BAB II Pratama Blok 9
description
Transcript of BAB II Pratama Blok 9
BAB IIPEMBAHASAN
2.1 Virus Dengue
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus
dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang
sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4
jenis serotipe, yaitu: DEN-1, DEN2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah satu serotipe
akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan
antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat
memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut.
Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4
serotipe selama hidupnya.Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di
berbagai daerah di Indonesia.Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang
dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat
serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan
serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi
klinik yang berat.[1]
Vektor
Virus dengue ditularkan melalui gigitan banyak spesies nyamuk
Aedes (antara lain Aedes aegypti dan Aedes albopictus).(2) Nyamuk berasal
dari family Stegomyia. Nyamuk ini terutama terdapat di daerah tropis dan
subtropis.(6) Aedes aegypti yang menggigit pada pagi hingga sore hari adalah
vektor utama virus.Nyamuk berkembang biak di tempat penampungan air
bersih yang tidak berhubungan dengan tanah. Virus dengue juga ditemukan
pada nyamuk Aedes albopictus yang berkembang biak dia air yang
terperangkap diantara tumbuhan.(2)Karena suhu rendah nyamuk tidak dapat
hidup pada ketinggian diatas 1000 meter. Telur dapat bertahan selama
berbulan-bulan tanpa adanya air.Larva tumbuh di air yang disimpan untuk
minum, mandi, atau air hujan yang ditampung di dalam bak. Nyamuk betina
tumbuh menjadi dewasa di dalam ruangan tertutup.(6)Sekali terinfeksi virus,
nyamuk akan terinfeksi selamanya dan menularkan virus jika menggigit
1
manusia. Nyamuk betina juga menularkan virus kepada anaknya melalui
penularan transovarium.(2)
Cara Penularan
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi
virus dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara.Virus dengue
ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk
Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat
juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan.
Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat
menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang
berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic
incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada
saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan
kepada telurnya (transovanan transmission), namun perannya dalam
penularan virus tidak penting. Sekali virus dapat masuk dan
berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat
menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus
memerlukan waktu masa tunas 4-6 hari (intrinsic incubation period)
sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk
hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami
viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.[1]
2.2 Epidemiologi
Epidemic sering terjadi di Americas, Europe, Australia, dan Asia hingga
awal abad 20. Sekarang demam dengue endemic pada Asia Tropis, Kepulauan di
Asia Pasifik, Australia bagian utara, Afrika Tropis, Karibia, Amerika selatan dan
Amerika tengah. Demam dengue sering terjadi pada orang yang bepergian ke
daerah ini. Pada daerah endemic dengue, orang dewasa seringkali menjadi imun,
sehingga anak-anak dan pendatang lebih rentan untuk terkena infeksi virus ini.(5)
2
Gambar 2. Distribusi Dengue di Dunia. CDC 2009.(7)
Keterangan : Biru : area infestasi Aedes aegypti.Merah : area infestasi Aedes
aegyptidan epidemic dengue
Pada tahun 2003, delapan negara (Bangladesh, India, Indonesia,
Maladewa, Myanmar, Sri Lanka, Thailand, dan Timor Leste) melaporkan adanya
kasus dengue. Epidemic dengue adalah masalah kesehatan masyarakat utama di
Indonesia, Myanmar, Sri Lanka, Thailand dan Timor Leste yang beriklim tropis
dan berada di daerah ekuator dimana Aedes aegypti berkembang biak baik di
daerah perkotaan maupun pedesaan. Di Negara ini dengue merupakan penyebab
rawat inap dan kematian tertinggi pada anak-anak.(6)
DHF/ DSS lebih sering terjadi pada daerah endemis virus dengue dengan
beberapa serotype.Penyakit ini biasanya menjadi epidemic tiap 2-5 tahun.
DHF/DSS paling banyak terjadi pada anak di bawah 15 tahun, biasanya pada
umur 4-6 tahun. Frekuensi kejadian DSS paling tinggi pada dua kelompok
penderita : a. anak-anak yang sebelumnya terkena infeksi virus dengue, b. bayi
yang darah ibunya mengandung anti dengue antibody. Transmisi penyakit
biasanya meningkat pada musim hujan.Suhu yang dingin memungkinkan waktu
survival nyamuk dewasa lebih panjang sehingga derajat tranmisi meningkat.(2)
Case Fatality Rate yang dilaporkan adalah 1%, tetapi di India, Indonesia
dan Myanmar, telah dilaporkan adanya outbreak lokal di daerah perkotaan
dengan laporan Case Fatality Rate sebesar 3-5%. Di Indonesia, dengan 35%
populasi yang bertempat tinggal di daerah perkotaan, 150.000 kasus dilaporkan
pada tahun 2007 (kasus tertinggi diantara semua negara) dengan lebih dari
25.000 kasus dilaporkan berasal dari Jakarta dan Jawa Barat dengan Case
Fatality Rate sebesar 1%.(4)
3
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus
DBD sangat kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2)
Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali, (3) Tidak adanya kontrol
vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan (4) Peningkatan sarana
transportasi.[1]
Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai
faktor antara lain status imunitas pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi
virus dengue, keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis
setempat. Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan virus dengue di
Surabaya dan Jakarta, baik dalam jumlah penderita maupun daerah penyebaran
penyakit terjadi peningkatan yang pesat. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di
seluruh propinsi di Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian
luar biasa. Incidence rate meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada
tahun 1968 menjadi berkisar antara 6-27 per 100,000 penduduk. Pola berjangkit
infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu
yang panas (28-32°C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes akan tetap
bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan
kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit
agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus dengue
terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat
pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.[1]
2.3 Patogenesis
Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel
hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel
manusia sebagai pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan
protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila
daya tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun
bila daya tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan
bahkan dapat menimbulkan kematian.[2]
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom Syok Dengue) masih merupakan
masalah yang kontroversial.Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD
adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau
4
hipotesis immune enhancement.Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung
bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus
dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk
menderita DBD/Berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan
mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks
antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel
leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak
dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel
makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent enhancement
(ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue
di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi
sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia
dan syok.[2]
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary
heterologous infection dapat dilihat pada Gambar 1 yang dirumuskan oleh
Suvatte, tahun 1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang
berlainan pada seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi
dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit
dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu,
replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan
akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan
terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang
selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan
C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang
ekstravaskular.Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang
sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma
ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar
natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites).
Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan
anoksia, yang dapat berakhir fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat
penting guna mencegah kematian.[2]
5
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus
binatang lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus
mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk.
Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat
menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi
dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain
virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar. Kedua
hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris.[2]
Secondary heterologous dengue infection
Replikasi virus Anamnestic antibody
response
Kompleks virus-antibody
Aktivasi komplemen Komplemen
Anafilatoksin (C3a, C5a) Histamin urin
meningkat
Permeabilitas kapiler ↑ Ht ↑
> 30% pada Perembesan plasma Natrium ↓kasus syok 24-48 jam
Hipovolemia Cairan dalam ronggaserosa
Syok
Anoksia Asidosis
Meninggal
Gambar 1. Patogenesis terjadinya syok pada DBD[2]
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-
antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi
trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel
pembuluh darah (gambar 2). Kedua faktor tersebut akan menyebabkan
perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan
kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan
pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama
iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo
6
endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini
akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya
koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata), ditandai
dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi
penurunan faktor pembekuan.[2]
Secondary heterologous dengue infection
Replikasi virus Anamnestic antibody
Kompleks virus antibody
Agregasi trombosit Aktivasi koagulasi Aktivasi
komplemen
Penghancuran Pengeluaran Aktivasi faktor Hageman trombosit oleh RES platelet faktor III
Anafilatoksin
Trombositopenia Koagulopati Sistem kinin konsumtif
Gangguan Kinin Peningkatanfungsi trombosit penurunan faktor
permeabilitas pembekuan kapiler
FDP meningkat
Perdarahan massif syok
Gambar 2. Patogenesis Perdarahan pada DBD[2]
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,
sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik.
Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman
sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan
permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan
masif pada DBD diakibatkan oleh trombositpenia, penurunan faktor pembekuan
7
(akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dankerusakan dinding endotel kapiler.
Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.[1]
2.4 Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue
Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya
tahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan
demikian infeksi virus dengue dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-
macam, mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik
(undifferentiated febrile illness), Demam Dengue, atau bentuk yang lebih berat
yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Sindrom Syok Dengue (SSD).[1]
Bagan 1
Spectrum Klinis Infeksi Virus Dengue[2]
Infeksi virus dengue
Asimptomatik Simptomatik
Demam tidak spesifik Demam dengue
Perdarahan (-) Perdarahan (+) Syok (-) Syok (+)
2.4.1 Demam Dengue
Gejala klasik dari demam dengue ialah gejala demam tinggi mendadak,
kadang-kadang bifasik (saddle back fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang
bola mata, nyeri otot, tulang, atau sendi, mual, muntah, dan timbulnya ruam.
Ruam berbentuk makulopapular yang bisa timbul pada awal penyakit (1-2 hari)
kemudian menghilang tanpa bekas dan selanjutnya timbul ruam merah halus
pada hari ke-6 atau ke-7 terutama di daerah kaki, telapak kaki dan tangan. Selain
itu, dapat juga ditemukan petekia. Hasil pemeriksaan darah menunjukkan
leukopeni kadang-kadang dijumpai trombositopeni. Masa penyembuhan dapat
disertai rasa lesu yang berkepanjangan, terutama pada dewasa. Pada keadaan
8
wabah telah dilaporkan adanya demam dengue yang disertai dengan perdarahan
seperti : epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna, hematuri, dan
menoragi. Demam Dengue (DD) yang disertai dengan perdarahan harus
dibedakan dengan Demam Berdarah Dengue (DBD). Pada penderita Demam
Dengue tidak dijumpai kebocoran plasma sedangkan pada penderita DBD
dijumpai kebocoran plasma yang dibuktikan dengan adanya hemokonsentrasi,
pleural efusi dan asites.[1]
2.4.2 Demam Berdarah Dengue (DBD)
Perubahan patofisiologis pada DBD adalah kelainan hemostasis dan
perembesan plasma. Kedua kelainan tersebut dapat diketahui dengan adanya
trombositopenia dan peningkatan hematokrit. [2]
Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7
hari, disertai dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala,
nyeri otot, tulang, sendi, mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa
penderita mengeluh nyeri menelan dengan faring hiperemis ditemukan pada
pemeriksaan, namun jarang ditemukan batuk pilek. Biasanya ditemukan juga
nyeri perut dirasakan di epigastrium dan dibawah tulang iga. Demam tinggi
dapat menimbulkan kejang demam terutama pada bayi. [2]
Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple
Leede) positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan
intravena atau pada bekas pengambilan darah. Kebanyakan kasus, petekia halus
ditemukan tersebar di daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum mole, yang
biasanya ditemukan pada fase awal dari demam. Epistaksis dan perdarahan gusi
lebih jarang ditemukan, perdarahan saluran cerna ringan dapat ditemukan pada
fase demam. Hati biasanya membesar dengan variasi dari just palpable sampai 2-
4 cm di bawah arcus costae kanan. Sekalipun pembesaran hati tidak
berhubungan dengan berat ringannya penyakit namun pembesaran hati lebih
sering ditemukan pada penderita dengan syok. [2]
Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini
terjadi penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan
sirkulasi yang bervariasi dalam berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan
9
sirkulasi ringan perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus
berat penderita dapat mengalami syok. [2]
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal
dibawah ini dipenuhi: [2]
Demam atau riwayat demam akut, antara 2 – 7 hari, biasanya bifasik
Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
o Uji bendung positif
o Petekie, ekimosis, atau purpura
o Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi)
o Hematemesis atau melena
Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)
Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma)
sebagai berikut:
o Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai
dengan umur dan jenis kelamin
o Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya
o Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau
hipoproteinemi.
Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat:
Derajat I Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji tourniquet.
Derajat II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau
perdarahan lain.
Derajat III Didapatkan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lambat,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,
sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak
tampak gelisah.
Derajat IV Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan
darah tidak terukur.[2]
10
Gambar 4. Patogenesis dan spektrum klinis DBD (WHO, 1997)
2.4.3 Laboratorium
Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu
ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit <100.000/µl biasa
ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau
bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang
disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit.
Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan peningkatan
nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut biasanya terjadi
pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu diketahui bahwa nilai
hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau oleh perdarahan.
Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau leukositosis, limfositosis relatif
dengan limfosit atipik sering ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau syok.
Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa ditemukan. Adanya fibrinolisis
dan ganggungan koagulasi tampak pada pengurangan fibrinogen, protrombin,
faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. PTT dan PT memanjang pada sepertiga
sampai setengah kasus DBD. Fungsi trombosit juga terganggu. Asidosis
metabolik dan peningkatan BUN ditemukan pada syok berat. Pada pemeriksaan
radiologis bisa ditemukan efusi pleura, terutama sebelah kanan. Berat-ringannya
11
efusi pleura berhubungan dengan berat-ringannya penyakit. Pada pasien yang
mengalami syok, efusi pleura dapat ditemukan bilateral.[1]
2.5 Diagnosis Serologis
Dikenal 5 jenis uji serologi yang biasa dipakai untuk menentukan adanya
infeksi virus dengue, yaitu:[2]
1. Uji hemaglutinasi inhibisi (Haemagglutination Inhibition test : HI test)
Merupakan uji serologis yang dianjurkan dan paling sering dipakai sebagai
gold standard. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
a. Uji ini sensitif tapi tidak spesifik, tidak dapat menunjukkan tipe virus yang
menginfeksi.
b. Antibodi HI bertahan di dalam tubuh sampai >48 tahun, maka baik untuk
studi sero-epidemiologi.
c. Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen 4x dari titer serum
akut atau titer tinggi (>1280) baik pada serum akut atau konvalesen
dianggap sebagai presumptif positif, atau diduga keras positif infeksi
dengue yang baru terjadi (recent dengue infection).
2. Uji komplemen fiksasi (Complement Fixation test : CF test)
Jarang dipergunakan secara rutin, oleh karena selain rumitnya prosedur
pemeriksaan, juga memerlukan tenaga pemeriksa yang berpengalaman.
Antibodi komplemen fiksasi hanya bertahan sekitar 2-3 tahun saja.
3. Uji neutralisasi (Neutralization test : NT test)
Merupakan uji serologis yang paling spesifik dan sensitif untuk virus
dengue.Biasanya memakai cara yang disebut Plaque Reduction Neutralization
Test (PRNT) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi.Saat
antibodi nneutralisasi dapat dideteksi dalam serum hampir bersamaan
dengan HI antibodi tetapi lebih cepat dari antibodi komplemen fiksasi dan
bertahan lama (4-8 tahun).Uji ini juga rumit dan memerlukan waktu cukup
lama sehingga tidak dipakai secara rutin.
4. IgM Elisa (Mac. Elisa)
Pada tahun terakhir ini merupakan uji serologis yang banyak dipakai. Mac
Elisa adalah singkatan dari IgM captured Elisa, dimana akan mengetahui
kandungan IgM dalam serum pasien. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
12
a. Pada hari 4-5 infeksi virus dengue, akan timbul IgM yang kemudian
diikuti dengan timbulnya IgG.
b. Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, akan secara cepat dapat
ditentukan diagnosis yang tepat.
c. Ada kalanya hasil uji terhadap IgM masih negatif, dalam hal ini perlu
diulang.
d. Apabila hari sakit ke-6 IgM masih negatif, maka dilaporkan sebagai
negatif.
e. Perlu dijelaskan disini bahwa IgM dapat bertahan dalam darah sampai 2-
3 bulan setelah adanya infeksi. Untuk memperjelaskan hasil uji IgM dapat
pula dilakukan uji terhadap IgG. Mengingat alasan tersebut di atas maka
uji IgM tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya uji diagnostik untuk
pengelolaan kasus.
f. Uji Mac Elisa mempunyai sensitivitas sedikit di bawah uji HI, dengan
kelebihan uji Mac Elisa hanya memerlukan satu serum akut saja dengan
spesivisitas yang sama
dengan uji HI.
5. IgG Elisa
Sebanding dengan uji HI, tapi lebih spesifik. Terdapat beberapa merek
dagang untuk uji infeksi dengue seperti IgM/IgG Dengue Blot, Dengue Rapid
IgM/IgG, IgM Elisa, IgG Elisa.[1]
Pada infeksi primer dan skunder dengue, antidengue immunoglobulin
(Ig) M antibodi muncul.IgM menghilang setelah 6-12 minggu, dapat
digunakan untuk memperkirakan waktu infeksi dengue.Pada infeksi primer
dengue yang kedua, kebanyakan antibodi berasal dari IgG. Diagnosi serologis
tergantung kepada peningkatan empat kali atau lebih titer IgG antibody pada
serum yang dilihat pada hemagglutination inhibition, complement fixation,
enzyme immunoassay, or neutralization test.Immunoglobulin IgM- and IgG-
capture enzyme immunoassays sekarang digunakan secara luas untuk
mengidentifikasi fase akut antibodi pada serum pasien dengan infeksi dengue
primer atau skunder. Sebaikanya sampel dikumpulkan setelah hari ke 5 dan
sebelum minggu ke 6 setelah onset.(9)
13
Gambar 10 Respon Imun Pada Infeksi Dengue
Sangat sulit untuk menentukan tipe virus hanya dengan metode serologis,
terutama jika sebelumnya telah terinfeksi oleh virus dari kelompok
arbovirus. Virus dapat diperoleh dari serum fase akut dan diinokulasi pada
kultur jaringan atau nyamuk hidup. RNA virus dapat dideteksi pada darah
atau jaringan melalui DNA yang diamplifikasi melalui PCR.(10)
14
2.3.7 Manifestasi Klinik
Pada individu yang lebih muda manifestasi yang umum termasuk palpitasi,
kegelisahan, mudah lelah dan diare, banyak keringat, tidak tahan panas, dan senang
dingin. Sering terjadi penurunan berat badan jelas, tanpa penurunan nafsu makan.
Pembesaran tiroid, tanda-tanda tirotoksikosis pada mata, dan takikardi ringan
umumnya terjadi. Kelemahan otot dan berkurangnya massa otot dapat sangat berat
sehingga pasien tidak dapat berdiri dari kursi tanpa bantuan. Pada anak-anak terdapat
pertumbuhan cepat dengan pematangan tulang yang lebih cepat. Pada pasien diatas 60
tahun, manifestasi kardiovaskuler dan miopati sering lebih menonjol. Keluhan yang
paling menonjol adalah palpitasi, dispneu d`effort, tremor, nervous dan penurunan
berat badan.4,7,8
Terjadinya hipertiroidisme biasanya perlahan-lahan dalam beberapa bulan
sampai beberapa tahun, namun dapat juga timbul secara dramatik. Manifestasi klinis
yang paling sering adalah penurunan berat badan, kelelahan, tremor, gugup,
berkeringat banyak, tidak tahan panas, palpitasi, dan pembesaran tiroid. Penurunan
berat badan meskipun nafsu makan bertambah dan tidak tahan panas adalah sangat
spesifik, sehingga segera dipikirkan adanya hipertiroidisme.3
Penderita hipertiroidisme memiliki bola mata yang menonjol yang disebut
dengan eksoftalmus, yang disebabkan oleh edema daerah retro-orbita dan degenerasi
otot-otot ekstraokuli. Penyebabnya juga diduga akibat proses autoimun. Eksoftalmus
berat dapat menyebabkan teregangnya N. Optikus sehingga penglihatan akan rusak.
Eksoftalmus sering menyebabkan mata tidak bisa menutup sempurna sehingga
permukaan epithel menjadi kering dan sering terinfeksi dan menimbulkan ulkus
kornea.3
Hipertiroidisme pada usia lanjut memerlukan perhatian khusus sebab gejala
dan tanda sistem kardiovaskular sangat menonjol dan kadang-kadang berdiri sendiri.
Pada beberapa kasus ditemukan payah jantung, sedangkan tanda-tanda kelainan tiroid
sebagai penyebab hanya sedikit. Payah jantung yang tidak dapat diterangkan pada
umur pertengahan harus dipikirkan hipertiroidisme, terutama bila ditemukan juga
curah jantung yang tinggi atau atrium fibrilasi yang tidak dapat diterangkan. Pada usia
lanjut ada baiknya dilakukan pemeriksaan rutin secara berkala kadar tiroksin dalam
darah untuk mendapatkan hipertiroidisme dengan gejala klinik justru kebalikan dari
gejala-gejala klasik seperti pasien tampak tenang, apatis, depresi dan struma yang
kecil.4,7,8
15
2.3.8 Diagnosis Hipertiroid
Manifestasi klinis hipertiroid umumnya dapat ditemukan. Sehingga mudah
pula dalam menegakkan diagnosa. Namun pada kasus-kasus yang sub klinis dan
orang yang lanjut usia perlu pemeriksaan laboratorium yang cermat untuk membantu
menetapkan diagnosa hipertiroid. Diagnosa pada wanita hamil agak sulit karena
perubahan fisiologis pada kehamilan seperti pembesaran tiroid serta manifestasi
hipermetabolik, sama seperti pada tirotoksikosis. Meskipun diagnosa sudah jelas,
namun pemeriksaan laboratorium untuk hipertiroidisme perlu dilakukan, dengan
alasan3 :
1. Untuk lebih menguatkan diagnosa yang sudah ditetapkan pada
pemeriksaan klinis.
2. Untuk menyingkirkan hipertiroidisme pada pasien dengan beberapa
kondisi, seperti atrial fibrilasi yang tidak diketahui penyebabnya, payah
jantung, berat badan menurun, diare atau miopati tanpa manifestasi klinis
lain hipertiroidisme.
3. Untuk membantu dalam keadaan klinis yang sulit atau kasus yang
meragukan.
Menurut Bayer MF kombinasi hasil pemeriksaan laboratorium Thyroid
Stimulating Hormone sensitif (TSHs) yang tak terukur atau jelas
subnormal dan free T4 (FT4) meningkat, jelas menunjukan
hipertiroidisme.3
2.3.9 Penatalaksanaan Hipertiroid
1. Farmakologis
Hipertiroid dapat diberikan obat antitiroid golongan tionamid. Terdapat 2
kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil yang dipasarkan dengan nama
propiltiourasil (PTU) dan imidazol yang dipasarkan dengan nama metimazol
dan karbimazol. Mekanisme kerja obat antitiroid bekerja dengan dua efek,
yaitu efek intra dan ekstratiroid. Berikut merupakan mekanisme masing-
masing efek (Palacios, 2012).
a. Mekanisme aksi intratiroid adalah menghambat oksidasi dan organifikasi
iodium, menghambat coupling iodotirosis, mengubah struktur molekul
16
tiroglobulin dan menghambat sintesis tiroglobulin sehingga mencegah
atau mengurangi biosintesis hormon tiroid T3 dan T4.
b. Mekanisme aksi ekstratiroid adalah menghambat konversi T4 menjadi T3
di jaringan perifer. Obat yang bekerja dengan mekanisme aksi ekstratiroid
adalah propiltiourasil (PTU).
Dosis PTU dimulai degan 3x100-200 mg/hari dan metimazol/tiamazol
20-40 mg/hari dengan dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama. Setelah itu
dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respon klinis dan biokimia. Jika
ditemukan dosis awal belum memberikan perbaikan klinis, dosis dapat
dinaikan bertahap hingga dosis maksimal, sementara jika dosis awal sudah
memberi perbaikan klinis maupun biokimia, dosis diturunkan hingga dosis
terkecil PTU 50 mg/hari dan metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang masih
dapat mempertahankan keadaan eutiroid dan kadar T4 bebas dalam batas
normal. Pemilihan PTU dan metimazol dapat disesuaikan dengan kondisi
klinis karena berdasarkan kemampuan menghambat penurunan segera
hormon tiroid di perifer, PTU lebih direkomendasikan (Palacios, 2012).
2. Nonfarmakologis
Pada terapi nonfarmakologi, penderita hipertiroid dapat diedukasi untuk
diet tinggi kalori dengan memberikan kalori 2600-3000 kalori per hari baik
dari makanan main dari suplemen, konsumsi protein tinggi 100-125 gr (2,5
gr/kg BB) per hari untuk mengatasi proses pemecahan protein jaringan seperti
susu dan telur, olah raga teratur, serta mengurangi rokok, alkohol, dan kafein
yang dapat meningkatkan kadar metabolisme (Palacios, 2012).
2.4 Krisis Tiroid
2.4.1 Definisi
Krisis tiroid (Thyroid Storm) adalah komplikasi serius dari tirotoksikosis
dengan angka kematian 20-60%. Merupakan kejadian yang jarang, tidak biasa dan
berat dari hipertiroidisme. Krisis tiroid mengacu pada kejadian mendadak yang
mengancam jiwa akibat peningkatan dari hormon tiroid sehingga terjadi kemunduran
fungsi organ.1,2
17
2.4.2 Etiologi
Pada keadaan yang sudah dinamakan krisis tiroid ini maka fungsi organ vital
untuk kehidupan menurun dalam waktu singkat hingga mengancam nyawa. Hal yang
memicu terjadinya krisis tiroid ini adalah9 :
operasi dan urut/pijat pada kelenjar tiroid atau gondok dan operasi pada bagian
tubuh lainnya pada penderita hipertiroid yang belum terkontrol hormon
tiroidnya9
stop obat anti tiroid pada pemakaian obat antitiroid
pemakaian kontras iodium seperti pada pemeriksaan rontgen
infeksi
stroke
trauma. Pada kasus trauma, dilaporkan bahwa pencekikan pada leher dapat
memicu terjadinya krisis tiroid, meskipun tidak ada riwayat hipertiroidisme
sebelumnya.9,10
2.4.3 Manifestasi klinis
Untuk mengetahui apakah keadaan seseorang ini sudah masuk dalam tahap
krisis tiroid adalah dengan mengumpulkan gejala dari kelainan organ yakni pada
sistem saraf terjadi penurunan kesadaran (sampai dengan koma), hyperpyrexia (suhu
badan diatas 40oC), aktivasi adrenergik (takikardia/denyut jantung diatas 140x/menit,
muntah dan mencret serta kuning). Gejala lain dapat berupa berkeringat, kemerahan,
dan tekanan darah yang meningkat.9,10,11
2.4.4 Patofisiologi
Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa meningkatnya produksi dari T3
atau T4 menyebabkan krisis tiroid. Peningkatan reseptor katekolamin (peningkatan
sensitifitas dari katekolamin) memegang kunci penting. Penurunan pengikatan dari
TBG (meningkatnya T3 atau T4 bebas) mungkin ikut berperan.9
18
2.5 Pengobatan krisis tiroid
Pilihan terapi pada pasien krisis tiroid adalah sama dengan pengobatan yang
diberikan pada pasien dengan hipertiroidisme hanya saja obat yang diberikan lebih
tinggi dosis dan selang waktu pemberiannya. Pada pasien dengan krisis tiroid harus
segera ditangani ke instalasi gawat darurat atau ICU. Diagnosa dan terapi yang
sesegera mungkin pada pasien dengan krisis tiroid adalah penting untuk menurunkan
angka kesakitan dan kematian dari kelainan ini.2,9,10,11
Pada kasus krisis tiroid, hyperpyrexia harus segera diatasi secara cepat. Dalam
hal ini pemberian obat jenis asetaminopen lebih dipilih dibandingkan aspirin yang
dapat meningkatkan kadar konsentrasi T3 dan T4 bebas dalam serum.2,9,10,11
Pemberian beta-bloker merupakan terapi utama penting dalam pengobatan
kebanyakan pasien dengan hipertiroid. Propanolol merupakan obat pilihan pertama
yang digunakan sebagai inisial yang bisa diberikan secara intravena. Dosis yang
diberikan adalah 1mg/menit sampai beberapa mg hingga efek yang diinginkan
tercapai atau 2-4mg/4jam secara intravena atau 60-80mg/4jam secara oral atau
melalui nasogastric tube (NGT). 2,9,10,11
Pemberian tionamide seperti methimazole atau PTU untuk memblok sintesis
hormon. Tionamide memblok sintesis hormon tiroid dalam 1-2 jam setelah masuk.
Namun, tionamid tidak memiliki efek terhadap hormon tiroid yang telah disintesis.
Beberapa menggunakan PTU dibanding tionamide sebagai pilihan pada krisis tiroid
karena PTU dapat memblok konversi T4 menjadi T3 ditingkat perifer. 2,9,10,11
Walaupun begitu, banyak menggunakan methimazole (tionamide) selama obat
lain (contohnya iopanoic acid) dimasukkan bersamaan untuk memblok konversi T4
menjadi T3. Methimazole memiliki waktu durasi yang lebih lama dibandingkan PTU
sehingga lebih efektif. Adalah tidak rasional memasukkan methimazole 30mg/6jam
atau PTU 200mg/4jam secara oral atau NGT. Keduanya bisa dilarutkan untuk
digunakan secara rectal dan PTU dapat diberikan secara intravena dengan diencerkan
oleh saline isotonis dibuat alkali (pH 9,25) dengan sodium hidroksida. 2,9,10,11
Larutan iodine memblok pelepasan T4 dan T3 dari kelenjar tiroid. Dosis yang
diberikan lebih tinggi dari dosis yang dibutuhkan untuk memblok pelepasan hormone.
Laruton lugol’s 10 tetes/8jam secara oral. Dapat juga dilakukan pemberian laruton
lugol’s 10 tetes tersebut secara intravena langsung selama masih dianggap steril.
Larutan iodine ini juga dapat diberikan secara rectal. 2,9,10,11
19
Pemberian glucocorticoid juga menurunkan konversi T4 menjadi T3 dan
memiliki efek langsung dalam proses autoimun jika krisis tiroid berasal dari penyakit
graves. Dosis yang digunakan adalah 100mg/8jam secara intravena pada kasus krisis
tiroid. Penggunaan litium juga dapat memblok pelepasan hormone tiroid, namun
toksisitasnya yang tinggi pada ginjal membatasi penggunaannya. 2,9,10,11
BAB III
PENUTUP
Definisi tirotoksikosis adalah satu keadaan dimana hormon tiroid beredar
berlebihan didalam sirkulasi, manakala hipertiroidisme pula adalah tirotoksikosis
yang disebabkan oleh kelenjar tiroid yang hiperaktif.
Fungsi utama hormon tiroid adalah meningkatkan aktivitas metabolik seluler,
sebagai hormon pertumbuhan, dan mempengaruhi mekanisme tubuh yang spesifik
seperti sistem kardiovaskuler dan regulasi hormon lain. Diagnosis hipertiroidisme
mengacu pada hasil pemeriksaan TSH, FT4, FT3, indeks wayne dan indeks new
castle berdasarkan gejala klinis yang timbul.
Penyebab terjadinya hipertiroidisme (penyakitGrave) adalah kelainan pada
mekanisme regulator hormon tiroid akibat antibodi reseptorTSH yang meransang
aktivitas tiroid.
Penatalaksanaan hipertiroidisme meliputi tindakan bedah dan pemberian
bahan penghambat sintesis tiroid, seperti anti tiroid, penghambat ion iodida, dan terapi
radio iodine. Salah satu komplikasi buruk dari hipertiroid adalah krisistiroid yang
berakibat pada berbagai sistem tubuh yang akhirnya bisa fatal.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Margaret G, Rosman NP, Hadddow JE. Thyroid strom in an 11-years-old boy
managed by propanolol. Pediatrics 1874;53:920-922.
2. Roizen M, Becker CE. Thyroid strom. The Western Journal of Medicine
1971;115:5-9.
3. Schteingart, D.E. 2006. Gangguan Kelenjar Tiroid. Dalam Huriawati H., Natalia
S., Pita W., Dewi A.M (Editors). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Dalam. Penerbit Buku Kedokteran: EGC. Hal: 1225-36
4. Chew SC, Leslie D. Clinical endocrinology and diabetes. Churchill Livingstone
Elseiver 2006:8.
5. Zainurrashid Z, Abd Al Rahman HS. Hyperthyroidism in pregnancy. The family
physician 2005;13(3):2-4.
6. Sjamsuhidayat R, De jong W. Sistem endokrin. Jakarta EGC 2005:2:683-695.
7. Palacios, SS. Eider, PC. Juan, CG. 2012. Management of Subclinical
Hyperthyroidism. International Journal of Endocrinology and Metabolism April
2012; 10(2): 490-496
21
8. Harrison. Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam edisi 13. Jakarta EGC
2000;5:2144-2151.
9. Ramirez JI, Petrone P, Kuncir EJ, Asensio JA. Thyroid strom induced by
strangulation. Southern Medical Association 2004;97:608-610.
10. Sherwood, L. 2002. Human Physiology: From Cells to Systems. Penerbit buku
kedokteran: EGC.
22