Referat Anak, Typhoid

29
CASE REPORT DEMAM TIFOID Oleh : Farhana Oktoriana 1102009106 Pembimbing : dr. Nurvita Susanto, Sp.A dr. Budi Risjadi, Sp.A, M.Kes 1

description

referat

Transcript of Referat Anak, Typhoid

CASE REPORTDEMAM TIFOID

Oleh :Farhana Oktoriana1102009106

Pembimbing :dr. Nurvita Susanto, Sp.Adr. Budi Risjadi, Sp.A, M.Kes

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SOREANGBAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK2013DAFTAR ISI

BAB I.Pendahuluan .................................................................................... 2BAB II.Tinjauan Pustaka ............................................................................ 3Definisi .............................................................................................. 3Epidemiologi .................................................................................... 3Etiologi ............................................................................................. 4Patogenesis ....................................................................................... 4Gambaran klinis .............................................................................. 5Diagnosis .......................................................................................... 8 Pemeriksaan penunjang ................................................................. 9Diagnosis banding ....................................................................14Penatalaksanaan .............................................................................. 14Komplikasi .............................................................................. 16Pencegahan ....................................................................................... 16Prognosis ........................................................................................... 18Daftar Pustaka .................................................................................................................... 19

BAB IPENDAHULUANDemam tifoid adalah suatu penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi, dapat juga disebabkan oleh Salmonella enterica serotype paratyphi A, B, atau C (demam paratifoid). Demam tifoid ditandai antara lain dengan demam yang terus menerus lebih dari 7 hari dan suhu tubuh lebih tinggi ketika sore dan malam. Di banyak negara berkembang, termasuk di Indonesia, demam tifoid masih tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat, berbagai upaya yang dilakukan untuk memberantas penyakit ini tampaknya belum memuaskan. Sebaliknya di negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa dan Jepang misalnya, seiring dengan perbaikan lingkungan, pengelolaan sampah dan limbah yang memadai dan penyediaan air bersih yang cukup, mampu menurunkan insidensi penyakit ini. Insidensi demam tifoid secara tepat tidaklah diketahui mengingat tampilan kliniknya yang bervariasi Kultur darah sebagai pemeriksaan untuk mencari kuman penyebab tidak selalu tersedia di setiap daerah dan setiap fasilitas kesehatan.Di negara maju kasus demam tifoid terjadi secara sporadic. Di negara berkembang kasus ini endemik. Diseluruh dunia diperkirakan antara 16 16, 6 juta kasus baru demam tifoid ditemukan dan 600.000 diantaranya meninggal dunia. Di Asia diperkirakan sebanyak 13 juta kasus setiap tahunnya.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI Demam tifoid ( tifus abdominalis, enteric fever ) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari 7 hari. Gangguan terjadi pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.( Husein alatas, 1985 )

EPIDEMIOLOGIDemam tifoid dan demam paratifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang No. 6 tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit-penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang, sehingga dapat menimbulkan wabah.( Aru W sudoyo, 2009).Besarnya angka pasti kasus demam tifoid sangat sukar ditentukan. Karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinisnya sangat luas. Diperkirakan angka kejadian dari 150 per 100.000 tiap tahun di Amerika Selatan dan 900 dari 100.000 tiap tahun di Asia. Di Indonesia rata rata usia yang terkena di daerah endemis antara 3 19 tahun mencapai 91% kasus.Salmonella typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia ( manusia sebagai natural reservoir ). Manusia yang terinfeksi Salmonella Typhi dapat mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka waktu yang bervariasi. Salmonella Typhi yang berada di luar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada dalam air, es, debu, atau kotoran yang kering maupun pakaian. Akan tetapi S.Typhi hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu dan mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi ( temperatur 63 C ).Penularan Salmonella Typhi sebagian besar melalui minuman atau makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama sama tinja ( melalui rute oral fekal ).( Sumarmo, 2010 )ETIOLOGIEtiologi demam tifoid adalah Salmonella thypi. Sedangkan demam paratifoid disebabkan oleh organisme yang termasuk dalam spesies Salmonella enteriditis yaitua) Salmonella enteriditis bioserotip paratyphi A, kuman ini disebut juga Salmonella paratyphi Ab) Salmonella enteriditis bioserotip paratyphi B, kuman ini disebut juga Salmonella schottmuelleric) Salmonella enteriditis bioserotip paratyphi C, kuman ini disebut juga Salmonella hirschfeldii

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida. Salmonella typhi mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel di dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.( Aru W Sudoyo, 2009 )

Salmonella typhi hanya dapat menyebabkan gejala demam tifoid pada manusia. Salmonella typhi termasuk bakteri famili Enterobacteriaceae dari genus Salmonella. Kuman berspora, motile, berflagela,berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 37C (15C-41C), bersifat fakultatif anaerob, dan hidup subur pada media yang mengandung empedu. Kuman ini mati pada pemanasan suhu 54,4C selama satu jam, dan 60C selama 15 menit, serta tahan pada pembekuan dalam jangka lama. Salmonella mempunyai karakteristik fermentasi terhadap glukosa dan manosa, namun tidak terhadap laktosa dan sukrosa.( Jawets, 2005 )

PATOGENESIS Kontaminasi makanan atau minuman oleh bakteri Salmonella

Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung dan sebagian lolos masuk kedalam usus lalu berkembang biak

Bila respon imunitas humoral mukosa usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel ( terutama sel M )

Menuju lamina propia, berkembang biak dan di fagosit terutama oleh makrofag

Kuman hidup dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag

Plak peyeri ileum distal

Kelenjar getah bening mesentrika

Melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag masuk ke sirkulasi darah ( mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik )

Menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa

Kuman meninggalkan sel fagosit

Berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid

Masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakterimia yang kedua dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik

Di dalam hati kuman masuk ke dalam kantung empedu lalu diekskresikan ke lumen usus. Proses yang sama terulang kembali. Karena makrofag sudah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan mediator inflamasi yang kemudian menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, gangguan mental, dan koagulasi.

Di dalam plak payeri makrofag yang hiperaktif dapat menimbulkan hiperplasia jaringan, dan perdarahan akibat erosi pembuluh darah disekitar plak payeri yang hiperplasi karena akumulasi sel sel mononuklear di dinding usus. Terjadinya febris diduga disebabkan oleh endotoksin ( suatu lipopolisakarida penyebab leukopeni ) yang bersama-sama Salmonella typhi merangsang leukosit di jaringan. Inflamasi merangsang pengeluaran zat pirogen. Tubuh mempunyai beberapa mekanisme pertahanan untuk menahan dan membunuh kuman patogen ini, yaitu :1. mekanisme pertahanan non spesifik di saluran pencernaan, baik secara kimiawi maupun fisik.2. mekanisme pertahanan spesifik yaitu kekebalan tubuh humoral dan selular. ( Aru W Sudoyo, 2009 )GEJALA KLINISMasa inkubasi : 10 -14 hari Manifestasi klinis :Minggu I : 1. Demam yang sifatnya meningkat perlahan lahan terutama meningkat pada sore hingga malam hari. Suhu meningkat setiap harinya dan mencapai puncaknya pada akhir minggu pertama, dapat mencapai 39o - 40oC.2. Nyeri kepala, pusing.3. Mual, muntah, anoreksia.4. Epistaksis5. Batuk 6. Gangguan defekasi : Obstipasi pada minggu I.7. Tidak enak di perut perut.8. Apatis/bingung dapat diakibatkan toksik menjadi delirium yang akan menjadi meningismus (akhir minggu ke I).9. Myalgi/atralgi.

Minggu ke II :1. Demam2. Nadi terjadi bradikardi relatif ( peningkatan suhu 1 C tanpa diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit 3. Lidah, typhoid tongue, dengan warna lidah putih kotor di bagian tengah dengan ujung dan tepi hiperemis dan terdapat tremor.4. Thoraks, paru-paru dapat terjadi bronchitis/pneumonia, pada umumnya bersifat tidak produktif, terjadi pada minggu ke II atau minggu ke III, yang disebabkan oleh pneumococcus atau yang lainnya.5. Gangguan defekasi : Diare pada minggu II (peas soup diare). Karena peradangan kataral dari usus, sering disertai dengan perdarahan dari selaput lendir usus, terutama ileum6. Abdomen, agak cembung, bisa terjadi :- Meteorismus- Splenomegali pada 70% dari kasus, dengan perabaan keras, mulai teraba pada akhir minggu ke I sampai minggu ke III, akan tetapi dapat juga lunak dan nyeri tekan positif.- Hepatomegali pada 25% dari kasus, terjadi pada minggu ke II sampai dengan masakonvalesens.7. Kulit, Rose spot, adalah suatu ruam makulopapular yang khas untuk tipoid, berukuran 1 5 mm. Sering dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih dan tidak pernah dilaporkan terjadi pada anak Indonesia. Biasanya muncul pada hari ke 7 10 dan bertahan 2 3 hari. Hal ini terjadi karena infiltrasi oleh sel monosit pada ujung-ujung kapiler yang disebabkan oleh infiltrasi kuman Salmonella typhi pada kulit, yang menyebabkan terjadinya proses radang, sehingga terjadi perembesan dari sel eritrosit, karena permeabilitas kapiler meningkat.8. Gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium atau psikosis.

( Aru W Sudoyo 2009 & Sumarmo 2010 )

DIAGNOSIS Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan asimtomatik. Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. 1. AnamnesisPanas lebih dari 7 hari dan meningkat saat sore sampai malam, batuk, malaise, letargi, anoreksia, BB menurun, mialgia, nyeri kepala, nyeri atau tidak enak di perut, muntah, bisa ada kesadaran menurun, kejang, ikterus,serta epistaksis.2. Pemeriksaan fisikBisa didapati brdikardi relatif, kesadaran menurun,bisa ada hepatomegali, splenomegali, ruam makulopapuler pada kulit dada bagian bawah / perut ( rose spot ) yang menghilang dalam 2 3 hariTyphoid tongue bagian tengah kotor bagian pinggir hiperemis dan terdapat tremor.3. Pemeriksaan laboratorium1. Pemeriksaan darah lengkapHasil nya : Leukopenia Leukosit normal atau meningkat Anemia ringan Trombositopenia LED dapat meningkat SGOT dan SGPT dapat meningkat dan normal kembali setelah sembuh2. Pemeriksaan darah tepi( Aru W Sudoyo 2009, Sumarmo 2010, Husein Alatas 1985, Herry Garna 2005 )PEMERIKSAAN PENUNJANGPemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : 1. PEMERIKSAAN DARAH TEPIPada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut.

Gambaran Darah TepiAnemia normokrom normositik terjadi sebagai akibat perdarahan usus atau supresi pada sumsum tulang jumlah leukosit rendah, namun jarang di bawah 3000 /l. Apabila terjadi abses piogenik maka jumlah leukosit dapat meningkat mencapai 20.000-25.000 /l. Trombositopenia sering dijumpai, kadang-kadang berlangsung beberapa minggu.Patogenesis perubahan gambaran darah tepi pada demam tifoid masih belum jelas, umumnya ditandai dengan leukopenia, limfositosis realtif dan menghilangnya eosinofil ( aneosinofilia ). Diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah.2. IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI ISOLASI / BIAKANDiagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi1. Telah mendapatkan terapi antibiotik2. Riwayat vaksinasi3. jumlah darah yang diambil4. waktu pengambilan darah.

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya.

Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang.

Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.

Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita. 3. IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI UJI SEROLOGIS Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan. Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :A. UJI WIDALUji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada fase akut mula mula timbul aglutinin O. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin 1/40 dengan memakai uji widal slide aglutination menunjukkan nilai ramal positif 96%. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman Salmonella typhi (karier). Meskipun uji serologi Widal untuk menunjang diagnosis demam tifoid telah luas digunakan di seluruh dunia, namun manfaatnya masih menjadi perdebatan. Sampai saat ini uji serologi Widal sulit dipakai sebagai pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut off point). Interpretasi pemeriksaan Widal harus hati-hati karena banyak faktor yang mempengaruhi antara lain stadium penyakit, pemberian antibiotik, teknik laboratorium, gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non endemis), riwayat mendapat imunisasi sebelumnya, dan reaksi silang.( Sumarmo 2010 & Aru W Sudoyo 2009 )

B. TES TUBEXTes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.

Intepretasi hasil uji tubex berdasarkan warna larutan campuran yang dapat bervariasi warnanya. Berdasarkan inilah ditentukan skor. Hasilnya jika : Skor < 2 intepretasi ( - ) tidak menunjukan tifoid aktif 3 intepretasi borderline, lakukan pengulangan dalam beberaa hari 4 5 intepretasi positif tifoid Skor > 6 intepretasi positif, indikasi kuat infeksi tifoid

C. METODE ENZYME IMMUNOASSAY (EIA) DOT Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.

Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman.

D. METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang.

E. PEMERIKSAAN DIPSTIKUji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. 5. IDENTIFIKASI KUMAN SECARA MOLEKULERMetode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.( Aru W sudoyo, 2009 )DIAGNOSIS BANDINGBronkhitis, bronkopneumonia, bruselosis, septikemia, sigelosis, thalasemia, , malaria, influenza, gastroenteritis, tuberculosis, infeksi jamur sistemik.( Harry Garna 2005 )PENATALAKSANAANPengobatan terhadap demam tifoid merupakan gabungan antara pemberian antibiotik yang sesuai, perawatan penunjang termasuk pemantauan, manajemen cairan, serta pengenalan dini dan tata laksana terhadap adanya komplikasi (perdarahan usus, perforasi dan gangguan hemodinamik).I. Tatalaksana umum Tirah baring Diet makanan cair, lunak hingga kasar. Cukup cairan dan kalori serta tinggi protein. Makanan sedkit mengandung seratII. Terapi farmakologiPemilihan antibiotik sebelum dibuktikan adanya infeksi Samonella dapat dilakukan secara empiris dengan memenuhi kriteria berikut (1) spektrum sempit, (2) penetrasi ke jaringan cukup, (3) cara pemberian mudah untuk anak, (4) tidak mudah resisten, (5) efek samping minimal, dan (6) adanya bukti efikasi klinis.Penggunaan antibiotik yang dianjurkan selama ini adalah sebagai berikut :1. Lini pertamaa. Kloramfenikol, masih merupakan pilihan pertama dalam urutan antibiotik, diberikan dengan dosis 200 mg/kgBB/hari secara intravena dalam 4 dosis selama 10 - 14 hari. Pada bayi usia < 2 minggu beri 25 mg/KgBB/harib. Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari diberikan peroral/iv dibagi 3 4 dosis selama 10 - 14 hari, atauc. Kotrimoksazol dengan dosis 10 mg/kgBB/hari trimetoprim atau 50 mg/KgBB/hari sulfametoksazol, dibagi 2 dosis, selama 10 - 14 hari.2. Lini ke dua, diberikan pada kasus-kasus demam tifoid yang disebabkan S.typhi yang resisten terhadap berbagai obat (MDR=multidrug resistance), yang terdiri atas :a. Seftriakson dengan dosis 50 mg/kgBB/hari, dosis tunggal selama 5 hari .b. Sefiksim dengan dosis 10 - 15 mg/kgBB/hari peroral, dibagi dalam 2 dosis selama 10 hari, adalah alternatif pengganti seftriakson yang cukup handal.c. Sefotaksim 150 200 mg/ KgBB/hari dibagi 3 4 dosis.III. Terapi suportifPengobatan suportif akan sangat sangat menentukan keberhasilan pengobatan demam tifoid dengan antibiotik. Pemberian cairan dan kalori yang adekuat sangat penting. Penderita demam tifoid sering menderita demam tinggi, anoreksia dan diare, sehingga keseimbangan cairan sangat penting diperhatikan. Pemberian antipiretik masih kontroversial, di satu pihak demam diperlukan untuk efektifitas respons imun dan pemantauan keberhasilan pengobatan, namun di pihak lain ketakutan akan terjadinya kejang dan kenyamanan anak terganggu, sering membutuhkan pemberian antipiretik. Dianjurkan pemberian antipiretik bila suhu di atas 38,5C.Pemberian kortikosteroid juga dianjurkan pada demam tifoid berat, misalnya bila ditemukan status kesadaran delir, stupor, koma, ataupun syok. Deksametason diberikan dengan dosis awal 3 mg/kbBB, diikuti dengan 1 mg/kgBB setiap 6 jam selama 2 hari.( Sumarmo, 2010)KOMPLIKASI

PENCEGAHANSecara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.typhi, maka setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57C atau lebih untuk beberapa menit atau dengan proses iodinasi/klorinasi.Hygiene perorangan dan lingkungan seperti mencuci tangan sebelum makan, penyediaan air bersih, dan pengamanan pembuangan limbah feses.Kontrol penularan dengan identifikasi dan eradikasi Salmonella Thyphi pada kasus demam tifoid, pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi, dan proteksi pada orang yang beresiko terinfeksi Imunisasi aktif diberikan terutama bila kontak dengan pasien demam tifoid, apabila terjadi kejadian luar biasa, dan untuk turis yang berpergian ke daerah endemik, petugas laboratorium atau petugas kesehatan ( Aru W Sudoyo, 2009 )Vaksin Demam TifoidSaat sekarang dikenal tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid, yaitu yang berisi kuman yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi dari Salmonella typhi.Jenis :- Vaksin polisakarida (capsular Vi polysaccharide) Vaksin ini diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Vaksin yang berisi komponen Vi dari Salmonella typhi diberikan secara suntikan intramuskular memberikan perlindungan 60-70% selama 3 tahun.- Vaksin tifoid oral (ty21-a) Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi hidup yang dilemahkan (Ty-21a) diberikan peroral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari, memberi daya perlindungan 6 tahunVaksin kontraindikasi pada orang dengan imunitas yang menurun, ibu hamil, dan penggunaan bersamaan dengan obat malaria. Pemberian vaksin sebaiknya 24 jam setelah mengkonsumsi obat malaria( Aru W sudoyo, 2009 )PROGNOSISUmumnya baik. Tergantung cepatnya terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya, penyebab tipe Salmonella, dan adanya penyulit. Prognosis menjadi kurang baik bila terdapat gejala klinis berat seperti :1. Panas tinggi ( hiperpireksia )2. Kesadaran menurun sekali yaitu sopor, koma, delirium3. Terdapat komplikasi berat seperti dehidrasi dan asidosis, peritonitis, bronkopneumonia, dll.4. Malnutrisi energi protein( Arif Manjoer, 2000 )DAFTAR PUSTAKA1. Garna, Herry dkk. Pedoman Diagnosis dan Terapi IKA. Edisi 3. 2005. FK UNPAD, Bandung.2. Jawets, dkk. Mikrobiologi Kedokteran. 2005. Salemba Medika, Jakarta3. Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ketiga, jilid kedua. 2000. Media Aeculapius FKUI, Jakarta.4. Sudoyo, Aru W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, Edisi kelima. 2009. Jakarta 5. Soedarmo, Sumarso, dkk. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi kedua. 2010. Jakarta 6. Alatas, Husein, dkk. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak, edisi keempat jilid 2. 1985. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI : 593

9