1 I. PENDAHULUAN -...

37
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada tahun 2013 jumlah penduduk Indonesia telah mencapai sekitar 251.160.124 juta jiwa (Ilmu Pegetahuan.com, 2013). Apabila kemampuan produksi bahan pangan domestik tidak dapat mengikuti peningkatan kebutuhannya, maka pada waktu yang akan datang Indonesia akan semakin tergantung pada impor, yang berarti ketahanan pangan nasional akan menjadi rentan karena tergantung pada kebijakan ekonomi negara lain (Suryana dalam Usman, 2004). Padahal pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling esensial untuk mempertahankan hidup dan kehidupan. Tanpa pangan, manusia tidak mungkin dapat melangsungkan hidup dan kehidupannya untuk berkembang dan bermasyarakat. Oleh sebab itu kecukupan pangan memiliki peran yang sangat menentukan bagi keberlangsungan suatu bangsa atau negara. Ketahanan pangan tidak semata-mata masalah ekonomi melainkan harus dipandang dalam kerangka kenegaraan termasuk stabilitas dan ketahanan politik, pertahanan dan keamanan nasional yang mantap. Ketahanan pangan yang mantap suatu negara bila semua penduduknya dapat memperoleh pangan yang cukup baik kuantitas maupun kualitas dan produktif. Ketahanan pangan yang mantap ditandai dengan ketercukupan pangan yang tersebar merata dan tersedia sepanjang waktu (Wiranto dan Utomo dalam Usman, 2004). Indonesia tahun 2004 telah menjadi salah satu negara importer terbesar di dunia, bukan hanya beras tetapi juga bahan pangan yang lain. Sebelumnya pada tahun

Transcript of 1 I. PENDAHULUAN -...

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada tahun 2013 jumlah penduduk Indonesia telah mencapai sekitar

251.160.124 juta jiwa (Ilmu Pegetahuan.com, 2013). Apabila kemampuan produksi

bahan pangan domestik tidak dapat mengikuti peningkatan kebutuhannya, maka pada

waktu yang akan datang Indonesia akan semakin tergantung pada impor, yang berarti

ketahanan pangan nasional akan menjadi rentan karena tergantung pada kebijakan

ekonomi negara lain (Suryana dalam Usman, 2004). Padahal pangan merupakan

kebutuhan dasar manusia yang paling esensial untuk mempertahankan hidup dan

kehidupan. Tanpa pangan, manusia tidak mungkin dapat melangsungkan hidup dan

kehidupannya untuk berkembang dan bermasyarakat. Oleh sebab itu kecukupan

pangan memiliki peran yang sangat menentukan bagi keberlangsungan suatu bangsa

atau negara. Ketahanan pangan tidak semata-mata masalah ekonomi melainkan harus

dipandang dalam kerangka kenegaraan termasuk stabilitas dan ketahanan politik,

pertahanan dan keamanan nasional yang mantap.

Ketahanan pangan yang mantap suatu negara bila semua penduduknya dapat

memperoleh pangan yang cukup baik kuantitas maupun kualitas dan produktif.

Ketahanan pangan yang mantap ditandai dengan ketercukupan pangan yang tersebar

merata dan tersedia sepanjang waktu (Wiranto dan Utomo dalam Usman, 2004).

Indonesia tahun 2004 telah menjadi salah satu negara importer terbesar di

dunia, bukan hanya beras tetapi juga bahan pangan yang lain. Sebelumnya pada tahun

2

2002, Indonesia mengimpor 1 juta ton jagung, 0,9 juta ton gaplek, 3 juta ton gandum,

0,8 juta ton kedelai, 0,8 juta ton kacang tanah, 1,6 juta ton gula, 1,2 juta ton bungkil

serta berbagai macam buah dan daging. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi yang

digunakan di Indonesia tidak mampu mendukung ketahanan pangan nasional

(Wiranto dan Utomo dalam Usman, 2004)

Indonesia dalam kaitan dengan teknologi produksi pangan sebenarnya tidak

kalah dengan negara lain, dengan demikian masalah utama yang dihadapi dalam

produksi bahan pangan bukanlah ketersediaan teknologi, tetapi adopsi teknologi oleh

petani.

Dengan pengalaman krisis tahun 1997/1998, maka pemerintah mengubah

kebijaksanaan ketahanan pangan sebagaimana dinyatakan dalam GBHN 1999-2004

yaitu peningkatan ketahanan pangan dilaksanakan dengan berbasis sumberdaya,

kelembagaan dan budaya lokal, dengan memperhatikan pendapatan petani-nelayan

dan pelaku usaha skala kecil lainnya. Ini berarti dalam mencapai ketahanan pangan

sejauh mungkin harus dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Disamping itu,

dengan makin terbatasnya (bahkan berkurang) lahan yang dapat ditanami padi, maka

dituntut percepatan penganekaragaman bahan pangan.

Strategi untuk pengembangan produksi dan ketersediaan bahan pangan dapat

dilakukan dengan (1) peningkatan dan pemeliharaan kapasitas produksi nasional (2)

peningkatan produksi bahan pangan dalam negeri (3) percepatan peningkatan

produksi bahan pangan non-konvensional (4) pengembangan teknologi untuk

peningkatan produktivitas usaha masyarakat. Untuk menjamin kecukupan bahan

3

pangan strategi pengembangan teknologi hendaknya mampu (1) meningkatkan dan

memelihara kapasitas produksi nasional (2) meningkatkan produksi pangan domestik

(3) meningkatkan produktivitas (dan pendapatan) usaha masyarakat (4) memperkecil

kehilangan (5) meningkatkan nilai tambah (6) meningkatkan efisiensi usaha (Wiranto

dan Utomo dalam Usman, 2004).

Ketahanan pangan diarahkan agar kekuatan ekonomi domestik mampu

memproduksi pangan yang cukup bagi seluruh penduduk, terutama dari produksi

dalam negeri, dalam jumlah dan keragaman yang cukup aman, dan terjangkau dari

waktu ke waktu. Dengan pertambahan penduduk yang besar dan terus bertambah,

maka keperluan penyediaan pangan akan terus membesar. Selain jumlah pangan yang

dibutuhkan cukup besar, permintaan akan kualitas pangan, keamanan dan

keragamannya akan meningkat pula.

Indonesia sebenarnya memiliki berbagai jenis tanaman bahan makanan, yang

mengandung karbohidrat, protein nabati dan sayuran, tetapi karena sindroma beras

telah memaksa pemerintah untuk selalu impor beras meskipun ditentang oleh

masyarakat, dengan alasan untuk cadangan nasional dan tidak akan dilempar ke

pasaran domestik (Mangoendihardjo, 2006).

Tonggak ketahanan pangan adalah ketersediaan atau kecukupan pangan dan

aksesibilitas bahan pangan oleh anggota masyarakat. Penyediaan pangan tentunya

dapat ditempuh melalui (1) produksi sendiri, dengan cara memanfaatkan dan alokasi

sumberdaya alam, manajemen dan pengembangan sumberdaya manusia, serta

aplikasi dan penguasaan teknologi yang optimal (2) impor dengan menjaga perolehan

4

devisa yang memadai dari sektor perekonomian untuk menjaga neraca keseimbangan

perdagangan luar negeri. Sedangkan komponen aksesibilitas setiap individu terhadap

bahan pangan dapat dijaga dan ditingkatkan melalui pemberdayaan sistem pasar serta

mekanisme pemasaran yang efektif dan efisien yang juga dapat disempurnakan

melalui kebijakan tata niaga, atau distribusi bahan pangan dari sentra produksi sampai

ketangan konsumen.

Organisasi Pangan dan Pertanian Sedunia (FAO) menetapkan beberapa kriteria

tentang ancaman ketahanan pangan suatu negara. Kriteria itu antara lain (1) tingginya

proporsi penduduk yang kekurangan pangan (2) tingginya proporsi kekurangan

energi/protein dari rata-rata kebutuhan energi/protein yang disyaratkan (food gap) (3)

besarnya indeks gini dari food gap konsumsi energi/protein dan (4) besarnya

koefisien variasi konsumsi/energi. Dengan kondisi ketahanan pangan nasional saat

ini, Indonesia sebenarnya tengah menghadapi ancaman yang tidak ringan (Arifin,

2004).

Indonesia adalah negara agraris. Tetapi ironisnya, ketika harga beras tinggi,

petani adalah sektor pertama yang dirugikan. Walaupun petani menghasilkan beras,

tetapi mereka menjual dalam bentuk gabah dengan harga yang murah (Wirianata,

2006). Menghadapi situasi yang demikian kiranya perlu dirumuskan strategi

ketahanan pangan sebagai alternatif, minimal sebagai komplemen untuk

meningkatkan ketahanan pangan, yakni (1)melakukan integrasi pembangunan

ketahanan pangan kedalam kebijakan ekonomi makro Indonesia (2)merumuskan

kebijakan alternatif apabila strategi kemandirian pangan atau modifikasi dari

5

swasembada pangan tersebut menemui hambatan. Salah satu bentuk strategi reserve

dalam pembangunan pertanian adalah pemberdayaan institusional dalam penggunaan

input pertanian (3) mengintegrasikan strategi diversifikasi pangan dengan

pengembangan food technology yang lebih membumi dan terjangkau masyarakat luas

(Arifin, 2004).

Seiring dengan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang

telah dicanangkan oleh Presiden RI pada tanggal 11 Juni 2005 yang lalu di Jatiluhur,

Jawa Barat, bahwa revitalisasi dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran untuk

menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan

kontekstual. Dengan harapan agenda pokok revitalisasi Pertanian akan membalik tren

penurunan dan peningkatan produksi dan nilai tambah usaha pertanian (Apriyantono,

2006) yang dalam pelaksanaan revitalisasi Pembangunan Pertanian, Perikanan dan

Kehutanan perlu ditunjang oleh penyuluhan pertanian.Sementara selama ini fakta

menunjukkan bahwa penyuluhan pertanian sejak 1990-an lebih banyak istirahat

daripada bekerja, yang berakibat pada tingkat kemiskinan di kalangan petani semakin

meningkat. Revitalisasi atau menghidupkan kembali maknanya bukan sekedar

mengadakan/mengaktifkan kembali apa yang, sebelumnya pernah ada, tetapi

menyempurnakan struktur, mekanisme kerja, menyesuaikan dengan kondisi yang

baru, semangat dan komitmennya. Sementara kondisi Indonesia telah banyak berubah

dan karenanya memerlukan adanya “sistim” penyuluhan yang “baru”. Dengan

harapan dapat meningkatkan kesejahteraan, daya saing produk pertanian maupun

6

menjaga kelestarian sumberdaya pertanian, perikanan dan kehutanan (Machmur,

2006).

Dengan berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang

direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004, bahwa setiap daerah di tingkat kabupaten

dan kota menerapkan asas desentralisasi dalam pembangunan, termasuk dalam

pembangunan pertanian. Konsekuensinya masing-masing daerah memiliki kebebasan

dalam menentukan kebijakan lokal dibidang pertanian, termasuk salah satu

diantaranya adalah kebijakan dalam penyuluhan. Akibatnya masing-masing daerah

memiliki kelembagaan penyuluhan yang beragam, baik dalam hal struktur

kelembagaannya maupun bidang kegiatannya. Bahkan ada daerah tertentu yang

kebijakannya tanpa memerlukan kehadiran lembaga penyuluhan secara eksplisit. Ini

menunjukkan bahwa komitmen daerah terhadap kegiatan penyuluhan pertanian masih

rendah. Padahal diera otonomi daerah penyelenggaraan penyuluhan pertanian

menjadi tugas dan tanggungjawab pemerintah daerah. Tanpa kegiatan penyuluhan

berakibat mubazirnya iptek hasil penelitian dan kajian. Dampak selanjutnya adalah

produktivitas dan kualitas produk pertanian dapat mengalami penurunan, sehingga

untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri beberapa komoditi pertanian penting

terpaksa impor (Tim Prodi PKP, 2006).

Dengan hadirnya UU No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan

Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, maka konsekuensinya setiap daerah harus

mengemban amanah untuk mematuhi UU tersebut. UU ini dapat berfungsi sebagai

payung bagi keberlangsungan kegiatan penyuluhan pertanian di setiap daerah. Jiwa

7

UU No. 16 tahun 2006 diharapkan mampu mendorong setiap pemerintah daerah

untuk menggali dan mengembangkan potensi pertaniannya sebagai salah satu sumber

PAD melalui pemberdayaan masyarakat petani dan stakeholdernya (Tim Prodi PKP,

2006).

Revitalisasi pertanian nantinya akan berkaitan dengan beberapa stakeholder,

seperti (a) peran pemerintah (pusat, propinsi, kabupaten/kota) untuk membuat

kebijakan memfasilitasi, mengatur, menggerakkan serta memonitor dan

mengevaluasi, (b) peran petani: memproduksi, meningkatkan produksi, melaksanakan

agribisnis, (c) peran penyuluhan: menggerakkan petani, memfasilitasi petani dengan

berbagai informasi dan teknologi.

Depositario (Valera, et.al, 1987) menambahkan bahwa pemimpin lokal, baik

formal maupun informal dapat membantu petugas penyuluh dalam mengembangkan

pelayanan penyuluhan, khususnya dalam penyebaran informasi dan teknologi baru

dalam wilayah-wilayah terpencil atau bahkan pemimpin lokal dapat juga membantu

anggota masyarakat dan petani untuk mengungkapkan kepentingan dan persoalan

kesejahteraan mereka.

Van den Ban dan Hawkin (1999) juga menambahkan bahwa peranan

organisasi penyuluhan di Negara-negara Berkembang, seperti Indonesia, adalah

mengadakan alih teknologi yang dikembangkan dari lembaga-lembaga penelitian

kepada petani. Peranan ini dapat melibatkan petani dengan sejumlah besar

kesempatan dan membantu mereka untuk memilih kesempatan yang sesuai dengan

8

keadaan mereka. Peranan-peranan lain dari organisasi penyuluhan dapat membantu

petani:

a. mengadakan percobaan dengan teknologi baru atau system usaha tani baru;

b. menambah akses informasi yang relevan dengan aneka ragam sumbernya;

c. mengevaluasi dan menafsirkan informasi untuk keadaan mereka sendiri;

d. belajar dari pengalaman sendiri.

Pada proses perkembangan komunikasi interaksi diantara petani memiliki peranan

yang penting pula. Mc.Dermott (Van den Ban dan Hawkin, 1999) menunjukkan

perlunya penyatuan informasi dari peneliti, petani, dan agen penyuluhan untuk dapat

mengembangkan teknologi-teknologi baru yang akan dapat berjalan lancar pada

situasi tertentu.

Peneliti dan agen penyuluhan dapat bekerjasama dengan membantu petani

mengadakan percobaan-percobaan dan menarik kesimpulan yang benar. Kerjasama

ini meningkatkan kualitas informasi yang ada dan mengurangi segala kemungkinan

bahwa petani akan menolak rekomendasi. Petani dapat belajar dari pengalaman

mereka sendiri bahwa suatu gagasan tidak dapat dijalankan karena kesalahan yang

mereka buat dalam percobaan mereka. Percobaan-percobaan yang dilakukan oleh

petani biasanya menghasilkan informasi mengenai kebutuhan tenaga buruh tani dan

modal pada berbagai musim untuk menerapkan teknologi baru. Ketersediaan

sumberdaya dan informasi menjadi sangat penting artinya untuk mengembangkan

teknologi yang sesuai. (Van den Ban dan Hawkin, 1999)

9

1.1.1. Permasalahan

Paradigma pembangunan pertanian di Indonesia memasuki abad 21

berorientasi pada manusia, yang meletakkan petani sebagai subjek pembangunan.

Pengembangan kapasitas masyarakat dalam upaya memberdayakan ekonomi petani

dan nelayan. Visi pembangunan pertanian adalah pertanian modern, tangguh dan

efisien dengan misi memberdayakan petani (Departemen Pertanian, 1998)

Salah satu prestasi pembangunan pertanian Indonesia adalah keberhasilan

meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman pangan, yang telah mampu

mengubah status dari Negara pengimpor beras terbesar di dunia menjadi Negara

swasembada beras pada tahun 1984. Keberhasilan tersebut didukung oleh penyuluhan

pertanian dengan pendekatan Sistem Bimas (sejak 1963/1964), system LAKU (1976),

Sistem Insus (1979) dan terakhir Sistem Supra Insus (1986) dengan inovasi sosial

kelembagaan dan ekonomi. Keberhasilan tersebut berhubungan erat dengan telah

terjadinya perubahan perilaku petani. Penelitian yang dilakukan Jarmie (1994)

menemukan bahwa petani sesungguhnya telah berubah dari petani subsisten menjadi

petani komersial, petani yang inovatif, merencanakan usaha tani, berani mengambil

risiko dalam menerima dan menerapkan ide-ide baru perbaikan usaha tani dan

berorientasi kepada kebutuhan pasar, walaupun diakui ternyata masih ada pebedaan

perilaku petani pada wilayah yang tingkat kemajuannya berlainan. Slamet (1995) dan

Kasryno (1995) juga mengakui bahwa petani Indonesia telah berubah nyata, lebih

baik tingkat pendidikannya, lebih mengenal kemajuan, kebutuhan dan harapannya

makin meningkat, pengetahuan dan ketrampilannya jauh lebih baik, dan telah mampu

10

berkomunikasi secara impersonal. Prasarana fisik juga telah lebih baik kondisinya

demikian juga sarana telekomunikasi, transportasi, media komunikasi, listrik, irigasi,

dan air bersih telah dapat menjangkau tempat petani hingga pedesaan. Namun

demikian Padmanegara dan Soebiyanto (Soewardi, 1997) menyebutkan bahwa

perubahan perilaku petani belum diikuti oleh sikap rasional sebagai manajer usaha

pertanian yang mandiri dan tangguh, petani masih tetap hidup dalam ketergantungan,

kesejahteraan petani juga belum meningkat, padahal tujuan penyuluhan pertanian

disamping untuk menimbulkan perubahan perilaku adalah juga untuk perubahan

kepribadian (changing personality) yang bersifat mandiri, tangguh dan menjadikan

petani sebagai subjek, serta meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.

Pertanian Indonesia sebenarnya juga tengah mengalami pukulan yang bertubi-

tubi. Penurunan laju pertumbuhan produksi tidak dapat dihindarkan karena secara

kolektif Indonesia memang kurang melakukan rekonstruksi kebijakan pangan. Perlu

diingat bahwa pukulan kepada sektor pertanian dapat diikhtisarkan sebagai

berikut:pada tahun 1992-1993 terjadi musim kemarau dan kekeringan dimana-mana.

Beberapa daerah menderita gagal panen dan bahkan mengalami rawan pangan yang

cukup merisaukan. Tahun 1995 - 1996 serangan hama wereng dan belalang di sentra

produksi juga mengganggu kelancaran pasokan produksi padi dan bahkan pangan

lain. Kejadian yang paling parah pada tahun 1997-1998 ketika empasan badai kering

El Nino bersamaan waktunya dengan krisis moneter yang menjelma menjadi krisis

ekonomi multidimensional. Gagal panen dan rawan pangan terjadi dimana - mana,

sehingga Indonesia mencatat rekor impor beras 5,8 juta ton, suatu angka tertinggi

11

yang pernah terjadi pada zaman Indonesia modern (Arifin, 2004). Kebijakan impor

yang dilakukan pemerintah menyebabkan situasi petani tidak menentu disamping

semakin lemahnya daya saing pangan ditingkat global. Impor beras memunculkan

spekulasi, tekanan pada petani meningkat yang akhirnya menyebabkan merosotnya

pendapatan petani (Suseno dan Suyatno, 2006). Apabila tidak ada kebijakan yang

tepat dalam masalah ini, maka diperkirakan pada tahun-tahun mendatang impor

beras, jagung maupun kedelai akan menjadi lebih besar lagi. Hal ini tentu saja

menunjukkan ketahanan pangan yang dimiliki Indonesia begitu rendah.Impor pangan

yang terus meningkat, juga memperlemah ketahanan ekonomi bangsa Indonesia

karena devisa yang diperoleh bukan untuk menambah infrastruktur ekonomi dan

meningkatkan kualitas SDM, tetapi dibelanjakan untuk hal-hal konsumtif yang

sebenarnya bisa diproduksi sendiri (Siswono, 2010).

Kondisi ketahanan pangan nasional amat ditentukan komitmen pemerintah

baik itu komitmen sosial, budaya, politik dan ekonomi. Karena itu analisis mendasar

tentang sistem ketahanan pangan nasional Indonesia akan sangat terkait dengan

sistem sosial, budaya, politik dan ekonomi yang akan mewarnai sistem ketahanan

pangan tersebut.

Pada tahun 2008, Indonesia kembali dapat mencapai swasembada beras,

bahkan terdapat surplus padi untuk ekspor sebesar 3 juta ton. Selama periode 2004-

2008 pertumbuhan produksi pangan secara konsisten mengalami peningkatan yang

signifikan. Produksi padi meningkat rata-rata 2,78 persen per tahun (dari 54,09 juta

ton GKG tahun 2004 menjadi 60,28 juta ton GKG tahun 2008, bahkan bila dibanding

12

produksi tahun 2007, produksi padi tahun 2008 meningkat 3,12 juta ton (5,46

persen)). Pencapaian angka produksi padi tersebut merupakan angka tertinggi yang

pernah dicapai selama ini (Munif, 2009).

Kondisi swasembada beras nasional ini tidak terlepas pula dari kontribusi

peningkatan produksi dari berbagai daerah, termasuk daerah Kabupaten Gunungkidul

yang berproduksi 204.058,2 ton (Gunungkidul dalam Angka, 2008) dan Kabupaten

Sleman sebesar 250.375 ton (Sleman dalam Angka, 2007). Namun demikian dibalik

keberhasilan dalam pencapaian produksi pangan tersebut terdapat 86 desa di DIY

mengalami rawan pangan yang disebabkan oleh kemiskinan yang berdampak pada

rendahnya akses pangan bagi masyarakat (KR, 20 Juli 2010).

Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 tercatat 31,02 juta

orang (13,33 persen), sedangkan jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan dan

perdesaan di Indonesia tidak banyak berubah dari Maret 2009 sampai Maret 2010.

Pada Maret 2009 tercatat sebesar 20,62 juta penduduk miskin berada di daerah

perdesaan begitu juga pada Maret 2010 tercetat sebesar 19,93 juta. Sementara jumlah

penduduk miskin propinsi DIY Maret 2010 577.300 orang (16,83 persen) (BPS,

2010), sedangkan penduduk miskin di Kabupaten Sleman sebesar 65.157 KK miskin

dan Kabupaten Gunungkidul sebesar 173.520 jiwa (KR, 5 Oktober 2010). Menurut

Task Force on Hunger lebih dari separuh mereka yang mengalami rawan pangan dan

kelaparan berasal dari keluarga petani miskin (Hadar, 2006). Petani miskin adalah

petani yang memiliki rata-rata pendapatan perkapita perbulan dibawah garis

kemiskinan.

13

Khudori (2009) menunjukkan prevalensi gizi buruk 8,3 %. Ini besar sekali, 19

juta rakyat bergizi buruk, yang kurang gizi lebih banyak lagi. Kurangnya upaya

peningkatan gizi masyarakat akan mengakibatkan kematian bayi dan anak balita, dan

akan menghadapi the lost generation. Lahirnya generasi bodoh karena kurang gizi

akan mengakibatkan bangsa Indonesia tetap berkubang dalam kemisknan (Siswono,

2010). Apalagi kalau dikaitkan dengan masih besarnya tingkat kemiskinan di

Indonesia, bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang bodoh dan terpuruk karena

persoalan lemahnya ketahanan pangan dan kemiskinan.

Oleh karena itu komitmen pemerintah berikut pilihan-pilihan kebijakan

pangan yang diambil akan menentukan apakah negara memiliki piranti untuk

menangkal jebakan (food trap) atau malah justru menenggelamkan diri dalam situasi

terjebak pangan. Kebijakan untuk menjamin ketersediaan dan pemenuhan kebutuhan

pangan itu bisa dicapai, baik dengan memproduksi sendiri atau mendatangkan dari

luar (impor). Salah satu komitmen penting pemerintah yang diperlukan adalah

komitmen untuk tidak dengan mudah melakukan impor pangan. Komimen tegas ini

penting khususnya dalam rangka mewaspadai dan menangkal jebakan pangan.

Komitmen untuk tidak dengan mudah melakukan impor pangan yang diikuti dengan

komitmen untuk memanfaatkan sumberdaya indigeneous. Dalam jangka panjang,

kedua komitmen besar ini merupakan prasyarat terciptanya kemandirian pangan,

ketahanan pangan dan terbebas dari food trap (Khudori, 2009).

Oleh karena itu Mosher (1971) mengungkapkan pentingnya perubahan

perilaku merupakan hal yang sangat esensial dalam pembangunan pertanian, adanya

14

perubahan perilaku petani akan meningkatkan produktivitas usahatani. Perilaku

petani perlu ditingkatkan agar petani mampu mengelola usaha tani lebih efisien

secara teknis dan ekonomis serta mampu mewujudkan ketahanan pangan bagi rumah

tangga. Untuk mewujudkan seperti yang diungkapkan oleh Mosher, maka perilaku

petani merupakan sesuatu yang esensial untuk meningkatkan produktivitas usaha tani

yang dilakukan terutama dalam menciptakan ketahanan pangan rumah tangga.

Penelitian dilakukan di lahan sawah Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman dan di

lahan kering Kecamatan Paliyan, Gunungkidul. Lahan kering yang dimaksudkan

adalah lahan pertanian yang mengandalkan sistem tadah hujan dalam periode panen

sedangkan lahan sawah adalah pola pertanian yang menggunakan sistem irigasi.

Pada umumnya di kedua lokasi, baik di Moyudan Sleman dan Paliyan,

Gunung Kidul sektor pertanian bagi petani pemilik lahan sempit kurang memberikan

implikasi positif secara signifikan pada kehidupan rumah tangga petani. Hal ini

menunjukkan bahwa untung atau rugi dari hasil produksi bukan penentu utama

perilaku petani dalam mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga. Falsafah Jawa

yang sering mereka jadikan pedoman adalah “Ana Awan Ana Mangan, Ana Dina Ana

Upa” (Ada Siang Ada Makan, Ada Hari Ada Nasi), sehingga sesempit apapun lahan

pertanian yang dimilikinya akan tetap ditanami, daripada dibiarkan tanpa

penghasilan. Bahkan, lahan tersebut dianggap sebagai warisan yang patut disyukuri

dengan cara tetap bertanam. Keterbatasan lahan berbanding dengan hasil panen yang

diperoleh. Semakin sempit lahan pertanian maka semakin kecil pula hasil yang

diperoleh petani tersebut.

15

Di Moyudan, petani pemilik lahan sempit rata-rata 500 m2 - 800 m2, bahkan

ada pula yang kurang dari luas lahan di atas. Lahan ini berproduksi sepanjang tahun

dengan memanfaatkan irigasi dari bendungan Van Der Wijk. Perilaku petani yang

berlahan sempit dalam mewujudkan ketahanan pangan hanya menghasilkan sekitar 3

kuintal gabah dengan waktu kira-kira 3,5 bulan, hasil panen ini hanya dapat

mencukupi kebutuhan cadangan bahan pangan bagi rumah tangga. Bahkan, mereka

terkadang harus menambah beras dengan cara membeli sekitar 25 kilogram untuk

memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga. Ini disebabkan karena masyarakat sudah

tidak memiliki sumber bahan pangan lainnya, sementara selera masyarakat telah

berubah kearah “beras minded”. Sunarru (2008) menambahkan bahwa tantangan

rumah tangga petani pada umumnya telah terbiasa makan nasi untuk memenuhi

kebutuhan pangan, sementara jagung, sagu, ketela sudah tidak lagi dikonsumsi untuk

kebutuhan pokok pangan. Keadaan ini semakin membuat rumah tangga petani

senantiasa berjuang untuk memperoleh kebutuhan beras dalam memenuhi kebutuhan

pangan bagi rumah tangga yang ditempuh dengan berbagai cara. Di sisi lain, perilaku

petani harus mampu mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga, sekaligus

mencukupi kebutuhan di luar bahan pangan. Guna mewujudkan ketahanan pangan

rumah tangga, perilaku petani di Moyudan melakukan sistem menyakap (Jawa:

maro). Sistem maro ini adalah petani mengerjakan lahan orang lain dan digunakan

sistem bagi hasil, petani penyakap dan pemilik lahan masing-masing mendapat

separuh dari hasil panen, tetapi biaya produksi ditanggung oleh petani penyakap.

16

Dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan anggota keluarganya,

perilaku petani di Moyudan memiliki beberapa aktivitas alternatif di luar sektor

pertanian, seperti di sektor kerajinan, khususnya kerajinan “besek” (sejenis anyaman

bambu). Begitu pula peran ibu juga membantu membuat kerajinan ini. Pekerjaan

bapak di luar sektor pertanian sesekali adalah buruh dan tukang. Untuk pekerjaan

anak ada pula yang bekerja di restoran, buruh, bengkel dan jasa lainnya. Namun

demikian, kontribusi anak kepada keluarga tidak rutin atau hanya pada waktu tertentu

saja. Mayoritas perilaku petani berlahan sempit di Moyudan berperan sebagai

pembuat besek. Dalam satu bulan biasanya mereka dapat membuat 6 kodi besek, tiap

kodi dihargai Rp 14.000. dalam satu bulan memperoleh pendapatan tambahan Rp

84.000.

Di Paliyan Gunung Kidul, rata-rata kepemilikan lahan yang tergolong sempit

dibawah 3000 m2(survei data primer bulan Maret, 2011) Lahan pertanian ini hanya

ditanami padi satu kali dalam satu tahun, walau terkadang ada pula yang dapat

ditanami hingga dua kali dalam satu tahun dan sisanya ditanami palawija. Aktivitas

perilaku petani di sektor pertanian padi di Gunung Kidul sangat bergantung dengan

turunnya hujan. Dengan demikian, masyarakat Gunungkidul sangat mungkin

mengalami rawan pangan ketika hanya mengandalkan sektor pertanian saja.

Sementara perilaku petani dalam mewujudkan ketahanan pangan di Paliyan

Gunung Kidul dari survei yang dilakukan, ditemukan diversifikasi pekerjaan yang

variatif, ini berkaitan dengan faktor alam yang masih menyediakan alternatif

tambahan penghasilan. Peran bapak diluar sektor pertanian biasanya membantu

17

proyek padat karya seperti PNPM dan PPK. Selain itu peran bapak juga melakukan

pekerjaaan sebagai tukang atau hanya sekedar membantu tukang, buruh dan mencari

batu. Sementara ibu-ibu memiliki pekerjaan membuat tempe, jualan keliling (jajanan)

dan sesekali diminta untuk melakukan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci atau

menyetrika oleh tetangganya. Aktivitas anak dalam upaya berkontribusi membantu

pemenuhan kebutuhan rumah tangga dengan mencari belalang, mencari rumput gajah

dan mencari kayu bakar. Hasil pencarian belalang, rumput gajah dan kayu bakar ini

kemudian dijual. Hasil dari beberapa alternatif pekerjaan ini diperoleh pendapatan

sebesar Rp 5.000 hingga Rp 15.000 setiap hari.

Bagi petani di Moyudan Sleman maupun di Paliyan Gunung Kidul beras telah

menjadi bahan pangan utama. Hal ini mempertegas bahwa perilaku petani dalam

mengonsumsi variasi bahan pangan selain beras sudah tidak ditemukan lagi. Jikapun

ada, hanya sebagai camilan atau bahan makanan tambahan, yaitu biasanya satu bulan

sekali atau satu minggu sekali pada saat persediaan beras mulai berkurang. Akses

terhadap bahan pangan, baik beras maupun bahan pangan lain di kedua wilayah, baik

di Moyudan maupun Paliyan tidaklah sulit bagi rumah tangga petani. Bahan pangan

dapat diperoleh di pasar atau warung di sekitar tempat tinggal mereka. Begitu pula

dengan harga bahan pangan tersebut masih terjangkau oleh daya beli rumah tangga

petani. Di daerah Moyudan, bahan pangan, terutama beras yang tersedia di pasar

berasal dari sekitar wilayah Moyudan sendiri. Sementara, bahan pangan yang tersedia

di Paliyan Gunung Kidul mayoritas didatangkan dari luar wilayahnya, yaitu berasal

dari Imogiri dan Wonosari. Walaupun demikian, ketersediaan atas bahan pangan

18

selama ini menjamin untuk dapat mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga bagi

petani.

Demikian pula survei yang dilakukan peneliti di daerah lahan kering yang

direpresentasikan Kecamatan Paliyan, Kabupaten Gunung Kidul dan lahan sawah

yang direpresentasikan Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman diduga bahwa

modal manusia (human capital) dari petani itu sendiri memiliki peran yang cukup

menentukan dalam berperilaku untuk mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga

petani. Secara spesifik, modal manusia (human capital) digambarkan pada variabel

motivasi, sikap dan keyakinan diri petani (self efficacy). Demikian pula lingkungan

sosial budaya, baik di lahan kering dan lahan sawah menunjukkan adanya dukungan

atas perilaku petani dalam mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga. Lingkungan

sosial budaya digambarkan pada variabel tata nilai, kelembagaan sosial,

kepemimpinan informal, interaksi sosial dan penguasaan lahan. Survai di lapangan

menunjukkan pula bahwa lembaga ekonomi yang ada di masyarakat diduga berkaitan

positif dengan modal manusia maupun perilaku petani dalam mewujudkan ketahanan

pangan. Lembaga ekonomi ini seperti akses ke bank, akses ke KUD, kelompok tani

dan lumbung pangan. Survai kualitatif juga menunjukkan bahwa peran pemerintah

melalui peran penyuluhan pertanian dan pamong desa sangat mendukung perilaku

petani dalam mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga, baik di lahan kering

maupun di lahan sawah. Survai yang dilakukan juga menunjukkan bahwa definisi

rumah tangga petani adalah rumah tangga yang melakukan aktivitas atau

19

mengerjakan di sektor pertanian, baik dengan tanah sendiri, sewa ataupun menyakap

(bagi hasil).

Secara ringkas permasalahan penelitian ini dapat dijelaskan bahwa selama

periode 2004-2008 pertumbuhan produksi pangan secara konsisten mengalami

peningkatan yang signifikan, namun demikian peningkatan tersebut tidak membuat

petani tercukupi kebututuhan akan bahan pangan. Bahkan menurut Task For Hunger,

sebagian besar petani rentan mengalami rawan pangan.Problem pangan di Indonesia

bukan pada aspek ketersediaan, melainkan lebih pada aspek kemampuan konsumen

untuk mengaksesnya. Problem kronis kekurangan pangan justru banyak terjadi di

wilayah pedesaan yang umumnya menggantungkan kehidupan mereka dari sumber

mata pencaharian pertanian. (Fatah, 2006) Oleh karena itu Mosher mengungkapkan

pentingnya perubahan perilaku petani untuk meningkatkan produktivitas agar tidak

jatuh dalam kekurangan pangan dan kemiskinan.

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut.

1. Apakah ada perbedaan perilaku petani miskin dalam mewujudkan ketahanan

pangan rumah tangga di lahan sawah dan lahan kering?

2. Sejauhmana perilaku petani miskin dalam mewujudkan ketahanan pangan

rumah tangga di lahan sawah dipengaruhi oleh faktor : modal manusia

(human capital), lingkungan sosial budaya, lembaga ekonomi dan peran

pemerintah secara langsung maupun tidak langsung?

20

3. Sejauhmana perilaku petani miskin dalam mewujudkan ketahanan pangan

rumah tangga di lahan kering dipengaruhi oleh faktor : modal manusia

(human capital), lingkungan sosial budaya, lembaga ekonomi dan peran

pemerintah secara langsung maupun tidak langsung?

4. Apakah ada perbedaan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku petani

miskin dalam mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga di lahan sawah

dan lahan kering?

1.1.2. Keaslian Penelitian

Ketahanan pangan telah menjadi isu yang utama dalam pembangunan

pertanian dan pembangunan nasional. Hal ini ditunjukkan dengan dijadikannya isu

ketahanan pangan sebagai focus kebijaksanaan operasional pembangunan pertanian

dalam Kabinet Persatuan Nasional (1999-2004). Juga dibentuknya lembaga khusus

yang menangani masalah ketahanan pangan yaitu Badan Urusan Ketahanan Pangan

(BUKP) yang diharapkan dapat memantapkan sistem ketahanan pangan nasional.

Beberapa penelitian tentang Ketahanan Pangan Rumah Tangga telah

dilakukan, seperti misalnya Penelitian dengan judul Analisa Kebijaksanaan

Ketahanan Pangan Rumah Tangga Berpendapatan Rendah di Pedesaan yang

dilakukan oleh Ariani, et al (2001) menunjukkan bahwa krisis ekonomi telah

menurunkan ketahanan pangan rumah tangga berpendapatan rendah. Indikator yang

dapat dilihat adalah : (a) penurunan konsumsi pangan dan non-pangan (b) penurunan

pendapatan rumah tangga sehingga daya beli melemah. Kondisi ini dalam jangka

21

panjang akan mengakibatkan penurunan kualitas SDM dan dikhawatirkan terjadi

“lost generation”. Oleh karena itu upaya peningkatan ketahanan pangan harus

dilakukan oleh semua pihak tidak hanya pemerintah tetapi juga masyarakat. Secara

spesifik dalam jangka pendek upaya yang dapat dilakukan adalah (a) kebijaksanaan

peningkatan pendapatan dan kesempatan kerja. Alternatif program seperti : proyek

padat karya yang produktif, kredit usaha tani dan jaminan pemasaran hasil,

pemanfaatan lahan tidur dan pekarangan, pengembangan ternak unggul lokal dengan

bahan baku pangan lokal dan kredit usaha kecil (b) kebijakan bantuan pangan dengan

alternative program seperti : subsidi harga pangan, dan bantuan pangan pokok (beras

dan pangan sumber karbohidrat lainnya) hanya untuk masyarakat rawan pangan.

Kemudian juga penelitian Saliem (2002), yang berjudul Analisis Ketahanan

Pangan Tingkat Rumah Tangga dan Regional mencoba menganalisis faktor-faktor

yang mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga diukur dari besaran konsumsi

energi protein menunjukkan bahwa tingkat pendapatan, tingkat konsumsi beras, ubi

kayu, minyak goreng, gula pasir, ikan awetan, tahu, tempe sangat nyata

mempengaruhi ketahanan panggan rumah tangga. Dalam hal ini semakin tinggi

tingkat pendapatan dan tingkat konsumsi jenis-jenis pangan tersebut semakin tinggi

pula ketahanan pangan rumah tangga. Sedangkan peubah demografi yang nyata

mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga adalah jumlah anggota rumah tangga

(JART), semakin besar JART ketahanan pangan semakin rendah. Hal ini dapat

dijelaskan bahwa dengan tingkat pendapatan tertentu semakin besar JART, semakin

rendah alokasi konsumsi per kapita yang diperoleh setiap anggota rumah tangga,

22

dengan demikian akan semakin rendah ketahanan pangan rumah tangga yang

bersangkutan.

Penelitian yang dilakukan oleh Rangga dan Sayekti (2004) dengan judul

“Keragaan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Padi Sawah (Studi Kasus di

Desa Liman Benawi Kecamatan Trimurjo Kabupaten Lampung Tengah) bertujuan

mempelajari: (1) ketahanan pangan rumah tangga petani padi sawah di Desa Liman

Benawi Kecamatan Trimurjo Lampung Tengah, (2) konsumsi pangan rumah tangga

petani padi sawah di Desa Liman Benawi Kecamatan Trimurjo Lampung Tengah, (3)

faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan rumah tangga

petani padi sawah di Desa Liman Benawi Kecamatan Trimurjo Lampung Tengah.

Hasil penelitian menunjukan bahwa : (1) ketahanan pangan rumah tangga petani padi

sawah di Desa Liman Benawi Kecamatan Trimurjo Lampung Tengah tahun 2004

berdasarkan ukuran obyektif berada pada ketahanan pangan tinggi. Jadi kemampuan

rumah tangga petani padi sawah di Desa Liman Benawi untuk mengakses pangan

cukup tinggi. Tingkat kecukupan energi rumah tangga sebagian besar berada pada

kriteria baik yaitu sebanyak 20 responden (66,67%), begitu juga tingkat kecukupan

protein rumah tangga petani sebanyak 100 persen berada pada kriteria baik. Secara

subyektif, rumah tangga petani padi sawah di Desa Liman Benawi memiliki

ketahanan pangan tinggi. (2) rata-rata konsumsi energi dan konsumsi protein rumah

tangga petani padi sawah di Desa Liman Benawi Kecamatan Trimurjo Kabupaten

Lampung Tengah sebesar 7.389 kkal dan 194,36 gram protein. Untuk tingkat

kecukupan energi dan tingkat kecukupan protein rata-rata sebesar 88,08 persen untuk

23

energi dan 107 persen untuk protein, berada pada kriteria baik, (3) secara serempak

dan parsial variabel jumlah anggota rumah tangga dan pengeluaran total rumah

tangga berpengaruh sangat nyata terhadap tingkat kecukupan gizi (energi dan

protein).

Penelitian berhubungan dengan ketahanan pangan dilakukan oleh Tim

penelitian Ketahanan pangan dan kemiskinan dalam konteks demografi, Puslit

Kependudukan – LIPI (2004) dengan judul “Ketahanan Pangan Rumah Tangga di

Perdesaan: Konsep dan Ukuran”. Penelitian ini bertujuan menghitung indeks

ketahanan pangan berdasar empat indikator, yaitu ketersediaan, stabilitas ketersediaan

pangan, aksesibilitas terhadap pangan, dan kualitas (keamanan) pangan. Penelitian ini

dilakukan di Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Propinsi Lampung. Hasil penelitian

telah memunculkan indeks ketahanan pangan yang dibagi dalam tiga kategori.

Pertama, rumah tangga tahan pangan adalah rumah tangga yang memiliki persedian

pangan/makanan pokok secara kontinyu (diukur dari persediaan makan selama jangka

masa satu panen dengan panen berikutnya dengan frekuensi makan 3 kali atau lebih

per hari serta akses langsung) dan memiliki pengeluaran untuk protein hewani dan

nabati atau protein hewani saja. Kedua, rumah tangga kurang tahan pangan adalah

rumah tangga yang memiliki: (1) kontiyuitas pangan/makanan pokok kontinyu tetapi

hanya mempunyai pengeluaran untuk protein nabati saja, (2) kontinuitas ketersediaan

pangan/makanan kurang kontinyu dan mempunyai pengeluaran untuk protein hewani

dan nabati. Ketiga, rumah tangga tidak tahan pangan adalah rumah tangga yang

dicirikan oleh: (1) kontinyuitas ketersediaan pangan kontinyu, tetapi tidak memiliki

24

pengeluaran untuk protein hewani maupun nabati; (2) kontinyuitas ketersediaan

pangan kontinyu kurang kontinyu dan hanya memiliki pengeluaran untuk protein

hewani atau nabati, atau tidak untuk kedua-duanya; (3) kontinyuitas ketersediaan

pangan tidak kontinyu walaupun memiliki pengeluaran untuk protein hewani dan

nabati; (4) kontinyuitas ketersediaan pangan tidak kontinyu dan hanya memiliki

pengeluaran untuk protein nabati saja, atau tidak untuk kedua-duanya.

Penelitian lain dilakukan pula oleh Rachman (2002) dengan judul

“Karakteristik Rumah Tangga Rawan Pangan dan Upaya Peningkatan Ketahanan

Pangan: Kasus di Dua Desa di Provinsi D.I Yogyakarta”. Metode yang digunakan

adalah metode survei, di setiap desa diwawancara 20 rumah tangga yang dipilih

secara acak pada subpopulasi rumah tangga Pra-sejahtera dan Sejahtera I. Hasil

penelitian menunjukkan karakteristik rumah tangga rawan pangan adalah: (a) umur

kepala keluarga dan istri berusia produktif, berpendidikan rendah, terdapat anak yang

putus sekolah; (b) penguasaan lahan pertanian dan ternak terbatas; dan (c) tingkat

pendapatan di bawah garis kemiskinan. Untuk meningkatkannya disarankan: (1)

meningkatkan ketrampilan melalui pelatihan di berbagai bidang usaha dan bantuan

permodalan disertai bimbingan pemanfaatannya; (2) penanganan anak putus sekolah

melalui penyempurnaan efektifitas dan keberlanjutan pelaksanaan program JPS

bidang pendidikan; dan (3) pengembangan program yang tidak berbasis lahan:

peternakan unggas, ternak kecil, ternak besar sesuai potensi wilayah. Upaya tersebut

untuk meningkatkan ketahanan pangan melalui peningkatan pendapatan dan akses

terhadap pangan.

25

Penelitian ketahanan pangan dilakukan oleh Purwantini, et.al dengan judul

“Analisis Ketahanan Pangan Regional dan Tingkat Rumah Tangga (Studi Kasus di

Propinsi Sulawesi Utara)” pada tahun 1999. Ketersediaan pangan yang cukup di suatu

wilayah tidak menjamin adanya ketahanan pangan tingkat rumah tangga/individu.

Berangkat dari hipotesis ini, penelitian ini mencoba menggambarkan secara

bersamaan ketahanan pangan di tingkat karakteristik tingkat wilayah dan rumah

tangga. Hasil kajian menunjukkan bahwa secara regional status ketahanan pangan

wilayah (propinsi) tergolong tahan pangan. Namun demikian masih ditemukan rumah

tangga yang tergolong rawan pangan cukup tinggi. Proporsi rumah tangga rawan

pangan di Sulawesi Utara pada tahun 1999 sebesar 20,8 persen dan yang termasuk

tahan pangan sebesar 18,3 persen. Jumlah persentase rawan pangan di perdesaan

relatif lebih tinggi dibanding di perkotaan. Oleh karena itu, prioritas perhatian untuk

meningkatkan derajat ketahanan pangan perlu diarahkan kepada rumah tangga

perdesaan.

Penelitian tesis Program Studi Kependudukan Jurusan Antar Bidang

Pascasarjana UGM yang berjudul “Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Wilayah

Pulau Kecil (Studi Kasus di Kabupaten Maluku Tenggara Barat)” yang dilakukan

oleh Adam (2008) bertujuan mengetahui kondisi ketahanan pangan rumah tangga di

Maluku Tenggara Barat meliputi kecukupan dan ketersediaan pangan; stabilitas

ketersediaan pangan; aksesibilitas terhadap pangan; dan mekanisme rumah tangga

dalam pemenuhan pangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketahanan pangan

rumah tangga sangat bergantung pada faktor demografi, sosial, ekonomi dan budaya

26

masyarakat. Keempat faktor ini secara bersama-sama berkontribusi terhadap variabel

pembentuk ketahanan pangan, akan tetapi variabel pendidikan, aset yang dimiliki

rumah tangga dan budaya memberikan pengaruh yang signifikan. Faktor sosial-

demografi meliputi pendidikan, inovasi teknologi, usia istri dan jumlah anggota

rumah tangga. Faktor ekonomi terdiri dari pendapatan, share property dan aset rumah

tangga. Dari faktor budaya meliputi keterkaitan pangan dengan alam, hubungan

upacara adat dengan pola makan, pola usaha/kerja dan pembagian peran antara laki-

laki dengan perempuan (laki-laki bekerja di luar desa, perempuan sebagai petani).

Penelitian yang dilakukan oleh Rachmat Hendayana dan Yovita Angita Dewi

(2005) di NTB yang berjudul Anatomi Ketahanan Pangan pada Rumah Tangga

Miskin dan Implikasinya terhadap Kebijakan Inovasi Pertanian, hasilnya

menunjukkan bahwa (1) ketahanan pangan pada rumah tangga miskin erat

hubungannya dengan karakteristik rumah tangga itu sendiri, yakni rendahnya

pemilikan sumberdaya lahan dan asset lainnya, kualitas sumberdaya manusia

(pendidikan formal) di rumah tangga relative rendah, akses terhadap sumber modal

tidak ada dan akses terhadap informasi terkendala (2) sebagian besar rumah tangga

(69,9%) hanya mengandalkan pendapatan dari hasil buruh (tani dan luar tani) yang

tidak dapat diprediksi besarannya sehingga mempengaruhi ketersediaan pangan, baik

dalam jumlah apalagi kualitasnya, sementara itu petani sering tidak memiliki

cadangan pangan yang cukup (3) disisi lain, ketersediaan pangan dilevel regional

(kabupaten) distribusinya sering tidak merata dan harganya tidak terjangkau sehingga

kebutuhan pangan bagi rumah tangga tidak terpenuhi yang akhirnya menurunkan

27

derajad ketahanan pangan (4) kebijakan inovasi pertanian bagi penduduk miskin

hendaknya dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi dari karakteristik penduduk

serta dilakukan dengan selektif, hati-hati dan gradual.

Penelitian yang dilakukan Darwanto (2005) yang berjudul Ketahanan Pangan

Berbasis Produksi dan Kesejahteraan Petani, berusaha mengemukakan kondisi

perberasan nasional dan perilaku ekonomi petani penghasil beras sebagai salah satu

komponen perberasan nasional. Hasilnya menunjukkan bahwa ketersediaan beras

secara nasional setelah krisis meningkat secara signifikan, baik dari produksi dalam

negeri maupun impor, namun peningkatan produksi domestik dengan laju

pertumbuhan yang semakin lambat akan menyebabkan meningkatnya peranan beras

impor terhadap ketersediaan beras nasional. Selain itu, terjadi pula kondisi yang

dilematis antara upaya penyediaan beras/pangan nasional dengan menurunnya tingkat

kesejahteraan rumah tangga petani umumnya. Dengan demikian dapat diketahui

bahwa untuk jangka panjang tingkat produksi (39%) dan permintaan untuk konsumsi

(24%) mempunyai kontribusi yang relatif besar dalam menentukan pertumbuhan

tingkat ketersediaan beras nasional selain dari kondisi perekonomian nasional (2 0%)

dan tingkat kesejahteraan rumah tanga petani (11%).

Penelitian yang dilakukan oleh Ilham, Siregar dan Priyarsono (2006) yang

berjudul Efektivitas Kebijakan Harga Pangan terhadap Ketahanan Pangan, hasilnya

menunjukkan bahwa ketersediaan pangan di tingkat nasional terbukti tidak menjamin

akses pangan di tingkat rumah tangga. Untuk mengefektifkan kebijakan harga pangan

perlu didukung oleh kebijakan lain, terutama kebijakan penyediaan infrastruktur,

28

peningkatan pendapatan masyarakat, dan membenahi kebocoran-kebocoran dana

yang berkaitan dengan program pangan.

Penelitian yang dilakukan Asep, et.al (2009) yang berjudul Ketahanan Pangan

Rumah Tangga Petani Pada Program Hutan Kemasyarakatan di Kampung Barat

hasilnya menunjukkan bahwa ketahanan pangan rumah tangga petani hutan

kemasyarakatan di Kampung Barat berdasarkan ukuran obyektif termasuk dalam

kriteria tahan pangan. Ketahanan pangan diukur dari pengeluaran pangan sebagian

pada kriteria tinggi yaitu sebesar 77,32 persen, tingkat ketersediaan energi dan protein

berada pada kriteria tahan sebesar 54,64 persen dan 69,07 persen, tingkat kecukupan

energi dan protein berada pada kriteria baik sebesar 44,3 dan 77,32 persen dan secara

subyektif rumah tangga petani sebesar 91,75 persen merasa memiliki ketahanan

pangan yang cukup tinggi. Berdasarkan analisis logit didapatkan hasil bahwa

pendapatan tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kecukupan energi tetapi

berpengaruh nyata untuk tingkat kecukupan protein, pengetahuan ibu tidak

berpengaruh nyata terhadap tingkat kecukupan energi dan protein, jumlah keluarga

berpengaruh negatif terhadap tingkat kecukupan energi dan protein. Sumber

pemenuhan kebutuhan pangan pokok sumber protein, kacang-kacangan, sayuran dan

buah-buahan yang diperoleh secara langsung dari pengelolaan hutan kemasyarakatan

adalah sebesar 13 persen.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Darmono dan Maharani (2008) dengan

judul “Skenario Kebijakan Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Ketahanan

Pangan: Studi Pada Komoditas Jagung” bertujuan (a) Membangun model

29

ekonometrik ketahanan pangan komoditas jagung dalam era liberalisasi; (b)

Menganalisis determinan penting yang mempengaruhi upaya peningkatan ketahanan

pangan komoditas jagung dari aspek produksi, ekspor, impor, harga dan permintaan;

(c) Menganalisis dampak ekonomi diberlakukannya liberalisasi perdagangan terhadap

upaya peningkatan ketahanan pangan komoditas jagung ditinjau dari aspek produksi,

ekspor, impor, harga dan permintaan. Hasil penelitian ini menunjukkan penerapan

liberalisasi perdagangan membawa implikasi negatif pada upaya peningkatan

ketahanan pangan komoditas jagung. Penurunan harga domestik menyebabkan

penurunan produksi dan peningkatan permintaan, berdampak pada meningkatnya

impor. Hasil lainnya adalah kebijakan-kebijakan investasi, kredit dan subsidi pupuk

memberikan dampak menguntungkan bagi ketahanan pangan jagung karena mampu

meningkatkan produksi domestik sehingga ketergantungan terhadap impor semakin

berkurang serta mampu menyediakan pangan dengan harga terjangkau.

Penelitian yang dilakukan oleh Utoyo (2007) berjudul “Analisis Pola

Konversi Sawah Serta Dampaknya Terhadap Ketahanan Pangan” bertujuan (1) Untuk

mengetahui pola konversi lahan sawah; baik ke penggunaan pertanian maupun non-

pertanian; (2) Untuk mengetahui dampak terjadinya konversi lahan sawah terhadap

ketahanan pangan, khususnya produksi beras. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa

Secara agregat selama periode 1997-2004 di wilayah Propinsi Lampung tidak terjadi

proses konversi lahan sawah ke penggunaan non-sawah. Selain itu terdapat

keragaman laju rata-rata perubahan penggunaan lahan sawah pada masing-masing

kabupaten/ kota dibandingkan dengan wilayah propinsi. Selain itu, kondisi sistem

30

pertanian sawah hingga saat ini masih bisa diandalkan untuk menjaga ketahanan

pangan (beras), namun dalam jangka panjang jika terjadi penurunan lahan sawah

yang terus menerus maka keberlanjutan sistem pertanian tersebut akan terganggu,

khususnya dalam produksi beras.

Penelitian dilaksanakan oleh unit penelitian sosial-ekonomi dari program

Seeds of Life (SOL) di Departemen Pertanian dan Perikanan, Timor Leste. Penelitian

ini berjudul “Studi Sosial Ekonomi Pemahaman Ketahanan Pangan Dalam Menuju

Kedaulatan Pangan: Kasus Di Timor Leste” oleh Lopes, et al (2008). Tujuan

penelitian sosial ekonomi ini adalah untuk memahami sistem pertanian tradisional

dan memahami seberapa besar kemampuan petani mempunyai kemampuan

memproduksi kebutuhan pokok pangan secara mandiri seperti yang disyaratkan

dalam konsep kedaulatan pangan. Varietas baru yang dikembangkan oleh SOL

mempunyai manfaat sosial ekonomi yang tinggi hal ini karena petani yang

berpartisipasi dalam Program Seeds of Life sudah mulai menjual varietas-varietas

baru tersebut untuk melengkapi kebutuhan yang lain. Pada umumnya rumah tangga

petani di kedua kabupaten mengkonsumsi hasil panen dalam volume yang banyak

pada musim panen, sehingga mengakibatkan cadangan makanan berkurang atau cepat

habis, hal ini memaksa mereka (petani) untuk mengatasinya dengan cara membeli,

meminjam dan mencari makanan dari hutan.

Penelitian yang berhubungan dengan ketahanan pangan dilakukan oleh

Marwati (2001) dengan judul “Strategi Ketahanan Pangan, Ketersediaan dan Pola

Konsumsi Pangan Keluarga Buruh Tani dan Buruh Pabrik Di Desa Kebon Dalem,

31

Kota Cilegon”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi ketahanan pangan,

ketersediaan dan pola konsumsi pangan keluarga buruh tani dan buruh pabrik. Tujuan

khususnya adalah membandingkan keluarga petani dengan buruh pabrik dalam

beberapa hal, yaitu pola konsumsi pangan, ketersediaan pangan, strategi ketahanan

pangan. Selain tersebut di atas, penelitian ini bertujuan menganalisis faktor-faktor

yang mempengaruhi strategi ketahanan pangan. Hasil penelitian menunjukkan tidak

adanya perbedaan dalam strategi ketahanan pangan dalam keluarga. Pada keluarga

buruh tani, strategi ketahanan pangan dipengaruhi oleh pengeluaran per kapita per

bulan, sedangkan strategi ketahanan pangan keluarga buruh pabrik dipengaruhi oleh

usia istri. Strategi ketahanan pangan secara keseluruhan dipengaruhi oleh pengeluaran

per kapita per bulan, sedangkan status pekerjaan dan usia istri tidak menunjukkan

pengaruh yang nyata.

Penelitian yang berhubungan dengan pangan berjudul “Rekayasa Optimalisasi

Alokasi Air Irigasi Dalam Rangka Peningkatan Produksi Pangan dan Pendapatan

Petani” dilakukan oleh Saptana, et al (2001). Penelitian ini bertujuan untuk

mendapatkan gambaran mengenai peningkatan produksi pangan dan pendapatan

petani melalui optimalisasi pemanfaatan sumberdaya, yaitu dengan optimalisasi air

irigasi. Hasil penelitian adalah semakin tinggi ketersediaan air, maka semakin baik

pula sarana dan prasarana irigasi. Peluang peningkatan produksi pangan (terutama

beras) dan pendapatan petani melalui optimalisasi alokasi air irigasi di lahan-lahan

sawah yang selama ini telah dijadikan sentra produksi masih terbuka dan mempunyai

prospek baik.

32

Penelitian yang dilakukan oleh Ariani, et al (2001) berjudul “Dampak Krisis

Ekonomi Terhadap Konsumsi Pangan Rumah Tangga”. Penelitian ini bertujuan untuk

menyajikan informasi mengenai: (1) perubahan pola pengeluaran rumah tangga; (2)

perubahan konsumsi zat gizi (energi dan protein) dan proporsi rumah tangga defisit

zat gizi; (3) perubahan tingkat partisipasi dan konsumsi pangan. Hasil penelitian

menunjukkan secara nasional, krisis ekonomi berdampak pada: (1) peningkatan

pangsa pengeluaran pangan rumah tangga; (2) peningkatan jumlah rumah tangga

yang defisit energi dan protein; (3) penurunan tingkat partisipasi konsumsi beras,

mie, pangan hewani, minyak goreng dan gula pasir; (4) peningkatan konsumsi

jagung, ubi kayu, tahu dan tempe. Perubahan tersebut terjadi pada semua segmen

rumah tangga baik di kota/desa; kelompok pendapatan (rendah, tinggi, sedang)

maupun berdasar sumber mata pencaharian (pertanian, industri/perdagangan,

jasa/lainnya). Namun perubahan tersebut cukup menonjol pada rumah tangga di kota,

berpendapatan sedang dan tinggi serta yang bekerja di sektor non-pertanian.

Penelitian yang dilakukan oleh Saliem, et al (2005) dengan judul “Manajemen

Ketahanan Pangan Era Otonomi Daerah Dan Perum Bulog” bertujuan untuk

menganalisis kebijakan pengelolaan ketahanan pangan dikaitkan dengan era otonomi

daerah dan perubahan lembaga penyangga pangan nasional dari Bulog menjadi

Perum Bulog. Mengingat cakupan ketahanan pangan sangat luas, maka untuk

penajaman penelitian, pangan dibatasi pada gabah/beras yang mencakup tiga aspek

kajian, yaitu: (1) kebijakan stabilitas harga; (2) kebijakan pengelolaan cadangan

pangan; (3) kebijakan penanganan kondisi darurat kerawanan pangan. Keluaran

33

penelitian yang dihasilkan adalah rumusan mengenai model pengelolaan atau

manajemen ketahanan pangan (beras) pada era otonomi daerah dan Perum Bulog.

Penelitian yang dilakukan oleh Darwis (2002) yang berjudul “Peluang

Peningkatan Pendapatan dan Produksi Padi Sawah di Kabupaten Deli Serdang”

bertujuan mengidentifikasi pendaptan usahatani padi sawah setiap musim. Hasil

penelitian menunjukkan pertumbuhan produksi dan produktivitas padi sawah di

Propinsi Sumatera Utara, masing-masing sebesar 2,22 persen dan 0,85 persen per

tahun. Sedangkan di Kabupaten Deli Serdang, terjadi penurunan produksi sebesar

0,57 persen dan produktivitas 0,33 persen. Penurunan ini disebabkan oleh kurangnya

penerapan teknologi. Dalam satu tahun terakhir ini petani Desa Lubuk Bayas

mendapatkan keuntungan yang berbeda untuk setiap musim dan musim kemarau

merupakan musim yang paling besar mendapatkan keuntungan. Dari segi nilai

memang kelihatannya cukup besar, tetapi dari segi nilai tukar petani merasakan sudah

tidak banyak artinya.

Penelitian lain dilakukan oleh Tambunan (2006) yang berjudul “Kaji Ulang

Peran Koperasi Dalam Menunjang Ketahanan Pangan”. Penelitian ini bertujuan

untuk (1) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peran koperasi dalam

menunjang ketahanan pangan berdasarkan perubahan kebijakan pemerintah terhadap

distribusi pupuk dan beras, (2) Menganalisis efektifitas penyaluran pupuk dan

pengadaan gabah/beras sesuai perubahan kebijakan pemerintah dimaksud, (3)

Menganalisis dampak perubahan kebijakan tersebut terhadap penyediaan gabah/beras

di dalam negeri dan daya dukung koperasi dalam menunjang ketahanan pangan, dan

34

(4) Merumuskan model alternatif yang dapat diimplementasikan oleh koperasi guna

mendukung ketahanan pangan nasional. Hasil penelitian antara lain: (1) Kebijakan

distribusi pupuk saat ini telah memberikan dampak yang positif yakni efektif pada

penyaluran pupuk level propinsi hingga ke kabupaten. (2) Hasil analisis faktor yang

mempengaruhi juga menunjukkan unit-unit koperasi yang telah menjalankan usaha

pengadaan pangan pada waktu lalu mengalami kemundurun signifikan. (3) Kebijakan

pemerintah melepaskan distribusi pupuk dan pengadaan beras ke pasar adalah secara

umum menekan penggunaan pupuk petani yang berakibat produksi gabah dan

pendapatan petani menurun, kemudian menurunkan produksi beras dan juga kapasitas

produksi beras koperasi, dan menurunkan kinerja usaha-usaha koperasi. (4)

Kebijakan distribusi pupuk dan pengadaan beras yang sedang dijalankan sekarang

tidak efektif menciptakan kemampuan produksi pangan (beras) dalam negeri.

Penelitian berhubungan dengan ketahanan pangan dilakukan pula oleh Ariani

dan Purwantini (2004) berjudul “Analisis Konsumsi Pangan Rumah Tangga Pasca

Krisis Ekonomi Di Propinsi Jawa Barat” bertujuan untuk menganalisis konsumsi

pangan pasca krisis ekonomi di Propinsi Jawa Barat. Aspek yang dianalisis adalah

struktur pengeluaran pangan, konsumsi energi dan protein, pola dan tingkat konsumsi

pangan. Hasil penelitian antara lain: (1) Tingkat kesejahteraan masyarakat (baik di

tingkat nasional maupun di Propinsi Jawa Barat) mengalami penurunan sejak

terjadinya krisis ekonomi. Dampak krisis ekonomi lebih besar pengaruhnya pada

masyarakat kota dibandingkan dengan di pedesaan. (2) Konsumsi energi dan protein

pada krisis ekonomi juga menurun dan penurunan kedua zat gizi tersebut di propinsi

35

Jawa Barat lebih besar daripada agregat nasional. (3) Konsumsi beras rumah tangga

di Propinsi Jawa Barat menurun setelah pasca krisis, sedangkan tingkat konsumsi

mie instan meningkat.

Dari penelitian terdahulu pada umumnya faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap ketahanan pangan rumah tangga hanya diukur dari besaran konsumsi, oleh

karenanya perlu dianalisis dari variabel-variabel sosial yang lain. Pertama, penelitian

ini menganalisis perilaku petani miskin dalam mewujudkan ketahanan pangan rumah

tangga yang diukur dari variabel sosial yang lain seperti: peran pemerintah yang

digambarkan menjadi variabel peran penyuluhan pertanian dan peran pamong desa;

modal manusia (human capital) digambarkan menjadi variabel sikap, motivasi dan

keyakinan diri (self efficacy); lembaga ekonomi yang digambarkan menjadi variabel

akses ke bank, akses ke Koperasi Unit Desa (KUD), kelompok tani dan lumbung

pangan; dan lingkungan sosial budaya yang digambarkan menjadi variabel tata nilai,

kepemimpinan informal, lembaga sosial, interaksi sosial dan penguasaan lahan.

Kedua, metode penelitian ini akan mengembangkan metode penelitian kuantitatif

yang didukung kualitatif seperti yang dikembangkan oleh Abbas Tashakkori dan

Charles Teddlie (1998).

1.1.3.Tujuan Penelitian

1. Menganalisis perbedaan perilaku petani miskin dalam mewujudkan

ketahanan pangan rumah tangga di lahan sawah dan lahan kering.

36

2. Menganalisis perilaku petani miskin dalam mewujudkan ketahanan pangan

rumah tangga di lahan sawah diduga dipengaruhi oleh faktor : modal manusia

(human capital), lingkungan sosial budaya, lembaga ekonomi dan peran

pemerintah secara langsung maupun tidak langsung.

3. Menganalisis perilaku petani miskin dalam mewujudkan ketahanan pangan

rumah tangga di lahan kering diduga dipengaruhi oleh factor : modal manusia

(human capital), lingkungan sosial budaya, lembaga ekonomi dan peran

pemerintah secara langsung maupun tidak langsung.

4. Menganalisis faktor-faktor berbeda yang diduga mempengaruhi perilaku

petani miskin dalam mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga di lahan

sawah dan lahan kering.

1.2. Manfaat Penelitian

Kegunaan penelitian adalah :

1. Manfaat hasil penelitian dapat memberikan sumbangan secara akademik untuk

mengembangkan teori-teori yang dipakai dalam menganalisis perilaku petani

miskin dalam mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga maupun

mengembangkan metode penelitian metode kuantitatif yang didukung oleh

kualitatif yang dikembangkan di program studi S3 Penyuluhan dan Komunikasi

Pembangunan.

2. Manfaat bagi pembuat kebijakan dalam merumuskan ketahanan pangan rumah

tangga yang dapat mensejahterakan petani miskin.

37

3. Secara praktis hasil penelitian nantinya dapat disebarluaskan kepada masyarakat

pengguna hasil penelitian.