BAB V PEMBAHASAN -...

14
45 BAB V PEMBAHASAN 5.1 Grebeg Sudiro sebagai Media Komunikasi Hadirnya Grebeg Sudiro karena adanya unsur kesengajaan dari dari warga Sudiroprajan. Dengan adanya Grebeg Sudiro, diharapkan masyarakat luas tidak takut untuk masuk di kampung ini dan mengetahui keberadaan Sudiroprajan. Dalam acara Grebeg Sudiro ini tidak hanya bertujuan untuk menunjukan pembauran dan kerukunan masyarakat Kampung Sudiroprajan saja, tetapi diharapkan kesatuan ini bisa terjaga meluas sampai keluar Kota Solo bahkan nasional. Dalam acara ini juga tidak hanya melibatkan orang dewasa saja melainkan anak- anak, mengingat sekarang ini budaya mulai dilupakan dan hilang oleh generasi muda, maka dengan adanya acara ini generasi muda di Kampung Sudiroprajan diharapkan tidak melupakan budaya mereka. Menurut Didik masyarakat Jawa panitia Grebeg Sudiro Budaya adalah sebuah media komunikasi yang paling mudah dan efisien, karena semua orang mempunyai budaya dan budaya tidak megenal perbedaan ras, agama, usia, dan lain-lain1 . Hal ini terbukti dengan adanya Grebeg Sudiro ini mampu menyatukan keanekaragaman budaya yang ada dan membentuk nuanasa acara yang indah. Selain itu Grebeg Sudiro juga merupakan sebagai media hiburan Grebeg Sudiro merupakan media hiburan warga Kampung Sudiroprajan khusunya juga untuk kota Solo yang murah meriah serta dapat menghilangkan sejenak kepenatan atau kejenuhan dalam menjalani rutinitas sehari hari2 , ungkap Donny Mahesa Widjaja keturunan Tionghoa warga Kampung Sudiroprajan. 1 Wawancara dengan Didik masyarakat Jawa panitia Grebeg Sudiro tanggal 25 Agustus 2017 pukul 9:22 AM 2 Wawancara dengan Donny Mahesa Widjaja keturunan Tionghoa warga Kampung Sudiroprajan tanggal 25 Agustus 2017 pukul 2:19 PM

Transcript of BAB V PEMBAHASAN -...

Page 1: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15924/5/T1_362014057_BAB V.pdf · 3 Wawancara dengan Didik masyarakat Jawa panitia Grebeg Sudiro 25 Agustus

45

BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Grebeg Sudiro sebagai Media Komunikasi

Hadirnya Grebeg Sudiro karena adanya unsur kesengajaan dari dari warga

Sudiroprajan. Dengan adanya Grebeg Sudiro, diharapkan masyarakat luas tidak takut

untuk masuk di kampung ini dan mengetahui keberadaan Sudiroprajan. Dalam acara

Grebeg Sudiro ini tidak hanya bertujuan untuk menunjukan pembauran dan kerukunan

masyarakat Kampung Sudiroprajan saja, tetapi diharapkan kesatuan ini bisa terjaga

meluas sampai keluar Kota Solo bahkan nasional.

Dalam acara ini juga tidak hanya melibatkan orang dewasa saja melainkan anak-

anak, mengingat sekarang ini budaya mulai dilupakan dan hilang oleh generasi muda,

maka dengan adanya acara ini generasi muda di Kampung Sudiroprajan diharapkan

tidak melupakan budaya mereka. Menurut Didik masyarakat Jawa panitia Grebeg

Sudiro

“Budaya adalah sebuah media komunikasi yang paling mudah dan efisien, karena

semua orang mempunyai budaya dan budaya tidak megenal perbedaan ras, agama, usia,

dan lain-lain”1.

Hal ini terbukti dengan adanya Grebeg Sudiro ini mampu menyatukan

keanekaragaman budaya yang ada dan membentuk nuanasa acara yang indah.

“Selain itu Grebeg Sudiro juga merupakan sebagai media hiburan Grebeg Sudiro

merupakan media hiburan warga Kampung Sudiroprajan khusunya juga untuk kota

Solo yang murah meriah serta dapat menghilangkan sejenak kepenatan atau kejenuhan

dalam menjalani rutinitas sehari hari”2, ungkap Donny Mahesa Widjaja keturunan

Tionghoa warga Kampung Sudiroprajan.

1 Wawancara dengan Didik masyarakat Jawa panitia Grebeg Sudiro tanggal 25 Agustus 2017 pukul 9:22 AM 2 Wawancara dengan Donny Mahesa Widjaja keturunan Tionghoa warga Kampung Sudiroprajan tanggal 25 Agustus 2017 pukul 2:19 PM

Page 2: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15924/5/T1_362014057_BAB V.pdf · 3 Wawancara dengan Didik masyarakat Jawa panitia Grebeg Sudiro 25 Agustus

46

Sehingga dapat dikatakan Grebeg Sudiro sebagai media komunikasi yang

mempunyai daya untuk interaksi dan komunikasi,

Selain itu, dengan kehadiran Grebeg Sudiro menumbuhkan jiwa kreativitas dan

inisiatif para warga Sudiroprajan dalam menarik perhatian masyarakat luas dengan

membuat kerajinan khas asal Cina yaitu manik-manik, pernak-pernik seperti lampion

serta makanan khas Tionghoa. Kreativitas dan inisiatif yang ditumbuhkan ternyata

telah berhasil merebut perhatian masyarakat luas yang akhirnya menunjang dan

meningkatkan perekonomian warga Sudiroprajan. Menurut Didik masyarakat Jawa

panitia Grebeg Sudiro,

“Acara ini secara tidak langsung juga dianggap sebagai media komunikasi untuk

menggerakan masyarakat dalam menampilkan potensi-potensi yang dimiliki oleh setiap

kampung tidak hanya masyarakat kampung Sudiroprajan”3.

Hal ini dapat dikatakan masyarakat dalam hal ini merupakan reactor sosial dan

individu sebagai creator sosial yang memproduksi realitas harmoni sosial dan seberapa

jauh-dekatnya dengan pengalaman-pengalaman, pengertahuan serta kesadaran

seseorang bertindak atas arti maupun makna harmoni sebagai suatu realitas sosial serta

dilengkapi dengan The Socio-Cultural Tradition, menekankan komunikasi sebagai

penciptaan dan tindakan realitas sosial. Tradisi ini mendasarkan pada premis bahwa

ketika orang berbicara, mereka menciptakan dan memproduksi budaya. Bahwa dapat

melihat warga kampung Sudiroprajan saling berkomunikasi satu sama lain dengan

unsur kesengajaan untuk lebih dapat meningkatkan komunikasi antara masyarakat

Jawa dan keturunan Tionghoa serta menghasilkan kebudayaan yang dinamakan

Grebeg Sudiro, di mana Grebeg Sudiro sebagai menampilkan budaya dari masyarakat

Jawa maupun keturunan Tionghoa. Selain itu Grebeg Sudiro sebagai media

komunikasi untuk dapat berkomunikasi satu sama lain untuk terjalin lebih harmonis di

dalam kampung Sudiroprajan.

3 Wawancara dengan Didik masyarakat Jawa panitia Grebeg Sudiro 25 Agustus 2017 pukul 9:22 AM

Page 3: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15924/5/T1_362014057_BAB V.pdf · 3 Wawancara dengan Didik masyarakat Jawa panitia Grebeg Sudiro 25 Agustus

47

5.2 Keharmonisan Sosial antara masyarakat Jawa dan Keturunan Tionghoa

Kebudayaan Jawa adalah kebudayaan yang dianut oleh masyarakat yang hidup

di kampung Sudiroprajan, kota Solo. Pada perkembangannya, kebudayaan ini lebur

dan menyebar luas di wilayah Sudiroprajan, sehingga kadang-kadang ditemui

perbedaan penghayatan dan operasionalnya. Sedangkan kebudayaan Tionghoa di sini

adalah kebudayaan yang dianut oleh masyarakat keturunan Tionghoa di daerah

Sudiroprajan.

Mengenai sistem orientasi nilai masyarakat Jawa, dijelaskan pada hakekat

hidup menurut masyarakat Jawa harus dijalankan dengan tabah dan pasrah walaupun

pada dasarnya hidup rangkaian peristiwa yang penuh kesengsaraan. Dalam etos kerja

bahwa orang bekerja agar mereka dapat makan, sehingga muncul ungkapan aja ngaya,

aja ngangsa dalam hidup.

“Sedangkan hubungan antara manusia dengan sesamanya, dari tingkah laku dan

adat sopan santun terhadap sesamanya, bahwa mereka menyadari bahwa hidup tidak

sendiri di dunia ini, maka mereka hidup saling tolong menolong, dan saling memberikan

bantuan”4, ungkap Dwi Gendro Sutrisno masyarakat Jawa panitia Grebeg Sudiro.

Mengenai sistem orientasi nilai keturunan Tionghoa, dijelaskan pada hakekat

hidup menurut keturunan Tionghoa harus bersifat realis dan optimis. Dalam etos kerja,

salah satu bentuk penghormatan kepada orang tua adalah apabila seseorang dapat

menunjukkan hasil kerjanya dengan baik. Sedangkan hubungan antara manusia dan

sesamanya bahwa kita harus tolong-menolong antara manusia dan sesamanya.

“Manusia harus melakukan atau berbuat murah hati yang terwujud dalam sikap

menolong”5, ungkap Tomy Henriyanto keturunan Tionghoa warga Kampung Sudiroprajan.

4 Wawancara dengan Dwi Gendro Sutrisno masyarakat Jawa panitia Grebeg Sudiro tanggal 26 Agustus 2017 pukul 5:20 PM 5 Wawancara dengan Tomy Henriyanto keturunan Tionghoa warga Kampung Sudiroprajan tanggal 26 Agustus 2017 pukul 3:40 PM

Page 4: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15924/5/T1_362014057_BAB V.pdf · 3 Wawancara dengan Didik masyarakat Jawa panitia Grebeg Sudiro 25 Agustus

48

Dari uraian di atas dijadikan sebagai pembanding komparasi antara nilai

masyarakat Jawa dan keturunan Tionghoa yang ternyata keduanya memiliki kesamaan

yang sehingga dapat menimbulkan kerukunan. Hal ini juga didorong dengan adanya

media Grebeg Sudiro, bahwa masyarakat Jawa bersikap terbuka namun tetap menjaga

kelestarian nilai-nilai Jawa, begitu sebaliknya keturunan Tionghoa bersikap terbuka

namun tetap menjaga kelestarian nilai-nilai Tionghoa.

Sehingga Grebeg Sudiro telah tumbuh menjadi dialog elegan Jawa – Tionghoa,

dan bukan bagian dari ritual imlek, tapi sebuah media untuk dapat lebih memperkuat

tali persaudaraan masyarakat dan harmonisasi sosial setempat6, ujar Dwi Gendro Sutrisno

masyarakat Jawa panitia Grebeg Sudiro.

Event Grebeg Sudiro kini dirasakan menjadi milik semua warga kota Solo

karena selain kesenian khas warga keturuan Tionghoa, juga ditampilkan kesenian

Jawa. Perbedaan yang ada tidak menjadi penghalang untuk merajut kebersamaan.

“Perbedaan jangan disikapi secara negatif, tetapi dibingkai dengan kebersamaan

agar menjadi harmonis”7, ujar Donny Mahesa Widjaja keturunan Tionghoa panitia Grebeg

Sudiro.

Dalam Grebeg Sudiro sendiri yang harus ada dalam setiap tahunnya yaitu kirab

umbul mantram, carnival budaya, umbul donga dan kembang api. Kirab umbul

mantram yaitu menghormati adat Jawa, sehingga setiap kirab pejawen, peserta tidak

hanya dari masyarakat Jawa saja melainkan keturunan Tionghoa dan Klenteng juga

berpatisipasi, dan malamnya biasanya ada pertunjukkan wayang, carnival budaya

dengan upacara keagamaan di klenteng, umbul donga atau malam sedekah bumi sendiri

merupakan tradisi upacara dalam aspek religius, pesan keagamaan atau religiusitas

disampaikan dalam ritual upacara adat ini.

“Biasanya dilakukan pada malam hari, ritual dimulai dengan masyarakat

Sudiroprajan berjalan kaki bersama dari depan Kelurahan Sudiroprajan berjalan kaki

bersama dari depan Kelurahan Sudiroprajan dan mengelilingi kampung-kampung di

Sudiroprajan sampai tempat “Buk Teko”, dilanjutkan dengan doa mohon keselamatan

6 Wawancara dengan Dwi Gendro Sutrisno masyarakat Jawa panitia Grebeg Sudiro tanggal 26 Agustus 2017 pukul 5:20 PM 7 Wawancara dengan Donny Mahesa Widjaja keturunan Tionghoa warga Kampung Sudiroprajan tanggal 26 Agustus 2017 pukul 1:19 PM

Page 5: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15924/5/T1_362014057_BAB V.pdf · 3 Wawancara dengan Didik masyarakat Jawa panitia Grebeg Sudiro 25 Agustus

49

di Buk Teko yang dipimpin dari masing-masing perwakilan agama, antara lain Islam,

Kristen, Kong Hu Chu, lalu Kejawen dengan tujuan ucapan syukur kepada Tuhan dan

berterimakasih pada bumi atas apa yang telah dihasilkan di bumi, diakhiri dengan

makan bersama dan kembang api untuk penutupan supaya lebih meriah”8, ujar Debora

Septiana keturunan Tionghoa panitia Grebeg Sudiro.

Hal ini dikaitkan dengan teori Identitas Sosial yang menyatakan bahwa

kelompok di mana kita menjadi anggota merupakan bagian integral dari konsep diri

kita. Adanya kelompok memungkinkan kita mengelola konsep diri dengan cara

mengelola keanggotaan tersebut memberikan identitas sosial yang memberikan rasa

aman. Bahwa dapat terlihat sebuah kelompok antara masyarakat Jawa dan keturunan

Tionghoa di kampung Sudiroprajan bahwa tidak memandang ras antar satu sama lain,

sehingga masyarakat Jawa dan keturunan Tionghoa menjadi satu kesatuan dan menjadi

integral dari masyarakat Jawa dan begitu sebaliknya, dan terjalin rasa aman antar satu

sama lain di Kampung Sudiroprajan, hal ini dibuktikan dengan pola-pola wujud

keharmonisan yang terlihat dalam tradisi Grebeg Sudiro antara masyarakat Jawa

dengan keturunan Tionghoa antara lain sebagai berikut:

5.2.1 Kue Keranjang

Pola-pola dari keharmonisan ini juga dapat disampaikan melalui simbol, yaitu

gunungan kue ranjang. Gunungan merupakan susunan berbagai bahan pangan dan

makanan yang ditata berbentuk kerucut menyerupai gunung. Gunungan ini nantinya

akan dirayah atau diperebutkan oleh penonton acara, umumnya sebagai tanda syukur.

Gunungan menjadi penanda paling menonjol dalam upacara grebeg yang dilakukan

pihak kraton Jawa, yaitu pada upacara grebeg (atau garebeg) Mulud (sebagai bagian

rangkaian perayaan Sekaten), grebeg Sawal, dan grebeg Besar. Terdapat beberapa

macam gunungan dan penyertanya yang diarak pada upacara grebeg. Dua macam

gunungan yang selalu muncul dalam acara grebeg adalah gunungan

lanang/jaler/kakung (laki-laki) dan gunungan wadon/estri (perempuan). Dua macam

8 Wawancara dengan Debora Septiana keturunan Tionghoa panitia Grebeg Sudiro tanggal 27 Agustus 2017 pukul 3:22 PM

Page 6: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15924/5/T1_362014057_BAB V.pdf · 3 Wawancara dengan Didik masyarakat Jawa panitia Grebeg Sudiro 25 Agustus

50

gunungan lain adalah gunungan darat dan gunungan pawuan. Keempat gunungan ini

akan diperebutkan oleh massa setelah didoakan. Satu gunungan istimewa yang hanya

diarak setiap delapan tahun (sewindu) sekali, pada tahun Dal penanggalan Jawa, yaitu

gunungan kutug atau bromo. Gunungan ini dilengkapi dengan dupa di bagian

puncaknya dan tidak untuk diperebutkan massa. Penyerta gunungan yang juga diarak

adalah picisan, songgom, tebok angkring, dan keranjang berisi beras. Penyerta ini

adalah persembahan yang akan diberikan kepada petugas upacara di masjid. Dalam hal

ini juga serupa dengan Grebeg Sudiro.

Gunungan kue keranjang sebagai brand atau ciri khas dari perayaan Grebeg

Sudiro. Gunungan bagi masyarakat Jawa, memang menjadi symbol kehidupan spiritual

yang hingga kini masih hidup dalam keseharian. Terlihat bahwa dalam gunungan

berupa kue keranjang yang merupakan kue khas keturunan Tionghoa saat merayakan

tahun baru Imlek. Sedangkan gunungan merupakan dari masyarakat Jawa. Seperti

halnya dalam acara tradisi Sekaten dalam budaya masyarakat Jawa yang terdapat dua

buah gunungan jaler dan gunungan Estri. Puncak perayaan ini adalah rebutan

makanan, hasil bumi, atau lainnya yang biasanya disusun seperti gunung. Tradisi

rebutan ini didasari oleh falsafah jawa ora obah ora mamah, jika tidak berusaha tidak

akan mendapat makanan.

“Sedangkan bentuk gunung merupakan wujud rasa syukur kepada Tuhan,

filosofi berebut atau ngrayah ini menggambarkan bahwa untuk mencapai suatu tujuan,

manusia harus ngrayah atau berusaha untuk mengambilnya9, ujar Jawul masyarakat Jawa

salah satu pendiri Grebeg Sudiro.

9 Wawancara dengan Jawul masyarakat Jawa salah satu pendiri Grebeg Sudiro tanggal 28 Agustus 2017 pukul 4:30 PM

Page 7: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15924/5/T1_362014057_BAB V.pdf · 3 Wawancara dengan Didik masyarakat Jawa panitia Grebeg Sudiro 25 Agustus

51

Gambar 1

Warga Kampung Sudiroprajan sedang membawa gunungan kue

keranjang yang berbentuk pagoda.

Sumber: media.viva. Diunduh 4 Desember 2017 pukul 8:15 AM

Gambar 2

Warga Kampung Sudiroprajan sedang membawa kue keranjang yang

berbentuk gunungan kerucut.

Sumber: kota.surakarta. Diunduh 4 Desember 2017 pukul 9:13 AM

Page 8: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15924/5/T1_362014057_BAB V.pdf · 3 Wawancara dengan Didik masyarakat Jawa panitia Grebeg Sudiro 25 Agustus

52

Gambar 3

Warga Kampung Sudiroprajan sedang membawa kue keranjang yang

berbentuk rumah joglo.

Sumber: kota.surakarta. Diunduh 4 Desember 2017 pukul 9:13 AM

Bentuk gunungan kue keranjang berupa pagoda, gunungan kerucut, dan

rumah joglo karena mewakili dan masih menonjolkan ciri khas budaya dari masing-

masing etnis. Gunungan kue keranjang menjadi brand dan gunungan utama dalam

Grebeg Sudiro selain menjadi kue khas keturunan Tionghoa yang menjadi bagian dari

makanan dalam menjelang Imlek, kue keranjang juga mempunyai filosofi. Menurut

Haryanto Ko Hok Sing

“Kepercayaan masyarakat China, kue keranjang disajikan mulai enam hari

sebelum perayaan Tahun Baru Imlek sebagai kue persembahan. Pasalnya pada hari

tersebut, Dewa Dapur atau Cau Kun Kong yang dipercaya setiap harinya mengawasi

dapur setiap rumah akan singgah lalu naik ke langit. Nah, sajian legit dan kenyal itu

dibuat untuk menyenangkan Dewa Dapur. Dibuat manis, filosofinya agar Dewa Dapur

melaporkan yang manis-manis kepada Tuhan”10.

Diawalai start dari Pasar Besar dan finish di situ juga. Setelah para peserta

dan pendukung acara sampai di finish, menandakan puncak acara Grebeg Sudiro segera

10 Wawancara dengan Haryanto Ko Hok Sing keturunan Tionghoa salah satu pendiri Grebeg Sudiro tanggal 28 Agustus 2017 pukul 6:23 PM

Page 9: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15924/5/T1_362014057_BAB V.pdf · 3 Wawancara dengan Didik masyarakat Jawa panitia Grebeg Sudiro 25 Agustus

53

berakhir, dan berakhirnya Grebeg Sudiro ditandai dengan rebutan kue keranjang yang

diincar oleh warga sekitar dan penonton yang diyakini membawa berkah. Total

sebanyak 4.000 buah kue keranjang ditata dalam gunungan berbagai bentuk, mulai dari

gunungan biasa hingga yang berbentuk pagoda. Tak hanya kue keranjang, berbagai

panganan khas kampung Sudiroprajan turut disiapkan dalam gunungan yang berbeda,

seperti bakpao, gembukan, cakue, bakmi, dan onde-onde.

5.2.2 Wushu

Wushu merupakan ilmu bela diri yang berasal dari negara Tiongkok.

“Wushu secara harafiah berasal dari dua kata, yaitu “Wu” dan “Shu”. Arti dari

kata “Wu” adalah ilmu perang, sedangkan arti kata “Shu” adalah seni”11, ungkap

Murdiarti pelatih dan pemain Wushu .

Sehingga Wushu bisa juga diartikan sebagai seni untuk bertempur/bela diri.

Wushu sendiri lebih menunjuk kepada suatu keahlian dan keuletan yang khusus dan

teruji unggul, misalnya keahlian memasak, keahlian bercocok tanam, dan lain-lain.

Ilmu bela diri Wushu pada mulanya berkembang dari kebutuhan dan kemampuan

manusia untuk bertahan hidup, baik untuk membela diri dari berbagai jenis serangan

binatang buas, berburu untuk mendapatkan makanan, maupun untuk berperang

melawan kelompok manusia lain yang dianggap menjadi ancaman terhadap keamanan

hidup mereka. Adanya lima Elemen Wushu air, kayu , api, tanah, dan logam. Hubungan

berbagai unsur dalam Wushu adalah air mendinginkan api, api menempah logam,

logam memotong kayu, kayu tumbuh dari bumi, bumi mengontrol air. Jadi, semua

unsur ini saling berhubungan satu sama lain. Wushu pada dasarnya terdiri dari dua

disiplin ilmu, yakni Taolu artinya jurus/style) dan Sanda/sanshou artinya

tarung/sparring). Dalam Taolu, terbagi menjadi dua jenis juga, yakni menggunakan

tangan kosong dan senjata (pendek-panjang).

11 Wawancara dengan Murdiarti pelatih dan pemain Wushu tanggal 29 Agustus 2017 pukul 3:45 PM

Page 10: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15924/5/T1_362014057_BAB V.pdf · 3 Wawancara dengan Didik masyarakat Jawa panitia Grebeg Sudiro 25 Agustus

54

Gambar 4

Perkumpulan Masyarakat Surakarta sedang menunjukkan aksi Wushu

pada saat Grebeg Sudiro berlangsung.

Sumber: ytimg. Diunduh 4 Desember 2017 pukul 10:23 AM

Penampilan atraksi atlet seni beladiri wushu khas negeri Tiongkok. Para

peserta berasal dari Perkumpulan Masyarakat Surakarta, menampilkan gerakan-

gerakan atraktif khas jurus beladiri wushu lengkap dengan alat-alat yang digunakan

dalam beladiri ini seperti pedang, golok, dan toya.

Bahwa kita dapat melihat walaupun ilmu bela diri berasal dari negara

Tiongkok, namun untuk peserta tidak hanya dari keturunan Tionghoa melainkan kita

berbaur antar sama lain antara masyarakat Jawa dan keturunan Tionghoa sehingga

bahwa adanya rasa toleransi antar satu sama lain dan berkomunikasi juga enak, kita

memiliki ciri khas dan keragaman12, ungkap Murdiarti pelatih/pemain Wushu.

Mary Jane Collier dan Milt Thomas (2009: 260-261) menggabungkan

etnografi komunikasi dan konstruksi sosial dan dari situ mengusulkan beberapa sifat

pengesahan, atau penciptaan, identitas budaya yang terlihat dalam teks komunikasi.

Mereka berpendapat bahwa pesan individu selama interaksi mungkin mengandung

12 Wawancara dengan Murdiarti pelatih dan pemain Wushu tanggal 29 Agustus 2017 pukul 4:45 PM

Page 11: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15924/5/T1_362014057_BAB V.pdf · 3 Wawancara dengan Didik masyarakat Jawa panitia Grebeg Sudiro 25 Agustus

55

banyak jenis identitas budaya, seperti nasional, rasial, etnis, kelas terkait, jenis kelamin

dan jenis kelamin, politik, dan agama. Menunjukan bahwa lewat dengan ilmu bela diri

Wushu dapat menciptakan identitas budaya, bahwa pemain Wushu sendiri tidak hanya

keturunan Tionghoa saja melainkan masyarakat Jawa juga ikut menjadi pemain

tersebut dan itu sudah terlihat sebagai identitas budaya yang dapat komunikasi

disampaikan ke pemain dan warga Kampung Sudiroprajan serta warga kota Solo.

5.2.3 Barongsai dan Liong

Budaya keturunan Tionghoa peranakan yang tinggal di Kampung

Sudiroprajan dibangun bersama antara budaya Tionghoa dan budaya Jawa. Identitas

budaya keturunan Tionghoa di Solo dihasilkan dari pembauran. Sealin perkawinan

campur, perekat pembauran yang lain adalah agama, sosial kemasyarakat dan kesenian.

Bidang kesenian contohnya Barongsai, produk kesenian Tionghoa ini ternyata banyak

melibatkan orang masyarakat Jawa sebagai pemainnya. Pelaksanaan penampilan

kesenian Barongsai mengalami perubahan pada nama dan tambahan tata cara

pelaksanaannya. Nama asli Barongsai adalah Samsi.

“Barong” diambil dari istilah Jawa yang berarti topeng dan “say” penyesuaian

“si” dari “samsi”. Tambahan dalam tata cara pelaksanaan bersifat spiritual seperti

halnya sembahyang dan persembahan (sesaji). Sedangkan menurut tata cara

pelaksanaan yang sesai dari asalanya tidak memakai sembahyang dan sesaji. Liong

hanya mengalami tambahan tata cara pelaksaan seperti halnya barongsai”13, ujar Gelek

masyarakat Jawa pelatih dan peserta Barongsai.

Tata cara pementasan Barongsai dan Liong sudah banyak dimodifikasi, kalau

aslinya malah tidak seperti yang ada di Solo, hal ini sudah banyak sekali yang sudah

disesuaikan dengan orang-orang keturunan Tionghoa yang sudah lama berada di sini.

Mereka sudah membuat semacam modifikasi sehingga dapat diterima masyarakat

Solo.

13 Wawancara dengan Gelek masyarakat Jawa pelatih dan peserta Barongsai tanggal 30 Agustus 2017 pukul 8:30 AM

Page 12: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15924/5/T1_362014057_BAB V.pdf · 3 Wawancara dengan Didik masyarakat Jawa panitia Grebeg Sudiro 25 Agustus

56

Gambar 5

Warga Kampung Sudiroprajan sedang memainkan Barongsai.

Sumber: pesona indonesia. Diunduh 4 Desember 2017 pukul 11:08 AM

Gambar 6

Warga Kampung Sudiroprajan sedang memainkan Liong.

Sumber: solopos. Diunduh 4 Desember 2017 pukul 11:15 AM

Page 13: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15924/5/T1_362014057_BAB V.pdf · 3 Wawancara dengan Didik masyarakat Jawa panitia Grebeg Sudiro 25 Agustus

57

Dalam misi ritual, Barongsai dan Liong yang dimainkan biasanya dominan

dengan warna hitam dan putih atau merah dan putih sebagai unsur symbol Iem dan

Yang karena dipercaya sebagai penolak bala.

“Barongsai dan Liong yang akan dimainkan sebelumnya yang di bawa ke

Klenteng atau Lithang (tempat ibadah Khonghucu) untuk disembahyangkan dan diberi

Hu (kertas kuning bertuliskan huruf mandarin) yang dipercaya sebagai jimat penolak

bala, selain itu diikatkan pula seuntai daun jeruk yang dipercaya akan membawa

kesejukan, keteduhan, dan kenyamanan bagi uma manusia”14, ungkap Gelek masyarakat

Jawa pelatih dan peserta Barongsai.

“Pada kening Barongsai dan Liong terdapat tulisan Wang yang berarti Raja

yang dalam tulisan atau huruf Cina nya tulisan tersebut terdiri atas 3 garis mendatar

dengan satu garis vertical yang melambangkan bahwa kita sebagai manusia tidak bisa

terlepas dari tiga unsur yaitu Tuhan, Alam, dan Makhluk hidup dengan satu hokum

Tuhan sebagai penghubung, maknanya kita harus mampu berdaptasi dengan

lingkungan untuk mencapai kebahagiaan”15, ungkap Gelek masyarakat Jawa pelatih dan

peserta Barongsai.

Modifikasi penampilan Barongsai dan Liong dalam Grebeg Sudiro terlihat

juga dalam alat musik yang digunakan. Unsur music di dalam setiap pementasan

kesenian Barongsai dan Liong mempunyai peranan yang sangat penting, karena

instrumen musik merupakan unsur-unsur yang dapat mengatur gerakan-gerakan dari

pemain Barongsai dan Liong yang sedang melakukan atraksi. Pada awalnya musik

hanya berupa bunyi-bunyian yang berasal dari alat-alat apa saja yang apabila dipukul

bisa mengeluarkan bunyi. Seiring dengan perkembangan kesenian Barongsai dan

Liong tersebut, maka alat-alat musik yang digunakan untuk mengiringi juga mengalami

perubahan.

“Alat-alat musik yang digunakan sekarang ini lebih bernada dengan cara

memukul yang menggunakan aturan atau irama dan tidak hanya asal dipukul sehingga

akan terdengar nada-nada yang indah berirama dan akan tercipta perpaduan yang

14 Wawancara dengan Gelek masyarakat Jawa pelatih dan peserta Barongsai tanggal 30 Agustus 2017 pukul 9:30 AM 15 Wawancara dengan Gelek masyarakat Jawa pelatih dan peserta Barongsai tanggal 30 Agustus 2017 pukul 9:40 AM

Page 14: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15924/5/T1_362014057_BAB V.pdf · 3 Wawancara dengan Didik masyarakat Jawa panitia Grebeg Sudiro 25 Agustus

58

dinamis antara musik dan gerakan atraksi Barongsai dan Liong yang sedang

dipentaskan”16, ungkap Gelek masyarakat Jawa pelatih dan peserta Barongsai.

Alat musik yang digunakan untuk mengiringi tarian Barongsai dan Liong

yang dikolaborasi dengan alat musik tradisional antara lain tambur atau gendering,

simbal, dan bende atau gong. Biasanya setiap penampilan Barongsai dan Liong secara

bersamaan, untuk membedakan antara musik pengiring Barongsai dan Liong, maka

alat musik yang digunakan dibedakan, agar tidak terjadi kericuan dalam gerak

tariannya. Nada musik untuk Barongsai terkesan ritmenya lebih lambat dan suaranya

lebih mantap, sedangkan untuk Liong lebih cepat. Ritme musik pengiring disesuaikan

dengan adegan-adegan tarian Barongsai dan Liong, karena setiap kali pentas Barongsai

dan Liong selalu menampilkan adegan-adegan yang diwujudkan dalam gerakan tarian.

Barongsai biasanya menampilkan adegan seperti pada saat adegan tidur, maka musik

pengiringnya lebih lambat, pada agenda makan dan adegan kegirangan maka musik

pengiringnya lebih meriah dan adegan marah dengan musik yang lebih keras dan

dengan tempo yang lebih cepat. Dalam tarian Liong juga ada beberapa adegan seperti

adegan mengejar bola mustika, adegan meliuk-liuk, adegan melingkar, musik

pengiringnya juga disesuaikan dengan adegan tersebut. Stryker menyatakan premis

pertama adalah perilaku didasarkan pada sebuah klasifikasi penamaan. Nama atau

istilah kelas tersebut melekat pada aspek lingkungan, baik fisik maupun sosial dan

membawa makna dalam bentuk ekspektasi perilaku bersama yang tumbuh dari

interaksi sosial. Bahwa di Kampung Sudiroprajan salah satu lewat kebudayaan

Barongsai dan Liong yang ada di Grebeg Sudiro antar msayarakat Jawa dan Keturunan

Tionghoa dapat terjalin interaksi sosial dan memberikan makna tersendiri. Sehingga

dapat melihat antara masyarakat Jawa dan keturunan Tionghoa saling bersatu dalam

Grebeg Sudiro dari segi ritual atau persembahan, agama, dan kesenian bahwa satu sama

lain saling menjaga keharmonisan sosial.

16 Wawancara dengan Gelek masyarakat Jawa pelatih dan peserta Barongsai tanggal 30 Agustus 2017 pukul 10:05 AM