BAB I PENDAHULUAN -...

13
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Gunung Merapi merupakan salah satu gunung api aktif di indonesia. Lereng sisi selatan Merapi berada dalam administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lereng sisi barat berada dalam administrasi Kabupaten Magelang. Sedangkan lereng sisi timur dan tenggara berada dalam administrasi Kabupaten Boyolali dan Klaten. Erupsi Merapi pada tahun 2010 yang lalu mengakibatkan berbagai kerugian secara langsung maupun tidak langsung. Kerugian langsung di antaranya gempa Vulkanik dan debu dari kubah Merapi. Sedangkan kerugian tidak langsung di antaranya banjir lahar dingin. Banjir lahar dingin membawa sedimen sisa letusan Merapi yang mengakibatkan pendalaman pada dasar sungai - sungai berhulu sungai Merapi. Curah hujan yang tinggi memperbesar kemungkinan terjadinya banjir yang menimbulkan kerusakan pada daerah sepanjang aliran sungai yang berhulu Merapi, diantaranya adalah Sungai Gendol di lereng Gunung Merapi (Laksono,2011). Sedimentasi sisa erupsi Gunung Merapi saat ini terjadi di berbagai sungai yang berhulu Merapi. Sisa erupsi mengakibatkan kerusakan pada sisi sungai. Selain itu sarana publik seperti jembatan dan jalan juga rusak akibat sisa erupsi ini. Usaha perbaikan secara struktural harus juga diimbangi dengan usaha non struktural berupa perkiraan banjir. Dengan mengetahui volume material sisa erupsi yang ada di sungai tersebut diharapkan perkiraan akan banjir dapat diketahui. Perhitungan volume sisa erupsi merapi dapat menjadi data yang membantu untuk pelaksanaan penanganan pasca bencana Merapi. Data ini dapat digunakan untuk memperkirakan seberapa besar materi yang terbawa oleh banjir lahar dingin dan memperkirakan seberapa besar materi yang mengendap di bagian sungai berhulu merapi. Perubahan volume dan bentuk topografi yang terjadi di sungai dapat diakibatkan oleh banjir lahar dingin yang melewati daerah sungai itu, aktifitas penambangan pasir juga dapat merubah volume sisa erupsi ini. STUDI PERHITUNGAN VOLUME SISA ERUPSI MERAPI DENGAN DATA DEM FOTO UDARA DAN LIDAR DI SUNGAI GENDOL MERAPI JUANG PUTRA W Universitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Gunung Merapi merupakan salah satu gunung api aktif di indonesia. Lereng

sisi selatan Merapi berada dalam administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa

Yogyakarta. Lereng sisi barat berada dalam administrasi Kabupaten Magelang.

Sedangkan lereng sisi timur dan tenggara berada dalam administrasi Kabupaten

Boyolali dan Klaten.

Erupsi Merapi pada tahun 2010 yang lalu mengakibatkan berbagai kerugian

secara langsung maupun tidak langsung. Kerugian langsung di antaranya gempa

Vulkanik dan debu dari kubah Merapi. Sedangkan kerugian tidak langsung di

antaranya banjir lahar dingin. Banjir lahar dingin membawa sedimen sisa letusan

Merapi yang mengakibatkan pendalaman pada dasar sungai - sungai berhulu sungai

Merapi. Curah hujan yang tinggi memperbesar kemungkinan terjadinya banjir yang

menimbulkan kerusakan pada daerah sepanjang aliran sungai yang berhulu Merapi,

diantaranya adalah Sungai Gendol di lereng Gunung Merapi (Laksono,2011).

Sedimentasi sisa erupsi Gunung Merapi saat ini terjadi di berbagai sungai yang

berhulu Merapi. Sisa erupsi mengakibatkan kerusakan pada sisi sungai. Selain itu

sarana publik seperti jembatan dan jalan juga rusak akibat sisa erupsi ini. Usaha

perbaikan secara struktural harus juga diimbangi dengan usaha non struktural berupa

perkiraan banjir. Dengan mengetahui volume material sisa erupsi yang ada di sungai

tersebut diharapkan perkiraan akan banjir dapat diketahui.

Perhitungan volume sisa erupsi merapi dapat menjadi data yang membantu

untuk pelaksanaan penanganan pasca bencana Merapi. Data ini dapat digunakan

untuk memperkirakan seberapa besar materi yang terbawa oleh banjir lahar dingin

dan memperkirakan seberapa besar materi yang mengendap di bagian sungai berhulu

merapi. Perubahan volume dan bentuk topografi yang terjadi di sungai dapat

diakibatkan oleh banjir lahar dingin yang melewati daerah sungai itu, aktifitas

penambangan pasir juga dapat merubah volume sisa erupsi ini.

STUDI PERHITUNGAN VOLUME SISA ERUPSI MERAPI DENGAN DATA DEM FOTO UDARA DANLIDAR DI SUNGAI GENDOLMERAPIJUANG PUTRA WUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Penggunaan foto udara dan LIDAR dapat membantu penyediaan data spasial

dan atribut. Data tersebut merekam model dasar sungai sebelum terjadinya erupsi

dan setelah erupsi. Dua data model ini kemudian dapat dihitung volume material

erupsi Merapi. Proyek ini diharapkan dapat membantu pemerintah khususnya instansi

yang terkait untuk penanganan bencana. Hasil dari proyek ini adalah didapatnya

perbedaan volume material erupsi Merapi di sebagian wilayah sungai Gendol. Nilai

volume ini kemudian menjadi data untuk dapat melakukan pencegahan dan antisipasi

apabila terjadi hujan dan terjadinya banjir di sepanjang aliran sungai yang berhulu

Merapi.

I.2. Tujuan Proyek

Tujuan proyek ini adalah untuk mendapatkan volume perhitungan material

erupsi Merapi yang terbawa dan terendap akibat banjir lahar dingin di kawasan

daerah aliran sungai Gendol berdasarkan perbandingan 2 model elevasi digital.

I.3. Manfaat Proyek

Proyek ini diharapkan dapat dijadikan pengembangan untuk proses penanganan

pasca bencana erupsi Merapi. Selain itu diharapkan dalam pembangunan sarana

untuk masyarakat juga memperhatikan sisi keamanan melalui pengetahuan akan

volume material yang ada dan yang terbawa oleh banjir lahar dingin Merapi.

I.4. Batasan Masalah

Pembatasan masalah dalam proyek ini meliputi:

1. Lokasi proyek adalah sebagian wilayah dari aliran sungai Gendol

2. Data yang digunakan dalam proyek ini adalah data DEM digitasi foto udara

tahun 1989 dan DEM LIDAR tahun 2012.

3. Prinsip penentuan volume menggunakan prinsip menghitung volume dari

perbandingan dua data surface. Proyek menggunakan perangkat lunak,

Global Mapper V11.01.

STUDI PERHITUNGAN VOLUME SISA ERUPSI MERAPI DENGAN DATA DEM FOTO UDARA DANLIDAR DI SUNGAI GENDOLMERAPIJUANG PUTRA WUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

4. Posisi obyek yang menjadi kontrol offset dianggap berada dalam lokasi yang

sama dan tidak berubah.

5. Datum posisi horizontal untuk masing masing data DEM dianggap berada

dalam satu sistem.

6. Pada lokasi proyek terjadi pengurangan material tanah selama tahun 1989

sampai 2012.

I.5. Landasan Teori

Materi yang digunakan sebagai landasan dalam proyek perhitungan volume

material ini meliputi digital elevation model (DEM), DEM dari foto udara, DEM

dari LIDAR, sistem referensi tinggi, sedimen, perhitungan volume metode spot

height. Materi – materi tersebut digunakan sebagai dasar teori proyek ini kemudian

membantu proses pekerjaan proyek

I.5.1. Digital Elevation Model (DEM)

Dalam arti, DTM didefinisikan sebagai representasi digital dari medan. Banyak

peneliti yang menciptakan istilah lainnya untuk mulai digunakan. Ini termasuk model

digital elevasi (DEM), digital ketinggian Model (DHM), Model tanah digital (DGM)

serta sebagai model digital daerah ketinggian (DTEM). Istilah-istilah ini berasal dari

berbagai negara. DEM secara luas digunakan di america, DHM berasal dari Jerman,

DGM digunakan di Inggris, dan DTEM diperkenalkan dan digunakan oleh USGS

dan DMA.

Dalam prakteknya, istilah-istilah (DTM, DEM, DHM, DTEM) sering dianggap

identik dan memang ini yang sering terjadi. Tapi kadang-kadang mereka benar-benar

mengacu pada produk yang berbeda. Artinya, mungkin sedikit perbedaan antara

istilah-istilah ini. (Li, 2005) telah membuat analisis komparatif sebagai berikut :

a. Ground

b. Height

c. Elevation

d. Terrain

Dari definisi ini, beberapa perbedaan antara DTM, DHM, DEM, dan DTEM

mulai terlihat. Jadi, DGM kurang lebih memiliki arti dari "model digital dari

STUDI PERHITUNGAN VOLUME SISA ERUPSI MERAPI DENGAN DATA DEM FOTO UDARA DANLIDAR DI SUNGAI GENDOLMERAPIJUANG PUTRA WUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

permukaan padat". Berbeda dengan penggunaan alasan, ketinggian elevasi syarat dan

menekankan "pengukuran dari datum ke atas" dari sebuah objek. Mereka tidak selalu

mengacu pada ketinggian permukaan medan, tetapi dalam prakteknya, ini adalah

aspek yang menekankan pada penggunaan istilah-istilah ini. Yang dimaksud dengan

medan yang lebih kompleks dan merangkul. Ini mungkin puas konsep tinggi, tetapi

juga attemps untuk memasukkan unsur geografis lainnya dan fitur alami. Oleh

karena itu jangkauan DTM cenderung memiliki makna yang lebih luas dari DHM

atau DEM dan akan mencoba fitur medan spesifik toincorporate seperti sungai, garis

batas, garis istirahat, dll ke dalam model.

Pada awalnya DTM dalam pikiran peneliti bisa menjadi generasi baru peta

topografi, tentu saja, dalam bentuk digital. Namun peneliti geoscience

menggabungkan informasi non topografi dengan informasi topografi untuk

membangun DTM sesuai dengan kebutuhan spesifik mereka sendiri. Sebagai contoh,

di awal (Miller dan Laflammed dalam Li, 2005) dimaksudkan untuk menambah

informasi geoteknik ke node jaringan reguler strip area untuk komputer - disain jalan

dibantu. Umumnya, DTM bisa berisi empat kelompok berikut informasi sebagai

berikut:

a. Landforms

b. Terrain features

c. Natural resources

d. Sosioeconomic

Dan apabila yang diinformasikan adalah elevasi tertinggi dari tiap titik, yang

berasal dari permukaan tanah atau area diatas permukaan tanah, maka DEM disebut

sebagai Digital Surface Model (DSM). DEM berasal dari tiga sumber utama (Weibel

& Heller, 1990 dalam Sudyatmoko, 2004) :

I.5.1.1.Survey lapangan / terristris. Permukaan bumi tertutup oleh berbagai

fitur alam dan fitur buatan dimana semuanya merupakan satu kesatuan data teristris.

Pemetaan teristris dilakukan untuk melakukan identifikasi terhadap berbagai fitur

yang tidak mampu dilakukan oleh metode pengukuran lainnya. Data survey lapangan

yang berupa koordinat masing-masing titik dapat langsung dimasukan ke komputer

sehingga dapat dibentuk DEM menggunakan software tertentu. Ketelitian hasil DEM

STUDI PERHITUNGAN VOLUME SISA ERUPSI MERAPI DENGAN DATA DEM FOTO UDARA DANLIDAR DI SUNGAI GENDOLMERAPIJUANG PUTRA WUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

tergantung dari ketelitian alat yang digunakan dalam pengukuran dan kemampuan

surveyor dalam mengambil data yang mampu mewakili kondisi karakteristik

permukaan tanah.

I.5.1.2.Pengindraan jauh dan fotogrametri. Pengindraan jauh dan fotogrametri

adalah cara yang paling efisien untuk membuat dan memperbarui data DEM untuk

skala besar. Secara umum data ini diperoleh berdasarkan hasil perekaman data

melalui media kamera yang dipasang ke dalam suatu wahana. Prinsip dasar dari

fotogrametri adalah dengan membuat pasangan stereo dari 2 buah gambar untuk

membentuk suatu objek 3 dimensi. Ketelitian DEM tergantung dari metode

perekaman titik dan ketelitian citra atau foto udara yang digunakan

I.5.1.3.Peta topografi. Setiap negara memiliki peta topografinya masing masing

dan dapat digunakan sebagi sumber data alternatif dalam pembuatan DEM. Di

berbagai negara berkembang peta topografi jumlahnya sedikit dan kualitas ketelitian

dari peta topografi tersebut kurang. Untuk negara negara maju seperti Amerika,

Inggirs dan Cina, peta topografi telah tersedia dalam berbagi skla dan ketelitan. Oleh

karena itu pembuatan DEM dari sumber data peta topografi ini sangat mudah dalam

hal ketersediaan data. DEM diperoleh dengan melakukan digitasi kontur pada peta

tersebut dengan menggunakan software tertentu. Ketelitian DEM tergantung dari

ketelitian peta dan skala peta.

I.5.2. DEM Dari Data Foto Udara

Foto udara merupakan salah satu sumber data yang digunakan untuk

pembuatan DEM. Foto udara sendiri adalah sebuah gambar yang dicetak pada media

kertas (foto) yang dihasilkan melalui pemotretan dengan perekaman secara fotografi.

Foto udara ini adalah salah satu produk dari ilmu geodesi dalam perekaman obyek,

daerah, atau fenomena yang ada di permukaan bumi dengan menggunakan alat

berupa kamera dan sensor berupa film. Film hasil perekaman data kemudaia dicetak

melalui proses kimiawi.

Citra foto dapat diambil menggunakan wahana yang beragam. Wahana adalah

alat transportasi atau media yang digunakan untuk melakukan pemotretan. Wahana

dapat berupa balon udara, pesawat udara, gantole, maupun pesawat tanpa awak.

STUDI PERHITUNGAN VOLUME SISA ERUPSI MERAPI DENGAN DATA DEM FOTO UDARA DANLIDAR DI SUNGAI GENDOLMERAPIJUANG PUTRA WUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Dalam proses pemotretan ada beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan yaitu,

tujuan dari pemotretan, penentuan jalur dan arah penerbangan.

Prinsip dasar dari fotogrametri adalah untuk menggunakan sepasang gambar

stereo untuk merekonstruksi bentuk asli objek 3D dan untuk membentuk model

stereo , kemudian mengukur koordinat 3D dari objek pada model stereo . Pasangan

stereo mengacu pada dua gambar dari objek yang sama di dua foto yang sedikit

berbeda sehingga mereka memiliki area overlap . Sebenarnya, hanya di wilayah yang

terdapat overlap yang dapat dilakukan rekonstruksi model 3D .

Dalam foto udara, umumnya ada persentase overlap sekitar 60 % dalam arah

jalur terbang dan 30 % antara strip jalur terbang. Setiap foto dicirikan oleh enam

unsur orientasi yaitu tiga unsur sudut dan tiga terjemahan. Setiap dua gambar dengan

overlap dapat digunakan untuk menghasilkan model stereo.

I.5.3. DEM Dari Data LIDAR

LIDAR (Light Detection and Ranging) adalah sebuah teknologi sensor jarak

jauh menggunakan properti cahaya yang tersebar untuk menemukan jarak dan

informasi suatu obyek dari target yang dituju. Metode untuk menentukan jarak suatu

obyek adalah dengan menggunakan pulsa laser.

Seperti teknologi radar, yang menggunakan gelombang radio, jarak menuju

obyek ditentukan dengan mengukur selang waktu antara transmisi pulsa dan deteksi

sinyal yang dipancarkan. Teknologi LIDAR memiliki kegunaan dalam bidang

geodesi, geomatika, arkeologi, geografi, geologi, geomorfologi, seismologi, fisik

atmosfer, dan lain-lain. Sebutan lain untuk LIDAR adalah ALSM (Airborne Laser

Swath Mapping) dan altimetri laser.

LIDAR menggunakan cahaya inframerah, ultraviolet, tampak, atau dekat

dengan objek gambar dan dapat digunakan untuk berbagai sasaran, termasuk benda-

benda non-logam, batu, hujan, senyawa kimia, aerosol, awan dan bahkan molekul

tunggal. Sebuah sinar laser dapat digunakan untuk memperoleh fitur peta fisik

dengan resolusi sangat tinggi.

Secara umum sistem LIDAR wahana udara adalah perpaduan antara LRF

(Laser Range Finder), POS (Positioning and Orientation System) terintegrasikan

STUDI PERHITUNGAN VOLUME SISA ERUPSI MERAPI DENGAN DATA DEM FOTO UDARA DANLIDAR DI SUNGAI GENDOLMERAPIJUANG PUTRA WUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

dengan GPS (Global Positioning System), INS (Inertial Navigation System) dan

sensor laser (Liu, dalam Bachtiar 2013).

I.5.3.1.Global positioning system (GPS). Dalam sistem LIDAR, GPS

digunakan sebagai alat dan sistem penentuan posisi wahana terbang secara 3D (X, Y,

Z) terhadap sistem referensi tertentu saat LIDAR melakukan pengukuran. GPS juga

ada di permukaan bumi. Penentuan posisi ini dilakukan secara differensial sehingga

dapat mengamati posisi objek yang diam atau bergerak. (Liu, dalam Bachtiar 2013)

I.5.3.2.Inertial navigation system. INS adalah sistem navigasi yang mampu

mendeteksi perubahan orientasi dari suatu benda. Sistem ini mampu mengukur besar

perubahan orientasi wahana terbang terhadap sumbu sumbu horizontalnya (roll,

pitch, yaw). Dari hasil pengukuran yang dilakukan oleh INS, dapat menghasilkan

informasi berupa tiga dimensi dan posisi wahana terbang. (Liu, dalam Bachtiar 2013)

I.5.3.3.Sensor laser. Sensor LIDAR berfungsi untuk memancarkan sinar laser

ke objek dan merekam kembali gelombang pantulannya setelah mengenai objek.

LIDAR melakukan penyiaman dengan pola penyiaman tertentu.

Prinsip kerja LIDAR yaitu memancarkan berkas cahaya ke obyek atau

permukaan bumi oleh transmitter, kemudian kembali setelah membentur obyek atau

permukaan bumi. Pantulan tersebut direkam oleh sensor receiver sebagai data jarak.

Pengukuran jarak dapat dijelaskan dengan prinsip beda waktu. Jika waktu (tL) diukur

maka jarak antara sensor dengan obyek dapat dihitung dengan persamaan berikut

(Wehr dalam Bachtiar, 2013).

Range (R) :

....................................................................(I.1)

Range resolution ( :

.................................................................(I.2)

Maximum Range ( :

.............................................................(I.3)

Maximum Accuracy ( :

.........................................................(I.4)

Keterangan :

R : Jarak antara sensor dengan titik target yang diukur

C : konstanta kecepatan cahaya

tL : travelling time

STUDI PERHITUNGAN VOLUME SISA ERUPSI MERAPI DENGAN DATA DEM FOTO UDARA DANLIDAR DI SUNGAI GENDOLMERAPIJUANG PUTRA WUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

∆R : range bin

∆tL : optical pulse width or sample interval

S/N : single pulse signal-to noise ratio

Rmax : maximum range from the sensor to the object

tLmax : maximum travelling time

∂R : RMS range accuracy

Trise : time elapsed to reaching maximum amplitude

Jarak yang harus dilewati sinar laser sebanyak 2 kali, yaitu jarak sensor ke titik

target dan kembali ke sensor, sehingga pembagi 2 harus dimasukkan. Laser scanner

dapat dibagi ke dalam beberapa unit : laser ranging unit, opto mechanical scanner,

control and processing unit. Laser ranging unit terdiri dari pemancar laser dan

penerima elektro-optik.

Sinar laser hasil pancaran dan pantulan yang diterima sensr melewati lubang

pada ranging unit berupa garis lurus dari scanner sampai suatu titik objek yang

secara bersamaan direkam interval waktu tertentu posisi titik oleh GPS dan

orientasinya direkam oleh inertial measurement unit (IMU). Sistem laser scanner

secara keseluruhan terdiri dari laser scanner, sistem posisi dan orientasi (POS),

diwujudkan dengan mengintegrasi differential GPS (DGPS) dan inertial

measurement unit (IMU), dan unti kontrol optik (Wehr dan Lohr dalam Bachtiar,

2013). Laser scanner memiliki komponen alat yang disebut Laser Range Finder.

LRF tersebut berfungsi sebagai pengukur jarak dari transmitter ke titik terget.

Untuk dapat mengukur jarak tersebut diperlukan pencatat waktu yang mengukur

waktu laser ditembakkan sampai kembali. Waktu yang diperlukan laser untuk

kembali ke sensor merupakan parameter penentu untuk menghitung jarak dari sensor

ke satu titik target.

Sistem koordinat fix platform, biasanya dengan pusat IMU, posisi laser

scanner dihubungkan dengan IMU, dan posisi IMU dihubungkan dengan GPS (Wehr

dalam Bachtiar, 2013). Rentang waktu antara pulsa dipancarkan sampai kembali

dicatat oleh oskilator yang memiliki kemampuan pengukuran tinggi. Waktu yang

diperlukan laser untuk kembali ke sensor merupakan parameter tertentu untuk

menghitung jarak dari sensor ke satu titik target (Bachtiar, 2013).

STUDI PERHITUNGAN VOLUME SISA ERUPSI MERAPI DENGAN DATA DEM FOTO UDARA DANLIDAR DI SUNGAI GENDOLMERAPIJUANG PUTRA WUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Sistem LIDAR menghasilkan data yang dapat dicirikan sebagai didistribusikan

3D point cloud. Pengolahan Data LIDAR bertujuan untuk penghapusan objek yang

tidak diinginkan (dalam bentuk baik pengukuran yang keliru atau objek) atau

pemodelan data untuk model tertentu yang diberikan (misalnya, DTM) sebagai

bagian dari model permukaan digital diukur ( DSM ).

Dalam proses memperoleh data LIDAR, langkah-langkah berikut yang terlibat

yaitu penyaringan, klasifikasi, dan pemodelan. Penyaringan mengacu pada

penghapusan pengukuran yang tidak diinginkan untuk menemukan permukaan tanah

dari campuran tanah dan hasil pengukuran pada vegetasi. Pengukuran yang tidak

diinginkan dapat ditandai sebagai noise, outlier atau seperti bangunan atau vegetasi.

Generalisasi objek diklasifikasikan disebut sebagai model.

Pemisahan objek dari permukaan tanah menurut Axelsson dalam (Li, 2005)

adalah proses yang umum bagi sebagian besar aplikasi. Setelah objek dipisahkan dari

permukaan tanah, variasi ketinggian dari permukaan medan diperoleh.

Suatu paket sistem LIDAR terdiri dari beberapa komponen – komponen yang

saling terintegrasi. Di mana setiap komponen alat meiliki ketelitian dan sumber

kesalahan yang berbeda. Ketelitian alat mempengaruhi hasil akhir dari penyiaman

data LIDAR. Ketelitian yang diperoleh dibanding dengan luasnya area yang

dipetakan dalam waktu singkat tentu sangat sempurna. Akan tetapi, untuk

mendapatkan ketelitian pada tingkatan tertentu terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhinya yaitu diabgi ke dalam kesalahan acak dan kesalahan sistematik.

I.5.4. Sistem Referensi Tinggi

Dalam ilmu geodesi, tinggi suatu titik di permukaan bumi didefinisikan sebagai

jarak terhadap bidang referensi. Bidang referensi yang dipakan merupakan bidang

ekuipotensial gaya berat yang berhimpit dengan muka air laut rata – rata (mean sea

level) yang tidak terganggu atau disebut dengan geoid (Heliani, 2006).

Sistem tinggi yang mendasar pada bidang ekuipotensial gaya berat disebut

sistem tinggi fisis. Dalam sistem tinggi fisis, ketinggian diukur dari permukaan geoid

melalui garis gaya berat (garis arah unting - unting) sampai titik di permukaan bumi.

STUDI PERHITUNGAN VOLUME SISA ERUPSI MERAPI DENGAN DATA DEM FOTO UDARA DANLIDAR DI SUNGAI GENDOLMERAPIJUANG PUTRA WUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Ada 3 macam sistem tinggi fisis, yaitu sistem tinggi dinamis, sistem tinggi

orthometris dan sistem tinggi normal.

I.5.4.1. Sistem tinggi dinamis.Prinsip yang digunakan dalam sistem tinggi

dinamis adalah titik – titik yang terletak pada bidang ekuipotensial yang sama akan

memiliki ketinggian yang sama. Tinggi dinamis suatu titik dapat dinyatakan dengan

banyaknya lapisan bidang ekuipotensial. Tinggi dinamis tidaklah mempunyai arti

geometri (Riswanto 2013).

I.5.4.2. Sistem tinggi orthometris. Tinggi orthometris suatu titik di permukaan

bumi adalah jarak yang diukur sepanjang gasris unting- unting dari geoid sampai ke

titik tersebut di permukaan bumi (Heliani, 2006). Hal ini berarti bahwa tinggi

orthometris suatu titik di permukaan bumi adalah ketinggian suatu titik di permukaan

bumi terhadap suatu bidang referensi berupa geoid. Geoid merupakan salah satu

bidang ekuipotensial medan gaya berat bumi. Untuk keperluan praktis, umumnya

geoid dianggap berimpit dengan muka air laut rata – rata (Riswanto, 2009).

I.5.4.3. Sistem tinggi normal. Tinggi normal suatu titik di permukaan bumi

adalah ketinggian titik tersebut dari permukaan bumi terhadap bidang ellipsoid

sebagai bidang referensinya yang dihitung sepanjang garis normal ellipsoid.

Ellipsoid lebih mudah dimodelkan secara matematis dibandingkan dengan geoid.

Bidang referensi ellipsoid dan geoid umumnya tidak berhimpit, dan terdapat selisih

ketinggian antara geoid dan ellipsoid yang disebut dengan undulasi (Riswanto,

2013).

Gambar I.1 Tinggi ellipsoid dan tinggi orthometrik

(http://dc399.4shared.com/doc/VgBlgKc_/preview.html)

STUDI PERHITUNGAN VOLUME SISA ERUPSI MERAPI DENGAN DATA DEM FOTO UDARA DANLIDAR DI SUNGAI GENDOLMERAPIJUANG PUTRA WUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Keterangan gambar :

h : tinggi normal

H : tinggi orthometris

N : undulasi geoid

Dengan merujuk gambari I.1 dapat dibentuk suatu pendekatan formula

transformasi dari tinggi normal ke tinggi orthometris, yaitu (Abidin, 2000) :

H = h – N ....................................................................................................(I.5)

I.5.5. Sedimen

Sedimen adalah endapan atau deposit bahan padat yang terkumpul pada

permukaan bumi dibawah pengaruh berbagai medium (udara, air, es, gravitasi) dan

dibawah kondisi suhu dan tekanan normal yang ada pada permukaan bumi tersebut

(Benton, HH dalam Yerusalem 2001).

Bahan penyusun sedimen terdiri dari bahan klastik (sedimen tanah, lempung,

dan bahan yang berukuran pasir). Bahan ini dibawa oeh aliran air sungai yang datang

dari sisa erupsi gunung Merapi. Bahan klastik ini akan terbawa dari hulu sungai

menuju daerah hilir sungai Merapi. Sedimen merupakan salah satu polutan karena

selain dapat menurunkan kualitas air sungai sedimen dapat memperlebar lebar sungai

di daerah hulu, dan terjadinya pendangkalan di sungai sungai berhilir Merapi

(Yerusalem, 2001).

I.5.6. Perhitungan Volume Metode Spot Height

Volume mempunyai dimensi kubik, misalnya meter kubik (m3). Pada

pembahasan kali ini yang dimaksud volume adalah volume tanah. Sering terjadi

bahwa bentuk tanah yang akan dihitung volumenya tidak ideal, artinya tidak selalu

berbentu balok atau silinder. Permukaan tanah yang tidak beraturan akan dihitung

volumenya dengan beberapa metode. Bidang tanah ini mempunyai referensi pada

bidang datar atau bidang proyeksi tertentu.

STUDI PERHITUNGAN VOLUME SISA ERUPSI MERAPI DENGAN DATA DEM FOTO UDARA DANLIDAR DI SUNGAI GENDOLMERAPIJUANG PUTRA WUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Prinsip hitungan volume adalah 1 (satu) luasan dikalikan dengan 1 (satu) wakil

tinggi. Apabila ada beberapa luasan atau beberapa tinggi, maka dibuat wakilnya,

misalnya dengan merata-ratakan luasan ataupun merata-ratakan tingginya.

Gambar I.2 Surface grid

Metode spot height (gambar I.2) ini umumnya digunakan untuk menghitung

cut volume dan fill volume tanah. Setiap volume di mana sisi samping dan sisi alas

adalah datar, dan bagian permukaan tidak beraturan sehingga berbentuk seperti grid.

Gambar I.3 menunjukkan batas-batas penggalian dengan tingkat permukaan dalam

meter di A, B, C dan D. Jika ABCD daerah adalah pesawat, maka volume galian

adalah (Schofield, 2001) :

V = daerah alas ABCD x rerata tinggi

Namun, yang perlu dipertimbangkan adalah ukuran dari grid luasan itu sendiri.

Ukuran grid harus sesuai dengan bentuk permukaan yang akan dihitung volumennya.

STUDI PERHITUNGAN VOLUME SISA ERUPSI MERAPI DENGAN DATA DEM FOTO UDARA DANLIDAR DI SUNGAI GENDOLMERAPIJUANG PUTRA WUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Jika ukuran grid kurang sesuai maka permukaan tersebut dapat dibagi menjadi dua

segitiga dengan diagonal.

V = rencana daerah ABCD x berarti tinggi

Jika kotak kotak semua sama di daerah, maka data tersebut mudah ditabulasi

dan bekerja dengan memperlakukan ukuran grid secara keseluruhan .

Gambar I.3 Volume Grid

Pendekatan ini diadopsi oleh program Global Mapper dengan memisahkan

wilayah tersebut menjadi sangat kecil dengan bentuk segitiga atau grid pixel, dengan

mengalikan luas grid seperti yang ditunjukkan dalam gambar I.3 yang ada pada data

dan dikalikan tinggi dari tiap grid pixel maka volume yang akurat akan diperoleh.

STUDI PERHITUNGAN VOLUME SISA ERUPSI MERAPI DENGAN DATA DEM FOTO UDARA DANLIDAR DI SUNGAI GENDOLMERAPIJUANG PUTRA WUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/