Kebersamaan Bersama Alloh

download Kebersamaan Bersama Alloh

of 26

Transcript of Kebersamaan Bersama Alloh

Kebersamaan Bersama Alloh Arti KebersamaanKEBERSAMAAN Diambil dari kata dasar bersama, yang mempunyai kepanjangan dari :

Bulatkan tekad, Eratkan hubungan, Rasakan Semangat dalam diri Akan tanggungjawab Akan tugasnya

Sepintas membaca kepanjangan di atas terlintas dalam benak kita adalah bersama untuk menjalankan tanggung jawab terhadap suatu tugas. Yang itu merupakan pengertian dalam arti sempit. Dari kepanjangan diatas, arti kebersamaan ditekankan pada huruf E = Eratkan hubungan. Memang, bersama identik dengan hubungan yang erat, kebersamaan adalah rasa dari dalam diri untuk selalu berusaha mempererat hubungan dengan sesuatu untuk menuju

tujuan. Kebersamaan menjadi suatu hal penting dalam membina sebuah hubungan. Jelas kita tak

pernah bisa benar-benar hidup sendiri dalam kehidupan ini. Kita tidak bisa menjadi manusia yang egois, yang merasa bisa melakukan segalanya sendirian, yang merasa tak membutuhkan orang lain. Berlebih sebagai mahluk Tuhan. Sebuah kebersamaan juga tidak bisa dipaksakan. Meskipun ada hubungan timbal balik, seperti sebuah simbiosis tapi atas dasar kerelaan. Karena dalam menjalin sebuah hubungan sosial kita harus belajar bagaimana pentingnya saling memahami, mau mendengar, mau berbagi dan mau untuk peduli. Karena dengan begitu kita akan bisa memaknai sebuah kebersamaan. Kebahagiaan dalam sebuah kebersamaan adalah ketika bahagia dengan kebersamaan itu sendiri. Artinya hubungan yang terjalin adalah sebuah kebaikan. Namun terkadang dalam menjalin sebuah hubungan kita harus bisa menciptakan ruang dan jarak. Mengambil jarak yang kita butuhkan. Membiarkan ruangan dalam sebuah hubungan. Menciptakan suatu ruang untuk berekspresi. Sebuah ruangan yang kita butuhkan untuk bergerak bebas. Sebuah jarak yang kita butuhkan untuk introspeksi. Melihat apa yang sudah kita berikan, dari sudut pandang yang lebih luas. Ketika kita terlalu dekat, sudut pandang kita terlalu sempit. Akibatnya penilaian kita menjadi lebih subjektif. Saat kita menjauh, kita bisa melihat lebih menyeluruh. Hal ini dibutuhkan untuk lebih objektif. Menurut ahli social kebersamaan bisa berupa situasi social :

Hakikat Kebersamaan Lihatlah sebuah lukisan yang tergantung di sudut sebuah ruangan. Apakah gerangan yang membuatnya menarik ? Ya, paduan warna-warni yang menjadikannya sedap dipandang. Sapuan kuas sang pelukis pada kanvas telah mengumpulkan warna-warna yang berbeda beraneka ragam dalam sebuah kebersamaan yang serasi dan harmonis.

Kemudian lihatlah bangunan tua di simpang jalan. Apakah gerangan yang membuatnya berdiri kokoh dan gagah? Ya, tumpukan bata yang terekat dengan semen dan pasir yang menyangganya untuk berdiri. Batu-batu bata dan aneka materi bangunan disusun sedemikian rupa dalam sebuah kebersamaan hingga membentuk sebuah bangunan yang kuat dan kokoh. Dari lukisan itu kita belajar bahwa kebersamaan adalah sebuah keindahan. Bahwa kebersamaan bukanlah keseragaman yang meniadakan perbedaan dan menjadikan segala sesuatunya menjadi sama tetapi berarti menerima perbedaan, menghargainya dan kemudian merangkainya sehingga yang satu menjadi pelengkap bagi yang lainnya. Keseragaman adalah monoton dan membosankan. Sedangkan keberagaman dengan kebersamaan adalah dinamis, menarik dan, tentu saja, indah.

Dari bangunan tua kita belajar bahwa kebersamaan adalah kekuatan. Karena kebersamaan mengumpulkan potensi-potensi yang terserak kemudian memadukannya hingga menjadi sebuah kekuatan yang maha dahsyat. Sebuah batu bata tak memiliki daya dalam kesendiriannya, namun rangkaian batu bata bisa menjadi sebuah benteng yang kokoh pelindung dari serangan musuh. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.

Tetapi kebersamaan adalah juga keterikatan. Sebuah keterikatan yang didasarkan pada pemahaman akan alasan mengapa kita harus bersama. Bisa jadi karena tujuan yang sama, kepentingan yang sama, kesenangan yang sama, latar belakang yang sama, atau kesamaan-

kesamaan yang lainnya. Namun tanpa itu semua, ada satu hal yang lebih dari cukup bagi kita untuk dijadikan alasan mewujudkan kebersamaan, yaitu karena kita berdiri di atas bumi yang sama, di bawah matahari yang sama, dan karena kita adalah makhluk Tuhan yang tak berbeda di hadapanNya kecuali amal kebajikannya. Cukuplah ini menjadi pengikat diantara kita. Kebersamaan adalah kesabaran. Karena sabar yang akan menuntun setiap kita untuk dapat menerima dan memahami perbedaan. Dengannya mereka yang tua menjadi sabar membimbing yang muda dengan gejolaknya yang menggebu pun sebaliknya mereka yang muda sabar dengan kelemahan fisik yang tua. Mereka yang kuat lagi cepat menjadi sabar menolong dan menunggu ketertinggalan mereka yang lambat dan lemah demikian pula yang lemah dan lambat bersabar dalam kepemimpinan mereka yang kuat. Yang melihat menjadi mata bagi yang buta, yang mendengar menjadi telinga bagi yang tuli dan yang berbicara menjadi lisan bagi yang bisu. Kebersamaan juga berarti keikhlasan karena ia tidak lagi berbicara mengenai aku melainkan kita. Dalam kebersamaan, kepentingan individu berganti dengan kepentingan komunal. Tujuan individu berada di bawah dan harus diselaraskan dengan tujuan bersama. Untuk itu diperlukan keikhlasan setiap kita untuk melenyapkan ego pribadi sehingga tak ada lagi yang lebih penting bagi kita selain kebersamaan itu sendiri. Laksana kayu bakar yang menjadi abu demi membaranya api. Ia korbankan eksistensi dirinya untuk satu kepentingan memberikan cahaya yang terang benderang.

Bersyukurlah karena Tuhan telah ciptakan kita berbeda. Kemudian bersabarlah dan ikhlaslah. Karena dengan perbedaan itu kita dapat merasakan indahnya kebersamaan. Karena perbedaan itu kita menjadi kuat dalam menghadapi hidup. Hidup ini terlalu besar untuk dihadapi sendirian. Dan kita terlalu kecil lagi lemah untuk menghadapi hidup dalam kesendirian.

$.,.$7.(%(56$0$$1$//$+

Rate This

HAKIKAT KEBERSAMAAN ALLAH Telah kita yakini bahwa tujuan diciptakannya manusia adalah agar mereka beribadah hanya kepada Allah semata. Oleh karena itu, manusia yang paling sempurna adalah yang paling sempurna ibadahnya. Kesempurnaan ibadah seorang hamba akan terwujud manakala dia mampu merealisasikan sikap ihsan di dalam beribadah kepada Allah. Sikap ihsan yang dimaksud di sini sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits yang sahih adalah kita beribadah kepada Allah dalam keadaan seolah-olah kita melihat-Nya, jika tidak mampu maka kita yakini bahwa Allah melihat kita. Dan hal itu sangat tergantung pada pengetahuan seorang hamba terhadap Allah dan sifat-sifat-Nya, karena tidak ada seorang pun yang mampu merealisasikan sikap ihsan ini kecuali orang-orang yang mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya. Sifat Maiyah Allah Di antara sekian banyak sifat Allah yang wajib kita yakini adalah sifat maiyah (kebersamaan) Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Sifat ini telah disebutkan di dalam banyak tempat dalam Al-Quran. Di antaranya, firman Allah: Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan dia bersama kamu di mana saja kamu berada, dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Al-Hadid: 4) Dan firman Allah: Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. (An-Nahl: 128) Sebagaimana sifat-sifat Allah yang lain, maka kita menetapkannya secara hakiki sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya berdasarkan makna yang benar tanpa memalingkannya kepada makna batil dan tidak menyerupakannya dengan sifat makhluk. Makna maiyah Syaikh Doktor Shalih bin Fauzan rahimahullah berkata, Maiyah (secara bahasa-pen) disebutkan untuk menunjukkan kebersamaan semata-mata meskipun tidak ada persentuhan atau percampuran padanya. Seperti engkau mengatakan, barangku ada bersamaku padahal barang itu mungkin ada di atas kepalamu atau kendaraanmu. Atau seperti perkataanmu, Kami terus berjalan dan bulan menyertai kami padahal bulan itu di langit, akan tetapi selalu tampak olehmu dan cahayanya mengenaimu.

Tentang sifat maiyah Allah yang disebutkan di dalam Al-Quran, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa sifat maiyah ini berbeda-beda hukumnya sesuai dengan tempat penyebutannya. Yakni bahwa maiyah Allah terhadap hamba-hamba-Nya terbagi menjadi dua makna sesuai dengan rangkaian penyebutan sifat tersebut. Pertama, maiyah yang umum terhadap seluruh hamba-Nya. Maksudnya bahwa Allah mengetahui, melihat, mendengar dan mencatat seluruh perbuatan hamba-Nya yang lahir maupun batin. Allah mengawasi mereka, tidak ada yang samar bagi Allah di mana pun mereka berada. Makna ini telah ditunjukkan oleh ayat-ayat yang menyebutkan maiyah itu sendiri. Sebagaimana firman Allah di dalam surat Al-Hadid ayat ke-4. Sebelum menyebutkan tentang maiyah Allah berfirman, Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya, dan setelahnya Allah berfirman, dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan Kedua, maiyah yang khusus terhadap orang-orang yang memiliki sifat tertentu seperti sabar, takwa, berbuat ihsan dan sifat lain yang Allah cintai. Atau khusus terhadap individu tertentu seperti Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan Abu Bakar Ash-Shidiq radhiallahu anhu (lihat QS. At-Taubah: 40), juga seperti Nabi Musa dan Harun alaihimassalaam (lihat QS. Thoha: 46). Selain mengandung makna umum di atas, maiyah ini memberikan makna khusus bahwa Allah memberikan pertolongan, kekokohan dan taufik kepada mereka. Faedah iman terhadap sifat maiyah Allah Di antara faedah terpenting dari mengimani sifat ini, bahwa seorang hamba akan selalu berhati-hati di dalam setiap tindaktanduk dan ucapannya manakala dia meyakini bahwa Allah selalu bersamanya, melihat, mendengar dan mengawasinya di mana pun dia berada. Dia akan beribadah dengan tenang dan khusyu di hadapan Allah. Dia akan menghindari maksiat dalam keadaan ramai maupun sepi. Selain itu, jika seorang hamba memahami dan meyakini maiyah Allah yang khusus terhadap sebagian hamba-Nya, maka dia akan terdorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menyebabkan Allah mengkhususkan kebersamaan terhadapnya. Peringatan penting Sebagian orang ketika diberi pertanyaan Di mana Allah? dengan serta merta menjawab, Allah ada di mana-mana. Mereka berdalil dengan ayat-ayat maiyah seperti surat Al-Hadid ayat empat yang telah disebutkan di muka. Mereka lupa bahwa di dalam Al-Quran dan Al-Hadits bahkan di dalam fithrah manusia terdapat banyak dalil yang menunjukkan bahwa Allah Maha Tinggi berada di atas seluruh makhluk-Nya. Jika kita mengatakan dzat Allah bersama makhluk-Nya atau Allah berada di mana-mana maka akan muncul darinya berbagai konsekuensi yang batil dan tidak layak bagi kesucian Allah. Di antaranya, Allah berada di berbagai tempat yang suci maupun kotor seperti WC, tempat sampah dan sebagainya.

Kemudian perkataan ini akan membawa kepada pemahaman hululiyah, bahwa Allah menitis atau bersatu dengan makhluk-Nya. Sedangkan ini adalah pemahaman yang batil dan diingkari oleh para ulama, bahkan mereka menyatakan bahwa pemahaman ini adalah pemahaman kufur. Wallahul mustaan. (Abu Ubaidillah)

Dalam masalah kebersamaan Allah dengan makhluk-Nya ini manusia terbahagi menjadi tiga golongan:

Golongan

pertama:

Golongan pertama menyatakan, Kebersamaan Allah dengan makhluk-Nya, secara umum bermakna mengetahui dan mengawasi mereka; dan secara khusus bermakna memberi pertolongan dan dukungan kepada mereka. Pemahaman seperti ini turut disertai keyakinan bahawa keberadaan Allah tinggi bersemayam di atas Arsy.

Golongan

kedua:

Golongan kedua mengatakan, Kebersamaan Allahd engan makhluk-Nya bermakna Dia bersama mereka di bumi. Dengan pemahamannya seperti itu mereka telah menafikan keberadaan Allah yang tinggi bersemayam di atas Arsy. Yang termasuk golongan kedua ini adalah golongan Hululiyah, golongan Jahmiyah, dan beberapa golongan lainnya. Mazhab mereka jelas mazhab yang batil lagi mungkar. Para Salaf telah bersepakat menyatakan batilnya mazhab ini dan mengingkari pemahaman mereka yang batil itu.

Golongan

ketiga:

Golongan ketiga menyatakan, Kebersamaan Allah bermakna Dia bersama makhluk-Nya di bumi dengan tetap meyakini bahawa Allah berada tinggi di atas Arsy.

Pendapat

ini

disebutkan

Ibnu

Taimiyah

dalam

Majmu

Fatawa,

6/229.

Mereka menganggap telah memahami nash dari zahirnya dalam masalah kebersamaan Allah dengan makhluk-Nya dan keberadaan-Nya yang tinggi di atas Arsy. Dengan anggapannya seperti itu mereka telah berbuat dusta dan telah tersesat, kerana nash-nash tentang kebersamaan Allah tidak menunjukkan Allah bercampur dengan makhluk-Nya. Jadi kefahaman

seperti ini adalah batil, kerana tidak mungkin al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya mengandungi kebatilan.

Perlu difahami bahawa pemahaman para Salaf terhadap kebersamaan Allah dengan makhlukNya tidak bererti Allah sekadar mengetahui saja, akan tetapi juga mengandungi pengertian Allah meneliti, mendengar, melihat, menguasai, mengatur, dan pengertian-pengertian lainnya yang menunjukkan kerububiyahan Allah Taala.

Firman Allah s.w.t.:

Dan Dia tetap bersama-sama kamu di mana sahaja kamu berada. (al-Hadid 57: 4)

Kata maa/

(bersama) dalam ayat di atas adalah benar dan harus difahami menurut

makna yang sebenarnya dan menurut zahir kata tersebut. Akan tetapi, adakah maksudnya kita wajar memahami kata tersebut menurut makna yang sebenarnya dan menurut zahirnya? Adakah yang dimaksudkan: Allah bersama para makhluk-Nya dalam erti bercampur dan tinggal bersama mereka di tempat mereka atau pun maksudnya: Allah ebrsama makhluk-Nya dalam erti mengetahui, berkuasa, mendengar, melihat, mengatur, menguasai dan makna-makna lain yang menyatakan kerububiyahan Allah sambil bersemayam di atas Arsy di atas seluruh makhluk-Nya?

Jelas, tanpa ada keraguan lagi, pendapat yang pertama bukanlah yang dimaksudkan oleh ayat di atas. Ayat di atas sama sekali tidak menunjukkan hal tersebut, kerana kata (bersama)

di sini dinisbatkan kepada Allah Azza wa Jalla, padahal kita tahu bahawa Allah tidak mungkin terjamah oleh satu makhluk pun. Lagi pula, dalam bahasa Arab yang merupakan bahasa alQuran, kata (bersama) tidak menunjukkan adanya percampuran atau kebersamaan di

suatu

tempat.

Kata

tersebut

ditafsirkan

menurut

konteksnya.

Mengertikan perkataan: Allah bersama makhluk-Nya dengan pengertian: Allah bersama makhluk-Nya secara bersampur adalah pengertian yang batil. Ini boleh kita lihat dari beberapa sisi.

1 Pengertian seperti itu menyelisihi ijma para salaf. Tidak seorang pun dari mereka mengertikan seperti itu. Mereka bersepakat menolak orang yang mengertikan sepetrti itu.

2 Pengertian seperti itu bertentangan dengan sifat Uluw (tinggi) Allah Taala yang sudah ditetapkan berdasarkan al-Quran, Sunnah, akal, fitrah, dan ijma para ulama salaf. Apa saja yang bertentangan dengan sesuatu yang telah ditetapkan dengan dalil, jelas batil, kerana bererti menentang kebenaran. Berdasarkan hal ini, mengertikan perkataan: Allah bersama makhluk-Nya dengan pengertian Allah berdiam bersama makhluk-Nya secara bercampur adalah batil berdasarkan al-Quran, sunnah, akal, fitrah, dan ijma ulama salaf.

3 Pengertian seperti itu menimbulkan akibat yang batil yang tidak layak bagi Allah Taala.

Orang yang benar-benar mengenal Allah dan hendak mengagungkan-Nya, serta memahami dengan baik kata mengatakan, Kata (bersama) dalam bahasa Arab merupakan bahasa al-Quran tidak akan (bersama) dalam ayat tersebut memberikan pengertian Allah

bercampur dan tinggal bersama makhluk-Nya. Orang yang tidak mengetahui bahasa Arab dan keagungan Allah Taala sajalah yang akan mengertikan seperti itu.

Dalam kitab Majmu al-Fatawa, 6/103, Sheikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, Pengertian kata (bersama) berbeza-beza mengikut konteks penggunaannya. Sebagai contohnya

firman Allah:

Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; kemudian bersemayam di atas Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang ke luar darinya. Dia juga mengetahui apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke arahnya. Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (al-Hadid 57: 4)

Pengertian zahir ayat di atas adalah Allah mengerti, menyaksikan, mengawasi dan mengetahui keadaan kalian. Inilah makna pernyataan Salaf: Allah selalu bersama mereka dengan ilmuNya. Memang begitulah pengertian zahir dan makna sebenarnya firman-firman Allah tersebut.

Demikian juga firman Allah:

Tidakkah kamu perhatikan bahawa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Bila ada pembicaraan rahsia yang dilakukan tiga orang, maka Dia-lah yang keempatnya. Bila ada pembicaraan rahsia yang dilakukan lima orang, maka Dia-lah yang keenamnya. Bila ada pembicaraan rahsia yang dilakukan oleh orang yang kurang atau lebih dari jumlah tersebut, maka Dia selalu bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian pada hari kiamat kelak Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala seuatu. (al-Mujadilah 58: 7)

Begitu

juga

ketika

Nabi

berkata

kepada

Abu

Bakar

di

gua:

Janganlah kamu berduka cita, kerana sesungguhnya Allah bersama kita. (at-Taubah 9: 40)

Ayat ini pun benar menurut zahirnya, iaitu dengan pengertian Allah mengetahui, menolong dan mendukungnya.

Ibnu Taimiyah melanjutkan, Kata

(bersama) banyak kita temui dalam al-Quran dan

Sunnah yang mengandungi pengertian sendiri-sendiri tergantung konteks kalimatnya. Atau boleh jadi menunjukkan pengertian yang hampir sama, akan tetapi masing-masing memiliki kehususan sendiri. Menurut dua kemungkinan ini pun pengertian kata menunjukkan dzat kemungkinan itu tidak boleh dikatakan pengertian dipalingkan dari (bersama) tidak (bersama) telah zahirnya.

Dalil bahawa kata

(bersama) tidak bererti dzat Rabb Azza wa Jalla bercampur dengan

makhluk-Nya. Allah sebutkan di dalam surat al-Mujadilah di antara keluasan ilmu-Nya, di awal dan di akhir ayat. Allah berfirman:

Tidakkah kamu perhatikan bahawa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Bila ada pembicaraan rahsia yang dilakukan tiga orang, maka Dia-lah yang keempatnya. Bila ada pembicaraan rahsia yang dilakukan lima orang, maka Dia-lah yang keenamnya. Bila ada pembicaraan rahsia yang dilakukan oleh orang yang kurang atau lebih dari jumlah tersebut, maka Dia selalu bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian pada hari kiamat kelak Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala seuatu. (al-Mujadilah 58: 7)

Zahir ayat ini menunjukkan kata

(bersama) ertinya Allah sentiasa mengetahui para

hamba-Nya; tidak ada satu pun amalan mereka yang tidak diketahui oleh Allah. Jadi, kata (bersama) bukan bermakna Allah bercampur bersama mereka di bumi ini.

Adapun kata

(bersama) dalam surat al-Hadid disebutkan oleh Allah didahului dengan

menyebutkan bahawa Allah istiwa (bersemayam) di atas Arsy dan memiliki ilmu yang Maha Luas. Ayat ini juga diakhiri dengan penjelasan bahawa Allah melihat semua amalan hambaNya. Allah berfirman:

Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; kemudian bersemayam di atas Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang ke luar darinya. Dia juga mengetahui apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke arahnya. Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (al-Hadid 57: 4)

Zahir ayat ini menunjukkan bahawa kata

(bersama) ertinya Allah mengetahui dan melihat

semua amalan amba-Nya tinggi di atas sana, iaitu di atas arsy. Ayat ini tidak menunjukkan bahawa Allah bercampur dengan makhluk-Nya dan tidak pula bersama mereka di muka bumi. Jika tidak difahami demikian, tentu akhir ayat tersebut bertentangan dengan awalnya yang menunjukkan bahawa Allah bersemayam di atas Arsy.

Dari keterangan di atas jelaslah bahawa kebersamaan Allah dengan makhluk-Nya dalam ayat ini bermakna Allah mengetahui keadaan merka, mendengar pembicaraan emreka, melihat perbuatan mereka, dan mengatur segala urusan mereka. Sehingga Allahlah yang

menghidupkan, mematikan, memberi kekayaan dan kefakiran; juga memberi dan mencabut kerajaan dari seseorang menurut kehendak-Nya, memuliakan dan menghinakan orang menurut kehendak-Nya, serta pengertian-pengertian lainnya yang menunjukkan rububiyah Allah dan kesempurnaan kekuasaan-Nya. Tidak ada seorang pun dari hamba-Nya yang mampu menghalang kehendak-Nya. Dzat yang demikian sifatnya benar-benar bersama makhluk-Nya secara hakikat dan tinggi di atas mereka, iaitu di atas Arsy secara hakikat pula.

Sheikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab al-Aqidah al-Wasithiyah (kitab Majmu Fatawa, 3/142) dalam mebahaskan sifat maiyah, berkata, Semua firman Allah yang menyebutkan

bahawa Dia berada di atas Arsy dan bersama kita adalah benar secara hakikat. Kita tidak boleh melakukan tahrif (menyelewengkan maknanya kepada makna yang lain) terhadap ayatayat seperti itu, namun wajib menjaganya dari anggapan-anggapan dusta.

Seterusnya, berkaitan persoalan ini kita boleh menjelaskannya kepada tiga sudut:

Pertama: Allah Taala menyebut kedua hal tersebut (istiwa di Arsy dengan kebersamaan Allah terhadap makhluk-Nya) dalam al-Quran yang ayat-ayatnya tidak mungkin saling bercanggah. Bila ada ayat-ayat al-Quran yang nampak di mata kita kontradik, hendaklah kita teliti ulang, kerana Allah berfirman:

Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran? Kalau kiranya al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang anyak di dalamnya. (an-Nisa 4: 82)

Kemudian, jika kita belum jelas juga, hendaklah kita mengambil sikap para ulama, iaitu dengan menyatakan:

Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat; semuanya itu dari sisi Rabb kami. (Ali Imran 3: 7)

Jadi, serahkanlah hal itu kepada Allah yang Maha Mengetahui. Sedarilah bahawa ketidak mampuan tersebut adalah kerana kelemahan ilmu dan pemahaman kita. Al-Quran tidak mungkin saling bertentangan.

Ibnul Qayyim juga mengemukakan alasan yang serupa dalam kitab Mukhtashar ash-Shawaiq karya Ibnul Maushili, hal. 410, ketika membahaskan berkenaan hal-hal yang dikira majaz. Di sana dia menyatakan, Allah telah meng-khabarkan bahawa Dia bersama para makhluk-Nya dan meng-Khabarkan pula bahawa Dia bersemayam di atas Arsy, yang keduanya Dia sebutkan secara bersamaan. Ini seperti dalam firman Allah Taala:

Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; kemudian bersemayam di atas Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang ke luar darinya. Dia juga

mengetahui apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke arahnya. Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (al-Hadid 57: 4)

Dia melanjutkan Dalam ayat ini allah menyatakan bahawa Dia menciptakan langit dan bumi, bersemayam di atas Arsy dan bersama makhluk-Nya, melihat amal perbuatan mereka dari atas Arsy.

Keberadaan Allah tinggi di atas Arsy tidak bertentangan dengan kebersamaan Dia dengan para makhluk-Nya; sebaliknya, kebersamaan Dia dengan para makhluk-Nya juga tidak menafikan keberadaan Dia yang tinggi di atas Arsy. Jadi, kedua-duanya benar.

Kedua: Hakikat kebersamaan Allah dengan para makhluk-Nya tidak bertentangan dengan keberadaanNya yang tinggi di atas Arsy. Keduanya ini boleh dikompromikan seperti terjadi pada makhluk. Biasa orang mengatakan: Selama kami meneruskan perjalanan, bulan sentiasa bersama kami. Perkataan seperti ini tidak saling kontradik/bercanggah. Tidak akan ada seorang pun yang memahami perkataan tersebut bahawa bulan turun ke bumi. Jika hal seperti itu boleh terjadi pada pada diri makhluk, tentu akan lebih layak dan lebih boleh terjadi pada diri Allah yang Maha Mengetahui segala sesuatu yang tinggi di atas Arsy. Kerana hakikat makna kata tempat. (bersama) tidak mengharuskan berkumpulnya dua dzat atau lebih di satu

Pemahaman seperti itu diisyaratkan oleh Sheikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Fatawa alHamawiyah (Majmu fatawa, 5/103). Di sana dia berkata, Hal itu kerana dalam bahasa arab, kata (bersama) jika disebutkan secara mutlak, maka zahirnya juga menunjukkan

kebersamaan yang mutlak, tidak mengharuskan bersentuhan atau berkumpulnya. Namun jika disebutkan secara muqayyad (terbatas) oleh pengertian tertentu, maka maknanya pun terbatas dengan pengertian tersebut. Contohnya, jika ada orang mengatakan, Selama kami meneruskan perjalanan, bulan dan bintang sentiasa bersama kami. Contoh lainnya, ketika ada orang mengatakan, Barang ini bersamaku. Dia boleh mengatakan seperti itu, kerana keberadaan benda tersebut menyertainya, walaupun berada di atas kepalanya. Demikian juga allah; Dia selalu bersama makhluk-Nya secara hakikat dan Dia pun berada di atas Arsy secara

hakikat

pula.

Ketiga: Andaikata sifat maiyah (kebersamaan) dengan sifat Uluw (tinggi) tidak mungkin disatukan pada makhluk, hal ini tidak mesti dinafikan pada Allah yang maha mencipta yang telah menyebutkan kedua sifat ini untuk diri-Nya secara bersama, kerana tidak ada satupun makhluk yang menyamai-Nya, sebagaimana tersebut dalam firman Allah:

Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia; dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (asy-Syura: 11)

Kebersamaan dalam berjamaah

Kebersamaan, sinergi, persatuan, dan kekompakan menjadi kekuatan yang bisa menerobos dinding tantangan setebal apapun, menghadirkan sesuatu yang tidak mungkin menurut pikiran insya Alloh menjadi kenyataan, bahkan kita bisa terbang bersama untuk menembus ruang luar batas. Selayaknya kita tidak menjadi masyarakat yang berkerumun (crowded community) tapi menata barisan yang lebih kokoh, sehingga tak gampang dipatahkan oleh pengganggu kebersamaan. Islam hanya bisa dibangun dengan landasan kebersamaan yang kokoh, tanpanya justru umat Islam mudah di cerai beraikan oleh provokasi dari luar. Semakin hari kita menyaksikan amat banyak kontroversi dan perbedaan yang mengkristal di kalangan umat Islam sendiri, serta-merta meretas menjadi beberapa golongan, sembari mengagung- agungkan golongannya sendiri, alih-alih merekatkan kebersamaan. Kerinduan akan kebersamaan benar-benar menggelora di hati ini, karena sejatinya kita berada dalam jalin kesatuan yang tak bisa direntas oleh kekuatan lain, terkecuali Kehendak Alloh. Islam hadir ke muka dunia sebagai rahmatal lil alamin, yang disadari menjadi misi inti Nabi Muhammad Saw. diutus. Perbedaan yang kerap menyeruak, diyakini bukan dipandu oleh hati, tapi dipicu oleh pikiran dan nafsu. Tak aneh kalau ada dua orang yang dipandang suci dan kharismatis berselisih dengan perang postulat, bahkan kadang

melahirkan sikap dengki dan permusuhan, yang sejatinya memendarkan kebersamaan dan ketunggalan umat Islam. Kehancuran kita bukan karena pengaruh orang luar, tapi karena diri kita yang kerap mengotak-kotakkan diri, sehingga semakin jelas perbedaan yang ditampilkan. Menghujat, mengkritik, mencaci membandingkan kelompok lain, serta mengunggulkan kelompok sendiri menjadi realitas sosial yang jauh dari energi cinta pada saudara se-Islam. Kalau Islam sendiri masih dijejali perbedaan, bagaimana kita bisa menggerakkan medan magnit kebersamaan dengan orang non-muslim yang notabena menjadi saudara kita juga (ukhuwah basyariyah).

Apa alasannya kita tetap membenamkan nilai-nilai ukhuwah, kendati dihijab oleh tembok pemahaman yang berbeda. Karena kekuatan perbedaan selayaknya menjadi momentum agar kita bisa saling menghormati, merangkai kebersamaan yang layak dibuat lebih besar efeknya. Mencuatnya perbedaan sejatinya berawal dari masih kuatnya berhala keakuan di dalam diri kita. Sekadar bisa melihat titik terang di dalam dirinya, dan melihat kegelapan di ruang-ruang selain dirinya. Siapa yang

mengagungkan kelompoknya, bahkan berani mengatakan bahwa kelompok lain berada dalam jaring kekafiran, maka sesungguhnya demikianlah ciri orang musyrik. "Dengan kembali bertobat kepadaNya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah sholat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Alloh, yaitu orangorang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka." (QS. Ar-Rum [30]:31-32).

Kita merindukan kebersamaan, seperti pernah dibangun Nabi Muhammad bisa terwujud lagi dalam dataran kehidupan via bingkai community, masyarakat madani. Mengapa perbedaan harus dikikis habis, sementara kebersamaan perlu ditata dan diperkukuh, karena berkat kebersamaan kehidupan ini bisa berjalan. Arti

kebersamaan itu bisa kita rujuk pada model kerja lampu. Pada dasarnya lampu di istana, di gubuk, di rumah gedek, di kontrakan digerakkan oleh satu energi, yang disebut energi listrik. Jagat kehidupan ini digerakkan oleh satu energi, yakni kekuatan Alloh. Karena seluruh jagat ini oleh Alloh awalnya dijadikan satu. "Dan tiadalah

binatang-binatang yang ada di bumi, dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah kami alpakan sesuatu pun di dalam al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan." (QS. AlAn'am [6]:38)."

Dialah yang menjadikan semua peristiwa terjadi, kehidupan terhenti, menggiring kekacauan pada kenyamanan dan keamanan. Kita, dan alam jagat ini sekadar presentasi kekuasaan-Nya. Bahkan Dialah yang menyukai kebersamaan di antara makhluk-Nya.

Menilai betapa pentingnya kebersamaan itu, yang menandakan hancurnya patung keakuan di dalam diri, maka guru kami KH. DR. Muhammad Dhiyauddin Quswandhi menguraikan tangga-tangga untuk mencapai pada kebersandingan sejati dengan seluruh jagat ini.

Pertama,

Nanding

Salira.

Tahapan pribadi yang masih dipenuhi lekat-lekat keakuan, inilah pribadi sarat bias riya', ujub, bahkan narsis yang merimbun di ruang batinnya. Ego-sentris yang mengikis kemuliaan di dalam dirinya. Aku, gue, awa', semua kata-kata selalu dikiblatkan pada pemuasan egonya. Padahal, kalau ditelusuri dari bahasa hati, semakin ia

mengagungkan dirinya, maka samakin tersiksa, karena sejatinya ia terus berada dalam mental kekurangan.

Kedua,

Ngukur

Salira.

Orang yang mulai fokus mengukur kekurangan diri, sehingga lebih berhati-hati dalam bergerak dan melangkah. Setiap langkahnya menjelmakan perubahan yang berarti, sehingga setiap detik tiada lain kecuali penuh semangat untuk memperbaiki diri secara sungguh-sungguh. Kebaikan kadang sekadar untuk dirinya, tidak menular pada masyarakat sekitar. Bisa jadi hidupnya sekadar berdialog dengan ruang sunyi, menempa jiwa, belum dibarengi oleh hasrat untuk menghadirkan perbaikan bagi masyarakat sekitar.

Ketiga,

Tepo

Salira.

Orang yang sudah mulai belajar memahami kebutuhan orang lain, mendeteksi radar emosi, dan memercikkan rasa tertarik yang indah pada saudaranya. Pribadi ini mulai merasakan kepiluan, penderitaan, dan kegalauan saudaranya. Tafahum, saling memahami, atau disebut empati dan simpati. Bisa jadi sosok ini adalah orang yang peduli pada lingkungan sekitar, tapi masih ada sikap ingin dipuja, dan mendapatkan penghormatan, bahkan diam-diam muncul rasa ujub. Kepedulian pada orang lain, masih diboncengi hasrat-hasrat diri yang personalized, dan individualis.

Keempat,

Mulad

Salira.

Manusia seperti ini digambarkan seperti kaca, orang memiliki mental keberlimpahan. Kaca kosong dari warna, tapi semua warna bisa masuk ke dalam kaca. Atau diumpamakan seperti berlian yang tidak punya warna karena semua warna telah berhimpun di dalamnya. Mulad salira ini tipikal pribadi yang ngabai (menyeluruh), hidup tidak lagi terpetak-petak. Bahkan telah menyatu dengan jagat semesta secara utuh. Inilah ciri pribadi yang telah melepaskan keakuan, sembari mengidentifikasi diri dengan makhluk lain, walhasil menjadi satu. Persaudaraan melampaui agama (fraternity beyond the religion); melampuai etnis, melampaui negara, bahkan melampaui sesama manusia. Cintanya telah terpikat ke semua jagat semesta, binatang, pohon-pohon, makhluk darat dan laut. Pendek kata, Ia amat bersuka- cita melayani jagat semesta, dan menyingkirkan kepentingan-kepentingan dirinya. Sosoksosok ini di dongkrak derajat kemuliaannya, karena kecintaan yang utuh dalam melayani umat. Nabi Muhammad salah satu sosok yang masih menyejarah reputasinya. Demi melayani umat, beliau tiada pernah berpikir tentang kekayaan diri, bahkan beliau menjuluki dirinya sebagai Bapak orang fakir dan miskin, sebuah cita-cita pelayanan yang amat mulia. Ciri khasnya, sosok ini memiliki satu rasa dengan seluruh jagat ini. Terkait dengan kecintaan universal ini, sebuah kisah inspirasional.

Suatu saat seorang kyai dusun berteduh di bawah pohon, demi melepaskan lelah. Tak lama kemudian beliau beranjak dari tempat duduknya, menuju tumpangannya berupa

dokar (delman). Tak seberapa lama di tengah perjalanan, sang kyai itu melihat ada seekor semut yang menjalar di jubahnya. Terbayang kemudian, semut ini berasal dari bawah pohon yang teduh itu. Sembari meminta Bapak yang melajukan dokar (delman) agar balik ke tempat berteduh semula. Sang "pelacu dokar" terperanjat, mengapa kyai meminta balik ke pohon. Kyai itu bertutur "seandainya semut ini punya anak, dan ia sedang mencarikan makanan buat anaknya, tapi kemudian di bawa saya, dan anak mencarinya kemana-mana, dan sedang menunggu ibunya".

Demikianlah potret pribadi mulia, yang kecintaannya tiada sekadar untuk manusia, tapi telah terpikat ke jagat semesta. Sosok inilah yang insya Alloh akan bersanding indah dengan semesta. Siapa yang telah menyatu dengan energi semesta, maka ia akan tegak kokoh, karena tidak pernah berlawanan, bahkan selaras dengan arus semesta. Ajaran terakhir ini amat penting untuk memandu pada tangga kemuliaan atau kehebatan (greatness). Mulad Salira akan melahirkan pribadi Mahatma, Adiatma (orang yang mulia), hidup benar difokuskan untuk melayani makhluk Tuhan di muka bumi.

Semoga kita bisa menggapai puncak kemuliaan yang didambakan oleh sejagat manusia dengan terus mendekatkan diri pada Alloh, Tuhan seluruh alam. Sehingga akan menguap kesadaran melayani makhluk berarti melayani Alloh Yang Maha Agung. Dipetik dari Kajian KH. DR. Muhammad Dhiyauddin Qushwandhi. Ditranskrip oleh Khalili Anwar

Karena kebersamaan itu sendiri bukan berarti kita selalu bersama-sama secara fisik, tapi lebih pada hubungan psikologis. Tidak selamanya kita akan selalu bertemu dan bersama, mungkin suatu saat kita akan berpisah. Memang sesuatu diciptakan mempunyai pasangan sendiri-sendiri, sepertinya halnya Pertemuan dan PerpisahanDan semoga kebersamaan akan selalu ada, bersama indahnya masa yang terukir dan manisnya kenangan yang terekam.

Kita tetap harus siap dengan segala kemungkinan dan apapun yang terjadi. Ketika niat kita adalah sesuatu baik maka hasil akhirnya pun akan baik. Semoga apapun hubungan yang sedang kita jalani saat ini, selalu bisa membawa kebahagiaan dalam kebersamaan yang sebenarnya.

Kebersamaan dengan Alloh diawali dengan mengenalnya sehingga bisa menghadirkan dalam hati, jiwa dan raganya berupa ucapan tindakan dan fikirannya.

Maiyatullah

Pengantar Malam telah larut ke peraduannya. Penduduk Madinah telah berangkat istirahat untuk melepas lelah. Namun di sebuah rumah, seorang ibu tengah berbincang dengan anak perempuannya. Esok pagi, mereka akan berjualan susu ke pasar. Dengarkan isi pembicaraan mereka. "Nak, campur saja susu itu dengan air!" perintah sang ibu. "Tidak boleh, Bu. Amirul Mukminin melarang kita mencampur susu yang akan dijual dengan air," jawab anak gadisnya. "Tetapi semua orang melakukan hal itu, Nak. Campur sajalah! Toh, Amirul Mukminin tidak melihat kita melakukan hal itu." "Bu, sekalipun Amirul Mukminin tidak melihat kita, namun Tuhannya Amirul Mukminin pasti mengetahui!" jawab putrinya itu. Amirul Mukminin Umar bin Khathab yang terbiasa mengawasi masyarakat

negerinya, malam itu tengah berada di dekat rumah tersebut dan mengetahui isi pembicaraan mereka berdua. Berlinang air mata sang Khalifah, demi menyaksikan ada seorang wanita yang demikian tinggi keimanannya kepada Allah. Di zaman Khalifah Umar bin Khathab ra, tersebut pula kisah seorang wanita yang ditinggal suaminya bertugas dalam waktu lama untuk mengemban perintah negara. Dalam kesendiriannya tersebut, dorongan libido syahwat tidak bisa dimatikan begitu saja. Keinginan dirinya yang menggebu, mampu ditahan dengan daya keimanan yang tinggi kepada Allah Ta'ala. Malam semakin larut, ketika wanita tersebut mencoba menahan gejolak libidonya. Khalifah Umar yang tengah berkeliling tiba di dekat rumah wanita tersebut, dan mendengar suara syair tengah dilantunkan dari dalam: Betapa malam terasa panjang Tepian kian kelam Tiada teman yang kudapat bersenang Membuat mataku tak terpejam Demi Allah, Jika tidak karena takut siksa Allah Pastilah seluruh sudut ranjang ini kan bergoyang Bergegas Umar ra mendatangi putrinya, Hafshah, untuk bertanya, "Berapa lama seorang wanita tahan menunggu suaminya?" Hafshah menjawab, "Empat bulan." Setelah peristiwa itu, Khalifah Umar mengirimkan perintah kepada para panglima perang yang berada di medan pertempuran, agar tidak membiarkan seorang pun dari tentaranya meninggalkan keluarganya lebih dari empat bulan. Maiyatullah Kisah-kisah di atas dan masih banyak lagi kejadian serupa, menunjukkan sebuah kondisi keterjagaan diri karena kedalaman pengetahuan dan keimanan kepada Allah. Kisah anak wanita penjual susu di atas menandakan betapa ia sangat mengerti tentang pengawasan Allah atas seluruh makhlukNya. Tiada satupun makhluk yang bisa melepaskan diri dari pengawasan Allah. Demikian pula wanita yang ditinggal pergi suaminya merasakan pengawasan yang sangat kuat dari Allah. Sesungguhnyalah Allah senantiasa membersamai makhlukNya. Kebersamaan Allah (maiyatullah) terhadap manusia bisa dirasakan oleh siapapun yang memiliki fitrah yang bersih. Hanya saja, dalam memahami sejauh mana Allah memberikan kebersamaan kepada makhlukNya, terdapat cara pandang yang tidak sama di kalangan kaum muslimin. Pada sekelompok masyarakat Islam yang cenderung kepada jalan kesufian, ada yang beranggapan bahwa kebersamaan Allah itu berbentuk menyatunya manusia dengan Allah yang sering disebut sebagai prinsip

wihdatul wujud. Mereka beranggapan bahwa seorang yang beriman akan senantiasa mendapatkan kebersamaan secara langsung oleh Allah dalam bentuk bersatunya diri manusia ke dalam Dzat Ketuhanan. Dalam batas ekstrim, muncullah istilah Ana Al Haq, sayalah Tuhan yang Maha Benar, karena ia tidak mampu memisahkan dirinya dengan eksitensi Allah. Gerakan dirinya adalah gerakan diri Allah, dan ucapannya adalah ucapan Allah. Pemahaman seperti ini dikenal juga pada sebagian masyarakat Jawa dengan istilah manunggaling kawula Gusti. Apabila kita lacak dari prinsip keimanan yang diajarkan oleh Nabi Saw, tidak dikenal adanya penyatuan wujud seperti keyakinan sebagian sufi tersebut. Yang diajarkan oleh rasul saw adalah prinsip kebersamaan Allah dalam setiap aktivitas hamba, bahwa Allah Maha Mendengar, Allah Maha Melihat, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Rasul saw juga memngajarkan bahwa Allah memiliki malaikat yang bertugas mengawasi dan mencatat amal perbuatan manusia. Dengan demikian, kebersamaan (maiyah) yang ada, bukan menyatunya hamba sdengan Tuhan, akan tetapi kebersamaan Allah dalam bentuk pengawasan dan kebaikan diriNya kepada setiap makhluk. Kata maiyah berasal dari kata maa yang artiunya bersama. Maiyatullah berarti kebersamaan Allah. Jika kita perhatikan dalam Al Quran, ada dua bentuk kebersamaan Allah (maiyatullah) dalam kehidupan maniusia, yang pertama bersifat umum, dan kedua bersifat khusus. 1. Kebersamaan Allah secara Umum (Al Maiyah Al Ammah) Kebersamaan (Maiyah) yang bersifat umum dari Allah ini bersifat mutlak, bahwa tidak ada satupun makhluk baik di langit maupun di bumi yang lepas darei kebersamaan Allah. Seluruh manusia, baik yang muslim maupun kafir, shalih maupun durjana, ahli ibadah maupun ahli maksiat, semua merasakan dan mendapatkan kebersamaan Allah terhadap mereka. Di sinilah kekuasaan Allah atas ciptaanNya, bahwa Allah senantiasa membersamai mereka. Ada dua jenis kebersamaan Allah yang diberikan kepada seluruh makhlukNya secara umum: a. Pengawasan dari Allah (muraqabatullah) Seluruh ucapan, gerakan, tindakan perbuatan manusia senantiasa berada dalam kontrol dan pengawasan Allah. Perhatikan ayat-ayat berikut: Dia Mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu dimana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (Al-Hadid: 4).

Ayat di atas menggambarkan bahwa ilmu dan pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu, juga menunjukkan kebersamaan Allah (wa huwa maakum ainama kuntum) bahwa dimanapun manusia berada pasti Allah membersamai. Tidak ada tempat yang tersembunyi dari pengawasan Allah, semua dalam jangkauan pengetahuanNya. Perhatikan juga ayatb berikut: Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah Mengetahui apa yang ada di langit\dan apa yang ada di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang melainkan Dialah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang melainkan Dialah keenamnya, dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak melainkan Dia ada bersama mereka dimanapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kaiamt apa yang telah mereka kerjakan. Esungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sessuaatu (Al-Mujadilah : 7). Dalam ayat yang lain bahkan Allah menunjukkan kebersamaan terhadap manusia tersebut berada pada suatu kondisi yang amat erat: Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya (Qaf:16). Maka kemanakah manusia akan bersembunyi, agar tidak terlihat oleh Allah, agar manusia aman dari jangkauan pengetahuanNya? Adakah tempat yang tidak diketahui oleh Allah? Sungguh Ia benar-benar Maha Mengawasi: Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi (Al-Fajr: 14). b. Perbuatan baik Allah (ihsanullah) Seluruh manusia, tanpa pandang bulu, mendapatkan perbuatan baik dari Allah kepada mereka. Bumi diciptakan Allah untuk dimanfaatkan bagii seluruh manusia, baik mukmin maupun kafir. Udara yang Allah sediakan di muka bumi, dihirup bukan saja oleh orang yang bertaqwa, tetapi juga oleh mereka yang durhaka. Air yang Allah berikan dimanfaatkan oleh semua kehidupan, bukan hanya hak bagi hamba yang berjiwa mulia. Alam semesta dengan segenap fasilitas yang ada telah disediakan dan ditundukkan oleh Allah bagi semua makhluk tanpa terkecuali. Allah Taala telah berfirman: Tidakkah kamu perhatikan., bahwa Allah menundukkan untukmu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmatNya lahir dan batin (Luqman: 20). Bahkan, nilai kemanusiaan telah Allah tinggikan di atas makhluk selainnya, sebagaoi sebuah kebaikan Allah dan pemuliaan terhadap manusia, sebagaimana firman-Nya: Sesungguhnya telah Kami muliakan Bani Adam dan Kami angkut mereka dengan kendaraan di darat dan di laut, serta Kami beri rizki mereka dengan yang baik-baik

dan Kami lebihkan mereka dari kebanyakan makhluk yang Kami jadikan, dengan kelebihan (yang sempurna) (Al-Isra: 70). Inilah perbuatan baik (ihsan) dari Allah untuk semua manusia. Rizki Allah tidak dikhususkan bagi orang yang bertaqwa. Fasilitas kehidupan telah disediakan dengan sedemikian engkap, untuk semua manusia. Oleh karena itu wajarlah jika kemudian Allah menuntut kepada manusia agar berlaku baik (ihsan) karena Allah telah berlkaku baik kepada mereka: Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu (Al-Qashash: 77) Dalam kenyataan keseharian, manusia yang telah diberikan nikmat dan karunia tak terhingga bahkan posisi mulia dibandiungkan seluruh makhluk, ada yang mampu mensyukuri karunia tersebut sehingga mereka menjadi hamba yang bersyukur (Asy Syakir). Mereka mengerti dan merasakan bahwa Allah telah berlaku baik kepada manusia dengan menyediakan beraneka ragam fasilitas kehidupan di muka bumi. Untuk itulah mereka menjadi hamba yang mensyukuri kebaikan Allah tersebut dengan jalan melakukan kebaikan pula. Pada contoh kehidupan Nabi Sulaiman As. Kita menyaksikan betapa beliau sangat pandai menjadi hamba yang bersyukur atas nikmat yang Allah berikan: Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmatNya). Dan barangsiapa yang bersyukur sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang kufur maka maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha mulia (An-Naml: 40). Akan tetapi, kita jumpai sebagian besar manusia tidak bisa mensyukuri perbuatan baik Allah, bahkan mengingkarinya (Al Kafir). Mereka beranggapan bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi me,mang tercipta oleh alam sendiri. Segala kekayaan dan kemewahan adalah hasil usaha mereka sendiri. Lihatlah betapa Qarun dengan sedemikian sombong menganggap semua yang dimiliki adalah hasil dari kepandaiannya semata. Qarun berkata: Sesumngguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku (Al-Qashash: 78). Betapa harta yang ada pada Qarun sedemikian melimpah sehingga menimbulkan kecemburuan dan keinginan pada banyak kalangan masyarakat, nsebagaimana informasi Allah: Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orangorang yang menghendaki kehidupan dunia: Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun, sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberintungan yang besar (Al-Qashash: 79).

Akan tetapi justru kekayaan melimpah dari Allah tersebut menyebabkannya sombong dan tidak bersyukur. Ia menganggap segala yang ada padanya benarbenar menjadi milik yang amat berharaga karena dihasilkan dari jerih payah sendiri. Qarun adalah salah satu representasi masyarakat yang berpikiran picik dan materialistik, tidak mampu mengungkap rahasia ketuhanan di balik semua sukses yang ia dapatkan di dunia. Betapa banyak masyarakat dunia yang berpikiran seperti Qarun, dalam berbagai watak dan karakternya. 2. Kebersamaan Allah secara Khusus (Al Maiyah Al Khashah) Selain memberikan kebersamaan secara umum kepada seluruh manusia, Allah Taala juga memberikan kebersamaan secara khusus kepoada orang-orang yang beriman dengan benar kepadaNya. Mereka adalah orang-orang yang mampu mensyukuri seluruh nikmat dan karunia Allah secara benar. Mereka mampu merespon kebersamaan Allah secara umum (Al Maiyah Al Ammah) dengan positif, oleh karena itu mereka layak mendapat kebersamaanNya secara khusus. Orang-orang yang kufur nikmat, tidak berhasil merespon kebersamaan Allah secara umum dengan positif, tidak akan mendapatkan kebersamaan khusus ini. Paling tidak ada dua jenis kebersamaan Allah secara khusus kepada orang-orang mukmin: a. Dukungan dari Allah (Tayidullah) Allah Taala akan memberikan pembelaan, dukungan dan penguatan kepada orangorang yang beriman dengan sebenarnya. Perhatikanlah bagaimana Nabi Musa tatkala harus menghadapi Firaun dengan segenap kekuatan yang dimilikinya. Nabi Musa dan Harun mengetahui bahwa Firaun memiliki banyak tentara yang bisa melkukan tindakan apapun untuk menghalangi aktivitas mereka berdua. Untuk itulah mereka berdua berdoa kepada Allah: Berkatalah mereka berdua: Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami khawatir bahwa ia akan segera menyiksa kami atau akan bertambah melampauai batas (Thaha: 45). Secara hukum kemanusiaan, kekuatan tentu tidak sebanding. Akan tetapi Allah memberikan kebersamaanNya secara khusus kepada mereka berdua: Allah berfirman: Jangan kamu berdua khawatir sesungguhnya Aku bersama kamu berdua. Aku mendengar dan Aku melihat (Thaha: 46). Tayidullah juga tampak pada peristiwa Rasulullah saw dan Abu Bakar saat mereka berdua berada di gua Tsur menyembunyikan diri dari kejaran musuh. Sedemikian khawatir Abu Bakar akan diketahui oleh musuh, mengingat orang-orang Kafir Quraesy telah sampai di depan mulut gua. Jika kamu tiada mau menolong Nabi, sesungguhnya Allah telah menolongnya, (yaitu) ketika orang-orang kafir mengusirnya (dari Makkah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada di dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: Jangan kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita

(At-Taubah: 40). Allah Taala telah memberikan dukungan dan pembelaan yang nyata, ketika akhirnya orang-orang kafir yang mengejarnya kemudian meninggalkan gua tersebut karena mengira tidak ada orang yang di dalam. Inilah bentuk pembelaan Allah kepada hamba-hamba yang beriman dengan benar. Allah tidak akan membiarkan orang-orang yang berjuang membela kebenaran berada dalam kesulitan. Banyak sekali kita jumpai bentuk-bentuk pembelaan Allah kepada hambahambaNya. Nabiyullah Ibrahim As. dilindungi Allah dari panasnya api yang dinyalakan oleh Namrud dan pengikutnya. Musa As. semasa bayi diselamatkan Allah dari pembunuhan Firaun. Nabi Muhammad Saw. dan para sahabat dibela oleh Allah dalam berbagai peristiwa peperangan sepanjang sejarah.

b. Kemenangan dari Allah (Nashrun minallah) Bentuk dukungan Allah dalam kisah harun dan Musa di atas sangatlah jelas. Atas kehendak-Nya, kemenanganpun didapatkan. Tatkala Firaun dan tentaranya mengejar Musa dan umat yang beriman, hingga akhirnya pasukan Musa terdesak di pantai, secara kalkulasi kemanusiaan sulit untuk melepaskan diri. Wajar jika para pengikut Musa mengatakan: Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul (Asy Syuara: 61). Akan tetapi dengan segenap keyakinan akan pertolongan Allah, Nabi Musa mengatakan kepada pengikutnya: Sekali-kali tidak akan tersusul, sesungguhnya Tuhan bersmaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku (Asy-Syuara: 62). Maka dengan kuasa dan kebersamaan-Nya, laut bisa terbelah tatkala Musa memukulkan tongkat ke atas permukaannya, hingga membentuk jalan yang bisa dilalui oleh umat yang beriman. Tatkala Firaun menyusul, Allah menenggelamkan mereka di lautan. Demikian mudah Allah memenangkan nabi-Nya di atas musuhmusuh, sebagai bentuk kebersmaan yang bersifat khusus. Nabi-nabi terdahulu diselamatkan oleh Allah setelah kaum mereka yang mendustakan kebenaran dibinasakan dengan berbagai adzab, merupakan bentuk kebersamaan Allah secara kjhusus kepada para Nabi-Nya. Mereka berhak mendapatkan pertoilongan dan kemenangan dari Allah karena kesetiaan mereka kepada aturan Allah. Demikian juga fenomena kemenangan kaum muslimin dalam berbagai peperangan melawan musuh di zaman Nabi saw, merupakan contoh adanya al maiyah al khashah. Pada perang Badar misalnya, Allah mengirimkan bala bantuan berupa malaikat membantu kaum muslimin menghalau musuh:

(Ingatlah) ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankanNya bagimu: Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut (Al Anfal: 9). Kemenangan kaum muslimin di Badar, pada kondisi jumlah mereka hanya sepertiga jumlah musuh, merupakan contoh kongkrit pertolongan dariNya. Secara logika kemanusiaan, rasanya sulit untuk mengalahkan lawan yang berlipat tiga. Akan tetapi di sisi Allah tiada sesuatu yang mustahil untuk terjadi. Ada dua syarat pokok datangnya al maiyah al khashah dari Allah. Yang pertama adalah kesetiaan menghamba kepada Allah (Al Abid). Hanya orang-orang yang tekun beribadah dan menyembah Allah sajalah yang layak mendapatkan pembelaan dan kemenangan dari-Nya. Bagaimana mungkin seseorang atau sekelompok orang mengharapkan pertolongan Allah, sementara mereka menyalahi syariat-Nya? Yang kedua, adalah kesungguhan memperjuangkan agama-Nya (al Mujahid). Tidak setiap hamba yang rajin beribadah akan mendapat pembelaanNya, akan tetapi mereka yang menunjukkan pula kesungguhan memperjuangkan kebenaran Islam, berhak meraih kemenangan yang dijanjikan-Nya. Contoh bdari para Nabi terdahulu hingga Nabi terakhir muhammad saw, menunjukkan pertolongan dan kemenangan dari Allah turun berkaitan dengan kesetiaan mereka mengabdi kepada Allah, dan kesungguhan mereka berjuang di jalan Allah. Jika anda ingin mendapatkan kemenangan dari Allah, jadikan diri anda ahli ibadah (al abid) dan senantiasa berjuang menegakkan kalimat Allah (al mujahid). Tanpa keduanya, kita tidak akan mendapatkan kebersamaan Allah secara khusus.Kebahagiaan seorang Muslim hanya akan didapatkan jika dirinya selalu bersama Allah dalam segala situasi, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah. Dan kebersamaan dengan Allah itu hanya mungkin dicapai setelah seorang Muslim mengenal Allah (makrifatullah) dengan benar.