BAB I PENDAHULUAN -...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Acemoglu dan Robinson (2008) perbedaan kemakmuran yang dicapai oleh
suatu negara ditentukan oleh perbedaan dalam kelembagaan ekonomi (economic
institutions)1 yang diterapkan dan dijalankan. Kelembagaan ekonomi yang baik akan
menyebabkan kemakmuran yang lebih baik, perbaikan kelembagaan ekonomi mutlak
diperlukan agar kemakmuran sebuah negara dapat semakin meningkat. Perbaikan
kelembagaan ekonomi dapat dilakukan dengan melakukan reformasi terhadap
kelembagaan ekonomi menjadi kelembagaan yang lebih baik.
Reformasi dalam kelembagaan ekonomi tidak dapat berdiri sendiri,
kelembagaan ekonomi adalah pilihan kolektif yang merupakan hasil dari sebuah
proses politik. Kelembagaan ekonomi tergantung pada kelembagaan politik dan
distribusi kekuasaan politik dalam masyarakat. Kekuasaan politik dapat mendukung
kelembagaan ekonomi dengan baik, ketika secara bersamaan terjadi reformasi dalam
kelembagaan politik. Zhuang, Dios, dan Martin (2010) menyatakan terdapat
hubungan jangka panjang antara lembaga politik dan kualitas kelembagaan ekonomi.
Semakin baik kualitas kelembagaan politik, kelembagaan ekonomi juga akan
1 North (1994) mendefinisikan kelembagaan sebagai aturan-aturan yang membatasi perilakumenyimpang (human devised) untuk membangun struktur interaksi politik, ekonomi dan sosial.Acemoglu dan Robinson (2008) mendefinisikan kelembagaan ekonomi adalah lembaga yangmenjalankan fungsi ekonomi, yang akan mempengaruhi investasi modal, sumber daya manusiadan teknologi serta sebagai sebuah organisasi produksi. Kelembagaan politik adalah lembaga yangmembatasi dan memberikan insentif terhadap pelaku-pelaku politik dalam pembagian kekuasanpolitik.
2
semakin baik. Dampaknya alokasi sumberdaya yang dilakukan oleh pemerintah
menjadi efisien, dan terjadi peningkatan dalam pendapatan dan pertumbuhan
ekonomi.
Salah satu bentuk reformasi kelembagaan politik adalah reformasi dalam
kekuasaan pemerintahan, dari pemerintahan otoriter menjadi pemerintahan yang
lebih demokratis. Menurut North dan Weingast (1989) negara yang menerapkan
sistem yang lebih demokratis, akan lebih mampu meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, karena bekerjanya mekanisme check and balance dan keterbukaan dalam
pemerintahan. Demokrasi juga menjamin adanya hak kepemilikan (property right).
Investor merasa investasi yang akan mereka tanamkan akan lebih terjamin dan
kepercayaan investor dalam berinvestasi akan meningkat baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang.
Dalam sistem otoriter, McGuire dan Olson (1996) meyakini bahwa penguasa
akan memaksakan kebijakan ekonomi kepada warganya sesuai dengan keinginan
dan kepentingannya. Penguasa dapat memaksa warga negara untuk memasok tenaga
kerja dan modal untuk berproduksi. Namun hasil keuntungan dari proses produksi
tersebut diambil alih oleh penguasa atau didistribusikan untuk kelompoknya, untuk
mempertahankan kekuasaan.
Demokrasi memunculkan kompetisi politik, menurut Bardhan dan Yang (2004)
kompetisi politik adalah kompetisi untuk mendapatkan kekuasaan mengendalikan
pemerintahan dan mengalokasikan sumberdaya yang tersedia untuk kepentingan
politik dan kepentingan masyarakat. Menurut Downs (1957), kompetisi politik
3
diartikan sebagai kompetisi antara kandidat untuk mendapatkan suara terbanyak dari
pemilih untuk menjalankan suatu platform kebijakan yang layak dijalankan.
Menurut Becker (1983) kompetisi politik sejalan dengan kompetisi ekonomi.
Dalam kompetisi ekonomi dikenal istilah pasar persaingan (market competation)
dan pasar monopoli (monopoly/market power). Pasar persaingan lebih diyakini dapat
meningkatkan kesejahteraan konsumen dibandingkan dengan pasar monopoli, karena
dalam pasar monopoli cenderung akan muncul rente ekonomi (economic rents) yang
lebih menguntungkan produsen. Dalam politik, jika semakin tinggi kompetisi politik
maka negara atau pemerintahan cenderung demokratis, sebaliknya jika semakin
rendah kompetisi politik maka akan semakin otoriter. Kompetisi politik akan
mengurangi rente yang terjadi di dalam sistem pemerintahan otoriter.
Olson (2000) menunjukkan bahwa kompetisi politik akan mempengaruhi cara
pemerintah mengelola ekonomi. Kompetisi politik akan mendorong penguasa untuk
mengalokasikan sumberdaya ke arah yang lebih produktif dan bermanfaat untuk
seluruh golongan masyarakat. Semakin tinggi kompetisi yang dihadapi penguasa,
maka penguasa akan mengarahkan manfaat dari pengalokasian sumberdaya kepada
perwakilan masyarakat yang terpenting (biasanya dari golongan masyarakat pemilih
mengambang median voter/ atau swing voter). Hanya sedikit manfaat atau bantuan
pemerintah yang akan diberikan kepada kelompoknya. Kelompok penguasa tidak
akan melobi bantuan pemerintah, mereka akan lebih berinsentiatif untuk melakukan
kegiatan yang lebih produktif.
Kompetisi politik menurut Persson dan Tabellini (2000) dan Drazen (2001)
dapat diartikan sebagai desentralisasi kewenangan politik. Terdapat kompetisi politik
4
yang kuat ketika kewenangan politik berada pada berbagai juridiksi politik yang
beragam. Masing-masing pihak juridiksi politik akan berusaha untuk mendapatkan
manfaat terbanyak dari banyak sumber daya yang tersedia. Kompetisi politik jenis
ini berhubungan dengan terbaginya kekuasaan politik antara eksekutif dan legislatif
di pemerintahan.2
Kebijakan pengalokasian sumber daya ekonomi yang dimiliki oleh negara atau
pemerintahan tidak dapat diputuskan sendiri oleh pihak eksekutif. Mereka
memerlukan kesepakatan dan pengesahan dari pihak legislatif. Dalam kondisi
tertentu kesepakatan dan pengesahan suatu kebijakan harus ditentukan oleh
pemungutan suara (voting) di lembaga legislatif. Jumlah kursi yang diperoleh suatu
partai di lembaga legislatif akan sangat mempengaruhi arah kebijakan pembangunan
yang akan diputuskan dan disahkan.
Jumlah kursi yang diperoleh oleh partai politik di lembaga legislatif menjadi
fokus utama dalam konsep kompetisi politik. Besley, Persson dan Sturm (2006),
Padovano dan Riccuti (2009), Ghost (2012) dan Alfano dan Baraldi (2012), Persson
dan Tabellini (2000) dan Drazen (2001) serta beberapa peneliti yang lain
menggunakan jumlah kursi partai di lembaga legislatif sebagai ukuran kompetisi
politik. Semakin dominan sebuah partai menguasai atau mendapatkan kursi di
lembaga legislatif maka kompetisi politik yang terjadi akan semakin rendah,
2 Ciri-ciri negara yang menerapkan demokrasi modern adalah adanya peran yang berimbang antarakekuasaan eksekutif dan legislatif dalam penyelenggaraan pemerintahan.
5
sebaliknya semakin rata jumlah perolehan kursi diantara partai politik di lembaga
legislatif maka kompetisi politik yang terjadi semakin tinggi.3
Belum ada kesepakatan dari ahli ekonomi mengenai pengaruh dari tingkat
kompetisi politik di lembaga legislatif terhadap kinerja ekonomi, baik itu pertumbuh-
an ekonomi maupun kinerja fiskal pemerintah. Pinto dan Timmons (2005)
menggabungkan model kompetisi politik dengan model pertumbuhan ekonomi
Model Neoklasik dan menggunakan panel data 90 negara dari lima benua. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kompetisi politik menurunkan tingkat akumulasi
tenaga kerja dan modal, tetapi menaikkan tingkat akumulasi modal manusia, dan
meningkatkan inovasi teknologi.
Ashworth, Geys, Heyndels, dan Wille (2006) menemukan bahwa kompetisi
politik yang ketat mampu membuat kebijakan yang efisien dalam peningkatan
pertumbuhan ekonomi dan penyediaan barang-barang publik. Namun ketika
kompetisi menjadi terlalu ketat akan berdampak negatif terhadap munculnya
pemerintahan yang terfragmentasi.
Besley, Persson dan Sturm (2010) menemukan bahwa bahwa rendahnya
kompetisi politik di Parlemen Negara-Negara Bagian Selatan di Amerika ber-
pengaruh negatif terhadap kebijakan yang kurang mendukung pertumbuhan seperti
penerapan pajak yang lebih tinggi dan belanja modal yang lebih rendah. Pada
akhirnya menyebabkan rendahnya pertumbuhan ekonomi.
Padovano dan Riccuti (2009) mengadopsi model Besley dan menerapkannya
di Negara Italia. Negara Italia telah melakukan reformasi politik di tahun 1995 serta
3 Stigler (1972) mendefinisikan suatu struktur legislatif yang kompetitif, yaitu rata-rata proporsi suarayang didapat partai yang kalah tidak terlalu jauh dari 50%.
6
menggunakan sistem multipartai, dan melakukan pemilihan gubernur secara
langsung. Ditemukan bukti adanya korelasi positif antara kompetisi politik dan
kinerja ekonomi di wilayah di Italia. Kompetisi politik memaksa pemerintah daerah
untuk melakukan efisiensi melalui peningkatan dalam pilihan-pilihan kebijakan dan
pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Alfano dan Baraldi (2012), menemukan bahwa kompetisi politik tidaklah
linier, hubungan antara kompetisi politik dan pertumbuhan ekonomi berbentuk U
terbalik dan bukan berbentuk biunivocal. Ketika kompetisi politik rendah akan
berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, namun ketika kompetisi politik
telah melewati tingkat optimum dan terlalu tinggi maka kompetisi politik berdampak
negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Beberapa penelitan lain, lebih khusus melihat pengaruh kompetisi politik
terhadap pengeluaran pemerintah untuk barang-barang publik (pengeluaran sektor
pendidikan dan kesehatan). Hasil penelitian mereka juga menghasilkan kesimpulan
yang belum utuh. Brown dan Hunter (1999); Brown dan Hunter (2004); Avelino,
Brown, dan Hunter (2005); Lake dan Baum (2001) menemukan hubungan yang
positif. Semakin ketat kompetisi politik akan mempengaruhi peningkatan dalam
penyediaan barang-barang publik. Boulding dan Brown (2014) menemukan hasil
yang berbeda, semakin tinggi kompetisi politik semakin rendah pengeluaran
pemerintah untuk barang-barang publik, dan sebaliknya semakin rendah kompetisi
politik semakin besar pengeluaran untuk barang publik.
Nye dan Vasilyeva (2013) menemukan hal yang berbeda, rendahnya
kompetisi politik di suatu wilayah cenderung meningkatkan pengeluaran untuk
7
barang-barang publik, hubungan antara kompetisi politik dan pengeluaran untuk
barang-barang publik berbentuk huruf U terbalik. Pada saat intensitas kompetisi
politik rendah pemerintah cenderung lebih banyak membelanjakan anggaran untuk
pengeluaran barang publik, namun pada tingkat kompetisi yang semakin tinggi,
anggaran barang publik semakin berkurang.
Selain kompetisi politik yang dilihat dari jumlah kursi yang diperoleh oleh
partai politik di lembaga legislatif, kompetisi politik bisa juga dilihat dari
fragmentasi pemerintahan. Apakah eksekutif mendapatkan dukungan dari legislatif.
Jika kepala pemerintahan yang dicalonkan oleh sebuah partai atau koalisi partai
politik yang memiliki suara mayoritas di lembaga legislatif dan menang dalam
pemilihan, maka pemerintahannya disebut dengan istilah unified government.4
Kekuasaan politik di legislatif dan eksekutif dikuasai oleh satu atau koalisi partai
yang sama.
Sebaliknya jika kepala pemerintahan didukung oleh satu atau suatu koalisi
partai namun tidak mendominasi suara di lembaga legislative, maka bentuk
pemerintahan menjadi divided government. Terjadi pembagian kekuasaan, eksekutif
dikuasi oleh satu atau suatu koalisi partai dan legislatif dikuasi oleh satu atau suatu
koalisi partai yang lain.
Kompetisi politik antar partai politik yang ideal, yaitu partai penguasa
(pemerintahan), memiliki kendali atas cabang eksekutif dan legislatif, sedangkan
partai oposisi memainkan peran pengawasan. Ketika terjadi divided government,
terjadi pemisahan dalam penguasaan lembaga eksekutif dan lembaga legislatif.
4 Alesina dan Rosenthal, 1995; Alt dan Lowry, 1994; Binder, 1999; Cox dan Kernell, 1991; Fiorina,1996; Mayhew, 1991; Rose, 2001; Van Assendelft, 1997 menggunakan istilah ini. Dominasi kursipartai di lembaga legislatif melebihi 50 persen.
8
Salah satu pihak saling menguasai kendali atas kedua lembaga itu. Dampaknya
wewenang partai yang berkuasa dapat menurun, dan cenderung timbul konflik dalam
pemerintahan (Cutler, 1980, 1988; Leonard, 1991; Sundquist, 1990).
Beberapa penelitian tentang divided government dan unified government di
Amerika Serikat, fokus terhadap apakah divided government memiliki kinerja yang
lebih baik dibandingkan dengan unified government (lihat: Alesina dan Rosenthal,
1995; Alt dan Lowry, 1994; Binder, 1999; Cox dan Kernell, 1991; Fiorina, 1996;
Mayhew, 1991; Rose, 2001; Van Assendelft, 1997). Sejumlah studi menyatakan
bahwa divided government cenderung menyebabkan terjadinya inefisiensi dan jalan
buntu untuk penguasaan lembaga eksekutif dan legislatif (Binder, 1999; Coleman,
1999; Cutler, 1980; Leonard, 1991; McCubbins, 1991; Mezey, 1991; Sundquist,
1988).
Hal yang sama dihasilkan oleh Wu dan Huang (2008) yang meneliti pengaruh
divided government pada tingkat kota/distrik terhadap persepsi publik akan kinerja
walikota. Hasilnya ternyata publik memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi
dengan unified goverment dibandingkan dengan divided government.
Walaupun beberapa peneliti percaya bahwa divided government dapat
menyebabkan lebih banyak kebuntuan dalam pembuatan kebijakan dan inefisiensi
pemerintahan namun Mayhew (1991) menemukan hal yang berbeda. Menurutnya
tidak ada perbedaan besar antara divided government dan unified government.
Divided government tidak menyebabkan terjadinya kebuntuan legislatif dan
eksekutif, penentuan kebijakan diantara kedua lembaga ini masih tetap sejalan.
9
Lebih spesifik, Facchini (2014) melihat hubungan antara fragmentasi politik
dan pengeluaran untuk kepentingan publik. Terjadi hubungan yang positif antara
fragmentasi politik terhadap pengeluaran pemerintah untuk pengeluaran publik.
Fragmentasi politik (berarti terjadi divided government) akan berdampak positif
terhadap tingkat pengeluaran pemerintah untuk barang-barang publik, dan
sebaliknya.
Menurut Persson (1997), Acemoglu dan Robinson (2000 dan 2002), Mulligan
dan Tsui (2006), Fiva dan Natvlik (2012), kompetisi politik juga dapat diartikan
sebagai akuntabilitas incumbent (petahana). Jika petahana bertanggungjawab dalam
melaksanakan tugas atau memberikan manfaat kepada pemilihnya, maka dia akan
dipilih kembali. Namun sebaliknya jika dia kurang atau tidak bertanggungjawab
maka dia akan disingkirkan dari kekuasaanya. Konsep ini sering disebut sebagai
proses political turnover, atau evaluasi pemilih terhadap pemimpin politik.
Dalam konsep kompetisi politik sebagai akuntabilitas petahana, kompetisi
politik akan merangsang pertumbuhan ekonomi karena petahana akan mem-
pertahankan kekuasaanya dengan mengarahkan kebijakan yang lebih mementingkan
kepentingan publik. Tetapi ketika terjadi kompetisi yang sangat ketat, ancaman
untuk menggulingkan petahana menjadi terlalu kuat (artinya, kemungkinan untuk
bisa dipilih kembali sangat rendah), maka petahana akan bertindak secara myopic,
yaitu memaksimalkan keuntungan pribadi (rent) selama menjabat (Bardhan dan
Yang, 2004).
Terjadinya kompetisi politik juga bisa mengurangi perilaku rent-seeking yang
dilakukan oleh politisi dan kelompok pendukungnya. Kompetisi politik memberikan
10
kesempatan kepada masyarakat untuk untuk memberikan sanksi bagi pejabat publik
yang tidak menepati janjinya atau yang melakukan rent-seeking dengan tidak
memilih mereka kembali (Haber, 2004; Mulligan dan Tsui, 2006).
Ketika kompetisi politik menjadi terlalu kuat, Acemoglu dan Robinson (2000
dan 2002) menunjukkan bahwa kepemimpinan politik cenderung merendahkan
investasi publik, karena investasi publik secara ekonomis produktif namun secara
politis mengganggu stabilitas. Artinya penguasa harus menyeimbangkan insentif
untuk memperluas basis pajak (melalui investasi) melawan insentif untuk tetap
mengamankan posisi mereka (melalui non-investasi). Menurut pandangan ini,
kompetisi terlalu ketat bersifat menganggu pertumbuhan ekonomi.
Fiva dan Natvlik (2012) melakukan penelitian di Norwegia, dan menemukan
tingginya kemungkinan petahana terpilih kembali dalam pemilu akan merangsang
investasi, namun investasi yang lebih mementingkan kelompok petahana. Aset dan
keuangan negara dijadikan alat bagi kepentingan petahana untuk mensukseskan
pemilu mereka.
Font, Oreggia dan Luna (2003) menyatakan bahwa alokasi regional investasi
publik yang dilakukan oleh pemerintah pusat cenderung didorong oleh “oportunisme
politik” dan politik lokal pork-barel di daerah. Pemerintah pusat mendukung alokasi
investasi publik di daerah berdasarkan kepentingan partai yang berkuasa. Alokasi
investasi tersebut ditujukan agar partai yang berkuasa mendapatkan keuntungan
politik dari pengalokasian anggaran.
Gersbach (2006) menyatakan, jika politisi berorientasi jangka pendek, maka
pemilu yang demokratis tidak dapat memotivasi para politisi menangani proyek
11
jangka panjang yang secara sosial menguntungkan masyarakat. Hal yang sama juga
dihasilkan Olle (2006) yang menyatakan bahwa semakin meningkatnya kompetisi
politik akan meningkatkan defisit anggaran.
Kualitas institusi merupakan variabel penting lain dalam mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi, seperti pendapat dari: World Bank (1997); Stigliz (1998);
Bloom dan Cunning (2000); Glaeser dkk (2004); Vijayaraghavan dan Ward (2010).
Kualitas institusi dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi karena berkaitan erat
dengan besarnya biaya transaksi dalam proses produksi dan distribusi barang dan
jasa. Kualitas institusi yang baik akan menjamin terjadinya penegakan hukum,
transparansi dan kepastian hak kepemilikan.
Rothstein dan Torrel (2008), Zhuang dkk (2010) lebih spesifik melihat
institusi dari sisi birokrasi pemerintahan. Kualitas pemerintah dilihat dari
keberpihakan birokrasi terhadap kepentingan publik. Pemerintahan yang baik (good
government) merupakan pemerintahan yang lebih mengutamakan kepentingan publik
dibandingkan dengan kepentingan kelompok dan individu.
Beberapa peneliti mengunakan ukuran kualitas pemerintahan yang berbeda.
Vijayaraghavan dan Ward (2010) mengukurnya dari tiga aspek yaitu kualitas
birokrasi, jaminan penegakan hukum dan tingkat korupsi di pemerintahan.
Kaufmann, Kraay, and Mastruzzi (2004) mengukurnya dari aspek-aspek: proses
penempatan, evaluasi dan monitoring pegawai; efektivitas kapasitas pemerintah
dalam memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan; dan kepatuhan
masyarakat dan negara terhadap institusi itu sendiri. Zhuang dkk (2010) mengukur
12
efektifitas pemerintahan dari aspek: kualitas layanan publik, independensi dari
tekanan politik dan kualitas pembuatan kebijakan.
Glaeser dkk (2004) membuktikan bahwa modal sumber daya manusia
merupakan sumber utama pertumbuhan ekonomi, bukan kualitas institusi.
Vijayaraghavan dan Ward (2010), menemukan dampak dari variabel pemerintahan
terhadap pertumbuhan ekonomi tidak pasti. Penjaminan hak kepemilikan dan size of
government cenderung lebih berperan terhadap pertumbuhan.
Salah satu ukuran kualitas birokrasi di Indonesia, adalah Evaluasi Kinerja
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EKPPD).5 Evaluasi tersebut akan
menghasilkan indeks capaian kinerja yang bernilai 0 – 4,00. Terdapat dua indikator
kunci kinerja (IKK) yang digunakan yaitu pertama aspek pengambilan kebijakan dan
kedua aspek pelaksanaan kebijakan. Untuk melaksanakan EKPPD tersebut,
diterbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) untuk melaksanakan
EKPPD.6 Hasil EKPPD selama 4 tahun tersebut merupakan cerminan dari kualitas
birokrasi pemerintah daerah di Indonesia.
Kompetisi politik di Indonesia mengalami perkembangan yang menarik ketika
terjadi reformasi institusi di Indonesia. Dimulai dengan berakhirnya rezim Orde
Baru yang menerapkan sistem politik yang otoriterian menjadi sistem politik yang
demokratis. Pemerintahan, yang semula sentralistik menjadi desentralistik, sebagian
5 lihat Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi PenyelenggaraanPemerintah Daerah; dan Permendagri No. 72 tahun 2009 Tentang Tata Cara Pelaksanaan EKPPD.
6 EKPPD tahun 2009 berdasarkan Kepmendargri No120 - 276 Tahun 2010; EPPD Tahun 2010berdasarkan Kepmendargri No. 100–279 Tahun 2012; EKPPD Tahun 2011 berdasarkanKepmendargri No. 120 – 2818 Tahun 2013. EKPPD tahun 2012 berdasarkan Kepmendargri No.120 – 251 Tahun 2014
13
kekuasaan pemerintah pusat diserahkan kepada pemerintah daerah, atau yang dikenal
sebagai otonomi daerah.
Sistem politik yang demokratis berdampak melahirkan puluhan partai-partai
baru. Mereka bersaing untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya suara rakyat guna
mendapatkan atau mengendalikan kekuasaan pemerintah. Desentralisasi menyebab-
kan pemerintah daerah mendapatkan kekuasaan yang lebih luas dalam mengelola
urusan pemerintahan dan juga memiliki kewenangan membuat kebijakan dalam
rangka meningkatkan pelayanan publik, pemberdayaan masyarakat untuk meningkat-
kan kesejahteraan rakyat.
Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memberi
kekuasaan yang besar pada DPRD. DPRD kabupaten/kota merupakan lembaga
perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah kabupaten/kota. Ada tiga hubungan antara DPRD dengan
kepala daerah. Pertama, hubungan antara kedua lembaga negara dalam pembuatan
peraturan daerah (Perda). Lembaga-lembaga ini sama-sama berhak untuk membuat
perda. Namun dalam Perda tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) yang dibuat oleh Pemda harus dibahas secara bersama-sama dengan DPRD
(Pasal 181).
Kedua, hubungan dalam anggaran. Semua urusan pemerintahan di daerah
didanai oleh APBD harus mendapat persetujuan dari DPRD. DPRD melakukan
pembahasan atau memberikan persetujuan atas rancangan APBD yang dibuat oleh
eksekutif, walaupun eksekutif merupakan pemegang kekuasaan pengelolaan
keuangan daerah. Ketiga, hubungan dalam pengawasan, pengawasan oleh DPRD
14
merupakan mekanisme check and balances dalam sistem demokrasi. Salah satu
pengawasan yang dilakukan adalah mengawasi pelaksanaan APBD dan mengawasi
kebijakan pemerintah daerah.
Pemilu Legislatif pada tahun 2004 diikuti oleh 24 partai, dari 24 partai yang
mengikuti pemilu tersebut terdapat 17 partai di tingkat nasional yang mendapatkan
kursi di DPR Pusat. Tabel 1.1 memperlihakan perolehan suara dan jumlah kursi
yang didapatkan di DPR berdasarkan partai peserta.
Tabel 1.1 Jumlah Suara Hasil Pemilu Legislatif Tahun 2004 berdasarkan PartaiPeserta
No Partai Perolehan SuaraJumlah Persen Kursi
DPRD(1) (2) (3) (4) (5)1 Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNIM) 923.159 0,81 12 Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD) 636.056 0,56 03 Partai Bulan Bintang (PBB) 2.970.487 2,62 114 Partai Merdeka 842.541 0,74 05 Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 9.248.764 8,15 586 Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK) 1.313.654 1,16 57 Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB) 672.952 0,59 08 Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) 1.230.455 1,08 19 Partai Demokrat 8.455.225 7,45 57
10 Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) 1.424.240 1,26 111 Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI) 855.811 0,75 112 Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia
(PPNUI) 895.610 0,79 013 Partai Amanat Nasional (PAN) 7.303.324 6,44 5214 Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) 2.399.290 2,11 215 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 11.989.564 10,57 5216 Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 8.325.020 7,34 4517 Partai Bintang Reformasi (PBR) 2.764.998 2,44 1318 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 21.026.629 18,53 10919 Partai Damai Sejahtera (PDS) 2.414.254 2,13 1220 Partai Golongan Karya (Golkar) 24.480.757 21,58 12821 Partai Patriot Pancasila (Partai Patriot) 1.073.139 0,95 0
bersambung
15
Sambungan Tabel 1.1(1) (2) (3) (4) (5)22 Partai Sarikat Indonesia (PSI) 679.296 0,60 023 Partai Persatuan Daerah (PPD) 657.916 0,58 024 Partai Pelopor 878.932 0,77 2Jumlah 113.462.414 100 550
Sumber: KPU RI Hasil Pemilu Legislatif tahun 2004
Tabel 1.1 memperlihatkan, di tingkat nasonal tidak ada partai peserta Pemilu
legislatif yang mendominasi perolehan suara, jika digabungkan tiga partai yang
memperoleh suara terbanyak yaitu Partai Golkar, PDIP dan Partai Kebangkitan
bangsa, maka jumlah suara belum mencapai 50%. Beberapa partai yang lain seperti
PPP, Partai Demokrat, PKS dan PAN mendapatkan suara yang hampir sama diantara
9–5 persen. Beberapa partai yang lain hanya mendapatkan suara di bawah 3 persen.
Pola yang sama terjadi di tingkat kota dan kabupaten, Tabel 1.2
memperlihatkan hasil perolehan kursi DPRD di dua kota dan tiga kabupaten sebagai
contoh hasil perolehan suara pada Pemilu legislatif tahun 2004. Terlihat bahwa
jumlah partai yang mendapatkan kursi DPRD lebih rendah dari pada DPR Pusat.
Perolehan suara partai di kursi DPRD berturut-turut adalah: Kota Sibolga 13 Partai;
Kota Magelang 9 partai; Kabupaten Indramayu 6 partai; Kabupaten Tabanan 7
partai dan Kabupaten Nunukan 9 partai. Hasil ini menunjukkan adanya keragaman
yang cukup besar perolehan kursi partai di DPRD di berbagai daerah.
16
Tabel 1.2 Kursi Hasil Pemilu Legislatif Tahun 2004 berdasarkan Partai di BeberapaKota dan Kabupaten
No PartaiKota Kabupaten
Sibolga Magelang Indramayu Tabanan NunukanKursi % Kursi % Kursi % Kursi % Kursi %
1 PNIM 0 0 0 0 0 0 0 0 0 02 PBSD 0 0 0 0 0 0 0 0 0 03 PBB 1 5,0 0 0 2 4,4 0 0 7 28,04 Merdeka 1 5,0 0 0 0 0 0 0 0 05 PPP 1 5,0 1 4,0 3 6,7 0 0 2 8,06 PPDK 0 0 0 0 0 0 0 0 1 4,07 PPIB 0 0 0 0 0 0 1 2,5 0 08 PNBK 0 0 0 0 0 0 1 2,5 0 09 Demokrat 1 5,0 3 12,0 0 0 2 5 1 4,0
10 PKPI 1 5,0 1 4,0 0 0 1 2,5 0 011 PPDI 1 5,0 0 0 0 0 0 0 0 012 PPNUM 0 0 0 0 0 0 0 0 0 013 PAN 2 10 3 12,0 1 2,2 0 0 1 4,014 PKPB 1 5,0 0 0 0 0 0 0 0 015 PKB 0 0 1 4,0 8 17,8 0 0 1 4,016 PKS 1 5,0 2 8,0 0 0 0 0 0 017 PBR 0 0 0 0 0 0 0 0 0 018 PDIP 2 10 7 28,0 11 24,4 26 65 3 12,019 PDS 2 10 2 8,0 0 0 0 0 1 4,020 Golkar 5 25,0 5 20,0 20 44,4 8 20 8 32,021 Patriot 1 5,0 0 0 0 0 0 0 0 022 PSI 0 0 0 0 0 0 0 0 0 023 PPD 0 0 0 0 0 0 0 0 0 024 Pelopor 0 0 0 0 0 0 1 2,5 0 0
Jumlah 20 100,0 25 100,0 45 100,0 40 100,0 25 100,0Sumber: KPU RI Hasil Pemilu Legislatif tahun 2004
Dilihat dari persentase jumlah suara di DPRD daerah kota maupun kabupaten,
tidak terjadi dominasi oleh sebuah partai, kecuali di Kabupaten Tabanan dimana
Partai Golkar mendapatkan 65 persen kursi DPRD. Di Kota Magelang, Kabupaten
Indramayu dan Nunukan daerah yang lain beberapa partai mendapatkan suara yang
signifikan namun relatif berimbang. Di Kota Sibolga beberapa partai mendapatkan
suara yang relatif kecil dan berimbang, dengan jumlah partai yang cukup banyak.
17
Partai Golkar sebagai partai terbanyak men-dapatkan suara, memperoleh 5 kursi atau
25 persen, sisanya hampir terbagi untuk 12 partai yang lain. Contoh ini
menggambarkan bagaimana ketat dan rumitnya komposisi anggota DPRD hasil
Pemilu legislatif tahun 2004.
Pilkada secara langsung dapat menjadikan pemerintahan menjadi
pemerintahan yang terbelah (divided government). Ini terjadi ketika kekuasaan
pemerintahan eksekutif dikuasai atau didukung oleh satu partai atau koalisi partai,
sementara kekuasaan legislatif dikuasai oleh partai lain. Istilah lain adalah
pemerintahan dengan pola unified government yaitu kekuasaan eksekutif (kepala
Daerah) dan DPRD dikuasai oleh satu partai atau koalisi partai. Dalam unified
government potensi konflik diantara kedua lembaga akan relatif kecil.
Berdasarkan data dari Lingkar Survei Indonesia - LSI (2007), hasil Pilkada
pertama hingga Desember 2006, dari 290 wilayah Pilkada yang telah melangsungkan
Pilkada, sebagian besar (57 persen) berbentuk divided government. Sebanyak 43
persen diusung oleh partai dengan kursi mayoritas di DPRD. Fakta lain, 86 persen
wilayah yang telah melangsungkan Pilkada, partai pengusung kepala daerah tidak
mempunyai kursi mayoritas di DPRD. Partai pengusung kepala daerah mempunyai
kekuatan lemah, dengan jumlah kursi di DPRD antara 15 hingga 30 persen saja.
Sehingga potensi konflik antara kepala daerah terpilih dan DPRD cenderung akan
tinggi.
Fenomena lain yang terjadi pasca desentralisasi dan otonomi daerah adalah
banyaknya kepala daerah petahana yang mencalonkan diri kembali untuk menjadi
kepala daerah. Sebanyak 290 daerah yang telah melakukan Pilkada, dari bulan Juni
18
2005 sampai bulan Desember 2006 sebanyak 230 petahana atau 78,77 persen maju
sebagai calon, dan dari 230 petahana tersebut 143 terpilih kembali atau 62,17
persen menang (LSI, Juni 2007).
Reformasi di bidang politik dengan Pilkada langsung dan bidang ekonomi
dengan desentralisasi fiskal, diharapkan memberikan manfaat terhadap kinerja
ekonomi, khusunya pertumbuhan ekonomi. Tabel 1.3 menampilkan rata-rata
pertumbuhan PDRB Daerah Kota dan Kabupaten di Indonesia, berdasarkan periode
sebelum dan setelah Pilkada Secara Langsung. Terjadi perbedaan rata-rata
pertumbuhan ekonomi setelah dilaksanakan Pilkada secara langsung, rata-rata
pertumbuhan ekonomi setelah Pilkada langsung cenderung lebih tinggi dibandingkan
sebelumnya walaupun rata-rata perbedaan pertumbuhan ekonomi cenderung relatif
kecil, dengan koefisien variasi yang relatif besar.
Tabel 1.3 Rata-rata dan Koefisien Variasi (KV) pertumbuhan PDRB Kabupatendan Kota berdasarkan Periode Sebelum dan Setelah Pilkada Langsung
Wilayah Pulau2001 - 2005 2006 - 2011
Rata-rata Koef. Variasi(persen)
Rata-rata Koef. Variasi(persen)
Sumatera 4,36 15,47 5,77 8,05
Jawa 4,69 12,08 5,42 7,48
Bali dan Nusa Tenggara 3,96 19,14 5,40 20,03
Kalimantan 4,01 16,53 4,99 11,77
Sulawesi dan Maluku 5,23 17,25 7,05 7,54
Sumber: PDRB Kota dan Kabupaten, BPS ( Data Diolah)
Besarnya perbedaan pertumbuhan ekonomi antara wilayah adalah sebagai
berikut: Wilayah Pulau Sumatera perbedaan pertumbuhan sebesar 1,41 persen;
Wilayah Pulau Jawa hanya sebesar 0,73 persen; Wilayah Pulau Bali dan Nusa
19
Tenggara sebesar 1,44 persen; Wilayah Pulau Kalimantan sebesar 0,97 persen; dan
Wilayah Pulau Sulawesi dan Maluku mencapai 1,82 persen.
Ditinjau dari sisi efisiensi ekonomi, perbedaan pertumbuhan ekonomi setelah
diselenggarakan Pilkada langsung cenderung kurang sesuai dengan biaya yang
dikeluarkan untuk menyelenggarakan Pilkada itu. Anggaran Pilkada yang besar
kurang berdampak terhadap peningkatan kinerja ekonomi daerah7. Pilkada secara
langsung juga memiliki biaya sosial yang cukup besar, akibat dari munculnya
berbagai konflik vertikal maupun horizontal yang terjadi dalam masyarakat dan juga
pemerintahan.
Beberapa penelitian mencoba untuk mengetahui dampak reformasi yang telah
dilakukan di Indonesia terhadap kinerja ekonomi daerah. Beberapa penelitian lebih
fokus kepada aspek desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi. Wibowo
(2008) menemukan bahwa pada periode 1999–2004, desentralisasi fiskal
memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sunoto
(2013) meng-gunakan data tahun 2001–2008, menemukan desentralisasi fiskal
menyebakan ketergantungan anggaran daerah terhadap transfer pemerintah pusat,
walaupun transfer pemerintah pusat berpengaruh positif terhadap pertumbuhan
ekonomi daerah, sebaliknya PAD berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi
daerah.
Reformasi juga diharapkan dapat meningkatkan peran pemerintah daerah
terhadap pelayanan sektor publik. Menurut Trasch (2002) desentralisasi telah
membagi peran antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, pemerintah
7 Sebagai contoh, dana untuk penyelenggaraan Pilkada pada bulan Juni 2005 sebesar Rp 929,5 miliar.Dana itu untuk membiayai pemilihan di 215 kabupaten/kota dan 11 provinsi.http://tempo.co.id/hg/nasional/2005/02/24/brk,20050224-02,id.html
20
daerah akan fokus untuk menjalankan fungsi alokasi. Pemerintah daerah diharapkan
akan dapat menyiapakan sarana dan prasaran publik yang dibutuhkan oleh
masyarakat di wilayahnya. Namun menurut Hirawan (2007) perhatian kepada
peningkatan pelayanan publik dan penanggulangan kemiskinan ternyata belum
mendapatkan perhatian yang utama. Hal ini sejalan dengan pendapat Kumorotomo
(2009) menyatakan perumusan kebijakan publik yang dilakukan masih bersifat elitis,
perumusan kebijakan publik yang masih diintervensi oleh kepentingan partai politik
dan para elit politik.
1.2 Permasalahan
Dalam era reformasi di Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan dua kebijakan
yang berkenaan dengan reformasi dalam kelembagaan, yakni reformasi ekonomi dan
kelembagaan politik, dikenal dengan istilah otonomi daerah. Pemerintah mengeluar-
kan dua jenis Undang-undang (UU) yaitu UU No. 22 Tahun 1999 dan direvisi
dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 25 Tahun
1999 dan direvisi dengan UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua UU ini menghasilkan perubahan yang
sangat dramatis terhadap kondisi politik dan administrasi keuangan pemerintahan di
daerah.
Di sisi politik, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
menghasilkan sistem politik yang lebih demokratis dengan kompetisi politik yang
tinggi dicirikan oleh: Pertama, jumlah partai politik yang banyak. Pemilu legislatif
tahun 2009 diikuti oleh 48 partai politik, tahun 2004 diikuti oleh 24 partai dan tahun
2009 diikuti oleh 44 partai; Kedua, sistem pemilu Indonesia menggunakan sistem
21
Pemilu proporsional, proporsional tertutup pada Pemilu tahun 1999 dan berubah
menjadi sistem proporsional semi terbuka pada tahun 2004 dan 2009. Kompetisi
antara partai politik semakin kompleks, anggota partai bukan saja bersaing dengan
partai lain tetapi juga bersaing dengan anggota partainya sendiri; Ketiga, dengan
dipilihnya kepala daerah secara langsung oleh rakyat pada Pilkada tahun 2005 dan
2009 calon kepala daerah akan bersaing untuk mendapatkan dukungan partai politik
untuk menjadi calon kepala daerah dalam pilkada di masing-masing daerah.
Menurut LSI (2007) untuk mencalonkan diri menjadi Kepala Daerah
seseorang rela mengorbankan harta benda yang tidak sedikit jumlahnya, sedangkan
yang menjadi petahana dengan segala cara akan mempertahankan kedudukanya itu.
Dampak ketatnya kompetisi antara calon kepala daerah memunculkan konflik-
konflik di beberapa daerah. Romli (2007) memberikan contoh 19 kasus konflik
Pilkada di beberapa daerah di Indonesia, beberapa konflik tersebut melibatkan masa
untuk saling mendukung kepentingan kelompoknya.
Penerapan UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, berdampak terjadinya desentralisasi fiskal.
Pemerintah daerah mendapatkan pendapatan yang bersumber dari Pendapatan Asli
Daerah (PAD), dan dana perimbangan dari pemerintah pusat baik dana Alokasi
Umum (DAU) maupun Dana Alokasi Khusus (DAK). Pemerintah daerah memiliki
wewenang untuk menghimpun PAD sebagai sumber penerimaan. Keberhasilan
pemerintah daerah meningkatkan penerimaan dari PAD menggambarkan
peningkatan dalam kemandirian fiskal.
22
Pemerintah daerah diberikan wewenang yang lebih besar untuk menetapkan
kebijakaan publik melalui Anggaran dan pendapatan Daerah (APBD). Diharapkan
agar local government spending akan benar-benar bermanfaat dan menjadi stimulus
fiskal bagi perekonomian di daerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
masyarakat. Keberhasilan suatu daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masya-
rakat sangat tergantung pada pemerintah daerah dalam mengalokasikan belanjanya
pada program dan kegiatan yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat
(kepentingan publik).
Dalam hubunganya dengan APBD, pemerintah daerah harus membuat
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang APBD, kemudian dibahas dan
setujui oleh DPRD dan dijadikan Perda APBD. DPRD memiliki fungsi legislasi,
anggaran, dan pengawasan. Dengan demikian kedudukan DPRD adalah salah satu
unsur dari pemerintahan daerah berarti bahwa DPRD diposisikan sebagai mitra
kepala daerah.
Reformasi yang terjadi dalam sistem politik di Indonesia, membuat
kompetisi untuk mendapatkan kekuasaan baik di tingkat legislatif (DPRD) maupun
eksekutif (Kepala Daerah) mengarah ke kompetisi yang tinggi. Ketika mereka
mendapatkan kekuasaan, mereka juga akan berhadapan dengan pihak-pihak lain
yang memiliki kepentingan berbeda dalam mengalokasikan APBD. Apakah ketatnya
kompetisi politik lokal yang terjadi di Indonesia akan mempengaruhi kinerja
ekonomi di daerah kabupaten dan kota di Indonesia.
23
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Apakah kompetisi politik dan kinerja pemerintah daerah mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi di daerah?
2. Apakah kompetisi politik dan kinerja pemerintah daerah mempengaruhi realisasi
Pendapatan Asli Daerah (PAD)?
3. Apakah kompetisi politik dan kinerja pemerintah daerah mempengaruhi
pengeluaran pemerintah untuk pelayanan publik di daerah?
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian untuk menganalisis:
1. pengaruh dari kompetisi politik dan kinerja pemerintah daerah terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah
2. pengaruh dari kompetisi politik dan kinerja pemerintah daerah terhadap realisasi
penerimaan PAD pemerintah daerah
3. pengaruh dari kompetisi politik dan kinerja pemerintah daerah terhadap
pengeluaran pemerintah daerah untuk pelayanan publik di daerah.
1.5 Keaslian Penelitian
Penulis belum mendapatkan penelitian yang membahas dampak kompetisi
politik terhadap kinerja ekonomi di Indonesia. Berbagai penelitian yang membahas
hubungan antara kompetisi politik dengan kinerja ekonomi dikaji pada level negara,
negara bagian dan juga level provinsi. Khusus dalam penelitian ini penulis akan
meneliti pengaruh kompetisi politik terhadap kinerja ekonomi pada level kabupaten
dan kota dan menggunakan data cross section.
24
Model penelitian yang digunakan adalah model dari Besley, Persson dan
Sturm (2010), inovasi penelitian adalah melakukan modifikasi dalam model politik,
dan melakukan penyesuaian dengan kondisi politik di Indonesia. Selain itu,
dikarenakan adanya kesamaan antara kompetisi ekonomi dan kompetisi politik maka
dalam penelitian ini juga digunakan Indeks Herfindhal yang dinormalkan (The
Normalized Herfindahl Index) sebagai ukuran tingkat kompetisi politik dalam pasar
politik yang diperkenalkan oleh Alfano dan Baraldi (2012). Di sisi yang lain, dalam
penelitian ini dimasukkan unsur kompetisi politik dalam pemilu (electoral) dan
kompetisi politik dalam konflik kewenangan politik dalam pembuatan kebijakan,
model yang dibangun semakin lengkap yang mewakili pelaku-pelaku dalam teori
public choice.
Tabel 1.4 memberikan gambaran mengenai beberapa penelitian yang telah
dilakukan dengan dasar teori dan kelemahan dalam implementasinya di Indonesia.
Tabel 1.4 memperlihatkan beberapa gap penelitian yang yang berbeda antara
penelitian yang telah dilakukan dengan kondisi perekonomian di Indonesia, gap
tersebut adalah: 1) belum adanya kesepakatan diantara peneliti mengenai pengaruh
dari kompetisi politik terhadap kinerja ekonomi; 2) instrumen pajak bukan
merupakan istrumen utama untuk mempengaruhi kinerja ekonomi di daerah di
Indonesia, instrumen fiskal yang lebih aktif digunakan adalah instrumen subsidi dari
pemerintah pusat kepada daerah; 3) sistem politik di Indonesia menjadikan tidak ada
partai yang dominan di lembaga legislatif. Koalisi diantara partai merupakan sarana
untuk berkompetisi dalam memperebutkan kekuasaan, sehingga dalam melihat
kompetisi politik juga perlu memperhitungkan kekuasaaan diantara juridisi politik
25
yang ada; 4) belum adanya kesepakatan mengenai ukuran kompetisi politik,
terutama dalam kompetisi elektoral. Dengan jumlah partai yang besar dan tanpa
adanya partai yang dominan, penggunaan indeks konsentrasi pasar (Indeks
Herfindhal dinormalkan) lebih bermakna untuk digunakan.
Tabel 1.4 Penelitian Terdahulu terkait dengan Dasar Teori dan Kelemahan dalamImplementasi di Indonesia
Peneliti Tujuan danObjek Penelitian
Dasar Teori danVariabel Utama
Hasil Penelitian KelemahanImplementasi di
Indonesia(1) (2) (3) (4) (5)
Joan Costa-I-Font, EduardoRordiguez-Oreggia danDario Luna(2004)
Mengetahuipengaruhkompetisi politikdalam pemilulokal dan alokasiregional investasipublik diMeksiko.
Model simultan antarainvestasi publik dankompetisi politik.Kompetisi politikadalah bagian suarapartai PRI di daerahterhadap suara partai dinegara bagian. PRIadalah partai dominandi Meksiko.
Alokasi regionalinvestasi publikoleh pemerintahpusat didorongoleh oportunismepolitik dan politikpork-barel.
Tidak ada partaiyang dominansetelah reformasi.
Penekanan padadesentralisasikewenanganpolitik.
Pinto danTimmons(2005)
Mengetahuihubungankompetisi politikterhadap sumber-sumber per-tumbuhan. Datacross section 90negara dari limabenua.
Menggabungkanmodel utama kompetisipolitik – modelpemilih median –dengan model utamapertumbuhan ekonomi– model Neoklasik dariMankiw, Romer danWeil (1992).
Kompetisi politikmenurunkantingkat akumulasitenaga kerja danmodal, tetapimenaikkan tingkatakumulasi modalmanusia, daninovasi teknologi.
Lebih tepat padalevel negara tidakpada daerah.
Penekanan padakompetisielektoral.
Albert Sole-Olle (2006)
Mengetahuihubungan antaraanggaran daerahterhadapkompetisi politik,data 500pemerintahan diSpanyol tahun1992-1999,dengan 2 kaliperiode pemilu.
Model sederhana dariprobabilistik voting,Model Leviathan danModel Partisan.kompetisi adalahmarjin pemilu yangdiperoleh olehpetahana padapemilihan sebelumnya.
Efektivitaspengendalianfiskal melaluipemilu belumsempurna danbervariasi antarpemerintah.
Kompetisi politikyang sangat tinggiberdampak burukterhadap anggarandaerah.
Sistem partaipolitik di Spanyolterbagi dalam duaidiologi yaitusayap kanan dansayap kiri.
Penekanan padadesentralisasikewenanganpolitik.
bersambung
26
Sambungan Tabel 1.4(1) (2) (3) (4) (5)
Jon Asworth,Benny Geys,BrunoHeyndels danFanny Wille,(2006)
Hubungankompetisi politikdan inefisiensiPemerintah lokalFlemish.
Adopsi Model Besley(2006). Kompetsipolitik adalah jumlahpartai yangberpartisipasi dalampemilu.
kompetisi yanglebih tinggimengurangiinefisiensi.
Memunculkanpemerintahanterfragmentasi.
Pajak bukanmerupakaninstrumen utamadi daerah.
Penekanan padakompetisi pemilu.
Toke S. Aidtdan Dalibor S.Eterovic(2007)
Untukmengetahuiapakah kompetisipolitik danpartisipasi politikberdampak ber-lawanan terhadapukuranpemerintah-an.data 18 negaraAmerika Latinselama abad 20.
Menggunakan modelRational Choice,Persaingan politikmenggunakan Thepolity IV index yangdibuat oleh Marshalldan Jaggers (2000).
Kompetisi politikmembatasi ukuranpemerintahan,sedangkanpartisipasi politikmeningkatkanukuranpemerintahan.
Lebih tepat padalevel negara,bukan pada leveldaerah.
FabioPadovanodan RobertoRicciuti(2009)
Mengetahuipengaruh kompetisipolitik karenaadanya reformasipolitik di Italiatahun 1995terhadap kinerjaekonomi. Datapanel 15 provinsidi Italia periode1980-2002.
Mengadopsi penelitianBesley dkk (2006).Variabel Kompetisipolitik adalahperbedaan marginsuara antara 2 partaiterbesar.
Kompetisi politikyang lebih ketatmemaksapemerintah daerahuntuk melakukanpeningkatanefisiensi dalammelakukan pilihankebijakan
Perolehan suarapemilu diIndonesia lebihtersebar padabanyak partai.
Pajak bukanmerupakaninstrumen utamadi daerah
TimothyBesley,TorstenPersson danDaniel M.Sturm(2010)
Mengembangkanmodel sederhanauntuk mengetahuikurangnyakompetisi politikmengakibatkankebijakan yangmenghambatpertumbuhan.Menggunakan datanegara Amerika ygdikumpulkanAnsolabehere andSnyder (2002)
Pengembangan ModelBesley dkk (2006).Variabel kompetisipolitik adalah dominanatau tidaknya partaiRepublik atauDemokratmendapatkan suarasaat pemilu
Peningkatandalam kompetisipolitik berdampakpositif terhadapkinerja ekonomi.kompetisi politikyang sedangmemberikan hasilyang lebih baik.
Di Indonesiamenerapkansistem multipartai,berbeda dengansistem di AmerikaSerikat.
Pajak bukanmerupakaninstrumen utamadi daerah
bersambung
27
Sambungan Tabel 1.4(1) (2) (3) (4) (5)
Saibal,Ghosh(2010)
Mengetahuihubungankompetisi politikterhadappendapatan dandefisit fiskal dinegara yang sedangberkembang. Data14 negara bagianIndia 1980-2004
Menggunakan ModelBesley dkk (2006).Variabel kompetisipolitik adalah marginsuara pemenangpemilu.
Peningkatankompetisi politikberpengaruhpositif terhadappendapatanperkapita dandefisit fiskal.
Pajak bukanmerupakanistrumen utama didaerah.
M. RosariaAlfano danA. LauraBaraldi(2012)
Mengetahuitingkat kompetisipolitik danhubungan denganpertumbuhanekonomi, datapanel pada levelprovinsi Italia1980-2008
Model petumbuhanNeo Klasik yangdikembangkan olehIslam (1995). VariabelPersaingan politikadalah NormalizedHerfindahl Index
Hubungan antarakompetisi politikdan pertumbuhanekonomi berben-tuk “U” terbalik.Penurunankompetisi politikmenyebabkanmeningkatnyakorupsi politik.
NormalizedHerfindahl Indexselain menghitungshare suara jugamenghitungjumlah partaiyang terlibat,dimana partaiyang ikut pemilucukup banyak.
1.7 Kontribusi Penelitian
Kontribusi yang dapat dihasilkan dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan tambahan kajian (yang masih terbatas) mengenai bagaimana
kompetisi politik mempengaruhi kinerja ekonomi baik terhadap pertumbuhan
ekonomi, dan kinerja pemerintah dalam meningkatkan pendapatan dan belanja
pemerintah untuk kepentingan publik. Penelitian ini mencoba menggabungkan
tiga konsep kompetisi politik yaitu: 1) kompetisi politik di lembaga legislatif; 2)
kompetisi politik antara divided government dan unified government dalam
pemerintahan di daerah; dan 3) kompetisi politik ketika pemerintahan dipimpin
oleh pejabat petahana atau pendatang baru. Dalam beberapa penelitan terdahulu,
ketiga jenis kompetisi politik itu di bahas secara terpisah. Penelitian ini me-
nambah kajian mengenai peranan kelembagaan khususnya kelembagaan politik
28
dan pemerintah terhadap kinerja ekonomi pada tingkat kabupaten dan kota di
negara yang sedang menjalankan transisi demokrasi dan desentralisasi.
2. Data penelitian yang digunakan adalah data cross section pada 157 daerah
kabupaten dan kota di Indonesia. Data dari variabel yang digunakan adalah data
rata-rata 5 tahunan mengikuti periode kepala daerah terpilih di masing-masing
daerah. Penggunaan data rata-rata seperti ini dapat dijadikan alternatif dari
penggunaan penel data, karena adanya keterbatasan periode pengamatan.
3. Hasil penelitian dapat digunakan oleh masyarakat untuk menjadi pemilih yang
rasional. Pemilih dapat melakukan pilihan terhadap calon pemimpin politik
bukan hanya dari sisi politis, namun juga berdasarkan evaluasi ekonomis, yaitu
apakah calon pemimpin tersebut telah berhasil meningkatkan kinerja ekonomi
daerahnya. Hasil penelitian diharapkan menjadi pertimbangan pemerintah untuk:
1) menetap-kan kebijakan politik yang berhubungan dengan pelaksanaan Pemilu
legislatif dan Pilkada; 2) menjadi pertimbangan pemerintah dalam menyempurna-
kan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi.