BAB V PEMBAHASAN -...
Transcript of BAB V PEMBAHASAN -...
45
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Grebeg Sudiro sebagai Media Komunikasi
Hadirnya Grebeg Sudiro karena adanya unsur kesengajaan dari dari warga
Sudiroprajan. Dengan adanya Grebeg Sudiro, diharapkan masyarakat luas tidak takut
untuk masuk di kampung ini dan mengetahui keberadaan Sudiroprajan. Dalam acara
Grebeg Sudiro ini tidak hanya bertujuan untuk menunjukan pembauran dan kerukunan
masyarakat Kampung Sudiroprajan saja, tetapi diharapkan kesatuan ini bisa terjaga
meluas sampai keluar Kota Solo bahkan nasional.
Dalam acara ini juga tidak hanya melibatkan orang dewasa saja melainkan anak-
anak, mengingat sekarang ini budaya mulai dilupakan dan hilang oleh generasi muda,
maka dengan adanya acara ini generasi muda di Kampung Sudiroprajan diharapkan
tidak melupakan budaya mereka. Menurut Didik masyarakat Jawa panitia Grebeg
Sudiro
“Budaya adalah sebuah media komunikasi yang paling mudah dan efisien, karena
semua orang mempunyai budaya dan budaya tidak megenal perbedaan ras, agama, usia,
dan lain-lain”1.
Hal ini terbukti dengan adanya Grebeg Sudiro ini mampu menyatukan
keanekaragaman budaya yang ada dan membentuk nuanasa acara yang indah.
“Selain itu Grebeg Sudiro juga merupakan sebagai media hiburan Grebeg Sudiro
merupakan media hiburan warga Kampung Sudiroprajan khusunya juga untuk kota
Solo yang murah meriah serta dapat menghilangkan sejenak kepenatan atau kejenuhan
dalam menjalani rutinitas sehari hari”2, ungkap Donny Mahesa Widjaja keturunan
Tionghoa warga Kampung Sudiroprajan.
1 Wawancara dengan Didik masyarakat Jawa panitia Grebeg Sudiro tanggal 25 Agustus 2017 pukul 9:22 AM 2 Wawancara dengan Donny Mahesa Widjaja keturunan Tionghoa warga Kampung Sudiroprajan tanggal 25 Agustus 2017 pukul 2:19 PM
46
Sehingga dapat dikatakan Grebeg Sudiro sebagai media komunikasi yang
mempunyai daya untuk interaksi dan komunikasi,
Selain itu, dengan kehadiran Grebeg Sudiro menumbuhkan jiwa kreativitas dan
inisiatif para warga Sudiroprajan dalam menarik perhatian masyarakat luas dengan
membuat kerajinan khas asal Cina yaitu manik-manik, pernak-pernik seperti lampion
serta makanan khas Tionghoa. Kreativitas dan inisiatif yang ditumbuhkan ternyata
telah berhasil merebut perhatian masyarakat luas yang akhirnya menunjang dan
meningkatkan perekonomian warga Sudiroprajan. Menurut Didik masyarakat Jawa
panitia Grebeg Sudiro,
“Acara ini secara tidak langsung juga dianggap sebagai media komunikasi untuk
menggerakan masyarakat dalam menampilkan potensi-potensi yang dimiliki oleh setiap
kampung tidak hanya masyarakat kampung Sudiroprajan”3.
Hal ini dapat dikatakan masyarakat dalam hal ini merupakan reactor sosial dan
individu sebagai creator sosial yang memproduksi realitas harmoni sosial dan seberapa
jauh-dekatnya dengan pengalaman-pengalaman, pengertahuan serta kesadaran
seseorang bertindak atas arti maupun makna harmoni sebagai suatu realitas sosial serta
dilengkapi dengan The Socio-Cultural Tradition, menekankan komunikasi sebagai
penciptaan dan tindakan realitas sosial. Tradisi ini mendasarkan pada premis bahwa
ketika orang berbicara, mereka menciptakan dan memproduksi budaya. Bahwa dapat
melihat warga kampung Sudiroprajan saling berkomunikasi satu sama lain dengan
unsur kesengajaan untuk lebih dapat meningkatkan komunikasi antara masyarakat
Jawa dan keturunan Tionghoa serta menghasilkan kebudayaan yang dinamakan
Grebeg Sudiro, di mana Grebeg Sudiro sebagai menampilkan budaya dari masyarakat
Jawa maupun keturunan Tionghoa. Selain itu Grebeg Sudiro sebagai media
komunikasi untuk dapat berkomunikasi satu sama lain untuk terjalin lebih harmonis di
dalam kampung Sudiroprajan.
3 Wawancara dengan Didik masyarakat Jawa panitia Grebeg Sudiro 25 Agustus 2017 pukul 9:22 AM
47
5.2 Keharmonisan Sosial antara masyarakat Jawa dan Keturunan Tionghoa
Kebudayaan Jawa adalah kebudayaan yang dianut oleh masyarakat yang hidup
di kampung Sudiroprajan, kota Solo. Pada perkembangannya, kebudayaan ini lebur
dan menyebar luas di wilayah Sudiroprajan, sehingga kadang-kadang ditemui
perbedaan penghayatan dan operasionalnya. Sedangkan kebudayaan Tionghoa di sini
adalah kebudayaan yang dianut oleh masyarakat keturunan Tionghoa di daerah
Sudiroprajan.
Mengenai sistem orientasi nilai masyarakat Jawa, dijelaskan pada hakekat
hidup menurut masyarakat Jawa harus dijalankan dengan tabah dan pasrah walaupun
pada dasarnya hidup rangkaian peristiwa yang penuh kesengsaraan. Dalam etos kerja
bahwa orang bekerja agar mereka dapat makan, sehingga muncul ungkapan aja ngaya,
aja ngangsa dalam hidup.
“Sedangkan hubungan antara manusia dengan sesamanya, dari tingkah laku dan
adat sopan santun terhadap sesamanya, bahwa mereka menyadari bahwa hidup tidak
sendiri di dunia ini, maka mereka hidup saling tolong menolong, dan saling memberikan
bantuan”4, ungkap Dwi Gendro Sutrisno masyarakat Jawa panitia Grebeg Sudiro.
Mengenai sistem orientasi nilai keturunan Tionghoa, dijelaskan pada hakekat
hidup menurut keturunan Tionghoa harus bersifat realis dan optimis. Dalam etos kerja,
salah satu bentuk penghormatan kepada orang tua adalah apabila seseorang dapat
menunjukkan hasil kerjanya dengan baik. Sedangkan hubungan antara manusia dan
sesamanya bahwa kita harus tolong-menolong antara manusia dan sesamanya.
“Manusia harus melakukan atau berbuat murah hati yang terwujud dalam sikap
menolong”5, ungkap Tomy Henriyanto keturunan Tionghoa warga Kampung Sudiroprajan.
4 Wawancara dengan Dwi Gendro Sutrisno masyarakat Jawa panitia Grebeg Sudiro tanggal 26 Agustus 2017 pukul 5:20 PM 5 Wawancara dengan Tomy Henriyanto keturunan Tionghoa warga Kampung Sudiroprajan tanggal 26 Agustus 2017 pukul 3:40 PM
48
Dari uraian di atas dijadikan sebagai pembanding komparasi antara nilai
masyarakat Jawa dan keturunan Tionghoa yang ternyata keduanya memiliki kesamaan
yang sehingga dapat menimbulkan kerukunan. Hal ini juga didorong dengan adanya
media Grebeg Sudiro, bahwa masyarakat Jawa bersikap terbuka namun tetap menjaga
kelestarian nilai-nilai Jawa, begitu sebaliknya keturunan Tionghoa bersikap terbuka
namun tetap menjaga kelestarian nilai-nilai Tionghoa.
Sehingga Grebeg Sudiro telah tumbuh menjadi dialog elegan Jawa – Tionghoa,
dan bukan bagian dari ritual imlek, tapi sebuah media untuk dapat lebih memperkuat
tali persaudaraan masyarakat dan harmonisasi sosial setempat6, ujar Dwi Gendro Sutrisno
masyarakat Jawa panitia Grebeg Sudiro.
Event Grebeg Sudiro kini dirasakan menjadi milik semua warga kota Solo
karena selain kesenian khas warga keturuan Tionghoa, juga ditampilkan kesenian
Jawa. Perbedaan yang ada tidak menjadi penghalang untuk merajut kebersamaan.
“Perbedaan jangan disikapi secara negatif, tetapi dibingkai dengan kebersamaan
agar menjadi harmonis”7, ujar Donny Mahesa Widjaja keturunan Tionghoa panitia Grebeg
Sudiro.
Dalam Grebeg Sudiro sendiri yang harus ada dalam setiap tahunnya yaitu kirab
umbul mantram, carnival budaya, umbul donga dan kembang api. Kirab umbul
mantram yaitu menghormati adat Jawa, sehingga setiap kirab pejawen, peserta tidak
hanya dari masyarakat Jawa saja melainkan keturunan Tionghoa dan Klenteng juga
berpatisipasi, dan malamnya biasanya ada pertunjukkan wayang, carnival budaya
dengan upacara keagamaan di klenteng, umbul donga atau malam sedekah bumi sendiri
merupakan tradisi upacara dalam aspek religius, pesan keagamaan atau religiusitas
disampaikan dalam ritual upacara adat ini.
“Biasanya dilakukan pada malam hari, ritual dimulai dengan masyarakat
Sudiroprajan berjalan kaki bersama dari depan Kelurahan Sudiroprajan berjalan kaki
bersama dari depan Kelurahan Sudiroprajan dan mengelilingi kampung-kampung di
Sudiroprajan sampai tempat “Buk Teko”, dilanjutkan dengan doa mohon keselamatan
6 Wawancara dengan Dwi Gendro Sutrisno masyarakat Jawa panitia Grebeg Sudiro tanggal 26 Agustus 2017 pukul 5:20 PM 7 Wawancara dengan Donny Mahesa Widjaja keturunan Tionghoa warga Kampung Sudiroprajan tanggal 26 Agustus 2017 pukul 1:19 PM
49
di Buk Teko yang dipimpin dari masing-masing perwakilan agama, antara lain Islam,
Kristen, Kong Hu Chu, lalu Kejawen dengan tujuan ucapan syukur kepada Tuhan dan
berterimakasih pada bumi atas apa yang telah dihasilkan di bumi, diakhiri dengan
makan bersama dan kembang api untuk penutupan supaya lebih meriah”8, ujar Debora
Septiana keturunan Tionghoa panitia Grebeg Sudiro.
Hal ini dikaitkan dengan teori Identitas Sosial yang menyatakan bahwa
kelompok di mana kita menjadi anggota merupakan bagian integral dari konsep diri
kita. Adanya kelompok memungkinkan kita mengelola konsep diri dengan cara
mengelola keanggotaan tersebut memberikan identitas sosial yang memberikan rasa
aman. Bahwa dapat terlihat sebuah kelompok antara masyarakat Jawa dan keturunan
Tionghoa di kampung Sudiroprajan bahwa tidak memandang ras antar satu sama lain,
sehingga masyarakat Jawa dan keturunan Tionghoa menjadi satu kesatuan dan menjadi
integral dari masyarakat Jawa dan begitu sebaliknya, dan terjalin rasa aman antar satu
sama lain di Kampung Sudiroprajan, hal ini dibuktikan dengan pola-pola wujud
keharmonisan yang terlihat dalam tradisi Grebeg Sudiro antara masyarakat Jawa
dengan keturunan Tionghoa antara lain sebagai berikut:
5.2.1 Kue Keranjang
Pola-pola dari keharmonisan ini juga dapat disampaikan melalui simbol, yaitu
gunungan kue ranjang. Gunungan merupakan susunan berbagai bahan pangan dan
makanan yang ditata berbentuk kerucut menyerupai gunung. Gunungan ini nantinya
akan dirayah atau diperebutkan oleh penonton acara, umumnya sebagai tanda syukur.
Gunungan menjadi penanda paling menonjol dalam upacara grebeg yang dilakukan
pihak kraton Jawa, yaitu pada upacara grebeg (atau garebeg) Mulud (sebagai bagian
rangkaian perayaan Sekaten), grebeg Sawal, dan grebeg Besar. Terdapat beberapa
macam gunungan dan penyertanya yang diarak pada upacara grebeg. Dua macam
gunungan yang selalu muncul dalam acara grebeg adalah gunungan
lanang/jaler/kakung (laki-laki) dan gunungan wadon/estri (perempuan). Dua macam
8 Wawancara dengan Debora Septiana keturunan Tionghoa panitia Grebeg Sudiro tanggal 27 Agustus 2017 pukul 3:22 PM
50
gunungan lain adalah gunungan darat dan gunungan pawuan. Keempat gunungan ini
akan diperebutkan oleh massa setelah didoakan. Satu gunungan istimewa yang hanya
diarak setiap delapan tahun (sewindu) sekali, pada tahun Dal penanggalan Jawa, yaitu
gunungan kutug atau bromo. Gunungan ini dilengkapi dengan dupa di bagian
puncaknya dan tidak untuk diperebutkan massa. Penyerta gunungan yang juga diarak
adalah picisan, songgom, tebok angkring, dan keranjang berisi beras. Penyerta ini
adalah persembahan yang akan diberikan kepada petugas upacara di masjid. Dalam hal
ini juga serupa dengan Grebeg Sudiro.
Gunungan kue keranjang sebagai brand atau ciri khas dari perayaan Grebeg
Sudiro. Gunungan bagi masyarakat Jawa, memang menjadi symbol kehidupan spiritual
yang hingga kini masih hidup dalam keseharian. Terlihat bahwa dalam gunungan
berupa kue keranjang yang merupakan kue khas keturunan Tionghoa saat merayakan
tahun baru Imlek. Sedangkan gunungan merupakan dari masyarakat Jawa. Seperti
halnya dalam acara tradisi Sekaten dalam budaya masyarakat Jawa yang terdapat dua
buah gunungan jaler dan gunungan Estri. Puncak perayaan ini adalah rebutan
makanan, hasil bumi, atau lainnya yang biasanya disusun seperti gunung. Tradisi
rebutan ini didasari oleh falsafah jawa ora obah ora mamah, jika tidak berusaha tidak
akan mendapat makanan.
“Sedangkan bentuk gunung merupakan wujud rasa syukur kepada Tuhan,
filosofi berebut atau ngrayah ini menggambarkan bahwa untuk mencapai suatu tujuan,
manusia harus ngrayah atau berusaha untuk mengambilnya9, ujar Jawul masyarakat Jawa
salah satu pendiri Grebeg Sudiro.
9 Wawancara dengan Jawul masyarakat Jawa salah satu pendiri Grebeg Sudiro tanggal 28 Agustus 2017 pukul 4:30 PM
51
Gambar 1
Warga Kampung Sudiroprajan sedang membawa gunungan kue
keranjang yang berbentuk pagoda.
Sumber: media.viva. Diunduh 4 Desember 2017 pukul 8:15 AM
Gambar 2
Warga Kampung Sudiroprajan sedang membawa kue keranjang yang
berbentuk gunungan kerucut.
Sumber: kota.surakarta. Diunduh 4 Desember 2017 pukul 9:13 AM
52
Gambar 3
Warga Kampung Sudiroprajan sedang membawa kue keranjang yang
berbentuk rumah joglo.
Sumber: kota.surakarta. Diunduh 4 Desember 2017 pukul 9:13 AM
Bentuk gunungan kue keranjang berupa pagoda, gunungan kerucut, dan
rumah joglo karena mewakili dan masih menonjolkan ciri khas budaya dari masing-
masing etnis. Gunungan kue keranjang menjadi brand dan gunungan utama dalam
Grebeg Sudiro selain menjadi kue khas keturunan Tionghoa yang menjadi bagian dari
makanan dalam menjelang Imlek, kue keranjang juga mempunyai filosofi. Menurut
Haryanto Ko Hok Sing
“Kepercayaan masyarakat China, kue keranjang disajikan mulai enam hari
sebelum perayaan Tahun Baru Imlek sebagai kue persembahan. Pasalnya pada hari
tersebut, Dewa Dapur atau Cau Kun Kong yang dipercaya setiap harinya mengawasi
dapur setiap rumah akan singgah lalu naik ke langit. Nah, sajian legit dan kenyal itu
dibuat untuk menyenangkan Dewa Dapur. Dibuat manis, filosofinya agar Dewa Dapur
melaporkan yang manis-manis kepada Tuhan”10.
Diawalai start dari Pasar Besar dan finish di situ juga. Setelah para peserta
dan pendukung acara sampai di finish, menandakan puncak acara Grebeg Sudiro segera
10 Wawancara dengan Haryanto Ko Hok Sing keturunan Tionghoa salah satu pendiri Grebeg Sudiro tanggal 28 Agustus 2017 pukul 6:23 PM
53
berakhir, dan berakhirnya Grebeg Sudiro ditandai dengan rebutan kue keranjang yang
diincar oleh warga sekitar dan penonton yang diyakini membawa berkah. Total
sebanyak 4.000 buah kue keranjang ditata dalam gunungan berbagai bentuk, mulai dari
gunungan biasa hingga yang berbentuk pagoda. Tak hanya kue keranjang, berbagai
panganan khas kampung Sudiroprajan turut disiapkan dalam gunungan yang berbeda,
seperti bakpao, gembukan, cakue, bakmi, dan onde-onde.
5.2.2 Wushu
Wushu merupakan ilmu bela diri yang berasal dari negara Tiongkok.
“Wushu secara harafiah berasal dari dua kata, yaitu “Wu” dan “Shu”. Arti dari
kata “Wu” adalah ilmu perang, sedangkan arti kata “Shu” adalah seni”11, ungkap
Murdiarti pelatih dan pemain Wushu .
Sehingga Wushu bisa juga diartikan sebagai seni untuk bertempur/bela diri.
Wushu sendiri lebih menunjuk kepada suatu keahlian dan keuletan yang khusus dan
teruji unggul, misalnya keahlian memasak, keahlian bercocok tanam, dan lain-lain.
Ilmu bela diri Wushu pada mulanya berkembang dari kebutuhan dan kemampuan
manusia untuk bertahan hidup, baik untuk membela diri dari berbagai jenis serangan
binatang buas, berburu untuk mendapatkan makanan, maupun untuk berperang
melawan kelompok manusia lain yang dianggap menjadi ancaman terhadap keamanan
hidup mereka. Adanya lima Elemen Wushu air, kayu , api, tanah, dan logam. Hubungan
berbagai unsur dalam Wushu adalah air mendinginkan api, api menempah logam,
logam memotong kayu, kayu tumbuh dari bumi, bumi mengontrol air. Jadi, semua
unsur ini saling berhubungan satu sama lain. Wushu pada dasarnya terdiri dari dua
disiplin ilmu, yakni Taolu artinya jurus/style) dan Sanda/sanshou artinya
tarung/sparring). Dalam Taolu, terbagi menjadi dua jenis juga, yakni menggunakan
tangan kosong dan senjata (pendek-panjang).
11 Wawancara dengan Murdiarti pelatih dan pemain Wushu tanggal 29 Agustus 2017 pukul 3:45 PM
54
Gambar 4
Perkumpulan Masyarakat Surakarta sedang menunjukkan aksi Wushu
pada saat Grebeg Sudiro berlangsung.
Sumber: ytimg. Diunduh 4 Desember 2017 pukul 10:23 AM
Penampilan atraksi atlet seni beladiri wushu khas negeri Tiongkok. Para
peserta berasal dari Perkumpulan Masyarakat Surakarta, menampilkan gerakan-
gerakan atraktif khas jurus beladiri wushu lengkap dengan alat-alat yang digunakan
dalam beladiri ini seperti pedang, golok, dan toya.
Bahwa kita dapat melihat walaupun ilmu bela diri berasal dari negara
Tiongkok, namun untuk peserta tidak hanya dari keturunan Tionghoa melainkan kita
berbaur antar sama lain antara masyarakat Jawa dan keturunan Tionghoa sehingga
bahwa adanya rasa toleransi antar satu sama lain dan berkomunikasi juga enak, kita
memiliki ciri khas dan keragaman12, ungkap Murdiarti pelatih/pemain Wushu.
Mary Jane Collier dan Milt Thomas (2009: 260-261) menggabungkan
etnografi komunikasi dan konstruksi sosial dan dari situ mengusulkan beberapa sifat
pengesahan, atau penciptaan, identitas budaya yang terlihat dalam teks komunikasi.
Mereka berpendapat bahwa pesan individu selama interaksi mungkin mengandung
12 Wawancara dengan Murdiarti pelatih dan pemain Wushu tanggal 29 Agustus 2017 pukul 4:45 PM
55
banyak jenis identitas budaya, seperti nasional, rasial, etnis, kelas terkait, jenis kelamin
dan jenis kelamin, politik, dan agama. Menunjukan bahwa lewat dengan ilmu bela diri
Wushu dapat menciptakan identitas budaya, bahwa pemain Wushu sendiri tidak hanya
keturunan Tionghoa saja melainkan masyarakat Jawa juga ikut menjadi pemain
tersebut dan itu sudah terlihat sebagai identitas budaya yang dapat komunikasi
disampaikan ke pemain dan warga Kampung Sudiroprajan serta warga kota Solo.
5.2.3 Barongsai dan Liong
Budaya keturunan Tionghoa peranakan yang tinggal di Kampung
Sudiroprajan dibangun bersama antara budaya Tionghoa dan budaya Jawa. Identitas
budaya keturunan Tionghoa di Solo dihasilkan dari pembauran. Sealin perkawinan
campur, perekat pembauran yang lain adalah agama, sosial kemasyarakat dan kesenian.
Bidang kesenian contohnya Barongsai, produk kesenian Tionghoa ini ternyata banyak
melibatkan orang masyarakat Jawa sebagai pemainnya. Pelaksanaan penampilan
kesenian Barongsai mengalami perubahan pada nama dan tambahan tata cara
pelaksanaannya. Nama asli Barongsai adalah Samsi.
“Barong” diambil dari istilah Jawa yang berarti topeng dan “say” penyesuaian
“si” dari “samsi”. Tambahan dalam tata cara pelaksanaan bersifat spiritual seperti
halnya sembahyang dan persembahan (sesaji). Sedangkan menurut tata cara
pelaksanaan yang sesai dari asalanya tidak memakai sembahyang dan sesaji. Liong
hanya mengalami tambahan tata cara pelaksaan seperti halnya barongsai”13, ujar Gelek
masyarakat Jawa pelatih dan peserta Barongsai.
Tata cara pementasan Barongsai dan Liong sudah banyak dimodifikasi, kalau
aslinya malah tidak seperti yang ada di Solo, hal ini sudah banyak sekali yang sudah
disesuaikan dengan orang-orang keturunan Tionghoa yang sudah lama berada di sini.
Mereka sudah membuat semacam modifikasi sehingga dapat diterima masyarakat
Solo.
13 Wawancara dengan Gelek masyarakat Jawa pelatih dan peserta Barongsai tanggal 30 Agustus 2017 pukul 8:30 AM
56
Gambar 5
Warga Kampung Sudiroprajan sedang memainkan Barongsai.
Sumber: pesona indonesia. Diunduh 4 Desember 2017 pukul 11:08 AM
Gambar 6
Warga Kampung Sudiroprajan sedang memainkan Liong.
Sumber: solopos. Diunduh 4 Desember 2017 pukul 11:15 AM
57
Dalam misi ritual, Barongsai dan Liong yang dimainkan biasanya dominan
dengan warna hitam dan putih atau merah dan putih sebagai unsur symbol Iem dan
Yang karena dipercaya sebagai penolak bala.
“Barongsai dan Liong yang akan dimainkan sebelumnya yang di bawa ke
Klenteng atau Lithang (tempat ibadah Khonghucu) untuk disembahyangkan dan diberi
Hu (kertas kuning bertuliskan huruf mandarin) yang dipercaya sebagai jimat penolak
bala, selain itu diikatkan pula seuntai daun jeruk yang dipercaya akan membawa
kesejukan, keteduhan, dan kenyamanan bagi uma manusia”14, ungkap Gelek masyarakat
Jawa pelatih dan peserta Barongsai.
“Pada kening Barongsai dan Liong terdapat tulisan Wang yang berarti Raja
yang dalam tulisan atau huruf Cina nya tulisan tersebut terdiri atas 3 garis mendatar
dengan satu garis vertical yang melambangkan bahwa kita sebagai manusia tidak bisa
terlepas dari tiga unsur yaitu Tuhan, Alam, dan Makhluk hidup dengan satu hokum
Tuhan sebagai penghubung, maknanya kita harus mampu berdaptasi dengan
lingkungan untuk mencapai kebahagiaan”15, ungkap Gelek masyarakat Jawa pelatih dan
peserta Barongsai.
Modifikasi penampilan Barongsai dan Liong dalam Grebeg Sudiro terlihat
juga dalam alat musik yang digunakan. Unsur music di dalam setiap pementasan
kesenian Barongsai dan Liong mempunyai peranan yang sangat penting, karena
instrumen musik merupakan unsur-unsur yang dapat mengatur gerakan-gerakan dari
pemain Barongsai dan Liong yang sedang melakukan atraksi. Pada awalnya musik
hanya berupa bunyi-bunyian yang berasal dari alat-alat apa saja yang apabila dipukul
bisa mengeluarkan bunyi. Seiring dengan perkembangan kesenian Barongsai dan
Liong tersebut, maka alat-alat musik yang digunakan untuk mengiringi juga mengalami
perubahan.
“Alat-alat musik yang digunakan sekarang ini lebih bernada dengan cara
memukul yang menggunakan aturan atau irama dan tidak hanya asal dipukul sehingga
akan terdengar nada-nada yang indah berirama dan akan tercipta perpaduan yang
14 Wawancara dengan Gelek masyarakat Jawa pelatih dan peserta Barongsai tanggal 30 Agustus 2017 pukul 9:30 AM 15 Wawancara dengan Gelek masyarakat Jawa pelatih dan peserta Barongsai tanggal 30 Agustus 2017 pukul 9:40 AM
58
dinamis antara musik dan gerakan atraksi Barongsai dan Liong yang sedang
dipentaskan”16, ungkap Gelek masyarakat Jawa pelatih dan peserta Barongsai.
Alat musik yang digunakan untuk mengiringi tarian Barongsai dan Liong
yang dikolaborasi dengan alat musik tradisional antara lain tambur atau gendering,
simbal, dan bende atau gong. Biasanya setiap penampilan Barongsai dan Liong secara
bersamaan, untuk membedakan antara musik pengiring Barongsai dan Liong, maka
alat musik yang digunakan dibedakan, agar tidak terjadi kericuan dalam gerak
tariannya. Nada musik untuk Barongsai terkesan ritmenya lebih lambat dan suaranya
lebih mantap, sedangkan untuk Liong lebih cepat. Ritme musik pengiring disesuaikan
dengan adegan-adegan tarian Barongsai dan Liong, karena setiap kali pentas Barongsai
dan Liong selalu menampilkan adegan-adegan yang diwujudkan dalam gerakan tarian.
Barongsai biasanya menampilkan adegan seperti pada saat adegan tidur, maka musik
pengiringnya lebih lambat, pada agenda makan dan adegan kegirangan maka musik
pengiringnya lebih meriah dan adegan marah dengan musik yang lebih keras dan
dengan tempo yang lebih cepat. Dalam tarian Liong juga ada beberapa adegan seperti
adegan mengejar bola mustika, adegan meliuk-liuk, adegan melingkar, musik
pengiringnya juga disesuaikan dengan adegan tersebut. Stryker menyatakan premis
pertama adalah perilaku didasarkan pada sebuah klasifikasi penamaan. Nama atau
istilah kelas tersebut melekat pada aspek lingkungan, baik fisik maupun sosial dan
membawa makna dalam bentuk ekspektasi perilaku bersama yang tumbuh dari
interaksi sosial. Bahwa di Kampung Sudiroprajan salah satu lewat kebudayaan
Barongsai dan Liong yang ada di Grebeg Sudiro antar msayarakat Jawa dan Keturunan
Tionghoa dapat terjalin interaksi sosial dan memberikan makna tersendiri. Sehingga
dapat melihat antara masyarakat Jawa dan keturunan Tionghoa saling bersatu dalam
Grebeg Sudiro dari segi ritual atau persembahan, agama, dan kesenian bahwa satu sama
lain saling menjaga keharmonisan sosial.
16 Wawancara dengan Gelek masyarakat Jawa pelatih dan peserta Barongsai tanggal 30 Agustus 2017 pukul 10:05 AM