BAB II DASAR TEORIrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/4151/3/T2_942009044_BAB...

24
10 BAB II DASAR TEORI A. Kajian Teoritik 2.1 Hakekat Matematika Matematika merupakan salah satu ilmu dasar yang tidak hanya sekedar menghitung secara teknis dan mekanis. Matematika pada dasarnya adalah sebuah ilmu yang tujuan utamanya adalah mengarahkan alur berpikir sesuai dengan kaidah logika. Pembelajaran matematika di sekolah pada dasarnya bukanlah sekedar mengajarkan kepada peserta didik tentang bagaimana menghitung sesuai dengan algoritma yang diberikan dan bersifat monoton. Lebih dari itu, matematika sekolah mempunyai tujuan yang lebih mendalam dari itu, yaitu mengajarkan kepada peserta didik tentang bagaimana berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif, serta mempunyai kemampuan kerjasama. Sehingga cakap dalam menghitung secara teknis saja tidak cukup, tetapi juga harus mampu mengembangkan daya berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif. Kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif sangat dibutuhkan oleh peserta didik agar dapat mempelajari matematika dengan baik. Selain itu, kemampuan penalaran dan berpikir logis juga akan bermanfaat bagi peserta didik dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari.

Transcript of BAB II DASAR TEORIrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/4151/3/T2_942009044_BAB...

10

BAB II

DASAR TEORI

A. Kajian Teoritik2.1 Hakekat Matematika

Matematika merupakan salah satu ilmu dasar yang

tidak hanya sekedar menghitung secara teknis dan mekanis.

Matematika pada dasarnya adalah sebuah ilmu yang tujuan

utamanya adalah mengarahkan alur berpikir sesuai dengan

kaidah logika. Pembelajaran matematika di sekolah pada

dasarnya bukanlah sekedar mengajarkan kepada peserta didik

tentang bagaimana menghitung sesuai dengan algoritma yang

diberikan dan bersifat monoton. Lebih dari itu, matematika

sekolah mempunyai tujuan yang lebih mendalam dari itu,

yaitu mengajarkan kepada peserta didik tentang bagaimana

berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif, serta

mempunyai kemampuan kerjasama. Sehingga cakap dalam

menghitung secara teknis saja tidak cukup, tetapi juga harus

mampu mengembangkan daya berpikir logis, analitis,

sistematis, kritis dan kreatif. Kemampuan berpikir logis,

analitis, sistematis, kritis dan kreatif sangat dibutuhkan oleh

peserta didik agar dapat mempelajari matematika dengan

baik. Selain itu, kemampuan penalaran dan berpikir logis juga

akan bermanfaat bagi peserta didik dalam memecahkan

permasalahan yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari.

11

Matematika mempunyai peranan penting dalam

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Matematika

mempunyai sifat universal yang mendasari perkembangan

teknologi modern yang memiliki karakteristik menuntut

kemampuan berfikir logis, analitis, sistimatis, kritis, kreatif,

dan inovatif. Konsep-konsep matematika dapat digunakan

membantu peserta didik mengembangkan potensi intelektual

yang ada dalam dirinya serta memudahkan mempelajari

bidang-bidang ilmu yang lain.

Menurut Muhammad Ali (2007), matematika adalah

bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk

mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan

keruangan sedangkan fungsi teoritisnya adalah untuk

memudahkan dalam berpikir. Lerner(2008) mengemukakan

bahwa matematika disamping sebagai bahasa simbolis juga

merupakan bahasa universal yang memungkinkan manusia

memikirkan, mencatat dan mengkomunikasikan gagasan atau

ide mengenai elemen dan kuantitas. Hakekat matematika

menurut Hudoyo(1988) adalah berkenaan dengan ide-ide,

struktur-struktur, dan hubungan - hubungannya yang diatur

menurut urutan yang logis dan juga berkenaan dengan

konsep-konsep abstrak. Berdasarkan beberapa pendapat di

atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian matematika

adalah suatu bahasa simbolis yang mengekspresikan ide-ide,

struktur atau hubungan yang logis termasuk konsep-konsep

abstrak sehingga memudahkan manusia untuk berpikir.

12

B. Hasil BelajarDunia pendidikan selalu berkaitan dengan belajar dan

hasil belajar. Belajar merupakan suatu proses perubahan

tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan

lingkungannya. Perubahan-perubahan tersebut akan nyata

dalam seluruh aspek tingkah laku. Pengertian belajar dapat

didefinisikan sebagai berikut, “Belajar adalah suatu proses

usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu

perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan

sebagai hasil pengalaman dalam interaksi dengan

lingkungan.” Perubahan yang terjadi dalam diri seseorang

banyak sekali baik sifat maupun jenis, karena itu sudah tentu

tidak setiap perubahan dalam diri seseorang merupakan

perubahan dalam arti belajar (Slameto, 2003 : 2). Menurut

Sudjana (2000 : 28), “Belajar adalah suatu proses yang

ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang.

Perubahan sebagai hasil proses belajar dapat ditunjukkkan

dalam berbagai bentuk seperti perubahan pengetahuannya,

pemahamannya, sifat dan tingkah lakunya, ketrampilannya,

kecakapan dan kemampuannya, daya reaksinya, daya

penerimaanya, dan aspek yang ada pada individu. Oleh sebab

itu belajar adalah proses yang aktif”. Dari belajar akan

diperoleh output yang berupa hasil belajar.

Hasil Belajar merupakan suatu hasil yang diharapkan

dari pembelajaran yang telah ditetapkan dengan aturan

perilaku tertentu sebagai dampak dari proses belajar dan

kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima

13

pengalaman belajar. Hasil belajar mempunyai peranan penting

dalam proses pembelajaran. Proses penilaian terhadap hasil

belajar dapat memberikan informasi kepada guru tentang

kemajuan siswa dalam upaya mencapai tujuan belajar melalui

kegiatan belajar. Selajutnya dari informasi tersebut guru

dapat menyusun dan membina kegiatan – kegiatan siswa lebih

lanjut, baik dari keseluruhan kelas maupun individu.

Pencapaian hasil belajar dapat membawa perubahan tingkah

laku yang memiliki ciri – ciri : perubahan terjadi secara sadar,

perubahan dalam belajar bersifat fungsional, perubahan

bersifat positif dan aktif, perubahan bukan bersifat sementara,

perubahan tertuju dan terarah, perubahan mencakup seluruh

aspek tingkah laku (Slameto, 2003:1). Menurut Hudoyo (1990)

hasil belajar matematika melibatkan suatu struktur dari

konsep-konsep tingkat yang lebih tinggi yang dibentuk atas

dasar apa yang telah terbentuk sebelumnya. Jadi, asumsi ini

berarti bahwa belajar konsep - konsep matematika tingkat

lebih tinggi tidak mungkin bila prasyarat yang mendahului

konsep-konsep itu belum dipelajari.

Hasil belajar juga mencakup kemampuan kognitif,

afektif dan psikomotorik. Domain kognitif adalah knowledge

(pengetahuan), comprehension (pemahaman), application

(penerapan), analysis(mengurai), synthesis(mengurai) dan

evaluasi. Domain Afektif adalah receiving, responding, valuing,

organization, dan karateristik. Domain psikomotorik adalah

initiatory, pre-routine, dan rountinized. Kita juga harus ingat

bahwa hasil belajar adalah perubahan prilaku secar

14

keseluruhan bukan hanya dari salah satu aspek potensial

saja. sehingga uraian diatas dapat disimpulkan hasil belajar

adalah hasil yang dicapai seseorang dari pengukuran dan

penilaian dalam proses usaha perubahan tingkah laku yang

baru secara keseluruhan dengan bahasa simbolis untuk

mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan

keruangan yang memudahkan seseorang untuk berfikir. Maka

hasil belajar adalah hasil yang dicapai seseorang dari

pengukuran dan penilaian usaha belajar. Matematika

merupakan sebuah pelajaran yang menarik, namun ada

sebagian yang mengganggap matematika sulit. Sehingga

dalam pembelajaran ini penulis menerapkan dua model

pembelajaran. Kedua model pembelajaran metematika

tersebut adalah Model Penemuan Terbimbing dan Model

Pemecahan masalah.

2.2 Model Penemuan Terbimbing2.2.1Pengertian Model Penemuan terbimbing

Pembelajaran penemuan terbimbing adalah suatu model

mengajar yang penyampaian materinya, diatur sedemikian

rupa sehingga materi pelajaran tidak diterima siswa hingga

bentuk akhir dari penjelasan guru namun memungkinkan

siswa menemukan sendiri pola atau struktur melalui

pengalaman belajar yang telah dimiliki siwa. Pada model

penemuan terbimbing bentuk akhir yang akan ditemukan

siswa belum diketahui siswa dan merupakan hal baru bagi

siswa. Hal baru tersebut dapat berupa konsep, teorema,

15

rumus, pola, aturan dan lain - lain. Untuk dapat

menemukannya mereka harus melakukan perkiraan, taksiran,

coba coba dan usaha lainnya dengan bimbingan guru. sebuah

model pembelajaran penemuan yang dalam pelaksanaanya

dilakukan oleh siswa berdasarkan petunjuk-petunjuk guru

dan dikembangkan berdasarkan pandangan kognitif tentang

pembelajaran dan prinsip-prinsip konstruktivisme.

menggunakan model ini siswa dilatih dan didorong untuk

dapat belajar secara mandiri. Dengan kata lain, belajar secara

konstruktivisme lebih menekankan belajar berpusat pada

siswa sedangkan peranan guru adalah sebagai fasilitator atau

membantu siswa menemukan fakta, konsep atau prinsip

untuk diri mereka sendiri,bukan memberikan ceramah atau

mengendalikan seluruh kegiatan kelas.

Terdapat tiga indikator utama dalam model penemuan

terbimbing, yaitu mengeksploitasi dan memecahkan masalah

untuk menciptakan, menggabungkan serta menggeneralisasi

pengetahuan, baik pengetahuan yang baru maupun

pengetahuan yang sudah ada, dan berpusat pada siswa.

Secara garis besar langkah dalam pembelajaran dengan model

penemuan terbimbing yaitu melakukan perencanaan yang

matang sebelum pembelajaran dimulai. Terutama fasilitas

yang akan digunakan untuk kepentingan demontrasi

pembelajaran, merumuskan tujuan pembelajaran dan memilih

materi yang tepat untuk diajarakan. Model penemuan

terbimbing merupakan suatu cara belajar siswa aktif, dengan

memahami, mempelajari, menemukan dan menyelidiki sendiri

16

konsep yang dipelajari, maka hasil yang didapat akan tahan

lama dalam ingatan siswa tersebut.

Menurut Markaban ( 2006 : 16 ) agar pelaksanaan

model pembelajaran penemuan terbimbing ini berjalan dengan

efektif, beberapa langkah yang mesti ditempuh oleh guru

matematika adalah sebagai berikut : a. Merumuskan masalah

yang akan diberikan kepada siswa dengan data secukupnya.

Perumusannya harus jelas, hindari pernyataan yang

menimbulkan salah tafsir sehingga arah yang ditempuh siswa

tidak salah. b. Dari data yang diberikan guru, siswa

menyusun, memproses, mengorganisir, dan menganalisis data

tersebut. Dalam hal ini, bimbingan ini sebaiknya

mengarahkan siswa untuk melangkah kearah yang hendak

dituju, melalui pertanyaan-pertanyaan, atau LKS. c. Siswa

menyusun konjektur (prakiraan) dari hasil analisis yang

dilakukannya. d. Bila dipandang perlu,konjektur yang telah

dibuat oleh siswa tersebut diatas diperiksa oleh guru. Hal ini

penting dilakukan untuk menyakinkan prakiraan siswa,

sehingga akan menuju arah yang hendak dicapai, e. Apabila

telah diperoleh kepastian tentang kebenaran konjektur, maka

verbalisasi konjektur sebaiknya diserahkan juga kepada siswa

untuk menyusunnya, f. Sesudah siswa menemukan apa yang

dicari hendaknya guru menyediakan soal latihan atau soal

tambahan untuk memeriksa apakah penemuan itu benar.

Berikut adalah langkah – langkah dalam pembelajaran

dengan model Penemuan Terbimbing.

17

1) Pemberian soal atau masalahPemberian masalah (menentukan tes kriteria), siswa

diminta memahami masalah yang diberikan. Masalah

yang diberikan oleh guru kepada siswa hendaknya

memberi petunjuk, arah, dan tujuan kegiatan yang

dilakukan.

2) Pengembangan dataPengembangan data yang diberikan selalu ada

hubungannya dengan masalah. Bagi siswa yang sudah

menemukan jawaban dapat masalah langsung ke

langkah 6) Penarikan kesimpulan. Bagi siswa yang

belum menemukan jawaban dari masalah, maka harus

melanjutkan ke langkah 3).

3) Penyusunan dataSiswa diminta menyusun data yang diperoleh dari

langkah 2) ke dalam tabel. Bila dari penyusunan data,

siswa mendapatkan pola yang diperlukan untuk

menjawab masalah, siswa bisa langsung ke langkah 6).

Bila belum mendapatkan pola yang diperlukan siswa

melanjutkan ke langkah 4).

4) Penambahan dataDengan penambahan data siswa diharap memperoleh

pola yang diperlukan. Jika siswa mendapatkan pola

yang diharapkan, siswa langsung menuju langkah 6).

Jika belum selesai siswa melanjutkan ke langkah 5).

5) Prompting/loncatan

18

Guru memberikan prompting (menambah data secara

meloncat) sehingga diharapkan siswa memperoleh pola

yang diperlukan. Jika siswa mendapatkan pola yang

diperlukan, siswa tersebut bisa langsung menuju

langkah 6).

6) Penarikan kesimpulanMenjawab masalah berdasarkan pola-pola yang sudah

ditemukan siswa. Jika pola masih belum terlihat oleh

siswa, maka guru memberikan petunjuk singkat,

sehingga siswa memperoleh pola yang diharapkan

untuk dapat menemukan jawaban masalah.

7) Penerapan konsepSiswa diberi soal-soal latihan yang sejenis dengan

tujuan untuk memantapkan ketangkasan siswa

menggunakan konsep/rumus-rumus yang diperoleh.

2.3 Model Pemecahan Masalah2.3.1 Pengertian Model Pemecahan Masalah

Materi matematika yang diberikan pada siswa Sekolah

Dasar (SD) pada dasarnya bersifat untuk memahami konsep,

oleh karena itu diperlukan penguasaan yang memadai

terhadap konsep matematika di tingkat SD agar tidak

menimbulkan kesulitan siswa dalam belajar matematika.

Hudoyo (1979) menyatakan bahwa suatu soal akan

merupakan masalah jika seseorang tidak mempunyai

aturan/hukum tertentu yang segera dapat dipergunakan

19

untuk menemukan jawaban soal tersebut. Masalah

matematika berbeda dengan soal matematika. Soal

matematika tidak selamanya merupakan masalah. Soal

matematika yang dapat dikerjakan secara langsung dengan

aturan/hukum tertentu tidak dapat disebut masalah.Pemecahan masalah sangat penting dalam pembelajaran

matematika karena siswa akan memperoleh pengalaman

menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang sudah

dimiliki siswa untuk diterapkan pada pemecahan masalah

yang bersifat tidak rutin.

2.3.2 Tujuan model Pemecahan Masalah (ProblemSolving):

Penerapan suatu model pembelajaran tentu memiliki

tujuan, dimana tujuan tersebut menjadi hasil akhir yang

diharapkan. Dalam hal ini tujuan penerapan model

Pemecahan Masalah adalah sebagai beriku:

1) Model ini dapat membuat pendidikan disekolah

menjadi relevan dengan kehidupan, khususnya

kehipan sehari hari.

2) Proses belajar mengajar melalui pemecahan

masalah dapat membiasakan para siswa

menghadapi dan memecahkan masalah secara

terampil.

3) Model ini merangsang pengembangan

kemampuan berpikir siswa secara kreatif dan

menyeluruh , karena dalam proses belajarnya

siswa banyak menyoroti permasalahan dari

20

berbagai segi dalam rangka menemukan

solusinya.

Model pembelajaran pemecahan masalah yaitu

pembelajaran yang berbasiskan masalah, pada proses

pembelajarannya siswa dihadapkan pada masalah yang harus

diselesaikan sendiri. Polya (1973:5) menyarankan untuk

membagi proses pemecahan masalah ke dalam empat tahap,

yaitu: 1. Memahami masalah, Pada tahap ini kita harus dapat

mengidentifikasi hal-hal yang diketahui, hal-hal yang

ditanyakan dan syarat-syarat yang ada.Apabila diperlukan

kita dapat membuat gambar/diagram untuk memperjelas

situasinya. Setelah informasi diperoleh sudah lengkap, kita

harus dapat mengorganisasi dan menghubung-hubungkan

informasi tersebut. 2. Menyusun rencana, Pada tahap ini kita

harus dapat menentukan apakah kita pernah menghadapi

masalah tersebut ataupun masalah lain yang serupa. Selain

itu kita harus memikirkan masalah lain yang terkait dengan

masalah yang sedang dihadapi. Selanjutnya kita harus

menentukan strategi pemecahan masalah yang sesuai untuk

masalah tersebut, 3. Melaksanakan Rencana, Pada tahap ini

kita melaksanakan rencana pemecahan masalah dengan

mengecek kebenaran di setiap langkah. 4. Menguji kembali,

pada tahap ini harus memeriksa hasil yang diperoleh, apakah

solusi yang didapat sesui dengn masalah yang di hadapi.

Berikut adalah fase/Tahapan dalam model pemecahan

masalah:

21

Tabel 2.1 Tahapan dalam model Pemecahan masalah

FASE-FASE TINGKAH LAKU GURU

Fase 1

Orientasi siswa kepada masalah

Guru menjelaskan tujuan

pembelajaran, menjelaskan logistik

yang dibutuhkan, memotivasi siswa

terlibat pada aktivitas pemecahan

masalah yang dipilih

Fase 2

Mengorganisasikan siswa untuk

belajar

Guru membantu siswa

mendefinisikan dan me

ngorganisasikan tugas belajar yang

berhubungan dengan masalah

tersebut

Fase 3

Membimbing penyelidikan individu

maupun kelompok

Guru mendorong siswa untuk

mengumpulkan informasi yang

sesuai, melaksanakan eksperimen,

untuk mendapatkan penjelasan

Dan pemecahan masalah

Fase 4

Mengembangkan dan menyajikan

hasil karya

Guru membantu siswa dalam

merencanakan dan menyiapkan

karya yang sesuai seperti laporan,

video, dan model serta membantu

mereka untuk berbagai tugas

dengan temannya

Fase 5

Menganalisis dan mengevaluasi

proses pemecahan masalah

Guru membantu siswa untuk

melakukan refleksi atau evaluasi

terhadap penyelidikan mereka dan

proses-proses yang mereka

gunakan

22

Dalam pelaksanaan model ini tidak serta merta dengan

mudah kita langsung menerapkan kepada anak didik. Harus

melalui pendekatan-pendekatan. Dalam hal ini penulis

menggunakan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik

dalam penerapan kedua model tersebut.

2.4 Pendidikan Matematika Realistik (PMR)2.4.1 Pengertian Pendekatan Pendididkan Matematika

Realistik (PMR)Pendidikan Matematika Realistik (PMR) dikembangkan

berdasarkan pemikiran Hans Freudenthal yang berpendapat

bahwa matematika merupakan aktivitas manusia (human

activities) dan harus dikaitkan dengan realitas. Berdasarkan

pemikiran tersebut, PMR mempunyai ciri antara lain, bahwa

dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan

untuk menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui

bimbingan guru, dan bahwa penemuan kembali (reinvention)

ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari

penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia riil”

(Sutarto Hadi, 2005: 9). Dunia riil adalah segala sesuatu di

luar matematika. Ia bisa berupa mata pelajaran lain selain

matematika, atau bidang ilmu yang berbeda dengan

matematika, ataupun kehidupan sehari-hari dan lingkungan

sekitar kita. Dunia riil diperlukan untuk mengembangkan

situasi kontekstual dalam menyusun materi kurikulum.

Materi kurikulum yang berisi rangkaian soal-soal kontekstual

akan membantu proses pembelajaran yang bermakna bagi

siswa. Dalam PMR, proses belajar mempunyai peranan

23

penting. Rute belajar (learning route) di mana siswa mampu

menemukan sendiri konsep dan ide matematika, harus

dipetakan. Sebagai konsekuensinya, dalam PMR guru harus

mampu mengembangkan pengajaran yang interaktif dan

memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif

berpartisipasi dalam proses belajar mereka sendiri (Sutarto

Hadi, 2005: 10).

Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR)

merupakan sebuah pendekatan dengan pembelajaran yang

lebih realistik. Dimana lebih diharapkan kepada anak didik

dapat menemukan ide dan konsep baru dalam pembelajaran

matematika dengan bantuan orang dewasa atau guru. Dalam

dunia pendidikan Matematika diharapkan siswa dapat paham

dan mengerti tentang suatu konsep matematika, bergulat

dengan ide ide baru, dan membuat dan mempertahankan

penyelesaian soal. Dengan Pendekatan PMR ini diharapkan

dapat membawa siswa mampu memahami bahwa matematika

masuk akal. Menurut Soedjadi (2001: 3) pembelajaran

matematika realistik mempunyai beberapa karakteristik

sebagai berikut: 1.Menggunakan konteks, artinya dalam

pembelajaran matematika realistik lingkungan keseharian

atau pengetahuan yang telah dimiliki siswa dapat dijadikan

sebagai bagian materi belajar yang kontekstual bagi siswa, 2.

Menggunakan model, artinya permasalahan atau ide dalam

matematika dapat dinyatakan dalam bentuk model, baik

model dari situasi nyata maupun model yang mengarah ke

tingkat abstrak, 3. Menggunakan kontribusi siswa, artinya

24

pemecahan masalah atau penemuan konsep didasarkan pada

sumbangan gagasan siswa, 4. Interaktif, artinya aktivitas

proses pembelajaran dibangun oleh interaksi siswa dengan

siswa, siswa dengan guru, siswa dengan lingkungan dan

sebagainya, 5. Intertwin, artinya topik-topik yang berbeda

dapat diintegrasikan sehingga dapat memunculkan

pemahaman tentang suatu konsep secara serentak.

Dengan mengkaji prinsip dan karakteristik

pembelajaran matematika realistik nampak bahwa

pendekatan ini dikembangkan berlandaskan pada filsafat

kontruktivisme. Paham ini berpandangan bahwa

pengetahuan dibangun sendiri oleh orang yang belajar secara

aktif. Penanaman suatu konsep tidak dapat dilakukan

dengan mentransferkan konsep itu dari satu orang ke orang

lain. Siswa yang sedang belajar semestinya diberi keleluasaan

dan dorongan untuk mengekspresikan pikirannya dalam

mengkonstruksi pengetahuan itu untuk dirinya sendiri.

Aktivitas ini dapat terjadi dengan cara memberikan suatu

permasalahan matematika kepada siswa. Permasalahan

matematika tersebut adalah permasalahan yang telah

diakrabi siswa dalam kehidupannya sehari-hari. Sebagai

akibat dari peningkatan aktivitas siswa dalam pembelajaran

matematika realistik adalah berkurangnya dominasi guru.

Dalam pendekatan ini guru lebih berfungsi sebagai fasilitator.

Berikut ini adalah langkah-langkah Pembelajaran Matematika

Realistik: Memahami masalah kontekstual, Menjelaskan

masalah kontekstual, Menyelesaikan, masalah kontekstual,

25

Membandingkan dan mendiskusikan jawaban dan

Menyimpulkan.

Menurut Amin Suyitno (2004: 38), implementasi

pendekatan PMR di sekolah adalah sebagai berikut:

a) Guru menyiapkan beberapa soal realistik (ada

kaitannya dengan kehidupan sehari-hari) yang akan

dikerjakan siswa secara informal atau coba-coba

karena langkah penyelesaian formal untuk

menyelesaikan soal tersebut belum diberikan.

b) Guru memeriksa hasil pekerjaan siswa dengan

berprinsip pada penghargaan terhadap keberagaman

jawaban dan kontribusi siswa.

c) Guru menyuruh siswa untuk menjelaskan temuannya

di depan kelas.

d) Dengan tanya jawab, guru mungkin perlu mengulang

jawaban siswa terutama jika ada pembiasan konsep.

e) Guru baru menunjukkan langkah formal yang

diperlukan untuk menyelesaikan soal tersebut. Bisa

didahului dengan penjelasan tentang materi

pendukungnya.

2.4.2 Tiga Prinsip Pendidikan Matematika RealistikMenurut GRAVEMEIJER

Prinsip tersebut antara lain guided reinvention and

progressive mathematizing, didactical phenomenology, dan self-

developet models. Ketiga prinsip tersebut dapat dijelaskan

secara singkat sebagai berikut:1. Guided reinvention Through

26

progressive mathematizing Prinsip yang pertama adalah

penemuan kembali secara terbimbing melalui matematisasi

secara progressif. Prinsip ini menghendaki bahwa dalam

pembelajaran matematika realistik, siswa harus diberi

kesempatan untuk mengalami proses yang sama dengan

proses penemuan konsep matematika. maksud dari proses

yang sama tersebut adalah siswa diberi kesempatan

merasakan jenis dan situasi nyata (contextual problem) yang

mempunyai berbagai kemngkinan solusi. Dilanjutkan dengan

matematisasi prosedur pemecahan masalah yang sama, serta

perancangan rute belajar yang sedemikian rupa, sehingga

siswa dapat menemukan sendiri konsep dan hasil.

2. Didactical phenomenology (fenomena pembelajaran) Prinsip

ini terkait dengan suatu gagasan fenomena pembelajaran,

yang menghendaki bahwa didalam menemukan masalah

kontekstual untuk digunakan dalam pembelajaran dengan

pendekatan pembelajaran matematika realistik yang

berdasakan atas dua alasan, yaitu untuk menggunakan

berbagai macam aplikasi suatu topik yang harus diantisipasi

dalam pembelajaran dan untuk dipertimbangkan pantas

tidaknya masalah kontekstual itu digunakan sebagai poin-

poin untuk suatu proses pematematikaan progresif (proses

pembelajaran yang bergerak dari masalah nyata ke

matematika formal). Dari uraian ini menunjukkan bahwa

prinsip yang kedua dari pembelajaran matematika realistik ini

menekankan topik - topik matematika kepada siswa. Hal itu

dilakukan dengan mempertimbangkan aspek kecocokan

27

masalah konstektual yang disajikan dengan topik-topik

matematika yang diajarkan dan prosedur matematika yang

akan ditemukan kembali oleh siswa dalam pembelajaran. 3.

Self-developed models (mengembangkan model

sendiri)Menurut prinsip ini, model-model yang dibangun

berfungsi sebagai jembatan antara pengetahuan formal

dengan pengetahuan informal dan matematika formal. Dalam

menyelesaikan masalah kontekstual, siswa diberi kebebasan

untuk membangun sendiri model matematika terkait dengan

masalah konstektual yang dipecahkan. Sebagai konsekuensi

dari kebebasan itu, sangat dimungkinkan muncul berbagai

model yang dibangun siswa. Model yang dikembangkan

tersebut diharapkan akan berubah dan mengarah kepada

bentuk yang lebih baik dan efisien. Dalam pelaksanaan

pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik

hendaknya memiliki orientasi. Berikut adalah adalah

pembelajaran yang berorientasi pada pembelajaran

matematika realistik :

1) Siswa diharapkan membangun konsep dan

struktur matematika bermula dari intuisi, ide dan

konsep dari mereka sendiri.

2) Pengenalan konsep dan abstraksi melalui hal yang

konkrit; diawali dari pengalaman siswa serta

berasal dari lingkungan sekitar siswa; diharapkan

siswa tertarik terhadap aktivitas matematika

tersebut; siswa belajar dari pengalamannya

sendiri bukan pengalaman gurunya.

28

3) Pembelajaran didesain dan diawali dari

pemecahan masalah terhadap masalah

kontekstual yang ada di sekitar lingkungan tinggal

siswa atau yang dapat dipikirkan oleh siswa.

4) Selama proses menuju ke arah matematika yang

lebih formal, diharapkan siswa mengkonstruksi

idea tau gagasannya sendiri, menemukan solusi

suatu permasalah, dan membangun atau

memperoleh suatu konsep secara mandiri, tidak

perlu sama dengan siswa lainnya bahkan dengan

gurunya sekalipun.

5) Pembelajaran matematika tidak hanya memberi

penekanan pada komputasi, serta mementingkan

langkah prosedural (algoritmis), tetapi lebih pada

pemahaman yang mendalam pada konsep dan

pemecahan masalah dengan penyelesaian

masalah yang tidak rutin dan mungkin

jawabannya tidak tunggal.

6) Siswa belajar matematika dengan pemahaman,

membangun secara aktif pengetahuan baru dari

pengalaman dan pengetahuan awal. Peran guru

dalam memberi semangat dan dan dorongan

sangatlah penting. Tujuannya adalah agar siswa

lebih aktif memahami soal, menguji ide idenya,

membuat dugaan, membuat alasan da

menjelasakan hasil pekerjaanya . siswa juga

29

harus lepas dari rasa takut jika ide atau konsep

yang mereka terapkan salah.

2.5. Penelitian Yang Relevan

Berikut akan ditunjukkan beberapa hasil penelitian

yang telah dilakukan dengan menggunakan model Penemuan

Terbimbing dan Model Pemecahan masalah:

a. Kasto (2009), melakukan penelitian dengan judul

“Perbandingankeefektifan metode penemuan terbimbing dan

metode pemberian tugas terhadap hasil belajar ilmu

pengetahuan alam ditinjau dari motivasi belajar siswa

(Eksperimen di Sekolah DasarNegeri Kecamatan Jatipuro,

Karanganyar)”. Berdasarkan hasil penelitian dapat

disimpulkan : (1) terdapat Perbedaan pengaruh yang

signifikan penggunaan metode penemuan terbimbing dan

metode pemberian tugas terhadap hasil belajar Ilmu

Pengetahuan Alam (F hitung > F tabel atau 13,57 >4,02)

sehingga hipotesis yang dikemukakan teruji kebenarannya, (2)

TerdapatPerbedaan pengaruh yang signifikan antara motivasi

belajar Ilmu Pengetahuan Alam tinggi dan rendah terhadap

hasil belajar Ilmu Pengetahuan Alam (F hitung > F tabel atau

17,17 > 4,02) sehingga hipotesis yang dikemukakan teruji

kebenarannya, (3). Terdapat Interaksi pengaruh yang

signifikan antara penggunaan metode pembelajaranpenemuan

terbimbing dengan pemberian tugas dan motivasi belajar

terhadap hasil belajar Ilmu PengetahuanAlam (F hitung > F

30

tabel atau 5,89 > 4,02) sehingga hipotesis yang dikemukakan

teruji kebenarannya.

b. Pujiono, (2011) melakukan penelitian dengan judul

“Pembelajaran melalui Metode Penemuan Terbimbing untuk

Meningkatkan Kompetensi Siswa Kelas XI SMK Negeri 3

Boyolangu Tulungagung tentang Barisan dan Deret”. Hasil

penelitian disimpulkan bahwa metode penemuan terbimbing

secara berkelompok dapat meningkatkan kompetensi siswa

kelas XI Teknik Instalasi Tenaga Listrik 2 SMK Negeri 3

Boyolangu Tulungagung. Pada tindakan I hasil pengamatan

aktivitas siswa rata-rata sebesar 84,09% atau berada pada

kategori baik, sedangkan pada tindakan II aktivitas siswa rata-

rata sebesar 85,12% atau berada pada kategori sangat baik.

Nilai akhir pada tindakan I siswa yang tuntas adalah 88,57%,

sedangkan pada tindakan II siswa yang tuntas sebesar

97,14%. Data di atas menunjukkan bahwa pembelajaran

dengan menggunakan metode penemuan terbimbing dapat

meningkatkan kompetensi.

c. Yuni Astuti (2007) yang berjudul Model Pembelajaran

Berbasis Masalah (Problem Based Learning) untuk

Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas VIII Semester II SMP

N 5 Semarang Pokok Bahasan Bangun Ruang Sisi Datar

Tahun Pelajaran 2006/2007. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis masalah dapat

meningkatkan hasil belajar siswa. Simpulan dari penelitian ini

adalah : (1) Model pembelajaran berbasis masalah dapat

meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII SMP N 5

31

Semarang sub pokok bahasan bangun ruang kubus dan balok

tahun pelajaran 2006/2007, (2) Dengan model pembelajaran

berbasis masalah aktivitas siswa dalam pembelajaran

mengalami peningkatan. Kelebihan pada penelitian di atas

yaitu setiap siklus selalu mengalami peningkatan.

Kelemahannya adalah membutuhkan waktu penelitian yang

relative lama. Mendasarkan kelemahan di atas pada

penelitian berikutnya dapat digunakan sebagai bahan

pertimbangan untuk melakukan penelitian selanjutnya.

d. Handoko Eko Putro (2010) yang berjudul Penerapan

Metode Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Sebagai

Upaya Meningkatkan Keaktifan dan Prestasi Belajar Siswa

Kelas XI IPS 2 SMA Negeri 8 Surakarta pada Mata Pelajaran

Ekonomi Tahun Ajaran 2009/2010. Penelitian ini menyatakan

bahwa Sebelum diterapkan metode pembelajaran Problem

Based Learning (PBL) keaktifan siswa masih rendah terlihat

dari keaktifan siswa pada aspek visual activities 35,49%, oral

activities 22,58%, listening activities 41,94%, dan writing

activities 45,1 6%. Sedangkan nilai rata-rata kelas sebelum

diterapkan metode pembelajaran Problem Based Learning

(PBL) adalah 60,4. Setelah diterapkam Problem Based Learning

(PBL) diperoleh nilai rata – rata 71,90.

32

2.6. Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan suatu jawaban yang bersifat

sementara terhadap permasalahan penelitian sampai terbukti

melalui data yang terkumpul (Arikunto, 1998). Suatu hipotesis

akan diterima bila data yang dikumpulkan mendukung

pernyataan. Hipotesis merupakan asumsi dasar yang

kemudian membuat suatu teori dan masih diuji

kebenarannya. Berikut adalah hipotesis yang dirumuskan

dalam penelitian ini:

a. H0:µ1= µ2 Tidak ada perbedaan prestasi hasil belajar

matematika antara siswa kelas VI yang diajar

dengan menggunakan model Penemuan

terbimbing dan model pemecahan masalah

menggunakan pendekatan Pendidikan

Matematika Realistik (PMR) pada siswa SDN

Kutowinangun 12 dan SDN Kutowinangun 03

Salatiga.

b. H1:µ1≠ µ2 Ada perbedaan prestasi hasil belajar matematika

antara siswa kelas VI yang diajar dengan

menggunakan model Penemuan terbimbing dan

model pemecahan masalah menggunakan

pendekatan Pendidikan Matematika Realistik

(PMR) pada siswa SDN Kutowinangun 12 dan

SDN Kutowinangun 03 Salatiga.

33

2.7. Kerangka Pikir

Berdasarkan penyajian diskripsi teoritik dapat disusun

suatu kerangka berpikir untuk memperjelas arah dan maksud

penelitian. Kerangka berpikir ini disusun berdasarkan variabel

yang dipakai dalam penelitian demi mengetahui perbedaan

pengaruh pembelajaran matematika dengan penerapan model

Penemuan terbimbing dan model pemecahan masalah

menggunakan pendekatan Matematika Realistik (PMR)

terhadap prestasi belajar siswa SD Kutowinangun 12 dan SD

Kutowinangun 03 Salatiga. Keberhasilan proses belajar

mengajar dapat dilihat dari prestasi belajar siswa. Banyak

faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa diantaranya

adalah model pembelajaran yang digunakan guru.

Penggunaan model mengajar cukup besar pengaruhnya

terhadap keberhasilan guru dalam mengajar. Pemilihan model

mengajar yang tidak tepat akan dapat menghambat

tercapainya tujuan pembelajaran. Selain itu juga pendekatan

belajar siswa. Pendekatan belajar siswa menggunakan

pendekatan pendidikan matematika realistik. Dengan

pendekatan yang realistik maka siswa akan siap menerima

dan menguasai materi pelajaran yang disampaikan oleh guru,

sehingga dapat meningkatkan prestasi belajarnya. juga

membantu memperoleh prestasi yang diharapkan.