BAB II LANDASAN TEORIrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15924/2/T1_362014057_BAB II... ·...

17
11 BAB II LANDASAN TEORI Penelitian yang dilakukan ini merupakan studi penelitian komunikasi, sehingga mengacu pada landasan dan teori komunikasi yang mendukung. Berikut ini, penulis akan memaparkan konsep-konsep teori komunikasi: 2.1 Budaya 2.1.1 Pengertian Budaya Menurut Koenjtaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan system gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat 1986:180). Dalam definisi tersebut ada beberapa kata kunci yaitu sistem gagasan, sistem tindakan, hasil karya, dan miliki diri manusia dengan belajar. Sistem gagasan merupakan wujud idela dari kebudayaan yang merupakan ide dari alam pikiran manusia. Sistem tindakan merupakan tindakan berpola yang merupakan aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, berkomunikasi, dan begaul satu dengan yang lain yang mengikuti pola-pola tertentu sesuai dengan adat istiadat yang mereka akui. Hasil karya merupakan wujud kebudayaan yang paling mudah dilihat karena segala hal kebendaan atau material memiliki sifat yang sangat konkrit. Milik diri manusia dengan belajar merupakan pemahaman kebudayaan yang tidak bisa dilepaskan segala yang manusia lakukan (gagasan, tindakan, dan ciptaan). Menurut Van Peursen (2012:37), kebudayaan adalah sebuah strategi atau sebuah cara untuk menjalankan kehidupannya. Untuk itu setiap manusia melakukan upaya untuk menemukan cara dalam rangka mempertahankan hidupnya. Kebudayaan diletakkan secara fungsional sebagai relasi terhadap rencana hidup masing-masing. Ini menunjukkan bahwa perkembangan kebudayaan tidak terlaksana dengan

Transcript of BAB II LANDASAN TEORIrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15924/2/T1_362014057_BAB II... ·...

11

BAB II

LANDASAN TEORI

Penelitian yang dilakukan ini merupakan studi penelitian komunikasi,

sehingga mengacu pada landasan dan teori komunikasi yang mendukung. Berikut ini,

penulis akan memaparkan konsep-konsep teori komunikasi:

2.1 Budaya

2.1.1 Pengertian Budaya

Menurut Koenjtaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan system gagasan,

tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan

milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat 1986:180). Dalam definisi

tersebut ada beberapa kata kunci yaitu sistem gagasan, sistem tindakan, hasil karya,

dan miliki diri manusia dengan belajar. Sistem gagasan merupakan wujud idela dari

kebudayaan yang merupakan ide dari alam pikiran manusia. Sistem tindakan

merupakan tindakan berpola yang merupakan aktivitas-aktivitas manusia yang

berinteraksi, berhubungan, berkomunikasi, dan begaul satu dengan yang lain yang

mengikuti pola-pola tertentu sesuai dengan adat istiadat yang mereka akui. Hasil

karya merupakan wujud kebudayaan yang paling mudah dilihat karena segala hal

kebendaan atau material memiliki sifat yang sangat konkrit. Milik diri manusia

dengan belajar merupakan pemahaman kebudayaan yang tidak bisa dilepaskan segala

yang manusia lakukan (gagasan, tindakan, dan ciptaan).

Menurut Van Peursen (2012:37), kebudayaan adalah sebuah strategi atau

sebuah cara untuk menjalankan kehidupannya. Untuk itu setiap manusia melakukan

upaya untuk menemukan cara dalam rangka mempertahankan hidupnya. Kebudayaan

diletakkan secara fungsional sebagai relasi terhadap rencana hidup masing-masing.

Ini menunjukkan bahwa perkembangan kebudayaan tidak terlaksana dengan

12

sendirinya tanpa manusia secara aktif menjalankannya. Manusia secara aktif

mengarahkan kebudayaan agar sesuai dengan keinginan dan yang direncanakan.

Sehingga kebudayaan semestinya selalu dibayangkan sebagai sesuatu yang dinamis,

bukan statis. Dalam dua pandangan di atas, kebudayaan ditempatkan sebagai sesuatu

yang secara aktif dilakukan manusia untuk mencapai tujuan umat manusia yaitu

kesejahteraan.

2.1.2 Fungsi Kebudayaan

Secara fungsional, keberadaan kebudayaan dapat ditunjukkan minimal tiga

macam, sebagai berikut:

1. Fungsi kebudayaan untuk melindungi diri terhadap alam

2. Fungsi kebudayaan untuk mengatur hubungan antar manusia

3. Fungsi kebudayaan sebagai wadah segenap perasaan manusia

2.1.3 Wujud Kebudayaan

Ditinjau dari dimensi wujudnya, menurut Koentjaraningrat (2005:13)

kebudayaan mempunyai tiga wujud, yaitu sebagai suatu kompleks gagasan, konsep

dan pikiran manusia atau idea-idea manusia, dan wuduh sebagai suatu kompleks

aktivitas atau tingkah laku manusia, serta wujud sebagai benda-benda atau fisik.

2.2 Keberadaan Masyarakat Jawa & Keturunan Tionghoa

Orang-orang Tionghoa diperkirakan sudah ada di Solo pada tahun 1746.

Tempat tinggal orang Tionghoa dilokalisasi di Kampung Balong, suatu kampong

(pecinan) yang dibangun sejak zaman Kompeni dan berlanjut pada masa kolonial.

Antara tahun 1904 hingga 1910, atas desakan organisasi atau gerakan nasionalis di

kalangan orang-orang Tionghoa di Indonesia, maka pada tahun 1911 pemerintah

colonial mengabulkan tuntutan untuk menghapuskan wijkenstelsel1 dan

1 Terpisah dari kelompok masyarakat yang lain.

13

passenstelsel2, sehingga pemukiman Tionghoa tidak lagi mengelompok pada suatu

tempat atau lokasi tertentu, tetapi menyebar ke tempat atau lokasi lain. Namun tetap

Kampung Balong sebagai perkampungan pecinan, tetapi dalam perkembangannya

hanya orang-orang Tinghoa miskin yang tinggal di sana. Mungkin oleh karena miskin

itu, maka komunikasi sosial dengan masyarakat pribumi di sekitarnya berlangsung

sangat akrab. Proses pembauran langsung secara alami, termasuk perkawinan

campuran Tionghoa-Jawa yang tealh berlangsung selama beberapa generasi. Oleh

karena itu, Kampung Balong tumbuh dan berkembang menjadi perkampungan

heterogen.

2.3 Komunikasi Masyarakat Jawa & Keturunan Tionghoa

Masyarakat Kota Solo yang menggunakan bahasa Jawa untuk komunikasi

bukan hanya masyarakat Jawa, tetapi juga keturunan Tionghoa, Arab, dan lain-

lainnya. Penelitian Markhamah terhadap penggunaan bahasa Jawa oleh orang-orang

Tionghoa di Solo, menyimpulkan, bahwa tuturan Ngoko dan Krama pada orang-

orang Tionghoa dewasa hamper tidak berbeda dengan kualitas ngoko dan karma

masyarakat pribumi (Jawa). Mereka selalu menggunakan tuturan Krama dengan baik,

menurut hirearki, terutama ketika mereka berbicara dengan masyarakat pribumi yang

belum dikenal atau orang-orang yang lebih dihormati.

2.4 Komunikasi Interpersonal

Fenomologi yang menurut EM Griffin (2014:7), The Phenomenological

Tradition, menekankan komunikasi sebagai pengalaman diri sendiri dan orang lain

melalui dialog. Meskipun fenomenologis mengacu pada terminology filosofis akan

tetapi pada dasarnya lebih merujuk pada analisis yang insentif terhadap kehidupan

sehari-hari dari sudut pandang orang yang mengalami kehidupan tersebut. Oleh

karena itu, tradisi fenomenologis sangat bergantung pada persepsi dan interpretasi

orang-orang tentang pengalaman subyektifnya. Bagi para fenomenolog, sebuah cerita

2 Ruang geraknya dibatasi dengan system surat jalan.

14

kehidupan individu lebih penting dan otoritatif daripada berbagai hipotesis riset atau

aksioma komunikasi. Akan tetapi tentu saja persoalannya tidak ada dua orang yang

mempunyai cerita kehidupan yang persis sama. Untuk mengatasi hal tersebut,

menurut Carl Rogers bisa dengan cara makin meningkatnya kondisi hubungan dan

kepribadian orang-orang tersebut melalui: 1. Kesamaan, 2. Penilaian positif yang

tidak bersyarat, 3. Pemahaman empatik. Martin Buber berkesimpulan sama dengan

Carl Rogers bahwa adanya kemungkinan hubungan manusia otentik yang dilakukan

melalui dialog yaitu sebuah proses intensif dimana hanya agenda kedua belah pihak

yang dipahami oleh masing-masing pihak yang terlibat di dalamnya.

Dilengkapi dengan The Socio-Cultural Tradition, menekankan komunikasi

sebagai penciptaan dan tindakan realitas sosial. Tradisi ini mendasarkan pada premis

bahwa ketika orang berbicara, mereka menciptakan dan memproduksi budaya. Para

teoritisi pada tradisi ini menyatakan bahwa dunia ini mencerminkan apa yang ada

secara actual, meskipun proses menuju kesana seringkali menggunakan jalan yang

berbeda. Sudut pandang kita tentang realitas dibentuk oleh bahasa yang kita gunakan

sejak kita lahir. Tradisi sosio budaya ini melihat symbol yang bersifat arbitrer sangat

bergantung kemampuan sosial budaya penggunanya untuk bisa memahaminya

dengan baik dan benar. Edward Sapir dan muridnya Benyamin Lee Whorf merupakan

pelopor dalam tradisi ini. Hipotesis Sapir-Whorf tentang relativitas bahasa

menyatakan bahwa struktur dari sebuah budaya membentuk apa yang orang pikirkan

dan kerjakan. “Dunia nyata” merupakan suatu yang sangat luas yang secara tidak

disadari dibangun di atas kebiasaan-kebiasaan bahasa suatu kelompok. Bahasa

menstrukturkan persepsi-persepsi kita terhadap realitas. Para teoritisi dalam tradisi ini

berpendapat bahwa melalui komunikasi, realitas diproduksi, dipelihara, diperbaiki,

dan ditransformasikan. Orang-orang melalui percakapan bersama-sama

mengkonstruksi dunia sosial mereka sendiri.

15

2.5 Harmonisasi Sosial

Harmonisasi sosial yang dimaksudkan, merupakan suatu proses transformasi

realitas obyektif, subyektif, dan simbolik yang berlangsung dengan melibatkan

perasaan, motivasi dan sebagainya secara dialektis. Artinya, berkaitan dengan

dimensi-dimensi realitas berbagai dimensi sosial yang ada dengan elemen-elemen

sosial yang ada dengan elemen-elemen sosial yang dimiliki orang. Bagaimana

harmoni sosial sebagai suatu realitas obyektif, subyektif dan simbolik merupakan

suatu proses tesis, antithesis, dan sintesis yang bersifat dialeks sebagai produk sosial.

Masyarakat dalam hal ini merupakan reactor sosial dan individu sebagai creator sosial

yang memproduksi realitas harmoni sosial. Seberapa jauh-dekatnya dengan

pengalaman-pengalaman, pengertahuan serta kesadaran seseorang bertindak atas arti

maupun makna harmoni sebagai suatu realitas sosial.

2.6 Teori Identitas

Teori identitas berusaha menjelaskan makna spesifik yang dimiliki oleh

individu terhadap klaim identitas mereka, bagaimana suatu identitas berhubungan

satu sama lain, bagaimana identitas mereka mempengaruhi perilaku, pikiran, perasaan

atau emosi mereka dan bagaimana identitas mengikat mereka dalam sebuah

masyarakat. Dalam arti yang luas individu merupakan bagian dari konteks struktur

sosial. Beberapa pemikir teori identitas seperti Cooley, Coleman dan Stryker setuju

dengan padangan bahwa masyarakat atau struktur sosial diciptakan oleh tindakan

individu dalam konteks sosial. Maka dari itu, terdapat saling keterkaitan antara

individu dan masyarakat sehingga kita perlu memahami sifat individu yang

menciptakan masyarakat dan juga sifat masyarakat di mana individu bertindak.

Dalam masyarakat sendiri dapat dilihat bahwa tercipta adanya pola perilaku individu

yang dapat membantu kita dalam mengetahui siapa diri kita dan orang lain.

Pengetahuan mengenai tindakan individu dapat dilihat dari pemahaman mengenai

agen yang merupakan entitas yang melakukan tindakan tersebut. Agen atau aktor

16

memiliki berbagai sifat, sifat ini akan membantu kita dalam memahami berbagai jenis

agen dan apa yang akan mereka lakukan(Burke & Stets, 2009 : 3-5).

Sheldon Stryker mengemukakan mengenai identitas atau “penentuan posisi

internal” dengan memberikan gambaran bahwa setiap orang memiliki identitas untuk

masing-masing posisi atau peran yang berbeda dalam yang dimiliki dalam

masyarakat. Stryker menyatakan bahwa terdapat empat premis yang mendasari teori

identitas, premis pertama adalah perilaku didasarkan pada sebuah klasifikasi

penamaan. Nama atau istilah kelas tersebut melekat pada aspek lingkungan, baik fisik

maupun sosial dan membawa makna dalam bentuk ekspektasi perilaku bersama yang

tumbuh dari interaksi sosial. Dari interaksi yang terjalin dengan orang lain inilah,

seseorang dapat mempelajari bagaimana mengklasifikasikan objek yang berhubungan

dengannya dan dalam proses itu juga seseorang diharapkan untuk berperilaku

mengacu pada objek tersebut. Dasar yang pertama ini menggambarkan dasar dari

karakter simbolis dunia dan menjelaskan makna yang berkaitan dengan objek fisik

serta sosial. Seseorang akan merespon benda fisik dan sosial, serta memberikan

tanggapan yang disertai makna. Makna sendiri merupakan tanggapan terhadap objek-

objek yang didefinisikan secara sosial yang membentuk dunia. Orang-orang yang

berbagi tanggapan memungkinkan mereka untuk memahami, memprediksi dan

menduga tindakan orang lain.

Premis yang kedua berusaha menjelaskan bagaimana struktur sosial masuk ke

dalam peradigma simbolis struktural. Di antara klasifikasi nama yang telah dipelajari

dalam interaksi terdapat simbol yang digunakan untuk menunjukkan sebuah ‘posisi’

yang merupakan komponen struktur sosial morfologis yang relatif stabil. Posisi ini

disertai dengan ekspektasi perilaku bersama yang secara konvensional diberi label

‘peran’. Sebuah peran tidak diciptakan lagi dalam setiap situasi yang terjadi, namun

telah ada sejak lama dimana orang merasakan, berekasi dan memberikan label di

masyarakat. Peran tersebut dibagikan melalui kebudayaan dan berkembang seiring

dengan penggunaannya.

17

Premis ketiga dan keempat menunjukkan bagaimana aktor yang memiliki

identitas sesuai dengan pandangan ini. Premis ketiga menunjukkan bahwa orang-

orang dalam masyarakat akan memberikan label satu sama lain sesuai dengan posisi

yang mereka tempati dan Stryker juga menyatakan bahwa ketika mereka telah diberi

label maka akan diikuti dengan adanya makna serta eskpektasi bersama sehubungan

dengan perilaku satu sama lain. Premis keempat menunjukkan bahwa orang-orang

menggunakan aspek refleksi diri, juga akan menyebutkan nama mereka sehubungan

dengan sebutan posisi mereka. Hal ini disebut sebagai self-label yang merujuk pada

seseorang mengetahui perannya dalam suatu posisi tertentu di masyarakat dan

bersifat relasional dalam arti bahwa mereka mengikat individu secara bersama-sama.

Begitupun dengan makna dan ekspektasi tindakan dari setiap posisi yang terkait

dengan identitas, setiap orang tidak hanya mengetahui identitas dirinya sendiri namun

juga mengetahui identitas orang lain. Seseorang dapat mengetahui dirinya dengan

membandingkannya dengan makna dan posisi orang lain. Stryker juga menambahkan

bahwa ketika seseorang memasuki situasi interaktif, situasi ini akan membuat orang-

orang memberikan klasifikasi pada orang lain melalui interaksi dan pada diri mereka

sendiri, sehingga menghasilkan sebuah definsi yang mengatur agar perilaku perilaku

mereka sesuai dengan situasi yang terjadi (Burke & Stets, 2009 : 25-27).

Lalu, seorang tokoh dalam psikologi sosial, Tajfel (2009:11), mencetuskan

teori identitas sosial yang menyatakan bahwa kelompok di mana kita menjadi anggota

merupakan bagian integral dari konsep diri kita. Adanya kelompok memungkinkan

kita mengelola konsep diri dengan cara mengelola keanggotaan tersebut memberikan

identitas sosial yang memberikan rasa aman. Betapa pentingnya menemukan identitas

sosial, hal ini seringkali membuat orang berhenti, tidak lagi mencoba menggali

identitas diri yang lebih hakiki, dan sibuk berkutat mencari kepuasan melalui

kelompok. Apapun kelompoknya apa pun spiritnya (hedonistik, pragmatisme, idealis,

dan sebagainya) karena memberikan rasa aman, akibatnya orang cenderung

konformis (mudah mengikuti apa yang menjadi sikap dan perilaku kelompok).

18

Padahal, kecerendungan konformitas seringkali mengabaikan kebutuhan dan nilai-

nilai pribadi. Hal ini sebenarnya merupakan kerugian bagi individu sebagai pribadi

yang seharusnya berkembang utuh: berorientasi pada orang lain, tetapi juga

berorientasi pada diri sendiri dengan mengaktualisasi apa yang menjadi suara hatinya

sendiri.

2.6.1 Konstruksi Identitas

Teori identitas budaya adalah salah satu dari beberapa teori yang

dikembangkan untuk membangun pengetahuan tentang proses komunikatif yang

digunakan oleh individu untuk membangun dan menegosiasikan identitas dan

hubungan kelompok budaya mereka dalam konteks tertentu. Awalnya dikembangkan

pada akhir 1980an, teori tersebut telah berkembang secara signifikan melalui proyek

kolaborasi yang berkelanjutan di berbagai situs internasional dan beragam wilayah di

Amerika Serikat. Versi awal menekankan perspektif teoretis interpretatif, konstruksi

sosial, dan catatan pengalaman diskursif individu, sementara versi setelah tahun 2000

diperluas untuk menggabungkan perspektif kritis dan untuk memasukkan perhatian

pada struktur kontekstual, ideologi, dan hierarki status. Penelitian yang dipandu oleh

teori saat ini paling sering mencakup analisis diskursif tentang teks publik dan

wawancara yang berfokus pada bentuk-bentuk yang melaluinya posisi identitas

budaya dan hubungan antar budaya dinegosiasikan, peran hak istimewa dalam hasil

wacana, dan implikasi untuk hubungan antar budaya dan keadilan sosial .

Menurut, Mary Jane Collier dan Milt Thomas (2009: 260-261)

menggabungkan etnografi komunikasi dan konstruksi sosial dan dari situ

mengusulkan beberapa sifat pengesahan, atau penciptaan, identitas budaya yang

terlihat dalam teks komunikasi. Mereka berpendapat bahwa pesan individu selama

interaksi mungkin mengandung banyak jenis identitas budaya, seperti nasional, rasial,

etnis, kelas terkait, jenis kelamin dan jenis kelamin, politik, dan agama. Karena

individu memberlakukan banyak identitas, semua suara di dalam setiap kelompok

19

identitas tidak berbicara dengan cara yang sama atau memiliki pengakuan yang sama

dengan orang lain.

Budaya, dalam orientasi ini, dipandang sebagai perwujudan kontekstual,

muncul, kontekstual dengan sistem budaya atau kelompok budaya. Dalam orientasi

ini, budaya didefinisikan sebagai identitas kelompok yang muncul yang menjadi jelas

dalam serangkaian kode komunikatif, norma perilaku, pola tempat dan interpretasi,

dan hasil, seperti posisi hubungan atau status. Secara epistemologis, para ilmuwan

meminta individu untuk membagikan narasi tentang identitas kelompok budaya

mereka atau untuk menggambarkan percakapan yang diingat yang membangun atau

mempengaruhi identitas budaya dan / atau menganalisis wacana publik. Menekankan

pengalaman dan catatan tentang individu tentang keanggotaan kelompok mereka dan

negosiasi identitas, yang menempatkan nilai pada subjektivitas.

2.7 Penelitian Terdahulu

Tabel 2.1

Penelitian Terdahulu

No Peneliti Judul Tujuan

Penelitian

Metodologi

Penelitian

Hasil Penelitian

1 Himawan

Pradipta

(2014)

Universitas

Kristen Satya

Wacana

Analisis

Wacana Kritis

Pembauran

Budaya Pada

Acara Grebeg

Sudiro Dalam

Pemberitaan

Koran Lokal di

Solo ( Solopos

Menggambarkan

tentang Grebeg

Sudiro dalam

konsep kritis

pada

pemberitaan di

dalam Solopos

dan Joglosemar.

Pendekatan

yang

digunakan

adalah

kualitatif,

dengan

jenis

penelitian

deskriptif.

Koran lokal

Solopos dan

Joglosemar

dalam

mengkonstruksi

wacana

pembauran

yang ada di

acara Grebeg

20

dan

Joglosemar)

Sudiro hamper

sama, mereka

sama-sama

mampu

menciptakan

realitas yang

sesungguhnya.

Dari

pemberitaan

kedua Koran

local ini

sebenarnya

terkadung unsur

yang secara

tidak langsung

ingin

mempengaruhi

khalayak luas,

Solopos dengan

penulisan

pemberitaanya

secara tidak

langsung

membantu

program

pemerintah

untuk

menjadikan

21

kota Solo

sebagai Kota

Budaya,

sedangkan

Joglosemar

ingin merubah

stereotype

masyarakat kota

Solo tentang

perbedaan

budaya yang

dahulu menjadi

sebuah sekat

atau pembatas

dalam

kehidupan

mereka.

2 Tissania

Clarasati

Adriana

(2012)

Universitas

Sebelas Maret

Tradisi Grebeg

Sudiro di

Sudiroprajan

(Akulturuasi

Kebudayaan

Tionghoa

dengan

Kebudayaan

Jawa)

Menggambarkan

untuk

mengetahui latar

belakang sejarah

upacara tradisi

Grebeg Sudiro di

Sudiroprajan,

untuk

mengetahui

upacara tradisi

Grebeg Sudiro,

Pendekatan

yang

digunakan

adalah

kualitatif,

dengan

jenis

penelitian

deskriptif.

Grebeg Sudiro

terbentuk

karena adanya

kesadaran dan

kesengajaan

dari warga

Sudiroprajan

untuk

memperlihatkan

kerukunan dan

keharmonisan

22

dan untuk

mengetahui

akulturasi

budaya Jawa dan

Tionghoa dalam

Tradisi Grebeg

Sudiro.

yang terjalin

antara dua etnis

yang berbeda,

Pelaksanaan

prosesi upacara

tradisi Grebeg

Sudiro meliputi

berbagai

rangkaian acara

yang harus

dilewati

diantaranya

adalah malam

pra event

sedekah bumi

Bok Teko

tanggal 12

Januari 2012

dan puncak

acara Grebeg

Sudiro yang

berlangsung

pada tanggal 15

Januari 2012

yang mana

kedua acara

tersebut

memiliki

23

persyaratan

yang harus

dipenuhi, dan

melengkapi

perlengkapan

upacara yang

diperlukan.

Akulturasi

kebudayaan

Tionghoa

dengan

kebudayaan

Jawa dalam

tradisi Grebeg

Sudiro terlihat

dalam susunan

gunungan kue

keranjang

dalam dua buah

Gunungan Estri

dan Gunungan

Jaler yang biasa

ada dalam adat

Kejawen,

Penampilan

Liong dan

Barongsai yang

mengadakan

24

upacara ritual

terlebih dahulu

sebelum pentas,

karena sebelum

mengalami

akulturasi

dengan

kebudayaan

Jawa

pementasan

Liong dan

Barongsai tidak

mengenal

upacara ritual

serta musik

tradisiona l

Keroncong

Jawa

berkolaborasi

dengan lagu

Mandarin yang

disebut dengan

Keroncong

Mandarin

3 Raffa

Widyanangsih

(2015)

Universitas

“Misi Suci”

Grebeg Sudiro

(Studi

Eksploratif

Menggambarkan

pesan yang

dikomunikasikan

melalui Grebeg

Pendekatan

yang

digunakan

adalah

Grebeg sudiro

adalah media

untuk

mengkomunika

25

Sebelas Maret Pesan Ritual

Budaya

Grebeg Sudiro

dalam Rangka

Persatuan

Masyarakat di

Kota

Surakarta.

Sudiro dalam

rangka persatuan

masyarakat di

Kota Surakarta

ditinjau dari

perspektif

komunikasi.

kualitatif,

dengan

paradigma

penelitian

eksploratif.

sikan pesan dari

komunikator

(masyarakat

sudiroprajan)

kepada

komunikan

(surakarta

perople). Pesan

grebeg sudiro

dikomunikasika

n dengan

simbol

komunikasi,

gunungan,

jodang karya

seni atau jodang

karya seni,

parade seni, dan

tema grebeg

sudiro.

Gunungan

mengomunikasi

kan ungkapan

terima kasih

kepada tuhan,

jodang karya

seni saling

berkomunikasi

26

harmonis antar

agama, parade

seni

mengkomunika

sikan kesatuan

rasial, dan

themen dari

grebeg sudiro

mengkomunika

sikan

keragaman.

Itulah simbol

komunikasi

yang dibuat

agar kesatuan

masyarakat

Surakarta.

Berdasarkan peneltian-penelitian terdahulu, maka yang membedakan dengan

penelitian terdahulu yaitu : peneliti kali ini akan membahas Grebeg Sudiro Sebagai

Media Komunikasi Harmonisasi Sosial oleh Masyarakat Jawa dan Keturunan

Tionghoa, di Kampung Sudiroprajan, Solo, Jawa Tengah.

27

2.8 Kerangka Berpikir

Keterangan: Acara Grebeg Sudiro adalah sebuah media di mana acara tersebut

mengusung tema pembauran yang ada di kampung Sudiroprajan, disini peneliti ingin

melihat bagaimana Grebeg Sudiro sebagai media menciptakan dalam Komunikasi

Harmonisasi Sosial. Untuk meneliti Komunikasi Harmonisasi sosial di dalam Acara

Grebeg Sudiro yang berada di setiap masyarakat keturunan Jawa dan keturunan

Tionghoa di Kampung Sudiroprajan, Solo, Jawa Tengah.

Etnis Jawa Grebeg

Sudiro Keturunan

Tionghoa

Media

Komunikasi

Harmonisasi

Sosial

Teori Identitas

Komunikasi Interpersonal