BAB 1 PENDAHULUAN A. -...

37
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap politik umat Kristen (Protestan) terhadap kebangkitan Islam politik” (Islamism) 1 di Indonesia pada Era Reformasi. Sikap politik umat Katolik sengaja tidak dimasukkan supaya uraian terfokus pada kalangan Protestan, tanpa bermaksud mengurangi peran umat Katolik dalam perpolitikan Indonesia. 2 Disertasi ini berargumen bahwa gerakan kebangkitan Islam politik yang terjadi pada tingkat internasional, sejak tahun 1970-an, yang dikobarkan semangat Revolusi Islam Iran (Januari 1978-Februari 1979) 3 di satu pihak, dan perubahan kebijakan politik Orde Baru yang lebih akomodatif terhadap kalangan Islam politik sejak tahun 1980-an di lain pihak, merupakan pemicu terhadap bangkitnya kembali gerakan Islam politik di Indonesia yang memperjuangkan agar Indonesia menjadi sebuah negara Islam, atau paling sedikit menjalankan syariat Islam pagi pemeluk- pemeluknya. Kebangkitan gerakan Islam politik di Indonesia di Era Reformasi,yaitu era yang mempraktikkan liberalisasi politik (Hwang, 2011: 1), telah mengubah tatanan perpolitikan di Indonesia yang, antara lain, ditandai dengan semakin tersanderanya kebebasan beragama dan semakin maraknya politik diskriminasi terhadap agama-agama lain di Indonesia, khususnya agama Kristen. Umat Kristen di Indonesia sering dijuluki sebagai kelompok yangsmall but significant minority (Campbell-Nelson, 1998: 74; Adeney-Risakotta, 2011: 9), karena walau jumlahnya 1 Gerakan Islam politik di Indonesia adalah gerakan kalangan Islam yang mencita-citakan Indonesia menjadi negara Islam atau negara yang menjalankan syariat Islam sesuai dengan isi Piagam Jakarta (Hwang, 2011; Platzdasch, 2009). 2 Diharapkan ke depan akan lahir studi-studi mengenai sikap politik umat Katolik di Indonesia. 3 Revolusi Islam Iran dipimpin oleh Ayatullah Agung Ruhollah Khomeini, yang mengubah Iran dari Monarki di bawah Shah Mohammad Reza Pahlevi menjadi Republik Islam.

Transcript of BAB 1 PENDAHULUAN A. -...

Page 1: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Disertasi ini membahas sikap politik umat Kristen (Protestan) terhadap kebangkitan

“Islam politik” (Islamism)1di Indonesia pada Era Reformasi. Sikap politik umat Katolik

sengaja tidak dimasukkan supaya uraian terfokus pada kalangan Protestan, tanpa bermaksud

mengurangi peran umat Katolik dalam perpolitikan Indonesia.2Disertasi ini berargumen

bahwa gerakan kebangkitan Islam politik yang terjadi pada tingkat internasional, sejak tahun

1970-an, yang dikobarkan semangat Revolusi Islam Iran (Januari 1978-Februari 1979)3 di

satu pihak, dan perubahan kebijakan politik Orde Baru yang lebih akomodatif terhadap

kalangan Islam politik sejak tahun 1980-an di lain pihak, merupakan pemicu terhadap

bangkitnya kembali gerakan Islam politik di Indonesia yang memperjuangkan agar Indonesia

menjadi sebuah negara Islam, atau paling sedikit menjalankan syariat Islam pagi pemeluk-

pemeluknya. Kebangkitan gerakan Islam politik di Indonesia di Era Reformasi,yaitu era yang

mempraktikkan liberalisasi politik (Hwang, 2011: 1), telah mengubah tatanan perpolitikan di

Indonesia yang, antara lain, ditandai dengan semakin tersanderanya kebebasan beragama dan

semakin maraknya politik diskriminasi terhadap agama-agama lain di Indonesia, khususnya

agama Kristen.

Umat Kristen di Indonesia sering dijuluki sebagai kelompok yangsmall but significant

minority (Campbell-Nelson, 1998: 74; Adeney-Risakotta, 2011: 9), karena walau jumlahnya

1Gerakan Islam politik di Indonesia adalah gerakan kalangan Islam yang mencita-citakan Indonesia menjadi

negara Islam atau negara yang menjalankan syariat Islam sesuai dengan isi Piagam Jakarta (Hwang, 2011;

Platzdasch, 2009). 2Diharapkan ke depan akan lahir studi-studi mengenai sikap politik umat Katolik di Indonesia.

3Revolusi Islam Iran dipimpin oleh Ayatullah Agung Ruhollah Khomeini, yang mengubah Iran dari Monarki di

bawah Shah Mohammad Reza Pahlevi menjadi Republik Islam.

Page 2: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

2

relatif kecil dibandingkan umat Islam4, tetapi kehadiran dan peran politiknya di tengah

bangsa Indonesia tidaklah kecil. Umat Kristen terlibat aktif dalam gerakan perlawanan

terhadap penjajah Belanda, turut serta mendirikan negara, merumuskan ideologi dan

mengesahkan UUD 1945, ikut mempertahankan kemerdekaan Indonesia melalui perang

kemerdekaan, serta berperan aktif dalam membangun bangsa Indonesia.

Paling sedikit ada tiga fakta sejarah yang bisa dicatat sebagai ciri khas kekristenan di

Indonesia, dan yang membuktikan bahwa kekristenan di Indonesia adalah agama yang

tumbuh dan berakar di bumi Indonesia sama dengan agama-agama lainnya seperti Islam,

Hindu, Buddha dan lain-lain.Pertama, agama Kristen di Indonesia bukanlah agama asing,

atau agama Barat.Tidak dapat dipungkiri, agama Kristen (Protestan)datang ke Indonesia

ketika negara ini berada dalam kekuasaan penjajah Belanda. Tetapi kekristenan di Indonesia

tidak disebarkan melalui kekuatan penjajah Barat dengan cara “penaklukan”, seperti halnya

proses kristenisasi yang terjadi di berbagai belahan dunia, seperti Amerika Latin yang

dikatolikkan bersamaan dengan kolonisasi Spanyol dan Portugis di benua itu.5 Umat

Kristenterutama yang berkembang di Indonesia sejak awal abad ke-19, adalah buah

zending(penginjilan)yang dilakukan oleh pribadi-pribadi atau lembaga-lembaga pekabaran

Injil yang lahir di Eropa sejak akhir abad ke-18 sebagai akibat kebangunan rohani yang

melanda Eropa ketika itu. Orang-orang Kristen Eropa yang telah mengalami “kelahiran baru”

dan terpanggil menjadi misionaris, kemudian pergi ke luar negeri untuk mengabarkan Injil,

baik atas prakarsa sendiri maupun atas pengutusan lembaga pekabaran Injil tertentu. Buah

pekerjaan para misionaris inilah kemudian melahirkan gereja-gereja suku di Indonesia yang

berakar di bumi Indonesia dan mengembangkan ciri khasnya sendiri menurut kultur daerah

4Enam agama terbesar dunia semuanya ada di Indonesia, yang menurut statistik tahun 2005 persentase pemeluk

keenam agama itu adalah: Islam (88, 58%), Kristen (5,79%), Katolik (3.07%), Hindu (1.73%), Buddha (0.61%)

dan Kong Hu Cu (0,11%) (Sensus BPS, 2005). 5Berbeda dengan yang terjadi di dunia lain, seperti Timur Tengah, Amerika Latin dan lain-lain, proses

pengkristenan di Indonesia hampir sama dengan proses penetrasi agama-agama yang masuk ke Nusantara,

seperti Hindu, Buddha dan Islam, yang dilakukan dengan cara-cara damai. Itulah sebabnya Syafii Maarif

mengatakan bahwa Indonesia adalah “panggung interaksi lintas agama dan lintas kultur” (Maarif, 2009: 46).

Page 3: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

3

tempat kelahirannya.6 Dengan kata lain kekristenan di Indonesia bukanlah hasil penjajahan,

karena misionaris-misionaris yang mengabarkan Injil ke Indonesia bukanlah didatangkan atas

inisiatif para penjajah itu.Tidak dipungkiri bahwa penjajah Belanda melakukan berbagai

upaya untuk melanggengkan kekuasaan, termasuk mendukung proses penginjilan di daerah

tertentu, namun tujuan Belanda datang ke Indonesia selama 350 tahun bukanlah untuk

mengkristenkan Indonesia, melainkan untuk mengambil kekayaan Indonesia demi

kepentingan ekonomi negara penjajah itu.

Dalam konteks inilah dapat dipahami mengapa umat Kristen di Indonesia sejak awal

bersikap kritis kepada penjajah, bahkan mereka (umat Kristen) pernah melakukan perlawanan

bersenjata kepada penjajah, seperti yang dilakukan Pattimura di Maluku. Dalam perspektif

inilah juga kita memahami mengapa sejak awal munculnya pergerakan nasional, mulai

dengan lahirnya Budi Utomo (1908), dilanjutkan dengan Sumpah Pemuda (1928), dan

berpuncak pada Proklamasi Kemerdekaan (1945), orang Kristen tidak pernah absen.7Api

nasionalisme yang menyala di Jawa dengan kelahiran Budi Utomo, juga menyala di berbagai

daerah, termasuk di daerah di mana terdapat mayoritas Kristen, seperti di Tanah Batak dan

Sulawesi Utara. Sumpah Pemuda yang merupakan pencetus pertama gagasan Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tahun 1928 di Yogyakarta, adalah kebulatan tekad

pemuda-pemudi yang tengah menuntut ilmu di pulau Jawa, yang berasal dari berbagai daerah

dari Sabang sampai Merauke, melebur tanpa melihat sekat-sekat agama dan suku bangsa.

Bahkan, proklamasi kemerdekaan yang dipercepat menjadi tanggal 17 Agustus 1945 terjadi

karena desakan para pemuda dari berbagai latar belakang, termasuk pemuda Kristen, seperti

Johannes Leimena, yang di kemudian haripernah dipercaya Soekarno menjadi pejabat

Presiden RI. Bahkan, Sumarsono – teman seperjuangan Amir Sjarifoeddin – mengatakan 6 Mayoritas gereja Protestan di Indonesia adalah gereja suku, seperti Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di

tanah Batak; Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) di Minahasa; Gereja Masehi Injili Timor (GMIT) di

Nusa Tenggara Timur; dan lain-lain. 7Uraian mengenai kiprah Kristen dalam sejarah perpolitikan di Indonesia dari sejak masa penjajahan Belanda

sampai Era Reformasi, lihat Aritonang, 2003: 5-48.

Page 4: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

4

bahwa andaikata Amir Sjarifoeddin Harahap (Kristen) tidak sedang berada di penjara

Malang, maka dialah yang sebenarnya diharapkan bertindak sebagai proklamator, bukan

Soekarno-Hatta (Sumarsono, 2008: 16). Juga, ketika Indonesia harus berperang melawan

Belanda, selama Perang Kemerdekaan (1945-1949), umat Kristen di berbagai daerah

mengambil sikap tegas, mendukung kemerdekaan itu dan ikut dalam perang gerilya melawan

Belanda yang berniat kembali menjajah. Maka tidak mengherankan banyak makam pahlawan

di seluruh Indonesia yang di atasnya tertancap tanda salib, yang membuktikan bahwa bahwa

putra-putri yang beragama Kristen juga banyak yang gugur dalam pertempuran membela

tanah air Indonesia.

Dengan latar belakang historis itulah juga, sejak awal kemerdekaan hingga era Orde

Baru banyak orang Kristen dipercaya memegang jabatan-jabatan yang penting di negara ini.

Seorang pemimpin militer pada awal kemerdekaan yang telah ikut meletakkan landasan

organisasi militer modern Indonesia ialah T. B. Simatupang, bahkan ia sempat dipercaya

menjadi Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) yang pertama. Sampai pertengahan

pemerintahan Orde Baru (1960-an – 1980-an) orang Kristen mempunyai peran yang sangat

besar dalam bidang politik dan ekonomi. Misalnya, dalam kabinet Soeharto orang Kristen

menjabat di berbagai kementerian yang menangani masalah-masalah ekonomi, seperti J.B.

Sumarlin, Radius Prawiro, dan Adrianus Mooy, serta kementerian dalam bidang politik dan

keamanan8, seperti M. Panggabean, L.B. Moerdani dan Sudomo

9. Penyebab menonjolnya

karir orang Kristen di pemerintahan, menurut Peter Polomka, adalah karena pada saat itu

tingkat pendidikan orang-orang Kristen secara umum lebih tinggi ketimbang orang-orang

Islam, sebagai hasil kegiatan pendidikan sejak zaman zending. Polomka berkata:

8Kementerian bidang ekonomi dan politik merupakan kementerian yang dianggap paling strategis dalam

struktur kabinet. Dominannya orang Kristen yang menduduki jabatan dalam bidang-bidang ini menurut Latif

merupakan faktor yang membuat kalangan Islam sakit hati, karena jumlah orang Kristen yang duduk di

pemerintahan dan parlemen sudah “over-represented” (Latif, 2005: 486; Lihat juga Bertrand, 2004: 81). 9Belakangan Sudomo kembali memeluk agama Islam, dan tahun 2012 beliau meninggal secara Islam.

Page 5: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

5

Their comparative prominence in government and national affairs is largely due to

better education opportunities offered through the activities of Christian missionaries

in the country, both in the present and past (Polomka, 1971: 195; bnd. Hefner, 2000:

242).10

Berbarengan dengan perkembangan sejarah bangsa Indonesia, umat Kristen Indonesia

pun mengalami perkembangan yang membentuk dan melahirkan identitas kekristenan

Indonesia yang melampaui bentuk awal ketika agama ini datang dari Eropa. Dapat dikatakan

bahwa identitas baru itu merupakan kristalisasi, pergumulan, akulturasi dan adaptasi ala

Indonesia. Secara nasional jumlah orang Kristen di Indonesia jauh lebih kecil dibanding umat

Islam, tetapi di daerah-daerah tertentu jumlah orang Kristen lebih besar dari jumlah umat

beragama lain, seperti di Minahasa, Papua, Tanah Toraja, Tanah Batak, Nusa Tenggara

Timur, dan lain-lain. Di daerah-daerah tersebut terbentuk gereja-gereja suku yang sangat kuat

berakar pada tradisi denominasi dengan warna teologi tertentu, ditambah dengan tradisi

kesukuan yang sangat kental menyatu. Di daerah mayoritas Kristen ini berdirilah gereja-

gereja suku yang “otonom”, yang memproklamirkan diri sebagai gereja yang mandiri

(otonom), dalam arti: bebas dari dominasi para misionaris asal Eropa.11

Dengan kata lain,

gereja-gereja suku itu lebih dahulu memproklamirkan “kemerdekaannya” dari negara

Indonesia sendiri. Itulah sebabnya mengapa di daerah-daerah tersebut tidak ada perasaan

bahwa mereka adalah penduduk yang menganut agama asing. Tentang hal ini T. B.

Simatupang berkata:

Kedatangan gereja ke Indonesia, dalam arti tertentu, memang ada hubungannya

dengan permulaan ekspansi Barat. Tetapi dengan amat segera ia berakar di bumi

Indonesia, memperkembangkan ciri-ciri khasnya, dan terutama di daerah-daerah di

mana orang Kristen adalah mayoritas tidak ada perasaan bahwa mereka adalah sebuah

kelompok yang menganut agama asing. Bagi saya, ini adalah ciri khas yang cukup

10

Pendapat yang mengatakan bahwa Presiden Soeharto merasa lebih nyaman bekerja dengan tokoh-tokoh

Kristen saat itu mungkin ada benarnya, karena Soeharto sedang melakukan “deislamisasi” perpolitikan

Indonesia pada saat itu. Tetapi fakta yang tidak bisa disangkal ialah bahwa umat Kristen Indonesia mempunyai

tokoh-tokoh sekaliber mereka. 11

Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) berdiri sendiri tahun 1930 di Tanah Batak (Sumatera Utara); Gereja

Kalimantan Evangelis (GKE) berdiri sendiri tahun 1935 di Kalimantan; Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM)

berdiri sendiri tahun 1934 di Sulawesi Utara, Gereja Protestan Maluku (GPM) berdiri sendiri tahun 1935 di

Maluku,dan lain-lain. (Ukur, 1979: 500).

Page 6: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

6

penting dari orang-orang Kristen di Indonesia dibandingkan dengan yang ada di

negara Asia lainnya: kekristenan bukanlah sebuah agama asing di Indonesia

(Simatupang, 1997: 6).

Keindonesiaan gereja-gereja itu menepis kecurigaan kelompok lain bahwa kekristenan di

Indonesia bergandengan tangan dengan penjajahan, apalagi disebut sebagai agama penjajah.

Kedua, umat Kristen Indonesia bukanlah warga negara kelas dua. Sesuai dengan

besarnya peran umat Kristen dalam kancah perjuangan politik dan militer sejak awal

kemerdekaan, maka konstitusi Indonesia secara tegas menyatakan bahwa umat Kristen di

Indonesia bukanlah warga negara kelas dua. Umat Kristen di Indonesia sama seperti umat

beragama lainnya, memiliki jaminan kebebasan beragama (freedom of religion) sebagaimana

diatur dalam konstitusi. Berbeda dengan di negara Mesir, misalnya, yang menyatakan, “the

principles of the Islamic Shari’a are the principal source of legislation.” (Hosen, 2007: 8).12

Perpindahan agama,merupakan kejadian biasa di negara yang sangat majemuk ini tanpa

menimbulkan pertentangan yang mengganggu stabilitas masyarakat, walaupun tidak secara

resmi diizinkan oleh oleh undang-undang. Padapada pasal 28 UUD 1945 tentang HAM,

misalnya, tidak ada butir yang secara eksplisit menyatakan hak perpindah agama. Meskipun

ada upaya-upaya pemerintah untuk melarang “dakwah” atau “penginjilan” terhadap mereka

yang sudah mempunyai agama13

, tetapi berpindah agama karena perkawinan, keputusan iman

pribadi, ataupun untuk mencari kedudukan, dan lain-lain, masih tetap terjadi secara bebas di

Indonesia. Walau tidak secara formal dijamin oleh aturan perundang-undangan, praktik

perpindahan agama dari dulu hingga sekarang, pada aras akar rumput sampai aras tokoh-

tokoh masyarakat dan tokoh politik,adalah peristiwa biasa dan sah-sah saja, dan bukanlah

12

Di Malaysia Islam adalah agama resmi negara, kendati umat Islam di sana hanya sedikit di atas 50 persen dari

penduduk. 13

Tahun 1979 Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (didahului oleh Surat Keputusan Menteri Agama no.

70 dan 77 tahun 1978) mengeluarkan keputusan bersama tentang tata cara pelaksanaan penyiaran agama dan

bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia. Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) dan

Majelis Wali Gereja Indonesia (MAWI) menyatakan keberatan atas keputusan pemerintah itu. Lihat Tanggapan

DGI-MAWI atas Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1979

(Sekretariat Umum DGI, 1980).

Page 7: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

7

sesuatu yang menimbulkan goncangan sosial (Fautre et al. (eds.), 2012: 103). Berbeda

dengan di negara Muslim lainnya, di Indonesia tidak ada “hukuman mati” terhadap peralihan

agama (Magnis-Suseno, 2013: 74). Berkaitan dengan ketentuan konstitusi tadi, berbeda

dengan di negara-negara berpenduduk mayoritas Islam lainnya, umat Kristen di Indonesia

bukanlah warga negara kelas dua, yang di negara-negara Islam disebut dhimmi.14

Para pendiri bangsa ini sepakat bahwa Indonesia yang baru merdeka tahun 1945 itu

bukanlah sebuah negara agama (Islam), dan bukan juga negara sekuler, tetapi sebuah negara

Pancasila yang melihat semua penganut agama sebagai sama status dan kedudukannya dalam

negara Indonesia yang majemuk itu. Umat Kristen yang ada di Indonesia bukanlah sisa

penaklukan umat Islam Indonesia sebagaimana halnya dengan umat Kristen di Mesir, Turki,

Syria, dan negara-negara lain di Timur Tengah. Kenyataan yang terjadi di Indonesia, umat

Islam dan umat Kristen bersama-sama berjuang untuk mencapai kemenangan atas Belanda

dan musuh-musuh lainnya (Simatupang, 1991: 238-239).

Ketiga, umat Islam di Indonesia tidak melihat orang Kristen sebagai “orang lain”

tetapi sebagai “teman sebangsa”. W.C. Smith, seorang pakar Islamologi dari Amerika, setelah

membandingkan hubungan Islam-Kristen di Indonesia dengan di negara-negara berpenduduk

Muslim besar lainnya, tiba pada kesimpulan ini:

Nowhere in the Muslim world (except perhaps in Indonesia?) do Muslims feel that a

non-Muslim member of their nation is “one of us” . And nowhere do the minorities

feel accepted. Indeed, in many instances there is a very serious trepidation (Smith,

1957: 80).

Senada dengan pernyataan Smith itu, B. J. Boland, seorang teolog Belanda yang lama bekerja

di Indonesia sebagai pendeta, mengatakan:

Probably one point different from elsewhere is that Muslims in Indonesia cannot

simply disregard the existence Christian Churches in their country. Before 1945

14

Dhimmi (Arab: dhimmah) adalah status yang diberikan kepada warga negara yang berada di wilayah Islam

(dar al-Islam) seperti yang diberikan kepada warga Kristen dan Yahudi di negara-negara taklukan Islam di

Timur Tengah (Scruton, 2007: 180-181).

Page 8: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

8

Christians were often regarded by Muslims as belonging to “other side” (Ind. pihak

sana), that is to say, the side of Dutch colonial power. Many Christians, however,

were in the forefront of the fight for freedom, together with Muslims and other

nationalists. So it became clear that IndonesianChristians, too, could be true

Indonesians and good patriots. In this way many Muslims and Christians got to know

and respect each other as fellow-citizens, and true relations between Muslims and

Christians within the Republic of Indonesia turned first in favourable

direction(Boland, 1971: 224).

Dari latar belakang sejarah demikianlah dapat dijelaskan mengapa para pengamat dan

negarawan luar negeri melihat Indonesia sebagai negara yang sangat toleran, di mana warga

negara dengan latar belakang agama berbeda hidup rukun berdampingan. Kesan demikian

pernah dikemukakan oleh Hillary Clinton (Menteri Luar Negeri Amerika) yang mengunjungi

Indonesia tahun 2008, ketika ia berkata: “If you want to know ifIslam, democracy and

modernity and women’s rights can coexist, go to Indonesia” (Tamara, 2009: xii). Pengamat

“luar” yang lain, Jeff Hammond, menemukan bahwa kendati Indonesia sering mengalami

berbagai goncangan politik, konflik antar-agama dan pemberontakan daerah, tetapi Indonesia

mempunyai tiga rahasia indah,

...yang tidak terdapat di tempat lain di dunia ini selain di Indonesia. Kalau ketiga hal

ini benar-benar dihayati, maka Indonesia bisa menjadi bangsa teladan dan terhormat

di antara semua bangsa di dunia. ... Ketiga rahasia yang saya temukan adalah

Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan Gotong-royong (Hammond, 2008: 175).

Hammond mengakui bahwa rahasia atau kata kunci mengapa Indonesia yang sedemikian

majemuk itu dapat bersatu menjadi sebuah negara Republik Indonesia yang rukun dan toleran

– kendati diakuinya ada juga berbagai konflik – adalah ideologi bangsa Indonesia yang

dirumuskan dan disahkan oleh para pendiri bangsa tahun 1945, yaitu Pancasila, yang jiwanya

adalah saling menghormati dan saling menerima kemajemukan yang ada itu. Atas dasar

Pancasila itulah dapat dipahamimengapa umat Kristen yang berjumlah kurang lebih 10%

(termasuk Katolik) itu bisa mempunyai peran besar dalam proses pembentukan dan

pembangunan Indonesia merdeka itu. Atas dasar Pancasila jugalah mengapa umat Kristen di

Indonesia diterima bukan sebagai agama asing di Indonesia, dan bukan pula warga negara

Page 9: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

9

kelas dua. Hanya oleh karena Pancasila pula maka umat Islam – yang secara sosiologis

adalah golongan mayoritas – bisa merasakan bahwa umat Kristen di Indonesia adalah bagian

integral dari dirinya sendiri sebagai sesama warga bangsa yang setara, sebagaimana Magnis-

Suseno mengatakan:

In Indonesia, nondiscrimination on religious grounds was thus strongly written into

Constitutionof 1945 (and all other Indonesian constututions) and, in a generally

satisfaying way, into the law. There can be no doubt that there was and still is a strong

political concensus in Indonesian society, always kept up by the Indonesian state, that

all Indonesians are citizens in the full sense of their rights and duties. Member of

minority religions can occupy high positions in politics, the military, and universities.

(Magnis-Suseno, 2013: 74)

Cerita di atas adalah cerita di zaman Orde Baru dan sebelumnya. Semenjak Era

Reformasi bergulir, situasi dan kondisi umat Kristen di Indonesia seperti digambarkan di atas

berubah dan sedang mengalami krisis. Setelah Soeharto turun dan Habibie naik menjadi

Presiden, segera terjadi “perpecahan” dalam masyarakat yang tadinya bersatu menurunkan

Soeharto. Kendati hampir seluruh elemen masyarakat menyambut pengunduran diri Soeharto

dengan sorak-sorai kemenangan, tetapi pelantikan Habibie sebagai presiden ketiga Indonesia

(21 Mei 1998) segera menimbulkan pro-kontra masyarakat luas yang secara umum dapat

dikategorikan sebagai polarisasi antara kelompok nasionalis kontra kelompok Islamis, yaitu

kelompok yang berjuang untuk menjadikan Indonesia menjadi negara atau menganut sistem

Islam (Muhtadi, 2012: 48-49).Kelompok yang menolak Habibie melihat kedekatan Habibie

dengan Soeharto15

dan membuat banyak pihak pesimis bahwa Habibie bisa melakukan

tuntutan reformasi seperti mengamandemen UUD 1945, menghapuskan dwifungsi ABRI dan

lain-lain. Di pihak lain kelompok Islam politik (Islamis), yaitu kalangan Islam yang

menginginkan Indonesia menjadi negara Islam,atau menjadi negara yang menjalankan

syariat Islam, justru menyambut naiknya Habibie menjadi presiden. Ketika Habibie dilantik

menjadi presiden, sebanyak 43 organisasi massa Islam menyatakan diri dengan tegas untuk

15

Habibie menganggap Soeharto sebagai orangtuanya dan selalu mengaguminya selaku guru, super genius,

profesor dst. (Gaffar, 2000: 311).

Page 10: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

10

mendukung Habibie (Gaffar, 2000: 313). Pihak Islam politik melihat sosok Habibie sebagai

tokoh yang dekat dengan Islam. Adalah fakta bahwa selama pemerintahan Soekarno sampai

era Soeharto kelompok Islam politik yang hendak menjadikan Indonesia negara Islam

mengalami tekanan politik, dan tidak diberi kesempatan terjun dalam arena perpolitikan

Indonesia. Tetapi ketika angin kebangkitan Islam transnasional berhembus dari Timur

Tengah sejak tahun 1980-an, kalangan Islam politik Islam menyambutnya dengan antusiasme

yang sangat tinggi. Di saat usia Soeharto sudah semakin tua (69 tahun), dan ketika kaum

intelektual Islam sudah sangat kuat dan solid, maka Soeharto mengubah strategi politiknya,

dari politik konfrontatif terhadap Islam yang berlangsung sejak awal Orde Baru sampai

pertengahan tahun 1980-an16

menjadi politik yang sangat akomodatif.17

Pada tahun 1980-an itu

terjadi “hijauisasi” (islamisasi) Orde Baru (Bertrand, 2004: 83). Douglas E. Ramage

mencatat, agenda politik yang diperjuangkan ICMI antara lain adalah: menuntut

demiliterisasi perpolitikan Indonesia; memperjuangkan demokratisasi; dan menciptakan suatu

sistem “proporsionalisasi” di mana umat Islam diwakili dalam pemerintah (Kabinet, MPR,

DPR, dan seterusnya) sesuai dengan persentase mereka dalam populasi (88 persen) (Ramage,

2002: 168). Dengan kata lain, setelah ICMI lahir maka politik diskriminasi berdasarkan

perbedaan agama, menjadi marak terjadi dalam berbagai lembaga pemerintahan Indonesia,

baik sipil maupun militer, berbeda dari periode-periode sebelumnya.

Dalam konteks perkembangan perpolitikan Indonesia yang digambarkan di atas, umat

Kristen di Indonesia, yang tadinya merasa terayomi dalam bingkai Pancasila dan UUD 1945,

16

Tentang perubahan sikap Soeharto terhadap Islam, Wanandi melihat ada beberapa kemungkinan: (1) Pada

saat itu Soeharto sudah berusia di atas 65 tahun, yang secara psikologis sudah mulai mendekatkan diri dengan

Tuhan atau agama, dalam hal ini Islam; (2) Pada saat itu Soeharto sudah mulai berseberangan dengan petinggi-

petinggi militer yang sebelumnya merupakan kepecayaannya (terutama Benny Moerdani dan kawan-kawan),

sehingga Soeharto menyambut kekuatan Islam sebagai basis dukungan baru (Wanandi, 2014; 328-339). 17

Leo Suryadinata mencatat ada enam kebijakan Soeharto di akhir 1980-an dan awal 1990-an untuk merangkul

umat Islam, yaitu: (1) Peradilan Islam dibentuk tahun 1988; (2) Tahun 1989, Undang-undang Pendidikan

Nasional menetapkan bahwa pendidikan harus diajarkan oleh guru yang seagama dengan siswanya; (3)

Menghukum tabloid Monitor dan pemimpin redaksinya (Arswendo Atmowiloto) karena dituduh menghina nabi

Muhammad; (4) Merestui kelahiran ICMI tahun 1990; (5) Tahun 1991 Soeharto menunaikan ibadah Haji; (6)

Tahun 1992 untuk pertama kali sebuah Bank Islam diberdirikan (Lihat Suryadinata, 1999: 192-193).

Page 11: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

11

di Era Reformasi mengalami perubahan perlakukan negara yang sangat mengkhawatirkan.

Paling sedikit ada dua masalah yang hendak disoroti dalam studi ini, yang merupakan pokok

pergulatan umat Kristen di Indonesia di Era Reformasi. Pertama,menguatnya sikap intolerasi

dalam bentuk pengingkaran terhadap kebebasan beragama. Kendati konstitusi Indonesia

memberikan jaminan akan kebebasan beragama kepada semua warga negara, tetapi

menjelang dan setelah kejatuhan Orde Baru konstitusi ini sepertinya tidak dapat ditegakkan.

Dekade 1990-an mencatat bahwa tindakan-tindakan perusakan, penutupan dan larangan

pendirian rumah-rumah ibadah Kristen semakin marak terutama di pulau Jawa. Menjelang

dan selama Era Reformasi tercatat rangkaian peristiwa perusakan dan penutupan gereja, yang

seakan tidak pernah berhenti, seperti di Sidotopo-Surabaya (1996), Situbondo (1996),

Tasikmalaya (1996), Rengasdengklok (1997), bom Natal (2000)18

, sampai peristiwa

penutupan secara sepihak dan paksa GKI Yasmin, Bogor (2011). Pelaku tindakan-tindakan

kekerasan ini ialah kelompok ormas-ormas Islam“garis keras” yang bebas bergerak pasca

Orde Baru, sementara penegakan hukum juga menjadi masalah dalam kaitan kebebasan

beragama ini. Aparat hukum, terutama polisi, yang seyogianya dapat melindungi setiap warga

negara dalam menjalankan ibadahnya, ternyata sangat lemah dalam berbagai kasus pendirian

rumah ibadah (Kristen) yang sering mengalami gangguan atau hambatan.

Kedua, politik syariat Islam dan diskriminasi. Di awal Era Reformasi itu gerakan

politik kelompok-kelompok Islam politik untuk memasukkan kembali tujuh kata dari Piagam

Jakarta (“dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”) ke dalam

Pembukaan UUD 1945 bergulir kembali. Menjelang Pemilihan Umum tahun 1999, partai-

partai Islam secara terbuka mengangkat isu Piagam Jakarta, terutama sebagai komoditi politik

untuk meraih dukungan. Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Persatuan Pembangunan

(PPP) adalah dua partai politik Islam yang paling gencar mengangkat isu Piagam Jakarta

18

Uraian mengenai peristiwa-peristiwa tersebut lihat Aritonang, 2004: 463 dst.

Page 12: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

12

(Mubarak, 2008: 161-165). Kendati dalam perdebatan di forum Majelis Permusyawaratan

Rakyat (MPR) ide untuk memasukkan ketujuh kata dari Piagam Jakarta kembali ke dalam

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 gagal, tetapi visi dan cita-cita itu tidak

padam.19

Setelah konstitusionalisasi syariat Islam gagal, maka “undang-undangisasi” syariat

Islam terus menjadi agenda kelompok Islam politik (Indrayana, 2008: 50-71). Di Era

Reformasi ini dapat dicatat sejumlah Undang-undang yang hanya berlaku bagi umat Islam,

dan tidak warga non-Islam, antara lain: Undang-undang Nomor 17 tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Haji dan Undang-undang nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

Puncaknya adalah lahirnya Undang-undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Keistimewaan

Daerah Istimewa Aceh dan Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus

bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Sejalan dengan maraknya perundang-undangan syariat

Islam pada dasawarsa pertama 2000-an, lebih marak lagi “perdaisasi” syariat Islam, yakni

dengan memasukkan prinsip-prinsip syariat Islam ke dalam perbagai Peraturan Daerah, yang

peluangnya dibuka oleh Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah. Ratusan Perda bernuansa syariat Islam telah terbit di berbagai provinsi, kabupaten

dan kota.20

Selain diskriminasi yang diakibatkan perda-perda syariat itu, di Era Reformasi juga

muncul berbagai kebijakan politik yang sangat diskriminatif berdasarkan identitas agama.

Faktor agama menjadi bahan pertimbangan bagi penentuan promosi berbagai jabatan, baik

jabatan sipil, maupun jabatan militer. Politik “proporsionalisasi” yang dicanangkan ICMI

tidak jarang menjadi pertimbangan penting, baik terang-terangan maupun samar-samar dalam

melakukan rekrutmen dalam berbagai posisi di Indonesia, sangat berbeda dengan situasi pada

19

Lihat Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008: 373-374). 20

Majalah Tempo, Edisi 4 September 2011, membuat liputan khusus tentang perda-perda syariah, antara lain

mencatat sudah ada 150 Perda yang mengatur antara lain kewajiban berbusana muslim, zakat, larangan

minuman keras, serta kewajiban pandai membaca Al-Quran bagi siswa dan calon pengantin.

Page 13: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

13

era sebelumnya yang lebih mengutamakan “merit system” atau “the right man on the right

place”.

Bagi umat Kristen di Indonesia, masalah kebebasan beragama yang dijamin UUD

1945, di Era Reformasi menjadi pergumulan yang sangat serius. Sikap intoleransi, yang

semakin menguat di Indonesia dalam wujud tindakan perusakan dan pelarangan mendirikan

rumah ibadah Kristen, adalah keprihatinan besar yang mengkhawatirkan bagi masa depan

bangsa dan umat Kristen dan umat beragama lain. Kebijakan-kebijakan diskriminatif seperti

pembentukan perda-perda syariat Islam, bagi umat Kristen, adalah mengingkaran terhadap

konstitusi negara. Berbagai perlakukan diskriminatif dalam promosi berbagai jabatan sipil

dan militer yang terjadi di Era Reformasi juga adalah kemunduran dalam berbangsa dan

berdemokrasi.Jika hal ini terus dibiarkan dan tidak ada usaha untuk mengatasi secara serius,

bukan tidak mungkin masa depan bangsa ini akan terancam, dan bahaya disintegrasi bangsa

yang tidak diharapkan bisa menjadi ancaman.

B. Permasalahan Penelitian dan Hipotesa

Penelitian ini ingin menggali bagaimana sikap umat Kristen menghadapi

perkembangan perpolitikan Indonesia yang semakin menyimpang dari jiwa Pancasila dan

UUD 1945 itu. Tidak dapat dipungkiri, respons umat Kristen di Indonesia dalam menyikapi

perkembangan politik agama di Indonesia sangat beraneka-ragam karena dipengaruhi oleh

berbagai faktor, seperti faktor sosiologis, teologis-misiologis, dan latar belakang kerohanian

umat Kristen yang berbeda-beda. Sikap Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) sebagai

wadah kebersamaan gereja-gereja anggotanya, tidak selalu sama dengan sikap gereja-

gerejaanggota di daerah tertentu. Sikap PGI juga tidak selalu sama dengan sikap Persekutuan

Page 14: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

14

Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili di Indonesia (PGLII)21

dan gereja-gereja Injili

yang ada di Indonesia. Di samping itu penelitian ini akan menunjukkan sejauh mana faktor-

faktor teologis, historis dan kultural mempengaruhi sikap-sikap politik itu. Sebagai hasil

akhirnya akan diuraikan berbagai jenis tipologi yang menggambarkan variasi sikap politik

umat Kristen berikut faktor-faktor yang mempengaruhinya. Untuk itu beberapa pertanyaan

penelitian yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah wawasan politik umat Kristen di Indonesia?

2. Bagaimana politik agama di Indonesia sampai periode Orde Baru?

3. Bagaimanakah kebangkitan Islam politik terjadi di Indonesia pada Era Reformasi?

4. Bagaimana respons umat Kristen terhadap dinamika politik di Indonesia pada Era

Reformasi, berkaitan dengan kebangkitan Islam politik?

Bertolak dari pertanyaan-pertanyaan di atas, hipotesa kerja dalam penelitian ini

adalah: (1) Umat Kristen di Indonesia yang berjumlah sekitar 10% dari total penduduk adalah

bagian integral dari bangsa Indonesia, yang ikut aktif dalam dinamika perpolitikan bangsa

sejak mendirikan, memperjuangkan serta membangun masa depan bangsa ini. Itu sebabnya

Indonesia didirikan bukan sebagai sebuah negara agama (Islam) dan bukan negara sekuler,

tetapi negara Pancasila di mana semua agama mempunya posisi yang sama di depan hukum,

dan negara bersikap netral terhadap semua agama itu; (2) Kebangkitan Islam politik pada Era

Reformasi di Indonesia yang memperjuangkan agar Indonesia menjadi negara Islam atau

paling sedikit menjalankan syariat Islam, merupakan tantangan bagi Pancasila, sekaligus

menjadi ancaman bagi kebebasan beragama yang sangat didambakan umat Kristen di

Indonesia. Maraknya peritiwa penutupan gereja selama Era Reformasi, terjadi karena

massifnya tekanan kalangan Islam politik di satu pihak, dan lemahnya upaya penegakan

hukum di lain pihak; (3) Tekanan yang sangat keras yang dilakukan Islam politik kepada

21

Lihat “Definisi Kerja” pada halaman sebelumnya.

Page 15: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

15

umat Kristen di Indonesia, yang dituduh melakukan upaya kristenisasi itu, membuat umat

Kristen di Indonesia dalam situasi galau dan penuh ketidakpastian masa depan. Respons umat

Kristen terhadap kebangkitan Islam politik di Indonesia pada Era Reformasi tidak seragam,

tergantung pada latar belakang teologis dan etnis dari gereja-gereja dan umat Kristen di

Indonesia yang sangat beraneka ragama itu.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini pertama-tama mendeskripsikan perkembangan kekristenan di Indonesia,

sambil melihat bagaimana wawasan politik umat Kristen yang berkembang di Indonesia,

yang mempengaruhi kiprah orang Kristen dalam bidang politik dalam sejarah perpolitikan

Indodoesia, danyang melatarbelakangi kiprah umat Kristen dalam dinamika politik nasional

pada Era Reformasi. Kedua, penelitian ini membahas bagaimana para pendiri bangsa

merumuskan Pancasila sebagai dasar negara, dimana hubungan agama (terutama Islam) dan

negara di Indonesia dirumuskan sedemikian rupa, sehingga Indonesia bukan negara agama

dan bukan negara sekuler. Juga akan dibahas bagaimana pemerintah Orde Baru berupaya

mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga,

penelitian ini membahas bagaimana proses terjadinya kebangkitan Islam politik di Indonesia

yang sangat mempengaruhi dinamika politik nasional di Era Reformasi. Keempat, penelitian

ini akan membahas bagaimana sikap dan respons umat Kristen (Protestan) terhadap dinamika

politik nasional yang amat diwarnai oleh gerakan kebangkitan Islam politik di Era Reformasi.

D. Manfaat Penelitian

Literatur akademis dalam bentuk tesis atau disertasi tentang perpolitikan umat Kristen

Indonesia pasca Orde Baru (pada Era Reformasi) belum ada, paling tidak belum pernah

diterbitkan dalam bentuk buku.Sedangkan literatur tentang hubungan Islam dengan dinamika

Page 16: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

16

politik pada Era Refromasi sudah sangat banyak (Assyaukanie, 2103; Platzdasch, 2009;

Salim, 2009; Latif, 2005; Hasan, 2006). Karena itu studi ini merupakan sebuah terobosan

untuk mengisi kekosongan itu, dengan harapan ke depan akan semakin banyak intelektual-

intelektual Kristen, baik teolog maupun warga gereja, yang mendalami ilmu politik di

berbagai universitas,yang terdorongmelakukan penelitian dalam bidang gereja (kekristenan)

dan politik. Baik warga gereja, maupun warga bangsa non-Kristen, sangat mengharapkan

hadirnya buku-buku hasil penelitian akademik yang membahas relasi umat Kristen dengan

dinamika perpolitikan di tengah bangsa.

Penelitian ini juga diharapkan akan bermanfaat bagi masyarakat Indonesia, terutama

umat Kristen sebagai referensi dalam meningkatkan peran serta dalam proses berbangsa dan

bernegara, bahwa umat Kristen Indonesia adalah bagian integral dari bangsa Indonesia yang

mempunyai peran dan kedudukan yang sama dengan saudara-saudara sebangsanya dari

berbagai latar belakang yang beraneka ragam itu. Penelitian ini juga diharapkan dapat

menjadi acuan bagi para pemimpin bangsa, bahwa negara yang dibentuk oleh para pendiri

bangsa kita bukanlah negara agama dan bukan pula negara sekular, melainkan sebuah negara

yang demokratis yang kekuasaannya berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, tanpa

menafikan peran agama-agama dan para penganut yang ada di dalamnya, sebagaimana

tersirat dalam ideologi Pancasila. Jadi studi ini bermanfaat juga untuk memberikan

sumbangan pikiran dalam menggalang persaudaraan nasional dan memperkukuh kerjasama

lintas agama yang sudah mulai terbangun selama ini. Terakhir, penelitian ini juga diharapkan

dapat merangsang dan memotivasi umat Kristen di Indonesia untuk lebih proaktif

memikirkan dan sekaligus melibatkan diri dalam politik, baik politik praktis maupun politik

moral, dalam konteks Indonesia yang majemuk, dengan tetap mengutamakan tegaknya

Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Page 17: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

17

E. Tinjauan Pustaka

Sebagaimana dikatakan di atas, kajian tentang “Kekristenan dan Politik” belum

banyak dilakukanpada level akademis. Kebanyakan studi mengenai isu agama dan politik di

Indonesia, baik yang dilakukan intelektual Indonesia maupun pengamat luar (Indonesianist)

lebih berfokus pada relasi Islam dan politik (Platzdasch, 2009; Hosen, 2007;Hasan, 2006;

Effendy, 2003; Effendi, 2000; Mujani, 2007). Buku jenis ini boleh dikatakan berlimpah dan

tidak mungkin semuanya didaftarkan di sini. Ketika ditanyakan kepada R. William

Liddle,22

seorang Indonesianist yang terkenal: “Kenapa para peneliti kehidupan politik

Indonesia dari luar negeri tidak ada yang mengkaji tentang kekristenan dan politik di

Indonesia?”, Liddle menjawab kira-kira sebagai berikut: “Isu kekristenan dan politik di

Indonesia bagi kami orang luar terlalu kecil dibandingkan dengan isu Islam dan politik. Itu

tidak berarti bahwa isu itu tidak penting. Karena itu orang Kristen Indonesia sendirilah yang

harus menelitinya.”Selain alasan di atas, para peneliti luar itu juga sangat bergantungpada

anggaran biaya penelitian yang disediakan pemerintahnya berdasarkan pertimbangan

geopolitik dan kepentingan nasionalnya. Jelas, isu kekristenan dan politik di Indonesia tidak

berarti apa-apa dari pertimbangan geopolitik Amerika dan negara-negara Barat umumnya,

dibanding isu komunisme tahun 1970-an dan isu Islam dan politik tahun 1990-an.23

Karya akademis khusus mengenai kekristenan dan politik di Indonesia boleh

dikatakan sangat langka.24

Kelangkaan ini kemungkinan besar disebabkan dua hal. Pertama,

pada umumnya teolog-teolog Kristen kurang tertarik mendalami kajian-kajian dalam bidang

“Kekristenan dan Politik” karena mereka beranggapan bahwa kajian seperti itu bukan domain

ilmu teologi, melainkan bidang kajian ilmu-ilmu sosial sekuler. Kedua, para intelektual

22

Percakapan dengan R. William Liddle tahun 2010 di Jakarta. 23

Menurunnya minat para “Indonesianist” mengadakan studi-studi tentang Indonesia sekarang ini dibahas

secara panjang lebar dalam majalah Tempo, edisi 14-20 November 2011. 24

Tulisan-tulisan lepas, yang disunting menjadi kumpulan tulisan sudah lumayan banyak, seperti Simatupang,

1997a; 1997b; Yewangoe, 2009a; 2009b; 2009c.

Page 18: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

18

Kristen yang mendalami ilmu-ilmu sosial-politik pada umumnya kurang mampu mengangkat

tema “Kekristenan dan Politik”karena pada umumnya mereka kurang memiliki latar belakang

ilmu yang berkaitan dengan gereja dan kekristenan.

Di tengah “kemiskinan” literatur yang membahas topik “Kekristenan dan Politik”, ada

beberapa karya akademis yang patut dicatat, yang tentu saja sangat besar sumbangannya bagi

proses penelitian ini.Buku Gerry van Klinken (Klinken, 2003) tidak bermaksud untuk

mengupas pergumulan politik orang Kristen di Indonesia, melainkan ingin mengemukakan

bahwa ada pelaku sejarah Indonesia yang beragama Kristen yang – kendati peranan mereka

sangat besar pada awal pembentukan Indonesia merdeka – dalam kenyataannya mereka

terlupakan.25

Pembahasan utama dalam buku ini berkaitan dengan dinamika pergumulan

politik Kristen pada awal-awal kemerdekaan Republik Indonesia, yang memberikan

gambaran bagaimana sejumlah tokoh Kristen Indonesia ikut meletakkan dasar-dasar

Indonesia merdeka itu. Ramlan Surbakti menulis disertasi berjudul “Interrelation between

Religious and Political Power under New Order Indonesia”26

, yang dipertahankan di

Departemen Ilmu Politik, Northern Illinois University, 1991. Karya ini mengupas kebijakan

politik Orde Baruyang, demi kepentingan politik, berusaha menjinakkan semua agama,

termasuk agama Kristen di Indonesia. Karya ini tidak secara khusus membahas topik

kekristenan dan politik di Indonesia, melainkan membahas kebijakan Orde Baru terhadap

semua agama yang diakui Orde Baru saat itu di Indonesia. Buku Saut Sirait (Sirait, 2000),

dari segi judul menjanjikan akan mengkaji pergumulan politik umat Kristen di Indonesia,

namun ternyata hanya menyediakan satu bab dari lima bab untuk membahas politik Kristen

di Indonesia, yang hampir seluruhnya mengupas persoalan di sekitar intervensi militer ke

dalam tubuh Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) tahun 1990-an.27

Dengan kata lain buku

25

Syukurlah di bulan November 2011 pemerintah telah menetapkan Kasimo menjadi pahlawan nasional. 26

Disertasi yang tidak diterbitkan. 27

Pembahasan mengenai intervensi militer di HKBP tahun 1990-an, lihat Pakpahan (2012).

Page 19: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

19

yang berawal dari tesis Magister Teologi di STT Jakarta itu hendak mengkritisi perilaku

politik Orde Baru yang melakukan intervensi ke dalam tubuh gereja HKBP tahun 1990-an

sebelum rezim Orde Baru berakhir. Paul Webb (1978) mengulas sejarah Partai Kristen

Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik, dan menyimpulkan bahwa kehadiran Parkindo dan

Partai Katolik telah mampu menghilangkan stigma bahwa orang Kristen adalah kolaborator

penjajah Belanda, yang sangat penting artinya dalam melihat posisi orang Kristen di

Indonesia di zaman Indonesia merdeka. Tetapi buku Webb ini merupakan karya pertama

yang membahas topik “Kekristenan dan Politik” di Indonesia (Surbakti, 1991: 93-

94).28

Zakaria Ngelow (Ngelow, 1994) memfokuskan penelitiannya pada peran umat Kristen

pada era ketika gerakan nasionalisme bangkit di Indonesia hingga perjuangan Indonesia

berhasil menekan Belanda mengakui kedaulatan Indonesia tahun 1949. Karya yang relatif

baru mengenai pergumulan orang Kristen di Indonesia adalah buku Jan Sihar Aritonang

(Aritonang, 2004) yang secara panjang-lebar mengupas sejarah perjumpaan Kristen dan

Islam di Indonesia dari sejak zaman Portugis (1511) sampai awal-awal masa Reformasi

(2003). Rentang waktu dan periode yang dibahas sudah mengindikasikan bahwa buku ini

merupakan gambaran umum mengenai sejarah perjumpaan, terutama konflik, Kristen-Islam

di Indonesia – walau di sana-sini ada uraian tentang persahabatan. Buku ini tidak

dimaksudkan secara khusus membahas pergumulan politik umat Kristen di Indonesia dalam

periode tertentu. Buku Benjamin Fleming Intan, yang bermula dari disertasi di Boston

College berjudul “Public Religion” and The Pancasila-Based State of Indonesia - An Ethical

and Sociological Analysis(Intan, 2006), menguraikan dengan baik pemikiran empat orang

intelektual Kristen (T.B. Simatupang, Eka Darmaputera, J.B. Banawiratma dan Franz

Magnis-Suseno) dan empat orang intelektual Islam (Nurcholish Madjid, Djohan Effendi,

Abdurrahman Wahid dan Ahmad Wahib), yang sama-sama melihat bahwa Pancasila

28

Surbakti mengatakan: “Until now only one study has been conducted on the Christian role in Indonesian

politics” (Surbakti, 1991: 93-94).

Page 20: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

20

merupakan “Public Religion” di Indonesia, sama seperti agama Kristen yang merupakan

“Public Religion” di Amerika.Disertasi yang sudah dibukukan, yang masih relatif baru ditulis

oleh Poltak Sibarani (2007) di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta berjudul Mengukur

Demokrasi di Indonesia & Partisipasi Kristen, mengulas panjang-lebar perkembangan

pemikiran dan praktik demokrasi sejak zaman Yunani hingga Era Reformasi di Indonesia.

Karya ini tidak bermaksud menganalisis dinamika perpolitikan di Indonesia dalam kaitannya

dengan kehadiran umat Kristen di Indonesia, terutama pada pada Era Reformasi. Osbin

Samosir menulis sebuah disertasi berjudul “Keterwakilan Politik Kristen di DPR RI Pada

Pemilu 2004 dan Pemilu 2009: Studi PDI Perjuangan dan Partai Golkar”, yang dipertahankan

di Universitas Indonesia (2013) membahas seluk-beluk dan trik-trik bagaimana para politisi

Kristen masuk menjadi anggota DPR-RI, khususnya dari Partai Golkar dan PDIP, dua partai

politik pengusung paling besar politisi Kristen di DPR-RI. Penelitian ini membuktikan bahwa

faktor primordialisme dapat dikalahkan oleh faktor “sosok” yakni kedekatan dan hubungan

emosional yang dibangun terus-menerus oleh seorang calon legislatif di daerah pemilihan

masing-masing (Samosir, 2013).

Karya terbaru, yang berasal dari disertasi di Universitas Cambridge, Inggris, yang

membahas topik “Kekristenan dan Politik” di Indonesia, adalah karya Myengko Seo (dosen

ilmu politik di Hankuk University of Foreign Studies, Korea), yang berjudul State

Management of Religion in Indonesia(2013). Karya ini mengupas dinamika perpolitikan

Indonesia yang diwarnai tarik-menarik antara menjadi sebuah negara agama (syariah) seperti

Arab Saudi atau menjadi sebuah negara Islam sekuler seperti Turki. Karya ini mengambil

studi kasusnya Gereja-gereja Kristen Jawa (GKJ) yang berada di tengah-tengah masyarakat

mayoritas Islam, yang pernah mengalami pertumbuhan gereja yang spektakuler dengan

“pertobatan” jutaan kalangan Islam abangan pasca peristiwa G30S (1965). Peristiwa

Page 21: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

21

bersejarah itulah yang merupakan pemicu lahirnya momok “kristenisasi” yang hingga

sekarang mengeruhkan hubungan Islam-Kristen di Indonesia.

Buku-buku yang disebutkan di atas adalah karya-karya akademis yang cemerlang,

tetapi tidak satu pun karya-karya itu yang memfokuskan pembahasan tentang persoalan

politik Kristen di Indonesia khususnya di Era Reformasi ini. Oleh karena itu disertasi ini

merupakan hasil kajian yang masih sangat bersifat “rintisan”, yang mengupas sikap politik

umat Kristen di Indonesia terhadap dinamika politik Indonesia di Era Reformasi, yaitu

wilayah penelitian yang belum pernah secara khusus dibahas secara akademis, apalagi dalam

bentuk disertasi.

F. Landasan Teori

Disertasi ini hendak menganalisis sikap politik umat Kristen di Indonesia terhadap

kebangkitan Islam politik di Indonesia pada Era Reformasi. Kata kunci di sini adalah sikap,

yang dapat dimaknai sebagai respons, reaksi, posisi, dan pendirian, termasuk tindakan dan

gerakan. Untuk menganalisis sikap umat Kristen terhadap dinamika politik berkaitan dengan

kebangkitan Islam politik di Indonesia,ada dua teori yang digunakan dalam karya ini.

Pertama adalah teori yang dirumuskan oleh J. Philip Wogaman, seorang pakar dalam Etika

Kristen di Amerika, yang pernah dipercaya sebagai penasihat rohani oleh Presiden Bill

Clinton. Setelah menguraikan perkembangan pemahaman dan sikap-sikap politik orang

Kristen sepanjang sejarah, dari zaman Gereja mula-mula sampai zaman modern, Wogaman

(Wogaman, 2000: 264-271) menguraikan tujuh level keterlibatan gereja dalam bidang politik.

Level pertama ialah Influence the Ethos. Yang dimaksud dengan ethos adalah nilai-nilai dasar

atau pandangan hidup yang mempengaruhi perilaku manusia dan masyarakat. Tugas dan

panggilan gereja yang pertama, menurut Wogaman, adalah mempengaruhi karakter (etos)

masyarakat atau “roh zaman” (the spirit of the times) yang mendasari lahirnya berbagai

Page 22: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

22

kebijakan publik dalam sebuah negara. Gereja yang menyandang fungsi “suara kenabian”

harus selalu mengkritisi berbagai kebijakan publik yang diambil oleh pemerintah yang

berkuasa bilamana kebijakan itu tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan

kebenaran. Wogaman mengacu peristiwa sejarah tahun 1960-an tentang perjuangan

penghapusan diskriminasi terhadap warga negara kulit hitam, di mana gereja memainkan

fungsinya sebagai kekuatan yang mampu mempengaruhi karakter masyarakat. Pada waktu

itu gereja-gereja di Amerika mengeluarkan pernyataan yang menegaskan kesetaraan manusia

di hadapan Tuhan, tanpa membedakan warna kulit dan ras. Wogaman menjelaskan: “Even

without specific church actions, then, the proclamation of certain values had deep political

effects” (Wogaman, 2000: 265). Sikap dan posisi gereja-gereja di Amerika yang mampu

mempengaruhi karakter masyarakat Amerika yang tadinya sangat segregatif telah mengubah

sejarah Amerika sedemikian rupa ketika Amerika menghapuskan segala bentuk

diskriminasi.29

Level kedua ialah: Educating the Church’s Own Membership about Particular Issues.

Meningkat dari level pertama di atas, Wogaman melihat bahwa tugas politik gereja yang

tidak kurang pentingnya di tengah-tengah masyarakat ialah melakukan pendidikan politik

kepada warga gereja. Wogaman berargumen, bahwa tidak mungkin sikap pertama ditempuh

apabila gereja tidak melakukan upaya pencerahan politik melalui pendidikan politik.

Wogaman mengacu pada kegiatan Dewan Bishop Gereja Katolik di Amerika pada tahun

1980-an yang melakukan rangkaian pendidikan politik gereja dan menghasilkan sebuah

dokumen tentang bahaya “perang nuklir” yang kemudian diadopsi oleh masyarakat

internasional (Wogaman, 2005: 266) sebagai acuan dalam gerakan “anti nuklir”. Gereja harus

29

Peristiwa sejarah lain yang diangkat Wogaman adalah pernyataan gereja-gereja di Jerman yang terkenal

dengan nama “Barmen Declaration of the Confessing Church”, untuk mengkritisi politik Hitler yang sangat fasis

itu. Uraian tentang Deklarasi Barmen dapat juga dibaca dalam Aritonang (2011).

Page 23: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

23

juga melakukan pendidikan politik kepada warganya sehingga warga gereja mengerti hak dan

kewajibannya sebagai bagian dari rakyat yang memegang kedaulatan negara.

Meningkat dari level pertama dan kedua di atas, menurut Wogaman, gereja dapat

melakukan peran politiknya pada level ketiga yaitu:Church Lobbying. Menurut Wogaman,

gereja dan pemimpin gereja dapat melakukan lobi terhadap para pengambil keputusan politik

agar keputusan politik yang dibuat, baik oleh legislatif maupun eksekutif, tidak bertentangan

dengan kepentingan umum. Dalam rangka memberi pengaruh kepada kebijakan publik yang

menjadi kewenangan penguasa resmi negara, gereja dapat melakukan intervensi melalui

pendekatan lobi. Lobi adalah sebuah sarana strategis yang sangat ampuh untuk

mempengaruhi kebijakan publik baik pada level legislatif, maupun eksekutif. Di Amerika

lobi Gereja ke Kongres atau Senator dan Gedung Putih (kantor Presiden) sangat kuat. Jika,

misalnya, muncul sebuah rancangan undang-undang yang kontroversial di tengah masyarakat

(misalnya isu pernikahan homo atau lesbian), maka pihak yang menolak pernikahan kaum

“homo” dan kaum “lesbian” akan melakukan lobi intensif, baik melalui surat, telepon,

maupun pertemuan dengan legislator-legislator dari daerah pemilihan mereka (Wogaman,

2005: 267).30

Tetapi, Wogaman mengingatkan, dalam melakukan lobi ini Gereja atau

pemimpin Gereja harus memiliki kematangan iman, integritas dan moral yang kuat, sehingga

kebal terhadap segala godaan kuasa dan jabatan dunia.

Level yang lebih tinggi lagi yang gereja dan pemimpin gereja dapat lakukan dalam

rangka keterlibatan mereka untuk mempengaruhi kebijakan publik ialah dengan menjalankan

level keempat, yang disebut: Supporting Particular Candidate for Office.Menurut Wogaman,

30

Menurut pengamatan penulis, hampir semua Gereja (Methodist, Lutheran, Presbyterian, Baptis, dan yang lain)

mempunyai “Public Issue Desk” di Washington, DC, yang tugas pokoknya antara lain adalah melakukan lobi

kepada anggota Kongres yang bekerja di Ibu kota USA itu. Setiap isu nasional atau internasional yang perlu

disikapi oleh gereja-gereja di Amerika, maka kantor “Public Issue Desk” tersebutlah yang melakukan kajian dan

lobi-lobi yang diperlukan. Fungsi lobi yang dilakukan oleh lembaga keagamaan seperti itu juga sangat sering

dilakukan di Indonesia, terutama oleh kalangan Islam (NU, Muhammadiyah atau Majelis Ulama Indonesia).

Tentang bagaimana Muhammadiyah melakukan lobi intensif dengan pihak penguasa tentang berbagai isu

nasional (UU Perkawinan, UU Pendidikan Nasional, dan yang lainnya, lihat Syarifuddin Jurdi, dkk. (ed.),2010:

275-285.

Page 24: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

24

di negara-negara demokratis di Barat, prinsip pada level keempat ini jarang dilakukan. Tetapi

secara hukum dan secara teologis tidak ada salahnya dengan keterlibatan gereja seperti itu.

Menurut Wogaman, gereja-gereja etnis31

yang berada di tengah hegemoni warga kulit

putih,dengan mudah dapat dimobilisasi untuk mendukung calon tertentu dalam pemilihan

anggota Kongres atau Senator di Amerika. Dalam kaitan ini dapat ditambahkan (walau tidak

diuraikan oleh Wogaman), bahwa prinsip pemihakan seperti ini lazim dilakukan dalam

negara demokrasi di mana pun di dunia ini. Berbagai contoh dalam sejarah dapat dirujuk

berkenaan dengan level keempat ini. Ketika Afrika Selatan diperintah oleh pemerintahan

apartheid kulit putih yang ditentang oleh Nelson Mandela, maka gereja-gereja di Afrika

Selatan dibawah pimpinan Desmond Tutu, seorang pemimpin gereja yang sangat menonjol di

Afrika Selatan, secara terang-terangan mengambil sikap memihak kepada Nelson Mandela

sebagai pemimpin kulit hitamyang sejak muda berjuang menentang politik apartheid (Tutu,

2004).

Level yang lebih meningkat dari level sebelumnya adalah level kelima:Becoming a

Political Party. Di berbagai negara Eropa kehadiran partai politik adalah hal biasa, seperti di

Jerman, Belanda, Swiss, Norwegia dan lain-lain. Tetapi umumnya partai politik berbasis

Kristen itu tidak langsung dibentuk gereja tertentu, tetapi oleh warga gereja yang terlibat

dalam politik. Level kelima ini secara teologis dan secara yuridis tidak ada alasan menolak

pilihan demikian. Karena gereja adalah bagian integral dari bangsanya, dan setiap kebijakan

publik yang diputuskan negara pasti juga mempunyai dampak terhadap gereja. Tetapi,

demikian Wogaman, jika gereja membentuk partai politik atau gereja menjadi kekuatan

politik, maka gereja akan diperhadapkan pada situasi dilematis. Di satu sisi gereja sebagai

kekuatan politik harus memperjuangkan aspirasi konstituennya, tetapi di sisi lain gereja

terpanggil untuk melayani semua orang tanpa membedakan latar belakang ideologi politik

31

Seperti Gereja Koptik imigran dari Mesir di Amerika, Gereja Ortodoks imigran dari Yunani, dan yang lainnya.

Page 25: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

25

mereka. Level keenam, yang lebih keras dari level-level sebelumnya disebut:Civil

Disobedience. Secara teologis, sikap ini dapat dibenarkan, bahwa dalam situasi krisis gereja

dan umat Kristen dapat melakukan pembangkangan sipil yaitu menentang dan melawan

pemerintah yang berkuasa dan menolak segala undang-undang yang tidak adil itu. Dalam

Perjanjian Baru (Kisah Para Rasul) murid-murid Yesus diperhadapkan dengan kondisi krisis

ketika penguasa (Mahkamah Agama) memutuskan melarang mereka berkotbah dalam Nama

Yesus. Petrus dengan berani dan tegas menolak dan berkata,“Kita harus lebih taat kepada

Allah daripada kepada manusia” (Kis. 5: 29).

Pembangkangan sipil biasanya dilakukan oleh umat Kristen di Amerika, dan negara-

negara lain, ketika negara mengeluarkan produk hukum (seperti undang-undang) yang

dianggap bertentangan dengan konstitusi negara. Dalam konteks seperti inilahMartin Luther

King Jr., seorang pendeta Southern Baptist Convention, di Amerika, melakukan perlawanan

sipil di Amerika tahun 1960-an, ketika Martin Luther King Jr. memimpin demonstrasi besar-

besaran, tanpa kekerasan, menentang undang-undang Amerika yang melakukan diskriminasi

terhadap warga negara kulit hitam. Tetapi gerakan pembangkangan sipil seperti ini bukanlah

gerakan yang biasa,melainkan luar biasa. Wogaman berkata: “The act should be reserved for

unusual circumstances” (Wogaman, 2005: 270).

Level ketujuh: Participating in Revolution. Dalam sebuah negara demokrasi, biasanya

level pertama sampai level keenam itu merupakan tindakan yang sah dan dijamin oleh

undang-undang, tetapi level ketujuh ini tidak mungkin dijadikan sebagai ketentuan dalam

sebuah perundang-undangan. Dalam kondisi khusus yang sangat luar biasa, di berbagai

wilayah di dunia, seperti Afrika Selatan dan Amerika Latin, gereja pernah bergabung dengan

kekuatan revolusi untuk menjatuhkan pemerintahan yang lalim dan diktator (Wogaman,

2005: 271). Tetapi Wogaman mengingatkan, bahwa ambil bagian dalam revolusi untuk

melawan penguasa yang lalim yang tidak mau berubah adalah sah. Namun demikian, pada

Page 26: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

26

waktu yang sama, demikian Wogaman, gereja harus mengingatkan pelaku revolusi, bahwa di

hadapan Allah tidak ada yang dapat mengklaim kebenaran selain Allah sendiri.

Wogaman mengingatkan bahwa ketujuh level ini bermanfaat menolong gereja dan

organisasi keagamaan lain untuk mempertimbangkan berbagai opsi yang dapat dilakukan

dalam rangka keterlibatan gereja dalam politik. Setiap level mempunyai kelemahan dan

kelebihan masing-masing. Penggunaan setiap level keterlibatan gereja dalam politik sangat

tergantung kepada konteks masyarakat itu. Wogaman berkata:

These more or less principles may help religious groups sort out the different possible

levels of political involvement, each with possibilities and limitations appropriate to

different historical circumstances. (Wogaman, 2005: 272).

Khusus dalam konteks Indonesia di Era Reformasi, Bernie Adeney-Risakotta32

membangun sebuah tipologi tentang Five Types of Christian Attitudes to Politics in Indonesia

(Adeney-Risakotta, makalah UGM). Menurut Adeney-Risakotta, terdapat lima sikap umat

Kristen terhadap politik di Indonesia. Pertama, orang Kristen yang berorientasi pada

kekuasaan (Christian oriented to gaining or increasing political power). Orang Kristen di

Indonesia yang termasuk dalam kategori ini melihat bahwa semakin banyak orang Kristen

yang memegang posisi penting dalam kekuasan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam

berbagai level, maka nasib orang Kristen di Indonesia akan semakin kuat dan semakin baik.

Berapa banyak orang Kristen menjadi anggota DPR-RI, berapa orang menteri yang beragama

Kristen dan berapa orang jenderal yang beragama Kristen, adalah pertanyaan-pertanyaan

penting bagi kategori ini. Kekerasan bernuansa agama yang terjadi di Ambon dan Poso di Era

Reformasi ini bersumber pada perebutan kekuasaan politik di daerah tersebut.

Kedua, orang Kristen yang berorientasi pada penguatan kuasa rohani (Christians

oriented to expanding spiritual power). Pada umumnya Kristen yang bersikap seperti itu

32

Adeney-Risakotta adalah tenaga utusan dari Gereja Presbyterian, seorang pakar dalam bidang Etika Politik,

yang sekarang mengajar di Univeristas Kristen Duta Wacana, Jogyakarta; pada waktu yang sama juga menjadi

tenaga pengajar di CRCS-UGM.

Page 27: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

27

adalah mereka yang masih kuat dipengaruhi wawasan teologis berlatar belakang Pietisme,

yang memandang dunia ini sebagai yang “fana” dan tidak berguna, dibandingkan dengan

Kerajaan Allah yang “kekal” yang merupakan tujuan utama orang percaya. Bagi mereka

Kerajaan Allah tidak diperoleh melalui kekuasaan politik, tetapi melalui pertobatan, kelahiran

baru dan keputusan iman untuk mengikut Yesus. Pandangan seperti ini sangat dominan di

kalangan Gereja-gereja Pentakostal dan Karismatik, yang sedang berkembang di seluruh

dunia termasuk di Indonesia. Kalangan ini pada umumnya cenderung apatis terhadap

persoalan-persoalan politik dan lebih banyak mencurahkan perhatian terhadap masalah-

masalah kerohanian dan pekabaran Injil.

Ketiga, Kristen yang berorientasi kepada rasa aman dan status quo (Christians

oriented to protecting the status quo). Mereka ini adalah Kristen yang mengutamakan rasa

aman tanpa mempersoalkan siapa penguasa di mana. Yang penting bagi mereka adalah

kebebasan dan rasa aman beribadah dengan tenang dapat ditegakkan. Umat Kristen dalam

kategori ini umumnya adalah umat Kristen dan gereja-gereja yang lahir dalam lingkungan

mayoritas Islam, seperti di pulau Jawa. Mereka ini lebih menghendaki pemimpin yang kuat

dan keras seperti Soeharto yang dapat menciptakan stabilitas keamanan dan politik.

Umumnya mereka ini memiliki rasa nasionalisme yang tinggi dan pendukung Pancasila yang

militan, karena menurut pandangan mereka hanya Pancasilalah yang dapat memberikan

jaminan terhadap kebebasan beragama.

Keempat, Kristen yang berorientasi kepada peningkatan otonomi daerah (Christians

oriented to enhancing regional autonomy). Sikap dan orientasi Kristen yang mendukung

penguatan politik otonomi daerah pada umumnya ada pada kalangan Kristen dan gereja-

gereja yang lahir di daerah-daerah dan suku-suku tertentu yang dikenal dengan gereja

wilayah atau gereja suku, seperti di Papua, Minahasa, Maluku, Batak dan lain-lain. Identitas

etnis dengan identitas Kristen hampir menyatu dalam gereja suku. Pada saat ini sikap ini

Page 28: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

28

sangat kuat pada gereja-gereja di Papua berjuang untuk penguatan “otonomi khusus” yang

telah diberikan Undang-undang Republik Indonesia.

Kelima adalah Kristen yang mengutamakan kerjasama lintas agama untuk keadilan

(Christian oriented to inter-religious cooperation for justice). Kalangan Kristen yang

menganut tipe ini berjuang untuk membangun dan memperkuat kerjasama lintas agama

terutama dengan elemen Islam sebagai agama terbesar untuk bersama-sama membangun

Indonesia yang majemuk.

G. Metode Penelitian

Studi ini adalah studi sejarah tentang kekristenan dalam hubungannya dengan politik

di Indonesia. Pokok yang dibahas berkaitan dengan agama Kristen dalam perjumpaannya

dengan negara Indonesia, sebuah negara yang berpenduduk Islam terbesar di dunia. Dengan

demikian studi ini membahas relasi agama dan negara secara umum, relasi antar agama,

khususnya antara agama Kristen dengan agama Islam di Indonesia. Sebagai studi tentang

agama dan lintas budaya, maka studi ini sangat bersifat multi-disipliner. Selain merupakan

studi sejarah gereja (kekristenan), yang membahas seluk-belukkehadiran dan pergumulan

politik umat Kristen di Indones, studi ini boleh juga disebut studi sejarah politik di Indonesia,

karena akan membahas peran dan kiprah politik serta pergumulan sekelompok warga negara

Indonesia yang beragama Kristen (Protestan), yang merupakan bagian integral dari bangsa

Indonesia. Sebagai disertasi yang menggunakan pendekatan multi-disipliner, makailmu

politik, ilmu teologi, ilmu hukum dan ilmu-ilmu lainnya digunakan sebagai pisau analisis

dalam studi ini.

Penelitian ini adalah penelitian sejarah kontemporer Indonesia,yang menggunakan

metode penelitian kualitatif,denganmengandalkan sumber-sumber tertulis: dokumen, arsip,

buku, makalah, website dan lain-lain.Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang

Page 29: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

29

sudah dikemukakan di atas, penulis menggunakan sumber-sumber primer dan sekunder

(literatur) yang tersedia di berbagai arsip dan perpustakaan. Sumber-sumber primer yang

mendukung penelitian ini diperoleh dari: Arsip pribadi, arsip PGI, arsip PGLII, arsip TNI dan

lain-lain. Perpustakaan paling banyak digunakan tentulah perpustakaan pribadi yang telah

memiliki koleksi sekitar 4000 judul, mayoritas dalam bidang ilmu-ilmu sosial dan

kemasyarakatan, ilmu teologi, dan sejarah. Kemudahan mengakses dan “belanja” buku-buku

teks yang dimungkinkan oleh dunia maya (internet), seperti “Amazon” dan “Bookfi”, amat

membantu dalam penelitian ini. Beberapa perpustakaan umum juga sangat menolong, seperti

Perpustakaan Freedom Institute, Perpustakaan Sekolah Pasca Sarjana (SPS) Universitas

Gajah Mada, Perpustakaan Columbia University, New York, USA, Perpustakaan Sekolah

Tinggi Teologi Jakarta, perpustakaan STT Cipanas dan lain-lain.Secara khusus perlu dicatat,

dalam rangka studi ini penulis mendapat kesempatan baik untuk “magang” di School of

International and Public Affair (SIPA), Columbia University, New York. Selama lima bulan

(Maret-Juli 2011) penulis berkesempatan menggunakan perpustakaan SIPA, mengikuti

sejumlah seminar, dan melakukan diskusi informal dengan sejumlah pakar ilmu politik,

khususnyaa dengan Prof. Dr. Alfred Stepan, seorang ilmuwan terkenal di Amerika.

Terbitan berkala dari lembaga-lembaga penelitian seperti Wahid Institute, Setara

Institute, Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama RI, CRCS-UGM dan lain-lain, sangat

menolong. Terbitan berupa jurnal lembaga-lembaga di atas sangat kaya dengan informasi

aktual tentang dinamika hubungan agama dan politik di Indonesia pada Era Reformasi ini.

Tetapi juga harus dicatat bahwa pengalaman empiris penulis sebagai salah seorangpimpinan

PGI selama periode 2000-2010 sangat banyak manfaatnya dalam memahami dan

menganalisis pokok bahasan dalam disertasi ini. Bahkan boleh dikatakan bahwa ketertarikan

penulis membahas topik yang hangat ini juga dipengaruhi oleh pengalaman pribadi yang

Page 30: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

30

banyak berkiprah dalam bidang hubungan antara agama (gereja) dengan negara, dan

hubungan lintas agama di Indonesia.

Selain sumber-sumber dalam bentuk literatur dan dokumen-dokumen resmi negara

dan gereja, sumber-sumber penelitian ini diperoleh melalui berbagai wawancara dengan

sejumlah narasumber, yaitu mereka yang merupakan pelaku sejarah berkaitan dengan pokok

penelitian ini. Dari kalangan aktivis Islam diwawancarai Slamet Effendy Yusuf (Ketua PB

NU), Ichwan Syam (Sekjen MUI), Imdadun Rakhmat (Wakil Ketua Komnas HAM), dan

Abdul Mu’ti (Sekjen PP Muhammadiyah). Dari kalangan birokrat yang beragama Islam telah

diwawancarai M. Jusuf Kalla (Wakil Presiden RI), Atho Mudzhar, Letjen (purn.) Agus

Wijoyo, Jimly Asshiddiqie, Ahmad Suaedy, dan lain-lain. Dari kalangan tokoh-tokoh Kristen

telah diwawancarai antara lain Letjen (purn.) Johny Lumintang, yang dalam studi ini

dijadikan salah satu studi kasus, yaitu dalam peristiwa historis yang dikenal dengan

“Pangkostrad 17 jam”. Untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat, beberapa kali

dilakukan wawancara mendalam dengan yang bersangkutan. Juga wawancara mendalam

dengan Jacob Tobing dilakukan untuk memahami bagaimana kiprah politisi senior beragama

Kristen ini dalam melakukan amandemen UUD 1945 di mana Jacob Tobing dipercayakan

sebagai Ketua PAH I. Wawancara mendalam dengan Sabam Sirait, politisi Kristen tiga

zaman (Orde Lama, Orde Baru dan Era Reformasi), juga dilakukan beberapa kali guna

memotret sejauh mana kiprah politik umat Kristen di Indonesia pada sebelum dan selama Era

Reformasi ini. Selain nama-nama yang dicatat tadi, masih ada beberapa orang narasumber

lain, baik yang beragama Kristen maupun Islam, yang telah diwawancarai untuk memperkaya

informasi yang relevan dengan disertasi ini.

Sebagai studi sejarah, disertasi ini bersifat naratif, yang mendeskripsikan secara

analitis-kritis dinamika pergumulan gereja dan umat Kristen di Indonesia di bidang politik

Page 31: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

31

sebagai bagian dari warga negara Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan gerakan dan

kiprah Islam politik yang sangat mewarnai wacana publik di negeri ini selama Era Reformasi.

H. Definisi Kerja (Working Definitions)

Dalam disertasi ini terdapat sejumlah istilah yang memerlukan penjelasan

makna,karena bisa saja sebuah ungkapan mempunyai makna yang berbeda-beda, sesuai

dengan latar belakang dan konteks penggunaan istilah itu. Kata kunci yang perlu

didefinisikan arti dan maknanya adalah: Islam Politik, Umat Kristen dan Gereja, Injili

(Evangelikal), dan Reformasi.

Islam Politik. Islam politik (Islamism)33

bukanlah sebuah organisasi atau lembaga,

melainkan mengacu pada sebuah “ideologi”, yang memperjuangkan pemberlakukan syariat

Islam (prinsip-prinsip Islam) dalam kehidupan masyarakat termasuk negara (Bubalo & Fealy,

2005: xx). Menurut Oliver Roy (1996: 42-43),asal-mula pemikiran dan organisasi Islamis

dewasa ini adalah Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan Al-Banna di Mesir tahun

1928. Kaum Islamis berpendapat bahwa masyarakat hanya bisa diislamkan melalui kegiatan

sosial dan politik. Karena itu gerakan Islamis mengajak para pengikutnya keluar dari masjid

dan terlibat langsung dalam kehidupan politik untuk merebut kekuasaan. Dalam konteks

Indonesia, perjuangan Islam politik (Islamism) mengalami pasang-surut sesuai perkembangan

zaman. Sebagaimana ditunjukkan studi Assyaukanie (2011), pada era kemerdekaan

Indonesia, Masyumi yang didukung oleh NU dan Muhammadiyah menganut ideologi Islam

politik. Mereka berjuang untuk mendirikan negara Indonesia berdasarkan Islam, walau tidak

berhasil. Tetapi seiring dengan perkembangan waktu dan dinamika politik Indonesia, dewasa

ini, baik NU maupun Muhammadiyah secara resmi sudah meninggalkan ideologi Islam

politik, karena kedua organisasi Islam terbesar ini telah menerima Pancasila sebagai dasar

33

Bernhard Platzdasch, pakar ilmu politik dari Australia, menulis disertasi di The Australian National

University, yang telah dibukukan dengan judul Islamism in Indonesia (Platzdasch, 2009).

Page 32: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

32

negara Indonesia yang final. Studi Bernhard Platzdasch (2009) menunjukkan bahwa gerakan

Islam politik yang bangkit di Era Reformasi direpresentasikan oleh partai-partai politik

seperti PPP, PKS, dan PBB. Ketiga partai ini secara terbuka berkampanye untuk menegakkan

syariat Islam di Indonesia. Di samping partai-partai politik tadi, ada juga pada kelompok

Islam politik sejumlah organisasi massa (ormas) Islamseperti HTI, FPI, JI dan banyak lagi.

Ormas-ormas ini berjuang melalui jalur non-parlemen untuk menuntut pemberlakukan syariat

Islam di Indonesia.

Umat Kristen dan Gereja.Dalam karya ini makna “umat Kristen” dan “gereja”

hampir sama, dengan asumsi bahwa semua orang (umat) Kristen adalah sekaligus warga

gereja. Atau dengan perkataan lain, “gereja” adalah lembaga (wadah) di mana orang (umat)

Kristen bersekutu sebagai anggota persekutuan. Di Indonesia umat Kristen terdiri dari dua

bagian besar, yakni Kristen Protestan (biasanya hanya disebut Kristen) dan Kristen

Katolik.34

Umat Kristen yang dimaksud dalam disertasi ini ialah umat Kristen Indonesia dari

rumpun Protestan. Seperti sudah dikemukakan di atas, umat Kristen dari rumpun Katolik

tidak termasuk dalam penelitian ini. Istilah umat Kristen identik dengan warga gereja, dalam

arti semua warga gereja pada waktu yang sama adalah umat Kristen.Kata “gereja” (berasal

dari bahasa Portugis igreja) dalam konteks studi ini tidak mengacu pada pengertian gereja

secara teologis, yang mengandung makna sebagai persekutuan orang percaya dan keluarga

Allah di mana Yesus Kristus adalah “Kepala Gereja” dan orang-orang percaya adalah “tubuh

Kristus”. Secara teologis gereja dipahami sebagai persekutuan orang-orang percaya kepada

Yesus Kristus sebagai Tuhan, yang diyakini sebagai sebuah gereja yang kudus dan “esa”.

Gereja yang “kudus dan am”, seperti terungkap dalam “pengakuan iman” orang Kristen,

34

Sebenarnya di Indonesia terdapat berbagai aliran gereja lain seperti Ortodoks, Adventis, Saksi Jehova,

Mormon, Christian Science dan yang lain. Uraian tentang berbagai aliran di dalam dan di sekitar gereja, lihat

Aritonang (1995).

Page 33: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

33

adalah gereja yang kekal, yang sedang menantikan penggenapan Kerajaan Allah ketika Yesus

datang kedua kalinya.35

Kata gereja dalam konteks studi ini lebih mengarah pada pengertian gereja secara

sosiologis. Secara historis-sosiologis gereja dipahami sebagai lembaga atau organisasi

Kristen yang diikat oleh iman yang sama, dan dipersatukan oleh tradisi-tadisi yang sama.

Dalam sejarahnya ±2000tahun, gereja telah mengalami perpecahan demi perpecahan yang

diakibatkan berbagai faktor, seperti faktor teologis, politis, dan faktor etnis-geografis. Gereja

dalam arti yang demikian mempunyai tugas panggilan untuk memuliakan Tuhan dalam

kebaktian, memberitakan Injil kepada segala makhluk, melayankan sakramen (Baptisan dan

Perjamuan Kudus), membangun persekutuan orang-orang percaya, dan melakukan pelayanan

(diakonia) kepada sesama manusia (Verkuyl, 1958: 263). Secara garis besar, di dunia ini

terdapat beberapa rumpun gereja, antara lain: Gereja Katolik Roma, Gereja Ortodoks, dan

Gereja-gereja beraliran Protestan. Khusus di Indonesia, rumpun gereja yang paling besar

adalah Gereja-gereja Protestan, yang sebagian besar bergabung dalam wadah Persekutuan

Gereja-gereja di Indonesia (PGI).36

Injili (Evangelikal). Umat Kristen (Protestan) di Indonesia pada umumnya

digolongkan atas dua kategori, yaitu Kristen “arus utama” (Ekumenikal) dan Kristen Injili

(Evangelikal). Kristen arus utama (main stream) pada umumnya dilabelkan sebagaigereja-

gereja yang lahir dari pekerjaan misionaris di berbagai daerah sejak abad ke-19, yang

kemudian melahirkan berbagai gereja suku atau gereja wilayah di berbagai daerah atau

wilayah di Indonesia. Gereja-gereja arus utama inilah pendiri PGI pada tahun 1950 sebagai

wadah bersama. Gereja-gereja anggota PGI biasanya dilabeli sebagai kalangan Ekumenikal,

yang wawasan teologisnya lebih terbuka dan lebih inklusif dibandingkan dengan kalangan

Evangelikal, yang relatif lebih eksklusif.

35

Uraian dogamits tentang Gereja, lihat Van Niftrik & Boland (1995: 351-371). 36

Uraian mengenai potret Gereja-gereja di Indonesia dibahas lebih luas pada bab 2.

Page 34: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

34

Kata Injili (Evangelical) adalah sebutan yang dikenakan kepada sekelompok umat

Kristen yang menganut prinsip-prinsip iman berdasarkan kesaksian Alkitab (Perjanjian Lama

dan Perjanjian Baru). Dalam sejarah gereja, kata Injili mula-mula digunakan untuk kalangan

Protestan pada abad ke-16, yang berjuang membaharui (mereformasi) gereja Katolik yang

dianggap sudah menyimpang dari kesaksian Alkitab. Gereja-gereja Reformasi yang

dikeluarkan dari Gereja Katolik Roma saat itu diberi julukan Protestan dan gereja Protestan

yang terpisah dari Gereja Katolik Roma itu kemudian dinamai Evangelische Kirche (Gereja

Injili), misalnyaEvangelische Kirche in Deutschland (EKD) yaitu federasi Gereja-gereja

Protestan di Jerman (Aritonang, 1995: 228). Dari latar belakang inilah kemudian dapat

dipahami mengapa beberapa gereja suku (wilayah) di Indonesia diberi sebuat Injili, seperti

Gereja Masehi Injili Minahasa GMIM), Gereja Masehi Injili Timor (GMIT), Gereja Masehi

Injili Sangir Talaud (GMIST), dan yang lainnya. Tetapi berbicara tentang gerakan atau aliran

Injili pada saat ini, maka konteksnya sudah berbeda dari konteks Injili pada abad ke-16 yang

melahirkan Gereja-gereja Injili di Jerman dan Eropa lainnya tadi. Gerakan dan aliran Injili

yang sekarang berkembang di Indonesia dan di dunia lain, berakar pada konteks kekristenan

di Amerika. Gerakan Injili (Evangelical) muncul di Amerika sejak awal abad ke-20 sebagai

reaksi terhadap arus sekularisasi yang melanda Amerika termasuk gereja dan kekristenan di

Amerika. Billy Graham (lahir tahun 1918) adalah tokoh kalangan Injili di Amerika Serikat,

yang melakukan gerakan kebangunan rohani di seluruh dunia, selama 50 tahun terakhir,

yang pengaruhnya cukup besar di Indonesia.37

Cita-cita dan perjuangan gerejawi kalangan

Injil dewasa ini adalah kembali kepada amanat Alkitab (back to the Bible), dengan agenda:

(1) mengabarkan Injil ke seluruh dunia; (2) Mengakui Alkitab sebagai Firman Tuhan yang

sempurna dan tidak mengandung kesalahan; (3)Yesus Kristus adalah Allah yang menjadi

37

Uraian lebih luas tentang apa dan bagaimana gerakan dan aliran Injili dibahas pada bab 2.

Page 35: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

35

manusia, tidak berdosa, mati di kayu salib tetapi bangkit kembali dan naik ke sorga, dan akan

datang kembali dalam kemuliaan-Nya (Noll, 1993: 381 dst; Aritonang, 1995: 227 dst.).

Reformasi.Dalam karya ini kata Reformasi sangat sering digunakan dalam dua

konteks dan pengertian yang berbeda, baik pengertiannya maupun latar belakang sejarahnya.

Reformasi dalam konteks gereja mengacu pada gerakan “Reformasi” yang dilakukan oleh

Martin Luther di Jerman pada abad ke-16, yang berakibat pada perpecahan Gereja Katolik

Roma dengan lahirnya berbagai denominasi gereja Protestan di Eropa, seperti Gereja

Anglikan (Inggris), Gereja-gereja Lutheran (Jerman), Gereja-gereja Reformed (Belanda) dan

seterusnya. Boleh dikatakan, pada dasarnyasemua Gereja Protestan di dunia ini adalah

produk dari gerakan Reformasi tersebut.38

Tetapi dalam konteks Indonesia kata Reformasi (Era Reformasi), yang sangat sering

dipakai dalam karya ini, mengacu kepada gerakan Reformasi politik yang berlangsung di

Indonesia sejak tahun 1998, yang merupakan awal dari proses demokratisasi yang sedang

menjalani proses transisi hingga sekarang. Adapun agenda reformasi politik yang terjadi di

Indonesia antara lain adalah: (a) Amandemen UUD 1945; (b) Penghapusan dwifungsi TNI/

ABRI; (c) Penghapusan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN); (d) Demokratisasi

perpolitikan Indonesia,serta (e) penguatan otonomi daerah. (Gaffar, 2000; Suryadinata,

1999). Sampai saat ini (2014) sebutan Era Reformasi masih tetap relevan, karena agenda-

agenda yang diusung gerakan reformasi mahasiswa tahun 1998 masih belum terwujud secara

maksimal.

I. Sistematika Penulisan

Bab1 adalah bab Pendahuluan. Bab 2 akan menyajikan tinjauan umum mengenai

umat Kristen di Indonesia. Gereja-gereja atau kekristenan (Protestan) yang seperti apakah

38

Buku yang mengupas sejarah Reformasi Luther tersebut antara lain adalah: Forster (2008); Latourette (1975).

Page 36: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

36

yang datang dan berkembang di Indonesia, dibahas secara historis-kritis. Selain menguraikan

latar belakang terbentuknya gereja-gereja suku di Indonesia, dalam bagian ini diuraikan juga

latar belakang terbentuknya lembaga ekumenis yaitu DGI (kemudian PGI) dan PII (kemudian

PGLII). PGI dan PGLII adalah wadah strategis tempat gereja-gereja anggotanya bersekutu

sambil menggumuli tugas bersama di tengah-tengah masyarakat dan bangsa. Yang paling

penting dalam bab 2 ini adalah gambaran umum tentang sikap politik (political attitude) umat

Kristen di Indonesia yang sebagai produk dari wawasan politik badan-badan zending yang

mengabarkan Injil di Indonesia, yang kemudian mempengaruhi respons dan sikapumat

Kristen dalam bidang politik, baik pada tataran nasional maupun pada tataran lokal.

Bab 3 akan membahas proses lahirnya bangsa Indonesia sebagai negara Pancasila,

yang bukan negara agama dan bukan juga negara sekuler, dan bagaimana Indonesia

kemudian mengalami krisis karena Pancasila dikhianati dengan meletusnya peristiwa G30S

tahun 1965. Bab ini juga menganalisis lahirnya Orde Baru menggantikan Orde Lama dan

membahas bagaimana politik agama dijalankan di Indonesia pada era Orde Baru di bawah

Soeharto yang dikenal sangat otoriter dan militeristik. Kedua topik dalam bab ini perlu

disajikan sebagai latar belakang untuk memahami bangkitnya gerakan Islam politik di

Indonesia di Era Reformasi, yang perupakan pokok kajian disertasi ini.

Bab 4membahaskebangkitan Islam di Indonesia, terutama Islam politik, dan

bagaimana pemerintah mengambil berbagai kebijakan politik menyangkut persoalan agama

di era Reformasi yaitu era transisi dari pemerintahan militeristik menuju sistem demokratisasi

dan keterbukaan, di mana semua warga negara berhak untuk mengekspresikan aspirasi

politiknya secara bebas. Bab ini akan memfokuskan pembahasan terhadap tiga isu pokok,

yaitu politik kebebasan beragama, diskriminasi agama, dan isu syariat Islam di berbagai

daerah. Dalam bab ini juga akan diuraikan bagaimana proses terjadinya radikalisasi Islam di

Indonesia dengan menelusuri akar-akarnya baik di dalam maupun di luar negeri.

Page 37: BAB 1 PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77247/potongan/S3-2014... · 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini membahas sikap

37

Bab 5 akan menganalisis berbagai sikap politik umat Kristen Indonesia pasca Orde

Baru. Dalam melihat sikap dan respons umat Kristen ini, pertama-tama akan dibahas sikap

umum umat Kristen secara nasional, yang dalam hal ini direpresentasikan lembaga atau tokoh

dari kalangan Ekumenikal (PGI) dan dari kalangan Evangelikal (PGLII). Dalam kaitan ini

juga akan dianalisis latar belakang dan keterlibatan partai politik yang menyatakan dirinya

sebagai partai politik berbasis Kristen di Era Reformasi. Partai Damai Sejahtera (PDS) adalah

partai politik yang melakukan mobilisasi umat Kristen terutama dari kalangan Injili, untuk

meraih dukungan suara dalam pemilihan umum 2004.Selain membahas sikap politik umat

Kristen secara nasional, pada bab ini akan dibahas berbagai sikap politik umat Kristen di

beberapa daerah yang berbasis agama Kristen, berikut faktor-faktor yang mempengaruhi

sikap itu. Daerah yang dipilih sebagai studi kasus adalah Papua dan Minahasa yang

mempunyai karakteristik perpolitikan yang khas, di mana keduanya merupakan provinsi

berpenduduk mayoritas Kristen di Indonesia.Bab 6 adalahpenutup, yang berisi rangkuman,

kesimpulandan beberapa saran tentang apa yang harus dilakukan ke depan.