S1-2013-280260-chapter1 (1)

28
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ekstrak adalah sediaan pekat diperoleh dengan cara ekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani dengan pelarut yang sesuai (Anonim, 1995). Salah satu kriteria ekstrak yang baik yakni terdapat senyawa aktif, baik secara kuantitas dan kualitas sehingga memiliki aktivitas biologis tinggi. Pemilihan pelarut dalam proses penyarian adalah salah satu faktor yang berpengaruh dalam menghasilkan ekstrak yang baik. Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang optimal untuk ekstraksi senyawa aktif, sehingga senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan dan dari senyawa kandungan lainnya, serta ekstrak yang dihasilkan terkandung sebagian besar senyawa kandungan yang diinginkan (Anonim, 2000 b ). Pelarut yang optimal dapat menyari senyawa aktif dengan baik dan selektif (Anonim, 1986), sehingga ekstrak hasil penyarian memiliki aktivitas yang paling tinggi. Untuk didapatkan komposisi pelarut yang optimal perlu dilakukan suatu proses optimasi. Simplex Lattice Design (SLD) adalah salah satu metode yang umum digunakan dalam proses optimasi di berbagai bidang, beberapa di antaranya adalah dalam bidang, formulasi kimia, serta obat farmasi (Bondari, 2005).

description

huhuhuh

Transcript of S1-2013-280260-chapter1 (1)

Page 1: S1-2013-280260-chapter1 (1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ekstrak adalah sediaan pekat diperoleh dengan cara ekstraksi senyawa

aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani dengan pelarut yang sesuai

(Anonim, 1995). Salah satu kriteria ekstrak yang baik yakni terdapat senyawa

aktif, baik secara kuantitas dan kualitas sehingga memiliki aktivitas biologis

tinggi. Pemilihan pelarut dalam proses penyarian adalah salah satu faktor yang

berpengaruh dalam menghasilkan ekstrak yang baik. Cairan pelarut dalam proses

pembuatan ekstrak adalah pelarut yang optimal untuk ekstraksi senyawa aktif,

sehingga senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan dan dari senyawa

kandungan lainnya, serta ekstrak yang dihasilkan terkandung sebagian besar

senyawa kandungan yang diinginkan (Anonim, 2000b).

Pelarut yang optimal dapat menyari senyawa aktif dengan baik dan

selektif (Anonim, 1986), sehingga ekstrak hasil penyarian memiliki aktivitas yang

paling tinggi. Untuk didapatkan komposisi pelarut yang optimal perlu dilakukan

suatu proses optimasi. Simplex Lattice Design (SLD) adalah salah satu metode

yang umum digunakan dalam proses optimasi di berbagai bidang, beberapa di

antaranya adalah dalam bidang, formulasi kimia, serta obat farmasi (Bondari,

2005).

Page 2: S1-2013-280260-chapter1 (1)

2

Komposisi pelarut menentukan efektivitas pelarut dalam melakukan

ekstraksi. Jika ekstrak memiliki aktivitas yang tinggi maka ini menunjukkan

bahwa pelarut sudah melakukan penyarian secara optimal. Rendemen ekstrak

dihitung dengan cara membandingkan jumlah ekstrak yang diperoleh dengan

simplisia awal yang digunakan. Rendemen ekstrak dapat digunakan sebagai

parameter standar mutu ekstrak maupun parameter efisiensi ekstraksi. Dalam

metode SLD terdapat rumusan perhitungan yang dapat menentukan komposisi

pelarut optimal untuk ekstraksi, sehingga dihasilkan ekstrak dengan aktivitas

paling tinggi dan rendemen yang tinggi. Dengan metode SLD ini, pelarut optimal

dapat ditentukan secara teoritis dengan perhitungan matematis, sehingga tidak

perlu dilakukan trial and error yang menyita waktu (Bondari, 2005). Optimalnya

suatu pelarut dalam menyari ekstrak dapat dilihat dengan melakukan pengujian

terhadap aktivitas biologisnya.

Nyamuk merupakan vektor atau penular utama dari penyakit-penyakit

arbovirus (demam berdarah, chikungunya, demam kuning, encephalitis, dan lain-

lain), serta penyakit-penyakit nematoda (filariasis), riketsia, dan protozoa

(malaria). Aedes aegypti merupakan vektor terpenting bagi virus demam kuning,

dengue, dan chikungunya. Banyak cara yang dikembangkan untuk menekan

populasi. Pengendalian vector dilakukan dengan pemberantasan sarang nyamuk

yaitu dengan 3M (menguras, menutup, dan membuang), namun usaha pemutusan

mata rantai perkembangbiakan nyamuk dengan cara ini belum efektif (Kusriastuti,

2005). Pemakaian zat kimiawi secara terus menerus dan tidak terkendali baik

untuk keperluan kesehatan maupun pertanian terbukti menimbulkan dampak

Page 3: S1-2013-280260-chapter1 (1)

3

negatif berupa terjadinya resistensi pada vector dan pencemaran lingkungan.

(Gandahusada, 1998).

Saat ini perlu dikembangkan bahan alami yang mempunyai efek larvisida

yang ramah lingkungan. Ekstrak metanol dari daun Carica papaya telah teruji

memiliki aktivitas larvasida terhadap larva Aedes aegypti pada konsentrasi 74,07

ppm (Kalimuthu, 2012). Berdasarkan dari penelitian tersebut daun pepaya

memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai larvasida yang baik, dikarenakan

aktivitasnya sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti.

Analisis fitokimia yang dilakukan oleh (Ayoola, 2010) kandungan daun

pepaya mengandung saponin, glikosida jantung dan alkaloid. Metode

kromatografi lapis tipis sering digunakan untuk mengetahui kandungan senyawa

dari tanaman, sehingga metode tersebut dapat digunakan untuk identifikasi

komponen senyawa yang kemungkinan berperan dalam aktivitas larvasida.

Kandungan zat-zat yang terdapat dalam tanaman sebagai larvisida alami relatif

lebih aman dan efek samping yang timbul jauh lebih kecil bagi manusia. Tanaman

papaya merupakan tanaman tropis yang tumbuh subur di Indonesia sehingga

mudah didapatkan dan harganya lebih ekonomis.

Dalam penelitian ini akan melakukan optimasi pelarut etanol air yang

menyebabkan kematian larva Aedes aegypti paling tinggi dan dihasilkan

rendemen ekstrak yang tinggi dengan menggunakan metode SLD dan analisis

golongan senyawa yang kemungkinan bertanggung jawab terhadap aktivitas

larvasida.

Page 4: S1-2013-280260-chapter1 (1)

4

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah profil SLD hasil komposisi pelarut etanol-air pada ekstraksi

daun papaya berdasarkan respon larvasida terhadap Aedes aegypti dan

rendemen yang dihasilkan?

2. Apakah perbedaan komposisi pelarut etanol dan air pada ekstraksi daun

papaya akan menyari senyawa kimia yang berbeda pada ekstrak sehingga

berpengaruh pada respon larvasida dan hasil rendemen?

3. Pada perbandingan berapa komposisi pelarut etanol air yang digunakan untuk

didapatkan respon larvasida tertinggi dan rendemen terbanyak?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui profil SLD dari komposisi pelarut etanol-air pada ekstraksi daun

papaya berdasarkan respon larvasida terhadap Aedes aegypti dan rendemen

yang dihasilkan.

2. Mengetahui profil metabolit sekunder yang tersari dengan pelarut yang

berbeda komposisinya sehingga berpengaruh respon larvasida dan rendemen

ekstrak yang didapatkan.

3. Untuk mengetahui perbandingan komposisi pelarut etanol air yang digunakan

untuk didapatkan respon larvasida tertinggi dan rendemen terbanyak.

Page 5: S1-2013-280260-chapter1 (1)

5

D. Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan diperoleh suatu metode ekstraksi dengan

pelarut yang optimal untuk daun pepaya. Ekstrak daun papaya dari pelarut yang

optimal mampu menghasilkan aktivitas larvasida nyamuk Aedes aegypti terbaik

dan rendemen yang tinggi dengan mempertimbangkan faktor keekonomian

sehingga dapat diaplikasikan untuk membuat ekstrak daun pepaya yang efektif

sebagai larvasida alami.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pepaya

Kedudukan tanaman Carica papaya L. atau lebih dikenal di Indonesia

dengan sebutan pohon pepaya (Steenis, 1992) dalam sistematika tumbuhan

sebagai berikut:

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Anak divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Bangsa : Cistales

Suku : Caricaceae

Marga : Carica

Jenis : Carica papaya L.

Page 6: S1-2013-280260-chapter1 (1)

6

a. Deskripsi:

Tanaman pepaya (Carica papaya) merupakan tumbuhan yang memiliki

bentuk batang yang lurus tegak, bulat silindris. Tanaman pepaya umumnya tidak

bercabang, tanaman ini dapat tumbuh hingga setinggi 2.5-10 m dengan daun-

daunan yang membentuk serupa spiral pada batang pohon bagian atas. Pada

permukaan batang pepaya terlihat bekas perlekatan daun.

Tangkai daunnya bulat silindris dengan panjang 25-100 cm, bentuk daun

bulat atau bulat telur, bertulang daun menjari, tepi bercangap manjari berbagi

menjari, ujung runcing berdiametar 25-75 cm dengan pangkal daun berbentuk

jantung, sebelah atas berwarna hijau tua, sebelah bawah hijau muda, memiliki

permukaan daun yang licin. Bunga hampir selalu berkelamin satu atau berumah

dua, tetapi kebanyakan dengan beberapa bunga berkelamin dua pada karangan

bunga yang jantan. Bunga jantan pada tandan yang serupa malai dan bertangkai

panjang, berkelopak sangat kecil. Mahkota berbentuk terompet berwarna putih

kekuningan, dengan tepi yang bertaju lima, dan tabung yang panjang, langsing,

taju berputar dalam kuncup, kepala sari bertangkai pendek, dan duduk bunga

betina kebanyakan berdiri sendiri, daun mahkota lepas atau hampir lepas, putih

kekuningan, bakal buah beruang satu, kepala putik lima duduk. Buah berbentuk

bulat telur memanjang, biji banyak, dibungkus oleh selaput yang berisi cairan,

didalamnya berduri temple berjerawat (Steenis, 2008).

Page 7: S1-2013-280260-chapter1 (1)

7

b. Nama Lokal

Pepaya (Indonesia), gedang (Bali), betik, kates, telo gantung (Jawa) peute,

betik, ralempaya, punti kayu (Sumatera); pisang malaka, bandas, manjan

(Kalimantan); kalujawa, padu (Nusa Tenggara); kapalay, kaliki, unti jawa

(Sulawesi); dan betik (Melayu).

c. Kandungan Kimia

Daun papaya mengandung glikosida tiosianat, alkaloid karpin,

pseudokarpain dan saponin sedangkan pada biji terdapat minyak lemak

(Hegnauer,1964). Bagian buah terkandung b-karoten, pectin, d-galaktosa, dan

papain. Bijinya mengandung alkaloid, fenol, saponin, tannin, dan terpenoid.

(Ocloo, 2012). Dalam daun pepaya banyak terkandung mineral seperti Ca, Mg,

Na, K, Fe, dan Mn. Dari analisis fitokimia menunjukkan kandungan daun pepaya

mengandung saponin, glikosida jantung dan alkaloid (Ayoola, 2010). Penelitian

yang dilakukan oleh (Ngozi, 2010) papaya mengandung alkaloid, flavonoid,

tannin, glikosida jantung antrakuinon, phlobatin, saponin dan antosianosida.

d. Manfaat Tanaman

Manfaat tanaman papaya yakni sebagai antibakteri, diuretic, digestive, dan

antihelminthic (Evans, 2002). Tanaman pepaya dapat digunakan sebagai obat

seperti diabetes mellitus, obat sakit gigi, infeksi amoeba, dan juga dijadikan

kosmetik dengan khasiat meningkatkan elastisitas kulit. Biji dari papaya

umumnya dipakai sebagai komponen untuk kosmetik (Lewis, 1976). Daun

Page 8: S1-2013-280260-chapter1 (1)

8

papaya memiliki khasiat untuk penambah nafsu makan dan obat malaria bagian

akar dan biji digunakan untuk obat cacing sedangkan getah buahnya dapat

memperbaiki pencernaan (Anonim, 2000a ).

Getah pepaya telah diketahui sebagai pelunak daging. Masyarakat

menggunakan daun pepaya dengan meremas agar getahnya keluar, kemudian

daun tersebut digunakan untuk membungkus daging (Kalie, 1988). Daun pepaya

yang masih muda dapat digunakan sebagai penambah nafsu makan, berbagai

macam masakan, dan jamu anti masuk angin. Selain itu daun pepaya digunakan

sebagi pakan ternak (Warisno, 2003).

2. Uraian kandungan kimia tumbuhan

a. Alkaloid

Alkaloid merupakan golongan metabolit sekunder yang banyak terdapat

pada tanaman angiospermae. Tidak ada difinisi yang tepat tentang alkaloid, tetapi

pada umumnya alkaloid mencakup senyawa yang bersifat basa yang mengandung

satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari

sintem siklik, bersifat fisiologis aktif. (Claus dkk, 1970; Lewis, 1977).

Alkaloid yang terdapat di dalam daun papaya adalah alkaloid karpain.

Alkaloid karpain termasuk dalam golongan alkaloid piridina dan termasuk dalam

kelompok alkaloid sejati. Untuk identifikasi alkaloid dapat dilakukan dengan cara

reaksi pengendapan dan reaksi warna. Untuk reaksi pengendapan, larutan untuk

pengendapan alkaloid dibagi menjadi 4 golongan yaitu:

Page 9: S1-2013-280260-chapter1 (1)

9

1. Golongan I : larutan percobaan yang dengan alkaloid tertentu

membentuk garam yang tidak larut : asam siliko wolframat LP, asam

fosfo molibdat LP, dan asam fosfo wolframat LP.

2. Golongan II : larutan percobaan yang dengan alkaloid tertentu

membentuk senyawa kompleks bebas, kemudian membentuk endapan:

Bouchardat LP, Wagner LP.

3. Golongan III : larutan percobaan yang dengan alkaloid tertentu

membentuk senyawa adisi yang tidak larut : Mayer LP, Dragendroff

LP dan Marme LP.

4. Golongan IV : larutan percobaan yang dengan alkaloid tertentu

membentuk ikatan asam organik : Harger LP.

Sampel dikatakan mengandung alkaloid jika reaksi positif yang membentuk

endapan sekurang-kurangnya dua reaksi dari golongan reaksi pengendapan yang

dilakukan. Sebagian besar alkaloid tidak larut atau sedikit larut dalam air, tetapi

bereaksi dengan asam membentuk garam yang larut dalam air. Alkaloid bebas

biasanya larut dalam eter atau kloroform maupun pelarut nonpolar lainnya

kebanyakan berbentuk kristal, meskipun ada beberapa yang amorf dan hanya

sedikit yang berupa cairan pada suhu kamar. Garam alkaloid berbentuk kristal.

Alkaloid biasanya tidak berwarna dan memiliki rasa pahit.

Karpain adalah alkaloid yang terdapat dalam daun papaya. Rumus struktur

dari karpain adalah C28H50N2O4 terdiri dari dua substituen identik yakni cincin

piperidin berikatan dengan gugus ester.

Page 10: S1-2013-280260-chapter1 (1)

10

Gambar 1. Struktur karpain dan diastromer (Hegnauer,1964)

b. Saponin

Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol. Sebagai glikosida, saponin

bila dihidrolisis oleh asam menghasilkan aglikon yabg disebut sapogenin dan

macam-macam gula serta asam uronat yang berkaitan. Berdasarkan struktur

aglikon/sapogenin. Saponin dibedakan menjadi saponin tipe steroid dan tipe

triterpenoid (Claus, 1970; Lewis, 1977).

Saponin atau glikosida sapogenin merupakan salah satu tipe dari glikosida

yang tersebar luas dalam tanaman tingkat tinggi. Tiap saponin terdiri dari

sapogenin yang merupakan molekul aglikon dan sebuah gula. Sapogenin mengkin

dapat berupa steroid atau triterpen dan gulanya dapat berupa glukosa, galaktosa,

pentosa atau metil pentosa. Semua saponin akan berbusa bila dikocok dengan air,

membentuk emulsi minyak dalam air dan digunakan sebagai koloid pelindung.

Meskipun hampir tidak toksik bagi manusia, tetapi saponin memiliki kemampuan

untuk menghemolisa darah jika diinjeksikan ke dalam pembuluh darah.

Saponin mempunyai rasa yang pahit, biasanya menyebabkan bersin atau

mengiritasi selaput lendir, bersifat toksik pada binatang berdarah dingin seperti

ikan. Saponin digunakan juga sebagai deterjen, selain itu meningkatkan absorbs

Page 11: S1-2013-280260-chapter1 (1)

11

diuretika serta merangsang kerja ginjal. Dalam pengobatan rakyat digunakan

untuk mengobati rematik (Lewis,1977).

Uji saponin yang sederhana adalah dengan mengkocok ekstrak alkohol air

dari tanaman dalam tabung reaksi dan apakah terbentuk busa yang tahan lama

pada permukaan cairan, paling tidak busa bertahan selama 30 menit. Identifikasi

dapat dilakukan berdasarkan kemampuan saponin menghemolisis sel darah merah.

Tetapi biasanya lebih baik bila uji sederhana itu dipastikan dengan cara

kromatografi lapis tipis (Harborne,1987).

Gambar 2. Struktur saponin steroid dan saponin triterpenoid (Gunawan, 2004)

c. Antrakuinon

Pada hidrolisis glikosida antrakuinon menghasilkan aglikon yang

merupakan antrakuinon, berupa di, tri, atau tetra hidroksi antrakuinon, dan

modifikasi dari senyawa ini meliputi turunan reduksinya, yaitu oksantron,

antranol dan antron dan senyawa diantron yang merupakan gabungan dua molekul

antron.

Turunan antrakuinon seringkali berwarna merah orange, umumnya larut

dalam air panas atau alkohol encer. Senyawa induk dari antron berwarna kuning

pucat, tidak berfluoresensi dan tidak larut dalam alkali, sementara bentuk

isomernya antranol berwarna kuning kecoklatan dan dalam alkali membentuk

larutan yang berfuoresensi kuat (Robinson, 1995)

Page 12: S1-2013-280260-chapter1 (1)

12

Gambar 3 . Struktur antrakuinon, antron, antranol, oksantron, dan diantranol

(Gunawan, 2004)

Untuk deteksi kualitatif antrakuinon dalam tanaman biasanya digunakan

reaksi Borntrager. Serbuk bahan dimaserasi dengan menggunakan pelarut yang

tidak campur, dan setelah disaring ditambahkan ammonia dalam air, bila terjadi

warna merah jambu atau violet menunjukkan adanya turunan antrakuinon yang

bebas. Jika hanya bentuk glikosida yang ada maka reaksi harus dimodifikasi

dengan hidrolisis dulu menggunakan kalium hidroksida dalam alkohol atau

menggunakan asam klorida 2 N. Jika C-glikosida terdapat dalam sampel, maka

dibutuhkan metode khusus untuk memecah gula dari aglikonnya. Untuk keperluan

ini dapat digunakan besi (III) klorida, natrium ditionat atau peroksida dalam

medium alkali. Apabila sempel yang diperiksa mengandung glikosida yang sangat

stabil atau turunan reduksi tipe antranol maka reaksi Borntrager akan negatif. Bila

ditambahkan alkali pada serbuk bahan atau irisannya maka warna merah yang

akan timbul menunjukkan lokasi dari turunan antrakuinon di dalam jaringan.

Page 13: S1-2013-280260-chapter1 (1)

13

d. Papain

Papain adalah suatu enzim pemecah protein yang diperoleh dari getah buah

papaya. Enzim adalah molekul kompleks yang diproduksi di dalam organisme

hidup untuk mengkatalisis reaksi kimia di dalam sel. Getah dari tanaman papaya

dan buahnya yang berwarna hijau mengandung dua macam enzim proteolitik,

yaitu papain dan kemopapain. Jumlah kemopapain lebih berlimpah akan tetapi

aktivitas papain dua kali lebih kuat. Papain diaktifkan oleh cysteine, sulfida, sulfit,

dan lain sebagainya, dan ditingkatkan stabilitasnya dengan penambahan agen

pengikat logam seperti EDTA. Aktivitas papain paling optimim pada pH 6,0-7,0.

Papain dalam penggunaan sehari-hari sebagai pelunak daging, penggunaan lain

dari papain adalah larutan pembersih lensa kontak (Robbers, 1996).

3. Aedes aegypti

a. Klasifikasi

Klasifikasi nyamuk Aedes aegypti adalah sebagai berikut (Sudarto, 1990).

Filum : Arthropoda

Kelas : Insekta

Bangsa : Dipthera

Suku : Culicidae

Marga : Aedes

Jenis : Aedes aegypti

Page 14: S1-2013-280260-chapter1 (1)

14

b. Siklus hidup

Nyamuk Aedes aegypti termasuk ordo diptera dengan metamorfosis

sempurna. Stadium-stadium terdiri dari telur, larva, pupa dan nyamuk dewasa.

Setiap harinya nyamuk Aedes aegypti betina bertelur rata-rata 100 butir. Telur

menetas dalam satu sampai dua hari menjadi larva. Terdapat empat tahapan dalam

perkembangan larva yang disebut instar. Perkembangan sampai mencapai instar

keempat memerlukan waktu sekitar lima hari. Setelah mencapai instar keempat

larva berubah menjadi pupa dimana larva memasuki masa dorman. Pupa bertahan

selama dua hari sebelum akhirnya menjadi nyamuk. Nyamuk betina dewasa

sebagai penghisap darah manusia dan hewan untuk sarana pematangan telur-telur

yang dihasilkannya karena kebutuhan protein yang ada dalam darah. Telur yang

telah matang diletakkan satu persatu di tepi permukaan air pada lubang pohon dan

tempat/wadah yang tergenang air (Ginanjar, 2007).

c. Ciri-ciri dan morfologi

1) Telur

Telur Aedes aegypti berwarna hitam, tampak bulat memanjang dan

berbentuk oval berukuran 0,5-0,8 mm, permukaan polygonal, tidak memiliki

alat pelampung (lihat gambar 4). Telur Aedes aegypti seperti sarang tawon,

telur dapat bertahan sampai berbulan-bulan pada suhu -2o C sampai 42

o C.

(Sumarmo, 1983).

Di alam bebas telur diletakkan satu persatu menempel pada

dinding wadah/tempat perindukan terlihat sedikit diatas permukaan air. Waktu

Page 15: S1-2013-280260-chapter1 (1)

15

penetasan 1-2 hari atau dapat lebih lama bergantung pada keadaan air di

wadah/tempat perindukan. Telur Aedes aegypti dapat bertahan 1 bulan dalam

kondisi kering dan jika terendam air telur kering dapat menjadi larva

(Ginanjar, 2008).

Gambar 4 . Telur Aedes aegypti (Zettel dan Kaufman, 2008)

2) Larva

Setelah telur menetas tumbuh menjadi larva stadium (instar) , larva

instar 1 melakukan 3 kali pengelupasan kulit (moulting), berturut-turut

menjadi larva instar 2, 3 dan instar 4. Pada larva 4 (akhir) akan melakukan

pengelupasan kulit dan berubah bentuk menjadi stadium pupa.

Gambar 5. Larva instar III Aedes aegypti (Zettel dan Kaufman, 2008)

duri dada

Page 16: S1-2013-280260-chapter1 (1)

16

Ada 4 tingkatan perkembangan larva sesuai dengan pertumbuhannya

yaitu:

a. Larva instar I: berukuran 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada dada

belum jelas dan corong pernafasan pada siphon belum jelas.

b. Larva instar II: berukuran 2,5-3,5 mm, duri-duri belum jelas,

corong kepala mulai menghitam.

c. Larva instar III: berukuran 4-5 mm, duri-duri dada mulai jelas dan

corong pernafasan berwarna coklat kehitaman (lihat gambar 5).

d. Larva instar IV: berukuran 5-6 mm dengan warna kepala gelap.

Larva instar I sangat kecil, berwarna transparan, duri-duri pada

thoraks belum jelas, dan corong pernafasan (siphon) belum menghitam. Larva

instar II bertambah besar dan corong pernafasannya sudah berwarna hitam.

Larva instar IV telah lengkap struktur anatominya dan tubuh dapat dibagi

menjadi bagian kepala (chepal), dada (thorax), dan perut (abdomen). Larva

biasanya ditemukan di drum, tempayan gentong atau bak mandi keluarga yang

kurang diperhatikan kebersihannya (Sumarmo, 1983).

Gambar 6. Penampang segmen utama larva nyamuk Aedes aegypti (WHO,1995)

Page 17: S1-2013-280260-chapter1 (1)

17

Larva Aedes aegypti biasa bergerak lincah dan aktif, dengan

memperlihatkan gerakan naik kepermukaan air dan turun ke dasar wadah

secara berulang. Larva mengambil makanan di dasar wadah, oleh karena itu

disebut pemakan makanan di dasar (bottom feeder). Pada saat larva

mengambil oksigen dari udara, larva menempatkan corong udara pada

permukaan air seolah-olah badan larva berada pada posisi membentuk sudut

dengan permukaan air (Kusnindar, 1990).

Temperatur optimal untuk perkembangan larva berkisar pada suhu

250 C - 30

0 C. Larva berubah menjadi pupa melewati 4 fase atau biasa disebut

instar. Perubahan instar larva mengalami pengelupasan kulit. Perkembangan

dari instar I ke instar II berlangsung selama 2-3 hari, kemudian dari instar II ke

instar III berlangsung selama 2 hari, sedangkan perubahan dari instar III ke

instar IV memerlukan waktu dalam 2-3 hari.

3) Pupa

Stadium pupa merupakan stadium akhir dalam air. Stadium pupa

berbentuk bengkok dengan kepala-dada (cephalothorax) lebih besar

dibandingkan bagian perutnya dan bernafas dengan sepasang organ berbentuk

terompet (Peters, 2007). Stadium ini merupakan fase puasa (tanpa makan) dan

sangat sensitif terhadap pergerakan air. Jika terjadi pergerakan air maka pupa

akan bergerak cepat menyelam ke dalam air kemudian muncul kembali

dengan cara menggantungkan badannya menggunakan tabung pernafasan pada

permukaan air (Cahyati dan Suharyo, 2006).

Page 18: S1-2013-280260-chapter1 (1)

18

4) Dewasa

Stadium dewasa nyamuk Aedes aegypti tubuhnya tersusun atas 3

bagian, yaitu kepala, dada, dan perut. Pada bagian kepala terdapat sepasang

mata majemuk dan antena yang berbulu. Aedes aegypti dewasa tubuhnya

berwarna hitam mempunyai bercak putih keperakan atau putih kekuningan.

Pada toraks bagian dorsal terdapat bercak putih yang khas bentuknya berupa 2

garis sejajar di bagian tengah toraks dan 2 garis lengkung di tepi toraks

(Soedorto, 2011).

Perbedaan nyamuk betina dan jantan adalah pada bagian mulut dan

antena. Nyamuk betina memiliki antena tipe-pilosse dan mulut tipe penusuk-

penghisap (piercing-sucking) sehingga mampu menghisap darah manusia.

Nyamuk dewasa betina mencari makan dengan menghisap darah manusia

atau hewan pada siang hari. Pada malam hari nyamuk beristirahat dalam

rumah pada benda-benda yang digantung seperti pakaian. Nyamuk ini

mempunyai kebiasaan mengigit berulang, yaitu mengigit beberapa orang

secara bergantian dalam waktu singkat. Hal ini karena nyamuk Aedes aegypti

sangat sensitif dan mudah terganggu. Keadaan ini akan beresiko dalam

memindahkan virus dengue ke beberapa orang sehingga ada laporan penderita

demam dengue dalam satu rumah. Nyamuk jantan mencari makan dengan

menghisap sari buah atau bunga. Nyamuk jantan biasanya tidak pergi jauh dari

tempat perindukan, menunggu nyamuk betina untuk berkopulasi (Sumarmo,

1983).

Page 19: S1-2013-280260-chapter1 (1)

19

Gambar 7. Bentuk thorax pada nyamuk Aedes aegypti betina dewasa (WHO,1995)

d. Uji Larvasida

Penelitian eksperimental terhadap larva instar III-IV nyamuk Aedes

aepypti. Penelitian dilakukan sesuai dengan guidelines for laboratory and field

testing of mosquito larvicides, (WHO 2005). Data yang didapat berupa daya

larvasida, yang menerangkan kekuatan racun dari ekstrak untuk membunuh larva

nyamuk Aedes aegypti. LC 50 digunakan sebagai ukuran dari daya larvasida

tersebut.

4. PENYARIAN

Ekstrak adalah sediaaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat

aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai,

kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang

tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan

(Anonim, 1995)

Penyarian adalah kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari bahan yang

tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia yang disari, mengandung zat aktif

yang dapat larut dan zat yang tidak larut seperti serat, karbohidrat, protein dan

Page 20: S1-2013-280260-chapter1 (1)

20

lain-lain (Anonim, 1986). Dalam penyarian, pemilihan cairan penyari adalah hal

yang penting dan harus mempertimbangkan banyak faktor. Cairan penyari yang

baik harus memenuhi kriteria berikut:

1. Murah dan mudah diperoleh

2. Stabil secara fisika dan kimia

3. Bereaksi netral

4. Tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar

5. Selektif yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki

6. Tidak mempengaruhi zat berkhasiat

7. Diperbolehkan oleh peraturan

Farmakope Indonesia menetapkan bahwa sebagai cairan penyari dalam

penyarian adalah air, etanol, etanol-air atau eter. Penyarian pada perusahaan obat

tradisional masih terbatas pada penggunaan cairan penyari air, etanol atau etanol-

air (Anonim, 1986).

Faktor yang mempengaruhi kecepatan penyarian adalah kecepatan difusi

zat yang larut melalui lapisan-lapisan batas antara cairan penyari dengan bahan

yang mengandung zat tersebut. Kecepatan melintasi lapisan batas dipengaruhi

oleh faktor yang mempengaruhi pemindahan massa yaitu: perbedaan konsentrasi,

tebal lapisan batas, serta koefisien difusi. Proses penyarian dapat dipisahkan

menjadi: pembuatan serbuk, pembasahan, penyarian dan pemekatan. Secara

umum, jenis penyarian ada beberapa macam, yaitu: infundasi, maserasi, perkolasi

dan destilasi uap. Dari ketiga macam penyarian tersebut sering terdapat

modifikasi, seperti misalnya maserasi dapat disempurnakan dengan digesti

Page 21: S1-2013-280260-chapter1 (1)

21

(Anonim, 1986). Jika penyarian dilakukan dengan mencelupkan sejumlah serbuk

simplisia begitu saja pada cairan penyari maka penyarian tersebut tak akan dapat

sempurna karena suatu kesetimbangan akan terjadi antara larutan zat aktif yang

terdapat dalam sel dengan larutan zat aktif yang terdapat di luar butir sel.

Penyarian dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi yang terdapat mulai dari pusat

butir serbuk simplisia sampai ke permukaannya, maupun pada perbedaan

konsentrasi yang terdapat di lapisan batas, sehingga suatu titik akan dicapai oleh

zat-zat yang tersari jika ada daya dorong yang cukup untuk melanjutkan

pemindahan massa. Makin besar perbedaan konsentrasi, makin besar daya dorong

tersebut hingga makin cepat penyarian. Cairan penyari harus dapat mencapai

seluruh serbuk dan secara terus menerus mendesak larutan yang memiliki

konsentrasi yang lebih tinggi keluar (Anonim, 1986).

Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan

dengan cara meredam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan

menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat

aktif. Zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan

zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak

keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi

antara larutan di luar sel dan di dalam sel (Anonim, 1986).

Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-etanol atau

pelarut lain. Bila cairan penyari digunakan air maka untuk mencegah timbulnya

kapang, dapat ditambahkan bahan pengawet, yang diberikan pada awal penyarian

(Anonim, 1986). Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara

Page 22: S1-2013-280260-chapter1 (1)

22

pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan.

Kerugian cara maserasi adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang

sempurna (Anonim, 1986).

5. SIMPLEX LATTICE DESIGN

Salah satu metode optimasi formula adalah simplex lattice design.

Prosedur ini dapat digunakan untuk menentukan proporsi bahan-bahan yang

menghasilkan formulasi dengan variabel atau hasil yang ditentukan paling baik.

Respon permukaan dan daerah optimum dapat diperoleh dengan penerapan

metode simplex lattice design. Misalnya akan diteliti pengaruh 2 macam solven,

yaitu A dan B terhadap kelarutan zat aktif X. Tiga macam percobaan dibuat untuk

melihat pengaruh solven tersebut, yaitu 100 % A, 100 % B, dan 50 % - 50 %

campuran A dan B (Bolton, 1987).

Prinsip dasar SLD adalah untuk mengetahui profil efek campuran terhadap

suatu parameter. Dasar dari metode ini adalah adanya dua variabel bebas A dan B.

Rancangan ini dibuat dengan memilih tiga kombinasi dari campuran dua variabel

tersebut dan dari setiap kombinasi diamati respon yang didapat. Respon yang

diharapkan haruslah yang paling mendekati tujuan yang telah ditetapkan

sebelumnya baik maksimum atau minimum. Hubungan antara respon dan

komponen dapat digambarkan dengan rumus :

Y = a [ A] + b [ B ] + ab [A] [B]

Page 23: S1-2013-280260-chapter1 (1)

23

Keterangan :

Y : respon yang diharapkan

a, b, ab = koefisien yang didapat dari percobaan

[ A] [ B] = fraksi ( bagian ) komponen dengan persyaratan : 0 ≤ [ A] ≤ 1,

0 ≤ [ B] ≤ 1

Nilai respon yang didapat dari hasil percobaan disubtitusikan ke dalam

persamaan di atas, maka dapat dihitung nilai koefisien a, b dan ab. Jika nilai-nilai

koefisien ini telah diketahui, dapat pula dihitung nilai Y (respon) pada setiap

variasi campuran A dan B sehingga didapatkan gambaran profilnya (Bolton,

1987).

6. KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS

Kromatografi didefinisikan sebagai prosedur pemisahan zat terlarut oleh

suatu proses migrasi diferensial dinamis dalam system yang terdiri dari dua fase

atau lebih, salah satu diantaranya bergerak berkesinambungan dalam arah tertentu

dan dalamnya zat-zat itu menunjukkan perbedaan mobilitas disebabkan adanya

perbedaan dalam adsorpsi, partisi, kelarutan tekanan uap, ukuran molekul atau

kerapatan muatan ion (Anonim, 1995)

Kromatografi lapis tipis (KLT) termasuk jenis kromatografi cair yang paling

sederhana. Keuntungan penggunaan metode ini adalah mudah, murah dan

pemakaian pelarut dan cuplikan yang jumlahnya sedikit untuk pemisahan

golongan senyawa. Pada sistem KLT melibakan sifat fase diam (sifat lapisan) dan

sifat fase gerak atau campuran pelarut pengembang. Fase diam dapat berupa

Page 24: S1-2013-280260-chapter1 (1)

24

serbuk halus yang berfungsi sebagai permukaan penjerap atau sebagai penyangga

untuk lapisan zat cair. Penjerap yang paling umum dipakai adalah silika dan

selulosa. Mekasnisme yang utama pada KLT adalah partisi dan adsorbsi (Gandjar

dan Rohman, 2013).

Sampel senyawa uji diaplikasikan pada fase diam dalam bentuk totolan

kecil atau pita. Fase gerak akan melewati fase diam dengan gaya kapilaritas.

Komponen-komponen suatu senyawa akan bergerak karena adanya fase gerak

dengan jarak tempuh yang berbeda pada fase diam, biasanya disebut

pengembangan kromatogram. Perbedaan jarak tempuh setiap komponen senyawa

disebabkan karena afinitas yang berbeda dari masing-masing komponen dengan

fase diam atau fase gerak. Interaksi yang mungkin terjadi pada pemisahan

senyawa dengan metode kromatografi diantaranya ikatan hidrogen, transfer

muatan atau ikatan Van der Waals (Sherma, 1996).

Evaluasi dilakukan dengan pengamatan secara visual dan membandingkan

jarak bercak dari awal pengembangan senyawa yang dipisahkan. Jarak tersebut

umumnya dikonversikan dalam nilai Rf (Retardation factor) yang merupakan

hasil bagi antara jarak yang ditempuh senyawa terlarut dengan jarak yang

ditempuh pelarut.

Perhitungan nilai Rf seperti rumus seperti di bawah ini:

Angka Rf berjangka antara 0,00 sampai 1,00 dan ditentukan dalam dua

desimal. hRf adalah angka Rf dikalikan faktor 100 (h), menghasilkan nilai

berjangka 0 sampai 10. Deteksi dari komponen senyawa yang telah dipisahkan

Page 25: S1-2013-280260-chapter1 (1)

25

akan lebih mudah bila komponen tersebut secara alami telah berwarna, berpendar

atau mengabsorbsi sinar ultraviolet. Namun, kebanyakan komponen harus diberi

pereaksi penampak bercak dengan cara disemprot atau dicelup supaya dapat

menghasilkan warna atau pendar. Absorbsi sinar ultraviolet bisanya terjadi pada

senyawa aromatik atau yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi (Harborne,

1987)

Selain dengan pengamatan di bawah sinar ultraviolet deteksi juga

dilakukan dengan pereaksi semprot. Pereaksi warna harus mencapai pelat KLT

dalam bentuk tetesan yang sangat halus sebagai aerosol, dan bukan sebagai

semprotan kasar. Pembentukan warna yang optimum sering kali memerlukan

peningkatan suhu dan waktu tertentu. Pemanasan yang baik apabila penyebaran

suhunya seragam. Pembanding yang digunakan dalam uji kromatografi yakni:

a. Asam Galat

Asam galat adalah asam trihidroksibenzoid, sejenis asam fenolik juga sering

dikenal dengan 3,4,5-trihidroksibenzoid, sering ditemukan pada daun teh, kulit

kayu ek, dan tanaman lainnya. Asam galat umumnya digunakan dalam industri

farmasi sebagai standar untuk menentukan kadar fenol.

Gambar 8. Struktur Asam Galat (Robinson, 1995)

Page 26: S1-2013-280260-chapter1 (1)

26

b. Istizin

Istizin atau dikenal dengan 1,8-dihydroxyanthraquinone, merupakan zat organik

secara yang merupakan derivat antrakuinon, terdapat pergantian dua atom

hidrogen dengan gugus hidroksi (OH-). Senyawa ini sering digunakan sebagai

laksantif.

Gambar 9. Struktur istizin (NCBI, 2013)

c. Stigmatserol

Stigmasterol merupakan senyawa turunan asam lemak yang terdapat hampir pada

semua tumbuhan. Struktur kimia stigmasterol identik dengan struktur kimia

kolesterol, namun berbeda pada rantai cabangnya. Stigmasterol memiliki ikatan

rangkap antara atom C 22 dan C 23 dengan konfigurasi trans.

Gambar 10. Struktur Stigmasterol (NCBI, 2013)

Page 27: S1-2013-280260-chapter1 (1)

27

d. Kinin

Kinin merupakan senyawa antimalaria, termasuk kedalam golongan alkaloid yang

diperoleh dari kulit kayu pohon kina. Pada struktur kinin terdapat 2 bagian yaitu

cincin kinin dan kinolin. Kinin memiliki rumus molekul C20H24N2O2, dengan

berat molekul 324,4 g/mol. Pada cincin kinolin terdapat 2 atom C asimetrik.

Pemeriannya berupa serbuk mikrokristal atau granul-granul berwarna putih,

sedikit berfluorosensi.

Gambar 11. Struktur Kinin (NCBI, 2013)

F. LANDASAN TEORI

Daun pepaya mempunyai khasiat sebagai larvasida yang telah diteliti oleh

(Kalimuthu, 2012) ekstrak metanol dari daun pepaya Carica papaya telah teruji

memiliki aktivitas larvasida terhadap larva Aedes aegypti pada konsentrasi 74,07

ppm Senyawa aktif dari daun pepaya dapat disari dengan optimal jika

menggunakan pelarut yang sesuai. Biji dari buah papaya mangandung alkaloid

karpain yang bersifat toksik dan menimbulkan reaksi kimia dalam proses

pertumbuhan sehingga larva tidak dapat melakukan metamorphosis secara

Page 28: S1-2013-280260-chapter1 (1)

28

sempurna (Margo, 2010). Menurut (Anonim, 1986), etanol adalah penyari yang

sering digunakan untuk penyarian, sering kali etanol di kombinasikan dengan air

dengan komposisi yang beragam tergantung bahan yang akan disari.

Etanol merupakan penyari yang berifat polar akan tetapi jika kadarnya

tinggi maka sifat senyawanya semi polar. Hal ini yang dikatakan “like dissolves

like” dimana senyawa yang memiliki sifat yang polar cendrung larut dalam pelarut

yang polar, dan sebaliknya. Senyawa yang bersifar nonpolar akan sulit di

metabolisme karena sulit untuk dieksresikan oleh tubuh sehingga bersifat toksik.

Metode Simplex Lattice Design (SLD) dapat menentukan optimasi dari

formula pada berbagau perbedaan jumlah komposisi bahan, dimana jumlah

totalnya sama dengan satu bagian (Bolton, 1997). Metode ini efektif untuk

memprediksi optimasi komposisi pelarut yang sesuai dengan respon yang

diinginkan. Suena (2009) melaporkan bahwa metode SLD dapat digunakan untuk

optimasi pelarut dalam penyarian daun mimba sebagai antibakteri.

G. HIPOTESIS

1. Profil SLD aktivitas larvasida dan rendemen akan memberikan bentuk yang

linier dimana semakin tinggi kadar etanol yang digunakan aktivitas dan

rendemen yang dihasilkan ekstrak semakin tinggi.

2. Perbedaan komposisi pelarut etanol dan air pada ekstraksi daun papaya akan

menyari senyawa kimia yang berbeda pada eksrak sehingga berpengaruh pada

respon larvasida dan hasil rendemen.