BAB I PENDAHULUAN -...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Gunung Merapi merupakan salah satu gunung api aktif di indonesia. Lereng
sisi selatan Merapi berada dalam administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Lereng sisi barat berada dalam administrasi Kabupaten Magelang.
Sedangkan lereng sisi timur dan tenggara berada dalam administrasi Kabupaten
Boyolali dan Klaten.
Erupsi Merapi pada tahun 2010 yang lalu mengakibatkan berbagai kerugian
secara langsung maupun tidak langsung. Kerugian langsung di antaranya gempa
Vulkanik dan debu dari kubah Merapi. Sedangkan kerugian tidak langsung di
antaranya banjir lahar dingin. Banjir lahar dingin membawa sedimen sisa letusan
Merapi yang mengakibatkan pendalaman pada dasar sungai - sungai berhulu sungai
Merapi. Curah hujan yang tinggi memperbesar kemungkinan terjadinya banjir yang
menimbulkan kerusakan pada daerah sepanjang aliran sungai yang berhulu Merapi,
diantaranya adalah Sungai Gendol di lereng Gunung Merapi (Laksono,2011).
Sedimentasi sisa erupsi Gunung Merapi saat ini terjadi di berbagai sungai yang
berhulu Merapi. Sisa erupsi mengakibatkan kerusakan pada sisi sungai. Selain itu
sarana publik seperti jembatan dan jalan juga rusak akibat sisa erupsi ini. Usaha
perbaikan secara struktural harus juga diimbangi dengan usaha non struktural berupa
perkiraan banjir. Dengan mengetahui volume material sisa erupsi yang ada di sungai
tersebut diharapkan perkiraan akan banjir dapat diketahui.
Perhitungan volume sisa erupsi merapi dapat menjadi data yang membantu
untuk pelaksanaan penanganan pasca bencana Merapi. Data ini dapat digunakan
untuk memperkirakan seberapa besar materi yang terbawa oleh banjir lahar dingin
dan memperkirakan seberapa besar materi yang mengendap di bagian sungai berhulu
merapi. Perubahan volume dan bentuk topografi yang terjadi di sungai dapat
diakibatkan oleh banjir lahar dingin yang melewati daerah sungai itu, aktifitas
penambangan pasir juga dapat merubah volume sisa erupsi ini.
STUDI PERHITUNGAN VOLUME SISA ERUPSI MERAPI DENGAN DATA DEM FOTO UDARA DANLIDAR DI SUNGAI GENDOLMERAPIJUANG PUTRA WUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Penggunaan foto udara dan LIDAR dapat membantu penyediaan data spasial
dan atribut. Data tersebut merekam model dasar sungai sebelum terjadinya erupsi
dan setelah erupsi. Dua data model ini kemudian dapat dihitung volume material
erupsi Merapi. Proyek ini diharapkan dapat membantu pemerintah khususnya instansi
yang terkait untuk penanganan bencana. Hasil dari proyek ini adalah didapatnya
perbedaan volume material erupsi Merapi di sebagian wilayah sungai Gendol. Nilai
volume ini kemudian menjadi data untuk dapat melakukan pencegahan dan antisipasi
apabila terjadi hujan dan terjadinya banjir di sepanjang aliran sungai yang berhulu
Merapi.
I.2. Tujuan Proyek
Tujuan proyek ini adalah untuk mendapatkan volume perhitungan material
erupsi Merapi yang terbawa dan terendap akibat banjir lahar dingin di kawasan
daerah aliran sungai Gendol berdasarkan perbandingan 2 model elevasi digital.
I.3. Manfaat Proyek
Proyek ini diharapkan dapat dijadikan pengembangan untuk proses penanganan
pasca bencana erupsi Merapi. Selain itu diharapkan dalam pembangunan sarana
untuk masyarakat juga memperhatikan sisi keamanan melalui pengetahuan akan
volume material yang ada dan yang terbawa oleh banjir lahar dingin Merapi.
I.4. Batasan Masalah
Pembatasan masalah dalam proyek ini meliputi:
1. Lokasi proyek adalah sebagian wilayah dari aliran sungai Gendol
2. Data yang digunakan dalam proyek ini adalah data DEM digitasi foto udara
tahun 1989 dan DEM LIDAR tahun 2012.
3. Prinsip penentuan volume menggunakan prinsip menghitung volume dari
perbandingan dua data surface. Proyek menggunakan perangkat lunak,
Global Mapper V11.01.
STUDI PERHITUNGAN VOLUME SISA ERUPSI MERAPI DENGAN DATA DEM FOTO UDARA DANLIDAR DI SUNGAI GENDOLMERAPIJUANG PUTRA WUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
4. Posisi obyek yang menjadi kontrol offset dianggap berada dalam lokasi yang
sama dan tidak berubah.
5. Datum posisi horizontal untuk masing masing data DEM dianggap berada
dalam satu sistem.
6. Pada lokasi proyek terjadi pengurangan material tanah selama tahun 1989
sampai 2012.
I.5. Landasan Teori
Materi yang digunakan sebagai landasan dalam proyek perhitungan volume
material ini meliputi digital elevation model (DEM), DEM dari foto udara, DEM
dari LIDAR, sistem referensi tinggi, sedimen, perhitungan volume metode spot
height. Materi – materi tersebut digunakan sebagai dasar teori proyek ini kemudian
membantu proses pekerjaan proyek
I.5.1. Digital Elevation Model (DEM)
Dalam arti, DTM didefinisikan sebagai representasi digital dari medan. Banyak
peneliti yang menciptakan istilah lainnya untuk mulai digunakan. Ini termasuk model
digital elevasi (DEM), digital ketinggian Model (DHM), Model tanah digital (DGM)
serta sebagai model digital daerah ketinggian (DTEM). Istilah-istilah ini berasal dari
berbagai negara. DEM secara luas digunakan di america, DHM berasal dari Jerman,
DGM digunakan di Inggris, dan DTEM diperkenalkan dan digunakan oleh USGS
dan DMA.
Dalam prakteknya, istilah-istilah (DTM, DEM, DHM, DTEM) sering dianggap
identik dan memang ini yang sering terjadi. Tapi kadang-kadang mereka benar-benar
mengacu pada produk yang berbeda. Artinya, mungkin sedikit perbedaan antara
istilah-istilah ini. (Li, 2005) telah membuat analisis komparatif sebagai berikut :
a. Ground
b. Height
c. Elevation
d. Terrain
Dari definisi ini, beberapa perbedaan antara DTM, DHM, DEM, dan DTEM
mulai terlihat. Jadi, DGM kurang lebih memiliki arti dari "model digital dari
STUDI PERHITUNGAN VOLUME SISA ERUPSI MERAPI DENGAN DATA DEM FOTO UDARA DANLIDAR DI SUNGAI GENDOLMERAPIJUANG PUTRA WUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
permukaan padat". Berbeda dengan penggunaan alasan, ketinggian elevasi syarat dan
menekankan "pengukuran dari datum ke atas" dari sebuah objek. Mereka tidak selalu
mengacu pada ketinggian permukaan medan, tetapi dalam prakteknya, ini adalah
aspek yang menekankan pada penggunaan istilah-istilah ini. Yang dimaksud dengan
medan yang lebih kompleks dan merangkul. Ini mungkin puas konsep tinggi, tetapi
juga attemps untuk memasukkan unsur geografis lainnya dan fitur alami. Oleh
karena itu jangkauan DTM cenderung memiliki makna yang lebih luas dari DHM
atau DEM dan akan mencoba fitur medan spesifik toincorporate seperti sungai, garis
batas, garis istirahat, dll ke dalam model.
Pada awalnya DTM dalam pikiran peneliti bisa menjadi generasi baru peta
topografi, tentu saja, dalam bentuk digital. Namun peneliti geoscience
menggabungkan informasi non topografi dengan informasi topografi untuk
membangun DTM sesuai dengan kebutuhan spesifik mereka sendiri. Sebagai contoh,
di awal (Miller dan Laflammed dalam Li, 2005) dimaksudkan untuk menambah
informasi geoteknik ke node jaringan reguler strip area untuk komputer - disain jalan
dibantu. Umumnya, DTM bisa berisi empat kelompok berikut informasi sebagai
berikut:
a. Landforms
b. Terrain features
c. Natural resources
d. Sosioeconomic
Dan apabila yang diinformasikan adalah elevasi tertinggi dari tiap titik, yang
berasal dari permukaan tanah atau area diatas permukaan tanah, maka DEM disebut
sebagai Digital Surface Model (DSM). DEM berasal dari tiga sumber utama (Weibel
& Heller, 1990 dalam Sudyatmoko, 2004) :
I.5.1.1.Survey lapangan / terristris. Permukaan bumi tertutup oleh berbagai
fitur alam dan fitur buatan dimana semuanya merupakan satu kesatuan data teristris.
Pemetaan teristris dilakukan untuk melakukan identifikasi terhadap berbagai fitur
yang tidak mampu dilakukan oleh metode pengukuran lainnya. Data survey lapangan
yang berupa koordinat masing-masing titik dapat langsung dimasukan ke komputer
sehingga dapat dibentuk DEM menggunakan software tertentu. Ketelitian hasil DEM
STUDI PERHITUNGAN VOLUME SISA ERUPSI MERAPI DENGAN DATA DEM FOTO UDARA DANLIDAR DI SUNGAI GENDOLMERAPIJUANG PUTRA WUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
tergantung dari ketelitian alat yang digunakan dalam pengukuran dan kemampuan
surveyor dalam mengambil data yang mampu mewakili kondisi karakteristik
permukaan tanah.
I.5.1.2.Pengindraan jauh dan fotogrametri. Pengindraan jauh dan fotogrametri
adalah cara yang paling efisien untuk membuat dan memperbarui data DEM untuk
skala besar. Secara umum data ini diperoleh berdasarkan hasil perekaman data
melalui media kamera yang dipasang ke dalam suatu wahana. Prinsip dasar dari
fotogrametri adalah dengan membuat pasangan stereo dari 2 buah gambar untuk
membentuk suatu objek 3 dimensi. Ketelitian DEM tergantung dari metode
perekaman titik dan ketelitian citra atau foto udara yang digunakan
I.5.1.3.Peta topografi. Setiap negara memiliki peta topografinya masing masing
dan dapat digunakan sebagi sumber data alternatif dalam pembuatan DEM. Di
berbagai negara berkembang peta topografi jumlahnya sedikit dan kualitas ketelitian
dari peta topografi tersebut kurang. Untuk negara negara maju seperti Amerika,
Inggirs dan Cina, peta topografi telah tersedia dalam berbagi skla dan ketelitan. Oleh
karena itu pembuatan DEM dari sumber data peta topografi ini sangat mudah dalam
hal ketersediaan data. DEM diperoleh dengan melakukan digitasi kontur pada peta
tersebut dengan menggunakan software tertentu. Ketelitian DEM tergantung dari
ketelitian peta dan skala peta.
I.5.2. DEM Dari Data Foto Udara
Foto udara merupakan salah satu sumber data yang digunakan untuk
pembuatan DEM. Foto udara sendiri adalah sebuah gambar yang dicetak pada media
kertas (foto) yang dihasilkan melalui pemotretan dengan perekaman secara fotografi.
Foto udara ini adalah salah satu produk dari ilmu geodesi dalam perekaman obyek,
daerah, atau fenomena yang ada di permukaan bumi dengan menggunakan alat
berupa kamera dan sensor berupa film. Film hasil perekaman data kemudaia dicetak
melalui proses kimiawi.
Citra foto dapat diambil menggunakan wahana yang beragam. Wahana adalah
alat transportasi atau media yang digunakan untuk melakukan pemotretan. Wahana
dapat berupa balon udara, pesawat udara, gantole, maupun pesawat tanpa awak.
STUDI PERHITUNGAN VOLUME SISA ERUPSI MERAPI DENGAN DATA DEM FOTO UDARA DANLIDAR DI SUNGAI GENDOLMERAPIJUANG PUTRA WUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Dalam proses pemotretan ada beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan yaitu,
tujuan dari pemotretan, penentuan jalur dan arah penerbangan.
Prinsip dasar dari fotogrametri adalah untuk menggunakan sepasang gambar
stereo untuk merekonstruksi bentuk asli objek 3D dan untuk membentuk model
stereo , kemudian mengukur koordinat 3D dari objek pada model stereo . Pasangan
stereo mengacu pada dua gambar dari objek yang sama di dua foto yang sedikit
berbeda sehingga mereka memiliki area overlap . Sebenarnya, hanya di wilayah yang
terdapat overlap yang dapat dilakukan rekonstruksi model 3D .
Dalam foto udara, umumnya ada persentase overlap sekitar 60 % dalam arah
jalur terbang dan 30 % antara strip jalur terbang. Setiap foto dicirikan oleh enam
unsur orientasi yaitu tiga unsur sudut dan tiga terjemahan. Setiap dua gambar dengan
overlap dapat digunakan untuk menghasilkan model stereo.
I.5.3. DEM Dari Data LIDAR
LIDAR (Light Detection and Ranging) adalah sebuah teknologi sensor jarak
jauh menggunakan properti cahaya yang tersebar untuk menemukan jarak dan
informasi suatu obyek dari target yang dituju. Metode untuk menentukan jarak suatu
obyek adalah dengan menggunakan pulsa laser.
Seperti teknologi radar, yang menggunakan gelombang radio, jarak menuju
obyek ditentukan dengan mengukur selang waktu antara transmisi pulsa dan deteksi
sinyal yang dipancarkan. Teknologi LIDAR memiliki kegunaan dalam bidang
geodesi, geomatika, arkeologi, geografi, geologi, geomorfologi, seismologi, fisik
atmosfer, dan lain-lain. Sebutan lain untuk LIDAR adalah ALSM (Airborne Laser
Swath Mapping) dan altimetri laser.
LIDAR menggunakan cahaya inframerah, ultraviolet, tampak, atau dekat
dengan objek gambar dan dapat digunakan untuk berbagai sasaran, termasuk benda-
benda non-logam, batu, hujan, senyawa kimia, aerosol, awan dan bahkan molekul
tunggal. Sebuah sinar laser dapat digunakan untuk memperoleh fitur peta fisik
dengan resolusi sangat tinggi.
Secara umum sistem LIDAR wahana udara adalah perpaduan antara LRF
(Laser Range Finder), POS (Positioning and Orientation System) terintegrasikan
STUDI PERHITUNGAN VOLUME SISA ERUPSI MERAPI DENGAN DATA DEM FOTO UDARA DANLIDAR DI SUNGAI GENDOLMERAPIJUANG PUTRA WUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
dengan GPS (Global Positioning System), INS (Inertial Navigation System) dan
sensor laser (Liu, dalam Bachtiar 2013).
I.5.3.1.Global positioning system (GPS). Dalam sistem LIDAR, GPS
digunakan sebagai alat dan sistem penentuan posisi wahana terbang secara 3D (X, Y,
Z) terhadap sistem referensi tertentu saat LIDAR melakukan pengukuran. GPS juga
ada di permukaan bumi. Penentuan posisi ini dilakukan secara differensial sehingga
dapat mengamati posisi objek yang diam atau bergerak. (Liu, dalam Bachtiar 2013)
I.5.3.2.Inertial navigation system. INS adalah sistem navigasi yang mampu
mendeteksi perubahan orientasi dari suatu benda. Sistem ini mampu mengukur besar
perubahan orientasi wahana terbang terhadap sumbu sumbu horizontalnya (roll,
pitch, yaw). Dari hasil pengukuran yang dilakukan oleh INS, dapat menghasilkan
informasi berupa tiga dimensi dan posisi wahana terbang. (Liu, dalam Bachtiar 2013)
I.5.3.3.Sensor laser. Sensor LIDAR berfungsi untuk memancarkan sinar laser
ke objek dan merekam kembali gelombang pantulannya setelah mengenai objek.
LIDAR melakukan penyiaman dengan pola penyiaman tertentu.
Prinsip kerja LIDAR yaitu memancarkan berkas cahaya ke obyek atau
permukaan bumi oleh transmitter, kemudian kembali setelah membentur obyek atau
permukaan bumi. Pantulan tersebut direkam oleh sensor receiver sebagai data jarak.
Pengukuran jarak dapat dijelaskan dengan prinsip beda waktu. Jika waktu (tL) diukur
maka jarak antara sensor dengan obyek dapat dihitung dengan persamaan berikut
(Wehr dalam Bachtiar, 2013).
Range (R) :
....................................................................(I.1)
Range resolution ( :
.................................................................(I.2)
Maximum Range ( :
.............................................................(I.3)
Maximum Accuracy ( :
.........................................................(I.4)
Keterangan :
R : Jarak antara sensor dengan titik target yang diukur
C : konstanta kecepatan cahaya
tL : travelling time
STUDI PERHITUNGAN VOLUME SISA ERUPSI MERAPI DENGAN DATA DEM FOTO UDARA DANLIDAR DI SUNGAI GENDOLMERAPIJUANG PUTRA WUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
∆R : range bin
∆tL : optical pulse width or sample interval
S/N : single pulse signal-to noise ratio
Rmax : maximum range from the sensor to the object
tLmax : maximum travelling time
∂R : RMS range accuracy
Trise : time elapsed to reaching maximum amplitude
Jarak yang harus dilewati sinar laser sebanyak 2 kali, yaitu jarak sensor ke titik
target dan kembali ke sensor, sehingga pembagi 2 harus dimasukkan. Laser scanner
dapat dibagi ke dalam beberapa unit : laser ranging unit, opto mechanical scanner,
control and processing unit. Laser ranging unit terdiri dari pemancar laser dan
penerima elektro-optik.
Sinar laser hasil pancaran dan pantulan yang diterima sensr melewati lubang
pada ranging unit berupa garis lurus dari scanner sampai suatu titik objek yang
secara bersamaan direkam interval waktu tertentu posisi titik oleh GPS dan
orientasinya direkam oleh inertial measurement unit (IMU). Sistem laser scanner
secara keseluruhan terdiri dari laser scanner, sistem posisi dan orientasi (POS),
diwujudkan dengan mengintegrasi differential GPS (DGPS) dan inertial
measurement unit (IMU), dan unti kontrol optik (Wehr dan Lohr dalam Bachtiar,
2013). Laser scanner memiliki komponen alat yang disebut Laser Range Finder.
LRF tersebut berfungsi sebagai pengukur jarak dari transmitter ke titik terget.
Untuk dapat mengukur jarak tersebut diperlukan pencatat waktu yang mengukur
waktu laser ditembakkan sampai kembali. Waktu yang diperlukan laser untuk
kembali ke sensor merupakan parameter penentu untuk menghitung jarak dari sensor
ke satu titik target.
Sistem koordinat fix platform, biasanya dengan pusat IMU, posisi laser
scanner dihubungkan dengan IMU, dan posisi IMU dihubungkan dengan GPS (Wehr
dalam Bachtiar, 2013). Rentang waktu antara pulsa dipancarkan sampai kembali
dicatat oleh oskilator yang memiliki kemampuan pengukuran tinggi. Waktu yang
diperlukan laser untuk kembali ke sensor merupakan parameter tertentu untuk
menghitung jarak dari sensor ke satu titik target (Bachtiar, 2013).
STUDI PERHITUNGAN VOLUME SISA ERUPSI MERAPI DENGAN DATA DEM FOTO UDARA DANLIDAR DI SUNGAI GENDOLMERAPIJUANG PUTRA WUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Sistem LIDAR menghasilkan data yang dapat dicirikan sebagai didistribusikan
3D point cloud. Pengolahan Data LIDAR bertujuan untuk penghapusan objek yang
tidak diinginkan (dalam bentuk baik pengukuran yang keliru atau objek) atau
pemodelan data untuk model tertentu yang diberikan (misalnya, DTM) sebagai
bagian dari model permukaan digital diukur ( DSM ).
Dalam proses memperoleh data LIDAR, langkah-langkah berikut yang terlibat
yaitu penyaringan, klasifikasi, dan pemodelan. Penyaringan mengacu pada
penghapusan pengukuran yang tidak diinginkan untuk menemukan permukaan tanah
dari campuran tanah dan hasil pengukuran pada vegetasi. Pengukuran yang tidak
diinginkan dapat ditandai sebagai noise, outlier atau seperti bangunan atau vegetasi.
Generalisasi objek diklasifikasikan disebut sebagai model.
Pemisahan objek dari permukaan tanah menurut Axelsson dalam (Li, 2005)
adalah proses yang umum bagi sebagian besar aplikasi. Setelah objek dipisahkan dari
permukaan tanah, variasi ketinggian dari permukaan medan diperoleh.
Suatu paket sistem LIDAR terdiri dari beberapa komponen – komponen yang
saling terintegrasi. Di mana setiap komponen alat meiliki ketelitian dan sumber
kesalahan yang berbeda. Ketelitian alat mempengaruhi hasil akhir dari penyiaman
data LIDAR. Ketelitian yang diperoleh dibanding dengan luasnya area yang
dipetakan dalam waktu singkat tentu sangat sempurna. Akan tetapi, untuk
mendapatkan ketelitian pada tingkatan tertentu terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhinya yaitu diabgi ke dalam kesalahan acak dan kesalahan sistematik.
I.5.4. Sistem Referensi Tinggi
Dalam ilmu geodesi, tinggi suatu titik di permukaan bumi didefinisikan sebagai
jarak terhadap bidang referensi. Bidang referensi yang dipakan merupakan bidang
ekuipotensial gaya berat yang berhimpit dengan muka air laut rata – rata (mean sea
level) yang tidak terganggu atau disebut dengan geoid (Heliani, 2006).
Sistem tinggi yang mendasar pada bidang ekuipotensial gaya berat disebut
sistem tinggi fisis. Dalam sistem tinggi fisis, ketinggian diukur dari permukaan geoid
melalui garis gaya berat (garis arah unting - unting) sampai titik di permukaan bumi.
STUDI PERHITUNGAN VOLUME SISA ERUPSI MERAPI DENGAN DATA DEM FOTO UDARA DANLIDAR DI SUNGAI GENDOLMERAPIJUANG PUTRA WUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Ada 3 macam sistem tinggi fisis, yaitu sistem tinggi dinamis, sistem tinggi
orthometris dan sistem tinggi normal.
I.5.4.1. Sistem tinggi dinamis.Prinsip yang digunakan dalam sistem tinggi
dinamis adalah titik – titik yang terletak pada bidang ekuipotensial yang sama akan
memiliki ketinggian yang sama. Tinggi dinamis suatu titik dapat dinyatakan dengan
banyaknya lapisan bidang ekuipotensial. Tinggi dinamis tidaklah mempunyai arti
geometri (Riswanto 2013).
I.5.4.2. Sistem tinggi orthometris. Tinggi orthometris suatu titik di permukaan
bumi adalah jarak yang diukur sepanjang gasris unting- unting dari geoid sampai ke
titik tersebut di permukaan bumi (Heliani, 2006). Hal ini berarti bahwa tinggi
orthometris suatu titik di permukaan bumi adalah ketinggian suatu titik di permukaan
bumi terhadap suatu bidang referensi berupa geoid. Geoid merupakan salah satu
bidang ekuipotensial medan gaya berat bumi. Untuk keperluan praktis, umumnya
geoid dianggap berimpit dengan muka air laut rata – rata (Riswanto, 2009).
I.5.4.3. Sistem tinggi normal. Tinggi normal suatu titik di permukaan bumi
adalah ketinggian titik tersebut dari permukaan bumi terhadap bidang ellipsoid
sebagai bidang referensinya yang dihitung sepanjang garis normal ellipsoid.
Ellipsoid lebih mudah dimodelkan secara matematis dibandingkan dengan geoid.
Bidang referensi ellipsoid dan geoid umumnya tidak berhimpit, dan terdapat selisih
ketinggian antara geoid dan ellipsoid yang disebut dengan undulasi (Riswanto,
2013).
Gambar I.1 Tinggi ellipsoid dan tinggi orthometrik
(http://dc399.4shared.com/doc/VgBlgKc_/preview.html)
STUDI PERHITUNGAN VOLUME SISA ERUPSI MERAPI DENGAN DATA DEM FOTO UDARA DANLIDAR DI SUNGAI GENDOLMERAPIJUANG PUTRA WUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Keterangan gambar :
h : tinggi normal
H : tinggi orthometris
N : undulasi geoid
Dengan merujuk gambari I.1 dapat dibentuk suatu pendekatan formula
transformasi dari tinggi normal ke tinggi orthometris, yaitu (Abidin, 2000) :
H = h – N ....................................................................................................(I.5)
I.5.5. Sedimen
Sedimen adalah endapan atau deposit bahan padat yang terkumpul pada
permukaan bumi dibawah pengaruh berbagai medium (udara, air, es, gravitasi) dan
dibawah kondisi suhu dan tekanan normal yang ada pada permukaan bumi tersebut
(Benton, HH dalam Yerusalem 2001).
Bahan penyusun sedimen terdiri dari bahan klastik (sedimen tanah, lempung,
dan bahan yang berukuran pasir). Bahan ini dibawa oeh aliran air sungai yang datang
dari sisa erupsi gunung Merapi. Bahan klastik ini akan terbawa dari hulu sungai
menuju daerah hilir sungai Merapi. Sedimen merupakan salah satu polutan karena
selain dapat menurunkan kualitas air sungai sedimen dapat memperlebar lebar sungai
di daerah hulu, dan terjadinya pendangkalan di sungai sungai berhilir Merapi
(Yerusalem, 2001).
I.5.6. Perhitungan Volume Metode Spot Height
Volume mempunyai dimensi kubik, misalnya meter kubik (m3). Pada
pembahasan kali ini yang dimaksud volume adalah volume tanah. Sering terjadi
bahwa bentuk tanah yang akan dihitung volumenya tidak ideal, artinya tidak selalu
berbentu balok atau silinder. Permukaan tanah yang tidak beraturan akan dihitung
volumenya dengan beberapa metode. Bidang tanah ini mempunyai referensi pada
bidang datar atau bidang proyeksi tertentu.
STUDI PERHITUNGAN VOLUME SISA ERUPSI MERAPI DENGAN DATA DEM FOTO UDARA DANLIDAR DI SUNGAI GENDOLMERAPIJUANG PUTRA WUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Prinsip hitungan volume adalah 1 (satu) luasan dikalikan dengan 1 (satu) wakil
tinggi. Apabila ada beberapa luasan atau beberapa tinggi, maka dibuat wakilnya,
misalnya dengan merata-ratakan luasan ataupun merata-ratakan tingginya.
Gambar I.2 Surface grid
Metode spot height (gambar I.2) ini umumnya digunakan untuk menghitung
cut volume dan fill volume tanah. Setiap volume di mana sisi samping dan sisi alas
adalah datar, dan bagian permukaan tidak beraturan sehingga berbentuk seperti grid.
Gambar I.3 menunjukkan batas-batas penggalian dengan tingkat permukaan dalam
meter di A, B, C dan D. Jika ABCD daerah adalah pesawat, maka volume galian
adalah (Schofield, 2001) :
V = daerah alas ABCD x rerata tinggi
Namun, yang perlu dipertimbangkan adalah ukuran dari grid luasan itu sendiri.
Ukuran grid harus sesuai dengan bentuk permukaan yang akan dihitung volumennya.
STUDI PERHITUNGAN VOLUME SISA ERUPSI MERAPI DENGAN DATA DEM FOTO UDARA DANLIDAR DI SUNGAI GENDOLMERAPIJUANG PUTRA WUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Jika ukuran grid kurang sesuai maka permukaan tersebut dapat dibagi menjadi dua
segitiga dengan diagonal.
V = rencana daerah ABCD x berarti tinggi
Jika kotak kotak semua sama di daerah, maka data tersebut mudah ditabulasi
dan bekerja dengan memperlakukan ukuran grid secara keseluruhan .
Gambar I.3 Volume Grid
Pendekatan ini diadopsi oleh program Global Mapper dengan memisahkan
wilayah tersebut menjadi sangat kecil dengan bentuk segitiga atau grid pixel, dengan
mengalikan luas grid seperti yang ditunjukkan dalam gambar I.3 yang ada pada data
dan dikalikan tinggi dari tiap grid pixel maka volume yang akurat akan diperoleh.
STUDI PERHITUNGAN VOLUME SISA ERUPSI MERAPI DENGAN DATA DEM FOTO UDARA DANLIDAR DI SUNGAI GENDOLMERAPIJUANG PUTRA WUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/