BAB I PENDAHULUAN -...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...
1
BAB I
PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang
House of Parliament (2010) menyatakan bahwa nilai tinggi muka air laut
global meningkat 20 cm sejak dimulainya perekaman data pada abad ke-19 dengan
kenaikan rata- rata 3 mm per tahun. Pengukuran tinggi muka air laut dengan
menggunakan satelit dan alat tide gauge memperlihatkan bahwa kenaikan tinggi
muka air laut 20-30 tahun terakhir lebih tinggi dari pada rata- rata abad ke-20. Pada
tahun 2030 diproyeksikan bahwa Mean Sea Level (MSL) global 18 cm akan lebih
tinggi dari pada sekarang (2010) dan pada tahun 2070 akan mengalami kenaikan
sebesar 44 cm. House of Parliament juga memperkiraan bahwa 40% penyebab
kenaikan tinggi muka air laut pada periode 1961-2003 berasal dari ekspansi air laut
yang ditimbulkan oleh global warming dan 60% berasal dari melelehnya gletser dan
ice sheet. Kenaikan tinggi muka air laut selama satu abad terakhir digambarkan pada
Gambar I.1.
Gambar I.1 Grafik perubahan tinggi muka air laut global
Sumber: The Florida Oceans and Coastal Council Tallahassee, 2010.
1
2
Beberapa prediksi tentang akibat kenaikan tinggi muka air laut masa kini dan
masa depan telah terjadi pada skala regional dan lokal (Xinggong, et.al, 2010).
Foster, et.al (2011), menyebutkan bahwa Asia Tenggara merupakan salah satu
wilayah yang paling terancam oleh perubahan iklim yang mengakibatkan kenaikan
tinggi muka air laut. Negara Indonesia telah mengalami kenaikan tinggi muka air laut
sebesar 1-8 mm per tahun.
Kenaikan tinggi muka air laut yang disebabkan adanya perubahan iklim
berdampak langsung di daerah pantai. Faktanya, menurut Frank, et.al (2011), pada
tahun 2003 23% populasi di dunia bertempat tinggal pada jarak 100 km dari garis
pantai dan 100 m di bawah rata- rata tinggi muka air laut. Hal ini disebabkan karena
daerah pantai memiliki aktivitas ekonomi yang tinggi. Permasalahan yang sering
muncul akibat naiknya tinggi muka air laut antara lain ialah gangguan proses fisik,
aktivitas ekonomi, dan sistem sosial di daerah tersebut.
Mengingat kenaikan tinggi muka air laut global dan regional yang sangat
ekstrim dan akibat yang akan timbul jika tidak diwaspadai, penelitian kenaikan tinggi
muka air laut secara lokal menjadi sangat penting untuk dipelajari. Hal ini dibutuhan
untuk menganalisis mengenai trend yang muncul di daerah lokal. Trend ini
digunakan sebagai prediksi kenaikan tinggi muka air laut ke depan demi kepentingan
pembangunan daerah dan mitigasi bencana (Watson, 2011).
Berkenaan dengan hal tersebut, Badan Informasi Geospasial (BIG) telah
mengoperasikan jaringan Permanent Service For Mean Sea Sea Level (PSMSL)
dengan jumlah 113 stasiun yang tersebar di seluruh Indonesia pada tahun 2011. Salah
satu stasiun yang paling aktif dengan kelengkapan data lima tahun adalah Stasiun
PSMSL di Kota Padang, Sumatera Barat.
Padang, Sumatera Barat merupakan salah satu daerah berskala lokal dan
berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Kota Padang terletak di antara
0o44’00’’ dan 1005’00’’ Lintang Selatan serta antara 100005’05’’ dan 100034’09’’
Bujur Timur. Berdasarkan sumber Padang dalam Angka tahun 2009, Kota Padang
terletak di ketinggian 0-1853 m dari MSL. Sebanyak empat kecamatan masih terletak
100 m di atas MSL, yaitu Kecamatan Nanggalo (3-8 m), Kecamatan Padang Utara
(0-25 m), Kecamatan Padang Barat (0-8 m) dan Kecamataan Padang Timur (4-10
m). Kota Padang mengalami pertambahan jumlah pernduduk dengan laju per tahun
3
sebesar 1,58 persen selama sepuluh tahun terakhir, tahun 2000 sampai tahun 2010,
(data sensus penduduk Kota Padang 2010).
Selain karena faktor kelengkapan data dan kondisi geografis serta
demografinya, Kota Padang dipilih menjadi lokasi penelitian karena Padang
merupakan salah satu daerah pantai di Indonesia yang sering mengalami bencana
alam. Pada bulan September 2009 Kota Padang mengalami gempa yang disebabkan
oleh pergerakan lempeng dan bulan Juli 2012 Kota Padang juga mengalami bencana
banjir bandang yang disebabkan oleh curah hujan yang tinggi. Banjir dan pergerakan
lempeng tidak hanya menyebabkan banjir dan gempa, melainkan juga menyebabkan
kenaikan tinggi muka air laut di Kota Padang.
I.2 Rumusan Masalah
Kenaikan tinggi muka air laut global akibat perubahan iklim diikuti oleh
perubahan tinggi muka air laut lokal yang berdampak pada daerah pantai. Dampak
yang timbul bersifat negatif, sehingga perlu adanya pemantauan perubahan tinggi
muka air laut di Kota Padang dan identifikasi faktor penyebab kenaikan tersebut.
Dari latar belakang pada Sub Bab I.1 maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
1. Bagaiamana keadaan data tinggi muka air laut dan meteorologi di Kota
Padang?
2. Bagaimana perubahan tinggi muka air laut di Kota Padang?
3. Apa faktor eksternal yang menyebabkan perubahan tinggi muka air laut di
Kota Padang?
I.3 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui kondisi data tinggi muka air laut dan meteorologi di Kota
Padang
2. Mengetahui perubahan MSL di Padang, Sumatera Barat selama lima
tahun.
3. Mengetahui faktor- faktor eksternal yang menyebabkan terjadinya
perubahan MSL di Padang, Sumatera Barat.
4
I.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Dapat mengetahui kondisi daerah pantai Kota Padang, Sumatera Barat
kaitannya dengan MSL dan faktor meteorologi yang menyebabkan perubahan MSL.
Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan
pembuatan kebijakan khususnya mengenai rencana pembangunan di daerah pantai
Kota Padang, Sumatera Barat.
1.5 Batasan Masalah
Cakupan penelitan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Nilai MSL yang diambil adalah nilai tinggi dengan alat ukur radar tide
gauge selama periode lima tahun dari tahun 2008 sampai tahun 2012.
2. Nilai MSL yang dianggap benar dalam koreksi shifting diambil dari data
dengan trend terpanjang.
3. Data kosong yang kontinyu dapat diterima hingga 15% dari total data
selama satu tahun.
4. Faktor eksternal penyebab terjadinya perubahan MSL hanya dari data
meteorologi, yaitu precipitation dan intensitas hujan, serta bencana banjir
dan gempa bumi yang terjadi di Kota Padang dalam kurun waktu lima
tahun.
I.6 Tinjauan Pustaka
Rusqiyati (2003) melakukan penelitian pemantauan permukaan air laut rerata
untuk Surabaya tahun 1925-1931 dan tahun 1984-1999. Data yang digunakan ialah
data pasang surut air laut yang diolah dengan menggunakan perangkat lunak
Microsoft Excel, sehingga diperoleh nilai tinggi permukaan air laut rerata tahunan.
Penelitian tersebut dapat diketahui bahwa permukaan air laut di perairan Surabaya
untuk kedua periode tidak mengalami kenaikan, bahkan cenderung berada dalam
kondisi yang stabil.
Frank, et.al (2011) melakukan penelitian dengan judul “Mean Sea Level and
Tidal Analysis along the German North Sea Coastline”. Penelitian tersebut
menggunakan data 13 lokasi yang tersebar di daerah pantai Jerman Utara dari tahun
1843-2008 dengan periode waktu yang berbeda- beda. Nilai MSL dihitung rata-
5
ratanya tiap tahun (annual mean sea level), kemudian disajikan dalam bentuk grafik
dan diperoleh kenaikan MSL tiap lokasi. Metode analisis yang digunakan adalah
Singular System Analysis (SSA) yang dikombinasikan dengan Monte-Carlo
Autogressive Padding (MCAP) karena data berupa data non-linear. Berdasarkan
hasil penelitian tersebut diperoleh bahwa selama periode waktu 1843-2008 terjadi
percepatan kenaikan MSL di akhir abad 19 dan diikuti dengan penurunan. Di lokasi
German Bight kenaikan MSL mencapai 7,33 mm per tahun yang faktanya dua kali
lebih besar dari kenaikan MSL secara global.
Saragih (2011) melakukan penelitian perhitungan nilai MSL di Stasiun Pasang
Surut Pelabuhan Lembar, Kab Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat untuk periode
Januari 2009 sampai Juni 2009. Data pasang surut diperoleh dari website ioc-
sealevelmonitoring. Perhitungan nilai MSL dilakukan dengan menggunakan tabel
admiralty yang diformulakan dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel.
Hasil penelitian tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Nilai MSL per bulan Stasiun Pasang Surut Pelabuhan Lembar
Bulan MSL Rerata (m) Januari 2,666 Februari 2,639 Maret 2,703 April 2,708 Mei 2,691 Juni 2,663
Sumber: Saragih, 2011
Watson (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Is There Evidence Yet of
Acceleration in Mean Sea Level Rise around Mainland Australia?” menentukan
trend dalam percepatan kenaikan MSL pada empat lokasi yang berbeda dengan
periode yang berbeda tiap lokasi. Data Permanent Service for Mean Sea Level
(PSMSL), National Tidal Center, Ports of Aucland Limited. Langkah- langkah yang
digunakan dalam penelitian ini meliputi dua tahap. Tahap pertama, transformasi data
pasang surut relatif per bulan menjadi data tinggi series yang telah mengalami
filterisasi terhadap faktor oseanografi dan meteorologi. Transformasi tersebut
menghasilkan data yang non-linear. Tahap ke dua, menguji transformasi data tinggi
series untuk mendeteksi adanya perubahan MSL selama waktu tersebut. Penelitian
6
menghasilkan kenaikan MSL yang berbeda di setiap lokasi. Fremantle mengalami
kenaikan MSL sebesar 77 mm selama periode waktu terhitung dengan perubahan
rata- rata sebesar -0,016 mm per tahun, MSL di Auckmand mengalami kenaikan 101
mm dengan perubahan -0,012 mm per tahun, Forrt Denison mengalami perubahan
MSL -0,040 mm per tahun dan Newcastle mengalami kenaikan MSL paling tinggi,
yaitu 134 mm dengan percepatan -0,096 mm per tahun.
Orford (2006) melakukan penelitian dengan judul “Developing Constraints on
The Relative Sea-Level Curve for The Northeast of Ireland from The Mid-Holocene
to The Present Day”. Penelitian tersebut menggunakan data MSL tahunan di Malin
Head dari tahun 1958 sampai 1998 dan data MSL tahunan di Belfast Harbour dari
tahun 1918-2002. Metodologi yang digunakan ialah pengumpulan data,
menggambarkan trend dengan analisis regresi kuadrat terkecil dan regresi kuadrad
polinomial. Trend yang panjang pada analisis regresi kuadrat terkecil membutuhkan
pengurangan efek atmosfer dan oseanografi. Regresi kuadrat polinomial digunakan
untuk menguji variabel- variabel indikasi pada trend tersebut. Lokasi pertama, Malin
Head, mengalami perubahan MSL sebesar -0,2 mm, Belfast Harbour mengalami
perubahan MSL -0,16 mm per tahun.
UNESCO, 2011 dalam laporan workshopnya menjelaskan bahwa tinggi muka
air laut di Mediterania menunjukkan variasi dalam satu abad terkahir. Berdasarkan
pengukuran dengan alat tide gauge, tinggi muka air laut mengalami kenaikan sampai
1960 dan mengalami penurunan beberapa centimeter antara 1960 dan 1993. Pada
tahun 1993 sampai 2000, tinggi muka air laut mengalami kenaikan dengan cepat,
yaitu 4 – 5 cm, dan setelah tahun 2000 tidak ada perubahan tinggi. Salah satu faktor
yang mempengaruhi tinggi muka air laut regional adalah tekanan atmosfer. Turunnya
tekanan 1 mbar sebanding dengan kenaikan 1 cm pada tinggi muka air laut. Faktor
tekanan ini yang mengakibatkan turunnya tinggi muka air laut pada tahun 1960
sampai 1993. Rata- rata perubahan tinggi muka air laut adalah penurunan sebesar 0,6
mm per tahun.
Perubahan temperatur dan salinitas membuat volume Mediterania ikut berubah.
Kenaikan temperatur meningkatkan tinggi muka air laut, sedangkan naiknya salinitas
menurunkan tingginya. Faktor tersebut diperkirakan telah berkontribusi terhadap
penurunan tinggi muka air laut di Laut Mediterania, artinya temperatur dan salinitas
7
menjadi sangat dominasi di kemudian hari.
Laut Mediterania terhubungkan dengan Samudera Atlantik. Tinggi muka air
laut di Mediterania sangat dipengaruhi oleh perubahan secara regional, yang
menimbulkan pertanyaan seberapa besarkah pengaruh Selat Gibraltar terhadap
perubahan tinggi muka air laut di Mediterania.
Berdasarkan hasil dari pendekatan model CMCC-MED, telah terindikasi pada
akhir abad terjadi kenaikan suhu sebesar 2,5 – 30 C (1961 – 1990). Evaporasi yang
meningkat dan precipitation yang menurun menyebabkan perubahan pada densitas di
Mediterania. Pendekatan dengan model lain menunjukkan bahwa Selat Gibraltar
merupakan aspek penting yang mengontrol perubahan tinggi muka air laut di Laut
Mediterania dan Samudera Atlantik. Dengan meningkatnya salinitas di sepanjang
selat, selat tersebut menjadi lebih mengontrol transportasi.
Laut Adriatik lebih terhubungkan dengan Mediterania daripada Laut
Mediterania dengan Samudera Atlantik, sehingga perubahan tinggi muka air laut di
Laut Adriatik sangat bergantung dari kondisi Laut Mediterania. Perubahan tinggi
muka air laut di Laut Adriatik menunjukkan penurunan sejak 1960 yang disebabkan
oleh tekanan atmosfer, gaya angin, dan steric effect. Pengukuran pada trend panjang
di Laut Adratik selama abad terakhir menunjukkaan kenaikan tinggi muka air laut
sebesar 1-2 mm per tahun. Selama musim dingin nilai tinggi muka air laut sangat
koheren, namun selama musim panas akan menjadi heterogen. Fluktuasi muka air
laut pada musim dingin disebabkan oleh variasi tekanan atmosfer, utamanya di
wilayah bagian utara.
Pengukuran dengan tide gauge antara tahun 1993 sampai 2005 menunjukkan
kenaikan tinggi muka air di Laut Adriatik berkisar 2,9 – 5,7 cm. Jika dibandingkan
dengan pengukuran satelit di Laut Mediterania (2,17 cm), MSL global (3,3cm) dan
data IPCC (3,1 cm), data ini menunjukan nilai yang lebih tinggi pada periode 13
tahun. Data menunjukkan sedikitnya kecenderungan pada skala dekade. Pada periode
tersebut terdapat frekuensi trend badai yang menyebabkan perubahan di wilayah
regional.
Penelitian ini mengambil lokasi di Kota Padang, dengan data tinggi muka air
laut dari Stasiun PSMSL Padang dan data meteorologi berupa precipitation dan
intensitas hujan serta daftar bencana alam selama periode 2008 sampai 2012. Metode
8
yang digunakan adalah perhitungan MSL bulanan dan tahunan yang telah terkoreksi
spike, data kosong, dan shifting. Hitungan MSL dibandingkan dengan data
meteorologi dan ditarik sebuah kesimpulan tentang perubahan nilai MSL selama
lima tahun dan bagaimana faktor meteorologi mengontrol perubahan tersebut.
I.7 Landasan Teori
I.7.1 Pasang Surut
Menurut Triatmodjo (2012), pasang surut adalah fluktuasi mukai air laut karena
adanya gaya tarik benda-benda di langit, terutama matahari dan bulan terhadap
massa air laut di bumi. Menurut Intergovernmental Oceanographic Comission
(1985), pasang surut merupakan pergerakan air laut secara periodik yang memiliki
hubungan fase dan amplitude terhadap periode gaya geofisik. Gaya yang paling
dominan dalam mempengaruhi pasang surut adalah variasi gaya gravitasi bumi
terhadap pergerakan regular bumi-bulan dan sistem bumi-matahari. Dengan
mengingat gaya pasang surut di bumi, jarak antara dua objek biasanya lebih
berpengaruh daripada massa benda tersebut. Massa matahari 27 kali lebih besar
daripada massa bulan. Berdasarkan nilai massa tersebut, gaya gravitasi matahari
terhadap bumi menjadi lebih besar 177 kali dibandingkan dengan gaya gravitasi
bulan terhadap bumi atau gaya pasang surut matahari- bumi menjadi lebih besar 27
juta kali dibandingkan dengan bulan-bumi. Namun jarak matahari-bumi 390 kali
lebih jauh dibandingkan dengan jarak bulan-bumi. Berdasarkan kondisi di atas, gaya
pasang surut bulan dua kali lebih besar dibandingkan dengan gaya pasang surut
matahari (NOAA, 2004).
Gaya tarik gravitasi bulan dan matahari terhadap bumi menghasilkan semi-
diurnal (dua siklus dalam satu hari) ‘tidal bulge’, yang biasanya diorientasikan pada
sudut di equator yang kemudian menghasilkan komponen- komponen diurnal (satu
siklus satu hari). Penelitian tentang gaya penyebab pasang surut cenderung mengarah
kepada sifat alaminya. Penelitian ini biasa disebut dengan Equilibrum Tide,
pergerakan bumi-bulan-matahari. Konstituen utamanya diatur pada periode satu
bulan, satu tahun, 8,85 tahun, 18,61 tahun dan 21000 tahun. Efek pengaturan tersebut
digunakan untuk memecah pasang surut menjadi konstituen tambahan.
Pengelompokan ini biasanya dinamakan ‘tidal species’.
9
Equilibrium tide tidak lengkap tanpa penggunaannya, dimana hal tersebut
memberikan pengetahuan bahwa pasang surut disusun berdasarkan bilangan terbatas
(finite number) dari konstituen- konstituen dari frekuensi yang dapat dihitung. Hal ini
juga memberikan ukuran amplitude relatif, sehingga dapat diperoleh konstituen-
konstituen utama yang berpengaruh besar pada pasang surut saat itu.
Analisis tersebut terdiri dari mengurangi satu set pengukuran, yang biasanya
terdri dari 8760 jam dalam satu tahun normal, untuk mengatur parameter- parameter
secara lengkap dan menetapkan komponen pasang surut. Banyak organisasi yang
telah mengembangkan metode analisis pasang surut, salah satunya adalah teknik
kuadrat terkecil yang menjadi metode dalam T-Tide (Intergovernmental
Oceanographic Comission, 2006).
1.7.2 Mean Sea level (MSL)
Mean Sea Level (MSL) didefinisikan sebagai tinggi muka air laut yang
direferensikan terhadap benchmark lokal, rata- rata dari pengukuran dalam periode
tertentu seperti bulanan atau tahunan (Chruch, 2001). Menurut Intergovernmental
Oceanographic Comission (1985), MSL merupakan rata- rata tinggi air laut, yang
biasanya berdasarkan nilai perjam selama periode tertentu, minimal satu tahun.
Perhitungan nilai MSL dihitung dengan menggunakan rumus 1.1. Perubahan tinggi
muka air laut terjadi akibat banyak faktor pada waktu dan skala ruang yang berbeda.
MSL yang ditentukan dengan merata- rata nilai tinggi muka air laut dapat
disebut sebagai geoid lokal. Walaupun MSL merupakan pendekatan yang baik untuk
dijadikan sebagai geoid, namun terdapat efek- efek oseanografi seperti variasi
densitas air, sirkulasi permanen samudra, dan efek atmosfer seperti tekanan udara
dan angin, yang menyebabkan pemindahan dari MSL terhadap geoid. Perbedaan ini
dapat mencapai angka satu meter atau bahkan kurang (Pugh, 1996).
MSL = ................................................................................................. (1.1)
Keterangan (dimodifikasi dari Intergovernmental Oceanographic Comission,
1985):
MSL : Mean Sea Level
H : Tingggi muka air laut
n : Jumlah data
10
Data bulanan dan tahunan dari MSL pada stasiun jaringan global dikumpulkan
dan diterbitkan oleh Permanent Service for Mean Sea Level (PSMSL), bersamaan
dengan detil lokasi dan definisi datum. Perubahan nilai MSL terhadap fixed point
pada daratan dihitung dari perbedaan tinggi muka air laut dan daratan tersebut.
Perubahan tinggi pada muka air laut dengan time series yang panjang disebut dengan
secular change. Perubahan global pada MSL disebut dengan eustatic change.
Pergerakan vertikal daratan disebut dengan eperiogenic movements
(Intergovernmental Oceanographic Comission, 1985).
I.7.3 Kenaikan Tinggi Muka Air Laut (Sea Level Rise)
Sea Level sering juga disebut dengan sea surface height ataupun tinggi muka
air laut, secara singkat dapat diartikan sebagai tinggi permukaan air laut di bawah
ataupun di atas referensi, atau zero point. Pada pengukuran dengan tide gauge, zero
point berada di daratan dekat dengan alat ukur, dan pengukuran ini pada umumnya
disebut dengan relative sea level. Hal ini disebabkan karena pengukuran tinggi muka
air laut bersifat relatif terhadap tinggi daratan terdekat. Pada pengukuran dengan
setelit, maka zero point terletak di tengah pusat masa bumi (Mitchum, 2011).
Variasi tinggi muka air laut disebabkan oleh beberapa kontribusi yang berbeda
sumber fisiknya dengan periode waktu masing- masing. Komponen dari gelombang
gravitasi (gravity waves) memiliki periode 1 sampai 20 detik, seiches dan tsunami
berperiode menit sampai jam, pasang surut berperiode ½ sampai 1 hari, efek
meteorologi berperiode beberapa hari hingga tahunan, dekade serta trend panjang
yang disebabkan oleh efek geologi dan klimatologi. Besarnya tiap komponen
tersebut juga berbeda satu sama lain. Tinggi gelombang gravitasi dapat mencapai 30
m. Tsunami cenderung kurang dari satu meter di kedalaman laut, namun dapat
menjadi beberapa meter di dekat pantai. Pasang surut relatif pendek di lautan namun
mencapai 10 m di dekat pantai (Intergovernmental Oceanographic Comission,
2006).
I.7.4 Kenaikan Tinggi Muka Air Laut Global
Berdasarkan 13 penelitian tentang perubahan MSL dalam beberapa periode,
MSL secara global telah mengalami kenaikan 10-20 mm per tahun. Ada beberapa
faktor utama yang dapat menjelaskan kenaikan global MSL:
11
I.7.4.1 Ekspansi termal samudera; Pada massa yang konstan, volume dan tinggi
air laut berubah sebanding dengan densitas air laut dan berbanding terbalik dengan
temperatur. Ketika temperatur air laut naik, maka densitas menjadi berkurang, dan
air laut mengembang, sehingga menyebabkan terjadinya kenaikan tinggi muka air
laut (Warrick, 1990). Perubahan salinitas pada air laut mempengaruhi tinggi muka air
laut lokal secara signifikan, namun tidak terlalu besar mempengaruhi tinggi muka air
laut global (Chruch, 2001) Dalam memperkirakan perubahan ekspansi laut (masa
lalu ataupun masa depan), temperatur, salinitas dan densitas laut harus diperhitungan,
secara empiris maupun dengan penggunaan model (Warrick, 1990).
Ekspansi termal di samudera erat kaitannya dengan perubahan iklim.
Kecepatan perubahan iklim sangat bergantung pada kecepatan panas yang berpindah
dari layer permukaan ke layer yang lebih dalam. Jika panas merambat lebih cepat,
perubahan iklim melambat, tetapi mempercepat perubahan tinggi muka air laut.
Sebuah penelitian memberikan hasil bahwa kenaikan suhu air laut 10 C di Atlantik
dengan kedalaman 200 m menyebabkan kenaikan tinggi muka air laut sebesar 10-20
mm (Chruch, 2001). Menurut House of Parliament (2010), pemanasan global di laut
menghasilkan kenaikan tinggi muka air laut sebesar 1,6 ± 0, 5 mm per tahun.
I.7.4.2 Glaciers and small ice caps; Gletser dan ice caps terbentuk dari
sekumpulan salju yang secara gradual bertransformasi menjadi es dan mengalami
kehilangan massa (ablation) akibat proses pencairan maupun evaporasi. Beberapa air
yang mencair membeku kembali dan beberapa menuju ke air laut. Kumpulan es
muncul di altitude yang tinggi, sedangkan ablation terjadi di ketinggian yang rendah.
Untuk mengimbangi pengumpulan dan ablation, es bergerak menuruni bukit oleh
deformasi internal dari es tersebut dan meluncur di dasaran. Pergerakan ini biasanya
dikontrol oleh kemiringan permukaan, ketebalan es, kekentalan es, suhu di disarm
dan kondisi fisik lainnya.
Mayoritas jembatan gletser telah mengalami penurunan selama 100 tahun
terakhir. Walaupun pengamatan hanya dilakukan di Eropa Utara, pengamatan
geomorfologi telah meyakini bahwa trend dari gletser mengalami penurunan
semenjak Little Ice Age (Warrick, 1990). Meier (1984) memperkirakan bahwa
selama periode 1900-1961 gletser berkontribusi 2,8 cm atau 0,4 ± 0,26 mm per tahun
dan menurut Dowdeswell (1997) dalam periode 1945-1995 gletser berkontribusi
12
sebesar 0,13 mm terhadap kenaikan muka air laut global per tahun. Dalam sebuah
observasi dan penelitian lain menyebutkan bahwa gletser dan ice caps berkonstribusi
sebesar 0,2 sampai 0,4 mm per tahun pada abad ke 20 (Chruch, 2001).
Akibat adanya perubahan suhu, gletser mencair lebih cepat daripada laju
turunnya salju. Jika semua gletser mencair, diperkirakan tinggi air laut global akan
mengalami kenaikan sebesar 50 cm dan diperkirakan bahwa gletser akan mengalami
penurunan pada abad 21 (House of Parliament, 2010)
I.7.4.3 The Greenland and The Antartic ice sheet; Jumlah air ice sheet dari
Greenland dan Antartika secara bersamaan menyebabkan kenaikan tinggi muka air
laut meningkat 70 m, sehingga sedikit saja pergerakan ice sheet tersebut
mempengaruhi tinggi muka air laut secara signifikan. Rata- rata tahunan
precipitation yang jatuh di ice sheet sepadan dengan 6,5 mm dari tinggi muka air
laut. Suhu di Antartika yang sangat dingin menyebabkan banyak es menjadi es- es
apung, sedangkan suhu di Greenland cukup panas untuk membuat es menjadi cair
dan beberapa menjadi es apung.
Estimasi dari besarnya massa ice sheet di Grenland mendapati halangan yaitu
kekurangannya data. Pengukuran kumpulan (accumulation) es hanya dilakukanya di
beberapa lokasi. Pengukuran ablation dilakukan di zona batas di sebagian lokasi di
bagian barat daya Greenland. Setiap pengukuran harus menggunakan sebuah model
yang mempertimbangkan banyak parameter pelelehan (melt) dan pembekuan
kembali (refreezing) serta sensitifitas elevasi (Chruch, 2001). Beberapa penelitian
juga mendeteksi adanya perubahan di beberapa area di bagian barat Greenland yang
terdapat indikasi adanya sedikit kekentalan pada bagian interior ice sheet, namun
terjadi keseimbangan antara jumlah timbunan (accumulation) dan pelepasan
(discharge) es di bagian interior ice sheet.
Satelit altimetri menemukan bahwa mass balance di bagian selatan
mengalami kenaikan selama periode 1978-1986. Laporan tersebut mengatakan
bahwa kekentalan ice sheet muncul pada zona ablation dan zona timbunan. Ice sheet
di Greenland mengalami penurunan pada 100 tahun terakhir. Penurunan ini dialami
di berbagai daerah pada saat Greenland mengalami peningkatan suhu (Warrick,
1990).
13
Perkiraan terbaik dari variasi komponen mass balance di Greenland
memberikan nilai -8,5 ± 10,2% untuk input atau +0,12 ± 0,15 mm per tahun dari
perubahan kenaikan tinggi muka air laut global, dimana tidak terlalu siginifikan dari
angka nol. Berdasarkan sebuah model penelitian, kontribusi Greenland terhadap
kenaikan tinggi muka air laut antara -0,1 dan 0,0 mm per tahun selama 500 tahun
terakhir. Sensitifitas terhadap perubahan suhu ialah kenaikan suhu lokal di dekat ice
sheet sebesar 10C menyebabkan kenaikan tinggi muka air laut 0,3 mm per tahun.
Pengukuran ice sheet di Antartika juga mengalami kesulitan sepertihal nya di
Greenland. Hal ini disebabkan karena penentuan posisi dan kekentalan es sulit
diprediksi serta kecepatan distribusi vertikal yang sulit diasumsikan. Beberapa
metode meneliti bahwa kumpulan ice sheet di Antartika berubah seiring dengan
perubahan iklim di dunia. Sebuah penelitian menghasilkan bahwa terjadi kenaikan
mass balance +10% dari total input atau sebanding dengan -0,5 mm per tahun dari
tinggi muka air laut. Penelitian lain menyebutkan nilai +1,04 ±1,06 mm per tahun
dari kenaikan tinggi muka air laut. Sensitifitas mass balance terhadap suhu ialah 10C
kenaikan suhu di darah lokal menyebabkan tinggi muka air laut berkurang -0,4 mm
per tahun (Chruch, 2001).
1.7.5 Kenaikan Tinggi Muka Air Laut Regional dan Lokal
Perubahan tinggi muka air laut secara regional dan lokal pada dasarnya
dipengaruhi oleh faktor- faktor perubahan secara global, seperti mencairnya gletser
dan es. Untuk mengetahui perubahan yang terjadi dibutuhkan waktu yang cukup
lama. Ketika es mencair, distribusi dari semua air tambahan untuk sampai ke semua
penjuru dunia membutuhkan waktu yang lama, bisa selama beberapa dekade. Jumlah
air tambahan pada setiap daerah akan berbeda. Beberapa daerah akan mengalami
perubahan muka air laut yang lebih tinggi, dan beberapa lebih rendah. Hal ini
disebabkan karena arus laut dan pergerakan angin di dunia, yang pada dasarnya
berasal dari tropis ke kutub, sehingga menyebabkan respon pemanasan pada tiap
daerah begantung pada pergerakan siklus laut seiring berjalannya waktu.
Salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi muka air laut regional adalah
tekanan atmosfer. Turunnya tekanan atmosfer sebesar satu mbar menyebabkan
kenaikan tinggi muka air laut sebesar 1 cm. Naiknya temperatur meningkatkan
14
densitas dan menyebabkan kenaikan tinggi muka air, sebaliknya jika salinitas air
meningkat maka tinggi muka air laut menjadi turun (UNESCO, 2010).
Pergerakan tanah juga merupakan salah satu faktor yang harus diperhitungkan.
Pengukuran tide gauge direferensikan terhadap zero point yang berada di darat,
sehingga pergerakan daratan/ tanah mempengaruhi dari tinggi muka air laut. Pada
daerah yang dekat dengan kutub, maka ice sheet mempengaruhi pergerakan tanah.
Ketika masa ice age, terdapat ice sheet yang keras di daerah Amerika Utara dan
Eropa yang kemudian massa tersebut menyebabkan depresi tanah. Tektonik yang
bergerak secara vertikal juga mempengaruhi pergerakan daratan. Pengukuran
gerakan tanah dapat dilakukan dengan teknologi Global Positioning System (GPS).
Local sea level atau tinggi muka air laut lokal didefinisikan sebagai jarak antara
permukaan air laut dan permukaan bumi yang solid, mendiskripsikan bagaimana
volume air laut didistribusikan. Distribusi ini bergantung pada faktor yang berbeda,
seperti, topografi bumi, geoid, perubahan rotasi bumi, sirkulasi atmosfer, distribusi
suhu dan salinitas di laut, sirkulasi laut, pergerakan massa bumi, sedimentasi, bahkan
penurunan air tanah, gas dan minyak. Pada daerah pantai, local sea level
direferensikan terhadap benchmark di darat yang kemudian dianggap sebagai
Relative Sea Level (RSL).
Plag (2006) dalam penelitiannya perubahan tinggi muka air laut secara lokal
antara lain disebabkan oleh faktor gelombang, pasang surut, meteorologi, arus laut,
massa, perubahan suhu, proses geofisik yang mempengaruhi tinggi daratan dan
geoid, serta proses buatan yang bersumber dari manusia. Di skala lokal, pergerakan
tanah yang disebabkan oleh ice sheet dan tektonik menjadi faktor penting yang
mempengaruhi perubahan tinggi muka air laut di daerah kutub. Pembuangan air
tanah dan minyak merupakan faktor signifikan yang harus diperhatikan.
Penghilangan ataupun pembuangan cairan tersebut dari subsurface menyebabkan
daratan tenggelam, terkadang dalam kecepatan yang tinggi. Di beberapa area, delta
sungai yang khusus, sedimentasi yang kompak selama beberapa waktu, dapat
menyebabkan tanah mengalami penurunan.
Selain faktor- faktor yang telah disebutkan di atas, terdapat beberapa kasus
khusus yang harus diperhatikan, seperti adanya badai. Badai merupakan gejala alam
yang infrequent, namun badai di musim dingin (winter strom) tidak seperti badai
15
biasa dan dapat menyebabkan kenaikan tinggi muka air laut hingga 50 cm. Walaupun
badai tersebut hanya berpengaruh pada hari itu, resiko banjir dan sebagainya masih
harus diwaspadai (Mitchum, 2011).
Dalam laporan yang disusun oleh The Florida Oceans and Coastal Council
Tallahassee, akibat- akibat yang timbul dari kenaikan tinggi muka air laut antara lain:
1. Perubahan di daerah pantai dan teluk
Pantai dan teluk merupakan sistem regional dari endapan sedimen,
erosi dan transportasi. Proses tersebut sangat diperngaruhi oleh perubahan
tinggi muka air laut dan badai. Naiknya tinggi muka air laut
dikombinasikan dengan badai akan meningkatkan erosi dan endapan. Hal
ini menyebabkan garis pantai mundur. Selain itu, hal tersebut
berpengaruh terhadap infrastuktur pantai. Berdasarkan analisis data di
daerah pantai Atlantik, terdapat indikasi bahwa adanya korelasi antara
tingkatan erosi dengan kenaikan tinggi muka air laut.
2. Perubahan pada muara sungai, sungai pasang dan hutan pantai
Akibat naiknya tinggi muka air laut secara perlahan dalam waktu
yang lama, terjadi akumulasi atau kumpulan sedimen di daerah hutan
bakau dan rawa- rawa, sehingga tumbuh habitat yang luas. Air yang
terkontaminasi akibat salinitas berdampak pada ekosistem yang hidup di
habitat tersebut.
3. Badai menjadi lebih tinggi dan akibatnya terhadap infrastruktur pantai
Akibat naiknya tinggi muka air laut, air di kedalaman akan berubah
menjadi badai tinggi, pergerakan akan menjadi lebih cepat, gelombang
menjadi lebih tinggi, dan tekanan hidrodinamika lebih besar. Faktor
tersebut akan mempengaruhi bangunan dekat dengan pantai. Semakin
naiknya tinggi muka air laut, resiko banjir semakin tinggi, sehingga
menjadi lebih berbahaya bagi infratruktur di daerah pantai, seperti dok,
dermaga, jetty dll. Secara fisik, karena salinitas yang berubah akan
mempengaruhi struktur dan atau fungsi fisik material yang menjadi bahan
pembuat jalan, port, sistem rel, sehingga membutuhkan pengawasan serta
perawatan yang intensif.
16
4. Memburuknya supply air dan air limbah
Pengaruh dari meningkatnya tinggi muka air laut membuat air
bercampur dengan garam, khususnya selama periode kemarau. Air yang
terkontaminasi garam meningkatkan komposisi garam tersebut di dalam
sistem pengumpulan pembuangan dan operasi- operasi terhadap air
lainnya. Resiko menjadi lebih tinggi terjadi pada lokasi- lokasi operasi air
di daerah pantai ketika terjadi badai dan banjir. Pemerintah membutuhan
strategi baru dalam hal konservasi air, penggunaan kembali air limbah,
recovery and recharge, alternatif supply air, dan strategi lainnya
berkenaan dengan manajemen air.
5. Meningkatnya erosi di pantai
Meningkatnya tinggi muka air laut dan besarnya gelombang badai
menyebabkan meningkatnya erosi, dan pantai akan lebih banyak
membutuhkan renourisment. Penyebab terjadinya erosi tidak hanya
berasal dair faktor alam, melainkan kontribusi manusia pula.
6. Berdampak pada perencanaan pantai
Adanya pengaruh kenaikan tinggi muka air laut membutuhkan
perencanaan regional guna membangun strategi yang adaptif dan efektif.
Pemerintah lokal membutuhkan penyempurnaan inventarisasi grennhouse
gas dan meningkatkan perencanaan mitigasi perubahan iklim.
7. Meningkatnya resiko banjir
Badai dan gelombang tinggi akan semakin naik ketika tinggi muka
air laut mengalami kenaikan. Di area yang rendah, kenaikan air laut
membahayakan sistem drainase badai, dan menambah resiko terjadinya
banjir pada musim hujan. Perubahan iklim menyebabkan hujan dan badai
sering terjadi.
1.7.6 Siklus Hidrologi
Jumlah air yang berada di bumi mencapai 1, 39 milyar km2 dan 96,5 % berada
di samudera. 1,7% air tersimpan di ice caps kutub, gletser, tumpukan salju, dan 1,7%
lainnya tersimpan di bawah tanah, danau, sungai dan tanah, dan sisanya berada di
atmosfer bumi. Semua air tersebut terus mengalami pergerakan yang biasa disebut
17
dengan siklus hidrologi (Graham, et.al, 2010)
Siklus hidrografi merupakan fenomena alam di bumi yang sangat penting.
Siklus hidrografi didiskripsikan sebagai pergerakan yang konstan dan siklus yang
terus menerus antara atmosfer, permukaan daratan, dan bawah tanah. Komponen
utama dari siklus hidrologi adalah air yang dapat berasal dari atmosfer, samudera,
danau, sungai, daratan, gletser, salju, ataupun dari permukaan bumi yang disebut
dengan air bawah tanah (groundwater). Proses ini berjalan dari air yang
ditransportasikan oleh angin dan udara sepanjang atmosfer, seperti yang ditunjukkan
pada Gambar I.2. Ketika udara mendingin, air berkondensasi menjadi awan dan jatuh
di permukaan bumi dalam 4 bentuk: hujan (rain), salju (snow), hujan es (hail) atau
hujan bercampur es dan salju (sleet). Ketika air tiba di tanah, air dapat meresap ke
tumbuhan, danau, sungai atau samudera; menguap oleh matahari; meresap ke dalam
tanah secara temporal; atau masuk ke dalam tanah dan disimpan sebagai air bawah
tanah. Air yang berada di dalam tanah dapat mencapai permukaan bumi sebagai
supply air yang berada di danau dan sungai. Air tersebut dapat kembali lagi ke
atmosfer malalui penguapan. Air yang berada di tumbuhan kembali ke atmosfer
melalui proses tranpirasi (National Ground Water Association, 2009).
Gambar I.2 Siklus hidrologi
Sumber: Met Office (2010)
18
Hujan, yang merupakan bagian dari siklus hidrologi, bila terus terjadi di suatu
lokasi yang sama akan mengakibatkkan adanya banjir. Secara umum banjir adalah
peristiwa dimana daratan yang biasanya kering (bukan daerah rawa) menjadi
tergenang oleh air, hal ini disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dan kondisi
topografi wilayah berupa daratan rendah hingga cekung. Terjadinya banjir juga
disebabkan oleh rendahnya kemampuan infiltrasi tanah, sehingga tanah tidak mampu
lagi menyerap air. Selain itu, terjadinya banjir juga dapat disebabkan oleh limpasan
air yang meluap dan volumenya melebihi kapasistas pengaliran sistem drainase atau
sistem sungai (Haryani, et.al, 2008).
1.7.7 Radar Tide Gauge
Ada empat tipe dasar teknologi pengukuran tinggi muka air laut yang biasa
digunakan, yaitu (Intergovernmental Oceanographic Comission, 2006): sistem
sumur apung (a stilling well and float), sistem tekanan (pressure systems), sistem
akustik (acoustic systems), sistem radar (radar systems).
Dari keempat teknologi tersebut, sistem radar dengan jenis alat radar tide
gauge banyak dipilih untuk mengukur tinggi muka air laut. Gambar radar tide gauge
ditunjukan oleh Gambar I.3. Radar tide gauge merupakan salah satu alat ukur pasang
surut yang diletakkan beberapa meter di bawah permukaan air laut, atau sungai atau
danau. Beberapa radar mengukur perubahan tinggi muka air dengan mengamati
waktu yang dibutuhkan oleh pulsa radar dari transmitter/receiver sampai kepada
permukaan dan kembali lagi ke receiver. Frekuensi yang digunakan adalah sistem
Frequency Modulated Continuous Wave (FMCW) dimana radar transmisi bercampur
dengan sinyal yang diterima dari permukaaan laut untuk menentukan fase antara dua
gelombang sekaligus rangenya.
Radar memiliki beberapa keuntungan daripada float, pressure, dan acoustic
gauge. Radar memiliki cost yang rendah sehingga menjadi pilihan bagi beberapa
agensi sebagai pengganti instrumen yang lama atau sebagai dasar untuk melengkapi
jaringan baru. Keuntungan utamanya adalah kemudahan dalam instalasi dan
peralatan. Radar tidak memerlukan perbaikan secara ekstensif pada dinding
pelabuhan ataupun pada dermaga. Radar juga tidak memerlukan beberapa
perlakukan seperti pada underwater pressure gauges (Woodworth, 2003).
19
Gambar I.3 Kalesto Gauge di dermaga Gladstone, Liverpool
Sumber: International Hydographic Review, 2003.
1.7.8 Pemantauan Tinggi Muka Air Laut di Indonesia
Sejak tahun 1984, Badan Informasi Geospasial (BIG) Indonesia telah
mengembangkan dan mengoperasikan jaringan nasional Permanent Service for Mean
Sea Level (PSMSL). Pada awalnya, peralatan dikembangkan dengan menggunaan
sistem analog yang bertujuan untuk mendukung penetapan datum vertikal untuk
tujuan pemetaan dan surveying serta navigasi dan manajemen pantai yang tidak
membutuhkan data real time. Jumlah tide gauge meningkat dari tahun ke tahun
dengan meningkatnya kebutuhan datum referensi vertikal sebagai jaring tinggi untuk
mendukung kegiatan pemetaan dan surveying. BIG mengawali pelaksanaannya
dengan delapan stasiun, kemudian bertambah dua stasiun untuk setiap tahunnya,
kecuali pada kenaikan yang sifinifikan (25 stasiun) pada tahun 1998 untuk
mendukung pemetaan bathimetri Exlusive Economic Zone dan garis pantai di
perairan Indonesia. Sea Level Monitoring di Indonesia sebelum terjadinya Tsunami
pada tahun 2004 di Aceh terdiri dari 60 stasiun, 35 stasiun menggunakan perekam
grafik analog dan 25 stasiun menggunakan perekam digital dengan koneksi data
Public Switch Telephone Node (PSTN). Kemudian permintaan terhadap pemantauan
MSL meningkat setelah itu.
20
Pada April 2011, BIG mengatur 113 stasiun: 10 tide gauge hasil kerjasama
dengan Jerman, 10 tide gauge hasil kerjasama dengan Intergovernmental
Oceanographic Comission (IOC), dan 93 tide gauge dari pemerintah Indonesia. BIG
dan IOC, dengam dukungan keuangan dari IOC dan USAID, telah menjalankan tujuh
real time tide gauge yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia dan tiga tide
gauge yang berbatasan dengan Laut Banda. Instalasi pertama terletak di Sibolga pada
April 2005, selanjutnya di Sabang dan Padang pada Desember 2005, di Benoa pada
Januari 2006, di Cilacap dan Prigi pada Februari 2007. Empat tambahan tide gauge
lalu dipasang di Lembar, Bitung, Ambon, dan Saumlaki pada tahun 2008. Setiap
stasiun mentransmisi data tiap 15 menit menggunakan Meteosat. Data tersebut dapat
diakses secara gratis melalui http//:www.ioc-sealevelmonitoring.org/ (Khafid, 2011).
I.7.9 Uji Statistik
1.79.1 Metode statistik. Metode statistik adalah prosedur- prosedur yang
digunakan dalam pengumpulan, penyajian, analisis, dan penafsiran data. Metode
statistik dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu statistika diskriptif dan statistik
inferensia. Statistik diskriptif adalah metode- metode yang berkaitan dengan
pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan infomasi yang
berguna dan sama sekali tidak menarik kesimpulan apapun tentang gugus data
induknya yang lebih besar. Penyusunan tabel, diagram, grafik dan besaran- besaran
lain merupakan contoh dari statistik diskriptif.
Statistik inferensia mencakup semua metode yang berhubungan dengan analisis
sebagian data untuk kemudian sampai penarikan kesimpulan mengenai keseluruhan
gugus data induknya. Salah satu metode digunakan dalam penarikan kesimpulan
mengenai suatu nilai data ialah sebaran t-student. Distribusi t-student biasa
digunakan dalam jumlah sampel yang kecil, namun tidak menutup kemungkinan
untuk jumlah sampel yang besar dan tidak hingga (Walpole, 1995). Rumus 1.2
menunjukkan formula memeperoleh nilai t dengan dua sampel yang diketahui rata-
rata dan nilai variannya.
.......................................................(1.2)
21
Keterangan (Sugiyono, 2012):
T :nilai t
x1 :rata- rata sampel pertama
x2 :rata- rata sampel ke dua
s12 :varian sampel pertama
s22 :varian sampel ke dua
n1 :jumlah data sampel pertama
n2 :jumlah data sampel ke dua
1.7.9.2 Analisis regresi. Analisis regresi adalah suatu analisis statistika yang
digunakan untuk menjelaskan hubungan suatu variable rspons (output, dependen,
atau endogen) Y dengan menggunakan satu atau lebih variable input (prediktor,
regressor, independen, explanatory, atau eksogen) X1, …..Xk (Rosadi, 2011).
Menurut Kurniawan (2008), salah satu kegunaan analisis regresi ialah untuk
tujuan deskripsi dari fenomena data atau kasus yang sedang diteliti dengan melalui
terbentuknya suatu model hubungan yang bersifat numerik. Model regresi
multivariate dengan k-variabel prediktor secara umum dapat diberikan Seperti
Rumus 1.3.
Yi=β0 + β1Xi1 + β2 Xi2 +…………….. + βk XiK +Єi ………………… (1.3)
Keterangan (Rosadi, 2011):
Yi : variabel respon
β0 ,β1, β2 : parameter regresi
Xi : variabel independen
Єi : galat acak (random eror)
I.8 Hipotesis
Selama lima tahun Kota Padang, Sumatera Barat, mengalami kenaikan tinggi
muka air laut yang kecil. Kenaikan ini disebabkan karena adanya curah hujan yang
naik dari tahun ke tahun. Bencana gempa dan banjir juga menyebabkan kenaikan
tinggi muka air laut pada hari itu.
22
BAB II PELAKSANAAN
II.1 Persiapan
II.1.1 Alat
Alat- alat yang dibutuhkan dalam penelitian ini ialah:
1. Hardware
a. Laptop Acer 4736 G untuk pekerjaan penelitian
b. Printer Canon 2700 untuk menyetak laporan
c. Flashdisk Toshiba 8 Gb untuk menyimpan dokumen dan data- data
penelitian
2. Software
a. Matlab 2008a untuk menjalankan aplikasi T-Tide
b. Software R untuk analasis regresi linier berganda
c. Microsoft Excel 2007 untuk penanganan data pasang sarut dan penyajian
grafik
d. Microsoft Word untuk penulisan laporan
e. Notepad sebagai media input ke dalam T-Tide
III.1.2 Bahan
Penelitian ini membutuhkan dua data, yaitu data tinggi muka air laut di
Stasiun PSMSL Padang dan data meteorologi (precipitation dan intensitas hujan)
beserta daftar bencana alam banjir dan gempa Kota Padang dari tahun 2008 sampai
2012.
II.2 Pelaksanaan
Pelaksanaan penelitian meliputi beberapa tahap sesuai diagram alir pada
Gambar II.1, yaitu:
1. Persiapan dan pengumpulan data
2. Konversi data
3. Koreksi spike, koreksI shifting, koreksi data kosong
4. Perhitungan nilai MSL
5. Analisis data
6. Penulisan dan pelaporan
22
23
Gambar II.1 Diagram alir pelaksanaan penelitian
Data tinggi muka air laut format *.txt dan *.xls
Konversi Data
Persiapan
Mulai
Pengumpulan Data
Data tinggi muka air laut format *.html
Data meteorologi
Koreksi Spike
Koreksi Shifting
Koreksi Data Kosong
Selesai
Data tinggi muka air laut bulanan
Data tinggi muka air laut tahunan
Perhitungan Nilai MSL Perhitungan Nilai MSL
MSL Bulanan
MSL Tahunan
Analisis Data
Penulisan dan Pelaporan
24
II.2.1 Persiapan
Tahap persiapan merupakan proses perencanaan proses penelitian, pemantapan
ketersediaan data dan metode yang digunakan. Perencanaan yang dilakukan tidak
hanya menentukan proses yang harus dikerjakan, namun beserta urutan dan waktu
yang dibutuhkan setiap langkahnya. Pemantapan data dan metode dimaksudkan
untuk memastikan kelengkapan data selama lima tahun, tersedianya software Matlab
dan T-Tide, kinerja laptop, serta cara analisis data hasil penelitian.
Pemilihan lokasi juga sangat dibutuhkan di awal penelitian untuk pemenuhan
kriteria- kriteria yang ditentukan. Lokasi penelitian adalah Stasiun PSMSL Padang
yang terletak di pinggir pantai Kota Padang, seperti yang ditunjukkan pada Gambar
II.2. Sumatera Barat dengan koordinat geografis 0,95 Lintang Selatan dan 100,3667
Bujur Timur. Kota Padang adalah ibukota Provinsi Sumatera Barat yang terletak di
pantai barat Pulau Sumatera dan berada antara 0o44’00’’ dan 1o08’35’’ Lintang
Selatan serta antara 100005’05’’ dan 100034’09’’ Bujur Timur. Berdasarkan data
BPS tahun 2009, luas Kota Padang adalah 649,96 km2 yang terdiri dari 11 kota
kecamatan.
Gambar II.2 Peta lokasi Kota Padang
Sumber: GoogleMap.com
25
Sebagian besar atau 51,01% dari keseluruhan luas Kota Padang, berupa hutan
yang dilindungi oleh pemerintah dan sebesar 7,35% berupa pekarangan dan
bangunan. Ketinggian wilayah daratan di Kota Padang sangat bervariasi, yaitu antara
0-1853 m diatas permukaan air laut dengan titik tertinggi adalah Kecamatan Lubuk
Kilangan dan sebanyak empat kecamatan masih berada di bawah ketinggian 100 dari
muka air laut. Berdasarkan data sensus penduduk Kota Padang 2010, Kota Padang
mengalami pertambahan jumlah penduduk selama sepuluh tahun terakhir (2000-
2010) dengan laju pertahun sebesar 1,58.
II.2.2 Pengumpulan Data
Penelitian ini membutuhan dua data, yaitu data tinggi muka air laut di Stasiun
PSMSL Padang, Sumatera Barat, dan data meteorologi kota Padang, Sumatera Barat,
dari Januari 2008 sampai Desember 2012. Data tinggi muka air laut di Stasiun
PSMSL Padang, Sumatera Barat, diunduh secara gratis dari website http://www.ioc-
sealevelmonitoring.org yang merupakan website resmi PSMSL yang dikelola oleh
IOC. Stasiun PSMSL di Indonesia dalam pengoperasiannya bekerjasama dengan
Badan Informasi Geospasial (BIG). Setiap file yang diunduh berformat *.html yang
berisi data tinggi Stasiun PSMSL Padang selama 30 hari.
Dari Gambar II.3 dapat dilihat pada kolom Station Metadata terdapat informasi
metadata stasiun yang sedang dibuka, yaitu stasiun PSMSL Padang dengan koordinat
0,95 LS dan 100,3667 BT. Stasiun Padang pada bulan Januari 2008 menggunakan
tiga sensor untuk perekaman data, yaitu pressure tide gauge, radar tide gauge, dan
encoder. Pada jendela Sealevel at Padang terdapat grafik dengan tinta merah
menunjukkan pergerakan tinggi muka air laut selama satu bulan. Di bawah jendela
Sealevel at Padang terdapat kolom Period yang menunjukkan periode perekaman
data yang ingin diunduh, mulai dari 12 jam, 1 hari, 7 hari, atau 30 hari. Kolom signal
menunjukkan pilihan sensor yang ingin ditampilkan dan pilihan untuk
menghilangkan spike dan outliers. Pada kolom Data terdapat pilihan referensi tinggi
muka air laut pada saat perekaman, relatif atau absolut. Penelitian ini mengunduh
data dengan periode tiap file 30 hari, semua sensor, remove spike, remove outliers,
dan relative levels.
26
Gambar II.3 Cara mengunduh data tinggi muka air laut
Sumber: http://www.ioc-sealevelmonitoring.og
Data meterologi Kota Padang diperoleh dari website
http://www.wunderground.com, situs real-time online weather information yang
diprakarsai oleh Perry Samson dan Jeff Mayer pada tahun 1991 dan dijadikan
sumber berita cuaca berbagai koran cuaca. Setiap file yang diunduh berformat *.html
yang berisi data meteorologi dalam satu bulan berikut nilai rata- rata, maksimum dan
minimum setiap ukuran dalam satu bulan tersebut, seperti yang ditunjukkan pada
Gambar II.4 dan Gambar II.5.
Gambar II.4 merupakan data meteorologi yang terdapat kolom bulan, tanggal,
dan tahun serta view untuk memilih bulan dan tahun data meteorologi yang ingin
diunduh. Kolom daily, weekly, mothly, custom menunjukkan pilihan periode yang
diinginkan. Daily untuk data per hari, weekly untuk data per minggu, monthly untuk
data per bulan, dan custom untuk data dengan periode tertentu. Pada kolom max, avg,
min, dan sum menunjukkan nilai maksimum, minimum, rata- rata dan jumlah dari
setiap ukuran, baik itu suhu (temperature), degree days, dew point, precipation,
wind, sea level pressure.
27
Gambar II.5 menunjukkan detil ataupun rincian ukuran data meteorogi per hari
dalam satu bulan. Kolom temp (0C) menunjukkan ukuran suhu, dew point (0C)
menunjukkan ukuran suhu saat embun, humidity (%) menunjukkan kelembapan, sea
level press (hPa) menunjukkan ukuran tekanan tinggi muka air laut, visibility (km)
menunjukan ukuran daya pandang, event menunjukkan cuaca pada saat hari itu. Data
meteorologi hanya diambil data precipatation, dan cuaca yang kemudian direkap
dan digambarkan dalam bentuk tabel dan grafik.
Gambar II.4 Data meteorologi
Gambar II.5 Data detil meteorologi
28
II.2.3 Konversi Data
Konversi data merupakan proses mengubah format file, dari *.html menjadi
*.xls dalam Microsoft Excel dan *.txt dalam notepad. Data dalam Microsoft Excel
dan notepad akan mempermudah proses pekerjaan, seperti menghilangkan spike,
melakukan koreksi shifting dan melakukan koreksi data kosong. Data- data tinggi
muka air laut yang tersusun dalam bentuk kolom di dalam *.html , seperti pada
Gambar II.6, digandakan ke dalam Microsoft Excel tanpa adanya perubahan, semua
kolom digandakan tanpa adanya penghilangan, dan disimpan dalam format *.xls,
yang ditunjukkan pada Gambar II.7. Kemudian kolom tinggi muka air laut
digandakan ke dalam notepad (hanya satu kolom) dan disimpan dalam format *.txt,
seperti pada Gambar II.8 sebagai input dalam proses penghitungan MSL di dalam
Matlab.
Gambar II.6 Data tinggi muka air laut format *.html
Dari Gambar II.6 dapat diketahui bahwa setiap file yang diunduh berisi kolom
Time (UTC), enc (m), prs (m), dan rad (m).
29
1. Kolom Time (UTC) menunjukkan informasi waktu perekaman dengan
format YYYY-MM-DD HH.MM.SS. Waktu tersebut telah dicocokkan
dengan standard waktu dunia (Greenwich).
2. Kolom enc (m) menunjukkan informasi tinggi muka air laut dalam satuan
meter yang diukur dengan alat encoder. Bila dilihat dari table diatas, maka
dapat disimpulkan bahwa perekaman data dilakukan dengan interval lima
menit.
3. Kolom prs (m) menunjukkan informasi tinggi muka air laut dalam satuan
meter yang diukur dengan alat pressure tide gauge dengan interval
perekaman satu menit.
4. Kolom rad (m) menunjukkan informasi tinggi muka air laut dalam satuan
meter yang diukur dengan alat radar tide gauge dengan interval
perekaman tiga menit.
Gambar II.7 Data tinggi muka air laut format *.xls dalam Microsoft Excel
30
Gambar II.8 Data tinggi muka air laut format *.txt dalam notepad
II.2.4 Koreksi Spike
Koreksi spike adalah proses menghilangkan spike atau nilai- nilai ekstrim yang
ada dalam sebuah data. Spike merupakan salah satu kesalahan sistematik, yaitu
kesalahan yang disebabkan oleh alat yang digunakan, sehingga harus dihilangkan.
Nilai ekstrim ini ditunjukkan dengan adanya titik yang melonjak ke atas maupun ke
bawah dalam sebuah grafik.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menampilkan grafik dari sebuah
data dengan menggunakan Matlab yang dikombinasikan dengan T-Tide. Pemilihan
Matlab untuk pembuatan grafik disebabkan karena data yang digunakan sangat
banyak dan Matlab mampu menampilkan grafik dengan jumlah data tersebut dalam
waktu yang cepat. Penampilan grafik dilakukan untuk setiap data tinggi bulanan.
Pada tahap ini juga dilakukan perhitungan nilai MSL bulanan untuk digunakan dalam
tahap koreksi shifting. Untuk membuat grafik dan perhitungan MSL dengan Matlab,
terlebih dahulu menuliskan script pada Lampiran A.
Script tersebut akan menghasilkan figure atau grafik seperti yang ditunjukkan
oleh Gambar II.9. Script tersebut juga akan menghasilkan nilai MSL atau tinggi rata-
rata dalam sebuah data.
31
Gambar II.9 Grafik tinggi muka air laut dengan Matlab
Dari grafik Gambar II.9 dapat dilihat bahwa dalam data tersebut ada satu nilai
spike dengan nilai 0 yang harus dihilangkan. Cara menghilangkan nilai spike adalah
dengan menghapus nilai tersebut di dalam file Microsoft Excel, seperti yang
ditunjukkan pada Gamabr II.10.
Gambar II.10 Data tinggi muka air laut yang memiliki nilai spike
Jika data dengan nilai spike yang sudah dihilangkan dan diproses lagi di dalam
Matlab dengan script yang sama, maka akan menghasilkan figure atau grafik sesuai
Gambar II.11 dan pada Lampiran B.
Gambar II.11 Grafik data tinggi muka air laut tanpa adanya nilai spike
32
II.2.5 Koreksi Shifting
Koreksi shifting digunakan untuk mendatarkan trend tiap data sehingga bisa
dilakukan perhitungan nilai rata- rata. Koreksi ini diberikan bila dalam data terdapat
trend yang berbeda dalam grafik tersebut. Grafik data dapat diperoleh dari proses
Matlab, namun dalam penelitian ini grafik diperoleh dari data MSL tiap bulan yang
telah dihitung dengan menggunakan T-Tide hasil koreksi spike pada tahap ke empat
(II.2.4). Grafik menggunakan data MSL bulanan, bukan data tinggi muka air laut
selama lima tahun, hal ini disebabkan karena data dalam lima tahun memiliki datum
yang sangat banyak sehingga membutuhkan RAM PC yang cukup besar.
Pergantian trend dalam penelitian ini ditunjukkan dengan adanya kekosongan
data yang panjang dan perbedaan grafik nilai tinggi bulanan. Koreksi shifting
diberikan pada setiap trend walaupun tidak pada bulan yang sama, sehingga selain
grafik MSL bulanan, grafik dan data tinggi muka air laut bulanan juga harus
diperhatikan.
Gambar II.12 Grafik MSL bulanan dari data koreksi spike
Grafik Gambar II.12 menunjukkan adanya tiga buah trend, yaitu trend A, B,
dan C. Jika dilihat secara cermat tiap file data per bulan dan Gambar II.12 akan
terdapat empat buah trend. Pada Gambar II.12 trend A ditunjukkan dengan garis
warna hijau, terjadi dari Januari 2008 sampai 6 Juni 2008 pukul 0.29. Trend B
ditunjukkan dengan garis warna biru dan terjadi pada dua tahun, yaitu dari 6 Juni
Trend C
Trend A
Trend B
33
2008 pukul 0:30 sampai 17 Mei 2009 pukul 3.42. Trend D tidak terihat pada kedua
gambar, namun akan terlihat di file data seperti yang ditunjukkan pada Gambar II.13,
terjadi dari 17 Mei 2009 pukul 3.43 sampai 23 Mei 2009 pukul 9.06. Trend C terjadi
dari 23 Mei pukul 9.09 sampai Desember 2012. Setiap trend tersebut memiliki nilai
rata- rata yang berbeda.
Gambar II.13 Data dengan nilai tinggi muka air laut dengan trend yang berbeda
Tahap selanjutnya untuk melakukan koreksi shifting ialah mencari nilai MSL
dari setiap trend. Trend dengan periode terpanjang merupaan nilai MSL yang
dianggap benar, yaitu trend C. Nilai koreksi shifting dari trend A ialah selisih nilai
MSL trend Adan ke C, begitu pula dengan nilai koreksi shifting untuk trend B dan
trend D. Trend A memiliki nilai MSL sebesar 7,42 m, trend B sebesar 7,08 m dan
trend D sebesar 3,23 dan trend C senilai 6,09 m. Nilai koreksi shifting ditunjukkan
pada Tabel II.1
Tabel II.1 Nilai MSL tiap trend dalam lima tahun
Trend MSL (m) Koreksi shifting (m) Trend A 7,42 1,33 Trend B 7,09 0,99 Trend D 3,24 2,86 Trend C 6,09 Trend terpanjang
Setiap data tinggi muka air laut dalam trend tersebut dikoreksikan sebesar nilai
koreksi shifting, sehingga dalam lima tahun semua data tinggi muka air laut berada
Trend D
34
dalam satu trend datar, seperti ditunjukkan pada Gambar II.14.
Gambar II.14 Grafik MSL bulanan dalam satu trend datar
II.2.6 Koreksi Data Kosong
Data kosong merupakan istilah pengganti untuk data yang hilang. Hilangnya
data saat perekaman dapat terjadi karena beberapa faktor, diantaranya ialah
berhentinya bekerja alat dan settingan alat untuk pengukuran interval waktu tertentu.
Dalam T-Tide data kosong diganti menjadi NaN (Not a Nuumber), sehingga T-Tide
masih memproses nilai NaN ke dalam periode time series.
Koreksi data kosong ini dilakukan di dalam Microsoft Excel, yang kemudian
digandakan ke dalam notepad untuk dilakukan proses perhitungan MSL melalui
Matlab.
Pada Gambar II.15 kolom D merupakan data tinggi muka air laut dengan
interval tiga menit, sehingga tiap dua baris muncul data yang kosong. Data kosong
tersebut perlu dilakukan pengkoreksian, yaitu diganti dengan NaN, agar tetap
diproses oleh T-Tide, yang ditunjukkan dalam kolom F.
Gambar II.15 Data dalam Microsoft Excel untuk koreksi data kosong
35
II.2.7. Perhitungan Nilai Mean Sea Level (MSL)
Perhitungan nilai MSL dibagi menjadi dua series, yaitu MSL bulanan dan MSL
tahunan. Kedua nilai MSL tersebut dihitung dengan T-Tide yang dijalankan dengan
Matlab. Data yang digunakan dalam perhitungan ini adalah data tinggi muka air laut
yang telah dilakukan koreksi spike, koreksi data kosong, dan koreksi shifting. Tahap
pertama yang dilakukan adalah menuliskan script pada Matlab seperti yang
dilakukan pada tahap ke empat. Selanjutnya nilai MSL bulanan dan tahunan direkap
dalam Microsoft Excel untuk dianalisis.
II.2.8 Analisis Data
1. Data MSL dan meteorologi bulanan serta daftar bencana banjir dan gempa
disajikan dalam bentuk tabel dan grafik, kemudian dibandingkan hubungan
antar keduanya. Dari hubungan ini akan diketahui faktor- faktor yang
mempengaruhi perubahan tinggi muka air laut. Model yang digunakan ialah
model regresi linear berganda dengan software R. Tahap pertama yang harus
dilakukan adalah memasukkan dataset yang berisi data MSL, precipitation,
dan intensitas hujan. Langkah selanjutnya, pemrosesan model regresi linier
dengan memasukkan MSL sebagai data depeden dan intensitas hujan dan
precipitation sebagai data independen, seperti yang ditunjukkan pada
Gambar II.16. Setelah kedua langkah tersebut dijalankan, maka akan
muncul hasil sepeti Gambar II.17 yang menjelaskan signifikansinya variabel
independen terhadap variabel depeden.
Gambar II.16 Regresi linier
36
Gambar II.17 Hasil analisis regresi linier dengan software R
2. Nilai MSL tahunan dianalisis dengan distribusi t-student untuk dicari
signifikansi nilai MSL terhadap nilai true value MSL.
II.2.9 Penulisan dan Pelaporan
Tahap terkahir dari penelitian ini adalah penulisan dan pelaporan. Penulisan
disusun dengan format skripsi yang ditentukan oleh jurusan yang terdiri dari empat
bab bahasan utama, yaitu pendahuluan, pelaksanaan, hasil dan pembahasan, serta
saran dan kesimpulan. Penulisan dilakukan dengan Microsoft Word dan Microsoft
Excel 2007.
Formula/model MSL sebagai variabel dependen yang dibentuk dari persamaan variabel independen (intensitas hujan dan precipitation)
Nilai estimesi konstanta dan koefisien dari tiap variabel
Nilai p-value tiap variabel independen untuk mengetahui signifikansi konstribusi terhadap variabel dependen