MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL...

53
MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi S.Tri Herlianto NIM 110 101 10 500040 PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2015

Transcript of MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL...

Page 1: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN

PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN

Ringkasan Disertasi

S.Tri Herlianto

NIM 110 101 10 500040

PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2015

Page 2: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

i

TIM PEMBIMBING

Prof. Dr. H. Barda Nawawi Arief, S.H.

(Promotor)

Prof. Dr. Sunarto D.M., S.H., M.H.

(Co Promotor)

Page 3: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

ii

Tim Penguji Ujian Terbuka (Promosi) Doktor

Ketua :

Prof.Dr.R.Benny Riyanto,SH.,M.Hum.,CN.

Sekretaris :

Dr. RB.Sularto,SH.,M.Hum.

Anggota :

1. Prof. Dr.dr.Anies, M.Kes.,PKK. (Penguji).

2. Prof.Dr.Suteki,SH.,M.Hum. (Penguji).

3. Prof.Dr.Supanto,SH.,M.Hum. (Penguji Eksternal).

4. Dr.Pujiono,SH.,M.Hum. (Penguji).

5. Prof.Dr.Barda Nawawi Arief,SH. (Promotor).

6. Prof.Dr.Sunarto DM, SH.,MH. (Co Promotor).

Page 4: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

iii

MOTTO

Terlahir dan dibesarkan oleh Ibu Pertiwi,

hidup dan bertaruh nyawa untuk menjaga Bangsa dan Negara,

dalam tugas sukses tidak dipuji,

gagal dicacimaki,

tertangkap tidak diakui,

hilang tidak dicari,

matipun tidak dihormati,

karena jiwa ragaku terlahir untuk Negara,

yang ada dan tiada sebagai penjaga Bangsa dan Negara.

Page 5: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

iv

PERSEMBAHAN

Disertasi ini saya persembahkan kepada:

Almamaterku tercinta:

Universitas Diponegoro,

Universitas Lampung,

Universitas Bandar Lampung,

Sekolah Tinggi Intelijen Negara dan

Kementerian Pertahanan dan Keamanan Negara.

Page 6: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang

selalu memimpin langkah pemikiran kepada penulis dalam menyelesaikan

disertasi ini dengan judul “ Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian

Perkara Malpraktik Kedokteran”

Disertasi yang diajukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar doktor

Ilmu Hukum di Program Studi Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum

Universitas Diponegoro Semarang.

Disertasi ini merupakan hasil penelitian terhadap penyelesaian hukum atas

kasus-kasus tindak pidana praktik kedokteran/malpraktik antara dokter sebagai

pelaku tindak pidana dengan korban pasien yang terjadi pada beberapa kota di

Palembang, Lampung, Bandung, DKI Jakarta yang penulis terlibat langsung

meneliti ke lapangan.

Penulis menyadari bahwa selama empat tahun lebih berproses di PDIH

Undip tidak terlepas dari dorongan, bantuan dan arahan dari berbagai pihak.

Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang

setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah berkenan membantu. Ucapan

terimakasih disertai rasa bangga, penulis sampaikan kepada Universitas

Diponegoro yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk turut

mengusung dan mengibarkan tinggi-tinggi Panji Diponegoro.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, penulis

sampaikan kepada yang terhormat dan amat terpelajar Prof. Dr. Barda Nawawi

Arief, S.H. sebagai Promotor dan Prof. Dr. Sunarto D.M., S.H., M.H. sebagai Co-

Promotor, yang telah menanamkan etos kerja keras, kedalaman budi pekerti,

kesabaran, kepercayaan, kebanggaan, pencerahan dan kemuliaan hidup dalam

menyelesaikan disertasi ini. Semoga beliau berdua selalu diberkati Tuhan Yang

Maha Esa atas limpahan berkat kesehatan , panjang umur, selalu dalam kebaikan

dan kemurahan hati, damai sukacita didalam Tuhan dan dimudahkan meraih

kesuksesan dan kemuliaan hidup, amin.

Ucapan terima kasih dan rasa bangga pula penulis sampaikan kepada yang

terhormat dan amat terpelajar Prof. Dr. Rahayu, S.H., M.Hum dan Dr.Heni Siswa

to,SH.,MH yang telah berkenan menjadi teman diskusi, tempat bertanya dan

selalu menyemangati untuk terus berproses dan siap menghadapi segala dinamika

„sekolah‟ S3. Semoga beliau selalu diberkati kelimpahan damai sejahtera, sehat,

dikaruniai panjang umur, selalu dalam kebaikan dan kemurahan hati, dan

dimudahkan mencapai kesuksesan serta kemuliaan hidup, amin.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya juga penulis

sampaikan kepada yang terhormat:

a. Prof. Dr.Yos Johan Utama, SH.,M.Hum., Rektor Undip yang telah memberi

kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan di PDIH UNDIP;

Direktur Program Pasca sarjana UNDIP dan para Pembantu rektor dan Staf

Karyawan yang telah memberi fasilitas dan pelayanan selama menempuh

pendidikan di UNDIP.

Page 7: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

vi

b. Prof. Dr.R.Benny Riyanto, S.H., M.Hum.,CN, Dekan Fakultas Hukum Undip

dan para Pembantu Dekan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis

untuk mengikuti jenjang pendidikan tertinggi di Undip.

c. Prof. Dr. F.X. Adji Samekto, S.H., M.Hum., Ketua PDIH Undip; Prof. Dr.

Esmi Warassih Pujirahayu, S.H., M.S., mantan Ketua PDIH Undip; Dr. Nanik

Trihastuti, S.H., M.Hum., mantan Sekretaris PDIH Undip; Para Sekretaris

PDIH Undip, Prof. Dr. Rahayu, S.H., M.Hum. (Sekretaris Bidang Akademik)

dan Dr. R.B. Sularto, S.H., M.Hum. (Sekretaris Bidang Keuangan) yang telah

memberikan bantuan selama menempuh pendidikan.

d. Para dosen penguji, baik pada Ujian Kualifikasi, Ujian Seminar Usulan

Penelitian, Ujian Seminar Hasil Penelitian, dan Ujian Kelayakan yaitu: Prof.

Dr. Sunarto D.M., S.H., M.Hum.; Prof. Dr. dr. Anies, SpKK, S.H.,; Prof. Dr.

Suteki, SH.,M.Hum,Prof. Dr. Supanto,S.H.,M.Hum, Prof. Dr. Rahayu, S.H.,

M.Hum.; Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum.; Dr. R.B. Sularto, S.H.,

M.Hum. yang telah memberikan arahan dan masukan yang sangat berarti

untuk perbaikan dan penyempurnaan disertasi ini.

e. Semua Dosen Pengajar di PDIH Undip yang dengan tulus ikhlas membagikan

ilmunya dan memberikan pencerahan keilmuan kepada penulis: Prof. Dr.

Bernard Arief Sidharta, S.H.; Alm. Prof. Soetandyo Wignyosoebroto, MPA.;

Alm. Prof. Dr. Paulus Hadisuprapto, S.H., M.Hum.; Prof. Dr. Esmi Warassih

Pujirahayu, S.H., M.S.; Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H.; Prof. Dr.

Yusriyadi, S.H., M.S.; Prof. Dr. F.X. Sugiyanto, S.E., M.S.; Prof. Hikmahanto

Juwana, S.H., LL.M., Ph.D.; Prof. Drs. Bambang Setiadi, M.Sc., Ph.D.; Prof.

Dr. Liek Wilardjo; Prof. Dr. Mahfud M.D.; Prof. Dr. I Gede A.B. Wiranata,

S.H., M.H.; Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.H.; Prof. Dr. Rahayu, S.H.,

M.Hum.; Prof. Dr. Suteki,S.H.,M.Hum, Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H.

f. Rekan-rekan kuliah di PDIH KPK Undip-Unila Angkatan III Tahun 2010-

2011: Bapak Dr. Heni Siswanto, S.H.,M.H.;Bapak Marsudi Utoyo, S.H.,

M.H.; BapakDr. F.X. Sumarja, S.H., M.Hum.; Bapak Sunaryo, S.H., M.Hum.;

Bapak Didiek R. Mawardi, S.H., M.H.;; Ibu Kingkin Wahyuningdyah, S.H.,

M.H.; Ibu Amnawaty, S.H., M.H.; Ibu Elly Nurlaeli, S.H., M.H.; Ibu Dr.Erlina

Bachri, S.H., M.H.; Bapak Dr. Tami Rusli, S.H., M.H.; Ibu Candra Perbawati,

S.H., M.H.; Ibu Zuhraini, S.Ag., M.H.; Zulfikar Ali Butho, S.H., M.H.; Ery

Setyanegara, S.H., M.H.; Bapak Shafruddin, S.H., M.H. yang terus

menyemangati. Saya mengucapkan salam 3-17.Bravo.

g. Teman-teman Korps Badan Inteljen Negara, Badan Inteljen Strategis,

Batalyon Kesehatan, Para Dosen Universitas Pertahanan Negara, Para Dosen

Sekolah Tinggi Inteljen Negara, senior,yunior,seangkatanKorps Sandi Negara.

h. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung: Prof. Dr. Kadri Husin, S.H.,

M.H. (almarhum); Prof. Dr. Sanusi , S.H.; Prof. Dr. Sunarto DM, S.H., M.H.;

Prof. Dr. Khaidir Anwar, S.H., M.H.; Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H.; Prof. Dr. I

Gede A.B.Wiranata, S.H., M.H.; Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S.; Dr. Maroni,

S.H., M.H.; Dr. Yuswanto, S.H., M.Hum.; Prof. Dr. Muhammad Akib, S.H.,

M.H.; Dr. H.S. Tisnanta, S.H., M.Hum.; Dr. Muhammad Fakih, S.H., M.H..;

Dr. Budiono, S.H., M.H.; Dr. Rudy, S.H., LL.M., LL.D.; M.H.; M.Hum.; M.

Eko Raharjo, S.H., M.H.dan masih banyak lagi teman lain yang tidak mungkin

disebutkan satu persatu.

Page 8: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

vii

i. Para narasumber penelitian:Dr.dr.Asep Sukohar,M.Kes.; Dr.Hj. Anny

Isfandyarie, Sp.An., S.H.; Prof.dr. I Made Widnyana, S.H.,M.H.; Dr. Heni

Siswanto,S.H.,M.H.;Dr. H.S. Tisnanta, S.H., M.Hum.; Prof.Dr.dr. Ajeng

Saraswati, Sp.J.; Prof.Dr. dr. Hari Nugroho, Sp.B.; Dr.dr. Ananta Adi, Sp.D.;

Dr.dr. Billi, Sp.B.An.

j. Teman-teman di PDIH Undip: ibu Linda; ibu Alvi; ibu Diah; ibu Dendy; ibu

Dian; Mas Delta; bapak Jumadi; bapak Yuli; bapak Robby; bapak Abdul

Gofur Taufik; bapak Muhadi; dan ibu/bapak lain yang tidak bisa disebutkan

satu persatu, penulis menghaturkan terima kasih atas perhatian dan bantuan

yang telah diberikan selama ini.

Penulis mendoakan kepada seluruh pihak, dilimpahi Berkat Kasih Karunia

Tuhan atas kebaikan, kepedulian dan perhatian, bantuan, kemurahan hati,

kejujuran, keikhlasan dan dorongan semangat selama masa-masa perkuliahan,

pembimbingan dan pelaksanaan ujian, dari sejak awal kuliah sampai berakhirnya

studi S3 ini, semoga budi baik Bapak dan Ibu menjadi amal ibadah yang akan

menjadikan suatu Berkat Kasih Karunia Tuhan yang berlimpah.

Penulis menyadari disertasi ini belumlah sempurna, sehingga kritik dan saran

yang konstruktif selalu diterima dengan hati dan tangan terbuka. Mudah-mudahan

disertasi yang sederhana ini dapat bermanfaat dalam rangka turut membangun,

mengembangkan dan mewujudkan SPP dan ilmu hukum Indonesia yang integral,

berkualitas, berkebenaran dan berkeadilan Pancasila, amin.

Tuhan Memberkati Kita Semua.

Semarang, Agustus 2015

Penulis

Page 9: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

viii

DAFTAR ISI

Tim Pembimbing ............................................................................................ i

Tim Penguji Ujian Terbuka (Promosi) Doktor ........................................... ii

Motto .............................................................................................................. iii

Persembahan ................................................................................................ iv

Kata Pengantar ............................................................................................. v

Daftar Isi ........................................................................................................ viii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang................................................................................. 1

B. Permasalah ...................................................................................... 3

C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 3

D. Metode Penelitian ........................................................................... 3

E. Jenis Penelitian ............................................................................... 4

II. PEMBAHASAN

A. Mediasi Penal dari Perspektif Perundang-Undangan serta

Penerapannya dalam Perkara Malpraktik Kedokteran ................. 5

1. Mediasi Penal dari Perspektif Perundang-Undangan saat ini ... 8

2. Penerapan Mediasi Penal dalam Penyelesaian Perkara

Malpraktik Kedokteran saat Ini ................................................ 12

3. Perspektif Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem

Hukum Pidana ......................................................................... 14

B. Kebijakan Legislasi Mediasi Penal sebagai Alternatif

Penyelesaian Perkara Malpraktik Kedokteran dalam Pembaharuan

Hukum Pidana masa yang akan datang .......................................... 22

1. Kebijakan Penentuan Pidana dalam Perkara Malpraktik

Kedokteran yang dapat dimediasi ........................................... 22

2. Kebijakan Penerapan Mediasi Penal dalam Pembaharuan

Hukum Pidana Praktik Kedokteran sebagai bagian dari

Proses Peradilan Pidana ........................................................... 24

a. Mediasi Penal dalam Perkara Malpraktik Kedokteran di

Luar Proses Peradilan Pidana .......................................... 24

b. Mediasi Penal dalam Perkara Malpraktik Kedokteran

sebagai bagian Proses Peradilan Pidana .......................... 24

III. PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................... 35

B. Saran ........................................................................................ 37

C. Implikasi .................................................................................. 39

Daftar Pustaka ................................................................................................ 41

Biodata Penulis ............................................................................................... 44

Page 10: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak pidana praktik kedokteran/malpraktik kedokteran

semakin banyak terjadi dan diliput dalam pemberitaan media massa

nasional, baik itu media cetak maupun media elektronik. Menurut LBH

Kesehatan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Pusat bahwa terdapat kurang

lebih 210 kasus pertahunnya dugaan malpraktik kedokteran di

Indonesia,1

walaupun sebagian besar tidak sampai ke pengadilan.

Tampaknya kondisi sekarang sudah berubah, hubungan dokter-pasien

yang bersifat paternalistik dan berdasarkan kepercayaan (fiduciary

relationship) mulai goyah. Pemicu terjadinya sengketa adalah

kesalahpahaman, perbedaan penafsiran, ketidakjelasan pengaturan,

ketidakpuasan, ketersinggungan, kecurigaan, tindakan yang tidak patut,

curang atau tidak jujur, kesewenang-wenangan atau ketidakadilan, dan

terjadinya keadaan yang tidak terduga serta perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi yang mempengaruhi juga dunia

kedokteran.2

Dilain pihak tuntutan masyarakat terselenggaranya

pelayanan medis bermutu tinggi dan tidak pernah salah dan sudah tentu

dengan biaya murah. Benturan antara kepentingan inilah yang

menimbulkan berbagai konflik/sengketa dan tuduhan dugaan tindak

pidana dalam praktik kedokteran yang kemudian masuk dalam ranah

hukum, baik perdata maupun pidana.

Keadaan yang terjadi sekarang, sentimen korps profesi

kesehatan yang saling melindungi sesama profesional akan menyulitkan

upaya pengusutan yang obyektif, sehingga kasus-kasus dugaan

malpraktik hanya masuk ”peti es” dan tidak ditangani lagi. Hal tersebut

mengakibatkan pihak pasien perpendapat bahwa tenaga kesehatan kebal

hukum dan selalu berlindung di balik etika tenaga kesehatan agar

terlepas dari tanggung jawab yang seharusnya. Sebaliknya, kalangan

kesehatan berpendapat bahwa pihak pasien sangat kuat kedudukannya

sehingga dapat dengan begitu saja menuntut atau menggugat tenaga

kesehatan untuk suatu hasil pengobatan yang negatif atau tidak

memenuhi harapan pasien. Padahal dampak tuntutan itu terkadang

sudah merupakan pembunuhan karakter atau character assassination

terhadap tenaga kesehatan yang dituntut atau di gugat. Pada

kenyataannya tidak selalu hasil negatif itu merupakan kesalahan atau

kelalaian tenaga kesehatan yang merawat. Dapat disimpulkan bahwa

untuk menentukan perbuatan merupakan malpraktik atau tidak, harus

dilakukan dengan pendekatan (yang bersifat khusus) kedokteran atau

kesehatan dan ilmu hukum secara proporsional. Dalam hal tersebut

profesinya (dokter/tenaga medis) menjadi terlalu sangat berhati-hati dan

timbul yang dinamakan negative defensif professional practice, yang

1Data pada Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, bagian pembelaan hukum, Jakarta:

Biro Hukum PB IDI, 2012. 2H.R. Hariadi, Sorotan Masyarakat Terhadap Profesi Kedokteran, makalah disampaikan

dalam sarasehan Penanganan Terpadu Masalah Etik Dan Hukum, Surabaya, 23 September 2000

hlm. 1 dalam Endang Kusuma Astuti, Transaksi Terapeutik dalam Upaya Pelayanan Medis di

Rumah Sakit, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009, hlm. 234-238

Page 11: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

2

mengurangi kreatifitas dan dinamika profesional tindakan dokter atau

tenaga medis.

Dalam proses penyelesaian perkara malpraktik kedokteran dapat

digunakan dua jalur yaitu litigasi (pengadilan) dan non

litigasi/konsensual/non-ajudikasi. Memahami bahwa proses beracara di

pengadilan adalah proses yang membutuhkan biaya dan memakan

waktu. Sistem pengadilan konvensional secara alamiah berlawanan,

sering kali menghasilkan satu pihak sebagai pemenang dan pihak

lainnya sebagi pihak yang kalah. Sementara itu kritik tajam terhadap

lembaga peradilan dalam menjalankan fungsinya yang dianggap terlalu

padat, lamban dan buang waktu, mahal dan kurang tanggap terhadap

kepentingan umum serta dianggap terlalu formalistik dan terlampau

teknis. Itu sebabnya masalah perlunya peninjauan kembali perbaikan

sistem peradilan ke arah yang efektif dan efesian terjadi dimana-mana.

Bahkan muncul kritik yang mengatakan bahwa proses pengadilan

beserta hasilnya dianggap tidak efesien dan tidak adil.

Kelemahan dan ketidakpuasan terhadap operasionalisasi sistem

peradilan pidana mendorong untuk dicari penyelesaian alternatif dari

sistem peradilan pidana dengan penyelesaian perkara di luar jalur

penal, yaitu dengan cara mediasi sebagai perwujudan restorative

justice, yaitu perlu adanya pemikiran penyelesaian perkara pidana

melalui jalur alternative dispute resolution (ADR) dengan maksud agar

dapat menyelesaikan konflik yang terjadi antara pelaku dengan korban,

juga guna mengatasi kekakuan/formalitas dalam sistem peradilan

pidana yang berlaku, menghindari efek negatif dari sistem pemidanaan

yang ada saat ini, khususnya dalam mencari alternatif lain dari pidana

penjara (alternatif to imprisonment/ alternative to custody), dan upaya

penyelesaian dalam perkara malpraktik kedokteran yang lebih bersifat

kekeluargaan, musyawarah dan masih mempertahankan harkat dan

martabat manusia serta penyelesaiannya memuaskan kedua belah pihak

(win-win solution) serta untuk mengurangi stagnasi atau penumpukan

perkara (the problem of court case overload)3

dan untuk

penyederhanaan proses peradilan pidana.

Asas hukum pidana positif Indonesia, perkara pidana tidak dapat

diselesaikan di luar pengadilan, walau dalam hal-hal tertentu

dimungkinkan adanya penyelesaian kasus di luar pengadilan. Akan

tetapi, praktik penegakan hukum di Indonesia sering juga perkara

pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui diskresi penegak hukum,

mekanisme perdamaian secara kekeluargaan, mekanisme musyawarah,

lembaga adat dan sebagainya.

3Upaya untuk mengurangi beban pengadilan (penumpukan perkara) di beberapa negara

lain yang juga ditempuh dengan dibuatnya ketentuan mengenai “penundaan penuntutan”

(supension of prosecution) atau “penghentian/penundaan bersyarat” (conditional dismissal/

discontinuance of the proceedings) walaupun bukti-bukti sudah cukup, seperti diatur dalam Pasal

248 KUHAP (Hukum Acara Pidana) Jepang dan Pasal 27-29 KUHP (Hukum Pidana Materiil)

Polandia dalam Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalamPenanggulangan Kejahatan

dengan Pidana Penjara, Semarang : BP UNDIP cetakan ke-3, 2000, hlm. 169-171.

Page 12: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

3

Implikasi praktik penyelesaian perkara malpraktik di luar

pengadilan selama ini belum ada landasan hukum formalnya, sehingga

lazim juga terjadi suatu perkara malpraktik secara informal telah

dilakukan penyelesaian damai melalui mekanisme musyawarah

kekeluargaan, namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum

positif yang berlaku. Konsekuensi makin diterapkan eksistensi mediasi

penal sebagai salah satu alternatif penyelesaian perkara di bidang

hukum pidana melalui restitusi dalam proses peradilan pidana

menunjukkan bahwa perbedaan antara hukum pidana dan hukum

perdata tidak begitu besar dan menjadi tidak berfungsi.

Mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara

malpraktik kedokteran selain bermanfaat bagi pasien maupun

keluarganya, masyarakat dan dunia kedokteran, pelayanan kesehatan

masyarakat, juga sejalan dengan perkembangan hukum dalam tataran

global, serta hukum yang hidup dan berkembang dalam tataran lokal,

yakni masyarakat adat/kearifan lokal di Indonesia yang telah memiliki

mekanisme penyelesaian perkara melalui perundingan atau

permusyawarahan untuk mencapai kesepakatan.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dirumuskan

beberapa permasalahan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah mediasi penal dalam tindak pidana malpraktik

kedokteran dari perspektif perundang-undangan serta penerapannya

pada saat ini?

b. Bagaimanakah kebijakan legislasi mediasi penal sebagai alternatif

penyelesaian perkara malpraktik kedokteran dalam pembaharuan

hukum pidana masa yang akan datang?

C. Tujuan Penelitian

Mengkaji, memahami mediasi penal dari perspektif perundang-

undangan serta penerapannya dalam penyelesaian perkara malpraktik

kedokteran pada saat ini serta menemukan kebijakan legislasi mediasi

penal sebagai alternatif penyelesaiannya dalam pembaharuan hukum

pidana yang akan datang.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumbangan

pemikiran untuk pengembangan dan pembaharuan hukum terutama

dalam KUHP sebagai ius constituendum dalam aspek penyelesaian

perkara didalam dan atau di luar pengadilan, dalam konteks Sistem

Peradilan Pidana (SPP) khususnya dalam sub sistemnya maka

pemanfaatan penelitian mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian

perkara malpraktik kedokteran serta diharapkan dapat memberikan

manfaat bagi pemerintah, para penegak hukum, Kepolisian, Kejaksaan,

Advokat, Hakim Peradilan umum dan para pelaku usaha pelayanan

kesehatan baik rumah sakit, dokter dan tenaga medis lainnya serta

Page 13: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

4

pasien, masyarakat dan juga berbagai kalangan pemerhati dan pengkaji

alternatif penyelesaian perkara yang timbul akibat terjadinya malpraktik

kedokteran khususnya dalam rangka pengembangan dan pembaharuan

hukum pidana serta pengambil kebijakan yang kompeten, baik dalam

menyusun konsep, mengaplikasikan maupun menegakan hukum pidana

di bidang praktik kedokteran.

E. Jenis Penelitian.

Jenis penelitian4

yang dipandang sesuai dengan penelitian

disertasi ini adalah penelitian hukum normatif dan penelitian hukum

empiris5

atau penelitian hukum doktrinal dan nondoktrinal dengan

pendekatan studi sosiolegal6 (socio-legal studies) dengan mendasarkan

pada paradigma kritikal. Penelitian socio-legal7 dengan landasan filsafat

hermeneutik dan teori kritik melalui pendekatan interpretive/ verstehen,

penelitian hukum yang lebih berorientasi kepada kemanusiaan.

Penelitian ini tidak lagi melihat hukum sebagai realitas yang

otonom, obyektif, netral, imparsial, dan dapat digeneralisasikan.8 Oleh

karena itu, penelitan ini bertujuan untuk menganalisis mediasi penal

dalam sistem peradilan pidana dan merekonstruksi sistem peradilan

pidana secara integral dan berkualitas dalam penyelesaian perkara

malpraktik kedokteran melalui mediasi penal.

4Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad menyatakan ada 2 (dua) jenis penelitian hukum,

yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris (sosiologis). Pembagian ini sesuai

dengan pendapat Soerjono Soekanto dan Ronny Hanitijo Soemitro, dalam Dualisme Penelitian

Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hlm., 153. 5

FX Adji Samekto, Ilmu Hukum dalam Perkembangan Pemikiran Menuju Post-

Modernisme, Indepth Publishing, Bandar Lampung, 2012, hlm. 155. 6Sulistyowati Irianto memaparkan bahwa studi sosiolegal sebenarnya bukan studi yang

benar-benar baru. Studi yang bersifat interdisipliner ini merupakan hibrida dari studi besar tentang

ilmu hukum dan ilmu-ilmu tentang hukum dari perspektif kemasyarakatan yang lahir sebelumnya.

Kebutuhan untuk menjelaskan persoalan hukum secara lebih bermakna secara teoretikal.

Sementara itu secara praktikal, studi ini juga dibutuhkan untuk menjelaskan bekerjanya hukum

dalam hidup keseharian warga masyarakat, dalam Sulistyowati Irianto, Memperkenalkan Studi

Sosiolegal dan Implikasi Metodologisnya, makalah dalam op.cit., Sulistyowati Irianto dan

Shidarta, Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,

2011, hlm. 173.

7 Kajian sosiolegal merupakan kajian yang memadukan kajian hukum doktrinal dengan

kajian sosial. Pemaduan ini dilandasi oleh keyakinan bahwa aturan hukum tidak pernah bekerja di

ruang hampa. Aturan hukum bekerja di ruang yang penuh dengan sistem nilai, kepentingan yang

bisa dominan, tidak netral. Dalam kajian sosio-legal dilakukan studi tekstual terhadap pasal-pasal

dalam peraturan hukum. Selanjutnya dilakukan analisis secara tajam apakah aturan-aturan itu di

dalam masyarakat dapat mewujudkan keadilan, kestabilan hidup dan kesejahteraan di dalam

masyarakat.Untuk itulah dilakukan penelitian sosial yang untuk akurasi dan pencapaian

kebenarannya didasarkan pada paradigma. Dari penelitian sosial itu lalu bisa disimpulkan aturan-

aturan hukum itu dapat memberikan keadilan atau tidak. Dalam kajian sosio-legal, hukum

dikonsepsikan sebagai norma aturan yang berlaku dan sekaligus sebagai fakta sosial. Di dalam

sosio-legal, hukum dilihat sebagai faktor penentu dalam sistem sosial yang dapat menentukan dan

ditentukan, dalam F.X. Adji Samekto, Menempatkan Paradigma Penelitian dalam Pendekatan

Hukum Non-Doktrinal dan Penelitian dalam Ranah Sosio-Legal, Makalah, 2012. 8 Esmi Warassih Pujirahayu, Penelitian Socio-Legal…, hlm. 163.

Page 14: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

5

Melalui kajian itu dicoba memahami norma hukum yang

tertuang dalam sejumlah teks peraturan perundang-undangan terkait

dengan perkara malpraktik kedokteran.

II. PENBAHASAN

A. Mediasi penal dari perspektif perundang-undangan dan

penerapannya dalam perkara malpraktik kedokteran.

Mediasi penal merupakan salah satu bentuk dari penerapan

restorative justice, yaitu konsep yang memandang kejahatan atau tindak

pidana bukanlah hanya sekedar urusan pelaku tindak pidana (dokter)

dengan Negara yang mewakili korban (pasien), dan meninggalkan

proses penyelesaiannya hanya kepada pelaku (dokter) dan Negara

(Jaksa penuntut umum). Restorative justice menuntut proses peradilan

pidana untuk memberikan pemenuhan kepentingan - kepentingan

korban (pasien dan/atau keluarganya) sebagai pihak yang dirugikan

akibat perbuatan pelaku (dokter). Sehingga diperlukan pergeseran

paradigma dalam pemidanaan untuk menempatkan mediasi penal

sebagai bagian dari sistem peradilan pidana.

Kecenderungan dalam perkembangan hukum pidana dan

pemidanaan serta pembaharuan peradilan pidana baik dalam teori

maupun praktik, lebih dikembangkan bentuk rekonsiliasi atau mediasi

dalam penyelesaian perkara pidana. Hal ini mengingat secara etik, tren

ini bersandar pada asas pertanggung jawaban individu, dalam hukum

pidana substantif, dengan mengacu pada pengambilan

pertanggungjawaban pelaku terhadap sanksi pidananya, dalam hukum

pelaksanaan sanksi. Metode alternatif resolusi kesepakatan ini juga

memberikan lebih besar kepentingan korban yaitu pasien serta

keluarganya dan membuat ruang bagi manajemen konflik rasional.

Mengingat pandangan etik pula sebuah reaksi terhadap sebuah tindak

pidana adalah sebuah kejahatan tersendiri, tapi tidak diperlukan

timbulnya kerugian atau luka baru terhadap pelaku tindak pidana9.

Ide yang mendasari mediasi penal adalah menyatukan pihak-

pihak yang menginginkan untuk merekontruksi model peradilan pidana

yang sangat panjang dengan model resolusi, yang akan memperkuat

posisi korban (pasien) dan mencari alternatif pidana, serta mencari cara

untuk mengurangi kerugian dan beban berat pada sistem peradilan

pidana mengingat sistem ini lebih efektif dan efesien10

.

Mediasi pidana yang dikembangkan itu bertolak dari ide dan

prinsip kerja (working principles) sebagai berikut11.

9Diater Rossner, Mediation as a Basic Element of Crime Control : Theoretical and

Empirical Coments, www.bufallo university journal. 10

Recommendation No. R (99) 19. ( the Committee of Ministers of the Council of Europe)

15 September 1999. 11

Stefanie Trankle, The Tension between judicial Control and Autonomy in Victim-

Offender Mediation-a Microsociological Study of a Paradoxical Procedure Based on Examples of

the Mediation Process in Germany and France, http://www.iuscrim.mpg.de/

orsch/krim/trankle_e.html.

Page 15: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

6

a. Penanganan konflik (Conflict Handling/Konflikbearbeitung):

b. Berorientasi pada proses (Process Orientation; Prozessorientie-

rung):

c. Proses informal ( Informal Proceeding - Informalitat):

d. Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and

Autonomous Partiticipation – Parteiautonomie/Subjektivierung)

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti simpulkan keuntungan-

keuntungan mediasi penal dalam alternatif penyelesaian perkara

malpraktik kedokteran adalah sebagai berikut:

1. Keuntungan mediasi bagi korban (pasien dan/atau keluarganya),

tekanan berkurang dibanding jika berperkara di pengadilan, tidak

perlu membawa saksi, tidak perlu menyewa pengacara, dan

mendapat kesempatan untuk mengkontrol hasilnya.

2. Bagi pelaku tindak pidana (dokter) dapat diuntungkan karena

terhindar dari pemidanaan, catatan kejahatan atau denda dan biaya-

biaya perkara yang lebih besar.

3. Mediasi juga dapat mempererat atau mempersatukan kembali

hubungan dokter dengan pasiennya serta keluarga pasien tersebut

jika para pihak yang terlibat termasuk di dalamnya dengan

kesepakatan damai dan pembayaran ganti kerugian, serta

memberikan pelajaran bagi dokter untuk melayani pasiennya

dengan hati-hati dan lebih baik untuk dapat menghindari konflik di

masa mendatang.

Hasil dari penelitian penulis didapat bahwa pada saat ini dalam

penyelesaian perkara malpraktik kedokteran secara damai telah

dilakukan oleh dokter sebagai tersangka dengan pasien sebagai korban

melalui mediasi aparat kepolisian walaupun masih menimbulkan

kontroversi. Ada yang berpendapat bahwa hal tersebut tidak dibenarkan

dengan alasan bahwa secara yuridis formal, tindakan aparat hukum

yang tidak mengajukan perkara kepengadilan secara tegas melanggar

asas legalitas yang menghendaki setiap perkara pidana harus diajukan

kepengadilan.

Demikian halnya pendapat yang menyatakan bahwa fenomena

penghentian perkara pidana malpraktik kedokteran dengan alasan

perdamaian sangat bertentangan dengan asas oportunitas. Oleh karena

yang berhak mengenyampingkan perkara hanyalah Jaksa Agung

sebagaimana yang tertera pada Pasal 35 UU. No. 16 th 2004, Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67 yang menegaskan

bahwa:

“Jaksa Agung dapat mengesampingkan perkara demi

kepentingan umum”

Sesungguhnya, bila ditinjau dari segi legalistik positivistik

pendapat tersebut di atas ada benarnya. Namun demikian, demi

memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat, hendaknya pengertian

kepentingan umum dalam asas oputunitas tidak hanya ditekankan pada

Page 16: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

7

aspek kepentingan negara semata, melainkan harus pula meliputi aspek-

aspek kepentingan umum yang lainnya.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Van Bemmelen bahwa

kepentingan umum dalam kaitannya dengan penyampingan perkara

adalah demi kepentingan negara, masyarakat dan pribadi.

Dengan dasar itulah penulis berpendapat bahwa penyelesaian

tindak pidana secara damai dapat dibenarkan dengan alasan;

1. Perdamaian untuk menyelesaikan suatu perkara pidana, sejauh

perkara tersebut belum diajukan kemuka pengadilan, merupakan

suatu hal yang regular terjadi, oleh karenanya dapatlah hal ini

disebut sebagai regularity;

2. Sikap tindak ajek (regularity) ini, merupakan pemantulan dari

budaya hukum (legal culture) yang hidup dalam masyarakat;

3. Perdamaian disini dapatlah diartikan sebagai suatu hubungan yang

serasi (harmonis) antara mereka yang bersangkutan, yang

berorientasi pada keadilan dan kebenaran.

Dengan diterimanya sistem peradilan pidana dảri berbagai

negara secara resmi, pandangan bahwa peradilan pidana bukanlah satu-

satunya cara menyelesaikan masalah kejahatan. Bahkan suatu

penyimpangan/pengalihan (diversion) yang dilakukan oleh kepolisian

dan penuntut umum terhadap kejahatan sering dianggap lebih baik.12

Diversion tidak mementingkan dikeluarkannya putusan

pengadilan (pidana). Diversion bukan berarti menghindarkan terdakwa

dari penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan, dengan

mengupayakan penjatuhan hukuman alternatif. Lebih lauh lagi,

diversion yang menghindarkan terdakwa dari proses peradilan pidana.

Dalam teori diversion yang dilakukan oleh kepolisian disebut

sebagai police caution. Polisi dalam penanganan tindak pidana

kedokteran yang melakukan delik untuk ditawarkan mengadakan

perbaikan terhadap korban (minta maaf, ganti rugi). Jika disepakati,

maka proses pidana tidak dilanjutkan. Kelemahan sistem ini cukup

membahayakan, yaitu dapat membuat polisi sebagai penuntut umum,

hakim dan sekaligus pelaksana putusan.13

Dalam restorative justice, pemecahan masalah sangat

bergantung kepada kesepakatan para pihak yang bertikai (pelaku dan

korban) dengan melakukan pendekatan rekonsiliasi dan negosiasi.

Pihak pelaku atau keluarganya biasanya melakukan hubungan informal

dengan pihak korban atau keluarganya untuk mencari suatu solusi yang

paling tepat diantara mereka. Ini berarti, pendekatan hukum perdata

dipandang sebagai sarana yang paling tepat untuk menyelesaikan setiap

konflik.

Penulis berpendapat bahwa dibutuhkan suatu konsep proses

hukum yang adil yang tidak hanya memberikan jaminan perlindungan

hukum kepada pelaku semata, dalam hal ini tersangka/terdakwa,

melainkan juga kepada korban, terutama perlindungan berupa hak

12

Chairul Huda, Kedudukan Subsistem Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana, I

dalam Jurnal Hukum No.12 Vol.6 1999, hal.142. 13

Ibid

Page 17: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

8

berpartisipasi dalam hal penyelesaian konflik hal tersebut masih sulit di

implementasikan, mengingat kedudukan pasien sebagai korban

malpraktik kedokteran belum diakui sebagai suatu subsistem dalam

sistem peradilan pidana di Indonesia saat ini. Untuk itu, perlu adanya

suatu pengaturan yang bertalian dengan kedudukan korban malpraktik

kedokteran ini dalam hukum acara pidana positif kita, sehingga

ketimpangan dalam proses peradilan pidana, baik yang bertalian dengan

pidana mapun masalah hak-hak korban dapat diatasi.

Salah satu alasan perkara malpraktik kedokteran tidak diajukan

oleh kepolisian ke Kejaksaan Negeri atau ke Pengadilan yaitu bahwa

telah diselesaikan secara damai antara dokter dan pasien sebagai korban

atau keluarganya. Penyelesaian perkaranya baik yang ringan/luka berat

maupun berakibat meninggal, pihak dokter sebagai tersangka/terdakwa

telah memberikan restitusi kepada korban atau keluarganya.

Jadi, dari hasil penelitian karena permintaan dua belah pihak

didamaikan oleh pelaksana hukum pidana dengan mewajibkan dokter

mengganti kerugian kepada pasiennya dan/atau keluarganya dan minta

maaf perkaranya tidak lagi dilanjutkan ketingkat selanjutnya.

1. Mediasi penal dari perspektif perundang-undangan saat ini

Konklusi dasar dari hasil penelitian tentang mediasi penal dari

perspektif perundang-undangan saat ini dalam perkara malpraktik

kedokteran menunjukkan kecenderungan polarisasi bahwa mediasi

penal dalam perkara malpraktik kedokteran dalam Sistem Peradilan

Pidana Indonesia telah dikenal oleh Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim

Peradilan Umum Indonesia.

Dan bila dikaji dari perspektif asas, norma dan teori, mediasi

penal disebutkan antara “ada” dan “tiada. Dikatakan “ada” oleh karena

ternyata praktik mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran

telah dilakukan oleh para penegak hukum, para pihak pelaku tindak

pidana yaitu dokter dan korban yaitu pasien beserta keluarganya serta

penyelesaiannya dilakukan diluar pengadilan seperti melalui

mekanisme musyawarah kekeluargaan maupun lembaga pelayanan

kesehatan baik Rumah Sakit maupun Lembaga profesi kedokteran

atau mekanisme lembaga lainnya.

Dikatakan “tiada” dikarenakan mediasi penal dalam perkara

malpraktik kedokteran dalam ketentuan undang - undang tidak dikenal

dan belum diatur dalam Sistem Peradilan Pidana akan tetapi dalam

tataran di bawah undang-undang dikenal secara terbatas melalui

diskresi penegak hukum, terbatas dan sifatnya parsial.

Pada tataran di bawah undang - undang penyelesaian perkara di

luar pengadilan melalui mediasi penal diatur dalam Surat Kapolri No

Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang

Penanganan kasus melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR) serta

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7

Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi

Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri dan Surat

Page 18: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

9

Edaran Petunjuk Rahasia dari Kejaksaan Agung No.B006/R-3/I/1982

serta Putusan Makamah Konstitusi No.4/PVV/2007 tentang sengketa

medis.

Pendapat penulis bahwa pada saat ini mediasi penal dalam

perkara tindak pidana malpraktik kedokteran belum diatur baik dalam

KUHP, KUHAP, Undang - Undang Kesehatan, Undang - Undang

Praktik Kedokteran dan/atau Undang - Undang tersendiri, oleh karena

itu kedepan (ius contituendum) hendaknya perlu dipikirkan secara lebih

mendalam dalam ketentuan apa sebaiknya mediasi penal dalam tindak

pidana malpraktik kedokteran tersebut akan diatur, apakah diatur dalam

KUHP, KUHAP dan Undang - undang tersendiri serta Peraturan di

bawah Undang-Undang atau Peraturan Mahkamah Agung Republik

Indonesia.

Dalam hukum pidana positif, mediasi penal sebagai salah satu

alternatif penyelesaian perkara tindak pidana diluar pengadilan belum

diatur. Ketentuan tentang mediasi penal sebagai bentuk

penyelesaian perkara di luar pengadilan bukan hanya belum diatur,

tetapi bahkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan

dinyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan hanya

berlaku untuk penyelesaian perkara perdata.14

Meskipun alternatif penyelesaian melalui mediasi penal di luar

pengadilan belum diatur, namun dalam hal-hal tertentu, terdapat

ketentuan-ketentuan yang memungkinkan penyelesaian perkara

malpraktik kedokteran diselesaikan di luar proses pengadilan. Secara

implisit perundangan yang dimaksud adalah:

1. Undang - Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman

Menurut Undang - undang tentang Kekuasaan Kehakiman, semua

peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah

peradilan negara dan ditetapkan dengan Undang-Undang, tetapi

tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara dilakukan di luar

peradilan negara melalui perdamaian, selanjutnya di dalam

Undang–Undang dimaksud disebutkan pula bahwa, Peradilan

dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan, untuk

memenuhi harapan para pencari keadilan.15

Undang–Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman juga mengatur

tentang kewajiban Hakim dalam menggali, mengikuti, dan

memahami nilai–nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

14

Alternatif penyelesaian perkara di luar pengadilan di Indonesia, hanya dimungkinkan

dalam perkara perdata. Untuk perkara pidana pada prinsipnya tidak dapat diselesaikan di luar

pengadilan. Ketentuan yang menyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan tidak

berlaku terhadap perkara tindak pidana dapat dilihat dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1

tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, di dalam Pasal 4 disebutkan bahwa perkara

yang dapat diupayakan mediasi adalah semua sengketa perdata. 15

Lihat Pasal 2 ayat (3) dan (4) dan Pasal 10 ayat (2) Undang – undang Nomor 48

Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Page 19: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

10

masyarakat, agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa

keadilan masyarakat.16

Ketentuan - ketentuan tersersebut sebagaimana diuraikan di atas

dapat pula menjadi acuan, bahwa pada prinsipnya proses peradilan

adalah proses untuk memberikan keadilan bagi masyarakat yang

sesuai dengan „rasa keadilan masyarakat‟. Jadi apabila

penyelenggaraan peradilan di pengadilan tidak berlangsung efektif

dan efisien sertakurang memenuhi rasa keadilan masyarakat,

maka tidak tertutup emungkinan penyelenggaraan peradilan

dilakukan di luar pengadilan.

2. Undang–Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Pasal 18 ayat (1) menyebutkan bahwa, untuk kepentingan umum,

pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam

melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut

penilaiannya sendiri. Penjelasan Pasal 18 ayat (1) menyebutkan

bahwa, bertindak menurut penilaiannya sendiri adalah suatu

tindakan yang dapat dilakukan oleh pejabat Kepolisian Republik

Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat

sertaresiko dari tindakannya dan betul– betul untuk kepentingan

umum.

Di dalam penjelasan umum Undang-undang dimaksud dinyatakan

bahwa, selaku pengayom, peranan Kepolisian Negara Republik

Indonesia perlu dikembangkan melalui pemantapan kewenangan

bertindak menurut penilaian sendiri untuk kepentingan umum,

sehingga upaya perlindungan dan pelayanan terhadap masyarakat

dapat dilaksanakan sebaik-baiknya.

3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Menurut Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 Tentang

Kesehatan pasal 29 menyebutkan bahwa “dalam hal tenaga

kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan

profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu

melalui mediasi” hal ini menunjukan bahwa pada tiap kasus

sengketa medik atau dalam setiap perkara tindak pidana praktik

kedokteran perkara tersebut dapat diselesaikan dengan cara mediasi

terlebih dahulu sebelum atau tanpa melalui proses pengadilan.

4. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik

Kedokteran

Menurut Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 Tentang praktik

Kedokteran Pasal 1 ayat 14 menyebutkan bahwa “Majelis

Kehormatan Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang

berwewenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang

dilakukan dokter dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan

menetapkan sanksi” hal ini menunjukan bahwa pada setiap kasus

16

Lihat: Pasal 5 ayat (1) Undang – undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman

Page 20: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

11

sengketa medik atau tindak pidana praktik kedokteran yang paling

berwewenang menentukan salah tidaknya tindakan dokter dan

memberi sanksi sanksi adalah Majelis Kehormatan Disiplin

Kedokteran Indonesia. Jadi perkara tersebut dapat diselesaikan

tanpa melalui proses pengadilan.

5. Surat Edaran Petunjuk Rahasia dari Kejaksaan Agung No.B006/R-

3/I/1982, Jaksa Agung Tanggal 19 Oktober 1982 tentang Perkara

Profesi Kedokteran

Didalam Surat Edaran Petunjuk Rahasia Kejaksaan Agung tersebut

menyebutkan “Bahwa dalam hal kasus malpraktik kedokteran agar

tidak meneruskan perkaranya sebelum konsultasi dengan pejabat

Dinas Kesehatan setempat atau Departemen Kesehatan Republik

Indonesia”.Hal tersebut menunjukan bahwa dengan surat edaran

dari Kejaksaan Agung memberikan peluang bagi tenaga kesehatan

untuk dapat melakukan perdamaian dengan dimediasi oleh pejabat

Dinas Kesehatan.

6. Putusan Makamah Konstitusi No.4/PVV-V/2007

Didalam surat putusan Makamah Konstitusi menyebutkan bahwa

“sengketa medik diselesaikan terlebih dahulu melalui peradilan

profesi”. Amar putusan Makamah Konstitusi tentang sengketa

medis untuk terlebih dahulu melalui peradilan profesi bahwa

perkara praktik kedokteran akan lebih tepat penanganannya melalui

peradilan profesi guna dapat menyatakan benar salahnya tindakan

dokter dalam pelaksanaan profesinya sebelun dilimpahkan keproses

hukum selanjutnya disinipun ada peluang untuk dokter jika ternyata

bersalah dalam tindakannya untuk melakukan mediasi kepada

korban pasien .

Uraian di atas memperlihatkan bahwa, meskipun mediasi penal

dalam perkara malpraktik kedokteran pada prinsipnya belum ada

dalam Peraturan Perundang - Undangan, namun beberapa Peraturan

Perundangan-Undangan yang dikemukakan di atas memperlihatkan

bahwa, penyelesaian perkara malpraktik kedokteran di luar proses

pengadilan telah diberi tempat. Namun pada hakikatnya ketentuan-

ketentuan di atas hanya memberi kemungkinan adanya

penyelesaian perkara di luar pengadilan, belum merupakan mediasi

penal yang diakui sebagai lembaga alternatif penyelesaian perkara

malpraktik kedokteran di luar pengadilan. Begitu pula didalam

Hukum Kesehatan, Undang-Undang Praktik Kedokteran, istilah

mediasi penal dalam perkara tindak pidana praktik kedokteran

tidak ditemukan.

Page 21: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

12

2. Penerapan Mediasi Penal dalam penyelesaian perkara malpraktik

kedokteran saat ini .

Deskripsi analisis hasil penelitian terhadap penerapan mediasi

penal saat ini dalam penyelesaian perkara malpraktik kedokteran telah

dilakukan oleh sebagian anggota masyarakat dengan cara perdamaian

kekeluargaan antara pelaku (dokter) dan korban (pasien) maupun

keluarganya yang diakhiri dengan pembayaran ganti kerugian kepada

korban (Penal mediation out of court) maupun dalam penyelesaian

perkara pidana pada tahap–tahap proses peradilan pidana yang

kesepakatan dan pembayaran ganti kerugiannya dari pelaku kepada

korban hanya dijadikan sebagai pertimbangan yang meringankan

tuntutan pidana dan penjatuhan pidana (penal mediation within court).

Pada tahap penyidikan, utamanya dalam perkara malpraktik

kedokteran, apabila hanya menimbulkan kerugian yang kecil biasanya

diselesaikan dengan mediasi di antara dokter dan pasien atau

keluarganya dan pihak kepolisian sebagai saksi atas kesepakatan yang

dicapai, perkara tidak diteruskan atas dasar kesepakatan bersama antara

pelaku (dokter) dan korban (pasien) ataupun keluarganya. Namun

demikian jika perkara tindak pidana malpraktik yang diakibatkan

kesengajaan dan menimbulkan kerugian yang besar seperti, nyawa atau

cacat seumur hidup maka mediasi tidak dapat dilakukan, adapun

pembayaran ganti kerugian berupa biaya rumah sakit dan penguburan

jenazah korban hanya sebagai salah satu pertimbangan yang digunakan

oleh hakim dalam menjatuhkan putusan kepada terdakwa.

Dengan demikian penulis berpendapat bahwa kesepakatan

mengganti kerugian tidak menghapuskan tindak pidananya, karena

dokter sebagai terduga pelaku tindak pidana dalam praktik kedokteran

tetap saja disidik dan diproses sesuai dalam sistem peradilan pidana.

Pada delik aduan yang diproses penyidikannya didasarkan pada

pengaduan korban yaitu pasien dan/atau keluarganya, penulis

menemukan adanya penyelesaian dengan mediasi, baik sebelum

dilakukannya pengaduan sehingga korban (pasien) atau keluarganya

tidak jadi mengajukan pengaduan, maupun jika pengaduan telah dibuat

oleh korban, akan tetapi korban masih mempunyai kesempatan untuk

menarik pengaduannya. Di sini pun peran polisi bukan sebagai

mediator, melainkan hanya sebagai saksi yang menyaksikan

diselesaikannya perkara pidana tersebut melalui kesepakatan

perdamaian.17

Di samping delik aduan dalam perkara praktik

kedokteran biasanya pasien dan/atau keluarganya menyelesaikan sendiri

perkara tersebut dengan mediasi yaitu dalam tindak pidana praktik

kedokteran ringan sekali pun tindak pidana yang dilakukan oleh dokter

bukan merupakan delik aduan, akan tetapi berdasarkan alasan untuk

kepentingan pelayanan kesehatan masyarakat dan semua pihak maka

penyelesaian secara mediasi seringkali menjadi pilihan.

Sementara itu pada tahap penuntutan juga ditemukan adanya

penyelesaian dengan mediasi sebelum dilakukannya penuntutan. Dalam

17

AKBP Sis Mulyono , Bagian Binkum Polda Lampung.

Page 22: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

13

mediasi ini pihak korban pasien dan/atau keluarganya meminta ganti

kerugian kepada pihak pelaku yaitu dokter maupun lembaga tempat

dokter berpraktik seperti pada rumah sakit, namun demikian walaupun

telah terjadi kesepakatan dari pihak pasien dan/atau keluarganya dan

dokter untuk mengganti kerugian, kesepakatannya tidak menghilangkan

penuntutan, sehingga proses peradilan tetap berjalan sebagaimana

mestinya dan kesepakatan ganti kerugian hanya bersifat sebagai

pertimbangan jaksa dalam mengadakan penuntutan, keputusan tetap di

tangan hakim.

Mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran di sini

hanya bersifat memperingan tuntutan, oleh karena belum ada undang-

undang yang mengatur pelaksanaan mediasi beserta kekuatan hukum

dari akta kesepakatan hasil mediasi penal. Jadi, pelaku tetap dipidana

akan tetapi pidananya diperingan. Sementara itu dalam menangani

kasus malpraktik kedokteran yang masuk ke dalam katagori „delik

biasa‟, seperti kasus-kasus yang mengandung unsur kelalaian dokter

dalam melakukan tindakan medis seperti Pasal 359 KUHP (karena

kelalaiannya menyebabkan matinya orang lain), maka dilakukan

mediasi dengan negosiasi di mana korban pasien dan/atau keluarganya

meminta ganti kerugian kepada dokter dengan sebuah akta kesepakatan

bahwa telah dilakukan pembayaran ganti kerugian kepada korban.

Dalam hasil penelitian praktik mediasi penal dalam perkara malpraktik

kedokteran oleh hakim tidak pernah dilakukan, oleh karena tidak ada

peraturan normatif yang mengaturnya, karena hal-hal yang menyangkut

kesepakatan para pelaku yaitu dokter dan korban (pasien) ada pada

tingkat penyidikan dan penuntutan, hakim hanya memberikan

keputusan dengan mempertimbangkan hal-hal yang dikemukakan

dalam surat dakwaan yang salah satunya kesepakatan yang dicapai

melalui mediasi sebelum perkara dilimpahkan ke pengadilan.

Penulis berpendapat bahwa walaupun belum ada aturan dan

dasar hukum praktik mediasi penal dalam perkara malpraktik

kedokteran tetapi dengan diterapkannya mediasi penal walaupun

perundang-undangan belum mengaturnya maka telah terjadi

pergeseran paradigma adanya quasi hukum privat kedalam hukum

publik dan dengan melihat telah banyaknya praktik mediasi penal

dalam menyelesaikan perkara malpraktik kedokteran baik dengan

mekanisme yang tidak terlembaga maupun dengan mekanisme yang

terlembaga seperti dalam peradilan profesi dan adat, musyawarah

secara kekeluargaan , menunjukkan adanya kebutuhan masyarakat

untuk adanya mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran

sebagai alternatif dalam penyelesaianya untuk menghindari kesulitan

yang ada dalam proses peradilan pidana.

Page 23: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

14

3. Perspektif pendekatan restoratif dalam sistem hukum pidana

Penulis berpendapat bahwa keterlibatan korban pasien dan/atau

keluarganya dalam proses upaya penyelesaian perkara malpraktik

kedokteran , merupakan cerminan dari pelaksanaan prinsip-prinsip

keseimbangan dan keadilan yang belum sepenuhnya dapat dipenuhi

dalam sistem hukum pidana di Indonesia.

Pelibatan pasien dan/atau keluarganya sebagai korban untuk

ikut serta dalam proses upaya penyelesaian tindak pidana bukan hanya

semata-mata untuk memberikan kesempatan atau keseimbangan, tetapi

hal tersebut berkaitan erat dengan proses pencapaian makna keadilan itu

sendiri. Keadilan restoratif, memaknai keadilan hanya dapat diberikan

melalui keterlibatan para pihak dalam upaya menyelesaikan suatu

konfik yang timbul akibat tindak pidana, dan bukan sekadar pemenuhan

keadilan menurut ketentuan perundang-undangan. Memberikan hak

kepada pelaku dan korban untuk dapat menyelesaikan konfik yang

terjadi di antara mereka, merupakan hal yang utama dalam pandangan

keadilan restoratif karena keadilan restoratif memandang suatu tindak

pidana bukan semata-mata merupakan suatu pelanggaran terhadap

hukum negara tetapi merupakan suatu perbuatan dari seseorang kepada

orang lain yang menimbulkan kerusakan atau kerugian yang harus

dipulihkan. Dengan prinsip pemulihan dan bukan penghukuman serta

prinsip mendahulukan pemulihan dan penjatuhan sanksi bersifat

memulihkan dan menjahui sanksi pemenjaraan.

Dengan melihat penjelasan tersebut, maka terdapat beberapa

dampak positif yang dapat ditawarkan oleh keadilan restoratif terhadap

sistem peradilan pidana, antara lain sebagai berikut.

a. Keadilan restoratif akan memberikan alternatif-alternatif

penanganan terhadap tindak pidana dengan memberikan ruang

bagi tercapainya suatu out of court settlemem dalam lingkup bidang

hukum pidana.18

b. Dapat meniadakan proses penuntutan dan persidangan yang akan

memakan waktu yang panjang akan sangat membantu mengurangi

tunggakan perkara dan sekaligus akan mengurangi beban biaya

yang sangat besar.

c. Dapat menghindarkan penjatuhan sanksi hukuman penjara yang

sering justru memberikan dampak negatif yang lebih besar

dibanding dengan hal-hal positif yang dikehendaki (ada anggapan

bahwa pada masakini, sanksi pemenjaraan cenderung tidak lagi

menimbulkan efek jera bagi pelaku, tetapi sanksi pemenjaraan

18

Gagasan integrasi pendekatan restoratif ke dalam sistem peradilan pidana maupun

perihal Out of Court Setttemend dalam Lingkup Bidang Hukum Pidana" dikemukakan oleh para

pakarhukum pidana antara lain Muladi, Komisi Keadilan dan Rekonsiasi; Romli

Atmasasmita,Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Prenada Media, Jakarta, Juli 2003, hlm. 55-67;

Sidik Sunarya, Sistem Peradilan Pidana, hlm.291; Bagir Manan, Hakim dan Pemidanaan, Varia

Pengadilan, Majalah, No.249Agustus 2006, hlm.5-23;Melani, Restorative Justice, Kurangi Beban

LP Kompas, Senin, 23 Januari 2006, hlm, 40.

Page 24: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

15

justru membuat pelaku memiliki ruang belajar untuk lebih jahat

lagi melalui lembaga pemasyarakatan, dan hal-hal lain yang

merupakan dampak negatif dari pemenjaraan).

d. Dapat menghindari terjadi beban kelebihan penghuni terhadap

kapasitas penjara (over population).

e. Dicapainya penghematan anggaran keuangan negara sehingga

dapat dipergunakan untuk suatu keperluan lain yang penting.

Hal tersebut dapat dimulai dảri tahapan-tahapan antara lain;

1.Tahap penyidikan dengan diversi.

Diversi adalah proses dimana pelanggar dipindahkan dari proses

pengadilan yang konvensional ke dalam proses program-program alternatif, yaitu

suatu konsep berbasis pada pelaku dan kebanyakan program diversi

dikembangkan untuk membantu pelanggar dan/atau mengurangi beban-beban dari

sistem peradilan pidana.

Namun dimungkinkan untuk menciptakan prosedur-prosedur

diversi yang pula konsultasi korban, pemulihan perbaikan dan (bila

terdapat kepentingannya) adalah mediasi dengan pelaku. Diversi

biasanya mensyaratkan suatu pengakuan bersalah dari pelaku dan

disertai oleh suatu syarat untuk memenuhi suatu kondisi tertentu.

Diversi pada hakikatnya dapat ditempatkan pada tiap tahapan apa pun

dalam proses peradilan, termasuk pada rahapan penahanan, penuntutan,

pemeriksaan di pengadilan, penjatuhan hukuman dan tahapan pasca

penjatuhan hukuman. Apabila syarat-syaratnya dipenuhi, hasilnya dapat

berupa suatu penangguhan atau di petieskannya kasus tersebut dari

proses-proses acara Peradilan yang formal.

Menurut Apong Herlina,19

selain mendapatkan keadilan untuk

semua, tujuan diversi ini antara lain untuk menghindari penahanan

untuk menghindari cap atau label sebagai penjahat; untuk meningkatkan

keterampilan hidup bagi si pelaku, pada saat telah berada di luar; agar si

pelaku bertanggungjawab atas perbuatannya; serta untuk mencegah

pengulangan tindak pidana.

Diversi yang dilakukan oleh polisi adalah suatu praktik yang

umum terjadi di berbagai negara dan beberapa bentuk darinya tidak

perlu ditetapkan dalam suatu legislasi. Namun, dapat pula disediakan

dalam beberapa peraturan perundang-undangan dengan mengadopsi

suatu skema pemberitahuan atau skema lain yang sejenis. Di Indonesia,

pasal 16 ayat (1) huruf I undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian) menyatakan

bahwa:

Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara

Republik Indonesia berwenang untuk mengadakan tindakan lain

menurut hukum yang bertanggung jawab.

19

Apong Herlina, Restorative Justice, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 3 No. III

September 2004, hlm 26-27

Page 25: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

16

Tindakan lain tersebut adalah tindakan penyelidikan dan

penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut.20

a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum.

b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan

tersebut dilakukan.

c. Harus patut, masuk akal dan termasuk dalam lingkungan

jabatannya.

d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa.

e. Menghormati hak asasi manusia.

Ketentuan yang serupa dapat dijumpai di dalam Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP pada Pasal 7 ayat (1)

huruf j, yang menyatakan bahwa penyidik sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai

wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang

bertanggung jawab".

Apabila perintah untuk melakukan diversi telah diputuskan dan

mediasi telah dilaksanakan dengan membawa hasil yang positif maka

dapat diterbitkan apa yang dalam praktik hukum disebut dengan SP3

(Surat Perintah Penghentian Penuntutan). Terbitnya SP3 tersebut adalah

berkenaan dengan tidak dipenuhinya bukti permulaan yang cukupatas

proses penyidikan, sehingga konsekuensi yuridisnya adalah bahwa

terhadap dugaan terjadinya kasus pidana bersangkutan harus dihentikan

penyidikannya. Namun keluarnya SP3 tersebut bukanlah berarti

kasusnya telah selesai. Jaksa dapat membuka kembali kasus tersebut

apabila memang telah dijumpai alat bukti lain sehingga prasyarat bukti

permulaan yang cukup telah dipenuhi.

Perihal bagaimanakah prosedur tersebut harus dibentuk secara

legislatif adalah untuk memberikan kewenangan umum kepada jaksa

penuntut umum dan menyediakan sedikit petunjuk atau tidak sama

sekali tentang prosedur-prosedur atau konsultasi dengan yang lainnya.

Jaksa penuntut umum dapat diberikan kewenangan atas

pertimbangannya sendiri untuk meniadakan kasusnya berdasarkan

pertimbangan hukum "pemberian keringanan atau reduksi atas unsur

kesalahan (culpabilitas), atau apabila antara pelaku dan korban telah

tercapai suatu penyelesaian damai, atau dengan persetujuan dari

pengadilan, jaksa penuntut umum dapat mendismiss kasusnya dan

mewajibkan dilakukannya suatu mediasi atau memerintahkan agar

dilakukan pembayaran ganti rugi.21

Dapat pula jaksa penuntut umum diberikan otoritas untuk

mendiversikan suatu permasalahan ke mediasi, misalnya setelah

mendapat rekomendasi dari lembaga tertentu. Jadi, diversi ke mediasi

berada ditengah-tengah antara dismissal kasusnya, dengan pengenaan

sanksi formal.

Perihal siapa yang harus terlibat dalam proses yang dirujuk,

adalah untuk menetapkan tujuan-tujuan dari diversi dan mendesain

20

Pasal 16 ayat (2) UU Kepolisian 21

Sebagaimana yang diterapkan di Jerman pada tahun 1990 dalam UU Peradilan Remaja

Page 26: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

17

pertanggungjawaban untuk implementasi tertentu dari tujuan-tujuan itu

semua, tetapi dengan tidak melegislasikan proses-proses tertentu. Hal

ini dapat mengakibatkan terjadinya konsistensi secara keseluruhannya

dalam implementasi maupun fleksibilitas dalam implementasinya.22

Perihal sejauh mana uraian rinci berkenaan dengan program-program

diversi itu harus dicakup dalam draft legislasi yang diajukan, adalah

untuk menyediakan suaru rincian prosedural yang lebih besar, baik

melalui legislasi maupun melalui regulasi (administratif).23

Menurut

pandangan penulis landasan yuridis untuk dilakukannya diversi adalah

tidak' dapat didasarkan atas pertimbangan “mengesampingkan perkara

demi kepentingan umum”.24

Yang dimaksud dengan "kepentingan

umum" adalah kepentingan bangsa dan negara dan/ atau kepentingan

masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud

dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas,yang

hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran

dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai

hubungan dengan masalah tersebut.

Apabila legislasi mengenai diversi yang dipergunakan, maka

legislasi tersebut harus menyampaikan kriteria-kriteria terpilih dan

prosedur-prosedur untuk menetapkan mengenai kasus-kasus mana yang

dapat didiversikan. Empat metode alternatif untuk melakukan hal ini

adalah perumusan yang membolehkan ke depannya pilihan-pilihan

diversi, pertimbangan wajib oleh suatu pengadilan mengenai apakah

suatu kasus harus didiversikan, arahan-arahan legislatif untuk bila mana

diversi Itu wajib dilakukan, bersifat diskresionari atau tidak boleh

dilakukan dan pedoman rinci bagi kepolisian, petugas hukuman

percobaan, penuntut umum dan petugas-petugas lain dalam wujud

peraturan tetap atau regulasi-regulasi yang diberlakukan berlandasan

undang-undang.

22

The Minnesota Community Correctional Service Act mensyaratkan kepada para jaksa

penuntut umum untuk menetapkan program-program diversi pada tahap pra persidangan. Program-

program tersebut dirancang dan dioperasikan untuk tujuan-tujuan lebih dari UU tersebut (yaitu

menyediakan suatu respon pendekatan restoratif bagi para pelaku, mengurangi ongkos-ongkos dan

muatan atau tunggakan kasus dalam sistem peradilan, mengurangi residivisme, meningkatkan

pemungutan dana untuk restitusi, meningkatkan opsi-opsi alternatif yang tersedia dalam sistem

per-adilan, dan mengembangkan pemograman pelembagaan berbasis budaya secara khusus. 23

SkemaHalt di Belanda adalah suatu respon diversi bagi tindak pidana atas harta kekayaan

(property crimes) yang dilakukan oleh remaja. Sejak tahun '1995, skema tersebut memiliki suatu

basis UU, yaitu polisi dapat menggunakannya sebagai sebuah alternatif bagi suatu sanksi

peringatan ringan (simple warning) yang'dipergunakan untuk tindak pidana atas harta kekayaan

yang agak kurang berat. Regulasi-regulasi yang diberlakukan atas dasar undang-undang tersebut,

menetapkan prosedur-prosedur terperinci untuk digunakannya program itu. 24

Terdapat inkonsistensi pengaturan mengenai kewenangan mengesampingkan perkara

demi kepentingan umum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ditetapkan kewenangan ini dimiliki oleh para penuntut

umum, sedangkan dalam Undang-Undang Kejaksaan, kewenangan untuk mengesampingkan

perkara demi kepentingan umum hanya dimiliki oleh JaksaAgung. Lihat: pasal 14 huruf h UU No.

8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan bandingkan dengan ketentuan pasal 35 ayat (1) huruf c UU

No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik lndonesia.

Page 27: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

18

2. Dalam tahapan di pengadilan

Pada suatu proses restoratif, kepentingan-kepentingan korban

adalah jauh bersifat sentral di banding dalam proses-proses hukum

acara pidana saat ini. Di beberapa negara telah mengadopsi suatu

legislasi yang menetapkan hak- hak prosedural yang dimiliki oleh

korban sepanjang suatu proses hukum acara pidana.25

Di Indonesia,

pengaturan perlindungan korban dalam tahap beracara di pengadilan

terdapat pada:

1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman,26

dalam Pasal 9 ayat (l) menyediakan prosedur ganti

rugi bagi mereka yang ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili

tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena

kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.

Selanjutnya hal ini diatur dalam Pasal 95 KUHAP. 27

2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam Pasal 77 diatur

tentang kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksa dan

memutus ganti rugi dan rehabilitasi bagi seseorang yang perkara

pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Kemudian pada Pasal 98 KUHAP dan seterusnya diatur tentang

kemungkinan penggabungan perkara gugatandan ganti kerugian

kepada perkara pidana yang bersangkutan.28

3. Dalam Tahapan Penjatuhan Sanksi Pidana

Perundang-undangan Indonesia yang mengatur mengenai

perlindungan hak korban di dalam konteks penjatuhan sanksi terdapat

dalam:

1) Pasal 14c KUHP ayat (1) yarg berbunyi '..., hakim dapat

menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu,

yang lebih pendek dari masa percobaan, harus mengganti segala

atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh delik tadi.29

Jadi

dalam pasal ini dinyatakan bahwa hakim dapat, menjatuhkan

pidana bersyarat dengan syarat umum dan syarat khusus yang harus

25Suatu contoh menarik dijumpai di lndiana, di mana korban harus diberikan tawaran suatu peluang .untuk

berpartisipasi dalam sebuah program lembaga VOM apabila lembaga itu tersedia. Korban tidak diwajibkan untuk berpartisipasi, namun penawaran untuk turut berpartisipasi harus diajukan kepada korban. Pembatasan signifikan terhadap

"hak korbatan ini adalah tidak adanya suatu keharusan bahwa program VOM ini harus tersedia. 26

Telah digantikan oleh UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, ketentuan

serupa juga terdapat pada Pasal 9 ayat (1) yang selengkapnya berbunyi: "(1) Setiap orang yang

ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena

kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian

dan rehabilitasi."

27

Muladi, op.,cit.,hlm. 88 28

Muladi, Ibid 29

Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, RinekaCipta, April 2000,hlm. 8-9

Page 28: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

19

dipenuhi selama masa percobaan. Syarat khusus tersebut berupa

kewajiban bagi terpidana untuk mengganti segala atau sebagian

kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidanadatam waktu

terentu.30

Menurut Muladi, dalam hukum pelaksanaan pidana,

khususnya yang berkaitan dengan persoalan lepas bersyarat (Pasal

15 KUHP) dalam pelaksanaannya diperlukan persyaratan antara

lain izin berupa si korban. Dalam hal ini sering terlihat perbenturan

antara kepentingan pelaku tindak pidana dalam rangka resosialisasi

dan kepentingan korban yang memerlukan pelayanan. sebagai

contoh adalah SE, Direktur Pembinaan dalam Lembaga

pemasyarakatan No.DDP- Z,I/4/144 tanggal 10 Desember 1980. Di

sini diatur bahwa bilamana surat perdamaian dari pihak keluarga

sulit diperoleh, maka dalam rangka pelepasan bersyarat, hal ini

dapat ditinggalkan, namun dalam usulan harus ada catatan tentang

sebab-sebabnya.31

2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak pidana Korupsi Junto Undang-undang Nomor20 Tahun

2001tentang perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi32

dimana

dalam salah satu ketentuannya dalam terdapat pidana tambahan

berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sama dengan

harta benda yang diperoleh dari korupsi. Dalam kaitan ini Muladi

menjelaskan bahwa apa yang dinamakan korban kejahatan tidak

harus berupa individu manusia melainkan dapat pula berupa

kolektivitas berupa negara dan sebagainya (collective victim).33

3) Undang-undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955 tentang Pengusutan,

Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.34

ini memuat

ketentuan yang memungkinkan penjatuhan tindakan tata tertib

kepada terhukum berupa kewajiban mengerjakan apa yang

dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak

dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat satu

sama lain, semua atas biaya terhukum, sekadar hakim tidak

menentukan lain

.

30

Lihat Muladi dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai HukumPidana,

Alumni 1992,hlm. 87 31

Ibid., hlm.88 32

Semula adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi 33

Muladi, op.cit, hlm. 87.Ketentuan dimaksud terdapat dalam Pasal 34 huruf c UU no. 3

Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kini terdapat dalam pasal 18 ayat (1)

huruf b UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20

Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Perubahan Atas UUNo. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selengkapnya berbunyi : “(1) Selain Pidana

tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana

tambahan adalah : a ….; b pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyakya

sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi….. 34

lbid. Lihat Pasal 8 huruf d UU No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang pengusutan, penuntutan,

danPeradilan T'indak Pidana Ekonomi.

Page 29: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

20

4. Tahapan Pasca Penjatuhan Sanksi

Suatu proses pemulihan tindak pidana, dapat juga dilakukan

pada tahapan pasca penjatuhan sanksi, yaitu setelah hakim menjatuhkan

sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana.

Banyak negara yang mengatur penegakan hukum yudisial yang

bersifat tindakan-tindakan restoratif. Sebagai contoh, di Prancis terdapat

suatu pemulihan melalui "tindakan perbaikan" atas perintah pengadilan

setelah pelaku dijatuhi sanksi pidana yang kemudian dilakukan

supervisi oleh seseorang atau oleh suatu badan publik pemegang

wewenang supervisi, dan ketika "tindakan perbaikan" telah secara

penuh diimplementasikan, hakim harus diberitahu dalam bentuk laporan

tertulis dari otoritas pemegang wewenang supervisi tersebut.35

Di lndonesia, peluang untuk melakukan keadilan restoratif pada

tahapan pasca penjatuhan sanksi terdapat dalam rangka pelepasan

bersyarat, yaitu berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman, terdapat

suatu persyaratan diperolehnya surat perdamaian dari pihak keluarga

agar pelaku dapat memperoleh pelepasan bersyarat. Jadi kesempatan

untuk proses "pemulihan''dengan penerapan keadilan restoratif

dimungkinkan, sekalipun Surat Edaran Direktur Pembinaan dalam

Lembaga Pemasyarakatan No. DDP. Z.1/4/144 tanggal 10 Desember

1980 mengatur lebih lanjut, yaitu bilamana surat perdamaian dari pihak

keluarga sulit diperoleh, maka dalam rangka pelepasan bersyarat, hal ini

dapat ditinggalkan, namun dalam usulan harus ada catatan tentang

sebab-sebabnya.

Berdasarkan pembahasan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa

pengintegrasian keadilan restoratif dalam sistem hukum pidana

Indonesia adalah suatu hal yang perlu dipertimbangkan. Mengingat

ditinjau dari sistem hukum yakni dari aspek substansial dan aspek

strukturalnya telah didukung.

Prospek pengintegrasian tersebut sangat dimungkinkan ditinjau

dari aspek substansi hukum, oleh karena perundang-undangan yang

mengatur tentang sistem peradilan pidana di Indonesia memberi ruang

untuk terjadinya pengintegrasian baik dalam lingkup bidang diversi,

prosedur pengadilan, penjatuhan sanksi waupun dalam pengawasaan

paska penjantuhan sanksi hukuman. Sementara itu berkenaan dengan

aspek struktur hukumnya, penerapan keadilan restoratif di Indonesia

dapat dipilih untuk ditempatkan pada sub-sistem peradilan pidana pada

lembaga kejaksaan misalnya, atau pada setiap komponen dari sistem

peradilan pidana diIndonesia.

Berkenaan dengan bentuk-bentuk tersebut, penulis berpendapat

bahwa kebijakan untuk melakukan penerapan pendekatan restoratif

dalam upaya penyelesaian perkara dan penanggulangan malpraktik

kedokteran dapat digolongkan ke dalam bentuk kebijakan di luar dari

35

The New Zealand Children, Young Persons, and Their Famities Act of 1989, mengatur

bahwasuatu family group conference dapat diselenggarakan atas mosi dari Koordinator peradilan

Remaja atau atas permintaan dari paling sedikit dua anggotanya untuk suatu peninjauan ulang atas

keputusan, rekomendasi dan rencananya.._

Page 30: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

21

tiga bentuk kebijakan tersebut yaitu suatu kebijakan yang paling tidak

mencakup elemen-elemen berikut.

1) Pemberdayaan para pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana

(pelaku, korban dan/atau keluarganya) untuk bersama-sama

mencari jalan keluar dan sekaligus penyelesaiannya dalam

menghadapi kejadian setelah timbulnya tindak pidana tersebut serta

implikasinya di masa mendatang.

2) Meningkatkan penghormatan dan perlindungan hukum atas hak-

hak, kebutuhan-kebutuhan serta kepentingan-kepentingan dari

korban pasien dan/atau keluarganya dengan pelaku dokter dan

seluruh pihak-pihak lainnya, termasuk pemberian ganti rugi kepada

korban atau perbaikan kerusakan termasuk melakukan rehabilitasi

terhadap korban antara lain melalui penyediaan dan penggalangan

dana bantuan bagi korban atau keluarganya.

3) Menggunakan sarana non-penal saja dan atau sarana penal,

termasuk mencari bentuk-bentuk alternatif lain selain dari

dilakukannya suatu penuntutan, dengan cara menghindarkan efek-

efek pemenjaraan ;

4) Bertujuan utama memulihkan perdamaian yang ada di tengah

masyarakat dan sekaligus dapat membantu menurunkan muatan

atau tunggakan kasus dari pengadilan pidana dan meningkatkan

penyatuan pendekatan-pendekatan restoratif ke dalam sistem

peradilan pidana sebagaimana diperlukan sehingga dapat dibangun

suatu integrated criminal justice system Indonesia yang bersifat

restorative responsive.

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan maka penulis

simpulkan bahwa upaya penyelesaian dan penegakan hukum terhadap

malpraktik kedokteran di Indonesia telah dimulai sejak tahun1950-an

yang kemudian diikuti dengan beberapa ketentuan perundang-undangan

yang baru yang mengatur tentang penyelesaian dan penegakan hukum

atau pemidanaan terhadap malpraktik kedokteran, namun upaya

tersebut belum dapat memberi rasa keadilan kepada korban pasien

dan/atau keluarganya. Kondisi tersebut tidak terlepas dari kurangnya

penilaian terhadap hak-hak pasien sebagai korban dalam perumusan

kebijakan pidana dalam sistem perundang-undangan yang mengatur

tentang tindak pidana praktik kedokteran di Indonesia. Upaya

penyelesaian perkara dan penanggulangan yang ada masih lebih

menekankan pendekatan yang bersifat represif dan retributif yang

cenderung lebih menekankan aspek pembalasan untuk memberi efek

jera kepada dokter sebagai pelaku mengakibatkan kepentingan si

korban pasien dan/ atau keluarganya kurang terwakili dan sering

terabaikan.

Pendekatan restoratif dipandang sangat efektif dalam upaya

penyelesaian perkara dan menanggulangi malpraktik kedokteran oleh

karena konsep yang ditawarkan dalam pendekatan restoratif adalah di

samping proses penyelesaiannya lebih cepat dan sederhana, juga dapat

meniadakan efek samping yang pada umumnya sering rerjadi dalam

implementasi pendekatan represif retributif.

Page 31: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

22

B. Kebijakan Legislasi Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian

Perkara Malpraktik Kedokteran Dalam Pembaharuan Hukum

Pidana.

Dalam penyusunan formulasi tentang mediasi penal dalam

perkara malpraktik kedokteran , diperlukan formulasi tentang asas-asas

dan tujuan-tujuan yang akan dicapai dalam proses mediasi penal yaitu;

1) Asas bebas dan suka rela.

Bahwa pelaksanaan mediasi penal didasarkan pada kehendak

bebas dan suka rela dari korban (pasien) atau keluarganya dan

pelaku tindak pidana (dokter/tenaga kesehatan), sehingga dalam

memutuskan apakah perkara pidananya akan di mediasikan

ataupun tidak harus berdasarkan persetujuan bebas (freely consent)

dari para pihak.

2) Kebebasan para pihak untuk menarik diri selama proses

mediasi.

3) Asas kerahasiaan (Confidential).

Proses mediasi penal bersifat rahasia, dalam arti para pihak baik

korban (pasien) atau keluarganya, pelaku tindak

pidana(dokter/tenaga kesehatan) maupun mediator harus

memegang kerahasian yang terjadi selama proses mediasi,

termasuk kerahasiaan pernyataan-pernyataan yang dinyatakan para

pihak, alasan-alasan jika tercapai kesepakatan maupun hal-hal lain

yang timbul saat proses mediasi penal berlangsung.

Tujuan mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran dapat

penulis dirumuskan sebagai berikut;

a) Menyelesaikan konflik pidana malpraktik kedokteran dengan

mengadakan rekonsiliasi antar pelaku tindak pidana

(dokter/tenaga kesehatan) dan korban (pasien) atau

keluarganya.

b) Mengadakan pemenuhan kepentingan-kepentingan korban

(pasien) atau keluarganya berupa restitusi dan ganti kerugian

dari pelaku (dokter/tenaga kesehatan) kepada korban (pasien)

atau keluarganya.

c) Merekatkan kembali hubungan yang terganggu antara dokter

sebagai pelaku dan pasien sebagai korban atau keluarganya

karena adanya tindak pidana malpraktik.

d) Memperlancar proses rehabilitasi pelaku dan pemulihan

martabat korban atau keluarganya.

Page 32: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

23

1. Kebijakan Penentuan Pidana dalam Perkara Malpraktik

Kedokteran yang dapat dimediasi

Kebijakan penentuan tindak-tindak pidana dalam malpraktik

kedokteran yang dapat dimediasikan yaitu berdasarkan kriteria-kriteria

sebagai berikut;

a. Ancaman pidana yang rendah.

Tindak pidana malpraktik kedokteran yang dapat dimediasikan

hendaknya tindak pidana yang hanya diancam dengan ancaman

pidana denda atau ancaman pidana penjara paling lama satu (1)

tahun dan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling

lama 5 tahun untuk tindak pidana tertentu seperti Pasal 359 KUHP

(kelalaian akibat matinya orang lain) dan Pasal 360 KUHP

(kelalaian mengakibatkan orang lain luka berat).

b. Tingkat kerugian yang ditimbulkan.

Tindak pidana malpraktik kedokteran yang dapat di mediasikan

haruslah tindak pidana yang terbukti menimbulkan kerugian baik

materiil maupun immateriil.

c. Tindak pidana malpraktik kedokteran yang dilakukan karena

kelalaian dapat dimediasikan, hal ini menyangkut sikap batin

dokter pelaku tindak pidana. Dalam kelalaian tindak pidana dan

akibat yang terjadi bukan kehendak pelaku, melainkan karena

kekurangan penghati-hatian.

d. Tindak pidana malpraktik kedokteran yang merupakan delik aduan

baik absolut maupun relatif, tindak pidana aduan dapat di

mediasikan karena penuntutannya didasarkan pada ada atau tidak

adanya pengaduan dan adanya kesempatan bagi korban atau

pengadu untuk mencabut pengaduannya sehingga proses tidak

sampai berlanjut pada peradilan pidana.

d. Tindak pidana malpraktik kedokteran yang terjadi dari akibat

tindakan medik yang memang mempunyai resiko tinggi atau

terjadi karena resiko medik dengan memenuhi syarat sebagai

berikut:

Bahwa tindakan medis yang dilakukan telah sesuai dengan standar

profesi dan melakukannya dengan menghormati hak pasien dan

telah memberikan Informed Consent secara tertulis pasien sepakat

untuk mendapat perlakuan tindakan medik dari dokter terhadap

dirinya dengan menyadari sepenuhnya atas segala resiko tindakan

medik yang akan dilakukan dokter.

Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan mediasi penal yaitu

mengintegrasikan dan menyatukan atau memperkuat kembali

hubungan antara pelaku tindak pidana (dokter) dan korban yaitu

pasien ataupun keluarganya.

e. Tindak pidana malpraktik kedokteran yang unsur-unsur tindak

pidananya tidak jelas.

Penulis berpendapat bahwa untuk tindak pidana malpraktik

kedokteran yang tidak begitu jelas unsur pidananya, maka lebih

baik dimediasikan dalam penyelesaiannya.

Page 33: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

24

2. Kebijakan Penerapan Mediasi Penal dalam Pembaharuan Hukum

Pidana Malpraktik Kedokteran sebagai bagian dari Proses

Peradilan Pidana.

Mediasi penal dalam tindak pidana malpraktik kedokteran dapat

dilakukan dengan dua cara atau bentuk, yaitu :

A. Mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran di luar

proses peradilan pidana (out of criminal justice process)

Di sini diperlukan landasan hukum berupa kebijakan atau

aturan hukum yang menetapkan tentang :

a) Tindak pidanapraktik kedokteran yang dapat dimediasikan di luar

proses peradilan pidana.

b) Mediasi penal yang dilakukan oleh pihak dokter dan pasien atau

keluarganya di luar pengadilan untuk tindak-tindak pidana tertentu,

diakui keabsahannya jika dilakukan secara suka rela.

c) Mediasi penal di fasilitasi oleh mediator yang telah bersertifikasi.

d) Kekuatan hukum hasil kesepakatan yang dicapai oleh pihak dokter

dan pasien atau keluarganya, sebagai keputusan yang sah dan final

sehingga tidak dapat diganggu gugat dan tidak perlu dikuatkan

melalui penetapan pengadilan cukup apabila disahkan dengan

materai dan tanda tangan semua pihak. Hal ini mengingat bahwa

pelaksanaan mediasi penal dalah bersifat suka rela.

e) Hasil kesepakatan yang dicapai dalam mediasi penal sebagai alasan

hapusnya penuntutan tindak pidana yang telah dimediasikan.

B. Mediasi penal malpraktik kedokteran sebagai bagian proses

peradilan pidana ( Within criminal justice process).

a) Mediasi penal pada tahap penyidikan .

Tahap penyidikan adalah tahap awal dari proses peradilan pidana.

Pada tahap ini dimungkinkan bagi penyidik untuk meneruskan atau

tidak meneruskan tindak pidana ke dalam proses peradilan pidana.

Oleh karena itu pada tahap ini merupakan tahap yang paling strategis

untuk memediasikan tindak pidana tertentu guna menghindari proses

peradilan pidana dengan pencarian solusi yang menguntungkan

semua pihak baik dokter maupun pasien sebagai korban tindak

pidana malpraktik kedokteran. Mediasi pada tahap penyidik ini

merupakan kombinasi model mediasi Informal mediation, victim-

offender mediation dan reparation negotiation programmes.

Pada tahap ini dapat diterapkan cara kerja mediasi penal sebagai

berikut:

Page 34: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

25

1) Setelah melihat dan mempelajari kasus atau tindak pidana

malpraktik yang dilakukan oleh dokter dengan kriteria-kriteria

tertentu (diuraikan dalam bahasan tindak pidana yang dapat di

mediasikan), maka pihak penyidik memanggil dokter dan pasien

dan/atau keluarganya untuk menawarkan alternatif penyelesaian

perkara pidananya di luar proses peradilan.

2) Mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran harus

dilakukan secara suka rela dari semua pihak yang terlibat, oleh

karena itu jika ada pernyataan baik dari pelaku maupun korban

untuk melakukan mediasi penal, selanjutnya pihak penyidik

menyerahkan perkara tersebut kepada dokter dengan

menginformasikan jasa mediator yang akan membantu

menyelesaikan perkaranya.

3) Mediasi dilakukan secara rahasia sesuai dengan prinsip

Confidentiality. Segala yang terjadi dan pernyataan-pernyataan

yang muncul selama proses mediasi harus dirahasiakan oleh

semua pihak termasuk mediator. Mediator tidak dapat menjadi

saksi dalam proses peradilan pidana atas segala sesuatu yang

terjadi selama proses mediasi dan sebab-sebab mediasi tidak

mencapai kesepakatan, jika mediasi tidak menghasilkan

kesepakatan.

4) Pada kesempatan mediasi inilah dokter dan pasien dan atau

keluarganya dipertemukan untuk mencari solusi yang saling

menguntungkan. Pihak pasien dapat mengajukan tuntutan ganti

kerugian kepada dokter sebesar kerugian yang dideritanya dan

menuntut pemulihan/perawatan kesehatanya dan difasilitasi oleh

mediator.

5) Mediator harus mempunyai sertifikasi dan terlatih serta diakui

oleh Menteri Kehakiman sebagai mediator, oleh karena itu

mediator tidak bersifat perorangan melainkan suatu badan atau

lembaga yang secara khusus menjalankan tugas mediasi.

6) Apabila dalam mediasi dicapai kesepakatan, maka mediator

memberitahukan kepada penyidik bahwa telah dicapai

kesepakatan melalui mediasi dengan pembayaran ganti kerugian

dari dokter kepada pasien dan atau keluarganya.

7) Hasil kesepakatan mediasi penal merupakan putusan final,

sehingga merupakan alasan penghapus penuntutan.

8) Dengan adanya hasil kesepakatan maka penyidik menyatakan

bahwa kasus tidak dilanjutkan kepada pelimpahan BAP kepada

penuntut.

b) Mediasi penal pada tahap penuntutan.

Adapun pelaksanaan mediasi penal pada tahap penuntutan

dapat digambarkan sebagai berikut:

1) Jaksa penuntut umum dengan mempelajari tindak pidana yang

dilakukan oleh dokter berdasarkan kriteria-kriteria tertentu,

Page 35: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

26

dapat menawarkan mediasi kepada pasien atau keluarganya dan

dokter sebagai pelaku tindak pidana.

2) Mediasi dilakukan berdasarkan persetujuan secara suka rela dari

dokter dan pasien atau keluarga korban tindak pidana, jika

kedua pihak menyetujui untuk dilakukan mediasi, maka

persetujuan untuk mediasi diberikan kepada jaksa penuntut

umum.

3) Jaksa penuntut umum dapat berposisi sebagi mediator maupun

dapat melakukan penunjukan mediator dari luar yang

bersertifikasi.

4) Mediator mempertemukan pihak dokter dan pasien atau

keluarga korban tindak pidana.

5) Pelaksanaan proses mediasi dilakukan secara rahasia, dalam arti

semua peristiwa yang terjadi dan pernyataan-pernyataan yang

muncul selama mediasi tidak dapat dipublikasikan oleh semua

pihak yang terlibat.

6) Dalam mediasi penal ini diadakan rekonsiliasi dan pembayaran

ganti kerugian kepada pasien atau keluarga korban.

7) Jika mediasi penal tidak mencapai kesepakatan, maka perkara

pidana akan dilanjutkan dengan proses pemeriksaan di sidang

pengadilan dengan dilakukan penuntutan terhadap tindak

pidananya. Dalam hal ini mediator tidak dapat bersaksi atas

tidak tercapaianya kesepakatan mediasi maupun atas segala

sesuatu yang terjadi selama proses mediasi.

8) Jika mediasi mencapai kesepakatan damai yang diterima oleh

semua pihak, maka akta kesepakatan berlaku sebagai sebagai

putusan yang final dan tidak dapat diadakan penuntutan,

sehingga dapat berfungsi sebagai alasan penghapus penuntutan.

c) Mediasi penal pada tahap pemeriksaan sidang pengadilan

Mediasi penal yang dilakukan pada tahap ini adalah setelah

perkara dilimpahkan ke pengadilan oleh penuntut umum. Dalam

mediasi pada tahap ini sebagaimana dalam perkara perdata, hakim

menawarkan alternatif penyelesaian perkara pidana praktik

kedokteran dengan cara perdamian kepada para pihak, yaitu pihak

dokter sebagai pelaku tindak pidana dan pihak pasien atau

keluarganya sebelum dilakukan proses pemeriksaan di depan sidang

pengadilan dengan melihat kriteria tindak pidana yang dilakukan

oleh dokter sebagai terdakwa.

Mediasi ini jika mencapai kesepakatan maka hasilnya dapat

digunakan sebagai alasan untuk menghapuskan menjalankan pidana

bagi dokter sebagai pelaku tindak pidana. Mediator pada tahap ini

bisa dilakukan oleh hakim ataupun mediator dari luar pengadilan

yang telah mendapatkan sertifikasi dan pelatihan. Mediasi ini adalah

gabungan dari model Victim-offender Mediation dan Reparation

Negotiation Programmes.

Page 36: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

27

Adapun pelaksanaan mediasi ini adalah sebagai berikut:

1) Hakim setelah mempelajari kasus dan tindak pidana yang

dilakukan oleh terdakwa, dapat menawarkan mediasi penal

sebagai alternatif penyelesaian perkara dengan perdamaian para

pihak.

2) Jika para pihak menyetujui,maka diadakan persetujuan secara

suka rela untuk mengikuti penyelesaian perkara dengan cara

mediasi baik oleh dokter maupun oleh pasien atau keluarganya.

3) Hakim dapat bertindak sebagai mediator ataupun dengan

mediator di luar pengadilan yang telah memenuhi syarat dan

bersertifikasi.

4) Mediasi mempertemukan pihak dokter dan pasien atau

keluarganya, pada kesempatan ini diadakan rekonsiliasi antara

dokter dan pasien , serta dilakukan pembayaran ganti kerugian

yang di derita pasien atau keluarganya.

5) Mediasi penal dilakukan berdasarkan prinsip rahasia, sehingga

segala peristiwa yang terjadi dan segala pernyataan yang muncul

dalam proses mediasi harus dirahasiakan oleh para pihak

termasuk mediator.

6) Jika mediasi tidak mencapai kesepakatan maka proses

pemeriksaan di muka pengadilan akan dilanjutkan sebagaimana

mestinya.

7) Jika tercapai kesepakatan di mana parapihak saling menerima

hasil kesepakatan (rekonsiliasi) dan disepakati pembayaran ganti

kerugian oleh dokter kepada pasien atau keluarganya, maka

hasil kesepakatan yang dituangkan dalam akta kesepakatan

menjadi berkekuatanhukum tetap sebagaimana putusan

pengadilan dan bersifat final, sehingga pelaku tidak dapat

dituntut dan diadili kembali dalam prosesperadilan pidana.

d) Mediasi penal pada tahap pelaku menjalankan sanksi pidana

penjara.

Pada tahap ini mediasi penal dilakukan baik berupa reparation

negotiation programme yang menitikberatkan pada pembayaran

kompensasi dari dokter kepada korban pasien atau keluarganya,

maupun berupa bentuk victim-offender mediation, yang menitik

beratkan baik pada konsep rekonsiliasi maupun pada kesapakatan

pembayaran ganti kerugian kepada korban pasien . Mediasi yang

dilakukan pada tahap dokter sedang menjalani pidananya khususnya

pidana penjara, berfungsi sebagai alasan untuk menghapuskan

kewenangan menjalankan sebagian pidana jika pelaku telah

menjalankan sebagian pidananya.

Adapun pelaksanaan pada tahapan eksekusi adalah sebagai

berikut.

1) Untuk tindak-tindak pidana tertentu, pelaku dapat menawarkan

kepada korban pasien atau keluarganya untuk mengadakan

mediasi penal guna meringankan pidananya.

Page 37: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

28

2) Jika korban pasien atau keluarganya menyetujui permintaan

mediasi dari dokter sebagai pelaku tindak pidana, maka diajukan

persetujuan mediasi kepada Jaksa penuntut umum sebagai

eksekutor.

3) Jaksa sebagai eksekutor akan mempelajari kemungkinan

disetujuinya mediasi penal.

4) Jika telah disepakati persetujuan mediasi maka mediasi dapat

dilakukan dengan bantuan mediator yang ditunjuk maupun

mediator luar yang telah diakui dan disertifikasi.

5) Mediasi dilakukan dengan prinsip kerahasian (confindentiality),

sehingga segala peristiwa dan pernyataan yang muncul dalam

mediasi bersifat rahasia.

6) Jika mediasi mencapai kesepakatan untuk berdamai dan

kesepakatan pembayaran ganti kerugian, maka hasil kesepakatan

tersebut berfungsi sebagai alasan untuk menghapuskan

kewenangan menjalankan pidana, sehingga terpidana dapat

dibebaskan.

7) Hasil kesepakatan perdamaian dan pembayaran ganti kerugian

kepada korban pasien dituangkan kedalam akta kesepakatan

yang bersifat final dan digunakan sebagai alasan untuk

membebaskan terpidana dari pidana yang belum dijalaninya.

Atas dasar kebijakan tersebut diperlukan dasar hukum dan

pembaharuan serta penataan dalam sistem hukum pidana,

khususnya yang berkaitan dengan perkara pidana malpraktik

kedokteran. Pembaharuan sistem hukum pidana untuk memberi

tempat kepada mediasi penal sebagai media penyelesaian perkara

malpraktik kedokteran dimaksud dengan melakukan perubahan pada

setiap komponen (subsistem) dari sistem hukum pidana, yakni

subtansi, lembaga/institusi dan kultur dalam hukum pidana.

1. Pembaharuan Substansi Hukum Pidana

Pembaharuan subtansi hukum pidana dalam rangka

memberikan tempat kepada mediasi penal sebagai alternatif

penyelesaian tindak pidana malpraktik kedokteran di luar

pengadilan, dapat dimulai dengan memberikan dasar hukum dari

mediasi penal. Untuk memberikan dasar hukum dimaksud, maka

diperlukan perubahan atau revisi terhadap peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan peraturan tentang proses

penyelesaian perkara malpraktik kedokteran. Sebagaimana yang

penulis dikemukakan sebelumnya, sampai saat ini belum terdapat

pengaturan tentang proses penyelesaian perkara malpraktik

kedokteran melalui mediasi penal. Sehingga pembaharuan di sini

lebih bermakna sebagai penambahan suatu lembaga baru, yakni

mediasi penal dalam tindak pidana malpraktik kedokteran kedalam

sistem hukum pidana di Indonesia.

Dalam melakukan pembaharuan terhadap peraturan

perundang-undangan sebagai antisipasi terhadap perkembangan

Page 38: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

29

masyarakat yang begitu pesat, maka diperlukan pendekatan

komparatif dan komprehensif terhadap perkembangan pemikiran

tentang sistem hukum pidana, baik yang berkembang pada tataran

global maupun pada tataran lokal. Dalam tataran global,

perkembangan mediasi penal dalam tindak pidana malpraktik

kedokteran sebagai alternatif penyelesaian perkara tindak pidana

sudah cukup maju, hal tersebut terlihat dari beberapa negara yang

sudah mengatur dan menerapkan mediasi penal dari berbagai

ketentuan tentang mediasi penal dalam sistem hukumnya.

Dari berbagai ketentuan tentang mediasi penal di berbagai

negara, terlihat bahwa mediasi sebagai salah satu bentuk ADR

dimungkinkan dalam perkara pidana; namun tetap diberi payung /

kerangka hukum (mediation Within the framework of criminal law),

yang bisa diintegrasikan dalam hukum pidana materiel (KUHP) atau

hukum pidana formal (KUHAP), atau dalam Undang-undang

khusus.36

Selain mengacu pada perkembangan pemikiran dan pengaturan

di berbagai negara yang memberi tempat kepada mediasi penal

dalam tindak pidana malpraktik kedokteran sebagai alternatif

penyelesaian perkara tindak pidana di luar pengadilan, pembaharuan

hukum pidana di Indonesia tidak bisa dilepaskan pula dengan

keberadaan hukum yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat

sebagai sistem/tatanan hukum yang diakui eksitensinya secara

konstitusional. Pengakuan terhadap eksitensi hukum adat dimaksud

dapat dilihat dalam Pasal 181 Ayat (3) UUD 1945 yang

menyebutkan bahwa, identitas budaya dan hak masyarakat

tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan

peradaban. Pasal ini diperkuat oleh Pasal 6 Ayat (1) Undang-

Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM: dalam rangka

penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam

masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh

hukum, masyarakat dan pemerintah. Jadi menurut kedua pasal

tersebut pemerintah wajib mengakui, menghormati dan memajukan

hukum adat dan pengadilan adat. Karena pengadilan adat

merupakan manifestasi identitas budaya masyarakat adat, maka

pengabaian, penyingkiran dan pemusnahannya merupakan kejahatan

terhadap kemanusiaan.37

Dalam konteks penyelesaian perkara, sistem/ tatanan

penyelesaian hukum di masyarakat dan hukum adat di berbagai

komunitas masyarakat adat di Indonesia memperlihatkan bahwa,

proses penyelesaian melalui cara-cara yang sesuai dengan filosofi

hidup masyarakat yang bersangkutan, masih hidup dan

36

Barda Nawawi Arief,” Aspek Kebijakan Mediasi Penal dalam Penyelesaian Sengketa di

luar Pengadilan , disajikan dalam Seminar Corporate Nasional “ Pertanggungjawaban Hukum

Korporasi dalam Konteks Good Corporate Governance” Program Doktor Ilmu Hukum Undip, Di

Intercontinental Hotel. Jakarta,27 Maret 2007.

Page 39: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

30

berkembang. Jadi, pembaharuan hukum pidana dengan memasukan

nilai–nilai yang terdapat di dalam hukum yang berkembang di

masyarakat dan hukum adat, bukan hanya sebagai bentuk

pengakuan dan penghormatan terhadap hukum yang hidup dalam

masyarakat dan hukum adat itu sendiri, tetapi juga karena

kesadaran bahwa nilai–nilai tersebut sesuai/relevan dengan

perkembangan dan kebutuhan masyarakat.

Jadi, dalam rangka memperbaharui subtansi hukum pidana

untuk memberi tempat kepada mediasi penal sebagai alternatif

penyelesaian perkara malpraktik kedokteran di luar pengadilan,

maka harus dilakukan perubahan / revisi atau penambahan terhadap

beberapa peraturan perundang - undangan.

Penulis berpendapat bahwa, ketentuan mediasi penal dalam

perkara malpraktik kedokteran dapat ditempatkan di dalam KUHP

dan KUHAP, yaitu:

2. KUHP

Dalam konteks pembaharuan KUHP, pasal-pasal yang

berkenaan dengan gugurnya kewenangan penuntutan tersebut dapat

dijadikan sebagai pintu masuk yang dapat memberi tempat kepada

mediasi penal proses penyelesaian perkara malpraktik kedokteran di

luar pengadilan. Hal tersebut dapat dilihat dalam konsep Rancangan

KUHP yang mengatur tentang hal-hal yang menjadi dasar gugurnya

kewenangan penuntutan. menurut pasal 145(d) Rancangan KUHP,

Kewenangan Penuntutan gugur, jika di lakukan “penyelesaian di luar

proses‟‟38

Artinya perkara tindak pidana yang telah diselesaikan oleh

pelaku dan korban di luar proses (pengadilan), dapat menjadi

dasar gugurnya kewenangan jaksa untuk menuntut tindak pidana

tersebut. Untuk mempertegas kedudukan mediasi penal sebagai

alternatif penyelesaian perkara malpraktik kedokteran di luar

pengadilan, maka seyogyanya ketentuan yang mengatur tentang

dasar gugurnya kewenangan penuntutan yaitu penyelesaian di luar

proses (Pasal 145 d) tersebut di atas, direvisi menjadi

“Penyelesaian tindak pidanamalpraktik kedokteran dilakukan

melalui mediasi penal”. Dengan rumusan tersebut di atas, KUHP

yang akan datang secara tegas memberikan tempat kepada mediasi

penal sebagai alternatif penyelesaian perkara malpraktikkedokteran

di luar dan/atau didalam proses pengadilan.

38

Pasal 145 (RKUHP-2012)

Page 40: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

31

3. KUHAP

Mengacu pada ketentuan bahwa mediasi penal harus tersedia

pada semua tahap dalam proses peradilan pidana,39

maka untuk

dapat menyelenggarakan mediasi penal dalam perkara malpraktik

kedokteran pada setiap tahapan proses peradilan pidana, perlu

ditambahkan wewenang penyidik, penuntut umum, hakim dan

aparat pelaksana putusan pengadilan. Penambahan tugas dan

wewenang tersebut diperlukan bilamana pelaku dan korban tindak

pidana menghendaki perkara yang mereka hadapi diselesaikan

melalui proses mediasi penal. Jadi, diperlukan pengaturan berkenaan

dengan wewenang aparat penegak hukum di dalam sistem peradilan

pidana. Wewenang yang seyogyanya ditambahkan pengaturannya

adalah:

a) Polisi Penyidik dapat menghentikan seluruh proses penyelidikan

dan penyidikan perkara malpraktik kedokteran yang sedang

berlangsung; dan menjalankan kembali proses penyelidikan dan

penyidikan bilamana proses penyelesaian perkara malpraktik

melalui mediasi penal mengalami kegagalan.

b) Jaksa Penuntut Umum dapat menghentikan seluruh proses

penuntutan perkara tindak pidana praktik kedokteran yang

sedang berlangsung; dan melaksanakan kembali proses

penuntutan bilamana proses penyelesaian perkara malpraktik

melalui mediasi penal mengalami kegagalan.

c) Hakim dapat menghentikan seluruh proses pemeriksaan perkara

malpraktik kedokteran yang sedang berlangsung di pengadilan;

dan melaksanakan kembali proses pemeriksaan perkara tindak

pidana di pengadilan bilamana proses penyelesaian perkara

tindak pidana melalui mediasi penal mengalami kegagalan.

d) Aparat Pelaksana keputusan hakim dapat menghentikan

pelaksanaan pidana malpraktik kedokteran terhadap terpidana

dan melaksanakan kembali keputusan hakim bilamana proses

penyelesaian perkara tindak pidana melalui mediasi penal

mengalami kegagalan.

Sampai saat ini belum terdapat negara yang secara khusus

menyebutkan bahwa tindak pidana praktik kedokteran dapat

diselesaikan melalui mediasi penal, akan tetapi merujuk Article 23a

of the Code Of Criminal Procedure dan dalam Regulation of

the Ministry of justice 13 june 2003 on Mediation proceeding in

Criminal Matters, khususnya dalam Article 23a of the Code of

Criminal Procedure dan dalam regulation of the Ministry of Justice

13 June 2003 on Mediation Proceeding In Criminal Matters yang

antara lain menyebutkan bahwa, seorang penuntut boleh atas

inisiatif sendiri atau atas izin dari korban dan pelaku, mengarahkan

kasus pidana kepada orang atau institusi yang bisa dipercaya

39

Recommendation N R (99) 19 adopted by the Committiee of Ministers of the councils of

europe, 15September 1999

Page 41: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

32

untuk tujuan mengadakan proses mediasi penal, maka pada

prinsipnya perkara malpraktik kedokteran juga dapat diselesaikan

melalui lembaga mediasi penal.

Di dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang

penyelesaian sengketa di luar pengadilan seyogyanya ditambahkan

juga beberapa ketentuan yang mengatur tentang penyelesaian

perkara malpraktik kedokteran melalui mediasi penal. Pengaturan

tersebut meliputi syarat–syarat, prosedur, jangka waktu, lembaga

penyelenggaradan hal–hal lainnya yang diperlukan dalam

penyelenggaraan penyelesaian perkara malpraktik kedokteran

melalui mediasi penal.

4. Pembaharuan Struktur Hukum Pidana

Pembaharuan struktual sangat perlu dilakukan mengingat

bahwa institusi penyelenggara mediasi penal dalam perkara

malpraktik kedokteran belum terdapat dalam strukur hukum pidana

saat ini. Dasar hukum yang menyatakan bahwa penyelesaian perkara

di luar pengadilan melalui perdamaian yang termuat dalam Undang-

Undang Kekuasaan Kehakiman hanya berlaku terhadap perkara

perdata, belum menyangkut penyelesaian perkara tindak pidana.

Berdasarkan Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman,

semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia

adalah peradilan negara ditetapkan dengan Undang-Undang.40

Artinya, mediasi penal sebagai penyelesaian perkara malpraktik

kedokteran di luar pengadilan strukturnya berada di dalam

Kekuasaan Kehakiman.41

Jadi, sebagai lembaga yang berfungsi

menegakkan hukum dan keadilan, maka kedudukan mediasi penal

dalam perkara malpraktik kedokteran berada pada sistem kekuasaan

Kehakiman. Hal tersebut tidak berbeda dengan yang berlaku di

negara-negara lain, Jadi secara struktual, Lembaga/ Badan Mediasi

Penal memiliki tugas dan wewenang dalam menentukan prosedur

dan proses mediasi penal; serta melakukan pengawasan terhadap

menyelenggaraan mediasi penal. Selain mengatur prosedur dan

proses mediasi penal, Lembaga Mediasi Penal juga memiliki tugas

menyediakan mediator penal yang profesional.

5. Pembaharuan Kultur Hukum Pidana

Dalam rangka pembaharuan sistem hukum pidana,

pembaharuan kultur/budaya hukum menjadi bagian yang sangat

penting. Mengingat kultur dalam sistem hukum merupakan dasar

bagaimana sebetulnya sistem hukum tersebut akan diberdayakan.

Seperti dalam teori budaya hukum yang dinyatakan Hans

Kelsen dengan diberinya tempat penyelenggaraan mediasi penal

40

Lihat : Pasal 2 ayat (3) UU Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan kehakiman 41

Bandingkan : Pasal 24 UUD 1945 (Amandemen)

Page 42: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

33

dalam penyelesaian perkara malpraktik kedokteran di dalam

substansi dan struktur hukum pidana sesuai dengan rumusan hukum

yang digagas Lawrence M. Friedman yang menyatakan ada tiga

elemen sistem hukum yang menentukan berfungsinya atau

memfungsikan suatu hukum, maka seyogyanya kultur juga

diperbaharui, agar penyelenggaraan mediasi penal tersebut sesuai

dengan tujuannya. Mencermati berbagai berita yang

memperlihatkan betapa menyedihkannya wajah penegak hukum

pidana akhir-akhir ini, sedikit banyak menunjukkan bahwa

budaya/kultur berhukum dari seluruh komponen yang terlibat,

khususnya aparat penegak hukum, belum mencerminkan perilaku

kaum profesional yang bertanggung jawab.

Pada tataran Internasional, tuntutan untuk meningkatkan kultur

penyelenggara peradilan pidana agar lebih profesional dalam

menjalankan tugasnya dapat dilihat dalam kongres PBB mengenai

Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. Kongres

tersebut melahirkan resolusi tentang justice management in the

context of Accountability of public Administration and Sustainable

Development. Resolusi itu antara lain menghimbau negara anggota,

organisasi antar pemerintah dan organisasi profesional non

pemerintah, agar dalam program-program pengembangan yang

berkaitan dengan manajemen peradilan pidana, mempertimbangkan

masalah “accountability and sustainability’’.42

Mengacu pada uraian diatas, langkah mendesak yang perlu

dilakukan dalam rangka pembaharuan kultur hukum, khususnya

dengan dimungkinkannya penyelenggaraan penyelesaian perkara

malpraktik kedokteran di luar pengadilan melalui mediasi penal

adalah dengan melakukan upaya peningkatan profesionalisme dan

akuntabilitas yang didasari oleh moral dan etika yang baik.

Upaya meningkatkan profesionalisme dan akuntabilitas dari

penyelenggara peradilan pidana, merupakan tuntutan yang tidak

bisa ditunda pemenuhannya, karena peningkatan profesionalisme

tersebut merupakan bagian dari upaya memperoleh kepercayaan

respek masyarakat. Kepercayaan dan respek masyarakat terhadap

lembaga peradilan sangat penting untuk mencegah terjadi

kemerosotan nilai kualitas di berbagai bidang kehidupan.43

42

Kongres PBB ke 9/1995 di Kairo, Lihat: Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum

Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu ( Integrated Criminal Justice System),

Universitas Diponegoro, 2008, hlm 38

43 Menurut Barda Nawawi Arief, akuntabilitas tidak hanya terkait dengan masalah

tanggung jawab institusional, tetapi juga tanggung jawab individual. Tanggung jawab institusional

menuntut adanya manajemen/administrasi peradilan yang baik untuk menunjang pembangunan

yang berkelanjutan (sustainable development) dan Tanggung jawab individual menuntut

adanyakematangan integritas moral dan hati nurani dari para pihak yang terlibat dalam

penyelenggaraan/proses peradilan.48

Artinya, diperlukan langkah- langkah konkrit untuk

memperbaiki kultur hukum penyelenggaraan peradilan pidana baik secara institusional maupun

Page 43: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

34

Langkah pertama dalam upaya peningkatan profesionalisme

dari penyelenggara peradilan pidana adalah persiapkan aparatur yang

dibekali pengetahuan dan pemahaman yang baik dalam menangani

perkara malpraktik kedokteran yang akan diselesaikan melalui

mediasi penal. Pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang

mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran diperlukan,

mengingat bahwa tugas dan wewenang sebagai penyelenggara

mediasi penal dalam perkara tersebut sangat berbeda dengan tugas

dan dan wewenang dalam penegakan hukum yang selama ini telah

dilaksanakan.

Peningkatan profesionalisme dan akuntabilitas tidak akan

mendatangkan hasil optimal, bilamana tidak didasari integritas

moral para penyelenggaraanya. Jadi, upaya peningkatan

profesionalisme dan akuntabilitas seyogyanya terintegrasi dengan

upaya peningkatan integritas moral dan etika bagi para

penyelenggara peradilan. Kebutuhan akan perlunya peningkatan

integritas moral dan etika yang dilandasi oleh nilai- nilai religiusitas,

tidak terlepas dari kesadaran bahwa, runtuhnya moralitas dimulai

dari diabaikannya nilai-nilai religius.44

Bersikap dan bertindak

dengan pertimbangan yang seharusnya dan sepantasnya dilakukan

untuk kebaikan dan kebahagiaan jangka panjang seringkali sudah

ditinggalkan, karena mendahulukan kesenangan jangka pendek.

Salah satu bentuk perwujudan restorative justice adalah

dengan dikembangkannya konsep penal mediation yang menjadi

alternatif dalam penyelesaian perkara malpraktik kedokteran.

Penal mediation patut dipertimbangkan untuk menjadi

alternatif penyelesaian perkara malpraktik kedokteran di samping

proses peradilan pidana tradisional, karena banyak kelebihan-

kelebihan dan keuntungannya dibanding kelemahan-kelemahannya.

Temuan fakta dari hasil penelitian lapangan mediasi penal

telah dipraktikan baik oleh dokter kepada pasiennya dalam hal

perkara malpraktik serta anggota masyarakat dalam menyelesaikan

tindak pidana tertentu, serta oleh aparat penegak hukum (kepolisian)

dalam menyelesaikan tindak pidana tertentu pula. Namun demikian

praktik mediasi penal di sini tidak menghapuskan kewenangan

penuntutan maupun menjalankan pidana bagi pelaku tindak pidana.

individual, agar lebih bertanggungjawab dalam menjalankan fungsinya. Barda Nawawi Arief,

Op.cit, hlm 38

44 Melalui pendekatan keilmuan yang dilandasi nilai- nilai religius, budaya hukum aparat

penegak hukum dapat dilakukan melalui pendidikan.Pendidikan tidak semata – mata hanya

memberi bekal pengetahuan dan keterampilan untuk mempergunakan hukum, tetapi dilengkapi

dengan memberi bekal pemahaman makna/hakikat kebaikan dan kebahagiaan menyeluruh. Untuk

keperluan tersebut, ilmu hukum yang diberikan seyogyanya dilengkapi pula dengan ilmu- ilmu

sosial dan humaniora. Bandingkan: Henry Hazlitt, (Penrj. Cuk Ananta Wijaya): Dasar - dasar

Moralitas, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hal. Hlm.1-3

Page 44: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

35

Mengingat karakteristik masyarakat tersebut maka dibentuk

konstruksi mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran yang

sangat fleksibel untuk dipraktikkan, dengan mengkombinasikan

model-model atau bentuk-bentuk penal mediation seperti informal

mediation, victims - offender Mediation dan Reparation Negotiation

Mediation, dengan konsep reconciliation dan restitution yang

mendasarinya, maka kontruksi politik hukum mediasi penal sebagai

alternatif penyelesaian perkara malpraktik kedokteran di masa

mendatang adalah bangunan pengaturan tentang pelaksanaan

mediasi penal.

Adapun kebijakan pelaksanaan (applicative policy) mediasi

penal meliputi mediasi penal di luar proses peradilan pidana (Penal

mediation out of Criminal Justice Process) dan mediasi penal di

dalam proses peradilan pidana (Penal Mediation Within Criminal

Justice System ) yang meliputi mediasi pada tahap penyidikan,

penuntutan, pemeriksaan di muka pengadilan dan saat terpidana

menjalankan pidananya.

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Mediasi penal dalam perspektif perundang-undangan saat ini, baik

diluar maupun didalam proses pengadilan dalam hukum pidana

positif belum diatur, bahkan dalam beberapa peraturan perundang-

undangan dinyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar

pengadilan hanya berlaku untuk penyelesaian perkara perdata,

namun dalam hal-hal tertentu terdapat ketentuan-ketentuan yang

memungkinkan penyelesaiannya diselesaikan di luar proses

pengadilan.

Ketentuan-ketentuan tersebut secara implisit menunjukkan

bahwa sebenarnya mekanisme penyelesaian tindak pidana di luar

pengadilan telah diberi tempat yaitu,

a. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman (Pasal 9 ayat 1).

b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

(Pasal 18 ayat 1).

c. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran (Pasal 1 ayat 14).

d. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

(Pasal 29).

e. Surat Edaran Petunjuk Rahasia dari Kejaksaan Agung No.

B006/R- 3/I/1982, Jaksa Agung Tanggal 19 Oktober 1982

tentang Perkara Profesi Kedokteran.

f. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PV-V/2007.

Page 45: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

36

2. Penerapan mediasi penal dalam sistem peradilan pidana di

Indonesia dari perspektif pengkajian asas, norma dan praktik

eksistensinya antara “ada” dan “tiada”. Dikatakan “ada” karena

ternyata praktik mediasi penal, khususnya dalam perkara

malpraktik kedokteran telah diterapkan oleh penegak hukum

(kepolisian), dokter dengan pasien dan/atau keluarganya,

penyelesaian tersebut dilakukan di luar pengadilan seperti

mekanisme lembaga kesehatan baik melalui direksi rumah sakit

atau dari profesi kedokteran dengan musyawarah kekeluargaan.

Dikatakan “tiada“ dikarenakan mediasi penal dalam ketentuan

undang-undang tidak dikenal dalam Sistem Peradilan Pidana, akan

tetapi dalam tataran di bawah undang-undang dikenal secara

terbatas melalui diskresi penegak hukum, terbatas dan sifatnya

parsial, seperti diatur dalam Surat Kapolri No

Pol:B/3002/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang

penanganan kasus melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR)

serta Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan

Implementasi Pemolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan

Tugas Polri.

3. Kebijakan legislasi mediasi penal dalam perkara malpraktik

kedokteran yang merupakan bagian dari proses peradilan pidana

menjadi sarana penyelesaian yang sah dan hasil kesepakatannya

bersifat mengikat terhadap para pihak antara pihak dokter dan

pasien maupun keluarganya, serta aparat penegak hukum

menghapuskan kewenangan untuk menuntut.

4. Penentuan kebijakan pelaksanaan mediasi penal dalam perkara

malpraktik kedokteran dapat dilakukan melalui 2 cara, yaitu:

a. Diluar proses peradilan pidana dengan diperlukan landasan

hukum berupa kebijakan/aturan hukum tentang tindak

pidananya yang dapat dimediasikan diluar pengadilan, mediasi

penal yang dilakukan diakui keabsahannya, difasilitasi

mediator, hasil kesepakatan/keputusan sah dan final serta tidak

perlu dikuatkan pengadilan dan hasil kesepakatan sebagai

hapusnya penuntutan tindak pidananya.

b. Kebijakan mediasi penal sebagai bagian proses peradilan

pidana:

1) Pada tahap penyidikan dimungkinkan bagi penyidik untuk

menghentikan atau meneruskan penyidikan, dengan

memanggil pelaku (dokter) dan korban (pasien) atau

keluarganya untuk mencari solusi saling

menguntungkan/pembayaran ganti rugi/kompensasi dan jika

adanya hasil kesepakatan maka penyidik tidak melanjutkan ke

Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepada penuntut.

2) Pada tahap penuntutan, Jaksa penuntut umum dapat

menawarkan mediasi kepada pelaku dan korban dengan

menawarkan rekonsiliasi dan pembayaran kerugian pada

Page 46: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

37

korban jika kesepakatan diterima keduabelah pihak putusan

tersebut final tidak dapat penuntutan dan sebagai alasan

penghapus penuntutan.

3) Pada tahap pemeriksaan persidangan dalam hal ini seperti pada

persidangan perdata hakim menawarkan alternatif

penyelesaian dengan cara perdamaian, jika tercapai digunakan

sebagai alasan menghapus menjalankan pidana bagi pelaku.

4) Pada tahap pelaku menjalankan pidana penjara dalam hal ini

menitikberatkan pada pembayaran kompensasi dari pelaku

kepada korban.dan berfungsi untuk menghapuskan

kewenangan menjalankan sebagian pidana bagi pelaku.

Kebijakan-kebijakan tersebut memerlukan dasar hukum dan

pembaharuan serta penataan dalam sistem hukum pidana, khususnya

yang berkaitan dengan tindak pidana malpraktik kedokteran guna

memberi tempat kepada mediasi penal sebagai media penyelesaiannya

dengan melakukan perubahan pada setiap komponen (subsistem) dari

sistem hukum pidana, yakni substansi, lembaga/ institusi dan kultur

dalam hukum pidana.

Pembaharuan substansi hukum pidana dalam rangka memberikan

tempat kepada mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian di luar

maupun di dalam proses peradilan, dapat dimulai dengan memberikan

dasar hukum dan perubahan serta revisi terhadap peraturan perundang–

undangan dapat ditempatkan di dalam KUHP dan KUHAP atau

perundang-undangan tersendiri yang berkaitan dengan peraturan

tentang mediasi penal kedalam sistem hukum pidana di Indonesia.

Dari berbagai ketentuan tentang mediasi penal terlihat bahwa

mediasi sebagai salah satu bentuk ADR dimungkinkan dalam perkara

malpraktik kedokteran, namun tetap diberi payung / kerangka hukum

yang bisa diintegrasikan dalam hukum pidana materiil (KUHP) atau

hukum pidana formal (KUHAP), atau dalam undang-undang khusus.

Pembaharuan Struktur Hukum Pidana sangat perlu dilakukan

mengingat bahwa Institusi penyelenggara mediasi penalbelum terdapat

dalam struktur hukum pidana saat ini.

Dasar hukum yang menyatakan bahwa penyelesaian perkara di

luar pengadilan melalui perdamaian yang termuat dalam Undang-

Undang Kekuasaan Kehakiman hanya berlaku terhadap perkara perdata,

belum menyangkut penyelesaian perkara tindak pidana. Jadi, diperlukan

secara struktual, Lembaga/Badan Mediasi Penal yang memiliki tugas

dan wewenang dalam menentukan prosedur dan proses mediasi penal;

serta melakukan pengawasan terhadap menyelenggaraan mediasi penal.

Selain mengatur prosedur dan proses mediasi penal, Lembaga Mediasi

Penal juga memiliki tugas menyediakan mediator penal yang

profesional.

Dalam rangka pembaharuan sistem hukum pidana, pembaharuan

kultur/budaya hukum menjadi bagian yang sangat penting, mengingat

kultur dalam sistem hukum merupakan dasar bagaimana sebetulnya

sistem hukum tersebut akan diberdayakan. Dengan diberinya tempat

Page 47: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

38

penyelenggaraan mediasi penal dalam penyelesaian perkara tindak

pidana di dalam subtansi dan struktur hukum pidana, maka seyogyanya

kultur juga diperbaharui, agar penyelenggaraan mediasi penal sesuai

dengan tujuannya.

B. Saran

Kebijakan formulasi hukum pidana yang akan datang adalah yang

diambil dari Hukum positif dalam hal ini KUHP lndonesia, Undang -

Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang - Undang

Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dan Konsep KUHP

2012.

Kebijakan yang diambil adalah mengenai kebijakan hukum yaitu

kebijakan hukum yang tentunya dapat memberikan kepastian hukum

bagi kedua belah pihak dan perlindungan hukum bagi korban

malpraktik karena kelalaian dokter sebagai upaya penyelesaian yang

adil dan menguntungkan keduabelah pihak .Kebijakan-kebijakan

tersebut adalah;

1. Kebijakan formulasinya sebaiknya perlu diatur mengenai

pertanggungjawaban tempat pelayanan kesehatan/rumah sakit dalam

hal tindakan medis yang telah dilakukan oleh dokter yang

mengakibatkan kerugian di pihak pasien dalam hal terjadinya

malpraktik medik, ini sebagai bentuk pemberian perlindungan

terhadap korban malpraktik sebagai upaya penyelesaian tindak

pidana malpraktik kedokteran di masa yang akan datang.

2. Kebijakan formulasi hukum pidananya sebaiknya mengatur

mengenai masalah kelalaian dokter di dalam melakukan upaya atau

tindakkan medis yang berakibat pada hilangnya nyawa seseorang.

3. Kebijakan formulasi hukumnya perlu diterapkan penyelesaian

mediasi penal yang menghapus sanksi pidana apabila telah terjadi

kesepakatan penyelesaian dengan pihak dokter telah memberikan

ganti rugi kepada pasien sesuai yang disepakatinya.

4. Sebaiknya di dalam Undang - Undang Nomor 29 Tahun 2004

Tentang Praktik Kedokteran dijelaskan mengenai pengertian

malpraktik kedokteran sehingga masyarakat umum, dokter, dan

dunia kesehatan menjadi paham apa sesungguhnya malpraktik

kedokteran dan mengetahui batasan-batasan mengenai tindak pidana

malpraktik kedokteran ini .

5. Bagi aparat penegak hukum, baik penyidik penuntut umum dan

hakim harus hati - hati di dalam menentukan pasal mana yang dapat

dikenakan terhadap kasus malpraktik, karena di dalam dunia

kedokteran, seorang dokter dalam menangani pasien tidak ada dua

penyakit yang sama persis antara pasien satu dengan pasien yang

lainnya.

6. Hukum pidana merupakan Ultimum Remedium artinya hukum

pidana sebaiknya digunakan sebagai obat terakhir atau langkah

terakhir apabila cara - cara penyelesaian yang lain tidak dapat

menemui kesepakatan atau jalan keluar.

Page 48: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

39

7. Perlu dirumuskan tentang mediasi penal dalam tindak pidana yang

dapat memberikan kenyamanan dan kepastian hukum bagi kedua

belah pihak dalam hal ini dokter dan pasien sehingga dokter merasa

nyaman di dalam menjalankan tugasnya sebagai dokter tanpa adanya

rasa takut yang berlebihan dan di pihak pasien dapat memberikan

perlindungan hukum apabila terjadi hal-hal yang menyimpang atau

menimbulkan akibat tertentu yang merugikan pasien atau korban, ini

semua diperlukan demi terciptanya kepastian hukum bagi kedua

belah pihak.

C. Implikasi

1. Impikasi Teoritis

Penegakan hukum dalam perkara malpraktik kedokteran

dengan menggunakan sarana hukum pidana berlaku asas ultimum

remedium. Dalam hal ini berarti bahwa, penegakan hukum dalam

perkara malpraktik kedokteran dengan sarana hukum pidana hanya

dilakukan apabila penegakan hukum dengan sarana hukum yang

lain (hukum administrasi) dinyatakan tidak efektif.

Tanpa mengesampingkan keterbatasan, kelemahan maupun

efek samping yang dapat timbul dari penjatuhan pidana

sebagaimana yang dikemukakan HL. Packer, namun dalam

penegakan hukum dalam perkara malpraktik kedokteran,

penggunaan sanksi hukum pidana apakah masih dibutuhkan untuk

mendorong ditaatinya norma-norma hukum kesehatan/praktik

kedokteran maupun mencegah terulangnya perbuatan yang

membahayakan pasien/masyarakat. Apakah hal tersebut sejalan

dengan apa yang dikemukakan Packer bahwa “the criminal

sanction is the best available device we have for dealing with gross

and immediate harms and threats of harm.

Jadi, asas ultimum remedium dalam penegakan hukum dalam

perkara malpraktik kedokteran ini sudah seyogyanya diganti

dengan asas primum remedium agar sarana hukum pidana dapat

segera dipergunakan untuk menyelesaikan kasus tesebut.

Perubahan dari asas ultimum remedium menjadi asas primum

remedium, merupakan salah satu bentuk penggunaan hukum secara

sadar untuk mencapai tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana

dicita-citakan, atau untuk melakukan perubahan yang diinginkan

sebagaimana yang dimaksud Pound dengan pemikirannya tentang

law is a tool of social engineering.

Pemikiran Pound dan kaum sociological jurisprudence

lainnya yang mengkonsepsikan hukum sebagai judge made law

dalam tradisi common law system, dalam konteks di Indonesia

yang bertradisi civil law system, “judge” dapat dikembangkan

pemahamannya tidak hanya berarti “Hakim” yang memutuskan

perkara di Pengadilan, tetapi juga berarti “decision maker”. Jadi,

decision maker dalam sistem hukum di Indonesia adalah pihak

yang berwenang merumuskan/memformulasikan peraturan

perundang-undangan dan pihak pelaksanaannya.

Page 49: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

40

Mengkonstruksikan mediasi penal sebagai wujud restorative justice

sebagai alternatif penyelesaian perkara malpraktik kedokteran ke

dalam sistem hukum pidana di Indonesia diharapkan dapat

memberikan perbaikan dan kemajuan dalam penegakan hukum

kesehatan/praktik kedokteran. Hasil pembahasan dalam disertasi ini

memperlihatkan bahwa, meskipun perubahan dari asas ultimum

remedium ke asas primum remedium tetap mengakibatkan

kemungkinan semakin banyak perkara malpraktik kedokteran yang

harus diselesaikan melalui sistem peradilan pidana, namun dengan

adanya alternatif lembaga atau peraturan perundang-undangan

tentang mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran

beban Pengadilan dalam penyelesaian perkara menjadi

terbagikarena dengan tersedianya lembaga mediasi penal, maka

pencari keadilan dapat memilih untuk menyelesaikan perkara

melalui Pengadilan atau melalui mediasi penal di luar pengadilan.

2. Implikasi Praktis

Dengan adanya alternatif lembaga mediasi penal, maka

perkara malpraktik kedokteran dapat diselesaikan di pengadilan

atau di luar pengadilan melalui melalui mediasi penal.

Untuk dapat memberi tempat terhadap mediasi penal

sebagai lembaga alternatif penyelesaian perkara malpraktik

kedokteran, diperlukan dasar hukum di dalamsistem hukum pidana

di Indonesia. Dalam rangka memberi dasar hukum tersebut, maka

diperlukan revisi terhadap peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian

perkara tindak pidana baik di luar maupun dalam proses

pengadilan pada umumnya dan perkara malpraktik kedokteran

pada khususnya.

Peraturan perundang-undangan yang perlu di revisi adalah

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP); dan Undang-Undang

Praktik Kedokteran, Undang-Undang Kesehatan dan/atau Undang-

Undang Tentang Rumah Sakit.

Page 50: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

41

Daftar Pústaka

Buku-buku:

Adami Chazawi, Malpraktik Kedokteran : Tinjauan Norma dan Doktrin Hukum,

Bayu Media, Jakarta, 2007.

Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008.

----------, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.

Anny Isfandyarie, Malpraktik dan Resiko Medik dalam Kajian Hukum Pidana,

Prestasi Pustaka, Jakarta, 2005.

----------, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter, Prestasi Pustakarya,

Jakarta, 2006.

Ananta Wijaya , Dasar-dasar Moralitas , Pustaka Pelajar, Jogyakarta.2007.

Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan

dengan Pidana Penjara, Semarang: BP UNDIP cetakan ke-4, 2010.

----------, RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi Rekonstruksi Sistem Hukum

Pidana Indonesia, UNDIP, Semarang, 2009.

----------, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Di luar Pengadilan. Semarang:

Pustaka Merdeka, 2008.

----------, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana

Terpadu (Integrated Criminal Justice System), Universitas Diponegoro,

2008.

Bagir Manan, “Mediasi Sebagai Alternatif Menyelesaikan Sengketa” dalam Varia

Peradilan No. 248 Juli 2006, hlm 10-11, 2006.

---------, Hakim dan Pemidanaan, FH.UII Press,Jogyakarta,2004.

Page 51: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

42

FX. Adji Samekto, Ilmu Hukum dalam Perkembangan Pemikiran Menuju Post-

Modernisme, Indepth Publishing, Bandar Lampung, 2012.

John Rawls, A Theory of Justice, revised edn, OUP, Oxford, 1999.

Melani, Restorative Justice, Lp.Kompas, Jakarta,2006.

Muladi dan Barda. N. Arief. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni, Bandung ,

1992.

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas

Diponegoro, Semarang, 1995.

Mudzakkir, Alternative Dispute Resolution (ADR), Penyelesaian Perkara Pidana

dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, masalah workshop, Jakarta, 18

Januari 2007.

Romli Atmasasmita, Hukum Kujahatan Bisnis, Prenada Media, Jakarta, 2003

Soerjono Soekanto, Ronny Hanitijo Soemitro, Dualisme Penelitian

HukumNormatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.

Sulistyowati Irianto, Shidarta, Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi,

Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2011.

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

Page 52: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

43

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa.

Konsep Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Tahun 2012.

Surat Edaran Petunjuk Rahasia Kejaksaan Agung Nomor B006/R-3/I/1982.

Putusan Makamah Konstitusi Nomor 4/PV-V/2007.

Diktat/Jurnal:

Apong Herlina, Restorative Justice, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol 3 No.III,

September ,2004.

Barda Nawawi Arief, Aspek Kebijakan Mediasi Penal dalam Penyelesaian

Sengketa di Luar Pengadilan, PDIH Undip, Jakarta ,Maret, 2004.

Chairul Huda, Kedudukan Subsistem Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana,

Jurnal Hukum, No 12, Vol.6 ,1999.

Esmi Warassih Pujirahayu, Metode Penelitian Hukum, bahan Kuliah ppt, 2010.

FX. Adji Samekto, Menempatkan Paradigma Penelitian dalam Pendekatan

Hukum Non-Doktrinal dan Penelitian dalam ranah Sosio-Legal, makalah, 2012.

Page 53: MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF …eprints.undip.ac.id/50154/1/11010110500040.pdf · MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN Ringkasan Disertasi

44

BIODATA PENULIS

Data Pribadi

Nama : S.Tri Herlianto, SH.,MH.,MM

Tempat/Tanggal Lahir : Surabaya, 24 Juli 1965

Pekerjaan : Staf. Kemenhankam

Alamat Rumah : Jl.Ratu Dibalau, Gg.Damai Palm, 29 C Tanjung Senang

Bandar Lampung.

Telp.0721 788608, 0812 7820 2266

E-Mail: [email protected].

Data Keluarga

Istri : Endang Tri Rahayuningsih

Anak : 1. dr. Ida Ayu Prameswari.

2. Letda. Ernest Fergie, SH.

3.Gressa Mega Gusik Goretty, S.Farm, Apt.

Riwayat Pendidikan :

1.SD : SD Sejahtera III, lulus tahun 1976

2.SMP : SMPN 2 Tanjung Karang, tahun 1979

3.SLTA : SMPPN 51 Tanjung Karang, lulus 1982

4.Sarjana (S1) : 1. Dipl.Analis Kimia , lulus 1986

2. Sandi Negara, lulus 1989

3. Fakultas Hukum UTB, lulus 2004

5.Pasca Sarjana (S2) : 1. Magister Mânagemen,Universitas

Bandar Lampung, lulus 1999.

2.Medical Of Tehcnology, Hiroshima,

JAPAN, lulus 2001

3.Fakultas Hukum Universitas Bandar

Lampung, lulus 2006