BAB I PENDAHULUAN -...

62
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Permasalahan Kearifan lokal dalam suatu komunitas masyarakat memegang peranan penting untuk pengendalian dan memberikan arah terhadap perkembangan kebudayaan masyarakat tersebut. Karena kebudayaan menurut Poespowardojo (1986; 33) dapat diartikan sebagai seluruh usaha dan hasil usaha manusia dan masyarakat untuk mencukupi segala kebutuhan serta hasratnya untuk memperbaiki nasib hidupnya. Dalam kebudayaan inilah teridentifikasi dan termanifestasi kepribadian suatu masyarakat yang tercermin dalam orientasi yang menunjukkan pandangan hidup serta sistem nilai dalam persepsi untuk melihat dan menanggapi dunia luarnya, sehingga pola serta sikap hidup yang diwujudkan dalam tingkah-laku sehari-hari melalui gaya hidup yang mewarnai kehidupannya. Local genius menunjukkan ciri dan inti kehidupan budaya masyarakatnya sebagai ekspresi diri dalam perwujudan kepribadian masyarakat. Kedudukan local genius ini sentral, karena merupakan kekuatan yang mampu bertahan terhadap unsur- unsur budaya yang datang dari luar dan mampu berkembang untuk masa-masa mendatang. Karena itu adalah penting sekali adanya usaha pemupukan dan pengembangan local genius tersebut yang berfungsi dalam kehidupan masyarakat, baik dalam gaya hidup masyarakat, dalam pola dan sikap hidup, persepsi, maupun dalam

Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

1. Permasalahan

Kearifan lokal dalam suatu komunitas masyarakat memegang peranan penting

untuk pengendalian dan memberikan arah terhadap perkembangan kebudayaan

masyarakat tersebut. Karena kebudayaan menurut Poespowardojo (1986; 33) dapat

diartikan sebagai seluruh usaha dan hasil usaha manusia dan masyarakat untuk

mencukupi segala kebutuhan serta hasratnya untuk memperbaiki nasib hidupnya. Dalam

kebudayaan inilah teridentifikasi dan termanifestasi kepribadian suatu masyarakat yang

tercermin dalam orientasi yang menunjukkan pandangan hidup serta sistem nilai dalam

persepsi untuk melihat dan menanggapi dunia luarnya, sehingga pola serta sikap hidup

yang diwujudkan dalam tingkah-laku sehari-hari melalui gaya hidup yang mewarnai

kehidupannya.

Local genius menunjukkan ciri dan inti kehidupan budaya masyarakatnya

sebagai ekspresi diri dalam perwujudan kepribadian masyarakat. Kedudukan local

genius ini sentral, karena merupakan kekuatan yang mampu bertahan terhadap unsur-

unsur budaya yang datang dari luar dan mampu berkembang untuk masa-masa

mendatang. Karena itu adalah penting sekali adanya usaha pemupukan dan

pengembangan local genius tersebut yang berfungsi dalam kehidupan masyarakat, baik

dalam gaya hidup masyarakat, dalam pola dan sikap hidup, persepsi, maupun dalam

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

2

orientasi masyarakat (Poespowardojo, 1986; 33). Begitu banyak suku bangsa di

Nusantara yang memiliki kekayaan budaya di dalamnya terdapat local genius yang

harus digali dan dikembangkan dalam perspektif kontemporer untuk memberikan

manfaat bagi kehidupan masyarakat.

Keberadaan local genius dalam komunitas masyarakat relatif beragam pada

setiap suku-bangsa, yang merupakan mutiara kekayaan Nusantara. Salah satu komunitas

suku-bangsa yang mendiami bumi tatar Sunda yang secara geografis berada dalam

wilayah Provinsi Jawa Barat dan Banten adalah masyarakat Suku Sunda dengan

memiliki kearifan budaya dalam kehidupan masyarakatnya. Esensi kearifan budaya

dalam kehidupan masyarakat mengandung nilai-nilai moral menjadikan pedoman dalam

interaksi sosial masyarakatnya. Karena kearifan lokal merupakan kebenaran yang

mentradisi dalam suatu komunitas masyarakat sebagai perpaduan antara nilai-nilai suci

firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada dalam kehidupannya (Sartini, 2009; 9).

Kearifan lokal sebagai suatu nilai budaya, maka selalu dihubungkan dengan nilai baik

yang dipertahankan masyarakatnya merupakan identitas kultural dalam bentuk norma,

etika, kepercayaan, adat-istiadat dan aturan khusus, sehingga dapat bertahan secara

terus-menerus.

Kearifan lokal yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Sunda adalah

meletakkan pentingnya keharmonisan hubungan antar manusia dan masyarakat yang

saling ketergantungan (interdependency) dengan tidak melupakan jati diri dan

habitatnya masing-masing, merupakan kesadaran yang harus dibangun bagi para

anggota masyarakatnya (Suryalaga, 2010; 126). Untuk membangun kesadaran tersebut,

maka salah satu kearifan budaya yang menjadi landasannya mengacu kepada yargon:

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

3

silih asih, silih asah, silih asuh dalam kehidupan masyarakatnya. Yargon tersebut sangat

dikenal dalam kehidupan masyarakat Sunda yang perlu ditelusuri konsep dasarnya,

mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidupnya.

Makna yang terkandung dalam yargon tersebut mengandung nilai-nilai

kebersamaan yang saling ketergantungan dalam kehidupan komunitas masyarakat, yang

secara tradisi telah tertanam melalui kebudayaannya. Silih asih dimaknai sebagai saling

mengasihi dengan segenap kebeningan hati. Silih asah bermakna saling mencerdaskan

kualitas kemanusiaan. Silih asuh tak pelak lagi dimaknai kehidupan yang penuh

harmoni (Suryalaga, 2010; 106). Orientasi dari konsep nilai yang terkandung di

dalamnya ternyata dapat dimaknai sebagai proses pemberdayaan masyarakat dalam

menumbuhkan keberdayaan individu dalam kehidupan bermasyarakat, untuk mencapai

kualitas kemanusian agar berharkat dan bermartabat.

Pemberdayaan masyarakat dalam perspektif epistemologis ilmu-ilmu sosial

menampilkan peran-peran aktif dan kolaboratif antara masyarakat dan mitranya,

sehingga secara paternalistik melimpahkan kekuatan (power) kepada orang lain, yang

dapat diartikan memberdayakan masyarakat yang mengalami kekurangberdayaan

seperti yang dialami masyarakat miskin. Konsep pemberdayaan ini tidak hanya secara

individual, tetapi juga secara kolektif (individual self empowerment maupun collective

self empowerment), dan semua itu harus menjadi bagian dari aktualisasi diri dan

koaktualisasi eksistensi manusia dan kemanusiaan sebagai hasil dari proses

pemberdayaan. Dengan kata lain, manusia dan kemanusianlah yang menjadi tolok ukur

normatif, struktural dan substansial (Pranarka dan Vidhyandika, 1996; 55-56). Karena

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

4

itu, esensi pemberdayaan manusia miskin pada hakikatnya adalah menumbuhkan daya

dalam diri manusia yang bersumber dari susunan hakikat kodratnya berupa unsur jiwa

yang terdiri akal, rasa, dan karsa dalam kesatuan raganya melalui stimulasi orang lain.

Manusia dan masyarakat miskin akibat mengalami kekurangberdayaan secara

berkesinambungan, dalam perspektif filsafat nilai diidentifikasi mengadopsi nilai-nilai

yang bersifat negatif, seperti malas, kurang menghargai waktu yang bersifat

produktivitas, rendah diri menghadapi strata sosial yang lebih tinggi, dan sifat-sifat

negatif lainnya, sehingga menyebabkan menjadi miskin. Pemberdayaan masyarakat

miskin bertujuan untuk mengubah nilai-nilai yang bersifat negatif yang dimilikinya,

sehingga berubah menjadikan nilai-nilai positif sebagaimana manusia yang memiliki

keberdayaan melalui transformasi nilai-nilai positif seperti; rajin bekerja, menghargai

waktu, percaya diri, kreatif, dan sifat-sifat positif lainnya. Menumbuhkembangkan nilai-

nilai positif dalam diri manusia miskin membutuhkan pemberdayaan melalui proses

penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan untuk dapat menjadikan manusia berdaya

dan mandiri.

Hakikat kemiskinan dipahami tidak sekedar melihat realitas pertumbuhan angka

kemiskinan yang bersifat kuantitatif sebagai dasar penyusunan suatu program yang

lebih berorientasi sebagai objek pembangunan semata, tetapi harus memahami hakikat

kebudayaan kemiskinan masyarakat dari nilai-nilai budayanya, karakteristik dan

keyakinan-keyakinannya, serta filosofi hidupnya untuk memberdayakannya. Pada posisi

inilah kajian dari aspek filsafat yang membahas tentang orientasi nilai-nilai kearifan

budaya dalam memberdayakan masyarakat miskin merupakan substansi yang paling

mendasar. Karena itu, manusia pada hakikatnya adalah sebagai subjek pembangunan

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

5

yang seharusnya menempatkan masyarakat miskin tidak semata-mata menjadikan objek

pembangunan, sehingga orientasi pemberdayaan masyarakat miskin dilakukan dengan

memahami dan menghargai nilai-nilai budayanya untuk meningkatkan harkat dan

martabatnya.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Saifuddin, pada

pidato pengukuhan Guru Besar Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di

Universitas Indonesia (24-1-2007) dengan judul: “Kemiskinan di Indonesia: Realita di

Balik Angka”. Saifuddin (2007; 2) mengetengahkan hal tersebut karena dua alasan.

Pertama, kemiskinan adalah pusat segala permasalahan kehidupan masyarakat, baik

lokal maupun nasional. Berbagai kebijakan dan program dari berbagai bidang tidak

akan berjalan dengan baik, apabila masalah kemiskinan belum dapat diselesaikan secara

tuntas. Kedua, kajian mengenai kemiskinan sudah banyak dilakukan oleh pemerintah,

perguruan tinggi maupun lembaga-lembaga non-pemerintah yang sebagian besar kajian

tersebut berorientasi pada angka-angka untuk memaparkan kondisi-kondisi kemiskinan.

Suatu cara pandang mengenai kemiskinan dari sudut manusia sebagai subjek belum

memperoleh kedudukan yang memadai dalam kajian-kajian mengenai kemiskinan di

Indonesia. Atas dasar kedua alasan tersebut sangat penting memusatkan perhatian pada

aspek sosial budaya kemiskinan, suatu aspek yang menyangkut langsung manusia dan

pengetahuan, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan yang dimiliki dan digunakan untuk

menghadapi lingkungannya.

Pentingnya kajian kemiskinan di perkotaan pada masa sekarang melihat

fenomena perkembangan masyarakat miskin di berbagai perkotaan di negara-negara

dunia ketiga mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Presiden Bank Dunia,

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

6

Namara (1976), minta perhatian terhadap nasib golongan yang paling miskin di kota-

kota dunia ketiga, yang disebutnya the absolute poor. Komunitas masyarakat tersebut

terikat pada lingkaran setan, berupa; kekurangan gizi, buta huruf, penyakit

underemployment, angka kematian anak tinggi, penghargaan masa hidup yang pendek

dan produktivitas yang rendah, yang menyebabkan kelompok ini tidak dapat keluar dari

cengkeraman kemelaratan. Jikalau kota-kota tidak menangani kemiskinan secara lebih

konstruktif, maka kemiskinan itu mungkin sekali akan melanda kota-kota secara

destruktif (Sudjatmoko, 1984; 90).

Permasalahan kemiskinan di Indonesia sudah sangat mendesak untuk

ditanggulangi, khususnya di wilayah perkotaan karena kecenderungan peningkatan

pertambahan jumlah penduduk jauh lebih besar dari pada di perdesaan. Akibatnya,

beberapa kota besar di Indonesia, seperti Kota Bandung memiliki tingkat kepadatan

penduduk yang begitu tinggi selalu diikuti dengan pertambahan jumlah penduduk

miskin. Salah satu ciri umum dari kondisi fisik lingkungan masyarakat miskin di

perkotaan menurut Pedoman Umum Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan

(P2KP)-3, adalah tidak memiliki akses ke prasarana dan sarana dasar lingkungan yang

memadai dengan kualitas perumahan dan permukiman yang jauh dibawah standar

kelayakan serta mata pencaharian yang tidak menentu. Disadari bahwa selama ini

banyak pihak melihat persoalan kemiskinan hanya pada tataran gejala-gejala yang

tampak terlihat dari luar atau tataran permukaan saja, baik dimensi politik, sosial,

ekonomi, aset dan lain-lain. Orientasi berbagai penanggulangan kemiskinan yang telah

dilakukan hanya menitikberatkan pada salah satu dimensi dari gejala-gejala kemiskinan

tersebut, yang pada dasarnya mencerminkan pendekatan program bersifat parsial,

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

7

sektoral, charity serta tidak menyentuh akar penyebab kemiskinan itu sendiri.

Akibatnya, program-program dimaksud tidak mampu menumbuhkan kemandirian

masyarakat, yang pada akhirnya tidak dapat mewujudkan aspek keberlanjutan

(sustainability) dari program-program penanggulangan kemiskinan tersebut (Sutjiono

dkk., 2005; 1).

Masyarakat miskin yang menjadi penduduk di suatu daerah pada hakikatnya

disebabkan terjadinya kesenjangan pendapatan yang begitu tajam, sehingga terlihat

secara nyata perbedaan perilaku hidup suatu komunitas masyarakat dalam memenuhi

kebutuhan hidupnya. Mungkin saja yang bersangkutan menganggap tidak ada

permasalahan mengenai keadaan kemiskinan dirinya, tetapi dalam kehidupan sosial di

masyarakat terjadi berbagai fenomena berupa ekses negatif dalam berbagai bentuk

perilaku, seperti gelandangan dan pengemis yang banyak berada di pinggiran dan

persimpangan jalan raya serta pengangguran yang menempati lingkungan perumahan

kumuh di wilayah yang tidak sesuai dengan tata ruang perkotaan. Kemiskinan yang

terjadi di perkotaan diidentifikasi memiliki keterkaitan dengan terjadinya kemiskinan di

perdesaan, sehingga melakukan urbanisasi ke perkotaan dengan harapan dapat

mengubah taraf hidupnya agar lebih baik.

Padatnya penduduk dalam masyarakat perkotaan disebabkan terjadinya

urbanisasi dan migrasi serta pertumbuhan penduduk secara alami yang tidak terbendung

dengan tidak diimbangi penyediaan sarana dan prasarana wilayah yang layak serta

memadai, sehingga menyebabkan permasalahan sosial masyarakat di perkotaan

semakin kompleks termasuk bertambahnya masyarakat miskin. Keberadaan masyarakat

miskin di perkotaan yang pada umumnya kurang berdaya menghadapi persaingan hidup

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

8

dengan berbagai perilaku budaya yang tidak sesuai dengan etika umum, sehingga

dianggap menjadi beban sosial masyarakat. Masyarakat miskin di perkotaan akibat dari

urbanisasi diidentifikasi berasal dari stratifikasi masyarakat miskin di perdesaan, karena

ketidakberdayaan dirinya dan tidak memiliki bekal keterampilan serta pendidikan yang

memadai sehingga tidak mampu bersaing dalam kehidupan masyarakat perkotaan.

Fenomena ketidakberdayaan manusia terjadi dalam kehidupan masyarakat

Sunda di perkotaan maupun perdesaan, terutama yang dialami oleh manusia miskin

yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak. Ketidakberdayaan pada

diri manusia miskin adalah ketidakmampuan mengoptimalkan fungsi susunan hakikat

kodratnya yang menurut Notonagoro (1995; 97-98), bahwa ketiga unsur dalam jiwa

manusia harus selalu ada kemampuan untuk menyelenggarakan kerjasama akal, rasa,

dan kehendak itu dalam satu-kesatuan. Ketiga unsur dalam jiwa ini bersatu dalam raga

(badan)nya bekerjasama untuk terjadinya proses pemberdayaan masyarakat dalam diri

manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial secara seimbang.

Pemberdayaan pada diri manusia miskin menurut hakikat kodratnya bersifat

monopluralis bertumpu pada daya yang menjadi esensi dan perlu dipertanyakan dalam

kehidupan masyarakat. Karena menurut Notonagoro (1995; 93), bahwa bawaan hakikat

manusia yang merupakan keharusan yang mutlak untuk memenuhi kebutuhan, baik

yang berketubuhan maupun yang kejiwaan, baik dari diri sendiri maupun dari orang

lain. Pada manusia harus selalu ada kemampuan untuk memberikan kepada diri sendiri

dan kepada orang lain apa yang semestinya, apa yang menjadi haknya. Kemampuan

yang selalu demikian dalam melakukan proses pemberdayaan diri dan orang lain sesuai

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

9

dengan hak dan kewajiban mengikuti konsep keadilan yang menjelma dalam tingkah

laku adil dan perbuatan adil.

Proses pemberdayaan masyarakat mengacu kepada Pedoman Umum P2KP-3

sebagai salah satu instrumen penting dalam program penanggulangan kemiskinan, yaitu

mencapai tujuan kemandirian masyarakat berlandaskan nilai-nilai universal

kemanusiaan yang harus dijunjung tinggi, ditumbuhkembangkan, dan dilestarikan

berupa nilai: jujur, dapat dipercaya, ikhlas/kerelawanan, adil, kesetaraan, dan kesatuan

dalam keberagaman (Sutjiono dkk., 2005; 7). Nilai-nilai universal kemanusiaan ini

dijadikan sebagai landasan sikap dan perilaku bagi para pelaku pemberdayaan, baik

masyarakat miskin yang diberdayakan maupun masyarakat dan semua pihak yang

terlibat dalam program pemberdayaan ini. Nilai-nilai universal kemanusiaan yang

diadopsi masyarakat lokal disesuaikan dengan nilai-nilai kearifan lokal budaya yang

telah diimplementasikan dalam kehidupannya.

Program penanggulangan kemiskinan di Indonesia telah digulirkan pemerintah

pusat melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri untuk di

perkotaan berbentuk Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), dan di

perdesaan berbentuk Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Program tersebut

merupakan program pemerintah pusat atas bantuan pendanaan Bank Dunia yang

dimulai sejak tahun 1999 dengan digulirkannya P2KP di berbagai perkotaan, dan

setahun kemudian PPK digulirkan di berbagai perdesaan di Indonesia. Tujuan program

tersebut pada awalnya sebagai upaya mengatasi bertambahnya jumlah penduduk miskin

dan pengangguran, akibat terjadinya krisis ekonomi dan moneter yang terjadi sejak

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

10

pertengahan tahun 1997, tetapi program tersebut hingga kini masih terus berjalan dan

mengalami berbagai perbaikan program.

Orientasi dari program tersebut di atas, mengacu kepada Pedoman Umum

P2KP-3, ingin memperbaiki cara pandang masyarakat dan perilaku yang senantiasa

berlandaskan nilai-nilai universal kemanusiaan (moral), prinsip-prinsip kemasyarakatan,

dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Karena

perilaku dan cara pandang masyarakat merupakan pondasi yang kokoh bagi

terbangunnya lembaga masyarakat yang mandiri melalui pemberdayaan para pelaku-

pelakunya agar mampu bertindak sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai

manusia luhur yang mampu menerapkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan masyarakat

sehari-hari. Kemandirian lembaga masyarakat ini dibutuhkan dalam rangka membangun

lembaga masyarakat yang benar-benar mampu menjadi wadah perjuangan kaum miskin

yang mandiri dan berkelanjutan dalam menyuarakan aspirasi serta kebutuhannya.

Keberadaan lembaga tersebut juga diharapkan mampu memengaruhi proses

pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan publik di tingkat lokal agar

lebih berorientasi keberpihakan kepada masyarakat miskin (propoor) dan mewujudkan

tata pemerintahan yang baik (good governance), baik ditinjau dari aspek ekonomi,

lingkungan termasuk perumahan dan permukiman maupun sosial (Sutjiono dkk., 2005;

1, 5).

Program penanggulangan kemiskinan ini meletakkan nilai-nilai universal

kemanusiaan yang senantiasa menjadi landasan program yang didesain oleh pemerintah

pusat, ternyata dalam tataran implementasi membutuhkan kebijakan publik pada tingkat

lokal untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat. Kondisi yang demikian perlu

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

11

ditumbuhkembangkan kearifan lokal (local wisdom) dalam lingkup budaya yang telah

berkembang dalam masyarakat, baik yang bersumber pada nilai-nilai budaya maupun

agama yang dianut sebagian besar masyarakatnya. Perpaduan nilai-nilai universal

kemanusiaan yang menjadi landasan program penanggulangan kemiskinan akan sangat

tergantung kepada tanggapan masyarakat untuk menerima atau menolaknya, karena

komunitas masyarakat telah memiliki nilai-nilai kearifan lokal dalam kehidupan sehari-

hari.

Kearifan lokal mengandung nilai moral kebaikan yang dalam kehidupan

masyarakat Sunda terdapat pada suatu yargon: silih asih, silih asah, silih asuh sebagai

suatu konsep yang diimplementasikan dengan tujuan membangun kebersamaan untuk

meningkatkan kualitas sumberdaya sebagai esensi nilai pemberdayaan manusia. Konsep

tersebut digunakan sebagai landasan nilai pelaksanaan PNPM-Mandiri, baik di

perkotaan maupun perdesaan yang memiliki perbedaan karakteristik masyarakatnya.

Keberadaan nilai kearifan lokal ini diadopsi dalam program tersebut, mampukah

bertahan di tengah-tengah gencar masuknya budaya luar yang cenderung bersifat

individualistik dan kapitalistik dalam budaya global melalui proses akulturasi dan

inkulturasi budaya masyarakatnya.

Fenomena tersebut di atas perlu dipertanyakan kembali terhadap eksistensi

konsep silih asih, silih asah, silih asuh sebagai suatu nilai kearifan budaya Sunda

relevansinya bagi program pemberdayaan masyarakat miskin. Makna yang terkandung

dalam konsep nilai tersebut masihkah relevan dalam kehidupan masyarakat Sunda yang

memiliki kecenderungan berkembang ke arah individualistik dan berorientasi

materialistik. Sebaliknya, nilai-nilai sosial dalam membangun kebersamaan untuk

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

12

kehidupan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik disinyalir mengalami degradasi,

karena lebih mengedepankan nilai-nilai individualistik.

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka diperlukan kajian filsafat nilai

terhadap makna silih asih, silih asah, silih asuh menurut kearifan budaya Sunda

relevansinya bagi pemberdayaan masyarakat miskin. Mengingat kearifan budaya

tersebut secara praksis terdapat pada komunitas masyarakat Sunda dan memiliki

karakteristik yang berbeda dalam kehidupan masyarakat, sehingga dilakukan studi kasus

untuk memberikan gambaran dalam masyarakat perkotaan maupun perdesaan.

2. Rumusan Masalah

Penelitian ini mengambil tema: ”Makna Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh

Menurut Kearifan Budaya Sunda Dalam Perspektif Filsafat Nilai: Relevasinya Bagi

Pemberdayaan Masyarakat Miskin” merupakan studi kasus di Kota Bandung dan

Kabupaten Sumedang dengan berobjek material berupa makna silih asih, silih asah, silih

asuh dengan objek formal berupa filsafat nilai. Berdasarkan latar belakang di atas,

maka rumusan masalah adalah sebagai berikut;

1. Apa esensi kearifan budaya Sunda dalam perspektif filsafat nilai?.

2. Bagaimana konsep dasar pemahaman makna nilai silih asih, silih asah, silih asuh

dalam kearifan budaya Sunda?.

3. Apa esensi kemiskinan menurut kajian filsafat nilai dalam masyarakat Sunda?.

4. Apa esensi nilai pemberdayaan masyarakat miskin menurut filsafat manusia?.

5. Bagaimana esensi makna nilai silih asih, silih asah, silih asuh menurut kearifan

budaya Sunda relevansinya bagi pemberdayaan masyarakat miskin?.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

13

3. Keaslian Penelitian

Penelitian yang secara khusus membahas tentang makna silih asih, silih asah,

dan silih asuh menurut kearifan budaya Sunda dalam perspektif filsafat nilai

relevansinya bagi pemberdayaan masyarakat miskin belum pernah dilakukan para

peneliti lain, tetapi sebagai bagian dari pokok bahasan suatu kajian yang terdapat dalam

berbagai tulisan berbentuk makalah atau satu buku. Herlina Lubis dalam makalahnya

yang termuat dalam Prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda tahun 2006

dengan judul Kearifan Tradisional: Warisan Sejarah Sunda, menyimpulkan bahwa,

konsep silih asih, silih asah, silih asuh merupakan konsep tradisional yang penting

dalam membina hubungan antar masyarakat, sekaligus mencegah terjadinya konflik

(Rosidi dkk., 2006; 273-274).

Selanjutnya, dalam buku yang ditulis oleh Garna, dengan judul Budaya Sunda:

Melintasi Waktu Menantang Masa Depan, pada tahun 2008 menyimpulkan bahwa

hubungan antara sesama yang mengandung nilai-nilai dasar yang manusiawi memiliki

berbagai sisi dalam menghargai orang lain seperti diungkapkan oleh ’silih asih, silih

asah, silih asuh’. Ungkapan itu juga mengandung makna kesetaraan dan mendidik serta

menghendaki diri sendiri, orang lain, dan siapapun manusia untuk saling mengasihi,

saling mengasah (membina) dan saling mengasuh dalam menciptakan masyarakat yang

teratur, tenteram dan kewibawaan setiap orang yang saling berhubungan itu dalam

mewujudkan masyarakat adil dan makmur (Garna, 2008; 140).

Penelitian yang dilakukan oleh Warnaen dkk., berjudul Pandangan Hidup

Orang Sunda: Seperti Tercermin Dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda, pada tahun

1987 menyimpulkan bahwa pada dasarnya hubungan antara manusia dengan sesama

Page 14: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

14

manusia itu harus dilandasi oleh sikap silih asih, silih asah, dan silih asuh. Artinya,

saling mengasihi, saling mengasah, dan saling mengasuh sehingga tercipta suasana

kehidupan masyarakat yang diwarnai keakraban, kerukunan, kedamaian, ketentraman,

dan kekeluargaan, tetapi tidak boleh sekedar terbawa-bawa (Warnaen, dkk., 1987; 19).

Sumardjo dalam hasil penelitiannya, yang ditulis dalam buku dengan judul

”Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda: tafsir-tafsir pantun sunda” pada tahun 2009, di

dalamnya membahas tentang Silih Asah Silih Asih Silih Asuh sebagai salah satu pokok

bahasan. Pembahasan dalam buku tersebut menyimpulkan bahwa hetrogenitas dalam

homogenitas, sebuah paradoks. Justru kelestarian budaya Sunda akibat dari penciptaan

paradoks ini. Hetrogenitas ditunjukkan secara ringkas dalam Trias Politika Sunda yang

terdiri dari Cikeusik (silih asah), Cikertawana (silih asih), dan Cibeo (silih asuh).

Dalam pengertian modern, memang seharusnya setiap orang Sunda bersilih asah,

bersilih asih, bersilih asuh, tetapi tidak setiap orang mampu mengasah, mengasih,

mengasuh. Kenyataan bineka diakui oleh budaya Sunda, bahwa setiap manusia itu

berbeda-beda, yang pandai mengasah yang kurang pandai, yang kaya mengasihi yang

miskin, yang kuat mengasuh yang lemah. Perbedaan-perbedaan itu harus disatukan

dengan pembagian peran yang saling melengkapi satu dengan yang lain. Itulah gunanya

ika, esa, kesatuan, yang ketiganya berbeda namun saling melengkapi satu sama lain,

sehingga terjadi homogenisasi yang tetap mempertahankan aslinya (Sumardjo, 2009;

338, 342) yang dimaknai sebagai homogenitas.

Penelitian Hilmiana dalam disertasinya berjudul Pengaruh Perilaku Budaya

Sunda dan Kepemimpinan serta Orientasi Gender terhadap Etos Kerja di Lingkungan

Bisnis Perbankan di Kotamadya Bandung, pada Program Doktor Ilmu Ekonomi

Page 15: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

15

Program Pascasarjana Universitas Katholik Parahyangan Bandung pada tahun 2009.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa, bagi orang yang bekerja di tatar Sunda, pengaruh

dari perilaku budaya silih asih, silih asah, silih asuh jelas signifikan pada pengembangan

semangat kerja. Hal ini tentunya perlu diperhatikan oleh para pelaku bisnis di wilayah

ini. Artikulasi budaya Sunda seringkali dilakukan secara kurang cermat. Misalnya

dalam mengartikulasikan perilaku budaya silih asih, silih asah, silih asuh, orang sering

mengabaikan mutualitasnya. Banyak orang pada waktu ditanya apa makna dan perilaku

Budaya itu, sering menyatakan perilaku tersebut sebagai perilaku Asih, Asah, dan Asuh,

serta mengabaikan aspek Silih-nya. Pengabaian aspek mutualitas ini dapat menimbulkan

bias yang besar dan dapat mengurangi nilai dari suatu penelitian dengan perilaku ketiga

budaya ini. Praktek kepemimpinan di lingkungan Bank yang beroperasi di tatar Sunda,

diperkirakan masih kuat dipengaruhi oleh Budaya Sunda, khususnya yang

dipresentasikan oleh perilaku budaya Silih Asih, Silih Asah, dan Silih Asuh. Hal ini

perlu diperhatikan oleh para manajer dan pemimpin yang berasal dari luar tatar Sunda,

karena perlu beradaptasi secara kultural, apabila ingin menjadi pemimpin yang efektif

(Hilmiana, 2009; 202-204).

Selanjutnya Hilmiana (2009; 205) merekomendasikan dalam penelitian tersebut,

bahwa apabila dikaji secara mendalam, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku Budaya

Silih Asih, Silih Asah, dan Silih Asuh secara bersama-sama merupakan tonggak bagi

tumbuhnya budaya belajar yang kini mulai banyak dikembangkan di lingkungan

organisasi di seluruh dunia. Karena itu, di sini disarankan agar di masa depan, konsep

Budaya Sunda ini diartikulasikan dalam konteks belajar organizational. Dengan cara ini

konsep budaya Sunda dapat memiliki daya tarik untuk diterapkan secara universal.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

16

Penelitian ini merupakan penelitian awal. Penulis berharap di masa depan akan ada

penelitian lebih lanjut tentang tata nilai Sunda dalam konteks yang berbeda atau dikaji

dari sudut pandang yang lain.

Penelitian yang dilakukan Suryalaga dengan judul Silih Asih, Silih Asah, Silih

Asuh: Kearifan Budaya Sunda dalam Proses Menata Lingkungan Hidup yang

Harmonis. Judul penelitian tersebut merupakan salah satu pokok bahasan dalam buku

yang berjudul Kasundaan Rawayan Jati telah diterbitkan 3 edisi, dan edisi terakhir

diterbitkan tahun 2010. Dalam tulisan tersebut disimpulkan bahwa, bila disimak dengan

cermat, ternyata nilai-nilai pandangan hidup yang terkandung dalam Silih Asih, Silih

Asah, dan Silih Asuh sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Seandainya

dapat diterapkan dalam proses komunikasi keseharian, insya-Allah akan mewujudkan

masyarakat tatar Sunda yang tata tengtrem karta raharja. Pada gilirannya semoga

menjadi kontribusi orang Sunda pada negara dan bangsa Indonesia serta kemanusiaan

yang universal untuk mewujudkan kehidupan Madani Mardhotillah di Buana Panca

Tengah ini (Suryalaga, 2010; 144).

Uraian mengenai hasil-hasil penelitian dan tulisan ilmiah dalam bentuk makalah

dan buku yang telah diungkapkan di atas, menunjukkan bahwa penelitian yang berjudul

Makna Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh Menurut Kearifan Budaya Sunda Dalam

Perspektif Filsafat Nilai: Relevansinya Bagi Pemberdayaan Masyarakat Miskin (Studi

Kasus di Kota Bandung dan Kabupaten Sumedang) ini merupakan kajian baru. Bentuk

kebaruan yang diidentifikasi dalam penelitian ini terletak pada kajian filsafat nilai

terhadap makna silih asih, silih asah, silih asuh sebagai tinjauan aksiologis.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

17

Sebagai kajian ilmu filsafat yang membahas makna nilai yang terkandung dalam

ungkapan silih asih, silih asah, silih asuh menurut kearifan budaya Sunda, maka

diharapkan dapat memberikan manfaat dalam konteks praksis dan akademis, sehingga

dilakukan relevansi bagi pemberdayaan masyarakat miskin dengan mengambil kasus di

Kota Bandung dan Kabupaten Sumedang. Makna silih asih, silih asah, silih asuh telah

diakui sebagai kearifan makna kata yang digali dari kebudayaan masyarakat Sunda

masa lalu dan diteliti pada perspektif perkembangan masyarakat Sunda masa kini,

sehingga peneliti menggunakan metode analisis yang bersifat filosofis. Hasil penelitian

yang bersifat filosofis ini memberikan pemahaman yang fundamental, komprehensif,

dan integral mengenai makna silih asih, silih asah, silih asuh menurut kearifan budaya

Sunda dalam perspektif filsafat nilai relevansinya bagi pemberdayaan masyarakat

miskin.

4. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, maka penelitian ini memiliki manfaat

antara lain;

1. Dalam bidang pengembangan ilmu filsafat untuk menambah khazanah dan

pengembangan disiplin kefilsafatan, spesifik pada bidang filsafat nilai yang terkait

dengan pemahaman makna silih asih, silih asah, silih asuh menurut kearifan budaya

Sunda sehingga dapat sesuai dengan nilai pemberdayaan masyarakat miskin dalam

kehidupan masyarakat perkotaan maupun perdesaan.

2. Dalam bidang pembangunan bangsa berguna bagi penanggulangan kemiskinan

melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, baik di

Page 18: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

18

lingkungan Pemerintah Kota Bandung dan Kabupaten Sumedang maupun

Pemerintah Provinsi Jawa Barat serta Pemerintah Pusat dalam memberikan

masukan terhadap kebijakan program pembangunan nasional dan daerah yang

berorientasi pada pemberdayaan masyarakat miskin yang digali serta

direaktualisasikan dari kearifan budaya Sunda yang terkandung dalam makna nilai

silih asih, silih asah, silih asuh.

3. Dalam penelitian berikutnya berguna memberikan pemahaman lebih komprehensif

dan mendalam melalui pemaknaan silih asih, silih asah, silih asuh menurut kearifan

budaya Sunda dalam perspektif filsafat nilai relevansinya bagi pemberdayaan

masyarakat miskin di perkotaan maupun perdesaan.

B. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian masalah dalam perumusan masalah di atas, maka penelitian

ini mengandung lima macam tujuan, yaitu;

1. Menggali dan menemukan kearifan budaya Sunda pada dimensi masa lalu dan masa

kini menurut perspektif filsafat nilai.

2. Menemukan dan mengungkap makna nilai yang terkandung dalam silih asih, silih

asah, silih asuh menurut kearifan budaya Sunda.

3. Menjelaskan konsep dasar tentang filosofi kemiskinan dan nilai pemberdayaan

masyarakat miskin dalam kehidupan masyarakat Sunda.

4. Menemukan esensi nilai pemberdayaan masyarakat miskin dalam perspektif filsafat

manusia.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

19

5. Menemukan esensi makna nilai yang terkandung dalam silih asih, silih asah, silih

asuh menurut kearifan budaya Sunda relevansinya bagi pemberdayaan masyarakat

miskin.

C. Tinjauan Pustaka

Studi tentang silih asih, silih asah, silih asuh dalam kearifan budaya Sunda telah

dilakukan berbagai peneliti dari tinjauan berbagai disiplin ilmu, tetapi kajian aksiologi

yang khusus membahas tentang nilai dalam penelitian ilmu filsafat belum pernah

dilakukan para peneliti lain. Penelitian ini menggali dan menemukan kearifan budaya

Sunda yang terkandung dalam makna silih asih, silih asah, silih asuh dalam perspektif

filsafat nilai relevansinya bagi pemberdayaan masyarakat miskin. Sebagai suatu nilai

yang diidentifikasi memiliki interpretasi makna untuk membangun kebersamaan dalam

kehidupan masyarakat Sunda, maka di dalamnya mengandung nilai pemberdayaan

masyarakat. Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu metode pembangunan

yang digunakan dalam menanggulangi kemiskinan di Indonesia, termasuk di tatar

Pasundan. Karena itu, pembangunan perlu menjadikan pemberdayaan sebagai nilai dan

pilihan kebijakan, sekaligus sebagai pembelajaran sosial, dalam arti selalu belajar

bagaimana melakukan pemberdayaan yang semakin hari semakin baik (Wrihartonolo &

Dwidjowijoto, 2007; 11).

Kemiskinan merupakan fenomena masalah kehidupan masyarakat yang paling

lama melanda dunia sampai saat ini, yang selalu muncul dan berkembang di berbagai

negara di belahan dunia. Berbagai penelitian yang membahas kemiskinan dari berbagai

disiplin ilmu telah banyak dilakukan, karena dianggap sebagai esensi penyebab

Page 20: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

20

permasalahan krusial yang membutuhkan penanggulangan secara integral dan

komprehensif. Menurut Saifuddin (2007; 2-3), bahwa sebagian besar kajian kemiskinan

di Indonesia lebih berorientasi pada angka-angka untuk memaparkan kondisi-kondisi

kemiskinan. Suatu cara pandang mengenai kemiskinan dari sudut manusia sebagai

subjek belum memperoleh kedudukan yang memadai dalam kehidupan sosial

budayanya. Aspek sosial budaya kemiskinan, suatu aspek yang menyangkut langsung

manusia dan pengetahuan, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan yang dimilikinya, yang

digunakan untuk menghadapi lingkungannya.

Mengkaji pemberdayaan masyarakat miskin dalam perspektif filsafat nilai

terhadap makna yang terkandung pada makna silih asih, silih asah, silih asuh menurut

kearifan budaya Sunda difokuskan kepada manusia dan masyarakat sebagai subjek

pembangunan, yang dipahami dari filosofi dan nilai-nilai budaya dalam kehidupannya.

Suatu kajian nilai terhadap manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial

dalam filosofi kehidupan masyarakat miskin, ternyata memiliki sistem nilai budaya

yang dijadikan sebagai pedoman hidup atas perilaku kehidupan dalam masyarakatnya.

Sistem nilai budaya ini meresap dan berakar dalam jiwanya, sehingga tidak mudah

diubah dalam waktu yang relatif singkat. Sistem budaya dalam masyarakat menyangkut

masalah-masalah pokok bagi kehidupan manusia yang merupakan abstaksi yang tidak

mungkin ditemukan seratus persen dihayati atau menjiwai nilai-nilai dominan yang

persis sama dengan apa yang ada di dalam masyarakat tertentu. Karena itu, mungkin

saja nilai-nilai inti tertentu dapat berbeda atau bertentangan dengan nilai-nilai yang lain

(Soelaiman, 2007; 42).

Page 21: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

21

Perbedaan nilai-nilai budaya masyarakat miskin dalam suatu sistem nilai sosial

masyarakat tidak dapat langsung diidentifikasi secara inderawi, tetapi perbedaan

perilaku dan gaya hidup akan tampak dari budaya kehidupan manusia dalam pranata

sosial keseharian. Untuk mengungkap nilai-nilai suatu kebudayaan yang berakar dari

kebutuhan dasariah manusia, maka menurut Kluckohn (1962; 317-318) dapat dilihat

dari perilaku-perilaku berdasarkan sudut budaya yang sangat khas pada kebutuhan-

kebutuhan biologis yang sama. Schawartz dan Bilsky berpendapat, bahwa ada suatu

kandungan dan struktur universal pada nilai-nilai manusia berasal dari tiga persyaratan

universal yang mendasari semua kebudayaan insani; (1) kebutuhan-kebutuhan orang-

seorang sebagai organisme biologis, (2) kebutuhan-kebutuhan interaksi sosial yang

terkoordinasi, dan (3) kebutuhan-kebutuhan kesejahteraan dan ketahanan hidup

kelompok (Adeney, 2000; 160-161).

Kebudayaan manusia akan berkembang sejalan dengan perilaku dari kehidupan

masyarakatnya berpedoman kepada sistem nilai-nilai budaya yang berlaku dalam

komunitas masyarakat sesuai dimensi ruang dan waktunya. Sistem nilai budaya menurut

Koentjaraningrat (1990; 190-191), merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling

abstrak dari adat-istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai-nilai budaya merupakan

konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga

sesuatu masyarakat mengenai apa yang dianggap bernilai, berharga, dan penting dalam

hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan

orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat tadi. Setiap sistem nilai budaya

dalam setiap kebudayaan itu terdapat mengenai lima masalah dasar dalam kehidupan

manusia yang dapat digunakan mengembangkan suatu kerangka yang dapat dipakai

Page 22: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

22

oleh para ahli antropologi untuk menganalisa secara universal tiap variasi dalam sistem

nilai budaya dari semua macam kebudayaan yang terdapat di dunia. Kelima masalah

dasar dalam kehidupan manusia yang menjadi landasan bagi kerangka variasi sistem

nilai budaya menurut buku yang ditulis Kluckhohn berjudul: ”Variational in Value

Orientation” (1961), antara lain:

1. Masalah mengenai hakikat dari hidup manusia (selanjutnya disingkat MH).

2. Masalah mengenai hakikat dari karya manusia (selanjutnya disingkat MK).

3. Masalah mengenai hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu

(selanjutnya disingkat MW).

4. Masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya

(selanjutnya disingkat MA).

5. Masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya (selanjutnya

disingkat MM).

Variasi sistem nilai budaya tersebut di atas selalu berkaitan dengan suatu

kebudayaan yang secara antropologis sebagai suatu fakta di dalamnya mengandung

nilai-nilai yang dijadikan pedoman oleh komunitas masyarakatnya. Dalam kebudayaan

manusia yang hidup dan berinteraksi di tengah-tengah masyarakat, tentunya akan

memiliki nilai-nilai yang menjadi pedoman hidup, baik sebagai makhluk individu

maupun makhluk sosial dalam sistem nilai budayanya. Jika nilai-nilai tersebut mengacu

kepada etika yang berasal dari agama maupun filsafat tertentu, maka akan selalu

menghasilkan dua jenis kelompok nilai, yaitu berupa nilai baik dan nilai buruk. Hal ini

dikemukakan oleh tokoh filsafat nilai, Scheler dalam bukunya yang berjudul

”Formalism in Ethics and Non-Formal Ethics of Value” (1973). Buku tersebut menurut

Page 23: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

23

Wahana (2004; 55) menjelaskan bahwa semua nilai (baik etika, estetika, dan lain-

lainnya) berada dalam dua kelompok, yaitu: yang positif dan yang negatif. Fakta ini

terdapat dalam inti dari nilai itu sendiri. Hal ini tidak tergantung pada kemampuan untuk

merasakan adanya saling berlawanan dari nilai-nilai bersangkutan, misalnya indah-

jelek, baik-jahat dan lain sebagainya. Juga penting menunjuk adanya keterjalinan hakiki

antara nilai dan kewajiban ideal. Terdapat dalil bahwa semua kewajiban harus memiliki

dasarnya nilai, yaitu bahwa nilai harus ada atau tidak ada; nilai positif merupakan suatu

yang harus ada dan terwujud dalam realitas kehidupan, sedangkan nilai negatif harus

tidak ada dan tidak terwujud dalam realitas kehidupan.

Kajian terhadap suatu makna nilai yang terkandung dalam kearifan budaya dari

komunitas masyarakat, maka harus mengacu kepada pertimbangan nilai-nilai etika

dalam praktek sosial dalam suatu sistem budaya masyarakat sebagai faktanya.

Berdasarkan fakta inilah, maka nilai-nilai budaya dapat dimaknai dalam konteks

kebudayaan masyarakatnya. Salah satu kearifan budaya yang terdapat dalam kehidupan

masyarakat Sunda di antaranya menempatkan konsep silih asih, silih asah, silih asuh

sebagai suatu nilai kebersamaan dalam kehidupan komunitasnya untuk meningkatkan

kualitas kemanusian yang lebih baik. Menurut Suryalaga (2010; 123-145) dalam

tulisannya yang berjudul ”Silih Asuh – Silih Asah – Silih Asih (Kearifan Budaya Sunda

Dalam Proses Menata Lingkungan Hidup Yang Harmonis)” terdapat dalam bukunya

yang berjudul Kasundaan Rawayan Jati (2010), bahwa konsep tersebut merupakan

yargon yang sangat akrab bagi masyarakat Sunda dan sudah digunakan dalam

idiomatika nasional.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

24

Seuntai yargon perlu dijelaskan atau dijabarkan arti harfiah serta pemaknaan

filosofinya, agar masyarakat mampu mencerna dan mengaplikasikan maksud

kandungan yargon tersebut dalam perilaku kehidupannya. Karuhun Sunda, para local

genius telah lebih awal membuat semacam tarekah, atau konsep-konsep bermasyarakat

agar anak-cucu serta alam lingkungan, baik mikro maupun makro selalu dalam tatanan

lingkungan hidup yang penuh harmoni. Hidup yang harmonis pada intinya adalah

kesadaran akan adanya saling ketergantungan dengan tidak melupakan jati diri dan

habitatnya masing-masing. Proses mewujudkan kehidupan yang harmonis secara

holistik ini merupakan hasil optimal dari sistem berkomunikasi ”Silih Asih, Silih Asah,

dan Silih Asuh”. Konsep ini adalah proses berkehidupan yang Silih Asih, Silih Asah,

dan Silih Asuh dikenal dengan akronim Silas atau 3 SA. Yargon atau motto tersebut

sangat dikenal di masyarakat Sunda (Suryalaga, 2010; 127).

Pemikiran Sumardjo mengemukaan konsep Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh

dalam urutan yang berbeda yang ditulis dalam bukunya yang berjudul Simbol-Simbol

Artefak Budaya Sunda: tafsir-tafsir pantun Sunda (2009), di dalamnya membahas

tentang Silih Asah Silih Asih Silih Asuh. Ungkapan itu berasal dari masa lampau Sunda,

dan dengan demikian harus diletakkan dalam ekologi budaya Sunda masa lampau juga.

Meskipun demikian, karena ini merupakan produk berpikir manusia Sunda, maka

ungkapan ini tetap relevan bagi masyarakat Sunda sekarang. Diakronik sejarah Sunda

pada awalnya mengenal tritangtu, yang dalam pengertian sosiobudayanya terdiri dari

kesatuan tiga kampung utama Baduy, yakni Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo.

Kampung paling tua (indung) adalah Cikeusik, yang berperan sebagai pemegang atau

Page 25: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

25

pewaris norma-norma adat dari Karuhun. Cikeusik adalah pemilik mandat kekuasaan

(Sumardjo, 2009; 337,342).

Filosofi tritangtu ini berasal dari masa Sunda Kuna yang digunakan komunitas

Baduy menjadikan landasan mengatur pembagian kekuasaan yang dikenal Trias Politika

Sunda yang terdiri dari; resi, ratu, rama, yang dijadikan rujukan urutan silih asah, silih

asih, dan silih asuh. Secara ringkas Trias Politika Sunda terdiri dari Cikeusik (silih

asah), Cikertawana (silih asih), Cibeo (silih asuh). Resi adalah pendeta penguasa ilmu

dan pengetahuan agama, serta pemimpin dalam upacara-upacara keagamaan. Resi

adalah pemegang silih asahnya. Ratu adalah penguasa atau yang melaksanakan

kekuasaan praksis. Jadi, ratu atau raja daerah adalah pemegang silih asihnya, sedangkan

daerah-daerah paling luar dari Trias Politika itu adalah pemegang silih asuhnya.

Mengapa disebut rama?. Rama adalah kepala desa atau pemimpin-pemimpin lokal.

Kepala desa itu benar-benar bagian dari rakyat Sunda. Kesatuan resi, ratu, rama adalah

kesatuan golongan pendeta, raja, dan rakyat. Pendeta yang mengasah atau menggarami

raja dan rakyat dengan norma-norma kasundaan zaman itu, raja-raja yang menjalankan

dan mengawasi dilaksanakannya norma-norma itu, dan rakyat di desa-desa

mengamankan berjalannya kedua peran di atas (Sumardjo, 2009; 339).

Buku Pandangan Hidup Orang Sunda: Seperti Tercermin Dalam Tradisi Lisan

dan Sasta Sunda (1987), yang merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Warnaen dkk., (1987; 13,169), bahwa orang Sunda yakin pada kekuasaan Tuhan yang

merupakan dasar utama dari padangan hidup orang Sunda. Pada dasarnya hubungan

manusia dengan sesama manusia itu ”kudu silih asih silih asah jeung silih asuh,

terjemahannya harus saling mengasih, saling mengasah, dan saling mengasuh yang

Page 26: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

26

dimaknai bahwa di antara sesama manusia harus saling mengasihi, saling mengasah,

dan saling mengasuh.

Konsep silih asih, silih asah, silih asuh (3 SA.) sebagai kearifan budaya Sunda

mengandung makna nilai membangun harmoni hubungan antar manusia yang saling

ketergantungan untuk membangun keberdayaan manusia dan keluarga dalam kehidupan

bermasyarakat yang berkualitas. Setiap manusia yang memiliki keberdayaan diri pada

hakikatnya membutuhkan keseimbangan dalam kesatuan antara jiwa dan raganya serta

asset yang dimilikinya berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, sehingga

kekuatan tersebut dibutuhkan orang lain agar ditransformasikan kepada manusia yang

kurang memiliki keberdayaan sebagaimana mestinya. Karena itu, dalam membangun

kebersamaan kehidupan dalam masyarakat yang harmonis selalu berorientasi kepada

kedamaian dan kesejahteraan, sehingga membutuhkan landasan dalam melakukan

transformasi nilai melalui konsep 3 SA. antar manusia dalam komunitas masyarakatnya

antara manusia yang memiliki keberdayaan dengan yang kurang memiliki keberdayaan

dalam sistem pranata sosial masyarakatnya.

Konsep 3 SA. sebagai kearifan budaya Sunda adalah bertujuan membangun nilai

kebersamaan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yang memiliki

persamaan dengan konsep ’gotong-royong’ sebagai suatu nilai. Pengertian gotong-

royong yang mengandung nilai, di situ tentu ada hal-hal yang dipandang luhur, sebagai

contoh misalnya di dalam gotong-royong itu terdapat unsur keikhlasan menyumbang

tenaga, ketulusan dalam menolong, tanpa pamrih dan sebagainya. Menurut Mubarok

(1983; 24) dalam tulisannya berjudul Gotong Royong Sebagai Nilai dan Kemungkinan-

Kemungkinan Erosinya dalam buku Perubahan Nilai-Nilai di Indonesia (1983), bahwa

Page 27: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

27

sebagai bagian dari budaya, nilai gotong royong pastilah juga tidak bebas dari

pengaruh-pengaruh elemen-elemen baru masuk dari budaya luar, yang secara potensial

dapat berpengaruh terhadap perubahan nilai tersebut. Persamaan kedua konsep nilai

tersebut terdapat pada sifat hakikat kodrat manusia, bahwa manusia sebagai makhluk

sosial pada hakikatnya saling membutuhkan dalam membangun kebersamaan.

Perbedaan konsep gotong-royong dengan silih asih, silih asah, silih asuh (3

SA.) adalah memiliki orientasi dalam kehidupan masyarakat yang berbeda. Konsep

gotong-royong lebih difokuskan untuk kepentingan sosial masyarakat yang melibatkan

partisipasi seluruh masyarakat, seperti perbaikan jalan, saluran, dan fasilitas umum,

tetapi terdapat kebiasaan komunitas masyarakat desa tertentu membangun rumah

dengan cara gotong-royong. Konsep 3 SA. berorientasi untuk meningkatkan kualitas

sumberdaya manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang dibangun

dari nilai kebersamaan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, sehingga terjadi

pemberdayaan manusia dalam kehidupan sosial keluarga maupun masyarakatnya.

Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu dari strategi kebudayaan yang

bertujuan untuk mengangkat harkat martabat manusia agar fungsi dan kedudukannya

lebih baik dalam tatanan kehidupan sosialnya, sehingga ketidakberdayaan manusia

dalam kehidupannya didorong untuk mampu berkarya agar bermanfaat bagi diri dan

orang lain di lingkungan dunianya. Karena itu, konsep gerakan pemberdayaan

masyarakat mengutamakan inisiatif dan kreasi masyarakat dengan strategi pokok

adalah memberi kekuatan (power) kepada masyarakat yang kurang memiliki

keberdayaan. Memberikan kekuatan akan menghasilkan hirarki kekuatan dan ketiadaan

kekuatan, seperti yang dikemukakan oleh Simon dalam tulisan bukunya yang berjudul

Page 28: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

28

Rethinking Empowerment (1990), dalam buku tersebut menurut Hikmat (2001; 144),

bahwa pemberdayaan adalah suatu aktifitas refleksif, suatu proses yang mampu

diinisiasikan dan dipertahankan hanya oleh agen atau subjek yang mencari kekuatan

atau penentuan diri sendiri (self-determination). Sementara proses lainnya hanya dengan

memberi iklim, hubungan, sumber-sumber dan alat-alat prosedural yang melaluinya,

sehingga masyarakat dapat meningkatkan kehidupannya.

Ide yang menempatkan pemberdayaan dari sekedar subjek dari dunianya sendiri

mendasari dibakukannya konsep pemberdayaan tersebut, yang menurut Hikmat (2001;

43-44) dalam bukunya yang berjudul ”Strategi Pemberdayaan Masyarakat” (2001),

bahwa proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses

pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian

kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan kepada masyarakat agar individu yang

bersangkutan menjadi lebih berdaya (survival of the fittest). Proses ini mengacu kepada

pendapat Oakley dan Marsden (1984) dapat dilengkapi dengan upaya membangun aset

material guna mendukung pembangunan kemandiriannya melalui organisasi.

Kecenderungan atau proses yang pertama disebut sebagai kecenderungan primer dari

makna pemberdayaan. Kedua, atau kecenderungan sekunder yang mengacu kepada

pendapat Pranarka dan Vidhyandika (1996), menekankan pada proses menstimulasi,

mendorong, atau memotivasi agar individu mempunyai kemampuan atau keberdayaan

untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui dialog. Sesungguhnya di

antara kedua proses tersebut saling terkait, sehingga agar kecenderungan primer dapat

terwujud, seringkali harus melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

29

Ketidakberdayaan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup dari aspek

ekonomi, sosial, dan politik menyebabkan manusia menjadi miskin. Karena kemiskinan

muncul bukan sebagai sebab, tetapi lebih sebagai akibat dari adanya situasi

ketidakadilan, ketimpangan serta ketergantungan dalam struktur masyarakat akibat

ketidakberdayaannya. Menurut Chambers (1987; 145) dalam bukunya berjudul Rural

development putting the last first, bahwa inti dari masalah kemiskinan sebenarnya

terletak pada apa yang disebut deprivation trap atau ”perangkap kemiskinan” yang

terdiri dari lima unsur, yaitu: (1) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan fisik, (3)

keterasingan atau kadar isolasi, (4) kerentanan, dan (5) ketidakberdayaan. Kelima unsur

ini seringkali saling berkait satu dengan yang lain dalam suatu jalinan interaksi timbal

balik, sehingga merupakan perangkap kemiskinan yang benar-benar berbahaya dan

mematikan peluang hidup masyarakat atau keluarga miskin.

Pendekatan struktural dalam mengungkap akar penyebab kemiskinan

masyarakat dapat terjadi di perkotaan maupun perdesaan, yang disebabkan terjadinya

perubahan sosial dan ekonomi yang terkait dengan disparitas geografis. Menurut Gilbert

dan Gugler (1996; 24) dalam buku “Urbanisasi dan kemiskinan di dunia ketiga” (1996),

bahwa faktor penyebab kemiskinan di dunia ketiga disebabkan oleh adanya perubahan

sosial dan ekonomi yang dikaitkan dengan munculnya disparitas geografis. Disparitas

ini terkait dengan karakter model ekonomi yang menopang pembangunan di dunia

ketiga dan disparitas pendapatan personal yang muncul. Ada tiga pola konsentrasi

spasial dan ketimpangannya berupa; disparitas sosial ekonomi antar wilayah perkotaan

dan perdesaan, disparitas sosial ekonomi antar negara, dan tingkat dominasi sebuah kota

terhadap struktur perkotaan (“keunggulan” perkotaan). Lebih lanjut pendapat Soemarjan

Page 30: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

30

(1980; 5) yang menyoroti kemiskinan struktural, bahwa kemiskinan yang diderita oleh

suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut

menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi masyarakat

miskin.

Kemiskinan di Indonesia dikaji dari aspek ekonomi yang dibahas oleh Soemitro

dan Tjiptoharjanto dalam bukunya yang berjudul “Kemiskinan dan Ketidakmerataan di

Indonesia” (2002), mengatakan bahwa sebab kemiskinan di Indonesia, baik yang terjadi

di perdesaan maupun di perkotaan pada tahun 1997 sampai akhir tahun 1998 mengalami

peningkatan yang dipicu karena adanya krisis moneter yang berkepanjangan. Untuk

penduduk perkotaan menderita lebih dasyat dibandingkan rekannya di perdesaan.

Pandangan tersebut diperkuat oleh pendapat Thorbecke (1999), terdapat dua

kemungkinan penjelasan untuk pertambahan yang lebih cepat dalam jumlah kaum

miskin perkotaan. Pertama, krisis cenderung memberi pengaruh terburuk kepada

beberapa sektor ekonomi utama di wilayah perkotaan seperti kontruksi, perdagangan

dan perbankan yang membawa dampak negatif terhadap pengangguran di perkotaan;

Kedua, sementara penduduk perdesaan dapat memenuhi tingkat subsistensi dari

produksi mereka sendiri, pertambahan harga bahan makanan mempengaruhi secara

negatif pembeli pada umumnya lebih banyak dibanding pengaruhnya pada produsen

makanan, yang mendatangkan penderitaan lebih banyak di antara rumah tangga

perkotaan dibandingkan perdesaan (Soemitro dan Tjiptoharjanto, 2002; 7).

Buku “Kemiskinan di Perkotaan” (1993), yang ditulis Suparlan, bahwa

kebudayaan kemiskinan yang terjadi karena adanya konteks sejarah. Namun lebih

cenderung untuk tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat-masyarakat yang

Page 31: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

31

mempunyai seperangkat kondisi-kondisi sebagai berikut: 1) sistem ekonomi uang,

buruh upahan, dan sistem produksi untuk keuntungan, 2) tetap tingginya tingkat

pengangguran dan setengah pengangguran bagi tenaga tak terampil, 3) rendahnya upah

buruh, 4) tak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah meningkatkan organisasi

sosial, ekonomi, dan politik secara sukarela maupun atas prakarsa pemerintah, 5) sistem

keluarga bilateral lebih menonjol dari pada sistem unilateral, dan 6) kuatnya

seperangkat nilai-nilai pada kelas yang berkuasa yang menekan penumpukan harta

kekayaan dan adanya kemungkinan mobilitas vertikal dan sikap hemat, serta ada

anggapan bahwa rendahnya status ekonomi sebagai hasil ketidaksanggupan pribadi atau

memang pada dasarnya sudah rendah kedudukannya (Suparlan, 1993; 5).

Beberapa penelitian yang terkait dengan tema penelitian di atas merupakan studi

yang bersifat parsial, karena masing-masing mengkaji dari dimensi dan perspektif yang

berbeda. Tulisan-tulisan tersebut telah memberikan informasi yang cukup mengenai

akar penyebab kemiskinan yang dapat disimpulkan bahwa, kemiskinan di perkotaan

maupun di perdesaan akibat terjadinya perubahan sosial ekonomi dalam disparitas

geografis dan struktur sosial masyarakat yang tidak dapat ikut menggunakan sumber-

sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi manusia dan masyarakat miskin yang

disebabkan karena nilai-nilai budaya yang dimilikinya mendorong kepada ketidak-

berdayaan diri dan ketergantungan kepada pihak lain. Karena itu, pemberdayaan

masyarakat miskin berlandaskan konsep 3 SA. menurut kearifan budaya Sunda

merupakan salah satu solusi dalam menanggulangi kemiskinan yang harus diungkap

secara esensial dari aspek kajian filsafat nilai.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

32

Gambar 1:

Alur Kajian Makna 3 SA. Menurut Kearifan Budaya Sunda Dalam

Perspektif Filsafat Nilai: Relevansinya bagi Pemberdayaan Masyarakat Miskin

Makhluk Individu

Hakikat Sifat Kodrat Manusia (Monodualis)

Makhluk Sosial

Makna Nilai 3 SA. Menurut Kearifan Budaya Sunda:

Kajian Filsafat Nilai

ASPEK FORMAL

(1) Silih Asih

(2) Silih Asah

(3) Silih Asuh ASPEK MATERIAL

Nilai “Asih”

Nilai “Asah”

Nil Nilai “Asuh”

Nilai Ontologis

Nilai Epistemoligis

Nilai Aksiologis

HASIL PROSES “3 SA.”

FILOSOFI MASYARAKAT SUNDA

“SIRNA NING HURIP”

SILIH “WANGI”

(4)

Makhluk Individu Nilai “Wangi” :

Manusia berkualitas sebagai makhluk individu

Makhluk Sosial

Manusia Sunda

Nu Nyunda

dan makhluk sosial yang seimbang Masyarakat Sunda

Tata Tengtrem Kartaraharja

Salapan Rawayan

Manusia Utama

(9 Ciri Manusia Utama)

Masyarakat Sunda

Aman dan Sejahtera

RELEVANSINYA

BAGI :

Pemberdayaan Masyarakat Miskin

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)

Mandiri di Perkotaan dan Perdesaan

Studi Kasus di Kota Bandung dan Kabupaten Sumedang

Page 33: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

33

D. Landasan Teori.

Nilai merupakan kajian aksiologi dari cabang filsafat yang mulai muncul pada

akhir pertengahan abad 19, tetapi telah lama memegang peranan penting dalam kajian

ilmu filsafat sejak zaman Plato. Perkembangan filsafat nilai sejalan dengan

perkembangan fakta dalam kehidupan manusia, karena untuk menjelaskan suatu nilai

akan selalu diperbadingkan dengan fakta sebagai salah satu cara yang digunakan untuk

menjelaskannya (Peursen, 1990; 32). Karena itu, nilai dan fakta akan berkembang

sejalan dengan realitas kehidupan dari kebudayaan manusia dan masyarakat dalam

dimensi ruang dan waktunya. Mengungkap makna suatu nilai yang terkandung dalam

kearifan lokal masyarakat dilakukan melalui fakta yang terdapat dalam interaksi sosial

masyarakatnya, sehingga keberadaan nilai akan selalu berdasarkan fakta dari suatu

kebudayaan manusia dan masyarakatnya.

Teori nilai menurut Alisjahbana (1988; 153) menyelidiki proses dan isi

penilaian, yaitu proses-proses yang mendahului, menggiringkan, dan malahan

menentukan semua kelakuan manusia. Karena itu, teori nilai menghadapi manusia

sebagai makhluk yang berkelakuan yang menjadi objeknya. Umumnya kalau dalam

filsafat dalam membicarakan teori nilai, maka yang dimaksud ialah etik. Etik memang

merupakan bagian dari agama yang teintegrasi. Etik sebagai teori nilai, mencoba

menjelaskan nilai tertinggi atau nilai etik yang disebut kebaikan; dari padanya

dikembangkan norma-norma kelakuan baik dan buruk dalam hubungan keseluruhan

hidup. Karena tiap-tiap sistem etik itu dihubungkan dengan agama atau filsafat tertentu,

maka nilai kebaikan tetap tinggal relatif. Nilai kebaikan itu hanya berlaku dalam agama

atau filsafat tertentu, artinya dalam suatu sistem nilai tertentu.

Page 34: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

34

Pendekatan aksiologis dalam mengungkap hakikat nilai menurut Kattsoff (1987;

331) dapat dijawab dengan tiga macam cara, orang dapat mengatakan bahwa: (1) nilai

sepenuhnya berhakikat subjektif. Ditinjau dari sudut pandangan ini, nilai-nilai

merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan

keberadaannya tergantung kepada pengalaman-pengalaman yang dinamakan

”subjektivitas”. Orang dapat mengatakan (2) nilai-nilai merupakan kenyataan-kenyataan

ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai

tersebut merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melalui akal. Pendirian ini

dinamakan ”objektivisme logis”. Akhirnya orang dapat mengatakan bahwa (3) nilai-

nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan, yang disebut

”objektivitas metafisik”.

Mengungkap esensi makna nilai yang terdapat dalam kearifan budaya suatu

masyarakat harus menelusuri pandangan hidup dari komunitas bangsa tersebut, karena

dalam pandangan hidup terkandung konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-

citakan oleh suatu bangsa. Di dalamnya terkandung pikiran-pikiran yang terdalam dan

gagasan sesuatu bangsa mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik. Pada akhirnya,

pandangan hidup sesuatu bangsa adalah suatu kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki

oleh bangsa itu sendiri, yang diyakini kebenarannya dan menimbulkan tekad pada

bangsa itu untuk mewujudkannya. Dengan pandangan hidup yang jelas, sesuatu bangsa

akan memiliki pegangan dan pedoman bagaimana memecahkan masalah-masalah

politik, ekonomi, sosial dan budaya yang timbul dalam gerak masyarakat (Warnaen

dkk., 1987; 2).

Page 35: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

35

Kristalisasi nilai-nilai yang terdapat dalam sesuatu bangsa inilah yang dapat

diungkap dalam pandangan hidup dari orientasi nilai yang terkandung pada kearifan

budaya masyarakat suatu suku bangsa, baik hakikat manusia sebagai pribadi, hubungan

manusia sesama manusia dan alam lingkungannya maupun dengan Tuhannya. Untuk

mengungkap orientasi nilai budaya, maka Kluckhohn dan Florence beranggapan bahwa,

dalam rangka sistem budaya dari tiap kebudayaan ada serangkaian konsep-konsep yang

abstrak dan luas ruang lingkupnya, yang hidup dalam alam pikiran dari sebagian besar

warga masyarakat, mengenai apa yang harus dianggap penting dan bernilai dalam

hidup. Sistem nilai budaya itu juga berfungsi sebagai suatu pedoman orientasi bagi

segala tindakan manusia dalam hidupnya. Suatu sistem nilai budaya merupakan sistem

tata tindakan yang lebih tinggi daripada sistem-sistem tata tindakan yang lain, seperti

sistem norma, hukum, hukum adat, aturan etika, aturan moral, aturan sopan santun, dan

sebagainya (Koentjaraningrat, 1990; 77).

Konsepsi mengenai isi dari sistem nilai budaya yang secara universal ada dalam

tiap kebudayaan di dunia, dikembangkan secara berangsur oleh Kluckhohn dan

Strodtbeck yang dibahas secara mendalam dalam bukunya berjudul: Variations in Value

Orientation (1961). Menurutnya, soal-soal yang paling tinggi nilainya dalam hidup

manusia dan yang ada dalam tiap kebudayaan di dunia, menyangkut paling sedikit lima

hal (Koentjaraningrat, 1990; 78). Salah satu dari kelima hal tersebut di antaranya adalah

masalah hakikat hubungan manusia dengan sesamanya disingkat MM, seperti tabel

berikut ini.

Page 36: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

36

Tabel 1

Kerangka Kluckhohn Mengenai Lima Dasar Dalam Hidup Yang

Menentukan Orientasi Nilai-Nilai Budaya Manusia

MASALAH DASAR

DALAM HIDUP

ORIENTASI NILAI BUDAYA

Hakikat Hidup (MH)

Hidup itu Buruk

Hidup itu Baik

Hidup itu buruk, tetapi

manusia wajib berikhtiar

supaya hidup itu

menjadi baik

Hakikat Karya (MK)

Hidup itu untuk

Nafkah Hidup

Karya itu untuk

Kedudukan,

Kehormatan, dsb.

Karya itu untuk

menambah Karya

Persepsi Manusia

tentang Waktu (MW)

Orientasi

ke Masa Kini

Orientasi

ke Masa Lalu

Orientasi

ke Masa Depan

Pandangan Manusia

terhadap Alam (MA)

Manusia tunduk

kepada Alam

yang dasyat

Manusia berusaha

menjaga keselarasan

dengan Alam

Manusia berhasrat

menguasai Alam

Hakikat hubungan

Manusia dengan

Sesamanya (MM)

Orientasi Kolateral

(Horizontal, rasa

ketergantungan pada

Sesamanya (Berjiwa

Gotong Royong)

Orientasi Vertikal,

rasa ketergantungan

kepada Tokoh-

tokoh Atasan

dan berpangkat

Individualisme menilai

tinggi usaha atas

kekuatan sendiri

Sumber : Dikutip dari Koentjaraningrat (1990; 194).

Banyak kebudayaan sejak awal mengajarkan kepada warganya agar senantiasa

hidup bergotong-royong agar selalu ”duduk sama rendah berdiri sama tinggi”.

Kebudayaan-kebudayaan dengan variasi orientasi nilai budaya seperti ini, biasanya

mementingkan konsensus untuk kerjasama. Namun biasanya dalam kebudayaan yang

seperti itu, ada juga orang-orang yang selain mementingkan gotong-royong dengan

sesamanya (collaterality), juga selalu mengacu ke warga masyarakat yang senior,

berpangkat tinggi atau yang berasal dari golongan-golongan sosial yang tinggi. Warga-

warga masyarakat semacam itu, biasanya menjadi acuan restu dan contoh bertindak bagi

Page 37: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

37

sebagian besar warga kebudayaan bersangkutan. Sebaliknya, banyak kebudayaan

menekankan pada hak asasi dari setiap individu menjadi warganya yang tidak boleh

diganggu gugat oleh siapapun. Dalam kebudayaan semacam ini, warga biasanya sejak

dini sudah diajarkan agar bersikap mandiri, karena keberhasilannya dalam hidup harus

diperoleh dengan upayanya sendiri tanpa campur tangan orang lain (individuality).

Dalam kebudayaan semacam itu berkembang berbagai aliran berpikir individualisme,

dan dalam kebudayaan yang mempunyai orientasi nilai budaya seperti kedudukan orang

dalam masyarakat didasarkan atas mutu dari hasil karyanya dan tidak atas senioritasnya,

pangkatnya, atau golongan sosialnya (Koentjaraningrat, 1990; 81- 82).

Hubungan manusia dengan sesama manusia selalu terdapat dalam kehidupan

masyarakat yang sifat hakikat kodratnya bahwa manusia bersifat monodualis. Artinya,

pada diri setiap manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial sebagai

satu-kesatuan tidak dapat dipisahkan, yang menurut Notonagoro (1995; 95) bahwa

hakikat manusia sebagai diri bersifat pribadi perseorangan atau individu dan juga

bersifat pribadi hidup bersama, pribadi bermasyarakat atau makhluk sosial. Sifat hakikat

kodrat manusia merupakan bagian dari uraian tentang hakikat kodrat manusia yang

diungkapkan oleh Notonagoro sebagai berikut: berhubung dengan hakikat manusia

merupakan keutuhan, keseluruhan, diri, dengan susunannya atas raga dan jiwa dalam

kedua-tunggalan, maka dengan sendirinya sebagai bawaannya yang semestinya ialah

bahwa baik sumber-sumber kemampuan jiwanya akal-rasa-kehendak maupun sifat-sifat

hakikatnya sebagai individu dan pribadi bermasyarakat atau makhluk sosial serta

kedudukan hakikatnya pribadi berdiri-sendiri dan makhluk Tuhan masing-masing, satu

sama lainnya, mewujudkan ketunggalan yang mutlak. Pemikiran tentang hakikat kodrat

Page 38: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

38

Sifat

Kodrat

Kedudukan

Kodrat

manusia dalam perspektif pemikiran Notonagoro ini dapat diuraikan dalam bentuk

skema, yang dapat diperinci menurut Kaelan (2003; 163) sebagai berikut.

Unsur Benda Mati

Tubuh Unsur Tumbuhan (Vegetatif) (Raga) Unsur Binatang (Animal)

Susunan

Kodrat Monodualis

Akal

Jiwa Rasa

Kehendak

Hakikat Makhluk Individu

Kodrat Monodulis

Manusia Makhluk Sosial

Makhluk Berdiri Sendiri

Monodualis

Makhluk Tuhan

Sepuluh unsur manusia tersebut di atas tentu saja saling melengkapi satu dengan

yang lain dan merupakan satu kesatuan yang bulat. Kalau salah satu dari padanya tidak

ada, maka manusia tadi sudah bukan manusia lagi. Karena itulah, maka manusia

mempunyai unsur yang dikatakan monopluralis, terdiri dari banyak unsur yang

merupakan satu-kesatuan (Asdi, 2003; 12). Orientasi keterkaitan pemberdayaan

manusia dilakukan melalui susunan hakikat kodratnya, terdiri dari jiwa yang memiliki

unsur; akal, rasa, karsa yang bersatu dengan raganya yang terdiri dari unsur; benda mati,

tumbuhan, binatang sebagai satu-kesatuan, sehingga dalam kehidupannya harus mampu

berperan sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial sebagai satu-kesatuan yang

dilakukan secara dinamis dan seimbang menurut sifat hakikat kodratnya. Dalam

menjalankan kehidupan, maka manusia harus memahami kedudukan kodratnya sebagai

M

O

N

O

P

L

U

R

A

L

I

S

Page 39: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

39

makhluk berdiri sendiri yang diberi kewenangan oleh Tuhan untuk menjalankan

kehidupannya, tetapi juga sebagai makhluk Tuhan yang memiliki konsekwensi wajib

patuh dan taat menjalankan perintahNya serta menjauhi segala laranganNya sebagai

satu-kesatuan yang seimbang dan bersifat normatif.

Ketidakberdayaan manusia yang telah dewasa, dalam arti belum mampu

memenuhi kebutuhan hidup secara layak berbentuk materi dan non-materi menurut

perspektif ekonomi disebut manusia miskin, yang pada hakikatnya kemiskinan adalah

ketidakmampuan diri mengotimalkan fungsi dari susunan hakikat kodratnya yang terdiri

dari jiwa dan raganya untuk mengelola sumber-sumber potensi ekonomi. Karena itu,

penguatan unsur jiwa yang terdiri dari kesatuan akal, rasa, dan karsa berada dalam

raganya harus dilakukan secara sinergis agar dapat mendorong keberdayaan diri sebagai

makhluk individu dan juga makhluk sosial dalam kehidupan keluarga dan masyarakat

secara seimbang. Kemampuan mendorong dan menyinergikan potensi pada susunan

hakikat kodrat ini akan menjadikan manusia berdaya, sehingga dapat memfungsikan

susunan hakikat kodrat pada dirinya secara optimal menjadikan manusia yang

bermartabat dalam kehidupan sosial masyarakatnya. Kemiskinan yang dialami manusia

pada hakikatnya akibat ketidakberdayaan melakukan penguatan kesatuan unsur jiwa dan

raganya, sehingga berpengaruh terhadap ketidakmampuan sebagai makhluk individu

dalam memenuhi kebutuhan hidup atas diri dan keluarganya melalui kehidupan bersama

sebagai makhluk sosial.

Posisi manusia sebagai makhluk individu membutuhkan nilai-nilai keberdayaan

diri yang ditumbuhkembangkan melalui proses tolong-menolong dalam kehidupan

bersama sebagai makhluk sosial, sehingga kehidupan bersama mempunyai arti yang

Page 40: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

40

sangat penting menjadikan falsafah yang bernilai dalam kehidupan masyarakat untuk

memberdayakan manusia lainnya dalam komunitasnya. Pada hakikatnya dalam

kehidupan manusia satu dengan manusia lainnya selalu saling berhubungan dan saling

ketergantungan serta saling membutuhkan untuk pemberdayaan diri dalam kehidupan

sosial di lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Pola-pola kebersamaan dalam

membangun kehidupan yang baik selalu dimiliki oleh setiap manusia dan masyarakat

dalam bentuk persamaan maupun perbedaan, yang secara psikologis sesuai dengan

karakteristik manusia maupun komunitas masyarakat yang muncul dalam bentuk

kearifan lokal dalam kebudayaannya.

Keputusan manusia dalam memilih suatu nilai menjadikan sikap dan perilaku

atas aktivitasnya akan selalu berkaitan dengan unsur-unsur yang ada pada diri manusia,

seperti jasmani, cipta, rasa, karsa dan keyakinan yang dimilikinya. Sesuatu dipandang

bernilai karena berguna, maka disebut nilai kegunaan, bila benar dipandang bernilai

disebut nilai kebenaran. Bila sesuatu yang baik dipandang bernilai, maka disebut nilai

kebaikan atau nilai moral yang mengandung nilai etis, dan sesuatu yang indah

dipandang bernilai disebut nilai keindahan (estetis). Karena itu, di dalam suatu nilai

mengandung makna kualitas yang menampilkan polaritas dari aspek positif maupun

aspek negatif yang berlawanan.

Nilai dalam kehidupan masyarakat Sunda merupakan suatu yang penting untuk

membangun kebersamaan hidup manusia dalam keluarga dan komunitas masyarakatnya

mengacu kepada konsep silih asih, silih asah, dan silih asuh (3 SA.). Konsep tersebut

merupakan kearifan lokal (local wisdom) budaya Sunda dalam bermasyarakat agar

hidup harmonis dan saling tolong-menolong antara manusia yang memiliki keberdayaan

Page 41: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

41

dengan manusia yang mengalami ketidakberdayaan memenuhi kebutuhan hidupnya

untuk mencapai keseimbangan hidup lahir batin manjadikan kehidupan keluarga dan

masyarakat yang berkualitas. Konsep tersebut dipraktekkan dalam kehidupan

masyarakat melalui interaksi sosial dalam keluarga dan komunitas masyarakatnya. Silih

asih, silih asah, dan silih asuh sebagai suatu konsep yang dipratekkan dalam kehidupan

bermasyarakat yang terdapat pada kearifan budayanya, ternyata mengandung nilai-nilai

menjadikan suatu pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Karena itu, untuk

memahami maknanya harus diungkap dalam perspektif filsafat nilai yang terkadung di

dalam kearifan budayanya.

Kearifan lokal memuat konsep-konsep dan sistem pengetahuan masyarakat

merupakan objek kajian. Dalam hal ini kearifan lokal sebagai pandangan hidup dapat

dikaji secara ilmiah dengan tata-cara filsafat (Sartini, 2009; 25). Ducasse berpendirian,

filsafat adalah suatu usaha mencari pengetahuan, dan bahwa pengetahuan yang

dicarinya ialah mengenai fakta-fakta yang dinamakan ”penilaian”. Penilaian terjadi jika

menggunakan kata-kata sifat seperti, baik dan buruk, susila dan tidak susila, sehat dan

khilaf, dapat dipercaya dan mengkhayal, sah dan salah, dan sebagainya. Dengan

perkataan lain, Ducasse memandang filsafat sebagai suatu usaha mencari makna yang

diberikan bila membuat penilaian-penilaian tersebut (Kattsoff, 1987; 68). Mengungkap

makna kata sifat yang terdapat dalam kearifan lokal dan mengandung suatu nilai, maka

dibutuhkan kajian filsafat nilai mengikuti prinsip kerja hermeneutika, yang menurut

Schleiermacher (1977; 22) adalah untuk menangkap objek geist, yang terkandung dalam

objek penelitian. Objek geist dapat diartikan makna yang terdalam, hakikat nilai yang

terkandung dalam objek penelitian.

Page 42: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

42

Penilaian yang terdapat dalam fakta-fakta untuk mengungkap makna silih asih,

silih asah, dan silih asuh dalam kearifan budaya Sunda bertujuan untuk membangun

hubungan manusia dengan sesamanya dan terjadi dalam satu lapangan kehidupan, yang

memiliki variasi orientasi nilai budaya dalam sistem nilai budayanya. Kluckhohn dan

Strodtbeck membedakan adanya paling sedikit 4 (empat) lapangan hidup, yaitu: (1)

lapangan hidup keluarga, (2) lapangan hidup sosial, (3) lapangan hidup pekerjaan dan

profesi, dan (4) lapangan hidup agama. Manusia sering berinteraksi dalam berbagai

lapangan hidup, yang masing-masing terdiri dari jaringan manusia yang berbeda-beda.

Kaitan dengan masalah hubungan manusia sesama manusia dalam lapangan hidup

keluarga, misalnya, orang yang berinteraksi ke nilai budaya collateral dan gotong-

royong (Koentjaraningrat, 1990; 81-82). Penilaian terhadap makna silih asih, silih asah,

dan silih asuh menurut kearifan budaya Sunda dalam lapangan kehidupan tersebut akan

berbeda-beda menurut karakteristik manusia dan masyarakatnya pada dimensi ruang

dan waktunya sesuai dengan sistem nilai budayanya. Karena itu, orientasi nilai budaya

tersebut dalam masyarakat Sunda memiliki perberdaan antara karakteristik masyarakat

yang tinggal di perkotaan dan perdesaan.

Silih asih, silih asah, dan silih asuh dalam kearifan budaya Sunda diidentifikasi

sebagai nilai budaya yang berorientasi collateral. Mengacu kepada pemikiran

Koentjaraningrat, bahwa pola-pola collateral dan gotong-royong terdapat dalam

komunitas masyarakat pada setiap suku bangsa yang memiliki nilai budaya yang

berbeda mengacu kepada orientasi hakikat hidup, hakikat karya, persepsi terhadap

waktu, dan pandangannya terhadap alam. Menurut Mubarok (1983; 28), bahwa dalam

pengertian gotong-royong yang mengandung suatu nilai, maka di situ tentu ada hal-hal

Page 43: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

43

yang dipandang luhur. Contoh misalnya di dalam gotong-royong itu antara lain terdapat

unsur keikhlasan menyumbang tenaga, ketulusan dalam menolong tanpa pamrih dan

sebagainya. Itulah yang dipandang luhur. Di situ pulalah terkandung nilai gotong-

royong. Perhitungan yang sifatanya material diletakkan di bagian akhir. Faktor imbalan

materi tidak menjadi persoalan di dalam pengertian gotong-royong sebagai nilai.

Sepanjang menyangkut nilai gotong-royong dalam artian di atas itu terangkum di dalam

kebudayaan.

Kedudukan local genius itu sentral menurut Poespowardojo (1986; 33), karena

merupakan kekuatan yang mampu bertahan terhadap unsur-unsur yang datang dari luar

dan yang mampu pula berkembang untuk masa-masa mendatang. Hilangnya atau

musnahnya local genius berarti pula memudarnya kepribadian suatu masyarakat,

sedangkan kuatnya local genius untuk bertahan dan berkembang menunjukkan pula

kepribadian masyarakat itu. Pendapat Poespowardojo tersebut menurut Mundardjito

(1986; 41) mengutip perumusan local genius dari Quaritch Wales dengan memperluas

pengertian cultural characteristic yang sifatnya fenomenologis kepada yang bersifat

kognitif, yaitu: (1) orientasi, yang menunjukkan pandangan hidup dan sistem nilai dari

masyarakat, (2) persepsi, yang menggambarkan tanggapan masyarakat terhadap dunia

luar, (3) pola dan sikap hidup, yang mewujudkan tingkah laku masyarakat sehari-hari,

dan (4) gaya hidup, yang mewarisi peri kehidupan masyarakat. Berusaha

mengidentifikasi local genius dari kebudayaan Indonesia masa lalu dalam tingkat-

tingkat: (1) sampai (4) tersebut tentu tidaklah semudah menyelusuri kebudayaan

kontemporer yang sekarang masih hidup. Karena itu agaknya perlu menengok sejenak

ke belakang untuk memahami apa sebenarnya hakikat data arkeologi. Redaksi

Page 44: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

44

fenemonologis itu sudah tentu berakibat pada cara-cara penelitian yang akan

diselenggarakan, yang di Amerika Serikat dianggap yang berkecimpung dalam lapangan

studi cognitive archeology.

Kesulitan yang akan dihadapi dalam mengungkap penelitian local genius adalah

ketersediaan data-data sejarah kebudayaan Sunda pada masa lalu yang bersifat tertulis

yang mengandung kearifan lokal, untuk dapat diungkapkan pada masa kini sangatlah

minim. Karena menurut Rosidi (2010; 54), bahwa dalam falsafah Sunda tidak akan

banyak menemukan hasil pemikiran orang Sunda yang tertulis, sehingga tradisi lisanlah

yang digunakan dalam menurunkan pemikiran nenek-moyang kepada anak-cucunya

dengan berbagai cara termasuk dalam menyampaikan kearifan hidupnya. Ungkapan

silih asih, silih asah, dan silih asuh yang mengandung makna nilai kearifan budaya yang

ditelusuri dan diidentifikasi sebagai local genius pada masyarakat Sunda pada masa

lalu, maka akan menghadapi kesulitan data arkeologi yang bersifat terbatas.

Penelusuran dalam memahami suatu makna kata yang mengandung nilai budaya

dapat menggunakan pendekatan hermeneutika dalam lingkup penelitian filsafat dengan

melakukan dekonstruksi terhadap makna kata yang dihubungkan secara fenomenologis

terhadap realitas sosial yang terjadi pada konteks kekinian. Tentunya, orientasi nilai

budaya tersebut dalam perspektif masa kini akan mengalami perubahan menghadapi

perkembangan kebudayaan masyarakat Sunda yang dipengaruhi modernisasi dalam

proses akulturasi yang tidak dapat dihindari. Dalam perubahan nilai budaya tersebut

dapat saja terjadi pendangkalan, akibat dominasi nilai budaya asing, atau sebaliknya

dapat juga mengalami penguatan dari aspek-aspek tertentu dalam kebudayaannya,

Page 45: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

45

akibat terjadi integrasi budaya masyarakat yang mampu menyerap unsur kebudayaan

asing dalam memperkokoh kebudayaan setempat.

Penelusuran makna kata, menurut Haidegger bahwa; ”penelusuran etimologis

terhadap setiap kata pasti akan berujung pada makna yang dikandungnya dan akan

sampai kepada hakikat benda(nya)”. Untuk mengkaji makna suatu kata atau kalimat

dalam ilmu sastra dikenal semiotika dan hermeneutika yang dalam sastra Sunda dikenal

dengan Pancacuriga, yaitu kemampuan untuk memaknai sesuatu secara: (a) Silib, yaitu

sesuatu yang dikatakan secara tidak langsung tetapi dikiaskan pada hal lain (Bahasa

Inggris, allude), (b) Sindir, sesuatu yang dikatakan secara tidak langsung tetapi

menggunakan susunan kalimat yang berbeda (Bahasa Inggris, allusion), (c) Simbul,

menyampaikan suatu maksud dalam bentuk lambang (Bahasa Inggris, symbol, icon), (d)

Suluk-Siloka, menyampaikan sesuatu maksud dalam bentuk pengandaian (Bahasa

Inggris, aphorism), (e) Sasmita, pemaknaan yang berkaitan dengan perasaan hati

(Bahasa Inggris, deep aphorism). Di lingkungan komunitas Sunda ada kebiasaan

memaknai kata berdasarkan kaidah memet (penggalan suku kata, silabik), dan kirata-

basa (dikira-kira supaya nyata), yaitu kemampuan memaknai secara acak tetapi

dianggap mengandung makna yang benar (Suryalaga, 2010; 80, 111).

Mengkaji makna nilai 3 SA. sebagai kearifan budaya Sunda pada fenomenologi

dimensi masa lalu dalam perkembangan hingga masa kini, maka dapat ditelusuri

melalui dekonstruksi pemikiran terhadap makna kearifan budaya dalam kata yang

terkandung di dalamnya. Metode dekonstruksi ini telah diperkenalkan oleh Derrida

yang merupakan seorang filsuf pada masa ‘postmodernisme’, yang berorientasi pada

filsafat bahasa dengan menempatkan bahasa tulis sebagai prioritas utama. Menurut

Page 46: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

46

pemikiran Derrida yang menjadi asal mula adalah gagasan yang didasarkan atas jejak,

dan bukan sebaliknya. Hal ini yang diistilahkan dengan ‘pro writing’, yang mulai

bekerja dan merupakan asal-usul arti. Karena bersifat sementara di alam ini, arti tidak

pernah tampil begitu saja tetapi selalu dalam keadaan terbawa dalam ‘gerakan’ jejak,

yaitu yang dimaksudkan sebagai pemberi arti. Tulisan akan menghilang ketika ucapan

mencapai suatu kesempurnaannya,dan akan sepenuhnya ditampilkan dalam pemindahan

sistem penulisannya, dan segera hadir pada subjek yang mengucapkannya, dan pada

ucapan itu tulisan memperoleh arti, isi serta nilainya (Derrida, 1981; 36-37). Makna

tulisan seakan-akan keluar atau diturunkan dari tulisan. Gagasan ini diistilahkan dengan

archi writing, yang berarti ‘waktu’ sebelum waktu, bahasa sebelum bahasa yang dipakai

saat ini (Kaelan, 2009; 316).

Makna nilai 3 SA. mengandung satu unsur kata yang sama berupa silih artinya

saling, yang menurut Suryalaga (2010; 107-122) dengan penggunaan kata saling sudah

menunjukkan adanya gerak aktif dari pihak-pihak yang bersangkutan, suatu kegiatan

yang bersifat resiprokal, saling memberi respon dengan penuh kesantunan. Substansi

silih asih lebih cenderung kepada kualitas intrinsik yang berada dalam batiniah

seseorang. Bila rasa asih telah bersemayam dalam batiniah setiap insan, maka hubungan

sosialpun akan selalu dilandasi dengan getaran-getaran keindahan nilai manusiawi yang

harmoni, yang berakhir pada kebahagiaan bersama. Selanjutnya, konsep dasar silih asah

adalah saling mencerdaskan, saling menambah ilmu pengetahuan, memperluas wawasan

dan pengalaman lahir batin. Capaian akhirnya adalah peningkatan kualitas kemanusiaan

dalam segala aspeknya, baik pada tataran kognisi, afeksi, spritual maupun psikomotorik.

Silih asuh berasal dari kata asuh mengandung makna membimbing, menjaga,

Page 47: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

47

mengayomi, memperhatikan, mengarahkan, membina secara seksama dengan harapan

agar selamat lahir batin dan bahagia dunia akhirat. Orientasi nilai budaya tersebut

bertujuan untuk mewujudkan masyarakat tatar Sunda yang tata tentrem karta rahaja

(hidup tentram dan sejahtera).

Berdasarkan uraian makna nilai silih asih, silih asah, dan silih asuh sebagai suatu

kearifan budaya Sunda, menurut Suryalaga (2010; 144) sarat dengan nilai-nilai

kemanusiaan yang universal. Bila makna nilai tersebut disimpulkan adalah bertujuan

untuk membangun harmonisasi kehidupan keluarga dan masyarakat yang bertumpu

pada orientasi ”pemberdayaan” manusia yang bersifat monodualis sebagai makhluk

individu dan makhluk sosial sebagai satu-kesatuan. Karena dalam pemberdayaan

menurut Wrihartonolo dan Dwijowiyoto (2007; 2), adalah sebuah ”proses menjadi”,

bukan sebuah ”proses instan”. Sebagai suatu proses, maka pemberdayaan mempunyai

tiga tahapan: penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan.

Tahap pertama adalah penyadaran. Pada tahap ini target yang hendak

diberdayakan diberikan ”pencerahan” dalam bentuk pemberian penyadaran, bahwa

memiliki hak untuk mempunyai ”sesuatu”. Misalnya, target adalah kelompok

masyarakat miskin diberikan pemahaman bahwa keberadaannya dapat menjadi berada,

dan itu dapat dilakukan jika mempunyai kapasitas untuk keluar dari kemiskinannya.

Setelah menyadari, tahap kedua adalah pengkapasitasan. Inilah yang sering disebut

”capacity building” atau bahasa yang lebih sederhana memampukan atau enabling.

Proses capacity building terdiri atas tiga jenis, yaitu manusia, organisasi, dan nilai.

Pengkapasitasan manusia dalam arti memampukan manusia, baik konteks individu

maupun kelompok. Pengkapasitasan organisasi dilakukan dalam bentuk restrukturisasi

Page 48: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

48

organisasi yang hendak menerima daya atau kapasitas tersebut. Pengkapasitasan ketiga

adalah sistem nilai. Setelah orang dan wadahnya dikapasitaskan, maka sistem nilaipun

demikian. Tahap ketiga dalam pemberian daya itu sendiri atau ”empowerment” dalam

makna sempit. Pada tahap ini, kepada target diberikan daya, kekuasaan, otoritas atau

peluang (Wrihartono & Dwidjowijoto, 2007 ; 3-7).

Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa pemberdayaan masyarakat

membutuhkan tahapan yang merupakan suatu proses yang berurutan dan tersistem

secara komprehensif dengan memiliki tujuan adalah meningkatkan keberdayaan

masyarakat. Pemberdayaan masyarakat sebagai suatu proses mengacu kepada ciri-ciri

berpikir kefilsafatan harus bersifat universal, konseptual, koheren, dan sistematis.

Berpikir secara universal adalah berpikir tentang hal-hal dan proses-proses yang bersifat

umum dari umat manusia (common experience of mankind). Berpikir konseptual adalah

berpikir dari hasil generalisasi (perumusan) dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-

hal dan proses-proses individual. Berpikir koheren adalah berpikir menaati kaidah-

kaidah berpikir logis, atau berpikir yang berhubungan dengan sesuatu gagasan umum,

asas umum, atau tatanan umum. Berpikir sistematis adalah berpikir yang terdiri dari

unsur-unsur yang saling berhubungan secara teratur mempunyai tujuan tertentu

(Mudhofir, 2001; 278-279). Mengkaji relevansi makna nilai silih asih, silih asah, silih

asuh dalam kearifan budaya Sunda bagi pemberdayaan masyarakat miskin sebagai

metode pemberdayaan masyarakat mengacu pada ciri-ciri berpikir kefilsafatan tersebut.

Pengungkapan makna nilai yang terkandung di dalamnya merupakan kajian filsafat nilai

terhadap implementasi program yang bersifat praksis menjadi fakta yang di dalamnya

mengandung nilai-nilai budaya yang diungkap dalam penelitian ini.

Page 49: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

49

Gambar 2:

Kajian Makna Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh Menurut Kearifan Budaya Sunda

Dalam Perspektif Filsafat Nilai: Relevansinya Bagi Pemberdayaan Masyarakat Miskin

MASYARAKAT Makhluk Hakikat Makhluk MASYARAKAT

TIDAK MISKIN Individu Sifat Kodrat Sosial MISKIN

Manusia

(Monodualis)

Program Pemberdayaan

Masyarakat Miskin:

ASPEK FORMAL

Kajian

Aksiologis

Nilai Kearifan Lokal

Budaya Sunda

Metode Pemberdayaan

Masyarakat Berorientasi

Nilai “3 SA.” A

S

1 P

Silah “Asih” E

K

2

Silih “Asah” M

3 A

T

Silih “Asuh” E

4 R

I

Silih “Wangi” A

L

Hasil Pemberdayaan

Masayarakat

Manusia Sunda Nu Nyunda

(Salapan Rawayan

Manusia Utama)

Masyarakat Tata

Tengtrem Kartaraharja

(Tentram dan Sejahtera)

Program Nasional Pem-

berdayaan Masyarakat

(PNPM) Mandiri

Tahapan Program

Pemberdayaan Masyarakat

Tahap Persiapan & Perencanaan

Tahap Pelaksanaan

Tahap Monitoring

Tahap Penyiapan Keberlanjutan

Hasil Program Pemberdayaan

Masyarakat

Masyarakat Berdaya,

Masyarakat Mandiri,

Masyarakat Madani

Nilai-nilai Universal Kema-

nusiaan Dalam Program

Pemberdayaan Masyarakat

Miskin: Dapat Dipercaya, Ikhlas,

Kejujuran, Keadilan, Kesetaraan,

Kebersamaan dalam Keragaman

Prinsip Universal

Kemasyarakatan:

(1) Demokrasi, (2) Partisipasi,

(3) Transparansi & Akuntabilitas,

(4) Desentralisasi

Prinsip Universal

Pembangunan Keberlanjutan

(1) Perlindungan Lingkungan, (2) Pengembangan Masyarakat (3) Pengembangan Ekonomi

Page 50: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

50

E. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif bidang filsafat dengan berobjek formal

filsafat nilai, sedangkan objek materialnya adalah makna silih asih, silih asah, silih asuh

menurut kearifan budaya Sunda. Metode penelitian meliputi; materi/bahan penelitian

yang diperoleh dari sumber data primer dan sekunder, cara penelitian merupakan teknik

pengumpulan data primer dan sekunder, jalan penelitian adalah merupakan prosedur

pengumpulan data, pengolahan data, dan analisis data.

1. Materi/bahan Penelitian.

Materi/bahan penelitian diperoleh dari dua jenis sumber data, yaitu sumber data

primer dan data sekunder.

(a) Data Primer.

Sumber data primer diambil dari literatur yang diperoleh dari buku, jurnal,

makalah, naskah, berbagai tulisan lain yang dapat dipertanggungjawabkan validitasnya

berkaitan dengan makna silih asih, silih asah, silih asuh dan kearifan budaya Sunda

berkaitan dengan filsafat nilai. Buku yang berkaitan dengan filsafat nilai sebagai bahan

acuan menggunakan tulisan Frondizi, Risieri; What is Value? An Introduction to

Axiology (1963), Illinois/La Salle, Open Court Publishing Company dan tulisan Scheler,

Max, Formalism in Ethics and Non-formal Ethics of Values (1973) diterjemahkan oleh

Manfred S. Frings & Roger C. Funk, Evanston; Nortwestern University Press serta

ditunjang teori filsafat nilai lainnya yang tercantum daftar pustaka. Buku dan Jurnal

yang berkaitan dengan makna silih asih, silih asah, silih asuh dalam perspektif kearifan

budaya Sunda antara lain sebagai berikut;

Page 51: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

51

a. Kenang-Kenangan P.A.A. Djajadiningrat (1936), Djokja, Koff-Buning.

b. The Making of Greater India: A Study of South East Asian Culture Change (1948),

dalam Journal of Royal Asiatic Society.

c. Local Genius end Oud Javanse Kunst (1952), dalam Mededeelingen der Koninklijke

Academie voor Wetenschappen.

d. Universal Categoies of Culture (1953), Chicago, University Press.

e. Sadjarah Sunda (1960), Bandung, Ganaco.

f. Adat Istiadat Oerang Soenda (1965), Bandung, PT. Alumni.

g. Lain Eta (1965), Bandung, Pustaka Sunda.

h. Tjarita Parahyangan (1968), Bandung, Yayasan Kebudayaan Nusalarang.

i. The Interpretation of Culture (1973), New York, Basic Book, Inc., Publisher.

j. Culture Behavior and Personality (1973), London, Hiuchkinson.

k. Tarumanagara: Jawa Barat dari Prasejarah hingga Penyebaran Agama Islam

(1975), Bandung, Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Barat.

l. Strategi Kebudayaan (1976), Kanisius, Yogyakarta.

m. Sanghyang Siksakandang Karesian (1981), Bandung, Proyek Pengembangan

Permuseuman.

n. Sasakala Maribaya (1981), Bandung, Tarate.

o. Amanat Dari Galunggung (1981), Bandung, LKUP.

p. Uga Kawesan (1981), Bandung, Kujang.

q. Bujangga Manik’s Journeys Through Java (1982), Bandung, BKI.

r. Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja

Taru Haji Di Pakwan Pajajaran 1474-1513 (1984), Jakarta, PT.Dunia Pustaka Jaya.

Page 52: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

52

s. Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya (1984), Bandung, Girimukti Pusaka.

t. Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar (1984), Yogyakarta, Cetakan Pertama,

Kanisius.

u. Refleksi Budaya Sunda dari Pengamatan Temuan Arkeologi (1986), Bandung,

Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, Bagian Proyek Penelitian

dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Depdikbud.

v. Nagarakretabumi (1986), Bandung, Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian

Kebudayaan Sunda, Depdiknas.

w. Lebe Kabayan (1986), Bandung, Rahmad Cijulang.

x. Pengertian Local Genius dan Relevansinya dalam Modernisasi (1986), Jakarta, PT.

Dunia Pustaka Jaya.

y. Peranan Local Genius dalam Kebudayaan (Ikhtisar Tanggapan) (1986), Jakarta,

PT. Dunia Pustaka Jaya,

z. Pandangan Hidup Orang Sunda: Seperti Tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra

Sunda (Laporan Penelitian I,II,III) (1987-1988), Bandung, Bagian Proyek Penelitian

dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan,

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

aa. Identifikasi Bahasa yang Hidup Pada Masa Pakuan Pajajaran (1991), Bogor,

Makalah Seminar Nasional Sastra dan Sejarah Pakuan Pajajaran.

bb. Filsafat Moral: Kesusilaaan Dalam Teori dan Praktek (1999), Bandung, Penerbit

CV. Pustaka Grafika.

cc. The University Mission in The Realization of The “Silih Asih, Silih Asah, Silih

Asuh” Academic Life (1994).

Page 53: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

53

dd. Post Modernisme – Tantangan bagi Filsafat (1996), Yogyakarta, Cetakan Kelima,

Kanisius.

ee. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawarsa) (1997), Bandung, Cetakan Kedua,

CV. Geger Sunten.

ff. Etika (2002), Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama.

gg. Naskah Sunda: Sumber Pengetahuan Budaya Sunda (2006), Bandung, Yayasan

Kebudayaan Rancage bekerjasama dengan PT. Dunia Pustaka Jaya,

hh. Sunda dan Kasundaan: Sebagai Penanda Entitas Etnis Lokal di Wilayah Jawa

Barat dalam Lingkungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (2006), Bandung,

Badan Pembina Citra (BPC) Siliwangi.

ii. Kearifan Tradisional: Warisan Sejarah Sunda, (2006), Bandung, Yayasan

Kebudayaan Rancage bekerjasama dengan PT. Dunia Pustaka Jaya.

jj. Filsafat Sunda: Sekilas Interpretasi Folklor Sunda (2009), Bandung, Yayasan Nur

Hidayah.

kk. Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda: tasir-tafsir pantun Sunda (2009), Bandung,

Cetakan Pertama, Penerbit Kelir.

ll. Pengaruh Perilaku Budaya Sunda Dan Kepemimpinan Serta Orientasi Gender

Terhadap Etos Kerja Di Lingkungan Bisnis Perbankan Di Kotamadya Bandung

(2009), Bandung, Program Doktor Ilmu Ekonomi, Program Pascasarjana,

Universitas Katolik Parahyangan.

mm. Kesundaan Rawayan Jati (2010), Bandung, Yayasan Nur Hidayah.

nn. Mancari Sosok Manusia Sunda: Sekumpulan Gagasan dan Pikiran (2010), Jakarta,

Cetakan Pertama, PT. Dunia Pustaka Jaya.

Page 54: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

54

oo. Masyarakat Adat: Ada, tetapi Ditiadakan (2010), Bandung, dalam Selisik Harian

Umum Pikiran Rakyat, 2 Agustus 2010, Hal. 27-29,

pp. Nilai-Nilai Budaya Sunda Sebagai Produk Sejarah (2011), Bandung, Faculty of

Letters Universitas Padjadjaran, Part Two.

qq. Dulur Jeung Batur Salembur” sebagai Falsafat Profesi Turun-Temurun (2011),

Bandung, Faculty of Letters Universitas Padjadjaran.

rr. Kontribusi Nilai-Nilai Budaya Sunda Terhadap Pembentukan Karakter Anak Di

DalamKeluarga (2011), Bandung, Faculty of Letters Universitas Padjadjaran.

ss. Filsafat Moral: Kesusilaan Dalam Teori dan Praktek (1999), Bandung, CV.Pustaka

Grafika.

tt. Agama Islam dan Budaya Sunda (2006), Bandung, Penerbit Yayasan Kebudayaan

Rancage bekerjasama dengan PT. Dunia Pustaka Jaya.

uu. Kebudayaan Sunda Konservasi, Rekonstruksi, Dan Tarsformasi (2006), Bandung,

Yayasan Kebudayaan Rancage bekerjasama dengan PT. Dunia Pustaka Jaya.

vv. Filsafat Sunda Vs Pengetahuan Barat (2007), Jakarta, Harian Umum Kompas (18-

8-2007).

ww.Budaya Sunda: Melintasi Waktu Menantang Masa Depan (2008), Bandung,

Lembaga Penelitian UNPAD dan Judistira Garna Foundation.

xx. Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah (2009), Jakarta, PT. Dunia Pustaka

Jaya.

yy. Kearifan Lokal Dalam Perspektif Budaya Sunda (2011), Bandung, Cetakan

Pertama, PT. Kiblat Buku Utama.

zz. Ragam Pesona Budaya Sunda (2011), Jakarta, Cetakan Pertama, Ghalia Indonesia.

Page 55: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

55

Materi/bahan penelitian tersebut di atas juga didukung oleh litertur Filsafat

Manusia, Filsafat Pancasila, Filsafat sosial, Filsafat Ekonomi dan literatur lainnya yang

berkaitan dengan relevansi pemberdayaan masyarakat miskin yang tercantum dalam

daftar pustaka.

(b). Data Sekunder

Studi observasi lapangan dilakukan dengan cara penelitian lapangan terhadap

objek penelitian (field research), yaitu jenis data sekunder yang diperoleh dari

wawancara kepada informan untuk mengungkap pemikirannya berkaitan dengan

perumusan masalah penelitian yang telah ditentukan berupa angket dalam bentuk

pertanyaan terbuka (Lampiran 4). Jenis pertanyaan ditujukan kepada dua kelompok

untuk orang miskin dan orang yang tidak miskin yang memiliki keterkaitan dalam

program pemberdayaan masyarakat.

2. Cara Penelitian.

Pengumpulan data dalam riset kepustakaan yang merupakan data primer

dilakukan dengan cara mengelompokkan data yang sejenis, yaitu jenis data yang terkait

dengan makna 3 SA., kearifan budaya Sunda, filsafat nilai, pemberdayaan masyarakat

dan kemiskinan. Data tersebut kemudian dipilah dengan menggunakan kode-kode

tertentu disesuaikan dengan hubungan data yang bersifat teoritis maupun praksis dan

dikumpulkan melalui hasil wawancara dengan informan menggunakan angket dalam

bentuk pertanyaan terbuka sebagai data sekunder dengan mengacu kepada rumusan

permasalahan penelitian.

Kedua jenis data primer dan sekunder di atas dikumpulkan dengan

menggunakan teknik pengumpulan data, sehingga jenis data secara kualitatif memiliki

Page 56: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

56

validitas yang dapat dipertanggungjawabkan objektivitas kebenarannya sesuai dengan

kenyataan. Untuk mengantisipasi subjektivitas tingkat kebenarannya, maka cara-cara

memperoleh tingkat kepercayaan hasil penelitian yang menurut Nasution (1996; 114)

harus memenuhi kriteria: kredibilitas (validitas internal), transferabilitas (validitas

eksternal), dependabilitas (reliabilitas), dan konfirmabilitas (objektivitas).

3. Jalan Penelitian

Berdasarkan cara penelitian yang telah dilakukan di atas, maka prosedur

penelitian melalui tahapan kegiatan sebagai berikut;

a. Pengumpulan Data

Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data

primer, yaitu data yang diperoleh dari objek material penelitian secara langsung dalam

bentuk data dan informasi dari instansi terkait serta data pustaka (library research).

Data sekunder, yaitu diperoleh secara tidak langsung dari objek material penelitian di

lapangan (field research) melalui pertanyaan terbuka berupa angket kepada informan

yang telah ditentukan dengan cara wawancara (interview method) secara mendalam.

Data sekunder ini dikumpulkan dari lokasi penelitian dengan studi kasus di Kota

Bandung dan Kabupaten Sumedang dengan alasan dipilihnya sebagai lokasi penelitian

dengan pertimbangan bahwa:

(a) Kedua daerah tersebut termasuk dalam wilayah Parahyangan, Periangan, atau

Priangan yang dianggap pula wilayah Sunda yang memiliki ’tingkat budaya’ tinggi

dan halus yang merupakan orientasi utama bagi daerah Sunda lainnya (Garna, 2008;

184). Berkaitan dengan kemanfaatan penelitian secara praksis, maka kedua daerah

tersebut dilaksanakan dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)

Page 57: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

57

Mandiri Perkotaan dan Perdesaan sebagai studi kasus dalam mengkaji

pemberdayaan masyarakat miskin. Kedua daerah tersebut memiliki karakteristik

masyarakat yang berbeda antara komunitas masyarakat perkotaan dan perdesaan.

(b) Karakteristik Kota Bandung sebagai ibukota Provinsi Jawa Barat dengan jumlah

penduduk yang relatif padat dengan masyarakat Sunda yang dominan dan pluralistik

dengan banyaknya suku bangsa yang berasal dari daerah lain dalam akulturasi

budaya masyarakat perkotaan. Kota tersebut menjadikan tujuan urbanisasi dan

migrasi masyarakat dari berbagai daerah lain, sehingga tingkat kepadatan penduduk

relatif tinggi yang di dalamnya terdapat penduduk miskin dan hunian kumuh. Salah

satu kelurahan yang sesuai dengan karakteristik perkotaan adalah Kelurahan

Pungkur Kecamatan Regol yang berhasil mengembangkan program PNPM-Mandiri

Perkotaan.

(c) Karakteristik Kabupaten Sumedang merupakan daerah kabupaten yang ditetapkan

sebagai ’puser’ (pusat) budaya Sunda melalui Keputusan Bupati Sumedang,

sehingga memberikan gambaran karakteristik masyarakat Sunda pada masyarakat

perdesaan. Kabupaten ini dipilih sebagai lokasi penelitian diharapkan dapat

mengungkap kearifan lokal budaya Sunda dalam perspektif perdesaan yang masih

terdapat masyarakat miskin dalam kehidupan masyarakatnya. Program

pemberdayaan masyarakat miskin dilakukan melalui PNPM-Mandiri Perdesaan

yang salah satu kecamatan terpilih menggulirkan program Sauyunan sebagai

pemberdayaan berbasiskan budaya Sunda adalah Kecamatan Rancakalong.

Pengumpulan data sekunder melalui angket berbentuk pertanyaan terbuka

sebagai pedoman peneliti dalam melakukan wawancara yang tidak terstruktur, artinya

Page 58: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

58

informan yang diwawancarai mendapat kebebasan mengeluarkan pemikiran dan

pandangannya serta perasaannya tanpa diatur ketat oleh peneliti. Angket dalam bentuk

pertanyaan terbuka berisi tentang pertanyaan yang berkaitan dengan objek formal dan

objek material dari penelitian. Informan yang diwawancarai adalah orang yang dipilih

memiliki sumber data dan informasi berkaitan objek penelitian, terutama di lokasi

penelitian Kota Bandung dan Kabupaten Sumedang.

b. Pengolahan Data

Peneliti menempuh tiga tahap dalam mengolah data, yaitu: Pertama, reduksi

data, berupa tahap penyeleksian dan pengurangan uraian panjang dari data verbal tanpa

mengurangi substansi makna yang dikandung dalam setiap kelompok data, baik data

primer maupun sekunder. Kedua, display data, yaitu tahap pengelompokan data primer

maupun data sekunder yang sesuai dengan konteks tinjauan aksiologis sebagai objek

formal dalam kaitannya dengan makna 3 SA. menurut kearifan budaya Sunda sebagai

objek materialnya. Ketiga, pengorganisasian data, yaitu penataan atau pengaturan data

primer dan data sekunder yang disesuaikan dengan skema penelitian sebagaimana telah

ditentukan sebelumnya.

c. Analisis Data

Teknik analisis data terhadap data primer dilakukan pengolahan dengan

menggunakan tabulasi untuk dilakukan pengelompokan jenis data berdasarkan

kepentingan analisis, sedangkan data sekunder yang diperoleh dari hasil wawancara

dikelompokkan berdasarkan kepentingan analisis penelitian. Kedua data primer dan data

sekunder tersebut dilakukan analisis keterkaitan berdasarkan objek formal maupun

Page 59: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

59

objek material penelitian. Analisis keseluruhan data berdasarkan kebutuhan kajian

menggunakan metode analisis yang meliputi;

a. Metode Historis: metode ini digunakan untuk menunjukkan bagaimana suatu fakta

yang berkaitan dengan makna 3 SA. menurut kearifan budaya Sunda dalam

perspektif filsafat nilai dengan melakukan relevansi terhadap pemberdayaan

masyarakat miskin, baik bersumber dari data primer dan data sekunder yang bisa

dihayati di masa lampau dan masa kini sesuai perkembangan zaman. Metode ini

digunakan dengan tujuan agar penentuan periodenisasi secara historis terjamin

konsistensinya dalam analisis yang dilakukan (Kaelan, 2005; 42).

b. Metode Hermeneutika: metode ini digunakan untuk menelaah keseluruhan data yang

dihimpun dari sudut makna nilai yang terkandung 3 SA. menurut kearifan budaya

Sunda dalam kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat miskin, pada studi kasus

masyarakat perkotaan dan perdesaan yang kemudian direfleksikan dalam kerangka

pemikiran masa kini dengan tetap memperhatikan kerangka pemikiran masa telah

berjalan.

c. Metode Heuristika: metode ini merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan

dengan metode hermeneutika. Metode ini digunakan untuk menangkap arti melalui

vestehen (pemahaman) atas inti fenomena atau realitas objektif dari makna 3 SA.

yang terkandung dalam kearifan budaya Sunda menurut perspektif filsafat nilai

relevansinya bagi pemberdayaan masyarakat miskin.

d. Metode Interpretasi: metode ini digunakan untuk menginterpretasikan makna 3 SA.

menurut kearifan budaya Sunda dalam perspektif filsafat nilai dalam kaitannya

dengan pemberdayaan masyarakat miskin pada konteks pranata sosial masyarakat

Page 60: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

60

perkotaan maupun perdesaan yang diinterpretasikan menurut dimensi ruang dan

waktu untuk menjelaskan bagaimana perubahan itu terjadi.

e. Metode Deskripsi: metode ini digunakan mengungkapkan objek materi yang dikaji,

agar dapat diperoleh gambaran secara jelas adanya peristiwa yang dinilai akurat

berhubungan dengan karakteristik budaya masyarakat Sunda di lingkungan filsafat

nilai sebagai objek formal penelitian dengan ditunjang buku masyarakat perkotaan

dan perdesaan berkaitan dengan keberadaan kemiskinan masyarakat.

F. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian dalam bentuk penulisan disertasi terdiri atas enam bab disusun

dalam rangkaian yang terstruktur dan sistematis, sehingga setiap bab merupakan satu-

kesatuan yang terkait. Adapun daftar isi penulisan yang dimaksud adalah sebagai

berikut.

Bab I berisi tentang pendahuluan yang berisi tentang; latar belakang masalah,

rumusan masalah, keaslian penelitian, manfaat penelitian dan tujuan penelitian. Dalam

bab pendahuluan ini juga diuraikan tinjauan pustaka dan landasan teori. Pada akhir bab

pendahuluan diuraikan secara terperinci mengenai metode penelitian yang meliputi;

materi/bahan penelitian, cara penelitian, jalan penelitian yang berisi tentang

pengumpulan data, pengolahan data, analisis data, dan uraian mengenai sistematika

penulisan.

Bab II berisi tentang kearifan budaya Sunda dalam perspektif filsafat nilai.

Mengawali bab ini, peneliti memaparkan uraian tentang filsafat nilai. Selanjutnya dalam

bab ini membahas tentang kearifan budaya Sunda dalam kehidupan masyarakat, sumber

Page 61: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

61

kearifan budaya Sunda masa lalu dan masa kini, dan nilai-nilai moral dalam kearifan

budaya Sunda.

Bab III berisi uraian tentang makna nilai silih asih, silih asah, silih asuh dalam

kearifan budaya Sunda. Mengawali bab ini mambahas makna yang terkandung dalam 3

SA. sebagai kearifan lokal masyarakat Sunda. Selanjutnya dalam bab ini membahas

kajian filsafat terhadap nilai 3 SA. menurut kearifan budaya Sunda. Pada akhir bab ini

diuraikan tentang orientasi nilai 3 SA.dalam realitas kehidupan sosial masyarakat Sunda,

dan refleksi ktitis terhadap nilai 3 SA. menurut kearifan budaya Sunda serta orientasi

nilai 3 SA. dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

Bab IV berisi uraian tentang hakikat kodrat manusia dalam nilai pemberdayaan

masyarakat miskin pada masyarakat perkotaan dan perdesaan. Uraian bab ini membahas

dasar filosofis tentang kemiskinan, dasar filosofis tentang pemberdayaan masyarakat.

Selanjutnya, bab ini menguraikan orientasi nilai pemberdayaan masyarakat bertumpu

pada hakikat kodrat manusia. Pada akhir bab ini menguraikan tentang nilai-nilai

pemberdayaan masyarakat masyarakat dalam program penanggulangan kemiskinan di

perkotaan dan perdesaan.

Bab V berisi uraian tentang relevansi makna nilai silih asih, silih asah, silih asuh

dalam kearifan budaya Sunda bagi pemberdayaan masyarakat miskin di perkotaan dan

perdesaan. Mengawali bab ini menguraikan tentang makna nilai 3 SA. dalam

pemberdayaan masyarakat miskin menurut hakikat kodrat manusia, dan makna nilai 3

SA. relevansinya bagi pemberdayaan masyarakat miskin menurut ciri-ciri berpikir

kefilsafatan. Selanjutnya, bab ini membahas relevansi makna nilai 3 SA. terhadap nilai-

nilai universal kemanusiaan dan Pancasila dalam pemberdayaan masyarakat miskin.

Page 62: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68920/potongan/S3-2014... · mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan

62

Pada akhir bab ini membahas kendala menginternalisasikan makna nilai 3 SA. dalam

program pemberdayaan masyarakat miskin.

Bab VI berisi tentang Penutup, yang terdiri atas Kesimpulan dan Saran.