BAB I - syair79.files.wordpress.com file · Web viewKepolisian Negara Republik Indonesia, ......
Transcript of BAB I - syair79.files.wordpress.com file · Web viewKepolisian Negara Republik Indonesia, ......
BAB IPENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.
Kepolisian Negara Republik Indonesia, adalah salah satu institusi
pemerintah yang bertugas sebagai ujung tombak penegakan hukum di
Indonesia. Tugas yang diemban ini tidaklah ringan karena akan
berhadapan dengan masyarakat.
Penegakan hukum, bukan saja masyarakat harus sadar hukum dan
taat hukum, tetapi lebih bermakna pada pelaksanaan hukum sebagaimana
mestinya dan bagi yang melanggar harus pula ditindak menurut prosedur
dan ketentuan hukum yang berlaku.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Indonesia, bila dikaji secara mendalam ternyata berisi harapan-harapan,
yang diarahkan pada hal-hal sebagai berikut :
(1) Terwujudnya aparatur kepolisian yang mandiri, berkualitas dan
profesional.
(2) Terlaksana tugas dan tanggung jawab kepolisian dengan baik, benar
dan berkualitas, dengan mengedepankan keadilan, kepolisian hukum
dan hak-hak azasi manusia.
1
(3) Terwujudnya ketertiban, keamanan, kedamaian dalam masyarakat,
melalui peningkatan kesadaran hukum, ketaatan terhadap hukum dan
penegakan hukum sebagaimana mestinya.
Hukum sebagai suatu bentuk peraturan yang bersifat mengikat setiap
tingkah laku masyarakat, memerlukan suatu kepedulian masyarakat agar
setiap tingkah laku dan perbuatan baik dalam suatu badan organisasi,
pemerintahan, maupun dalam kehidupan sehari-hari hendaknya setiap
tingkah laku selalu dibatasi oleh suatu aturan agar tercipta suatu
keamanan dan ketertiban.
Polisi sebagai penegak hukum yang bertugas memelihara ketertiban
dan menjamin keamanan umum, memelihara keselamatan negara serta
memelihara keselamatan orang, benda dan masyarakat termasuk memberi
perlindungan dan pertolongan dan memberi serta mengusahakan ketaatan
warga negara dan masyarakat terhadap segala bentuk-bentuk peraturan.
Hasil observasi awal penulis menemukan bahwa di Polsek
Watubangga dalam melaksanakan penyidikan terhadap pelaku tindak
pidana minuman keras, banyak menemui permasalahan-permasalahan,
baik permasalahan dari segi personil penyidik yang ada di Polsek
Watubangga yang masih kurang, pelaksanaan penyidikan terhadap pelaku
tindak pidana minuman keras yang sering menghilangkan barang bukti
penyidikan.
2
Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka sebagai suatu daerah
yang sedang membangun untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
agar dapat menjadi suatu daerah kecamatan yang didambakan oleh setiap
warga masyarakat, memerlukan suatu bentuk penanganan yang serius
dari penegak hukum, agar kesadaran hukum masyarakat terhadap segala
bentuk kejahatan yang dapat menghambat pembangunan agar diatasi,
karena pembangunan tidak bisa berjalan dengan baik apabila masyarakat
dan penegak hukum tidak berdampingan.
Oleh karena itu polisi bertujuan untuk mengayomi masyarakat,
hendaknya dapat melaksanakan tugas sesuai dengan ketentuan-ketentuan
yang telah ditetapkan dalam undang-undang, agar pelaksanaan tugas
kepolisian tidak menyimpang sehingga masyarakat tidak selalu
menyalahkan petugas kepolisian apabila ada hal-hal yang sifatnya berada
diluar dari fungsi dan wewenang polisi itu sendiri.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis melakukan
pengkajian secara ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul “
Pelaksanaan Penyidikan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Minuman
Keras “ ( Studi Kasus di Polsek Watubangga Kabupaten Kolaka ).
3
1.2. Rumusan Masalah.
Permasalahan yang akan di bahas dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pelaksanaan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana
minuman keras di Polsek Watubangga Kabupaten Kolaka ?
2. Hambatan-hambatan apakah yang dialami oleh Polsek Watubangga
dalam pelaksanaan penyidikan terhadap tindak pidana minuman keras?
3. Upaya-upaya apakah yang dilakukan Polsek Watubangga untuk
mengatasi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan penyidikan
terhadap pelaku tindak pidana minuman keras ?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pelaksanaan penyidikan terhadap pelaku
tindak pidana minuman keras di Polsek Watubangga Kabupaten
Kolaka.
2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dialami oleh
Polsek Watubangga dalam pelaksanaan penyidikan terhadap
pelaku tindak pidana minuman keras.
3. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan Polsek
Watubangga untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam
pelaksanaan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana minuman
keras.
4
1.3.2. Manfaat Penelitian
1. Sebagai sumber informasi dalam pengembangan di bidang
pengetahuan hukum terutama menyangkut tugas dan wewenang
dalam penyidikan terhadap pelaku tindak pidana minuman keras
di Polsek Watubangga Kabupaten Kolaka.
2. Sebagai bahan perbandingan bagi peneliti berikutnya dalam
melakukan penelitian tentang pelaksanaan penyidikan terhadap
pelaku tindak pidana di Polsek Watubangga Kabupaten Kolaka.
5
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tugas dan Fungsi Kepolisian
Pengertian Kepolisian, menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002, adalah Institusi Negara yang diberikan tugas, fungsi dan
kewenangan tertentu, untuk menjaga keamanan, ketertiban dan
mengayomi masyarakat.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, maka
jajaran kepolisian, semakin dituntut untuk mampu memberikan pelayanan
yang sebaik-baiknya kepada masyarakat dan sekaligus mewujudkan
ketentraman ditengah-tengah masyarakat.
Tugas Kepolisian yang begitu mulia tersebut, maka dapat
diwujudkan apabila aparaturnya mampu melaksanakan tugas-tugasnya
dengan baik, benar dan bertanggungjawab, dengan memberikan
pelayanan pada masyarakat secara optimal.
Sehubungan dengan itu, maka Rahman Rahim, (2000:16),
menyatakan bahwa tugas yang diembang oleh institusi Kepolisian sangat
berat, sehingga sangat diperlukan aparatur yang handal, agar semua
tugas-tugas dimaksud dapat dilaksanakan dengan baik dan efektif.
Tugas kepolisian adalah merupakan bagian dari pada Tugas Negara
dan untuk mencapai keseluruhannya tugas itu, maka diadakanlah
6
pembagian tugas agar mudah dalam pelaksanaan dan juga koordinasi,
karena itulah di bentuk organisasi polisi yang kemudian mempunyai tujuan
untuk mengamankan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat
yang berkepentingan, terutama mereka yang melakukan suatu tindak
pidana.
Menurut G. Gewin (Djoko Prakoso,1987:136) Tugas Polisi adalah
sebagai berikut :
“Tugas polisi adalah bagian daripada tugas negara perundang-undangan dan pelaksanaan untuk menjamin tata tertib ketentraman dan keamanan, menegakkan negara, menanamkan pegertian, ketaatan dan kepatuhan”.
Tugas polisi dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Polisi Negara Republik Indonesia, telah
ditentukan didalamnya yakni dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1961, (1985 : 2) menyatakan sebagai berikut :
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia, selanjutnya disebut Kepolisian Negara ialah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas memelihara keamanan dalam negeri.
(2) Kepolisian Negara dalam menjalankan tugasnya selalu menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara.
Dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974
dalam butir 31 butir a (Djoko Prakoso.1987:183) menyebutkan tugas dari
kepolisian adalah sebagai berikut :
“Kepolisian Negara Republik Indonesia disingkat Polri bertugas dan bertanggung jawab untuk melaksanakan : segala usaha dan kegiatan sebagai alat negara dan penegak hukum terutama dibidang
7
pembinaan keamanan da ketertiban masyarakat, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 dan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1969”.
Dari berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
tugas Polisi Republik Indonesia seperti yang disebutkan di atas, maka
jelaslah bahwa tugas Polisi Republik Indonesia sangat luas yang
mencakup seluruh instansi mulai dari Departemen Pertahanan Keamanan
sampai pada masyarakat kecil semua membutuhkan polisi sebagai
pengaman dan ketertiban masyarakat.
Untuk melaksanakan tugas dan membina keamanan dan ketertiban
masyarakat, Polisi Republik Indonesia berkewajiban dengan segala usaha
pekerjaan dan kegiatan untuk membina keamanan dan ketertiban
masyarakat.
Polisi sebagai pengayom masyarakat yang memberi perlindungan
dan pelayanan kepada masyarakat bagi tegaknya ketentuan peraturan
perundang-undangan, tidak terlepas dari suatu aturan yang mengikat untuk
melakukan suatu tindakan dalam pelaksanaan tugasnya yang telah
digariskan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 pada Bab III,
bahwa kewajiban dan wewenang kepolisian dalam menjalankan tugasnya
harus bersedia ditempatkan di mana saja dalam Wilayah Negara Republik
Indonesia.
8
2.2. Wewenang Penyidik Polri
Sebelum peneliti menguraikan lebih jauh tentang wewenang seorang
penyidik, maka sangatlah penting untuk diketahui siapa dapat yang
menjadi penyidik. Pasal 1 butir 1 KUHAP memberikan batasan tentang
penyidik.
“Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”. Penyidik dalam melakukan tugas, harus memenuhi syarat-syarat
kepangkatan yang telah ditentukan. Syarat kepangkatan seorang penyidik
dalam melakukan penyidikan diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang
Pelaksanaan KUHAP Nomor 27 Tahun 1983. Adapun syarat-syarat
tersebut dijelaskan dalam Pasal 2 yang berbunyi :
(1) Penyidik adalah :a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang sekurang-kurang
berpangkat pembantu Letnan Dua Polisi.b. Pejabat pegawai negeri tertentu yang sekurang-kurangnya
berpangkat pengatur muda Tk. I (golongan II/b) atau yang disamakan dengan itu.
(2) Dalam sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik sebagai dimaksud pada ayat (1) huruf a, maka komandan sektor kepolisian bintara dibawah pembantu letnan dua polisi karena jabatannya adalah penyidik.
(3) Penyidik Sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, ditunjukan oleh kepala kepolisian negara republik indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Wewenang penunjukkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
9
(5) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, diangkat oleh Menteri atas usul dari Departemen yang membawahi pegawai negeri tersebut.
(6) Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dapat dilimpahkan kepada pejabat yang ditunjuk oleh menteri.
Dari wewenang di atas dapatlah dikatakan bahwa penyidik adalah
pejabat kepolisian, baik karena ia diangkat oleh komandannya. Hal ini
berarti bahwa syarat kepangkatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal
2 ayat (1) butir a PP. Nomor 27 Tahun 1983 tidak mutlak diterapkan
dalam praktek. Oleh karena pelaksanaan penyidik dan penyelidikan
dibutuhkan jumlah polisi (penyidik atau penyidik pembantu) yang
memadai.
KUHAP memberikan ketegasan dan membedakan antara
penyelidikan dan penyidikan. Pasal 4 dan Pasal 5 KUHAP mengatur
tentang pejabat yang menjalankan kewajiban-kewajiban penyelidikan.
Sedangkan Pasal 6, 7, dan 8 KUHAP dijelaskan mengenai pejabat yang
menjalankan kewajiban sebagai penyidik. Tugas penyelidikan yang
dilakukan oleh penyidik merupakan monopoli tunggal bagi Polri. Hal ini
cukup beralasan untuk menyederhanakan dan memberi kepastian
kepada masyarakat siapa yang berhak melakukan penyelidikan,
kemudian menghilangkan kesimpangsiuran penyelidik oleh aparat
penegak hukum sehingga, tidak lagi terjadi tumpang tindih, juga
merupakan efisiensi tindakan penyelidikan.
10
Mengenai tugas dan wewenang penyelidik dapat dilihat dalam Pasal 5
KUHAP, yang berbunyi :
Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. Karena
kewajibannya mempunyai wewenang :
1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang.2) Mencari keterangan dan barang bukti.3) Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan
serta memeriksa tanda pengenal diri.4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggungjawab.
Pasal ini membedakan antara laporan dan pengaduan padahal
kedua-duanya merupakan pemberitahuan kepada yang berwajib yakni
polri tentang adanya kejahatan atau pelanggaran yang sering terjadi atau
telah selesai. Perbedaan dapat peneliti kemukakan sebagai
berikut :
Pada laporan pemberitahuan tersebut merupakan hak atau
kewajiban yang harus disampaikan oleh setiap orang kepada yang
berwajib, yaitu kepolisian negara. Dalam hal yang dilaporkan merupakan
tindak pidana umum. Pada pengaduan, pemberitahuan tersebut
merupakan hak atau kewajiban oleh seorang tertentu yang disampaikan
kepada yang berwajib dengan permintaan agar yang berwajib melakukan
tindakan, hal yang diadukan merupakan tindak pidana umum.
Dari perbedaan tersebut yang terpenting adalah bagaimana sikap
dan kewajiban penyidik dalam menghadapi laporan atau pengaduan
11
untuk menjawab persoalan ini, Pasal 102 sampai dengan Pasal 105
sebagai berikut :
Pasal 102 KUHAP.
(1) Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.
(2) Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana tersebut dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b.
(3) Terhadap tindakan yang dilakukan tersebut pada Pasal 5 ayat (1), dan ayat (2) penyelidik wajib membuat berita acara dan melaporkan kepada penyidik daerah hukum.
Pasal 103 KUHAP.
(1) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditanda tangani oleh pelapor atau pengadu.
(2) Laporan atau pengadun yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyelidik dan ditanda tangani oleh prlapor atau pengadu dan penyelidik.
Pasal 104 KUHAP:
Dalam hal melaksanakan tugas penyidikan, penyelidik wajib menunjukan tanda pengenalnya.
Pasal 105 KUHAP:
Dalam melaksanakan tugas penyidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi dan diberi petunjuk oleh penyelidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a.
Melalui jawaban tersebut di atas maka perlu diperhatikan beberapa
faktor yang sangat menentukan sikap penyelidik dalam tugas menerima
laporan dan pengaduan. Bahwa laporan dapat diajukan sembarang waktu,
12
tetapi pengaduan dibatasi oleh undang-undang dalam arti bahwa
pengaduan tidak dapat diajukan sembarang waktu, yaitu waktu-waktu
tertentu. Bahwa laporan dapat dilakukan oleh setiap orang sedang
pengaduan hanya boleh orang tertentu saja. Bahwa pengaduan berisikan
bukan saja laporan akan tetapi juga diikuti, permintaan pengaduan agar
orang yang diadukan dituntut menurut hukum.
Dengan demikian jelaslah kiranya faktor-faktor tersebut pada
gilirannya menentukan pula kegiatan penyelidik dalam hal mencari
keterangan dan barang bukti. Dalam hal ini keterangan apa dan barang
bukti apa yang menjadi kewajiban penyelidik untuk diselidiki, tentu tidak
sembarangan.
Kewajiban penyelidik yang terdiri dari :
1) Mengenai laporan atau pengaduan, mencari keterangan dan barang bukti sebenarnya adalah masalah pembuktian apakah ada bukti-bukti yang dapat dipergunakan untuk mendukung penuntutan.
2) Menyuruh seorang yang dicurigai berhenti dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.
Bila ditelaah kewenangan tersebut serta dihubungkan dengan
maksud dan tujuan penyelidikan berdasar ketentuan undang-undang,
perlulah kita menarik pelajaran dari praktek yaitu :
a) Pelaksanaan wewenang, sebagai kelanjutan hal menerima laporan dan pengaduan.
b) Memergoki atau keadaan tertangkap tangan.
13
Bilamana penyidik menerima laporan mengenai terjadinya peristiwa
pidana yang serius.
Sebagai contoh peristiwa pembunuhan sedang pelakunya telah siap
untuk melarikan diri bila keadaan menghendaki, maka penyelidik memiliki
kewenangan untuk bertindak memeriksa dan menanyakan identitas
tersangka.
Seseorang yang tertangkap tangan karena melakukan kejahatan
memerlukan perhatian tertentu untuk kasus-kasus tertentu. Karena
tertangkap tangan atau kepergok pada satu pihak merupakan peristiwa
yang memperkuat pembuktian tentang siapa yang menjadi pelaku
kejahatan.
Kedua situasi di atas bila dibandingkan dengan dinamika masyarakat
adalah sedemikian rupa, sehingga polri tidak saja harus berhadapan
dengan peristiwa pidana tapi juga menjalankan tugas pencegahan dan
penertiban keamanan masyarakat. Disamping wewenang tersebut diatas,
penyelidik dapat mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggungjawab. Maksudnya adalah tindakan dari penyelidik harus
memenuhi syarat-syarat seperti, tidak bertentangan dengan aturan hukum,
tindakan itu harus masuk akal, atas pertimbangan yang layak berdasarkan
keadaan memaksa dan menghormati, hak asasi manusia.
14
Selanjutnya akan dikemukakan kewajiban dan wewenang penyelidik
dalam melakukan penyelidikan. Adapun kewajiban wewenang penyelidik
diatur dalam Pasal 7 KUHAP yaitu :
(1) Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajiban mempunyai wewenang :a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya
tindak pidana.b. Melakukan tindakan pertama pada saat itu ditempat kejadian.c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri tersangka.d. Melakukan penagkapan, penahanan, pengeledahan dan
penyitaan.e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang.g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau
tersangka.h. Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara.i. Mengadakan penghentian penyidikan.j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggungjawab.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukum masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a.
(3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.
Dalam hubungannya dengan kewajiban dan wewenang penyidik,
dapat kita lihat dalam Pasal 8 ayat (1), (2), (3) dan Pasal 75 ayat (1), (2),
(3) KUHAP. Didalam praktek berbagai variasi dapat terjadi. Tentu pelapor
atau pengadu tidak selalu dapat langsung menemui pejabat polri yang
berwenang melakukan penyidikan. Ada langsung menghadap kepada
15
Kepala Satuan Reserse atau kepada anggota pemeriksa. Pejabat-pejabat
itulah yang menentukan atau memberi instruksi mengenai kelanjutan
penyelidikan atau penyidikan.
2.3. Tindak Pidana Minuman Keras
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyatakan bahwa tindak
pidana minuman keras diatur dalam Pasal 300 dan Pasal 536 antara lain
bahwa :
Pasal 300 KUHP.
(1) Dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun atau
denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500 di hukum :
(a) Barang siapa dengan sengaja menjual atau menyuruh minum minuman-minuman yang memabukkan kepada seseorang yang telah kelihatan nyata mabuk.
(b) Barang siapa dengan sengaja membuat mabuk
seseorang anak yang umurnya dibawah 16 tahun.
(c) Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dengan sengaja memaksa orang akan minum minuman yang memabukkan.
(2) Kalau perbuatan itu menyebabkan luka berat pada tubuh,
sitersalah di hukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(3) Kalau sitersalah melakukan kejahatan itu dalam jabatannya ia
dapat dipecat dari pekerjaannya itu.
Pasal 536 KUHP.
(1) Barang siapa yang nyata mabuk ada dijalan umum dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp. 225.
16
(2) Jika pada waktu melakukan pelanggaran itu belum lalu satu tahun, sejak ketetapan hukuman yang dahulu bagi sitersalah lantaran pelanggaran berupa itu juga atau pelanggaran yang diterangkan dalam Pasal 492, maka hukuman denda itu dapat diganti dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga hari.
(3) Kalau pelanggaran itu diulang untuk kedua kalinya dalam 1 tahun sesudah ketetapan putusan hukuman yang pertama karena ulangan pelanggaran itu maka, dijatuhkan hukuman kurungan selama-lamanya dua minggu
(4) Kalau pelanggaran itu diulang untukketiga kalinya atau selanjutnya didalam 1 tahun sesudah ketetapan putusan hukuman yang kemudian sekali lantara ulangan pelanggaran untuk kedua kalinya atau selanjutnya, maka dijatuhkan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan.
Yang dimaksud dengan nyata mabuk atau kentara mabuk atau
kelihatan mabuk yaitu mabuk demikian rupa sehingga terlihat dan dapat
diketahui oleh setiap orang dan mengganggu perasaan pada orang-orang
di sekitarnya. Syarat-syaratnya sebagai berikut :
(a) Tersangka menghembuskan nafas yang berbau minuman keras
(bau alkohol)
(b) Tersangka berjalan dengan sempoyongan atau dengan tidak
berdaya roboh di jalanan; dan
(c) Bicara tidak karuan (kacau) atau tidak mampu sama sekali untuk
bicara.
Yang dikenakan Pasal tersebut di atas, terdakwa berada di jalan
umum. Jika didalam rumah, tidak dikenakan Pasal tersebut dan tugas
polisi yaitu mempertahankan ketertiban dan keamanan serta ketentraman
17
umum, dalam tugas ini termasuk pula menyingkirkan orang-orang kentara
mabuk dari jalan umum untuk dilindungi, ditahan sementara sampai
mereka sembuh kembali dari mabuknya. Berdasarkan pendapat ini, maka
biasanya oleh polisi orang yang mabuk di jalan umum itu dibawa dan
ditahan di kantor polisi.
Berbeda halnya, Peraturan Daerah Kabupaten Kolaka Nomor 16
Tahun 2004 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol
menyatakan bahwa minuman alkohol adalah minuman yang mengandung
alkohol yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung
karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa
destilasi baik dengan cara memberikan perlakuan terlebih dahulu atau
tidak, menambah bahan lain atau tidak, maupun yang diproses dengan
mencampur konsentrat dengan ethanol atau dengan cara pengeceran
minuman mengandung ethanol yang terbagi dalam tiga golongan yaitu :
(a) Golongan A :
Minuman kadar alkohol/ ethanol (C2H5OH) 1% sampai 5%
(b) Golongan B :
Minuman kadar alkohol/ ethanol (C2H5OH) 1% sampai 20%
(c) Golongan C :
Minuman kadar alkohol/ ethanol (C2H5OH) 1% sampai 55%
Tindak pidana minuman keras sebagaimana diatur dalam Perda
Nomor 16 Tahun 2004, yaitu apabila melanggar ketentuan dalam perda
18
tersebut, mulai dari jenis minuman keras yang dijual samapai kepada
peredarannya, sebagai berikut:
Jenis minuman beralkohol pada Pasal 10 jenis minuman beralkohol
yang boleh diedarkan di Kabupaten Kolaka yaitu Golongan A Minuman
kadar alkohol/ ethanol (C2H5OH) 1% sampai 5%
Pasal 11 Perda No.16 Tahun 2004.
(1) Pengedaran minuman beralkohol boleh dilakukan oleh distributor/sub distributor, yang telah mendapat izin dari Bupati Kolaka.
(2) Pengedaran minuman beralkohol yang dilakukan oleh distributor/ sub distributor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipasang stiker pada setiap botol/kaleng atau sejenisnya.
(3) Pemasangan stiker sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh distributor/sub distributor sebelum disalurkan.
(4) Stiker sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikeluarkan oleh pejabat yang ditunjuk oleh bupati.
(5) Volume dan jumah minuman beralkohol Golongan A yang akan diedarkan, ditetapkan sesuai kebutuhan miniman yang ditetapkan oleh Bupati.
Pasal 12 Perda No. 16 Tahun 2004.
Minuman beralkohol yang hanya boleh dijual di Kota Kolaka
sebagai ibu kota Kabupaten atau ditempat lain yang ditetapkan oleh
Bupati.
Pasal 13 Perda No. 16 Tahun 2004.
(1) Minuman beralkohol tidak boleh dijual di tempat umum seperti rumah makan, wisma, gelanggang olah raga, gelanggang remaja, kantin, kaki lima, terminal, stasiun, kios-kios kecil dan tempat /lokasi tertentu lainnya yang ditetapkan oleh Bupati.
19
(2) Tempat penjualan minuman beralkohol tidak boleh dekat dengan tempat ibadah, sekolah, rumah sakit dan perkantoran.
(3) Minuman alkohol tidak boleh dijual kepada anak dibawah umur, pelajar, dan anggota ABRI/Pegawai negeri.
Pasal 14 Perda No. 16 Tahun 2004.
(1) Batas waktu penjualan minuman beralkohol untuk penjualan di minum ditempat penjualan ditetapkan mulai jam 21.00 sampai jam 00.00.
(2) Batas waktu penjualan minuman beralkohol untuk diminum diluar tempat penjualan ditetapkan mulai jam 09.00 sampai dengan jam 21.00.
Pasal 33 Perda No. 16 Tahun 2004.
(1) Semua minuman beralkohol yang diedarkan, dalam botol/kemasan dengan mencantumkan stiker, jenis minuman, kadar alkohol, volume minuman sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Minuman beralkohol Golongan A adalah kolompok minuman beralkohol yang peredaran dan penjualannya ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan.
Pasal 34 Perda No. 16 Tahun 2004.
(1) Bupati melakukan pengawasan dan penerbitan peredaran minuman beralkohol di daerah dan tidak boleh dilakukan/ diberikan kepada perusahaan/swasta.
(2) Untuk mengawasi dan menerbitkan peredaran minuman beralkohol di daerah, Bupati dibantu oleh tim yang beranggotakan Instansi terkait di daerah.
(3) Tim memberikan pertimbangan kepada Bupati dalam memberikan Izin sebagaimana dimaksud Pasal 2 Peraturan Daerah ini.
(4) Tim sebagaimana dimaksud ayat (3) Pasal ini dibentuk
dengan keputusan Bupati.
20
Pasal 35 Perda No. 16 Tahun 2004.
Pribadi atau Badan Usaha yang menjual minuman beralkohol
berkewajiban untuk :
a. Menjaga ketertiban dan keamanan dalam ruangan
tempat penjualan
b. Meminta bantuan kepada petugas keamanan
untuk menertibkan dan mengamankan kegaduhan yang terjadi di
tempat penjualannya bila tidak dapat dicegah sendiri
c. Izin harus ditempelkan di tempat penjualan
sehingga mudah dilihat oleh umum
d. Harus ditempelkan peringatan ditempat penjualan
bahwa setiap orang yang meminum minuman beralkohol tidak boleh
berlebihan atau sampai mabuk
Pasal 36 Perda No. 16 Tahun 2004.
(1) Pengawasan dan penerbitan tempat penjualan minuman beralkohol sebagaimana dimaksud pada Pasal 27 dilakukan oleh bupati.
(2) Untuk mengawasi dan menertibkan tempat penjualan minuman beralkohol di daerah, Bupati dibantu oleh tim yang beranggotakan instansi terkait di daerah.
(3) Tim memberikan pertimbangan kepada Bupati dalam pemberian izin sebagaimana dimaksud peraturan daerah ini.
(4) Tim sebagaimana dimaksud ayat (2) Pasal ini dibentuk dengan keputusan Bupati.
Pasal 37 Perda No. 16 Tahun 2004.
21
Bupati berwewenang mencabut izin peredaran minuman beralkohol
yang telah doberikan atau mengurangi jumlah minuman beralkohol yang
diizinkan untuk diedarkan karena pertimbangan kepentingan umum
Bupati berwenang mencabut izin tempat penjualan minuman
beralkohol karena :
a. Bertentangan dengan kepentingan umum
b. Dianggap perlu untuk menjaga kepentingan umum
c. Bertentangan dengan peraturan perudangan yang berlaku.
Pasal 38 Perda No. 16 Tahun 2004.
Bupati dapat menghentikan penjualan minuman beralkohol karena
pertimbangan khusus, pada hari-hari tertentu karena dianggap akan
mengganggu ketentraman dan ketertiban masyarakat.
2.4. Alasan Pelaksanaan Penahanan Pelaku Tindak Pidana
Seorang yang di sangka atau diduga melakukan tindak pidana, untuk
sementara waktu dapat di batasi kebebasannya. Pembatasan itu dapat
dilakukan bilamana telah menunjukkan bukti-bukti yang kuat bahwa orang
itulah yang melakukan perbuatan tindak pidana.
Penahanan pelaku tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh
penyidik, jaksa penuntut umum dan hakim, kewenangan pejabat-pejabat
tersebut harus memperhatikan ketentuan yang telah diatur dalam KUHP.
Penahanan hanya dapat dilakukan terhadap kejahatan yang diancam
22
hukum 5 tahun atau lebih. Walaupun Undang-undang menentukan
demikian namun adakalanya penahanan dapat ditangguhkan pada setiap
tingkat pemeriksaan.
Menurut Nanda Agung Dewantara (1987:24) Ada 2 yang menjadi
dasar diadakannya penahanan yaitu :
(1) Dasar menurut hukum, yaitu harus adanya dugaan keras berdasarkan bukti yang cukup bahwa orang itu melakukan tindak pidana lima tahun, keatas atau tindak pidana tertentu yang ditentukan oleh Undang-Undang, meskipun ancaman pidananya kurang dari lima tahun.
(2) Dasar menurut keperluan yaitu adanya kekhawatiran bahwa tersangka atau tersangka atau terdakwa akan melarikan diri atau merusak/ menghilangkan barang bukti atau akan mengulangi tindak pidana.
Pernyataan tersebut diatas, merupakan salah satu ketentuan yang
telah diatur Pasal 2 ayat 1 KUHAP.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
KUHAP, penahanan didasarkan pada ketentuan yang terdapat dalam (Het
Herzieneindslands Reglemen) Staatblat Tahun 1941 Nomor 44. Pada
azasnya HIR, mengenal dua (2) macam tahanan sementara yaitu :
(a) Tahanan yang tidak memakai surat perintah.
(b) Tahanan yang memakai surat perintah.
Menurut Moelyatno (Nanda Agung Dewantara.1987:26) tahanan
sementara tanpa surat permintaan didasarkan pada Pasal 83 f ayat (5) jo.
Pasal 83k ayat (3) HIR. Berikut ini peneliti mengutip kedua isi Pasal itu :
23
Pasal 83 f ayat (5) HIR.
Pun dalam hal tidak ditahan buat sementara sitertuduh itu boleh juga
ditahan dan tidak bertangguh lagi ia dikirim bersama-sama dengan
rencana itu kepada magistraat atau disuruh bawa kehadapan pegawai
itu, yaitu kalau dengan hal yang demikian itu dapat dicapai, perkara
itu diperiksa pengadilan pada hari itu juga dikirim bersama-sama atau
disuruh bawa kehadapan magistraat.
Pasal 83 k ayat (3) HIR.
Kalau sitertuduh ada dalam tahanan dan perkara itu dibawah
kehadapan hakim sebelum lewat waktu yang tersebut dalam Pasal 73
ayat (1), atau tidak dapat dibawah kehadapannya selambat-
lambatnya dalam 8 hari. Sesudah tertuduh didengar oleh Jaksa
Penuntut Umum yaitu dalam hal yang disebut dalam Pasal 83 f ayat
(5), maka dengan mengingat peraturan dalam Pasal 83c ayat (2),
sitertuduh itu dalam penjara atau tidakkah.
Ketentuan Pasal 83 f ayat (2) Pasal 83 k HIR, dapat disimpulkan
bahwa penahanan sementara tanpa surat perintah maksimum 2 + 8 = 10
hari, mengenai apa yang disebut tahanan sementara pakai surat perintah,
Moelyatno menyatakan :
Tahanan sementara dipakai surat perintah, berdasarkan Pasal 62 ayat (1) jo. Ayat (2) HIR dalam hal tertangkap tangan, atau kalau tidak berdasarkan Pasal 75 HIR. Disitu HIR mengisyaratkan atau jaksa dapat mengeluarkan perintah untuk menahan sementara yang lamanya 20 hari.
24
Penahanan sebagaimana diterangkan dalam Pasal 62 ayat (1) HIR
hanya dapat dilakukan dalam hal tertangkap tangan. Mengenai hal
tertangkap tangan, Pasal 75 HIR memberikan pembatasan mengenal arti
kejahatan :
(a) Tengah dilakukan orang.
(b) Segera setelah dilakukan orang diketahui.
(c) Seorang diserukan oleh khalayak ramai sebagai yang melakukan.
(d) Pada orang kedapatan barang-barang, senjata-senjata, alat
perkakas, atau surat yang menunjukkan, bahwa orang tersebut
adalah pelaku atau pembuatan perbuatan termaksud.
Pada umumnya orang beranggapan bahwa, syarat-syarat yang
ditentukkan harus dipenuhi bagi dilakukannya penahanan sementara
dalam Pasal 62 HIR, disebut sebagai alasan obyektif. Selain alasan
obyektif dalam hal menahan seseorang penahanan sementara harus
memenuhi alasan subyektif. Moelyatno, dalam kuliah hukum acara pidana
tahun 1965-1966 (Achmad Soema Di Pradja;1974:42) menyatakan syarat-
syarat subyektif itu adalah :
(1) Pasal 75 HIR menyebutkan adanya cukup keterangan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana yang didakwakan.
(2) Penahanan dianggap perlu sekali untuk kepentingan pemeriksaan.(3) Penahanan perlu sekali untuk tidak diulanginya perbuatan.(4) Penahanan perlu sekali untuk mencegah kalau terdakwa
melarikan diri.
Pejabat yang diberi wewenang melakukan penahanan sementara
pada waktu berlakunya HIR, adalah jaksa dan juga jaksa pembantu (Polisi
Republik Indonesia). Dari apa yang dikemukakan di atas jelas belum ada
25
kesepakatan yang bulat mengenai istilah penangkapan, penahanan
sementara, tahanan sementara. Dalam lampiran Surat Keputusan Bersama
Ketua Mahkamah Agung Kepolisian Negeri, dan Menteri Kehakiman
Nomor: 02/ K.M.A/ 70: Kep. 034/D/A/7/1970; Pol 86/SK/ Kapolri
/190;JA.7/7/13 dikemukakan tentang istilah penahanan sebagai berikut :
Undang-Undang tidak mengenal tahanan kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Undang-undang hanya mengenal istilah penangkapan sementara dan penahanan sementara dimana kepolisian dapat menahan seseorang selama 20 hari, kejaksaan 30 hari, dan perpanjangan atas perintah jaksa oleh hakim setiap kali 30 hari (Pasal 75) jo. 83c jo. 62 – ayat (2).
Dasar hukum penahanan bagi jaksa terdapat dalam Pasal 83c dan
83j HIR yang berbunyi :
Bila ada hal yang sangat penting memberatkan sitertuduh dan cukup nyata salah perbuatan itu masuk ha-hal yang diterangkan dalam Pasal 62 ayat (2) HIR, dan perkara itu rasanya tidak dapat diperiksa pengadilan dalam waktu yang ditetapkan dalam Pasal 72, maka untuk kepentingan pemeriksa atau untuk menjaga perbuatan itu jangan diulangi oleh sitertuduh atau untuk menjaga supaya ia jangan lari opsir justiti atau magistraat dapat memerintahkan supaya ia terus ditahan.
Perintah tersebut dalam 83c ayat (4) hanya berlaku untuk masa 30
hari, dan setelah masa penahanan tersebut habis dapat diperpanjang untuk
masa 30 hari. Dan selanjutnya oleh keta pengadilan negeri (Pasal 83c ayat
(4) HIR). Apabila terdakwa tidak berada dalam tahanan, jaksa dapat
menuntut agar terdakwa setelah masa untuk ditahan sambil penyerahan
perkara kepengadilan negeri dengan disertai surat dakwaan (Pasal 83 (1)
HIR).
26
Penahanan terdakwa pada tingkat pemeriksaan pengadilan negeri
tidak diperlukan lagi surat perintah perpanjangan penahan sampai
perkaranya diputus. Pelaksanaan dan penahanan yang diatur dalam HIR
sudah tidak berlaku lagi.
Oleh karena aturan-aturan yang terdapat didalamnya tidak
memberikan kepastian kepada pencari keadilan. Misalnya saja dalam hal
penahanan, tidak memberikan batasan waktu sebagaimana yang diatur
dalam KUHAP. Kemudian HIR memberikan hak kepada tiap-tiap orang
untuk melakukan penahanan Pasal 60 ayat (1). Setelah kita mengetahui
dasar hukum penahanan dasar HIR, berikut ini dikemukakan dasar hukum
penahanan yang diatur dalam hukum acara pidana yang diatur dalam kitab
undang-undang hukum acara pidana. Masalah penahanan yang diatur
dalam KUHAP dapat dilihat dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 30
KUHAP. Sedangkan pengertian penahanan dijelaskan dalam Pasal 1 butir
21 KUHAP sebagaimana dijelaskan dimuka. Jadi untuk keperluan
penyidikan, penututan dan peradilan, Penyidikan penuntut umum dan
hakim dapat melakukan penahanan apabila atas diri tersangka atau
terdakwa diperoleh dugaan keras dan bukti yang cukup bahwa ia telah
melakukan tindak pidana. Pelaksanaan dilakukan secara cermat dan
berhati-hati, juga harus dipenuhi persyaratan :
(a) Tindak pidana yang diancam pidana sekurang-kurangnya 5 tahun, kecuali terhadap pelanggaran khusus yang diatur secara limitatif didalam undang-undang ini.
27
(b) Penahanan tidak dilakukan secara otomatis, walaupun memenuhi syarat pada sub diatas, melainkan harus dalam keadaan terpaksa karena kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau akan mengulangi tindak pidana lain.
Dalam hal pelaksanaan penahanan mengenal 3 jenis penahanan
yaitu, penahanan dalam rumah tahanan negara, penahanan rumah dan
penahanan kota. Penahanan dalam rumah tahanan negara merupakan
tahanan biasa dimana tersangka atau terdakwa ditempatkan dalam gedung
tahanan sendiri memenuhi syarat pengamanan dan pelayanan sejalan
dengan martabat mereka sebagai warga yang belum tentu bersalah.
Penyidik penuntut umum dan hakim sesuai tahapan pemeriksaannya
masing-masing, berwenang mengalihkan jenis penahanan kejenis yang lain
dengan pemberian syarat-syarat tertentu dapat pula memberikan
penaguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau orang.
Didalam Pasal 20 KUHAP disebut tentang pejabat yang berwenang
melakukan penahanan untuk lebih jelasnya penelitian mengutip isi pasal
tersebut.
Pasal 20 KUHAP.
Ayat(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang menahan.
Ayat(2) Untuk Kepentingan penuntut umum berwenang melakukan panahanan atau penahanan lanjutan.
28
Ayat(3) Untuk kepentingan pemeriksaan hakim disidang pengadilan dengan penetapan berwenang melakukan penahanan.
Ketentuan untuk sahnya penahanan dapat kita temukan dalam Pasal
21 KUHAP yang berbunyi :
ayat (1) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merupakan alat bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
ayat (2) Penahanan atau penahanan kelanjutan dilakukan penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebut alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan.
ayat (3) Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 harus diberikan kepada keluarganya.
ayat (4) Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tidak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal :(a) Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau
lebih.(b) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282
tentang Kesopanan ayat (3), Pasal 296 tentang Perbuatan Cabul, Pasal 335 tentang Melawan Hak / Memaksa Orang Lain ayat (1), Pasal 351 (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378 dan Pasal 379 tentang Penipuan, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 480, dan Pasal 506 kitab undang hukum pidana Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap bea dan cukai, terakhir diubah dengan staatblat Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1 Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-Undang tindak pidana imigrasi (Undang-Undang Nomor 8 Drt tahun 1955. Lembaran negara tahun 1955 nomor
29
8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, Pasal 48, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37 Tambahan Lembaran Negara 306).
Dari bunyi Pasal diatas dapatlah dikatakan bahwa, pembuat Undang-
Undang yang sudah memperkirakan seseorang yang di duga atau di
sangka melakukan perbuatan pidana akan berusaha menyulitkan
pemeriksaan perkara. Hal itu dapat dilakukan dengan meniadakan
kemungkinan akan di dengar baik dari dirinya sendiri maupun bagi orang
lain, untuk dirinya seorang terdakwa semacam ini akan berusaha untuk
sama sekali terhindari dari hukuman pidana dengan cara melarikan diri
atau menyembunyikan diri selama-lamanya. Apabila ada kekhawatiran
bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri atau mengulangi lagi
perbuatannya, maka satu-satunya jalan untuk menghindarkan kesulitan
dalam menghentikan kemerdekaan tersangka atau terdakwa untuk tidak
pergi kemana-mana, atau memerintahkan kepadanya supaya tetap tinggal
disuatu tempat yang telah ditentukan oleh Pasal 22 KUHAP.
Kitab undang-undang hukum acara pidana telah mengatur secara
tegas mengenai pejabat-pejabat yang berhak melakukan penahanan.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab terdahulu, pejabat yang dimaksud
adalah penyidik, penuntut umum dan hakim dapat melkukan penahanan
untuk kepentingan pemeriksaan (Pasal 20 KUHAP).
30
Setelah diketahui pejabat yang berhak melakukan penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan didepan sidang pengadilan maka peneliti
akan memberikan mengenai wewenang masing-masing pejabat tersebut
dalam melakukan penahanan.
Penyelesaian perkara pidana merupakan tugas dan tanggungjawab
penyidik, penuntut umum dan hakim. Dalam proses pemeriksaan perkara
pidana diperlukan tindakan-tindakan dari penguasa untuk mengungkap
secara tuntas mengenai perkara yang disangkakan. Tindakan-tindakan
seperti penangkapan, penahanan dan pengeledahan tidak dilakukan
secara sewenang-wenang tetapi harus dengan alasan-alasan seperti yang
diinginkan undang-undang.
Penahanan yang dilakukan penyelidik, penuntut umum, dan hakim
benar-benar memperhatikan seperti yang dijelaskan dalam Pasal 21
KUHAP. Hal ini di maksud supaya yang di tahan tidak dilanggar hak
asasinya. Dalam menetukan seorang tersangka, atau terdakwa telah
bersalah nanti setelah ada putusan pengadilan. Karena itu dalam Pasal 8
Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
Hakim secara tegas menyatakan :
Bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan dan atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuasaan hukum yang tetap.
31
Dari bunyi Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 dapat
dikatakan bahwa tersangka ataupun terdakwa tetap di jamin hak-haknya
selama dalam pemeriksaan.
Jaminan sebagaimana tersebut dalam Pasal 14 Undang-undang
tahun 1970 biasanya dinamakan dengan asas ”presmption of innocent”
yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang wajib dianggap
tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan kekuatan hukum yang
tetap tentang kesalahan tersebut.
Sebagaimana konsekuensi dari asas hukum tersebut terhadap
seorang, disangka atau dituntut telah melakukan tindak pidana sekalipun
terhadap mereka diadakan penangkapan, penahanan, dan guna
pemeriksaan ataukah telah dihadapkan didepan sidang, tidak boleh
diperlukan sebagai seorang yang bersalah sebelum kesalahannya
dibuktikan dan melalui putusan hakim.
Dalam pelaksanaan panahanan oleh penyidik penuntut umum dan
hakim didasarkan pada syarat-syarat dalam Pasal 21 KUHAP. Adapun isi
syarat-syarat itu adalah :
b) Harus adanya barang bukti yang cukup dugaan keras bahwa
tersangka atau terdakwa melakukan tindak pidana.
c) Adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa
tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau
menghilangkan barang bukti dan akan mengulangi perbuatannya.
32
d) Melakukan tindak pidana yang disebut dalam Pasal 21 ayat (4)
sub a dan b.
Ketentuan syahnya penahanan dalam Pasal 21 KUHAP merupakan
keharusan yang perlu diperhatikan oleh pejabat yang berwenang yang
melakukan penahanan, utamanya penahanan dirumah tahanan negara.
Hal ini untuk menjaga jangan sampai penahanan itu melanggar hal-hak
asasi manusia yang belum tentu bersalah.
Dengan demikian dapatlah kita katakan bahwa alasan-alasan
penahanan selain dari ketentuan Pasal 21 KUHAP, penahanan itu
diperlukan karena :
1) Untuk memperlancar jalanya pemeriksaan tersangka atau terdakwa.
2) Untuk menjaga jangan sampai tersangka atau terdakwa mempengaruhi orang lain melakukan tindak pidana.
3) Untuk kepentingan keamanan tersangka atau terdakwa terhadap rasa dendam dari pihak yang dirugikan.
33
BAB IIIMETODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif empiris
yakni penelitian berdasarkan aturan-aturan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan kemudian mendiskripsikan secara factual
pelaksanaan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana minuman keras di
Polsek Watubangga Kabupaten Kolaka.
3.2. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di Polsek Watubangga Kabupaten Kolaka.
Dengan pertimbangan bahwa di lokasi penelitian tersebut telah banyak
melakukan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana minuman keras.
3.3. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh aparat kepolisian di
Polsek Watubangga Kabupaten Kolaka . Sedangkan sampel di tetapkan
secara purpossive sampling, sebanyak 4 (empat) orang penyidik di Polsek
Watubangga.
3.4. Jenis dan Sumber Data
1. Data primer adalah data yang didapatkan secara langsung melalui
penelitian di lapangan dengan melakukan wawancara terhadap
beberapa informan.
34
2. Data sekunder adalah data yang diperoleh di lapangan, meliputi aturan-
aturan hukum, laporan-laporan, dokumen-dokumen serta data tertulis
lainnya yang dianggap berhubungan dan sangat mendukung penelitian
ini.
3.5. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang sesuai dengan hal-hal yang teliti,
peneliti menggunakan instrumen sebagai berikut :
1. Observasi yaitu pengamatan yang dilakukan secara langsung
dilapangan tentang pelaksanaan penyidikan terhadap pelaku tindak
pidana minuman keras di Polsek Watubangga Kabupaten Kolaka.
2. Wawancara yaitu melakukan tanya jawab secara langsung dengan
informan untuk mengali dan mendalami hal-hal penting untuk
mendapatkan jawaban yang lebih detail yang berhubungan dengan
penelitian.
3. Dokumentasi yaitu penulusuran data melalui studi perpustakaan untuk
menggumpulkan data tertulis yang tidak didapatkan melalui
penggumpulan data lainnya.
3.6. Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan diolah secara analisis deskriptif yaitu
dianalisa dengan uraian yang jelas dengan menggambarkan pelaksanaan
35
penyidikan tindak pidana minuman keras di Polsek Watubangga
Kabupaten Kolaka, guna dapat diambil kesimpulan dan saran.
3.7. Definisi Operasional
1. Pelaksanaan penyidikan adalah proses penyidikan terhadap pelaku
tindak pidana minuman keras di Polsek Watubangga Kabupaten
Kolaka.
2. Minuman keras adalah minuman yang mengandung alkohol yang
diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat
dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi
baik dengan cara memberikan perlakuan terlebih dahulu atau tidak.
3. Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia di Polsek
Watubangga Kabupaten Kolaka yang diberi wewenang untuk
melakukan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana minuman keras.
4. Penyidikan adalah tindakan penyidik untuk berusaha mencari serta
mengumpulkan bukti telah terjadinya tindak pidana minuman keras di
Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka.
5. Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum atau
bertentangan dengan undang-undang yang dapat
dipertanggungjawabkan.
6. Tindak pidana minuman keras adalah semua penjual minuman keras
yang menjual tanpa izin atau tidak sesuai dengan apa yang diatur di
36
dalam Perda Nomor 16 Tahun 2004 tentang Pengawasan dan
Pengendalian Minuman Beralkohol di Kecamatan Watubangga
Kabupataen Kolaka.
7. Polsek Watubangga adalah Unit Reserse dan Kriminal (Reskrim) yang
berada di Polsek Watubangga Kabupaten Kolaka.
37
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Secara geografis Kabupaten Kolaka terletak di jazirah tenggara pulau
Sulawesi dan berada pada bagian barat Provinsi Sulawesi Tenggara atau
tepat nya di tepi pantai Teluk Bone bagian timur. Secara geografis Kota
Kolaka terletak antara 2o00 – 5o00’ LS dan 120o – 45o BT, karena letaknya
berbatasan langsung dan dihubungkan oleh Teluk Bone dengan
Kabupaten Bone Provinsi Sulawesi Selatan maka Kota Kolaka merupakan
salah satu kota transit dari dan menuju ke Provinsi Sulawesi Tenggara
(Kolaka Dalam Angka, 2005).
Secara administratif Kabupaten Kolaka memiliki batas-batas wilayah
sebagai berikut : Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Kolaka
Utara, Sebelah Barat berbatasan dengan Teluk Bone, Sebelah Selatan
berbatasan dengan Kabupaten Buton, dan Sebelah Timur berbatasan
dengan Kabupaten Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara.
Keadaan topografi yang digambarkan sebagai berikut : Kawasan ber
gunung dengan kemiringan lereng lebih dari 40% meliputi 50,76% dari
keseluruhan luas daratan, kawasan berbukit dengan kemiringan 15 s/d 40
% seluas 31,19% dari keseluruhan wilayah daratan termasuk daerah yang
landai meliputi kurang lebih 18,05% dari keseluruhan wilayah daratan.
38
Keadaan iklim bulan basah berlangsung antara 5 – 9 bulan dalam
setahun yg terjadi pada Kecamatan Kolaka, Wolo, dan Mowewe, bulan
kering antara 3 – 4 bulan dalam setahun yang terjadi pada Kecamatan
Watubangga, Pomalaa, Wundulako, Ladongi dan Tirawuta (Kolaka Dalam
Angka,2005)
Fasilitas Transportasi Kota Kolaka berfungsi sebagai pintu Provinsi
Sulawesi Tenggara di bagian barat yang menghubungkan Provinsi
Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan. Untuk mendukung fungsi
tersebut, maka di Kecamatan Kolaka terdapat pelabuhan laut yaitu (1)
Pelabuhan penyeberangan ferry, (2) Pelabuhan laut/samudera, (3)
Pelabuhan nelayan (4) Pelabuhan pertamina.
Pada pengembangan sistem transportasi regional jalan raya
Kecamatan Kolaka dapat dihubungkan dengan kota-kota kecamatan dari
ujung utara (Kecamatan Wolo) sampai ujung selatan (Kecamatan
Watubangga) melalui jalan negara dengan kondisi serta intensitas lalu
lintas yang cukup baik.
Wilayah Hukum Polisi Sektor Kecamatan Watubangga ada 2 (dua)
Kecamatan Watubangga dan Kecamatan Tenggetada Ibu Kotanya Anaiwoi
terletak di jazirah tenggara pulau Sulawesi dan berada pada bagian
Selatan Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara. Secara geografis
Kecamatan Watubangga terletak antara 3o52’ – 4o06’ LS dan 121o26’ –
39
121o43’ BT, karena letaknya berbatasan langsung dengan Kabupaten
Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara.
Keadaan topografi yang digambarkan yaitu kawasan bergunung
dengan kemiringan lereng lebih dari 40% meliputi 50,76% dari keseluruhan
luas daratan, kawasan berbukit dengan kemiringan 15 s/d 40 % seluas
31,19% dari keseluruhan wilayah daratan termasuk daerah yang landai
meliputi kurang lebih 18,05% dari keseluruhan wilayah daratan.
Kecamatan Watubangga dengan luas ± 507,68 Km2, jumlah
penduduknya 22.872 jiwa. Laki-laki sebanyak 11.871 jiwa dan perempuan
sebanyak 11.001 jiwa dan Kecamatan Tanggetada dengan luas ± 409,91
Km2, jumlah penduduknya 8.919 jiwa Laki-laki sebanyak 4.603 jiwa dan
perempuan sebanyak 4.316 jiwa total luas Wilayah Hukum Polisi Sektor
Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka ±. 917,59 Km2 Dari luas
wilayah tersebut Kecamatan Watubangga terdiri dari 3 (tiga) Kelurahan
dan sebanyak 17 (Tujuh Belas) Desa sedangkan Kecamatan Tanggetada
terdiri dari 2 (dua) Kelurahan dan sebanyak 9 (sembilan) Desa. (Kabupaten
Kolaka dalam Angka, 2004).
Polsek Watubangga yang dipimpin oleh IPDA Oscar Samsuddin dan
membawahi 27 orang anggota dengan perincian 1 orang Kapospol,
membawahi 7 orang anggota, 1 orang Kanit Rekrim membawahi 4 orang
penyidik pembantu, 1 orang Kanit Patroli membawahi 9 orang anggota, 1
40
orang Kanit Pulbaket membawahi 2 orang anggota, 1 orang Bataut
membawahi 2 orang anggota.
4.2. Pelaksanaan Penyidikan Pelaku Tindak Pidana Minuman Keras di Polsek Watubangga Kabupaten Kolaka
Hasil observasi penulis (tanggal, 20 Juni 2006) selama melakukan
penelitian dalam pelaksanaan pengawasan dan pengendalian minuman
beralkohol di Kecamatan Watubangga menemukan beberapa pelanggaran
tentang penjualan minuman keras, seperti terdapatnya kois-kios kecil yang
tidak memiliki izin dalam penjualan minuman keras, minuman keras yang
dijual tidak berstiker izin dari pemerintah setempat dalam hal ini izin Bupati
Kolaka, ditemukan minuman keras yang dijual melewati batas kadar
alkohol yang telah ditetapkan yaitu diatas 5 % dan waktu penjualan
minuman keras tersebut di atas jam 00,00. Hal demikian inilah yang
merupakan salah satu alasan dilaksanakannya penyidikan terhadap pelaku
tindak pidana minuman keras.
Dari hasil wawancara dengan Oscar Samsuddin, Kapolsek
Watubangga menyatakan bahwa pelaksanaan penyidikan terhadap tindak
pidana, khususnya pelaku tindak pidana minuman keras merupakan salah
satu tugas dari Polsek Watubangga. Penyidikan tindak pidana ini bertujuan
untuk menemukan kebenaran materiil atau kebenaran yang selengkap-
lengkapnya tentang telah terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh
seorang penjual minuman keras yang tidak sesuai dengan aturan yang
41
telah diatur dalam peraturan daerah tentang pengawasan dan
pengendalian minuman beralkohol di Kabupaten Kolaka yaitu Peraturan
Daerah (Perda) Nomor 16 Tahun 2004 (wawancara tanggal 21 Juni 2006).
Selanjutnya Oscar Samsuddin menyatakan pula bahwa, penyidikan
yang dilaksanakan oleh penyidik di Polsek Watubangga merupakan mata
rantai terdepan dari seluruh proses pemeriksaan tindak pidana pelaku
minuman keras. Oleh karena itu dalam pelaksanaan penyidikan tindak
pidana pelaku tindak pidana minuman keras diperlukan adanya
kemampuan teknis penyidikan dan profesionalisme yang dapat
mendukung pelaksanaan penyidikan untuk mendapatkan keterangan-
keterangan pembuktian dan atau pengakuan dari tersangka dalam upaya
mendapatkan titik terang telah terjadinya tindak pidana tersebut
(wawancara tanggal 21 Juni 2006).
Oscar Samsuddin, Kapolsek Watubangga (wawancara tanggal 21
Juni 2006), mengatakan bahwa salah satu tugas penyidik di Polsek
Watubangga adalah melakukan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana
minuman keras yang melakukan pelanggaran dalam menjual minuman
beralkohol.
Lebih lanjut Oscar Samsuddin, Kapolsek Watubangga menyatakan
bahwa pelanggaran terhadap penjualan minuman keras yaitu seorang
penjual menjual minuman keras tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur
42
dalam Perda tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol,
minuman beralkohol yang bisa dijual bebas hanya golongan A yang kadar
alkoholnya 1% sampai 5% (wawancara tanggal 21 Juni 2006).
Hasil wawancara dengan Oscar Samsuddin, Kapolsek Watubangga,
menyatakan bahwa salah satu kegiatan dalam pelaksanan penyidikan
terhadap pelaku tindak pidana minuman keras adalah melakukan
penggeledahan, penyitaan barang bukti, pemeriksaan saksi dan
pemeriksaan tersangka berdasarkan hukum acara pidana, dengan tetap
berpegang pada asas praduga tak bersalah yang berarti bahwa setiap
orang yang disangka, sebagai pelaku tindak pidana maupun yang diadili
dimuka sidang wajib diduga tidak bersalah sebelum adanya putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (wawancara
tanggal 21 Juni 2006).
Hal senada dikemukakan oleh Ibrahim Lenna, Kanit Reskrim Polsek
Watubangga (wawancara tanggal 23 Juni 2006), menyatakan bahwa
dalam pelaksanaan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana minuman
keras dilakukan mulai dari penggeledahan, penyitaan barang bukti,
pemeriksaan saksi dan pemeriksaan tersangka.
Adapun pelaksanaan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana
minuman keras, diuraikan sebagai berikut:
1. Penggeledahan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Minuman Keras
43
Untuk kepentingan penyidikan agar dapat dikumpulkan fakta dan
bukti yang menyangkut tindak pidana minuman keras, maka dilakukan
penggeledahan terhadap pelaku tindak pidana minuman keras.
Ibrahim Lenna, Kanit Reskrim Polsek Watubangga,
mengemukakan bahwa penggeledahan dimaksudkan adalah memasuki
rumah tempat tinggal dan atau tempat tertutup yang merupakan tempat
kediaman sesorang untuk melakukan tindakan pemeriksaan terhadap
seorang yang diduga telah melakukan tindak pidana (wawancara
tanggal 23 Juni 2006).
Selanjutnya Ibrahim Lenna, menyatakan pula bahwa
penggeledahan dilakukan terhadap seorang yang diduga melakukan
tindak pidana minuman keras karena adanya laporan dari masyarakat
bahwa seorang melakukan tindak pidana, misalnya menjual minuman
keras tanpa izin dari pemerintah setempat (wawancara tanggal 23 Juni
2006).
Hasil wawancara dengan Oscar Samsuddin, Kapolsek
Watubangga menyatakan bahwa wewenang pengeledahan terhadap
pelaku tindak pidana minuman keras semata-mata hanya diberikan
kepada penyidik, untuk mencari dan mengumpulkan fakta dan bukti
serta dimaksudkan untuk mendapatkan orang yang diduga keras
sebagai tersangka pelaku tindak pidana minuman keras.
44
Lebih lanjut Oscar Samsuddin menyatakan bahwa sebelum
melaksanakan penggeledahan terhadap pelaku tindak pidana minuman
keras, penyidik menyampaikan pemberitahuan penggeledahan kepada
ketua pengadilan negeri setempat untuk mendapatkan persetujuan
penggeledahan, artinya pada setiap tindakan penggeledahan, penyidik
wajib memerlukan bantuan dan pengawasan Ketua Pengadilan Negeri
(wawancara tanggal 24 Juni 2006).
Oscar Samsuddin, Kapolsek Watubangga menyatakan bahwa
kalau keadaan penggeledahan secara biasa atau dalam keadaan
normal, penggeledahan baru dapat dilakukan penyidik setelah dahulu
meminta izin dari Ketua Pengadilan Negeri, apabila penggeledahan itu
dilaksanakan dalam keadaan luar biasa atau mendesak, penyidik dapat
melakukan penggeledahan tanpa lebih dahulu mendapat izin dari Ketua
Pengadilan Negeri, namun segera sesudah penggeledahan, penyidik
wajib meminta persetujuan Ketua Pengadilan Negeri (wawancara
tanggal 23 Juni 2006).
Suparman, Banit Reskrim Polsek Watubangga, menambahkan
lagi bahwa guna lebih terjamin ketertiban dan kepastian hukum,
undang-undang menempatkan instansi penyidik untuk selalu bekerja
sama dengan instansi Pengadilan Negeri setempat sebagai pengawas
dan mengontrol wewenang penggeledahan yang diberikan undang-
45
undang. Disamping itu wewenang dan tindakan penggeledahan
mendapat pengawasan dan hubungan kerja sama pula dengan pemilik
tempat yang digeledah, dengan jalan mewajibkan penyidik memberikan
salinan berita acara penggeledahan kepada penghuni atau pemilik
tempat yang digeledah. Demikian juga pengawasan dan kerja sama
dengan pihak ketiga. Setiap penggeledahan harus disaksikan oleh dua
orang saksi, atau dalam keadaan penghuni atau pemilik menolak
tindakan penggeledahan, penggeledahan yang dijalankan tanpa
persetujuan penghuni/pemilik, harus disaksikan oleh kepala desa atau
kepala lingkungan, ditambah dua orang saksi yang harus ikut
menyaksikan jalannya penggeledahan (wawancara tanggal 25 Juni
2006).
Selanjutnya Suparman, menyatakan bahwa waktu penggeledahan
sedapat mungkin harus dilakukan pada siang hari dan diusahakan
mencari momen waktu yang dapat menghindari akibat sampingan yang
bisa merusak pertumbuhan kejiwaan dan mental anak-anak dan
keluarga tersangka yang digeledah (wawancara tanggal 25 Juni 2006).
Sebagaimana diatur dalam Pasal 33 KUHAP bahwa syarat-syarat
umum untuk melaksanakan penggeledahan harus mendapat izin Ketua
Pengadilan Negeri setempat, menunjukkan tanda pengenal kepada
tersangka, disaksikan oleh dua orang saksi apabila tersangka setuju,
46
dan apabila tersangkanya tidak setuju maka disaksikan oleh Kepala
Desa/Lingkungan dengan dua orang saksi. Dalam waktu selambat-
lambatnya dua hari penyidik membuat berita acara untuk itu dan
turunannya (salinannya) disampaikan kepada yang bersangkutan.
Kadangkala terjadi keadaan sangat mendesak bagi penyidik untuk
melaksanakan penyidikan dengan memasuki suatu tempat untuk
menggeledah dan tidak mungkin untuk meminta surat izin dari Ketua
Pengadilan Negeri. Penyidik dalam pelaksanaan penyidikan apabila
mendapat kesulitan karena tersangka melarikan diri, mengulangi
perbuatannya, atau menghilangkan barang bukti.
Dalam hal menurut Pasal 34 ayat 1 KUHAP penyidik dapat
melakukan penggeledahan tanpa izin terlebih dahulu dalam hal
penyidik melakukan penyidikan pada halaman rumah atau tempat
tinggal tersangka berdiam atau berada, ataupun tempat lain tersangka
bertempat tinggal, tempat tindak pidana dilakukan, tempat penginapan
atau tempat umum. Setelah penggeledahan selesai, penyidik dalam hal
ini wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri
setempat.
Dalam hal penyidik melaksanakan penggeledahan tidak
diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku, dan atau tulisan
lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak
47
pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan dengan
tindak pidana yang bersangkutan atau yang diduga telah dipergunakan
untuk melakukan tindak pidana tersebut, dan untuk itu wajib segera
melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna
memperoleh persetujuan. Apabila izin penggeledahan dari ketua
pengadilan negeri bersifat umum, maka tidak disebutkan dimana akan
dilakukan penggeledahan, tetapi kalau isinnya bersifat khusus harus
dicantumkan dimana penggeledahan dilakukan oleh penyidik. Dengan
sendirinya penyidik tidak dapat melakukan penggeledahan di tempat
yang tidak disebut dalam surat izin itu, walaupun kemudian ternyata
bahwa tempat itu perlu digeledah pula sesuai dengan petunjuk yang
diperoleh pada penggeledahan pertama.
2. Penyitaan Barang Bukti
Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil
alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya bendak bergerak
atau benda tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk
kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan
(Pasal 1 butir ke-16 KUHAP). Tujuan penyitaan adalah untuk
kepentingan pembuktian terutama ditujukan sebagai barang bukti di
muka sidang peradilan.
48
Demikian dikemukakan oleh Supardi, Anggota Penyidik Pembantu
Polsek Watubangga, bahwa penyitaan merupakan tindakan hukum yang
dilakukan pada taraf penyidikan. Sesudah lewat taraf penyidikan tidak
dapat lagi dilakukan penyitaan untuk atas nama penyidik. Itu sebabnya
Pasal 38 KUHAP tersebut telah ditentukan dengan pasti hanya penyidik
yang berwenang melakukan tindakan penyitaan (wawancara tanggal 30
Juni 2006).
Supardi menyatakan pula bahwa ada kemungkinan adanya
penyitaan pada tingkat penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan,
namun demikian pelaksanaan penyitaan harus diminta kepada penyidik,
seandainya dalam pemeriksaan sidang pengadilan, hakim berpendapat
dianggap perlu melakukan penyitaan suatu barang, untuk itu hakim
mengeluarkan penetapan yang memerintahkan penuntut umum agar
penyidik melaksanakan penyitaan barang dimaksud (wawancara tanggal
30 Juni 2006).
Demikian penyitaan dalam tindak pidana minuman keras, maka
tata cara penyitaan yang biasa dilakukan pada umumnya mengikuti
prosedur yang telah ditetapkan dalam Pasal 46 KUHAP, yaitu harus ada
surat izin penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, kecuali
penyitaan itu harus dilakukan dalam keadaan mendesak, surat izin
penyitaan dari Ketua pengadilan negeri nanti menyusul tetapi hanya
49
penyitaan atas benda bergerak dan segera melaporkan kepada Ketua
pengadilan negeri untuk mendapat persetujuan. Di samping itu penyidik
memperlihatkan atau menunjukkan tanda pengenal jabatan kepada
orang dari mana benda itu akan di sita agar ada kepastian bagi orang
yang bersangkutan bahwa dia benar-benar berhadapan dengan petugas
penyidik, sebab tanpa menunjukkan lebih dahulu tanda pengenal, orang
yang hendak disita berhak menolak tindakan dan pelaksanaan penyitaan.
Selain itu penyidik yang melakukan penyitaan memperlihatkan benda
yang akan disita kepada orang dari mana benda itu akan di sita atau
kepada keluarganya. Penyitaan pula harus disaksikan oleh kepala desa
atau kelurahan dengan dua orang saksi. Membuat berita acara penyitaan
dan menyampaikan turunan berita acara penyitaan kepada orang dari
mana barang itu disita atau keluarganya dan kepala desa setempat.
2. Penangkapan
Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa
pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka apabila terdapat
cukup bukti guna kepentingan penyidikan. Tindakan penangkapan baru
dapat dilakukan oleh penyidik apabila seseorang itu diduga keras
melakukan tindak pidana, dan dugaan itu didukung oleh permulaan bukti
yang cukup dari penilaian penyidik sepenuhnya.
50
Pelaksanaan penangkapan dilakukan oleh petugas Kepolisian
Negara Republik Indonesia, kecuali Jaksa Penuntut Umum dapat
melakukan penagkapan dalam kedudukannya sebagai penyidik. Penyidik
dalam melakukan penangkapan harus membawa surat tugas
penangkapan dengan memperlihatkan surat perintah penangkapan yang
disampaikan kepada tersangka atau keluarga tersangka untuk
mengetahui dengan pasti seorang tersangka ditangkap dan diperiksa.
Batas waktu penangkapan adalah 1 x 24 jam atau satu hari, dan
tidak boleh lebih dari satu hari, tetapi apabila jarak yang ditempuh antara
Polsek sebagai tempat penyidikan dengan lokasi penangkapan
membutuhkan jarak tempuh lebih dari satu hari, maka penyidik dapat
melakukan penangkapan dengan memperlihatkan surat perintah untuk
membawa tersangka. Waktu penangkapan mulai terhitung sejak
tersangka tiba di Polsek untuk dilakukan pemeriksaan.
Penangkapan terhadap tersangka yang melakukan pelanggaran
seperti pelaku tindak pidana minuman keras tidak dapat dilakukan secara
langsung. Apabila pelaku tindak pidana minuman keras telah dilakukan
pemanggilan secara patut tetapi tidak mengindahkannya maka
penangkapan terhadap pelaku tindak pidana pelanggaran dapat
dilakukan.
3. Penahanan
51
Penahanan adalah menempatkan tersangka ditempat tertentu oleh
penyidik. Syarat-syarat untuk menahan seorang tersangka diperlukan
berbagai persyaratan. Syarat formal penahanan harus ada surat perintah
dari yang berwenang, dan syarat materialnya adalah adanya dugaan
keras tersangka yang melakukan tindak pidana, adanya kekhawatiran
bahwa tersangka akan mengulangi tindak pidana, adanya kekhawatiran
bahwa tersangka akan merusak atau menghilangkan barang bukti.
Tindak pidana yang diancam pidana lima tahun atau lebih dan menurut
sifat pelakunya perlu ditahan.
Hasil wawancara dengan Ibrahim Lenni, Kanit Reskrim Posek
Watubangga, menyatakan bahwa pelaku tindak pidana minuman keras
ditahan karena dikhawatirkan akan menghilangkan barang bukti berupa
minuman keras yang dijualnya (wawancara tanggal 25 Juni 2006).
Hal senada dikemukakan pula oleh Mustamin, Kanit Pulbaket
Polsek Watubangga, menyatakan bahwa untuk menghindari pelaku
tindak pidana minuman keras mengulangi tindakannya, maka pihak
penyidik di Polsek Watubangga melakukan penahanan terhadap seorang
tersangka guna kepentingan penyidikan tindak pidana yang
bersangkutan. Seseorang yang disangka atau diduga melakukan tindak
pidana, untuk sementara waktu dapat di batasi kebebasannya.
Pembatasan itu dapat dilakukan bilamana telah menunjukkan bukti-bukti
52
yang kuat bahwa orang itulah yang melakukan perbuatan tindak pidana
minuman keras. Penahanan pelaku tindak pidana minuman keras atau
mereka yang di tuduk melakukan. Penangkapan dan penahanan
terhadap pelaku tindak pidana minuman keras ini tidak lain adalah untuk
memudahkan proses penyidikannya (wawancara tanggal 30 Juni 2006).
4.2. Hambatan-Hambatan Yang Dialami Oleh Polsek Watubangga Dalam Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana Minuman Keras
Penyebab orang melakukan tindak pidana Minuman keras Khususnya
pelaku penjual tindak pidana Minuman keras merasakan bahwa dengan
melakukan penjualan minuman Keras, sipelaku merasa mendapat
keuntungan yang lebih besar dari pada menjual selain minuman keras.
Dari hasil penelitian bahwa dalam pelaksanaan penyidikan terhadap
tindak pidana minuman keras di Polsek Watubangga, ada beberapa
hambatan yang dialami yaitu :
1. Kurangnya kerjasama antara Polisi (Penyidik) dengan
masyarakat.
Hambatan ini muncul dari pihak masyarakat karena masyarakat
beranggapan bahwa polisi merupakan institusi yang secara
kelembagaan bertugas untuk menjaga keamanan dan mengayomi
masyarakat. Masyarakat kadangkala tidak mau menyampaikan
informasi berkaitan dengan terjadinya tindak pidana minuman keras
dengan alasan tidak ingin menjadi saksi karena hal tersebut dapat
53
menyita waktu, biaya dan tenaga serta dapat mengancam keselamatan
mereka terutama datangnya dari pelaku tindak pidana minuman keras
(wawancara, Oscar Syamsuddin, Kapolsek Watubangga, tanggal 21
Juni 2006).
2. Pelaku tindak pidana minuman keras menghilangkan jejak terjadinya
tindak pidana
Dari hasil pengamatan yang dilakukan penulis di Polsek
Watubangga tidak sedikit dari mereka pelaku tindak oidana minuman
keras yang menghilangkan jejak agar terbebas dari penagkapan dan
ancaman hukuman dengan cara menghilangkan barang bukti berupa
minuman keras pada waktu akan dilakukan penggeledahan,
memberikan keterangan yang berbelit-belit, dan pelaku meninggalkan
wilayah hukum Polsek Watubangga.
3. Terbatasnya sarana dan prasarana.
Terbatasnya sarana dan prasarana ini termasuk didalamnya
fasilitas kendaraan yang dimiliki oleh Polsek Watubangga untuk
mengadakan patroli pada setiap wilayah yang dianggap rawan yang
memerlukan pengawasan setiap saat tidak dapat dijangkau sehingga
penyidikan terhadap tindak pidana minuman keras tidak optimal
Kondisi seperti ini menyebabkan para petugas kepolisian tidak dapat
bertindak secara tepat untuk melakukan pengejaran dan penangkapan
54
terhadap pelaku tindak pidana minuman keras (wawancara, Supardi,
Penyidik Pembantu Polsek Watubangga, tanggal 30 Juni 2006).
4. Terbatasnya sumber daya manusia (Polisi) untuk mengungkap tindak
pidana minuman keras.
Pesatnya kemajuan dalam berbagai bidang terutama terjadinya
tindak pidana minuman keras , maka polisi dituntut untuk lebih
profesional dalam melakukan penyidikan yang semakin sulit dideteksi,
dicegah dan diselesaikan dengan baik dalam waktu yang singkat akibat
pada umumnya tenaga penyidik pada Polsek Watubangga beluk
memiliki syarat untuk diangkat sebagai penyidik, tetapi mereka hanya
sebatas sebagai penyidik pembantu (wawancara, Oscar Samsuddin,
Kapolsek Watubangga, tanggal 21 Juni 2006).
4.3. Upaya-Upaya Yang Dilakukan Polsek Watubangga Untuk Mengatasi Hambatan-Hambatan Dalam Peyidikan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Minuman Keras.
Dalam mengatasi hambatan-hambatan yang dialami oleh penyidik
Polsek Watubangga dalam pelaksanaan penyidikan terhadap pelaku tindak
pidana minuman keras , maka beberapa upaya yang dilakukan adalah
sebagai berikut :
1. Secara institusi Polsek Watubangga senantiasa membenahi diri dengan
mensosialisasikan perubahan paradigma kepolisian untuk mengubah
persepsi yang selama ini polisi cenderung membuat masyarakat
55
menjadi takut dengan keberadaan polisi, maka masyarakat merasa
aman.
2. Polisi di Polsek Watubangga senantiasa membuka diri memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh lapisan masyarakat
untuk memberikan masukan kepada pihak Polsek Watubangga dalam
rangka pembinaan personil. Langkah ini memberikan kesempatan
kepada berbagai pihak baik tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh
masyarakat.
3. Pembinaan personil yang mampu memberikan tindakan-tindakan
persuasif, pembinaan kesadaran hukum masyarakat dengan
melakukan penyuluhan hukum khususnya dampak negatif penggunaan
minuman keras di berbagai desa yang bertujuan untuk membantu
memberikan masukan dalam bentuk informasi kepada polisi baik
secara kelembagaan maupun secara individual.
4. Dalam kaitannya dengan usaha penciptaan sumber daya manusia
( polisi yang profesional ) Polsek Watubangga memberikan kesempatan
seluas-luasnya kepada setiap personil yang berminat untuk
melanjutkan pendidikan baik pada jenjang starata satu (S1) maupun
pada Dikjur Kepolisian secara reguler dalam berbagai bidang.
5. Berkaitan dengan usaha mengatasi hambatan aspek kurangnya sarana
yang dimiliki oleh Polsek Watubangga, beberapa langkah yang
ditempuh selain mengusulkan kepada Polres Kabupaten Kolaka
56
tentang pengadaan sarana penunjang operasional juga bekerjasama
dengan pemerintah daerah dengan pihak lain yang tidak mengikat
untuk mengatasi keterbatasan sarana (wawancara Oscar Samsuddin,
Kapolsek Watubangga tanggal 30 Juli 2006).
BAB VP E N U T U P
5.1. Simpulan
1. Pelaksanaan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana minuman keras
dilakukan mulai dari penggeledahan pelaku tindak minuman keras,
penyitaan barang bukti tindak pidana minuman keras, penangkapan
dan penahanan pelaku tindak pidana minuman keras untuk
memudahkan pemeriksaan pelaku tindak pidana minuman keras.
2. Hambatan-hambatan yang dialami oleh penyidik Polsek Watubangga
dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana minuman keras (1)
Kurangnya kerjasama antara Polisi (Penyidik) dengan masyarakat; (2)
Pelaku tindak pidana minuman keras menghilangkan jejak terjadinya
tindak pidana; (3) Terbatasnya sarana dan prasarana.yang dimiliki oleh
Polsek Watubangga; (4).Terbatasnya sumber daya manusia (Polisi)
untuk mengungkap tindak pidana minuman keras.
57
3. Upaya-Upaya Yang Dilakukan Penyidik Polsek Watubangga Untuk
Mengatasi Hambatan-Hambatan Dalam Peyidikan Terhadap Pelaku
Tindak Pidana Minuman Keras sebagai berikut : (1) Membenahi diri
dengan mensosialisasikan perubahan paradigma kepolisian kepada
masyarakat.(2) Memberikan kesempatan kepada seluruh lapisan
masyarakat untuk memberikan masukan kepada pihak Polsek
Watubangga.(3) Pembinaan personil yang mampu memberikan
tindakan-tindakan persuasif.(4) Memberikan kesempatan kepada setiap
personil yang berminat untuk melanjutkan pendidikan baik pada jenjang
starata satu (S1) maupun pada Dikjur Kepolisian. (5)
Mengusulkan kepada Polres Kolaka tentang pengadaan sarana
penunjang operasional.
5.2. Saran
1. Hendaknya penyidik Polisi Republik Indonesia khususnya Polisi Sektor
Watubangga ditingkatkan pengetahuannya tentang hukum dan kalau
perlu semua penyidik Polisi Republik Indonesia adalah sarjana hukum
yang lebih mengetahui secara mendalam tentang hukum serta
menjalankan tugasnya agar memperhatikan wewenang dan
kewajibannya yang telah digariskan dalam undang-undang.
2. Sebaiknya pihak kepolisian dibekali pengetahuan secara luas
mengenai kriminologi, hukum acara pidana serta penerapannya dalam
58
praktek, agar pihak kepolisian dapat mengetahui tugas-tugas yang
dilimpahkan kepadanya.
3. Hendaknya Kepala Daerah Kab.Kolaka dalam mengeluarkan izin
tentang penjualan minuman keras membuat lokasi khusus dalam
penempatan izin yang dikeluarkan agar mudah diawasi dalam
pelaksanaan pengawasan peredaran minuman keras di lapangan.
59
DAFTAR PUSTAKA
Andi Zainal Abidin Farid, 1993. Bunga Rampai Hukum Pidana. Pradnya Paramitha, Jakarta.
Andi Hamzah, 1993. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Abdurrahman,1990. Pembaharuan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Pidana Baru Indonesia, Alumni, Bandung.
M. Hanafi Asmawie, 1983. Ganti Kerugian dan Rehalibitasi menurut KUHAP, Pradnya Paramitha, Jakarta.
Alfiah Ratna Nurul, tt. Praperadilan Dalam Ruang Lingkupnya, Akademika Pressindo, Jakarta.
Arif Gosita ,1997. Viktimologi dan KUHAP Yang Mengatur Ganti Kerugian Pihak Korban, Akademika Pressindo, Jakarta.
A.T. Hamid, 1992. Praktek Peradilan Perkara Pidana, Al Ihsan, Surabaya.
Yahya Harahap, 1985. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini, Jakarta.
Syahrial Syam,1999. Tujuan Pembuatan Peraturan Perundang-undangan, Sihar Agung, Jakarta.
Ridwan Syahrani,1993. Beberapa Hal Tentang Hukum Acara Pidana, Alumni, Bandung.
Soerjono Soekanto,1999. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Tafal, B. Bastian,1974. Kumpulan Kuliah Hukum Acara Pidana, Unhas
Tirtaadmidjaja,1953. Kedudukan Hakim dan Jaksa dan Acara Pemeriksaan Biasa Perkara-perkara Pidana dan Perdata, Fasco, Jakarta.
Tresna,R.1957. Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Amsterdam – Jakarta,
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Rebuplik Indonesia, Mabes - Polri, Jakarta.
60
S K R I P S I
PENYIDIKAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA MINUMAN KERAS (Studi Kasus Di Polsek Watubangga Kabupaten Kolaka)
Oleh
NATAL FRIDS SITORUS NIM : 20209069
NIRM : 914909069
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMDIYAH KENDARI
2006
61
PENGESAHAN PEMBIMBING
PENYIDIKAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA MINUMAN KERAS ( Studi Kasus di Polsek Watubangga Kabupaten Kolaka )
OLEH
NATAL FRIDS. SITORUSNIM. 20209069
Telah Diperiksa dan Disetujui Untuk Diajukan Pada Ujian Skripsi di HadapanTim Penguji Skripsi
Program Studi Ilmu HukumFakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Kendari
Pembimbing I Pembimbing II
Deity Yuningsih, SH.MH Ali Rizky, SH
62ii
D A F T A R I S I
HALAMAN JUDUL ............................................................................... iPENGESAHAN PEMBIMBING ............................................................. iiKATA PENGANTAR.............................................................................. iiiDAFTAR ISI............................................................................................ vABSTRAK.............................................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang ................................................................ 11.2. Rumusan Masalah........................................................... 41.3. Tujuan Penelitian ............................................................ 41.4. Manfaat Penelitian............................................................ 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tugas dan Fungsi Kepolisian......................................... 62.2. Wewenang Penyidik Polri............................................... 92.3. Tindak Pidana Minuman Keras...................................... 162.4. Alasan Pelaksanaan Penahanan Pelaku Tindak Pidana..................................................... 22
BAB III METODE PENELITIAN3.1. Jenis Penelitian ............................................................... 343.2. Lokasi Penelitian.............................................................. 343.3. Populasi dan Sampel....................................................... 343.4 Jenis dan Sumber Data.................................................... 343.5. Teknik Pengumpulan Data............................................... 353.6. Analisis Data.................................................................... 353.7. Definisi Operasional......................................................... 36
BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian................................. 384.2. Pelaksanaan Penyidikan Pelaku Tindak Pidana Minuman Keras................................................................. 404.3. Hambatan-hambatan Yang Dialami Dalam Pelaksanaan
Penyidikan Pelaku Tindak Pidana Minuman Keras ......... 534.4. Upaya-upaya Yang Dilakukan Untuk Mengatasi Hambatan-Hambatan Dalam Penyidikan Tindak Pidana Minutan Keras........................................... 55
63
v
BAB V P E N U T U P5.1. Simpulan........................................................................... 575.2. Saran................................................................................ 58
DAFTAR PUSTAKA
64vi