BAB I PENDAHULUAN -...

30
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Permasalahan Manusia merupakan makhluk yang kompleks. Beragam gelar diberikan kepada dirinya. Para antropolog demikian kagum pada sifatsifat manusia, sehingga memberikan sebutan homo sapien, seperti keterampilan bahasa, teknologi yang tinggi dan kemampuan untuk membuat pertimbangan etis (Leakey, 2003: 1). Para filosof menyebut rational animal karena manusia merupakan makhluk yang handal dalam berpikir (Copleston, 1993: 104). Manusia juga dikenal dengan makhluk suka bertanya, sebutan tersebut mengandaikan bahwa manusia sejak awal telah memiliki bakat berfilsafat. Manusia sejak dini telah mempertanyakan segala sesuatu, bahkan tentang hakikat dirinya, dari mana berasal dan ke arah mana menuju (Weij, 1991: 6). Kecenderungan manusia mempertanyakan segala hal, karena rasa kagum akan realitas, baik perihal sederhana maupun rumit (Hadi, 2005: 14). Manusia dalam kajian sejarah agama, dikenal sebagai makhluk spiritual atau homo religiosus (Amstrong, 1993: 28). Gelar makhluk spritual bagi manusia merupakan sebuah afirmasi bahwa manusia pada dasarnya membutuhkan suatu bentuk kepercayaan kepada kekuatan adi kodrati, gaib, atau Tuhan. Manusia dengan kepercayaan tersebut menciptakan tata nilai yang menopang hidupnya.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...

1

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

1. Permasalahan

Manusia merupakan makhluk yang kompleks. Beragam gelar diberikan

kepada dirinya. Para antropolog demikian kagum pada sifat­sifat manusia,

sehingga memberikan sebutan homo sapien, seperti keterampilan bahasa,

teknologi yang tinggi dan kemampuan untuk membuat pertimbangan etis (Leakey,

2003: 1). Para filosof menyebut rational animal karena manusia merupakan

makhluk yang handal dalam berpikir (Copleston, 1993: 104). Manusia juga

dikenal dengan makhluk suka bertanya, sebutan tersebut mengandaikan bahwa

manusia sejak awal telah memiliki bakat berfilsafat. Manusia sejak dini telah

mempertanyakan segala sesuatu, bahkan tentang hakikat dirinya, dari mana

berasal dan ke arah mana menuju (Weij, 1991: 6). Kecenderungan manusia

mempertanyakan segala hal, karena rasa kagum akan realitas, baik perihal

sederhana maupun rumit (Hadi, 2005: 14).

Manusia dalam kajian sejarah agama, dikenal sebagai makhluk spiritual

atau homo religiosus (Amstrong, 1993: 28). Gelar makhluk spritual bagi manusia

merupakan sebuah afirmasi bahwa manusia pada dasarnya membutuhkan suatu

bentuk kepercayaan kepada kekuatan adi kodrati, gaib, atau Tuhan. Manusia

dengan kepercayaan tersebut menciptakan tata nilai yang menopang hidupnya.

2

Nilai­nilai tersebut mewujudkan dalam institusi dan tradisi yang diwariskan secara

turun­temurun antar generasi manusia (Bakhtiar, 1997: 55).

Sebagian pemikir berpendapat bahwa manusia menyembah kekuatan­

kekuatan adi kodrati setelah menyadari bahwa dirinya adalah manusia. Kekuatan

adi kodrati tersebut diberi beragam nama oleh manusia sesuai dengan budaya dan

bahasa masing­masing, seperti Dewa, Tuhan, God, Deus, Allah dan lain

sebagainya (Ya’kub, 1984: 6). Konsep atau gagasan manusia tentang Tuhan tak

pernah berada di luar ruang dan waktu. Gagasan mengenai Tuhan selalu berada

dalam sejarah, karena mengada dalam beragam locus dan tempus manusia yang

berbeda. Problem ketuhanan atau keagamaan merupakan fenomena kemanusiaan,

oleh sebab itu perihal ketuhanan sifatnya tidak terikat ruang dan waktu.

Para peneliti telah lama melakukan kajian tentang sejarah gagasan Tuhan

yang diyakini oleh manusia. Pertanyaan yang muncul antara lain, manakah yang

terlebih dahulu antara kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Tunggal

(monotheisme) dengan kepercayaan manusia pada segala benda yang memiliki

kekuatan atau mana (dinamisme)? ataukah sesudah itu berkembang kepercayaan

manusia pada roh nenek moyang yang dikenal dengan animisme ataukah

politheisme yakni kepercayaan manusia pada dewa­dewa? Perihal tersebut para

peneliti tidak mempunyai kesamaan pandangan (Hamka. 1987: 4).

Para pendukung teori evolusi meyakini bahwa kepercayaan manusia pada

awalnya demikian sederhana dan berkembang menjadi lebih komplek,

berpendapat bahwa, kepercayaan paling primitif adalah dinamisme dan paling

tinggi adalah monotheisme. Teori termodinamika berpandangan bahwa

3

kepercayaan manusia yang pertama adalah monoteisme murni, namun karena

perjalanan hidup manusia, kepercayaan tersebut menjadi kabur dan dimasuki oleh

anasir animisme dan politheisme (Bakhtiar, 1997: 56).

Manusia dengan keberagaman gagasan tentang Tuhan, Xenophanes

mengatakan bahwa seandainya binatang seperti kuda, kerbau dan singa memiliki

tangan maka mereka akan melukis gambar Tuhan mereka menyerupai citra

mereka sebagai binatang (Lesher, 1998: 9085). Manusia kemudian bertanya,

siapakah Tuhan? Seorang sastrawan Yunani yang bernama Pindar pada abad ke­5

SM memberikan sebuah jawaban bahwa Tuhan adalah segala sesuatu (Morris,

2003: 27). Filosof atheis yaitu Jean Paul Sartre (1905­1980), memberikan jawaban

berbeda. Ia berpendapat bahwa sekiranya Tuhan benar­benar ada, tetap perlu

ditolak karena keberadaannya menafikan kemerdekaan manusia (Amstrong, 1993:

184).

Pemikir teistik memberikan definisi bahwa Tuhan sebagai Dzat Yang

Maha Pencipta. Tuhan dan makhluk sangat berbeda. Tuhan berada di alam

(imanen), tetapi Dia juga jauh dari alam (trancendent). Theisme secara umum

dianut oleh agama­agama besar seperti Islam, Kristen dan Yahudi. Tuhan dalam

Islam dipahami sebagai Dzat Yang Esa. Tuhan juga dipahami sebagai Dzat

trancendent dan imanent. Allah berfirman dalam Al­Qur’an surat Al­Ikhlas ayat

1, surat Al­‘Araaf ayat 54 dan surat Al­Kahf ayat 16:

ö≅ è% uθèδ ª!$# î‰ymr& ) ۱ (

Artinya: “Katakanlah: “Dia­lah Allah, Yang Maha Esa” (Departemen Agama, 1989:1118)

4

χÎ) ãΝ ä3−/u‘ ª! $# “Ï%©!$# t,n= y ÏN≡ uθ≈yϑ¡¡9$# uÚö‘F$# uρ ’Îû Ïπ−GÅ™ 5Θ$−ƒ r& §Ν èO

3“uθ tGó™ $# ’n?tã Ä ó yê ø9$# Å øóム≅ ø‹©9$# u‘$pκ]9$# … çµç7 è=ôÜ tƒ $ZWÏW ym §ôϑ¤±9$#uρ

t yϑs) ø9$# uρ tΠθàf‘Ζ9$# uρ ¤N≡ t¤‚|¡ ãΒ ÿ ÍνÍ ö∆r'Î/ 3 ωr& ã&s! ß,ù= sƒø:$# â ö∆F$# uρ 3 x8u‘$t6 s? ª! $#

> u‘ tÏΗ s>≈yèø9$# ) ٥٤ (

Artinya: “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan­Nya pula) matahari, bulan dan bintang­bintang (masing­masing) tunduk kepada perintah­ Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam” (QS. Al­‘Araaf: 54) (Departemen Agama, 1989: 230).

ô‰s) s9uρ $uΖø) n= yz z≈|¡ΣM$# ÞΟn= ÷ètΡ uρ $tΒ â Èθó™ uθè? ϵÎ/ … çµÝ¡ øÿ tΡ ( ßøtwΥuρ Ü> tø% r& ϵø‹ s9Î)

ôÏΒ È≅ ö7 ym ωƒ Í‘uθø9$# ) ۱٦ (

Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (QS. Al­Qaaf: 16) (Departemen Agama, 1989: 852).

Al­Ghazali seorang filosof dan sufi dalam Islam berpendapat bahwa Allah

adalah Dzat Yang Maha Pencipta, berperan aktif dalam mengendalikan alam.

Allah merupakan Dzat Yang Maha Kuasa dan Maha Berkehendak. Allah mampu

mengubah segala ciptaannya sesuai dengan kehendak mutlakNya (Al­Ghazali,

1968: 240).

Menurut Al­Ghazali dalam Al­Munqidz min al­Dhalal wa ma’ahu Kimya’u

al­Sa’aadah wa al­Adab fi al­ Din, pengetahuan akan Tuhan hanya bisa dilakukan

5

melalui media “rasa” (dzauq). Dzauq ibarat melihat dengan mata atau memegang

dengan tangan, merupakan jalan tasawuf atau mistik Islam. Al­Ghazali

berpendapat bahwa manusia terdiri atas dua elemen yakni jasmani dan hati. Hati

yang dimaksud oleh Al­Ghazali merupakan hakikat ruh yang merupakan tempat

untuk makrifat atau mengetahui Allah. Hati yang mampu mengenal Allah adalah

hati yang sehat (Al­Ghazali,tt:74­75). Pandangan Al­Ghazali ini diilhami Al­

Qur’an Surat Al­Syu’araa’ ayat 89:

ω Î) ô tΒ ’tA r& ©! $# 5=ù= s)Î/ 5ΟŠÎ= y™ ) ۸۹ (

Artinya: “Kecuali orang­orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (Departemen Agama, 1989: 580).

Al­Ghazali dalam karya yang berjudul “Kimia Kebahagiaan” (Kimyaa’u

al­Sa’adah), menggarisbawahi bahwa pengenalan Tuhan selalu diawali oleh

pengenalan diri sebagai manusia (Al­Ghazali, tt:108). Pengetahuan diri

merupakan kunci pengetahuan tentang Tuhan. Pandangan Al­Ghazali ini diilhami

Al­Qur’an surat Al­Fushshilat ayat 53:

óΟÎγƒÎ ã∴y™ $uΖ ÏF≈ tƒ#u ’ Îû É−$sù Fψ$# þ’ Îû uρ öΝ ÍκŦàÿΡr& 4®Lym t ¨ t7oKtƒ öΝßγ s9 çµΡ r& ‘,ptø:$# 3

öΝ s9uρr& É#õ3tƒ y7În/ t Î/ … çµΡr& 4’ n?tã Èe≅ä. &ó x«  Íκy− ) ٥۳ (

Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda­tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (Departemen Agama, 1989: 801).

Al­Ghazali dalam buku Kimiya as­Sa’adah (kimia kebahagiaan) menerangkan :

6

هبر فرع فقد هفسن فرع نم

Artinya: “Barang siapa mengenal dirinya sendiri, maka akan mengenal Tuhannya.”

Al­Ghazali berpendapat bahwa manusia merupakan merupakan citra dari

Tuhan (Al­Ghazali,1997:20), yang sesuai dengan sabda Rasulullah saw. dalam

hadits qudsi:

هترولى صع مآد لقإن اهللا خ

Artinya: “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam menyerupai citra­Nya.”

Setiap pribadi bertugas mengetahui hakikat dirinya, darimana datang,

untuk apa diciptakan dan dengan apa merasakan kebahagiaan (Al­Ghazali, tt:

108). Al­Ghazali berpendapat bahwa, nikmat kebahagiaan tertinggi seorang

manusia adalah mengetahui Allah SWT, sedangkan medium yang dipakai adalah

hati (Al­Ghazali, tt: 130). Tuhan itu sendiri merupakan cahaya sejati (Al­Ghazali,

1997: 20). Al­Ghazali berpendapat bahwa pengenalan kepada Allah merupakan

sebuah upaya menemukan kebahagiaan sejati. Pengenalan kepada Allah akan

melahirkan kecintaan kepadaNya. Al­Ghazali berpendapat bahwa kecintaan

kepada Allah merupakan tujuan paling utama dan derajat tertinggi yang bisa

diraih oleh manusia (Al­Ghazali, 1995: 294). Manusia ideal atau sempurna adalah

yang telah sampai pada tahap cinta kepada Tuhannya, maka bukan sebuah

keniscayaan jika Allah SWT mengukur kadar keimanan seseorang atas

kecintaannya kepada Allah dan RasulNya. Pandangan Al­Ghazali ini diilhami Al­

Qur’an surat Al­Baqarah ayat 165 :

7

∅ÏΒuρ Ĩ$Ζ9$# tΒ ä‹Ï‚−Gtƒ ÏΒ Èβρߊ «!$# # YŠ#y‰Ρr& öΝ åκtΞθ ™6 Ïtä† Éb=ßsx. «!$# (

tÉ‹©9$# uρ (# þθ ãΖ tΒ# u ‘‰x©r& $6ãm °! 3 öθ s9uρ “ t tƒ tÏ%©!$# (# þθ ãΚn= sß øŒÎ) tβ÷ρt tƒ z>#x‹yèø9$#

¨βr& nο§θ à) ø9$# ¬! $Yè‹ Ïϑy_ ¨βr&uρ ©! $# ߉ƒ ωx© É># x‹yèø9$# ) ۱٦٥ (

Artinya; “Dan di antara manusia ada orang­orang yang menyembah selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang­orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang­ orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah Amat berat siksaan­Nya (niscaya mereka menyesal)” (Departemen Agama, 1989:39).

Rasulullah saw bersabda dalam sebuah hadits:

أحدكم حتى يكون اهللا ورسوله أحب إليه من أهله وماله والناس أجمعين ايؤمن ل

Artinya: “Tidaklah seseorang di antara kamu beriman hingga Allah dan RasulNya lebih dicintainya daripada keluarga dan hartanya serta semua orang.”

Manusia ideal memiliki ciri yakni kosongnya hati dari selain Tuhan dan

kesempurnaan pengetahuan atau makrifatnya (Al­Ghazali,1995: 297­298).

Pengenalan kepada Tuhan berimplikasi terhadap pribadi seseorang menjadi

manusia ideal.

Konsep Ketuhanan Al­Ghazali demikian penting untuk diteliti, karena

didalamnya mengandung ajaran­ajaran agama terutama tentang masalah Tuhan,

yang dapat membangkitkan semangat berupaya meningkatkan keimanan dan

ketaqwaan kepada Allah SWT sehingga timbul keinginan untuk senantiasa

beribadah semaksimal mungkin agar terhindar dari perbuatan­perbuatan dosa.

8

Berdasarkan pemikiran di atas, penulis mengambil judul “Konsep

Ketuhanan Al­Ghazali dalam Perspektif Filsafat Ketuhanan dan Relevansinya

dalam Pembentukan Pribadi Ideal di Indonesia”.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka penulis

menguraikan beberapa rumusan masalah:

a. Bagaimana karakteristik pemikiran ketuhanan Al­Ghazali ?

b. Bagaimana konsep ketuhanan Al­Ghazali dalam pembentukan pribadi

ideal ?

c. Apa relevansi pemikiran Al­Ghazali tentang ketuhanan dalam konteks

Indonesia ?

3. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang pemikiran kefilsafatan Al­Ghazali sudah banyak

dilakukan oleh para cendekiawan, baik pada waktu yang lampau maupun saat ini,

misal: Konsep Pendidikan Al­Ghazali oleh Fathiyah Hasan Sulaiman (Baths Fi’l­

Madzhab Al tarbawy Inda’l­Ghazaly) (1964), Etika Al­Ghazali (The Ethics of Al­

Ghazali: A Composite Ethics in Islam) (1975) oleh Muhammad Abul Quasem,

Manusia Menurut Al­Ghazali oleh Muhammad Yasir Nasution (1988). Filsafat

Manusia menurut Confucius dan Al­Ghazali tahun 2004 oleh peneliti.

Penelitian dalam bentuk disertasi antara lain: Konsep Kefilsafatan Tentang

Ketuhanan Menurut Alfred North Whitehead, disusun oleh Damardjati Supadjar

9

tahun 2005; dan Hakikat Ketuhanan Budhisme Awal, disusun oleh Dhamarputra

Aris Wardoyo tahun 2009.

Penelitian dalam bentuk tesis antara lain: Konsep Ketuhanan Dalam Neo

Sufisme Fathurrachman, disusun oleh Ridha Ahida tahun 1998; Pemikiran

Ketuhanan Asya’riyah (Tinjauan Filosofis dan Kontribusinya Terhadap

Masyarakat Dewasa Ini), disusun oleh Taisik Ibrahim tahun 2001; dan Makna

Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila Relevansi Pelaksanaannya dalam

Bermasyarakat dan Bernegara, disusun oleh Syafroni tahun 2005.

Beberapa buku dan penelitian telah disebutkan di atas, sejauh pengamatan

penulis belum menemukan penelitian yang berkaitan dengan “Konsep Ketuhanan

Al­Ghazali dalam Perspektif Filsafat Ketuhanan dan Relevansinya dalam

Pembentukan Pribadi Ideal di Indonesia”. Penelitian ini didasarkan karangan­

karangan asli Al­Ghazali, seperti: Ihya Ulumuddin, Al­Munqidz Min al­Dhalal,

Kimya’u Sa’adah, Misykaat al­Anwaar serta karya­karya Al­Ghazali yang lain

dan perlu diketahui bahwa objek formal penelitian ini adalah filsafat ketuhanan.

4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:

A. Bagi Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Penelitian ini berusaha menganalisis konsep ketuhanan Al­Ghazali dan

relevansinya dalam pembentukan pribadi ideal di Indonesia melalui analisis

filsafat ketuhanan, sehingga dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu

10

pengetahuan terutama untuk memperdalam dan memperluas cakrawala ilmu

pengetahuan terutama filsafat ketuhanan.

B. Bagi Ilmu Filsafat

Penelitian ini adalah penelitian yang berbasis filsafat berupaya menelaah

hal­hal yang berciri khas kefilsafatan pemikiran Al­Ghazali, maka diharapkan

dapat memberikan inspirasi yang berharga dan bermanfaat bagi perkembangan

ilmu pengetahuan terutama dalam dunia kefilsafatan.

C. Bagi bangsa Indonesia

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi bangsa dan negara Indonesia,

karena bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa religius berdasarkan Pancasila

dan mayoritas beragama Islam, sudah sewajarnya dalam kehidupan sehari­hari

melaksanakan ajaran agama Islam dengan sebaik­baiknya. Konsep ketuhanan Al­

Ghazali yang akan dibahas dalam penelitian ini diharapkan dapat menggugah

semangat keberagamaan bangsa Indonesia sehingga akan relevan dalam upaya

pembentukan pribadi ideal yaitu pribadi muslim yang senantiasa bertanggung

jawab terhadap kemajuan dan perkembangan bangsa dan negara Indonesia dengan

berpegang teguh pada nilai­nilai akhlakul karimah sehingga terhindar dari

perbuatan­perbuatan yang menyimpang dari kebenaran dan keadilan.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah :

11

1. Menemukan hakikat Tuhan secara filosofis dan mengetahui bagaimana

karakteristik pemikiran kefilsafatan Al­Ghazali sebagai seorang filosof dan

sufi dalam dunia Islam.

2. Berupaya memperoleh pemahaman dan kejelasan tentang konsep

ketuhanan Al­Ghazali dalam pembentukan pribadi ideal.

3. Melakukan evaluasi kritis dan pengamatan terhadap konsep ketuhanan Al­

Ghazali dan relevansinya dalam konteks Indonesia.

C. Tinjauan Pustaka

Permasalahan tentang Tuhan merupakan hal yang sudah lama dibahas.

Bron R. Taylor dalam The Encyclopedia of Religion and Nature, merujuk pada

penelitian yang dilakukan seorang arkeolog yakni Jacques Cauvin, penemuan

arkeologis membuktikan bahwa kepercayaan kepada Tuhan mendahului revolusi

pertanian (Taylor, 2005: xix). Marsha E. Ackermann dalam Encyclopedia of

World History: The Ancient World Prehistoric Era to 600 C.E., pada sekitar tahun

10.000 SM di China aktivitas pertanian telah dimulai sepanjang Sungai Kuning

dalam bentuk budidaya padi, gandum dan hasil bumi lainnya (Ackermann, 2008:

xxix). Philip Wilkinson dan Douglas Charing dalam Encyclopedia of Religion,

agama pertama hidup pada tahun 5.000 tahun SM, dengan bukti adanya

Stonehenge sebagai situs keagamaan di daerah selatan Inggris yang diperkirakan

dibangun sekitar tahun itu (Wilkinson dan Charing, 2004: 13).

Gagasan tentang Tuhan merupakan idea yang telah lahir dan berkembang

semenjak ribuan tahun yang lalu. Setiap aliran keagamaan memiliki gagasan

sendiri tentang Tuhan. F.B. Jevons dalam karyanya yang berjudul The Idea of God

12

in Early Religions menyatakan bahwa gagasan tentang Tuhan tidak hanya klaim

para penganut monoteisme, karena ide mengenai Tuhan juga dimiliki oleh para

penganut politeisme. Tuhan bagi seorang penganut politeisme merupakan sosok

yang suci dan lebih agung dari manusia (Jevons, 1913: 22). David M. Holley

dalam Meaning and Mystery: What it Means to Believe in God, melihat bahwa

gagasan tentang Tuhan biasanya dipahami dalam kaitannya bagaimana manusia

menciptakan kesadaran sekitar tata­cara dalam menjalani hidup yang seharusnya.

Eksistensi Tuhan dibutuhkan oleh manusia sebagai penyempurna keberadaan

dirinya di dunia (Holley, 2010: 3).

Kautsar Azhari Noer menggarisbawahi terkait dengan gagasan atau ide

mengenai Tuhan, perlu dibedakan dari Tuhan yang sejatinya. Noer dalam risalah

yang berjudul Tuhan Yang Diciptakan dan Tuhan Yang Sebenarnya, berpendapat

bahwa Tuhan dalam konsep, ide atau gagasan bukanlah Tuhan sebenarnya. Tuhan

yang sebenarnya berada di luar konsep, ide atau gagasan. Tuhan dalam konsep

adalah Tuhan yang diciptakan oleh manusia, bukan Tuhan sebenarnya. Tuhan

sebagaimana Dia yang sebenarnya, Tuhan pada diri­Nya, Dzat Tuhan tidak

diketahui dan tidak dapat diketahui oleh akal manusia. Ia dalam hal ini meminjam

istilah Ibnu Arabi yakni The Real God atau al­ilah al­haq. Tuhan dalam arti

tersebut adalah munazzah yang berarti tidak dapat dibandingkan sama sekali

dengan alam, atau trancendent terhadap alam. (Noer, 1998: 132­137).

Al­Ghazali sebagai seorang filosof dan sufi Islam merupakan pemikir

Islam yang kaya akan gagasan termasuk ide mengenai Tuhan. Al­Ghazali

memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad Al­Ghazali dan mendapat gelar

13

Hujjatul Islam atau Zayn ad­din (hiasan agama). M. Abul Quasem dalam karya

yang berjudul Etika Al­Ghazali: Etika Majemuk dalam Islam, memberikan sebuah

testimoni bahwa Al­Ghazali merupakan seorang tokoh agama terbesar setelah

Rasululullah saw. Al­Ghazali memiliki akhlak yang baik dan pengetahuan yang

mendalam tentang berbagai disiplin keilmuan yang luas seperti etika, logika,

teologi, filsafat dan hukum (Quasem,1988: 1).

Idries Shah dalam karya yang berjudul Mahkota Sufi: Menembus Dunia

Ekstra Dimensi, menganggap bahwa gelar tertinggi “Hujjatul Islam” yang

disematkan pada figur seorang Al­Ghazali karena kemampuannya mendamaikan

Islam dengan intelektualisme dan memperbaiki kepercayaan­kepercayaan pokok

Asy’ariah sebagai kepercayaan Islam universal. Al­Ghazali juga mampu

memberikan keyakinan bagi pengikut Islam ortodoks bahwa sufisme tidak

bertentangan dengan Islam. Al­Ghazali tidak hanya mempengaruhi pemikir­

pemikir Islam, tetapi juga pemikir­pemikir di luar Islam seperti John Bunyan,

Ramon Marti, Thomas Aquinas dan Pascal (Shah, tt: 150­151).

Rene Descartes yang mendapat gelar Bapak Filsafat Modern pemikirannya

dipengaruhi oleh Al­Ghazali, meskipun hal itu tidak diakui secara tegas oleh

Descartes. Mahmud Hamdi Zaqzuq dalam karya yang berjudul Al­Ghazali: Sang

Sufi ­ Sang Filosof (Sebuah Perbandingan Metoda Filsafat Antara Al­Ghazali

dengan Descartes) menjelaskan hubungan pendapat Al­Ghazali dalam karya yang

berjudul al­Munqidz min al­ Dhalal. Al­Ghazali mengatakan bahwa keraguan

merupakan peringkat pertama keyakinan dan pendapat Descartes yang tertuang

dalam ucapan: “Aku berpikir, maka aku ada” (cogito ergo sum) (Zaqzuq, 1987:

14

vi­vii). Mahmud Hamdi Zaqzuq mengatakan ada seorang sejarawan muslim yakni

‘Utsman al Ka’ak yang saat itu menjabat sebagai Direktur Gerakan Nasional

diminta oleh Muhammad ‘Abdul Hadi Abu Ridah ­guru besar di sebuah

perguruan tinggi di Mesir ­ diminta membantu dalam pengkajian tentang

hubungan antara pendapat Al­Ghazali dan Descartes. Utsman al­Ka’ak pernah

mengunjungi perpustakaan Descartes di Paris. Ia menemukan terjemahan dari

karya Al­Ghazali (abad kesebelas Masehi) di perpustakaan tersebut. Al­Ghazali

mendapatkan Descartes memberikan perhatian khusus pada ungkapan Al­Ghazali:

“keraguan adalah peringkat pertama keyakinan...”. Ungkapan tersebut oleh

Descartes diberi garis merah dan memberi catatan sebagai berikut: “pindahkan ini

ke dalam metode kita.”

Descartes dipengaruhi oleh pemikiran Al­Ghazali, demikian pula David

Hume berkaitan dengan hukum kausalitas. Massimo Companini dalam tulisan

berjudul “Al­Ghazali” dalam Eksiklopedi Tematis Filsafat Islam (Bagian

Pertama). Ia berpendapat bahwa Al­Ghazali lebih awal dari David Hume yang

beranggapan bahwa relasi kausalitas hanyalah penampakan dan merupakan efek

dari kebiasaan manusia mengaitkan dua peristiwa yang terjadi secara konsisten

dalam alam (Companini,2003: 326­327). Al­Ghazali mengutarakan pandangan

tersebut dalam karya yang berjudul Tahafut al­ Falasifah. Al­Ghazali berpendapat

bahwa Tuhanlah yang menciptakan hubungan antar fenomena dalam kehidupan.

Tuhan dapat menentukan hukum­hukum alam dan menundukkan fungsi­fungsi

alam kepada hukum yang sama sekali baru. Tuhan dalam hal memberikan sifat­

sifat alamiah kepada api untuk membakar atau air untuk memadamkan.

15

Al­Ghazali oleh para pemikir dipandang sebagai seorang filosof sekaligus

sufi, misal, Harun Nasution dalam karya yang berjudul Islam Ditinjau dari

Berbagai Aspeknya mengatakan bahwa Al­Ghazali sebagai filosof terlihat pada

keraguan metodisnya dalam al­Munqidz min al­Dhalal. Harun Nasution

menggambarkan bahwa Al­Ghazali sekali waktu pernah diserang oleh penyakit

ragu. Al­Ghazali meragukan pengetahuan yang diperoleh melalui pancaindera dan

akal. Al­Ghazali mengkritik terhadap para filosof tentang tiga hal yang membawa

mereka pada kekufuran, yaitu pandangan tentang alam ini qadim dalam arti tidak

bermula dalam waktu, Tuhan tidak mengetahui hal­hal kecil yang terjadi di alam,

dan tidak ada kebangkitan jasmani. Al­Ghazali sebagai seorang filosof dan sufi

telah berhasil memberikan argumentasi yang meyakinkan bahwa tasawuf atau

mistisisme tidak bertentangan dengan Islam (Nasution,1985: 53­54).

Harun Nasution dalam buku yang berjudul Akal dan Wahyu dalam Islam,

mengatakan bahwa sebenarnya pertentangan antara Al­Ghazali dan para filosof

Islam terdapat pada interpretasi tentang dasar­dasar ajaran Islam. Kedua pihak

tetap mengakui bahwa Tuhan sebagai Dzat Yang Maha Pencipta alam semesta ini.

Alam diciptakan dan dipahami secara berbeda, apakah diciptakan sejak azali oleh

Tuhan sehingga bersifat qadim ataukah diciptakan oleh Tuhan tidak semenjak

azali sehingga ia bersifat baru? Kedua belah pihak juga tetap mengimani Dzat

Yang Maha Mengetahui. Keduanya berbeda dalam melihat tentang pengetahuan

Tuhan, apakah sama dengan pengetahuan manusia atau berbeda. Kedua belah

pihak sama­sama mengakui adanya hari akhir tetapi berbeda dalam memandang

16

apakah kebangkitan rohani dan jasmani manusia sekaligus ataukah rohani saja?

(Nasution,1986: 95)

Pengetahuan manusia tentang Tuhan dalam perspektif Al­Ghazali, Ali Issa

Othman dalam buku yang berjudul Manusia menurut Al­Ghazali menjelaskan

bahwa medium yang digunakan adalah rasa atau dzauq. Pengetahuan itu bersifat

batin, pribadi dan tidak dapat dihubungan dengan orang lain (Othman ,1981: 93).

Henry Corbin dalam buku yang berjudul History of Islamic Philosophy,

memandang bahwa konsep pengetahuan yang diutarakan oleh Al­Ghazali dalam

al­Munqidz min al­Dhalal dan Risalah al Laduniyyah merupakan konsep Isyraqi.

Israqi sendiri menjadi tema sentral dari kajian Suhrawardi salah satu imam

terbesar Syi’ah yang lahir empat dasawarsa setelah wafatnya Al­Ghazali

(Corbin,1962: 181­182).

Karen Amstrong dalam buku yang berjudul A History of God: The 4.000­

Year Quest of Judaism, Christianity and Islam mengupas pandangan Al­Ghazali

tentang Tuhan yang dianggap salah satu model pendekatan para filosof dalam

memandang Tuhan. Al­Ghazali, tanpa mengabaikan akal seseorang melalui

latihan mistik mampu memperoleh pemahman langsung dan intuitif mengenai

sesuatu yang disebut “Tuhan”. Pengetahuan kaum sufi tentang Tuhan bukan

pengetahuan rasional, namun berbentuk pengalaman intuitif sebagaimana yang

dialami oleh para nabi. Pandangan Al­Ghazali ini diilhami oleh Al­Qur’an surat

An­Nur ayat 35 yang berbunyi :

17

* ª! $# â‘θ çΡ ÅV≡uθ≈ yϑ¡¡9$# ÇÚ ö‘F$# uρ 4 ã≅ sW tΒ ÍνÍ‘θ çΡ ;ο4θs3ô± Ïϑx. $pκ Ïù îy$t6 óÁÏΒ (

ßy$t6 óÁÏϑø9$# ’Îû >πy_%y ã— ( èπy_%y –“9$# $pκΞr(x. Ò=x. öθx. A“Íh‘ߊ ߉s%θムÏΒ ;οt yfx©

7π2 t≈t6 •Β 7πtΡθçG÷ƒ y— ω 7𧋠Ï% ÷ ° ω uρ 7πŠÎ/ ó xî ߊ%s3tƒ $pκçJ ÷ƒy— âû ÅÓムöθ s9uρ óΟs9 çµó¡ |¡ ôϑs?

Ö‘$tΡ 4 î‘θ œΡ 4’ n?tã 9‘θ çΡ 3 “ ωöκu‰ ª! $# ÍνÍ‘θ ãΖÏ9 tΒ â !$t± o„ 4 ÛU ÎôØ o„uρ ª!$# ≅≈ sWøΒF$#

Ĩ$Ψ=Ï9 3 ª! $# uρ Èe≅ ä3Î/ > óx« ÒΟŠÎ= tæ ) ۳٥ (

Artinya:“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada Pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan­akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir­hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis­lapis), Allah membimbing kepada cahaya­Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan­perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”(Departemen Agama, 1989:550).

Al­Ghazali dalam hal ini memberikan penafsiran ayat di atas bahwa Tuhan adalah

hakikat dan sumber dari segala cahaya. Seseorang akan memperoleh pengetahuan

tentang Tuhan melalui akal dan ruh kenabian merupakan realitas alam ruh yang

bercahaya. Pengetahuan model mistik ini mengandaikan bahwa hanya Sang

Pencipta yang ada atau memiliki wujud. Seseorang pada tingkat tertinggi, akan

sampai pada peniadaan diri dan peleburan di dalam Tuhan. Al­Ghazali

berpendapat bahwa realitas yang dikenal dengan Tuhan berada di luar persepsi

indra dan pemikiran logis sehingga seseorang tidak bisa membuktikan maupun

menolak bukti wujud Tuhan. Seseorang ingin berjumpa dengan Tuhannya hanya

dengan pengalaman mistik (Amstrong,1993: 96­98).

18

Arief Mudatsir dalam buku yang berjudul Makhluk Pencari Kebenaran:

Pandangan Al­Ghazali tentang Manusia, menjelaskan bahwa puncak pemikiran

filsafat Al­Ghazali adalah tentang pinsip keesaan Tuhan yang didasarkan pada

firman Allah pada Surat Al­Baqarah ayat 255 yang berbunyi :

ª!$# Iω tµ≈ s9Î) ω Î) uθèδ y∏ ø9$# ãΠθ•‹ s) ø9$# 4 ω … çνä‹èù's? ×πuΖ Å™ ω uρ ×Πöθ tΡ 4 … 絩9 $tΒ ’ Îû

ÏN≡ uθ≈yϑ¡¡9$# $tΒuρ ’Îû ÇÚö‘F$# 3 tΒ # sŒ “Ï%©!$# ßìxÿ ô± o„ ÿ… çνy‰ΨÏã ωÎ) ϵÏΡøŒ Î*Î/ 4 ãΝn= ÷ètƒ

$tΒ ÷ t/ óΟÎγƒ Ï‰÷ƒr& $tΒuρ öΝ ßγ xÿù= yz ( ω uρ tβθ äÜŠÅsム&ó y Î/ ôÏiΒ ÿϵÏϑù= Ïã ωÎ) $yϑÎ/

u!$x© 4 yìÅ™ uρ 絕‹ Å™ öä. ÏN≡uθ≈ yϑ¡¡9$# uÚ ö‘F$# uρ ( ω uρ … çνߊθä↔tƒ $uΚßγ Ýàøÿ Ïm 4 uθ èδuρ

’Í?yèø9$# ÞΟŠÏàyèø9$# ) ۲٥٥ (

Artinya : “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk­Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan­Nya apa yang di langit dan di bumi. tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin­Nya? Allah mengetahui apa­apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa­apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki­Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar” (Departemen Agama, 1989:63).

Arief Mudatsir berpendapat bahwa Al­Ghazali adalah pribadi yang demikian

bersemangat mencari kebenaran sejati dan kebenaran sejati itu adalah Tuhan. Al­

Ghazali dalam biografinya mengambil kesimpulan bahwa manusia ideal adalah

mahluk yang telah sampai pada tahap cinta kepada Tuhannya, tidak lain hanya

terdapat pada diri Rasullulah Muhammad saw (Mudatsir ,1987: 69­88).

Pribadi ideal bagi Al­Ghazali adalah tahap seseorang telah sampai pada

cinta kepada Allah. Hamka berpendapat bahwa karakteristik pribadi yang baik,

19

terdapat dalam buku yang berjudul Pribadi menguraikan beberapa ciri yakni: daya

tarik, cerdik, penimbang rasa, berani, bijaksana, tahu diri, sehat jasmani, percaya

diri dan tenang. Hamka berpendapat bahwa pribadi berarti kumpulan sifat dan

kelebihan diri seseorang dari yang lain. Kumpulan sifat akal budi, kemauan, cita­

cita dan bentuk tubuh, hal itu menyebabkan harga kemanusiaan seseorang berbeda

dari yang lain (Hamka,1966: 14­22).

Konsep pemikiran kefilsafatan Al­Ghazali tentang Tuhan berdasarkan

penelitian pustaka sebagaimana disebutkan atas belum secara komprehensif

ditelaah, terlebih dalam hubungannya dengan pembentukan pribadi ideal.

D. Landasan Teori

Konsep ketuhanan Al­Ghazali merupakan ruang lingkup filsafat

ketuhanan, maka perlu dipahami terlebih dahulu apa itu filsafat ketuhanan.

Filsafat ketuhanan adalah salah satu cabang filsafat, memiliki masalah­masalah

dalam pengertiannya (problems of definition) yang muncul dari fokus dan

prioritas analisis para pemikir yang melakukan kajian. Penelusuran hakikat

pengertian filsafat ketuhanan menjadi hal yang tidak terhindarkan untuk

memperoleh pemahaman yang mengakar dan menyeluruh terhadapnya.

Filsafat ketuhanan merupakan frasa yang terdiri atas dua kata filsafat dan

ketuhanan. Kata filsafat merupakan kata asal dari bahasa Yunani yakni

philosophia yang berarti cinta kebijaksanaan diambil dari kata philos (cinta) atau

philia (persahabatan, tertarik kepada) dan shopos (kebijaksanaan, pengetahuan,

ketrampilan, pengalaman praktis, intelegensi). Filsafat secara terminologis,

20

memiliki beberapa pengertian, yakni: pertama, upaya spekulatif untuk menyajikan

suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang suatu realitas; kedua, upaya

untuk melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar serta nyata; ketiga, upaya untuk

menentukan batas­batas dan jangkauan pengetahuan seperti sumber, hakikat,

keabasahan dan nilainya; keempat, penyelidikan kritis atas pengandaian­

pengandaian dan pernyataan­pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang

pengetahuan; dan terakhir, disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu seeorang

melihat yang di katakan dan untuk mengatakan yang dilihatnya (Bagus, 1996:

242). Tuhan secara etimologis berarti sesuatu yang diyakini, dipuja, dan disembah

manusia sebagai yang Mahakuasa, Mahaperkasa dan sebagainya. Istilah

ketuhanan berarti sifat keadaan Tuhan; hal­hal ketuhanan berarti sesuatu yang

berhubungan dengan Tuhan, ilmu ketuhanan berarti ilmu mengenai keadaan

Tuhan dan agama, dan dasar ketuhanan berarti kepercayaan kepada Tuhan Yang

Maha Tunggal (Sugono, 2008: 1493).

Hamka menjelaskan bahwa istilah filsafat ketuhanan berarti sebuah

penyelidikan tentang keberadaan Dzat Yang Maha Kuasa, Dzat Yang Maha

Tunggal, Dzat Yang Maha Penggerak segala sesuatu, atau yang disebut dengan

Tuhan (Hamka,1987: 6). Louis Leahy mengartikan filafat ketuhanan sebagai

usaha yang dilakukan untuk menilai dengan lebih baik dan secara refleksif realitas

yang tertinggi disebut Allah atau Tuhan. (Leahy,2004: 20). Hamzah Ya’kub

berpendapat bahwa filsafat ketuhanan merupakan sebuah hikmah atau

kebijaksanaan menggunakan akal pikiran dalam menyelidikan Ada dan Esa­Nya

Tuhan. Ia menambahkan bahwa istilah ini nampak baru tetapi materi kajiannya

21

merupakan hal yang bersifat lampau, karena masalah pencarian dan penyelidikan

manusia tentang Tuhan telah terjadi semenjak manusia ada di muka bumi

(Ya’kub,1984:20).

Brian Leftow berpendapat bahwa istilah Tuhan yang terdapat di dalam

agama­agama mengandaikan dua hal mendasar yakni: pertama, bahwa Tuhan

tidak diciptakan, karena apapun yang diciptakan bukan Tuhan; kedua, Tuhan

adalah sumber dari segala sesuatu yang bukan Tuhan. Tuhan juga dipahami

sebagai Dzat Yang Maha Tinggi yang menjelaskan kesempurnaan­Nya dan

otoritas­Nya. Tuhan mengatur segala sesuatu yang bukan diriNya dan Dzat Yang

Maha Paripurna. Leftow menyatakan bahwa manusia mendekati Tuhan dari tiga

medium yakni: pengalaman keagamaan (religious experience), melalui kitab suci

atau wahyu (revealed or authoritative texts), dan refleksi akal budi (rational

reflection). Ketiganya merupakan jalan atau cara mendasar dalam memahami

keberadaan Tuhan, tidak semua yang nampak merupakan pengalaman mistik

terhadap Tuhan. Kitab suci dan pemikiran filsafati membantu memisahkan antara

yang sejati dan ilusi. Pengalaman mistik terhadap Tuhan, tidak hadir tanpa makna­

makna rahasia yang harus disingkap, karena membutuhkan penafsiran yang

diberikan oleh kitab suci dan akal budi. Kitab suci membutuhkan penafsiran, dan

akalbudi berusaha memahaminya. Pengalaman religius dan kitab suci merupakan

data, pertimbangan teologis dan filsafati bekerja dalam mengartikan secara penuh

teori­teori tentang hakikat Tuhan (Leftow,1998: 3159­3160).

Filsafat ketuhanan mengajukan beberapa argumentasi tentang keberadaan

Tuhan, yakni: ontologis, kosmologis, teleologis dan moral (Bakhtiar, 1997: 169­

22

193). Pertama, argumen ontologis. Ontologi atau ontology berasal bahasa Yunani

dari dua kata yakni on atau ontos berarti ada atau keberadaan, dan logos berarti

ilmu atau teori. Ontologi berarti ilmu atau teori tentang hakikat yang ada (Bagus,

1996: 746). Argumen ontologis tidak banyak didasarkan alam nyata, tetapi

argumen ini berdasarkan pada logika semata­mata. Contoh argumen ontologis

diberikan oleh St. Agustinus (354­430 M), bahwa manusia mengetahui dari

pengalaman hidup yaitu adanya alam kebenaran. Akal manusia kadang­kadang

merasa mengetahui yang benar tapi ragu­ragu bahwa yang diketahuinya itu adalah

kebenaran. Akal manusia mengetahui bahwa di atasnya masih ada sesuatu

kebenaran tetap, kebenaran yang tidak berubah­ubah. Kebenaran tetap dan kekal

itu merupakan kebenaran mutlak dan kebenaran mutlak itulah yang disebut

dengan Tuhan (Bakhtiar, 1997: 171).

Kedua, argumen kosmologis. Kosmologi secara etimologis atau cosmology

berasal dari bahasa Yunani, kosmos berarti dunia atau alam semesta dan logos

berarti ilmu tentang alasan pokok bagi atau suatu pertimbangan tentang alam

semesta (Bagus, 1996: 499). Argumen ini disebut juga dengan argumen sebab

akibat, timbul dari paham bahwa alam adalah bersifat mungkin dan bukannya

bersifat wajib dalam wujudnya. Alam adalah akibat dan setiap akibat tentu ada

sebabnya, sebab alam lebih wajib adanya daripada akibat dan sekaligus

mendahului alam, seperti halnya tukang kayu lebih wajib adanya daripada kursi.

Dzat yang menyebabkan alam tidak mungkin yaitu Tuhan sebagai Sebab Utama.

Sebab Utama tidak sebabkan oleh sesuatu yang lain. Tuhan adalah awal dan akhir,

seandainya Tuhan disebabkan oleh yang lain tidak disebut Sebab Utama. Salah

23

satu pendukung argumen ini adalah Aristoteles (384­322 SM). Tuhan

mengatakan bahwa mustahil rangkaian sebab akibat itu tidak putus­putus, sebab

jika tidak putus, alam yang terjadi di dalamnya tidak dapat dipahami. Tuhan

merupakan Sebab Pertama atau Penggerak Pertama yang sempurna. Tuhan

menggerakkan karena, sebab tujuan atau segala sesuatu yang ada di alam ini

bergerak menuju Penggerak yang sempurna. Tuhan atau Penggerak Pertama

tersebut merupakan Dzat yang immateri abadi dan sempurna (Bakhtiar, 1997:

174­177).

Ketiga, argumen teleologis. Teleologi atau teleology berasal dari bahasa

Yunani telos berarti tujuan atau akhir dan logos berarti wacana atau doktrin

(Bagus, 1996: 1085). Argumen ini melihat bahwa alam diatur menurut suatu

tujuan tertentu. Alam ini dalam keseluruhannya berevolusi dan beredar menuju

suatu tujuan. Bagian­bagian dari alam mempunyai hubungan yang erat satu

dengan yang lain dan bekerja sama dalam menuju tercapainya suatu tujuan

tertentu tersebut. Contoh argumen teleologis diajukan oleh William Paley (1743­

1805) mengatakan bahwa mata adalah alat yang sempurna untuk mencapai

tujuan, yaitu melihat. Paley mengibaratkan alam raya seperti sebuah jam, dengan

membayangkan seseorang tidak pernah melihat jam seumur hidup, kemudian dia

menemukan benda itu di tengah padang pasir yang tandus. Paley melihat pada jam

itu adalah sebagai struktur mekanik yang semua bagian­bagian saling bekerja

sama. Paley mampu mengambil kesimpulan bahwa benda ini dibuat oleh

seseorang yang pandai dengan tujuan tertentu, demikian pula alam raya ini penuh

24

keteraturan tidak lain yang menciptakan adalah Dzat Yang Maha Pencipta dan

Maha Kuasa (Bakhtiar, 1997: 183­184).

Keempat, argumen moral. Argumen ini secara sederhana menyatakan

bahwa jika manusia merasa dalam dirinya ada perintah mutlak untuk mengerjakan

yang baik dan menjauhi yang buruk maka perintah ini diperoleh bukan dari

pengalaman tetapi telah terdapat dalam diri manusia, dan pasti berasal dari suatu

Dzat yang mengetahui baik dan buruk. Dzat itu adalah Tuhan. Perbuatan baik dan

buruk mengandung arti nilai­nilai. Nilai­nilai itu terdapat diluar manusia, tetapi

bersumber dari Tuhan. Suatu Dzat yang lebih tinggi dari manusia, dan Dzat itu

adalah Tuhan. Pendukung dari argumentasi moral ini adalah Immanuel Kant,

seorang filosof Jerman hidup pada tahun 1724­1804 Masehi (Bakhtiar, 1997:

188­192).

Landasan teori dari penelitian ini adalah filsafat ketuhanan juga merupakan

objek formal yakni filsafat ketuhanan, meliputi pengertian filsafat ketuhanan, dan

ruang lingkup filsafat ketuhanan.

E. Metode Penelitian

1. Materi dan Bahan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif bidang filsafat. Data

dikumpulkan melalui sumber kepustakaan (library research), yaitu penelitian

yang menggunakan buku­buku sebagai sumber data (Hadi, 1990: 9). Sifat

penelitian ini adalah kualitatif. Kualitatif, berarti prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata­kata (bisa lisan untuk penelitian sosial,

25

budaya, filsafat), catatan­catatan yang berhubungan dengan makna, nilai, serta

pengertian (Kaelan, 2005: 5). Objek formal penelitian ini adalah filsafat

ketuhanan, sedang objek material adalah konsep pemikiran Al­Ghazali tentang

Tuhan dan relevansinya dengan pembentukan pribadi ideal.

2. Jalan Penelitian

Langkah­langkah yang akan ditempuh oleh penulis dalam melakukan

penelitian menggunakan metode analisis data yang berarti suatu proses mengatur

urutan data, mengorganisasikannya ke suatu pola, kategori dan satuan dasar

(Kaelan, 2005: 66), sedangkan urutan aktivitas analisis data adalah sebagai

berikut:

a. Reduksi data

Proses pengumpulan data berupa uraian verbal yang harus ditangkap

maknanya, dalam hal ini penulis akan menyeleksi dan menginventarisasi karya­

karya Al­Ghazali, kemudian melakukan reduksi sesuai dengan konteks objek

formal penelitian yaitu filsafat ketuhanan. Proses reduksi data ini penting bagi

penulis untuk mempermudah dalam mengendalikan dan mengolah data.

b. Klasifikasi data

Penulis akan melakukan klasifikasi data berdasar sumbernya, yaitu data

primer dan data sekunder, karena kajian ini adalah kajian kepustakaan, maka

sumber datanya adalah karya­karya yang dihasilkan oleh Al­Ghazali disebut

dengan data utama (primer).

Karya­karya dalam kategori tersebut antara lain:

1. Al­Ghazali, tanpa tahun, Al Munqidz Minadh Dhalal

26

2. Al­Ghazali, tanpa tahun, Ihya’ Ulumuddin

3. Al­Ghazali, tanpa tahun, Falsafah Akhlaq

4. Al­Ghazali, 1965, Pengantar Ilmu Tasawuf

5. Al­Ghazali, 1982, Timbangan Amal Menuju Kebahagiaan Akhirat

6. Al­Ghazali, 1984, Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

7. Al­Ghazali, 1986, Kimia Kebahagiaan

8. Al­Ghazali, 1986, Tahafut Al Falasifah

9. Al­Ghazali, 1995, Raudah Taman Jiwa Kaum Sufi

10. Al­Ghazali, 1995, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin

11. Al­Ghazali, 1997, Misykat Cahaya­Cahaya

12. Al­Ghazali, 1998, Al Munqidz Minadh Dhalal (Sebuah Kegelisahan Al­

Ghazali – Otobiografi Intelektual)

13. Al­Ghazali, 1999, Ibadah Perspektif Sufistik

14. Al­Ghazali, 2002, Benang Tipis antara Halal dan Haram

15. Al­Ghazali, 2006, Miskaat al­Anwaar

Sumber bantuan atau sekunder adalah literatur­literatur yang memuat

kajian pemikiran Al­Ghazali, filsafat ketuhanan dan mistik Islam. Karya­karya

dalam kategori tersebut antara lain:

1. Barmawie Umarie, 1966, Sistematik Tasawuf

2. Majid Fakhry, 1970, A History of Islamic Philosophy

3. Ali Mahdi Khan, 1973, The Elements of Islamic Philosophy

4. Ahmad Amin, 1977, Etika (Ilmu Akhlaq)

5. Hamka, 1978, Tasawuf Modern

27

6. Harun Nasution, 1983, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam

7. Hamzah Ya’kub, 1984, Filsafat Ketuhanan

8. Ahmad Azhar Basyir, 1984, Faham Akhlaq dalam Islam

9. Abu Al Wa’fa al Ghanimi al Taftazani, 1985, Sufi dari Zaman ke Zaman

10. A.J. Arberry, 1985, Pasang Surut Aliran Tasawuf

11. Sayyid Husein Nasr, 1985, Pasang Surut Aliran Tasawuf

12. Reynold A. Nicholson, 1986, The Mystic of Islam

13. Fathiyah Hasan Sulaiman, 1986, Konsep Pendidikan Al­Ghazali

14. Ali Issa Othman, 1987, Manusia Menurut Al­Ghazali

15. Mahmud Hamdi Zaqzuq, 1987, Al­Ghazali Sang Sufi Sang Filosof

16. M. Abul Quasem, 1988, Etika Al­Ghazali Etika Majemuk di dalam Islam

17. Muhammad Yasir Nasution, 1988, Manusia Menurut Al­Ghazali

18. Ibrahim Madkour, 1988, Filsafat Islam Metode dan Penerapan

19. M. Amin Abdullah, 1992, The Idea of Universality of Ethical Norms in Al­

Ghazali and Immanuel Kant

20. Yusuf Qardhawy, 1999, Syaikh Muhammad Al­Ghazali yang Saya Kenal

21. Musa Asy’arie, 1999, Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berpikir

22. Louis Leahy, 2004, Filsafat Ketuhanan Kontemporer

c. Display data

Tahap ini adalah proses pengolahan data dalam suatu peta yang sesuai

dengan objek formal dan tujuan penelitian, melakukan skematisasi dengan tujuan

memahami masalah dan makna.

28

3. Analisis Hasil Penelitian

Penelitian kualitatif ini mempunyai ciri khas senantiasa melakukan

analisis dan interpretasi dalam proses pengumpulan data dan pengambilan

kesimpulan. Penelitian dalam hal analisis data mengunakan dua metode yaitu

verstehen dan interpretasi. Verstehen merupakan metode memahami objek

penelitian melalui insight, einfuehlung serta empati dalam menangkap dan

memahami makna kebudayaan, nilai­nilai, simbol­simbol, pemikiran­pemikiran,

serta perbuatan manusia yang memiliki sifat ganda (Kaelan, 2005: 72).

Interpretasi artinya suatu proses menunjuk arti, yaitu mengungkapkan,

menuturkan, mengatakan sesuatu yang merupakan esensi realitas (Kaelan, 2005:

76), maka digunakan satu metode lagi yaitu metode hermeneutika untuk mencari

dan menemukan makna yang terkandung dalam objek penelitian yang berupa

fenomena kehidupan manusia, melalui pemahaman, interpretasi dan heuristika

(Kaelan, 2005: 80).

Penulis berupaya memahami secara mendalam konsep ketuhanan Al­

Ghazali dan relevansinya dalam pembentukan pribadi ideal serta melakukan

interpretasi terhadap gagasan tersebut.

Proses penelitian ini pada gilirannya menghasilkan tiga hal penting yaitu:

pertama, menginventarisasi konsep pemikiran Al­Ghazali terutama tentang

masalah ketuhanan. Kedua, berupaya memperoleh pemahaman dan kejelasan

tentang konsep ketuhanan Al­Ghazali dalam pembentukan pribadi ideal. Ketiga,

melakukan evaluasi kritis dan pengamatan terhadap konsep ketuhanan Al­Ghazali

29

dan relevansinya dalam pembentukan pribadi ideal sesuai dengan situasi dan

kondisi bangsa dan negara Indonesia.

4. Sistematika Penulisan

Desertasi ini terdiri dari enam bab yang saling berkaitan satu sama lain.

Keenam bab ini disusun berdasarkan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I

Bagian ini menguraikan latarbelakang masalah, permasalahan, rumusan

masalah, keaslian penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori,

metode penelitian, materi dan bahan penelitian, jalan penelitian, anlisis hasil

penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II

Bagian ini menguraikan ruang lingkup filsafat ketuhanan, filsafat

ketuhanan sebagai cabang filsafat, sejarah perkembangan pemikiran manusia

tentang Tuhan, Tuhan dalam beragam perspektif, metode pendekatan terhadap

Tuhan dan argumen keberadaan Tuhan.

Bab III

Bagian ini mendeskripsikan biografi dan karakteristik pemikiran Al­

Ghazali, latar belakang kehidupan Al­Ghazali, perjalanan intelektual Al­Ghazali,

ciri­ciri pemikiran kefilsafatan Al­Ghazali, karya­karya pemikiran Al­Ghazali,

ajaran­ajaran kaum sufi dan aliran Asy’ariyah yang memengaruhi pemikiran Al­

Ghazali.

30

Bab IV

Bagian ini menguraikan pandangan Al­Ghazali tentang Tuhan dan

hubungannya dalam pembentukan pribadi ideal, asal mula pengetahuan tentang

Tuhan menurut Al­Ghazali, Tuhan hakikat segala cahaya, pengetahuan diri

sebagai arah menuju Tuhan, hati merupakan salah satu sarana mengenal Tuhan,

manusia ideal: kesempurnaan makrifat dan cinta Tuhan, evaluasi kritis terhadap

konsep ketuhanan Al­Ghazali.

Bab V

Bagian ini menguraikan relevansi pemikiran ketuhanan Al­Ghazali dalam

konteks Indonesia, relevansi pemikiran kefilsafatan Al­Ghazali dalam konteks ke­

Indonesiaan, konsep ketuhanan Al­Ghazali dengan filsafat ketuhanan Pancasila,

korelasi beberapa pemikiran kefilsafatan Al­Ghazali dengan kepribadian bangsa

Indonesia.

Bab VI

Bagian ini merupakan akhir dari penulisan disertasi berisi penutup, terdiri

atas kesimpulan dan saran.