Ringkasan Disertasi

106
1 RINGKASAN DISERTASI RANCANGBANGUN HUKUM DALAM PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR KASUS PULAU MARORE DAN PULAU MIANGAS PROVINSI SULAWESI UTARA DENNY BENJAMIN ALBRECHT KARWUR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

description

Rancangbangun Hukum dalam Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar di Provinsi Sulawesi Utara

Transcript of Ringkasan Disertasi

Page 1: Ringkasan Disertasi

1

RINGKASAN DISERTASI

RANCANGBANGUN HUKUM DALAM PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR KASUS PULAU MARORE DAN PULAU MIANGAS

PROVINSI SULAWESI UTARA

DENNY BENJAMIN ALBRECHT KARWUR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

Page 2: Ringkasan Disertasi

2

Judul Disertasi

Rancangbangun Hukum dalam Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar: Kasus Pulau Marore dan Pulau Miangas, Provinsi Sulawesi Utara

Denny Benjamin Albrecht Karwur

NRP : C261030051

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA (Ketua)

Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS (Anggota)

Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja (Anggota)

Dr. Ir. Victor Ph. Nikiluluw, MSc (Anggota)

Prof. Dr. Maria F. Indrati, SH, MH (Anggota)

Penguji Luar Komisi :

Prof. Dr. Hasjim Djalal, SH., MA

Prof. Dr.Ir. Alex S.W. Retraubun, MSc

Pimpinan Sidang:

Prof.Dr.Ir. Muladno, MSA

Ujian Terbuka pada :

Hari/tanggal : Jumat, 13 Agustus 2010

Pukul : 09.00 sampai selesai

Tempat : Ruang Sidang Lantai VI

IPB Bogor

Page 3: Ringkasan Disertasi

3

ABSTRACT

DENNY BENJAMIN ALBRECHT KARWUR. Law Design in Managing Outermost Small Islands: Case Marore Island and Miangas Island, North Sulawesi Province. Under the supervision DIETRIECH G. BENGEN, ROKHMIN DAHURI, DANIEL R. MONINTJA, VICTOR PH. NIKIJULUW, and MARIA F. INDRATI.

Small islands border region has a tremendous potential in supporting national development. The determination of management policy is very important because of the strategic of border marine resources existence. The islands in the border regions of the country are vulnerable to the intervention of other countries and transnational crimes. The concept of development policy of small islands in Indonesia must be planned and implemented in an integrated manner for the development and welfare of the nation.

The northern regions, i.e. the North Sulawesi Province, that locates next to the Philippines is important for the integrity of the management of small islands and border areas and of law enforcement in Indonesia. Target elements, elements and strategies explain the delimitation of the nation borders between Indonesia and the Philippines, in particular the Exclusive Economic Zone (EEZ) that overlaps each other, to optimize the management of natural resources.

Draft of Law of Small Islands State Border and the provision of local government authority to carry out assistance duty of border management and stating Small Islands in the border regions as state islands and given a special certificate. Keywords: Coastal Law, Delimitation of EEZ of Indonesia, Law Enforcement, Management for Small Island State Border, Defense and security of state border, Conservation, Environmental Preservation and Certificate of State Island

Page 4: Ringkasan Disertasi

4

RINGKASAN

DENNY BENJAMIN ALBRECHT KARWUR, Rancangbangun hukum dan Pelaksanaannya dalam Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar di Provinsi Sulawesi Utara, Dibimbing oleh DIETRIECH G. BENGEN, ROKHMIN DAHURI, DANIEL R. MONINTJA, VICTOR PH. NIKIJULUW, dan MARIA F. INDRATI.

Pulau-pulau kecil wilayah perbatasan memiliki potensi sangat besar

dalam menunjang pembangunan nasional. Penentuan kebijakan pengelolaan merupakan hal yang sangat penting, karena keberadaan (eksistensi) sumberdaya kelautan perbatasan sangat strategis. Pulau-pulau di daerah perbatasan wilayah negara rentan terhadap intervensi negara lain, dan kejahatan transnasional. Konsep kebijakan pembangunan pulau-pulau kecil di Indonesia harus direncanakan dan dilaksanakan secara terpadu untuk pembangunan kesejahteraan bangsa dan negara Indonesia.

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Indonesia bagian utara yang perbatasan dengan negara Filipina, Provinsi Sulawesi Utara. Penelitian ini mengkaji keterpaduan pengelolaan pulau kecil didaerah perbatasan dan penegakan hukum Indonesia dengan perangkat peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan elemen sasaran, elemen dan strategi menunjukkan bahwa penetapan batas negara (delimitasi) khususnya Zona Ekonomi Eksklusif, antara negara Indonesia dan Filipina yang tumpang tindih sehingga mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya alam dapat maksimal.

Rancangbangun hukum dan pelaksanaannya diarahkan pada hubungan diplomatik antar kedua negara dengan pertemuan bilateral menyelesaikan batas wilayah negara, pengakuan wilayah secara bersama dan melaporkan kepada Perserikatab Bangsa-Bangsa dalam bentuk Undang-Undang Perbatasan Negara dan lampiran Peta Batas Negara. Pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah melaksanakan tugas pembantuan pengelolaan wilayah perbatasan. Pulau-Pulau Kecil di perbatasan wilayah negara di tuangkan dalam bentuk Sertifikat Pulau Negara.

Nilai skor faktor eksternal pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara adalah 2.339. Menurut David (2004), nilai skor di bawah 2.5 mengindikasikan bahwa pemanfaatan peluang dan mengatasi ancaman belum efektif. Tingkat kepentingan yang paling atas dari faktor eksternal adalah respon pengawasan perbatasan laut antar negara, yaitu mendapat bobot 0.126. Respon pengawasan yang masih lemah ini perlu diperbaiki dengan penegakan perangkat hukum dan peningkatan kapasitas kelembagaan pada unit kerja pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi, sampai tingkat Nasional.

Pengawasan dan penegakan hukum sangat dibutuhkan agar dapat diperoleh suatu kepastian hukum dalam menjaga kepentingan negara dari gangguan asing. Bidang kelembagaan penegakan hukum pengelolaan pulau-pulau kecil terluar perlu ditingkatkan sehingga terwujud penegakan peraturan perUndang-Undangan, pengawasan, pemantauan, pengamanan, dan pertahanan keamanan baik wilayah maupun sumberdaya.

Faktor eksternal didukung oleh kebijakan pemerintah untuk membentuk kelembagaan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar yang merupakan prioritas kedua dari faktor eksternal yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara dengan bobot 0.121. Dengan kelembagaan yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 diharapkan setiap lembaga yang terkait mampu melakukan koordinasi kelembagaan yang efektif dan mampu memainkan peran

Page 5: Ringkasan Disertasi

5

sesuai kewenangannya. Faktor eksternal lain yang merupakan peluang dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar perbatsan negara antara lain kebijakan nasional mendorong investasi, kebijakan pemerintah dalam pemberian otoritas pengelolaan wilayah, meningkatnya kebutuhan pasar lokal dan internasional terhadap hasil sumberdaya alam, konvensi Internasional terhadap hukum laut Indonesia dan kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara tetangga.

Faktor-faktor lain sebagai peluang dan pendukung bagi peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, adalah peranan langsung aspek hukum dan kelembagaan. Kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara tetangga Filipina mampu mengkoordinasikan permasalahan wilayah perbatasan yang menjadi hak masing-masing negara.

Ancaman dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah belum ada penetapan batas laut yang disepakati bersama (ZEE) dengan bobot 0.113. Hal ini perlu untuk segera diselesaikan dan disepakati dengan upaya-upaya politis dan diplomatis. Namun demikian adanya konflik kepentingan antar stakeholder dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dengan bobot 0.099 dapat menjadi ancaman dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar sehingga sering menimbulkan konflik yang sulit diselesaikan karena tidak jelasnya kewenangan antar lembaga maupun antar pemerintahan pusat dan daerah. Oleh karena itu, diperlukan keterpaduan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar.

Kondisi nyata dari pulau-pulau kecil perbatasan negara, saat ini adalah pemanfaatan sumberdaya alam hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan saat ini dan masih adanya permasalahan di bidang hukum dan kelembagaan. Bukti nyatanya adalah maraknya pencurian ikan di kawasan tersebut dan sampai saat ini diakibatkan belum ada kepastian garis batas laut dan darat antara Indonesia dan Filipina. Pada aspek sosial ekonomi juga belum menunjukkan pertumbuhan, pulau-pulau tersebut masih mengalami keterisolasian dan tingkat kesejahteraan yang rendah. Begitu juga dengan lemahnya sistem pendanaan sehingga pelaksanaan program-program pembangunan belum bisa dilaksanakan secara kontinu.

Komitmen pemerintah mengeluarkan kebijakan membentuk kelembagaan baru dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Berdasarkan Peraturan Presiden No 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar. Dalam pengelolaan perlu kelembagaan yang merupakan wadah koordinasi non struktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kelembagaan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilaksanakan oleh tim koordinasi yang telah dibentuk yang terdiri dari ketua Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) dan wakil ketua I merangkap Anggota Menteri Perikanan dan Kelautan dan Wakil Ketua II merangkap Anggota Menteri Dalam Negeri, sedangkan Sekretaris adalah Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Polhukam. Keanggotaan kelembagaan terdiri dari TNI, kepolisian, badan intelijen dan kementerian yang lain. Keberhasilan pengelolaan pulau-pulau kecil di perbatasan negara adalah pengembangan sebuah mekanisme prosedural untuk mengkoordinasikan kebijakan anggaran dan kebijakan pengelolaan.

Pelaksanaan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara, telah ditetapkan organisasi Badan Nasional Pengelola Perbatasan dalam Peraturan Presiden. Menurut Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). BNPP sesuai Pasal 3, mempunyai tugas : penyusunan dan penetapan rencana induk dan rencana aksi pembangunan Batas Wilayah Negara dan Kawasan

Page 6: Ringkasan Disertasi

6

Perbatasan; pengoordinasian penetapan kebijakan dan pelaksanaan pembangunan, pengelolaan serta pemanfaatan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan; pengelolaan dan fasilitasi penegasan, pemeliharaan dan pengamanan Batas Wilayah Negara; inventarisasi potensi sumber daya dan rekomendasi penetapan zona pengembangan ekonomi, pertahanan, sosial budaya, lingkungan hidup dan zona lainnya di Kawasan Perbatasan; penyusunan program dan kebijakan pembangunan sarana dan prasarana perhubungan dan sarana lainnya di Kawasan Perbatasan; penyusunan anggaran pembangunan dan pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan sesuai dengan skala prioritas; pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan serta evaluasi dan pelapora pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan.

Mekanisme koordinasi dalam pembuatan keputusan mengenai pengelolaan perbatasan negara dan konservasi sumberdaya pulau-pulau kecil perbatasan negara: (1) koordinasi antara pemerintah dan kalangan swasta; (2) koordinasi vertikal antara berbagai tingkatan pemerintah, kabupaten/kota, provinsi dan pusat; dan (3) koordinasi horizontal antara berbagai sektor pada tiap tingkatan pemerintahan.

Kata Kunci : Hukum Pesisir, Delimitasi ZEEI, Penegakan Hukum, Pengelolaan Pulau Kecil Perbatasan Negara, Pertahan dan Keamanan Perbatasan Negara, Sertifikat Pulau Negara.

Page 7: Ringkasan Disertasi

7

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Allah, Yang Maha Esa, karena hanya kemurahan dan bimbinganNya sehingga saya dapat menyelesaikan disertasi sebagai karya ilmiah, dengan judul : Rancangbangun Hukum dan Pelaksanaannya dalam Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar di Provinsi Sulawesi Utara. Pelaksanaan penelitian dilakukan di Pulau Marore Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Pulau Miangas Kabupaten Kepulauan Talaud di Provinsi Sulawesi Utara. Data primer, sekunder dan informasi dari ekspert yang berasal dari berbagai sumber yaitu Pemerintahan, Swasta, Perguruan Tinggi dan pihak terkait lain.

Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada :

1 Prof. Dr. Ir. Dietricht G. Bengen, DEA, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS, Prof.Dr. Ir. Daniel R. Monintja, Dr. Victor Ph. Nikijuluw, MSc, dan Prof.Dr.Maria F. Indrati, SH,MH, selaku Komisi Pembimbing, atas segala bimbingan, arahan selama penulis melakukan penelitian dan penulisan disertasi ini

2 Prof.Dr. Mennofatria Boer, DEA, dan Dr.Ir. Luky Adrianto, M.Sc selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB, semua staf pengajar yang telah memberikan pendidikan dan pengajaran.

3 Dr.Ir. Luky Adrianto, MSc dan Dr. Ir. Achmad Fahrudin, MSi selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup, dan Prof.Dr. Hasjim Djalal, SH, MA dan Prof.Dr.Ir. Alex S.W Retraubun, MSc selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka.

4 Drs. Sinyo H. Sarundajang, Gubernur Sulawesi Utara, Dr. Elly E. Lasut, MM, selalu Bupati Kepulauan Talaud, Drs. Winsulangi Salindeho, selaku Bupati Kepulauan Sangihe yang telah membantu dana, data dan informasi

5 Dirjen Pendidikan Tinggi yang telah memberikan kesempatan dan biaya pendidikan (BPPS) dan Hibah Doktor untuk melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan Strata 3 di Institut Pertanian Bogor

6 Pimpinan Rektor, Dekan Fakultas Hukum dan Staf Universitas Sam Ratulangi 7 Ineke Togas, S.Sos, Istri, dengan penuh kesabaran mendampingi dan

mendorong, dan tercinta anak-anak Arthur L.M. Karwur, SE, MSi dan Fera D. Mait, S.Pi (menantu), Mercy C.B. Karwur, SE dan Audy Opit SE (menantu), Grace M.F. Karwur, SH, MH dan Lucky Tompunu, ST (menantu) serta cucu-cucu Kenneth dan Rogelio, Adik Leenda, adik ipar Drs. Tonny Rasuh, anak-anak Daryl dan Kevyn, kalian semua dengan setia selalu mendorong, mendoakan keberhasilan menyeselesaikan studi.

8 Para nara sumber di Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Kementerian Luar Negeri RI, Kementerian Dalam Negeri RI, Kementerian Sumberdaya Energi dan Mineral RI, Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Utara, Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Sangihe, Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Talaud yang telah membantu data dan informasi

9 Teman-teman angkatan ke-8 dan teman-teman pada Program Studi SPL serta semua mahasiswa asal Sulawesi Utara yang menempuh pendidikan di IPB Bogor

10 Serta semua pihak yang tidak dapat penulis disebutkan satu persatu yang telah membantu mengumpulkan data dan informasi serta membantu menganalisis data

Page 8: Ringkasan Disertasi

8

Penulis menyadari hasil karya disertasi ini perlu masukan demi penyempurnaannya, kiranya karya tulis ini bermanfaat dan memperkaya literatur ilmu pengetahuan khususnya Ilmu Hukum dan Ilmu Pengelolaan Pesisir dan Lautan di Indonesia.

Bogor, Juli 2010

Denny Benjamin Albrecht Karwur

Page 9: Ringkasan Disertasi

9

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tomohon, Sulawesi Utara pada tanggal 28

November 1955 sebagai anak pertama dari ayah John Robert Karwur

(almarhum) dan bunda Dety Neltje Jansje Raintung (almarhumah), menikah

pada tanggal 22 September 1977 dengan Ineke Togas, dan dikaruniai tiga

orang anak yaitu Arthur, Mercy dan Grace.

Pendidikan Strata Satu (S1) di tempuh pada Fakultas Teknik Sipil Unsrat

tahun 1975-1978 (tidak dilanjutkan) kemudian pindah tahun 1980 pada Program

Studi Ilmu Hukum/ Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi,

lulus tahun 1987. Melanjutkan pendidikan Program Pendidikan Strata Dua (S2)

pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pembangunan / Hukum

Lingkungan, Pesisir dan Lautan, Universitas Sam Ratulangi, lulus pada tahun

1998.

Membantu Program UCE/CEPI – Indonesia-Canada tahun 1995-1997

dalam Program Lingkungan Hidup di Manado, selanjutnya sebagai Konsultan

Hukum pada Proyek Pesisir/Mitra Pesisir/ CRMP I-II /USAID, tahun 2003-2005

dengan kegiatan penyusunan Rancangan/Penetapan Peraturan Kampung/Desa

Pesisir dan Peraturan Daerah Kabupate Minahasa / Provinsi Sulawesi Utara

tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Berbasis Masyarakat, dan pada

tahun 2005-2007 membantu Program MCRMP dan COREMAP/DKP, tahun

2005-2007, dalam kegiatan penyusunan Rancangan Undang-Undang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang kemudian ditetapkan

menjadi Undang-Undang No. 27 Tahun 2007, serta membantu di 15 Provinsi

dan 42 Kabupaten Kota dalam penyusunan Rancangan/Penetapan Peraturan

Daerah Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut.

Tahun 2003 diterima untuk melanjutkan Pendidikan Strata Tiga (S3)

pada Program Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian

Bogor, dengan biaya pendidikan dari Kementerian Pendidikan Nasional (BPPS).

Penulis diangkat sebagai Staf Pengajar / Pegawai Negeri Sipil sejak

tahun 1988 sampai saat ini, pada Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi

Manado.

Page 10: Ringkasan Disertasi

10

DAFTAR ISI

ABSTRACT i

RINGKASAN ii

PRAKATA v

RIWAYAT HIDUP vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Umum Penelitian 3

Pendekatan Pemecahan Masalah 4

Kerangka Pemikiran 5

METODE 7

Tempat dan Waktu Penelitian 7

Rancangan Penelitian 7

TAHAPAN PENELITIAN 8

Analisis Data 11

Analytical hierarchy process (AHP) 11

Analisis SWOT 14

Analisis Diagnosa dan Terapi Hukum

(Diagnosis and Therapy Analisys of Law) 15

HASIL DAN PEMBAHASAN 18

Batas Maritim Negara Indonesia –Filipina 18

Hirarki Rancangbangun Hukum Pesisir 19

Kriteria 20

Expert Judgment 20

Hasil Analisis DTAL 21

Harmonisasi 45

Hasil analisis AHP 47

Skenario Strategi Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar 51

Sintesis 55

Sensivitas Analisis 55

Sensivitas Dinamis 56

Hasil Analisis Head to head 56

Rancangbangun Hukum menurut Pemerintah 57

Rancangbangun Hukum menurut Akademisi 58

Page 11: Ringkasan Disertasi

11

Rancangbangun Hukum menurut Strategi Perwilayahan 58

Rancangbangun Hukum menurut Budaya Lokal 58

Rekomendasi Peran bagi Pemerintah Pusat, Provinsi dan

Kabupaten/Kota 59

Kajian Faktor Eksternal dan Internal 61

Faktor Eksternal 61

Faktor Internal 61

Hasil Evaluasi Eksternal dan Internal 64

Evaluasi Faktor Eksternal 64

Evaluasi Faktor Internal 66

Evaluasi Gabungan Faktor Strategis Eksternal dan Internal 69

Hasil Analisis SWOT 70

Strategi Kekuatan – Peluang: (Strengths – Opportunities (S-O) 72

Strategi Kekuatan – Ancaman: Strength – Threats (S-T 74

Strategi Kelemahan – Peluang: Weakness – Opportunities (W-O) 75

Strategi Kelemahan – Ancaman: Weakness – Threats (W-T) 76

KESIMPULAN 77

SARAN 80

DAFTAR PUSTAKA 82

LAMPIRAN 90

Page 12: Ringkasan Disertasi

12

DAFTAR TABEL

1. Daftar ekspert dan instansi responden 10

2. Skala pendapat (nilai dan definisi) 12

3. Nilai konsistensi random 13

4. Penetapan alternatif sasaran rancangbangun hukum

dan pelaksanaannya 13

5. Informasi untuk analisis expert 20

6. Hasil analisis faktor AHP 48

7. Prioritas elemen factor 48

8. Prioritas elemen alternatif strategi 49

9. Analisis skenario 52

10. Alternatif skenario 53

11. Hasil kuesioner responden 54

12. Sosial ekonomi 54

13. Peran Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota 59

14. Matriks Evaluasi Faktor Eksternal 65

15. Matriks Evaluasi Faktor Strategis Internal 67

Page 13: Ringkasan Disertasi

13

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka pemikiran 6

2. Peta Perbatasan Negara Indonesia – Filipina 7

3. Diagram tahapan penelitian 9

4. Analisis SWOT 14

5. Peta lokasi penelitian perbatasan negara Indonesia dan Filipina 18

6. Rancangbangun hukum pulau-pulau kecil terluar 19

7. Rancangbangun hukum dan pelaksanaannya pengelolaan

pulau kecil terluar 46

8. Hasil analisis faktor 48

9. Prioritas elemen alternatif strategi 49

10. Hasil analisis faktor sosial ekonomi 54

11. Sintesis rancangbangun penataan wilayah 55

12. Dinamik sensitif 56

13. Analisis head to head penataan batas wilayah dan pemerintah 57

14. Matriks SWOT 71

Page 14: Ringkasan Disertasi

14

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan

(archipelagic state) yang berciri nusantara mempunyai kedaulatan atas wilayah

serta memiliki hak-hak berdaulat di luar wilayah kedaulatannya untuk dikelola

dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia

sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal

25A mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-

batas secara geografis berada pada posisi silang antara Samudra Pasifik dan

Samudra Hindia dengan panjang pantai 95.181 km2 dan dengan wilayah laut

seluas 5,8 juta km2 serta terdiri dari sekitar 17.480 pulau (Numberi 2009),

beserta semua ekosistem laut tropis produktif yang terurai, dikelilingi oleh pulau-

pulau kecil. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia memiliki

keanekaragaman habitat yang sangat tinggi, memiliki potensi sumberdaya alam

dan jasa-jasa lingkungan kelautan yang sangat besar, yang terdiri atas

sumberdaya alam dapat pulih (renewable resouces), dan sumberdaya alam tidak

dapat pulih (non-renewable resouces). Sumberdaya alam dapat pulih

diantaranya berbagai jenis ikan, terumbu karang, lamun dan mangrove.

Sumberdaya alam tidak dapat pulih meliputi minyak bumi, gas, mineral, bahan

tambang/galian seperti biji besi, pasir, timah, bauksit serta bahan tambang

lainnya; sedangkan jasa lingkungan pulau kecil yang sangat prospektif adalah

kegiatan pariwisata bahari.

Pulau-pulau kecil memiliki potensi sangat besar dalam menunjang

pembangunan nasional sehingga penentuan kebijakan pemanfaatan merupakan

hal yang sangat penting, karena dengan keberadaan pulau-pulau kecil inilah

maka keberadaan (eksistensi) sumberdaya kelautan menjadi strategis. Dengan

demikian, penting untuk dipahami seberapa besar dukungan keberadaan pulau-

pulau kecil terhadap keberlangsungan sumberdaya kelautan secara umum. Oleh

karena itu konsep kebijakan pembangunan pulau-pulau kecil di Indonesia yang

direncanakan, hendaknya berdasarkan azas kelestarian alam dan keberlanjutan

lingkungan yang ada; sehingga pada akhirnya pengembangan berbagai aktivitas

pembangunan secara terpadu di pulau-pulau kecil sebagai wujud pemanfaatan

Page 15: Ringkasan Disertasi

15

sumberdaya alam dan jasa-jasa kelautan, diharapkan dapat menjadi faktor

pendukung pulau-pulau kecil Indonesia secara berkelanjutan (Bengen 2006).

Kegiatan pengelolaan pulau-pulau kecil menghadapi berbagai ancaman

baik dari aspek ekologi yaitu terjadinya penurunan kualitas lingkungan, seperti

pencemaran, perusakan ekosistem dan penangkapan ikan yang berlebihan

(overfishing) maupun dari aspek sosial yaitu rendahnya aksesibilitas dan

kurangnya penerimaan masyarakat lokal. Oleh karena itu, di dalam

mengantisipasi perubahan-perubahan dan ancaman-ancaman tersebut,

pengelolaan pulau-pulau kecil harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu.

Kebijakan dan Strategi Nasional pengelolaan pulau-pulau kecil dapat berfungsi

sebagai referensi nasional (national reference) atau pedoman bagi kegiatan

lintas sektor baik pusat maupun daerah dalam mengembangkan dan

memanfaatkan pulau-pulau kecil, sehingga kebijakan dan strategi hukum

penetapan batas wilayah negara dan pengelolaan pulau-pulau kecil perbatasan,

sangat penting sehingga menyebabkan upaya pengelolaan pulau-pulau kecil

menjadi optimal.

Kegiatan pembangunan pesisir dan laut khususnya pulau-pulau kecil di

daerah perbatasan negara, dinyatakan berkelanjutan, jika kegiatan tersebut

mencapai tiga tujuan pembangunan berkelanjutan, yakni berkelanjutan secara

ekonomis, ekologis, dan sosial politik. Pulau-pulau kecil terluar dalam

pencapaian pembangunan dapat ditinjau dari 5 (lima) aspek yaitu : Sumberdaya

Alam, Sosial Budaya, Sosial Politik, Sosial Ekonomi dan Pertahanan Keamanan,

yang merupakan bagian dari pembangunan berlanjutan.

Pencapaian keterpaduan pengelolaan pulau-pulau kecil harus

mengetahui karakteristik pulau kecil yaitu karakteristik pulau-pulau kecil yang

biogeofisiknya menonjol menurut Bengen dan Retraubun (2006) yaitu :

(1) Terpisah dari habitat atau pulau induk (main land), sehingga bersifat

insuler,

(2) Sumberdaya air tawar yang terbatas, dimana daerah tangkapan airnya

relatif kecil,

(3) Peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat

kegiatan manusia, misalnya badai dan gelombang besar serta

pencemaran,

Page 16: Ringkasan Disertasi

16

(4) Memiliki sejumlah jenis endemik yang bernilai ekologis tinggi,

(5) Area perairan yang lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi

dari daratan utama (benua atau pulau besar). Jika pulau tersebut berada

di batas suatu negara, maka keberadaan pulau tersebut mempunyai nilai

yang sangat strategis untuk penentuan teritorial suatu negara,

(6) Tidak mempunyai hinterland yang jauh dari pantai.

Berdasarkan karakteristik pulau-pulau kecil di atas maka pengelolaan

pulau-pulau kecil terluar, yang merupakan bagian dan tidak terpisahkan dari

pemanfaatan sumber daya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga

perlu dilakukan zonasi oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten kota dalam

wilayah hukum dan administrasi. Penyusunan rencana zonasi harus diserasikan,

diselaraskan dan diseimbangkan dengan rencana tata ruang wilayah.

Perencanaan dilakukan dengan mempertimbangkan :

(1) keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dengan daya dukung

ekosistem, fungsi pemanfaatan dan fungsi perlindungan, dimensi ruang dan

waktu, dimensi teknologi dan sosial budaya, serta fungsi pertahanan dan

keamanan;

(2) keterpaduan pemanfaatan berbagai jenis sumber daya, fungsi, estetika

lingkungan, dan kualitas lahan pesisir; dan

(3) kewajiban untuk mengalokasikan ruang dan akses masyarakat dalam

pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi.

Pencapaian keterpaduan fungsi dari pulau-pulau kecil terluar harus

dituangkan dalam rencana zonasi dalam kurun waktu berlakunya yaitu selama 20

(dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun, dan

dituangkan dalam Peraturan Daerah.

Tujuan Umum Penelitian

Tujuan umum penelitian adalah merancangbangun hukum dan

pelaksanaannya dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan

negara, dengan mempertimbangkan keterpaduan pengelolaan pulau kecil di

wilayah pesisir bagi keberlanjutan pengelolaan sumberdaya, kesejahteraan

masyarakat dan pengakuan wilayah negara Republik Indonesia. Keterpaduan

Page 17: Ringkasan Disertasi

17

mencakup aspek sumberdaya alam, sosial, ekonomi, budaya, hukum dan

kelembagaan. Secara spesifik tujuan penelitian ini adalah:

(1) Mengidentifikasi coastal problems/coastal disease di daerah perbatasan

negara dan menyelesaikan problem yang sudah sejak dahulu dan hingga

saat ini berlangsung terus-menerus antara lain: pencurian ikan oleh nelayan

asing, jalur laut pelintasan kapal asing, perusakan dan pencemaran

lingkungan, perdagangan illegal antar negara, penyelundupan, pelintas

batas masyarakat lokal, termasuk kejahatan transnasional seperti jalur

terorisme, perdagangan senjata, perdagangan ikan di tengah laut, narkotika,

woman traficking dan lainnya

(2) Mengidentifikasi dan upaya penegakan hukum internasional yang telah di

ratifikasi serta hukum nasional di wilayah pesisir dan laut sebagai upaya

strategi dan harmonisasi hukum dalam pengelolaan pulau-pulau kecil di

perbatasan negara,

(3) Merumuskan alternatif kebijakan penetapan kembali batas wilayah negara

(delimitasi) pulau perbatasan sebagai titik dasar (TD), dan titik referensi (TR)

pengukuran dan pemanfaatan sumberdaya di Zona Ekonomi Eksklusif

Indonesia, dalam meningkatan pendapatan negara dan daerah pada sektor

perikanan serta meningkatkan sosial ekonomi untuk kesejahteraan

masyarakat lokal.

(4) Merancangbangun hukum sebagai alternatif kebijakan nasional dan regional

yang sudah berlaku untuk pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil di

perbatasan negara.

Pendekatan Pemecahan Masalah

Karakteristik wilayah pesisir dan laut yang kompleks, terjadi konflik

pemanfaatan pesisir dan pulau-pulau kecil masih terus berlangsung, hal ini dapat

disebabkan karena laju peningkatan penduduk, peningkatan teknologi

mengakibatkan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil semakin rusak dan

berdampak negatif pada keberlanjutan sumberdaya untuk kesejahteraan

masyarakat Indonesia.

Permasalahan di wilayah pesisir sangat kompleks sehingga

menggambarkan keadaan pesisir dalam keadaan “sakit” yang telah berlangsung

terus menerus sejak dahulu hingga saat ini seperti: tindakan penambangan

Page 18: Ringkasan Disertasi

18

terumbu karang, pasir, penanggkapan ikan dengan menggunakan bahan

peledak atau racun, pencemaran lingkungan dengan membuang limbah dari

kegiatan rumah-tangga, pabrik, pelabuhan laut, pertambangan, pemanfaatan

ruang laut untuk reklamasi, kegiatan budidaya perikanan, mutiara, rumput laut,

serta pemanfaatan pulau-pulau kecil untuk pariwisata dan lain-lain, sehingga

kegiatan-kegiatan tersebut berdampak positif akan terjadi penurunan fungsi

lingkungan dan konflik kepentingan antara pemerintah dengan masyarakat,

masyarakat dengan masyarakat, sehinga apabila kegiatan-kegiatan tersebut

yang sudah berlangsung sejak dahulu kala telah menjadi penyakit pesisir

(coastal disease), dimana suatu keadaan dari lingkungan pesisir yang

menyebabkan tidak alamiah, disfungsi atau kesukaran terhadap lingkungan yang

dipengaruhi. Untuk menyembuhkan penyakit perlu kebijakan dan program

bersama pemerintah dan masayrakat. Semua tingkah laku yang bertentangan

dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, moral, hak milik, kekeluargaan,

kerukunan, disiplin, lingkungan hidup, kemanusiaan, adat istiadat dan hukum

formal perlu untuk penanggulangannya secara komperehensif dan dipertangung-

jawabkan secara ilmiah adalah patologi pesisir (coastal pathology).

Secara umum permasalahan yang ada di wilayah pesisir dan pulau-pulau

kecil sudah sangat memperihatinkan sehingga dapat disebut sebagai suatu

penyakit yang kronis karena tingginya kegiatan eksploitasi sumberdaya dan

pemanfaatannya yang berlangsung lama, dan terus menerus dilakukan untuk

berbagai kepentingan pemanfaatan pembangunan yang tidak memperhatikan

keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan, antara lain: sektor perikanan laut,

pertambangan, pemukiman, kepelabuhanan, kepariwisataan dan lain-lain,

sehingga kegiatan yang melampaui daya dukung lingkungan menyebabkan

masalah pesisir (coastal problems) sehinga dapat menjadi penyakit pesisir

(coastal disease) dan perlu perhatian dan penangganan penanggulan (terapi)

secara khusus berdasarkan hasil penelitian (diagnosa).

Kerangka Pemikiran

Indonesia merupakan negara kepulauan yang berbatasan dengan 10

negara di wilayah laut, dengan demikian Indonesia mempunyai peran dalam

politik luar negeri/internasional untuk menentukan persepsi kewilayahan dalam

konteks negara maritim, sehingga kepastian pengelolaan pulau-pulau kecil

terluar, yang adalah batas negara merupakan suatu kajian yang harus segera

Page 19: Ringkasan Disertasi

19

diselesaikan melalui berbagai pertemuan dan pembahasan internasional bilateral

maupun multilateral. Kerangka pemikiran pengelolaan adalah untuk

keberlanjutan sumberdaya, kesejahteraan masyarakat dan kepastian hukum.

Gambar 1 Kerangka pemikiran

Coastal disease / Coastal conflict

1. Batas wilayah negara 2. Hak berdaulat di ZEE & Landas Kontinen 3. Hukum, sosial, ekonomi dan kesejahteraan masyarakat 4. Keterpencilan 5. Kesenjangan ekonomi 6. Transnational crimes , illegal fishing, illegal logging, illegal imigrant, trafficking,

terorims, people smuggling, narcotics, politic problem 7. Sarana dan prasarana terbatas 8. Pemanfaatan sumberdaya belum optimal

9. Pertahanan dan keamanan (security)

Masalah Hukum di Pulau-Pulau Kecil

Terluar (coastal desease)

ANALISIS

PERELEVAN

SIAN

AHP SWOT DTAL

RANCANG

BANGUN

HUKUM

YANG

SUDAH

ADA

(Peraturan

per UU

yang

berlaku)

RANCANG

BANGUN

HUKUM

YANG

RELEVAN

(Peraturan

per UU

yang dicita-

citakan)

KEB

IJAK

AN

TERP

AD

U P

ENG

ELOLA

AN

PU

LAU

PU

LAU

KEC

IL TERLU

AR

DI P

ERB

ATA

SAN

NEG

AR

A

Eksternal Internal

Page 20: Ringkasan Disertasi

20

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian telah dilakukan di Kabupaten Kepulauan Sangihe dan

Kabupaten Kepulauan Talaud di Provinsi Sulawesi Utara. Lokasi yang dipilih

untuk penelitian sangat menarik karena berbatasan langsung dengan negara

Filipina. Waktu penelitian pengambilan data primer telah dilakukan pada bulan

Mei dan Juni, karena keadaan cuaca dan laut di wilayah penelitian sangat

menunjang untuk penelitian, sedangkan pengambilan data sekunder dilakukan

sejak penyusunan usulan penelitian hingga proses pengolahan data.

Rancangan Penelitian

Berpijak dari kerangka pemikiran bahwa pengelolaan pulau-pulau kecil

terluar sangat strategis sehingga penelitan tentang perbatasan negara serta

pengelolaan pulau kecil dikaitkan dengan kebijakan dan penegakan hukum, perlu

diteliti dengan menganalisis potensi dan permasalahannya yang mencakup

aspek sumberdaya alam, sosial, ekonomi, budaya, hukum dan kelembagaan

termasuk pertahanan dan keamanan.

Hasil yang ditemukan dari penelitian yaitu konsep tentang pengelolaan

pulau-pulau kecil di daerah perbatasan negara dan konsep peraturan perundang-

undangan yang khusus mengatur tentang perbatasan negara.

Gambar 1 Peta perbatasan Indonesia – Filipina di Sulawesi Utara

Sumber : Microsoft Encarta 2009

Page 21: Ringkasan Disertasi

21

Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud

ditetapkan sebagai lokasi penelitian setelah memperhatikan aspek-aspek yang

spesifik yaitu:

(1) Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud

merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan negara Filipina.

(2) Dari sekitar 124 pulau yang terdiri atas tiga gugusan kepulauan, maka

terdapat 11 pulau yang posisinya tercatat sebagai pulau-pulau terluar, baik

berpenghuni maupun tidak berpenghuni.

(3) Terdapatnya potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan seperti:

perikanan laut, pertanian tanaman kelapa pala dan cengkih; pariwisata

bahari, sehingga penanganan serta pemanfaatan pulau-pulau kecil terluar

dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, harus segera

diimplementasikan.

(4) Perhatian pemerintah terhadap pulau-pulau kecil terluar harus lebih

ditingkatkan, karena sangat rentan terjadinya permasalahan: perusakan

lingkungan, pencurian ikan, pelintas batas, penyelundupan, dan perdagangan

manusia, pertahanan keamanan.

(5) Kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar belum tersedia secara

lengkap, sehingga penelitian ini dapat menghasilkan konsep formulasi hukum

dan pelaksanaannya serta informasi terkait untuk pengelolaan pulau-pulau

kecil terluar.

TAHAPAN PENELITIAN

Berdasarkan kriteria di atas maka kegiatan penelitian telah dilakukan

dengan tahap persiapan yang mencakup penetapan lokasi, penyusunan

kuesioner, penentuan responden/key person untuk menjawab tujuan penelitian.

Tahap selanjutnya adalah pengumpulan data yang meliputi: data primer dan data

sekunder. Data primer dikumpulkan dari responden/key person dengan

menggunakan kuesioner dan wawancara yang mendalam/indept interview.

Pengumpulan data dilakukan di tiga lokasi, yaitu: Jakarta, Provinsi Sulawesi

Utara, dan Kabupaten Kepulauan Sangihe, Kabupaten Kepulauan Talaud.

Setelah data terkumpul dilakukan pengolahan data dan analisis, kemudian

dilanjutkan dengan penyusunan disertasi sebagai tahap akhir. Tahapan

penelitian pengumpulan data sekunder menggunakan metode partipafory

appraisal dalam bentuk field research. Menurut Babbie (1991), bahwa field

Page 22: Ringkasan Disertasi

22

research merupakan metode penelitian sosial yang menggunakan pengamatan

langsung terhadap status subjek penelitian pada kondisi yang sebenarnya. Field

research rnerupakan gabungan dari pengamatan partisipasi, pengamatan

langsung dan studi kasus, dan secara umum adalah metode penelitian sosial

yang bersifat kualitatif.

Gambar 2 Diagram tahapan penelitian

Teknik untuk melihat hubungan antar stakeholder dari berbagai lembaga

yang dijadikan expert berdasarkan analisis AHP, menggunakan teknik dengan

diagram Venn, yaitu merupakan teknik yang bermanfaat untuk melihat hubungan

masyarakat dengan berbagai lembaga yang terdapat di dalam lingkup penelitian.

Diagram venn memfasilitasi diskusi untuk mengidentifikasi pihak-pihak yang

berkaitan secara langsung maupun tak langsung terhadap permasalahan yang

dihadapi, serta menganalisa dan mengkaji perannya, kepentingannya untuk

masyarakat dan kelembagaan. Lembaga yang dikaji meliputi lembaga-lembaga

lokal, lembaga-lembaga pemerintah, perguruan tinggi dan lembaga-lembaga

swasta termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan orang-orang yang

berpengaruh. Diagram Venn bisa sangat umum atau topikal; mengenai orang

atau lembaga-lembaga tertentu yang menjadi objek informasi (expert), dan

Persiapan

penelitian

Perumusan dan

penyusunan

proposal

penelitian

Pengumpulan

data

Penyusunan

kuesioner

Data Primer

Data Sekunder

Studi

Pustaka

an

Provinsi

Pusat

Kabupaten

Penulisan

Disertasi

Pengolahan dan validasi

data

Analisis

Data

Page 23: Ringkasan Disertasi

23

kegiatannya berhubungan dengan kebijakan nasional, daerah dan hal-hal yang

besifat khusus.

Untuk kebutuhan penelitian diperlukan data primer dan data sekunder.

Data sekunder berupa data akurat (valid) dari instansi terkait dalam penelitian,

berupa data dan informasi yang langsung diperoleh melalui pengamatan

lapangan dan wawancara dengan expert pejabat pemerintah pusat dan

pemerintah daerah termasuk masyarakat di lokasi penelitian. Data dan informasi

diperlukan untuk memperoleh pemikiran key person dan responden sebagai

bahan formulasi kebijakan rancangbangun hukum dan pelaksanaan pengelolaan

pulau-pulau kecil terluar di daerah perbatasan negara. Secara rinci key person

yang dipilih yang memiliki relevansi tugas dan fungsi secara langsung maupun

tidak langsung ditetapkan sebagai responden penelitian adalah yang memiliki

peran strategis tertera pada Tabel 1 berikut ini :

Tabel 1 Daftar ekspert dan instansi responden

No Expert Jabatan Fungsi

1 Kementerian Luar Negeri,

Kasubdit Perjanjian Politik, Keamanan dan Kewilayahan, Ditjen Hukum dan Perjanjian Internasional

Penyelesaian Perbatasan

2 Kementerian Dalam Negeri

Kasubdit Pesisir, Laut, dan Pulau-pulau Kecil Ditjen Bina Bangda (Pembangunan Daerah)

Pengelolaan Wilayah Pesisir Daerah

3 Kementerian Kelautan dan Perikanan

Direktur Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau Kecil

Pengelolaan Wilayah Pesisir & PPK

4 Kementerian Pekerjaan Umum

Kasubdit Pembinaan Pemanfaatan dan Pengendalian Penataan Ruang Direktorat Penataan Ruang Wilayah II

Pembangunan Infrastruktur

5 TNI AL Kasi Hukum Lantamal VIII Manado

Pertahanan Keamanan Negara

6 DPR RI Anggota Dewan Penetapan Kebijakan Nasional

7 DPRD SULUT Wakil Ketua DPRD Sulut Penetapan Kebijakan Daerah

8 Pemerintah RI Diplomat / Ahli Hukum Laut Peran Internasional di PBB

9 Pemerintah Filipina Konsulat Jenderal (Konjen) Filipina, di Manado

Peran Internasional di PBB

Page 24: Ringkasan Disertasi

24

10 Pemerintah Provinsi SULUT

Kabid Pengembangan Wilayah Bappeda Sulut

Pelaksanaan tugas pembantuan

11 Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

Pelaksanaan tugas pembantuan

12 Pemerintah Kabupaten Kepulauan Talaud

Bupati Kepulauan Talaud Pelaksanaan tugas pembantuan

13 Akademisi Dosen UNSRAT/UNPATI Kajian Akademik 14 Investor Ketua HNSI Sulut Pengembangan

Investasi 15 Tokoh

Masyarakat/Adat Ketua Pusat Kajian Komunitas Adat dan Budaya Bahari Yayasan Marin-CRC Manado

Informasi Sejarah dan Adat Istiadat

Tahapan analisis data rancanganbangun hukum dan pelaksanaan

pengelolaan pulau kecil terluar di perbatasan negara disajikan pada Gambar 2.

Analis data dilakukan dengan analisis kondisi awal dan kebijakan yang telah

dilakukan tentang pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara

dengan teknik field research / survey.

Analisis Data

Sebagai bagian untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini maka

dilakukan beberapa metode analisis yaitu :

Analytical hierarchy process (AHP)

Analisis kebijakan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP)

untuk pengambilan keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty.

Metode ini menstrukturkan masalah dalam bentuk hirarki dan memasukkan

pertimbangan-pertimbangan untuk menghasilkan skala prioritas relatif. (Saaty

2003). Analisis kebijakan menggabungkan 5 (lima) prosedur umum yang lazim

dipakai dalam pemecahan permasalah, yaitu perumusan masalah (definisi),

peramalan (prediksi) rekomendasi (preskripsi), pemantauan, dan evaluasi (Dunn

2000). Perumusan masalah menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi

yang menimbulkan masalah kebijakan.

AHP merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan

dengan pendekatan system, Prosedur yang diwajibkan pada penggunaan

metode AHP adalah:

Page 25: Ringkasan Disertasi

25

(1) Perumusan tujuan (sasaran), kriteria dan alternatif yang merupakan unsur-

unsur dari permasalahan yang dikaji,

(2) Penyusunan struktur hirarki,

(3) Penentuan prioritas bagi setiap kriteria dan alternatif dengan bantuan skala

nilai yang memadai, nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk

menentukan peringkat relatif dari seluruh kriteria dan alternatif, dan

(4) Konsistensi logis dengan menggunakan kriteria nilai consistency ratio (CR).

Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty

(1993) seperti dalam tabel skala pendapat sebagai berikut:

Tabel 2 Skala pendapat (nilai dan definisi)

Nilai Definisi

1 Sama penting (equal) 3 Sedikit lebih penting (moderate) 5 Jelas lebih penting (strong) 7 Sangat jelas penting (very strong) 9 Mutlak lebih penting (extreme)

2, 4, 6, 8 Apabila ragu antara dua nilai yang berdekatan

1 / (1 – 9) Kebalikan nilai tingkat kepentingan dari skala 1 – 9

Pembobotan kriteria

Kepentingan relatif dari tiap faktor dari setiap baris dari matrik dapat

dinyatakan sebagai bobot relatif yang dinormalkan (normalized relative)

Rasio Konsistensi AHP menurut Saaty bahwa di tentukan dengan

menggunakan nilai eigen max, dalam indeks konsistensi dari matriks berordo N,

dengan rumus :

CI = 1 -n

n - Maximum

Dimana: CI = Indeks Konsistensi

max = Nilai eigen terbesar dari matriks berordo n

Nilai konsistensi dapat di cek melalui rasio konsistensi (CR) dengan

menggunakan table dibawah ini :

Page 26: Ringkasan Disertasi

26

CR = RI

CI

dimana CI = Indeks Konsistensui

RI = Nilai random

Table 3 Nilai konsistensi random

Matriks 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Konsistensi Random

0 0 0.58 0.9 1.12 1.24 1.32 1.41 1.45 1.49

Pada akhirnya inkonsistensi yang merupakan bagian dari nilai konsistensi

yang di hasilkan tidak dapat melebihi 10%, sehingga hasil yang dihasilkan dapat

di katakan valid, jika nilai inkonsistensi di atas 10% maka kriteria dan

rekomendasi keputusan yang dihasilkan harus di perbaharui kembali.

Tabel 4 Penetapan alternatif sasaran rancang bangun hukum dan pelaksanaannya

No SASARAN ALTERNATIF

1 Pilihan rancang bangun hukum dan pelaksanaannya

1.1 Perundang-undangan 1.1.1 Internasional 1.1.2 Nasional 1.1.3 regional

1.2 Kearifan lokal, adat / tradisional

2 Pilihan pengelolaan pulau-pulau kecil 2.1 Pola konservasi 2.2 Pola adat istiadat 2.3 Pola usaha

3 Pilihan target pengelolaan sumberdaya

3.1 Pasar lokal / nasional 3.2 Swadaya masyarakat 3.3 Investasi 3.4. Swakelola

4 Pilihan kelembagaan 4. 1 Pola konservasi 4.2 Pola pemberdayaan 4.3 Pola kemitraan

5 Pilihan hukum 5.1 Kebijakan nasional 5.2 Kebijakan regional 5.3 Kebijakan sektoral 5.4 Adat

kebiasaan/tradisional

Page 27: Ringkasan Disertasi

27

Analisis SWOT

Analisa SWOT sebagai alat formulasi strategis, Analisa SWOT adalah

identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi. Analisa

ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan

peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan

kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan

keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan,

strategi, dan kebijakan pemerintah dalam bidang hukum. Dengan demikian

perencana strategis (strategic planner) harus menganalisa faktor-faktor strategis

pemerintah (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang

ada saat ini. Hal ini disebut dengan Analisis Situasi. Model yang paling populer

untuk analisis situasi adalah Analisis SWOT (Rangkuti, 1997).

Gambar 3 Analisis SWOT

Kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah dalam menentukan strategi

kebijakan pulau-pulau kecil terluar di wilayah perbatasan Negara, berdasarkan

analisa SWOT, dapat mengambil keputusan penentuan Strategi Wilayah Negara

di Zona Ekonomi Eksklusif, khususnya antara negara Indonesia dan Filipina.

(1) Kuadran pertama merupakan kondisi yang paling baik, dimana

pemerintah memiliki banyak peluang dan kekuatan, dan strategi yang

paling sesuai adalah Strategi Pertumbuhan (Growth Oriented Strategy)

atau Strategi Agresif (Agresif Strategy)

(2) Kuadran kedua merupakan kondisi dimana pemerintah memiliki cukup

kekuatan, akan tetapi kondisi lingkungan kurang menguntungkan karena

Page 28: Ringkasan Disertasi

28

banyaknya ancaman, sehingga strategi yang sesuai adalah Stragegi

Divesifikasi (Diversification Strategy)

(3) Kuadran ketiga merupakan kondisi dimana pemerintah memiliki cukup

peluang, akan tetapi tidak didukung kekuatan sehingga strategi yang

digunakan adalah Strategi Mengubah Haluan (Turn Around Strategy)

(4) Kuadran keempat merupakan kondisi yang paling tidak menguntungkan

dimana pemerintah memiliki banyak kelemahan dan ancaman sehingga

strategi yang sesuai adalah Strategi Bertahan (Defense Strategy)

Analisis Diagnosa dan Terapi Hukum (Diagnosis and Therapy Analisys of

Law)

Permasalahan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil berpotensi

terjadinya disharmoni hukum pengelolaan, dicerminkan oleh adanya faktor-faktor

sebagai berikut:

(1) Jumlah peraturan perundang-undangan yang begitu banyak yang berlaku

untuk pengelolaan wilayah pesisir.

(2) Keberadaan hukum adat yang semakin termarjinalkan dalam pengelolaan

wilayah pesisir.

(3) Pluralisme dalam penerapan dan penegakan hukum di bidang

pengelolaan wilayah pesisir.

(4) Perbedaan kepentingan dan perbedaan penafsiran dari para stakeholders

sumber daya alam wilayah pesisir.

(5) Kesenjangan antara pemahaman teknis dan pemahaman hukum tentang

pengelolaan pesisir.

(6) Kendala hukum yang dihadapi dalam penerapan peraturan perundang-

undangan, yang terdiri atas mekanisme pengaturan, administrasi

pengaturan, antisipasi terhadap perubahan, dan penegakan hukum.

(7) Hambatan hukum yang dihadapi dalam penerapan peraturan perundang-

undangan, yaitu yang berupa tumpang tindih kewenangan dan benturan

kepentingan.

(8) Penerapan peraturan perundang-undangan dapat menimbulkan empat

kemungkinan dampak terhadap stakeholders, yaitu: diffused cost -

diffused benefit, diffused cost - concentrated benefit, concentrated cost -

diffused benefit, dan concentrated cost - concentrated benefit.

Page 29: Ringkasan Disertasi

29

Berdasarkan disharmonisasi hukum maka permasalahan hukum

dilakukan dengan menggunakan analisis: Diagnosis and Therapy Analisys of

Law (DTAL), secara kualitatif terhadap peraturan perundang-undangan

nasional, regional dan adat (tradisonal) termasuk hukum internasional yang

diratifikasi.

Permasalahan di pulau-pulau kecil dijabarkan sebagai penyakit pesisir, di

diagnosa untuk mencari akar permasalahannya, kemudian dianalisis dengan

pendekatan sosio-yuridis, kemudian hasil yang diperoleh dilakukan terapi

sebagai upaya penanggulangan dan mengharmonisaikan pemberlakuan

peraturan.

Data hukum yang diperoleh dalam penelitian dianalisis dengan DTAL

melalui pendekatan-pendekatan, yaitu:

(1) Pendekatan historis (historical approach),

(2) Pendekatan undang-undang (statue approach),

(3) Pendekatan kasus (case approach),

(4) Pendekatan komparatif (comparative approach) dan

(5) Pendekatan konseptual (conceptual approach).

Analisis Pendekatan hukum meliputi:

(1) Pendekatan historis, (historical approach), dilakukan dengan menelaah latar

belakang apa yang dipelajari dan perkembangan mengenai isu yang dihadapi

dan relevan dengan masa kini

(2) Pendekatan Undang-Undang (statue approach) dilakukan dengan menelaah

semua undang-undang dan regulasi bersangkut-paut dengan isu hukum yang

sedang ditangani. Dengan Pendekatan undang-undang akan membuka

kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan

kesesuaian antara undang-undang dan UUD atau antara regulasi dan UU.

Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu

yang dihadapi

(3) Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan cara melakukan telaah

terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah

menjadi keputusan yang tetap apakah di pengadilan atau di luar pengadilan.

Kasus ini baik yang terjadi di Indonesia atau di negara lain. Di dalam

pendekatan kasus, beberapa kasus ditelaah untuk referensi bagi suatu isu

hukum. Studi kasus (case study) merupakan yang terjadi dari berbagai aspek

Page 30: Ringkasan Disertasi

30

hukum seperti hukum internasional, hukum pidana, hukum perdata, hukum

administrasi, hukum lingkungan dan hukum tata negara

(4) Pendekatan komparatif, (comparative approach), dilakukan dengan

membandingkan undang-undang suatu negara dengan undang-undang

negara lain. Disamping undang-undang yang dapat diperbandingkan adalah

putusan pengadilan dan perjanjian-perjanjian negara bertetangga. Kegunaan

pendekatan ini adalah untuk memperoleh persamaan dan perbedaan di

antara undang-undang tersebut

(5) Pendekatan konseptual, (conceptual approach), dilakukan beranjak dari

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu

hukum. Dengan mempelajari pandangan dan doktrin, maka peneliti akan

menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-

konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang

dihadapi. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin

tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu

argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi. (Marzuki 2005).

Mekanisme dalam mengharmonisasikan peraturan perundang-undangan

dengan pendekatan historis, undang-undang, kasus, komparatif dan konseptual

maka pertama-tama perlu diperjelas apa yang dimaksud dengan “peraturan

perundang-undangan” yang dikenal dalam cabang ilmu hukum yang bernama

“Hukum Tata Pengaturan” (Regelingsrecht; Regelungsrecht), di luar “peraturan

perundang-undangan” (wettelijke regels), ada lagi jenis peraturan lain yang

disebut “peraturan kebijakan” (beleidsregels; pseudo wetgeving). Peraturan

perundang-undangan adalah suatu keputusan dari suatu lembaga negara atau

lembaga pemerintahan yang dibentuk berdasarkan atribusian dan delegasian.

Atribusi kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ialah

pemberian kewenangan membentuk peraturan perundangan-undang oleh

Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang kepada lembaga

negara/pemerintah. Kewenangan tersebut melekat terus-menerus dan dapat

dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan, sesuai dengan

batas-batas yang diberikan.

Page 31: Ringkasan Disertasi

31

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pulau-pulau kecil terluar di Indonesia ditinjau dari aspek pengelolaan

sumberdaya alam sangat kompleks keberadaannya, terutama apabila

dihubungkan dengan kegiatan pengembangan pembangunan pulau-pulau kecil

terluar di perbatasan negara. Potensi-potensi yang dimiliki oleh pulau-pulau kecil

terluar sangatlah baik, unik, sehingga apabila tidak mengikuti prosedur

pengelolaan dan tidak dilindungi, maka sangat berpotensi terjadinya degradasi

lingkungan dan konflik antar masyarakat, kabupaten/kota, provinsi dan bahkan

antar negara.

Penatataguna dan kelola penyusunan suatu pola rancangbangun hukum

dan pelaksanaan pulau-pulau kecil terluar di wilayah Indonesia menjadi fokus

dalam penelitian ini, yaitu penelitian yang dilakukan di wilayah perbatasan

Negara Indonesia bagian utara, yang secara geografis berbatasan langsung

antara Negara Indonesia dan Negara Filipina, di Provinsi Sulawesi Utara,

Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud.

Gambar 4 Peta Lokasi penelitian perbatasan negara Indonesia dan Filipina

Batas Maritim Negara Indonesia -Filipina

Batas maritim Indonesia – Filipina sampai saat ini belum ditetapkan,

pertemuan-pertemuan bilateral yang melibatkan kedua negara dalam rangka

batas maritim masih terus dilakukan, dengan agenda-agenda yang resmi untuk

mecapai kesepakatan bersama. Kedudukan geografis negara Indonesia dan

Filipina masih bermasalah, sehingga perjanjian perbatasan yang harus di buat

Page 32: Ringkasan Disertasi

32

adalah Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen. Hal ini

disebabkan jarak pulau terluar kedua negara lebih dari 24 mil laut. Pada

umumnya batas maritim antara Indonesia dan Filipina hampir seluruhnya terletak

di Laut Sulawesi dan hanya sebagian terletak di Laut Mindanao dan Laut Maluku

Utara. Panjang garis batas landas kontinen maupun garis batas Zona Ekonomi

Eksklusif Indonesia - Filipina di Laut Sulawesi lebih kurang 510 mil laut, dan luas

Zona Ekonomi Eksklusifnya sekitar 81.980 mil laut persegi. Jarak terlebar antara

pantai yang berhadapan sekitar 315 mil laut dan jarak terpendek 39 mil laut

antara Pulau Marore di Indonesia dan Pulau Sarangani di Filipina.

Hirarki Rancangbangun Hukum Pesisir

Dalam Analytical Hierarchy Process (AHP), hirarki Rancangbangun

Hukum Pesisir yang sudah di susun (gambar ) menjelaskan bahwa terdapat 3

level di dalamnya, yaitu Level 1 adalah representative dari tujuan penelitian yaitu

untuk merancang suatu produk Hukum Pesisir pulau-pulau terluar Indonesia, dan

level 2 adalah menunjukan faktor-faktor yang diperlukan dalam merancang

produk hukum pesisir dimana faktor tersebut adalah : sumber daya alam, sosial

ekonomi, pendanaan, hukum dan kelembagaan. Dalam faktor-faktor tersebut

terdapat pula sub-sub factor. Sedangkan level 3 adalah menununjukan beberapa

alternativ rancangbangun Hukum Pesisir menurut prespetif tiap-tiap bidang

pendukung yakni pemerintah, akademisi, perwilayahan, batas wilayah dan

budaya. Seperti pada Gambar 5

Rancang Bangun Hukum

Pulau-Pulau Kecil Terluar

Sumber Daya

Alam

Sosial

Ekonomi

Rancang Bangun

Hukum

Menurut

Akademisi

Rancang Bangun

Hukum

MenurutPenataan Batas

Wilayah Negara

Rancang Bangun

Hukum

MenurutStrategi Perwilayaan

Rancang Bangun

Hukum

Menurut

Pemerintah

Rancang Bangun

Hukum

Menurut

Budaya Lokal

Pendanaan Hukum

@Perikanan

@Perkebunan

@Pendidikan

@Transportasi

@Adat-Istiadat

@Pemasaran

@APBN

@APBD

@LOAN/GRANT

@Nasional

@International

Kelembagaan

@Nasional

@Daerahl

Gambar 5 Rancangbangun hukum pulau-pulau kecil terluar

Page 33: Ringkasan Disertasi

33

Kriteria

Berdasarkan hirarki yang sudah tersusun, kriteria yang ada di ukur

dengan membandingkan dari sisi mana yang merupakan prioritas utama dalam

menunjang tujuan (goal) yang di tetapkan, sebagai contoh perbandingan antara

level 2 yaitu factor-faktor seperti sumber daya alam, social ekonomi, pendanaan,

kelembagaan dan hukum. Untuk menunjang pembuatan rancangabangun hukum

pesisir, dibandingkan manakah yang lebih penting, apakah faktor sumber daya

alam - sosial ekonomi, atau sosial ekonomi - hukum, atau hukum - pendanaan,

atau kelembagaan - pendanaan, dan seterusnya berdasarkan faktor dan sub

faktor hirarki.

Expert Judgment

Berdasarkan informasi-informasi di atas dan tujuan dari penelitian ini

diperlukan langkah-langkah akurat untuk mencapai tujuan akhir hasil penelitian.

Kriteria/faktor dan alternativ tersebut, akan saling bergantung satu sama lain

untuk mencapai tujuan (goal).

Penilaian untuk Expert dapat di identifikasikan melalui pengisian matriks

dengan angka-angka sebagaimana dalam teori AHP yang ada (1-10),

berdasarkan hasil dari interview atau kuisioner yang sudah dijalankan bagi para

expert (1)Kementerian Luar Negeri, (2)Kementerian Dalam Negeri

(3)Kementerian Kelautan dan Perikanan, (4)Kementerian Pekerjaan Umum,

(5)TNI AL, (6)DPR-RI, (7)DPRD SULUT, (8)Pemerintah RI, (9)Pemerintah

Filipina, (10)Pemerintah Provinsi SULUT, (11)Pemerintah Kepulauan Sangihe,

(12)Pemerintah Kabupaten Kepulauan Talaud, [13)Akademisi, (14)Investor,

(15)Tokoh Masyarakat/Adat, seperti dalam Tabel 5

Tabel 5 Informasi untuk analisis expert

No EXPERT FUNGSI 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri Kementerian Kelautan dan Perikanan Kementerian Pekerjaan Umum, TNI AL, DPR RI, DPRD SULUT, Pemerintah RI, Pemerintah Filipina, Pemerintah Provinsi SULUT, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Talaud, Akademisi, Investor, Tokoh Masyarakat/Adat

Penyelesaian Perbatasan Pengelolaan Wilayah Pesisir Daerah Pengelolaan Wilayah Pesisir & PPK Pembangunan Infrastruktur Pertahanan Keamanan Negara Penetapan Kebijakan Nasional Penetapan Kebijakan Daerah Peran Internasional di PBB Peran Internasional di PBB Pelaksanaan tugas pembantuan Pelaksanaan tugas pembantuan Pelaksanaan tugas pembantuan Kajian Akademik Pengembangan Investasi Informasi Sejarah dan Adat Istiadat

Page 34: Ringkasan Disertasi

34

Hasil analisis Diagnosa dan Terapi Hukum

Dalam merancangbangun hukum dan pelaksanaanya di pulau-pulau

terluar perlu menganalisis dengan peraturan perUndang-Undangan dan

kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia berdasrkan

permasalahan yang terjadi di wilayah tersebut. Undang-Undang Nomor 17 Tahun

1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982 dan Undang-Undang Nomor 43 Tahun

2008 tentang Wilayah Negara, merupakan landasan hukum untuk melakukan

rancangbangun hukum di perbatasan negara.

Nilai dasar dan landasan konstitusional dalam kehidupan bermasyarakat

berbangsa dan bernegara serta kebijakan pembangunan nasional mengacu

kepada Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dalam UUD 1945 tersebut

dijabarkan dalam pasal demi pasal. Indonesia sebagai Negara kepulauan yang

bercirikan nusantara dinyatakan secara eksplisit dalam Pasal 25A (UUD 1945

hasil amandemen) merupakan landasan sekaligus acuan pemikiran dalam

pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Demikian pula dengan Pasal 33 yang

secara eksplisit mengamanatkan bahwa sumber kekayaan alam yang dimiliki

pulau-pulau terluar harus dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi

kemakmuran rakyat. Oleh karena itu pengelolaan pulau-pulau kecil terluar harus

menjamin bahwa

Dalam Pasal 25a Undang-Undang Dasar 1945 (hasil amandemen)

disebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah Negara

kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-

haknya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hal ini semakin mengukuhkan

eksistensi Negara Indonesia sebagai Negara maritim yang terdiri dari beberapa

pulau besar dan kecil yang tersebar di garis khatulistiwa.

Pengaturan tentang wilayah negara seperti yang tertian dalam Bab IXA,

Pasal 25A yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara

kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-

haknya ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 25A, telah diimplementasikan

dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008, dimana dalam undang undang

tersebut disebutkan bahwa wilayah negara adalah salah satu unsur negara yang

merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan

kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta

Page 35: Ringkasan Disertasi

35

ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di

dalamnya.

Dengan demikian maka pengaturan wilayah negara mempunyai tujuan

tertentu, dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 Pasal 3

menyebutkan bahwa Pengaturan Wilayah Negara bertujuan:

(1) menjamin keutuhan Wilayah Negara, kedaulatan negara, dan ketertiban di

Kawasan Perbatasan demi kepentingan kesejahteraan segenap bangsa;

(2) menegakkan kedaulatan dan hak-hak berdaulat; dan

(3) mengatur pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah Negara dan Kawasan

Perbatasan, termasuk pengawasan batas-batasnya.

Secara jelas dan tegas disebutkan dalam angka (1) dan angka (2), bahwa

perlunya ketertiban di kawasan perbatasan dan pengelolaan pemanfaatan

wilayah negara dan kawasan perbatasan termasuk batas-batasnya untuk

kepentingan kesejahteraan masyarakat, seperti yang diamanatkan dalam UUD

1945 Pasal 33 Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat.

Pengelolaan sumberdaya di pulau-pulau kecil terluar di perbatasan

negara merupakan bagian dari kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa

Indonesia yang harus di kelola dan dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat,

dimana pemanfaatannya harus juga mempertimbangkan akan keberlanjutan dari

sumberdaya.

Dalam hal landas kontinen Indonesia, termasuk depresi-depresi yang

terdapat di landas Kontinen Indonesia, berbatasan dengan negara lain,

penetapan garis batas landas kontinen dengan negara lain dapat dilakukan

dengan cara mengadakan perundingan untuk mencapai suatu persetujuan.

Landas Kontinen Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1973. Dalam ketentuan umum, Pasal 1 huruf a sampai huruf c bahwa Landas

Kontinen Indonesia adalah dasar laut dan tanah di bawahnya di luar perairan

wilayah Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4

Prp. Tahun 1960 sampai kedalaman 200 meter atau lebih, dimana masih

mungkin diselenggarakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam. Selanjutnya

kekayaan alam adalah mineral dan sumber yang tak bernyawa lainnya di dasar

Page 36: Ringkasan Disertasi

36

laut dan/atau di dalam lapisan tanah di bawahnya bersama-sama dengan

organisme hidup yang termasuk dalam jenis sedinter yaitu organisme yang pada

masa perkembangannya tidak bergerak baik diatas maupun dibawah dasar laut

atau tak dapat bergerak kecuali dengan cara selalu menempel pada dasar laut

atau lapisan tanah di bawahnya. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi adalah

usaha-usaha pemanfaatan kekayaan alam dilandas kontinen.

Dengan demikian maka pengelolaan sumberdaya pulau-pulau kecil

terluar di perbatasan negara termasuk yang diatur dalam Undang-Undang

Landas Kontinen, dalam Pasal 3 disebutkan bahwa, dalam hal landas kontinen

Indonesia, termasuk depresi-depresi yang terdapat di landas Kontinen Indonesia,

termasuk berbatasan dengan negara lain, dimana penetapan garis batas landas

kontinen dengan negara lain dapat dan sudah dilakukan dengan cara

mengadakan perundingan untuk mencapai suatu persetujuan, maka pengelolaan

dapat dilakukan untuk kepentingan negara.

Hak berdaulat Indonesia dalam zona ekonomi eksklusif yaitu Hak

berdaulat Indonesia yang dimaksud oleh undang-undang ini tidak sama atau

tidak dapat disamakan dengan kedaulatan penuh yang dimiliki dan dilaksanakan

oleh Indonesia atas laut wilayah, perairan Nusantara dan perairan pedalaman

Indonesia. Berdasarkan hal tersebut diatas maka sanksi-sanksi yang diancam di

Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia berbeda dengan sanksi-sanksi yang diancam

di perairan yang berada dibawah kedaulatan Republik Indonesia tersebut.

Hak-hak lain berdasarkan hukum internasional adalah hak Republik

Indonesia untuk melaksanakan penegakan hukum dan hot pursuit terhadap

kapal-kapal asing yang melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan

peraturan perundang-undangan Indonesia mengenai zona ekonomi eksklusif.

Kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional adalah kewajiban Republik

Indonesia untuk menghormati hak-hak negara lain, misalnya kebebasan

pelayaran dan penerbangan (freedom of navigation and overflight) dan

kebebasan pemasangan kabel-kabel dan pipa-pipa bawah laut (freedom of the

laying of submarine cables and pipelines).

Bahwa sepanjang menyangkut sumber daya alam hayati dan non hayati

di dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di dalam batas-batas Zona

Ekonomi Eksklusif Indonesia hak berdaulat Indonesia dilaksanakan dan diatur

Page 37: Ringkasan Disertasi

37

berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia yang berlaku di bidang

landas kontinen serta persetujuan- persetujuan internasional tentang landas

kontinen yang menentukan batas-batas landas kontinen antara Indonesia

dengan negara-negara tetangga yang pantainya saling berhadapan atau saling

berdampingan dengan Indonesia.

Dengan adanya sifat-sifat dalam melaksanakan pengelolaan dan

konservasi sumber daya alam hayati, Pemerintah Republik Indonesia

menetapkan tingkat pemanfaatan baik di sebagian atau keseluruhan daerah di

Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Dimana dalam rangka konservasi sumber

daya alam hayati, Indonesia berkewajiban untuk menjamin batas panen lestari

(maximum sustainable yield) sumber daya alam hayatinya di Zona Ekonomi

Eksklusif Indonesia. Dengan memperhatikan batas panen lestari tersebut,

Indonesia berkewajiban pula menetapkan jumlah tangkapan sumber daya alam

hayati yang diperbolehkan (allowable catch). Dalam hal usaha perikanan

Indonesia belum dapat sepenuhnya memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan

yang diperbolehkan tersebut, maka selisih antara jumlah tangkapan yang

diperbolehkan dan jumlah kemampuan tangkap (capacity to harvest).

Di samping itu Indonesia mempunyai yurisdiksi eksklusif atas pulau-pulau

buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan tersebut termasuk yurisdiksi

yang berkaitan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang

bea cukai, fiskal, kesehatan, keselamatan dan imigrasi. Demikian juga Indonesia

mempunyai yurisdiksi eksklusif tetapi pulau-pulau buatan, instalasi dan

bangunan-bangunan tersebut tidak memiliki status sebagai pulau dalam arti

wilayah negara dan oleh karena itu tidak memiliki laut teritorial sendiri dan

kehadirannya tidaklah mempengaruhi batas laut teritorial, Zona Ekonomi

Eksklusif Indonesia atau Landas Kontinen Indonesia.

Selanjutnya sebagai konsekuensi hukum atas diratifikasinya Konvensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982 dengan Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention

on The Law of the Sea 1982 menempatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia

memiliki hak untuk melakukan pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan

sumber daya ikan di zona ekonomi eksklusif Indonesia dan laut lepas yang

dilaksanakan berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku.

Page 38: Ringkasan Disertasi

38

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 Tentang Perikanan sudah tidak

dapat mengantisipasi perkembangan pembangunan perikanan, telah di ganti

dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 (dan perubahannya) menjadi

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan di bidang perikanan

telah terjadi perubahan yang sangat besar, baik yang berkaitan dengan

ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian lingkungan sumber daya ikan,

maupun perkembangan metode pengelolaan perikanan yang semakin efektif,

efisien, dan modern, sehingga pengelolaan perikanan perlu dilakukan secara

berhati-hati dengan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan,

pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang

berkelanjutan. Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya ikan

secara optimal dan berkelanjutan perlu ditingkatkan peranan pengawas

perikanan dan peran serta masyarakat dalam upaya pengawasan di bidang

perikanan secara berdaya guna dan berhasil guna.

Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat

penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara

terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan perikanan, sehingga

pembangunan perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan. Oleh karena itu,

adanya kepastian hukum merupakan suatu kondisi yang mutlak diperlukan.

Undang-Undang ini lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap

penegakan hukum atas tindak pidana di bidang perikanan, yang mencakup

penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan

demikian perlu diatur secara khusus mengenai kewenangan penyidik, penuntut

umum, dan hakim dalam menangani tindak pidana di bidang perikanan.

Dalam kurun waktu dua dekade terakhir ini terjadi penurunan yang tajam

sediaan sumber daya ikan sehingga perikanan berada dalam kondisi kritis. Pada

tahun 1994 penurunan sediaan jenis ikan yang memiliki nilai komersial tinggi,

khususnya sediaan jenis ikan yang beruaya terbatas (straddling fish stocks) dan

jenis ikan yang beruaya jauh (highly migratory fish stocks), telah menimbulkan

keprihatian dunia. Jenis ikan yang beruaya terbatas merupakan jenis ikan yang

beruaya antara Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) suatu negara dan ZEE negara lain

sehingga pengelolaannya melintasi batas yurisdiksi beberapa negara.

Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya

dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua

Page 39: Ringkasan Disertasi

39

urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan

dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan

daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan

pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan

rakyat.

Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu

berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu

memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.

Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus di daerah otonom untuk

menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus dan

untuk kepentingan nasional/berskala nasional, misalnya dalam bentuk kawasan

cagar budaya, taman nasional, pengembangan industri strategis, pengembangan

teknologi tinggi seperti pengembangan tenaga nuklir, peluncuran peluru kendali,

pengembangan prasarana komunikasi, telekomunikasi, transportasi, pelabuhan

dan daerah Peraturan Daerahgangan bebas, pangkalan militer, serta wilayah

eksploitasi, konservasi bahan galian strategis, penelitian dan pengembangan

sumber daya nasional, laboratorium sosial, lembaga pemasyarakatan spesifik.

Pemerintah wajib mengikutsertakan pemerintah daerah dalam pembentukan

kawasan khusus tersebut.

Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintahan yang bersifat

concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dapat

dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan pemerintah daerah. Dengan

demikian setiap urusan pemerintahan yang bersifat concurrent senantiasa ada

urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, ada urusan pemerintahan yang

diserahkan kepada Provinsi, dan ada urusan yang diserahkan kepada

Kabupaten/Kota. Tugas pembantuan pada dasarnya merupakan keikutsertaan

Daerah atau Desa termasuk masyarakatnya atas penugasan atau kuasa dari

Pemerintah atau pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah di

bidang tertentu.

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang rentan mengalami kerusakan

akibat aktivitas orang dalam memanfaatkan sumber dayanya atau akibat

bencana alam. Selain itu, akumulasi dari berbagai kegiatan eksploitasi yang

bersifat parsial/sektoral di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil atau dampak

kegiatan lain di hulu wilayah pesisir yang didukung peraturan perUndang-

Page 40: Ringkasan Disertasi

40

Undangan yang ada sering menimbulkan kerusakan Sumber Daya Pesisir dan

Pulau-Pulau Kecil.

Peraturan perundang-undangan yang ada lebih berorientasi pada

eksploitasi Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tanpa memperhatikan

kelestarian sumber daya. Sementara itu, kesadaran nilai strategis dari

pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, terpadu,

dan berbasis masyarakat relatif kurang. Kurang dihargainya hak masyarakat

adat/lokal dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil seperti

sasi, mane’e, panglima laot, awig-awig, terbatasnya ruang untuk partisipasi

masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

menunjukkan bahwa prinsip pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu

belum terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan

daerah. Sistem pengelolaan pesisir tersebut belum mampu mengeliminasi faktor-

faktor penyebab kerusakan dan belum memberi kesempatan kepada sumber

daya hayati untuk dapat pulih kembali secara alami atau sumber daya nonhayati

disubstitusi dengan sumber daya lain.

Keunikan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang rentan

berkembangnya konflik dan terbatasnya akses pemanfaatan bagi masyarakat

pesisir dan pulau-pulau kecil, perlu dikelola secara baik agar dampak aktivitas

manusia dapat dikendalikan dan sebagian wilayah pesisir dapat dipertahankan

untuk konservasi. Masyarakat perlu didorong untuk mengelola wilayah pesisirnya

dengan baik dan yang telah berhasil perlu diberi insentif, tetapi yang merusak

perlu diberi sanksi. Norma-norma Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil tersebut disusun dalam lingkup perencanaan, pemanfaatan, pengelolaan,

pengendalian, dan pengawasan, dengan memperhatikan norma-norma yang

diatur dalam peraturan perUndang-Undangan lainnya

Negara berkepentingan untuk ikut mengatur pengelolaan dan

pemanfaatan di laut bebas dan dasar laut internasional sesuai dengan hukum

internasional. Pemanfaatan di laut bebas dan di dasar laut meliputi pengelolaan

kekayaan alam, perlindungan lingkungan laut dan keselamatan navigasi.

Pengelolaan Wilayah Negara dilakukan dengan pendekatan kesejahteraan,

keamanan dan kelestarian lingkungan secara bersama-sama. Pendekatan

kesejahteraan dalam arti upaya-upaya pengelolaan Wilayah Negara hendaknya

memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan

masyarakat yang tinggal di Kawasan Perbatasan. Pendekatan keamanan dalam

Page 41: Ringkasan Disertasi

41

arti pengelolaan Wilayah Negara untuk menjamin keutuhan wilayah dan

kedaulatan negara serta perlindungan segenap bangsa, sedangkan pendekatan

kelestarian lingkungan dalam arti pembangunan Kawasan Perbatasan yang

memperhatikan aspek kelestarian lingkungan yang merupakan wujud dari

pembangunan yang berkelanjutan. Peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah

menjadi sangat penting terkait dengan pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan

sesuai dengan prinsip otonomi daerah dalam mengelola pembangunan Kawasan

Perbatasan.

Dalam rangka menjaga keutuhan wilayah Negara, serta meningkatkan

kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan, perlu dilakukan pengelolaan

pulau-pulau kecil terluar dengan memperhatikan keterpaduan pembangunan di

bidang social, ekonomi, budaya, hukum, sumber daya manusia, pertahanan dan

keamanan; pulau-pulau kecil terluar Indonesia memiliki nilai strategis sebagai

Titik Dasar dari Garis Pangkal Kepulauan Indonesia dalam penetapan wilayah

Perairan Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, dan Landas Kontinen

Indonesia;

Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah rangkaian kegiatan yang

dilakukan secara terpadu untuk memanfaatkan dan mengembangkan potensi

sumber daya pulau-pulau kecil terluar dari wilayah Republik Indonesia untuk

menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pulau Kecil Terluar

adalah pulau dengan luas areal kurang atau sama dengan 2000 km2 (dua ribu

kilomenter persegi) yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang

menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum

internasional dan nasional.

Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilakukan dengan tujuan:

(1) menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, keamanan

nasional, pertahanan negara dan bangsa serta menciptakan stabilitas

kawasan;

(2) memanfaatkan sumberdaya alam dalam rangka pembangunan yang

berkelanjutan;

(3) memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan.

Prinsip pengelolaan pulau-pulau kecil terluar: a. Wawasan Nusantara; b.

berkelanjutan; c. berbasis masyarakat.

Page 42: Ringkasan Disertasi

42

Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar mengacu pada Rencana Tata

Ruang Wilayah. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilakukan secara terpadu

antara Pemerintah, dan Pemerintah Daerah, meliputi bidang-bidang: a.

sumberdaya alam dan lingkungan hidup; b. infrastruktur dan perhubungan; c.

pembinaan wilayah; d. pertahanan dan keamanan; e. ekonomi, sosial, dan

budaya

Sasaran pembangunan pulau-pulau kecil antara lain :

(1) Terarahnya pengembangan kebijakan operasional pengelolaan pulau-pulau

kecil di daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.

(2) Terwujudnya mekanisme pengelolaan pulau-pulau kecil, baik yang dilakukan

oleh Pemerintah, masyarakat, maupun dunia usaha dengan menempatkan

masyarakat sebagai pelaku utama dengan tetap memperhatikan kaidah-

kaidah kelestarian lingkungan.

(3) Tertatanya perencanaan dan implementasi kegiatan pengelolaan pulau-

pulau kecil yang sedang berjalan dan yang masih dalam tahap perencanaan

sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable

development).

Mekanisme pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil diatur sebagai

berikut:

(1) Pengelolaan pulau-pulau kecil sepenuhnya dilakukan oleh Pemerintah

Daerah Kabupaten/Kota bekerja sama dengan masyarakat dan dunia

usaha sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.

(2) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat melakukan inventarisasi dan

penamaan untuk pulau-pulau kecil yang belum mempunyai nama dengan

tetap memperhatikan penamaan pulau yang telah digunakan masyarakat,

dan sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.

(3) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota menyusun

rencana strategis dan rencana permintakatan (zonasi) untuk pengelolaan

pulau-pulau kecil di wilayahnya.

(4) Dalam perencanaan pengelolaan pulau-pulau tersebut, para pihak yang

berkepentingan harus menyusun rencana pengelolaan pulau-pulau kecil

dan membuat mintakat (zona) sesuai dengan tujuan pemanfaatannya.

Page 43: Ringkasan Disertasi

43

(5) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat memberikan izin pengelolaan

pulau-pulau kecil dan wilayah perairannya kepada pihak ketiga sesuai

dengan hukum adat dan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.

(6) Khusus untuk pengelolaan pulau kecil oleh pihak ketiga dari luar negeri,

sebelum izin dikeluarkan, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota terlebih

dahulu mengkonsultasikannya kepada Pemerintah.

(7) Pihak ketiga yang akan melakukan pengelolaan wajib menyusun rencana

investasi dan rencana aksi yang sejalan dengan rencana strategis

pembangunan daerah (Propeda) secara transparan yang akan dinilai oleh

Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/kota.

(8) Pihak ketiga dari luar negeri yang akan melakukan pengelolaan perlu

menyusun rencana investasi dan rencana aksi yang sejalan dengan

rencana strategis pembangunan daerah (Propeda) secara transparan yang

dinilai oleh Pemerintah.

(9) Pihak ketiga bersama Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota

diwajibkan melakukan dialog awal dengan masyarakat untuk mendapatkan

kesepakatan ide pengelolaan. Setelah mendapatkan kesepakatan, maka

dilakukan perencanaan pengelolaan pulau-pulau kecil dengan melibatkan

masyarakat setempat.

(10) Sebagai tindak lanjut pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil, pihak

ketiga harus melakukan Studi Amdal, termasuk Rencana Pemantauan

Lingkungan (RPL) dan Rencana

(11) Pengelolaan Lingkungan (RKL) untuk kegiatan-kegiatan yang diperkirakan

akan menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan.

(12) Dalam pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil, pihak ketiga disarankan

dapat memanfaatkan potensi energi yang tersedia sebagai sumber energi

baru yaitu angin, pasut, gelombang, Ocean Thermal Energy Conversion

(OTEC), dan tenaga surya.

(13) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota menetapkan

pulau-pulau kecil yang akan dipergunakan sebagai tempat usaha industri

strategis sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.

(14) Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota bila diperlukan, dapat

menunjuk lembaga/dinas teknis yang membidangi kelautan dan perikanan

sebagai instansi di daerah yang bertanggung jawab dalam perencanaan,

Page 44: Ringkasan Disertasi

44

pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan pengelolaan pulau-pulau

kecil dengan luas kurang atau sama dengan 2.000 km2.

(15) Masyarakat berperan serta dalam pengawasan pengelolaan pulau-pulau

kecil sejak dari tahap perencanaan sampai pelaksanaan.

(16) Dalam rangka pengendalian pengelolaan pulau-pulau kecil baik yang

sedang dan akan berjalan, Pemerintah Daerah Provinsi dan

Kabupaten/Kota wajib memberikan laporan secara berkala kepada Menteri

Kelautan dan Perikanan.

(17) Apabila pengelolaan pulau tersebut akan dikerjasamakan dengan pihak

ketiga, harus ada jaminan pengelolaan dan asuransi lingkungan

(environmental insurance) kepada Pemerintah.

(18) Dalam hal pengelolaan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh pihak ketiga,

yang aktivitas fisiknya dapat mengorbankan/menghilangkan fungsi dan

nilai-nilai ekosistem bioma penyangga setempat, maka Pemerintah,

Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota mempunyai hak untuk

mencairkan jaminan pengelolaan pulau-pulau kecil secara langsung tanpa

persetujuan dari pihak ketiga.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif

Indonesia, sebagai produk hukum nasional yang melanjutkan dan mengembangkan

isi dari pada Pengumuman Pemerintah 21 Maret 1980 tentang Zona Ekonomi

Eksklusif. Kajian terhadap Undang-Undang ini hanya membahas pasal-pasal yang

penting yang terkait dengan penelitian serta relevan dengan rancangbangun hukum.

Rumusan Zona Ekonomi Eksklusif sebagaimana tertuang dalam Pasal 2

berbunyi:

“Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan

dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan

Undang-Undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi

dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluas 200

(dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia".

Rumusan Zona Ekonomi Esklusif ini menyatakan bahwa suatu jalur laut

yang berada di luar laut wilayah yang meliputi antara dasar laut dan air di atasnya

dengan batas terluar 200 mii laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.

Sedangkan yang berhubungan dengara dasar laut dan tanah di bawahnya,

Page 45: Ringkasan Disertasi

45

termasuk hak-hak berdaulat dan hak-hak lain serta yurisdiksi dan kewajiban-

kewajiban Indonesia (Pasal 4 ayat 2) dilakukan menurut peraturan perUndang-

Undangan landas Kontinen Indonesia, persetujuan-persetujuan antara Republik

Indonesia dengan negara-negara tetangga dan ketentuanketentuan hukurn

internasional yang berlaku. Hal yang penting lainnya adalah ketentuan yang

menyangkut penetapan garis batas Zona Ekonomi Eksklusif dengan negara

tetangga, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 ayat (1 ) yang berbunyi:

"Apabila Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tumpang tindih dengan Zona

Ekonomi Eksklusif negara-negara yang pantainya saling berhadapan atau

berdampingan dengan Indonesia, maka batas Zona Ekonomi Eksklusif

antara Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara

Republik Indonesia dengan negara yang bersangkutan".

Rumusan tentang batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang tumpang

tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif negara-negara yang pantainya saling

berhadapan atau berdampingan akan ditetapkan melalui suatu persetujuan, dan

untuk kasus Indonesia dan Filipina sampai saat ini masih terus dilakukan pertemuan

bilateral.

Konvensi Hukum Laut 1982 yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia

dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985 mengatur berbagai cara untuk

menyelesaikan masalah-masalah seperti Penetapan Batas Zona Ekonomi

Eksklusif antar negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan

berdasarkan Pasal 74 Konvensi yang menetapkan sebagai berikut :

(1) Penetapan batas zona ekonomi eksklusif antara negara yang pantainya

berhadapan atau berdampingan harus diadakan dengan persetujuan atas

dasar hukum internasional, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 38 Statuta

Mahkamah Internasional, untuk mencapai suatu pemecahan yang adil.

(2) Apabila tidak dapat dicapai persetujuan dalam jangka waktu yang pantas,

negara-negara yang bersangkutan harus menggunakan prosedur

penyelesaian sengketa yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 17

Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of

the Sea, pada Bab XV.

(3) Sambil menunggu suatu persetujuan sebagaimana ditentukan dalam

Bab XV Bagian 1, Bagian 2 dan Bagian 3, Pasal 279 sampai dengan Pasal

Page 46: Ringkasan Disertasi

46

299, negara-negara yang bersangkutan, dengan semangat saling

pengertian dan kerjasama, harus melakukan setiap usaha untuk

mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan, selama masa

peralihan ini, tidak membahayakan atau menghalangi dicapainya suatu

persetujuan akhir. Pengaturan demikian tidak boleh merugikan bagi

tercapainya penetapan akhir mengenai perbatasan.

(4) Dalam hal adanya suatu persetujuan yang berlaku antara negara-negara

yang bersangkutan, maka masalah yang bertalian dengan penetapan batas

zona ekonomi eksklusif harus ditetapkan sesuai dengan ketentuan

persetujuan itu.

Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif ini penting sekali artinya

untuk menentukan batas-batas kelautan sebagai akibat dari klaim negara-

negara pantai, seperti halnya klaim atas ZEE yang beberapa dasawarsa

terakhir ini menjadi bahan perbincangan luas di kalangan masyarakat

internasional.

Suatu perkembangan bagi Indonesia, bahwa dengan mengacu pada

Pasal 74 dan Pasal 83 Konvensi Hukum Laut 1982, Pemerintah Indonesia dan

Pemerintah Australia pada tanggal 14 Maret 1997 telah berhasil menandatangani

suatu Perjanjian tentang "Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif dan Batas-

batas Dasar Laut Tertentu". Dengan telah ditandatanganinya perjanjian batas ZEE

antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia, maka bagi Indonesia hal ini

merupakan suatu kemajuan di bidang hukum laut. Karena dengan demikian makin

berkurang batas-batas ZEE Indonesia yang tumpang tindih dengan negara-negara

tetangga yang belum terselesaikan.

Dalam upaya untuk menyelesaikan masalah-masalah batas ZEE yang

tumpang tindih yang belum terselesaikan, maka sudah sepatutnya untuk dipikirkan

mengenai garis batas ZEE yang tumpang tindih seperti antara Indonesia (di

Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi

Sulawesi Utara) dan Filipina (di kepulauan Mindanao bagian Selatan).

Adapun yang menentukan tumpang tindihnya garis batas ZEE ke dua

negara tersebut adalah karena jarak antara pulau-pulau terluar yang ada di wilayah

Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud dengan pulau-

pulau terluar di Filipina Selatan adalah sebagai berikut :

Page 47: Ringkasan Disertasi

47

"Antara Pulau Marore (Sangihe) dengan Pulau Balut (Filipina), jaraknya

adalah 35 mil laut; antara Pulau Kawio (Talaud) dengan Pulau Balut

(Filipina), jaraknya adalah 37 mil laut; dan antara Pulau Miangas (Talaud)

dengan San Agustin (Filipina), jaraknya adalah 50 mil laut".

ZEE mempunyai arti yang penting dalam rejim hukum laut yang baru ini.

Pentingnya ZEE ini dapat dilihat dari perhitungan-perhitungan berikut: Zona yang

lebarnya 200 mil laut itu akan meliputi kira-kira 13 juta mil laut persegi dari luas

daratan bumi dan mencakup lebih 80% dari persediaan ikan dunia dan 90%

sumber-sumber minyak lepas pantai. Pembentukan ZEE merupakan jawaban atas

keprihatinan dunia tentang ancaman bagi menipisnya sumber kekayaan alam yang

ada di darat. Potensi ekonomi dari sumber kekayaan alam hayati yang terdapat

pada ZEE ini nampaknya merupakan suatu alasan baik bagi negara pantai untuk

menetapkan ZEE ini sebagai Zona yang mempunyai arti bagi kepentingan semua

Negara. Peranan yang sangat penting dari ZEE ini sangat erat kaitannya dengan

pemanfaatan sumber-sumber kekayaan alam hayati di ZEE. Negara pantai

mempunyai kewajiban untuk menggalakkan tujuan pemanfaatan sumber kekayaan

hayati secara optimal di ZEE dengan memperhatikan tentang konservasi sumber

daya alam yang terdapat di ZEE tersebut.

Ketentuan Pasal 56 ayat (1) Konvensi dinyatakan bahwa negara pantai

menjalankan hak berdaulat di ZEE untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi,

konservasi dan pengelolahan sumber kekayaan alam. Hak berdaulat ini dinyatakan

sebagai hak eksklusif negara pantai, dalam arti bahwa apabila negara pantai tidak

mengeksplorasi ZEE atau mengeksplorasi sumber kekayaan alamnya, maka tiada

seorangpun dapat melakukan kegiatan itu tanpa persetujuan negara pantai yang

bersengketa. Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi masalah dalam hal

eksplorasi dan eksploitasi serta untuk menghilangkan potensi perselisihan antara

negara-negara terutama yang menyangkut penetapan garis batas ZEE, maka perlu

mendapat perhatian yang serius untuk penyelesaiannya.

Berdasarkan Pasal 55 Konvensi, ZEE berada di bawah rejim hukum

khusus. Rejim hukum ZEE berbeda dengan rejim laut teritorial dan rejim laut

lepas. ZEE merupakan zona yang memiliki kesamaan ciri dari kedua rejim

tersebut, namun tidak termasuk pada salah satu diantaranya. Secara horizontal

batas ZEE dapat dilihat sebagai berikut; batas bagian dalam ZEE adalah batas

Page 48: Ringkasan Disertasi

48

luar laut territorial, sedangkan batas terluar ZEE adalah tidak boleh melebihi

jarak sejauh 200 mil laut.

Selanjutnya di bagian luar ZEE adalah laut lepas, yang menurut Pasal 86

Konvensi, laut lepas berlaku bagi semua bagian dari laut yang tidak termasuk

dalam Zona Ekonomi Eksklusif, dalam laut teritorial atau dalam perairan

pedalaman suatu negara dan atau dalam perairan kepulauan suatu negara

kepulauan. Dalam hal ZEE antara negara yang pantainya berhadapan atau

berdampingan, maka penetapan garis batas ZEE tersebut harus dilakukan

melalui suatu perjanjian atas dasar hukum internasional untuk mencapai suatu

pemecahan yang adil. Dalam penetapan batas ZEE tersebut negara negara yang

bersangkutan wajib membuat peta dengan skala yang memadai untuk

menentukan posisinya dimana perlu. Daftar titik-titik koordinat-koordinat

geografis, yang merinci datum geodetik, dapat menggantikan garis batas terluar

atas garis-garis penetapan batas tersebut. Negara pantai harus mengumumkan

sebagaimana mestinya peta atau daftar koordinat geografis dan harus

mendepositkan satu copy setiap peta atau daftar demikian pada Sekretaris

Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa.

Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi

Eksklusif Indonesia, adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah

Indonesia sebagaimana yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang yang

berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya

dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis

pangkal laut wilayah Indonesia.

Demikian juga menurut ketentuan Pasal 1 Keputusan Presiden Filipina

Nomor 1599 Tahun 1978 tentang ZEE Filipina, menyebutkan "The economic

exclusive zone shall extend to a distance of two hundred nautical miles beyond

and from the baselines from which the territorial sea is measured.

Sedangkan pengertian Zona Ekonomi Ekslusif menurut Pasal 55

Konvensi Hukum Laut 1982 menyebutkan bahwa :

"Zona Ekonomi Ekslusif adalah suatu daerah di luar dan berdampingan

dengan laut teritorial yang tunduk pada rejim hukum khusus yang

ditetapkan dalam Bab ini berdasarkan mana hak-hak dan yuridiksi Negara

Page 49: Ringkasan Disertasi

49

pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan Negara lain, diatur oleh

ketentuan-ketentuan yang relevan dan Konvensi ini".

Menurut Pasal 57 Konvensi Hukum Laut tahun 1982, lebar ZEE ditetapkan

sebagai berikut:

"Zona Ekonomi Ekslusif tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis

pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur".

Dari rumusan Pasal 55 dan Pasal 57 tersebut di atas dapat diketahui

dengan jelas bahwa yang dimaksud dengan ZEE adalah suatu daerah laut yang

berdampingan atau berbatasan dengan laut teritorial suatu negara pantai,

dengan lebar ZEE sejauh 200 mil laut yang dihitung dari garis pangkal, dari

mana negara pantai mengukur lebar laut teritorialnya.

Dengan ditetapkannya pula lebar laut teritorial negara pantai sejauh 12

mil laut maka dengan demikian lebar ZEE sebenarnya adalah 200 mil laut

dikurangi lebar laut teritorial 12 mil laut sehingga menjadi 188 mil laut.

Hak dan kewajiban Negara pantai di ZEE, sesuai konvensi yaitu Negara

pantai mempunyai hak-hak dan kewajiban kewajiban seperti yang telah

ditetapkan dalam Pasal 56 ayat (1) Konvensi, yaitu bahwa dalam Zona Ekonomi

Ekslusif Negara pantai mempunyai :

"(a) Hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi,

konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati

maupun non hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut

dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk

keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut, seperti

produksi energi dari air, arus dan angin."

Di samping dari hak-hak berdaulat tersebut Negara pantai mempunyai

yurisdiksi yang berhubungan dengan:

"(b) (i) pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan

bangunan, (ii) riset ilmiah kelautan; dan (iii) perlindungan dan

pelestarian lingkungan laut"

Page 50: Ringkasan Disertasi

50

Dalam Pasal 58 dijelaskan bahwa disamping melaksanakan hak-hak,

negara pantai juga harus melaksanakan kewajiban-kewajiban untuk

memperhatikan kepentingan-kepentingan negara lain berkenaan dengan hak-

hak untuk melakukan kebebasan pelayaran, kebebasan penerbangan dan

kebebasan untuk memasang kabel dan pipa di bawah laut, serta penggunaan

laut lainnya berdasarkan ketentuan Konvensi ini dan ketentuan lain dari hukum

internasional. Di samping itu pula Negara pantai tetap menghormati ketentuan-

ketentuan hukum mengenai laut lepas dan ketentuan-ketentuan hukum

internasional lainnya untuk menjamin kepentingan atau hak-hak negara lain

dalam melaksanakan kebebasan-kebebasan di laut sepanjang ketentuan hukum

(laut) internasional tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan hukum negara

pantai di ZEE tersebut.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, hak-hak berdaulat atas kekayaan

alam serta yurisdiksi-yurisdiksi tertentu yang berhubungan dengan hak-hak

tersebut tunduk pada ketentuan Negara Pantai, sedangkan pelayaran kapal-

kapal dan penerbangan pesawat adalah bebas bagi tiap negara. Oleh karena itu

status hukum ZEE tunduk pada rezim hukum khusus ("sui generis").

Wilayah ZEE Filipina ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Presidential

Decree) Nomor 1599 tahun 1978. Dalam konsideran Keputusan Presiden

tersebut dinyatakan bahwa wilayah ZEE yang membentang sampai 200 mil laut

dari garis dasar darimana laut teriorial diukur adalah vital bagi kelangsungan dan

perkembangan ekonomi Republik Filipina. Pemagaran yuridis atas wilayah ZEE

tersebut adalah sah oleh karena zona demikian pada saat sekarang ini

merupakan suatu konsepsi hukum internasional yang diakui.

Berdasarkan Pasal 1 disebutkan bahwa ZEE Filipina adalah suatu

wilayah yang membentang sampai sejauh 200 mil laut yang berada diluar garis

dasar darimana laut teritorial diukur. Jika batas-batas luar (outer limit) wilayah

ZEE Filipina dalam posisi tumpang tindih dengan ZEE dari negara yang

berdekatan atau bertetangga, maka batas-batas bersama (common boundaries)

akan ditentukan dengan perjanjian dengan negara yang bersangkutan atau

sesuai dengan azas-azas hukum internasional tentang perbatasan yang

umumnya diakui.

Page 51: Ringkasan Disertasi

51

Penetapan batas ZEE Filipina dengan negara lain, sejalan dengan teori

dan praktek penetapan batas (termasuk wilayah ZEE) antar negara yang

memungkinkan bagi dua negara yang memiliki wilayah ZEE dalam posisi

berhadapan atau berdampingan untuk menyelesaikannya berdasarkan

persetujuan. Persetujuan tersebut didasarkan pada azas-azas hukum

internasional tentang penetapan batas yang diakui secara umum, sebagaimana

yang tercermin dalam Pasal 74 ayat (1) Konvensi Hukum Laut tahun 1982.

Selanjutnya didalam Pasal 2 Keputusan Presiden tersebut dikemukakan

bahwa Negara Republik Filipina mempunyai kedaulatan atas laut wilayah, hak-

hak berdaulat atas Landas Kontinen dan ZEE yang dimilikinya, sekaligus

memiliki dan menjalankan hak-hak sebagai berikut :

(1) Hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan

pengelolaan sumber-sumber alam baik yang hidup ataupun yang tidak

(living or non-living), baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak

dapat diperbaharui, dari dasar laut, termasuk lapisan tanah sebelah

bawah dan yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan lain untuk

eksploitasi ekonomi dan eksplorasi sumber-sumber alam di zona

tersebut, seperti produksi energi dari air, arus dan angin;

(2) Hak eksklusif dan yurisdiksi sehubungan dengan didirikannya dan

dimanfaatkannya pulau-pulau buatan, terminal lepas pantai, instalasi dan

bangunan, pemeliharaan lingkungan kelautan, termasuk pencegahan dan

pengendalian pencemaran, dan penelitian ilmiah;

(3) Hak-hak lain sebagaimana diakui oleh hukum internasional atau praktek

negara.

Sedangkan dalam Pasal 3 menetapkan adanya persyaratan perjanjian

yang diadakan dengan Republik Filipina atau ijin yang diberikan olehnya atau di

bawah wewenang Republik Filipina. Ijin yang diberikan tersebut mengecualikan

hal-hal sebagai berikut:

(1) Mengekspolarasi atau mengeksploitir sumber-sumber alam apapun;

(2) Melakukan pencarian, penggalian atau operasi pengeboran terhadap

sumber-sumber alam;

(3) Melakukan penelitian;

(4) Mendirikan bangunan, memelihara atau mengoperasikan pulau buatan,

terminal lepas pantai, instalasi, atau bangunan atau cara lain; atau

Page 52: Ringkasan Disertasi

52

(5) Melaksanakan suatu tindakan atau terlibat di dalam suatu kegiatan yang

bertentangan dengan atau merugikan hak-hak berdaulat dan yurisdiksi yang

ditetapkan disini.

Ketentuan-ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 tersebut sama dengan

ketentuan angka (b sampai g) dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 dan

Pasal 56 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 yang berkaitan dengan hak-hak,

yurisdiksi dan kewajiban negara pantai dalam wilayah ZEE.

Selanjutnya dalam Pasal 3 Keputusan Presiden tersebut dinyatakan

bahwa Neqara-negara lain akan merikmati di ZEE kebebasan hubungan dengan

navigasi dan penerbangan, pemasangan Kabel-kabel dan saluran pipa-pipa

dibawah laut, dan pemakaian lain yang secara internasional sah dari laut yang

berhubungan dengan navigasi dan komunikasi.

Ketentuan tersebut sama dengan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang

Nomor 5 tahun 1983 dan Pasal 58 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 yang

berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban negara lain di wilayah ZEE.

Melalui Perjanjian hukum dan praktek penetapan batas wilayah (termasuk

ZEE) tersebar dalam berbagai konvensi Internasional, putusan mahkamah

internasional maupun ketentuan hukum nasional negara-negara yang

menyatakan bahwa penetapan batas wilayah ZEE antara dua negara yang

berdampingan atau berhadapan, dapat ditempuh melalui persetujuan atau

perjanjian antara kedua negara. Dengan kata lain, praktek penetapan batas

wilayah ZEE antara negara-negara sudah menjadi aturan kebiasaan

internasional, sehingga Indonesia dan Filipina dapat mencontohnya.

Praktek antar negara membenarkan bahwa selama ini sejumlah 70 atau

lebih negara yang telah menetapkan ketentuan tentang ZEE, dan lebih dari

sepertiganya memasukkan dalam perUndang-Undangannya yang merujuk pada

prinsip sama jarak seperti suatu solusi sementara sambil menunggu

penyelesaian penetapan batas melalui persetujuan.

Ketentuan hukum nasional Indonesia, juga mengatur mengenai

kemungkinan adanya penetapan batas antara Indonesia dengan negara lain,

rnelalui perjanjian. Dalam Pengumuman Pemarintah Republik Indonesia

mengenai ZEE Indonesia tanggal 21 Maret tahun 1980 menyebutkan bahwa

Page 53: Ringkasan Disertasi

53

dalam hal garis batas ZEE Indonesia menimbulkan masalah penentuan batas

dengan negara lain yang letaknya berhadapan atau berdampingan dengan

Indonesia, Pemerintah Indonesia bersedia pada waktu yang tepat mengadakan

perundingan-perundingan dengan negara yang bersangkutan guna mencapai

persetujuan.

Ketentuan yang sama juga dikodifisir dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1983 yang menyebutkan bahwa apabila wilayah ZEE

Indonesia tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif neaara yang

pantainya saling berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia, maka batas

Zona Ekonomi Eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut ditetapkan

dengan persetujuan antara Republik Indonesia dengan negara yang

bersangkutan.

Penetapan batas ZEE berdasarkan persetujuan juga diatur dalam

Perjanjian antara Indonesia dan Australia tentang Penetapan Batas ZEE dan

Batas-batas Laut Tertentu. Di dalam konsiderans perjanjian tersebut

dikemukakan bahwa Republik Indonesia dan Australia terikat oleh Konvensi

Hukum Laut PBB tahun 1982, khususnya berdasarkan ketentuan Pasal 74 dan

Pasal 83 yang menentukan bahwa batas ZEE dan landas kontinen antara kedua

negara yang pantainya berhadapan harus diatur dengan persetujuan

berdasarkan hukum internasional untuk mencapai suatu penyelesaian yang adil

(the delimitation of the economic exclusive zone and continental shelf between

States with opposite coasts shall be effected by agreement on the basis of

international law in order to achieve an equitable solution).

Ketentuan hukum nasional Filipina, khususnya yang berkaitan dengan

penetapan batas ZEE, juga mencantumkan penetapan wilayah berdasarkan

persetujuan. Dalam Pasal 1 Keputusan Presiden Nomor 1599 Tahun 1978

menyebutkan bahwa ZEE Filipina adalah suatu wilayah yang membentang

sampai sejauh 200 mil laut yang berada diluar garis dasar darimana laut teritorial

diukur. Jika batas-batas luar (outer limit) wilayah ZEE Filipina dalam posisi

tumpang tindih dengan ZEE dari negara yang berdekatan atau bertetangga,

maka batas-batas umum (common boundaries) akan ditentukan dengan

perjanjian dengan negara yang bersangkutan dan sesuai dengan azas-azas

hukum internasional tentang perbatasan yang umumnya diakui.

Page 54: Ringkasan Disertasi

54

Penetapan batas wilayah ZEE antara Indonesia dan Filipina, harus

sejalan dengan ketentuan hukum internasional, dan bukan menurut ketentuan

hukum nasional semata-mata dari suatu negara. Dengan kata lain, ketentuan

hukum dan metode penatapan batas antara Indonesia dan Filipina, tidak boleh

dilakukan dengan menggunakan hukum nasional Indonesia atau Filipina,

melainkan didasarkan pada ketentuan-ketentuan internasional tentang

penetapan batas, sebagaimana diatur dalam berbagai konvensi dan

yurisprudensi internasional yang ada.

Penetapan batas wilayah ZEE secara permanen (persetujuan akhir)

antara kedua negara (termasuk Indonesia dan Filipina) juga dapat ditempuh

melalui pengaturan sementara yang bersifat praktis berdasarkan semangat

saling pengertian dan kerjasama antara kedua negara, mendahului persetujuan

akhir. Hal ini diatur dalam Pasal 74 ayat (3) Konvensi Hukum Laut yang

menyatakan bahwa sambil menunggu suatu persetujuan sebagaimana

ditentukan dalam ayat (1) dari Pasal ini, negara negara yang bersangkutan

dengan semangat saling pengertian dan kerjasama, harus melakukan setiap

usaha untuk mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan

selama masa peralihan ini tidak membahayakan atau menghalangi dicapainya

suatu persetujuan akhir. Menurut Churchill dan Lowe, sambil memutuskan

penyelesaian sengketa, negara-negara yang berbatasan tersebut dapat

mengadakan usaha-usaha awal dalam bentuk memberlakukan perjanjian

sementara yang bersifat praktis berdasarkan ketentuan Pasal 74 ayat (3) dan

Pasai 83 ayat (3) Konvensi Hukum Laut. Contoh-contoh perjanjian tersebut

antara lain persetujuan Perancis-Tuvalu berdasarkan garis sama jarak yang

digunakan sebagai persetujuan perbatasan sementara atas suatu perbatasan

yang permanen, persetujuan Denmark-Swedia yang menetapkan bahwa selama

perbatasan disetujui (sebagai ditanda tangani pada tahun 1984) zona perikanan

eksklusif dalam wilayah Kattegat terletak diluar 12 mil dari pantai akan

ditempatkan berdasarkan yurisdiksi perikanan bersama Denmark-Swedia, dan

persetujuan Jepang Korea Selatan tahun 1974 berdasarkan Konvensi yang

mengeksploitir sumber daya alam dalam suatu wilayah yang disengketakan

didasar laut untuk kepentingan kedua negara.

Sama seperti ketentuan hukum nasional Indonesia, Filipina juga telah

mengumumkan wilayah ZEE sejauh 200 mil pada bulan Juni tahun 1978. Sistim

Page 55: Ringkasan Disertasi

55

yang dianut Filipina dalam penetapan batas ZEE negaranya adalah sama

dengan yang dianut oleh Indonesia yakni "median line atau equidistance". Baik

Indonesia maupun Filipina keduanya juga adalah negara kepulauan. Dengan

terjadinya penetapan batas ZEE 200 mil laut oleh kedua belah pihak yang diukur

dari garis-garis pangkal darimana diukur laut teritorial masing-masing yang

mengelilingi kepulauannya, maka di bagian Selatan Pilipina (bagian selatan

Mindanao) dan bagian utara Indonesia (Sangihe dan Talaud Sulawesi Utara)

perlu diadakan penetapan batas-batasnya.

Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia dan Filipina merupakan negara

kepulauan. Sebagai konsekwensi dari eksistensinya sebagai negara kepulauan,

maka setiap hak dan kewajiban yang berkaitan dengan konsepsi negara

kepulauan, akan berlaku terhadap kedua negara tersebut. Termasuk di

dalamnya mengenai penetapan batas bagi suatu negara kepulauan yang

berhadapan atau bersampingan dengan negara lain.

Dalam Pasal 15 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 disebutkan bahwa

dalam hal pantai dua negara yang letaknya berhadapan atau berdampingan satu

sama lain, tidak satupun diantaranya berhak, kecuali ada persetujuan yang

sebaliknya antara mereka, untuk menetapkan batas laut teritorialnya melebihi

garis tengah yang titik-titiknya sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis-

garis pangkal darimana lebar laut teritorial masing-masing negara diukur. Tetapi

ketentuan diatas tidak berlaku, apabila terdapat alasan historis atau keadaan

khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara

kedua negara menurut suatu cara yang berlainan dengan ketentuan diatas.

Walaupun bukan dalam konteks Bab V Konvensi Hukum Laut 1982

mengenai ZEE, akan tetapi ketentuan Pasal 15 tersebut mengandung substansi

bahwa apabila suatu negara kepulauan memiliki pantai yang berhadapan atau

berdampingan dengan negara lain, maka negara tersebut harus mengadakan

penetapan wilayahnya dengan berdasarkan pada garis tengah.

Pengaturan mengenai prinsip sama jarak, juga ditetapkan dalam

Konvensi Jenewa tahun 1958 tentang Landas Kontinen yang menetapkan bahwa

batas landas kontinen akan ditentukan melalui persetujuan diantara negara-

negara yang berkepentinpan. Karena itu dalam hal tidak adanya persetujuan dan

kecuaii kalau garis batas iainnya dibenarkan oleh keadaan-keadaan khusus,

Page 56: Ringkasan Disertasi

56

perbatasan akan ditentukan melalui penerapan dari prinsip sama jarak (Pasal 6

ayat (1) dan Pasal 6 ayat (2).

Pemakaian prinsip sama jarak (equidistance principle) sebagaimana

disebutkan diatas yang ditetapkan menurut garis sama jarak dari titik-titik yang

paling dekat dari pantai negara-negara (sebagaimana yang ditetapkan Komisi

Hukum Internasional selama tahun 1950-an) merupakan solusi yang mempunyai

keuntungan-keuntungan mengenai kesederhanaan dan kepastian. Hal ini

dibandingkan dengan penetapan batas berdasarkan kondisi suatu pulau (pulau

utama) di lepas pantai yang ternyata menciptakan penyimpangan besar-besaran

terhadap garis sama jarak.

Penetapan batas wilayah ZEE antara Indonesia dan Filipina dinilai akan

lebih mudah dibandingkan dengan penetapan batas wilayah ZEE antara

Indonesia dan Australia. Hal ini disebabkan bahwa tidak adanya keadaan-

keadan khusus (special circumstances) diantara pulau-pulau Indonesia dan

Filipina. Sebagai contoh, diantara pulau Marore (suatu pulau yang berada di

wilayah Sangihe Indonesia) dengan Pulau Balut (yang berada di Mindanao

Selatan-Filipina) yang jaraknya hanya 35 mil laut, tidak ada satupun pulau yang

berada pada posisi diantara kedua pulau tersebut. Hal yang sama juga antara

Pulau Kawio (yang ada di wilayah Sangihe Indonesia) dengan Pulau Balut (di

bagian selatan Filipina), yang hanya berjarak 37 mil laut. Demikian juga dengan

kondisi geografis antara Pulau Miangas (di Indonesia bagian utara Kabupaten

Kepulauan Talaud Indonesia) yang berhadapan dengan pulau San Agustin

Filipina yang berjarak 50 mil laut.

Dengan kata lain, diantara ketiga posisi ketiga pulau-pulau yang

berdampingan atau berdekatan tersebut, tidak ada satu pun pulau atau karang

yang diklaim sebagai milik, baik dari Indonesia maupun dari Filipina, untuk dapat

dijadikan dasar pengukuran sekaligus penetapan batas wilayah ZEE,

berdasarkan keadaan-keadaan tertentu.

Setiap pembentukan peraturan perUndang-Undangan harus

memperhitungkan efektifi tas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam

masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis. Kedayagunaan dan

kehasilgunaan adalah bahwa setiap peraturan Perundang-undangan dibuat

karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kejelasan rumusan

Page 57: Ringkasan Disertasi

57

adalah bahwa setiap peraturan perUndang-Undangan harus memenuhi

persyaratan teknis penyusunan peraturan perUndang-Undangan, sistematika

dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah

dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam

pelaksanaannya.

Keterbukaan adalah bahwa dalam proses pembentukan peraturan

perUndang-Undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan

pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan

masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan

masukan dalam proses pembuatan peraturan perUndang-Undangan.

Selanjutnya dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dijabarkan juga bahwa

materi muatan peraturan perundangan harus memenuhi asas sebagai berikut,

yaitu pengayoman; kemanusiaan; kebangsaan; kekeluargaan; kenusantaraan;

bhineka tunggal ika; keadilan; kesamaan kedudukan dalam hukum dan

pemerintahan; ketertiban dan kapastian hukum; dan atau keseimbangan,

keserasian, dan keselarasan.

(1) Pengayoman adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perUndang-

Undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka

menciptakan ketentraman masyarakat.

(2) Kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perUndang-

Undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak

asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk

Indonesia secara proporsional.

(3) Kebangsaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perUndang-

Undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang

pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan

Republik Indonesia.

(4) Asas kekeluargaan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan

perUndang-Undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai

mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

(5) Kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perUndang-

Undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah

Indonesia dan materi muatan peraturan perUndang-Undangan yang dibuat

Page 58: Ringkasan Disertasi

58

di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan

Pancasila.

(6) Bhinneka tunggal ika adalah bahwa materi muatan peraturan perUndang-

Undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan

golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut

masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara.

(7) Keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perUndang-

Undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap

warga negara tanpa kecuali.

(8) Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah bahwa setiap

materi muatan peraturan perUndang-Undangan tidak boleh berisi hal-hal

yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama,

suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.

(9) Ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap materi muatan

peraturan perUndang-Undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam

masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.

(10) Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa setiap materi

Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan

keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu

dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.

Harmonisasi

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang ditegaskan dalam pasal 17

ayat (3) menentukan bahwa “Dalam keadaan tertentu, Dewan Perwakilan Rakyat

atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang di luar Program

Legislasi Nasional (Prolegnas).” Ketentuan ini kemudian digunakan secara

bersama-sama oleh DPR-RI dan Pemerintah untuk melakukan pembahasan

suatu rancangan peraturan perundang-undang di luar Prolegnas.

Maksud dari pengharmonisasian peraturan perundang-undangan adalah

sebagai upaya untuk menyelaraskan, menyesuaikan, memantapkan dan

membulatkan konsepsi suatu rancangan peraturan perundang-undangan dengan

peraturan perundang-undangan lain, baik yang lebih tinggi, sederajat, maupun

yang lebih rendah, dan hal-hal lain selain peraturan perundang-undangan,

Page 59: Ringkasan Disertasi

59

sehingga tersusun secara sistematis, tidak saling bertentangan atau tumpang

tindih (overlaping). Hal ini merupakan konsekuensi dari adanya hierarki peraturan

perundang-undangan.

Gambar 6 Rancangbangun hukum dan pelaksanaannya pengelolaan

pulau kecil terluar

Rancangbangun hukum dan pelaksanaannya menginventarisasi sejumlah

peraturan perUndang-Undangan yang mempunyai hubungan dengan

pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan termasuk pengelolaan

wilayah pesisir.

Landasan Formil dan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-

undangan merupakan conditio sine quanon bagi Perancang agar peraturan

perundang-undangan yang dibuatnya tidak mudah dibatalkan melalui pengujian

ke Mahkamah Konstitusi (undang-undang) atau ke Mahkamah Agung (peraturan

perundang-undangan di bawah undang-undang).

Landasan Formil dan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-

undangan adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, sebagai sumber hukum yang utama dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan. Dengan memahami konstitusi maka pembentukan

peraturan perundang-undangan mendapatkan landasan konstitusional yang

benar yang dipandu oleh nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam alinea

Landasan Formil dan Materil

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

KONVENSI INTERNASIONAL YANG DIRATIVIKASI : UNCLOS 1982

Un

dan

g- U

nd

an

g

Su

mb

erdaya A

lam

Un

dan

g- U

nd

an

g

Kon

servasi

Un

dan

g- Un

dan

g

Pe

rikanan

Un

dan

g- Un

dan

g P

emerin

tahan

Daerah

U

nd

ang- U

nd

ang

Wilayah

Ne

gara

Implementasi Hukum & Kelembagaan

Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah

Page 60: Ringkasan Disertasi

60

keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

Undang-undang juga dapat diuji terhadap Undang-Undang Dasar, namun

pengujiannya bukanlah pengujian secara judicial melainkan pengujian secara

legislatif atau secara politis (legislative/Political Review) karena yang mengujinya

adalah lembaga politik atau lembaga legislatif yaitu Majelis Permusyawaratan

Rakyat (MPR) sebagaimana dimuat dalam Pasal 5 ayat (1) TAP MPR No.

III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-

undangan. TAP MPR ini sebagai pengganti TAP MPRS No. XX/MPRS/1966.

Dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi yang diberikan kewenangan

konstitusional menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar dan

kewenangan Mahkamah Agung yang semula didasarkan kepada undang-undang

sekarang diangkat ke dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 menjadi kewenangan konstitusional untuk menguji peraturan

perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang,

pemahaman landasan formil dan materiil konstitusional peraturan perundang-

undangan menjadi suatu conditio sine quanon bagi para Perancang dalam

melaksanakan tugas dan fungsinya menyusun/membuat peraturan perundang-

undangan agar peraturan perundang-undangan tersebut tidak mudah dibatalkan

oleh Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung.

Hasil analisis AHP

Susunan hirarki penetapan strategi merupakan penggambaran dari

analisis AHP yang mengaitkan sasaran, faktor, dan alternatif strategi.

rancangbangun hukum pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi Utara.

Hasil analisis AHP dijelaskan lebih lanjut berikut ini :

(1) Prioritas elemen faktor

Faktor yang mempengaruhi dalam pembuatan rancangbangun hukum

peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar terdiri 5 faktor. Hasil

analisis faktor dalam AHP dari beberapa pendapat pakar dengan bantuan

pengolah data expert choice 2000 dapat dilihat pada Tabel 6 dan hasil

prioritas analisis faktor tersebut dapat dilihat pada Gambar 7

Page 61: Ringkasan Disertasi

61

Tabel 6 Hasil analisis faktor AHP

Dari kriteria/faktor-faktor penunjang, setelah di masukan dalam suatu

program computer maka dapat di lihat melalui Table 8 Faktor hukum memiliki

nilai yang lebih tinggi (0.289) dibandingkan dengan ke-3 faktor lain sumber daya

alam (0.255), kelembagaan (0.231), pendanaan (0.144) dan sosial ekonomi

(0.081). dengan angka rasio inkonsistensi dari para expert adalah 0.08, rasio ini

dianggap masih dalam batas toleransi karena angka inkonsistensi harus dibawah

angka 0.1.

Tabel 7 Prioritas elemen faktor

Berdasarkan Tabel 7 faktor yang menduduki prioritas pertama yang

mempengaruhi pembuatan rancangbangun hukum adalah faktor hukum dengan

bobot 0.289. Bobot ini menunjukkan bahwa faktor hukum memiliki

peranan yang sangat besar dalam pembuatan rancangbangun hukum

pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi Utara. Hal ini disebabkan oleh

masih banyaknya permasalahan hukum dalam pengelolaan pulau-pulau kecil

terluar, baik dari sisi eksternal ataupun internal (dalam negeri). Dari sisi ekternal,

No FAKTOR BOBOT PRIORITAS

1 Hukum 0.289 1 2 Sumber Daya Alam 0.255 2 3 Kelembagaan 0.231 3 4 Pendanaan 0.144 4 5 Sosial Ekonomi 0.081 5

Gambar 7 Hasil analisis faktor

Page 62: Ringkasan Disertasi

62

permasalahan hukum yang terkait dengan negara tetangga adalah belum

adanya penetapan batas negara antara Indonesia dengan Filipina khususnya

untuk pemanfaatan potensi pulau-pulau kecil terluar.

Permasalahan hukum dari sisi internal (dalam negeri) adalah masih

kurangnya dukungan perangkat hukum dan peraturan dalam penyelenggaraan

pengelolaan pulau-pulau kecil terluar provinsi Sulawesi Utara. Aspek Hukum

menjadi titik tolak dari keseluruhan faktor pembuatan rancangbangun hukum

pengelolaan pulau-pulau kecil terluar Provinsi Sulawesi Utara baik aspek sumber

daya alam, kelembagaan, pendanaan dan sosial ekonomi. Penegakan hukum

merupakan salah satu pilar utama untuk menegakkan kedudukan dan

kewenangan kelembagaan. Penegakan hukum yang efektif juga akan menjamin

sistem dan mekanisme hubungan kelembagaan yang efektif.

(2) Prioritas elemen strategi

Alternatif strategi perumusan rancangbangun hukum pulau-pulau kecil

terluar dalam rangka peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di

Sulawesi Utara terdiri dari 5, yaitu [1]rancangbangun hukum menurut

pemerintah, [2]rancangbangun hukum menurut akademisi,

[3]rancangbangun hukum menurut strategi perwilayahan, [4]rancangbangun

hukum menurut penataan batas wilayah negara, dan [5]rancangbangun

hukum menurut budaya lokal. Kelima strategi tersebut dianalisis dan hasil

analisis strategi dalam AHP dari beberapa pendapat pakar dengan bantuan

pengolah data expert choice dapat dilihat pada Tabel 7 dan hasil prioritas

elemen alternatif strategi tersebut dapat dilihat pada Tabel 8 dan analisis

alternatif strategi pada Gambar 8

Tabel 8 Prioritas elemen alternatif strategi

No STRATEGI RANCANGBANGUN BOBOT PRIORITAS

1 Rancangbangun Hukum Menurut Penataan Batas Wilayah Negara

0.226 1

2 Rancangbangun Hukum Menurut Pemerintah 0.222 2 3 Rancangbangun Hukum Menurut Strategi

Perwilayahan 0.211 3

4 Rancangbangun Hukum Menurut Akademisi 0.180 4 5 Rancangbangun Hukum Menurut Budaya Lokal 0.161 5

Page 63: Ringkasan Disertasi

63

Gambar 8 Hasil analisis alternatif strategi

Berdasarkan Tabel 8 strategi prioritas yang harus pertama kali dilakukan

adalah pembuatan rancangbangun hukum menurut penataan batas wilayah

negara. Implementasi rancangbangun hukum tersebut adalah dengan cara

penetapan batas wilayah yang disepakati Indonesia dan Filipina serta

peningkatan kerjasama bilateral dan internasional. Penetapan batas wilayah ini

menjadi prioritas pertama karena penetapan batas laut negara di daerah

perbatasan akan menjamin kepastian hukum untuk pengelolaan pulau-pulau

kecil terluar di Sulawesi Utara. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di bidang

sumber daya alam, sosial ekonomi, pendanaan, hukum dan kelembagaan akan

lebih efektif jika penetapan batas negara jelas dan diakui oleh negara tetangga.

Oleh karena itu batas laut zona ekonomi eksklusif negara antara Indonesia dan

Filipina segera diselesaikan melalui pertemuan dan pembahasan internasional

bilateral maupun multilateral dan mendapat pengakuan masyarakat internasional

terhadap batas pengelolaan negara di wilayah laut, demi kepentingan

pengelolaan negara pantai di wilayah pesisir dan laut, keberlanjutan sumber

daya, kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat, keamanan pangan di laut,

keamanan dan pertahanan, serta kesatuan wilayah negara Republik Indonesia.

Kedua negara sepakat membahas permasalahan perbatasan negara

dalam forum bilateral, yaitu Joint Border Committee (JBC) RI-Filipina. Indonesia

diketuai oleh Pangdam VII Wirabuana dan Filipina diketuai oleh Philippines

South Commander. Forum ini melakukan pertemuan setiap tahun guna

membahas dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul di perbatasan

kedua negara.

Selain isu koordinasi dalam pengembangan kawasan perbatasan,

komitmen dan kebijakan Pemerintah untuk memberikan prioritas lebih tinggi

Page 64: Ringkasan Disertasi

64

dalam pembangunan wilayah perbatasan telah mengalami reorientasi yaitu dari

orientasi keamanan (security approach) menjadi orientasi pembangunan

(prosperity/ development approach). Reorientasi ini, pada kasus kawasan

perbatasan di Provinsi Sulawesi Utara, dilakukan dengan mempertimbangkan

beberapa hal berikut: Pendekatan keamanan (security approach) yang

diterapkan Mabes ABRI di dalam penanganan KK Sosek Malindo, walaupun

berbeda namun diharapkan dapat saling menunjang dengan pendekatan

pembangunan (prosperity/ development approach). Terkait dengan beberapa

upaya yang telah disepakati di dalam pengembangan kawasan perbatasan antar

negara, diperlukan pertimbangan terhadap upaya percepatan pengembangan

kawasan perbataan tersebut melalui penanganan yang bersifat lintas sektor dan

lintas pendanaan.

Skenario Strategi Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar

Strategi pembuatan rancangbangun hukum menurut penataan batas

wilayah negara (hasil analisis AHP) merupakan prioritas utama yang

dipertimbangkan untuk pencapaian tujuan, namun bukan berarti strategi tersebut

menjadi strategi tunggal dalam pencapain tujuan, karena masih ada prioritas

rancangbangun hukum lain yang memiliki unsur-unsur strategi yang juga menjadi

pertimbangan dalam pencapaian tujuan.

Penggunaan metode analisis prospektif diperlukan untuk memprediksi

kejadian di masa depan, sehingga dapat disusun alternatif skenario untuk

pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Faktor dalam menganalisis alternatif

skenario adalah unsur strategi dari kelima rancangbangun hukum yang

dihasilkan dari analisis AHP karena setiap unsur strategi merupakan kumpulan

usaha yang komprehensif untuk mencapai tujuan dalam rangka peningkatan

pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi Utara.

Unsur strategi yang sama dari kelima rancangbangun digabungkan

sehingga menghasilkan 9 unsur strategi yang menjadi faktor dalam menganalisis

alternatif skenario. Berdasarkan pendapat pakar, prediksi kejadian di masa

depan untuk kurun waktu 5 – 10 tahun dapat dilihat pada Tabel 10

Page 65: Ringkasan Disertasi

65

Tabel 9 Analisis skenario

FAKTOR SKENARIO

1A 1B 1C

Penetapan Batas wilayah yang disepakati Indonesia dan Filipina

Penetapan batas wilayah justru akan merugikan Indonesia

Penetapan batas wilayah masih berbelit-belit dan tidak menghasilkan sebuah kesepakatan

Batas Wilayah laut antara Indonesia dan Filipina menjadi semakin jelas dan menghasilkan kesepakatan yang win-win solution

2A 2B

Kerjasama bilateral dan Internasional

Tetap dan kurang memiliki pengaruh dalam memperkuat posisi geografis Indonesia

Semakin berkembang dan memiliki pengaruh yang signifikan dalam memperkuat posisi geografis Indonesia

3A 3B 3C

Program Pengelolaan SDA dan jasa lingkungan kelautan

Pelaksanaan program kurang mendukung kelestarian sumber daya alam

Pelaksanaan program tetap atau statis

Pelaksanaan program berjalan efektif dan efisien

4A 4B

Sinergi kelembagaan Tetap dalam arti masih adanya tumpang tindih wewenang dan antar lembaga kurang bersinergi dalam mencapai tujuan

Semakin kuat dan efektif dalam menjalankan masing-masing perannya

5A 5B 5C

Sistem pendanaan Semakin lemah karena tidak adanya keseriusan dalam pengontrolan dana

Tetap Semakin kuat

6A 6B 6C

Hukum dan Peraturan Pengelolaan

Gagal karena kesadaran hukum masih rendah

Tetap Mendukung dalam penyelenggaraan pengelolaan

7A 7B

Penataan ruang wilayah

Tetap Mendukung dalam penyelenggaraan pengelolaan

8A 8B 8C

Sarana dan Prasarana Wilayah

Memberikan dampak negatif terhadap aspek sosial dan ekonomi masyarakat karena ketidakbijakan dalam pemanfaatan sarana dan prasarana

Tetap dalam arti tidak berpengaruh

Semakin meningkatkan aksesbilitas yang memberikan dampak positif terhadap aspek sosial dan ekonomi masyarakat

Page 66: Ringkasan Disertasi

66

tersebut

9A 9B 9C

Keterpaduan antar stakeholder

Semakin buruk karena tidak adanya prinsip keterbukaan dan tingkat kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap pemerintah

Tetap Semakin terpadu karena adanya prinsip keterbukaan dan peran serta antar stake holder dalam pengelolaan

Berdasarkan alternatif kejadian pada masing-masing faktor, responden

pakar menyusun alternatif skenario yang mungkin terjadi dalam kurun waktu 5

tahun kaitannya dengan penyusunan dasar rekomendasi yang harus dilakukan.

Alternatif skenario yang mungkin terjadi terhadap peningkatan

pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi Utara.

Tabel 10 Alternatif skenario

No Skenario Uraian Keadaan

1 Sangat Optimistik Penyusunan Rancangbangun hukum di wilayah perbatasan negara dan penetapan batas negara termasuk ZEE

2 Cukup Optimisrtik Penyusunan Rancangbangun hukum dan menyelesaikan perundingan bilateral batas negara dan ZEE

3 Optimistik dengan syarat pertama Penyelesaian Perundingan Bilateral mengenai Batas Negara dan Nota kesepakatan ZEE

4 Optimistik dengan syarat kedua Perundingan Bilateral penetapan ZEE

5 Pesimistik Penyelesaian Mahkamah Internasional

Dari kriteia/faktor-faktor penunjang, setelah di masukan dalam suatu

program computer maka dapat di lihat melalui Tabel 7, faktor hukum memiliki

nilai yang lebih tinggi (0.289) dibandingkan dengan ke-3 faktor lain yaitu sumber

daya alam (0.255), kelembagaan (0.231), pendanaan (0.144) dan sosial ekonomi

(0.081). dengan angka rasio inkonsistensi dari para expert adalah 0.08, rasio ini

dianggap masih dalam batas toleransi karena angka inkonsistensi harus dibawah

angka 0.1.

Bertitik tolak dari hasil kuisioner yang dijalankan dalam penelitian ini maka

dapat dilihat hasilnya yang sudah dimasukan dalam program expert choice 2000.

Sebagai contoh dapat di jelaskan dengan mengambil responden dari pihak

Kementerian Luar Negeri RI Tabel 11 dan Tabel 12 Sosial Ekonomi.

Page 67: Ringkasan Disertasi

67

Tabel 11 Hasil kuesioner responden

Tabel 12 Sosial ekonomi

Dengan kriteria sosial ekonomi berdasarkan alternatif rancangbangun

produk hukum menurut pemerintah, akademisi, strategi perwilayahan, penataan

batas wilayah dan budaya lokal, setalah diisii nilai yang didapat dari para expert

dan dengan mengkalkulsikan angka-angka yang ada dalam matrik maka di dapat

: berdasarkan kriteria sumber daya alam, nilai terbesar yang didapat adalah

rancangbangun hukum menurut pemerintah (0.232), diikuti rancangbangun

hukum menurut strategy perwilayahan (0.223), rancangbangun menurut

penataan batas wilayah (0.200), rancangbangun hukum menurut akademisi

(0.193) dan rancangbangun hukum menurut budaya dengan nilai yang terkecil

0.154). Untuk rasio inkonsistensi adalah 0.04.

Gambar 9 Hasil analisis faktor sosial ekonomi

Page 68: Ringkasan Disertasi

68

Sintesis

Sistesis adalah merupakan proses dari pembobotan dan kombinasi

prioritas dari model setelah dibuatnya penilaian dengan tujuan akhir yang sudah

ditetapkan. Penilaian dikombinasikan terhadap model dengan menggunakan

pembobotan dan proses dalam mencapai tujuan menggunakan semua nilai

untuk alternativ-alternatif rancangbangun produk hukum pesisir. Alternativ yang

terbaik adalah merupakan prioritas tertinggi yang dihasilkan dari Gambar 11

sintesis yang dihasilkan menunjukan bahwa rancangbangun hukum menurut

penataan batas wilayah mendapatkan prioritas tertinggi untuk di pilih dalam

menghasilkan produk rancangbangun hukum pesisir. Rancangbangun hukum

menurut penataan wilayah mendapatkan nilai 0.226, diikuti oleh RH menurut

pemerintah (0.222), RH strategi perwilayahan (0.211), RH menurut akademisi

(180), dan rancangbangun menurut biaya (0.161), sedangkan rasio inskonsitensi

adalah 0.04 yang masih dalam batas rasio normal.

Gambar 10 Sintesis rancangbangun penataan wilayah

Sensitivitas Analisis

Tujuan dari analisis sensitive adalah menujukan secara grafis bagaimana

perubahan-perubahan alternativ terhadap besarnya kepentingan dari tujuan yang

ingin di capai. Setiap analisa sensitiv bisa dihasilkan melalui tujuan atau

criteria/faktor yang ada dan dapat di bandingkan satu sama lainnya.

Dalam merancang produk rancangbangun hukum pesisir digunakan

beberapa analisa sensitif diantaranya adalah Sytem Dinamik dan System Head

to Head.

Page 69: Ringkasan Disertasi

69

Sensitivitas dinamis

Dalam analisis dari sisi akademisi dengan mengacu pada tujuan yang

hendak dicapai maka sensitive dinamik berdasarkan kriteria/faktor yang ada

didapat nilai presentasi tertinggi (sisi kiri graph) yaitu criteria Hukum (28.9%),

Sumber Daya Alam (25.5%), Kelembagaan (23.1%), Pendanaan (14.4%).

Sensitive dinamik berdasarkan alternatif rancangbangun (sisi kanan graphic)

yaitu nilai tertinggi yang merupakan prioritas utama adalah RH. Menurut

penataan batas wilayah (23.9%), diikuti oleh RH menurut strategi perwilayahan

(22%), RH menurut pemerintah (20.9%), RH menurut akademisi (19.4%), RH

menurut budaya (13.8%)

Gambar 11 Dinamik sensitive

Analisis head to head

Sensitifitas Head to Head menunjukan perbandingan yang objektif dari

setiap alternativ yang ada dalam mencapai tujuan penelitian dalam hal ini

membandingkan semua produk Rancang Hukum yang di siapkan. Perbandingan

ini lebih fair karena membandingkan satu per satu alternativ pilihan, sehingga

keuntungan dan kekurangan alternativ bisa dilihat melalui score yang ada.

Page 70: Ringkasan Disertasi

70

Gambar 12 Analisis head to head penataan batas wilayah dan pemerintah

Analisis head to head RH menurut penataan batas wilayah negara

dengan RH menurut Pemerintah maka dengan membandingkan bobot-bobot dari

kriteria yang ada di dapat hasil secara keseluruhan RH menurut penataan

wilayah negara mempunyai skala prioritas utama. Dalam perbandingan dengan

Rancangbangun Hukum lainnya juga disimpulkan bahwa RH menurut Penataan

Batas Wilayah Negara menjadi skala prioritas utama.

Rancangbangun Hukum Menurut Pemerintah

Rancangbangun hukum menurut pemerintah terdiri dari empat unsur

strategi yang memadukan kekuatan, kelemahan, peluang serta ancaman dari

peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Unsur dari rancangbangun

hukum menurut pemerintah adalah sebagai berikut :

(1) Pelaksanaan program Pengelolaan SDA dan jasa lingkungan kelautan

(S1,S3, O1,O2,O3)

(2) Pembangunan sistem dan sinergi kelembagaan pengelolaan pulau-pulau

kecil terluar (W4,O6)

(3) Peningkatan kekuatan sistem pendanaan (W5, O1)

(4) Perumusan Hukum dan Peraturan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar

(W6,T2)

Page 71: Ringkasan Disertasi

71

Rancangbangun Hukum Menurut Akademisi

Rancangbangun hukum menurut akademisi terdiri dari dua unsur strategi

yang memadukan kelemahan, peluang serta ancaman dari peningkatan

pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Unsur dari rancangbangun hukum menurut

akademisi adalah sebagai berikut :

(1) Pembangunan sistem dan sinergi kelembagaan pengelolaan pulau-pulau

kecil terluar (W4,O6)

(2) Perumusan Hukum dan Peraturan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar

(W6,T2)

Rancangbangun Hukum Menurut Strategi Perwilayahan

Rancangbangun hukum menurut strategi perwilayahan terdiri dari dua

unsur strategi yang memadukan kekuatan, kelemahan, dan peluang dari

peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Unsur dari rancangbangun

hukum menurut strategi perwilayahan adalah sebagai berikut :

(1) Penataan ruang wilayah pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara

(S1,S2, O1-3)

(2) Pembangunan Sarana dan Prasarana Wilayah (W1-3,O1-3)

Rancangbangun Hukum Menurut Penataan Batas Wilayah Negara

Rancangbangun hukum menurut penataan batas wilayah negara terdiri

dari dua unsur strategi yang memadukan kekuatan dan peluang dari peningkatan

pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Unsur dari rancangbangun hukum menurut

penataan batas wilayah negara adalah sebagai berikut :

(2) Penetapan Batas wilayah yang disepakati Indonesia dan Filipina (S2, O4,

O5)

(3) Peningkatan kerjasama bilateral dan Internasional (S2, O4, O5)

Rancangbangun Hukum Menurut Budaya Lokal

Rancangbangun hukum menurut budaya lokal terdiri dari satu unsur

strategi yang memadukan kelemahan dan ancaman dari peningkatan

pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Unsur dari rancangbangun hukum menurut

budaya lokal hanyalah peningkatan keterpaduan antar stakeholder dalam

pengelolaan pulau-pulau kecil terluar (W4, T3)

Page 72: Ringkasan Disertasi

72

Rekomendasi Peran bagi Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota

Dalam menentukan kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di

perbatasan, maka perlu mempertimbangkan akan pemberian kewenangan

pemerintah kepada pemerintah daerah khususnya menyangkut tugas

pembantuan yang berhubungan dengan perencanaan, pengelolaan keuangan,

pembinaan, pengawasan dan pertanggungjawaban.

Berikut ini merupakan rekomendasi identifikasi peran pemerintah pusat,

provinsi, dan kabupaten/kota dengan mempertimbangkan implementasi

desentralisasi pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir kepada pemerintah

daerah:

Tabel 13 Peran Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota

Pusat Provinsi Kabupaten/Kota

Membuat UU dan PP tentang pengelolaan pulau kecil terluar bagi kepentingan nasional.

•Menetapkan strategi pengelolaan tingkat makro.

•Membuat kebijakan teknis dan pedoman umum yang memuat prinsip-prinsip pengelolaan pulau perbatasan negara.

• Menetapkan standar kriteria dan aturan umum lain bagi program pengelolaan pulau perbatasan.

• Memberi masukan bagi program pengelolaan pulau di daerah perbatasan.

• Koordinasi masalah strategis menyangkut lintas provinsi dan lintas negara.

• Melakukan pengawasan dan evaluasi pengelolaan wilayah pesisir nasional.

•Merespon dan mengkoordinasi kebutuhan bantuan

Mempersiapkan strategi pengelolaan dan kebijakan regional.

•Membuat Petunjuk Teknis Pengelolaan.

•Menyusun dan mengkoordinasi Tata Ruang Pulau-Pulau Kecil di perbatasan negara.

• Menyusun inventarisasi atau atlas sumberdaya pulau kecil perbatasan negara.

•Membuat aturan berdasarkan usulan kabupaten.

•Mengkoordinasi kebijakan atau masalah lintas kabupaten/kota.

• Monitoring dan evaluasi pengelolaan wilayah pesisir di provinsi.

Bertanggung jawab langsung dengan menjadi pelaksana pengelolaan pulau-pulau kecil di perbatasan negara.

• Menyusun Master Plan dan menjabarkan petunjuk teknis pengelolaan pulau kecil perbatsan negara.

• Membuat perencanaan spesifik kawasan berdasarkan karakteristik khusus wilayah dan kebutuhan masyarakat setempat.

• Melakukan koordinasi masalah operasional dalam wilayah provinsi.

• Pelaksana perijinan peman-faatan wilayah atau sumberdaya pesisir, melalui sertifikasi.

• Melakukan pengawasan langsung pulau kecil perbatasan negara.

• Melakukan penegakan hukum berdasarkan peraturan yang berlaku.

• Memajukan pendidikan masyarakat bagi

Page 73: Ringkasan Disertasi

73

teknis dan pembiayaan daerah perbatasan.

•Menetapkan dan menyalurkan bantuan dana bagi program pengelolaan daerah.

•Menetapkan kawasan khusus bagi konservasi perbatasan.

pengelolaan berkelanjutan.

• Memberikan bantuan teknis kemasyarakatan.

Rekomendasi rancangabangun hukum hendaknya lebih terfofus pada:

Pertama, merevisi kembali Undang-Undang Nomor.1 Tahun 1973 tentang

Landas Kontinen, agar Indonesia mempunyai dasar hukum yang lebih kuat untuk

mengatur Landas Kontinen Indonesia. Hal ini disebabkan pengertian landas

kontinen berdasarkan kedalaman air 200 meter (UNCLOS 1958) dengan

pengertian hukum landas kontinen yang berlaku sekarang (UNCLOS 1982)

adalah berbeda, yaitu kini sampai kelanjutan alamiah wilayah darat Indonesia.

Sementara Undang-Undang Landas Kontinen tersebut masih berdasarkan

UNCLOS 1958. Kedua, merevisi dan meningkatkan status hukum Peraturan

Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik

Garis Pangkal Kepulauan Indonesia menjadi Undang-undang serta

mendepositkannya kepada Sekjen PBB. Pemerintah Indonesia sampai saat ini

belum mendepositkan titik-titik pangkal tersebut kepada PBB. Padahal hal

tersebut sangat penting bagi Indonesia ketika akan melakukan penentuan titik-

titik perbatasan laut Indonesia. Ketiga, menetapkan dan mendepositkan batas-

batas wilayah laut Indonesia, termasuk batas landas kontinen. Khusus batas

lantas kontinen, Indonesia masih diberikan batas waktu sampai 2009, namun

hingga saat ini belum terselesaikan, untuk melakukan klaimnya di luar 200 mil

dari garis pangkal kepulauan nusantara. Karena apabila sampai batas waktu

tersebut belum menentukan, maka Indonesia hanya bisa mengklaim batas

landas kontinen sampai jarak 200 mil saja. Sampai saat ini baru tiga negara yang

sudah mengajukan klaim landas kontinennya ke PBB dari 148 negara yang

sudah meratifikasi UNCLOS 1982, yaitu Rusia (2001), Brasil (2004) dan Australia

(2004).

Konflik di wilayah perbatasan laut Indonesia hendaknya diselesaikan

secara lebih komprehensif. Selain itu juga dalam pelaksanaan pengelolaan

Page 74: Ringkasan Disertasi

74

sumber daya di wilayah perbatasan, khususnya di pulau-pulau kecil hendaknya

tidak melanggar prinsip-prinsip otonomi seperti yang diatur dalam Undang-

Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang

No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Daerah serta jangan sampai

menghilangkan pulau-pulau kecil tersebut dari wilayah negara Indonesia.

Kajian Faktor Eksternal dan Internal

Kajian faktor eksternal dan internal ditujukan untuk mengetahui existing

condition (kondisi saat ini) dari aspek sumber daya alam, sosial ekonomi,

pendanaan, hukum, kelembagaan, dan internasional tentang pengelolaan pulau-

pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara.

Faktor-faktor eksternal dan internal ini diidentifikasi berdasarkan hasil

wawancara dan kuisioner oleh responden yang memiliki kompetensi di

bidangnya masing-masing berkaitan dengan permasalahan pulau-pulau kecil

terluar. Responden yang terlibat terdiri dari unsur pemerintah pusat, pemerintah

daerah, akademisi, dan masyarakat lokal. Hasil yang diperoleh dijelaskan

sebagai berikut :

Faktor eksternal

Faktor eksternal ini dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu peluang dan

ancaman. Peluang adalah existing condition dari segi eksternal yang dapat

dimanfaatkan untuk peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi

Sulawesi Utara, sedangkan ancaman adalah existing condition dari segi

eksternal yang harus diantisipasi dan ditanggulangi agar tujuan peningkatan

pengelolaan pulau-pulau kecil terluar tercapai.

Faktor internal

Faktor internal dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kekuatan dan

kelemahan. Kekuatan dalam hal ini adalah existing condition dari segi internal

yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil

terluar di provinsi Sulawesi Utara, sedangkan kelemahan adalah existing

condition dari segi internal yang harus diantisipasi agar tujuan peningkatan

pengelolaan pulau-pulau kecil terluar tercapai.

1 Kekuatan dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar

(1) Sumber daya alam dan jasa lingkungan kelautan yang besar.

Page 75: Ringkasan Disertasi

75

Pulau-pulau kecil memiliki potensi sumber daya alam yang cukup besar

terutama sumber daya kelautan yaitu berbagai jenis ikan, terumbu karang,

lamun dan mangrove, sedangkan jasa lingkungan pulau kecil yang sangat

prospektif adalah kegiatan pariwisata bahari. Keberadaan potensi ini menjadi

strategis sebagai wujud pemanfaatan sumber daya alam dan jasa-jasa

kelautan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam rangka peningkatan

pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara.

(2) Posisi geografis yang cukup strategis.

Pulau-pulau kecil memiliki posisi geografis yang cukup strategis karena

berada di daerah perbatasan. Posisi strategis ini berpotensi dijadikan

kawasan pengembangan pelabuhan yaitu sebagai pintu masuk dan keluar

bagi Peraturan Daerahgangan barang dan jasa dari negara-negara tetangga.

Posisi yang strategis ini juga berpotensi sebagai basis pertahanan dan

keamanan negara. Potensi ini memegang peranan penting dalam rangka

pembangunan pulau-pulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara.

(3) Adanya program dari pemerintah daerah untuk pembangunan pulau-pulau

kecil terluar.

Program pembangunan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara

sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RJMD) tahun 2005-2010. Adanya

program ini yang disertai dukungan anggaran dari APBD merupakan bagian

dari faktor kekuatan dalam meningkatkan pengelolaan sumber daya pesisir,

laut dan pulau-pulau kecil.

2 Kelemahan dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil Terluar

(1) Keterpencilan pulau-pulau kecil terluar.

Wilayah pulau-pulau terluar di Provinsi Sulawesi Utara yaitu Kabupaten

Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud merupakan wilayah

terpencil yang menyebabkan kendali pengawasan pemerintah menjadi sulit

untuk dilaksanakan sehingga menimbulkan potensi kerawanan sosial,

budaya, politik, hukum, dan pertahanan keamanan.

(2) Terbatasnya sarana dan prasarana perekonomian.

Wilayah pulau-pulau kecil terluar memiliki keterbatasan sarana dan

prasarana perekonomian seperti jalan raya, pelabuhan, pasar, penerangan

listrik, lembaga perbankan, sehingga berakibat pada kesejahteraan dan

Page 76: Ringkasan Disertasi

76

pendapatan masyarakat yang rendah. Terbatasnya sarana dan prasarana ini

merupakan penghambat dalam pengelolaan wilayah pulau-pulau terluar.

(3) Terbatasnya sarana prasarana sosial.

Keterbatasan sarana dan prasarana sosial seperti kurangnya fasilitas

pendidikan, tidak tersedianya informasi dan komunikasi serta fasilitas

kesehatan mengakibatkan kualitas sumber daya manusia yang masih

rendah. Rendahnya kualitas SDM, berpengaruh terhadap pengelolaan

wilayah pulau-pulau terluar.

(4) Lemahnya koordinasi antar lembaga.

Koordinasi antar lembaga dalam mengelola wilayah pulau-pulau terluar

masih lemah dan tidak jelas karena masing-masing lembaga menjalanlan

perannya sendiri-sendiri bukan berdasar kebijakan bersama. Kelemahan ini

menyebabkan kurangnya integrasi perencanaan pengelolaan wilayah pulau-

pulau kecil

(5) Kontrol Pendanaan yang lemah.

Pendanaan yang tercakup dalam APBN, APBD, atau loan/grant dari

pemerintah ataupun lembaga donor untuk pelaksanaan program-program

pengelolaan wilayah pulau-pulau kecil belum memiliki pengontrolan yang

cukup baik sehingga diperlukan penegakan akuntabilitas publik dari

pelaksanaan program-program tersebut.

(6) Batas Maritim yang belum selesai.

Penetapan batas-batas maritim yang belum selesai masih diupayakan

percepatannya melalui kebijakan border diplomacy dan peningkatan

hubungan bilateral. Penegasan batas-batas pasti di lapangan dan di atas

peta belum dilaksanakan sehingga tidak diketahui oleh seluruh warga

negara Indonesia dan pembinaan batas dan wilayah perbatasan kurang

tersentuh pembangunan wilayah sehingga terjadi kesenjangan

pembangunan di perbatasan dari berbagai sektor.

(1) Belum tersosialisasinya Hukum Laut kepada masyarakat luas termasuk pada

pejabat eksekutif dan legislatif, serta implikasinya secara komprehensif.

Belum meningkatnya pengetahuan dan pemahaman aspek teknis dari hukum

laut 1982 dalam meningkatkan serta memperkuat posisi Indonesia dalam

berbagai perundingan perbatasan dan batas-batas maritim dengan negara

tetangga yang didukung oleh kekuatan-kekuatan para ahli hukum laut.

Page 77: Ringkasan Disertasi

77

(2) Belum terencananya perencanaan nasional terpadu yang mengintegrasikan

kebijakan yang berbasis kelautan dengan juridiksi maritim dalam suatu

sistem Marine Space Database yang berwawasan Nusantara, merupakan

perspektif sosial politik dan pertahanan keamanan yang memancarkan

keutuhan dan kewibawaan negara-bangsa Indonesia sebagai negara

kepulauan terbesar di dunia.

(3) Belum adanya UU yang mengatur secara khusus mengenai pulau

perbatasan negara.

Karakteristik pulau-pulau kecil yang unik, tingkat keterpencilannya dan fungsi

pertahanan dan keamanan yang menonjol menyebabkan penanganan pulau-

pulau di perbatasan negara perlu mendapat perhatian khusus. Undang-

Undang yang telah di tetapkan, belum mengakomodasikan secara lengkap

untuk dijadikan sebagai pedoman pengelolaan pulau-pulau kecil terluar.

Hasil Evaluasi Faktor Eksternal dan Internal

Faktor eksternal dan internal yang telah dijelaskan sebelumnya perlu

dievaluasi agar dapat mengetahui posisi internal dan eksternal pengelolaan

pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara. Evaluasi dibagi dalam 2

(dua) kelompok, yaitu evaluasi faktor eksternal dan evaluasi internal.

Evaluasi faktor eksternal

Evaluasi faktor eksternal dilakukan dengan memberikan bobot, peringkat

dan skor pada masing-masing faktor. Berdasarkan Tabel 14, nilai skor faktor

eksternal pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara adalah

2.339. Menurut David (2004), nilai skor di bawah 2.5 mengindikasikan bahwa

pemanfaatan peluang dan mengatasi ancaman belum efektif. Tingkat

kepentingan yang paling atas dari faktor eksternal adalah respon pengawasan

perbatasan laut antar negara, yaitu mendapat bobot 0.126. Respon pengawasan

yang masih lemah ini perlu diperbaiki dengan penegakan perangkat hukum dan

peningkatan kapasitas kelembagaan pada unit kerja pengelolaan pulau-pulau

kecil terluar dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi, sampai

tingkat Nasional.

Page 78: Ringkasan Disertasi

78

Tabel 14 Matriks Evaluasi Faktor Eksternal

FAKTOR INTERNAL BOBOT PERINGKAT SKOR

PELUANG (5) Kebijakan nasional mendorong

investasi (6) Kebijakan pemerintah dalam

pemberian otoritas pengelolaan wilayah

(7) Meningkatnya kebutuhan pasar lokal dan internasional terhadap hasil sumber daya alam

(8) Konvensi Internasional terhadap hukum laut Indonesia

(9) Kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara tetangga

(10) Kebijakan pemerintah untuk membentuk kelembagaan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar.

0.107 0.115

0.099

0.105

0.113

0.121

0.533 2.133

2.267

2.733

2.933

3.000

0.272 0.246

0.225

0.288

0.332

0.363

Jumlah 1.726 ANCAMAN (2) Belum ada penetapan batas laut

yang disepakati bersama (ZEE) (3) Masih lemahnya respon pengawasan

perbatasan laut antar negara (4) Adanya konflik kepentingan antar

stakeholer dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar.

0.113

0.126

0.099

1.733

1.733

2.000

0.197

0.218

0.199

0.613 Total 1 2.339

Pengawasan dan penegakan hukum sangat dibutuhkan agar dapat

diperoleh suatu kepastian hukum dalam menjaga kepentingan negara dari

gangguan asing. Sementara itu kapasitas pada bidang kelembagaan penegakan

hukum pengelolaan pulau-pulau kecil terluar perlu ditingkatkan sehingga

terwujud penegakan peraturan perUndang-Undangan, pengawasan,

pemantauan, pengamanan, dan pertahanan keamanan baik wilayah maupun

sumberdaya.

Faktor eksternal di atas juga didukung oleh kebijakan pemerintah untuk

membentuk kelembagaan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar yang

merupakan prioritas kedua dari faktor eksternal yang dapat dimanfaatkan untuk

peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara

dengan bobot 0.121. Dengan kelembagaan yang dibentuk berdasarkan

Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 diharapkan setiap lembaga yang

Page 79: Ringkasan Disertasi

79

terkait mampu melakukan koordinasi kelembagaan yang efektif dan mampu

memainkan peran sesuai kewenangannya.

Faktor eksternal lain yang merupakan peluang dalam peningkatan

pengelolaan pulau-pulau kecil terluar antara lain kebijakan nasional mendorong

investasi, kebijakan pemerintah dalam pemberian otoritas pengelolaan wilayah,

meningkatnya kebutuhan pasar lokal dan internasional terhadap hasil

sumberdaya alam, konvensi Internasional terhadap hukum laut Indonesia dan

kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara tetangga. Faktor-faktor ini

dapat dimanfaatkan jadi peluang dan pendukung bagi peningkatan pengelolaan

pulau-pulau kecil terluar, namun peranan untuk langsung adalah dari aspek

hukum dan kelembagaan. Kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara

tetangga khususnya Filipina diharapkan mampu mengkoordinasikan

permasalahan wilayah perbatasan yang menjadi hak masing-masing negara.

Disamping itu yang menjadi ancaman dalam peningkatan pengelolaan

pulau-pulau kecil terluar adalah belum ada penetapan batas laut yang disepakati

bersama (ZEE) dengan bobot 0.113. Hal ini perlu untuk segera diselesaikan dan

disepakati dengan upaya-upaya politis dan diplomatis. Namun demikian adanya

konflik kepentingan antar stakeholder dalam pengelolaan pulau-pulau kecil

terluar dengan bobot 0.099 dapat menjadi ancaman dalam pengelolaan pulau-

pulau kecil terluar sehingga sering menimbulkan konflik yang sulit diselesaikan

karena tidak jelasnya kewenangan antar lembaga maupun antar pemerintahan

pusat dan daerah. Oleh karena itu, diperlukan keterpaduan dalam pengelolaan

pulau-pulau kecil terluar.

Evaluasi faktor internal

Evaluasi faktor internal dilakukan dengan memberikan bobot, peringkat

dan skor terbobot pada masing-masing faktor. Bobot menunjukkan tingkat

kepentingan, peringkat menunjukkan kekuatan utama atau kecil dan kelemahan

utama atau kecil, dan skor menunjukkan posisi kekuatan faktor strategis internal.

Matriks evaluasi faktor internal dapat dilihat pada Tabel 15 berikut :

Page 80: Ringkasan Disertasi

80

Tabel 15 Matriks Evaluasi Faktor Strategis Internal

FAKTOR INTERNAL BOBOT PERINGKAT SKOR

KEKUATAN 1. Adanya program dari pemerintah

daerah untuk pembangunan pulau-pulau kecil terluar

2. Posisi geografis yang cukup strategis

3. Sumber daya alam dan jasa lingkungan kelautan yang besar

Jumlah

0.119

0.105 0.105

3.133

3.200 2.667

0.373

0.335 0.279

0.987

KELEMAHAN 1. Keterpencilan pulau-pulau kecil

terluar 2. Terbatasnya sarana dan prasarana

perekonomian. 3. Terbatasnya sarana prasarana

sosial 4. Lemahnya koordinasi antar

lembaga 5. Belum adanya UU yang khusus

mengenai pulau-pulau kecil terluar 6. Kontrol Pendanaan yang lemah Jumlah Total

0.100 0.115

0.113 0.116 0.103

0.125

2.200 2.133

2.067 2.200 2.133

2.067

0.220 0.245

0.234 0.256 0.219

0.258 1.431 2.418

Berdasarkan Tabel 15, total skor faktor strategis internal mendapatkan

angka 2.418. Menurut David (2004), nilai skor di bawah 2.5 menunjukkan bahwa

faktor strategis internal berada pada posisi lemah. Dengan demikian keadaan

faktor internal pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara

lemah.

Faktor kekuatan internal yang dipandang memiliki peran yang besar

dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah adanya program dari

pemerintah daerah untuk pembangunan pulau-pulau kecil terluar dengan bobot

0.119. Program dari pemerintah yang telah ditetapkan untuk pembangunan

pulau-pulau kecil menjadi pendorong dan dukungan bagi lembaga terkait dalam

meningkatkan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar secara berkelanjutan.

Faktor kekuatan internal di atas sangat terkait dengan faktor kelemahan

internal yang memiliki tingkat kepentingan pertama yaitu kontrol pendanaan yang

lemah dengan bobot 0.125. Faktor pendanaan menjadi penting karena

merupakan anggaran bagi kegiatan-kegiatan pengelolaan wilayah pulau-pulau

kecil terluar dan pembangunan sarana dan prasarana. Pendanaan yang

Page 81: Ringkasan Disertasi

81

diperoleh dari berbagai sumber perlu dilakukan pengontrolan dalam

penggunaannya agar terwujud hasil yang nyata dan efektif dalam meningkatkan

pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Jika dana tidak terkontrol maka peluang

terjadi penyalahgunaan dana semakin besar sehingga program pengelolaan

wilayah sulit dilaksanakan secara kontinu.

Keterbatasan sarana dan prasarana baik sosial dan ekonomi menjadi

faktor kelemahan yang cukup dominan dengan bobot 0.113 dan 0.115. Adanya

sarana dan prasarana yang dilakukan dengan penyediaan perangkat-perangkat

infrastruktur merupakan pendukung pengembangan pulau-pulau kecil terluar dan

sangat berpengaruh terhadap kelancaran terlaksananya program-program

pembangunan. Pembangunan infrastruktur seperti sarana perhubungan

mempermudah arus barang dan penumpang dalam memanfaatkan akses pasar-

pasar lokal, nasional dan internasional (Dahuri, 2003)

Rendahnya kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) di pulau-pulau kecil

terluar adalah akibat dari keterbatasan sarana dan prasarana sosial. Kualitas

SDM merupakan hal yang sangat penting dan mendasar dalam pengelolaan

pulau-pulau kecil terluar karena SDM tersebut adalah masyarakat lokal yang

akan terlibat langsung dalam program-program pembangunan sedangkan

mereka belum memiliki kesadaran dan pemahaman yang baik tentang arti

pentingnya pembangunan pulau-pulau kecil terluar. Sebagian besar penduduk di

kawasan itu kurang mendapatkan pendidikan yang layak dan tidak tersentuh

pemberdayaan SDM.

Faktor lain yang menjadi unsur kelemahan adalah lemahnya koordinasi

antar lembaga dengan bobot 0.116 dan belum adanya UU yang khusus

mengenai pulau-pulau kecil terluar dengan bobot 0.103. Kedua faktor ini adalah

permasalahan dalam aspek hukum dan kelembagaan. Kondisi ini menyebabkan

rendahnya kapasitas kelembagaan dan penegakan hukum sehingga sistem dan

operasional pengelolaan pulau-pulau kecil terluar menjadi kurang kondusif.

Faktor internal yang memiliki tingkat kepentingan cukup rendah adalah

posisi geografis yang cukup strategis dengan bobot 0.105, sumber daya alam

dan jasa lingkungan kelautan yang besar dengan bobot 0.105 dan keterpencilan

pulau-pulau kecil terluar dengan bobot 0.100. Faktor-faktor ini adalah bagian dari

keunikan dan menjadi ciri khas pulau-pulau tersebut baik dari sisi kelebihan

maupun kekurangannya yang tidak bisa diubah sehingga membuat tingkat

kepentingan faktor ini menjadi rendah. Namun demikian, faktor ini khususnya

Page 82: Ringkasan Disertasi

82

sumberdaya alam dan jasa lingkungan kelautan dan posisi geografis yang cukup

strategis merupakan kekuatan yang besar di pulau-pulau terluar tersebut yang

ditandai dengan peringkat yang besar yaitu 3.200 untuk posisi geografis dan

2.667 untuk sumber daya dan jasa kelautan karena ke dua faktor tersebut adalah

potensi yang dimiliki oleh pulau yang bersangkutan. Jika lembaga-lembaga

terkait mampu mengelola pulau-pulau tersebut sesuai dengan potensinya maka

akan didapat hasil yang efektif dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil

terluar perbatasan negara. Pengelolaan di tujukan pada sektor perikanan yang

berpotensi untuk peningkatan devisa negara melalui eksport hasil penangkapan

di laut teritorial dan dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Eksport dapat

dilakukan di Kota General Santos Filipina berhubung pertimbangan biaya

transportasi apabila wilayah penangkapan di perbatasan dan lokasi pengumpul

di Kota Bitung, maka waktu dan jarak tempuh menjadi pertimbangan. Oleh

karena itu perlu peningkatan kerjasama Peraturan Daerahgangan dengan

mengacu pada harga kesepakatan yang saling menguntungkan kedua belah

pihak.

Evaluasi Gabungan Faktor Strategis Eksternal dan Internal

Hasil evaluasi faktor eksternal dan internal kemudian dievaluasi secara

bersama-sama untuk menentukan arah strategi selanjutnya. Evaluasi gabungan

ini menggunakan matriks IE (Internal dan Eksternal) yang dapat dilihat pada

Gambar 15. Pada matriks tersebut, total skor evaluasi faktor eksternal dan

internal diplotkan sehingga dapat diketahui posisi kuadran pengelolaan pulau-

pulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara. Total skor evaluasi faktor eksternal

adalah 2.339 dan total skor evaluasi faktor internal adalah 2.418. Posisi ini

ditunjukkan oleh titik hitam yang berada dalam matriks kuadran V.

Berdasarkan dari matriks IE di atas, posisi peningkatan pengelolaan

pulau-pulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara pada saat ini berada pada

kuadran V artinya pengelolaan pulau-pulau tersebut berada pada kondisi yang

stabil atau tetap yang menunjukkan bahwa pengelolaan di pulau tersebut masih

belum mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang signifikan baik dari

aspek sumber daya alam, sosial ekonomi, pendanaan, hukum dan kelembagaan.

Hal ini merupakan kondisi nyata dari pulau-pulau tersebut saat ini seperti

pemanfaatan sumber daya alam hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan

Page 83: Ringkasan Disertasi

83

saat ini saja, masih adanya permasalahan di bidang hukum dan kelembagaan.

Salah satu bukti nyatanya antara lain maraknya pencurian ikan di kawasan

tersebut dan sampai saat ini masih belum ada kepastian garis batas laut dan

darat antara Indonesia dan Filipina. Pada aspek sosial ekonomi juga belum

menunjukkan pertumbuhan, pulau-pulau tersebut masih mengalami

keterisolasian dan tingkat kesejahteraan yang rendah. Begitu juga dengan

lemahnya sistem pendanaan sehingga pelaksanaan program-program

pembangunan belum bisa dilaksanakan secara kontinu.

Strategi yang harus dilakukan pada kondisi ini adalah melakukan

perbaikan secara internal dan menguatkan posisi eksternal sehingga skor dari

faktor internal dan eksternal meningkat. Faktor internal ditingkatkan dengan cara

membuat kelemahan-kelemahan utama menjadi kelemahan kecil dan kekuatan-

kekuatan kecil diusahakan menjadi kekuatan-kekuatan utama. Faktor eksternal

ditingkatkan skornya dengan membuat strategi yang dapat secara efektif

merespon dari faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi.

Hasil Matriks SWOT

Analisis SWOT adalah indentifikasi beberapa faktor secara sistematis

untuk merumuskan strategi pengelolaan pulau kecil terluar. Analisis ini

didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strenghts) dan

peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan

kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan

keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan,

strategis (strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis

peengelolaan pulau kecil terluar dalam kondisi yang ada pada saat ini.

Matriks SWOT (Strengths, Weakness, Opportunities, and Threats)

ditujukan untuk memformulasikan strategi-strategi peningkatan pengelolaan

pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara atas dasar keterangan

matriks IE (Internal dan Eksternal) di atas. Faktor eksternal, peluang dan

ancaman akan disintesakan dengan faktor internal, kekuatan dan kelemahan

sehingga dapat menghasilkan beberapa strategi.

Beberapa alternatif strategi yang menjadi keterkaitan dengan penelitian

berdasarkan analisis SWOT akan menggambarkan keadaan dan situasi saat ini

di lokasi penelitian yang telah disusun dalam bentuk matriks.

Page 84: Ringkasan Disertasi

84

Matriks SWOT dapat dilihat pada Gambar 13 Matriks SWOT yang

menghasilkan beberapa alternatif-alternatif strategi yang dapat dipilih.

Internal Eksternal

Kekuatan (S) 1 SDA dan jasa lingkungan

kelautan yang besar (S1) 2 Posisi geografis cukup

tinggi (S2) 3 Adanya program dari

pemerintah daerah untuk pembangunan pulau-pulau kecil terluar (S3)

Kelemahan (W) 4 Keterpencilan pulau-

pulau kecil terluar (W1) 5 Terbatasnya sarana dan

prasarana perekonomian. (W2)

6 Terbatasnya sarana prasarana sosial (W3)

7 Lemahnya koordinasi antar lembaga (W4)

8 Kontrol Pendanaan yang lemah (W5) Belum adanya UU yang khusus mengenai pulau-pulau kecil terluar (W6)

Peluang (O) 9 Kebijakan nasional

mendorong investasi (O1) 10 Kebijakan pemerintah dalam

pemberian otoritas pengelolaan wilayah (O2)

11 Meningkatnya kebutuhan pasar lokal dan internasional terhadap hasil sumber daya alam (O3)

12 Konvensi Internasional terhadap hukum laut Indonesia (O4)

13 Kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara tetangga (O5)

14 Kebijakan pemerintah untuk membentuk kelembagaan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar (O6)

SO Pelaksanaan program Pengelolaan SDA dan jasa lingkungan kelautan (S1,S3, O1,O2,O3) Penetapan Batas wilayah yang disepakati Indonesia dan Filipina (S2, O4, O5) Peningkatan kerjasama bilateral dan Internasional (S2, O4, O5) Penataan ruang wilayah pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara (S1,S2, O1-3)

WO Pembangunan sistem dan sinergi kelembagaan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar (W4,O6) Pembangunan Sarana dan Prasarana Wilayah (W1-3,O1-3) Peningkatan kekuatan sistem pendanaan (W5, O1)

Ancaman (T) 15 Belum ada penetapan batas

laut yang disepakati bersama (ZEE) (T1)

16 Masih lemahnya respon pengawasan perbatasan laut antar negara (T2)

17 Adanya konflik kepentingan antar stakeholder dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar (T3)

ST Penetapan Batas wilayah yang disepakati Indonesia dan Filipina (S2, T1, T2)

WT Perumusan Hukum dan Peraturan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar (W6,T2) Peningkatan Keterpaduan antar stakeholder dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar (W4, T3)

Gambar 13 Matriks SWOT

Page 85: Ringkasan Disertasi

85

Berdasarkan Gambar 13, alternatif strategi yang dapat dipilih untuk

peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi Utara terdiri dari

10 pilihan. Strategi-strategi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

Strategi Kekuatan – Peluang: (Strengths – Opportunities (S-O)

Kolom strategi S – O adalah strategi yang menggunakan kekuatan untuk

mengambil keuntungan dari peluang yang ada. Strategi tersebut antara lain :

Pelaksanaan program pengelolaan SDA dan jasa lingkungan kelautan

Strategi ini memanfaatkan kekuatan SDA dan jasa lingkungan kelautan

yang besar dan adanya program dari pemerintah daerah untuk pembangunan

pulau-pulau kecil terluar serta memanfaatkan peluang kebijakan nasional

mendorong investasi, kebijakan pemerintah dalam pemberian otoritas

pengelolaan wilayah dan meningkatnya kebutuhan pasar lokal dan internasional

terhadap hasil sumber daya alam.

Sumber daya alam dan jasa lingkungan merupakan bagian dari potensi

yang dimiliki oleh pulau-pulau perbatasan. Program pengelolaan SDA dan jasa

lingkungan kelautan dilaksanakan dengan penyusunan rancangan Peraturan

Daerah tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan tersebut

pemerintah daerah menetapkan kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan

untuk mencapai dan meningkatkan pengelolaan sumber daya pesisir secara

berkelanjutan. Pengelolaan secara berkelanjutan adalah suatu upaya

pemanfaatan sumber daya alam dan jasa lingkungan yang terdapat di pulau

untuk kesejahteraan manusia, artinya pemanfaatan tidak hanya dilakukan untuk

memenuhi kebutuhan saat ini saja, tetapi juga menjamin generasi yang akan

datang. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain : pembangunan pulau-pulau kecil

secara berkelanjutan dan berbasis masyarakat, sosialisasi peringatan dini

bencana alam, manajemen kawasan pesisir secara terpadu, rencana tata ruang

pesisir secara terpadu, pengelolaan kawasan konservasi laut sebagai reservoir,

pengendalian pencemaran, bersih pantai dan laut, rehabilitasi ekosistem

mangrove, rehabilitasi ekosistem karang, pembuatan daerah perlindungan laut

dan kawasan konservasi laut daerah, cagar alam laut dan identifikasi penamaan

laut.

Page 86: Ringkasan Disertasi

86

Program pengelolaan SDA dan jasa lingkungan kelautan juga

dilaksanakan guna memenuhi kebutuhan pasar lokal dan internasional terhadap

hasil sumber daya alam dan jasa lingkungan yang semakin meningkat.

Kebutuhan ini merupakan peluang mendorong pertumbuhan ekonomi, seperti

pemanfaatan jasa lingkungan untuk kegiatan pariwisata, budidaya perairan, yang

apabila dikembangkan secara optimal mampu memberikan kontribusi terhadap

peningkatan perekonomian masyarakat sekitarnya.

Peningkatan kerjasama bilateral dan internasional

Peningkatan kerjasama bilateral dan internasional sangat penting guna

meningkatkan dukungan dari dunia internasional dalam pengelolaan pulau-pulau

kecil terluar. Mengingat pulau-pulau terluar di Provinsi Sulawesi Utara memiliki

posisi geografis yang strategis sebagai pintu masuk dan keluar bagi Peraturan

Daerahgangan barang dan jasa dari negara-negara tetangga dan memiliki

tingkat kerawanan yang tinggi terjadinya konflik pemanfaatan antar negara maka

salah satu upaya untuk mendukung stabilitas politik, ekonomi, pertahanan dan

keamanan kawasan adalah dengan melakukan kerjasama bilateral dan

internasional.

Penataan ruang wilayah pulau-pulau kecil terluar

SDA dan jasa lingkungan kelautan yang besar serta posisi geografis yang

cukup tinggi merupakan kekuatan yang dimiliki oleh pulau-pulau kecil terluar di

Provinsi Sulawesi Utara. Kekuatan internal ini perlu ditingkatkan nilainya untuk

menjadi kekuatan utama dengan cara melakukan penataan ruang wilayah

terhadap pemanfaatan SDA dan jasa lingkungan kelautan di pulau tersebut.

Penataan ruang wilayah pulau-pulau kecil terluar bertujuan untuk

menentukan lokasi atau wilayah yang dijadikan sebagai tempat penangkapan

ikan, budidaya perairan, wisata dan konservasi. Hal ini sangat penting dilakukan

agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan dan konflik pengelolaan. Sebelum

dilakukan penataan ruang, perlu diidentifikasi terlebih dahulu potensi dan

keunggulan pulau tersebut sehingga pemanfaatan ruang wilayah didasarkan

pada potensi pulau yang bersangkutan.

Kebijakan pemerintah dalam mendorong investasi dan pemberian

otonomi daerah menjadi motivasi pada pelaksanaan strategi ini. Dengan

penataan ruang wilayah, maka calon investor akan lebih tertarik

Page 87: Ringkasan Disertasi

87

menginvestasikan dana karena melihat prospek yang cukup menguntungkan.

Begitu juga dengan pemberian otonomi daerah akan membuat pemerintah

daerah menjadi lebih leluasa menggunakan perannya dalam mengatur

kepentingan pengelolaan daerah masing-masing.

Penetapan batas wilayah yang disepakati Indonesia dan Filipina (S2, O4,

O5)

Batas wilayah darat dan laut antara Indonesia dan Filipina perlu

ditetapkan terutama berkaitan dengan masih banyak segmen kawasan pesisir

yang belum ditetapkan yang berkaitan dengan batas negara seperti pulau-pulau

terluar yang belum bernama, hal ini memiliki dimensi strategis kewilayahan

terutama penataan ruang laut yang berdampak sangat luas terhadap keamanan

dan kesejahteraan.

Penetapan batas wilayah ini memanfaatkan peluang Konvensi

Internasional terhadap hukum laut Indonesia dan kerjasama bilateral antara

Indonesia dengan negara tetangga khususnya Filipina. Adanya konvensi

internasional menjadi peluang bagi Indonesia untuk mendapatkan dukungan

yang besar dari dunia internasional. Konvensi Hukum Laut 1982 telah

memberikan hak kepada Indonesia untuk menetapkan batas-batas terluar dari

berbagai zona maritim dengan batas-batas maksimum yang sudah ditetapkan.

Penyelesaian permasalahan batas wilayah juga harus dilakukan dengan

peningkatan intensitas dialog antara Indonesia dan Filipina melalui kerjasama

bilateral dengan upaya-upaya politis dan diplomatis sehingga terwujud kepastian

garis batas wilayah laut dan darat antara Indonesia dan Filipina.

Strategi Kekuatan – Ancaman: Strength – Threats (S-T)

Strategi S-T merupakan strategi untuk menggunakan kekuatan yang

dimiliki oleh pulau-pulau terluar di Provinsi Sulawesi Utara dengan cara

menghindari ancaman. Strategi yang dapat dilakukan adalah :

Strategi penetapan batas wilayah

Strategi ini berusaha untuk meningkatkan nilai posisi geografis sebagai

kekuatan internal yang dimiliki oleh pulau tersebut dengan cara mengatasi

ancaman berupa belum adanya batas laut yang disepakati bersama dan masih

lemahnya respon pengawasan perbatasan laut antar negara. Strategi ini juga

ada di dalam strategi SO, namun dilihat dari faktor yang berbeda.

Page 88: Ringkasan Disertasi

88

Penetapan batas yang disepakati Indonesia dan Filipina

Penetapan batas merupakan sebuah kepastian hukum yang dapat

menunjang berbagai kegiatan yang terkait dengan kewenangan pengelolaan

pulau pulau kecil terluar di bidang sumber daya alam, sosial ekonomi, hukum dan

kelembagaan seperti perikanan, pariwisata, pelayaran, pertambangan, serta

peraturan yang mengawasi kegiatan di bidang tersebut agar tidak terjadi

kesalahan wewenang dan tindakan illegal yang menyebabkan kerugian negara.

Strategi Kelemahan – Peluang: Weakness – Opportunities (W-O)

Strategi W-O dalam konteks peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil

terluar terbagi menjadi dua definisi, yang pertama adalah strategi W-O untuk

mengatasi kelemahan yang dimiliki, dengan memanfaatkan berbagai peluang

yang ada, yang kedua adalah strategi W-O untuk memanfaatkan peluang

dengan cara mengatasi kelemahan-kelamahan yang dimiliki.

Pembangunan sistem dan sinergi kelembagaan pengelolaan pulau-pulau

kecil terluar.

Meskipun sebelumnya sudah terdapat lembaga-lembaga yang

mempunyai kewenangan pengelolaan seperti Dewan Kelautan Indonesia, Ditjen

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta DKP, namun lembaga ini belum mampu

mengakomodir permasalahan di pulau tersebut dan masih banyak lembaga-

lembaga lainnya yang memiliki wewenang tumpang tindih dan kurang berfungsi

dengan sinkronasi yang baik. Akibatnya sulit melakukan koordinasi dalam

pelaksanaan di lapangan.

Dengan adanya komitmen yang kuat dari pemerintah maka pemerintah

mengeluarkan kebijakan membentuk kelembagaan baru dalam pengelolaan

pulau-pulau kecil terluar. Berdasarkan Peraturan Presiden No 78 Tahun 2005

tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar, disebutkan bahwa dalam

pengelolaan perlu kelembagaan yang merupakan wadah koordinasi non

struktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Kelembagaan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilaksanakan oleh tim

koordinasi yang telah dibentuk yang terdiri dari ketua Menteri Koordinator Bidang

Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) dan wakil ketua I merangkap

Anggota Menteri Perikanan dan Kelautan dan Wakil Ketua II merangkap Anggota

Page 89: Ringkasan Disertasi

89

Menteri Dalam Negeri, sedangkan Sekretaris adalah Sekretaris Menteri

Koordinator Bidang Polhukam. Keanggotaan kelembagaan terdiri dari TNI,

kepolisian, badan intelijen dan kementerian yang lain.

Dengan adanya kelembagaan baru ini, diharapkan lembaga tersebut

mampu menjalankan wewenangnya sesuai dengan fungsinya dan mampu

bersinergi dalam sistem pengelolaan pulau-pulau kecil terluar yang terintegrasi

sehingga terwujud pengelolaan yang efektif dan efisien.

Strategi Kelemahan – Ancaman: Weakness – Threats (W-T)

Strategi WT adalah strategi yang ditujukan untuk meminimalkan

kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.

Perumusan hukum dan peraturan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar

(W6,T2)

Strategi ini ditujukan untuk mengatasi kelemahan belum adanya UU yang

khusus mengenai pulau-pulau kecil terluar dan ancaman masih lemahnya respon

pengawasan perbatasan laut antar negara. Dukungan perangkat hukum dan

peraturan sangat diperlukan guna menjamin kepastian hukum dalam

penyelenggaraan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar provinsi Sulawesi Utara.

Perangkat hukum dan peraturan dapat dirumuskan secara terintegrasi yang

mencakup keseluruhan aspek pengelolaan pulau-pulau kecil terluar provinsi

Sulawesi Utara baik aspek sumber daya alam dan lingkungan, pertahanan dan

keamanan, sosial ekonomi serta budaya dalam bentuk Undang-Undang,

peraturan pemerintah pusat dan daerah. Keberadaan perangkat hukum dan

peraturan ini akan menjadi pedoman bagi setiap institusi baik di pusat maupun

daerah dalam pemanfaatan pulau-pulau kecil terluar provinsi Sulawesi Utara.

Peningkatan keterpaduan antar stakeholder dalam pengelolaan pulau-

pulau kecil terluar (W4, T3)

Strategi ini ditujukan untuk mengatasi kelemahan koordinasi antar

lembaga dan mengatasi ancaman konflik kepentingan antar stakeholder dalam

pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Stakeholder perlu dilibatkan pada proses

perencanaan, pelaksanaan, dan pengontrolan dalam pengelolaan pulau-pulau

kecil terluar. Dengan keterlibatan semua stakeholder baik dari lembaga

pemerintah pusat, daerah, instansi swasta, dan masyarakat dapat mengurangi

konflik akibat kepentingan yang berbeda antar stakeholder tersebut.

Page 90: Ringkasan Disertasi

90

KESIMPULAN

Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian

penting dari ketahanan negara. Untuk itu setiap negara mempunyai kewenangan

menentukan batas wilayah yurisdiksinya masing-masing. Namun karena batas

terluar wilayah negara senantiasa berbatasan dengan wilayah kedaulatan negara

lain maka penetapan tersebut harus juga memperhatikan kewenangan otoritas

negara lain melalui suatu kerjasama dan pernjanjian, misalnya dalam bidang

survei dan penentuan batas wilayah darat maupun wilyah laut antara NKRI

dengan negara lain yang selama ini tertuang dalam bentuk MoU maupun

perjanjian-perjanjian penetapan garis batas laut.

UUD 1945 hasil amandemen dalam pasal 25A telah mengamanatkan

pembuatan UU untuk menetukan batas wilayah negara yang dijadikan pedoman

dalam mempertahankan kedaulatan NKRI, memperjuangkan kepentingan

nasional dan keselamatan bangsa, memperkuat potensi, memberdayakan dan

mengembangkan sumberdaya alam bagi kemakmuran seluruh bangsa

Indonesia. Dasar hukum wilayah negara telah diatur dalam Undang-Undang

Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara yang menjadi dasar hukum

untuk diketahui masyarakat internasional, terutama negara-negara yang

berbatasan dengan Indonesia, bahwa wilayah negara Kesatuan Republik

Indonesia, adalah salah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan

wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial

beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya,

termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.

Permasalahan pulau-pulau kecil di perbatasan negara karena letaknya

yang strategis serta karakteristiknya yang unik, sehingga permasalahannya sangat

kompleks, oleh karena pihak pemerintah dan pemerintah daerah harus melakukan

tindakan yang cepat dan tepat serta konperenhensif dan berkelanjutan bagi

sumberdaya alamnya, sekaligus membahas suatu naskah akademis dan rancangan

undang-undang khusus pulau perbatasan negara.

Hasil analisis menunjukkan bahwa penetapan batas wilayah menjadi

prioritas utama dan dengan meningkatkan konsultasi regional dalam bidang

ekonomi negara tetangga, serta meningkatkan intensitas pertemuan bilateral antar

kedua negara (Indonesia dan Filipina), untuk mencari titik temu posisi titik dasar dan

Page 91: Ringkasan Disertasi

91

titik referensi di laut, sebagai acuan batas dalam peta wilayah negara, kemudian

hasil kesepakatan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara mempunyai tingkat

kerawanan terhadap pertahanan dan keamanan negara, terutama terhadap

kejahatan transnasional, namun fasilitas untuk menunjang sistem pengawasan

masih kurang terutama sarana dan prasarana, termasuk personil yang terlatih

khusus untuk menangkal aktivitas ancaman masuknya terorisme dan perdagangan

illegal seperti senjata dan bahan makanan.

Kondisi sosial ekonomi masyarakat masih tergantung pada hasil

sumberdaya alam yang tersedia, sedangkan dalam musim-musim tertentu

masyarakat terperangkap tidak bisa keluar dari pulau akibat cuaca dan musim

gelombang laut yang tinggi. Sehingga ketergantungan masyarakat terhadap

kebutuhan pangan harus di suplai dari negara tetangga karena jarak antar pulau

terluar dan pulau ibukota kabupaten sangat jauh.

Pelintas batas masih terus berlangsung karena hubungan kekeluargaan

yang sudah terjalin sejak dahulu, sehingga para pelintas batas terutama masyarakat

Pulau Marore dan Pulau Miangas yang telah kawin-mawin dengan penduduk /

masyarakat Filipina hingga saat ini tetap melakukan perkunjungan. Ketidak

mampuan pemerintah daerah untuk memulangkan masyarakat Indonesia yang

tinggal di Pulau Mindanao, karena penghasilan mereka lebih memadai dan lebih

banyak apabila dibandingkan dengan hasil pendapatan apabila bekerja di pulau-

pulau di Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud.

Karena penetapan kembali batas (delimitasi) ZEE sebagai konsep yang

dikembangkan oleh negara-negara kepulauan sejauh 200 mil yang menjadi hak

yurisdiksi belum ada kesepakatan, maka konsultasi bilateral dapat dilaksanakan

sekaligus antara penetapan ZEE dengan wilayah landas kontinen, sebagaimana

diatur dalam Konvensi Hukum Laut tahun 1982.

Indonesia dan Filipina merupakan dua negara kepulauan yang berbatasan,

dan telah meratifikasi UNCLOS 1982 sebagai perundang-undangan negara masing-

masing, sehingga mensyaratkan adanya ZEE masing-masing negara kepulauan.

Wilayah ZEE yang terletak di antara negara Indonesia dan Filipina sering terjadi

Page 92: Ringkasan Disertasi

92

pelanggaran, terutama pencurian ikan, penyeludupan, dan kejahatan transnasional,

Oleh karenanya perlu dilakukan penanganan khusus oleh kedua negara.

Dalam penentuan batas yang berdasarkan konvensi, yurisprudensi dan

praktek negara tentang penetapan batas (delimitasi) maka penetapan batas wilayah

ZEE antara Indonesia dan Filipina dapat dilakukan dengan persetujuan dan

berpedoman pada prinsip sama jarak (equitable principles).

Kendala-kendala akibat belum adanya penetapan batas wilayah

ZEE antara Indonesia dan Filipina, adalah masalah teknis yuridis, hak-hak

perikanan tradisional, rute navigasi (ALKI), faktor sosio-kultural. Dalam

bidang kelautan dihadapi (1) masih adanya konflik antar sektor dalam

pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut yang menyebabkan belum optimalnya

manfaat sumber daya ini jika dibandingkan dengan potensinya; (2) pengendalian

dan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan terhadap illegal,

unreported and unregulated (IUU) fishing yang masih tumpang tindih antarsektor

karena banyaknya lembaga pengawas (TNI AL, Polair, DKP, Bakorkamla), masih

lemahnya penegakan hukum, serta kurang memadainya sarana dan prasarana

yang ada; (3) masih adanya pelanggaran dalam pemanfaatan sumber daya alam

dan aktivitas ekonomi yang tidak memperhatikan aspek lingkungan hidup yang

menimbulkan kerusakan, pencemaran, dan penurunan kualitas sumber daya

alam dan lingkungan hidup; (4) kurang memadainya kegiatan mitigasi dan

adaptasi terhadap dampak perubahan iklim pada wilayah pesisir dan pulau-pulau

kecil yang rentan; (5) kurangnya pemahaman pentingnya tata ruang laut dan

pulau-pulau kecil; (6) belum memadainya sarana dan prasarana di pulau-pulau

kecil dan masih adanya kesenjangan sosial-ekonomi antara pulau besar dan

pulau kecil, serta belum optimalnya pengelolaan pulau-pulau kecil terdepan; (7)

belum memadainya produk riset dan pemanfaatan hasil riset; serta (8) belum

memadainya kuantitas dan kualitas sumber daya manusia. Peraturan Daerah di

Provinsi Sulawesi Utara belum diadopsi oleh Kabupaten Kelautan Sangihe dan

Kabupaten Kepulauan Talaud, khusus tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir

Berbasis Masyarakat, walaupun Peraturan Daerah tersebut sudah disahkan sejak

tahun 2003.

Page 93: Ringkasan Disertasi

93

SARAN

Berdasarkan sejumlah simpulan tersebut, dikemukakan beberapa saran

sebagai berikut :

(1) Praktek illegal fishing sangat merugikan masyarakat nelayan setempat

dan nelayan kapal perikanan Indonesia. Oleh karena itu perlu

peningkatan pengawasan dan penegakan hukum oleh pihak TNI AL dan

TNI AU termasuk peran serta pemerintah daerah dan masyarakat lokal.

(2) Menjaga kerukunan kekeluargaan antara masyarakat lokal pulau-pulau

terluar dengan masyarakat lokal Pulau Mindanao dan sekitarnya yang

telah menetap di Filipina, dengan mengindentifikasi jumlah dan status

kewarganegaraan. Hal ini diperlukan untuk mengetahui berapa jumlah

warga, pekerjaan, dan status kewarganegaraannya.

(3) Sebagai tindakan sementara menunggu ditetapkannya perjanjian batas

wilayah ZEE antara Indonesia dan Filipina, pemerintah Indonesia dan

Filipina memperketat penjagaan keamanan wilayah tersebut dari

tindakan-tindakan pelanggaran yang terjadi.

(4) Pemerintah Indonesia dan pemerintah Filipina menangani secara serius

mengenai status para warga negara yang berada atau tinggal di masing-

masing negara lain, dengan tanpa alasan yang sah. Tindakan ini akan

mengurangi kemungkinan terjadinya pelanggaran di wilayah masing-

masing negara.

(5) Pelanggaran di wilayah ZEE tersebut sangat merugikan kedua negara,

maka jalan keluar atas kondisi tersebut adalah merintis kembali

dilakukannya pembahasan tentang penetapan batas ZEE oleh

pemerintah Indonesia dan Filipina.

(6) Apabila diperlukan untuk penyusunan naskah akademis dan rancangan

undang-undangan khusus tentang pulau-pulau di perbatasan negara dan

peraturan pelaksanaannya seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan

Presiden (Perpres), Keputusan Menteri (KepMen), Peraturan Daerah

(Perda) dan sebagainya, sebagai payung hukum yang berlaku secara

vertikal maupun secara horizontal.

(7) Perubahan status hukum dari Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005

tentang Pengelolaan Pulau Terluar menjadi Undang-Undang.

Page 94: Ringkasan Disertasi

94

(8) Penyusunan Rencana Tata Ruang Pulau-Pulau Kecil terluar di

perbatasan negara harus berdasarkan peta yang dikeluarkan oleh

Bakosurtanal, dan tidak mengacu pada peta elektronik yang disajikan

lewat internet oleh Google yang salah mencantumkan informasi nama

pulau Miangas dalam peta, padahal dalam peta seharusnya pulau

Sarangani dan pulau Balut di Filipina (Gambar 12). Oleh karena itu perlu

usulan perbaikan dari pemerintah supaya peta elektronik dari perusahan

Google di Amerika Serikat agar di perbaiki sesuai yang benar, agar tidak

menimbulkan permasalahan dikemudian hari karena data dan informasi

yang salah.

(9) Status semua pulau-pulau terluar di Provinsi Sulawesi Utara dibuatkan

Sertifikat khusus sebagai Pulau Negara.

Page 95: Ringkasan Disertasi

95

DAFTAR PUSTAKA

Abubakar A. 2004. Analisis Kebijakan Pemenfaatan Pulau-Pulau Kecil Perbatasan (Kasus Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur) Desertasi Doktor, Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.

Agoes ER. 2002. Status Perbatasan Wilayah Negara Republik Indonesia dengan

Negara Tetangga, Makalah Dialog Kebijakan Kelautan dan Perikanan Internasional : Masa depan Perbatasan Indonesia – Singapura. Direktorat Kelembangaan Internasional DKP.

Agoes ER. 2004. Praktik Negara-Negara Atas Konsepsi Negara Kepulauan.

Jurnal Hukum Internasional Marine Law Affair Vol.1 No.3 April 2004. Hal. 441-463.

Analytic Hierarchy Processhttp://www.sli.unimelb.edu.au/subjects/451/418_2000/ lecture10/slides/mef1.pdf http:\\www.cdo.unimelb.edu.au\cdo. Aqorau T. 2000. Illegal Fishing and Fisheries Law Enforcement in Small Island

Developing States: The Pacific Islands Experience. The International Journal of Marine and Coastal Law. Vol 15, No 1 Kluwer Law International.

Arsana IMA. 2007. Batas Maritim Antar Negara, Sebuah Tinjauan Teknis dan

Yuridis. Gajah Mada University Press, Jogyakarta. Baldacchino G.2008. Islands in Between: Martín García and other Geopolitical

Flashpoints. Island Studies Journal Vol. 3, No. 2, pp. 211-224 Bengen DG. 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta

Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB Bogor.

Bengen D. dan Retraubun A. 2006. Menguak Realitas dan Urgensi Pengelolaan

Berbasis Eko-Sosio Sistem Pulau-Pulau Kecil P4L, Bogor. Beller W. 1990. How to Sustain Small Island. In Beller, d’Ayala and P. Hein

(Eds). Sustainable Development and Environmental Management of Small Island. Unesco, Paris.

Bess R, Rallapudi R. 2007. Spatial conflicts in New Zealand fisheries: The rights

of fishers and protection of the marine environment,.Marine Policy 31 : 719–729

Billiana CS, Robert KW. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management :

Concepts and Practices. Island Press, Washington DC. Botchway F. 2001. Good Governance: Th e Old, the New, the Principle, and the

Elements, Florida Journal of International Law, Vol 13, pp. 159, 161. Brookfield HC. 1990. An Approach to Islands. In W.P. d’Ayala and P. Hein (Eds).

Sustainable Development and Environmental Management. Man and Biopher series. Vol. 5.

Page 96: Ringkasan Disertasi

96

Christie P. 2005. Is Integated Coastal Management Sustainale?. Ocean and

Coastal Management 48 : 208-232. Churchill RR. and Lowe AV. 1991. The Law of The Sea. Manchester University

Press. Clark JR. 1996. Coastal Zone Management. Handbook. Lewis Publishers. CRC

Press LLC. Boca Raton, Florida USA. Cosquer G, Hangoüet JF. 2003. Delimitation of Land and Maritime Boundaries:

Geodetic and Geometric Bases. TS20 New Professional Tasks - Marine Cadastres and Coastal Management, FIG Working Week Paris, France, April 13-17, 2003

Dahl C. 1997. Integrated costal resources management and community

participation in a small island setting. Ocean and Coastal Management 36 : 23 – 45.

Dahuri R. 1998. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, IPB

Bogor Dahuri R. Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 2001. Pengelolaan Sumber Daya

Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Dahuri R. 2003. Keanekaragaman hayati laut, Aset pembangunan berkelanjutan

Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Danusaputro M. 1978. Wawasan Nusantara (dalam Ilmu, Politik dan Hukum).

Alumni. Bandung. Direktorat Kelembagaan Internasional, Direktorat Jenderal Peningkatan

Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran, 2003. Batas-batas Maritim Indonesia – Negara Tetangga, Departemen Kelautan dan Perikanan.

Dirhamsyah D. 2006. Indonesian legislative framework for coastal resources

management: A critical review and recommendation. Ocean & Coastal Management 49 : 68–92

Djalal H. 1979. Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut. BPHN. Jakarta [DKP]. 2003. Batas-Batas Maritim Indonesia–Negara Tetangga. Direktorat

Kelembagaan Internasional. Draft Akhir Rencana Induk Pengelolaan Perbatasan Negara di Provinsi Sulawesi

Utara, Bappenas.t.t Estache A. (ed). 1995. Decentralizing Infrastructure: Advantages and Limitations,

World Bank Discussion Paper 290, Washington D.C. p. 18. Fanning L, ed. all. 2007. A large marine ecosystem governance framework.

Marine Policy 31 : 434–443

Page 97: Ringkasan Disertasi

97

Ginting SP. 2006. Pengelolaan Perbatasan Laut, Prosiding Konferensi Nasional 2006 Pengelolaan Pesisir Lautan untuk meningkatkan Marwah Negeri, Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil DKP,

Griffith, Innis. 1992. Small Island Charateristics and their constrain is Sustainable

Development. Griggs L, Lugten G. 2007. Veil over the nets (unravelling corporate liability for

IUU fishing offences.) Marine Policy 31 : 159–168 Hamzah A. 1988. Laut Teriritorial dan Perairan Indonesia, Akademi Presindo

Jakarta. Harrison J. 2007. Judicial Law-Making and the Developing Order of the Oceans.

The International Journal of Marine and Coastal Law 22 : 283 Harte M, Barton J. 2007. Reforming management of commercial fisheries in a

small island territory. Marine Policy 31 : 371–378 Heazle M, Butcher JG.2007. Fisheries depletion and the state in Indonesia:

Towards a regional regulatory regime. Marine Policy 31 : 276–286 Herrera GE, Hoagland P. 2006. Commercial whaling, tourism, and boycotts: An

economic perspective. Marine Policy 30 : 261–269 Hilborn R. 2007. Defining success in fisheries and conflicts in objectives. Marine

Policy 31 : 153–158 Hyvättinen H, Hildén M. 2004. Environmental policies and marine engines effects

on the development and adoption of innovations. Marine Policy 28 : 491–502 Jentoft S. 2005. Fisheries co-management as empowerment. Marine Policy 29 :

1–7 Jentoft S. 2007. Limits of governability: Institutional implications for fisheries and

coastal governance. Marine Policy 31 : 360–370 Kartasaspoetra, G dan Kartasaputra, R.G 1984. Indonesia dalam lingkaran

Hukum Internasional (dari abad ke abad), Sumur Bandung. Kay, R dan J. Alder. 1999. Coastal Planning and Management, Routiedge. New

York. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, DKP, Dep.

Hukum dan Ham, CRMP/Mitra Pesisir, 2005. Buku Narasi : Menuju Harmonisasi Sistem Hukumsebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia.

Keyuan Z. 2005. Implementing The United Nations Convention on The Law of

The Sea in East Asia : Issues and Trends. Singapore Year Book of International Law and Contributors.

Page 98: Ringkasan Disertasi

98

Keyuan Z. 2008. Law of the Sea Issues Between the United States and East Asian States. Ocean Development & International Law 39 : 69–93.

[KM] Keputusan Menteri KP Nomor 41 Tahun 2000 tentang Pedoman Umum

Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Koers WA. 1991. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum laut,

Suatu. Ringkasan. Penerjemah Rusi M, M.Rizki & Wahyuni Bahar, Gajah Mada University Press.Yogyakarta.

Kusumaatmadja M. 1978. Bunga Rampai Hukum laut, Binacipta Jakarta. Kusumaatmadja M, Purwaka TH. 1996. Legal and Institutional Aspects of

Coastal Zone Management in Indonesia. Marine Policy. VOl. 20 No. 1. Pp. 63-86.

Laporan Bupati Kepulauan Talaud, 2005. Gambaran Umum dan Isu Strategis

Kabupaten Kepulauan Talaud 2005 pada kunjungan kerja Menteri Perikanan dan Kelautan 14 Desember 2005.

Lembaga Pengkajian Hukum Internasional. Fakultas Hukum Universitas

Indonesia. 2004. Jurnal Hukum Internasional [Indonesian Journal of International Law]. Vol.1 Nomor 3.

Luntungan R. 2000. Pengaturan Konvensi Hukum Laut 1982 dalam kaitannya

dengan Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dan Filipina. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Bandung.

Maarif MS. 2007. Pulau-Pulau Kecil Terluar: Ancaman dan Tantangan. Humas

Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan.

Manurung RM, 1982. Penegakan Hukum Di Perairan Yurisdiksi Nasional

Indonesia. Penerbit Surya Indah. Jakarta. Marimin. 1999. Penyelesaian persoalan AHP dengan Criterium Decision Plus.

Jurusan Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian. IPB Bogor.

Marimin. 2002. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manajerial IPB

Press Bogor. Marpaung L. 1993. Tindak Pidana Wilayah Perairan (Laut) Indonesia. Sinar

Grafika. Jakarta. Mauna B. 2005. Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era

Dinamika Global, Penerbit PT. Alumni Bandung. Marzuki PM. 2005. Penelitian Hukum. Prenada Media. Jakarta. Miclat EFB, Ingles JA, 2006. Dumaup JNB. 2006. Planning across boundaries for

the conservation of the Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion. Ocean & Coastal Management 49 : 597–609

Page 99: Ringkasan Disertasi

99

Mikalsen KH, Hernes HK, Jentoft S. 2007. Leaning on user-groups: The role of civil society in fisheries governance. Marine Policy 31 : 201–209

Mirah AD. 2007. Manajemen Stratejik Pengembangan Agroindustri Berbasis

Unggulan Wilayah, Draft Desertasi Institut Pertanian Bogor. Monintja DR. 1996 Pemenfaatan Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia :

Suatu Tantangan Nasional, Orasi Ilmiah, IPB Bogor. Nainggolan PP. ed. 2004. Batas Wilayah dan Situasi Perbatasan Indonesia,

Ancaman terhadap Integritas Teritorial. Tiga Putra Utama. Jakarta. Nakajima, T and M. Machida. 1990. Island in Japan. In W.P. d’Ayala and P. Hein

(Eds). Sustainable Development and Environmental Management. Man and Biopher series. Vol. 5.

Nikijuluw PH. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan, P3R. PT.

Pustaka Cidesindo Jakarta. Nikijuluw PH. 2008. Blue Water Crime: Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Ilegal.

PT. Pustaka Cidesindo Jakarta. Numberi F. 2006. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar. Dalam Buletin

Kelautan P3K. Departemen Kelautan dan Perikanan. Vol. IV. No.1 Maret 2006. Hal.12-25.

Ostrom, E and Schlager, E. 1996. The Formation of Property Rights in Henna, S,

Folke, C, Maler, K.G.1996. Rights to Nature: Ecological, Economic, Cultural, and Political Principles of lnstitufions for the Environment [Editor]. Island Press. Washington DC

Patlis JM. Knight M and Benoit J.2003. in press. Integrated Coastal Management

in Decentralizing Developing Countries: The General Paradigm, the U.S. Model and the Indonesian Example, The Ocean Yearbook, Vol. 17, U. Chicago Press, Chicago, IL.

Patlis JM. 2005. The role of law and legal institutions in determining the

sustainability of integrated coastal management project in Indonesia. Ocean and Coastal Management 48 : 450-467.

Patlis JM. Purwaka TM. Perdanahardja WGH, editor. 2005. Menuju Harmonisasi

Sistem Hukum sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan HAM, bekerjasama dengan Coastal Resources Management Project II [USAID]. Jakarta.

Pedoman Penyajian Karya Ilmiah. 2008. Edisi Kedua Cetakan Pertama. IPB

Press. Bogor. Penataan Ruang Kawasan Perbatasan di Pulau Miangas Kabupaten Talaud

Provinsi Sulawesi Utara. 2007. Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Direktorat Tata Ruang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan.

Page 100: Ringkasan Disertasi

100

Penyusunan Rencana Tata Ruang Terpadu di Pulau-Pulaui Kecil Terluar

(Marore, Miangas dan Marampit) Provinsi Sulawesi Utara. 2007. Direktorat Jenderal Penataan Ruang. Departemen Pekerjaan Umum.

Prasad N. 2003. Small Island Quest for Economics Development, Asia-Pacific

Development Journal Vol. 10, No. 1. Pratt M (tt) Geographical analysis in maritime boundary delimitation, International

Boundaries. Research Unit, Department of Geography, Durham University, Durham DH1 3LE, UK. Web: www.dur.ac.uk/ibru

Purwaka T. 2003. Pokok-pokok pikiran untuk Mengembangkan Grand Design

Kelembagaan Kelautan dan Perikanan. Materi Kuliah Program Pascasarjana. PS. Teknologi Kelautan IPB.

[PP] Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat

Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. [PP] Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-

Pulau Kecil Terluar. Queffelec B, Cummins V, Bailly D. 2009. Integrated management of marine

biodiversity in Europe: Perspectives from ICZM and the evolving EU Maritime Policy framework. Marine Policy 33 : 871-877.

Rangkuti. 1997. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis.Gramedia.

Jakarta Rayfuse R, Warner R. 2008. Securing a Sustainable Future for the Oceans

Beyond National Juridiction : The Legal Basis for an Integrated Cross-Sectoral Regime for High Seas Governance for 21st Century. The International Journal of Marine and Coastal Law 23 : 399-421.

Retraubun ASW. 2006a. Pengelolaan Wilayah Perbatasan dan Pulau-Pulau

Kecil. Dalam Prosiding Konferensi Nasional (KONAS) V Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil. Direktorat Jenderal, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan.

Retraubun ASW. 2006b. Pengelolaan Wilayah Perbatasan dan Pulau-Pulau

Kecil. Buletin Kelautan P3K. Departemen Kelautan dan Perikanan. Vol.VI.Khusus September 2006.

Rutherford RJ, Herbert GJ, Coffen-Smout SS. 2005. Integrated ocean

management and the collaborative planning process: the Eastern Scotian Shelf Integrated Management (ESSIM) Initiative. Marine Policy 29 : 75–83

Saaty TL. 1982. Decision Making for Leaders. Belmont California : Lifetime

Learning Publications. Saaty TL. 2003. Pengambilan Keputusan bagi para pemimpin, Proses Hirarki

Analitik untuk pegambilan keputusan dalam situasi dan kompleks. PT. Pustaka Binaman Pressindo Jakarta.

Page 101: Ringkasan Disertasi

101

Sabarno 2003. Arti Penting Penataan Batas Wilayah dalam Negara Kesatuan

Republik Indonesia, Majalah Perbatasan Januari 2003. Sarundajang, S.H. 2006. Kebijakan Pengembangan Pulau-pulau kecil terluar di

Provinsi Sulawesi Utara, Dalam Prosiding Konferensi Nasional (KONAS) V Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil. Direktorat Jenderal, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan.

Satria A, Matsuda Y. 2004. Decentralization of fisheries management in

Indonesia. Marine Policy 28 : 437–450 Seidman A. Seidman. RB and Abeyesekere N. 2001. Legislative Draft ing for

Democratic Social Change: A Manual for Drafters. Boston, Mass.: Kluwer Law International.

Singarimbun M, Effendi S. (Editor) 1989. Metode Penelitian Survey. LP3ES

Jakarta. Sutisna S. 2006. Pandangan Wilayah Perbatasan Indonesia: Aspek

Permasalahan Batas Maritim Indonesia. Pusat Pemetaan Batas Wilayah Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional.

Soeprapto M.I. 1998. Ilmu Perundang-undangan, Dasar-dasar dan

Pembentukannya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Subagyo PJ. 1993. Hukum laut Indonesia, Rineka Cipta Jakarta. Sugiyono 2006. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta.

Bandung Syahmin AK. 1988. Beberapa Perkembangan dan Masalah Hukum laut

Internasional. Binacipta. Bandung. SWOT Analysis. http://www.quickmba.com/strategy/swot/ Turner M and Hulme D. 1997. Governance, Administration and Development:

Making the State Work. Kumarian Press, West Hartford, CT., p. 122-124. Thorpe A, Reid C, van Anrooy R, Brugere C. 2005. When fisheries influence

national policy-making: an analysis of the national development strategies of major fish-producing nations in the developing world. Marine Policy 29 : 211–222

[UU] Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. [UU] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia. [UU] Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif

Indonesia. [UU] Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nation

Convention on the Law of the Sea 1982.

Page 102: Ringkasan Disertasi

102

[UU] Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. [UU] Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. [UU] Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. [UU] Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. [UU] Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. [UU] Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara. [UU] Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2009 tentang Persetujuan Pelaksanaan

Ketentuan Ketentuan Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 yang berkaitan dengan Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh.

Valencia MJ, Danusaputro SM. 1984. Indonesia: Law of the Sea and Foreign

Policy Issues. Indonesian Guarterly. Vol. XII No. 4. p 486. Verlaan PA. 2007. Experimental activities that intentionally perturb the marine

environment: Implications for the marine environmental protection and marine scientific research provisions of the 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea. Marine Policy 31 : 210–216

Wila MRC. 2006. Konsepsi Hukum dalam Pengaturan dan Pengelolaan Wilayah

Perbatasan Antarnegara, Penerbit PT Alumni Bandung. Wolff M. 2009. (Edited). Propical Water and their Livinf Resources : Ecology,

Assessment and Management. H.M. Hauschild GmbH, Bremen, Germany.

Page 103: Ringkasan Disertasi

103

Daftar Peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan

pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terluar.

No.

Peraturan

Perundang-

undangan

Nomor dan Tahun Tentang

1 Undang Undang Dasar Negara Tahun 1945 Perubahan Ke IV

2 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1960 Perairan Indonesia

3 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria

4 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1962 Karantina Laut

5 Undang Undang Nomor 16 Tahun 1964 Bagi Hasil Perikanan

6 Undang Undang Nomor 11 Tahun 1967 Ketentuan Pokok

Pertambangan

7 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1973 Landas Kontinen Indonesia

8 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 Hukum Acara Pidana

9 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1983 Zona Ekonomi Eksklusif

Indonesia

10 Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 Peradilan Umum

11 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 Peradilan Tata Usaha Negara

12 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 Konservasi Sumber Daya

Alam dan Ekosistemnya

13 Undang Undang Nomor 9 Tahun 1990 Kepariwisataan

14 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1991 Kejaksaan

15 Undang Undang Nomor 12 Tahun 1992 Sistem Budidaya Tanaman

16 Undang Undang Nomor 14 Tahun 1992 Lalulintas dan Angkutan Jalan

17 Undang Undang Nomor 15 Tahun 1992 Penerbangan

18 Undang Undang Nomor 16 Tahun 1992 Karantina Hewan Ikan dan

Tumbuhan

19 Undang Undang Nomor 21 Tahun 1992 Pelayaran

20 Undang Undang Nomor 23 Tahun 1992 Kesehatan

21 Undang Undang Nomor 24 Tahun 1992 Penataan Ruang

22 Undang Undang Nomor 10 Tahun 1995 Kepabeanan

23 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1996 Hak Tanggungan atas Tanah

beserta Benda-benda yang

berkaitan dengan Tanah.

24 Undang Undang Nomor 6 Tahun 1996 Perairan Indonesia

25 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1996 Pangan

26 Undang Undang Nomor 15 Tahun 1997 Ketransmigrasian

27 Undang Undang Nomor 18 Tahun 1997 Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah

28 Undang Undang Nomor 20 Tahun 1997 Penerimaan Negara Bukan

Pajak

29 Undang Undang Nomor 21 Tahun 1997 Bea Perolehan Hak Atas

Tanah dan Bangunan

30 Undang Undang Nomor 23 Tahun 1997 Pengelolaan Lingkungan

Hidup

31 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1999 Susunan dan Kedudukan

Majelis Permusyawaratan

Page 104: Ringkasan Disertasi

104

No.

Peraturan

Perundang-

undangan

Nomor dan Tahun Tentang

Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat dan Dewan

Perwaklikan Rakyat Daerah

32 Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 Pemerintahan Daerah

33 Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Daerah

34 Undang Undang Nomor 28 Tahun 1999 Penyelenggaraan Negara yang

Bersih dan Bebas dari Korupsi

Kolusi dan Nepotisme

35 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa

36 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi

37 Undang Undang Nomor 36 Tahun 1999 Telekomunikasi

38 Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 Kehutanan

39 Undang Undang Nomor 43 Tahun 1999 Pokok Pokok Kepegawaian

40 Undang Undang Nomor 16 Tahun 2000 Ketentuan Umum dan Tata

Cara Perpajakan

41 Undang Undang Nomor 17 Tahun 2000 Pajak Penghasilan

42 Undang Undang Nomor 34 Tahun 2000 Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah

43 Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 Minyak Bumi

44 Undang Undang Nomor 16 Tahun 2002 Yayasan

45 Undang Undang Nomor 3 Tahun 2002 Pertanahan Negara

46 Undang Undang Nomor 18 Tahun 2002 Sistem Nasional Penelitian,

Pengembangan dan Penerapan

Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi

47 Undang Undang Nomor 28 Tahun 2002 Bangunan Gedung

48 Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 Keuangan Negara

49 Undang Undang Nomor 27 Tahun 2003 Panas Bumi

50 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004 Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial

51 Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 Kekuasaan Kehakiman

52 Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004 Sumber Daya Air

53 Undang Undang Nomor 8 Tahun 2004 Peradilan Umum

54 Undang Undang Nomor 9 Tahun 2004 Peradilan Tata Usaha Negara

55 Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan

56 Undang Undang Nomor 18 Tahun 2004 Perkebunan

57 Undang Undang Nomor 19 Tahun 2004 Kehutanan

56 Undang Undang Nomor 25 Tahun 2004 Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional

59 Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 Perikanan

60 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah

Page 105: Ringkasan Disertasi

105

No.

Peraturan

Perundang-

undangan

Nomor dan Tahun Tentang

61

62

Undang Undang

Undang Undang

Nomor 33 Tahun 2004

Nomor 26 Tahun 2007

Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah

Penataan Ruang

63 Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 Pengelolaan Wilayah Pesisir

dan Pulau-Pulau Kecil

64 Undang Undang Nomor 43 Tahun 2008 Wilayah Negara

65

Peraturan

Pemerintah

Nomor 47 Tahun 1997 Rencana Tata Ruang Wilayah

Nasional

66 Peraturan

Pemerintah

Nomor 19 Tahun 1999 Pengololaan Kualitas Air dan

Pengendalian Pencemaran Air

67

68

Peraturan

Pemerintah

Peraturan

Presiden

Nomor 82 Tahun 2001

Nomor 12 Tahun 2010

Pengendalian Pencemaran

Dan/Atau Perusakan Laut

Badan Nasional Pengelola

Perbatsan

69 Keputusan

Presiden

Nomor 32 Tahun 1990 Pengelolaan Kawasan Lindung

70 Keputusan Menteri

Kelautan dan

Perikanan

Nomor 41 Tahun 2000 Pedoman Umum Pengelolaan

Pulau-pulau Kecil yang

berkelanjutan dan Berbasis

Masyarakat

71 Keputusan Menteri

Kelautan dan

Perikanan

Nomor 10 Tahun 2002 Pedoman Umum Perencanaan

Pengelolaan Pesisir Terpadu

72 Peraturan

Pemerintah

Nomor 38 Tahun 2002 Daftar Koordinat Geografis

Titik-Titik Garis Pangkal

Kepulauan Indonesia

73 Peraturan

Pemerintah

Nomor 37 Tahun 2008 Perubahan atas Peraturan

Pemerintah Nomor 38 Tahun

2002 Daftar Koordinat

Geografis Titik-Titik Garis

Pangkal Kepulauan Indonesia

74 Peraturan Menteri

Kelautan

Nomor

Per.16/Men/2008

Perencanaan Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-

Pulau Kecil

75 Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil

Terluar

76 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 Badan Nasional Pengelola

Perbatasan

77 Peraturan Daerah

Kabupaten

Minahasa

Nomor 2 Tahun 2002 Pengelolaan Sumberdaya

Wilayah Pesisir Terpadu

Berbasis Masyarakat

78 Peraturan Daerah

Provinsi Sulawesi

Utara

Nomor 38 Tahun 2003 Pengelolaan Wilayah Pesisir

dan Laut Terpadu Berbasis

Masyarakat

Page 106: Ringkasan Disertasi

106

CATATAN :