DISERTASI - Unhas

253
DISERTASI STABILITAS SENYAWA ANTIOKSIDAN PADA JUS TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill) SELAMA PEMANASAN OHMIK Stability of Antioksidant Compounds on Tomato Juice (Lycopersicum esculentum Mill) During The Ohmic Heating SUHARTIN DEWI ASTUTI P0100312403 SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018

Transcript of DISERTASI - Unhas

Page 1: DISERTASI - Unhas

DISERTASI

STABILITAS SENYAWA ANTIOKSIDAN PADA JUS TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill)

SELAMA PEMANASAN OHMIK

Stability of Antioksidant Compounds on Tomato Juice (Lycopersicum esculentum Mill) During The Ohmic Heating

SUHARTIN DEWI ASTUTI P0100312403

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2018

Page 2: DISERTASI - Unhas

DISERTASI

STABILITAS SENYAWA ANTIOKSIDAN PADA JUS TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill)

SELAMA PEMANASAN OHMIK

Stability of Antioksidant Compounds on Tomato Juice

(Lycopersicum esculentum Mill) During The Ohmic Heating

SUHARTIN DEWI ASTUTI P0100312403

TIM PEMBIMBING:

Prof.Dr.Ir.Salengke, M.Sc. Dr.Ir. Mariyati Bilang, DEA

Prof.Dr.Ir. Amran Laga, MS.

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2018

Page 3: DISERTASI - Unhas

i

PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Suhartin Dewi Astuti

Nomor mahasiswa : P0100312403

Program Studi : Ilmu Pertanian

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa disertasi yang saya tulis ini benar-

benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan

tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat

dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan disertasi ini hasil karya orang lain,

saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, September 2018

Yang menyatakan,

Suhartin Dewi Astuti

Page 4: DISERTASI - Unhas
Page 5: DISERTASI - Unhas

ii

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkah

dan RahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan

penulisan disertasi ini. Penelitian ini lahir dari gagasan mengenai pentingnya

pengembangan Teknologi di bidang pengolahan pangan. Indonesia yang

kaya dengan keberagaman hayati, terutama hortikultura dengan kandungan

senyawa-senyawa bioaktif yang terkandung didalamnya sehingga perlu

adanya upaya untuk mengeksplorasi kandungan bioaktif fungsional yang

terdapat dalam pangan tersebut yang tidak hanya bermanfaat dalam

pemenuhan gizi tetapi juga bermanfaat bagi kesehatan.

Banyak kendala yang penulis hadapi dalam penyusunan disertasi ini,

namun berbagai bantuan, dorongan dan arahan dari berbagai pihak akhirnya

disertasi ini dapat terselesaikan. Penulis dengan tulus menyampaikan rasa

terimakasih sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya

kepada Prof. Dr. Ir. Salengke, M.Sc. sebagai Promotor, Dr. Ir. Mariyati Bilang,

DEA sebagai Ko-Promotor, Prof. Dr. Ir. Amran Laga, MS sebagai Ko-

Promotor, atas kepakaran yang dimilikinya serta kearifan maha guru dan

kebijakan orang tua yang melandasi dalam proses pembimbingan mulai dari

proposal, penelitian hingga penulisan disertasi ini. Penulis juga mengucapkan

banyak terima kasih kepada Tim Penguji Prof. Dr. Ir. Mursalim, Prof. Dr. Ir.

Mulyati Thahir, MS., Prof. Dr. Ir. Abubakar Tawali, M.S. dan Dr. Hasnah

Natsir, M.Si, atas saran, perbaikan dan masukan yang konstruktif demi

kesempurnaan disertasi ini. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada

Direktur Teaching Industry atas keleluasaan fasilitas selama penelitian.

Terimakasih juga kepada Kepala Laboratorium Biofarmaka Prof.Dr. Elly

Wahyudin, DEA serta laboran Dewi. Kepala Laboratorium Kimia Pangan dan

Pengawasan Mutu Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas

Hasanuddin Prof.Dr.Ir. Meta Mahendradatta, M.Sc beserta seluruh staf

laboratorium.

Ucapan terimakasih kepada Depdikti atas Beasiswa Pendidikan Pasca

Sarjana (BPPS) Tahun 2013-2015. Rektor Universitas Hasanuddin, Dekan

Page 6: DISERTASI - Unhas

iii

Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc.,

Ketua Program Studi S3 Ilmu Pertanian Prof.Dr.Ir.Darmawan Salman, MS.,

dan seluruh dosen dan staf tata usaha Sekolah Pasca Sarjana Universitas

Hasanuddin. Terimakasih kepada Kordinator Kopertis IX beserta seluruh staf

pegawai yang telah memberikan pelayanan terbaik selama pendidikan

berlangsung.

Terimakasih kepada Ketua Yayasan Sarikat Islam Sulawesi Selatan

Dr.H. Rahmat Hasanuddin, SE, MSi., Rektor Universitas Cokroaminoto

Makassar Prof. Dr. Muhammad Asdar, SE, MSi., yang telah memberikan izin

melanjutkan studi S3 di Universitas Hasanuddin.

Terimakasih juga disampaikan kepada teman-teman mahasiswa S3

seangkatan 2012, yang telah saling mendukung, memotivasi, memberi

inspirasi dan semangat dalam suka duka selama penelitian berlangsung.

Terimakasih juga disampaikan kepada teman-teman sejawat staf dosen

Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Cokroaminoto atas dukungan,

semangat dan pengertiannya.

Secara khusus ucapan terimakasih disampaikan kepada suami

Ir.Wisnu Wibawa, putraku tercinta Fahmi Gibran Syahadat, ST, adik-adikku

tersayang Kun, Endang, Ony, Adi serta seluruh keluarga atas segala

pengertian, kasih sayang, pengorbanan, dan doa yang selalu mengiringi

penulis sehingga disertasi ini bisa terselesaikan dengan baik.

Akhirnya penulis menyadari bahwa masih banyak hal yang belum

tertuang dalam disertasi ini yang masih memerlukan kajian yang lebih

mendalam, namun penulis berharap semoga tulisan ini dapat menambah

kekayaan ilmu pengetahuan dan bermanfaat untuk pengembangan Teknologi

Pertanian terutama di bidang pangan masa depan yang lebih sehat.

Makassar, September 2018

Penulis

Page 7: DISERTASI - Unhas
Page 8: DISERTASI - Unhas
Page 9: DISERTASI - Unhas

vi

DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA .................................................................................................... ii

ABSTRAK ................................................................................................... iv

ABSTRACT .................................................................................................iii

DAFTAR ISI ................................................................................................ vi

DAFTAR TABEL ......................................................................................... ix

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... x

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xi

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1

A. Latar Belakang ....................................................................... 1

B. Rumusan Masalah.................................................................. 8

C. Tujuan Penelitian .................................................................... 8

D. Manfaat Penelitian .................................................................. 9

E. Kebaruan Penelitian ............................................................. 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKa .................................................................. 11

A. Buah Tomat (Solanum lycopersicum Mill) ............................ 11

B. Komposisi Kimia Buah Tomat .............................................. 13

C. Pematangan dan Perubahan Warna Buah Tomat ............... 15

D. Produk Olahan Tomat............................................................19

E. Manfaat Tomat…………………………………………………..26

F. Kandungan Bioaktif pada Tomat……………………………....29

1. Vitamin C pada Tomat……………………………………...29

2. Karotenoid (Likopen) Tomat………………………………34

3. Fenol dan Flavonoid………………………………………37

G. Radikal Bebas ...................................................................... 41

H. Antioksidan ........................................................................... 45

I. Teknologi Pengolahan Yang Diterapkan di Industri .............. 50

1. Teknologi Aseptik ......................................................... 51

2. Pengolahan Tekanan Tinggi ........................................ 61

3. Pengolahan Medan Listrik Intensitas Tinggi ................ 65

Page 10: DISERTASI - Unhas

vii

J. Potensi Teknologi Ohmik ...................................................... 69

1. Prinsip Pemanasan Ohmik ............................................ 72

2. Parameter Pemanasan Ohmik ...................................... 73

K. Kinetika Degradasi Thermal Vitamin C ................................. 82

1. Aplikasi Persamaan Arrhenius Pada Degradasi

Vitamin C ......................................................................... 83

2. Penentuan Thermal Reduction Time (D) ......................... 84

3 Penentuan Ketahanan Panas (z) .................................... 85

4. Penentuan Laju Reaksi (k) .............................................. 85

5. Penentuan Energi Aktivasi (Ea) ....................................... 86

BAB III METODE PENELITIAN .............................................................. 87

A. Waktu dan Lokasi Penelitian ................................................ 87

B. Alat dan Bahan ..................................................................... 87

C. Prosedur Penelitian .............................................................. 88

D. Desain Penelitian dan Parameter Analisis ............................ 89

E. Prosedur Analisis.................................................................. 90

1. Total Asam ...................................................................... 90

2. Pengukuran pH................................................................ 91

3. Total Padatan Terlarut ..................................................... 91

4. Analisis Vitamin C dengan 2,6-Diklorofenolindofenol ...... 91

5. Pengukutan Total Fenol dengan Metoda

Folin-Ciocalteau............................................................... 93

6. Penentuan Flavonoid (Kuersetin) .................................... 94

7. Penentuan Kadar Likopen ............................................... 94

8. Uji Aktivitas Antioksidan Metode DPPH ........................... 95

F. Pengolahan Data .................................................................. 96

G. Skema Proses Pemanasan Jus Tomat ................................ 97

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 98

A. Pemanasan Jus Tomat Ohmik ............................................. 98

B. Karakteristik Kimia ............................................................. 106

1. Total Asam .................................................................... 106

2. Derajat Keasman (pH) ................................................... 108

3. Total Padatan Terlarut ................................................... 116

Page 11: DISERTASI - Unhas

viii

C. Kandungan Senyawa Bioaktif ............................................. 118

1. Kandungan Vitamin C .................................................... 118

2. Kandungan Polifenol (Total Fenol) ................................ 122

3. Kandungan Flavonoid (Kuersetin) ................................. 128

4. Kandungan Likopen ....................................................... 132

5. Aktivitas Antioksidan ...................................................... 141

D. Degradasi Asam Askorbat (Vitamin C) Jus Tomat ............. 152

1. Retensi Asam Askorbat (Vitamin C) Jus Tomat............. 153

2. Degradasi L-Asam Askorbat Jus Tomat ....................... 155

3. Penentuan Energi Aktivasi ………………………………158

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………162

A. KESIMPULAN .................................................................... 162

B. SARAN………………………………………………………… 163

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 164

LAMPIRAN .............................................................................................. 183

Page 12: DISERTASI - Unhas

ix

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Teks

Tabel 1. Kandungan Nutrisi Tomat Segar ................................................. 14

Tabel 2 Perubahan Komposisi Buah Tomat pada Proses Pematangan..15

Tabel 3. Kandungan Likopen pada Berbagai Buah dan Sayuran……….37

Tabel 4. Penggolongan Pangan Berdasarkan Tingkat Resikonya ............ 52

Tabel 5. Konduktivitas Listrik dari Beberapa Bahan Pangan Pada ...............

Suhu 19ºC ................................................................................. 70

Tabel 6. Matriks Perlakuan Suhu dan Lama Pemanasan Ohmik ............. 89

Tabel 7. Pemanasan Ohmik pada Jus Tomat (Suhu Awal-Suhu

Pemanasan) ............................................................................. 101

Tabel 8. Kadar Asam L-Asam Askorbat (Vitamin C) pada Pemanasan

Ohmik………………………………………………………………..154

Tabel 9. Degradasi Vitamin C pada 70ºC, 90ºC, dan 110ºC dan

Lama Pemanasan 15, 30, dan 45 menit ................................. 156

Tabel 10. Energi Aktivasi Degradasi Vitamin C pada 70ºC, 90ºC,

dan 110ºC dan Lama Pemanasan 15, 30, dan 45 menit ...... 158

Page 13: DISERTASI - Unhas

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Teks

Gambar 1. Buah Tomat (Solanum lycopersicum L.) .................... ……….11

Gambar 2. Tahap Pematangan dan Tingkat Kematangan Buah Tomat....17

Gambar 3. Struktur Molekul Asam Askorbat………………………………...29

Gambar 4. Reaksi Asam Askorbat Menjadi Asam Dehidroaskorbat

dan Asam Diketogulonat………………………………………… 31

Gambar 5. Struktur Likopen...................................................................... 35

Gambar 6. Struktur Dasar Flavonoid ........................................................ 39

Gambar 7. Pengelompokan Flavonoid………………………………………39

Gambar 8. Struktur Kimia Kuersetin ....................................................... ..40

Gambar 9. Tahapan Reaksi Berantai Radikal Bebas ............................... 43

Gambar 10. Reaksi Penghambatan Antioksidan Primer terhadap

Radikal Lipid .......................................................................... 46

Gambar 11. Reaksi Antioksidan pada Konsentrasi Tinggi ......................... 47

Gambar 12. Perangkat Alat Pengolahan Tekanan Tinggi (HPP)………….63

Gambar 13. Komponen Peralatan Pulse Electric Field (PEF)……………...67

Gambar 14. Diagram Skematik dari Proses Pemanasan Ohmik Statis…...72

Gambar 15. Grafik ln (A) terhadap t untuk reaksi orde satu……………… 83

Gambar 16. Skema Proses Pemanasan Jus Tomat Ohmik………………..97

Gambar 17. Jus Tomat Ohmik…………………………………………………98

Gambar 18. Laju Pemanasan Ohmik 15 menit……………………………..102

Gambar 19. Laju Pemanasan Ohmik 30 menit……………………………..103

Gambar 20. Laju Pemanasan Ohmik 45 menit……………………………..103

Gambar 21. Hubungan Suhu dan Lama Pemanasan terhadap

Total Asam…………………………………………………….….107

Gambar 22. Hubungan Suhu dan Lama Pemanasan terhadap

pH Jus Tomat……………………………………………………..109

Gambar 23. Hubungan Suhu dan Lama Pemanasan terhadap

Page 14: DISERTASI - Unhas

xi

Total Padatan Terlarut Jus Tomat……..……………………….116

Gambar 24. Hubungan Suhu dan Lama Pemanasan terhadap

Vitamin C Jus Tomat…………………………….……………....119

Gambar 25. Reaksi Asam Askorbat dengan 2,6-Diklorofenol

Indofenol.................................................................................121

Gambar 26. Hubungan Suhu dan Lama Pemanasan terhadap

Kandungan Total Fenol Jus Tomat…………………..………...123

Gambar 27. Reaksi Kompleks Molibdenum-Tungsten Blue………………..127

Gambar 28. Hubungan Suhu dan Lama Pemanasan terhadap

Kuersetin Jus Tomat………………………………………..……128

Gambar 29. Mekanisme Reaksi Uji Flavonoid……………………………….131

Gambar 30. Hubungan Suhu dan Lama Pemanasan terhadap Likopen

Jus Tomat…………………………………………………………132

Gambar 31. Struktur Isomer Trans dan Cis Likopen………………………..135

Gambar 32. Skema Degradasi All-trans-isomers dan Cis-isomer

pada Likopen………………………………………………..........138

Gambar 33. Perubahan Struktur Molekul dan Hasil Oksidasi

Likope Selama Pemanasan……………………………………..140

Gambar 34. Hubungan Suhu dan Lama Pemanasan terhadap

Antioksidan Jus Tomat………………………… ………………142

Gambar 35. Struktur Kimia DPPH…………………………………………….144

Gambar 36. Reaksi Radikal DPPH dengan Antioksidan……………………145

Gambar 37. Reaksi Radikal Bebas DPPH terhadap Antioksidan………...146

Gambar 38. Mekanisme Penangkapan Radikal Bebas oleh Polifenol........149

Gambar 39. Reaksi Vitamin C dengan Radikal Bebas……………………..150

Gambar 40. Mekanisme Reaksi Asam Askorbat dan Ion Superoksida

dan Hidrogen Peroksida…………………………………………151

Gambar 41. Degradasi Vitamin C pada Suhu 70°C………………………...157

Gambar 42. Degradasi Vitamin C pada Suhu 90°C………………………...157

Gambar 43. Degradasi Vitamin C pada Suhu 110°C……………………….157

Gambar 44. Energi Aktivasi Jus Tomat pada Lama Pemanasan

Page 15: DISERTASI - Unhas

xii

15 Menit……………………………………………………………159

Gambar 45. Energi Aktivasi Jus Tomat pada Lama Pemanasan

30 Menit……………………………………………………………159

Gambar 46. Energi Aktivasi Jus Tomat pada Lama Pemanasan

45 Menit………...………………………………………...……….160

Page 16: DISERTASI - Unhas

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

Teks

Lampiran 1. Notasi Rumus/Persamaan …………………………………….183

Lampiran 2. RAL Faktorial Total Asam Jus Tomat Ohmik………………...184

Lampiran 3. RAL Faktorial pH Jus Tomat Ohmik………………………….186

Lampiran 4. RAL Faktorial Total Padatan Terlarut Jus Tomat

Ohmik………………………………………………………….....188

Lampiran 5. RAL Faktorial Vitamin C Jus Tomat Ohmik…………….……190

Lampiran 6. RAL Faktorial Polifenol Jus Tomat Ohmik…………………...192

Lampiran 7. RAL Faktorial Kuersetin Jus Tomat Ohmik…………………..194

Lampiran 8. RAL Faktorial Likopen Jus Tomat Ohmik…………………….196

Lampiran 9. RAL Faktorial Antioksidan Jus Tomat Ohmik………….........198

Lampiran 10. Kurva Standar Polifenol Jus Tomat…………………………..200

Lampiran 11. Kurva Standar Kuersetin Jus Tomat………………………….202

Lampiran 12. Data Likopen Jus Tomat……………………………………….204

Lampiran 13. Data Antioksidan JusTomat……………………………………206

Lampiran 14. Sidik Ragam Energi Aktivasi Jus Tomat Ohmik Lama

Pemanasan 15, 30, dan 45 Menit……………………..…..….225

Lampiran 15. Data Laju Pemanasan Ohmik Jus Tomat per 2 Detik..……..228

Lampiran 16. Gambar Analisis Jus Tomat Ohmik…………………………..234

Page 17: DISERTASI - Unhas

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tomat (Lycopersicum esculentum Mill.) merupakan salah satu tanaman

sayuran yang paling populer dikonsumsi dan diproduksi secara luas di dunia

(Grandillo et al., 1999). Tomat tergolong tanaman semusim berbentuk perdu

dan termasuk ke dalam famili Solanacea.Tomat adalah salah satu produk

hortikultura yang mempunyai beragam manfaat, baik dalam bentuk segar

sebagai sayur ataupun buah, maupun olahannya berupa makanan, minuman

yang berkhasiat sebagai obat. Buah tomat banyak mengandung zat-zat yang

berguna bagi tubuh manusia, oleh karena itu tomat menjadi komoditas sayur

yang utama.

Tomat merupakan sumber nutrisi dan senyawa bioaktif yang baik

(Friedman, 2002, 2013; Frusciante et al., 2007). Buah tomat kaya akan vitamin

C dan beberapa antioksidan, diantaranya vitamin E dan likopen Selain itu,

buah tomat mengandung serat makanan alami yang sangat baik bagi

pencernaan manusia dan juga adanya protein dalam buah tomat

menjadikannya buah yang sangat sarat gizi. Dalam 180 g buah tomat matang,

terkandung vitamin C sekitar 34,38 mg yang dapat memenuhi 57,3%

kebutuhan manusia dalam sehari. Kandungan seratnya mencapai 1,98 gram

dan protein sebesar 1,53 g. Pada tomat, likopen merupakan salah satu

komponen kimia yang paling banyak. Dalam 100 g tomat rata-rata berisi

sebanyak 3-5 mg likopen (Giovannucci, 1999).

Page 18: DISERTASI - Unhas

2

Tomat memiliki berbagai vitamin dan senyawa anti penyakit yang baik

bagi kesehatan, terutama likopen (Thompson et al., 2003; Nelson et al., 2003).

Tomat mengandung lemak dan kalori dalam jumlah rendah, bebas kolesterol,

dan merupakan sumber serat dan protein yang baik. Selain itu, tomat kaya

akan vitamin A, Vitamin C, beta-karoten, dan mineral kalium. Satu buah tomat

ukuran sedang mengandung hampir setengah batas jumlah kebutuhan harian

(required daily allowance/RDA) vitamin C untuk orang dewasa (Thompson et

al., 2003).

Kandungan vitamin C yang cukup tinggi pada tomat berperan untuk

mencegah penyakit sariawan, memelihara kesehatan gigi dan gusi,

mempercepat penyembuhan luka serta mencegah kerusakan atau pendarahan

pada pembuluh darah halus (Komar, 2012).

Vitamin C atau asam askorbat adalah komponen berharga dalam

makanan karena berguna sebagai antioksidan dan mengandung khasiat

pengobatan (Sandra,1991). Vitamin C mudah diabsorpsi secara aktif, tubuh

dapat menyimpan hingga 1500 mg vitamin C bila di konsumsi mencapai 100

mg sehari. Jumlah ini dapat mencegah terjadinya skorbut selama tiga bulan.

Tanda-tanda skorbut akan terjadi bila persediaan di dalam tubuh tinggal 300

mg. Konsumsi melebihi taraf kejenuhan akan dikeluarkan melalui urin

(Almatsier, 2001).

Asam askorbat, adalah agen pereduksi, yang diperlukan untuk

mempertahankan enzim hidroksilase prolil dalam bentuk aktif, serta sangat

diperlukan untuk menjaga berkurangnya atom besi. Hidroksilasi prolin dan lisin

dalam prokolagen dilakukan oleh enzim hidroksilase prolil menggunakan asam

Page 19: DISERTASI - Unhas

3

askorbat sebagai kofaktor. Asam askorbat juga memainkan peran penting

sebagai komponen enzim yang terlibat dalam sintesis kolagen dan karnitin.

Namun peran yang paling vital adalah sebagai vitamin yang larut dalam air

dalam tubuh manusia (Levine et al., 1995). Asam askorbat merupakan

antioksidan kuat karena dapat menyumbangkan atom hidrogen dan

membentuk askorbil yang relatif stabil, bersifat sebagai pemulung bagi oksigen

reaktif dan nitrogen oksida. Asam askorbat terbukti efektif melawan ion radikal

superoksida, hidrogen peroksida, oksigen radikal dan senyawa hidroksil,

melindungi reduktase asam folat, yang mengubah asam folat menjadi asam

folinat, dan dapat membantu melepaskan asam folat bebas dari konyugat

makanan dan juga memfasilitasi penyerapan zat besi (Manito, l981).

Likopen merupakan salah satu pigmen karotenoid yang penting

penyebab warna merah pada tomat (Di Mascio et al., 1989). Likopen bersifat

antioksidan dan dapat melindungi sel dari kerusakan reaksi oksidasi singlet

oksigen (singlet oxygen quenching) dan oksidator lain. Kemampuannya

mengendalikan radikal bebas 10 kali lebih efisien daripada vitamin E atau 2 kali

lebih efisien dari ß-karoten. Selain sebagai anti skin aging, likopen juga

memiliki manfaat untuk mencegah penyakit cardiovascular, diabetes,

osteoporosis, infertility, dan kanker terutama kanker prostat (Di Mascio et al.,

1989). Potensi likopen sebagai antioksidan dan penangkap radikal bebas

merupakan efek yang sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia. Likopen

juga dapat berinteraksi dengan Reactive Oxygen Species (ROS) seperti H2O2

dan NO2 (Lu, et al., 1995; Woodall, et al., 1997).

Page 20: DISERTASI - Unhas

4

Tomat dapat mengobati ganguan pencernaan, diare, memulihkan fungsi

liver dan mencegah terjadinya serangan empedu. Selain itu juga ditemukan

bahwa gel berwarna kuning yang menyelubungi biji tomat dapat mencegah

penggumpalan dan pembekuan darah (penyebab stroke dan penyakit jantung).

Tomat juga mampu memulihkan lemah syahwat dan meningkatkan jumlah

maupun kegesitan sel sperma (Komar, 2012).

Tomat juga banyak dimanfaatkan dalam industri kecantikan, seperti

pembuatan masker dan pil anti penuaan yang berbahan dasar tomat. Hal ini

dikarenakan kandungan likopen pada tomat yang mampu memperbaiki dan

mempertahankan jaringan kolagen kulit. Zat lain seperti tomatin bersifat

sebagai antiinflamasi, yaitu dapat menyembuhkan luka dan jerawat. Beberapa

peneliti Inggris telah menemukan bahwa menambahkan tomat yang dimasak

ke dalam makanan setiap hari meningkatkan kemampuan kulit untuk

melindungi diri dari sinar ultra-violet yang berbahaya (Komar, 2012).

Senyawa lain yang terdapat dalam tomat antara lain adalah solanin,

saponin, asam folat, asam malat, asam sitrat, bioflavonoid (termasuk likopen, α

dan ß-karoten), protein, lemak, vitamin, mineral dan histamin (Canene-Adam et

al., 2005). Senyawa-senyawa fenolat yang terdapat dalam tomat meliputi:

kuersetin, naringenin, rutin dan asam klorogenat. Senyawa-senyawa fenolat

tersebut diantaranya, dapat menangkap radikal-radikal peroksida dan dapat

mengkhelat logam besi yang mengkatalisa peroksida lemak (Velioglo, 1998).

Asam organik yang paling dominan pada tomat adalah asam sitrat.

Selain asam sitrat, asam malat adalah asam organik yang paling berkontribusi

terhadap cita rasa buah tomat. Asam-asam lain yang telah terdeteksi adalah

Page 21: DISERTASI - Unhas

5

asam asetat, format, trans-asonitat, laktat, galakturonat, dan α-okso.

Keasaman maksimum ditemukan pada tomat dengan kematangan kategori

“breaker” dan tahap berwarna “pink”. Keasaman buah tomat sangat penting

untuk rasa dan penting juga dalam proses pengolahan karena kandungan

butirat, mikroorganisme termofilik, dan pembusuk anaerobik tidak dapat

berkembang ketika pH di bawah 4,3. Namun ketika pH lebih dari 5, spora

mikroorganisme sulit untuk diinaktifkan (Salunkhe et al, 1974).

Pangan fungsional adalah pangan disamping untuk memenuhi

kebutuhan gizi juga mempunyai manfaat dalam memelihara kesehatan. Salah

satu permasalahan dalam pengembangan pangan fungsional bersumber dari

tanaman (tidak terkecuali tomat) adalah proses pengolahannya, karena dapat

mempengaruhi kandungan senyawa bioaktif yang terkandung dalam bahan

yang digunakan sebagai bahan baku pangan fungsional (Percival dan Turner,

2001).

Selama proses pengolahan pangan terjadi beberapa perubahan

kandungan gizi dari makanan, baik karena ikut terlarut ataupun karena

mengalami penguapan selama proses berlangsung terutama pada kandungan

senyawa yang mudah larut dalam air atau senyawa yang rentan terhadap

panas (pengolahan suhu termal).

Proses pemanasan pada bahan makanan dengan suhu tinggi dan

waktu pemanasan terlalu lama seperti pada pemanasan konvensional dapat

mengakibatkan besarnya kehilangan nutrisi dan vitamin serta komponen

bioaktif yang terkandung dalam buah-buahan. Di sisi lain, jika suhu

pemanasan terlalu rendah atau waktu pemanasan yang terlalu singkat,

Page 22: DISERTASI - Unhas

6

dikhawatirkan jumlah mikroba yang terdapat dalam bahan masih cukup tinggi

(Muchtadi dan Ayustaningwarno, 2010).

Proses pemanasan ohmik dalam pengolahan pangan adalah suatu

proses dimana bahan pangan (cair, padatan, atau campuran antara keduanya)

dipanaskan secara simultan dengan mengalirkan arus listrik melalui bahan

tersebut. Bahan pangan yang dilewati arus listrik memberi respon berupa

pembangkitan panas secara internal akibat adanya tahanan listrik dalam bahan

(Salengke, 2000). Pembangkitan panas serentak yang dihasilkan memberikan

distribusi suhu yang seragam, terutama untuk makanan cair.

Keuntungan utama dari pengolahan ohmik adalah pemanasan

berlangsung cepat dan relatif seragam (Zareifard et al., 2003), mudah dalam

mengontrol proses, efisiensi energi tinggi (Ghnimi et al., 2008), dan biaya

modal yang lebih rendah (Marra et al., 2009), mempertahankan warna dan nilai

gizi makanan, serta waktu proses yang singkat dan hasil yang lebih tinggi

dibandingkan dengan pemanasan konvensional (Castro et al., 2004; Icier et al.,

2005a; Leizerson dan Shimoni, 2005; Vikram et al., 2005; Wang dan Sastry,

2002; Yildiz, 2009). Selain itu pemanasan ohmik pengolahan pangan

memungkinkan penerapan pengolahan bersih, ramah lingkungan, dan hemat

energi dibandingkan metode konvensional.

Pemanasan ohmik dianggap sangat cocok untuk pengolahan termal

makanan cair. Jumlah panas yang dihasilkan secara langsung berhubungan

dengan arus yang disebabkan oleh gradien tegangan, medan listrik dan

konduktivitas listrik (Shirsat et al., 2004). Sebagian besar makanan

mengandung spesies ionik seperti garam dan asam, dan apabila arus listrik

Page 23: DISERTASI - Unhas

7

dilewatkan pada makanan menghasilkan panas di dalam bahan (Palaniappan

dan Sastry, 1991). Pemanasan ohmik berlangsung secara volumetrik sehingga

berpotensi mengurangi pemanasan berlebih (overprocessing) dibandingkan

dengan pola pindah panas dari luar ke dalam bahan (Rahman, 1999).

Waktu pemanasan ohmik bergantung pada gradien tegangan yang

digunakan. Meningkatnya gradient tegangan, menyebabkan panas yang

dihasilkan per unit waktu meningkat, sehingga waktu pemanasan yang

diperlukan untuk mencapai suhu yang hendak dicapai menjadi berkurang.

Skala waktu dapat diatur dengan memilih parameter gradien tegangan (Icier,

2012). Konduktivitas listrik adalah ukuran dari seberapa baik suatu zat

mentransmisikan muatan listrik yang dinyatakan dalam Siemens per meter

(S/m). Konduktivitas listrik adalah rasio densitas substansi pada kekuatan

medan listrik dan dipengaruhi oleh komposisi kimia dari suatu zat. Dalam

terminologi pemanasan ohmik, konduktivitas adalah ukuran dari isi mineral

atau ion. Untuk bahan makanan, bahan ion yang paling umum garam (NaCl).

Semakin tinggi jumlah garam terlarut dalam zat, semakin tinggi konduktivitas

(Anderson, 2008).

Pemanas ohmik berbeda dengan pemanas microwave dari segi

penggunaan frekuensi. Pemanas Ohmik dioperasikan dengan frekuensi rendah

(50 sampai dengan 60 Hz). Pada pemanasan ohmik digunakan arus bolak

balik. Tegangan diatur sehingga mencapai suhu akhir yang dikehendaki (Kemp

dan Fryer, 2007).

Page 24: DISERTASI - Unhas

8

B. Rumusan Masalah

Uraian pada latar belakang tersebut, dapat dirumuskan beberapa

masalah sebagai berikut:

1. bagaimana parameter suhu dan waktu yang diaplikasikan pada perangkat

pemanas ohmik terhadap karakteristik laju pemanasanjus tomat.

2. berapa besar perubahan karakteristik fisiko-kimia jus tomat yang

dipanaskan dengan pemanasan ohmik.

3. bagaimana perubahan kandungan senyawa bioaktif pada jus tomat yang

diberi perlakuan suhu dan waktu pemanasan yang berbeda dengan

menggunakan teknologi ohmik.

4. bagaimana pola degradasi asam askorbat (Vitamin C) pada jus tomat

dengan menggunakan teknologi ohmik.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. menentukan karakteristik laju pemanasan jus tomat dengan teknologi

pemanasan ohmik.

2. menentukan pengaruh suhu pemanasan dan lama pemanasan terhadap

karakteristik fisiko-kimia jus tomat antara lain: pH, Total Asam, dan Total

Padatan Terlarut yang dipanaskan dengan pemanasan ohmik.

3. menganalisis perubahan kandungan senyawa bioaktif pada jus tomat

meliputi kandungan Vitamin C, Polifenol, dan Flavonoid (Kuersetin),

Page 25: DISERTASI - Unhas

9

Likopen, dan antioksidan yang diberi perlakuan suhu dan waktu pemanasan

dengan menggunakan teknologi ohmik.

4. menentukan laju degradasi asam askorbat (Vitamin C) pada jus tomat

dengan teknologi ohmik selama pemanasan.

D. Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. mendapatkan informasi tentang konduktifitas listrik jus tomat pada

pemanasan ohmik dalam kaitannya dengan pengembangan rancang

bangun perangkat teknologi ohmik jus tomat dengan skala yang lebih besar

(scale up).

2. memahami perubahan-perubahan secara fisik-kimia pada tomat yang

diolah menjadi jus, perubahan-perubahan kandungan senyawa bioaktif

pada jus tomat yang mendapat perlakuan pemanasan dengan pemanfaatan

teknologi ohmik.

3. industri berskala besar di masa yang akan datang tidak lagi menerima

bahan baku dalam bentuk bahan mentah seperti buah segar, tetapi disuplai

oleh industri menengah dan kecil dengan cara menerima bahan baku

setengah jadi dalam bentuk jus atau pure buah. Sehingga alternatif

penggunaan teknologi ohmik menjadi jembatan antara industri kecil,

menengah dengan industri berskala besar.

4. pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pada bidang Teknologi

Pangan.

Page 26: DISERTASI - Unhas

10

E. Kebaruan Penelitian

Kebaruan penelitian ini adalah:

1. penerapanTeknologi Ohmik yang berbasis arus listrik yang dirubah menjadi

energi panas pada jus tomat sebagai alternatif pengolahan termal pada

produk tomat, dengan menggunakan perangkat pemanas ohmik berbahan

teflon.

2. penerapan Teknologi Ohmik pada pembuatan jus tomat pada temperatur

diatas titik didih yaitu 110°C yang dipertahankan sampai 45 menit

pemanasan.

3. penggunaan Teknologi Ohmik dalam mempertahankan stabilitas senyawa-

senyawa antioksidan pada jus tomat.

Page 27: DISERTASI - Unhas

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Buah Tomat (Lycopersicum esculentum Mill.)

Tomat (Solanum lycopersicum syn. Lycopersicum esculentum) adalah

tumbuhan keluarga Solanaceae, berasal dari Amerika Tengah dan Selatan,

dari Meksiko sampai Peru. Kata tomat berasal dari bahasa Aztek, salah satu

suku Indian yaitu xitomate atau xitotomate. Tanaman tomat menyebar ke

seluruh Amerika, terutama ke wilayah yang beriklim tropik, sebagai gulma.

Penyebaran tanaman tomat ini dilakukan oleh burung yang makan buah tomat

dan kotorannya tersebar kemana-mana. Penyebaran tomat ke Eropa dan Asia

dilakukan oleh orang Spanyol. Tomat ditanam di Indonesia sesudah

kedatangan orang Belanda. Dengan demikian, tanaman tomat sudah tersebar

ke seluruh dunia, baik di daerah tropik maupun subtropik (Pracaya, 2012).

Gambar 1. Buah Tomat (Solanum lycopersicum L.)

(Sumber: https://www.gardeningknowhow.com/edible/vegetables/tomato/-main

crop-tomato-plants.htm)

Page 28: DISERTASI - Unhas

12

Dalam botani atau ilmu tumbuh-tumbuhan, tanaman tomat

diklasifikasikan sebagai berikut (Atherton dan Rudich, 1986) :

Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)

Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)

Sub divisi : Angiospermae (berbiji tertutup)

Kelas : Dicotyledoneae (berbiji keeping satu)

Ordo : Tubiflorae (Polemoniales)

Family : Solanaceae

Genus : Lycopersicum

Spesies : (Lycopersicum esculentum Mill.)

Buah tomat terdiri dari beberapa bagian yaitu perikarp, plasenta,

funikulus, dan biji. Anatomi buah tomat dapat dilihat pada Gambar 1. Perikarp

meliputi eksokarp, mesokarp, dan endocarp. Eksokarp adalah lapisan terluar

dari buah dan sering mengandung zat warna buah terdiri dari dinding pericarp

dan kulit buah. Perikarp meliputi dinding luar dan dinding radial (septa) yang

memisahkan rongga lokula. Mesokarp adalah lapisan yang paling dalam

berupa selaput terdiri dari parenkim dengan ikatan pembuluh (jaringan tertutup)

dan lapisan bersel tunggal yaitu lokula. Endokarp adalah lapisan paling dalam

terdiri dari biji, plasenta, dan columella (Rančić et al, 2010).

Buah tomat memiliki bentuk bervariasi, tergantung pada jenisnya. Ada

buah tomat yang berbentuk bulat, agak bulat, agak lonjong, bulat telur (oval),

dan bulat persegi. Ukuran buah tomat juga sangat bervariasi, yang berukuran

paling kecil memiliki berat 8 gram dan yang berukuran besar memiliki berat

sampai 180 gram.

Page 29: DISERTASI - Unhas

13

Buah tomat yang masih muda berwarna hujau muda bila sudah matang

warnanya menjadi merah. Buah tomat yang masih muda memiliki rasa getir

dan aromanya tidak enak, sebab masih mengandung zat lycopersicin yang

berbentuk lendir. Aroma yang tidak sedap tersebut akan hilang dengan

sendirinya pada saat buah memasuki fase pematangan hingga matang.

Rasanya juga akan berubah menjadi manis agak masam yang menjadi ciri

khas kelezatan buah tomat.

B. Komposisi Kimia Buah Tomat

Tomat merupakan salah satu makanan yang bergizi tinggi, kandungan

gizi tomat masak dapat dilihat pada Varietas-varietas tomat memiliki jumlah zat

terlarut dalam air bervariasi dari 4,5-7% dengan fruktosa dan glukosa

merupakan zat paling dominan. Kandungan nutrisi buah tomat dapat dilihat

pada Tabel 1.

Tomat mengandung komponen nutrisi terutama kaya akan vitamin dan

mineral. Dalam satu buah tomat segar ukuran sedang 100 g mengandung

sekitar 30 kalori, 40 mg vitamin C, 1500 SI vitamin A, 60 μg tiamin (vitamin

B1), zat besi, kalsium dan lain-lain (Kailaku et al., 2013). Komposisi zat gizi

yang terkandung di buah tomat cukup lengkap. Buah tomat terdiri dari 5-10%

berat kering tanpa air dan 1 persen kulit dan biji. Jika buah tomat dikeringkan,

sekitar 50% dari berat keringnya terdiri dari gula-gula pereduksi (terutama

glukosa dan fruktosa), sisanya asam-asam organik, mineral, pigmen, vitamin

dan lipid. Dalam 100 gram tomat memenuhi 20% atau lebih dari

kebutuhan vitamin C sehari (Astawan, 2008).

Page 30: DISERTASI - Unhas

14

Tabel 1. Kandungan Nutrisi Tomat Segar. Nutrien Kandungan

per 100 g Nutrien Kandungan

per 100 g

Analisis Proksimat

Asam Amino

Air (g) 93,76 Triptofan (g) 0,006

Energi (kkal) 21 Treonin (g) 0,021

Protein (g) 0,85 Isoleusin (g) 0,020

Total lemak (g) 0,33 Leusin (g) 0,031

Karbohidrat (g) 4,64 Lisin (g) 0,031

Serat (g) 1,1 Metionin (g) 0,007

Abu (g) 0,42 Kistin (g) 0,011

Mineral Fenilalanin (g) 0,002 0,002

Kalsium (mg) 5 Tirosin (g) 0,015

Zat besi (mg) 0,45 Valin (g) 0,022

Magnesium (mg) 11 Arginin (g) 0,021

Fosfor (mg) 24 Histidin (g) 0,013

Kalium (mg) 222 Alanin (g) 0,024

Natrium (mg) 9 Asam aspartat (g) 0,118

Seng (mg) 0,09 Asam glutamat (g) 0,313

Tembaga (mg) 0,074 Glisin (g) 0,021

Mangan (mg) 0,105 Prolin (g) 0,016

Selenium (mg) 0,4 Serin (g) 0,023

Vitamin Asam Lemak

B1 (Tiamin) (mg) 0,059 Tak jenuh tunggal (g)

0,050

B2 (Riboflavin) (mg) 0,048 Tak jenuh ganda (g)

0,135

B3 (Niasin) (mg) 0,628

B5 (Asam pantotenat) (mg)

0,247

Vit. A (IU) 0,623

Vit E (Tokoferol) (mg) 0,34

(Sumber: Kailaku et al., 2013).

Komposisi kimia tomat segar tergantung pada beberapa faktor yaitu

kultivar, kedewasaan, cahaya, suhu, musim, iklim, kesuburan tanah, irigasi,

dan perlakuan petani. Konsentrasi relatif komponen-komponen kimia dari buah

tomat yang penting dalam menilai kualitas buah tomat adalah warna, tekstur,

penampilan, nilai gizi, dan aroma. Buah tomat Moscow memiliki kadar air 94%

pada tahap merah matang. Perubahan komposisi berhubungan dengan

pematangan buah tomat disajikan dalam Tabel 2.

Page 31: DISERTASI - Unhas

15

Tabel 2. Perubahan Komposisi Buah Tomat pada Proses Pematangan

Komposisib

Tahap Kedewasaana

Hijau Breaker Pink Merah Merah Penuh

Bahan Kering (%) 6.40 6.20 5.81 5.80 6.20

Keasaman tertitrasi (%) 0.285 0.310 0.295 0.270 0.285

Asam Organik (%) 0.058 0.127 0.144 0.166 0.194

Asam Askorbat (%) 14.5 17.0 21.0 23.0 22.0

Klorofil (%) 45.0 25.0 9.0 0.0 0.0

ß-Karoten (%) 50.0 242.0 443.0 10.0 50.0

Likopen (%) 8.0 124.0 230.0 374.0 412.0

Turunan Gula (%) 2.40 2.90 3.10 3.45 3.65

Pektin (%) 2.34 2.20 1.90 1.74 1.62

Pati (%) 0.61 0.14 0.13 0.18 0.07

Volatiles (ppb) 17.0 17.9 22.3 24.6 31.2

Volatiles reducing subst. (μeq.%) 248 290 251 278 400

Asam amino (μ mole %) _c 2358 3259 2941 2723

Nitrogen Protein (rag N/g) 9.44 10.00 10.27 10.27 6.94

a kultivar Fireball, selain kultivar V. R. Moscow untuk kandungan asam amino. b Dinyatakan dalam basis berat segar. c Nilai tidak dilaporkan. (Sumber: Salunkhe et al, 1974).

Asam organik yang paling dominan pada tomat adalah asam sitrat.

Selain asam sitrat, asam malat adalah asam organik yang paling berkontribusi

terhadap cita rasa buah tomat. Asam-asam lain yang telah terdeteksi adalah

asam asetat, formiat, trans-asonitat, laktat, galakturonat, dan α-okso. Pada

keseluruhan kematangan buah mulai dari berwarna hijau tua hingga merah,

keasaman meningkat mencapai nilai maksimum dan kemudian menurun

(Salunkhe et al, 1974).

C. Pematangan dan Perubahan Warna Buah Tomat

Warna pada buah dan sayur ditentukan oleh kelompok pigmen yang

tedapat secara alami dalam buah dan sayur, yang dapat dikelompokkan atas:

klorofil, karotenoids, flavonoids (antosianin dan antoxantin). Penampilan buah

Page 32: DISERTASI - Unhas

16

dan sayur segar maupun olahannya sangat ditentukan oleh warna. Persepsi

tentang kesegaran buah dan sayur berhubungan erat dengan kecerahan

warna. Memudarnya warna pada buah segar berhubungan dengan kestabilan

pigmen warna yang dikandungnya. Kesensitifan pigmen ini juga berhubungan

erat dengan warna produk olahan buah dan sayur (Wills et al., 1989).

Tomat termasuk sayuran berbentuk buah. Warna tomat merupakan

salah satu kriteria visual yang penting dalam penentuan kualitas tomat.

Menurut Ryall dan Lipton (1972), tomat dapat dipanen dan matang dengan

baik jika dipetik saat masih hijau (mature green). Selama pematangan,

perlahan-lahan buah tomat akan berubah warna dari hijau menjadi merah.

Pematangan diartikan sebagai perwujudan dari mulainya proses

kelayuan dimana organisasi antar sel menjadi terganggu. Gangguan ini

merupakan pelopor dari kegiatan hidrolisa substrat oleh campuran enzim-

enzim yang ada di dalam buah. Pematangan dapat pula diartikan sebagai

suatu fase akhir proses penguraian substrat dan merupakan suatu proses yang

dibutuhkan oleh bahan untuk mensistesis enzim-enzim yang spesifik yang

diantaranya akan digunakan dalam proses kelayuan (Muchtadi dkk., 2010).

Perubahan warna tomat menurut Ryall dan Lipton (1972), dibagi

menjadi enam tingkat yaitu tingkat pertama “Masak Hijau” (mature green), pada

keadaan ini setelah permukaan buah tomat masih berwarna hijau atau hijau

keputihan. Tingkat kedua yaitu “Breaker”, pada tingkat ini tidak lebih dari 10 %

permukaan buah tomat berwarna kuning kecoklatan, pink atau merah. Tingkat

keterangan ketiga yaitu “Turning”, pada tingkat ini 10-30% permukaan buah

tomat berwarna kuning kecoklatan, pink atau merah. Kemudian tingkat

Page 33: DISERTASI - Unhas

17

keempat yaitu “Pink”, pada tingkat ini 30-60% permukaan buah tomat berwana

pink atau merah. Tingkat kelima yaitu “Light Red”, pada keadaan ini 60-90%

permukaan buah tomat berwarna merah kecoklatan atau merah. Dan yang

terakhir dinamakan “Red”, dimana pada tingkat ini lebih dari 90% permukaan

buah tomat sudah berwarna merah.Pematangan buah tomat dapat diketahui

dengan melihat perubahan warna kulit buah tomat. Warna kulit buah tomat

akan berubah dari hijau penuh (green) menjadi merah penuh (red). Klasifikasi

perubahan warna kulit tomat dijelaskan pada Gambar 2.

Gambar 2. Tahap Pematangan dan Tingkat Kematangan Buah Tomat

(Sumber: Ryall dan Lipton, 1972)

Menurut Thomson dan Kelly (1957), kematangan buah tomat dimulai

pada tingkat kematangan “Turning” yang ditandai dengan warna sedikit

kemerahan pada ujung buah. Buah tomat masak penuh (“Full Tipe”) berwarna

merah seluruhnya dan keadaan buah masih kurus, sedangkan buah tomat

Page 34: DISERTASI - Unhas

18

yang sudah lewat masak (“Over Ripe”) berwarna merah, seluruhnya tetapi

sudah agak lunak bila dibandingkan dengan buah masak penuh (Thompson

dan Kelly, 1957). Sedangkan kriteria untuk matang petik buah tomat terbagi 4

tahap, yaitu: hijau matang (mature green), semburat/pecah (breaker), turning,

merah muda (pink), dan merah tua (red ripe) (Harijadi dan Sunarjono, 1990).

Berubahnya warna dapat disebabkan oleh 2 faktor yaitu proses

degradasi maupun proses sintesis dari pigmen yang terdapat dalam buah.

Salah satu perubahan yang akan terjadi pada buah setelah dipanen adalah

tingkat kelunakan buah. Kondisi ini terjadi karena adanya perombakan

protopektin yang tidak larut menjadi pektin yang larut maupun karena

terjadinya hidrolisis pati atau lemak, dan mungkin juga lignin. Jumlah zat-zat

pektat selama pematangan buah akan meningkat. Selama pematangan buah

kandungan pektat dan pektinat yang larut akan meningkat sehingga ketegaran

buah akan berkurang (Matto et al., 1989). Terjadinya reduksi galaktan, araban

dan poliurodin di dinding sel menyebabkan zat-zat yang ada pada dinding sel

terdegradasi dan buah tomat menjadi lunak (Hobson dan Grierson, 1993).

Pelunakan buah oleh pelarutan pektin selama pematangan mempengaruhi

sifat-sifat fisik dinding sel yang berdampak pada integrasi struktural buah.

Proses ini akan semakin cepat jika buah berada pada suhu yang tinggi

(Zulkarnain, 2010).

Selama proses pematangan, tomat akan mengalami berbagai

perubahan baik secara fisik maupun kimia. Perubahan secara fisik yang terjadi

diantaranya adalah perubahan warna kulit, ukuran, perubahan tekstur serta

kekerasan buah. Perubahan-perubahan tersebut akan menurunkan mutu,

Page 35: DISERTASI - Unhas

19

kondisi dan penampakan buah tomat sehingga menurunkan harga jualnya.

Kandungan asam askorbat tertinggi pada buah tomat ialah selama

proses pembentukan atau pertumbuhan di pohon dan menurun selama

pematangan atau penyimpanan, yang berkaitan dengan proses respirasi.

Penurunan kandungan asam askorbat dapat menyebabkan turunnya kualitas

buah tomat tersebut (Muchtadi dkk., 1993). Keasaman maksimum ditemukan

pada breaker dan tahap berwarna pink.

Pematangan akan menyebabkan naiknya kadar gula sederhana untuk

memberikan rasa manis, penurunan kadar asam organik dan senyawa fenolik

untuk mengurangi rasa asam dan sepat serta kenaikan produksi zat volatil

untuk memberikan flavor karakteristik buah (Muchtadi et al., 2010). Selama

proses pematangan warna kulit tomat mengalami perubahan dari hijau gelap

menjadi berwarna kuning/merah (Simmonds, 1966). Hal tersebut terjadi karena

klorofil mengalami degradasi disertai menurunnya konsentrasi klorofil dari 50-

100 mg/kg pada kulit pisang hijau menjadi nol pada stadia matang penuh.

Hobson dan Grierson (1993) menjelaskan perubahan warna pada tomat terjadi

karena klorofil dalam jaringan menjadi rusak.

D. Produk Olahan Tomat

Berbagai jenis buah utama yang dihasilkan di Indonesia berpotensi

untuk dikembangkan menjadi produk olahan, seperti buah dalam kaleng,

minuman sari buah, manisan buah, selai dan produk olahan buah lainnya,

salah satunya adalah buah tomat (Anonim, 2009). Beberapa jenis produk

olahan berbasis tomat diantaranya selai, permen jelly, jelly drink, tomakur,

Page 36: DISERTASI - Unhas

20

saus, pasta, sari buah, manisan kering maupun produk dalam bentuk bubuk

(Dewanti dkk., 2010).

Beberapa jenis produk olahan berbasis tomat diantaranya selai, permen

jelly, jelly drink, tomakur, saus, pasta, sari buah, manisan kering maupun

produk dalam bentuk bubuk. Pasta tomat adalah salah satu produk olahan

yang paling banyak dikembangkan pada industi kecil menengah (Dewanti dkk.,

2010).

Sari tomat merupakan produk olahan tomat yang menggunakan bahan

tambahan makanan seperti gula pasir, Na-benzoat dan CMC (Carboxy Methyl

Cellulose). Sari tomat dapat dibuat dengan mudah, cepat serta memerlukan

peralatan yang sederhana. Berikut ini daftar bahan, alat serta diagram

pembuatan sari tomat (Dewanti dkk., 2010).

Yoghurt merupakan produk minuman fermentasi yang berasa masam,

sedikit kental yang pada mulanya berbahan dasar susu. Akan tetapi seiring

dengan perkembangan zaman, pembuatan yoghurt berbasis bahan nabati

semakin diminati. Salah satu yoghurt berbasis nabati yaitu yoghurt tomat.

Yoghurt ini memiliki sifat fungsional berupa kandungan antioksidan tinggi,

senyawa antimikroba (asam laktat) dan vitamin C (Dewanti dkk., 2010).

Pure merupakan produk serupa bubur dengan viskositas atau

kekentalan sedang. Pure dibuat dengan cara memasak bubur atau slurry

daging buah tomat dengan gula hingga diperoleh kekentalan yang diinginkan.

Penelitian badan pangan dunia FAO/WHO menunjukan bahwa kandungan

likopen tidak rusak dan jumlahnya tidak jauh berubah selama pemanasan.

Bahkan kandungan likopen akan meningkat 10 kali lipat ketika tomat diolah

Page 37: DISERTASI - Unhas

21

menjadi saus atau pasta tomat. Likopen merupakan bagian dari karotenoid

yang larut dalam lemak, namun likopen yang larut di dalam lemak justru sulit di

serap oleh tubuh. Karenanya, disarankan mengolah tomat dengan cara di

rebus atau dikukus (Dewanti dkk., 2010).

Beberapa jenis tomat dapat dibuat selai dengan menambahkan jenis

buah lain yang mempunyai aroma yang menarik. Selai adalah bahan dengan

konsistensi gel atau semi gel yang dibuat dari bubur buah. Selai digunakan

sebagai bahan pembuat roti dan kue. Konsistensi gel atau semi gel pada selai

diperoleh dari interaksi senyawa pektin yang berasal dari buah atau pektin

yang ditambahkan dari luar, gula sukrosa dan asam. Interaksi ini terjadi pada

suhu tinggi dan bersifat menetap setelah suhu diturunkan. Kekerasan gel

tergantung kepada konsentarsi gula, pektin dan asam pada bubur buah.

Kondisi optimum untuk kadar pektin adalah ± 1%, pH 3,3-3,4, dan gula ± 66%

(Dewanti dkk., 2010).

Kini dengan teknologi sederhana dan relatif mudah, tomat dapat

dijadikan sebuah makanan ringan yang disebut “Torakur” (TOmat RAsa

KURma) dengan bentuk dan rasa yang mirip dengan buah kurma. Jus buah

adalah minuman sari buah segar jenis jajanan dengan bahan dasar dari buah-

buahan yang banyak dikomsumsi oleh masyarakat luas. Menurut Hulme

(1971), sari buah didefinisikan sebagai cairan hasil pemerasan buah dengan

tekanan atau alat mekanis lainnya terhadap bagian buah yang dapat dimakan.

Biasanya sari buah ini keruh karena mengandung komponen seluler di dalam

suspensi koloid dengan jumlah pulp halus yang bervariasi (Dewanti dkk.,

2010).

Page 38: DISERTASI - Unhas

22

Pengertian produk minuman sari buah (fruit juice) menurut SNI 01-3719-

1995 adalah minuman ringan yang dibuat dari sari buah dan air minum dengan

atau tanpa penambahan gula dan bahan tambahan makanan yang diizinkan.

Definisi sari buah menurut Keputusan Badan Pengawas Obat dan Makanan

Nomor HK. No. HK.00.05.52.4040 Tahun 2006 tentang Kategori Pangan

mengatur definisi dan karakteristik dasar sari buah, terkait ketentuan bahan

baku, proses pengolahan dan produk jadi, adalah cairan yang dari bagian

buah yang dapat dimakan yang dicuci, dihancurkan, dijernihkan (jika

dibutuhkan), dengan atau tanpa pasteurisasi dan dikemas untuk dapat

dikonsumsi langsung. Sari buah dapat berisi hancuran buah serta

berpenampakan keruh atau jernih. Produk sari buah dapat dibuat dari satu atau

campuran berbagai jenis buah. Pada sari buah hanya dapat ditambahkan

konsentrat jika berasal dari jenis buah yang sama.

Sari buah merupakan hasil pengepresan atau ekstraksi buah yang

sudah disaring.Pembuatan sari buah terutama ditujukan untuk meningkatkan

ketahanan simpan serta daya guna buah-buahan. Pembuatan sari buah dari

tiap-tiap jenis buah meskipun ada sedikit perbedaan, tetapi prinsipnya sama

(Kemenristek RI, 2010).

Gula ditambahkan dengan tujuan untuk mendapatkan rasa manis.

Pengawet berfungsi untuk memperpanjang daya simpan. Selanjutnya cairan

disaring, dibotolkan, kemudian dipasteurisasi agar tahan lama. Pemurnian sari

buah bertujuanuntuk menghilangkan sisa serat-serat dari buah dengan cara

penyaringan, pengendapan atau sentrifugasi dengan kecepatan tinggi yang

dapat memisahkan sari buah dari serat-serat berdasarkan perbedaan

Page 39: DISERTASI - Unhas

23

kerapatannya. Sari buah yang tidak dimurnikan akan berakibat terjadinya

pengendapan di dasar botol. Hal tersebut tidak diinginkan karena akan

menurunkan penerimaan konsumen (Muchtadi 1977).

Jus dibuat dari buah segar yang kaya kandungan gizi, citarasa (flavour),

aroma dan warna yang disenangi (Koswara, 2009). Sebagian besar sari buah

dikehendaki berpenampakan keruh, misalnya sari buah jeruk, tomat, mangga,

dan sebagian lagi diinginkan dalam keadaan jernih, misalnya sari buah anggur

dan apel. Sari buah markisa mengandung asam (sebagai asam sitrat) dengan

pH antara 2,4-3,2. Markisa termasuk bahan pangan berkadar asam tinggi

dengan pH dibawah 3,7-4,0 (Buckle et al.,1987).

Menurut Ting dan Attaway (1971), komponen utama dari total padatan

terlarut dari sari buah jeruk adalah gula yang mencapai 75-85%. Jenis gula

yang terpenting adalah 2-monosakarida yakni D-glukosa dan D-fruktosa serta 1

disakarida yakni sukrosa. Setiap 100 ml sari buah jeruk siam mengandung

glukosa sebanyak 1.02-1.24 g, fruktosa 1.49-1.58 g, sukrosa 2.19-4.90 g

dengan total gula berkisar antara 4.93-7.57 g. Kandungan gula meningkat

dengan semakin matangnya buah sebanding dengan berkurangnya cadangan

pati (Berry dan Veldhuis, 1977). Beberapa penentu kualitas sari buah adalah

kekentalan, kekeruhan, dan kadar padatan terlarutnya (Dewanti dkk., 2010).

Jus buah merupakan sumber vitamin, mineral, karbohidrat, asam amino,

komponen flavonoid dan masih banyak lagi komponen-komponen yang masih

belum diketahui. Komposisi kimia jus buah terutama tergantung pada

pengaruh–pengaruh kombinasi dari mekanisme pengatur genetik dan

Page 40: DISERTASI - Unhas

24

lingkungan fisik, kimia dan biologis yang dialami buah-buahan segar selama

pertumbuhan dan pasca panen (Luh, 1980).

Proses pengolahan sari buah melalui beberapa tahapan ekstraksi,

klarifikasi, deaerasi, pasteurisasi, pemekatan (jika dikehendaki peningkatan

padatan), pengemasan dan pasteurisasi. Proses ekstraksi sari buah dilakukan

dengan pengepresan menggunakan “juice extractor”, penghancuran dengan

“blender” atau “pulper” atau dengan perebusan. Metode ekstraksi yang dipilih

berdasarkan pada jenis buah dan karakteristik sari buah yang ingin dihasilkan.

Misalnya, untuk buah jeruk atau markisa yang banyak mengandung biji dan

sedikit serat, ekstraksi dilakukan dengan pengepresan. Pengepresan dapat

mencegah hancurnya biji, sehingga sari buah tidak pahit. Untuk buah jambu

yang banyak mempunyai padatan terlarut dan tersuspensi, ekstraksi dilakukan

dengan perebusan. Ekstraksi dengan perebusan akan menghasilkan sari buah

yang lebih jernih jika dibandingkan dengan ekstraksi dengan penghancuran.

Untuk nenas yang memiliki padatan yang tidak terlalu banyak, ekstraksi sari

buah dilakukan dengan cara penghancuran. Ekstrak sari buah selanjutnya

diklarifikasi. Cairan hasil ekstraksi masih mengandung padatan yang

tersuspensi, sehingga harus dipisahkan. Pemisahan atau klarifikasi dapat

dilakukan dengan pengendapan, penyaringan atau sentrifugasi. Proses

tersebut masih belum mampu memisahkan partikel halus seperti senyawa

pektat yang dapat menyebabkan kekeruhan pada sari buah (Apandi, 1984;

Kusnandar, 2010).

Sari buah mengandung sejumlah udara (oksigen) yang dapat

menyebabkan kerusakan vitamin C, warna, dan flavor, sehingga perlu

Page 41: DISERTASI - Unhas

25

dilakukan proses deaerasi. Dearasi dilakukan dengan cara melewatkan sari

buah ke dalam vacum deaerator. Deaerasi dapat juga dilakukan dengan

pemanasan sari buah dalam tempat terbuka pada suhu (70-80oC). Dengan

proses pemanasan tersebut, oksigen dapat menguap, di samping juga dapat

mengurangi jumlah mikroba awal dan inaktivasi enzim (Apandi, 1984;

Kusnandar, 2010).

Sari buah dapat dikemas dalam kaleng, botol, cup atau tetra pack untuk

melindunginya dari segala kerusakan. Pengemasan dalam botol atau cup

plastik dapat menampilkan sari buah sehingga lebih terlihat menarik. Namun,

kemasan transparan dapat ditembus cahaya yang dapat menyebabkan

kerusakan vitamin C atau pigmen. Pada proses pengemasan, sari buah harus

diisikan dalam kondisi panas (hot filling). Uap panas yang keluar dari produk

selama pengisian akan mengusir udara pada permukaan kemasan dan

memanaskan kemasan. Kondisi ini akan mengurangi resiko kontaminasi oleh

mikroba, sehingga dapat mengurangi resiko kerusakan produk (Apandi, 1984;

Kusnandar, 2010).

Sari buah yang telah dikemas kemudian dipasteurisasi. Proses

pasteurisasi dapat dilakukan pada suhu di bawah 100oC dengan tujuan untuk

inaktivasi mikroba pembusuk dan enzim yang tidak diinginkan. Pasteurisasi

dilakukan karena sifat produk yang relatif asam (pH<4.5), dimana mikroba-

mikroba yang mungkin tumbuh lebih mudah dibunuh. Penggunaan suhu

pasteurisasi yang tidak terlalu tinggi dapat mengurangi kerusakan vitamin C.

Page 42: DISERTASI - Unhas

26

E. Manfaat Tomat

Tomat (Solanum lycopersicum L) merupakan salah satu tanaman yang

sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia. Namun pemanfaatannya hanya

sebatas sebagai lalap dan bahan tambahan dalam masakan. Kandungan

senyawa dalam buah tomat di antaranya solanin (0,007 %), saponin, asam

folat, asam malat, asam sitrat, bioflavonoid (termasuk likopen, α dan ß-

karoten), protein, lemak, vitamin, mineral dan histamin (Canene-Adam et al.,

2005).

Pada tahun 1997, telah diketahui bahwa karotenoid yang utama di

dalam tomat adalah likopen, yang mempunyai efek menurunkan risiko kanker.

Likopen merupakan salah satu kandungan kimia paling banyak dalam tomat,

dalam 100 g tomat rata-rata mengandung likopen sebanyak 3-5 mg

(Giovannucci, 1999). Dalam beberapa penelitian menyebutkan bahwa tomat

dapat bermanfaat sebagai obat diare, serangan empedu, gangguan

pencernaan serta memulihkan fungsi liver (Fuhramn, 1997).

Likopen mampu menghambat pertumbuhan kanker endometrial, kanker

payudara dan kanker paru-paru pada kultur sel dengan aktivitas yang lebih

tinggi dibandingkan dengan α dan β-karoten. Likopen ditemukan mampu

menginaktifkan hidrogen peroksida dan nitrogen peroksida (Bohm et al., 1995).

Dengan penghambatan senyawa radikal bebas tersebut maka kemungkinan

terjadinya kanker dapat diturunkan.

Likopen yang dikonsumsi dari produk tomat dapat meningkatkan kadar

karotenoid dalam darah dan mencegah kerusakan Deoxyribonucleic Acid

(DNA) limfosit dengan meningkatkan mengasisteni terhadap tekanan oksidatif,

Page 43: DISERTASI - Unhas

27

dan ini berarti mengurangi risiko kanker. Likopen adalah karotenoid yang paling

banyak ditemukan dalam kelenjar prostat. Kanker lain seperti kanker payudara,

saluran pencernaan, serviks, kantong kemih, dan kulit berbanding terbalik

dengan kadar likopen dalam serum dan jaringan.

Peningkatan penggunaan tomat untuk sumber antioksidan dan aktivitas

antioksidan secara keseluruhan sangat berpotensi dan bermanfaat bagi

peningkatan kualitas kesehatan manusia di banyak negara (Hanson et al.,

2004). Likopen adalah karotenoid utama dalam buah tomat yang merupakan

antioksidan kuat dan telah memperoleh banyak perhatian, karena berhubungan

dengan diet kaya likopen dan menurunkan risiko penyakit jantung, kanker dan

penyakit di usia tua (Bramley, 2000).

Studi in vitro telah membuktikan bahwa likopen dua kali lebih poten

daripada β-karoten dan 10 kali lebih poten dibandingkan α-tokoferol atau

vitamin E dalam hal kemampuan meredam oksigen reaktif. Likopen dapat

diabsorbsi secara langsung dari jus tomat, saus tomat dan suplemen. Kadar

likopen serum terbukti meningkat secara bermakna setelah konsumsi produk-

produk tomat dan suplemen, disertai penurunan biomarker oksidasi termasuk

oksidasi lipidserum, kolesterol LDL, protein serum dan DNA (Rao et al., 2003).

Likopen dalam tomat dapat melawan kanker dan telah terbukti sangat efektif

dalam memerangi kanker prostat, kanker serviks, kanker lambung dan rektum

serta kanker faring dan esofagus. Menurut penelitian yang diterbitkan oleh

Harvard School of Public Health, tomat juga melindungi terhadap kanker

payudara dan kanker mulut (Anonim, 2011).

Page 44: DISERTASI - Unhas

28

Satu buah tomat dapat menyediakan sekitar 40% dari persyaratan

kebutuhan harian vitamin C. Vitamin C adalah antioksidan alami yang bertindak

sebagai penangkap radikal bebas dalam melawan penyebab kanker. Beberapa

vitamin dan mineral juga berlimpah dalam tomat seperti vitamin A, kalium serta

besi. Kalium memainkan peran penting dalam menjaga kesehatan saraf dan

zat besi sangat penting untuk menjaga tekanan normal darah. Vitamin K

penting dalam pembekuan darah dan kontrol perdarahan.

Dua komponen asam pada tomat yaitu asam kumarat dan asam

klorogenat, asam ini dapat melawan nitrosamine suatu karsinogen yang

diproduksi oleh asap rokok dan ditemukan terbawa masuk ke dalam tubuh.

Vitamin A, terdapat dalam tomat dan dapat membantu dalam

meningkatkan penglihatan, mencegah kebutaan malam dan degenerasi

makula.Tomat menjaga sistem pencernaan yang sehat dengan mencegah baik

sembelit maupun diare. Tomat juga mencegah penyakit kuning dan efektif

menghilangkan racun dari tubuh. Menkonsumsi tomat mengurangi risiko

terkena hipertensi. Sebuah studi yang dilakukan oleh Journal of American

Medical Association menunjukkan bahwa mengkonsumsi tomat dapat

mengurangi stres oksidatif pada penderita diabetes tipe 2. Tomat membantu

dalam menjaga kesehatan gigi, tulang, rambut dan kulit. Mengkonsumsi tomat

secara rutin juga melindungi kulit terhadap UV-induced erythema. Tomat

adalah produk yang memiliki peringkat tinggi dalam anti-penuaan dini. Asupan

Tomat juga mengurangi infeksi saluran kemih serta kanker kandung kemih.

Menkonsumsi tomat secara rutin juga bisa melarutkan batu empedu (Anonim,

2011).

Page 45: DISERTASI - Unhas

29

F. Kandungan Bioaktif Penting Pada Tomat

Komposisi zat gizi yang terkandung di buah tomat cukup lengkap.

Vitamin A dan C merupakan zat gizi yang jumlahnya cukup dominan dalam

buah tomat (Tonucci et al, 1995). Kandungan senyawa dalam buah tomat

diantaranya solanin (0,007 %), saponin, asam folat, asam malat, asam sitrat,

bioflavonoid (termasuk likopen, α dan ß-karoten), protein, lemak, vitamin,

mineral dan histamin (Canene-Adam et al., 2005).

1. Vitamin C Tomat

Vitamin C disebut juga asam askorbat, merupakan vitamin yang paling

sederhana, mudah berubah akibat oksidasi, dan amat berguna bagi

manusia.Vitamin ini merupakan fresh food vitamin karena sumber utamanya

adalah buah-buahan dan sayuran segar. Berbagai sumber vitamin ini adalah

jeruk, brokoli, brussel sprout, kubis, lobak dan stroberi (Linder, l992).

Gambar 3. Struktur Molekul Asam Askorbat (Buettner dan Fraye, 1993)

Vitamin C adalah mikronutrien yang paling banyak terkandung dalam

buah dan sayuan. Vitamin C terdiri dari 2 bentuk yaitu asam askorbat (AA, 2-

oxo-l-treo-hexono-1,4, lakton-2,3 enediol) dan asam dehidroaskorbat (DHAA,

treo-2, 3-hexodiulosonic asam γ-lakton) (Serpen et al., 2007).

Page 46: DISERTASI - Unhas

30

Sejak ditemukan, banyak nama telah diberikan pada vitamin C. Nama-

nama tersebut dapat digolongkan menjadi nama umum, nama trivial, dan nama

kimia. Beberapa nama untuk vitamin C adalah vitamin C, asam askorbat, dan

asam ceritamat (ceritamic acid), asam heksuronat (hexuronic acid), anti-

scorbutin, dan L-asam askorbat.

Asam askorbat (vitamin C) adalah turunan heksosa dan diklasifikasikan

sebagai karbohidrat yang erat kaitannya dengan monosakarida. Vitamin C

dapat disintesis dari D-glukosa dan D-galaktosa dalam tumbuh-tumbuhan dan

sebagian besar hewan. Vitamin C terdapat dalam dua bentuk di alam, yaitu L-

asam askorbat (bentuk tereduksi) dan L-asam dehidro askorbat (bentuk

teroksidasi). Oksidasi bolak-balik L-asam askorbat menjadi L-asam dehidro

askorbat terjadi apabila bersentuhan dengan tembaga, panas, atau alkali

(Akhilender, 2003). Asam askorbat dapat dioksidasi secara in vivo oleh dua

elektron bebas dan menghasilkan L-askorbil radikal. L-askorbil radikal ini dapat

kembali menjadi asam askorbat bila mengalami reduksi, tetapi bila teroksidasi

lagi akan membentuk asam L-dehidroaskorbat, yang tidak dapat kembali ke

bentuk awal. Selanjutnya hidrolisis dehidroaskorbat menghasilkan asam 2,3-

diketo L-gulonat. Asam gulonat ini dapat mengalami dekarboksilasi

menghasilkan CO2 dan fragmen 5C (seperti xilosa dan asam xilonat) dan

mengalami oksidasi menghasilkan asam oksalat dan fragmen 4C (asam

threonat). Asam askorbat dapat dihasilkan kembali dari bentuk dehidroaskorbat

dengan bantuan enzim dehidroaskorbat reduktase (Combs, 1992).

Asam askorbat bersifat sangat sensitif terhadap pengaruh-pengaruh luar

yang menyebabkan kerusakan seperti suhu, konsentrasi gula dan garam, pH,

Page 47: DISERTASI - Unhas

31

oksigen, enzim, katalisator logam, konsentrasi awal baik dalam larutan maupun

sistem model, dan rasio antara asam askorbat dan dehidro asam askorbat.

Asam askorbat sangat mudah teroksidasi menjadi asam L-

dehidroaskorbat. Asam askorbat dan asam L-dehidroaskorbat masih

mempunyai keaktifan sebagai vitamin C. Namun asam L-dehidroaskorbat

bersifat sangat labil dan dapat mengalami perubahan menjadi L-diketogulonat.

Bentuk L-diketogulonat sudah tidak lagi memiliki keaktifan sebagai vitamin C.

Gambar 4. Reaksi Asam Askorbat Menjadi Asam Dehidroaskorbat dan Asam

Diketogulonat (Prawirokusumo, 1991).

Asam askorbat, adalah agen pereduksi, yang diperlukan untuk

mempertahankan enzim hidroksilase prolil dalam bentuk aktif, serta sangat

diperlukan untuk menjaga penurunan zat besi. Hidroksilasi prolin dan lisin

dalam prokolagen dilakukan oleh enzim hidroksilase prolil menggunakan asam

askorbat sebagai kofaktor. Asam askorbat merupakan antioksidan kuat karena

dapat menyumbangkan atom hidrogen dan membentuk askorbil yang relatif

Page 48: DISERTASI - Unhas

32

stabil. Asam askorbat juga bersifat sebagai pemulung bagi oksigen reaktif dan

nitrogen oksida. Asam askorbat telah terbukti efektif melawan ion radikal

superoksida, hidrogen peroksida, oksigen radikal dan senyawa hidroksil

(Weber et. al., 1996). Asam askorbat melindungi reduktase asam folat, yang

mengubah asam folat menjadi asam folinat, dan dapat membantu melepaskan

asam folat bebas dari konyugat makanan. Asam askorbat juga memfasilitasi

penyerapan zat besi.

Asam askorbat terdapat di semua jaringan tanaman, biasanya menjadi

lebih tinggi dalam sel-sel fotosintetik dan meristem dan beberapa buah-

buahan. Konsentrasi dilaporkan tertinggi di daun dewasa dengan kloroplas

berkembang sepenuhnya. Asam askorbat sebagian besar tetap tersedia dalam

bentuk yang lebih sedikit pada daun dan kloroplas kondisi fisiologis normal.

Sekitar 30-40% total asam askorbat (sebagai askorbat) adalah dalam kloroplas

dan stromal dengan konsentrasi setinggi 50 mM. (Mazid et al., 2011)

Bagi tumbuhan sendiri fungsi vitamin C belum diketahui. Tetapi dari

beberapa vitamin dapat diketahui dari kepentingannya dalam membantu

aktivitas berbagai enzim, misalnya banyak vitamin B-kompleks merupakan

koenzim beberapa enzim tertentu yang terdapat dalam sel hidup. Vitamin C

pada tumbuhan merupakan metabolit sekunder, karena terbentuk dari glukosa

melalui jalur asam D-glukoronat dan L-gulonat. Pada manusia, binatang

menyusui tingkat tinggi, dan marmot, biosintesis ini tidak terjadi, karena adanya

hambatan biosintetik yang sifatnya genetik antara L-golonolakton dan 2 keto-L-

gulonolakton sehingga untuk spesies tersebut vitamin C merupakan faktor

penting dalam makanan (Manito, l981).

Page 49: DISERTASI - Unhas

33

Oksigen, suhu, sinar, katalis logam, pH dengan adanya asam askorbat

oksidase dalam sistem biologis dapat berinteraksi untuk menghasilkan

serangkaian interaksi yang kompleks yang berpengaruh pada stabilitas

oksidatif. Pembentukan warna coklat juga disebabkan oleh karena banyaknya

gugus karbonil pada asam L-askorbat yang bersifat reaktif sehingga dapat

terbentuk secara kompleks antara karbonil yang satu dengan asam 2,3-

diketogulonat, selain dapat pula bergabung dengan amino acid membentuk

pigmen berwarna coklat (Clegg, 1966).

Menurut Afrianti (2013) penggunaan suhu tinggi sudah diterapkan dalam

metode pengawetan makanan misalnya memasak, membakar, mengukus,

menggoreng, dan cara-cara lain yang menggunakan suhu panas. Suhu panas

digunakan dengan tujuan tertentu yaitu makanan menjadi lebih lunak, lebih

enak dan dengan adanya panas maka akan terjadi penonaktifan enzim-enzim

dan mematikan mikroba. Perlakuan pemanasan juga menimbulkan perubahan

pada tekstur, warna (pigmen alami, pembentukan pigmen akibat pencoklatan

enzimatis dan non enzimatis), cita rasa dan nilai gizi. Pemanasan

menyebabkan hilangnya vitamin C, vitamin yang larut dalam lemak yang

mempengaruhi nilai cerna protein dan zat pati. Vitamin C dalam bentuk asam

askorbat maupun asam dehidroaskorbat merupakan salah satu faktor ukuran

mutu bagi berbagai produk hortikultura dan mempengaruhi berbagai aktivitas

biologis pada tubuh manusia (Lee et al., 2000).

Pada proses pengolahan dan penyimpanan buah nanas terjadi

pengurangan kandungan vitamin C dalam buah. Vitamin C juga berkurang

dengan perlakuan pengolahan yang berbeda, contohnya pemasakan terlalu

Page 50: DISERTASI - Unhas

34

lama dapat menyebabkan kehilangan vitamin C oleh karena adanya oksidasi

pada sumber asam askorbat (Passmore dan Eastwood, 1986).

Pada proses exhausting adanya panas dapat menyebabkan

peningkatan laju reaksi kimia sehingga dapat meningkatkan oksidasi vitamin C.

Proses ini menyebabkan kehilangan vitamin C yang paling tinggi karena jus

nanas kontak langsung dengan udara panas sehingga ada oksigen dan panas

memiliki efek merusak pada asam askorbat (Uckiah et al., 2009). Selain hal

diatas, selama proses penyimpanan juga terjadi degradasi vitamin C pada jus

nanas. Oksigen yang masih tersisa pada headspace botol dapat menyebabkan

terjadinya oksidasi vitamin C sehingga vitamin C yang terkandung dalam jus

menjadi menurun.

Vitamin C atau asam askorbat adalah komponen berharga dalam

makanan karena berguna sebagai antioksidan dan mengandung khasiat

pengobatan (Goodman,1995). Vitamin C mudah diabsorpsi secara aktif, tubuh

dapat menyimpan hingga 1500 mg vitamin C bila di konsumsi mencapai 100

mg sehari. Jumlah ini dapat mencegah terjadinya skorbut selama tiga bulan.

Tanda-tanda skorbut akan terjadi bila persediaan di dalam tubuh tinggal 300

mg. Konsumsi melebihi taraf kejenuhan akan dikeluarkan melalui urin

(Almatsier, 2001).

2. Karotenoid (Likopen) Tomat

Tanaman tomat merupakan salah satu sumber penghasil antioksidan,

sebagai metabolit sekunder yang dihasilkan oleh tanaman tomat untuk

melawan radikal bebas. Produksi metabolit sekunder ini dipengaruhi oleh

kondisi lingkungan tempat tumbuh tanaman tersebut (Hanson et al., 2004).

Page 51: DISERTASI - Unhas

35

Aktivitas antioksidan dalam tanaman tomat antara lain disebabkan oleh

likopen, β-karoten dan vitamin C yang terdapat pada tomat.

Pada tomat yang masih segar jumlah likopen sebesar 3,1-7,7 mg/100g.

Selain memberikan warna merah pada buah tomat, likopen terbukti berfungsi

sebagai antioksidan. Komponen tersebut menjadikan tomat bahan pangan

yang bergizi dan bersifat fungsional.

Gambar 5. Struktur Likopen (Sharma dan Le Maguer, 1996).

Likopen merupakan pigmen alami yang disintesis oleh tanaman dan

mikroorganisme, yang merupakan senyawa karotenoid, berbentuk isomer

asiklik dari β-karoten dan tidak memiliki aktivitas sebagai vitamin A (Rao dan

Agarwal, 1999). Likopen mempunyai rumus molekul C40H56 dengan berat

molekul 536,85 Da dan titik cair 172°C-175°C. Struktur kimia likopen

merupakan rantai tak jenuh dengan rantai lurus hidrokarbon terdiri dari tiga

belas ikatan rangkap, dua belas diantaranya ikatan rangkap terkonjugasi,

sementara dua ikatan rangkap sisanya tidak terkonjugasi (Agarwal dan Rao,

2000a).

Sifat kimia likopen lainnya adalah bentuk kristalnya yang seperti jarum,

panjang, dalam bentuk tepung berwarna kecoklatan. Likopen bersifat hidrofobik

kuat dan lebih mudah larut dalam kloroform, benzena, heksana, dan pelarut

organik lainnya. Degradasi likopen dapat melalui proses isomerisasi dan

Page 52: DISERTASI - Unhas

36

oksidasi karena cahaya, oksigen, suhu tinggi, teknik pengeringan, proses

pengelupasan, penyimpanan dan asam.

Likopen terdapat melimpah pada buah tomat, dimana tomat itu sendiri

merupakan salah satu pangan yang sering dikonsumsi dan dapat

menghasilkan berbagai macam hasil olahan produk makanan. Likopen tidak

mengalami kerusakan akibat pemanasan, bahkan pemanasan akan

meningkatkan bioavailabilitas likopen, sehingga dapat diabsorpsi dengan baik

oleh tubuh (Rao dan Agarwal, 2002).

Likopen secara alami dalam tumbuhan berada dalam bentuk konfigurasi

trans yang secara thermodinamik adalah bentuk yang lebih stabil (Nguyen dan

Schwartz, 1999). Akan tetapi dalam plasma manusia likopen berada dalam

bentuk campuran isometrik dan 50% dari totalnya terdiri dari isomer cis.

Bentuk-bentuk isomer likopen yang sering teridentifikasi adalah all-trans, 5-cis,

9-cis, 13-cis, dan 15-cis. Isomer yang paling stabil yang sering dijumpai adalah

13-cis-likopen. Secara umum isomer cis bersifat lebih polar, mempunyai

kecenderungan yang lebih rendah untuk menjadi kristal, lebih larut dalam

minyak dan pelarut hidrokarbon, lebih mudah bergabung dengan lipoprotein

maupun struktur lipid selluler, lebih mudah masuk ke dalam sel serta bersifat

kurang stabil dibanding isomer trans (Clinton, 1998).

Kandungan likopen dalam tomat sangat dipengaruhi oleh proses

pematangan dan perbedaan varietas. Semakin merah warnanya, maka

kandungan likopen semakin tinggi (Davies, 2000). Kandungan likopen

beberapa buah sayur tertera pada Tabel 3.

Page 53: DISERTASI - Unhas

37

Tomat memiliki kandungan likopen yang paling tinggi dibandingkan

dengan sayur atau buah-buahan lainnya. Bioavailabilitas likopen pada tomat

meningkat apabila dilakukan pengolahan pada tomat mentah (Agarwal dan

Rao, 2000a; Pohar et al., 2003).

Tabel 3. Kandungan Likopen pada Berbagai Buah dan Sayuran Jenis Makanan Kandungan Likopen (mg/100g)

Hasil pengolahan tomat Tomat mentah Tomat yang dimasak Saus Tomat Pasta Tomat Sup Tomat Jus Tomat Buah dan sayur lain Aprikot Semangka Pepaya segar Anggur Jambu biji Jus sayuran

Hasil pengolahan tomat

0,9-4,2 3,7-4.4

7,3-18.0 5,4-55.5 8,0-10,9 5,0-11,6

0,005

2,3-7,2 2,0-5,3 0,2-3,4 5,3-5,5 7,3-9.7

(Sumber; Pohar et al., 2003).

Kandungan likopen olahan buah tomat cenderung lebih besar daripada

kandungan likopen tomat segar. Buah tomat segar memiliki kandungan likopen

sekitar 12mg/100g. Pada produk olahan tomat, kandungan likopen cenderung

lebih besar seperti pada pasta tomat yakni sekitar 16mg/100g, saus tomat

17mg/100g dan saus spageti sekitar 16mg/100g (Alda et al., 2009). Studi lain

menyatakan bahwa bioavaibilitas likopen dipengaruhi dosis konsumsi dan

adanya karotenoid lain seperti misalnya β-karoten (Johnson et al.,1997).

3. Fenol dan Flavonoid

Fenol adalah senyawa dengan suatu gugus OH yang terikat pada cincin

aromatik (Fessenden dan Fessenden, 1986). Fenol merupakan metabolit

sekunder yang tersebar dalam tumbuhan. Senyawa fenolat dalam tumbuhan

Page 54: DISERTASI - Unhas

38

dapat berupa fenol sederhana, antraquinon, asam fenolat, kumarin, flavonoid,

lignin dan tanin (Harborne, 1987). Senyawaan fenol biasanya terdapat dalam

berbagai jenis sayuran, buah-buahan dan tanaman. Turunan senyawaan fenol

merupakan metabolit sekunder terbesar yang diproduksi oleh tanaman.

Senyawaan ini diproduksi dalam tanaman melalui jalur sikimat dan

metabolisme fenil propanoat. Senyawa asam fenolat mempunyai peranan yang

penting pada tumbuhan yaitu sebagai bahan pendukung dinding sel (Wallace

dan Fry, 1994). Asam fenolat membentuk bagian integral pada struktur dinding

sel, umumnya dalam bentuk bahan polimer seperti lignin, membantu proses

mekanik, dan halangan bagi invasi mikroba. Lignin merupakan senyawa

organik yang paling banyak di bumi setelah selulosa (Wallace dan Fry, 1994).

Turunan asam fenolat terdiri dari dua jenis yaitu asam hidroksibenzoat dan

asam hidroksinamat. Perbedaan kedua turunan dari senyawa asam fenolat ini

terletak pada pola hidroksilasi dan metoksilasi cincin aromatiknya

Senyawa fenolik telah diketahui memiliki berbagai efek biologis seperti

aktivitas antioksidan melalui mekanisme sebagai pereduksi, penangkap radikal

bebas, pengkelat logam, peredam terbentuknya oksigen singlet serta pendonor

elektron (Karadeniz et al., 2005). Salah satu antioksidan alami yaitu asam galat

(Asam 3, 4, 5-trihidroksibensoat). Asam galat termasuk dalam senyawa fenolik

dan memiliki aktivitas antioksidan yang kuat (Lee et al., 2003).

Senyawaan fenol dapat memiliki aktivitas antioksidan, antitumor,

antiviral, dan antibiotik (Apak et al. 2007). Diantara senyawaan fenol alami

yang telah diketahui lebih dari seribu stuktur, flavonoid merupakan golongan

terbesar (Subeki, 1998).

Page 55: DISERTASI - Unhas

39

Flavonoid adalah sekelompok besar senyawa polifenol tanaman

yang tersebar luas dalam berbagai bahan makanan dan dalam berbagai

konsentrasi. Komponen tersebut pada umumnya terdapat dalam keadaan

terikat atau terkonjugasi dengan senyawa gula. Lebih dari 4000 jenis flavonoid

telah diidentifikasi dan beberapa di antaranya berperan dalam pewarnaan

bunga, buah, dan daun (de Groot dan Rauen, 1998).

Gambar 6. Stuktur Dasar Flavonoid (Hoffmann, 2003)

Dalam tumbuhan, aglikon flavonoid (yaitu flavonoid tanpa gula terikat)

terdapat dalam berbagai bentuk struktur. Semua flavonoid mengandung 15

atom karbon dalam inti dasar yang tersusun dalam konfigurasi C6-C3-C6, yaitu

dua cincin aromatik (dua buah cincin benzena) yang dihubungkan dengan tiga

karbon yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga.

Gambar 7. Pengelompokan Flavonoid (Murphy et al., 2003).

Page 56: DISERTASI - Unhas

40

Flavonoid terbagi menjadi 7 kelompok, yaitu flavonon, antosianin,

flavonol, proantosianin, flavanol, isoflavon dan flavon. Flavonoid memiliki

aktivitas antioksidan di dalam tubuh sehingga disebut bioflavonoid.

Beberapa flavonoid merupakan bentuk aglikon dari glikosida. Kuersetin

merupakan aglikon dari glikosida rutin serta flavonoid naringenin merupakan

aglikon dari glikosida naringin (Dewick, 2002). Kuersetin sendiri sebagai salah

satu flavonoid yang banyak ditemukan pada sayuran dan buah-buahan,

biasanya dalam bentuk glikosidanya. Sedangkan dalam bentuk bebasnya,

kuersetin paling umum ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi, seperti pada

Asteraceae, Passifloraceae, Rhamnaceae, dan tanaman Solanaceae

(Hoffmann, 2003). Dalam buah apel dan famili bawang-bawangan, kuersetin

banyak ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi.

Tomat mengandung senyawa-senyawa fenolat seperti: kuersetin,

naringenin, rutin dan asam klorogenat. Senyawa-senyawa fenolat, dapat

menangkap radikal-radikal peroksida dan dapat mengkhelat logam besi yang

mengkatalisa peroksida lemak (Velioglo, 1998).

Gambar 8. Struktur Kimia Kuersetin (Hoffmann, 2003)

Page 57: DISERTASI - Unhas

41

Kuersetin (Quercetin) adalah salah satu zat aktif kelas flavonoid yang

secara biologis amat kuat. Bila vitamin C mempunai aktivitas antioksidan 1,

maka kuersetin memiliki aktivitas antioksidan 4,7. Nama lain kuersetin adalah

3,5,7,3’,4’-pentahidroksiflavon (IUPAC) dengan rumus formula C15H10O7 dan

bobot molekul 302.2.

Banyak khasiat yang dimiliki oleh kuersetin, antara lain memiliki aktivitas

biologi yaitu kemampuan kuersetin sebagai anti tumor dan mempunyai efek

anti proliferasi yang luas pada sel kanker manusia, mampu menghambat

glikolisis, sintesis makromolekul (Bonavida, 2008) dan juga kuersetin memiliki

aktivitas antivirus yang dapat melawan virus dari herpes simplex type 1,

parainfluenza tipe 3, polio virus tipe 1 (Hoffmann, 2003). Selain itu kuersetin

dapat mempengaruhi sistem enzim, antara lain enzim Lipoxygenase, Aldose

reductase, Hyaluronidase, dan lain sebagainya (Hoffmann, 2003). Dalam skala

industri kuersetin banyak digunakan dalam industri suplemen dan banyak

dipromosikan sebagai anti inflamasi dan antioksidan alami (Hoffmann, 2003).

G. Radikal Bebas

Definisi Radikal bebas (radicalis) adalah molekul yang mempunyai

sekelompok atom dengan elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas

adalah bentuk radikal yang sangat reaktif dan mempunyai waktu paruh yang

sangat pendek. Jika radikal bebas tidak diinaktivasi, reaktivitasnya dapat

merusak seluruh tipe makromolekul seluler, termasuk karbohidrat, protein, lipid

dan asam nukleat (Dawn, dkk., 2000).

Page 58: DISERTASI - Unhas

42

Radikal bebas adalah suatu molekul atau atom yang mempunyai 1 atau

lebih elektron tidak berpasangan. Radikal ini dapat berasal dari atom hidrogen,

molekul oksigen, atau ion logam transisi. Senyawa radikal bebas sangat reaktif

dan selalu berusaha mencari pasangan elektron agar kondisinya stabil (Subeki,

1998).

Mekanisme kerja terbentuknya radikal bebas dapat dimulai oleh banyak

hal, baik yang bersifat endogen maupun eksogen. Reaksi selanjutnya adalah

peroksidasi lipid membran dan sitosol yang mengakibatkan terjadinya

serangkaian reduksi asam lemak sehingga terjadi kerusakan membran dan

organel sel (Dawn, dkk., 2000).

Pada lemak, peroksidasi (otooksidasi) lipid bertanggung jawab tidak

hanya pada kerusakan makanan, tapi juga menyebabkan kerusakan jaringan in

vivo karena dapat menyebabkan penyakit kanker, inflamasi, aterosklerosis, dan

penuaan. Efek merusak tersebut akibat produksi radikal bebas (ROO•, RO•,

OH•) pada proses pembentukan peroksida dari asam lemak. Peroksidasi lipid

merupakan reaksi berantai yang memberikan pasokan radikal bebas secara

terus-menerus yang menginisiasi peroksidasi lebih lanjut. Proses secara

keseluruhan dapat digambarkan sebagai berikut (Anonim, 2009).

Peroksida adalah suatu gugus fungsional dari sebuah molekul organik

yang mengandung ikatan tunggal oksigen-oksigen (R-O-O-R'). Jika salah satu

dari R atau R' merupakan atom hidrogen, maka senyawa itu disebut

hidroperoksida (R-O-O-H) (Esti, 2002).

Page 59: DISERTASI - Unhas

43

Gambar 9. Tahapan Reaksi Berantai Radikal Bebas (Anonim, 2009)

Prekursor molekuler dari proses inisiasi adalah produk hidroksiperoksida

(ROOH), maka peroksidasi lipid merupakan reaksi berantai yang sangat

berpotensi memiliki efek menghancurkan. Untuk mengontrol dan mengurangi

peroksidasi lipid, digunakan senyawa yang bersifat antioksidan (Anonim,

2009).

Radikal bebas dapat dibentuk dari dalam sel oleh absorpsi tenaga

radiasi (misalnya sinar ultra violet, sinar X) atau dalam reaksi reduksi oksidasi

yang selama proses fisiologi normal atau mungkin berasal dari metabolisme

enzimatik bahan-bahan kimia eksogen. Energi radiasi dapat melisis H2O (air)

dan melepaskan radikal seperti ion hidroksil OH– dan H+. Radikal bebas lain

ialah superoksida yang berasal dari reduksi molekul oksigen. Oksigen secara

normal direduksi menjadi air, tetapi pada beberapa reaksi terutama yang

menyangkut xantin oksidase, O2- dapat terbentuk (Dawn, et al., 2000).

Page 60: DISERTASI - Unhas

44

Tubuh manusia mempunyai beberapa mekanisme untuk bertahan

terhadap radikal bebas. Pertahanan yang bervariasi saling melengkapi satu

dengan yang lain karena bekerja pada oksidan yang berbeda atau dalam

bagian seluler yang berbeda. Suatu garis pertahanan yang penting adalah

sistem enzim yang bersifat protektif atas radikal bebas seperti superoksida

dismutase R (SOD), katalase, glutation sintetase, glukosa-6-fosfat

dehidrogenase dan glutasion peroksidase (Dawn, et al., 2000).

Dengan demikian secara umum dapat disimpulkan tahapan reaksi jejas

sel oleh radikal bebas adalah inisiasi (permulaan terbentuknya radikal bebas),

propagasi (serangkaian reaksi yang berkembang atas timbulnya radikal bebas-

transfer atau penambahan atom, dan terminasi (inaktivasi radikal bebas oleh

antioksidan endogen atau eksogen maupun enzim superoksida dismutase )

(Dawn, at al., 2000).

Radikal dapat terbentuk secara endogen dan eksogen. Radikal endogen

terbentuk dalam tubuh melalui proses metabolisme normal di dalam tubuh.

Sementara radikal eksogen berasal dari bahan pencemar yang masuk ke

dalam tubuh melalui pernafasan, pencernaan, dan penyerapan kulit (Miller,

1996). Radikal bebas dalam jumlah normal bermanfaat bagi kesehatan

misalnya, memerangi peradangan, membunuh bakteri, dan mengendalikan

tonus otot polos, pembuluh darah, serta organ-organ dalam tubuh (Yuwono,

2009). Sementara dalam jumlah berlebih mengakibatkan stress oksidatif.

Keadaan tersebut dapat menyebabkan kerusakan oksidatif mulai dari tingkat

sel, jaringan, hingga ke organ tubuh yang mempercepat terjadinya proses

penuaan dan munculnya penyakit (Yuwono, 2009). Oleh karena itu,

Page 61: DISERTASI - Unhas

45

antioksidan dibutuhkan untuk dapat menunda atau menghambat reaksi

oksidasi oleh radikal bebas.

H. Antioksidan

Antioksidan adalah substansi yang diperlukan tubuh untuk menetralisir

radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas

terhadap sel normal, protein, dan lemak. Antioksidan menstabilkan radikal

bebas dengan melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas dan

menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas yang

dapat menimbulkan stress oksidatif (Robert, 2003).

Senyawa kimia dan reaksi yang dapat menghasilkan spesies oksigen

yang potensial bersifat toksik dapat dinamakan pro-oksidan. Sebaliknya,

senyawa dan reaksi yang mengeluarkan spesies oksigen tersebut, menekan

pembentukannya atau melawan kerjanya disebut antioksidan. Dalam sebuah

sel normal terdapat keseimbangan oksidan dan antioksidan yang tepat.

Meskipun demikian, keseimbangan ini dapat bergeser ke arah pro-oksidan

ketika produksi spesies oksigen tersebut sangat meningkat atau ketika kadar

antioksidan menurun. Keadaan ini dinamakan ”stress oksidatif” dan dapat

mengakibatkan kerusakan sel yang berat jika stress tersebut masif atau

berlangsung lama (Tuminah, 2007).

Enzim yang bersifat antioksidan mengeluarkan atau menyingkirkan

superoksidan dan hidrogen peroksida. Vitamin E, vitamin C, dan mungkin

karoteinoid, biasanya disebut sebagai vitamin antioksidan, dapat menghentikan

reaksi berantai radikal bebas (Tuminah, 2007).

Page 62: DISERTASI - Unhas

46

Antioksidan memiliki dua fungsi. Fungsi pertama merupakan fungsi

utama yaitu sebagai pemberi atom hidrogen. Antioksidan (AH) yang

mempunyai fungsi utama tersebut sering disebut sebagai antioksidan primer.

Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal lipid (R•,

ROO•) atau mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara turunan radikal

antioksidan (A•) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal lipid

(Gordon, 1990).Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder antioksidan, yaitu

memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme di luar

mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal lipid ke

bentuk lebih stabil (Gerster, 1997).

Gambar 10. Reaksi Penghambatan Antioksidan Primer terhadap Radikal Lipid (Gerster, 1997).

Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah pada

lipid dapat menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi lemak dan

minyak. Penambahan tersebut dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap

inisiasi maupun propagasi. Radikal-radikal antioksidan (A•) yang terbentuk

pada reaksi tersebut relatif stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk

dapat bereaksi dengan molekul lipid lain membentuk radikal lipid baru (Gerster,

1997).

Page 63: DISERTASI - Unhas

47

Besar konsentrasi antioksidan yang ditambahkan berpengaruh pada laju

oksidasi. Pada konsentrasi tinggi, aktivitas antioksidan grup fenolik sering

lenyap bahkan antioksidan tersebut menjadi prooksidan. Pengaruh jumlah

konsentrasi pada laju oksidasi tergantung pada struktur antioksidan, kondisi

dan sampel yang akan diuji (Gordon, 1990). Antioksidan bertindak sebagai

prooksidan pada konsentrasi tinggi seperti Gambar 11 (Gerster, 1997).

Gambar 11. Reaksi Antioksidan (Prooksidan) pada Konsentrasi Tinggi (Gerster, 1997).

Jenis-jenis antioksidan dapat dikelompokkan berdasarkan: sumber,

cara kerja dan fungsi antioksidan. Berdasarkan sumber atau keberadaannya,

terdapat tiga macam antioksidan yaitu: 1). Antioksidan yang dibuat oleh tubuh

kita sendiri yang berupa enzim antara lain superoksida dismutase, glutation

peroksidase, peroksidase dan katalase. 2). Antioksidan alami yang dapat

diperoleh dari tanaman atau hewan yaitu tokoferol, vitamin C, betakaroten,

flavonoid dan senyawa fenolik. 3). Antioksidan sintetik, yang dibuat dari bahan-

bahan kimia yaitu Butylated Hidroxyanisole (BHA), Butylated Hidroxy Toluen

(BHT), Tersier Butyl Hidro Quinon (TBHQ), Propyl Gallate (PG) dan

Nordihidroquairetic Acid (NDGA) yang ditambahkan dalam makanan untuk

mencegah kerusakan lemak.

a. Antioksidan Alami.

Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari (a) senyawa

antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan, (b)

AH + O2 Aº + HOO·

AH + ROOH ROº + H2O + A· ….(8)

Page 64: DISERTASI - Unhas

48

senyawa antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses

pengolahan, (c) senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan

ditambahkan ke makanan sebagai bahan tambahan pangan. Senyawa

antioksidan alami tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik

yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin,

tokoferol dan asam-asam organik polifungsional. Golongan flavonoid yang

memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, kateksin,

flavonol dan kalkon. Sementara turunan asam sinamat meliputi asam kafeat,

asam ferulat, asam klorogenat, dan lain-lain.

b. Antioksidan Sintetik

Beberapa contoh antioksidan sintetik yang diijinkan penggunaanya

untuk makanan dan penggunaannya telah sering digunakan, yaitu butil hidroksi

anisol (BHA), butil hidroksi toluen (BHT), propil galat, tert-butil hidro quinon

(TBHQ) dan tokoferol. Antioksidan-antioksidan tersebut merupakan antioksidan

alami yang telah diproduksi secara sintetis untuk tujuan komersial.

Berdasarkan mekanisme kerjanya antioksidan dibedakan atas tiga

golongan, yaitu:

a. Antioksidan Primer.

Antioksidan golongan ini bekerja dengan cara mencegah terbentuknya

radikal bebas yang baru dan merubah radikal bebas yang ada menjadi molekul

yang tidak berbahaya. Antioksidan primer disebut juga antioksidan enzimatis

atau endogen. Yang ternasuk golongan ini adalah enzim superoksidase

dismutase (SOD) yang merubah anion superoksida (O2-) menjadi hidrogen

Page 65: DISERTASI - Unhas

49

peroksida; glutation peroksidase (GPx) yang mengubah hidrogen peroksida

dan lipid peroksida menjadi molekul yang kurang berbahaya sebelum terbentuk

radikal bebas; serta protein pengikat metal seperti feritin dan ceruloplasmin

yang mencegah terbentuknya ion ferro (Fe2+) yang dapat membentuk radikal

hidroksil (Dalimartha,1999). Enzim ini sangat penting sekali karena dapat

melindungi hancurnya sel-sel dalam tubuh akibat serangan radikal bebas.

Bekerjanya enzim ini sangat dipengaruhi oleh mineral-mineral seperti mangan,

seng, tembaga dan selenium yang harus terdapat dalam makanan dan

minuman.

b. Antioksidan sekunder

Antioksidan sekunder merupakan senyawa yang berfungsi menangkap

radikal bebas serta mencegah terjadinya reaksi berantai sehingga tidak terjadi

keursakan yang lebih besar. Golongan ini termasuk antioksidan ekstraseluler

atau non enzimatis yang kebanyakan berasal dari makanan, seperti vitamin E,

vitamin C, dan betakaroten yang dapat diperoleh dari buah-buahan, serta asam

urat, bilirubin, dan albumin.

c. Antioksidan tersier

Antioksidan tersier merupakan senyawa yang memperbaiki sel-sel dan

jaringan yang rusak karena serangan radikal bebas. Antioksidan golongan ini

berguna untuk memperbaiki kerusakan biomolekuler yang disebabkan oleh

radikal bebas.Biasanya yang termasuk kelompok ini adalah jenis enzim

misalnya metionin sulfoksidan reduktase yang dapat memperbaiki DNA dalam

Page 66: DISERTASI - Unhas

50

inti sel. Enzim tersebut bermanfaat untuk perbaikan DNA pada penderita

kanker (Dalimartha, 1999).

Berdasarkan sumbernya, antioksidan juga dapat dibedakan menjadi

antioksidan endogen dan eksogen. Antioksidan endogen terdapat secara

alamiah dari dalam tubuh sedangkan antiosidan eksogen dari luar tubuh

Percival (1998). Antioksidan yang berasal dari makanan disebut antioksidan

eksogen (Hamid et al., 2010). Antioksidan eksogen sendiri dibedakan menjadi

antioksidan alami dan sintetik (Miller, 1996).

I. Teknologi Pengolahan Yang Diterapkan Di Industri

Proses termal (thermal process) termasuk ke dalam proses pengawetan

yang menggunakan energi panas. Tujuan utama proses termal adalah

mematikan mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit dan

menimbulkan kebusukan pada produk yang dikemas dengan kemasan yang

hermetis, seperti kaleng, retort pouch, atau gelas jar. Proses termal merupakan

salah satu proses penting dalam pengawetan pangan untuk mendapatkan

produk dengan umur simpan yang panjang.

Pengolahan dengan suhu tinggi juga mempengaruhi mutu produk,

seperti memperbaiki mutu sensori, melunakkan produk sehingga mudah

dikonsumsi, dan menghancurkan komponen-komponen yang tidak diperlukan

(seperti komponen tripsin inhibitor dalam biji-bijian). Namun demikian, bila

proses pemanasan dilakukan secara berlebihan, maka dapat menyebabkan

kerusakan komponen gizi (seperti vitamin dan protein) dan penurunan mutu

sensori seperti rasa, warna, dan tekstur (Kusnandar, 2010).

Page 67: DISERTASI - Unhas

51

1. Teknologi Aseptik

Pengolahan dengan suhu tinggi melibatkan proses pemanasan pada

berbagai variasi suhu dan waktu. Prosesnya sendiri dapat dilakukan dalam

sistem batch (in-container sterilization) atau dengan sistem kontinyu (aseptic

processing). Proses pengolahan dengan suhu tinggi telah diaplikasikan dalam

makanan kaleng dan dapat mempertahankan daya awet produk pangan hingga

6 bulan atau lebih (Hariyadi, 2014).

a. Penggolongan Bahan Pangan Untuk Proses Termal

Faktor jenis bahan pangan yang akan diproses sangat penting dalam

memilih dan menetapkan proses termal yang akan digunakan mengawetkan

bahan pangan. Beberapa faktor pada bahan pangan mempengaruhi

ketahanan panas dan pertumbuhan mikroba, namun faktor yang paling penting

adalah sifat keasamannya yang dinyatakan dengan pH (Muchtadi dan

Ayustingwarno, 2010).

Kenaikan keasaman atau kebasaan mempercepat pertumbuhan

mikroba, akan tetapi perubahan pH ke arah asam lebih efektif daripada

perubahan pH ke basa. Sel atau spora yang paling tahan panas pada bahan

pangan umumnya berada pada pH dekat netral (Muchtadi dan Ayustingwarno,

2010). Bahan pangan digolongkan berdasarkan tingkat dibagi menjadi bahan

pangan beresiko tinggi, sedang, dan rendah. Penggolongan bahan pangan

berdasarkan tingkat resikonya tertera pada Tabel 4.

Page 68: DISERTASI - Unhas

52

Tabel 4. Penggolongan Pangan Berdasarkan Tingkat Resikonya

Resiko

Kriteria

Contoh Bahan

Pangan

Proses Termal yang

diperlukan

Resiko Tinggi

pH>4,5; Aw>0,85

susu, daging, sayuran, unggas

Sterilisasi Komersial

Resiko Sedang

pH<4,5;Aw>0,85

buah-buahan segar (nenas,

jeruk)

Pasteurisasi

pH>4,5; Aw<0,85

bahan pangan yang lebih

kering

Resiko Rendah

pH<4,5; Aw<0,85

permen asam

Pasteurisasi

Sumber: (Muchtadi dan Ayustingwarno, 2010).

Pengolahan pangan merupakan teknik pengolahan yang paling populer

diaplikasikan di industri pangan. Tujuan utama proses panas adalah

tercapainya tingkat keamanan pangan yang dikehendaki, atau sesuai dengan

standar keamanan pangan yang ada. Target tingkat keamanan pangan ini

dalam literatur modern dikenal dengan istilah “food safety objectives”

(Mursalim, 2013).

Terdapat beberapa jenis proses pemanasan yang umum diterapkan

dalam proses pengalengan pangan, seperti blansir, pasteurisasi, sterilisasi dan

hot-filling. Dari keempat proses pemanasan tersebut, blansir biasanya bagian

dari proses pengalengan sebelum dilakukan proses termal dan bertujuan

bukan untuk proses pengawetan (Kusnandar, 2010).

Proses ini mengharuskan produk steril secara komersial pada saat

pengemasan. Untuk setiap produk, proses sterilisasi komersial harus

ditentukan dan diverifikasi oleh suatu otoritas proses yang berwewenang.

Page 69: DISERTASI - Unhas

53

Selain itu, paket itu sendiri harus bebas dari mikroorganisme apapun pada saat

mengisi, dan, terakhir, proses pengisian dan penyegelan harus dilakukan agar

tidak ada rekontaminasi.

Penggunaan suhu tinggi pada dengan proses yang kontinyu bisa

menghasilkan produk steril dengan pengaruh terhadap kualitas produk yang

minimal. Hal ini karena organisme pembusuk lebih sensitif terhadap

peningkatan suhu. Bahan kemasan untuk pengolahan aseptik umumnya lebih

murah daripada yang digunakan dalam operasi hot-fill tradisional. Paket

prosedur sterilisasi termasuk proses panas, bahan kimia (seperti hidrogen

peroksida), radiasi berenergi tinggi, atau kombinasi perlakuan tersebut (Gavin

dan Weddig, 1995).

b. Blansir

Blansir adalah perlakuan panas pendahuluan yang sering dilakukan

dalam proses pengalengan makanan buah dan sayuran dengan tujuan untuk

memperbaiki mutunya sebelum dikenai proses lanjutan. Dengan demikian,

proses blansir bukan ditujukan untuk proses pengawetan. Tujuan perlakuan

blansir terutama adalah untuk (i) menginaktifasi enzim, (ii) mengurangi jumlah

mikroba awal (terutama mikroba pada permukaan bahan pangan, buah dan

sayuran), (iii) melunakkan tekstur buah dan sayuran sehingga mempermudah

proses pengisian buah/sayuran dalam wadah, dan (iv) mengeluarkan udara

yang terperangkap pada jaringan buah/sayuran yang akan mengurangi

kerusakan oksidasi dan membantu proses pengalengan dengan terbentuknya

head space yang baik.

Page 70: DISERTASI - Unhas

54

Buah dan sayuran segar mengandung enzim yang sering kali

mengganggu selama penyimpanan produk. Selama penyimpanan produk

buah/sayur, beberapa enzim, seperti lipoksigenase, polifenolase,

poligalakturonase dan klorofilase, akan menurunkan mutu sensori dan gizi

produk. Dengan adanya proses blansir yang dilanjutkan dengan proses

pasteurisasi/sterilisasi makanan kaleng, maka enzim pun akan inaktif dan tidak

mempengaruhi perubahan mutu produk selama penyimpanan.

Di dalam proses blansir buah dan sayuran, terdapat dua jenis enzim

yang tahan panas, yaitu enzim katalase dan peroksidase. Kedua enzim ini

memerlukan pemanasan yang lebih tinggi untuk menginaktifkannya

dibandingkan enzim-enzim lain yang tersebut di atas. Baik enzim katalase

maupun peroksidase tidak menyebabkan kerusakan pada buah dan sayuran.

Namun karena sifat ketahanan panasnya yang tinggi, enzim katalase dan

peroksidase sering digunakan sebagai enzim indikator bagi kecukupan proses

blansir. Artinya, apabila tidak ada lagi aktivitas enzim katalase atau

peroksidase pada buah dan sayuran yang telah diblansir, maka enzim-enzim

lain yang tidak diinginkan pun telah terinaktivasi dengan baik (Kusnandar,

2010).

c. Pasteurisasi

Proses pemanasan dengan pasteurisasi diberi nama dari nama ahli

mikrobiologi Perancis, yaitu Louis Pasteur. Pada awalnya proses ini

dikembangkan sebagai upaya untuk mencari metode pengawetan minuman

anggur (wine). Pasteur menunjukkan bahwa proses pembusukan pada

minuman anggur dapat dicegah jika anggur tersebut dipanaskan pada suhu

Page 71: DISERTASI - Unhas

55

60ºC selama beberapa waktu. Namun demikian, dalam perkembangannya,

proses pasteurisasi lebih banyak diaplikasikan untuk proses pengolahan susu.

Secara umum proses pasteurisasi adalah suatu proses pemanasan

yang relatif cukup rendah (umumnya dilakukan pada suhu di bawah 100ºC)

dengan tujuan untuk mengurangi populasi mikroorganisme pembusuk

sehingga bahan pangan yang dipasteurisasi tersebut akan mempunyai daya

awet beberapa hari (seperti produk susu pasteurisasi) sampai beberapa bulan

(seperti produk sari buah pasteurisasi).

Walaupun proses ini hanya mampu membunuh sebagian populasi

mikroorganisme, namun pasteurisasi ini sering diaplikasikan terutama jika: (a).

Dikhawatirkan bahwa penggunaan panas yang lebih tinggi akan menyebabkan

terjadinya kerusakan mutu (misalnya pada susu), (b). Tujuan utama proses

pemanasan hanyalah untuk membunuh mikroorganisme patogen (penyebab

penyakit, misalnya pada susu) atau inaktivasi enzim-enzim yang dapat

merusak mutu (misalnya pada saribuah, (c). Diketahui bahwa mikroorganisme

penyebab kebusukan yang utama adalah mikroorganisme yang sensitif

terhadap panas (misalnya khamir/ragi pada sari buah), (d). Akan digunakan

cara atau metode pengawetan lainnya yang dikombinasikan dengan proses

pasteurisasi, sehingga sisa mikroorganisme yang masih ada setelah proses

pasteurisasi dapat dikendalikan dengan metode pengawetan tersebut

(misalnya pasteurisasi dikombinasikan dengan pendinginan, pengemasan yang

rapat tertutup, penambahan gula dan/atau asam, dan lain-lain).

Secara umum tujuan utama pasteurisasi adalah untuk memusnahkan

sel-sel vegetatif dari mikroba patogen, pembentuk toksin dan pembusuk.

Page 72: DISERTASI - Unhas

56

Beberapa mikroba yang dapat dimusnahkan dengan perlakuan pasteurisasi

adalah bakteri penyebab penyakit, seperti Mycobacterium tuberculosis

(penyebab penyakit TBC), Salmonella (penyebab kolera dan tifus) serta

Shigella dysenteriae (penyebab disentri). Disamping itu, pasteurisasi juga

dapat memusnahkan bakteri pembusuk yang tidak berspora, seperti

Pseudomonas, Achromobater, Lactobacillus, Leuconostoc, Proteus,

Micrococcus dan Aerobacter serta kapang dan khamir (Kusnandar, 2010).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bawa proses pasteurisasi secara

umum dapat mengawetkan produk pangan dengan adanya inaktivasi enzim

dan pembunuhan mikroorganisme yang sensitif terhadap panas (terutama

khamir, kapang dan beberapa bakteri yang tidak membentuk spora), tetapi

hanya sedikit menyebabkan perubahan atau penurunan mutu gizi dan

organoleptik. Keampuhan proses pemanasan dan peningkatan daya awet yang

dihasilkan dari proses pasteurisasi ini dipengaruhi oleh karakteristik bahan

pangan, terutama nilai pH. Kondisi dan tujuan pasteurisasi dari beberapa

produk pangan dapat berbeda-beda, tergantung dari pH produk.

Proses pasteurisasi dapat dilakukan pada kombinasi suhu dan waktu

yang berbeda. Sebagai contoh, pasteurisasi susu dapat dilakukan dengan

menggunakan metode sebagai berikut:a). Long time pasteurization atau 'holder

process', yaitu pada suhu 62.8oC-65.6oC selama 30 menit, b). High

temperature short time (HTST) pasteurization, yaitu pada suhu 73oC selama 15

detik, c). Flash pasteurization, yaitu pada suhu 85oC-95oC selama 2-3 detik.

Page 73: DISERTASI - Unhas

57

d. Sterilisasi Komersial

Pengertian steril absolut menunjukkan suatu kondisi yang suci hama,

yaitu kondisi yang bebas dari mikroorganisme. Pada proses sterilisasi produk

pangan, kondisi steril absolut sulit dicapai, karena itulah digunakan istilah

sterilisasi komersial atau sterilisasi praktikal. Sterilisasi komersial yaitu suatu

kondisi yang diperoleh dari pengolahan pangan dengan menggunakan suhu

tinggi dalam periode waktu yang cukup lama sehingga tidak ada lagi terdapat

mikroorganisme hidup.

Pengertian sterilisasi komersial ini menunjukkan bahwa bahan pangan

yang telah mengalami proses sterilisasi mungkin masih mengandung spora

bakteri (terutama bakteri non-patogen), namun setelah proses pemanasan

tersebut spora bakteri non-patogen tersebut bersifat dorman (tidak dalam

kondisi aktif bereproduksi), sehingga keberadaannya tidak membahayakan

kalau produk tersebut disimpan pada kondisi normal. Dengan demikian, produk

pangan yang telah mengalami sterilisasi komersial akan mempunyai daya awet

yang tinggi, yaitu beberapa bulan sampai beberapa tahun. Sterilitas komersial

(menurut FDA) atau stabilitas penyimpanan (menurut USDA) adalah kondisi

bebas dari mikroba yang dapat berkembang biak dalam makanan pada kondisi

penyimpanan atau distribusi yang normal tanpa bantuan pendingin

(Kusnandar, 2010).

Pada produk steril komersial yang berasam rendah, terdapat resiko

keamanan pangan yang cukup tinggi. Pada kondisi penyimpanan normal tanpa

pendinginan, pangan berasam rendah yang belum mencapai kecukupan

proses steril komersial akan beresiko ditumbuhi mikroba. Selain itu spora yang

Page 74: DISERTASI - Unhas

58

tertinggal di dalam makanan tersebut dapat bergerminasi kembali dan

menyebabkan kebusukan atau kerusakan makanan. Di lain pihak penggunaan

suhu yang tinggi pada proses sterilisasi produk pangan secara berlebihan,

memungkinkan terjadinya kerusakan nilai gizi maupun organoleptik produk

pangan tersebut, sehingga proses sterilisasi komersial perlu dikontrol dengan

baik.

Produksi pangan steril komersial mencakup dua operasi yang esensial;

yaitu: (a). Bahan pangan harus dipanaskan secara cukup (pada suhu yang

cukup tinggi dan waktu yang cukup lama) untuk memastikan bahwa kondisi

steril komersial telah tercapai, dan (b). Pangan yang telah disterilisasi

komersial harus dikemas dan ditutup dengan menggunakan wadah yang

hermetik atau kedap udara (seperti kaleng, gelas, alumnium foil, retort pouch,

dll), sehingga mampu mencegah timbulnya rekontaminasi setelah produk

tersebut disterilkan.

Spora bakteri umumnya mempunyai ketahanan panas yang lebih tinggi

daripada sel vegetatifnya. Karena itulah, proses pemanasan pada sterilisasi

komersial bertujuan untuk menginaktifkan spora bakteri, terutama spora bakteri

patogen yang tahan panas. Kondisi proses sterilisasi komersial tersebut sangat

tergantung pada berbagai faktor, antara lain kondisi produk pangan yang

disterilisasikan (nilai pH, jumlah mikroorganisme awal, dll), jenis dan ketahanan

panas mikroorganisme yang ada dalam bahan pangan, karakteristik pindah

panas pada bahan pangan dan wadah (kaleng), medium pemanas, dan kondisi

penyimpanan setelah sterilisasi.

Page 75: DISERTASI - Unhas

59

Proses sterilisasi komersial dilakukan melalui pemanasan pada suhu

tinggi. Karena tujuan sterilisasi adalah untuk membunuh semua sel vegetatif

dan semua spora bakteri, maka bahan pangan berasam rendah yang

disteriisasil komersial membutuhkan suhu proses yang tinggi. Untuk itu perlu

dikendalikan dengan baik karena bila tidak terkontrol dengan baik, pemanasan

yang berlebihan dapat merusak mutu organoleptik dan gizi produk pangan

tersebut (Kusnandar, 2010). Produk pangan yang telah mengalami sterilisasi

seharusnya dikemas dengan kemasan yang kedap udara untuk mencegah

terjadinya rekontaminasi. Kondisi pengemasan kedap udara ini menyebabkan

terbatasnya jumlah udara (oksigen) yang rendah, sehingga mikroorganisme

yang bersifat obligat aerob tidak akan mampu tumbuh pada produk pangan

tersebut. Namun yang perlu diperhatikan adalah mikroorganisme (terutama

spora) yang bersifat fakultatif atau obligat anaerob yang jika tidak diperhatikan

dengan seksama akan mampu menyebabkan terjadinya kebusukan. Dengan

demikian, suatu produk pangan dikatakan sudah steril komersial apabila: (a)

produk telah mengalami proses pemanasan lebih dari 100oC; (b) bebas dari

mikroba patogen dan pembentuk racun; (c) bebas mikroba yang dalam kondisi

penyimpanan dan penanganan normal dapat menyebabkan kebusukan; dan

(d) awet (dapat disimpan pada kondisi normal tanpa refrigerasi).

Umumnya, proses pengemasan untuk bahan pangan yang telah

diproses dengan sterilisasi komersial akan menyebabkan kondisi anaerobik.

Kondisi ini memberikan beberapa keuntungan, antara lain (i) spora bakteri

pembusuk umumnya tidak tahan panas sehingga lebih mudah dimusnahkan

pada proses pemanasan, dan (ii) dapat mengurangi reaksi oksidasi yang

Page 76: DISERTASI - Unhas

60

mungkin terjadi baik selama pemanasan maupun selama penyimpanan setelah

diproses. Untuk mempertahankan kondisi anaerobik ini, bahan pangan perlu

dikemas dalam kemasan kedap udara (hermetis) seperti kaleng, gelas,

kantong plastik atau alumunium foil (Kusnandar, 2010).

Berdasarkan prosesnya, sterilisasi dapat dilakukan dengan metode

sebagai berikut: (a). Proses pengalengan konvensional, dimana produk

dimasukkan dalam kaleng, lalu ditutup secara hermetis, dan setelah itu produk

dalam kaleng dipanaskan/disterilisasikan dengan menggunakan retort. Setelah

kecukupan panas yang diperlukan tercapai, produk dalam kaleng tersebut

didinginkan dan (b). Proses aseptis, yaitu suatu proses dimana produk dan

kemasan disterilisasi secara terpisah, kemudian produk steril tersebut diisikan

ke dalam wadah steril pada suatu ruangan yang steril.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka produk pangan steril komersial

dapat didefinisikan sebagai produk pangan berasam rendah (low acid foods)

yang telah mengalami proses pemanasan, sehingga bisa dipastikan bahwa

produk tersebut telah bebas dari mikroba yang dapat berkembang biak dalam

makanan pada kondisi penyimpanan atau distribusi yang normal tanpa bantuan

pendingin. Istilah pangan steril komersial selama ini sering pula dikenal

sebagai makanan dalam kaleng (Kusnandar, 2010).

e. Hot-filling

Hot-filling adalah teknik proses termal yang banyak diterapkan untuk

produk pangan berbentuk cair, seperti saus, jam, dan sambal. Dari segi tujuan

proses, hot-filling banyak dilakukan untuk produk pangan yang memiliki pH

rendah (pangan asam/diasamkan) untuk tujuan pasteurisasi. Pengertian hot-

Page 77: DISERTASI - Unhas

61

filling adalah melakukan pengemasan bahan dalam kondisi panas setelah

proses pasteurisasi ke dalam kemasan steril (misalnya botol atau gelas jar),

lalu ditutup rapat (hermetis) dan didinginkan. Biasanya proses hot-filling

dikombinasikan dengan teknik pengawetan lain, misalnya penambahan gula,

garam, bahan pengawet atau pendinginan. Di antara produk pangan yang

dapat diproses dengan hot-filling adalah saus, sambal, dan jem (Kusnandar,

2010).

Proses termal dirancang untuk menghasilkan produk yang steril secata

komersial. Karena itu perlu pemanasan yang cukup, tetapi harus sesingkat

mungkin untuk mempertahankan mutu produk dan juga meminimumkan biaya.

2. Pengolahan Tekanan Tinggi (High Pressure Processing = HPP)

Pengawetan produk pangan telah lama dilakukan dalam upaya

memperpanjang umur simpan produk. Target utama dalam pengawetan

makanan adalah menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dan

patogen yang dapat menyebabkan kerusakan pangan. Penggunaan panas

merupakan cara yang paling efektif dalam menurunkan jumlah dan

pertumbuhan mikroorganisme. Akan tetapi penggunaan panas tersebut akan

berdampak pada terjadinya penurunan kualitas terutama dari penerimaan

organoleptik (warna, aroma, rasa, tekstur) dan kandungan nutrisi produk.

Produk yang diolah menggunakan panas akan jauh dari sifat segar (fresh like)

dari bahan baku yang digunakan. Untuk memenuhi keinginan konsumen

terhadap produk pangan yang masih menunjukkan sifat-sifat kesegaran bahan

baku (terutama buah-buahan dan sayuran), maka berkembang teknologi

Page 78: DISERTASI - Unhas

62

pengawetan non termal dimana aplikasi panas seminimal mungkin (Muhtadi

dan Ayustaningwarno, 2010).

Pengolahan Tekanan Tinggi dikenal juga sebagai Pengolahan"High

Hydrostatic Pressure" atau "Ultra High Pressure". HPP menggunakan takanan

hingga 900MPa untuk membunuh mikroorganisme yang banyak ditemukan

dalam makanan, bahkan pada suhu kamar, tanpa menurunkan vitamin, rasa

dan molekul warna dalam prosesnya. Ketika tekanan tinggi hingga 1000MPa

diterapkan untuk paket makanan yang terendam dalam cairan, tekanan

didistribusikan langsung secara merata di seluruh bagian makanan (isostatik).

Tekanan yang biasa diterapkan adalah 350 MPa selama 30 menit atau

400MPa selama 5 menit akan menyebabkan penurunan sepuluh kali lipat

dalam sel vegetatif bakteri, ragi atau jamur (Hoover et al., 1989). Pengolahan

tekanan tinggi tidak memiliki periode "pemanasan atau pendinginan" dan

terdapat siklus "tekanan udara yang cepat/depresurisasi", sehingga

mengurangi waktu proses dibandingkan dengan pengolahan termal. Enzim

yang berhubungan dengan kualitas makanan bervariasi dalam sensitivitasnya

terhadap tekanan (Cano et al., 1979).

Unit HPP terdiri dari bejana tekanan dan perangkat pembangkit tekanan.

Paket makanan diletakkan ke badan alat dan bagian atasnya ditutup. Media

tekanan berupa air dipompa ke badan alat dari bawah. Setelah tekanan yang

diinginkan tercapai, pompa dihentikan, katup ditutup, tekanan dapat

dipertahankan tanpa perlu lagi untuk menginput energi. Prinsip yang mendasari

HPP adalah bahwa tekanan tinggi diaplikasikan dalam "isostatic" sedemikian

rupa sehingga seluruh bagian makanan mendapat tekanan yang seragam,

Page 79: DISERTASI - Unhas

63

berbeda dengan pengolahan dengan panas dimana gradien suhu yang

ditetapkan.

Komponen utama dari sistem tekanan tinggi terdiri dari: seperangkat

badan alat bertekanan dan tertutup, seperangkat sistem pembangkit tekanan,

perangkat kontrol suhu, dan sistem penanganan/pengoperasian alat (Mathavi

et al., 2013).

Gambar 12. Perangkat Alat Pengolahan Tekanan Tinggi (HPP)

Pada pengolahan keju Cheddar diterapkan tekanan HPP 50 MPa pada

25°C selama 3 hari, kondisi ini memiliki potensi mempercepat pematangan keju

Cheddar komersial. Perlakuan 400 MPa pada 20 °C menghasilkan

penghambatan yang signifikan terhadap mikroorganisme, terjadi pengurangan

3 log dalam kasus spesies bakteri dan 6 log dalam kasus Penicillium, seperti

pada gram positif S. aureus yang merupakan spesies lebih tahan terhadap

tekanan daripada negatif spesies gram E. coli. Spesies jamur pada tekanan

rendah (<300 MPa) lebih tahan dari bakteri, jamur juga jauh lebih sensitif pada

tekanan yang lebih tinggi. Diperlukan tekanan lebih dari 400 MPa untuk

mendenaturasi lebih dari 50% whey protein (Beresford et al., 1998).

Page 80: DISERTASI - Unhas

64

Terdapat dua pengolahan makanan bertekanan tinggi yaitu: pengolahan

dalam wadah dan pengolahan secara curah. Pada pengolahan dengan wadah

keuntungannya adalah: dapat diterapkan untuk semua makanan padat dan

cair, resiko kontaminasi minimal pasca pengolahan, tidak ada inovasi yang

besar yang diperlukan untuk pengembangan perangkat HPP, mudah

dibersihkan.Kelemahannya, penanganan material kompleks, kurang fleksibel

dalam pilihan wadah, waktu pemberhentian bejana tekan lebih lama.

Sedangkan pengolahan secara curah: penanganan material sederhana,

fleksibel dalam pilihan wadah, maksimum dalam penggunaan volume badan

alat, waktu pemberhentian minimal (tidak memerlukan penutupan/pembukaan).

Kelemahannya,hanya cocok untuk makanan yang punya kemampuan

dipompa, berpotensi terkontaminasi pasca pengolahan, semua komponen

yang kontak dengan makanan harus memiliki desain aseptik.

Digunakan pada pasteurisasi dan sterilisasi buah-buahan dan produk

buah-buahan, saus, acar, yogurt, pasteurisasi daging dan sayuran, dan juga

untuk produk yang berisiko tinggi terdekontaminasi, produk bernilai tinggi, serta

sterilisasi pada bahan sensitif panas seperti kerang, bahan perasa, dan vitamin

(Mathavi et al., 2013).

HPP membunuh bakteri vegetatif dan spora; tidak terdapat bukti

toksisitas, dan mengurangi waktu proses. Kesegaran, rasa, nutrisi, warna, dan

rasa dapat dipertahankan. Keseragaman perlakuan pada seluruh makanan

dapat dicapai dan dapat menghapus penggunaan bahan pengawet kimia.

Pengolahan secara paket memungkinkan konsumsi energi yang rendah

(Mathavi et al., 2013).

Page 81: DISERTASI - Unhas

65

Perkembangan teknologi telah memungkinkan dilakukan proses

pasteurisasi tanpa menggunakan panas (non-thermal process) yang dapat

meminimalisir menurunnya kualitas flavor, salah satunya adalah dengan High

Pressure Processing. Keunggulan unik HPP adalah proses ini dapat

mematikan mikroba seperti bakteri, yeast, dan kapang, dan dapat

memperpanjang daya simpan pangan tanpa memberikan pengaruh merugikan

terhadap nilai gizi, kualitas flavor, dan warnanya.

3. Pengolahan Medan Listrik Intensitas Tinggi (High Intensity Pulsed Electric Field = PEF)

Metode non-termal Pulsed Electric Field (PEF) adalah salah satu

metode perlakuan non termal untuk pengawetan makanan, PEF berpotensi

dalam menginaktivasi mikroba tanpa mengubah cita rasa dan kekayaan nutrisi

pada makanan. Proses Pulsed Electric Field intensitas tinggi didasarkan pada

aplikasi denyut pendek tegangan tinggi (20-80 kV/cm) dengan waktu yang

sangat singkat (kurang lebih 1 detik) pada makanan cair yang ditempatkan

diantara dua elektroda (Barbosa-Cánovas et al., 1999). Teknologi PEF lebih

dipertimbangkan daripada perlakuan panas terhadap makanan, karena PEF

dapat membunuh mikroba lebih banyak, menghindari atau mengurangi

kerusakan citarasa, sifat fisik makanan dan kerusakan organoleptik (Quass,

1997 dalam Cueva, 2003). Metode ini lebih dipertimbangkan dimasa datang

karena tidak menggunakan panas, pasteurisasi dengan HIPEF dapat

memperpanjang daya simpan pangan tanpa merusak zat-zat gizi dan kualitas

flavor (Oms-Oliu et al., 2009).

Page 82: DISERTASI - Unhas

66

PEF adalah teknologi pengawetan makanan non termal melibatkan

pelepasan tegangan tinggi pulsa listrik (hingga 70 kV/ cm) ke dalam produk

pangan, yang ditempatkan di antara dua elektroda untuk beberapa mikrodetik

(Angersbach, et al., 2000). Teknologi ini muncul dan merupakan pergantian

yang posisinya berada antara proses pasteurisasi termal tradisional dan proses

non-termal. Teknologi inipada akhirnya berkombinasi dengan mikroinfiltrasi,

dan merupakan bagian dari suatu perlakuan panas moderat (Heinz et al., 2002:

Picart, 2003: Sensoy et al., 1997).

Medan listrik eksternal sebesar satu volt digunakan untuk melewati

potensi kritis antar membran. Hasilnya berupa gangguan listrik yang cepat dan

perubahan konformasi dari membran sel, sehingga menyebabkan pelepasan

cairan intraseluler, dan kematian sel (Jeyamkondan et al., 2008). Namun, suhu

pengolahan harus dijaga serendah mungkin untuk menghindari kerusakan

panas pada produk dan untuk mencegah kehilangan citarasa.

Komponen peralatan pengolahan PEF adalah sebuah power supply:

power supply biasa arus searah atau kapasitor pengisian listrik (opsi terakhir ini

dapat memberikan tingkat pengulangan yang lebih tinggi). Sebuah elemen

penyimpan energi: baik listrik (kapasitif) atau magnet (induktif).

Seperangkat switch yang berupa penutup atau pembuka. Perangkat

yang cocok untuk digunakan sebagai saklar debit termasuk celah merkuri

ignitron spark, celah percikan gas, tiaratron sebuah, serangkaian SCRs, saklar

magnetik atau rotary switch mekanik.

Page 83: DISERTASI - Unhas

67

Suatu alat pembentuk pulsa dan pemicu sirkuit. Sebuah ruang

perawatan. Sebuah pompa untuk memasok bahan ke ruangan.Sebuah sistem

pendingin untuk mengontrol suhu bahan pangan dan atau suhu luaran/produk.

Gambar 13. Komponen Peralatan Pulse Electric Field (PEF)

Elektroporasi adalah fenomena di mana sel terkena pulsa tegangan

tinggi medan listrik sementara yang mendestabilisasi lapisan lemak dan lapisan

protein dari membran sel. Membran plasma sel menjadi permeabel terhadap

molekul kecil setelah terkena medan listrik, dan kemudian terjadi perembesan

yang menyebabkan pembengkakan sel dan akhirnya membran sel pecah. Efek

utama dari suatu perlakuan medan listrik pada sel mikroorganisme adalah

untuk meningkatkan permeabilitas membran karena kompresi membran dan

porasi (pembentukan pori).

Inaktivasi mikroba yang dilakukan dengan PEF berhubungan dengan

ketidakstabilan membran sel secara elektro-mekanik. Membran sel melindungi

mikroba dari kondisi lingkungan sekitar dengan cara bekerja sebagai dinding

semipermeabel, contohnya membran tersebut mengatur masuknya nutrisi

kedalam sel dan mengatur keluarnya produk akhir dari aktivitas metabolisme

sel (Jeyamkondan et al., 2008). Jika membran sel mengalami pemecahan,

Page 84: DISERTASI - Unhas

68

maka terjadi pengeluaran cairan dari dalam sel dan kehilangan aktivitas

metabolisme sel. Ada dua teori yang menjelaskan tentang proses pemecahan

membrane sel akibat pengaruh dari PEF bertegangan tinggi yaitu “dielectric

rupture” dan “electroporation” (Jeyamkondan et al., 2008).

Teknologi PEF digunakan dalam pengolahan jus apel, jus jeruk,

pengolahan susu, telur utuh cair, aplikasi kue dan pengolahan sup kacang

hijau.

Penelitian menunjukkan bahwa sari buah semangka yang dipasteurisasi

dengan HIPEF menggunakan aliran listrik 35kV/cm selama 1727μs

menghasilkan produk yang lebih awet dan lebih kuat mempertahankan

senyawa-senyawa volatil pembentuk aroma asli. Sari buah semangka yang

diberi perlakuan HIPEF dengan kekuatan medan listrik 30–35 kV/cm, frekuensi

denyut 50–250 Hz, selama 50–2050 μs juga dapat mempertahankan aktivitas

antioksidannya (Oms-Oliu et al., 2009).

Penggunaan PEF pada 50 kV/cm selama 2000 detik menginaktifasi 45%

enzim papain. Hilangnya aktivitas katalitik dihitung berdasarkan perubahan

hilangnya α-helix dalam struktur sekunder papain (Yeom et al.,1999). Dalam

jus jeruk pengawetan PEF pada 35 kV/cm selama 59 detik cukup baik bila

dibandingkan dengan pasteurisasi panas pada 94.6 oC selama 30 detik (Yeom

et al., 2000).

Keuntungan Pulsed Electric Fields Ini membunuh sel vegetatif,

mengawetkan warna, rasa dan kandungan nutrisi. Tidak ada bukti toksisitas

dan waktu perawatan juga cukup singkat. Mengawetkan makanan cair secara

Page 85: DISERTASI - Unhas

69

perlahan dengan peningkatan suhu yang sama atau sedikit meningkat (Mathavi

et al., 2013).

J. Potensi Teknologi Ohmik

Pemanasan Ohmik (I2R) terjadi jika arus listrik I dialirkan melalui bahan

pangan yang tahanannya R, menghasilkan energi yang menyebabkan suhu

naik seperti halnya panas yang timbul pada setrika listrik. Konsep pemanasan

ohmik pada bahan pangan sesungguhnya bukan hal baru, karena di abad ke

20, pasteurisasi susu dapat dilakukan dengan melewatkan susu diantara dua

pelat yang diberi tegangan listrik berbeda. Meskipun proses termal ini sempat

diaplikasikan secara komersial, teknologi terus menghilang terutama karena

tidak adanya elektroda inert yang sesuai dan tersedia, serta tidak adanya

pengendalian proses yang memadai (Sastry dan Palaniappan, 1992). Dalam

lima belas tahun terakhir ini, pemanasan ohmik dengan bahan dan desain yang

lebih baru dan lebih baik terus dikembangkan. Sekarang cara pemanasan ini

telah diaplikasikan di berbagai institusi pelayanan makanan di USA serta

digunakan untuk kebutuhan tentara dan perjalanan pesawat berawak ke ruang

angkasa (Fardiaz, 1996).

Pada awalnya pengaruh mematikan dari pemanasan ohmik terhadap

mikroba dikaitkan dengan tenaga listrik yang diberikan. Ternyata pengaruh

mematikan ini bukan disebabkan karena adanya tenaga listrik tetapi terutama

lebih disebabkan karena pengaruh panasnya (Palaniappan et al., 1990, 1992).

Kecepatan pemanas ohmik sangat tergantung pada konduktiitas listrik

bahan pangan yang sedang diolah. Karena bahan pangan pada umumnya

Page 86: DISERTASI - Unhas

70

mengandung sejumlah air bebas yang melarutkan garam-garam ionik atau

asam-asam, maka bahan pangan yang bersangkutan memiliki sifat

konduktivitas listrik. Sebaliknya bahan-bahan seperti lemak dan minyak adalah

bahan yang tidak konduktif, oleh karena itu, bahan-bahan seperti itu tidak akan

menjadi panas jika diberi listrik. Tabel 5 menunjukkan nilai konduktivitas listrik

dari beberapa bahan pangan pada suhu 19°C, dinyatakan dalam

Siemens/meter (s/m) (Fardiaz, 1996).

Tabel 5. Konduktiitas Listrik dari Beberapa Bahan Pangan pada Suhu 19°C

Bahan Pangan

Konduktivitas Listrik (s/m)

Kentang Wortel Kacang Kapri Daging Sapi Larutan Pati 5,5% + garam 0,2% + garam 0,55% + garam 2%

0,037 0,041 0,17 0,42

0,34 1,3 4,3

(Sumber: Kim et al., 1996. Sebagai pembanding konduktiitas listrik air murni 5,7 x 10-6 s/m, asam sulfat 1,0 s/m, pada suhu 25°C)

Pada umumnya konduktivitas listrik dari bahan pangan cair lebih tinggi

daripada padatan. Jika diambil contoh suatu produk saus atau grafy yang

mengandung potongan kecil daging sapi dengan kadar garam 0,6 – 1%, maka

cairan saus seperti ini identik dengan larutan pati 5 5% dengan kadar garam

0,5% dan mempunyai konduktivitas listrik 1,3 s/m. Sedangkan konduktivitas

listrik dari potongan daging sapi tersebut adalah 0,42 s/m. Angka ini

menunjukkan bahwa potongan daging sapi mempunyai konduktivitas listrik

lebih kecil daripada sausnya sendiri, artinya jika dipanaskan dengan sistem

ohmik, maka potongan daging akan lebih cepat menerima panas daripada

sausnya (Fardiaz, 1996).

Page 87: DISERTASI - Unhas

71

Sehubungan dengan hal tersebut, maka jika saus yang mengandung

potongan daging sapi ini dipanaskan dengan sistem ohmik, maka panas akan

mengalir dari dalam potongan daging sapi keluar ke cairan saus, dan bukan

sebaliknya seperti pada proses aseptik konvensional. Karakteristik ini sangat

menguntungkan karena dengan pemanasan ohmik dimungkinkan untuk

melakukan proses pengemasan aseptik pada bahan cair yang mengandung

partikel-partikel padatan, misalnya sop cair yang mengandung partikel daging

(Fardiaz, 1996). Berbagai pengembangan masih dilakukan untuk

memantapkan aplikasi pemanasan ohmik dalam proses pengemasan aseptik

produk pangan berasam rendah agar proses termal yang diberikan menjamin

keamanan dari produk yang dihasilkan (Fardiaz, 1996).

Pemanasan ohmik adalah metode pengolahan termal canggih dimana

arus listrik dilewatkan pada makanan untuk memanaskan dengan energi

internal, tanpa memanaskan medium atau perpindahan panas permukaan

(Castro et al., 2003). Energi listrik didisipasikan menjadi panas, menghasilkan

pemanasan cepat dan seragam. Pemanasan ohmik juga disebut pemanas

listrik resistensi, pemanasan Joule, atau pemanasan-elektrik, dan dapat

digunakan untuk berbagai aplikasi dalam industri makanan (Wang dan Sastry,

2002; Shirsat et al., 2004). Dalam pemanasan konvensional, perpindahan

panas terjadi dari permukaan bahan sampai bagian dalam produk dengan cara

konveksi dan konduksi dan memakan waktu, karena lebih lama melalui jalur

konduksi atau konveksi yang mungkin terjadi dalam proses pemanasan.

Pemanasan elektroresistif atau ohmik berlangsung volumetrik dengan demikian

Page 88: DISERTASI - Unhas

72

berpotensi mengurangi overprocessing oleh perpindahan panas dari dalam ke

luar bahan (Rahman, 1999).

Gambar 14. Diagram Skematik dari Proses Pemanasan Ohmik Statis

Alat pemanas ohmik merupakan rangkaian yang terdiri dari elektroda,

power supplay, dan sarana pembatas sampel makanan (misalnya, tabung).

Juga beberapa instrumen penunjang, seperti fitur pengaman, dan koneksi ke

proses lainnya dalam unit operasi (misalnya: pompa, penukar panas, dan

tabung).

1. Prinsip Pemanasan Ohmik

Prinsip pemanasan ohmik sangat sederhana. Pemanasan ohmik

didasarkan pada arus listrik bolak-balik (AC) yang dilewatkan pada makanan.

Bahan makanan berfungsi sebagai hambatan listrik dimana panas dihasilkan.

Tegangan AC diterapkan pada elektroda di kedua ujung badan produk.

Kekuatan medan listrik dapat bervariasi dengan menyesuaikan celah elektroda

atau tegangan yang diberikan. Namun faktor yang paling penting adalah

konduktivitas listrik dari produk serta ketergantungannya pada suhu.

Pemanas ohmik dapat berlangsung statis (batch) ataupun kontinyu.

Pertimbangan desain penting terhadap konfigurasi elektroda (arus mengalir di

Page 89: DISERTASI - Unhas

73

aliran produk beredar atau sejajar dengan jalur aliran produk), jarak antara

elektroda, elektrolisis (elektroda logam, terutama pada frekuensi rendah),

pemanas geometri, frekuensi arus bolak-balik (AC), kebutuhan daya,

kepadatan arus, tegangan yang diberikan, dan kecepatan produk dan profil

kecepatan. Faktor tambahan lain mengenai sistem yang digunakan dalam

pemanas ohmik diantaranya jenis produk dan sifat-sifatnya, khususnya

konduktivitas listrik dan laju pemanasan, yang meliputi: persen padatan,

keasaman, viskositas produk, panas spesifik, kepadatan, dan ukuran partikel

padat, bentuk, dan orientasi medan listrik (Rahman, 1999).

Keunggulan utama dari pemanasan ohmik adalah cepat dan sistem

pemanasannya yang relatif seragam dan merata, termasuk untuk produk yang

mengandung partikulat. Hal tersebut mengurangi jumlah total panas yang

kontak dengan produk dibandingkan dengan pemanaan konvensional yang

memerlukan waktu untuk terjadinya penetrasi panas ke bagian pusat bahan

dan pemanasan partikulat lebih lambat dari fluida. Dalam pemanasan ohmik,

partikel dapat memepercepat pindah panas dengan melakukan formulasi pada

kandungan senyawa ionik yang tepat di dalam fase fluida dan fase partikulat

untuk meyakinkan level konduktivitas listrik yang tepat (Muchtadi dan

Ayustaningwarno, 2010).

2. Parameter Pemanasan Ohmik

Pemanasan elektrik makanan (ohmik) mempengaruhi sifat transfer

massa. Rahman (1999), merangkumkan, beberapa parameter dalam

pemanasan ohmik antara lain yang menyangkut:

Page 90: DISERTASI - Unhas

74

a. Karakteristik Pemanasan Ohmik

Parameter yang paling penting dalam pemanasan ohmik adalah

konduktivitas listrik dari makanan. Hal ini penting karena konduktivitas listrik

berkaitan dengan laju perpindahan panas dan distribusi temperatur.

Pemanasan ohmik mengambil nama dari hukum Ohm yang dikenal

sebagai hubungan antara arus, tegangan, dan hambatan. Bahan makanan

terhubung antara elektroda memiliki resistansi peran dalam rangkaian.

Persamaannya adalah sebagai berikut:

Tahanan dari bahan makanan untuk melewatkan arus listrik

menyebabkan panas yang dihasilkan dalam makanan. Dengan kata lain,

energi listrik dikonversi menjadi energi panas (Sastry dan Salengke, 1998).

Waktu pemanasan ohmik bergantung pada gradien tegangan yang digunakan.

Gradien tegangan meningkat, panas yang dihasilkan per unit waktu meningkat,

dan karena itu waktu pemanasan yang diperlukan untuk mencapai temperatur

berkurang. Skala waktu dapat diatur dengan memilih parameter gradien

tegangan (Icier, 2012). Konduktivitas listrik adalah ukuran dari seberapa baik

suatu zat mentransmisikan muatan listrik yang dinyatakan dalam Siemens per

meter (S/m).

Konduktivitas listrik adalah rasio densitas substansi pada kekuatan

medan listrik dan dipengaruhi oleh komposisi kimia dari suatu zat. Dalam

terminologi pemanasan ohmik, konduktivitas adalah ukuran dari isi mineral

atau ion. Untuk bahan makanan, bahan ion yang paling umum garam (NaCl).

I = V/R …….(1)

Page 91: DISERTASI - Unhas

75

Semakin tinggi jumlah garam terlarut dalam zat, semakin tinggi konduktivitas

listriknya (Anderson, 2008).

Pada bahan pangan solid, konduktivitas listrik tergantung pada suhu dan

gradient voltage. Konduktivitas listrik mengalami kenaikan signifikan pada 70

oC ke atas. Jika jaringan sayuran dikenakan pemanasan konvensional,

konduktivitas listrik akan meningkat tajam pada suhu 60 oC, akibat pecahnya

dinding sel. Ketika jaringan selular dipanaskan secara ohmik, suhu

konduktivitas listrik menjadi lebih meningkat, akibat karena terjadinya elektro-

osmosis tergantung dari besarnya medan voltase yang digunakan. Pada

voltage tinggi, elektro-osmosis mendorong ion-ion melewati membran dinding

sel bahkan pada suhu lebih rendah. Pada kekuatan medan yang cukup, dapat

digunakan hubungan linear Ϭ antara T (Muchtadi dan Ayustaningwarno, 2010):

Dimana ϬT adalah konduktivitas listrik pada suhu T, Ϭref konduktivitas

listrik pada suhu reference (Tref) dan m adalah koefiesien suhu. Peningkatan

konduktivitas berarti bahwa pemanasan ohmik menjadi relatif lebih efektif pada

suhu lebih tinggi. Karena konduktivitas listrik tergantung pada konsentrasi ion,

maka memungkinkan untuk mengubahnya menggunakan perlakuan sederhana

seperti penambahan garam pada bahan pangan. Menurunnya konduktivitas

listrik pada bahan pangan yang direndam disebabkan hilangnya senyawa ionik

dalam air.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan (Sastry dan

Salengke, 1998) konduktivitas listrik bahan pangan meningkat secara linier

ϬT= Ϭref [1 + m(T-Tref)…(2)

Page 92: DISERTASI - Unhas

76

dengan peningkatan suhu sehingga proses pemanasan menjadi semakin

efektif dengan semakin meningkatnya suhu selama proses pemanasan ohmik

berlangsung.

Konduktivitas listrik cenderung meningkat ketika ukuran partikel

menurun, walaupun kesimpulan secara general tidak dapat dilakukan tanpa

memperhitungkan bentuk dan orientasi partikel (Muchtadi dan

Ayustaningwarno, 2010).

Di atas kekuatan medan listrik tertentu, atau jika materi telah diolah

secara termal, kurva konduktivitas listrik-suhu sering menjadi linear. Seperti

terlihat pada Persamaan (3) (Sastry et al., 2001 ):

Jika produk memiliki lebih dari satu fase seperti dalam kasus campuran

cairan dan partikulat, konduktivitas listrik semua tahap harus dipertimbangkan.

Konduktivitas listrik meningkat dengan kenaikan suhu, menunjukkan bahwa

pemanasan ohmik menjadi lebih efektif dalam meningkatkan suhu, yang

secara teoritis dapat mengakibatkan pemanasan runaway. Perbedaan dalam

hambatan listrik dan ketergantungan suhu antara dua fase dapat membuat

karakteristik pemanasan sistem yang sangat rumit (Delgado et al., 2012).

Konduktivitas listrik padatan dan cairan selama pemanasan ohmik pada

campuran multifase juga penting. Dalam keadaan ideal, pada dasarnya fase

cair dan padat memiliki konduktivitas listrik yang sama dengan laju

pemanasan. Ketika terdapat perbedaan dalam konduktivitas listrik antara

partikel fluida dan solid, maka pemanasan partikel-partikel lebih cepat dari

σ = σ0 1 + mT …. (3)

Page 93: DISERTASI - Unhas

77

cairan ketika konduktivitasnya lebih rendah dari cairan. Demikian pula pada

partikulat padat, panas lebih lambat dari cairan ketika konduktivitas listrik dari

padat lebih tinggi dari cairan. Gerakan fluida (perpindahan panas konvektif)

juga merupakan pertimbangan penting ketika terdapat perbedaan konduktivitas

listrik antara cairan dan partikel (padatan).

Sifat produk lain yang mempengaruhi distribusi temperatur adalah

kepadatan dan panas spesifik dari produk makanan. Ketika partikel padat dan

medium fluida memiliki konduktivitas listrik yang sama, maka komponen

dengan kapasitas panas yang lebih rendah akan cenderung lebih cepat panas.

Pada kepadatan tinggi dan pemanasan kondusif, maka proses pemanasan

dapat berlangsung lebih lambat. Viskositas fluida juga mempengaruhi

pemanasan ohmik; viskositas cairan yang lebih tinggi cenderung

mengakibatkan pemanasan ohmik lebih cepat dari cairan yang viskositasnya

rendah .

Beberapa penelitian awal pada pemanasan ohmik telah dilakukan,

misalnya pada sterilisasi partikel cair pada pindah panas. Pemanasan bit

dengan pemanasan ohmik mengakibatkan peningkatan difusi betanin dari

jaringan bit ketika dibandingkan dengan pemanasan konvensional (Halden et

al., 1990).

Dalam banyak studi, konduktivitas listrik adalah fungsi dari komponen

makanan : seperti adanya komponen ionik (garam), asam, dan kelembaban

berpengaruh meningkatkan mobilitas konduktivitas listrik, sedangkan lemak,

lipid, dan alkohol menguranginya. Konduktivitas listrik linier berkorelasi dengan

suhu ketika medan listrik cukup tinggi (setidaknya 60 V/cm). Menurut Lima et

Page 94: DISERTASI - Unhas

78

al. (1999); Palaniappan dan Sastry, (1991) menjelaskan bahwa kekuatan

medan listrik yang lebih rendah pada kurva nonlinier (kurva sigmoidal) terjadi

oleh: (a) meningkatnya konduktivitas listrik bila suhu dan tegangan yang

diberikan meningkat, dan menurun dengan meningkatnya kandungan padatan,

(b) frekuensi AC menurun selama pemanasan ohmik dengan meningkatnya

konduktivitas listrik, (c) gelombang dapat mempengaruhi konduktivitas listrik,

meskipun AC biasanya meneruskan sebagai gelombang sinus, gelombang

persegi tiga runcing yang meningkatkan konduktivitas listrik pada beberapa

kasus, sementara dapat terjadi penurunan pada gelombang persegi (Lima et

al.,1999). (d) siklus pemanasan meningkatkan konduktivitas listrik; pada

sampel yang dipanaskan, terjadi peningkatan konduktivitas listrik dibandingkan

dengan sampel mentah ketika keduanya kemudian mengalami pemanasan

ohmik (Wang dan Sastry, 1997).

Difusi pewarna dari bit ke dalam larutan meningkat sebanyak 40%

selama pemanasan dari suhu 20°C sampai 80°C dengan penyebaran

konsentrasi dye, yang sebanding dengan luas permukaan partikel dengan

fungsi linear dari kekuatan medan listrik (Schreier et al.,1993). Lobak putih

Jepang yang dipanaskan secara ohmik memperlihatkan bahwa laju

pemanasan ohmik dipengaruhi oleh frekuensi, pada frekuensi AC yang

menurun, maka laju pemanasan meningkat (Imai et al., 1995). Pada frekuensi

rendah (50 Hz), kecepatan pemanasan disebabkan oleh elektroporasi

membran jaringan lobak, hal ini mengakibatkan penurunan dari impedansi

listrik (Kulshrestha dan Sastry, 2003; Sastry dan Barach, 2000), yang

Page 95: DISERTASI - Unhas

79

menyimpulkan bahwa elektroporasi adalah mekanisme yang paling mungkin

untuk meningkatkan efek transfer massa selama pemanasan ohmik.

b. Pengaruh Terhadap Tekstur Makanan

Pemanasan ohmik digunakan untuk berbagai situasi dimana perlakuan

panas konvensional sulit untuk diterapkan. Fouling adalah masalah utama

ketika bahan pangan berprotein terekspos oleh perlakuan teransfer panas

permukaan. Proses ohmik dapat dipergunakan dengan beberapa keuntungan

karena pemanasan terjadi secara internal energy generation dan tidak

memerlukan pemanasan permukaan. Dengan menggunakan perlakuan ohmik

yang tepat dapat diperoleh peningkatan kualitas tekstur pada produk akhir.

Pemanasan ohmik juga memiliki proses yang cukup baik dalam sterilisasi

komersial dari campuran solid-liquid (Muchtadi dan Ayustaningwarno, 2010).

Evaluasi sensori sangat penting untuk setiap proses makanan yang

layak. Kualitas produk yang unggul dapat diperoleh melalui penurunan waktu

proses, meskipun beberapa penelitian mengukur gangguan sensoris dan

tekstur secara khusus. Ozkan et al. (2004) menjelaskan bahwa kualitas dan

sifat mekanik hamburger yang dimasak dengan kombinasi pemanasan ohmik

tidak berbeda dari hamburger yang dimasak dengan pemanasan konvensional.

c. Gelatinisasi

Gelatinisasi pati merupakan parameter penting dalam pengolahan

makanan dan dapat bersifat menguntungkan atau merugikan tergantung pada

formulasi produk yang diinginkan. Konduktivitas listrik dari produk makanan

dipengaruhi secara signifikan oleh gelatinisasi pati (Wang dan Sastry, 1997).

Page 96: DISERTASI - Unhas

80

Selanjutnya (Wang dan Sastry, 1997) menemukan bahwa konduktivitas listrik

menurun dengan tingkat gelatinisasi dan menyarankan bahwa pemanasan

ohmik dapat digunakan dalam pengembangan sensor untuk mendeteksi

gelatinisasi pati. Pemanasan ohmik digunakan untuk memaksimalkan fungsi

gel dari produk seafood (Yongsawatdigulet al., 1995). Proses pemanasan

ohmik lebih unggul daripada proses pemanasan konvensional karena

pemanasan berlangsung cepat dan menonaktifkan enzim, yang pada gilirannya

memungkinkan pembentukan gel yang kuat.

d. Pembangkitan Panas

Panas yang dihasilkan secara internal selama pemanasan ohmik tidak

selalu seragam. Dengan demikian, persamaan diprediksi untuk dapat

memperkirakan perambatan panas yang cukup dalam pemanasan ohmik agar

dapat menuju titik dingin (paling lambat menerima panas) dari medium, dengan

perambatan panas yang cukup pada titik paling lambat menerima panas, serta

cukup untuk mematikan mikroba (Larkin dan Spinak, 1996).

e. Mekanisme Inaktivasi Mikroba

Dalam hal kinetika kematian mikroba dalam pemanasan ohmik pada

dasarnya sama dengan inaktivasi menggunakan panas konvensional.

Biasanya pemanasan ohmik menggunakan suhu yang tidak terlalu tinggi,

seperti pasteurisasi. Mekanisme elektroporasi terjadi selama proses

pemanasan ohmik. Perlakuan pemanasan ohmik berhubungan dengan

gelombang frekwensi rendah yang menyebabkan dinding sel menjadi

Page 97: DISERTASI - Unhas

81

bermuatan dan membentuk pori serta menyebabkan kebocoran sel (Muchtadi,

2010).

Elektroporasi didefinisikan sebagai pembentukan lubang di membran sel

yang dihasilkan dari tekanan lokal ion, yang awalnya tidak dapat menyerap dari

membran sel, tetapi dipaksa melawan dengan medan listrik (Weaver, 1996).

Penggunaan frekwensi balik yang relatif rendah selama pemanasan ohmik

menyebabkan terjadi penumpukan di dinding sel, sehingga terbentuk pori-pori.

Hal ini juga menunjukkan bahwa semakin rendah frekuensi pemanasan ohmik,

maka perpindahan massa semakin jelas (Kulshrestha dan Sastry, 2003;

Lakkakula et al., 2004; Lima dan Sastry, 1999).

Cho et al. (1999) melaporkan bahwa waktu penurunan desimal (Decimal

Reduction Time) dari spora Bacillus subtilis berkurang secara signifikan bila

menggunakan pemanas ohmik. Listrik memiliki efek membunuh terhadap spora

bakteri. Nilai z dan energi aktivasi (Ea) tidak secara signifikan berpengaruh, ini

menunjukkan bahwa listrik mempengaruhi tingkat kematian mikroba tetapi tidak

tergantung suhu proses inaktivasi spora (Cho et al., 1999).

Pemanasan ohmik digunakan dalam berbagai aplikasi seperti sebagai

pemanasan awal, blanching, pasteurisasi, sterilisasi, ekstraksi produk makanan

(Leizerson & Shimoni, 2005; Salengke, 2000; Lima dan Sastry, 1999; Mizrahi,

1996).

Page 98: DISERTASI - Unhas

82

K. Kinetika Degradasi Termal Vitamin C

Reaksi-reaksi kimia yang terjadi dalam sistem pangan berlangsung

dengan laju yang berbeda-beda. Perubahan konsentrasi dari suatu komponen

kimia dipengaruhi oleh waktu. Laju reaksi sebagai akibat perubahan

konsentrasi (dC) terhadap perubahan waktu (dt), dinyatakan sebagai:

Laju reaksi menyatakan besarnya perubahan konsentrasi pereaksi

(reaktan) atau hasil reaksi (produk) dalam satuan waktu. Atau laju

pengurangan konsentrasi molar salah satu pereaksi atau pertambahan

konsentrasi molar salah satu produk per satuan waktu.

Dalam kinetika, suatu reaksi dapat berlangsung melalui beberapa tahap.

Diawali dengan tumbukan antar partikel reaktan. Setelah reaktan bertumbukan,

maka akan terjadi penyusunan ulang ikatan dalam senyawa reaktan menjadi

susunan ikatan yang berbeda (membentuk senyawa produk). Sampai tercapai

suatu keadaan dimana dalam sistem terdapat sejumlah reaktan dan produk

dan keadaan ini disebut sebagai transisi kompleks (Vogel, 1994).

Reaksi kimia bahan dapat mengikuti orde reaksi 0, 1, 2 dan seterusnya.

Pada reaksi orde satu, kecepatan reaksi berbanding lurus dengan konsentrasi

reaktan. Menurut Walstra (2003), pada reaksi orde satu, maka kecepatan

reaksi dapat dinyatakan dengan persamaan:

𝑘𝑐𝒅(𝑪)

𝒅𝒕...........(4)

dC/dt = - k [C]n ......…(5)

Page 99: DISERTASI - Unhas

83

Kecepatan reaksi degradasi kinetika termal vitaminC secara teoritis

dinyatakan dengan model dasar persamaan tersebut, dalam hal ini dC/dt

adalah laju reaksi C, k adalah konstanta laju reaksi, [C] konsentrasi A, dan n

orde reaksi. Laju reaksi dC/dt merupakan fungsi dari berbagai variabel reaksi,

seperti jumlah molekul yang bereaksi, suhu, dan katalis (Kusnandar, 2010).

Gambar 15. Grafik ln (A) terhadap t untuk reaksi orde satu

1. Aplikasi Persamaan Arrhenius Pada Degradasi Vitamin C

Pada tahun 1889 Arrhenius mengusulkan suatu persamaan yang

menjelaskan pengaruh suhu terhadap k yang dinyatakan sebagai berikut:

Konstanta Kecepatan reaksi dinyatakan dalam simbol (k), A adalah

faktor frekuensi, energi aktivasi (Ea) yang pada kisaran suhu tertentu Ea

mempunyai nilai tetap, T Suhu (oK) dan R merupakan Konstanta gas (8,3145

J mol-1 K-1).

Pada dasarnya diketahui bahwa laju reaksi sangat dipengaruhi oleh

suhu. Dalam model Arrhenius suhu merupakan faktor yang sangat

k = Ae –Ea/RT............. (6)

Page 100: DISERTASI - Unhas

84

berpengaruh terhadap penurunan mutu produk pangan. Semakin tinggi suhu,

maka akan semakin tinggi pula laju reaksi, dengan kata lain semakin tinggi T

maka akan semakin tinggi pula nilai k. Hubungan ini berdasarkan pada teori

aktivasi, bahwa suatu reaksi perubahan akan mulai berlangsung jika diberikan

sejumlah energi minimum yang disebut sebagai energi aktivasi (Ea) (Hariyadi,

2004).

Oleh karena Ct adalah jumlah C pada waktu t, C0 adalah jumlah awal

C, sehingga untuk menentukan jumlah kehilangan vitamin C, berdasarkan

rumus Arrhenius maka persamaan tersebut dalam bentuk logaritma menjadi:

Model Arrhenius banyak dipakai untuk mempelajari perubahan-

perubahan mutu pada produk pangan selama pengolahan maupun

penyimpanan (Hariyadi, 2004).

Pemodelan kinetika degradasi L-asam askorbat biasanya diasumsikan

mengikuti kinetika orde satu dalam bahan biologis sistem makanan (Johnson et

al., 1995). Persamaan orde satu adalah:

2. Penentuan Thermal Reduction Time

Decimal reduction time atau nilai D adalah waktu yang diperlukan untuk

menurunkan kadar L-asam askorbat sebesar satu siklus log atau 90% dari

kadar awal. Penentuan nilai D dapat menggunakan dilakukan dengan

membuat plot antara waktu pasteurisasi (sumbu x) dengan log kadar L-asam

Ln C = Ln Co – kt ……(8)

ln k = ln k0 - Ea/R . 1/T .........(7)

Page 101: DISERTASI - Unhas

85

askorbat (sumbu y). Nilai D merupakan [-1/slope] dari kurva persamaan

tersebut (Sukasih dkk., 2005).

D = decimal reduction time (menit), t = waktu proses (menit), Co = konsentrasi

awal (mg), C = konsentrasi setelah proses (mg).

3. Penentuan Ketahanan Panas (Thermal Resistance Constant)

Ketahanan Panas atau Thermal Resistance Constant atau nilai z adalah

perubahan suhu yang diperlukan untuk menurunkan nilai D sebesar satu siklus

log atau 90% dari nilai awal. Penentan nilai z mengikuti (Persamaan 10) atau

dengan plot antara suhu pasteurisasi (sumbu x) dengan log nilai D (sumbu y)

pada kurva linier. Nilai z merupakan [- 1/slope] dari kurva persamaan tersebut

(Sukasih dkk, 2005).

z = thermal resistance constant (K), D2 = nilai D pada suhu T2 (menit). D1 =

nilai D pada suhu T1 (menit), D2 = nilai D pada suhu T2 (menit), k = konstanta

laju reaksi (menit-1).

4. Penentuan Laju Reaksi

Reaction rate constant atau nilai konstanta k adalah penggambaran

kecepatan reaksi perubahan asam askorbat. Nilai k dapat ditentukan

ditentukan dengan membuat kurva dengan plot antara waktu (t) dan ln kadar L-

Z =T2−T1

log D1−log D2…….(10)

D = t

log Co−log C………(9)

D =

t

log Co−log C

Page 102: DISERTASI - Unhas

86

asam askorbat (ln C) dimana nilai k merupakan |-slope| dari kurva tersebut.

Nilai k juga dapat ditentukan dengan (Persamaan 11) (Sun, 2006).

5. Penentuan Energi Aktivasi

Energi aktivasi atau nilai Ea adalah energi minimum yang dibutuhkan

untuk memulai reaksi degradasi L-asam askorbat. Penentuan nilai Ea

menggunakan (Persamaan 12) dengan membuat plot antara 1/suhu (sumbu x)

dengan ln konstanta laju reaksi (sumbu y).

Nilai Ea merupakan hasil perkalian [-slope] dari kurva persamaan

tersebut dengan tetapan R (8,314 J/mol.K atau 1,987 kal/mol.K), ko adalah

faktor preeksponensial (menit-1), (Sukasih dkk, 2005).

k = 2,303

D…….(11)

Ln k = ln ko - 𝐸𝑎

𝑅 .

1

𝑇 …. (12)

Page 103: DISERTASI - Unhas

87

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlangsung pada bulan Nopember2014 sampai dengan

bulan Apri 2017 di Teaching Industry Unhas, Laboratorium Biofarmaka pada

Pusat Kegiatan Penelitian Unhas, dan dilanjutkan pada bulan Juni sampai

Oktober 2017 di Laboratorium Analisa Bahan Makanan Jurusan Teknologi

Pertanian, Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian

Universitas Hasanuddin Makassar.

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain reaktor ohmik

berbahan dasar Teflon, elektroda, sistem akusisi (data logger), timer,

timbangan analitik, termometer, termokopel, desikator, kamera digital, stirer

magnetic, komputer (PC). Alat analisis lainnya adalah Spektrofotometer UV-

Vis, ELISA, Hand Refraktometer, alat-alat gelas, timbangan analitik, pH meter,

Cold Box, Juicer, Waskom Stainless Steel, pisau, botol/jars kecil, vial,

aluminium foil, kertas label, kain saring, kemasan plastik, kotak plastik, dan

kertas saring.

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah tomat. Bahan lainnya

yaitu: Air suling, metanol p.a (Merck), asam galat p.a (Merck), Reagen Folin –

Ciocalteu, natrium karbonat p.a (Merck), 2,2-difenil-1-pikrilhidrazil (DPPH) p.a

(Merck), heksan p.a (Merck), aseton (Merck), etanol p.a (Merck), aquades,

Page 104: DISERTASI - Unhas

88

aquabides, 0,25 M NaH2PO4, 0,25 M Na2HPO4, 2,6–diklorofenolindofenol

(Merck), asam askorbat (Merck), asam asetat glasial (Merck), asam

metaphospat (Merck), natrium bikarbonat pekat (APS Ajax Finecham).

Semua bahan yang digunakan berderajat proanalisis.

C. Prosedur Penelitian

Penelitian ini terbagi atas beberapa tahap kegiatan utama yaitu: tahap

pertama yaitu pembuatan perangkat pemanas ohmik dan tahap kedua

running dan analisis.

Pada tahap pertama, dibuat perangkat pemanas ohmik yang terdiri dari

tabung/reaktor berbahan Teflon (volume 100 ml), elektroda pada sisi ujung

kiri-kanannya dan thermocouple pada bagian tengah tabung/reaktor yang

berfungsi mengatur arus listrik dari power supplay.

Tahap kedua (Running dan Analisis). Tahap ini dimulai dengan

menyiapkan buah tomat, buah tomat dipilih yang berwarna merah penuh.

Tomat lalu dicuci, diiris, diblender, disaring, dan diambil cairan/jus murni sari

tomat tanpa penambahan gula ataupun air. Selanjutnya adalah running,

adalah tahap pengoperasian/menjalankan alat dengan memanaskan jus

tomat yang ditempatkan dalam tabung pada alat pemanas ohmik. Jus tomat

yang diperoleh dianalisis sifat fisikokimianya meliputi: total asam, pH, total

padatan terlarut dan kandungan senyawa bioaktif jus antara lain: vitamin C,

polifenol, flavonoid (kuersetin), likopen, dan antioksidan dari jus tomat

tersebut.

Page 105: DISERTASI - Unhas

89

D. Desain Penelitian dan Parameter Analisis

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Pola

Faktorial dengan 2 Faktor yaitu: Suhu Pemanasan dan Lama Pemanasan

dengan 3 kali ulangan. Pada penelitian ini perlakuan yang diterapkan pada alat

ohmik adalah Suhu Pemanasan yang terdiri dari 3 taraf yaitu: 70°C, 90°C, dan

110°C dan Lama Pemanasan: 15 menit, 30 menit, dan 45 menit, dengan model

matematika:

Keterangan:

Yijk = Nilai pengamatan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan

suhu pemanasan dan lama pemanasan ke-j

µ = Rata-rata nilai pengamatan sesungguhnya

α1 = Pengaruh Perlakuan Suhu Pemanasan ke-i

ß1 = Pengaruh Perlakuan Lama Pemanasan ke-j

(αß)ij = Pengaruh interaksi perlakuan ke-i dan ke-j

€ijk = Pengaruh galat perlakuan ke-i dan ke-j pada satuan percobaan ke-k

i = 1, 2, dan 3 j = 1, 2, dan 3 k = 1, 2, 3

Matriks perlakuan suhu dan lama pemanasan jus tomat dengan

pemanasan ohmik disusun dalam Tabel 6.

Tabel 6. Matriks Perlakuan Suhu Pemanasan dan Lama Pemanasan Ohmik

Perlakuan

Lama Pemanasan (15, 30, 45) menit

Suhu Pemanasan

(70, 90,110)° C

A

(70°C, 15 Menit)

B

(70°C, 30 Menit)

C

(70°C, 45 Menit)

D (90°C, 15 Menit)

E (90°C, 30 Menit)

F (90°C, 45 Menit)

G

(110°C, 15 Menit)

H

(110°C, 30 Menit)

I

(110°C, 45 Menit)

Yijk = µ + α1 + ßj + (αß)ij + €ijk…(13)

Page 106: DISERTASI - Unhas

90

Keterangan:

A = pemanasan 70oC, 15 menit E = pemanasan 90oC, 30 menit

B = pemanasan 70oC, 30 menit G = pemanasan 110oC, 15 menit

C = pemanasan 70oC, 45 menit H = pemanasan 110oC, 30 menit

D = pemanasan 90oC, 15 menit I = pemanasan 110oC, 45 menit

F = pemanasan 90oC, 45 menit O = sebelum pemanasan (kontrol)

E. Prosedur Analisis

Jus tomat yang dihasilkan pada pemanasan ohmik dilakukan analisis

meliputi: pengukuran total asam, pH, total padatan terlarut, vitamin C,polifenol

(total fenol),flavonoid (kuersetin),likopen dan antioksidan. Adapun prosedur

analisisnya sebagai berikut:

1.Total Asam (AOAC, 2000).

Sebanyak 10 g jus buah ditambahkan dengan 100 ml aquades.

Kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 250 ml, diencerkan sampai tanda

tera dengan aquades yang digunakan sebagai pembilas mortal. Contoh

disaring, ambil 100 ml filtrat yang diperoleh dan dimasukkan ke dalam

erlenmeyer. Contoh tersebut ditambahkan 3 tetes phenolptalein dan dititrasi

dengan NaOH 0,1 N sampai timbul warna merah jambu. Perhitungan total

asam dilakukan dengan rumus:

Keterangan:

a = jumlah NaOH 0.1 N untuk titrasi (ml)

b = 100 gram bahan

Total Asam = 𝒃

𝒂………..(14)

Page 107: DISERTASI - Unhas

91

2. Pengukuran pH (AOAC, 2000)

Pengukuran pH menggunakan alat pH meter. Prosedur pengukuran pH

ialah sebagai berikut: pH meter yang akan digunakan distandarkan terlebih

dahulu dengan larutan buffer 4,01 dan pH 9,18 masing-masing pada suhu

25oC. Sebelum dan sesudah pemakaian, elektroda dibilas dengan akuades.

Larutan diukur pHnya menggunakan elektroda yang telah dikalibrasi.

3. Total Padatan Terlarut (Norman, 1998)

Total Padatan Terlarut merepresentasikan kadar gula atau kadar

padatan yang terlarut dalam bahan tersebut (Winarno dan Aman 1979). Uji

total padatan terlarut dilakukan untuk mengetahui kadar gula pada jus.

Pengukuran ini dilakukan dengan cara meneteskan larutan jus pada kaca

sensor yang ada pada hand refraktometer dan angka derajat brix segera dapat

dibaca.

4. Analisis Vitamin C dengan 2,6-Diklorofenol Indofenol (AOAC, 2006).

a. Pembuatan Larutan Pereaksi

1. Larutan Asam Asetat Metafosfat

Melarutkan15 g asam metafosfat dalam 40 ml asam asetat glasial

pekat dan 200 ml aquadest dalam labu takar 500 ml kemudian dikocok

kuat-kuatdan diencerkan sampai dengan 500 ml. Larutan disaring

kemudian dimasukkan ke dalam botol gelap tertutup di simpan dalam

lemari pendingin, larutan dapat bertahan 7-10 hari.

Page 108: DISERTASI - Unhas

92

2. Larutan Standar Asam Askorbat (5 mg /100 ml)

Melarutkan 5 mg Vitamin C dalam metafosfat kemudian di

masukkan dalam labu takar 100 ml diencerkan sampai tanda.

3. Larutan 2,6–Diklorofenol Indofenol 10 mg%

Melarutkan 50 mg Na-2,6-diklorofenolindofenol yang telah

disimpan dalam desikator, kemudian di tambahkan 50 ml air yang

megandung 40 mg Na bikarbonat pekat apabila sudah larut di tambahkan

air sampai 200 ml, pipet 40 ml 2,6 diklorofenol indofenol yang telah

dibuat tadi, encerkan100 ml sampai tanda. Kemudian disaring ke dalam

botol bersumbat kaca berwarna coklat. Larutan baku 2,6-

diklorofenolindofenol digunakan dalam waktu 3 hari dan distandarisasi

sebelum digunakan.

b. AnalisisSampel

1. Titrasi sampel

Diambil 5 ml jus tomat ohmik dimasukkan dalam erlenmeyer 100

ml ditambahkan 2 ml asam metafosfat dan dikocok kuat kemudian

larutan titrasi dengan 2,6 diklorofenolindofenol dan titrasi dihentikan

sampai larutan merah muda. Banyaknya titran dicatat (SP).

2. Titrasi Blanko

Diambil 5 ml aquades dimasukan dalam Erlenmeyer 100 ml

kemudian ditambahkan asam metafosfat dan kocok kuat kemudian

Page 109: DISERTASI - Unhas

93

larutan dititrasi dengan 2,6-diklorofenolindofenoltitrasi dihentikan sampai

larutan merah muda. Banyak titran dicatat (BL).

3. Titrasi Standar Asam Askorbat

Diambil 5 ml asam askorbat standar masukan ke dalam

erlenmeyer 100 ml kemudian ditambahkan asam metafosfat dan kocok

kuat kemudian larutan dititrasi dengan 2,6-diklorofenol indofenol titrasi

dihentikan sampai larutan merah muda.Banyak titran dicatat (ST).

Setiap perlakuan diulang 3 kali.Dari hasil percobaan diatas dapat

dihitung kandungan vitamin C dalam setiap 100 ml jus tomat yang

diteliti. Berat jus tomat (n gram), sehingga kandungan vitamin C dapat

dihitung dengan rumus berikut:

Keterangan:

n = jumlah sampel (ml)

SP = jumlah titran sampel l(ml)

BL = jumlah titran blanko (ml)

ST = jumlah titran standar asam askorbat (ml)

1. Pengukuran Total Fenol dengan Metoda Folin-Ciocalteau (Orak, 2006).

Masing-masing sampel jus ditimbang sebanyak 10 mg lalu dilarutkan

dengan etanol 96% sebanyak 10 ml. Masing-masing sampel dipipet 100 µl lalu

dimasukkan ke dalam labu takar 5 ml.

K = 100

𝑛𝑥

𝑆𝑃−𝐵𝐿

𝑆𝑇−𝐵𝐿 𝑥 𝑆𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 𝑥 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛…….(15)

Page 110: DISERTASI - Unhas

94

Dilakukan penambahan reagen Folin-Ciocalteau sebanyak 500 µl dan

aquadest hingga tanda tera. Dilakukan pengocokan hingga homogen dan

didiamkan selama beberapa menit.

Dilakukan pengukuran absorbansi dengan panjang gelombang 724 nm.

Masing-masing sampel ditentukan total fenolnya melalui persamaan regresi

dari kurva kalibrasi asam galat.

2. Penentuan Flavonoid (Kuersetin) (Chang et al., 2002).

Penentuan kadar flavonoid (total fenol) dilakukan dengan memodifikasi

mengikuti prosedur Chang et al. (2002). Sebanyak larutan sampel (5.000

µg/mL) dicampur dengan 1,5 ml etanol 96%, 0,1 ml aluminium klorida (AlCl3)

10%, 0,1 mL natrium asetat 1 M, dan 2,8 mL air destilasi. Setelah diinkubasi

dalam temperatur ruang selama 30 menit, diukur absorbansi dari campuran

reaksi pada panjang gelombang 431 nm dengan spektrofotometer UV-vis.

Sejumlah aluminium klorida 10% digantikan dengan sejumlah akuades sebagai

blanko. Untuk membuat kurva kalibrasi digunakan standar kuersetin dengan

variasi konsentrasi 2 µg/ml, 4 µg/ml, 6 µg/ml, 8 µg/ml, dan 10 µg/ml. Untuk

standar dilakukan prosedur yang sama seperti dengan sampel.

3. Penentuan Kadar Likopen (Sharma dan Le Meguer, 1996)

Jus tomat ditimbang 5 gram, masukkan ke dalam Erlenmeyer bertutup

yang dilapisi dengan kertas aluminium foil pada bagian luar & terlindungi dari

cahaya tambahkan 50 ml larutan (heksana : aseton : etanol = 2:1:1) v /v,

dikocok selama 30 menit dengan magnetik stirer, pindahkan ke corong pisah

kemudian tambahkan 10 ml air suling kemudian dikocok lagi selama 15 menit.

Page 111: DISERTASI - Unhas

95

Pisahkan lapisan polar dan lapisan non polar, ambil semua lapisan atas (non

polar) masukkan dalam labu ukur 100 ml tambahkan pelarut organik sampai

tanda batas. Kadar likopen total ditentukan dari lapisan non polar (bagian atas)

dengan spektrofotometer UV – Vis pada panjang gelombang maksimum 471

nm, dengan menggunakan rumus berikut:

Keterangan:

C = konsentrasi (g/100 ml),

A = Absorban,

B = tebal kuvet (cm), dan

E = 𝐸1𝑐𝑚 1% = 3450

4. Uji Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH (Molineaux, 2004).

Sebanyak 10 ml jus tomat dilarutkan dalam labu ukur 100 ml dengan

metanol lalu volumenya dicukupkan dengan metanol sampai garis tanda

(larutan induk 1000 ppm). Larutan induk dipipet sebanyak 1 ml; 2 ml; 3 ml; dan

4 ml dan 5 ml ke dalam labu ukur 100 ml untuk mendapatkan konsentrasi

larutan uji 100 ppm, 200 ppm, 300 ppm, 400 ppm dan 500 ppm.

Kedalam masing-masing labu ukur ditambahkan 5 ml larutan DPPH 0,5

mM lalu volumenya dicukupkan dengan metanol sampai garis tanda. Larutan

blanko dibuat dengan cara larutan DPPH 0,5 mM dipipet sebanyak 5 ml

kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml lalu volumenya dicukupkan

dengan metanol sampai garis tanda.

𝐶 =𝐴

𝐸1𝑐𝑚1% 𝑥 𝑏…….(16)

Page 112: DISERTASI - Unhas

96

Absorbansi DPPH diukur dengan spektrometer sinar tampak pada

panjang gelombang 517 nm, pada selang waktu 5 menit mulai 0 menit sampai

30 menit. Kemampuan antioksidan diukur sebagai penurunan serapan larutan

DPPH akibat adanya penambahan sampel. Nilai serapan larutan DPPH

sebelum dan sesudah penambahan ekstrak tersebut dihitung sebagai persen

inhibisi (% inhibisi) dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

A kontrol = Absorbansi tidak mengandung sampel

A sampel = Absorbansi sampel

Selanjutnya hasil perhitungan dimasukkan ke dalam persamaan regresi

dengan konsentrasi ekstrak (ppm) sebagai absis (sumbu X) dan nilai % inhibisi

(antioksidan) sebagai ordinatnya (sumbu Y). Nilai IC50dari perhitungan pada

saat % inhibisi sebesar 50%. Y = aX + b (Cahyana, 2002).

F. Pengolahan Data

Data hasil pengamatan diolah dengan analisis sidik ragam (Analsis of

Variance). Bila memperlihatkan pengaruh nyata (α=0.05), maka dilanjutkan

dengan uji beda nyata dengan menggunakan uji beda jarak berganda Duncan

(Aqil dan Efendi, 2015).

% Inhibisi = (𝐴𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙−𝐴𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙)

𝐴𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 x 100% ……..(19)

Page 113: DISERTASI - Unhas

97

G. Skema Proses Pemanasan Jus Tomat

Gambar 16. Skema Proses Pemanasan Jus Tomat Ohmik

Buah Tomat (Merah)

Sortasi

Pencucian

Pemotongan (menjadi bagian yang lebih kecil)

Penghancuran

Penyaringan

Pemanasan Ohmik: Suhu Pemanasan: (70, 90 dan 110) ºC

Lama Pemanasan: (15, 30 dan 45) Menit

Jus Tomat

Analisis: Total Asam, pH, Total Padatan

Terlarut, Vitamin C, Polifenol (Total Fenol), Flavonoid (Kuersetin), Likopen,

dan Antioksidan

Page 114: DISERTASI - Unhas

98

BAB IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pemanasan Jus Tomat Ohmik

Dalam penelitian ini jus tomat dipanaskan dengan Teknologi ohmik

menggunakan suhu 70oC, 90oC, 110oC dan lama pemanasan 15, 30, dan 45

menit. Pada Gambar 17, terlihat warna jus tomat yang semakin gelap dengan

semakin tingginya suhu dan lama pemanasan. Jus tomat berwarna merah

menuju merah tua kecoklatan.

Gambar 17. Jus Tomat Ohmik

Keterangan: A = pemanasan 70oC, 15 menit F = pemanasan 90oC, 45 menit

B = pemanasan 70oC, 30 menit G = pemanasan 110oC, 15 menit

C = pemanasan 70oC, 45 menit H = pemanasan 110oC, 30 menit

D = pemanasan 90oC, 15 menit I = pemanasan 110oC, 45 menit

E = pemanasan 90oC, 30 menit O = sebelum pemanasan (30ºC)

Likopen penyumbang warna merah pada tomat. Semakin tinggi suhu

pemanasan dan semakin lama waktu pemanasan, jumlah likopen semakin

meningkat dan intensitas warna merah jus tomat semakin berkurang dan

warnanya berubah dari merah terang menjadi merah kecoklatan. Hal ini

berkaitan antara lain karena perlakuan panas dan lama pemanasan

Page 115: DISERTASI - Unhas

99

menyebabkan terjadinya perubahan struktur likopen dan reaksi browning yang

mengakibatkan warna gelap pada jus tomat.

Shi dan Le Maguer (2000) dalam penelitiannya melaporkan bahwa

panas memicu terjadinya isomerasi likopen dari bentuk trans menjadi bentuk

cis. Isomerisasi menyebabkan intensitas warna likopen berkurang (Selmi et al.,

2013). Reaksi Maillard (browning non enzimatis) dapat berlangsung selama

pemanasan jus tomat ohmik. Reaksi ini disebabkan karena adanya gugus

karbonil dari gula reduksi dengan gugus amino dari asam amino atau protein

membentuk pigmen coklat. Gula reduksi antara lain adalah monosakarida

(glukosa atau fruktosa) dan disakarida (maltosa atau laktosa). Buah tomat

mengandung asam amino dan karbohidrat yang terdiri dari gula-gula

sederhana dan juga yang tergolong gula pereduksi, sehingga memungkinkan

terjadinya reaksi Maillard selama pemanasan. Reaksi Maillard berlangsung

semakin cepat dengan kenaikan pH dan suhu (Tranggono dan Sutardi, 1990;

Richardson, 2004).

Mekanisme terjadinya reaksi Maillard melalui beberapa tahapan reaksi

sehingga terbentuk pigmen berwarna coklat. Reaksi awal adalah terjadinya

kondensasi pada gugus aldehid dari gula dengan gugus amino yang

menghasilkan glikosamin. Kemudian glikosamin mengalami isomerisasi

membentuk senyawa amadori. Senyawa amadori akan kehilangan gugus

amina (deaminasi) membentuk beberapa fragmen dikarbonil. Salah satu

senyawa fragmen dikarbonil yang paling utama dalam reaksi Maillard adalah 5-

hidroksimetil 2-furfuraldehid (HMF). Selanjutnya HMF ini mengalami

polimerisasi menjadi senyawa berwarna coklat yang disebut melanoidin dan

Page 116: DISERTASI - Unhas

100

senyawa perusak rasa seperti pirazin (Tranggono dan Sutardi, 1990;

Richardson, 2004).

Penyumbang warna gelap (kecoklatan) lainnya pada jus tomat adalah

terjadinya degradasi asam askorbat selama pemanasan berlangsung.

Degradasi asam askorbat bergantung dari beberapa faktor antara lain pH,

suhu, dan oksigen. Dengan adanya oksigen dan panas, asam askorbat akan

teroksidasi dengan kecepatan yang sebanding dengan kenaikan suhu. Proses

oksidasi asam askorbat umumnya terjadi pada pH berkisar 2–5, dan pH

yang paling optimum adalah berkisar 4–5 (Clegg, 1966). Pada pH lebih tinggi

pencoklatan yang disebabkan oleh oksidasi asam askorbat akan berkurang

(Tranggono dan Sutardi, 1990), tetapi pencoklatan dari reaksi Maillard tetap

berlangsung.

Degradasi vitamin C dapat berlangsung secara aerob dan anaerob.

Secara anaerob asam askorbat mengalami ketonisasi menjadi ketotautomer

(keto-ascorbic acid) yang kemudian mengalami delaktonisasi menjadi asam

diketogulonat (diketogulonic acid). Dengan cara aerob, oksidasi dapat

berlangsung dengan atau tanpa katalis. Kedua cara tersebut menghasilkan

asam dehidro askorbat, yang selanjutnya akan mengalami degradasi lagi

menjadi asam 2,3-diketogulonat (Eskin, 1990). Senyawa asam 2,3-

diketogulonat ini kemudian terdekomposisi membentuk furfural dan

melepaskan CO2. Senyawa furfural inilah yang membentuk pigmen berwarna

coklat (Tranggono dan Sutardi, 1990).

Pada penelitian ini jus tomat merupakan cairan yang bersifat asam.

Menurut Kuellmer (2001) larutan asam askorbat yang mengalami proses

Page 117: DISERTASI - Unhas

101

browning dapat dilihat dari warna larutannya yang semula berwarna kekuning-

kuningan kemudian berangsur–angsur berubah warna menjadi kecoklatan.

Pada larutan yang mengandung asam askorbat, asam sitrat ternyata juga

memiliki peranan yang penting dalam pembentukan proses browning. Peristiwa

ini tidak dipengaruhi oleh pH dan ketidakhadiran asam sitrat tersebut tidak

dapat digantikan oleh asam organik yang lain. Melihat bahwa asam organik

yang paling dominan pada tomat adalah asam sitrat, maka dapat dikatakan

bahwa faktor asam sitrat juga dapat menjadi penyumbang warna gelap pada

jus tomat ohmik. Demikian pula Richardson (2004), menyatakan bahwa reaksi

browning berlangsung lebih cepat seiring dengan bertambahnya suhu.

Suhu pemanasan yang semakin tinggi serta waktu pemanasan ohmik yang

semakin lama, menyebabkan warna jus semakin coklat.

Suhu yang diterapkan pada pemanasan dengan teknologi ohmik adalah

70oC, 90oC, 110oC dan lama (waktu) pemanasan 15, 30, dan 45 menit.

Pemanasan bergerak dari suhu awal (suhu ruang) 30oC menuju suhu referensi

dan durasi masing-masing pemanasan. Lama pemanasan (detik) dari suhu

awal (suhu ruang) untuk mencapai suhu referensi (pemanasan) tercapai dalam

waktu berbeda-beda seperti tertera pada Tabel 7.

Tabel 7. Pemanasan Ohmik Jus Tomat (Suhu Awal -Suhu Pemanasan) Kode

Perlakuan Suhu

Pemanasan (°C)

Lama Pemanasan

(menit)

Suhu Ruang ke Suhu Pemanasan

(Suhu Referensi)

Waktu (detik)

A 70 15 (30°C - 70°C) 63

B 70 30 (30°C - 70°C) 75

C 70 45 (30°C - 70°C) 98

D 90 15 (30°C - 90°C) 88

E 90 30 (30°C - 90°C) 95

F 90 45 (30°C - 90°C) 104

G 110 15 (30°C - 110°C) 95

H 110 30 (30°C - 110°C) 107

I 110 45 (30°C - 110°C) 114

Page 118: DISERTASI - Unhas

102

Pada penelitian ini digunakan jus tomat untuk melihat hubungan antara

suhu dan lama pemanasan. Untuk menggambarkan karakteristik laju

pemanasan jus tomat dengan teknologi ohmik dapat dijelaskan dalam grafik

hubungan antara suhu dan waktu (lama) pemanasan.

Gambar 18. Laju Pemanasan Jus Tomat (dari Suhu Awal 30ºC Mencapai Suhu

Referensi 70, 90, dan 110ºC) dan Dipertahankan Stabil pada Masing-Masing Suhu Selama 15 Menit.

Gambar 18 memperlihatkan laju pemanasan ohmik jus tomat mencapai

lama waktu 15 menit. Suhu awal (sebelum pemanasan/tanpa ohmik) adalah

suhu ruang yakni 30oC, kemudian dipanaskan untuk mencapai suhu referensi

70oC, 90oC, dan 110oC dan hasilnya adalah waktu pemanasan yang ditempuh

rata-rata 63 detik, 88 detik dan 95 detik pada masing-masing suhu. Pada awal

pemanasan untuk mencapai suhu pemanasan 70oC dari suhu ruang 30oC, laju

pemanasan berjalan normal. Setelah pemanasan berjalan 60 detik terlihat

kurva mulai melandai, hal ini menandakan bahwa mulai terjadi proses

pendidihan jus tomat, dan pada permukaan elektroda terjadi reaksi kimia yaitu

munculnya gelembung-gelembung gas yang mengakibatkan laju pemanasan

melambat karena intensitas arus listrik cenderung menurun.

0

20

40

60

80

100

120

0 20 40 60 80 100

Suh

u (o

C)

Lama Pemanasan (detik)

Suhu 90

Suhu 70

Suhu 110

Page 119: DISERTASI - Unhas

103

Gambar 19. Laju Pemanasan Jus Tomat (dari Suhu Awal 30ºC Mencapai Suhu

Referensi 70, 90, dan 110ºC) dan Dipertahankan Stabil pada Masing-Masing Suhu Selama 30 Menit.

Demikian halnya pada gambar 19 memperlihatkan laju pemanasan

ohmik jus tomat pada suhu 70oC, 90oC dan 110oC dengan waktu pemanasan

30 menit. Secara berurutan, waktu pemanasan yang diperlukan rata-rata 75

detik, 95 detik dan 107 detik untuk mencapai suhu target 70oC, 90oC, dan

110oC beranjak dari suhu awal 30oC.

Gambar 20. Laju Pemanasan Jus Tomat (dari Suhu Awal 30ºC Mencapai Suhu

Referensi 70, 90, dan 110ºC) dan Dipertahankan Stabil pada Masing-Masing Suhu Selama 45 Menit.

Selanjutnya pada gambar 20 adalah laju pemanasan ohmik jus tomat

pada suhu 70oC, 90oC dan 110oC dengan waktu pemanasan 45 menit,

0

20

40

60

80

100

120

0 20 40 60 80 100 120

Suh

u(o

C)

Lama Pemanasan (detik)

Suhu 70

Suhu 90

Suhu 110

0

20

40

60

80

100

120

0 50 100 150

Suh

u (o

C)

Lama Pemanasan (detik)

Suhu 70

Suhu 90

Suhu 110

Page 120: DISERTASI - Unhas

104

diperlukan waktu pemanasan rata-rata 98 detik, 104 detik dan 114 detik, untuk

mencapai suhu target 70oC, 90oC, dan 110oC dari suhu awal 30oC.

Berdasarkan grafik 18, 19, dan 20, suhu pemanasan berada pada

kelompok suhu 70oC, 90oC, dan 110oC dengan lama pemanasan15, 30, dan 45

menit, yang berarti bahwa pemanasan jus tomat mencapai suhu 110oC dan

bertahan selama 45 menit. Sehingga dengan kondisi pemanasan tersebut

dapat dikatakan bahwa pemanasan ohmik yang diterapkan pada jus tomat

mencapai suhu pemanasan pada proses pasteurisasi HTST (High Temperatur

Short Time). Suhu minimal pasteurisasi HTST sebesar 72°C dan ditahan

maksimal selama 15 detik (Budiyono, 2009). Sterilisasi pada kombinasi suhu

tinggi dan waktu singkat akan mampu memberikan tingkat inaktivasi mikroba

sesuai dengan target yang diinginkan, tetapi sekaligus melindungi zat gizi,

sehingga hanya menyebabkan kerusakan mutu dan gizi yang minimum. Prinsip

inilah yang kemudian mendasari dan melahirkan teknik-teknik UHT (Ultra High

Temperature) atau HTST (High Temperature Short Time) (Hariyadi, 2010).

Jika diamati semakin tinggi perlakuan suhu yang diberikan (Gambar 18,

19, dan 20) maka konduktivitas listrik yang dihasilkan juga semakin tinggi,

sehingga semakin cepat proses pemanasan untuk mencapai suhu referensi.

Kerapatan arus menyebabkan meningkatnya suhu akibat pembangkitan panas

secara internal oleh tahanan listrik pada bahan (jus tomat).

Hal ini menjelaskan jika jaringan seluler dipanaskan secara ohmik, maka

kenaikan suhu akan linier dengan kenaikan gradien tegangan yang diberikan

sehingga akan semakin efektif dalam memanaskan bahan (Muchtadi dan

Ayutaningwarno, 2010). Proses pemanasan semakin efektif saat suhu

Page 121: DISERTASI - Unhas

105

pasteurisasi semakin tinggi, hal ini terjadi karena proses elektro-osmosis ketika

pemanasan berlangsung yang juga bergantung dengan besar dan kecilnya

beda potensial yang diberikan pada bahan (Muchtadi dan Ayitaningwarno,

2010). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan (Sastry dan Salengke,

1998) konduktivitas listrik bahan pangan meningkat secara linier dengan

peningkatan suhu sehingga proses pemanasan menjadi semakin efektif oleh

meningkatnya suhu selama proses pemanasan ohmik berlangsung.

Beberapa penelitian dengan menggunakan pemanasan ohmik pada jus

buah telah dilakukan seperti yang dilaporkan oleh Icier dan Ilicali (2005b)

bahwa konduktivitas listrik meningkat secara linear dengan meningkatnya suhu

untuk jus buah jeruk saat gradien tegangan 20 sampai 60 V/cm. Palaniappan

dan Sastry (1991) melaporkan bahwa konduktivitas listrik dari jeruk, wortel dan

tomat jus meningkat dengan suhu dan menurun dengan kandungan padatan.

Icier et al. (2008) juga menemukan bahwa konduktivitas listrik meningkat

karena suhu meningkat mulai dari 0,4 sampai 0.75 S/m untuk jus anggur segar.

Amiali et al. (2006) mempelajari bahwa konduktivitas listrik (0.13 sampai 0.63

S/m) meningkat secara linear dengan meningkatnya suhu untuk jus buah (yaitu

apel, oranye, dan jus nanas). Pemanasan ohmik jus buah dipelajari pada

gradien tegangan yang berbeda (7,5 sampai 26.25V/ cm). Hasil penelitian

Kong et al. (2008) menunjukkan bahwa gradien tegangan secara signifikan

mempengaruhi tingkat pemanasan ohmik. Konduktivitas listrik juga berubah

secara signifikan dengan berubahnya suhu. Penelitian tersebut untuk

memperoleh data konduktivitas listrik jus lemon selama pemanasan ohmik

pada kisaran suhu sterilisasi.

Page 122: DISERTASI - Unhas

106

B. Karakteristik Kimia

1. Total Asam

Jenis asam banyak ditemukan pada beberapa jenis tanaman, terutama

buah-buahan. Asam-asam ini terdapat dalam jumlah kecil dan merupakan hasil

antara (intermediete) dalam metabolisme, yaitu dalam siklus kreb (siklus asam

trikarboksilat), siklus asam glioksilat, dan siklus asam shikimat. Penentuan total

asam pada jus tomat dilakukan untuk mengetahui kandungan asam pada jus

tersebut setelah proses pemanasan.

Pada penelitian ini kandungan total asam jus tomat yang

dipanaskan secara ohmik memperlihatkantren penurunan dengan semakin

tinggi suhu pemanasan. Demikian juga semakin lama pemanasan semakin

rendah kandungan total asam jus tomat. Berdasarkan analisis sidik ragam

(Lampiran 2) memperlihatkan bahwa suhu dan lama pemanasan serta interaksi

suhu dan lama pemanasan berpengaruh nyata terhadap total asam jus tomat.

Uji lanjut Duncan, memperlihatkan perlakuan suhu pemanasan 70°C, berbeda

nyata dengan perlakuan suhu pemanasan 90°C dan 110°C, tetapi perlakuan

suhu pemanasan 90°C tidak berbeda nyata dengan perlakuan suhu

pemanasan110°C. Perlakuan lama pemanasan 15 menit berbeda nyata

dengan perlakuan lama pemanasan 30 menit dan perlakuan 45 menit.

Page 123: DISERTASI - Unhas

107

Gambar 21. Hubungan Suhu Pemanasan (ºC) dan Lama Pemanasan (Menit) terhadap Total Asam (%) Jus Tomat

Penurunan kandungan total asam jus tomat pada proses pemanasan

ohmik disajikan pada Gambar 21. Nilai total asam mula-mula (tanpa perlakuan

ohmik) adalah 0,1691% dan setelah dipanaskan nilai berkisar 0,1627-

0,1164%. Pada pemanasan suhu 110°C selama 45 menit

mengalami penurunan total asam terendah yaitu 0,1164%. Kecenderungan

menurunnya total asam ditentukan oleh beberapa faktor, seperti konsentrasi

dari asam askorbat, asam sitrat serta malat dan lain-lain dari jus tomat.

Semakin berkurang asam-asam yang terkandung dalam jus tomat maka nilai

total asamnya semakin rendah.

Asam organik adalah asam lemah dan mengalami ionisasi sebagian

dalam larutan yang encer (Gaman dan Sherrington, 1992). Semakin lama

pemanasan, maka asam-asam organik seperti asam askorbat mengalami

kerusakan, asam askorbat mengalami proses oksidasi yang juga menurunkan

keasaman produk. Reaksi yang melibatkan asam organik tersebut berlangsung

lebih cepat dengan meningkatnya suhu pemanasan. Menurut Winarno (2002),

00.020.040.060.08

0.10.120.140.160.18

TanpaOhmik

15 30 45

Tota

l Asa

m (

%)

Lama Pemanasan (Menit)

70°C

90°C

110°C

Page 124: DISERTASI - Unhas

108

kerusakan asam dapat dipercepat oleh adanya kontak panas yang lama, sinar,

alkali, enzim, oksidator, serta katalis tembaga dan besi.

Total asam jus tomat ohmik berkurang dengan bertambahnya waktu dan

suhu pemanasan oleh karena asam sitrat berpartisipasi dalam reaksi kimia

pembentukan pigmen coklat (Clegg, 1966). Pengurangan total asam akibat

terjadinya oksidasi asam askorbat juga merupakan bagian dari pengurangan

total asam. Semakin tinggi suhu pemanasan, maka reaksi yang melibatkan

asam organik tersebut berlangsung lebih cepat. Hal ini menyebabkan total

asam pada proses pemanasan menurun lebih cepat seiring dengan

bertambahnya suhu pemanasan.

Total asam adalah jumlah total asam organik yang dapat dititrasi dengan

larutan NaOH. Total asam dinyatakan sebagai asam sitrat, karena asam sitrat

merupakan kandungan asam organik terbesar dalam tomat (Clegg, 1966).

Selain asam sitrat, asam malat adalah asam organik yang paling berkontribusi

terhadap cita rasa buah tomat. Asam-asam lain yang telah terdeteksi adalah

asam asetat, format, trans-asonitat, laktat dan asam galakturonat.

Penurunan total asam diperlihatkan pula oleh Peneltian Rahayu dan

Yunianta (2015), dimana pada pemanasan saribuah kedondong pada suhu

90°C, prosentase total asam saribuah (jus) kedondong cenderung menurun

dengan semakin lamanya pemanasan.

2. Derajat Keasaman (pH)

Nilai pH menunjukkan konsentrasi ion hidrogen yang menggambarkan

tingkat keasaman. Nilai pH merupakan parameter yang sangat penting untuk

diketahui didalam pengolahan maupun pengawetan bahan makanan.

Page 125: DISERTASI - Unhas

109

Pengukuran pH atau derajat keasaman dilakukan untuk mengetahui tingkat

keasaman suatu produk.

Gambar 22. Hubungan Suhu Pemanasan (ºC) dan Lama Pemanasan (Menit) terhadap pH Jus Tomat

Nilai pH jus tomat dapat dilihat pada Gambar 22. Pada proses

pemanasan ohmik, semakin tinggi suhu pemanasan maka nilai pH semakin

meningkat. Demikian pula semakin lama waktu pemanasan nilai pH jus tomat

juga semakin tinggi. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 3)

menunjukkan suhu dan lama pemanasan serta interaksi suhu dan lama

pemanasan berpengaruh nyata terhadap pH jus tomat. Uji lanjut Duncan,

memperlihatkan suhu pemanasan berbeda nyata antara perlakuan suhu 70°C,

90°C, dan 110°C. Sedangkan perlakuan lama pemanasan 15 menit berbeda

nyata dengan perlakuan 30 menit dan 45 menit, tetapi perlakuan pemanasan

30 menit dan 45 menit tidak berbeda nyata pada pH jus tomat.

Pada kondisi pemanasan ini, mula-mula pH jus tomat tanpa diberi

perlakuan ohmik nilainya adalah 4,32. Nilai pH terendah 4,05 dicapai pada

pemanasan 70°C selama 15 menit dan mencapai pH tertinggi 4,64 pada

pemanasan 110°C selama 45 menit. Hasil penelitian Vikram et al. (2004)

3.73.83.9

44.14.24.34.44.54.64.7

Tanpa Ohmik 15 30 45

PH

Lama Pemanasan (Menit)

70°C

90°C

110°C

Page 126: DISERTASI - Unhas

110

menyatakan bahwa semakin tinggi suhu pemanasan, maka degradasi vitamin

C dalam jus tomat berlangsung semakin cepat. Semakin banyak vitamin C

yang terdegradasi semakin meningkat pH jus tomat.

Kecenderungan peningkatan pH pada produk jus tomat ohmik dengan

semakin lamanya pemanasan disebabkan oleh pengaruh panas yang diberikan

mengakibatkan degradasi beberapa zat gizi terutama zat-zat yang labil

terhadap panas seperti asam-asam organik, salah satunya asam sitrat, asam

askorbat serta asam-asam lain sehingga total asam berkurang dalam produk.

Kerusakan asam dapat dipercepat oleh adanya kontak panas yang lama, sinar,

alkali, enzim, oksidator, serta katalis tembaga dan besi (Winarno, 2002).

Umumnya pemanasan ohmik tidak menyebabkan banyak perbedaan

terhadap keasaman dan nilai padatan terlarut dari makanan cair (Icier dan

Ilicali, 2004, 2005ab; Icier et al., 2008; Bozkurt dan Icier, 2010; Yildiz et al.,

2009, 2010 ).

Selain suhu, aktivitas air, oksigen, nutrisi, dan senyawa antimikroba,

maka pH mempengaruhi pertumbuhan mikroba pada bahan pangan.

Kebanyakan mikroba tumbuh baik pada pH sekitar netral dan pH 4,6- 7,0 yang

merupakan kondisi optimum untuk pertumbuhan bakteri, sedangkan kapang

dan khamir tumbuh pada pH yang lebih rendah. Pangan dikelompokkan

berdasarkan nilai pHnya yaitu: kelompok pangan berasam rendah, adalah

pangan yang mempunyai nilai pH 4,6 atau lebih seperti daging, ikan, telur, dan

kebanyakan sayuran. Pangan jenis ini harus mendapat perlakuan pengawetan

secara hati-hati karena mudah mengalami kerusakan oleh bakteri, termasuk

bakteri patogen yang berbahaya. Pangan asam, yang mempunyai pH 3,7-4,5

Page 127: DISERTASI - Unhas

111

misalnya beberapa sayuran dan buah-buahan, dan pangan berasam tinggi,

yang mempunyai pH dibawah 3,7 misalnya sayur asin, acar, dan lain-lain

(Fardiaz, 1992).

Setiap organisme mempunyai kisaran nilai pH dimana pertumbuhan

masih memungkinkan dan biasanya masing-masing mempunyai pH optimum.

Kebanyakan organisme tumbuh pada pH sekitar 7.0 (6.6-7.5), dan hanya

beberapa yang dapat tumbuh di bawah pH 4.0. Bakteri mempunyai kisaran

pH pertumbuhan lebih sempit dibandingkan dengan kapang dan khamir.

Sebagai contoh, kebanyakan bakteri tidak dapat kapang mempunyai kisaran

pH pertumbuhan 1.5-11.0, khamir mempunyai kisaran pH pertumbuhan 1.5-

8.5. Oleh karena itu, makanan yang mempunyai pH lebih rendah akan semakin

awet karena semakin sedikit jenis mikroorganisme yang dapat tumbuh.

Nilai pH atau keasaman makanan dipengaruhi oleh asam yang

terdapat pada makanan tersebut. Asam didalam makanan dapat terbentuk

secara alamiah, seperti asam buah-buahan, atau terbentuk selama fermentasi,

misalnya yoghurt, pikel, sayur asin, dan sebagainya. Nilai pH minimum untuk

pertumbuhan mikroorganisme kadangkala dipengaruhi oleh jenis asam yang

terdapat dalam makanan tersebut. Sebagai contoh, beberapa Laktobasili

dapat tumbuh pada pH yang lebih rendah jika asam yang terdapat pada

makanan tersebut berupa asam asetat atau asam laktat. Dalam penelitian ini

pH jus tomat yang dipanaskan secara ohmik mempunyai kisaran pH 4,05

sampai 4,64, yang berarti bahwa pH jus tomat berada pada kisaran kelompok

pangan yang tergolong asam (3,7<pH<4,5) sampai berasam rendah (pH≥4,5).

Page 128: DISERTASI - Unhas

112

Dalam kaitannya dengan proses pasteurisasi dalam pengolahan bahan

pangan, maka pemusnahan mikroba patogen bersifat kritis, sehingga proses

termal yang diberikan harus diberikan dengan benar. Pada pasteurisasi susu

pada suhu 63°C selama 30 menit atau 72°C selama 15 detik (HTST=High

Temperature Short Time) proses termal ini ekivalen dengan pemanasan pada

suhu 89°C selama 1 detik, 90°C selama 0,5 detik dan 94°C selama 0,1 detik.

Kombinasi perlakuan suhu dan waktu tersebut sudah cukup untuk

memusnahkan bakteri patogen tidak berspora yang paling tahan panas yaitu

Mycobacterium tuberculosis dan Coxiella burnetti, dan semua khamir, kapang,

bakteri gram negatif dan beberapa bakteri gram positif. Karena pasteurisasi

hanya ditujukan untuk memusnahkan mikroba patogen atau pembusuk, maka

produk yang sudah dipasteurisasi umumnya masih mengandung mikroba

lainnya seperti bakteri tidak berspora dari genera Streptococcus dan

Lactobacillus, sehingga produk pangan demikian pula penyimpanannya harus

berada pada suhu rendah (Fardiaz, 1996).

Jika suhu pemanasan jus tomat pada penelitian ini dikaitkan dengan

pertumbuhan mikroba pada kisaran pH menurut kelompok keasamannya maka

pemanasan jus tomat dengan metode ohmik telah dapat menghambat

pertumbuhan mikroba patogen dan pembusuk yang menjadi tujuan pada

proses pasteurisasi. Pada kisaran pH jus ohmik tersebut, dengan perlakuan

suhu yang lebih tinggi dari suhu pasteurisasi yakni pemanasan ohmik

mencapai suhu 110°C sampai 45 menit, maka diharapkan dapat

memusnahkan mikroba yang lebih tahan panas yang masih dapat tumbuh

diatas suhu pasteurisasi.

Page 129: DISERTASI - Unhas

113

Sterilisasi adalah proses termal untuk mematikan semua mikroba

beserta spora-sporanya. Spora bersifat tahan panas, maka umumnya

diperlukan pemanasan selama 15 menit pada suhu 121˚C atau ekivalennya,

artinya semua partikel bahan pangan tersebut harus mengalami perlakuan

panas. Mengingat bahwa perambatan panas melalui kemasan (misalnya

kaleng, gelas) dan bahan pangan memerlukan waktu, maka dalam prakteknya

pemanasan dalam autoklaf akan membutuhkan waktu lebih lama dari 15 menit.

Selama pemanasan dapat terjadi perubahan-perubahan kualitas yang tidak

diinginkan. Makanan tidak perlu dipanaskan hingga steril sempurna agar aman

dan memiliki daya tahan simpan yang cukup lama. Dengan pertimbangan

tersebut umumnya semua makanan kaleng dipastikan diberi perlakuan panas

hingga tercapai keadaan steril secara komersial.

Pemanasan dengan sterilisasi komersial umumnya dilakukan pada

bahan pangan yang sifatnya tidak asam atau bahan pangan berasam rendah.

Yang tergolong bahan pangan ini adalah bahan pangan hewani seperti daging,

susu, telur, dan ikan serta beberapa jenis sayuran seperti buncis dan jagung.

Bahan pangan berasam rendah mempunyai risiko untuk mengandung

bakteri Clostridium botulinum, yang dapat menghasilkan racun yang

mematikan jika tumbuh dalam makanan kaleng. Oleh karena itu spora bakteri

tersebut harus dimusnahkan dengan pemanasan yang cukup tinggi. Sterilisasi

komersial adalah pemanasan pada suhu 121,1˚C selama 15 menit dengan

menggunakan uap air bertekanan dan dilakukan dalam autoklaf. Tujuan

sterilisasi komersial terutama untuk memusnahkan spora bakteri patogen

termasuk sporabakteri C. botulinum.

Page 130: DISERTASI - Unhas

114

Bakteri C.botulinum merupakan mikroorganisme yang sering menjadi

target proses termal, terutama untuk produk pangan kelompok berasam

rendah. Bakteri ini sangat berbahaya, karena dapat memproduksi toksin

yang mematikan, yaitu botulinin (menyebabkan botulism) dan terdapat pada

tanah atau air sehingga bahan pangan dengan mudah terkontaminasi.

Botulinin merupakan toksin yang sangat kuat, satu gram dapat membunuh 300

ribu orang. Toksin botulinin termasuk neurotoksin, yaitu toksin yang menyerang

sistem syaraf dan dapat menyebabkan kelumpuhan.Tanda-tanda keracunan

botulin adalah tenggorokan menjadi kaku, penglihatan ganda, otot kejang,

serta dapat mengakibatkan kematian akibat penderita tidak

bisa bernapas. Beberapa strain C. botulinum bersifat proteolitik dan

menyebabkan putrefaktif, yaitu membentuk bau karena degradasi protein.

Spora C. botulinum akan bergerminasi dengan baik pada pH di atas 4.8,

sehingga dapat tumbuh baik pada produk pangan berasam rendah. Dalam

prakteknya, nilai pH 4.6 digunakan sebagai batas pH pembeda antara

makanan asam dan makanan asam rendah. Spora C. botulinum dapat

ditemukan pada makanan asam dan asam rendah, akan tetapi pada makanan

asam spora tersebut tidak dapat bergerminasi. Pemanasan sedang dapat

membunuh bakteri non-pembentuk spora atau sel vegetatif pada makanan

asam atau asam rendah. Pada makanan asam rendah, penggunaan panas

harus cukup untuk membunuh spora C. botulinum sehingga makanan ini harus

dipanaskan dengan menggunakan tekanan. Bakteri C. botulinum merupakan

kelompok bakteri mesofilik yang sangat penting dalam makanan kaleng. Hal ini

karena kondisi makanan kaleng yang vakum sangat cocok bagi pertumbuhan

Page 131: DISERTASI - Unhas

115

bakteri C. botulinum, dan sifatnya yang anaerobik (hidup baik pada kondisi

tidak ada oksigen). Perhatian utama diberikan untuk makanan kaleng

berasam rendah (pH>4.6) dan memiliki aktivitas air tinggi (aw> 0.9), sehingga

C. botulinum tumbuh baik pada kondisi pH dan Aw tersebut. C. botulinum

dapat tumbuh baik pada suhu 30-37°C (kondisi penyimpanan ruang

atau gudang), walaupun dapat tumbuh pada suhu 10 dan 38°C.

Berdasarkan peraturan FDA, makanan dengan Aw lebih besar dari 0,85 dan

pH lebih besar dari 4,6 dikelompokkan sebagai makanan berasam rendah,

dan apabila akan dikalengkan (kondisi vakum tercapai) dan disimpan pada

suhu ruang, maka produk pangan tersebut harus diproses dengan

sterilisasi. Dalam hal proses sterilisasi yang tidak dapat diterapkan pada

makanan berasam rendah, maka penghambatan C. botulinum dapat dilakukan

dengan memanipulasi kondisi pH dengan proses pengasaman, penurunan

aktivitas air atau penambahan garam. Germinasi spora C. botulinum

dapat dihambat dengan proses pengasaman sehingga pH produk pangan

berada di bawah 4.6. Dalam makanan asam hanya sel vegetatif yang perlu

dibunuh, oleh karena itu penggunaan suhu seperti untuk mendidihkan air,

atau pengemasan dalam keadaan panas (hot filling) dapat dilakukan.

Germinasi spora C. botulinum dapat dihambat dengan menurunkan

Aw di bawah 0.93. FDA mensyaratkan Aw<0.85 untuk mengeluarkan

produk pangan dari kelompok berasam rendah. Apabila makanan yang Awnya

diturunkan sampai pada Aw dimana spora tidak dapat bergerminasi, maka

pemanasan tersebut hanya ditujukan untuk membunuh sel vegetatif.

Penurunan Aw tersebut berguna bagi makanan yang sensitif terhadap

Page 132: DISERTASI - Unhas

116

pemanasan, misalnya keju oles, peanut butter, madu, sirup, jam, jelly dan

produk coklat. Keasaman sangat erat hubungannya dengan total asam.

Semakin tinggi total asam pada buah maka pH buah-buahan akan semakin

tinggi (makin asam), demikian juga sebaliknya.

3. Total Padatan Terlarut

Total Padatan Terlarut merepresentasikan kadar gula atau kadar

padatan yang terlarut dalam bahan tersebut (Winarno dan Aman 1979). Uji

total padatan terlarut dilakukan untuk mengetahui kadar gula pada jus.

Gambar 23. Hubungan Suhu Pemanasan (ºC) dan Lama Pemanasan (Menit) terhadap Total Padatan Terlarut (ºBrix) Jus Tomat

Pada penelitian ini semakin tinggi suhu pemanasan dan semakin lama

pemanasan menghasilkan total padatan terlarut yang semakin tinggi (Gambar

23). Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 4), terdapat pengaruh

nyata pada perlakuan suhu pemanasan dan lama pemanasan terhadap total

padatan terlarut jus tomat, tetapi interaksi suhu pemanasan dan lama

pemanasan tidak berpengaruh nyata. Total padatan terlarut awal adalah 3.2

3

3.1

3.2

3.3

3.4

3.5

3.6

3.7

TanpaOhmik

15 30 45

Tota

l Pad

atan

Ter

laru

t (º

Bri

x)

Lama Pemanasan (Menit)

70°C

90°C

110°C

Page 133: DISERTASI - Unhas

117

°Brix. Sedangkan total padatan terlarut jus tomat dengan perlakuan ohmik rata-

rata berkisar 3.2-3.6 °Brix.

Peningkatan total padatan terlarut dapat disebabkan oleh terjadinya

pemutusan rantai panjang senyawa-senyawa karbohidrat menjadi senyawa

gula yang larut (Pantastico, 1986). Hal ini sejalan dengan peningkatan suhu

dan waktu pemanasan, semakin tinggi suhu menyebabkan pemutusan rantai-

rantai panjang senyawa karbohidrat menjadi senyawa gula yang larut menjadi

semakin cepat, sehingga kandungan gula yang terdapat dalam larutan (jus)

semakin bertambah. Total padatan terlarut dapat juga meningkat akibat proses

pemanasan yang dapat menguapkan sedikit kandungan air pada jus tomat.

Penguapan meningkatkan komponen padatan akibat berkurangnya kandungan

air dalam jus tomat. Meskipun. demikian tidak terdapat perbedaan yang

signifikan di antara semua perlakuan.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Meikapasa dan Seventilova (2016)

terhadap saus tomat yang dipanaskan masing-masing pada suhu 70°C, 80°C,

90°C, dan 100°C memberi hasil total padatan terlarut paling tinggi adalah pada

proses pemanasan 100°C, dan total padatan terlarut terus meningkat seiring

dengan semakin lamanya waktu pemanasan.

Hasil penelitian Kulshrestha dan Sastry (2006), menyatakan bahwa

perlakuan ohmik menyebabkan kerusakan efektif sel oleh kombinasi efek listrik

dan termal, yang menghasilkan difusi nutrisi penting yang larut selama

pemanasan ohmik. Jika elektropermeabilisasi terjadi pada sayuran/buah pulp

atau pure, maka pori-pori yang terbentuk pada membran sel yang terpapar

medan listrik menyebabkan penurunan resistensi karena ion dapat melewati

Page 134: DISERTASI - Unhas

118

membran sel (Kulshrestha dan Sastry, 2006). Dengan demikian, dimungkinkan

terjadi sedikit peningkatan nilai pH dan kandungan padatan terlarut pada

makanan cair selama pemanasan ohmik. Pemanasan ohmik pada umumnya

tidak menyebabkan perbedaan keasaman dan kandungan padatan terlarut dari

makanan cair (Icier et al., 2008; Bozkurt and Icier, 2010; Yildiz et al., 2010).

C. Kandungan Senyawa Bioaktif

1. Kandungan Vitamin C

Kandungan Vitamin dalam produk makanan dan minuman termasuk

olahan tomat menjadi satu parameter penting. Vitamin yang terdapat di dalam

buah tomat dapat mengalami kerusakan dalam proses pengolahan menjadi

produk jadi seperti jus tomat.

Kandungan vitamin C pada penelitian ini cenderung menurun seiring

dengan meningkatnya suhu pemanasan yang digunakan. Demikian juga

semakin lama pemanasan semakin menurun kadar vitamin C jus tomat

(Gambar 24). Analisis sidik ragam (Lampiran 5) memperlihatkan terdapat

pengaruh nyata pada lama pemanasan dan suhu pemanasan serta interaksi

antara suhu pemanasan dan lama pemanasan terhadap vitamin C jus tomat.

Pada uji Duncan, suhu pemanasan berbeda nyata antara perlakuan

70°C, 90°C dan 110°C. Sedangkan lama pemanasan juga berbeda nyata

antara perlakuan 15 menit dan 30 menit, dan 45 menit. Pemanasan Ohmik

suhu 70°C selama 15 menit mempunyai vitamin C jus tomat tertinggi yakni

8.197% dan terendah pada pemanasan 110°C selama 45 menit dengan

Page 135: DISERTASI - Unhas

119

kandungan vitamin C sebesar 2.917%. Buah tomat kaya akan vitamin C.

Vitamin C tanpa perlakuan pemanasan ohmik adalah 8,588%.

Gambar 24. Hubungan Suhu Pemanasan (ºC) dan Pemanasan (Menit) terhadap Vitamin C (%) Jus Tomat

L-asam askorbat merupakan agen pereduksi yang kuat, L-asam

askorbat teroksidasi dengan mudah menjadi asam dehidro-L-askorbat melalui

intermediet radikal asam semidehidro-L-askorbat (disebut juga asam

monodehidro askorbat). Ketiga bentuk L-asam askorbat tersebut membentuk

sistem redoks yang reversibel (Combs, 2008). Sedangkan pada oksidasi L-

asam askorbat yang dikatalis logam, kompleks yang terjadi akan memisah dan

membentuk asam dehidro-L-askorbat, hidrogen peroksida dan ion logam.

Asam dehidro-L-askorbat mudah terhidrolisis menjadi asam 2,3 diketogulonat

yang irreversibel dan tidak memiliki aktivitas asam askorbat. pH makanan

sangat mempengaruhi stabilitas L-asam askorbat. Pencoklatan pada produk

makanan juga sangat mengurangi kadar L-asam askorbat (Eitenmiller dan

Landen, 1999). Senyawa asam 2,3 diketogulonat kemudian terdekomposisi

menjadi furfural yang membentuk pigmen warna coklat dan melepaskan CO2

(Tranggono dan Sutardi, 1990). Saat berada dalam bentuk L-asam askorbat,

0123456789

10

Tanpa Ohmik 15 30 45

Vit

amin

C (

%)

Lama Pemanasan (Menit)

70°C

90°C

110°C

Page 136: DISERTASI - Unhas

120

memiliki keaktifan 100%. Namun, saat menjadi bentuk asam dehidro-L-

askorbat, keaktifannya menurun menjadi 80% (Combs, 2008).

Perbedaan proses pengolahan atau memasak terlalu lama dapat

menyebabkan kehilangan vitamin C karena adanya oksidasi pada sumber

asam askorbat (Passmore dan Eastwood, 1986). Pemanasan Ohmik

berpengaruh terhadap degradasi vitamin C. Degradasi asam askorbat pada

pemanasan ohmik berkisar pada 3,08-10,63% pada bubur buah cerry Acerola

(Malpighia emarginata). Perlakuan voltase dan jumlah padatan secara

signifikan berpengaruh terhadap degradasi senyawa tersebut. Perbedaan

voltase mempunyai pengaruh positif, meningkatnya gradien voltase akan

meningkatkan degradasi asam askorbat. Total degradasi vitamin C berada

pada kisaran 2,0 sampai 5,1%. Degradasi vitamin C dipengaruhi oleh efek

linear dan kuadrat tegangan. Pemanasan ohmik, bila dilakukan dengan

gradien tegangan rendah, menunjukkan degradasi vitamin C (asam askorbat)

yang mirip dengan pemanasan konvensional. Namun pada gradien tegangan

tinggi dapat meningkatkan degradasi baik vitamin C (Mercali et al., 2012).

Dalam penelitian ini penentuan vitamin C dikerjakan dengan metode

titrasi 2,6-diklorofenol indofenol. Dasar penentuan vitamin C dengan metode

2,6 D (2,6 Dikloro fenol indofenol) berdasarkan sifat mereduksi asam askorbat

terhadap zat warna 2,6 Diklorofenol indofenol membentuk larutan yang tidak

berwarna. Bila semua asam askorbat telah mereduksi 2,6 D, maka kelebihan

2,6 D sedikit saja akan terlihat dengan terjadinya perubahan warna menjadi

merah muda yang menandakan titrasi dihentikan (Lehninger, 1982). Larutan

2,6-diklorofenol indofenol dalam suasana netral atau basa akan berwarna biru

Page 137: DISERTASI - Unhas

121

sedangkan dalam suasana asam akan berwarna merah muda (Sudarmadji

dkk., 1996).

Titrasi vitamin C dilakukan dengan sangat cepat karena banyak faktor

yang dapat menyebabkan terjadinya oksidasi vitamin C misalnya pada saat

penyiapan sampel yakni pada saat sampel jus tomat dikeluarkan dari wadah

oleh kemungkinan oksidasi. Proses oksidasi tersebut dapat dicegah dengan

menggunakan asam metafosfat, asam asetat, asam trikloroasetat dan asam

oksalat. Penggunaan asam-asam tersebut berguna untuk mengurangi oksidasi

vitamin C oleh enzim-enzim oksidasi yang terdapat pada jaringan tanaman.

Gambar 25. Reaksi Asam Askorbat dengan 2,6-Diklorofenol Indofenol

Selain itu, larutan asam metafosfat-asetat juga berguna untuk pangan

yang mengandung protein karena asam metafosfat dapat memisahkan vitamin

C yang terikat dengan protein. Suasana larutan yang asam akan memberikan

hasil yang lebih akurat dalam analisis dibandingkan dalam suasana netral atau

basa (Andarwulan, 1992; Sudarmadji, 1996).

Asam askorbat memiliki fungsi fisiologis bagi tubuh. Asam askorbat

berperan sebagai kofaktor dari enzim hidroksilase dan monooksigenase yang

Page 138: DISERTASI - Unhas

122

terlibat dalam sintesis kolagen, karnitin, dan neurotransmitter. Asam askorbat

mengakselerasi reaksi hidroksilasi dengan mempertahankan pusat aktif dari

ion logam yang berada dalam kurang untuk aktivitas optimal dari enzim

hidroksilase dan oksigenase (Naidu, 2003).

Sumber vitamin C adalah sayuran berwarna hijau dan buah-buahan.

Proses pemotongan, pencucian, dan penghancuran dapat menyebabkan

kandungan vitamin C pada bahan menjadi rusak. Proses pemanasan pada

100°C dapat menurunkan kandungan vitamin C karena komponen vitamin C

mengalami oksidasi oleh panas. Penurunan kadar vitamin C oleh proses

penghancuran membuat vitamin C pada bahan mudah teroksidasi dan akan

memicu aktivitas enzim seperti peroksidase, asam askorbat oksidase dan

fenolase (Poedjiadi, 1994).

2. Kandungan Polifenol (Total Fenol)

Komponen polifenol mempunyai peranan yang sangat penting dalam

memberikan manfaat antioksidan pada buah-buahan dan sayuran tertentu.

Secara umum, polifenol terbagi atas dua bagian besar, yaitu flavonoid dan

asam fenolat. Komponen fenolik merupakan senyawa penting yang cukup

potensial pada tomat, meskipun dalam jumlah yang lebih sedikit. Komponen ini

memberikan efek yang menguntungkan.

Dalam penelitian ini semakin lama pemanasan memperlihatkan

kecenderungan kandungan polifenol yang semakin meningkat (Gambar 27).

Analisis sidik ragam (Lampiran 6) jus tomat yang dipanaskan dengan teknologi

ohmik menunjukkan bahwa suhu dan lama pemanasan berpengaruh nyata

Page 139: DISERTASI - Unhas

123

terhadap polifenol jus tomat. Sedangkan interaksi antara suhu dan lama

pemanasan tidak berpengaruh nyata terhadap polifenol jus tomat.

Gambar 26. Hubungan Suhu Pemanasan (ºC) dan Lama Pemanasan (Menit)

terhadap Polifenol (%) Jus Tomat

Pada uji Duncan tidak berbeda nyata antara perlakuan suhu pemanasan

70°C dan 90°C, tetapi berbeda nyata antara perlakuan suhu pemanasan 70°C

dan 110°C serta perlakuan suhu pemanasan 90°C dan 110°C. Untuk

perlakuan lama pemanasan 15 menit dan 30 menit tidak berbeda nyata, tetapi

perlakuan 15 menit berbeda nyata dengan perlakuan lama pemanasan 45

menit, demikian juga perlakuan lama pmanasan 30 menit berbeda nyata

dengan 45 menit.

Suhu pemanasan 110°C selama 45 menit dalam penelitian ini

memberikan nilai polifenol jus tomat tertinggi yakni 2,936% (dalam setiap gram

jus tomat terdapat fenol yang setara dengan 2,936 mg asam galat). Kandungan

fenol terendah dihasilkan pada pemanasan 90°C selama 15 menit dengan

kandungan 0,860%. Sebagai kontrol jus tomat tanpa pemanasan ohmik

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

Kontrol 15 30 45

Po

life

no

l (%

)

Lama Pemanasan (Menit)

70 °

90 °

110 °

Page 140: DISERTASI - Unhas

124

memiliki nilai total fenol sebesar 1.039%. Tomat mengandung senyawa-

senyawa fenolat seperti: kuersetin, naringenin, rutin dan asam klorogenat.

Kandungan polifenol dihitung sebagai total fenol. Polifenol larut air

cenderung berkurang sementara polifenol terhidrolisis cenderung meningkat.

Hal ini dapat disebabkan oleh karena terbebasnya polifenol dari matriks sel

selama pemanasan. Konversi fenolat larut menjadi bentuk yang lebih larut juga

dapat terjadi. Pengolahan makanan, seperti perlakuan mekanis dengan

memotong jaringan bahan dan paparan suhu yang lebih tinggi, dapat

menyebabkan gangguan sel dan pemisahan beberapa senyawa fenolat dari

struktur sel seperti lignin dan polisakarida. Selain itu, setiap tanaman memiliki

berbagai jenis senyawa fenolat dengan variasi ikatan yang berbeda-beda

antara senyawa fitokimia dan struktur sel. Variasi ini dapat menyebabkan

pembelahan fenolat dapat lebih tinggi atau lebih rendah sesuai dengan jenis

tanaman dan perlakuan panas yang diberikan.

Proses pemanasan dengan suhu pasteurisasi yang semakin tinggi

menyebabkan terjadinya elektro-osmosis ketika pemanasan dengan ohmik

berlangsung, keadaan ini juga bergantung dengan besar dan kecilnya beda

potensial yang diberikan. Pada elektro-osmosis ion-ion akan terdorong

melewati membran dinding sel bahan, menyebabkan bahan menjadi lebih

konduktan, sehingga peningkatan suhu bahan membuat pemanasan makin

efektif (Muchtadi dan Ayitaningwarno, 2010).

Hasil penelitian Leizerson dan Shimoni (2005a) memperlihatkan bahwa

pemanasan ohmik mempengaruhi kandungan total fenol dari jus buah jeruk.

Senyawa fenolik memiliki nilai sebagai obat dan diminati oleh industri sejak

Page 141: DISERTASI - Unhas

125

senyawa tersebut memiliki aktivitas antioksidan dan anti-inflamasi. Meskipun

peningkatan beberapa senyawa fenolik dari beberapa jus buah berpengaruh

negatif terhadap rasa.

Penelitian Yildiz et al. (2009) yang memanaskan jus buah delima segar,

ternyata memiliki kandungan fenolik yang tinggi, pada jus dipanaskan dari 20°C

sampai 90°C, dan dipertahankan pada suhu 90°C untuk perlakuan waktu yang

berbeda (0, 3, 6, 9, 12 menit) dan selanjutnya dicocokkan antara sejarah

perlakuan termal ohmik (10-40 V/cm) dengan metode pemanasan

konvensional, ternyata bahwa nilai kandungan total fenol (TPC) berubah pada

periode awal pemanasan dan tidak berubah secara signifikan selama periode

lama pemanasan (suhu dipertahankan stabil). Hal yang menarik ditambahkan

oleh Leizerson dan Shimoni (2005a), bahwa total kandungan senyawa fenolat

(dibandingkan dengan jus segar) relatif lebih besar. Pada pemanasan, baik

secara ohmik maupun konvensional menyebabkan peningkatan jumlah total

fenol. Pemanasan ohmik tidak menyebabkan penurunan yang berbeda pada

kandungan total fenol (TPC) bila dibandingkan dengan pemanasan

konvensional (Leizerson dan Shimoni, 2005a).

Dalam penelitiannya, Dewanto et al. (2002), juga melaporkan bahwa

buah tomat yang dipanaskan pada suhu 88°C selama masing-masing 2, 15

dan 30 menit menghasilkan kadar total fenol yang sedikit lebih tinggi, namun

demikian tidak terdapat perbedaan yang signifikan di antara semua perlakuan.

Sehingga disimpulkan bahwa tidak ada kehilangan atau peningkatan

kandungan fenolat total dalam tomat dengan pemrosesan panas pada 88 °C

untuk lama pemanasan 2, 15, dan 30 menit. Tetapi Pengolahan jus tomat

Page 142: DISERTASI - Unhas

126

dengan instrument Pulse Electric Field (PEF) pada (35 kV/cm untuk 1500 µs

dengan 4 µs bipolar pulse pada 100 Hz) dan metoda perlakuan termal (90 ºC

selama 30 detik dan 90 ºC selama 60 detik) tidak mempengaruhi kandungan

fenolat jus tomat (Oms-Oliu et al., 2009).

Total fenol merupakan perkiraan kasar jumlah senyawa fenolik yang

terdapat dalam suatu bahan. Pengukuran total fenol yang dilakukan dalam

penelitian ini menggunakan metode yang mereaksikan ekstrak bahan dengan

senyawa folin. Senyawa folin dapat bereaksi dengan gugus kromofor pada

fenolik dan dapat diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang

725 nm.

Penentuan kandungan total fenol dilakukan dengan menggunakan

pereaksi Folin-Ciocalteu (Lee et al., 2003). Metode ini merupakan metode yang

paling umum digunakan untuk menentukan kandungan total fenol dalam

tanaman dengan pertimbangan bahwa metode ini pengerjaannya lebih

sederhana dan reagen Folin Ciocalteau digunakan karena senyawa fenolat

dapat bereaksi dengan Folin membentuk larutan yang dapat diukur

absorbansinya. Dalam penelitian ini senyawa fenolik diukur dengan

spektrofotometer pada panjang gelombang 724 nm. Panjang gelombang ini

hampir sama dengan penelitan Apriady (2010), yang meneliti kandungan total

fenol berbagai sayuran indigenus dengan Spektrofotometer UV-vis pada

panjang gelombang 725 nm.

Prinsip dari metode Folin berdasarkan pada kekuatan mereduksi dari

gugus hidroksi fenolik. Semua senyawa fenolik termasuk fenol sederhana

dapat bereaksi dengan reagen Folin Ciocalteu, walaupun bukan penangkap

Page 143: DISERTASI - Unhas

127

radikal (antiradikal) efektif (Huang et al., 2005). Larutan standar atau

pembanding yang digunakan adalah asam galat yang merupakan salah satu

fenolat alami dan stabil. Menurut Viranda (2009) asam galat termasuk dalam

senyawa fenol turunan asam hidroksibenzoat yang tergolong asam fenol

sederhana. Asam galat direaksikan dengan reagen Folin Ciocalteau

menghasilkan warna kuning sebagai pertanda bahwa terdapat kandungan

senyawa fenol, kemudian setelah itu ditambahkan dengan larutan Na2CO3

untuk pemberi suasana basa. Menurut Sudjadi dan Rohman (2004), adanya

inti aromatis pada senyawa fenol (gugus hidroksi fenolik) dapat mereduksi

fosfomolibdat fosfotungstat menjadi molibdenum-tungsten yang berwarna biru.

Gambar 27. Reaksi Pembentukan Kompleks Molibdenum-Tungsten Blue (Hardiana et al., 2012).

Instrumen spektrofotometer kemudian mendeteksi senyawa kompleks

molibdenum-tungsten yang terbentuk dari reaksi gugus hidroksil pada senyawa

fenolat dengan pereaksi Folin Ciocalteau dengan warna biru yang dihasilkan.

Kepekatan warna biru yang terbentuk, setara dengan konsentrasi ion fenolat,

artinya semakin besar konsentrasi senyawa fenolat maka semakin banyak ion

fenolat yang akan mereduksi asam heteropoli (fosfomolibdat-fosfotungstat)

Page 144: DISERTASI - Unhas

128

menjadi kompleks molibdenum-tungsten. Kandungan total fenol dalam

tumbuhan dinyatakan dalam GAE (gallic acid equivalent) yaitu jumlah

kesetaraan miligram asam galat dalam 1 gram sampel (Lee et al., 2003).

3. Kandungan Flavonoid (Kuersetin)

Kuersetin adalah senyawa kelompok Flavonoid terbesar, kuersetin dan

glikosidanya berada dalam jumlah sekitar 60-5% dari flavonoid. Flavonoid

merupakan kelompok antioksidan bernama polifenol yang terdiri dari:

antosianidin, biflavon, katekin, flavanon, flavon, dan flavonol. Kuersetin sendiri

termasuk dalam golongan flavonol.

Kandungan kuersetin jus tomat yang dipanaskan secara ohmik (Gambar

29) memperlihatkan kecenderungan peningkatan, baik oleh meningkatnya

suhu maupun dengan semakin lamanya pemanasan.

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 7) memperlihatkan

pengaruh nyata pada perlakuan suhu pemanasan dan lama pemanasan serta

interaksi suhu dan lama pemanasan terhadap kandungan kuersetin jus tomat.

Gambar 28. Hubungan Suhu Pemanasan (ºC) dan Lama Pemanasan (Menit) terhadap Kandungan Kuersetin (%) Jus Tomat

0

0.5

1

1.5

2

2.5

Kontrol 15 30 45

Ku

ers

etin

(%)

Lama Pemanasan (Menit)

70°C

90°C

110°C

Page 145: DISERTASI - Unhas

129

Uji lanjut Duncan memperlihatkan perbedaan nyata antara pemanasan

70°C dan 110°C, dan pemanasan 70°C dan 90°C, tetapi tidak berbeda nyata

antara pemanasan 90°C dan 110°C. Perlakuan lama pemanasan tidak berbeda

nyata antara perlakuan 15 menit, 30 menit, dan perlakuan 45 menit.

Kandungan kuersetin pada pemanasan jus tomat suhu 70°C, dengan

semakin lamanya pemanasan memperlihatkan kurva yang cenderung stabil

dengan kadar kuersetin yang rendah. Pemanasan 90°C, kuersetin meningkat

sampai pada lama pemanasan 45 menit. Pemanasan ohmik pada suhu 110 °C

meningkat dari lama pemanasan 15 menit sampai 30 menit, kemudian

menurun pada pada lama pemanasan 45 menit. Interaksi suhu dan lama

pemanasan diperlihatkan oleh kurva pemanasan, suhu 110°C setelah 30 menit

pemanasan dengan kandungan kuersetin yang menurun, sebaliknya

pemanasan 90°C setelah 30 menit memperlihatkan kecenderungan yang terus

meningkat. Suhu pemanasan 90°C selama 45 menit mempunyai kuersetin jus

tomat tertinggi yakni 2,057% dan terendah pada pemanasan 70°C selama 15

menit dengan kandungan kuersetin 0,554%.

Menurunnya kandungan kuersetin dapat dipengaruhi oleh perlakuan

panas yang diberikan dan juga oleh berubahnya nilai pH pada jus tomat (dari

pH rata-rata pH 4,05 – 4,64). Kuersetin berkurang karena terdegradasi menjadi

senyawa asam protokatekuat pada suhu 100°C. Selain itu perubahan pH

selama pemanasan menurunkan jumlah kuersetin (Buchner et al., 2006).

Semua flavonoid mengalami degradasi pada pemanasan pada 100°C

dalam larutan (air). Struktur flavonoid menjadi rusak atau berubah sedemikian

rupa sehingga senyawa utama tidak lagi terdeteksi oleh sinyal HPLC/DAD

Page 146: DISERTASI - Unhas

130

(Buchner et al., 2006). Buchner et al. (2006) melakukan penelitian pada larutan

encer flavonol yang dipanaskan pada konsentrasi (1, 2, dan 5 mM) dengan pH

5 (disesuaikan dengan asam hidroklorida 0,5 M) dan pH 8 (disesuaikan dengan

1 M natrium hidroksida) untuk mendeteksi pengaruh pH, sampel diambil

setelah 60, 120, 180, 240, dan 300 menit setelah dikeringkan vakum

selanjutnya dilarutkan dalam metanol, disaring (0,45 mm filter syringe nilon,

Roth), dan dianalisis dengan HPLC/DAD/ESI-MSn dan ESR. Hasilnya

memperlihatkan bahwa pH memiliki pengaruh penting pada proses degradasi

flavonol. Konsentrasi awal flavonol 1 mM pada campuran tersebut terus-

menerus diserap dengan udara. Pada pH 5, jumlah kuersetin menurun menjadi

sekitar 75% setelah 300 menit. Reaksi berlangsung melambat pada pH 8,

dimana kuersetin tidak terdeteksi lagi oleh HPLC/DAD setelah 240 menit.

Penelitian ini memberi gambaran bahwa pH mempengaruhi degradasi

kuersetin pada flavonol dalam suatu larutan.

Menurut Odriozola-Serrano et al. (2008), perlakuan pemanasan 90°C,

selama 60 detik pada jus stroberi tidak memperlihatkan tren peningkatan

dengan bertambahnya suhu selama pemanasan yang dapat berpengaruh

terhadap kandungan kuersetin dan kaempferol, sedangkan pada jus jeruk

kandungan naringin, rutin, kuersetin dan naringenin berkurang (Igual et al.,

2011). Riska (2016), yang menganalisis kandungan kuersetin dalam sirup

belimbing wuluh, ternyata memperoleh hasil rata-rata kuersetin sebesar 63,06

mg. Perlakuan panas seperti perebusan dalam air mendidih dapat

menyebabkan penurunan 18% konsentrasi flavonol (Ramdhan dan Aminah,

2004).

Page 147: DISERTASI - Unhas

131

Kandungan flavonoid diukur berdasarkan keberadaan kuersetin di dalam

jus tomat. Analisis kandungan flavonoid dilakukan dengan penambahan

pereaksi AlCl3 (suatu asam Lewis). Gugus orto hidroksi dan gugus hidroksi

keton dari senyawa flavonoid akan bereaksi dengan AlCl3 membentuk

kompleks alumunium-flavonoid yang absorbansinya diukur dengan

spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 430 nm (Prior, 2003).

Gambar 29. Mekanisme Reaksi Uji Flavonoid (Prior et al., 2003)

Perubahan ini diidentifikasi melalui absorbansi pada daerah sinar

tampak melalui alat spektofotometer. Semakin banyak kandungan senyawa

flavonoid dalam suatu ekstrak maka secara visual warna kuning yang terbentuk

akan semakin pekat. Widyastuti (2010) lebih lanjut menyatakan bahwa metode

pengujian dengan menggunakan AlCl3 memiliki kekurangan, dimana AlCl3 juga

dapat mengkompleks beberapa kelompok dari flavonoid seperti flavon (krisin,

apigenin, dan luteolin) dan flavonol (kuersetin, mirisetin, morin, dan rutin) tetapi

tidak dapat mengkompleks golongan flavanon dan flavanonol.

Jumlah kandungan flavonoid dihitung sebagai jumlah mg kuersetin. Arai

et al., (2000) menyatakan bahwa kuersetin adalah golongan flavonoid yang

paling penting sebagai senyawa antioksidan. Dalam penelitian ini, kandungan

Page 148: DISERTASI - Unhas

132

flavonoid juga berkaitan dengan tingginya kandungan fenolik dalam jus tomat

oleh karena flavonoid merupakan subset dari senyawa fenolik. Maisuthisakul et

al., (2008) menyatakan bahwa tingginya kandungan fenolik dalam suatu bahan

mengindikasikan tingginya kandungan flavonoid dalam bahan tersebut.

4. Kandungan Likopen

Likopen merupakan kelompok pigmen karotenoid berwarna kuning tua

sampai merah tua yang bertanggung jawab terhadap warna merah pada tomat.

Kandungan likopen dalam tomat segar sangat dipengaruhi oleh proses

pematangan dan perbedaan varietas. Semakin merah warnanya, maka

kandungan likopen semakin tinggi (Davies, 2000). Sifat biologis dan fisikokimia

likopen sangat berkaitan dengan pengaruhnya sebagai antioksidan alami (Shi

dan Le Maguer, 2000).

Hasil analisa kandungan likopen memperlihatkan kecenderungan bahwa

semakin tinggi suhu pemanasan semakin tinggi kadar likopen jus tomat.

Demikian pula semakin lama pemanasan semakin tinggi kadar likopennya

(Gambar 30).

Gambar 30. Hubungan Suhu Pemanasan (ºC) dan Lama Pemanasan (Menit)

terhadap Kandungan Likopen (mg/100 ml) Jus Tomat.

05

101520253035

TanpaOhmik

15 30 45

Liko

pen

(mg/

100

ml)

Lama Pemanasan (Menit)

70°C

90°C

110°C

Page 149: DISERTASI - Unhas

133

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 8) terdapat pengaruh

nyata antara perlakuan suhu pemanasan pada likopen jus tomat. Sedangkan

lama pemanasan berpengaruh sangat nyata terhadap likopen jus tomat.

Interaksi antara suhu pemanasan dengan lama pemanasan, tidak berpengaruh

nyata terhadap likopen jus tomat.

Pada uji lanjut Duncan memperlihatkan bahwa suhu pemanasan tidak

berbeda nyata antara perlakuan suhu 70°C dan 90°C, perlakuan 90°C dan

110°C, tetapi berbeda nyata antara perlakuan 70°C dan 110°C. Sedangkan

perlakuan lama pemanasan berbeda nyata antara perlakuan 15 menit dan 30

menit, 15 menit dan 45 menit, tetapi tidak berbeda nyata antara lama

pemanasan 30 menit dan 45 menit.

Gambar 30 menunjukkan peningkatan dari nilai rata-rata kadar likopen

jus tomat pada suhu pemanasan yang berbeda. Likopen dengan suhu

pemanasan 110°C selama 45 menit mempunyai kandungan tertinggi 32,69

mg/100 ml dan likopen terendah 9,90mg/100 ml pada pemanasan 70°C selama

15 menit. Kandungan likopen jus tomat pada pemanasan ohmik rata-rata

berkisar 9.9 - 32.69 mg/100ml. Sedangkan jus tomat yang tidak diberi

perlakuan ohmik mempunyai kadar likopen rata-rata 10.17 mg/100ml.

Kulit tomat merupakan bagian dari tomat yang mengandung likopen

dalam jumlah terbanyak jika dibandingkan dengan bagian buah lainnya.

Sebanyak 85-90% warna merah pada tomat tua adalah karena kehadiran

pigmen likopen (C40H56). Kulit tomat mengandung likopen lima kali lebih

banyak dibandingkan dengan daging tomat. Dalam basis kering, kulit tomat

mengandung sekitar 280-540 mg/100 g tergantung tingkat kematangannya.

Page 150: DISERTASI - Unhas

134

Dalam penelitian ini jus tomat dibuat melalui tahapan pemilihan buah,

pencucian, pemotongan, penghancuran, penyaringan, dan pemanasan. Pada

tahap penyaringan tidak semua bagian buah tomat dibuat jus, tetapi terdapat

bagian-bagian yang tidak ikut lolos dalam tahap penyaringan seperti biji dan

sebagian kulit tomat.

Kandungan likopen dalam tomat sangat dipengaruhi oleh proses

pematangan dan perbedaan varietas. Semakin merah warnanya, maka

kandungan likopen semakin tinggi (Davies, 2000). Penelitian Somavat (2011)

pada jus tomat, memperlihatkan kandungan likopen yang tidak berbeda jauh

baik sebelum maupun sesudah pemanasan ohmik dengan suhu pemanasan

90, 100 dan 105 oC selama 0,8 dan 0,4 menit. Penelitian lain yang dilakukan

pada jus tomat yang dipanaskan selama 7 menit pada 90°C dan 100°C

menghasilkan penurunan konsentrasi kandungan likopen, masing-masing 1.1

dan 1.7%. Pada suhu yang lebih tinggi yaitu 130°C, terjadi penurunan

kandungan likopen lebih dari 17.1% (Miki dan Akatsu, 1970).

Sejumlah likopen dapat rusak akibat aplikasi pemanasan saat

mengekstrak likopen. Pemanasan yang dilakukan sebelum ekstraksi likopen

biasanya berupa proses pemblansiran. Blansir dilakukan dengan tujuan

menginaktivasi enzim pektinesterase dan poligalakturonase yang diketahui

mengganggu proses ekstraksi likopen. Tingkat dan sifat kerusakan likopen

dipengaruhi oleh suhu pemanasan. Dalam larutan, likopen hilang sebanyak

26.1% saat dipanaskan selama 3 jam pada suhu 65°C, dan hilang sebanyak

35% saat dipanaskan selama 3 jam pada suhu 100°C (Shi dan Le Maguer,

2000).

Page 151: DISERTASI - Unhas

135

Telah difahami, bila produk berbasis tomat terkena pengolahan termal,

terjadi perubahan kandungan likopen dan terkonversi dari bentuk trans menjadi

isomer cis yang dapat mengakibatkan penurunan aktivitas biologis (Stahl and

Sies, 1992). Lamanya pemanasan dan suhu pemanasan, merupakan faktor

penting yang menyebabkan degradasi likopen. Waktu pemanasan yang singkat

tidak berpengaruh terhadap degradasi likopen jika suhu pemanasan kurang

dari 100°C.

Gambar 31. Struktur Isomer Trans dan Cis Likopen (Agarwal dan Rao, 2000a).

Di dalam bahan pangan biasanya likopen berada dalam bentuk trans.

Likopen yang terdapat di tomat 94-96% berada dalam bentuk trans, 3-5% 5-cis,

0,1% 13-cis, dan kurang dari 1% dalam bentuk isomer cis lainnya. Proses

pemanasan tomat pada suhu 80oC selama 2, 15, dan 30 menit meningkatkan

Page 152: DISERTASI - Unhas

136

kandungan likopen all trans dari 2.01 ± 0.04 mg trans likopen/g tomat menjadi

3.11 ± 0.04, 5.45± 0.02,dan 5.32±0.05 mg trans likopen/g tomat (Whitman,

2009).

Stabilitas likopen telah diteliti dengan memanaskan likopen standar

pada suhu 50ºC, 100ºC dan 150ºC untuk rentang waktu yang bervariasi.

Hasilnya menunjukkan likopen meningkat dengan meningkatnya suhu. Pada

pemanasan 50ºC didominasi reaksi isomerisasi pada 9 jam pertama atau tidak

ditemukan perubahan signifikan likopen all-trans, setelah itu berlangsung

reaksi degradasi. Pada suhu 120ºC menyebabkan penurunan total likopen

yang signifikan setelah 9 jam pemanasan. Namun pada suhu yang lebih tinggi

yaitu 150°C (diatas 150°C), degradasi berlangsung lebih cepat. Reaksi utama

pada likopen yang diberi perlakuan panas adalah isomerisasi yang terjadi

selama 9 jam pertama pemanasan dan setelah itu didominasi oleh degradasi

(Lee dan Chen, 2002).

Kadar likopen didalam produk olahan tomat dipengaruhi oleh proses

pengolahannya. Bentuk kimia likopen berubah dengan adanya perubahan suhu

dalam proses pengolahan tomat dan menjadi lebih mudah diabsorbsi oleh

tubuh (Rao et al., 2003). Menurut Tsang (2005), bahwa proses pemanasan

bukan untuk menghasilkan likopen lebih banyak, tetapi mampu melepaskan

likopen dari struktur sel tomat dan mengubah bentuk likopen dari trans ke

bentuk cis sehingga mudah diserap oleh tubuh. Likopen terikat dengan struktur

sel tomat dan perubahan suhu dalam proses pengolahan dapat melepaskan

likopen dari struktur sel tomat.

Page 153: DISERTASI - Unhas

137

Penelitian yang telah dilakukan (Salengke, 2000) menunjukkan bahwa

teknologi ohmik sangat potensial untuk diaplikasikan dalam bidang pengolahan

pangan karena selain menimbulkan efek pemanasan, juga dapat

menyebabkan terjadinya perubahan permeabilisasi dinding sel tanaman dan

hewani pada berbagai produk pertanian. Peningkatan permeabilisasi dinding

sel tersebut dapat berperan dalam mempercepat proses beberapa reaksi kimia

yang dapat meningkatkan laju difusi senyawa melewati dinding sel tersebut,

meningkatkan rendemen ekstraksi senyawa dan cairan dari dalam sel. Dalam

penelitian ini panas yang seragam dan laju pemanasan ohmik yang efektif

memungkinkan likopen yang masih terdapat dalam struktur sel untuk berdifusi

keluar melewati dinding sel yang mengakibatkan likopen jus tomat meningkat

selama pemanasan.

Lebih lanjut Giovannucci et al. (1999) membandingkan perbedaan

bioavailabilitas likopen dari tomat segar dengan produk olahan tomat, dan

menemukan konsentrasi serum likopen lebih besar saat mengkonsumsi tomat

yang diolah berbasis panas daripada tomat yang belum diproses panas.

Ditemukan juga total likopen berkisar 20 sampai 30% terdiri dari cis-isomer,

saat tomat dipanaskan pada suhu 100°C untuk 1 jam (Stahl dan Sies, 1992).

Gartner et al. (1997) menemukan bioavailabilitas likopen dari pasta dan olahan

jus tomat yang jauh lebih tinggi dari tomat segar yang belum diolah. Fakta ini

berkaitan dengan ketersediaan likopen yang lebih rendah dari bahan baku oleh

karena masih terikat pada jaringan matriks. Pengolahan termal seperti

memasak/pemanasan dan kerusakan tekstur secara mekanis seperti

memotong adalah cara mudah untuk meningkatkan ketersediaan hayati

Page 154: DISERTASI - Unhas

138

(bioavailabilitas) tomat oleh pecahnya struktur dinding sel, rusaknya membran

kromoplast, dan berkurangnya integritas seluler membuat likopen lebih mudah

diakses. Matriks makanan (yaitu, lipid dan konstituen lainnya dari kromoplas

serta serat yang terkandung dalam buah tomat) dapat berkontribusi terhadap

stabilitas all trans likopen pada buah tomat. Hal ini didukung oleh pengamatan

bahwa saat keseluruhan tomat diproses panas, maka yang terjadi adalah

proses isomerisasi.

Gambar 32. Skema Degradasi All-trans-isomers dan Cis-isomer pada Likopen

(Preedy dan Watson, 2009).

Secara termodinamik bentuk konfigurasi trans dari likopen yang yang

terdapat pada tumbuhan, adalah bentuk yang paling stabil (Nguyen dan

Schwartz, 1999). Dengan pengaruh cahaya dan pemanasan bentuk all-trans

dapat berubah menjadi isomer mono atau poli cis (Sudradjat dan Gunawan,

2003). Secara umum isomer cis bersifat lebih polar, mempunyai

kecenderungan yang lebih rendah untuk menjadi kristal, lebih larut dalam

minyak dan pelarut hidrokarbon, lebih mudah bergabung dengan lipoprotein

maupun struktur lipid subseluler, sehingga lebih mudah masuk ke dalam sel

dan bersifat kurang stabil dibanding isomer trans (Clinton et al., 1996). Faktor-

Page 155: DISERTASI - Unhas

139

faktor yang mempengaruhi ketersediaan biologi (bioavailability) likopen adalah

bentuk molekul, jumlah likopen dalam bahan, kandungan matriks bahan

makanan, medium lemak atau minyak, efek serat makanan dan interaksi

dengan karotenoid lain.

Metabolisme likopen terjadi bersamaan dengan metabolisme lemak. Di

dalam duodenum misel yang mengandung likopen masuk ke dalam mukosa

sel usus melalui difusi pasif setelah dicerna oleh lipase pankreas dan diemulsi

garam empedu. Selanjutnya dibawa ke dalam aliran darah melalui sistem

limfatik. Likopen didistribusikan ke jaringan terutama melalui LDL. Likopen

paling banyak kandungannya pada beberapa jaringan antara lain testis,

kelenjar adrenal, hati dan prostat (Clinton, 1998). Likopen yang berasal dari

hasil pengolahan bersifat lebih mudah diserap oleh tubuh dibandingkan dengan

yang berasal dari tomat segar (Storey et al., 2003; Rao dan Agarwal, 2002).

Hasil penelitian (Huawei et al., 2014), menunjukkan bahwa degradasi

dan/atau isomerisasi likopen memiliki pengaruh yang penting terhadap

bioavailabilitas dan bioaktivitasnya. Penelitian yang telah dilaporkan

menunjukkan bahwa bentuk konfigurasi dan stabilitas likopen berubah karena

proses panas. Untuk menyederhanakan percobaan tersebut, sistem likopen-

Oktil/Desil Glycerate-TBHQ ditetapkan dalam simulasi sistem pangan secara

nyata, metode HPLC-C30 digunakan untuk menentukan jumlah isomer likopen

yang berbeda, terhadap total likopen, persentase Z-isomer menjadi total

likopen baik sebelum dan sesudah proses panas yang dapat dihitung untuk

menggambarkan isomerisasi dan degradasi likopen selama pengolahan panas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa degradasi likopen dalam sistem simulasi

Page 156: DISERTASI - Unhas

140

mengikuti model kinetika orde pertama dan laju degradasi konstanta masing-

masing adalah 2,4 × 10-3, 4,3 × 10-3, 1,52 × 10-2 dan 3,32 × 10-2 min-1 pada

100, 115, 130 dan 145oC. Energi aktivasi yang diperoleh 77,24 kJ/mol.

Kandungan total likopen, all-E likopen dan Z-isomernya mengikuti keteraturan

yang cukup baik selama pengolahan.

Gambar 33. Perubahan Struktur Molekul dan Hasil Oksidasi Likopen Selama Pemanasan (Kanasawud dan Crouzet, 1990).

Keteraturan yang baik ditunjukkan dari transformasi konfigurasi dan

degradasi ketika likopen dalam sistem simulasi pangan dipanaskan. Dengan

adanya peningkatan suhu, laju degradasi likopen menunjukkan tren

peningkatan linear; sementara sistem simulasi berada pada suhu konstan dari

100, 115, 130 dan 145°C, degradasi likopen konsisten dengan model kinetika

reaksi orde pertama, baik all-E likopen maupun Z-isomer terkait erat dengan

waktu pemanasan. Dalam penelitian ini, persentase tertinggi Z-isomer dicapai

hingga 57,15%, sedangkan tingkat degradasi mencapai 45,6%. Dengan

mempertimbangkan manfaat ekonomi, nilai biologis, dan fungsi fisiologis, dapat

Page 157: DISERTASI - Unhas

141

ditarik kesimpulan bahwa proses termal terbaik seharusnya berada pada

kondisi suhu 130°C, dengan lama periode waktu pemanasan enam hingga

sepuluh menit, Z-isomer mencapai 48% dengan tingkat degradasi hanya 27%

(Huawei et al., 2014).

Likopen ditemukan dalam sel mukosa dalam jumlah yang lebih besar

pada individu yang mengkonsumsi saos tomat, hal ini dapat mencerminkan

kadar likopen dalam plasma (Allen et al., 2003). Hal ini disebabkan karena

struktur kimia dari likopen itu sendiri. Sehingga dapat dikatakan bahwa tomat

yang mengalami pengolahan dengan pemanasan terlebih dahulu sebelum

dikonsumsi akan meningkatkan bioavailabilitas likopen dalam tubuh. Hasil

penelitian Allen et al., (2002) menunjukkan bahwa konsumsi saos tomat lebih

efektif meningkatkan bioavailabilitas likopen dalam tubuh dibandingkan dengan

mengkonsumsi tomat segar.

5. Aktivitas Antioksidan

Tomat merupakan sayuran yang kaya akan berbagai senyawa

antioksidan seperti likopen, alfa-karoten, betakaroten, lutein, vitamin C,

flavonoid, dan vitamin E (Willcox et al., 2003). Senyawa tersebut memiliki

keefektifan yang berbeda-beda dalam menjalankan fungsinya sebagai

pelindung fotokimia (Sies,1992).

Kandungan antioksidan pada jus tomat memperlihatkan tren penurunan

dengan semakin lama pemanasan, kecuali pada suhu pemanasan 90°C.

Berdasarkan analisis sidik ragam (Lampiran 9), menunjukkan baik suhu

pemanasan, lama pemanasan maupun interaksi antara suhu dan lama

Page 158: DISERTASI - Unhas

142

pemanasan berpengaruh nyata terhadap antioksidan jus tomat. Pada uji lanjut

Duncan, antara ketiga perlakuan suhu pemanasan yaitu 70°C, 90°C dan

110°C berbeda nyata, sedangkan lama pemanasan 15 menit, 30 menit dan 45

menit, tidak berbeda nyata.

Gambar 34. Hubungan Suhu Pemanasan (ºC) dan Lama Pemanasan (Menit) terhadap Antioksidan (µg/ml) Jus Tomat

Pada Gambar 34 terlihat bahwa lama pemanasan 15 menit

menunjukkan penurunan nilai IC50 (konsentrasi penghambatan) antioksidan

sampai 30 menit pada pemanasan suhu 70°C, kemudian meningkat kembali

pada 110°C. Tetapi pada pemanasan 90°C, terjadi peningkatan aktivitas

antioksidan sampai pemanasan 45 menit. Sebaliknya dengan suhu 110°C,

terjadi penurunan aktivitas antioksidan (nilai IC50) dengan semakin lamanya

pemanasan ohmik. Nilai IC50 adalah bilangan yang menunjukkan konsentrasi

ekstrak yang mampu menghambat aktivitas suatu radikal sebesar 50%

(Molyneux, 2004).

Penelitian Regina dkk. (2008), pada buah tomat yang diekstrak dengan

larutan metanol kemudian dikeringkan dengan rotari dryer, dan dianalisis

dengan menggunakan metode DPPH, diperoleh aktivitas antioksidan (IC50)

0

100

200

300

400

500

600

700

TanpaOhmik

15 30 45

An

tio

ksid

an (µ

g/m

l)

Lama Pemanasan (Menit)

70°C

90°C

110°C

Page 159: DISERTASI - Unhas

143

sebesar 44,06 µg/ml. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ekstrak

tomat mempunyai aktivitas antioksidan yang kuat. Menurut Blouis (1958) jika

nilai IC50 (persen penghambatan) kurang dari 200 µg/ml, dikategorikan

antioksidan tersebut berada pada tingkat “kuat”. Menurut Jun et al. (2003), nilai

IC50 yang semakin besar menunjukkan keaktifan antioksidan yang semakin

melemah (berkurang). Pada penelitian ini terlihat kecenderungan peningkatan

keaktifan antioksidan dengan semakin tingginya suhu pemanasan. Hal ini

dapat disebabkan karena beberapa senyawa-senyawa penyumbang keaktifan

antioksidan meningkat dengan semakin tingginya suhu dan semakin lamanya

pemanasan. Likopen adalah antioksidan yang paling kuat. Likopen

penyumbang keaktifan antioksidan bersama-sama dengan polifenol dan

sebahagian kuersetin.

Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (elektron donor) atau

reduktan. Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu

menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi, dengan cara mencegah

terbentuknya radikal (Winarsi, 2007). Selama proses metabolisme tubuh,

antioksidan bertindak sebagai penangkal radikal bebas. Beberapa senyawa

yang berperan sebagai antioksidan pada buah tomat yaitu vitamin C dan

likopen yang merupakan betakaroten. Menurut Tranggono et al. (1988) tomat

merupakan sumber vitamin B, C, E, dan betakaroten yang baik.

Dalam penelitian ini digunakan DPPH (Diphenylpicrylhydrazyl) untuk

menganalisa aktivitas antioksidan jus tomat. Pemerangkapan DPPH kerap

dilakukan untuk pengujian antioksidan dari sistein, glutation, asam askorbat,

Page 160: DISERTASI - Unhas

144

tokoferol, dan komponen aromatik polihidroksil, minyak zaitun, buah-buahan,

sari buah dan fermentasi anggur (Sanchez-Moreno, 2002).

Metode ini merupakan metode yang sederhana, mudah untuk penapisan

aktivitas penangkapan radikal beberapa senyawa, efektif dan praktis

(Molyneux, 2004). DPPH biasanya digunakan sebagai substrat untuk menguji

aktivitas beberapa senyawa antioksidan. Uji peredaman warna radikal bebas

ini adalah uji untuk menentukan aktivitas antioksidan dalam sampel dengan

melihat kemampuannya dalam menangkal radikal sintetik dalam pelarut

organik polar seperti metanol atau etanol pada suhu kamar (Kumaran dan

Karunakaran, 2007). Contoh radikal sintetik selain 2,2`-difenil-1-pikrilhidrazil

(DPPH) adalah 2,2`azinobis (3-etil benzitiazolin-asam sulfonat) (ABTS).

DPPH merupakan salah satu radikal nitrogen organik yang stabil dan

berwarna ungu. Radikal ini tersedia dalam perdagangan dan tidak harus

dihasilkan terlebih dahulu sebagaimana dengan radikal ABTS (Prior et al.,

2005). Prinsip uji metode DPPH ini adalah adanya donasi atom hidrogen dari

substansi yang diujikan kepada radikal DPPH (senyawa 2,2`-difenil-1-pikril

hidrazil/DPPH sebagai sumber radikal bebas) menjadi senyawa non radikal

difenilpikrilhidrazin yang akan ditunjukkan oleh perubahan warna (Molyneux,

2004).

Gambar 35. Struktur Kimia DPPH (Windono dkk., 2001).

Page 161: DISERTASI - Unhas

145

Dalam prakteknya, aktivitas antioksidan diukur dengan menghitung

jumlah pengurangan intensitas cahaya ungu DPPH yang sebanding dengan

pengurangan konsentrasi DPPH. Perendaman tersebut dihasilkan oleh

bereaksinya molekul difenilpikril hirazil dengan atom hidrogen yang dilepaskan

oleh molekul komponen sampel sehingga terbentuk senyawa difenil pikril

hidrazin dan menyebabkan terjadinya peluruhan warna DPPH dari ungu

menjadi kuning (Zuhra et al., 2008).

Gambar 36. Reaksi Radikal DPPH dengan Antioksidan (Windono dkk., 2001).

Aktivitas antioksidan jus tomat erat kaitannya dengan tingginya

kandungan senyawa fenolik, flavonoid dan vitamin C dalam jus. Buah yang

memiliki kandungan fenolik tinggi berpotensi memiliki aktivitas antioksidan yang

tinggi (Rekha et al., 2012). Senyawa fenolik, flavonoid dan vitamin C mampu

mendonorkan atom hidrogen ke radikal bebas DPPH membentuk senyawa

DPPH tereduksi (DPPH-H) yang stabil. Semakin tinggi kandungan fenolik,

flavonoid dan vitamin C maka semakin banyak radikal DPPH yang bereaksi

sehingga konsentrasinya semakin berkurang. Semakin besar penurunan

konsentrasi DPPH semakin tinggi aktivitas antioksidannya.

Page 162: DISERTASI - Unhas

146

Perubahan warna yang akan terjadi adalah perubahan dari larutan yang

berwarna ungu menjadi kuning (Pauly, 2001). Dengan uji menggunakan radikal

DPPH, penangkapan radikal DPPH oleh suatu senyawa antioksidan diikuti

dengan penurunan absorbansi pada λ 517 nm, yang terjadi karena reduksi

radikal tersebut oleh antioksidan atau bereaksi dengan spesies radikal lain,

menurut reaksi:

Gambar 37. Reaksi Radikal Bebas DPPH terhadap Antioksidan

Kelebihan dari metode DPPH adalah secara teknis simpel, dapat

dikerjakan dengan cepat dan hanya membutuhkan spektrofotometer UV-Vis

(Karadag et al., 2009). Kelemahan metode ini adalah radikal DPPH hanya

dapat dilarutkan dalam media organik (terutama media alkoholik), tidak pada

media aqueous sehingga membatasi kemampuannya dalam penentuan peran

antioksidan hidrofilik.

Penentuan aktivitas antioksidan berdasarkan perubahan absorbansi

DPPH harus diperhatikan karena absorbansi radikal DPPH setelah bereaksi

dengan antioksidan dapat berkurang oleh cahaya, oksigen dan tipe pelarut.

Telah diketahui bahwa terjadi pengurangan kapasitas antioksidan ketika kadar

air pelarut melebihi batas tertentu dikarenakan terkoagulasinya DPPH

(Magalhaes et al., 2008).

DPPH + Antioksidan DPPH-H + A°

DPPH° + R° DPPH-R (Pokorny et al., 2001).

(Pokorny et al., 2001).

Page 163: DISERTASI - Unhas

147

Antioksidan merupakan senyawa yang mempunyai struktur molekul

yang dapat memberikan elektronnya kepada molekul radikal bebas tanpa

terganggu sama sekali dan dapat memutuskan reaksi berantai dari radikal

bebas (Kumalaningsih, 2006). Mekanisme kerja antioksidan antara lain ; (1)

dapat berinteraksi langsung dengan oksidan, radikal bebas atau oksigen

tunggal; (2) mencegah pembentukkan jenis oksigen reaktif; (3) mengubah jenis

oksigen reaktif menjadi kurang toksik; (4) mencegah kemampuan oksigen

reaktif; (5) memperbaiki kerusakan yang timbul.

Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari senyawa

antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan, senyawa

antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan, dan

senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke

makanan sebagai bahan tambahan pangan.

Diantara berbagai antioksidan yang telah dikenal dewasa ini, likopen

adalah antioksidan yang paling potensial dengan urutan: likopen > α-tokoferol >

α—karoten > β-kriptozantin > zeasantin = β-karoten > lutein (Schierle, 1996;

Nguyen, 1999). Likopen bersifat antioksidan dengan cara melindungi sel dari

kerusakan akibat reaksi oksidasi oleh oksigen singlet (singlet oxygen

quenching) dan oksidator lain. Oksigen singlet adalah molekul oksigen yang

sangat reaktif karena berada pada tingkat energi yang tinggi. Spesi tersebut

terbentuk dalam sistem biologi (sel) dan memiliki waktu hidup pendek. Spesi ini

berasal dari oksigen di udara (yaitu oksigen triplet dengan spin elektron sejajar

dan bersifat para magnetik, lebih stabil daripada oksigen singlet dengan spin

berpasangan), yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui jalur pernapasan.

Page 164: DISERTASI - Unhas

148

Oleh enzim dalam sel, oksigen diubah menjadi radikal hidroksi, peroksida dan

senyawa reaktif yang lain. Diperkirakan dalam sistem biologi, reaksi dengan

spesi oksigen reaktif ini memegang peran penting dalam etiologi beberapa

penyakit kronis, termasuk diantaranya penyakit jantung koroner (Rao AV,

2002). Likopen sangat baik untuk perokok ringan ataupun perokok pasif. Asap

rokok diketahui mengandung nitrogen oksida cukup tinggi. Nitrogen oksida

dapat bereaksi dengan oksigen membentuk radikal nitrogen dioksida yang

sangat berbahaya. Kehadiran likopen secara in vitro sangat efektif untuk

melindungi limfosit dari radikal bebas nitrogen dioksida. Efektivitas likopen

pada tomat maupun buah-buahan lain yang berwarna merah, jauh lebih baik

daripada suplemen likopen. Hal itu disebabkan oleh mekanisme sinergi dengan

komponen-komponen lain pada buah-buahan, seperti vitamin A dan Vitamin C

(Giovannuci, 1999).

Likopen melindungi jaringan dengan mendonorkan elektronnya ke

senyawa ROS, RNOS, dan radikal bebas lainnya seperti nitrogen oksida (NO2),

gugus thiyl reaktif dan sulphonil (RSO2) (Agarwal dan Rao, 2000a) Likopen

mencegah kerusakan biomolekul sel seperti lipid, low density lipoprotein (LDL),

protein dan DNA akibat reaksi oksidasi. Efekivitas likopen sebagai antioksidan

lebih besar karena likopen memiliki jumlah ikatan rangkap terkonyugasi yang

relatif lebih banyak dibandingkan dengan antioksidan lainnya (Storey et al.,

2003; Agarwal dan Rao, 2000b). Likopen bersifat sangat lipofilik, sehingga

likopen banyak terdapat dalam komponen lipid dan bilayer posfilipid membran

sel. Pada keadaan lingkungan yang sesuai, seperti pada bilayer lipid membran

sel, kemampuan free radical scavenger menjadi maksimal. Likopen merupakan

Page 165: DISERTASI - Unhas

149

antioksidan yang paling efektif dalam melindungi 2,2’-azo-bis (2,4 dimetil valero

nitril) suatu komponen membran sel dari kemungkinan peroksidasi lipid. Selain

itu likopen juga dapat berasosiasi dengan LDL untuk mencegah kerusakan

akibat reaksi oksidasi. Likopen juga memiliki kemampuan untuk melindungi

limposit dari kerusakan yang diinduksi oleh NO2. Kombinasi likopen dan α-

tokoferol dapat mencegah proliferasi sel pada sel karsinoma prostat yang tidak

sensitif terhadap androgen (Storey et al., 2003; Rao dan Agarwal, 2002;

Agarwal dan Rao, 2000a).

Efek antioksidan lainnya terutama disebabkan oleh adanya senyawa

fenol seperti flavonoid, asam fenolat. Senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas

antioksidan adalah senyawa fenol yang mempunyai gugus hidroksil yang

tersubstitusi pada posisi orto dan para terhadap gugus –OH dan –OR. Cincin

aromatik dengan satu atau lebih gugus hidroksil (--OH) terikat pada atom

karbon dari cincin aromatik tersebut. Gugus hidroksil dalam fenolik

berkontribusi secara langsung terhadap aktivitas antioksidan dan memainkan

peranan penting dalam penangkapan radikal bebas karena gugus hidroksil dari

senyawa fenolik dapat mendonorkan atom hidrogen sehingga dapat

menstabilkan senyawa radikal bebas (Rezaeizadeh et al., 2011).

Gambar 38. Mekanisme Penangkapan Radikal Bebas oleh Polifenol

(Haryoto dkk., 2007).

Page 166: DISERTASI - Unhas

150

Antioksidan lainnya pada tomat adalah vitamin C. Vitamin C adalah

nutrien dan vitamin yang larut dalam air dan penting untuk kehidupan serta

untuk menjaga kesehatan. Vitamin ini juga dikenal dengan nama kimia dari

bentuk utamanya yaitu asam askorbat. Vitamin C dikenal sebagai antioksidan

terlarut air paling dikenal, vitamin C juga secara efektif memungut formasi ROS

dan radikal bebas (Frei, 1994).

Gambar 39. Reaksi Vitamin C dengan Radikal Bebas (Suhartono et al., 2007).

Sebagai antioksidan, vitamin C bekerja sebagai donor elektron, dengan

cara memindahkan satu elektron ke senyawa logam. Selain itu, vitamin C juga

dapat menyumbangkan elektron ke dalam reaksi biokimia intraseluler dan

ekstraseluler. Vitamin C mampu menghilangkan senyawa oksigen reaktif di

dalam sel netrofil, monosit, protein lensa, dan retina. Vitamin ini juga dapat

bereaksi dengan Fe-ferritin. Diluar sel, vitamin C dapat menghilangkan

Page 167: DISERTASI - Unhas

151

senyawa oksigen reaktif, mencegah terjadinya LDL teroksidasi, mentransfer

elektron ke dalam tokoferol teroksidasi dan mengabsorpsi logam dalam saluran

pencernaan (Levine et al., 1995).

Vitamin C dapat langsung menangkap radikal bebas oksigen, baik

dengan atau tanpa katalisator enzim. Reaksinya terhadap senyawa oksigen

reaktif lebih cepat dibandingkan dengan komponen lainnya. Vitamin C juga

melindungi makromolekul penting dari proses oksidatif. Reaksi terhadap radikal

hidroksil terbatas hanya melalui proses difusi.

Gambar 40. Mekanisme Reaksi Asam Askorbat dan Ion Superoksida (atas) dan Hidrogen Peroksida (bawah) (Asada, 1992).

Sebagai zat penyapu radikal bebas, vitamin C dapat langsung bereaksi

dengan anion superoksida, radikal hidroksil, oksigen singlet dan lipid

peroksida. Sebagai reduktor vitamin C akan mendonorkan satu elektron

membentuk semi dehidroaskorbat yang tidak bersifat reaktif dan selanjutnya

mengalami reaksi disproporsionasi membentuk dehidroaskorbat yang bersifat

tidak stabil. Dehidroaskorbat akan terdegradasi membentuk asam oksalat dan

asam treonat. Oleh karena kemampuan vitamin C sebagai penghambat radikal

Page 168: DISERTASI - Unhas

152

bebas, maka peranannya sangat penting dalam menjaga integritas membran

sel (Suhartono et al., 2007).

Reaksi asam askorbat dengan superoksida yang dihasilkan dalam tubuh

secara fisologis mirip dengan kerja enzim SOD dan reaksi penguraian hidrogen

peroksida dikatalisis oleh enzim askorbat peroksidase (Asada, 1992).

Pengolahan tomat seperti blanching, pengalengan, sterilisasi dan

pembekuan, serta pemasakan mempengaruhi komposisi dan bioavailabilitas

antioksidan serta beberapa senyawa nutrisi antioksidan, seperti vitamin C labil

terhadap panas. Selama pengolahan tomat, seperti proses pencucian terjadi

perubahan kualitatif oleh kerusakan antioksidan yang larut ke dalam air

sekitarnya dan dapat mempengaruhi aktivitas antioksidan dari sayuran.

Beberapa senyawa antioksidan seperti asam askorbat dan karotenoid yang

sangat sensitif terhadap panas dan penyimpanan dapat hilang selama

pengolahan tomat dengan cara yang berbeda (Chipurura, 2010).

D. Degradasi Asam Askorbat (Vitamin C) Jus Tomat Ohmik

Dalam kinetika laju perubahan/reaksi kimia ditentukan oleh jumlah

produk yang dihasilkan atau reaktan yang terpakai tiap satu satuan waktu.

Model kinetika banyak digunakan untuk mengamati perubahan kualitas bahan

hasil pertanian. Beberapa model kinetika tersebut telah diaplikasikan pada

perubahan warna nangka selama proses pengeringan (Saxena et al., 2012),

atau degradasi likopen pada bubur tomat terhadap berbagai kondisi

penyimpanan (Sharma dan Le Maguer, 1996) dan degradasi vitamin C pada

jus jeruk (Wariyah, 2010).

Page 169: DISERTASI - Unhas

153

1. Retensi Vitamin C (Asam Askorbat) Jus Tomat

L-asam askorbat adalah vitamin larut air yang sangat dibutuhkan oleh

tubuh. Istilah L-asam askorbat merupakan nama trivial dari 2,3- didehidro-L-

treo-hexano-1,4-lakton yang juga dikenal sebagai asam hexuron. L-asam

askorbat merupakan agen pereduksi yang kuat, L-asam askorbat teroksidasi

dengan mudah menjadi asam dehidro-Laskorbat melalui intermediet radikal

asam semidehidro-L-askorbat (biasa disebut juga asam monodehidro

askorbat). Ketiga bentuk L-asam askorbat tersebut membentuk sistem redoks

yang reversibel (Combs, 2008). Sedangkan pada oksidasi L-asam askorbat

yang dikatalis logam, kompleks yang terjadi akan memisah dan membentuk

asam dehidro-L-askorbat, hidrogen peroksida dan ion logam. Asam dehidro-L-

askorbat mudah terhidrolisis menjadi asam 2,3 diketogulonat yang irreversibel

dan tidak memiliki aktivitas asam askorbat.

Saat berada dalam bentuk L-asam askorbat, keaktifannya 100%.

Namun, saat menjadi bentuk asam dehidro-L-askorbat, keaktifannya menurun

menjadi 80% (Combs, 2008). Retensi asam askorbat atau daya

mempertahankan vitamin C (selama pemanasan ohmik) dihitung berdasarkan

persen penurunan asam askorbat (yang masih bertahan/tertinggal) dalam

rentang/lama pemanasan 15 menit, 30 menit, dan 45 menit pada setiap

perlakuan suhu pemanasan (70°C, 90°C. dan 110°C). Kadar dan retensi asam

askorbat dalam jus tomat tertera pada Tabel 8.

Page 170: DISERTASI - Unhas

154

Tabel 8.Kadar L-Asam Askorbat (Vitamin C) Pada Pemanasan Ohmik Suhu (°C)

Waktu (menit)

Kadar L-Asam Askorbat (%)

Retensi L-Asam Askorbat

70

0 8.588 100%

15 8.197 95,45%

30 4.177 48,64%

45 2.995 34,87%

90

0 8.588 100%

15 5.987 69,71%

30 4.095 47,68%

45 2.995 34,87%

110

0 8.588 100%

15 4.727 55,04%

30 3.78 44,01%

45 2.917 33,97%

Penurunan kadar L-asam askorbat terbesar terjadi pada suhu 110°C

dan penurunan kadar L-asam askorbat terkecil terjadi pada suhu 70°C. Pada

masing-masing suhu, kadar L-asam askorbat semakin berkurang di setiap

penambahan waktu. Hal tersebut dikarenakan oksidasiL-asam askorbat dapat

dipercepat dengan adanya panas yang berasal dari suhu dan akumulasi

selama pasteurisasi (Winarno, 2004). Sehingga semakin tinggi suhu dan

semakin lama proses pasteurisasi maka semakin rendah retensi L-asam

askorbat dalam jus tomat.

Kadar vitamin C awal (sebelum pemanasan ohmik) adalah 8,588%.

Retensi vitamin C setelah pemanasan ohmik pada suhu 70°C selama 15 menit

adalah 95,45% dari 8,588% menjadi 8,197%. Retensi vitamin C pada suhu

70°C selama 30 menit sebesar 48,64% dari 8,588% menjadi 4,177%, dan pada

suhu 70°C selama 45 menit sebesar 34,87% dari 8,588% menjadi 2,995%.

Pada pemanasan suhu 90°C selama 15 menit, 30 menit, dan 45 menit, maka

retensi masing-masing sebesar 69,71%, 47,68%, dan 34,87%, dari vitamin C

awal sebesar 8,588% menjadi 5,987%, 4,095%, dan 2,995%. Demikian pula

Page 171: DISERTASI - Unhas

155

pada pemanasan suhu 110°C selama 15 menit, 30 menit, dan 45 menit

mempunyai nilai retensi masing-masing sebesar 55,04%, 44,01%, dan 33,97%

dari 8,588% menjadi 4,727%, 3,780%, dan 2,917%.

Asam dapat mempertahankan atau menghambat degradasi vitamin C

selama pengolahan maupun penyimpanan, sedangkan logam tembaga

mempercepat degradasi vitamin C selama pemasakan (Harper et al.,1980).

Vitamin C mudah sekali teroksidasi terutama bila zat dipanaskan dalam larutan

alkali atau netral. Kondisi asam membuat vitamin C menjadi lebih stabil.

Pada jus jeruk dengan kandungan asam tinggi, lebih dari 90% vitamin C

mampu bertahan dalam produk yang dikalengkan. Penambahan sulfur dioksida

pada buah dan sayuran memiliki efek protektif dan membuat retensi vitamin C

yang memuaskan. Jenis wadah pun dapat mempengaruhi derajat kerusakan

vitamin C. Jumlah asam askorbat yang ada dalam bahan pangan yang

dikalengkan dengan kaleng berlapis timah lebih besar daripada jika

dikalengkan dengan kaleng berlapis pernis atau gelas jar, karena oksigen lebih

mudah bereaksi dengan lapisan timah daripada dengan asam askorbat (Harper

et al.,1980).

2. Degradasi L-Asam Askorbat Jus Tomat Ohmik

Model kinetika degradasi L-asam askorbat menggunakan (Persamaan

16) dengan membuat plot antara waktu (sumbu x) dan ln kadar L-asam

askorbat (sumbu y) pada masing-masing suhu pemanasan (Sukasih dkk.,

2005).

Page 172: DISERTASI - Unhas

156

Tabel 9. Degradasi Vitamin C pada Suhu 70, 90, dan 110ºC dan Lama Pemanasan 15, 30, dan 45 Menit.

Pemanasan

Vitamin C

( %)

Ln Vitamin C

R2

Konstanta (k)

Suhu (ºC)

Lama

(menit)

70

0 8.588 2.150366 0.916

-0.02583

15 8.197 2.103768

30 4.177 1.429593

45 2.955 1.083499

90

0 8.588 2.150366 0.998

-0.0236 15 5.987 1.78959

30 4.095 1.409767

45 2.995 1.096944

110

0 8.588 2.150366 0.998

-0.02309 15 4.727 1.553291

30 3.78 1.329724

45 2.917 1.070556

Slope dari garis lurus tersebut menggambarkan nilai konstanta

kecepatan reaksi degradasi asam askorbat (vitamin C) pada kisaran suhu 70-

110ºC sehingga diperoleh tiga harga konstanta kecepatan reaksi (k) seperti

ditunjukkan pada Tabel 9. Masing-masing nilai konstanta (k) yang diperoleh

pada pemanasan suhu 70ºC dan 90ºC dan 110ºC berturut-turut adalah: -

0.02583, -0.0236, dan -0.02309. Semakin Tinggi suhu, semakin besar nilai

konstanta (k) dan laju degradasi asam askorbat (vitamin C) semakin cepat.

Berdasarkan data pada Tabel 9 , diperoleh persamaan regresi linear

asam askorbat untuk pemanasan suhu 70°C dengan garis y = -0.387x+2.660

dan koefisien determinasi, R²=0.916, pada pemanasan suhu 90°C persamaan

regresi linearnya adalah y = -0.354x+2.496 dan R²=0.998 serta pemanasan

110°C dihasilkan persamaan regresi linear degradasi asam askorbat yakni y=

-0.356x+2.495 dengan nilai R²=0.998.

Page 173: DISERTASI - Unhas

157

Gambar 41. Degradasi Vitamin C pada Suhu 70°C.

Gambar 42. Degradasi Vitamin C pada Suhu 90°C

Gambar 43. Degradasi Vitamin C pada Suhu 110°C

0

0.5

1

1.5

2

2.5

0 10 20 30 40 50

LnC

Lama Pemanasan (Menit)

0

0.5

1

1.5

2

2.5

0 10 20 30 40 50

LnC

Lama Pemanasan (Menit)

0

0.5

1

1.5

2

2.5

0 10 20 30 40 50

LnC

Lama Pemanasan (Menit)

Page 174: DISERTASI - Unhas

158

Nilai koefisien determinasi (R2) menunjukkan proporsi keragaman total

nilai-nilai peubah y yang dapat dijelaskan oleh nilai-nilai peubah x melalui

hubungan persamaan linier. Jika didapat R2=1, bermakna bahwa 100% di

antara keragaman total nilai-nilai y dalam contoh dapat dijelaskan secara

sempurna oleh hubungan persamaan liniernya dengan nilai-nilai x (Walpole,

1995). Nilai R2 menunjukkan kevalidan sebuah regresi linier. Pada penelitian

Ariahu dan Abashi (2011) tentang degradasi L-asam askorbat pada daun labu

rambat, maka polanya mengikuti kinetika orde satu dengan nilai R2 antara

0,882-0,974.

3. Penentuan Energi Aktivasi

Energi Aktivasi atau nilai Ea adalah energi minimum yang dibutuhkan

untuk memulai reaksi degradasi L-asam askorbat. Energi aktivasi juga

menunjukkan sensivitas nilai konstanta laju reaksi (k) terhadap perubahan

suhu.

Tabel 10. Energi Aktivasi Degradasi Vitamin C pada Suhu 70, 90, dan 110ºC dan Lama Pemanasan 15, 30, dan 45 Menit. Lama Pemanasan

(menit) Suhu Pemanasan

(ºC) Vitamin C

(%) Energi Aktivasi

(Cal/mol)

15

70 8.197 3600.96 90 5.987

110 4.727

30

70 4.177 644.39 90 4.095

110 3.78

45

70 2.955 79.68 90 2.995

110 2.917

Penentuan nilai Ea menggunakan (Persamaan 20) dengan membuat

plot antara 1/suhu (sumbu x) dengan ln konstanta laju reaksi (sumbu y). Nilai

Page 175: DISERTASI - Unhas

159

Ea merupakan hasil perkalian [-slope] dari kurva persamaan tersebut dengan

tetapan R (8,314 J/mol K atau 1,987 cal/mol. K) (Sukasih dkk., 2005).

Gambar 44. Energi Aktivasi Jus Tomat pada Lama Pemanasan 15 Menit

Berdasarkan Gambar 44, 45, 46 diperoleh persamaan y=-0.007x-1.876

dengan R²=0.993 untuk lama pemanasan 15 menit, y=-0.000x-2.615 dengan

R²=0.892 untuk lama pemanasan 30 menit, dan y=-6E-05x-3.030 dengan

R²=0.240 untuk lama pemanasan 45 menit.

Gambar 45. Energi Aktivasi Jus Tomat pada Lama Pemanasan 30 Menit

y = -0.0078x - 1.8762R² = 0.993

-1.905

-1.9

-1.895

-1.89

-1.885

-1.88

-1.875

0.002915452 0.002754821 0.002610966

ln k

lama pemanasan 15 menit

y = -0.0007x - 2.615R² = 0.892

-2.6175

-2.617

-2.6165

-2.616

-2.6155

-2.615

-2.6145

0.002915452 0.002754821 0.002610966

ln k

Lama Pemanasan 30 menit

Page 176: DISERTASI - Unhas

160

Gambar 46. Energi Aktivasi Jus Tomat pada Lama Pemanasan 45 Menit

Beberapa penelitian tentang degradasi vitamin C dilakukan pada sampel

jus jeruk yang dipasteurisasi secara ohmik kemudian diamati perubahan

vitamin C tersebut akibat degradasi selama produk jus disimpan pada suhu

4°C. Degradasi asam askorbat selama pemanasan ohmik diberi perlakuan

perbedaan pH, suhu dan gradient tegangan, hasilnya menunjukkan bahan

kurva degradasi asam askorbat mengikuti penurunan secara linear pada jeruk

orange, baik yang dipasteurisasi secara ohmik maupun secara konvensional

selama penyimpanan pada 4°C (Leizerson dan Shimoni, 2005b).

Pada penelitian varietas jeruk yang berbeda, untuk melihat degradasi L-

asam askorbat dengan proses pasteurisasi pada suhu 20–96°C diperoleh nilai

Ea antara 21–53 kJ/mol (5015.76-12658.83 kalori/mol) dan nilai z antara 36–

118°C. Faktor yang mempengaruhi lebarnya kisaran nilai Ea dan z adalah

karakteristik intrinsik produk seperti varietas dan kematangan, pH dan tingkat

oksigen terlarut (Mayer et al., 2007).

Lebih lanjut, Assiry et al. (2006) dalam penelitiannya menjelaskan

bahwa degradasi asam askorbat dalam larutan buffer pH 5,7 yang diberi

perlakuan pemanasan secara ohmik dan konvensional mengikuti model

y = -6E-05x - 3.0309R² = 0.2405

-3.0312

-3.03115

-3.0311

-3.03105

-3.031

-3.03095

-3.0309

-3.03085

-3.0308

-3.03075

0.002915452 0.002754821 0.002610966

ln k

Lama Pemanasan 45 menit

Page 177: DISERTASI - Unhas

161

kinetika degradasi orde pertama. Pengaruh energi dan temperatur pada laju

degradasi asam askorbat saling bergantung satu sama lainnya. Untuk tingkat

energi yang sama, laju reaksi meningkat dengan menurunkan suhu atau

meningkatkan gradien tegangan. Disimpulkan bahwa peningkatan degradasi

asam askorbat pada pH 5,7 dapat dikaitkan dengan meningkatnya disosiasi

asam askorbat dengan peningkatan pH. Bentuk anionik asam askorbat lebih

rentan terhadap degradasi daripada bentuk yang tidak terdisosiasi.

Degradasi vitamin C dipengaruhi hanya oleh efek linear dan kuadrat

tegangan. Pemanasan ohmik, bila dilakukan dengan gradien tegangan

rendah, menunjukkan degradasi asam askorbat yang lebih rendah dibanding

pemanasan konvensional. Namun gradien tegangan tinggi meningkatkan laju

degradasi baik vitamin C maupun asam askorbat yang mirip dengan

pemanasan konvensional (Mercali et al., 2012).

Page 178: DISERTASI - Unhas

162

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:

1. Laju pemanasan jus tomat dengan pemanasan ohmik semakin efektif

dengan semakin tinggi suhu dan semakin lama pemanasan.

2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu dan lama pemanasan ohmik

berpengaruh nyata terhadap karakteristik kimia: total asam, pH, dan total

padatan terlarut jus tomat. Semakin tinggi suhu dan lama pemanasan,

nilai total asam semakin rendah dan pH semakin tinggi. Sedangkan total

padatan terlarut semakin meningkat dengan semakin tingginya suhu dan

lama pemanasan.

3. Suhu dan lama pemanasan ohmik berpengaruh nyata terhadap

kandungan senyawa bioaktif antara lain: vitamin C, polifenol, kuersetin,

likopen, dan antioksidan jus tomat. Sedangkan interaksi suhu dan lama

pemanasan tidak berpengaruh terhadap kandungan polifenol dan

likopen jus tomat. Vitamin C tertinggi dicapai pada suhu 70°C dan lama

pemanasan 15 menit. Polifenol dan likopen tertinggi dicapai pada suhu

pemanasan 110°C selama 45 menit. Kuersetin tertinggi dicapai pada

suhu pemanasan 90°C dengan lama pemanasan 45 menit. Aktivitas

antioksidan tertinggi dicapai pada suhu pemanasan 110°C dengan lama

pemanasan 45 menit.

4. Semakin tinggi suhu pemanasan, laju pemanasan semakin efektif

dengan nilai konstanta (k) semakin besar, dan degradasi asam askorbat

(vitamin C) semakin tinggi. Demikian pula perbedaan besaran nilai

Page 179: DISERTASI - Unhas

163

energi aktivasi yang menggambarkan sensitivitas degradasi vitamin C

terhadap perubahan suhu, makin rendah energi aktivasi maka mulainya

degradasi vitamin C semakin cepat.

B. Saran

1. Perlu penelitian lebih lanjut terhadap warna, total mikroba, dan

organoleptik jus tomat selama pemanasan ohmik.

2. Perlu penelitian lanjutan untuk parameter suhu pemanasan dan lama

pemanasan dalam rentang periode yang lebih singkat untuk produk jus

tomat yang dipanaskan secara ohmik.

3. Diperlukan analisis senyawa bioaktif seperti senyawa karotenoid lainnya

untuk melihat keterkaitannya dengan senyawa bioaktif yang telah

dianalsis pada jus tomat yang dipanaskan secara ohmik.

4. Diperlukan metode analisis senyawa bioaktif lain yang lebih akurat,

spesifik sebagai pembanding pada produk jus yang telah mengalami

proses pemanasan, untuk memperoleh data yang lebih teliti, presisi, dan

maksimal.

Page 180: DISERTASI - Unhas

164

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2011).http://www.sarjanaku.com/2011/09/manfaat-tomat-bagi-

kesehatan-dan.html. Diakses pada 21 April 2018.

Afrianti. 2013. Teknologi pengawetan pangan. Alfabeta. Bandung.

Agarwal S., dan Rao AV. 2002a. Tomato Lycopene and its Role in Human health and Chronic Disease. CMAJ;163(6):739-44.

Agarwal S, Rao AV. 2000b. role of Antioxidant Lycopene in cancer and heart diseases. Journal of the American College of Nutrition, Vol. 19, No. 5, 563–569.

Akhilender. 2003. Dasar-Dasar Biokimia I. Erlangga, Jakarta.

Alda, L. M.; Gogoasa, I.; Bordean, D. M.; Gergen, I.; Alda, S.; Moldovan, C.; dan Nita, L., 2009, Lycopene Content of Tomatoes and Tomato Products, J. Agroalimentary Processes and Technologies, 15(4):540-542.

Allen, C. M., Smith, A. M., Clinton, S. K. & Schwartz, S. J. 2002. Tomato consumption increases lycopene isomer concentrations in breast milk and plasma of lactating women. J. Am. Diet. Assoc. 102: 1257–1262.

Allen, C. M., Schwartz, S. J., Craft, N. E., Giovannucci, E. L., De Groff, V. L. dan Clinton, S. K. 2003. Changes in plasma and oral mucosal lycopene isomer concentrations in healthy adults consuming standard servings of processed tomato products. Nutr. Cancer 47: 48–56.

Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Amiali, M., Ngadi, M., Raghavan, V. G. S., Nguyen, D. H. 2006. Electrical Conductivities of Liquid Egg Product and Fruit Juices Exposed to High Pulsed Electric Fields. International Journal of Food Properties, 9, 533–540.

Andarwulan, N. dan Koswara, S. 1992. Kimia Vitamin. Rajawali Press.Jakarta.

Anderson, D.R., 2008, Ohmic Heating as an Alternative Food Processing Technology, Kansas State University, Kansas.

Angersbach, A., Heinz, V. dan Knorr, D. 2000. Effects of pulsed electric fields on cell membranes in real food systems, Innovative Food Science & Emerging Technologies, Vol 1(2), pp 135-149.

Anonim, 2009. Roadmap Industri Pengolahan Buah. Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian, Jakarta.

AOAC (Association of Official Analytical Chemists), 2000. Moisture in fruits. An adaptation of method 934.06. Official methods of analysis of Association of analysis of Association of Official Analytical Chemists International (16th ed.) (Gaithersburg, Maryland, USA).

Page 181: DISERTASI - Unhas

165

AOAC. 2006.Official Method 967.21e Ascorbic Acid in Vitamin Preparations and Juices: 2,6 Dichloroindophenol Titrimetric Method.Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists.

Apak. R., Guçlu. K., Demirata. K., Çelik. S. E., Bektasoglu. B., Berker. K. L., dan Ozyurt. D. 2007. Comparative evaluation of various total antioxidant capacity assays applied to phenolic Compounds with the CUPRAC assay, Molecules 12, 1496-1547.

Apandi, M. 1984. Teknologi Buah dan Sayur. Penerbit Alumni, Bandung.

Apriady, R.A. 2010. Identifikasi Senyawa Asam Fenolat Pada Sayuran Indigenous Indonesia. Institut Pertanian Bogor. file:///C:/Users/MICROSOFT/Documents/Senyawa%20Fenol.%202.pdf

Aqil, M., dan Roy E. 2015. Aplikasi SPSS Dan SAS Untuk Perancangan Percobaan. Absolute Media.

Arai Y, Watanabe S, Kimira M, Shimoi K, Mochizuki R, Kinae N. 2000. Dietary intakes of flavonols, flavones and isoflavones by japanese women and the inverse correlation between quercetin intake and plasma LDL cholesterol concentration. Journal of Nutritional. 30: 2243-2250.

Ariahu, C. C. dan Abashi, D. K. 2011. Kinetics of Ascorbic Acid Loss During Hot Water Blanching of Fluted Pumpkin (Telfairia occidentalis) Leaves. Journal of Food Science Technology, Vol. 48, No. 4.

Asada K. 1992. Ascorbate Peroxidase-Hydrogen Peroxyde Scavenging Enzyme in Plants. Didalam: Physiologia Plantarum. 85:23241

Assiry, A.M., Sastry, S.K., Samaranayake, C.P. (2006). Influence of temperature, electrical conductivity, power and pH on ascorbic acid degradation kinetics during ohmic heating using stainless steel electrodes. Bioelectrochemistry, 68(1), 7-13.

Astawan, M. 2008. Khasiat Warna Warni Makanan. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.

Atherton, J.G. dan J. Rudith. 1986. The Tomato Crops, A Scientific Basis for Improvement. Chapman and Hall Ltd. New York-USA.

Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2001. Kajian proses standarisasi produk pangan fungsional di badan Pengawas Obat dan makanan. Lokakarya Kajian Penyusunan Standar Pangan Fungsional. Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta.

Barbosa-Cánovas, G. V., U. R Pothakamury, E. Palou, B.G. Swanson. 1999. Preservation of Foods with Pulsed Electric Fields.Academic Press. San Diego.

Beresford, T.P., O.Reilly, C., O.Connor, P., Murphy, P.M. dan Kelly, A. 1998. Acceleration of cheese ripening: current technologies, potential use of high pressure. Proceedings of VTT Symposium 186, 103 - 114. Helsinki, Finland.

Page 182: DISERTASI - Unhas

166

Berry, R. E., dan M. K. Veldhuis., 1977. Processing of Oranges, Grapefruit, and Tangerine. The AVI Publ. Co. Inc., Westport, Connecticut.

Blouis, M.S., 1958, “Antioxidant Determinations By The Use Of a Stable Free Radical”, Nature, 1199-1200.

Bohm F, Tinkler JH, Truscott TG. 1995.Carotenoids protect against cell membrane damage by the nitrogen dioxide radical. Nature Med 1:98–99.

Bonavida, B., 2008, Sensitization Of Cancer Cells For Chemo/Immuno/Radio Therapy, Edisi 1, 222, Humana Press, Los Angeles.

Bozkurt, H., Icier, F., 2010. The change of apparent viscosity of liquid whole egg during ohmic and conventional heating. J. Food Process Eng. (DOI:10.1111/j.1745 4530.2010.00575.x, in press).

Bramley PM. 2000. Is lycopene beneficial to human health? Phytochemistry 54, 233- 236.

Buchner, N.,A. Krumbein, S. Rohn, dan L. W. Kroh. 2006. Effect of thermal processing on the flavonols rutin and quercetin. Rapid Communications in Mass Spectrometry. 2006; 20: 3229-3235.

Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet, dan M. Wootton, 1987. Ilmu Pangan. Jakarta: UI-Press.

Budiyono, H. 2009. Analisis daya simpan produk susu pasteurisasi berdasarkan kualitas bahan baku mutu susu. Jurnal Paradigma, 10(2): 198-21.

Buettner G.S dan Fraye Q. S.1993. Review Plant L-ascorbic acid: chemistry, function,metabolism, bioavailability and effects of processing. Journal of the Science of Food and Agriculture. 80:825-860.

Cahyana, M. 2002. Isolasi Senyawa Antioksidan Kulit Batang Kayu Manis(Cinnanomum burmani, Nees ex Blume), ISSN No. 0216-0781.

Canene-Adams, K., Clinton, S.K., King, J.L., Lindshield, B.L., Wharton, C., Jeffery, E., Erdman, J.W. Jr., 2004. The Growth of the Dunning R-3327-H Transplantable Prostate Adenocarcinoma in Rats Fed Diets Containing Tomato, Broccoli, Lycopene, or Receiving Finasteride Treatment. FASEB J 18, A886 (591.4).

Cano.M.P.,Hernandez.A dan De Ancos. B. 199. ,High pressure and temperature effects on enzyme inactivation in strawberry and orange products.J.Food Sci. Vol 62, pp85.

Castro, A., Teixeira, J.A., Salengke, S., Sastry, S.K., Vicente, A.A., 2004. Ohmic heating of strawberry products: electrical conductivity measurements and ascorbic acid degradation kinetics. Innovative Food Sci. Emerg. Technol. 5, 27–36.

Castro, I., Teixeira, J.A., Salengke, S., Sastry, S.K., Vicente, A.A., 2003. The influence of field strength, sugar and solid content on electrical conductivity of strawberry products. J. Food Process Eng. 26 (1), 17-30

Page 183: DISERTASI - Unhas

167

Chang, C. C., Yang, M.H., Wen, H.M., Chern, J.C. 2002. “Estimation of Total Flavonoid Content in Propolis by Two Complementary Colorimetric Methods”. Dalam J. of Food and Drug Analysis. 10(3): 178-182.

Chipurura, B., Muchuweti M, dan Manditseraa F. 2010. Effect of Thermal Treatment on The Phenolic Content and Antioxidant Activity of Some Vegetables. Asian Journal of Clinical Nutrition2 : 93-100.

Cho, H.-Y., Sastry, S. K., dan Yousef, A. E. 1999. Kinetics of inactivation of Bacillus subtilis spores by continuous or intermittent ohmic and conventional heating. Biotechnology and Bioengineering, 62(3): 368–372.

Clegg, K. Mary. 1966. “Citric Acid and The Browning of Solutions Containing Ascorbic Acid”, Journal Science Food Agricultural, Vol. 17.

Clinton SK, Emenhiser C, Schwartz SJ, Bostwick DG, Williams AW, Moore BJ, Erdman JW, Jr. Cis-trans lycopene isomers, carotenoids, and retinol in the human prostate. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev. 1996;5:823–33.

Clinton, S. 1998. Lycopene Chemistry, Biology, and Implications For Human Health And Disease. Nutrition Reiview; 56; 35-51.

Combs, G. F. Jr. 1992. The Vitamins: Fundamental Aspects in Nutrition and Health. Academic Press Inc. San Diego.

Cousin, M.A. dan Rodriguez, J.H. 1987. Microbiology of aseptic processing and packaging. In Principles of Aseptic Processing and Packaging, P.E. Nelson (Ed.), Food Processors Institute, Washington, D.C.

Cueva, O.A. 2003. Pulsed Electric Field Influences on Acid Tolerance, Bile Tolerance, Protease Activity and Growth Characteristics of Lactobacillus Acidophilus La-K. Escuela Agrícola Panamericana Zamorano. Honduras.

Dalimartha, S. 1999. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid I. Trubus Agriwidya. Anggota IKAPI. PT. Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara. Jakarta.

Davies J, 2000. Tomatoes and Health. Journal of Social Health. vol. 120 No. 2, pp. 81-82.

Dawn B.M., Allan D.M., Smith C.M. 2000. Biokimia Kedokteran Dasar: Sebuah Pendekatan Klinis. Jakarta: EGC. Hal. 321-523.

De Groot, H, dan U. Rauen. 1998. “Tissue Injury by Reactive Oxygen Species and The Protective Effects of Flavonoids.” dalam: Fundamental Clinical Pharmacology. 12: 249-255.

Delgado, Antonio, Kulisiewicz, Leszek, Rauh, Cornelia, Wiersche, Andreas. 2012. Novel Thermal and Non-Thermal Technologies for Fluid Foods. Academic Press, New York.

Page 184: DISERTASI - Unhas

168

Dewanti, T., W.D. Rukmi, M. Nurcholis dan J.M. Maligan. (2010). Aneka Produk Olahan Tomat dan Cabe. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya, Malang.

Dewanto VW, Adom KK and Liu RH Thermal Processing Enhances the Nutritional Value of Tomatoes by Increasing Total Antioxidant Activity. J. Agric. Food Chem. 2002; 50: 3010 - 3014.

Dewick, P.M., 2002, Medical Natural Products, Edisi 2, 172, John Wiley & Sons, New York.

Di Mascio, P., Kaiser, S.P., Sies, H., 1989. Lycopene as the most efficient biological carotenoid singlet oxygen quencher. Arch. Biochem. Biophys. 274, 532/538.

Eitenmiller, R. R. dan Landen, W. O. 1999. Vitamin Analysis for the Health and Food Sciences. CRC Press. Boca Raton.

Eskin, N. A. M., 1990. Biochemistry of Foods. Academic Press. California.

Esti, S. Introduksi Reaksi Sel terhadap Jejas. Dalam: Sudarto P, Sutisna H, Achmad T (editors). Buku Ajar Patologi I (Umum). Jakarta: Sagung Seto: 2002. Halaman 21-3.

Fardiaz, D. 1996. Proses Termal Makanan Kaleng Berasam Rendah. Makalah pada Kursus Singkat Keamanan Pangan. Universitas Gajah Mada, 8-9 Juli 1996.

Fardiaz,S.1992. Mikrobiologi Pangan 1. PT Gramedia Pustaka Utama,Jakarta.

FDA, 2001. Kinetics of Microbial Inactivation for Alternative Food Processing Technologies: Ohmic and Inductive Heating.http://www.cfsan.fda.gov/~comm/ift-ohm.html, diakses 01 Nopember 2014.

Fessenden, R . J dan J.S. Fessenden. 1986. Kimia Organik. Edisi Ketiga. Erlangga.

Frei. 1994. Reactive Oxygen Species and Antioxidant Vitamins: Mechanisms of Action (American Jurnal Medicine). Excerpta Medica Inc.

Friedman, M., 2002. Tomato glycoalkaloids: role in the plant and in the diet. Journal of Agricultural and Food Chemistry 50, 5751–5780.

Friedman, M., 2013. Anticarcinogenic, cardioprotective, and other health benefits of tomato compounds lycopene, a-tomatine, and tomatidine in pure form and in fresh and processed tomatoes. Journal of Agricultural and Food Chemistry 61, 9534–9550.

Frusciante, L., Carli, P., Ercolano, M.R., Pernice, R., Di Matteo, A., Fogliano, V., Pellegrini, N., 2007. Antioxidant nutritional quality of tomato. Molecular Nutrition & Food Research 51, 609–617.

Fuhramn, B., Elis, A., Aviram, M., 1997. Hypocholesterolemic Effect of Lycopene and β-carotene is Related to Suppression of Cholesterol Synthesis and Augmentation of LDL Receptor Activity in Macrophage. Biochem. Biophys. Res. Commun. 233, 658–662.

Page 185: DISERTASI - Unhas

169

Gaman, P.M. dan K.B. Sherrington. 1992. Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Gartner, C.,Stahl, W., danSies H.1997. Lycopene is morebioavailable from tomatopaste than from fresh tomatoes. American Journal of Clinic Nutrition, 66, 116–122.

Gavin, A. dan Weddig, L.M. 1995. Canned Foods — Principles of Thermal Process Control, Acidification and Container Closure Evaluation. The Food Processors Institute, Washington, D.C.

Gerster, H., 1997. The potential role of lycopene for human health. J. Am. Coll. Nutr. 16, 109–126.

Ghnimi, S., Flach-Malaspina, N., Dresh, M., Delaplace, G., Main-gonnat, J.F., 2008. Design and Performance Evaluation of an Ohmic Heating Unit for Thermal Processing of Highly Viscous Liquids. Chem. Eng. Res. Des. 86, 627–632.

Giovannucci, E., 1999. Tomatoes, Tomato-based Products, Lycopene, and Cancer: Review of the Epidemiologic Literature. J. Natl. Cancer Inst. 91:317–331.

Goodman., 1991. Vitamin C: The Master Nutrient. Dalam: Muhilal dan Komari., 1995 Ester-C. Vitamin C Generasi III. Cetakan ketiga, Halaman 96-97, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Gordon M.H., 1990, The mechanism of antioxidant action in vitro in: Hudson B.J.F., Editor: Food Antioxidan, London: Elsevier. 1-18.

Grandillo, S., Zamir, D. dan Tanksley, S.D. (1999) Genetic improvement of processing tomatoes: A 20 years perspective. Euphytica 110: 85–9

Halden, K., de Alwis, A., dan Fryer, P. 1990. Changes in the electrical conductivity of foods during ohmic heating. International Journal of Food Science and Technology, 25: 9–25.

Hamid, A.A., O.O Aiyelaagbe, L.A. Usman, O.M. Ameen, dan A. Lawal. 2010. Antioxidant : its Medidal and Pharmacological Applications. African Journal of Pure and Applied Chemistry vol.4(8):142-151.

Hanson, P.M, Ledesma D, Tsou SCS, Lee T.C, Yang R, Wuj, Chan J. 2004. Variation of antioxidant activity and antioxidant in Tomato. Journal of American Society of Horticultural Science;129, 704-711

Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Bandung: Penerbit ITB.

Hardiana R., Rudiyansyah, TA Zaharah. 2012. Aktivitas Antioksidan Senyawa Golongan Fenol dari Beberapa Jenis Tumbuhan Famili Malvaceae. JKK . 1(1): 8-13.

Hariyadi, P. 2004. Prinsip Penetapan dan Pendugaan Masa Kadaluarsa dan UpayaUpaya Memperpanjang Masa Simpan. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian IPB.Bandung.

Page 186: DISERTASI - Unhas

170

Hariyadi, Purwiyatno. 2010. Sterilisasi UHT Dan Pengemanasan Asptik. https://www.researchgate.net/publication/259572053_Sterilisasi_UHT_dan_Pengemasan_Aseptik. Diakses pada 31 Maret 2018.

Harper, H. A., Rodwell, V. W., dan Mayes, P. A. 1980. Biokimia. Review of Physiological Chemistry. Diterjemahkan oleh M. Muliawan. Kedokteran. E. G. C. Jakarta.

Haryoto Santoso, Broto Nugroho, Hafidz. 2007. Aktivitas antioksidan fraksi polar ekstrak metanol dari kulit kayu batang Shorea acuminatissima dengan metode DPPH. Jurnal ILMU DASAR. 8(2): 158-164.

Heinz V., Alvarez I., Angersbach A., Knorr D. 2002. Preservation of liquid foods by high intensity pulsed electric fields – basic concepts for process design”, Trends Food Sci. Technol. Vol 12, pp103–111.

Hobson, G.E. dan Grierson, D. 1993. Tomato. In Burg, S.P. (Ed.). Postharvest Physiology and Hypobarie Storage of Fresh Produce. CABI Publishing. USA.

Hoffmann, D., 2003, Medical Herbalism: The Science and Pratice of Herbal Medicine, 101-103, Inner Traditions/Bear & Co, Britain.

Hoover.D.G., Merick.C., Papineau.A.M., Farkas.D.F., dan Knorr D.1989. Application of high hydrostatic pressure on foods to inactivate pathogenic and spoilage organisms for extension of shelf life. Food Technology, Vol 43(3), pp 99.

Huang, D., Ou B., and Prior, RL. 2005. The Chemistry behind Antioxidant Capacity Assays, Journal of Agricultural and Food Chemistry, 53, 1841-1856.

Huawei, Z., Xiaowen, W., Elshareif, O., Hong L., Qingrui, S., dan Lianfu, Z. 2014. Isomerisation and degradation of lycopene during heat processing in simulated food system. 2014. International Food Research Journal 21(1): 45-50.

Hulme, A. C. 1971. The Biochemistry of Fruit and Their Product Vol.2.Academic Press, London.

Icier F. Novel thermal and non-thermal technologies for fluid foods. In: Cullen PJ, Tiwari BK, Valdramidis VP, editors. Ohmic heating of fluid foods. San Diego: Academic Press; 2012. p. 305–67 (Chapter 11).

Icier, F., dan Ilicali, C. 2004. Electrical conductivity of apple and sourcherry juice concentrates during ohmic heating. Journal of Food Process Engineering, 27(3), 159–180.

Icier, F., dan Ilicali, C., 2005a. Temperature dependent electrical conductivities of fruit purees during ohmic heating. Food Research. Int. 38 (10), 1135-1142.

Icier, F., Yildiz, H., Baysal, T., 2008. Polyphenoloxidase deactivation kinetics during ohmic heating of grape juice. J. Food Eng. 85, 410-417.

Page 187: DISERTASI - Unhas

171

Icier,F., dan Ilicali, C. 2005b. The Effects of Concentration on Electrical Conductivity of Orange Juice Concentrates During Ohmic Heating. European Food Research and Technology, 220(3), 406–414.

Igual, M. García-Martínez, E. Camacho, M.M. dan Martínez-Navarrete, N. 2011. Changes in flavonoid content of grapefruit juice caused by thermal treatment and storage. Innovative Food Science and Emerging Technologies, Vol.12, pp.153-162.

Imai, T., Uemura, K., Ishida, N.Yoshizaki S. dan Noguchi, A. 1995. Ohmic Heating of Japanese White Radish Rhaphanus sativus L. International Journal of Food Science and Technology, 30: 461–472.

Jeyamkondan, S., D.S.Jayas, dan R.A. Holley 2008. Pasteurization of foods by Pulsed Electric Fields at High Voltages. Department of Biosystems Engineering and Department of FoodScience University of Manitoba Winnipeg. Canada.

Johnson, E. J., J. Qin, N. I. Krinsky, dan R. M. Russell.1997. Ingestion by Men of a Combined Dose of â-carotene and Lycopene Does Not Affect The Absorption of â-carotene gut Improves That ofLycopene. Journal of Nutrition. 127: 1833-1837.

Johnson, J.R., Braddock, R.J. dan Chen, C.S. 1995. Kinetics of Ascorbic Acid Loss and Non-Enzymatic Browning in Orange Juice Serum: Experimental Rate Constants. Dalam: Jiang, L., Zheng, H. dan Lu, H. Use of Linear and Weibull Functions to Model Ascorbic Acid Degradation in Chinese Winter Jujube During Postharvest Storage in Light and Dark Conditions. Journal of Food Processing and Preservation.

Jun, M., Fu HY, Hong J, Han X, Yang Cs, dan Ho CT. 2003. Comparison of Antioxidant Actifirs of Isoflavons from Kudzu Root (Pueraria labata Ohwl). Journal Food Science. Agustus 2003. 68(6): 2117-2122.

Kailaku I.S., Dewandari T.K., dan Sunarmani. 2013. Potensi Likopen dalam Tomat untuk Kesehatan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.

Kanasawud, P. dan JC. Crouzet. 1990. Mechanism of Formation of Volatile Compounds by Thermal Degradation of Carotenoids in Aqueous Medium. Beta-carotene Degradation. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 38: 23-243.

Karadag, A. Ozcelik, B., Saner, S. 2009. Review of Methods to Determine Antioxidant Capacities, Food Analytical Methods Vol. 2:41-60.

Karadeniz, F., Burdurlu, H.S., Koca, N., dan Soyer, Y. 2005, Antioxidant Activity of Selected Fruits and Vegetables Grown in Turkey, Turk. J. Agric. For., 29:297-303.

Kemenristek RI. 2010. Pembuatan Sari Buah. (Online). Tersedia: http://www.academia.edu/5821468/II.

Page 188: DISERTASI - Unhas

172

Kemp, M. R., Fryer, P. J. 2007. Enhancement of Diffusion Through Foods Using Alternating Electric Fields. Innovative Food Science and Emerging Technologies, 8, 143–153.

Kim, J. dan Pyu,Y. 1995. Extraction of Soy Milk Using Ohmic Heating. Abstract, 9th Congress of Food Science and Technology, Budapest, Hungary.

Komar N., 2012, “Analisis Heat Exchanger Aliran Paralel Pada Pasteurisasi Sari Buah Tomat”, Jurnal Teknologi Pertanian, Vol 4(1): 32-44.

Kong, Y. Q., Li, D., Wang, L. J., Bhandari, B., Chen, D. X., Mao, Z. H. 2008. Ohmic Heating Behavior of Certain Selected Liquid Food Materials. International journal of Food Engineering, 4(3), 1-13.

Koswara, S. 2009. Teknologi pengolahan sayuran dan buah-buahan. eBookPangan.com.

Kuellmer, Volker., 2001. Ascorbic Acid In: Kirk Othmer Encyclopedia of Chemical Technology”, John Wiley and Sons, New York.

Kulshrestha SA, Sastry SK. 2003. Frequency and voltage effects on enhanced diffusion during moderate electric field (MEF) treatment. Innov Food Sci Emerg Technol 4: 189-194.

Kulshrestha, S.A., Sastry, S.K., 2006. Low-frequency dielectric changes in cellular food material from ohmic heating: effect of end point temperature. Innov. Food Sci. Emerg. Technol. 7, 257- 262.

Kumalaningsih, S., Suprayogi. 2006. Tamarillo (Terung Belanda). Surabaya: Trubus Agrisarana.

Kumaran, A. dan Karunakaran, R.J. 2007., In vitro antioxidant activities of methanol extracts of five Phyllanthus species from India. LWT 40 : 344–352.

Kusnandar, Feri. 2010. Pasteurisasi Saribuah. http://itp.fateta.ipb.ac.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=105&Itemid=94, diakses 03 Nopember 2014.

Lakkakula, N., Lima, M., dan Walker, T. 2004. Rice Bran Stabilization and Rice Bran Oil Extraction Using Ohmic Heating. Bioresource Technology, 92: 157–16

Larkin, J. dan Spinak, S. 1996. Safety Considerations for Ohmically Heating, Aseptically Processes, Multiphase Low Acid Food Products. Food Technology, May: 242–245.

Lee Seung, K. dan Adel A. Kader. 2000. Preharvest and Postharvest Factors Influencing Vitamin C Content of HorticulturalCrops. Postharvest Biol. and Technol: no. 20, pp. 207-20.

Lee, K.W., Kim, Y.J., Lee, H.J., dan Lee, C.Y., 2003, Cocoa Has more Phenolik Phytochemical and A higher Antioxidant Capacity than Teas and Red Wine, J.Agric. Food Chem., 51 (52), 729-7295.

Page 189: DISERTASI - Unhas

173

Lee, MT. dan Chen BH. 2002. Stability of lycopene during heating and illumination in a model system. Article in Food Chemistry 78(4): 425-432.

Lehninger. 1982. Dasar-Dasar Biokimia jilid 3. Jakarta: Erlangga.

Leizerson, S., Shimoni, E., 2005a. Effect of ultrahigh-temperature continuous ohmic heating treatment on fresh orange juice. J. Agr. Food Chem. 53, 3519-3524.

Leizerson, S., Shimoni, E., 2005b. Stability and sensory shelf life of orange juice pasteurized by continuous ohmic heating. J. Agr. Food Chem. 53, 4012-4018.

Levine, M, K.R. Dhariwal, R.W. Welch, Y. Wang, dan J.B. Park. 1995. Determination of Optimal Vitamin C Requirements in Humans. dalam: The WA MERICAN Journal of Clinical Nutrition. 62 (Suppl) 1347S-1356S.

Lima M, Hesket BF, Sastry SK. The effect of frequency andwaveform on the electrical conductivity-temperature profiles of turnip tissue. J Food Process Eng. 2001;22:41–54. doi: 10.1111/j.1745-4530.

Lima, M., dan Sastry, S.K., 1999. The effects of ohmic heating frequency on hot-air drying rate and juice yield. J. Food Eng. 41, 115-119.

Lima, M., Heskitt, B. F., Burianek, L. L., Nokes, S. E., & Sastry, S. K. (1999). Ascorbic acid degradation kinetics during conventional and ohmic heating. Journal of Food Processing Preservation, 23, 421–434.

Linder, M. C. 1992, Nutritional Biochemistry and Metabolism, (Terj.): Parakkasi A. 1992, Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. UI Press. Jakarta: 201-214.

Lu, Y., H. Etoh, N. Watanabe, K. Ina, N. Ukai, S. Oshima, F. Ojima, H. Sakamoto, dan Y. Ishiguro. 1995, A New Carotenoid, Hydrogen Peroxide Oxidation Products from Lycopene, Bioscience of Biotechnology and Biochemistry, 59: 2153-2155.

Luh, B.S., 1980. Nectars, Pulpy Juices and Fruit Juice Blends. Di dalam P.E. Nelson dan D.K. Tressler (eds.) Fruit and Vegetable Juice processing Technology. The AVI Publishing Company,Inc., Westport, Connecticut.

Magalhaes, L.M., Segundo, M.A., Reis, S., Lima, dan Jose L.F.C., 2008, Methodological Aspects about in Vitro Evaluation of Antioxidant Properties, J. Anal. Chim. Acta, 613, 1-19.

Maisuthisakul Pitchaon, Pasuk, Sirikarn Ritthiruangdejca. 2008. Relationship between antioxidant properties and chemical composition of some thai plants. Journal of Food Composition and Analysis. 21: 229– 240.

Manito, P. 1981. Biosintesis Produk Alami. Terjemahan Koensoemardiyah. Semarang: IKIP Semarang Press.

Marra, F., Zell, M., Lyng, J. G., Morgan, D. J., Cronin, D. A. 2009. Analysis of Heat Transfer during Ohmic Processing of a Solid Food, Journal of Food Engineering, 91, 56–63.

Page 190: DISERTASI - Unhas

174

Mathavi, V., G. Sujatha, Bhavani Ramya, B. Karthika Devi. 2013. New Trends in Food Processing. International Journal of Advances in Engineering & Technology. ISSN: 2231 – 1963.

Matto, A. K., T. Murata, Er. B. Pantastico, K. Chachin, K. Ogata dan C. T Phan. 1989. Perubahan-perubahan kimiawi selama pematangan dan penuaan, p. 160-197. Dalam Er. B. Pantastico (Ed.). Fisiologi Pasca Panen Penanganan dan Pemanfaatan Buah-buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Subtropika. Terjemahan dari Postharvest Physiology, Handling and Utilization Tropical and Subtropical Fruits and Vegetables. Diterjemahkan oleh Kamariyani. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Mayer, C. D., Tbatou, M., Carail, M., Veyrat, C.C., Dornier, M. dan Amiot, M. J. 2007. Thermal Degradation of Antioxidant Micronutrients in Citrus Juice: Kinetics and Newly Formed Compounds. Journal of Agriculture and Food Chemistry, Vol. 55, No. 10.

Mazid, Mohd, Taqi Ahmed Khan , Zeba H. Khan , Saima Quddusi , dan Firoz Mohammad. 2011. Occurrence, Biosynthesis and Potentialities of Ascorbic Acid in Plants. International Journal of Plant, Animal and Environtmental Sciences. Vol I (2).

Meikapasa, N.W.P. dan I.G.N.O.Seventilova. 2016. Karakteristik Total Padatan Terlarut (TPT), Stabilitas Likopen dan Vitamin C Saus Tomat pada Berbagai Kombinasi Suhu dan Waktu Pemasakan. GaneC Swara Maret Vol. 10 no 1. pp 81-86.

Mercali, Giovana D., D. P. Jaeschke, I. C. Tessaro, dan L. D. F. Marczak. 2012. Study of Vitamin C Degradation in Acerola Pulp during Ohmic and Conventional Heat Treatment. Jurnal Food Science and Technology, 47, 91-95.

Miki, N., dan Akatsu, K. 1970. Effect of heat sterilization on the color of tomato juice. Nihon Shokuhin Kogyo Gakkai, 17, 175–181.

Miller, Alan N.D., 1996, Antioxidant flavonoid structural usage alternative medical Review I (2), 103-111.

Mizrahi, S. 1996. Leaching of Soluble Solids During Blanching of Vegetables by Ohmic Heating. Journal of Food Engineering, 29: 153–166.

Molyneux, P. 2004. The use of the stable free radikal diphenyl picrylhydrazyl (DPPH) for estimating antioxidant activity. Journal ScienceofTechnology. 26(2): 211-219.

Muchtadi, D. 1977. Pengetahuan dan Pengolahan Bahan Nabati. Departemen Teknologi Hasil Pertanian IPB: Bogor.

Muchtadi, D., Sri Palupi N., Astawan M. 1993. Metabolisme Zat Gizi. Sumber, Fungsi dan Kebutuhan bagi Tubuh Manusia. Jilid II. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 43-48

Muchtadi, R.T., F. Ayustaningwarno. 2010. Teknologi Proses PengolahanPangan. Penerbit Alfabeta, Bandung.

Page 191: DISERTASI - Unhas

175

Muchtadi, T.R., Sugiyono, dan F. Ayustingwarno. 2010. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Ikatan Penerbit Indonesia.

Murphy K. J, Chronopoulos A. K., Singh I.2003. Dietary flavanols and procyanidin oligomers from cocoa (Theobroma cacao) inhibit platelet function. American Journal of Clinical Nutrition 2003;77(6):1466-73.

Mursalim. 2013. Teknologi Pertanian; Motor Penggerak Pembangunan Pertanian. Masagena Press, Makassar.

Naidu KA. 2003. Vitamin C in human health and disease is still mistery? An Overview. J Nutr 2:7.

Nelson, W. G., De Marzo, A. M. dan Isaacs, W. B. Prostate cancer. N. Engl. J. Med. 2003; 349:366- 381.

Nguyen ML, Schwartz SJ. 1999. Lycopene: chemical and biological properties. Food Tech 53:38–45.

Norman,H.N. 1998. Prinsip-prinsip kimia. Jakarta: Erlangga.

Odriozola-Serrano, I., Soliva-Fortuny, R. dan Martín-Belloso, O. 2008. Phenolic acids, flavonoids, vitamin C and antioxidant capacity of strawberry juices processed by high-intensity pulsed electric fields or heat treatments. European Food Research Technology, Vol.228, pp.239-248.

Oms-Oliu, G., Odriozola-Serrano,I. Soliva-Fortuny, R., dan Martín-Belloso,O., 2009. Effects of high-intensity pulsed electric field processing conditions on lycopene, vitamin C and antioxidant capacity of watermelon juice. Food Chem. Vol. 115 (4), p. 1312–1319.

Orak, H.H, 2006. Total Antioxidant Activities, Phenolics, Anthocyanins, Polyphenoloxidase Activities in Red Grape Varieties. Electronic Journal of Polish Agricultural University Food Science and Technology, Volume 9, Issu – 118 htm.

Ozkan, N., Ho, I., Farid, M., 2004. Combined ohmic and plate heating of hamburgerpatties: quality of cooked patties. Journal of Food Engineering 63, 141–145

Palaniappan, S., Sastry, S.K., Richter, E.R., 1990. Effects of electricity on microorganisms: a review. J. Food Process. Preserv. 14, 393-414.

Palaniappan, S., Sastry, S.K., Richter, E.R., 1992. Effects of electroconductive heat treatment and electrical pretreatment on thermal death kinetics of selected microorganisms. Biotechnol. Bioeng. 39 (2), 225232.

Palaniappan, S., Sastry., S.K., 1991. Electrical conductivity of selected juices: influences of temperature, solids content, applied voltage, and particle size. J. Food Process Eng. 14, 247-260.

Pantastico, B.E.R., 1986. Fisiologi Pasca Panen. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Page 192: DISERTASI - Unhas

176

Passmore, R. dan Eastwood, M.A. 1986. Human Nutrition and Dietetics, 3rd ed. Longman: Hong Kong. pp. 233-4.

Pauly, G., 2001, Cosmetic, Dermatologycal and Pharmaceutical Use of An Extract Of Terminalia catappa, United State Patent Application no. 20000022665

Percival, M. 1998. Antioxidants. Advanced Nutrition Publication, Inc: New York.

Percival, S.S. and R.E. Turner. 2001. Applications of herbs to functional foods. In R.E.C. Wildman (Ed.). Handbook of Nutraceuticals and Functional Foods. CRC Press, Washington DC. p. 393−406.

Picart L, Cheftel JC. 2003. Pulsed electric fields. In: Zeuthen P, Bogh-Sorensen L, editors. Food preservation techniques. Fla.: CRC Press. pp 57–68.

Poedjiadi, A. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Penerbit UI-Press: Jakarta

Pohar KS, Gong MC, Bahnson R, Miller EC dan Clinton SK Tomatoes, Lycopene and Prostate Cancer. World J Urol. 2003; 21: 9-14.

Pokorny J, Korczak J 2001. Preparation of natural antioxidant, in Antioxidants in Food: Practical Applications, 1st ed., Pokorny, J., Yanishlieva, N. and Gordon, M., Eds., Woodhead Publishing Limited, Abington, Cambridge, England, pp. 311-330.

Pracaya, Ir. 2012. Bertanam Tomat. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Prawirokusumo, Soeharto. 1991, Biokimia Nutrisi dan Vitamin. BPFE, Yogyakarta.

Preedy. VR., dan R R Watson. 2009. Lycopene. Nutritional, Medicinal and

Therapeutic Properties. CRC Press.

Prior RL, Hoang HA, Gu L, Wu X, Bacchiocca M, Howard L, Hampsch-Woodill M, Huang D, Ou B, Jacob R. 2003. Assay for hydrophilic and lipophilic antioxidant capacity (oxygen radical absorbance capacity (ORACFL)) of plasma and other biological and food samples. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 51: 3273-3279. Didalam: Hsiu Ling Tsai, Sam KC, Sue-Joan Chang. 2007. Antioxidant content and free radical scavenging ability of fresh red pummelo (Citrus grandis L.) juice and freeze dried products. Journal Agriculture and Food Chemistry. 55: 2867-2872.

Rahayu Rakhmawati dan Yunianta. 2015. Effects of Proportion Fruit: Water and Heating Time on Antioxidant Activity of Hogplum Juice.Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 4 p.1682-1693.

Rahman, M. S. 1999. Handbook of Food Preservation. Second Edition. CRC Press.

Ramdhan, T. dan S. Aminah. 2014. Pengaruh Pemasakan terhadap Kandungan Antioksidan Sayuran. Buletin Pertanian Perkotaan Volume 4 Nomor 2.

Page 193: DISERTASI - Unhas

177

Rančić D, Quarrie Pekić S, dan Pećinar I. 2010. Anatomy of tomato fruit and fruit pedicel during fruit development. Faculty of Agriculture University of Belgrade, Nemanjina 6 11080 Zemun, Serbia.

Rao AV., dan Agarwal S.1999. Role of lycopene as antioxidant carotenoids in the prevention of chronic desease: a reiew. Nutritional Research.19:305–323.

Rao LG, Guns E, Rao A, 2003. Lycopene: Its Role in Human Health and Disease. AGROFood indusry hi-tech. pp. 25-30.

Rao, A V.,dan Agarwal, S. Role of Antioxidant Lycopene in Cancer and Heart Disease. American College of Nutrition. 2002; Vol.19:5;563-569.

Regina, A., Maimunah, Yovita L. 2008. Penentuan Aktivitas Antioksidan, Kadar Fenolat Total dan Likopen pada Buah Tomat (Solanum lycopersicum L). [Jurnal] Sains dan Teknologi Farmasi, Vol. 13, No. 1.

Rekha C, Poornima G, Manasa M, Abhipsa V, Devi JP, Kumar HTV, Kekuda TRP. 2012. Ascorbic acid, total phenol content and antioxidant activity of fresh juice of four ripe and unripe citrus fruits. Research Article. Chemical Science Transactions. 1(2): 303- 310.

Rezaeizadeh A, Zuki ABZ, M Abdollahi, Goh YM, Noordin MM, Hamid M, Azmi TI. 2011. determination of antioxidant activity in methanolic and chloroformic extract of momordica charantia. African Journal of Biotechnology.10(24): 4932-4940. ISSN 1684–5315.

Richardson, P. 2004.Thermal Technologies in Food Processing, Hlm.

Riska Rovitasari.2016. http://skripsi.co/skripsi-farmasi/penetapan-kadar-kuersetin-dalam-sediaan-sirup-daun-belimbing-wuluh-averrhoa-bilimbi-dengan-metode-spektrofotometri-uv-repository/. Diakses pada 12 April 2018.

Robert, KM. 2003. Sel Darah Merah dan Putih. Dalam: Anna PB. Tiara MN (Editors). Biokimia Harper. Jakarta: EGC; Halaman 730.

Ryall, A.L. dan Lipton, W.J. 1972. Handling, Transportation and Storage of Fruit and Vegetables. Vol I: Vegetables and Melons. AVI Pub., Wesport Connecticut.

Salengke, S. 2000. Electrothermal Effects of Ohmic Heating on Biomaterials. Ph.D. Dissertation, The Ohio State University, Columbus, OH.

Salunkhe K.D., Jadhav J.S., Yu H.M.1974. Quality and Nutritional Composition of Tomato Fruit as Influenced by Certain Biochemical and Physiological Changes. Logan, Edmonton & Washington.

Sanches-Moreno, C., 2002. Review: methods used to evaluate the free radical scavenging activity in foods and biological systems. Food Science Technology-International 8, 121–137.

Sandra, Goodman. 1991. Vitamin C : The Master Nutrient. Dalam : Muhilal dan Komari., 1995 Ester-C. Vitamin C Generasi III. Cetakan ketiga, Halaman 96-97, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Page 194: DISERTASI - Unhas

178

Sastry S.K. 1992. A model for heating of liquid-particle mixtures in a continuous flow ohmic heater. Journal of Food Process Engineering 15, 263–278. [Model for continuous flow ohmic heating of solid–liquid mixtures.]

Sastry, S. K., dan Barach, J. T. 2000. Ohmic and inductive heating. Journal of Food Science, Supplement, 65(4), 42–46.

Sastry, S. K., Yousef, A., Cho, H Y., Unal, R., Salengke, S., Wang, W. C., Lima, M., Kulshrestha, S., Wongsa-Ngasri, P., Sensoy, I. 2001. Ohmic Heating and Moderate Electric Field (MEF) Processing. In: Engineering and Food for the 21st Century. Technomic Publishers (in press).

Sastry, S.K. dan Salengke S. 1998. Ohmic heating of solid-liquid mixtures: a comparison of mathematical models under worst-case heating conditions, Journal of Food Process Engineering, 21(6):441-458.

Saxena A, Maity S, Raju P, dan Bawa A. 2012. Degradation kinetics of colour and total carotenoids in jackfruit (Artocarpus heterophyllus) bulb slice during hot air drying. Food Bioprocess Technol 5:672–679.

Schierle, J., Bretzel, W., Biihler, I., Faccin, N., Hess, D., Steiner, H., 1996, “Content and isomeric ratio of lycopene in food and human blood plasma”, Food Chemistry, 3, 459–465.

Schreier, P., Reid, D., dan Fryer, P. 1993. Enhanced Diffusion During the Electrical Heating of Foods. International Journal of Food Science and Technology, 28: 249–260.

Selmi Glaucia AR, Carmen SF Trindade, Carlos GF Grosso. Morphology, stability, and application of lycopene microcapsules produced by complex coaceration. J. Chem. 2013; 982603: 1-7.

Sensoy I., Zhang Q.H., Sastry S.K. 1997. Inactivation kinetic of Salmonella dublin by pulsed electric fields, J. Food Proc. Eng. Vol 20,pp 367–381.

Serpen, A.V.Gokmen,K.S. Bahceci, J. Acar. 2007. Reversible Degradation Kinetics of Vitamin C in Peas During Frozen Storage. Eur Food Res Technol, 2007, 224: 749–753. DOI 10.1007/s00217-006-0369-y.

Sharma S.K., danLe Maguer M. 1996. Kinetics of lycopene degradation in tomato pulp solids under different processing and storage conditions. Food Res. Int. 29:309-315.

Sharma, S.K., dan Le Maguer, M., 1996. Lycopene in Tomatoes and Tomato Pulp Fractions. Ital. J. Food Sci. 2, 107-113.

Shi, J. dan M. Le Maguer. 2000. Lycopene in Tomatoes: Chemical and Physical Properties Affected by Food Processing. Critical Review of Food Science and Nutrition. 40(1): 1-42

Shirsat, N., Lyng, J. G., Brunton, N. P., McKenna, B. 2004. Ohmic processing: Electrical Conductivities of Pork Cuts. Meat Science, 67, 507–514.

Sies H. 1992. Antioxidant Functions of Vitamin: vitamins E and C, A-carotene and other carotenoids. Ann N Y Acad. Ci, 69, 7-20.

Page 195: DISERTASI - Unhas

179

Simmonds, N. W. 1966. Banana. 2nd Edition. Longman Inc, New York. 446p.

Somavat, R. 2011. Applications and Effects of Ohmic Heating: Sterilization, Influence on Bacterial Spores, Enzymes, Bioactive Components and Quality Factor in Food. Ph.D. Dissertation The Ohio State University, Columbus, OH.

Stahl, W. dan H. Sies. 1992. Uptake of lycopene and its geometrical isomers is greater from heat processed than from unprocessed tomato juice in humans. Jounal of Nutrition, 122, 2161-2166.

Stahl, W., dan Sies, H. 1996. Lycopene: aBiologically Important Carotenoid for Humans? Arch Biochem Biophys: 336: 1-9.

Storey ML., Forshee RA., Anderson PA., Hein GL. The Relationship BetweenConsumption of Tomato Products, Which Contain Lycopene, And Reduction Riskof Prostate Cancer.Center for food and Nutiritional polic.2003;pp:1-70.

Subeki. 1998. Pengaruh Cara Pemasakan terhadap Kandungan Antioksidan Beberapa Macam Sayuran serta Daya Serap dan Retensinya pada Tikus Percobaan, Bogor: IPB.

Sudarmadji. S., Haryono, B., Suhardi. 1996. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty Yogyakarta. Yogyakarta.

Sudjadi dan Rohman, A. 2004. Analisa Obat dan Makanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sudradjat SS, Gunawan I. 2003. Likopen (Lycopene). Majalah Gizi Medik Indonesia Vol. 2 No. 5; 7-8.

Suhartono E, Fachir H, dan Setiawan B. Rokok sebagai sumber radikal bebas dalam Kapita selekta biokimia: Stres oksidatif dasar & penyakit. Banjarmasin. Pustaka Banua. 2007;1(2): 117-8.

Sukasih, E., Setyadjit dan Hariyadi, R. D. 2005. Analisis Kecukupan Panas Pada Proses Pasteurisasi Puree Mangga (Mangifera indica L).Jurnal Pascapanen,Vol. 2,No. 2.

Sun, D. W. 2006. Thermal Food Processing: New Technologies and Quality Issues. CRC Press. Boca Raton

Thompson IM, Goodman PJ, Tangen CM, Lucia MS, Miller GJ, Ford LG, The influence offinasteride on the development of prostate cancer. N Engl J Med. 2003; 349:215-24.

Thompson, H.C. dan W.C. Kelly. 1957. Vegetable Crops. 5th ed. McGraw Hill Book Company, Inc. New York. 611p.

Ting, V. S., dan J. A. Attaway. 1971. Citrus Fruits. Academic Press, London.

Tonucci, L.H., Holden, J.M., Beecher, G.R., Khachik, F., Davis, C.S., Mulokozi, G., 1995. Carotenoid Content of Thermally Processed Tomato-based Food-Products. J. Agric. Food Chem. 43, 579–586.

Page 196: DISERTASI - Unhas

180

Tranggono dan Sutardi. 1990. Biokimia dan Teknologi Pasca Panen. Hal 185-216. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Universitas Gadja Mada, Jogyakarta.

Tranggono, Zuheid N, dan Djoko W. 1988. Evaluasi Gizi Pengolahan Pangan. Jogyakarta: PAU Pangan Gizi UGM.

Tsang,G., 2005.Lycopenein Tomatoes and ProstateCancer. http://www.healthcastle.com. Diakses 16 Februari 2018.

Tuminah S. 2007.Teh sebagai salah satu antioksidan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Uckiah, D.Goburdhun dan A.Rugoo. 2009. Vitamin C Content During Processing and Sorage of Pineapple. Nutrition & Food Science Vol. 39 No. 4, 2009 pp. 398-412 q Emerald Group Publishing Limited 0034-6659 DOI 10.1108/00346650910976275.

Velioglo, YS, Mazza.G, Gao L.dan Oomah B.D. 1998. Antioxidant Activity and Total Phenolics in Selected Fruits, Vegetables and Grain Product. J. Aqric. Food Chem, 46:4113 – 4117.

Vikram, V. B., Ramesh, M. N., Prapulla, S. G. 2005. Thermal Degradation Kinetics of Nutrients in Orange Juice Heated by Electromagnetic and Conventional Methods. Journal of Food Engineering, 69, 31–40.

Viranda P.M, 2009, Pengujian kandungan Senyawa yang terdapat dalam Tomat, Jurnal P. Universitas Indonesia.

Vogel. 1994. Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Edisi Keempat. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Wallace G., Fry S.C. 1994. Phenolic Components of The Plant Cell Wall. Int Rev Cytol 151 (1994) 229–267

Walpole, R. E. 1995. Pengantar Statistika. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Walstra, P. 2003. Physical Chemistry of Food. Wageningen University, Wageningen The Netherlands. Marcel Dekker, Inc. New York.

Wang, W. C., dan Sastry, S. K. 2002. Effects of Moderate Electrothermal Treatments on Juice Yield from Cellular Tissue. Innovative Food Science and Emerging Technologies. 3 (4), 371–377.

Wang, W. C., dan Sastry, S. K. 2000. Effects of thermal and electrothermal pretreatments on 1034 hot air drying rate of vegetable tissue. Journal of Food Process Engineering, 23, 299- 1035 319.

Wang, W. dan Sastry, S. K. 1997. Starch Gelatinization in Ohmic Heating. Journal of Food Engineering, 34: 225–242.

Weaver, J.C., Chizmadzhev, Y.A., 1996. Theory of electroporation: a review. Bioelectrochem. Bioenergetics 41 (1), 135-160

Weber P., Bendich dan A. Schalch. 1996. Ascorbic Acid and Human Health– a Review of Recent Data Relevant to Human Requirements. Int J Vit Nutr Res 66:19-30.

Page 197: DISERTASI - Unhas

181

Whitman WB, Vos PD, Garrity GM, Jones D, Krieg NR, Ludwig W, Rainey FA, Schleifer K, 2009. Bergey’s Manual of Systemic Bacteriology 2nd ed vol. 3. Springer Dordrecht Heidelberg London New York. pp. 49-53.

Widyastuti, N. 2010. Pengukuran Aktivitas Antioksidan dengan Metode CUPRAC, DPPH, dan FRAP serta korelasinya dengan Fenol, Flavonoid pada enam tananman. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan, Institut Pertanian Bogor. hal. 1-31.

Willcox JK, Catignani GL dan Lazarus S. 2003. Tomatoes and cardiovascular Health. Critical Rev. in Food Sci and Nut, 43 (1),1-18.

Wills, R.B.H., W.B. McGlasson, D. Graham, T.H. Lee, and E.G. Hall. 1989. Postharvest: An Introduction to the Physiology and Handling of Fruit and Vegetables. An Avi Book, Van Nostrand Reinhold. New York. 164p.

Winarno FG, dan Aman M.1979. Fisiologi Lepas Panen. Bogor: Sastra Hudaya.

Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit PT Gramedia, Jakarta.

Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia. Jakarta.

Winarsi, H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Windono T Soediman, S Yudawati, U Ermawati, EErowati dan T Inayah. 2001. Uji perendamanradikal bebas terhadap 1,1-Diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH) dari ekstrak kulit buah danbiji anggur (Vitis vinifera L.) Probolinggo Biri danBali, Artocarpus 1(1): 34-43.

Woodall, A.A., S.W.Lee, R.J. Weesie, M.J. Jackson, dan G.Britton. 1997.Oxidation of Carotenoids by Free Radicals; Relationship between Structure and Reactivity.Biochimica et BiophysicaActa, 1336: 33-42.

Yeom HW, Streaker CB, Zhang QH dan Min DB. 2000. “Effects of Pulsed electric fields on the quality of orange juice and comparison with heat pasteurization”. J. Agric. Food Chem. 48(10): pp 4597-4605.

Yildiz, H., Bozkurt, H., Icier, F., 2009. Ohmic and conventional heating of pomegranate juice: effects on rheology, color and total phenolics. Food Sci. Technol. Int. 15 (5), 503-512.

Yildiz, H., Icier, F., Baysal, T., 2010. Changes in β-carotene, chlorophyll and color of spinach puree during ohmic heating. J. Food Process Eng. 33, 763-779.

Yongsawatdigul, J., Park, J. W., Kolbe, E., Abudagga, Y., dan Morrissey, M. T. 1995. Ohmic Heating Maximizes Gel Functionality of Pacific Whiting Surimi. J Food Sci, 60, 10-14.

Yuwono, AH. 2009, Teori dasar pengujian mekanik pada material, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Jakarta.

Zareifard, M. R., Ramaswamy, H. S., Trigui, M., Marcotte, M. 2003. Ohmic Heating Behaviour and Electrical Conductivity of Two-Phase Food

Page 198: DISERTASI - Unhas

182

Systems. Innovative Food Science and Emerging Technologies, 4, 45–55.

Zuhra, C. F., Tarigan, J. B., dan Sitohang, H. 2008. Aktivitas Antioksidan SenyawaFlavonoid dari Daun Katuk (Sauropus androginus (L) Merr.), Jurnal BiologiSumatera, 3: 7-10.

Zulkarnain, H. 2010. Dasar-dasar Hortikultura. Bumi Aksara. Jakarta.

Page 199: DISERTASI - Unhas

183

Lampiran 1.

Notasi/Rumus/Persamaan

No

Rumus/Persamaan

Keterangan

1

I = V/R

Hubungan antara arus, tegangan dan hambatan (Hukum Ohm)

2

ϬT= Ϭref [1 + m(T-Tref)

Konduktivitas Listrik (pada suhu T)

3

σ = σ0 1 + mT

Konduktiitas Listrik (Linear)

4

𝑘𝑐𝑑(𝐶)

𝑑𝑡

Laju reaksi perubahan konsentrasi suatu senyawa (dC) terhadap perubahan waktu (dt)

5

dC/dt = - k [C]n

Laju reaksi orde satu

6

k = Ae –Ea/RT

Persamaan Arrhenius (Konstanta Kecepatan Reaksi)

7

ln k = ln k0 - Ea/R . 1/T

Persamaan Arrhenius dalam bentuk logaritma

8

Ln C = Ln Co – kt

Kinetika degradasi L-asam askorbat orde satu

9

D = t

log Co−log C

Decimal Reduction Time

10

Z =T2−T1

log D1−log D2

Ketahanan Panas (Thermal Resistance Constant)

11

k = 2,303

D

Reaction Rate Constant (konstanta k)

12

Ln k = ln ko - 𝐸𝑎

𝑅 .

1

𝑇

Energi Aktivasi

13

Yijk = µ + α1 + ßj + (αß)ij + €ijk

Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial dengan 2 Faktor

14

Total Asam = 𝑏

𝑎

Perhitungan Total Asam

15

K = 100

𝑛𝑥

𝑆𝑃−𝐵𝐿

𝑆𝑇−𝐵𝐿 𝑥 𝑆𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 𝑥 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛

Penentuan kandungan vitamin C dengan Metoda Titrasi 2,6 D

16

𝐶 =𝐴

𝐸1𝑐𝑚1% 𝑥 𝑏

Penentuan Kadar Likopen

17

% Inhibisi = (𝐴𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙−𝐴𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙)

𝐴𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 x 100%

Serapan larutan DPPH (% inhibisi)

Page 200: DISERTASI - Unhas

184

Lampiran 2.

Total Asam Jus Tomat

Univariate Analysis of Variance

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Total Asam Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model .005a 11 .000 8.848 .000 Intercept .590 1 .590 10448.297 .000 Suhu .001 2 .001 10.917 .000 Lama .003 3 .001 16.556 .000 Suhu * Lama .001 6 .000 4.304 .004

Error .001 24 5.651E-005 Total .597 36 Corrected Total .007 35 a. R Squared = .802 (Adjusted R Squared = .712)

Post hoc test Suhu Pemanasan (Celcius) Homogeneous Subsets

Total Asam

Suhu Pemanasan (Celcius) N Subset

1 2

Tukey Ba,b

110 12 .121733

90 12 .126608

70 12 .135850

Duncana,b

110 12 .121733

90 12 .126608

70 12 .135850

Sig. .125 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 5.651E-005. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12.000. b. Alpha = 0.05.

Page 201: DISERTASI - Unhas

185

Lama Pemanasan (menit) Homogeneous Subsets

Total Asam

Lama Pemanasan (menit) N Subset

1 2 3

Tukey Ba,b

45 9 .117867

0 9 .124100 .124100

30 9 .128367

15 9 .141922

Duncana,b

45 9 .117867

0 9 .124100 .124100

30 9 .128367

15 9 .141922

Sig. .091 .240 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 5.651E-005. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000. b. Alpha = 0.05.

Page 202: DISERTASI - Unhas

186

Lampiran 3.

PH Jus Tomat

Univariate Analysis of Variance

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: pH Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model .439a 11 .040 17.262 .000 Intercept 663.063 1 663.063 286902.043 .000 Suhu .258 2 .129 55.915 .000 Lama .074 3 .025 10.630 .000 Suhu * Lama .107 6 .018 7.694 .000

Error .055 24 .002 Total 663.557 36 Corrected Total .494 35 a. R Squared = .888 (Adjusted R Squared = .836)

Post Hoc Tests Suhu Pemanasan (Celcius) Homogeneous Subsets

pH

Suhu Pemanasan (Celcius) N Subset

1 2 3

Tukey Ba,b

70 12 4.1892

90 12 4.2892

110 12 4.3967

Duncana,b

70 12 4.1892

90 12 4.2892

110 12 4.3967

Sig. 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .002. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12.000. b. Alpha = 0.05.

Page 203: DISERTASI - Unhas

187

Post Hoc Tests

Lama Pemanasan (menit) Homogeneous Subsets

pH

Lama Pemanasan (menit) N Subset

1 2

Tukey Ba,b

15 9 4.2167

30 9 4.2967

0 9 4.3200

45 9 4.3333

Duncana,b

15 9 4.2167

30 9 4.2967

0 9 4.3200

45 9 4.3333

Sig. 1.000 .138

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .002. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000. b. Alpha = 0.05.

Page 204: DISERTASI - Unhas

188

Lampiran 4.

Total Padatan Terlarut Univariate Analysis of Variance

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Total Padatan Terlarut Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model .649a 11 .059 12.492 .000 Intercept 410.738 1 410.738 86979.765 .000 Suhu .094 2 .047 9.941 .001 Lama .513 3 .171 36.235 .000 Suhu * Lama .042 6 .007 1.471 .230

Error .113 24 .005 Total 411.500 36 Corrected Total .762 35 a. R Squared = .851 (Adjusted R Squared = .783)

Post Hoc Tests Suhu Pemanasan (Celcius) Homogeneous Subsets

Total Padatan Terlarut

Suhu Pemanasan (Celcius) N Subset

1 2 3

Tukey Ba,b

70 12 3.317

90 12 3.375

110 12 3.442

Duncana,b

70 12 3.317

90 12 3.375

110 12 3.442

Sig. 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .005. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12.000. b. Alpha = 0.05.

Page 205: DISERTASI - Unhas

189

Lama Pemanasan (menit) Homogeneous Subsets

Total Padatan Terlarut

Lama Pemanasan (menit) N Subset

1 2 3

Tukey Ba,b

0 9 3.200

15 9 3.367

30 9 3.411

45 9 3.533

Duncana,b

0 9 3.200

15 9 3.367

30 9 3.411

45 9 3.533

Sig. 1.000 .183 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .005. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000. b. Alpha = 0.05.

Page 206: DISERTASI - Unhas

190

Lampiran 5.

4. Vitamin C Univariate Analysis of Variance

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Kandungan Vitamin C

Source Type III Sum of

Squares

df Mean Square F Sig.

Corrected Model 187.847a 11 17.077 125.254 .000

Intercept 1076.930 1 1076.930 7898.923 .000

Suhu 5.887 2 2.944 21.590 .000

Lama 169.059 3 56.353 413.331 .000

Suhu * Lama 12.901 6 2.150 15.771 .000

Error 3.272 24 .136

Total 1268.050 36

Corrected Total 191.119 35

a. R Squared = .983 (Adjusted R Squared = .975)

Post Hoc Tests Suhu Pemanasan (Celcius) Homogeneous Subsets

Kandungan Vitamin C

Suhu Pemanasan (Celcius) N Subset

1 2 3

Tukey Ba,b

110 12 5.002908

90 12 5.416242

70 12 5.989158

Duncana,b

110 12 5.002908

90 12 5.416242

70 12 5.989158

Sig. 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .136. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12.000. b. Alpha = 0.05.

Page 207: DISERTASI - Unhas

191

Lama Pemanasan (menit) Homogeneous Subsets

Kandungan Vitamin C

Lama Pemanasan (menit)

N Subset

1 2 3 4

Tukey Ba,b

45 9 2.968889

30 9 4.017222

15 9 6.303333

0 9 8.588300

Duncana,b

45 9 2.968889

30 9 4.017222

15 9 6.303333

0 9 8.588300

Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .136. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000. b. Alpha = 0.05.

Page 208: DISERTASI - Unhas

192

Lampiran 6.

5. Kandungan Polifenol Univariate Analysis of Variance

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kandungan Polifenol Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 13.416a 11 1.220 3.838 .003 Intercept 85.883 1 85.883 270.258 .000 Suhu 4.058 2 2.029 6.385 .006 Lama 7.403 3 2.468 7.765 .001 Suhu * Lama 1.956 6 .326 1.026 .433

Error 7.627 24 .318 Total 106.926 36 Corrected Total 21.043 35 a. R Squared = .638 (Adjusted R Squared = .471)

Post Hoc Tests

Suhu Pemanasan (Celcius)

Homogeneous Subsets

Kandungan Polifenol

Suhu Pemanasan (Celcius) N Subset

1 2

Tukey Ba,b

90 12 1.27575

70 12 1.34000

110 12 2.01792

Duncana,b

90 12 1.27575

70 12 1.34000

110 12 2.01792

Sig. .782 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .318. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12.000. b. Alpha = 0.05.

Page 209: DISERTASI - Unhas

193

Lama Pemanasan (menit) Homogeneous Subsets

Kandungan Polifenol

Lama Pemanasan (menit) N Subset

1 2 3

Tukey Ba,b

0 9 1.03900

15 9 1.26567

30 9 1.63556 1.63556

45 9 2.23800

Duncana,b

0 9 1.03900

15 9 1.26567 1.26567

30 9 1.63556

45 9 2.23800

Sig. .402 .177 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .318. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000. b. Alpha = 0.05.

Page 210: DISERTASI - Unhas

194

Lampiran 7.

Kuersetin Univariate Analysis of Variance

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kuersetin Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 10.365a 11 .942 6.185 .000 Intercept 30.625 1 30.625 201.017 .000 Suhu 2.569 2 1.284 8.430 .002 Lama 2.674 3 .891 5.851 .004 Suhu * Lama 5.122 6 .854 5.603 .001

Error 3.656 24 .152 Total 44.647 36 Corrected Total 14.021 35 a. R Squared = .739 (Adjusted R Squared = .620)

Post Hoc Tests Suhu Pemanasan (Celcius) Homogeneous Subsets

Kuersetin

Suhu Pemanasan (Celcius) N Subset

1 2

Tukey Ba,b

70 12 .54458

110 12 1.10958

90 12 1.11283

Duncana,b

70 12 .54458

110 12 1.10958

90 12 1.11283

Sig. 1.000 .984

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .152. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12.000. b. Alpha = 0.05.

Page 211: DISERTASI - Unhas

195

Lama Pemanasan (menit)

Homogeneous Subsets Kuersetin

Lama Pemanasan (menit) N Subset

1 2

Tukey Ba,b

0 9 .47900 15 9 .92267 .92267

45 9 1.10856

30 9 1.17911

Duncana,b

0 9 .47900

15 9 .92267

45 9 1.10856

30 9 1.17911

Sig. 1.000 .200

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .152. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000. b. Alpha = 0.05.

Page 212: DISERTASI - Unhas

196

Lampiran 8.

Likopen

Univariate Analysis of Variance

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Likopen Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 2051.057a 11 186.460 3.700 .004 Intercept 11559.475 1 11559.475 229.352 .000 Suhu 549.526 2 274.763 5.452 .011 Lama 1277.119 3 425.706 8.446 .001 Suhu * Lama 224.412 6 37.402 .742 .621

Error 1209.612 24 50.400 Total 14820.144 36 Corrected Total 3260.669 35 a. R Squared = .629 (Adjusted R Squared = .459)

Post Hoc Tests Suhu Pemanasan (Celcius) Homogeneous Subsets

Likopen

Suhu Pemanasan (Celcius) N Subset

1 2

Tukey Ba,b

70 12 13.2192 90 12 17.7533 17.7533

110 12 22.7850

Duncana,b

70 12 13.2192 90 12 17.7533 17.7533

110 12 22.7850

Sig. .131 .095

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 50.400. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12.000. b. Alpha = 0.05.

Page 213: DISERTASI - Unhas

197

Lama Pemanasan (menit)

Homogeneous Subsets

Likopen

Lama Pemanasan (menit) N Subset

1 2 3

Tukey Ba,b

0 9 10.1700

15 9 14.3522 14.3522

30 9 21.9800 21.9800

45 9 25.1744

Duncana,b

0 9 10.1700

15 9 14.3522

30 9 21.9800

45 9 25.1744

Sig. .223 .349 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 50.400. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000. b. Alpha = 0.05.

Page 214: DISERTASI - Unhas

198

Lampiran 9.

Antioksidan Univariate Analysis of Variance

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Antioksidan Source Type III Sum of

Squares Df Mean Square F Sig.

Corrected Model 623638.057a 11 56694.369 18.969 .000 Intercept 8915807.824 1 8915807.824 2983.130 .000 Suhu 373784.865 2 186892.433 62.532 .000 Lama 70869.140 3 23623.047 7.904 .001 Suhu * Lama 178984.052 6 29830.675 9.981 .000

Error 71729.833 24 2988.743 Total 9611175.714 36 Corrected Total 695367.890 35 a. R Squared = .897 (Adjusted R Squared = .850)

Post Hoc Tests Suhu Pemanasan (Celcius) Homogeneous Subsets

Antioksidan

Suhu Pemanasan (Celcius) N Subset

1 2 3

Tukey Ba,b

110 12 358.0317

70 12 536.5942

90 12 598.3417

Duncana,b

110 12 358.0317

70 12 536.5942

90 12 598.3417

Sig. 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 2988.743. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12.000. b. Alpha = 0.05.

Page 215: DISERTASI - Unhas

199

Lama Pemanasan (menit)

Homogeneous Subsets

Antioksidan

Lama Pemanasan (menit) N Subset

1 2

Tukey Ba,b

30 9 448.9867

45 9 477.5389

15 9 495.0678

0 9 569.0300

Duncana,b

30 9 448.9867

45 9 477.5389

15 9 495.0678

0 9 569.0300

Sig. .103 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 2988.743. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000. b. Alpha = 0.05.

Page 216: DISERTASI - Unhas

200

Lampiran 10.

POLIFENOL

Konsentrasi dan Absorbansi Polifenol

Nama Sampel Konsentrasi Absorban

Blanko 0.000 0.000

Asam Galat 0.5 ppm 0.500 0.061

Asam Galat 1.5 ppm 1.500 0.140

Asam Galat 3 ppm 3.000 0.269

Asam Galat 5 ppm 5.000 0.465

Asam Galat 7 ppm 7.000 0.781

Asam Galat 10 ppm 10.000 0.959

y = 0.0997x - 0.0024R² = 0.9871

-0.200

0.000

0.200

0.400

0.600

0.800

1.000

1.200

0.000 5.000 10.000 15.000

abso

rban

konsentrasi

Kurva Standar Asam Galat

Absorban

Linear (Absorban)

Page 217: DISERTASI - Unhas

201

Nama Sampel Konsentrasi

Sampel Absorban

Kadar Polifenol (%)

Rata-Rata % Kuersetin

A(T70W15).1 1.162 0.113 1.162

1.147 A(T70W15).2 1.117 0.109 1.117

A(T70W15).3 1.162 1.113 1.162

B(T70W30).1 1.655 0.163 1.655

1.678 B(T70W30).2 1.787 0.176 1.787

B(T70W30).3 1.592 0.156 1.592

C(T70W45).1 1.091 0.106 1.091

1.128 C(T70W45).2 1.105 0.108 1.105

C(T70W45).3 1.188 0.116 1.188

D(T90W15).1 1.224 0.120 1.224

1.115 D(T90W15).2 1.048 0.102 1.048

D(T90W15).3 1.074 0.105 1.074

E(T90W30).1 1.815 0.179 1.815

1.705 E(T90W30).2 1.605 0.158 1.605

E(T90W30).3 1.695 0.167 1.695

F(T90W45).1 2.941 0.291 2.941

3.041 F(T90W45).2 3.231 0.320 3.231

F(T90W45).3 2.950 0.292 2.950

G(T110W15).1 2.550 0.252 2.550

2.496 G(T110W15).2 2.550 0.236 2.550

G(T110W15).3 2.388 0.246 2.388

H(T110W30).1 3.230 0.320 3.230

3.111 H(T110W30).2 2.924 0.289 2.924

H(T110W30).3 3.178 0.314 3.178

I(T110W45).1 3.937 0.39 3.937

3.632 I(T110W45).2 3.446 0.341 3.446

I(T110W45).3 3.514 0.348 3.514

O1 1.475 0.145 1.475

1.538 O2 1.502 0.147 1.502

O3 1.637 0.161 1.637

konsentrasi sampel yg diukur = 10000 ppm

% Polifenol = Konsentrasi Sampel x 100%

Konsentrasi Sampel Sebenarnya yg Diukur /100ppm

Page 218: DISERTASI - Unhas

202

Lampiran 11.

KUERSETIN

Konsentrasi dan Absorbansi Kuersetin

Nama Sampel Konsentrasi Absorban

Blanko 0.000 0.000

Kuersetin 2 ppm 2.000 0.150

Kuersetin 4 ppm 4.000 0.315

Kuersetin 6 ppm 6.000 0.486

Kuersetin 8 ppm 8.000 0.672

Kuersetin 10 ppm 10.000 0.831

y = 0.0842x - 0.0119R² = 0.9991

-0.100

0.000

0.100

0.200

0.300

0.400

0.500

0.600

0.700

0.800

0.900

0.000 5.000 10.000 15.000

ab

sorb

an

konsentrasi

Kurva Standar

Absorban

Linear (Absorban)

Page 219: DISERTASI - Unhas

203

Nama Sampel Konsentrasi

Sampel Absorban

Kadar Kuersetin (%)

Rata-rata % Kuersetin

A(T70W15).1 0.623 0.04 0.623

0.601 A(T70W15).2 0.630 0.041 0.630

A(T70W15).3 0.551 0.034 0.551

B(T70W30).1 0.602 0.123 0.602

1.156 B(T70W30).2 1.461 0.111 1.461

B(T70W30).3 1.404 0.106 1.404

C(T70W45).1 0.531 0.033 0.531

0.523 C(T70W45).2 0.517 0.031 0.517

C(T70W45).3 0.520 0.032 0.520

D(T90W15).1 0.728 0.049 0.728

0.811 D(T90W15).2 0.800 0.055 0.800

D(T90W15).3 0.905 0.064 0.905

E(T90W30).1 0.588 0.037 0.588

0.647 E(T90W30).2 0.833 0.058 0.833

E(T90W30).3 0.520 0.032 0.520

F(T90W45).1 2.815 0.225 2.815

2.690 F(T90W45).2 2.150 0.169 2.150

F(T90W45).3 3.104 0.249 3.104

G(T110W15).1 2.039 0.16 2.039

1.725 G(T110W15).2 1.359 0.102 1.359

G(T110W15).3 1.776 0.137 1.776

H(T110W30).1 2.081 0.163 2.081

2.011 H(T110W30).2 2.015 0.158 2.015

H(T110W30).3 1.937 0.151 1.937

I(T110W45).1 1.765 0.137 1.765

1.731 I(T110W45).2 1.859 0.144 1.859

I(T110W45).3 1.570 0.12 1.570

O1 0.582 0.037 0.582

0.613 O2 0.612 0.039 0.612

O3 0.645 0.042 0.645

Konsentrasi Sampel yg Diukur = 10000 ppm

% Kuersetin = Konsentrasi Sampel x 100%

Konsentrasi Sampel Sebenarnya yg Diukur (100ppm)

Page 220: DISERTASI - Unhas

204

Lampiran 12.

LIKOPEN

Kode Sampel

Absorban (A) E 1%1cm

b (cm)

C /konsentrasi (g/100ml)

rata-rata C

(g/100ml)

rata-rata C (mg/100ml)

A.1 0.416 3450 1 0.00012058

0.00012 0.12 A.2 0.415 3450 1 0.00012029

A.3 0.405 3450 1 0.000117391

B.1 0.493 3450 1 0.000142899

0.00014 0.14 B.2 0.490 3450 1 0.000142029

B.3 0.493 3450 1 0.000142899

C.1 0.474 3450 1 0.000137391

0.00014 0.14 C.2 0.476 3450 1 0.000137971

C.3 0.475 3450 1 0.000137681

D.1 0.368 3450 1 0.000106667 0.00011 0.11 D.2 0.367 3450 1 0.000106377

D.3 0.370 3450 1 0.000107246

E.1 0.998 3450 1 0.000289275

0.00029 0.29 E.2 0.995 3450 1 0.000288406

E.3 0.993 3450 1 0.000287826

F.1 0.680 3450 1 0.000197101

0.00020 0.20 F.2 0.686 3450 1 0.000198841

F.3 0.696 3450 1 0.000201739

G.1 0.812 3450 1 0.000235362

0.00024 0.24 G.2 0.821 3450 1 0.000237971

G.3 0.824 3450 1 0.000238841

H.1 1.154 3450 1 0.000334493

0.00034 0.34 H.2 1.159 3450 1 0.000335942

H.3 1.160 3450 1 0.000336232

I.1 1.533 3450 1 0.000444348

0.00045 0.45 I.2 1.569 3450 1 0.000454783

I.3 1.560 3450 1 0.000452174

O.1 0.465 3450 1 0.000134783

0.00013 0.13 O.2 0.461 3450 1 0.000133623

O.3 0.455 3450 1 0.000131884

rumus likopen/C : A /(E 1%

1cmx b)

keterangan C : konsentrasi (g/100ml)

A : Absorban b : tebal kuvet (cm)

E 1%1cm : 3450

Page 221: DISERTASI - Unhas

205

Lampiran 13.

ANTIOKSIDAN JUS TOMAT

1. Perlakuan A: Suhu 70°C, Waktu 15 menit

No Nama Sampel Konsentrasi

(ppm) Absorban

% Penghambatan

Rata2 % Penghambatan

1 Blank$o/DPPH 1

0

0.939

0.904 2 Blanko/DPPH 2 0.917

3 Blanko/DPPH 3 0.857

4 A 100ppm.1

100

0.708 22.235

20.170 5 A 100ppm.2 0.722 20.686

6 A 100ppm.3 0.750 17.588

7 A 200ppm.1

200

0.679 25.442

26.549 8 A 200ppm.2 0.660 27.544

9 A 200ppm.3 0.668 26.659

10 A 300ppm.1

300

0.570 37.500

33.886 11 A 300ppm.2 0.592 35.066

12 A 300ppm.3 0.646 29.093

13 A 400ppm.1

400

0.533 41.593

40.229 14 A 400ppm.2 0.545 40.265

15 A 400ppm.3 0.558 38.827

16 A 500ppm.1

500

0.483 47.124

45.280 17 A 500ppm.2 0.504 44.801

18 A 500ppm.3 0.512 43.916

y = 0.0639x + 14.053R² = 0.9963

0.000

10.000

20.000

30.000

40.000

50.000

0 200 400 600

% P

engh

amb

atan

konsentrasi

Penghambatan

persenpenghambatan

persenpenghambatan

Linear (persenpenghambatan)

Page 222: DISERTASI - Unhas

206

A). y = 0.063x + 14.05

50 = 0.063x + 14.05

x = (50-14.05)/0.063

x = 570.63 ppm atau 570.63 µg/ml

Berdasarkan persamaan regresi linier tersebut dapat ditentukan nilai IC50 sampel A

sebesar 570.63 µg/ml. Nilai IC50 ini menunjukkan bahwa sampel A tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang tidak aktif, karena memiliki nilai IC50 570.63 μg/ml

Keterangan: Tingkat kekuatan antioksidan berdasarkan nilai IC50

Intensitas Nilai IC50 (ppm)

Sangat kuat <50

Kuat 50-100

Sedang 101-250

Lemah 251-500

Tidak aktif >500

Konsentrasi Persen Penghambatan

100 20.170

200 26.549

300 33.886

400 40.229

500 45.280

Sumber: Jun M, Fu HY,Hong J, Wan X, Yang CS, dan Ho CT 2003.Comparison of

Antioxodant Actifirs of Isoflavones from Kudzu Root (Pueraria labata Ohwl).

Journal

Food Science. Agustus 2003. 68 (6): Hal 2117-2122

Page 223: DISERTASI - Unhas

207

2. Perlakuan B: Suhu 70°C, Waktu 30 menit

No Nama Sampel Konsentrasi

(ppm) Absorban

% Penghambatan

Rata2 %Penghambatan

1 Blanko/DPPH 1

0

0.939

0.904 2 Blanko/DPPH 2 0.917

3 Blanko/DPPH 3 0.857

4 B 100ppm.1

100

0.711 21.350

23.156 5 B 100ppm.2 0.694 23.230

6 B 100ppm.3 0.679 24.889

7 B 200ppm.1

200

0.596 34.071

33.776 8 B 200ppm.2 0.620 31.416

9 B 200ppm.3 0.580 35.841

10 B 300ppm.1

300

0.496 45.133

40.376 11 B 300ppm.2 0.551 39.049

12 B 300ppm.3 0.570 36.947

13 B 400ppm.1

400

0.458 49.336

46.645 14 B 400ppm.2 0.497 45.022

15 B 400ppm.3 0.492 45.575

16 B 500ppm.1

500

0.367 59.403

59.440 17 B 500ppm.2 0.409 54.757

18 B 500ppm.3 0.324 64.159

y = 0.0854x + 15.048R² = 0.9833

0.000

10.000

20.000

30.000

40.000

50.000

60.000

70.000

0 200 400 600

% P

en

gha

mb

ata

n

konsentrasi

Penghambatan

persenpenghambatan

Linear (persenpenghambatan)

Page 224: DISERTASI - Unhas

208

B) y = 0.085x + 15.04

50 = 0.085x + 15.04

x =(50 -15.04)/0.085

x = 411.29 ppm

Berdasarkan persamaan regresi linier tersebut dapat ditentukan nilai IC50 sampel B

sebesar 411.29 µg/ml. Nilai IC50 ini menunjukkan bahwa sampel B tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang lemah, karena memiliki nilai IC50 411.29 μg/ml

Keterangan:

Tingkat kekuatan antioksidan berdasarkan nilai IC50

Intensitas Nilai IC50 (ppm)

Sangat kuat <50

Kuat 50-100

Sedang 101-250

Lemah 251-500

Tidak aktif >500

Konsentrasi Persen Penghambatan

100 23.156

200 33.776

300 40.376

400 46.645

500 59.440

Sumber: Jun M, Fu HY,Hong J, Wan X, Yang CS, dan Ho CT 2003.Comparison of

Antioxodant Actifirs of Isoflavones from Kudzu Root (Pueraria labata Ohwl).

Journal Food Science. Agustus 2003. 68 (6): Hal 2117-2122

Page 225: DISERTASI - Unhas

209

3. Perlakuan C: Suhu 70°C, Waktu 45 menit

No Nama Sampel Konsentrasi

(ppm) Absorban

% Penghambatan

Rata2 % Penghambatan

1 Blanko/DPPH 1

0

0.939

0.904 2 Blanko/DPPH 2 0.917

3 Blanko/DPPH 3 0.857

4 C 100ppm.1

100

0.672 25.664

22.529 5 C 100ppm.2 0.714 21.018

6 C 100ppm.3 0.715 20.907

7 C 200ppm.1

200

0.634 29.867

29.130 8 C 200ppm.2 0.650 28.097

9 C 200ppm.3 0.638 29.425

10 C 300ppm.1

300

0.566 37.389

36.541 11 C 300ppm.2 0.569 37.058

12 C 300ppm.3 0.586 35.177

13 C 400ppm.1

400

0.487 46.128

45.317 14 C 400ppm.2 0.503 44.358

15 C 400ppm.3 0.493 45.465

16 C 500ppm.1

500

0.458 49.336

49.410 17 C 500ppm.2 0.449 50.332

18 C 500ppm.3 0.465 48.562

y = 0.0699x + 15.601R² = 0.9907

0.000

10.000

20.000

30.000

40.000

50.000

60.000

0 200 400 600

% P

engh

amb

atan

Konsentrasi

Persen Penghambatan

persenpenghambatan

Linear (persenpenghambatan)

Page 226: DISERTASI - Unhas

210

C). y = 0.069x + 15.60

50 = 0.069x + 15.60

x =(50 - 15.60)/0.069

x = 498.55 ppm atau 498.55 μg/ml

Berdasarkan persamaan regresi linier tersebut dapat ditentukan nilai IC50 sampel C

sebesar 498.55 µg/ml. Nilai IC50 ini menunjukkan bahwa sampel C tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang lemah, karena memiliki nilai IC50 498.55 μg/ml

Keterangan: Tingkat kekuatan antioksidan berdasarkan nilai IC50

Intensitas Nilai IC50 (ppm)

Sangat kuat <50

Kuat 50-100

Sedang 101-250

Lemah 251-500

Tidak aktif >500

Konsentrasi Persen Penghambatan

100 22.529

200 29.130

300 36.541

400 45.317

500 49.410

Sumber: Jun M, Fu HY,Hong J, Wan X, Yang CS, dan Ho CT 2003.Comparison of

Antioxodant Actifirs of Isoflavones from Kudzu Root (Pueraria labata Ohwl).

Journal Food Science. Agustus 2003. 68 (6): Hal 2117-2122

Page 227: DISERTASI - Unhas

211

4. Perlakuan D: Suhu 90°C, Waktu 15 menit

No Nama Sampel Konsentrasi

(ppm) Absorban

% Penghambatan

Rata2 %Penghambatan

1 Blanko/DPPH 1

0

0.939

0.904 2 Blanko/DPPH 2 0.917

3 Blanko/DPPH 3 0.857

4 D 100ppm.1

100

0.710 21.460

20.907 5 D 100ppm.2 0.714 21.018

6 D 100ppm.3 0.721 20.243

7 D 200ppm.1

200

0.659 27.102

27.212 8 D 200ppm.2 0.662 26.770

9 D 200ppm.3 0.653 27.765

10 D 300ppm.1

300

0.611 32.412

32.006 11 D 300ppm.2 0.618 31.637

12 D 300ppm.3 0.615 31.969

13 D 400ppm.1

400

0.621 31.305

35.693 14 D 400ppm.2 0.563 37.721

15 D 400ppm.3 0.560 38.053

16 D 500ppm.1

500

0.508 43.805

44.727 17 D 500ppm.2 0.496 45.133

18 D 500ppm.3 0.495 45.243

y = 0.0561x + 15.273R² = 0.9795

0.000

10.000

20.000

30.000

40.000

50.000

0 200 400 600

% P

en

gham

bat

an

Konsentrasi

Persen Penghambatan

persenpenghambatan

Linear (persenpenghambatan)

Page 228: DISERTASI - Unhas

212

D). y = 0.056 x + 15.27

50 = 0.056 x + 15.27

x =(50 - 15.57)/0.056

x = 614.82 ppm atau614.82 μg/ml

Berdasarkan persamaan regresi linier tersebut dapat ditentukan nilai IC50 sampel D

sebesar 614.82 µg/ml. Nilai IC50 ini menunjukkan bahwa sampel D tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang tidak aktif, karena memiliki nilai IC50614.82 μg/ml

Keterangan: Tingkat kekuatan antioksidan berdasarkan nilai IC50

Intensitas Nilai IC50 (ppm)

Sangat kuat <50

Kuat 50-100

Sedang 101-250

Lemah 251-500

Tidak aktif >500

Konsentrasi Persen Penghambatan

100 20.907

200 27.212

300 32.006

400 35.693

500 44.727

Sumber: Jun M, Fu HY,Hong J, Wan X, Yang CS, dan Ho CT 2003.Comparison of

Antioxodant Actifirs of Isoflavones from Kudzu Root (Pueraria labata Ohwl).

Journal Food Science. Agustus 2003. 68 (6): Hal 2117-2122

Page 229: DISERTASI - Unhas

213

5. Perlakuan E: Suhu 90°C, Waktu 30 menit

No Nama Sampel Konsentrasi

(ppm) Absorban

% Penghambatan

Rata2 %Penghambatan

1 Blanko/DPPH 1

0

0.939

0.904 2 Blanko/DPPH 2 0.917

3 Blanko/DPPH 3 0.857

4 E 100ppm.1

100

0.688 23.894

23.709 5 E 100ppm.2 0.662 26.770

6 E 100ppm.3 0.719 20.465

7 E 200ppm.1

200

0.624 30.973

32.301 8 E 200ppm.2 0.611 32.412

9 E 200ppm.3 0.601 33.518

10 E 300ppm.1

300

0.575 36.394

40.487 11 E 300ppm.2 0.518 42.699

12 E 300ppm.3 0.521 42.367

13 E 400ppm.1

400

0.459 49.226

47.640 14 E 400ppm.2 0.473 47.677

15 E 400ppm.3 0.488 46.018

16 E 500ppm.1

500

0.380 57.965

59.255 17 E 500ppm.2 0.358 60.398

18 E 500ppm.3 0.367 59.403

y = 0.0864x + 14.749R² = 0.9937

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

0 200 400 600

% P

engh

amb

atan

Axis Title

Persen Penghambatan

persenpenghambatan

Linear (persenpenghambatan)

Page 230: DISERTASI - Unhas

214

E). y = 0.086x + 14.74

50 = 0.086x + 14.74

x =(50 -14.74)/0.086

x = 410 ppm atau 410 μg/ml

Berdasarkan persamaan regresi linier tersebut dapat ditentukan nilai IC50 sampel E

sebesar 410 µg/ml. Nilai IC50 ini menunjukkan bahwa sampel E tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang lemah, karena memiliki nilai IC50 410 μg/ml

Keterangan: Tingkat kekuatan antioksidan berdasarkan nilai IC50

Intensitas Nilai IC50 (ppm)

Sangat kuat <50

Kuat 50-100

Sedang 101-250

Lemah 251-500

Tidak aktif >500

Konsentrasi Persen Penghambatan

100 23.71

200 32.301

300 40.487

400 47.640

500 59.255

Sumber: Jun M, Fu HY,Hong J, Wan X, Yang CS, dan Ho CT 2003.Comparison of

Antioxodant Actifirs of Isoflavones from Kudzu Root (Pueraria labata Ohwl).

Journal Food Science. Agustus 2003. 68 (6): Hal 2117-2122

Page 231: DISERTASI - Unhas

215

6. Perlakuan F: Suhu 90°C, Waktu 45 menit

No Nama Sampel Konsentrasi

(ppm) Absorban

% Penghambatan

Rata2 %Penghambatan

1 Blanko/DPPH 1

0

0.939

0.904 2 Blanko/DPPH 2 0.917

3 Blanko/DPPH 3 0.857

4 F 100ppm.1

100

0.668 26.106

23.009 5 F 100ppm.2 0.695 23.119

6 F 100ppm.3 0.725 19.801

7 F 200ppm.1

200

0.656 27.434

24.410 8 F 200ppm.2 0.696 23.009

9 F 200ppm.3 0.698 22.788

10 F 300ppm.1

300

0.586 35.177

29.093 11 F 300ppm.2 0.648 28.319

12 F 300ppm.3 0.689 23.783

13 F 400ppm.1

400

0.642 28.982

36.394 14 F 400ppm.2 0.378 58.186

15 F 400ppm.3 0.705 22.013

16 F 500ppm.1

500

0.353 60.951

39.676 17 F 500ppm.2 0.595 34.181

18 F 500ppm.3 0.688 23.894

y = 0.0453x + 16.921R² = 0.9591

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

0 200 400 600

% P

engh

amb

atan

Axis Title

Persen Penghambatan

persenpenghambatan

Linear (persenpenghambatan)

Page 232: DISERTASI - Unhas

216

F). y = 0.045x + 16.92

50 = 0.045x + 16.92

x =(50 -16.92)/0.045

x = 735.11 ppm atau 735.11 μg/ml

Berdasarkan persamaan regresi linier tersebut dapat ditentukan nilai IC50 sampel F

sebesar 735.11 µg/ml. Nilai IC50 ini menunjukkan bahwa sampel F tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang tidak aktif, karena memiliki nilai IC50 735.11

μg/ml

Keterangan: Tingkat kekuatan antioksidan berdasarkan nilai IC50

Intensitas Nilai IC50 (ppm)

Sangat kuat <50

Kuat 50-100

Sedang 101-250

Lemah 251-500

Tidak aktif >500

Konsentrasi Persen Penghambatan

100 23.01

200 24.41

300 29.093

400 36.394

500 39.676

Sumber: Jun M, Fu HY,Hong J, Wan X, Yang CS, dan Ho CT 2003.Comparison of

Antioxodant Actifirs of Isoflavones from Kudzu Root (Pueraria labata Ohwl).

Journal Food Science. Agustus 2003. 68 (6): Hal 2117-2122

Page 233: DISERTASI - Unhas

217

7. Perlakuan G: Suhu 110°C, Waktu 15 menit

No Nama Sampel Konsentrasi

(ppm) Absorban

% Penghambatan

Rata2 %Penghambatan

1 Blanko/DPPH 1

0

0.939

0.904 2 Blanko/DPPH 2 0.917

3 Blanko/DPPH 3 0.857

4 G 100ppm.1

100

0.635 29.757

26.770 5 G 100ppm.2 0.688 23.894

6 G 100ppm.3 0.663 26.659

7 G 200ppm.1

200

0.495 45.243

41.409 8 G 200ppm.2 0.526 41.814

9 G 200ppm.3 0.568 37.168

10 G 300ppm.1

300

0.468 48.230

46.239 11 G 300ppm.2 0.501 44.580

12 G 300ppm.3 0.489 45.907

13 G 400ppm.1

400

0.395 56.305

54.904 14 G 400ppm.2 0.408 54.867

15 G 400ppm.3 0.420 53.540

16 G 500ppm.1

500

0.346 61.726

61.873 17 G 500ppm.2 0.325 64.049

18 G 500ppm.3 0.363 59.845

y = 0.0837x + 21.129R² = 0.9705

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

0 200 400 600

% P

engh

amb

atan

konsentrasi

Persen Penghambatan

persenpenghambatan

Linear (persenpenghambatan)

Page 234: DISERTASI - Unhas

218

G). y = 0.083x + 21.12

50 = 0.083x + 21.12

x =(50 -21.12)/0.083

x = 347.95 ppm atau 347.95 μg/ml

Berdasarkan persamaan regresi linier tersebut dapat ditentukan nilai IC50 sampel G

sebesar 347.95 µg/ml. Nilai IC50 ini menunjukkan bahwa sampel G tersebut

memiliki aktivitas antioksidan yang lemah, karena memiliki nilai IC50 347.95 μg/ml

Keterangan: Tingkat kekuatan antioksidan berdasarkan nilai IC50

Intensitas Nilai IC50 (ppm)

Sangat kuat <50

Kuat 50-100

Sedang 101-250

Lemah 251-500

Tidak aktif >500

Konsentrasi Persen Penghambatan

100 26.77

200 41.409

300 46.239

400 54.904

500 61.873

Sumber: Jun M, Fu HY,Hong J, Wan X, Yang CS, dan Ho CT 2003.Comparison of

Antioxodant Actifirs of Isoflavones from Kudzu Root (Pueraria labata Ohwl).

Jounal Food Science. Agustus 2003. 68 (6): Hal 2117-2122

Page 235: DISERTASI - Unhas

219

8. Perlakuan H: Suhu 110°C, Waktu 30 menit

No Nama Sampel Konsentrasi

(ppm) Absorban

% Penghambatan

Rata2 %Penghambatan

1 Blanko/DPPH 1

0

0.939

0.904 2 Blanko/DPPH 2 0.917

3 Blanko/DPPH 3 0.857

4 H 100ppm.1

100

0.607 32.854

33.776 5 H 100ppm.2 0.592 34.513

6 H 100ppm.3 0.597 33.960

7 H 200ppm.1

200

0.480 46.903

47.198 8 H 200ppm.2 0.481 46.792

9 H 200ppm.3 0.471 47.898

10 H 300ppm.1

300

0.395 56.305

60.066 11 H 300ppm.2 0.317 64.934

12 H 300ppm.3 0.371 58.960

13 H 400ppm.1

400

0.340 62.389

63.975 14 H 400ppm.2 0.328 63.717

15 H 400ppm.3 0.309 65.819

16 H 500ppm.1

500

0.297 67.146

69.174 17 H 500ppm.2 0.269 70.243

18 H 500ppm.3 0.270 70.133

y = 0.0876x + 28.566R² = 0.9372

0.000

20.000

40.000

60.000

80.000

0 200 400 600

% P

engh

amb

atan

konsentrasi

Persen Penghambatan

persenpenghambatan

Linear (persenpenghambatan)

Page 236: DISERTASI - Unhas

220

H). y = 0.087x + 28.56

50 = 0.087x + 28.56

x =(50 -28.56)/0.087

x = 246.43 ppm atau 246.43 μg/ml

Berdasarkan persamaan regresi linier tersebut dapat ditentukan nilai IC50 sampel H

sebesar 246.43 µg/ml. Nilai IC50 ini menunjukkan bahwa sampel H tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang sedang, karena memiliki nilai IC50 246.43 μg/ml

Keterangan: Tingkat kekuatan antioksidan berdasarkan nilai IC50

Intensitas Nilai IC50 (ppm)

Sangat kuat <50

Kuat 50-100

Sedang 101-250

Lemah 251-500

Tidak aktif >500

Konsentrasi Persen Penghambatan

100 33.776

200 47.198

300 60.066

400 63.975

500 69.174

Sumber: Jun M, Fu HY,Hong J, Wan X, Yang CS, dan Ho CT 2003.Comparison of

Antioxodant Actifirs of Isoflavones from Kudzu Root (Pueraria labata Ohwl).

Journal Food Science. Agustus 2003. 68 (6): Hal 2117-2122

Page 237: DISERTASI - Unhas

221

9. Perlakuan I: Suhu 110°C, Waktu 45 menit

No Nama Sampel konsentrasi

(ppm) Absorban

% Penghambatan

Rata2 %Penghambatan

1 Blanko/DPPH 1

0

0.939

0.904 2 Blanko/DPPH 2 0.917

3 Blanko/DPPH 3 0.857

4 I 100ppm.1

100

0.606 32.965

33.407 5 I 100ppm.2 0.599 33.739

6 I 100ppm.3 0.601 33.518

7 I 200ppm.1

200

0.453 49.889

52.692 8 I 200ppm.2 0.411 54.535

9 I 200ppm.3 0.419 53.650

10 I 300ppm.1

300

0.209 76.881

72.677 11 I 300ppm.2 0.274 69.690

12 I 300ppm.3 0.258 71.460

13 I 400ppm.1

400

0.244 73.009

74.594 14 I 400ppm.2 0.228 74.779

15 I 400ppm.3 0.217 75.996

16 I 500ppm.1

500

0.231 74.447

76.254 17 I 500ppm.2 0.207 77.102

18 I 500ppm.3 0.206 77.212

y = 0.1036x + 31.646R² = 0.8137

0.000

20.000

40.000

60.000

80.000

100.000

0 200 400 600

% P

en

gham

bat

an

Axis Title

Persen Penghambatan

persenpenghambatan

Linear (persenpenghambatan)

Page 238: DISERTASI - Unhas

222

I). y = 0.103x + 31.64

50 = 0.103x + 31.64

x =(50 -31.64)/0.103

x =178.25 ppm atau 178.25 μg/ml

Berdasarkan persamaan regresi linier tersebut dapat ditentukan nilai IC50 sampel I

sebesar178.25 µg/ml. Nilai IC50 ini menunjukkan bahwa sampel I tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang sedang, karena memiliki nilai IC50 178.25 μg/ml

Keterangan: Tingkat kekuatan antioksidan berdasarkan nilai IC50

Intensitas Nilai IC50 (ppm)

Sangat kuat <50

Kuat 50-100

Sedang 101-250

Lemah 251-500

Tidak aktif >500

Konsentrasi Persen Penghambatan

100 33.407

200 56.692

300 72.677

400 74.594

500 76.254

Sumber: Jun M, Fu HY,Hong J, Wan X, Yang CS, dan Ho CT 2003.Comparison of

Antioxodant Actifirs of Isoflavones from Kudzu Root (Pueraria labata Ohwl). Journal Food Science. Agustus 2003. 68 (6): Hal

2117-2122

Page 239: DISERTASI - Unhas

223

10. Kontrol Perlakuan (O) : Tanpa/sebelum Ohmik

No Nama Sampel Konsentrasi

(ppm) Absorban

% Penghambatan

Rata2 %Penghambatan

1 Blanko/DPPH 1

0

0.939

0.904 2 Blanko/DPPH 2 0.917

3 Blanko/DPPH 3 0.857

4 O 100ppm.1

100

0.747 17.367

16.777 5 O 100ppm.2 0.754 16.593

6 O 100ppm.3 0.756 16.372

7 O 200ppm.1

200

0.679 24.889

25.406 8 O 200ppm.2 0.675 25.332

9 O 200ppm.3 0.669 25.996

10 O 300ppm.1

300

0.607 32.854

29.093 11 O 300ppm.2 0.722 20.133

12 O 300ppm.3 0.594 34.292

13 O 400ppm.1

400

0.544 39.823

42.957 14 O 400ppm.2 0.501 44.580

15 O 400ppm.3 0.502 44.469

16 O 500ppm.1

500

0.483 46.571

49.189 17 O 500ppm.2 0.466 48.451

18 O 500ppm.3 0.429 52.544

y = 0.0824x + 7.9719R² = 0.9738

0.000

10.000

20.000

30.000

40.000

50.000

60.000

0 200 400 600

% P

engh

amb

atan

konsentrasi

Persen Penghambatan

persenpenghambatan

Linear (persenpenghambatan)

Page 240: DISERTASI - Unhas

224

O). y = 0.082x + 7.971

50 = 0.082x + 7.971

x =(50 - 7.971)/0.082

x =512.55 ppm atau 512.55 μg/ml

Berdasarkan persamaan regresi linier tersebut dapat ditentukan nilai IC50 sampel O

sebesar 512.55 µg/ml. Nilai IC50 ini menunjukkan bahwa sampel O tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang tidak aktif, karena memiliki nilai IC50 512.55 μg/ml

Keterangan: Tingkat kekuatan antioksidan berdasarkan nilai IC50

Intensitas Nilai IC50 (ppm)

Sangat kuat <50

Kuat 50-100

Sedang 101-250

Lemah 251-500

Tidak aktif >500

Konsentrasi Persen Penghambatan

100 16.777

200 25.406

300 29.093

400 42.957

500 49.189

Sumber: Jun M, Fu HY,Hong J, Wan X, Yang CS, dan Ho CT 2003.Comparison of

Antioxodant Actifirs of Isoflavones from Kudzu Root (Pueraria labata Ohwl).

Journal Food Science. Agustus 2003. 68 (6): Hal 2117-2122

Page 241: DISERTASI - Unhas

225

Lampiran 14.

Page 242: DISERTASI - Unhas

226

Page 243: DISERTASI - Unhas

227

Page 244: DISERTASI - Unhas

228

Lampiran 15.

Data Laju Pemanasan Ohmik Jus Tomat per 2 Detik (Mencapai Suhu Refernsi)

T70 W15 1.03 menit T90 W15 1.28 menit T110 W15 1.35

Lama Pemanasan Suhu Lama Pemanasan Suhu Lama Pemanasan Suhu

1 30 1 30 1 30

3 31 2 31 2 31

5 32 3 32 3 32

7 33 4 33 4 33

9 34 5 34 5 34

10 35 6 35 6 35

11 36 7 36 7 36

12 37 8 37 8 37

13 38 9 38 9 38

14 39 10 39 10 39

15 40 11 40 11 40

17 41 12 41 12 41

19 42 13 42 13 42

21 43 14 43 14 43

23 44 15 44 15 44

24 45 16 45 16 45

25 46 17 46 17 46

26 47 18 47 18 47

27 48 19 48 19 48

28 49 20 49 20 49

29 50 22 50 21 50

30 51 24 51 22 51

31 52 26 52 23 52

32 53 28 53 24 53

33 54 30 54 25 54

34 55 31 55 26 55

35 56 32 56 27 56

37 57 33 57 28 57

39 58 34 58 29 58

41 59 35 59 30 59

43 60 36 60 31 60

45 61 37 61 32 61

47 62 38 62 33 62

49 63 39 63 34 63

51 64 40 64 35 64

53 65 42 65 36 65

55 66 43 66 37 66

57 67 44 67 38 67

Page 245: DISERTASI - Unhas

229

59 68 45 68 39 68

61 69 46 69 40 69

63 70 48 70 41 70

50 71 42 71

52 72 43 72

54 73 44 73

56 74 45 74

58 75 46 75

60 76 47 76

62 77 48 77

64 78 49 78

66 79 50 79

68 80 51 80

70 81 52 81

72 82 53 82

74 83 54 83

76 84 55 84

78 85 56 85

80 86 57 86

82 87 58 87

84 88 59 88

86 89 60 89

88 90 61 90

62 91

63 92

64 93

65 94

66 95

67 96

69 97

71 98

73 99

75 100

77 101

79 102

81 103

83 104

85 105

87 106

89 107

91 108

93 109

95 110

Page 246: DISERTASI - Unhas

230

T70 W30 1.15 menit

T90 W30 1.35 menit

T110 W30 1.47 menit Lama

Pemanasan Suhu

Lama Pemanasan Suhu

Lama Pemanasan Suhu

1 30

1 30

1 30

3 31

2 31

2 31

5 32

3 32

3 32

7 33

4 33

4 33

9 34

5 34

5 34

11 35

6 35

7 35

13 36

8 36

9 36

15 37

10 37

10 37

17 38

12 38

12 38

19 39

14 39

14 39

21 40

16 40

15 40

23 41

17 41

16 41

25 42

18 42

17 42

27 43

18 43

18 43

29 44

20 44

19 44

31 45

22 45

21 45

33 46

24 46

23 46

35 47

26 47

25 47

37 48

28 48

27 48

39 49

30 49

29 49

41 50

31 50

31 50

43 51

32 51

32 51

45 52

33 52

33 52

47 53

34 53

34 53

49 54

35 54

35 54

51 55

37 55

36 55

53 56

39 56

38 56

55 57

41 57

40 57

57 58

43 58

42 58

59 59

45 59

44 59

61 60

46 60

46 60

63 61

47 61

47 61

65 62

48 62

48 62

67 63

49 63

49 63

68 64

50 64

50 64

69 65

52 65

51 65

71 66

54 66

53 66

72 67

56 67

55 67

Page 247: DISERTASI - Unhas

231

73 68

58 68

57 68

74 69

60 69

59 69

75 70

61 70

61 70

62 71

62 71

63 72

63 72

64 73

64 73

65 74

65 74

67 75

66 75

69 76

68 76

71 77

70 77

73 78

71 78

75 79

72 79

76 80

73 80

77 81

74 81

78 82

75 82

79 83

76 83

80 84

77 84

82 85

78 85

84 86

79 86

86 87

80 87

87 88

81 88

90 89

82 89

95 90

83 90

84 91

85 92

86 93

87 94

89 95

91 96

93 97

95 98

96 99

97 100

98 101

99 102

101 103

102 104

103 105

104 106

105 107

106 108

107 109

107 110

Page 248: DISERTASI - Unhas

232

T70 W45 1.38 menit

T90 W45 1.44 menit

T110 W45 1.54 menit Lama

Pemanasan Suhu

Lama Pemanasan Suhu

Lama Pemanasan Suhu

1 30

1 30

1 30

3 31

2 31

2 31

5 32

3 32

3 32

7 33

4 33

4 33

9 34

5 34

5 34

11 35

6 35

6 35

13 36

7 36

7 36

15 37

8 37

8 37

17 38

9 38

9 38

19 39

10 39

10 39

21 40

11 40

11 40

23 41

12 41

12 41

25 42

13 42

13 42

27 43

14 43

14 43

29 44

15 44

15 44

31 45

16 45

16 45

33 46

17 46

17 46

35 47

18 47

18 47

37 48

19 48

19 48

39 49

20 49

20 49

42 50

24 50

21 50

45 51

26 51

22 51

48 52

28 52

23 52

51 53

30 53

24 53

54 54

32 54

25 54

57 55

34 55

26 55

60 56

36 56

27 56

63 57

38 57

28 57

66 58

40 58

29 58

69 59

42 59

30 59

72 60

44 60

31 60

75 61

46 61

32 61

78 62

48 62

33 62

81 63

50 63

34 63

84 64

52 64

35 64

87 65

54 65

36 65

90 66

56 66

37 66

92 67

58 67

38 67

Page 249: DISERTASI - Unhas

233

94 68

60 68

39 68

96 69

62 69

40 69

98 70

64 70

41 70

66 71

42 71

68 72

43 72

70 73

44 73

72 74

45 74

74 75

46 75

76 76

47 76

78 77

48 77

80 78

50 78

82 79

52 79

84 80

54 80

86 81

56 81

88 82

58 82

90 83

60 83

92 84

62 84

94 85

64 85

96 86

66 86

98 87

68 87

100 88

70 88

102 89

72 89

104 90

74 90

76 91

78 92

80 93

82 94

84 95

86 96

88 97

90 98

92 99

94 100

96 101

98 102

100 103

102 104

104 105

106 106

108 107

110 108

112 109

114 110

Page 250: DISERTASI - Unhas

234

Lampiran 16.

Page 251: DISERTASI - Unhas

235

Page 252: DISERTASI - Unhas

236

Page 253: DISERTASI - Unhas

237