindarkan bayi/anak kecil dari kontak dengan penderita ISPA.
Langkah preventif yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian imunisasi aktif
(Vaksinasi) dan pasif (Immunoglobulin).
1. Immunoglobulin
Imunisasi pasif dapat dilakukan dengan pemberian gammaglobulin yang
mengandung titer antibodi protektif tinggi (respigram). Respigram adalah human
polyclonal hyperimmune globilin. Dosis yang dianjurkan 750 mg/KgBB setiap bulan,
diberikan secara intravena pada anak dibawah umur 24 bulan. Indikasi lain adalah bayi
yang lahir dengan umur kehamilan kurang dari 35 minggu.
Pendekatan profilaksis pada populasi resiko tinggi adalah meningkatkan
(augmentation) antibodi yang menetralisasi protein F dan G dengan cara pemberian dari
luar dan imunisasi dari ibu. Pada manusia, efek imunoglobulin yang mengandung
neutralizing antibody titer tinggi atau monoklonal terhadap protein F akan mengurangi
beratnya penyakit. Bila pada bayi premature atau bayi dengan penyakit paru kronis
diberikan RSV hyperimmune globulin atau antibodi monoklonal terhadap protein F yang
disebut dengan Palivizumab setiap bulan, diberikan secara intramuskular setiap hari, lama
perawatan RSV akan berkurang secara bermakna. Palivizumab adalah humanized murine
monoclonal anti-F glycuprotein antibody, yang mencegah masuknya RSV kedalam sel
host. Akan tetapi resiko efek samping kemungkinan meningkat pada bayi dengan
penyakit jantung sianotik. AAP merekomendasikan profilaksis boleh diberikan hanya
pada bayi dengan resiko tinggi yang tidak menderita penyakit jantung sianotik.
2. Vaksinasi
Sesudah penelitian dengan vaksin inaktif, dikembangkan vaksin live attenuated.
Vaksin RSV pertama, yang terdiri dari cold – passaged mutan, efektif untuk
orang dewasa, tetapi pada anak terlalu virulen dan tidak stabil karena dapat berubah
menjadi virus biasa kembali. Kemudian dari permukaan glikoprotein murni,
20
dikembangkan DNA dan peptik sintetik. Vaksin live – attenuated mempunyai
kelebihan, yaitu dapat diberikan intranasal dan menginduksi imunitas mukosa dan
sistemik.
Dianjurkan pemberian live attentuated RSV dan PIV3 (Parainfluenza virus
serotipe 3) sebagai vaksin kombinasi sebanyak dua atau tiga kali dengan dosis pertama
sebelum atau pada usia 1 bulan diikuti dengan vaksin bivalen PIV1 dan PIV2 pada usia
4-6 bulan.1,2
M. PROGNOSIS
Prognosis tergantung berat ringannya penyakit, cepatnya penanganan, dan
penyakit latar belakang (penyakit jantung, defisiensi imun, prematuritas). Dengan
pengenalan dini dan pengobatan, prognosis biasanya sangat baik. Sebagian besar anak
dengan bronkiolitis, terlepas dari keparahan, sembuh tanpa gejala sisa. Perjalanan
penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi beberapa tetap sakit selama berminggu-minggu. Studi
menunjukkan bahwa kadar IgE dapat digunakan sebagai penanda keparahan penyakit
akut. Beberapa bayi yang pulih dari bronkiolitis akut memiliki peningkatan frekuensi
mengi berulang.3
Anak biasanya dapat mengatasi serangan tersebut sesudah 48 – 72 jam. Mortalitas
kurang dari 1 %. Anak biasanya meninggal karena jatuh ke dalam apneu yang lama,
asidosis respiratorik yang tidak terkoreksi atau karena dehidrasi yang disebabkan oleh
takipneu dan kurang makan-minum.
Penelitian di Norwegia menunjukkan bahwa bayi yang dirawat dengan
bronkhiolitis mempunyai kecendrungan menderita asma dan penurunan fungsi paru pada
usia 7 tahun dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan adanya hipereaktifitas
bronkhial yang menetap selama beberapa tahun setelah menderita bronkiolitis pada bayi
muda, baik para RSV positif, maupun RSV negatif. Tidak dapat dibuktikan secara jelas
bahwa bronkiolitis terjadi pada anak dengan kecendrungan asma, keberhasilan
pengobatan dengan kortikosteroid mungkin dapat mengurangi prevalens asma pada
anak dari kelompok pengobatan.
21
BAB III
RINGKASAN
Bronkiolitis adalah penyakit saluran pernapasan bayi yang lazim, akibat dari
obstruksi radang saluran pernapasan kecil. Penyakit ini terjadi selama umur 2 tahun
pertama, dengan insiden puncak pada sekitar umur 6 bulan. Bronkiolitis terutama
disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV) dan sisanya disebabkan oleh virus
Parainfluenzae tipe 1,2, dan 3, Influenzae B, Adenovirus tipe 1,2, dan 5, atau
Mycoplasma. Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Secara umum tatalaksana bronkiolitis yang dianjurkan adalah :
1. Pemberian oksigenasi; dapat diberikan oksigen nasal atau masker, monitor dengan
pulse oxymetry. Bila ada tanda gagal nafas diberikan bantuan ventilasi mekanik.
2. Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu dapat dengan cairan parenteral).
Jumlah cairan sesuai berat badan, kenaikan suhu dan status hidrasi.
3. Koreksi terhadap kelainan asam basa dan elektrolit yang mungkin timbul.
22
4. Antibiotik dapat diberikan pada keadan umum yang kurang baik, curiga infeksi
sekunder (pneumonia) atau pada penyakit yang berat.
5. Kortikosteroid : deksametason 0,5 mg/kgBB dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hari
dibagi 3-4 dosis.
6. Dapat diberikan nebulasi β agonis (salbutamol 0,1mg/kgBB/dosis, 4-6 x/hari)
diencerkan dengan salin normal untuk memperbaiki kebersihan mukosilier.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rahajoe Nastiti N, Bambang Supriyatno, Darmawan Budi Setyanto. Buku Ajar
Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. 2008. Hal : 333-347.
2. Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Nelson Textbook of Pediatric. Edisi ke-19.
Philadelphia : WB Saunders, 2005. Hal : 1112-1114; 1484-1486.
3. Lucian Kenneth DeNicola. 10-09-14. Bronchiolotis.
http://emedicine.medscape.com/article/961963-overview
4. Pusponegoro Hardiono D, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi
Pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI.2005. Hal : 348-350.
5. World Health Organization. 2009. Buku saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah
Sakit. Depkes RI: Jakarta
6. Louden Mark. Pediatrik, bronchiolitis. Diunduh dari www. emedicine.medscape.com
7. DeNicola CL. Bronchiolitis. 2010 (update 2012, December 01). Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/961963-overview