INTISARI -...
Transcript of INTISARI -...
xv
INTISARI
Peningkatan mutu pembelajaran klinik pendidikan keperawatan gigi dilakukan antara lain dengan menyediakan media ajar yang memadai, media ajar sebagai alat simulasi dapat digunakan dalam proses penilaian pencapaian kompetensi klinis. Pembelajaran dengan simulasi memberi kesempatan mahasiswa untuk mempersiapkan diri sebelum menghadapi pasien sesungguhnya. Pengembangan media ajar untuk praktik skaling dilakukan karena media ajar yang saat ini digunakan sering menyulitkan mahasiswa dan pembimbing praktik terutama dalam menampilkan tanda-tanda adanya kalkulus/karang gigi, cara menghilangkan kalkulus, dan penentuan indeks kebersihan gigi dan mulut.
Jenis penelitian ini adalah penelitian quasi experiment dengan rancang pretest-posttest control group design. Lokasi penelitian adalah Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Yogyakarta dan waktu penelitian bulan April 2011 sampai dengan Oktober 2012. Sampel adalah mahasiswa semester 3 dan 5, teknik pengambilan sampel secara simple random sampling dan jumlah sampel sebanyak 140 mahasiswa. Kriteria sampel adalah: a) mahasiswa yang akan atau sudah selesai mengikuti praktik klinik, b) bersedia ikut serta dalam penelitian dengan mengisi informed consent.
Penelitian ini menghasilkan suatu media ajar dalam bentuk model gigi (typodont) dengan kalkulus artifisial yang dilengkapi alat penyangga. Hasil analisis pengaruh intervensi media ajar terhadap prestasi mahasiwa menunjukkan bahwa berdasarkan analisis uji t-test ada perbedaan yang signifikan (p<0,05) antara nilai pretest dan nilai posttest (nilai kognitif) baik pada mahasiswa semester 3 maupun 5, namun selisih rata-rata kedua kelompok tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik (p>0,05). Ada perbedaan yang signifikan (p<0,05) nilai keterampilan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, namun demikian selisih rata-rata nilai keterampilan kedua kelompok tidak bermakna secara statistik (p>0,05). Analisis multivariat menggunakan regresi linier menunjukkan bahwa nilai kognitif berkontribusi sebesar 2,7% terhadap peningkatan nilai keterampilan.
Kesimpulan penelitian ini adalah: (1) tersedianya unit model gigi dengan kalkulus artifisial sebagai media ajar yang memadai untuk praktik skaling sebagai salah satu upaya tindak lanjut peningkatan mutu pembelajaran klinik, (2) ada pengaruh intervensi menggunakan media ajar yang dikembangkan pada praktik skaling terhadap prestasi mahasiswa, yaitu: (a) ada perbedaan yang signifikan nilai kognitif mahasiswa antara sebelum dan setelah intervensi menggunakan media ajar pada praktik skaling, (b) ada perbedaan yang signifikan nilai keterampilan mahasiswa antara sebelum dan setelah intervensi menggunakan media ajar pada praktik skaling.
Kata kunci: mutu pembelajaran klinik, skaling, media ajar, simulasi, model gigi
xvi
ABSTRACT
Improving the skills learning quality of dental nursing education is conducted by, among others, providing adequate learning media; learning media can be used as a simulation tool in the assessment process of the achievement of clinical competence. Learning with simulations provides students opportunity to prepare before facing real patients. Development of learning media to practice scaling is done because the current learning media are often difficult for students and practice tutors primarily in showing signs of calculus/tartar, procedures to remove calculus, and the determination of dental and oral hygiene index.
This was a quasi experiment study with a pretest-posttest control group research design. The research location was in Dental Nursing Department of Health Polytechnic of Yogyakarta conducted from April 2011 to October 2012. Samples were students in semester 3 and 5, taken with simple random sampling and the sample size was finally 140 students. Sample criteria were: a) students who would take or had already completed a clinical practice, b) students who were willing to participate in the study by completing an informed consent.
This study produced a teaching medium in the form of dental model (typodont) with artificial calculus equipped with a buffer. The results of analysis of the effect of learning media interventions on student achievement showed that, based on t-test analysis, there was a significant difference (p<0,05) between the pretest and posttest values (cognitive value) in both semester 3 and 5 students; however, the mean difference of both groups did not show any statistically significant difference (p>0,05). There was a significant difference (p<0,05) in skills score between the experimental group and the control group; however, the mean difference in both groups was not statistically significant (p>0,05). Multivariate analysis using linear regression showed that cognitive scores accounted for 2.7% of the increase in the skills score.
The conclusions of this study are: (1) there is an availability of adequate learning media in the form of dental models and artificial calculus equipped with a buffer for scaling practices, (2) there is an effect of intervention using learning media in the scaling practice on a student achievement, namely: (a) a significant difference in cognitive value of scaling practices on students before and after learning media intervention, (b) a significant difference in the score of scaling practice skills students before and after learning media intervention. Keywords: quality of clinical learning, scaling, learning media, simulations,
dental models
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Era globalisasi dan perdagangan bebas yang dimulai tahun 2003 melalui
Asean Free Trade Area (AFTA) menuntut peningkatan mutu calon pekerja di
negara-negara Asean, seperti Indonesia. Peningkatan mutu tersebut dapat dicapai
antara lain dengan perbaikan mutu pendidikan sehingga para lulusan kompeten
di bidangnya. Di Inggris dan Australia, mutu perguruan tinggi dikaitkan dengan
kebijakan dan sistem institusional, aktivitas, serta kinerja perguruan tinggi,
bahkan pada tahun 2004 kebijakan publik di Inggris telah mendefinisikan
tentang standar mutu perguruan tinggi (Westerheijden et al., 2007).
Pada kompetisi pasar global, mutu merupakan faktor tunggal yang sangat
menentukan kesuksesan. Juran dan Godfrey (1999) mengatakan bahwa abad 20
adalah abad produktivitas, sedangkan abad 21 adalah abad kualitas/mutu.
Manajemen mutu menjadi isu kompetitif pada beberapa organisasi seperti di
Amerika Serikat bahkan mutu menjadi bagian dari agenda nasional.
Reformasi pendidikan vokasional di Romania dilakukan dalam
mengembangkan kerangka penjaminan mutu di tingkat nasional (Hart dan
Rogojinaru, 2007). Gvaramadze (2008) memprakarsai penjaminan mutu dengan
melakukan analisis tentang peningkatan mutu dan implikasi budaya mutu
perguruan tinggi di Eropa. Dieter (2009) mengembangkan suatu program
reformasi dalam ilmu-ilmu dasar, penelitian klinis, dan pelayanan pasien untuk
meningkatkan mutu output pada pendidikan kedokteran di Jerman.
2
Tuntutan reformasi pendidikan juga menyangkut pembaruan sistem di
berbagai bidang pendidikan. Hal lain yang juga penting adalah upaya
peningkatan mutu pendidikan perguruan tinggi sehingga mewujudkan
pendidikan yang bermutu, relevan dengan kebutuhan stakeholders, dan berdaya
saing dalam kehidupan global.
Paradigma baru manajemen pendidikan tinggi di Indonesia yaitu
peningkatan mutu secara berkelanjutan, otonomi, akuntabilitas, akreditasi dan
evaluasi perlu dicapai (Depdiknas, 2003). Penerapan sistem penjaminan mutu
(quality assurance) di suatu lembaga pendidikan tinggi sangat diperlukan
sehingga para lulusan mampu bersaing di pasar global dengan mutu yang baik
(Hadi, 2005).
Pemahaman beberapa pendapat di atas menegaskan bahwa tujuan utama
paradigma baru manajemen perguruan tinggi saat ini adalah terwujudnya suatu
sistem yang lebih dinamis dan efektif, sehingga menjamin terjadinya
peningkatan mutu secara berkesinambungan agar menghasilkan produk yang
selaras dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat pengguna. Perguruan tinggi
perlu melaksanakan sistem penjaminan mutu untuk menjamin agar mutu
pendidikan perguruan tinggi dapat dipertahankan dan ditingkatkan sesuai dengan
yang direncanakan/dijanjikan.
Mutu pembelajaran di perguruan tinggi merupakan sebuah isu strategis
karena hal tersebut merupakan faktor determinan bagi tercapainya tujuan
pembelajaran (Morley, 2003 cit. Hoecht, 2006). Namun demikian, banyak faktor
masih menghambat pelaksanaan pencapaian mutu pembelajaran yang baik.
3
Salah satu dari faktor-faktor tersebut adalah belum optimalnya mutu dalam
proses pembelajaran. Manajemen mutu pendidikan dapat dilakukan antara lain
dengan mengevaluasi pengaruh mutu pendidikan terhadap prestasi mahasiswa
setelah proses pembelajaran (Fry et al., 2009). Berdasarkan pengertian ini,
perguruan tinggi memiliki peran dalam mempersiapkan lulusan yang bermutu
untuk dapat dipertanggungjawabkan di dalam masyarakat.
Pengelolaan pendidikan tenaga kesehatan (Diknakes) merupakan
tantangan dalam rangka menghasilkan lulusan tenaga kesehatan yang
profesional, mandiri dan berdaya saing secara efisien dan efektif (Depkes,
2009b). Pengelolaan penjaminan mutu institusi di lingkungan Diknakes
dikembangkan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
secara kebijakan dibawah pimpinan institusi Diknakes, secara teknis fungsional
dibina oleh pembantu pimpinan bidang akademik dan secara operasional
dilaksanakan oleh unit penjaminan mutu (Kemenkes, 2010a).
Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan (Poltekkes Kemenkes)
merupakan sebuah Unit Pelaksana Teknis (UPT) di lingkungan Kementerian
Kesehatan. Keputusan Menkes RI Nomor OT.01.01.2.4.0375 tahun 2003 tentang
Pedoman Organisasi dan Tata Laksana Poltekkes menyebutkan bahwa Poltekkes
mempunyai tugas melaksanakan pendidikan yang bersifat vokasional dengan
jenjang D I, II, III dan/atau D IV, sesuai keputusan UU yang berlaku (Depkes,
2009a). Jurusan yang ditawarkan dalam lingkup Poltekkes Kemenkes adalah
jurusan Gizi, Analis Kesehatan, Kebidanan, Keperawatan, Kesehatan
Lingkungan, serta Keperawatan Gigi. Penyelenggaraan Jurusan Keperawatan
4
Gigi (JKG) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1035/Menkes/SK/IX/1998.
Kompetensi lulusan pendidikan keperawatan gigi dihasilkan melalui
proses pendidikan di institusi Pendidikan Diploma Keperawatan Gigi yang
diharapkan dapat berperan serta dalam upaya-upaya kesehatan gigi dan mulut
untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal (Depkes, 2009c).
Kompetensi perawat gigi Indonesia terdiri dari domain, kompetensi utama,
kompetensi penunjang, dan kemampuan dasar (Kemenkes, 2010b). Pendidikan
keperawatan gigi dituntut untuk mempunyai suatu kurikulum yang membantu
mahasiswa mencapai kompetensi yang diharapkan.
Proses pembelajaran di klinik adalah proses inti dalam pendidikan tenaga
kesehatan, oleh karena itu keberadaan standar kompetensi lulusan menjadi
sangat mutlak dan sifatnya strategis (Wellard et al., 2009). Pembelajaran klinik
selaras dengan pendidikan keperawatan gigi yang mengutamakan pembelajaran
praktik daripada teori. Schweek dan Gebbie, 1996 cit. Depkes, 2004
menyebutkan bahwa praktik klinik merupakan unsur utama dari perencanaan
kurikulum (the heart of the total curriculum plan).
Pembelajaran klinik menjadi faktor utama yang mendukung proses belajar
mengajar pada pendidikan keperawatan gigi untuk menghasilkan mutu lulusan
yang kompeten di bidangnya, hal ini sesuai pendapat Papp et al. (2003) bahwa
pembelajaran klinik adalah salah satu cara untuk meningkatkan kompetensi
profesional mahasiswa keperawatan. Mahasiswa diharapkan mempunyai
kompetensi yang menyeluruh berdasarkan pengetahuan, keterampilan, dan
5
pengalaman klinik yang sudah mereka dapatkan selama pendidikan. Tujuan
pembelajaran klinik pendidikan keperawatan gigi adalah menciptakan ahli
madya keperawatan gigi yang kompeten yaitu mampu mengelola pelayanan
asuhan kesehatan gigi dan mulut. Kemampuan dan keterampilan dasar yang
diberikan dalam pendidikan difokuskan dalam bidang promotif, preventif, dan
kuratif terbatas (Depkes, 2004).
Peningkatan mutu pembelajaran klinik pada pendidikan keperawatan gigi
menjadi faktor utama yang mendukung proses pendidikan vokasi untuk
meningkatkan kualitas lulusannya. Pengalaman pembelajaran praktik klinik
penting untuk mempersiapkan mahasiswa ke arah penerapan pengetahuan, sikap,
dan keterampilan profesional dengan memberi kesempatan mahasiswa melalui
proses pembelajaran dalam situasi nyata.
Pencapaian tujuan pembelajaran perlu didukung adanya sarana prasarana
yang memadai serta waktu yang cukup untuk pembelajaran (Lake dan Ryan,
2006). Stark et al. (2003) menyatakan pentingnya pembimbing klinik sebagai
role models, dan upaya peningkatan mutu pembelajaran klinik perlu dukungan
dana serta pelatihan keterampilan mengajar. Proses pembelajaran yang efektif
membutuhkan penyediaan sarana prasarana yang memadai termasuk media ajar
yang sesuai dengan kebutuhan.
Penggunaan media ajar dalam pembelajaran praktik klinik untuk
melengkapi dan membantu pembimbing dalam menyampaikan materi atau
informasi, adanya media ajar yang tepat diharapkan terjadi interaksi antara
6
pembimbing dengan mahasiswa dan antar mahasiswa secara maksimal sehingga
dapat mencapai hasil belajar sesuai tujuan pembelajaran.
Studi pendahuluan tentang implementasi model penjaminan mutu PDCA
(Plan, Do, Check, dan Act) pada pembelajaran klinik Jurusan Keperawatan Gigi
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta (lampiran 3) menunjukkan bahwa berdasarkan
pemetaan posisi mutu menggunakan diagram Kartesius maka upaya tindak lanjut
(follow up) yang menjadi prioritas utama program peningkatan mutu
pembelajaran klinik adalah pada indikator mutu aspek evaluasi (check) yaitu
penyediaan sarana prasarana yang memadai, khususnya kebutuhan media ajar
sebagai alat simulasi pada pembelajaran praktik skaling.
B. Rumusan Masalah
Penguasaan keterampilan praktik merupakan faktor yang penting dalam
menghasilkan tenaga perawat gigi yang berkualitas dan salah satu upaya yang
diperlukan adalah penyediaan media ajar yang memadai. Penggunaan media ajar
pada pembelajaran klinik penting karena keadaan mahasiswa sangat heterogen,
media ajar sebagai simulator membantu pembimbing klinik dalam
menyampaikan pesan-pesan atau materi pembelajaran praktik kepada mahasiswa
supaya lebih mudah dimengerti, lebih menarik, dan lebih menyenangkan
sehingga menambah motivasi dan lebih merangsang minat mahasiswa untuk
belajar.
Pembelajaran praktik skaling dilakukan dengan cara simulasi untuk
mencapai tingkat kompetensi shows hows (Dent dan Harden, 2009), yaitu
mahasiswa dapat melakukan atau mendemonstrasikan sebuah keterampilan pada
7
situasi yang terkendali. Simulasi pada praktik skaling merupakan usaha
menciptakan pengalaman menggunakan media ajar sebelum mahasiswa
menghadapi pasien sesungguhnya. Media ajar dalam bentuk model gigi yang
saat ini digunakan belum mirip dengan keadaan nyata pada pasien, model tidak
menampilkan tanda-tanda kelainan kalkulus, juga tidak dapat diatur posisinya
sesuai kebutuhan operator sehingga sering menyulitkan mahasiswa maupun
pembimbing praktik, hal ini menyebabkan pembelajaran praktik skaling menjadi
tidak efektif dan target pencapaian kompetensi mahasiswa menjadi tidak tuntas.
Media ajar praktik skaling yang realistik dibutuhkan supaya penyampaian
informasi yang berkaitan dengan keterampilan skaling lebih mudah dipahami,
menambah motivasi belajar mahasiswa, meningkatkan interaksi antar mahasiswa
maupun pembimbing dengan mahasiswa, sehingga meningkatkan mutu proses
dan produk pembelajaran. Berdasarkan latar belakang tersebut dirumuskan
masalah: Apakah pengembangan media ajar pada proses pembelajaran praktik
skaling berpengaruh terhadap prestasi mahasiswa?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum:
Untuk mengembangkan media ajar yang memadai pada pembelajaran
praktik skaling.
2. Tujuan Khusus:
Untuk mengetahui pengaruh intervensi menggunakan media ajar yang
dikembangkan pada praktik skaling terhadap prestasi mahasiswa dilihat dari
nilai kognitif dan nilai keterampilan.
8
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat untuk Pembangunan Pendidikan:
Pengembangan media ajar sebagai alat simulasi praktik mahasiswa
menjadi salah satu strategi dalam upaya penjaminan mutu pendidikan tenaga
kesehatan di Indonesia, khususnya pada pendidikan keperawatan gigi.
2. Manfaat bagi Pengembangan Ilmu:
Penelitian ini menambah penguatan mengenai prinsip-prinsip dan
langkah-langkah pembelajaran klinik pada pendidikan keperawatan gigi
sehingga menghasilkan tenaga perawat gigi yang kompeten di bidangnya.
E. Keaslian Penelitian
Fokus penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian terdahulu
yaitu peningkatan mutu pendidikan keperawatan gigi melalui pengembangan
media ajar praktik skaling berbasis implementasi model penjaminan mutu
PDCA pada pembelajaran klinik. Beberapa penelitian terdahulu mengenai
peningkatan mutu pembelajaran klinik di perguruan tinggi adalah sebagai
berikut:
Penelitian Snell et al. (2000) yang mendiskusikan pentingnya evaluasi
pembelajaran klinik bagi institusi perguruan tinggi (dosen dan program studi).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa model evaluasi dapat digunakan untuk
mengetahui hubungan antara proses pembelajaran dengan peran pembimbing,
selain itu dapat menjadi dasar untuk penelitian tentang hubungan antara mutu
pembelajaran dengan hasil yang diharapkan, perbaikan sistem pembelajaran,
serta nilai praktik klinik. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan
9
adalah mengevaluasi pembelajaran klinik, sedangkan perbedaannya adalah
konteks penelitian yang akan dilakukan adalah tindak lanjut evaluasi mutu
pembelajaran klinik keperawatan gigi.
Papp et al. (2002) menggambarkan pendapat mahasiswa keperawatan
mengenai pengalaman pembelajaran klinik. Metode penelitian yang digunakan
adalah metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi dari Colaizzi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran klinik merupakan salah satu cara
untuk meningkatkan kompetensi profesional seorang perawat. Keseluruhan
responden (16 mahasiswa) menyatakan terciptanya lingkungan pembelajaran
klinik yang baik karena didukung adanya kerjasama antara institusi dengan staf
klinik. Persamaan dengan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan
yaitu menggunakan pendapat mahasiswa tentang pengalaman pembelajaran
klinik. Perbedaannya adalah penelitian yang akan dilakukan untuk mengetahui
mutu pembelajaran klinik sekaligus mengkaji pengaruh upaya tindak lanjut
peningkatan mutu pembelajaran klinik terhadap output proses pembelajaran.
Stark (2003) meneliti tentang persepsi mahasiswa kedokteran dan
pembimbing klinik tentang mutu proses pembelajaran klinik. Metode penelitian
yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dan teknik pengumpulan data
dilakukan dengan wawancara semistruktur. Hasil penelitian menunjukkan
pentingnya pembimbing klinik sebagai role models, dan upaya peningkatan
mutu pembelajaran klinik perlu dukungan dana serta pelatihan keterampilan
mengajar. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan
10
adalah konteks pembelajaran klinik perawat gigi dan metode penelitian yang
digunakan yaitu pendekatan kuantitatif.
Penelitian Stokroos et al. (2003) untuk mengetahui efektivitas
pembelajaran klinik sebuah fakultas kedokteran di Amsterdam. Metode
penelitian yang digunakan adalah studi kualitatif, responden terdiri dari 19
mahasiswa yang dibagi dalam 2 kelompok. Penelitian ini menyatakan bahwa
supervisi pembimbing dan umpan balik (feedback) yang konstruktif merupakan
kunci utama efektivitas pembelajaran klinik dan merekomendasi upaya
peningkatan mutu pada komponen-komponen pembelajaran klinik meliputi
mahasiswa, pembimbing, lingkungan, serta cara pembelajaran mandiri.
Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah melihat efektivitas
pembelajaran klinik berdasarkan persepsi mahasiswa, sedangkan perbedaannya
adalah rekomendasi-rekomendasi yang diberikan dalam rangka program
peningkatan mutu pembelajaran klinik.
Varma et al. (2005) membahas tentang pentingnya umpan balik
mahasiswa terhadap perubahan kurikulum baru pada delapan rumah sakit
pendidikan di Inggris. Metode penelitian yaitu penggunaan kuisioner DREEM
untuk mengukur educational environment pada 206 mahasiswa setelah
mengikuti modul pembelajaran. Kesimpulan penelitian ini adalah skor DREEM
mahasiswa tidak ada perbedaan yang bermakna (p=0.811) walaupun mahasiswa
berasal dari institusi pendidikan yang berbeda-beda. Persamaan dengan
penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian ini juga menggunakan
inventory DREEM sebagai salah satu acuan pembuatan instrumen evaluasi mutu
11
pembelajaran klinik keperawatan gigi dan perbedaannya adalah pada bentuk
intervensi yang dilakukan untuk meningkatakan mutu pembelajaran klinik.
Walasek et al. (2011) menyajikan model penjaminan mutu PDCA dalam
proyek E-learning pada fakultas Teknik Universitas Czestochowa untuk
menjamin mutu implementasi pembelajaran secara on line. Hasil penelitian
menunjukkan model PDCA dapat menjamin dan meningkatkan mutu proses
pembelajaran secara on line. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang
akan dilakukan adalah penggunaan model penjaminan mutu PDCA sebagai
indikator mutu pembelajaran klinik, sedangkan perbedaannya adalah bahwa
aspek-aspek PDCA kontennya disesuaikan pendidikan keperawatan gigi dan
pada metode penelitian yang digunakan.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pembelajaran Klinik Pendidikan Keperawatan Gigi
1. Pengertian
Kegiatan belajar dari keseluruhan proses pendidikan merupakan
kegiatan yang paling pokok dan memegang peranan yang sangat penting. Hal
ini berarti berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung
pada proses belajar yang dialami individu yang belajar, di samping adanya
faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar tersebut. Belajar adalah
proses alami yang menghasilkan perubahan apa yang ingin diketahui, apa
yang dapat dikerjakan, dan bagaimana melakukannya (Gagne et al., 1992).
Hamalik (2009) mengatakan bahwa belajar adalah suatu proses dan
bukan suatu hasil, belajar berlangsung secara aktif dan integratif dengan
menggunakan berbagai bentuk perbuatan untuk mencapai suatu tujuan,
sedangkan menurut Notoatmodjo (2007) bahwa dalam proses belajar terdapat
tiga persoalan yang fundamental yaitu masukan (input), proses (process), dan
keluaran (output).
Ormrod (2009) mendefinisikan belajar sebagai perkembangan mental
dalam jangka waktu yang panjang atau sebagai hasil dari pengalaman, dan
belajar yang efektif adalah melalui pengalaman. Proses belajar terjadi apabila
seseorang berinteraksi langsung dengan obyek belajar dengan menggunakan
semua alat indera. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan
bahwa pengertian belajar adalah uatu proses interaksi individu dengan
13
lingkungannya, menghasilkan perubahan-perubahan dalam sikap,
pengetahuan, dan keterampilan.
Teori belajar yang sesuai dengan pembelajaran di klinik adalah
penggabungan antara teori sosial kognitif dan konstruktivistik yang
dilaksanakan dalam lingkungan pekerjaan nyata. Teori sosial kognitif
menyatakan bahwa perilaku individu dalam proses belajar tidak semata-mata
karena refleks otomatis dari stimulus, tetapi juga akibat adanya interaksi
timbal balik dengan tingkah laku individu lain disekitarnya. Teori sosial
kognitif merupakan gabungan teori behavioristik dengan reinforcement dan
teori kognitif yang menekankan fungsi kognitif. Pembelajaran terjadi dengan
cara mengamati (observasi), peniruan (imitasi), dan contoh (modelling) dan
menganggap pentingnya faktor penguat (reinforcement) untuk mendapatkan
hasil pembelajaran yang dikehendaki (Bandura, 1989 cit. Ormrod, 2009).
Teori konstruktivistik atau kognitif menekankan pada proses internal
pembelajaran yang terjadi di dalam akal (mind) meliputi ingatan, retensi,
pengolahan informasi, emosi dan faktor lain. Teori ini berkembang dari hasil
penelitian Piaget, teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi. Proses
belajar tidak terjadi secara tiba-tiba tetapi dibangun sedikit demi sedikit dan
diperluas melalui konteks yang terbatas. Teori ini menyatakan bahwa dalam
belajar, manusia harus mengkonstruksi pengetahuan, menemukan sendiri, dan
mentransformasikan informasi kompleks, serta memberi makna melalui
pengalaman nyata (Ormrod, 2009).
14
Pembelajaran adalah proses interaksi antara peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar (pasal 1 UU RI
No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Jihad dan Haris (2010)
mengatakan pembelajaran merupakan proses komunikasi antara peserta didik
dengan pendidik serta antar peserta didik dalam rangka perubahan sikap.
Pembelajaran adalah inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dan
pendidik memegang peranan utama.
Pembelajaran praktik klinik adalah proses interaksi peserta didik
dengan pasien di bawah bimbingan dan supervisi yang dilakukan
pembimbing/instruktur klinik. Proses pembelajaran klinik bersifat
menyeluruh dan terpadu sesuai kompetensi yang akan dicapai, dengan
pendekatan student centered learning akan memudahkan mahasiswa
mencapai kompetensi yang ditetapkan kurikulum (Harsono, 2008). Proses
pembelajaran keterampilan praktik klinik memberikan pengalaman klinis
bagi mahasiswa yaitu langsung berhadapan dengan pasien selama proses
pembelajaran, mahasiswa secara langsung melakukan kontak dengan pasien
dengan kasus klinis yang sesungguhnya (Collin dan Harden, 1998).
Pada pembelajaran klinik, mahasiswa akan menemukan tanda dan
gejala klinis yang nyata pada pasien yang kadang-kadang tidak dapat
ditemukan pada teknik simulasi dan laboratorium, mahasiswa juga lebih
mempunyai motivasi untuk mempelajari kasus-kasus pasien yang ditemukan
dan mendapatkan pengalaman klinis. Pada saat yang sama, mahasiswa juga
melihat dosen atau instruktur pembimbing klinik melakukan penatalaksanaan
15
terhadap pasien, sehingga pengalaman ini akan dijadikan sebagai contoh (role
model) secara profesional (Dimoliatis et al., 2010; Dornan et al., 2003;
Hutchinson, 2003).
Pembelajaran klinik memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk
mendapatkan pengalaman nyata dalam mencapai kompetensi yang
dibutuhkan dalam pelaksanaan tugas-tugas tertentu. Kolb (1984) dalam
experiental learning theory mengatakan bahwa pembelajaran akan lebih
efektif ketika didasarkan pada pengalaman. Dalam proses pembelajaran
klinik, mahasiswa diharapkan mampu mengembangkan tanggung jawab
profesi, berpikir secara kritis, mempunyai kreativitas, hubungan interpersonal,
pemahaman terhadap profesi dan aspek sosial budaya, serta mengaplikasikan
teori ke dalam praktik klinik (Depkes, 2009c). Nursalam (2007) mengatakan
pembelajaran klinik merupakan suatu proses sosialisasi mahasiswa dalam
mendapatkan pengalaman nyata untuk mencapai keterampilan profesional,
intelektual, sikap dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien.
Proses pembelajaran dilaksanakan dengan berbagai strategi dan teknik
yang mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis, bereksplorasi dan berkreasi
memanfaatkan berbagai sumber pembelajaran. Knowles et al. ( 2005)
mengatakan bahwa pembelajaran klinik mengikuti kaidah pembelajaran pada
orang dewasa (andragogi) sebagai berikut: a) orang dewasa mampu
menentukan kebutuhan pembelajaran dan mengetahui cara untuk
mendapatkannya dan mampu mengarahkan diri sendiri, b) orang dewasa
mempunyai pengalaman yang beragam, c) orang dewasa siap belajar secara
16
efektif, d) orientasi belajar orang dewasa bersifat problem centered atau
performance centered, e) motivasi belajar orang dewasa timbul dari diri
sendiri daripada pengaruh dari luar (external motivation).
2. Kompetensi Klinik
Pengertian kompetensi menurut Kepmendiknas 045/U/2002 adalah
seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang
sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan
tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu. Kompetensi klinik merupakan
kompetensi dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan klinis yang
berhubungan dengan proses penegakan diagnosis dan perawatan pasien.
Tujuan pembelajaran merupakan rumusan yang luas mengenai hasil-
hasil pendidikan yang diinginkan atau target pembelajaran yaitu tercapainya
hasil yang optimal terhadap kognitif, psikomotorik, dan afektif (Hamalik,
2009). Tujuan pembelajaran klinik adalah membentuk kompetensi
profesional, yaitu kemampuan dan kecakapan melakukan berbagai aspek
mulai dari melakukan komunikasi dan anamnesis, pemeriksaan fisik,
mendiagnosis, merencanakan dan melakukan penatalaksanaan tindak lanjut
terhadap kasus yang ditangani, serta berbagai tindakan lain bila dibutuhkan.
Seorang mahasiswa baru bisa menyelesaikan pendidikannya apabila
telah mempunyai kompetensi sesuai dengan standar minimal yang telah
ditentukan (Nursalam, 2007). Pencapaian kompetensi pembelajaran klinis
adalah hasil proses pembelajaran selama pendidikan dan berkembang
17
sepanjang waktu, hal ini sangat tergantung juga dengan peran pembimbing
klinik, peer group, dan lingkungan pembelajaran (Leach, 2004).
Kompetensi para lulusan menjadi sangat penting karena adanya isu
pendaftaran ijin praktik, perlindungan publik, lapangan kerja dan karir. Pihak
penyedia lapangan kerja dan pihak yang berwenang lainnya mengharapkan
layanan dari profesional kesehatan yang kompeten (Emilia, 2008).
Pemahaman dari beberapa pendapat mengenai kompetensi yaitu kompetensi
dapat digambarkan sebagai kemampuan mahasiswa membangun
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang didasarkan pada pengalaman dan
pembelajaran. Kompetensi lulusan merupakan modal untuk bersaing di
tingkat global. Pembelajaran di lingkungan klinik sangat penting untuk
mengembangkan kompetensi mahasiswa (Wimmers et al., 2006).
Pendidikan Diploma III Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes
menghasilkan Ahli Madya Keperawatan Gigi menerapkan kurikulum berbasis
kompetensi yang tertuang dalam standar kompetensi perawat gigi yang
mencakup kualifikasi kemampuan meliputi sikap, pengetahuan, dan
keterampilan yang harus dimiliki oleh lulusan pendidikan perawat gigi
(Kemenkes, 2010b).
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Hasil Pembelajaran
Mahasiswa keperawatan menghargai praktik klinik dan kemungkinan-
kemungkinan yang ditawarkan dalam proses tumbuh menjadi seorang
perawat dan seorang profesional. Program studi seharusnya mampu
menyediakan lingkungan pembelajaran klinik yang sesuai dengan waktu yang
18
direncanakan, sehingga teori dan praktik akan saling melengkapi (Papp et al.,
2003).
Proses pembelajaran yang efektif dan strategi pembelajaran
berhubungan dengan prestasi belajar mahasiswa (Buchel dan Edwards, 2005).
Aspek-aspek lain yang juga berperan dalam keberhasilan suatu pembelajaran
di antaranya adalah situasi pembelajaran, motivasi, jenis kelamin, strategi
pembelajaran, serta latar belakang budaya (Sari et al., 2008). Syah (2010)
menyatakan bahwa keberhasilan mahasiswa dalam belajar dipengaruhi faktor
internal dan faktor eksternal, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Faktor Internal
Faktor internal pada hakekatnya adalah faktor psikologis seseorang
yaitu berasal dari dalam diri manusia dan mendorong manusia untuk
berbuat sesuatu. Faktor internal meliputi:
1) Sikap
Azwar (2008) menyatakan bahwa sikap mempunyai 3 komponen
yaitu kognitif, afektif, dan konatif. Komponen kognitif berisi persepsi
dan kepercayaan individu mengenai sesuatu. Komponen afektif
merupakan perasaan individu terhadap obyek sikap baik positif maupun
negatif. Komponen konatif disebut juga komponen perilaku, yaitu
komponen sikap yang berkaitan dengan tendensi atau kecenderungan
bertindak terhadap obyek sikap yang dihadapinya.
Menurut Syah (2010) sikap adalah gejala internal yang
berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau
19
merespon dengan cara yang relatif tetap terhadap obyek baik secara
positif maupun negatif.
2) Minat dan Bakat
Menurut Syah (2010) minat adalah interest, berarti
kecenderungan dan kegairahan yang tinggi terhadap suatu obyek. Minat
dapat mempengaruhi pencapaian hasil belajar karena pemusatan
perhatian yang intensif memungkinkan peserta didik belajar lebih giat
untuk mencapai apa yang diinginkannya, sedangkan Slameto (2010)
mengatakan minat adalah suatu rasa lebih suka atau rasa keterikatan
pada suatu hal atau aktivitas. Minat besar sekali pengaruhnya terhadap
kegiatan seseorang, minat pada dasarnya adalah penerimaan akan suatu
hubungan antara dirinya dengan sesuatu di luar dirinya. Semakin kuat
atau semakin dekat hubungan itu berarti minatnya semakin besar.
Djamarah (2008) menyatakan minat belajar yang besar cenderung
menghasilkan prestasi yang tinggi, sebaliknya minat belajar yang
kurang akan menghasilkan prestasi yang rendah. Bakat atau aptitude
seseorang menunjukkan sesuatu yang bersifat potensial daripada suatu
kemampuan untuk belajar maupun bekerja. Setiap individu pasti
memiliki bakat atau berpotensi mencapai prestasi dan bakat dapat
mempengaruhi besarnya pencapaian prestasi tersebut (Semiawan,
2009).
20
3) Motivasi
Sumiati dan Asra (2007) menyatakan motivasi dapat memberi
semangat terhadap seseorang untuk berperilaku dan memberi arah
dalam belajar. Motivasi merupakan keinginan yang ingin dipenuhi dan
timbul jika ada rangsangan baik karena adanya kebutuhan maupun
minat terhadap sesuatu. Menurut Santrock (2009) motivasi merupakan
kekuatan, energi atau dorongan seseorang yang dapat menimbulkan
keinginan untuk melakukan suatu kegiatan, baik yang berasal dari
dalam diri (motivasi internal) maupun dari luar (motivasi eksternal).
Pada pembelajaran klinik mahasiswa menjadi termotivasi oleh
proses yang relevan dan partisipasi aktif karena pembelajaran klinik
berpusat pada masalah yang nyata dalam konteks praktik profesional
(Spencer, 2003). Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat
dikatakan bahwa motivasi lebih ditekankan pada proses daripada
produk yang dihasilkan.
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar diri
manusia meliputi:
1) Dukungan Orang Tua dan Keluarga
Syah (2010) mengatakan bahwa lingkungan sosial yang lebih
banyak memepengaruhi keberhasilan belajar adalah orang tua dan
keluarga peserta didik itu sendiri. Orang tua yang mampu mendidik
dengan baik, mampu berkomunikasi dan penuh perhatian terhadap
21
anak, mengetahui kebutuhan dan kesulitan yang dihadapi anak, serta
mampu menciptakan hubungan baik dengan anak-anaknya berpengaruh
besar terhadap keberhasilan belajar anak atau sebaliknya (Sunaryo,
2004).
2) Tenaga Pengajar/Pembimbing
Penguasaan keterampilan praktik merupakan elemen penting dari
mutu lulusan tenaga kesehatan. Peran pengajar/pembimbing dalam
proses pembelajaran sangat penting karena pengajar berfungsi sebagai
perencana pembelajaran, pembimbing, pengelola, maupun penilai hasil
belajar (Slameto, 2010).
Peran pembimbing klinik menurut Mandriawati (1998) adalah
sebagai: a) konselor atau sebagai problem solver, yaitu membantu
peserta didik memecahkan masalah-masalah yang ditemukan khususnya
dalam mencapai tujuan pembelajaran, b) manajer, yaitu mempunyai
tugas dan tanggung jawab dalam perencanaan, pengelolaan, dan proses
penyelenggaraan pembelajaran klinik, c) pembimbing, yaitu
membimbing peserta didik dalam mengaplikasikan teori sesuai kasus-
kasus yang ditemukan dan melatih keterampilan peserta didik dalam
mengelola pasien, d) fasilitator, yaitu membantu peserta didik dalam
melengkapi fasilitas yang diperlukan dalam proses pembelajaran klinik.
Kinerja pembimbing klinik harus baik, pembimbing harus
menginformasikan jadual kegiatan praktik, memberi penilaian dan
22
umpan balik, serta mempunyai waktu yang cukup untuk membimbing
mahasiswa.
3) Sarana dan Prasarana
Proses pembelajaran akan semakin berhasil bila ditunjang dengan
sarana prasarana pendidikan yang memadai. Sarana pendidikan adalah
peralatan dan perlengkapan yang secara langsung dipergunakan untuk
menunjang proses pembelajaran seperti gedung, alat-alat/media
pembelajaran, dan lain-lain. Prasarana pendidikan adalah fasilitas yang
secara tidak langsung menunjang proses pembelajaran seperti halaman,
taman, asrama, dan lain-lain (Slameto, 2010).
Menurut Arikunto (2002) sarana atau alat pendidikan antara lain
alat peraga, alat praktikum, alat media pembelajaran seperti over head
proyector (OHP), white board, dan lain sebagainya. Fasilitas pada skills
lab untuk membangun sebuah fondasi dalam berbagai keterampilan
yang kemudian diasah dan diperkaya melalui pengalaman belajar yang
dilakukan dalam praktik klinik (Bradley dan Postlethwaite, 2003).
Model gigi adalah salah satu media ajar sebagai alat simulasi yang
digunakan pada pembelajaran praktik di skills lab/preklinik
keperawatan gigi.
B. Pengembangan Media Ajar pada Praktik Skaling
1. Pengertian Media Ajar
Media adalah segala bentuk atau saluran yang dipergunakan untuk
proses penyaluran informasi. Media pembelajaran dapat dipahami sebagai
23
segala sesuatu bisa berupa orang, bahan, peralatan atau kegiatan yang
digunakan untuk menyalurkan pesan yang dapat merangsang pikiran,
perasaan, perhatian, dan kemauan peserta didik sehingga mendorong
keinginan untuk belajar pada dirinya.
Kedudukan media ajar sejajar dengan metode pembelajaran, karena
metode yang dipakai dalam suatu proses pembelajaran akan menuntut jenis
media yang digunakan sehingga bisa diintegrasikan dan diadaptasikan dengan
kondisi yang dihadapi. Paradigma pembelajaran adalah suatu proses transfer
pengetahuan, keterampilan/psikomotorik dari pendidik kepada peserta didik,
maka posisi media ajar digambarkan dan disejajarkan dengan proses
komunikasi atau proses pembelajaran (Depdiknas, 2008b).
Peran media ajar pada proses pembelajaran menurut Arsyad (2006) ada
2 (dua) teori yaitu: a) teori Brunner yang menyebutkan bahwa ada tiga
tingkatan modus utama belajar yaitu belajar melalui pengalaman langsung,
melalui gambar/piktorial, melalui pengalaman abstrak (simbolik). Ketiga
tingkatan tersebut saling berinteraksi untuk membangun pengetahuan,
keterampilan dan sikap seseorang, b) teori Dale yang membuat 12 tingkatan
pengalaman belajar/ kerucut pengalaman Dale (Dale’s Cone of Experience).
Kerucut Dale (Gambar 1) disusun berdasarkan tingkat keabstrakan,
yaitu dari tingkatan paling kongkrit sampai paling abstrak. Menurut teori
Dale, proses belajar merupakan proses komunikasi, dalam hal ini tugas
pengajar adalah menyampaikan pesan. Pesan disampaikan melalui lambang-
lambang (coding) yang diterima dan ditafsirkan mahasiswa sebagai pesan
24
(decoding), proses ini sangat dipengaruhi indera yang digunakan mahasiswa,
semakin banyak indera yang digunakan maka semakin banyak hasil belajar
yang diperoleh.
Gambar 1. Kerucut Dale
Mappin et al., 2002 cit. Yoyo, 2007 mengelompokkan media ajar
menjadi dua jenis, yaitu: a) berdasarkan karakteristik fisik yaitu media cetak
(teks), gambar mati (foto, gambar), gambar hidup (film, video), audio (tape,
rekaman) dan obyek nyata (demonstrasi), b) berdasarkan kanal sensoris yaitu
audio (suara dosen), visual (gambar, tulisan kapur tulis), audio visual (video
tape) dan taktil/kinestetik (model kerja).
2. Syarat-syarat Media Ajar
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam rancangan instruksional media
ajar adalah media ajar harus mampu menarik perhatian dan memberi
rangsangan kepada mahasiswa, dapat menjelaskan tujuan pembelajaran,
memfasilitasi pengetahuan awal mahasiswa sesuai materi yang sedang
dipelajari, menyajikan materi yang dapat dan mudah diingat, memberi
kesempatan kepada mahasiswa untuk berlatih, memberikan tanggapan
KONGKRITKONGKRIT
ABSTRAKABSTRAK
PENGALAMAN LANGSUNGPENGALAMAN LANGSUNGPENGALAMAN TIRUANPENGALAMAN TIRUAN
PENGALAMAN DRAMATAISASIPENGALAMAN DRAMATAISASI
DARMAWISATADARMAWISATA
PERCONTOHANPERCONTOHAN
PAMERANPAMERAN
AUDIO VISUALAUDIO VISUAL
GBR HIDUPGBR HIDUP
L.VISUALL.VISUAL
L.AUDIOL.AUDIO
RASIONAL PENGGUNAAN MEDIA
KERUCUT PENGALAMAN Gambar 1. Kerucut Dale
25
(feedback) terhadap mahasiswa, menilai kemampuan mahasiswa,
memberikan situasi yang mirip dengan kenyataan, serta memberi latihan bagi
mahasiswa (Gagne et al., 1992).
Pemilihan media ajar juga harus memperhatikan beberapa faktor yaitu:
a) rancangan instruksional, b) tujuan yang ingin dicapai, c) karakteristik
mahasiswa, dan d) kepraktisan media (Arsyad, 2006). Kepraktisan media
menjadi dasar pertimbangan pemilihan media yang dikaitkan dengan: a)
media itu sendiri yaitu kelebihan dan kekurangan media, b) pengguna media
yaitu kemampuan/kenyamanan pengguna, biaya pembuatan, ketersediaan alat
untuk menggunakan, luas dan interior ruangan yang diperlukan (Gagne et al.,
1992; Yoyo, 2007).
Dent dan Harden (2009) menyatakan simulasi adalah seseorang,
seperangkat peralatan, atau pengaturan kondisi yang mencoba untuk
mengemukakan masalah pasien secara nyata. Sikap profesional praktisi
kesehatan yang mampu menerapkan keterampilan klinik dalam menangani
masalah pasien pada situasi nyata dapat diprediksi melalui pengamatan ketika
melakukan simulasi pada clinical setting. Clinical setting membutuhkan
simulator, antara lain model anatomi/model fisiologik. Model anatomi yang
tidak realistik membuat simulasi menjadi tidak realistik juga, dan lebih
memprihatinkan bila simulasi tanpa model maka pembelajaran dapat menjadi
lebih mahal dan banyak intervensi langsung kepada pasien (Kyle dan Murray,
2008).
26
Simulasi dapat dikategorikan sebagai berikut: a) cases studies dan role-
plays yaitu bentuk simulasi yang sangat sederhana. Alat yang dibutuhkan
cukup kertas dan pensil atau bahan lainnya yang murah. Simulasi ini lebih ke
arah peningkatan pengetahuan dan sikap peserta didik, b) part-task trainers,
bentuk simulasi ini ada beberapa macam mulai dari manikin sampai pasien
simulasi yang standar, bermanfaat meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan klinik. Alat yang digunakan disesuaikan dengan metode
pembelajaran, biaya lebih murah dibandingkan menggunakan pasien simulasi,
c) full mission simulation, bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap peserta didik. Pembiayaannya cukup variatif, mulai
dari sedang sampai mahal (Kyle dan Murray, 2008).
Pemahaman dari beberapa pendapat di atas bahwa syarat-syarat
pemilihan media ajar antara lain harus mempertimbangkan faktor ekonomis,
praktis dan sederhana, mudah diperoleh, bersifat fleksibel, dan komponen-
komponen media ajar sesuai dengan tujuan pembelajaran.
3. Penggunaan Media Ajar pada Praktik Skaling
Prasyarat mahasiswa keperawatan gigi sebelum mengikuti
pembelajaran klinik adalah mahasiswa harus lulus pembelajaran
preklinik/skills lab terlebih dahulu. Pusat keterampilan klinik (skills
lab/preklinik) memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar dan
berlatih keterampilan pada model sebelum mempraktikkan pada situasi yang
sesungguhnya (Jones, 2005). Keterampilan mahasiswa dikembangkan untuk
27
mencapai tujuan pendidikan diantaranya adalah keterampilan pada pusat
keterampilan klinik (Dent, 2001).
Skills lab adalah sebuah lingkungan yang aman, tidak memberikan
ancaman, fasilitas pembelajaran preklinik/skills lab dapat digunakan untuk
pengembangan berbagai keterampilan, dukungan formal melalui pengawasan
dan umpan balik pembimbing, serta memberi kesempatan mahasiswa untuk
belajar praktik mandiri (Bradley dan Postlethwaite, 2003; Bradley et al.,
2006). Pembelajaran praktik di skills lab perlu dilengkapi media ajar sebagai
alat simulasi untuk melatih keterampilan mahasiswa sebelum menangani
pasien sesungguhnya. Hal-hal yang mendukung pentingnya pembelajaran
berbasis simulasi antara lain: mahasiswa memperoleh kemampuan teknis
yaitu keterampilan psikomotor, teori pembelajaran, pentingnya review,
asistensi, serta pembelajaran dalam konteks profesional (Kneebone dan
Nestel, 2005).
Pembelajaran praktik skills lab di JKG dilaksanakan di laboratorium
yang memungkinkan mahasiswa memperoleh pengalaman, pengetahuan, dan
keterampilan yang diperoleh melalui metode simulasi, demonstrasi, role play
dan/atau dental unit/chair side teaching/practice. Kegiatan praktik meliputi
praktik anatomi gigi, konservasi gigi, skaling, dan fissure sealant (Kemenkes,
2011). Situasi belajar untuk mencapai suatu kompetensi, terkait dengan
keterampilan tertentu memerlukan peralatan sesungguhnya atau simulasi
misalnya pada praktik skaling atau pembersihan karang gigi diperlukan media
ajar berupa suatu model gigi sebagai alat simulasi.
28
Tujuan pembelajaran praktik skaling meliputi 3 domain yaitu
pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Praktik skaling dalam domain
pengetahuan (knowledge) dapat menggunakan berbagai jenis media ajar.
Domain keterampilan (skills) media ajar yang dipilih adalah media yang lebih
kongkrit, yaitu demonstrasi, simulasi, dan pengalaman langsung. Domain
sikap (afektif), media ajar paling sederhana yang dapat dipilih untuk domain
ini adalah pengajar dan hasil pembelajaran akan menjadi lebih baik jika
sejak awal mahasiswa mendapatkan pengalaman yang lebih nyata.
Peran media ajar pada pembelajaran keterampilan di skills lab sangat
penting dan harus dipersiapkan dalam merancang suatu pengajaran (Yoyo,
2007). Media ajar mempunyai manfaat untuk memperjelas pesan dan
informasi yang ingin disampaikan kepada mahasiswa sehingga mampu
meningkatkan proses dan hasil belajar, meningkatkan dan mengarahkan
perhatian mahasiswa sehingga dapat meningkatkan motivasi dan interaksi
antar mahasiswa, mengatasi keterbatasan ruang dan waktu, serta memberikan
kesamaan belajar kepada seluruh mahasiswa (Arsyad, 2006).
C. Sistem Penjaminan Mutu pada Pendidikan Keperawatan Gigi
1. Mutu dan Penjaminan Mutu di Perguruan Tinggi
a. Pengertian
Pengertian mutu (quality) antara lain adalah sebagai berikut: 1)
kesesuaian dengan standar, harapan stakeholders, atau pemenuhan janji
yang telah diberikan (UGM, 2006), 2) suatu keadaan dari hasil atau jasa
yang sesuai atau melebihi harapan konsumen (Suyudi, 1995), 3) unggulan,
29
sesuai dengan tujuan, usaha mencapai kesuksesan, bentuk dasar keputusan
akreditasi, untuk menambah nilai, dan fokus mutu adalah efisiensi yang
berhubungan dengan akuntabilitas, dan kepuasan konsumen (Green, 1994
cit. AUN-QA, 2006), 4) pencapaian tujuan pendidikan dan kompetensi
lulusan yang telah ditetapkan dalam rencana strategis institusi atau
kesesuaian dengan standar yang telah ditentukan (Sallis, 2003), 5) tingkat
keunggulan suatu produk baik berupa barang maupun jasa, baik tangible
maupun intangible (Umaedi, 1999).
Mutu dapat dilihat sebagai bagian dari suatu produk atau pelayanan,
yang menjadi obyek utama (seperti mutu pendidikan), atau tergantung dari
persepsi konsumen (kepuasan mahasiswa) sebagai subyek utama (Gaalen,
2010). Mutu merupakan tanggungjawab perguruan tinggi. Mutu perguruan
tinggi adalah pencapaian tujuan pendidikan dan kompetensi lulusan yang
telah ditetapkan oleh institusi perguruan tinggi atau kesesuaian dengan
standar yang telah ditentukan.
Pengertian penjaminan mutu (quality assurance) pada perguruan
tinggi antara lain sebagai berikut: 1) proses yang didesain untuk
mengidentifikasi, menganalisis, dan mengeliminasi variasi atau dampak
dalam proses dan keluaran (Donabedian, 1988 cit. Leahy et al., 2009), 2)
fenomena yang sangat kompleks sesuai kebutuhan stakeholders
(Kohoutek, 2009), 3) proses penetapan dan pemenuhan standar mutu
pengelolaan pendidikan tinggi secara konsisten dan berkelanjutan,
sehingga stakeholders (mahasiswa, orang tua, dunia kerja, pemerintah,
30
dosen, tenaga penunjang, serta pihak lain yang berkepentingan) akan
memperoleh kepuasan (Depdiknas, 2003), 4) semua kegiatan yang
bertujuan menjamin mutu pendidikan yang meliputi: pengumpulan data
tentang mutu, penggunaan data untuk mencapai kesepakatan dalam
mengatasi kesenjangan antara harapan dan kenyataan, cara meningkatkan
mutu, serta mendiskusikan cara pencapaian mutu pendidikan sesuai
harapan (Visscher, 2009); 5) semua kegiatan yang sistematis dan
direncanakan untuk menyajikan kepercayaan yang adekuat sehingga
produk atau pelayanan yang diberikan kepada konsumen sesuai dengan
standar mutu yang telah ditetapkan (Brown, 2004).
Tingkatan-tingkatan penjaminan mutu pada perguruan tinggi yaitu
sebagai berikut:
Tabel 1. Tingkatan penjaminan mutu pada perguruan tinggi (Gaalen, 2010)
Tingkatan Contoh fokus mutu Subsidi dan program internasional Kriteria dengan belajar sepanjang
hidup Kebijakan nasional Kriteria untuk aplikasi pendanaan Institusi perguruan tinggi Akreditasi/proses mutu Program studi Akreditasi/proses mutu Pengajaran dan pembelajaran Tujuan pembelajaran Mahasiswa Mutu pelayanan
Laffel dan Blumenthal, 1989 cit. Leahy et al., 2009 mengatakan
bahwa proses penjaminan mutu merupakan subyek dari suatu kegiatan
evaluasi dan obyek dari proses peningkatan mutu yang berkelanjutan
untuk memenuhi kebutuhan, harapan, serta kepuasan konsumen. Tujuan
penjaminan mutu adalah memelihara dan meningkatkan mutu pendidikan
31
tinggi secara berkelanjutan, yang dijalankan oleh suatu perguruan tinggi
secara internal untuk mewujudkan visi dan misinya serta untuk memenuhi
kebutuhan stakeholders melalui penyelenggaraan Tridharma Perguruan
Tinggi (Kemenkes, 2009).
Pemahaman dari beberapa pengertian penjaminan mutu adalah
penjaminan mutu merupakan proses penetapan dan pemenuhan standar
mutu pengelolaan perguruan tinggi yang dilaksanakan secara konsisten
dan berkelanjutan, sehingga semua pemangku kepentingan memperoleh
kepuasan. Dalam menjalankan suatu proses penjaminan mutu, diperlukan
suatu proses evaluasi yang komprehensif dan tindakan korektif terhadap
keseluruhan proses.
Tabel 2. Alasan dan strategi peningkatan mutu suatu perguruan tinggi (Gaalen, 2010)
Tujuan
internasionalisasi Instrumen dan Strategi
Keluaran/efek
Makro Perdamaian dunia Beasiswa Intergrasi sosial Internasional Pertumbuhan ekonomi
Keserasian antara sistem pendidikan dan QA
Kompetisi sistem perguruan tinggi pada dunia pendidikan
Nasional Kualitas tenaga kerja
Rekruitmen internasional
Pendidikan/peningkatan keterampilan tenaga kerja
Meso Institusi Kemampuan dan
kualitas mahasiswa dan staf
Kesepakatan dengan partner internasional
Membangun reputasi
Mikro Program studi Peningkatan mutu
pendidikan Internasionalisasi dalam negeri
Kepuasan mahasiswa dan pengguna/industri, membangun reputasi
Mahasiswa Pengalaman pembelajaran yang menarik
Belajar ke luar negeri, kerjasama internasional, dll
Kemampuan diri dan kesempatan kerja yang lebih baik
32
Yunus (2007) mengatakan bahwa prinsip-prinsip untuk peningkatan
mutu perguruan tinggi antara lain adanya kepemimpinan yang baik,
memberdayakan dan melibatkan semua unsur perguruan tinggi,
memberikan kepuasan kepada mahasiswa, orang tua dan masyarakat.
Proses pencapaian mutu memerlukan partisipasi dari semua pihak baik
internal maupun eksternal dan mutu hanya dapat diukur menggunakan
suatu produk (Eggertsson, 1990 cit. Westerheijden et al., 2007).
b. Model Penjaminan Mutu di Perguruan Tinggi
Di beberapa Negara, perguruan tinggi memiliki tanggungjawab
untuk menanggung dan menjamin mutu perguruan tinggi, oleh karena itu
sangatlah penting bagi setiap perguruan tinggi untuk mengembangkan
sistem Internal Quality Assurance (IQA) yang efisien. Perguruan tinggi
bebas memutuskan model penjaminan mutu yang tepat digunakan pada
institusinya, namun demikian tetap ada beberapa persyaratan dasar yang
harus dipenuhi oleh perguruan tinggi tersebut. Beberapa model
penjaminan mutu pada perguruan tinggi antara lain:
1) Model Logika (Logic Models)
Model Logika sangat bermanfaat bagi suatu perguruan tinggi
karena model ini dapat digunakan sebagai pedoman mengevaluasi dan
memahami suatu program atau proses yang dirancang oleh perguruan
tinggi untuk mengatasi suatu masalah, dan mengidentifikasi hasil
kinerja yang diharapkan. Pada model logika, evaluator biasanya
menginterpretasikan melalui praktik dalam konteks adanya
33
klien/konsumen dan mempertimbangkan potensi serta dampak dari
pelayanan jangka pendek, menengah, dan panjang (McLaughlin dan
Jordan, 2004).
Model logika membedakan antara output (layanan diberikan) dan
hasil (konsekuensi dari output) melalui perluasan dampak pengukuran
atau memperluas pengukuran dari dampak pelayanan pada tingkat
kebutuhan yang diharapkan klien. Hasil jangka panjang ditujukan
untuk kepuasan klien serta kebutuhan efisiensi dan efektifitas perguruan
tinggi.
Penggunaan model logika untuk perbaikan mutu perguruan tinggi
membutuhkan waktu yang cukup lama dan usaha yang besar, tetapi
tidak bersifat opsional bagi profesi tertentu. Model ini memberikan
alasan untuk mewujudkan eksistensi suatu profesi dan sebagai patokan
program perbaikan perguruan tinggi baik dalam teori maupun praktik
(McLaughlin & Jordan, 2004).
2) Model Penjaminan Mutu (Quality Assurance/QA) untuk Pembelajaran
Model QA untuk pembelajaran tingkat program studi dapat
digunakan untuk melakukan evaluasi diri (self assesment) bagi suatu
perguruan tinggi. Model QA pembelajaran tingkat program studi pada
perguruan tinggi meliputi empat tahap yaitu: a) penjabaran tujuan
pembelajaran yang diharapkan, spesifikasi program, struktur dan isi
program, strategi pembelajaran, serta penilaian hasil pembelajaran
mahasiswa, b) input meliputi staf, mahasiswa, dan fasilitas pendukung
34
proses pembelajaran, c) proses penjaminan mutu (quality assurance)
pembelajaran, kegiatan pengembangan staf, serta umpanbalik dari
stakeholders, dan d) outcome proses pembelajaran (AUN-QA, 2010).
Model penjaminan mutu pada proses pembelajaran di tingkat
program studi suatu perguruan tinggi (Gambar 2) sebagai berikut:
Gambar 2. Model QA untuk pembelajaran tingkat program studi pada perguruan tinggi (AUN-QA, 2010)
3) Model PDCA (Plan-Do-Check-Act)
Shewhart mengembangkan siklus PDCA pada sekitar tahun 1920
dan Deming membuat siklus tersebut menjadi terkenal pada tahun 1980,
meskipun Deming memodifikasi siklus PDCA (Plan, Do, Check, dan
Act) menjadi PDSA (Plan, Do, Study, dan Act). Keempat unsur PDCA
adalah mempunyai kedudukan yang sama yaitu merupakan empat
bagian dari sebuah proses. Penerapan model penjaminan mutu PDCA
telah terbukti lebih efektif dari pendekatan the right first time, dengan
Kepuasan stakeholders
Spesifikasi program
Struktur dan isi program
Strategi embelajaran Evaluasi peserta didik
Mutu staf akademik
Dukungan mutu staf
Mutu peserta didik
Bimbingan dan dukungan peserta
didik
Fasilitas dan infrastuktur
QA pembelajaran Kegiatan
pengembangan staf Umpanbalik stakeholders
Tujuan pembelj. yg diharapkan
Profil lulusan Rata-rata kelulusan
Rata-rata drop out
Lama studi Lapangan pekerjaan
P R E S T A S I
Quality Assurance and (inter)national benchmarking
35
menggunakan model PDCA berarti secara berkelanjutan mencari
metode peningkatan mutu perguruan tinggi yang lebih baik.
Model PDCA memungkinkan dua jenis tindakan korektif yaitu
bersifat sementara dan permanen. Tindakan korektif sementara
bertujuan untuk menemukan dan memperbaiki suatu masalah,
sedangkan tindakan korektif permanen untuk melakukan penyelesaian
dan penghapusan akar penyebab suatu masalah sehingga target
penjaminan mutu perguruan tinggi adalah proses peningkatan mutu
yang berkelanjutan (Leahy et al., 2009).
Model PDCA bukan hanya sekedar alat pengukur mutu pada
perguruan tinggi, model penjaminan mutu ini merupakan sebuah
konsep dasar dari suatu proses peningkatan mutu yang terus menerus
yang melekat pada budaya organisasi perguruan tinggi. Model PDCA
mudah untuk dipahami dan semestinya digunakan oleh semua
perguruan tinggi. Aspek terpenting dari model PDCA terletak pada
tahap evaluasi (check) setelah penyelesaian suatu kegiatan, ketika siklus
selanjutnya akan dimulai lagi untuk program peningkatan mutu
perguruan tinggi selanjutnya (Sokovic et al., 2010).
Aspek-aspek dalam model penjaminan mutu PDCA dapat
dijelaskan sebagai berikut: a) perencanaan (plan) adalah
mengidentifikasi target untuk perbaikan mutu dengan memprioritaskan
pada keuntungan terbaik atas investasi yang diharapkan dengan
menerapkan proses perencanaan strategis berdasarkan best practice, b)
36
pelaksanaan (do) adalah melaksanakan perencanaan yang telah
ditetapkan dengan langkah-langkah seperti pengumpulan data dan
identifikasi masalah dengan menggunakan kriteria atau standar tertentu,
c) evaluasi (check) adalah mengevaluasi hasil dari pelaksanaan program
perbaikan mutu, hal ini merupakan langkah penting dalam siklus
PDCA. Hasil analisis check digunakan oleh sebagian besar perguruan
tinggi dalam upaya peningkatan mutu perguruan tinggi tersebut (Gupta,
2005; Leahy et al., 2009), d) tindakan (act) adalah tindak lanjut yang
dilakukan untuk memutuskan dalam mengadopsi, mengeliminasi, atau
merevisi inovasi/perbaikan yang dilakukan, serta merencanakan
program peningkatan mutu selanjutnya.
Langkah act telah menyebabkan interpretasi yang berbeda, bagi
sebagian orang berpendapat bahwa act menyiratkan standarisasi,
sedangkan sebagian orang lain berpendapat bahwa act berarti
peningkatan atau perbaikan. Pengertian act yang paling dikenal adalah
sebagai koreksi proses melalui tindakan korektif dan pencegahan dari
terulangnya kembali suatu masalah. Masukan atau input untuk aspek
act berasal dari kegiatan pada aspek check yang telah dilakukan.
Tindakan (act) dilakukan dengan memberikan umpan balik ketika
hasil evaluasi suatu program tidak memadai atau tidak memuaskan.
Siklus PDCA (Gambar 3) adalah model QA yang dinamis, akhir dari
satu siklus adalah awal dari siklus berikutnya. Setiap siklus dipelajari
37
dan dievaluasi untuk proses peningkatan mutu yang berkelanjutan.
Siklus PDCA digambarkan sebagai berikut:
Gambar 3. Siklus PDCA (siklus Shewhart/ siklus Deming) pada
Quality Assurance (Leahy et al., 2009)
Beberapa prinsip yang melandasi pola pikir dan pola tindak
semua pelaku manajemen kendali mutu berbasis model PDCA adalah
prinsip Kaizen yaitu: a) quality first, semua pikiran dan tindakan
pengelola pendidikan tinggi harus memprioritaskan mutu, b)
stakeholder-in, semua pikiran dan tindakan pengelola pendidikan harus
ditujukan pada kepuasan stakeholders, c) the next process is our
stakeholders, setiap orang yang melaksanakan tugas dalam proses
pendidikan tinggi, harus menganggap orang lain yang menggunakan
hasil pelaksanaan tugasnya sebagai stakeholder-nya yang harus
dipuaskan, d) speak with data, setiap pelaksana pendidikan tinggi harus
melakukan tindakan dan mengambil keputusan berdasarkan analisis
data yang telah diperolehnya terlebih dahulu, bukan berdasarkan
pengandaian atau rekayasa, dan e) upstream management, semua
38
pengambilan keputusan di dalam proses pendidikan tinggi dilakukan
secara partisipasif, bukan otoritatif (Depdiknas, 2003).
Model PDCA dengan prinsip peningkatan mutu berkelanjutan
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 4. Siklus PDCA dalam proses peningkatan mutu berkelanjutan (Sokovic et al., 2010)
Gambar 4 menunjukkan bahwa model PDCA ini menitikberatkan
kegiatan penjaminan mutu pada aspek perbaikan/peningkatan mutu
secara terus menerus atau continuous quality improvement (Sokovic et
al., 2010). Beberapa prasyarat yang harus dipenuhi agar pelaksanaan
penjaminan mutu perguruan tinggi dapat mencapai tujuannyaadalah
adanya komitmen, sikap mental pelaku proses, serta pengorganisasian
penjaminan mutu.
Model penjaminan mutu PDCA pada pembelajaran klinik yang
dikemukakan oleh Walasek et al. (2011) sebagai berikut: a) plan
meliputi pelatihan, silabus, dan format penilaian, b) do meliputi
pengetahuan dan interaksi mahasiswa dan pembimbing, c) check
meliputi proses review, dan evaluasi, d) act meliputi implementasi dan
skenario.
39
Tujuan utama penjaminan mutu pada Jurusan Keperawatan Gigi
(JKG) Poltekkes Kemenkes adalah menghasilkan tenaga perawat gigi yang
bermutu. Upaya peningkatan mutu JKG Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
menggunakan model penjaminan mutu PDCA sebagai dasar proses
peningkatan mutu pendidikan (Kemenkes, 20010a).
Implementasi model penjaminan mutu PDCA pada JKG Poltekkes
Kemenkes Yogyakarta diharapkan dapat menumbuhkan budaya mutu
mulai dari menetapkan, melaksanakan, mengevaluasi, dan secara
berkelanjutan berupaya meningkatkan standar mutu. Pola PDCA sudah
sejak lama berjalan dengan cara yang sederhana walaupun belum
terintegrasi menyeluruh. Usaha yang telah dilakukan institusi ini adalah
pembentukan tim penjaminan mutu yang bertanggungjawab langsung
kepada direktur Poltekkes Kemenkes Yogyakarta. Mekanisme penjaminan
mutu pada proses penyelenggaraan pendidikan JKG adalah sebagai
berikut:
a) Perencanaan (Plan)
Perencanaan disusun setiap tahun sekali, di dalam perencanaan
disusun rencana kegiatan dan sasaran yang akan dicapai setidaknya
untuk satu tahun ke depan. Perencanaan mutu meliputi penetapan
kebijakan mutu, tujuan mutu serta indikator pencapaiannya, serta
prosedur untuk pencapaian tujuan tersebut. Kebijakan mutu JKG
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta yaitu menghasilkan perawat gigi yang
kompeten sesuai kebutuhan stakeholders. Berdasarkan kebijakan mutu
40
JKG, maka tujuan mutu JKG adalah: 1) mahasiswa memperoleh
kualifikasi yang diinginkan yaitu mahasiswa D3 lulus dalam waktu 3
tahun, 2) lulusan bisa bekerja segera setelah lulus.
b) Pelaksanaan (Do)
Pelaksanaan merupakan kegiatan yang bersifat rutin dilakukan.
Pelaksanaan proses penjaminan mutu pendidikan termasuk pelayanan
administrasi dilaksanakan sesuai dengan Standar Operating Procedure
(SOP) (Depkes, 2009b). Ketua Jurusan bertanggungjawab dalam
mengendalikan seluruh proses pendidikan, memantau pelaksanaannya,
serta memberikan umpan balik kepada pihak-pihak yang terkait dalam
proses pendidikan seperti dosen, tenaga penunjang, dan mahasiswa.
Pelaksanaan penjaminan mutu ini menuntut komitmen dari seluruh
komponen pada tugas dan fungsinya masing-masing.
c) Evaluasi (Check)
Evaluasi adalah kegiatan untuk melakukan pemeriksaan terhadap
kegiatan yang telah berjalan. Evaluasi proses pendidikan dilakukan
secara internal dan eksternal. Evaluasi internal dilakukan dengan
melakukan evaluasi diri, menyusun rencana perbaikan, dan menyusun
laporan pelaksanaan pendidikan kepada Direktur Poltekkes Kemenkes.
Evaluasi eksternal dilakukan oleh BANPT (Badan Akreditasi Nasional
Perguruan Tinggi) (Depdikanas, 2008a). Hasil evaluasi dibahas dan
didiskusikan untuk bersama-sama merencanakan upaya tindak lanjut
untuk perbaikan berkelanjutan.
41
d) Tindakan (Act)
Tindakan adalah kegiatan yang dilakukan sebagai implikasi dari
hasil evaluasi bertujuan untuk meningkatkan mutu pembelajaran,
kegiatan yang dilakukan adalah rapat koordinasi antar bagian
(akademis, keuangan, dan kemahasiswaan) secara periodik untuk
menyusun rekomendasi-rekomendasi program yang akan dilakukan.
2. Benchmarking
Proses peningkatan mutu memerlukan komitmen untuk perbaikan yang
melibatkan secara seimbang aspek manusia dan teknologi. Ada dua macam
peningkatan mutu yaitu: a) untuk mencapai standar mutu yang ditetapkan dan
b) dalam konteks peningkatan standar mutu yang dicapai yaitu melalui
benchmarking.
Benchmarking adalah upaya membandingkan standar baik antar bagian
internal organisasi maupun dengan standar eksternal dengan tujuan untuk
peningkatan mutu (Depkes, 2009c). Hal ini sesuai juga dengan pernyataan
Gaspersz (2005) bahwa salah satu pendekatan yang dapat digunakan oleh
stakeholders untuk melakukan peningkatan mutu adalah dengan menerapkan
benchmarking dalam praktik penyelenggaraan perguruan tinggi yang
dilakukan terus menerus dengan menggunakan perguruan tinggi lain sebagai
pembanding.
Upaya peningkatan mutu akan menjadi optimal apabila penerapan
benchmarking dipadukan dengan filsafat kaizen yaitu perbaikan yang
dilakukan secara terus menerus (Richardson, 2005). Suatu rangkaian
42
peningkatan yang terus-menerus didefinisikan sebagai suatu nilai dan proses
yang berulang-ulang untuk mencapai keberhasilan yang sempurna (Leahy et
al., 2009).
Benchmark biasanya digunakan untuk berbagai tujuan, terutama sebagai
sumber referensi ketika merancang dan mengembangkan program-program
baru. Benchmark merupakan panduan umum untuk mengartikulasikan hasil
pembelajaran yang terkait dengan program tetapi tidak spesifikasi pada suatu
kurikulum. Benchmark mendorong adanya inovasi dalam kerangka
konseptual secara keseluruhan, juga memberikan dukungan dalam jaminan
mutu internal dan memungkinkan adanya hasil pembelajaran yang ditentukan
program untuk ditinjau dan dinilai terhadap harapan dan kesesuaian dengan
standar (QAA for Higher Education, 2005).
Program benchmarking tentang pembelajaran dan pelatihan klinik
sebuah perguruan tinggi keperawatan gigi di United Kingdom menunjukkan
bahwa pada akhir program mahasiswa akan memperoleh pengetahuan dan
pemahaman dalam: a) mengidentifikasi dan membahas kewajiban hukum dan
etika yang tertuang pada Dewan Konsil Gigi, b) menerapkan teori-teori
pembelajaran dan strategi yang mendukung pengembangan kepribadian dan
efektivitas praktik, c) menerapkan pembelajaran akademik dan prinsip-prinsip
di lingkungan kerja, d) penerapan pengetahuan teoritis di tempat kerja, e)
mengidentifikasi kebutuhan belajar, pengembangan kepribadian, akademik
dan profesional, serta f) pemahaman tentang hukum, politik dan sosial
ekonomi di masyarakat (QAA for Higher Education, 2004).
43
Tujuan program sertifikasi pendidikan keperawatan gigi di Universitas
Tesside adalah: a) memberikan lingkungan belajar yang efektif agar
mahasiswa memenuhi persyaratan dari Konsil Kedokteran Gigi sehingga
layak mendaftar sebagai seorang perawat gigi, b) menciptakan pengalaman
belajar supaya mahasiswa berkembang secara personal dan profesional, serta
mampu merefleksikan kesiapan mereka dalam melakukan praktik, c)
memfasilitasi perkembangan mahasiswa sebagai seorang pembelajar seumur
hidup sehingga sebagai seorang perawat gigi dapat berfungsi sebagai anggota
dari tim pelayanan kesehatan, d) mengembangkan keterampilan kognitif,
afektif dan psikomotorik mahasiswa dalam kaitannya dengan praktik
keperawatan gigi (Baird, 2010).
Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Yogyakarta melakukan
usaha-usaha dalam upaya proses benchmarking antara lain: a)
menyelenggarakan evaluasi diri, b) menentukan target yang akan dicapai,
serta c) menyusun rencana-rencana tindakan (act) yang akan dilakukan
sehubungan dengan upaya peningkatan mutu pendidikan, serta melakukan
studi banding dengan beberapa pendidikan keperawatan gigi baik di dalam
maupun di luar negeri.
3. Evaluasi Mutu Proses Pembelajaran
Evaluasi adalah membandingkan pelaksanaan kinerja program saat ini
dengan standar kinerja program yang diharapkan, dan menyimpulkan tentang
efektivitas program. Kesimpulan dari hasil evaluasi dapat dijadikan sebagai
44
penentu kebijakan program, dan sebagai alat ukur keberhasilan maupun
kegagalan suatu program (Shadish et al., 1991).
Arikunto dan Jabar (2009) mengatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan
untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, dan selanjutnya
informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam
mengambil sebuah keputusan. Konteks evaluasi adalah menguji kekuatan,
kelemahan, dan perubahan-perubahan yang dapat membuat produksi (output)
menjadi lebih baik (Stufflebeam dan Shinkfield, 2007).
Kirkpatrick dan Kirkpatrick (2006) mengemukakan bahwa evaluasi
program terdiri dari 4 tingkat, yaitu: a) tingkat 1: reaksi (reaction) yaitu
evaluasi yang mengukur reaksi mahasiswa/peserta didik dan dosen mengenai
suatu program, evaluasi ini dinamakan pengukuran kepuasan pengguna
(peserta didik dan dosen), b) tingkat 2: pembelajaran (learning) yaitu
evaluasi perubahan perilaku peserta didik/staf seperti peningkatan
pengetahuan, dan/atau keterampilan setelah mengikuti suatu program, c)
tingkat 3: perilaku (behavior) yaitu evaluasi peserta didik dalam penerapan
pengetahuan dan keterampilan suatu program, d) tingkat 4: hasil (results)
yaitu evaluasi untuk mengetahui dampak program bagi institusi dan
masyarakat.
Evaluasi mutu dapat diartikan sebagai setiap kegiatan terstruktur yang
mengarah pada proses penjaminan mutu (quality assurance) yang
digambarkan sebagai proses yang berkelanjutan, terstruktur dan sistematis
dalam kaitannya dengan menjaga dan memperbaiki mutu. Perhatian pada
45
mutu yang berkelanjutan (continuous improvement) merupakan sine qua non
pada penjaminan mutu pembelajaran dan/atau penelitian, baik evaluasi yang
dilakukan mandiri maupun dilakukan oleh pihak luar (AUN-QA, 2010).
Evaluasi QA pada pendidikan keperawatan ada 2 metode yaitu evaluasi
internal dan evaluasi external. Evaluasi internal menggunakan assessment
formal dan kesepakatan dengan komite QA institusi untuk melihat
perencanaan, implementasi, serta evaluasi program pendidikan, sedangkan
evaluasi eksternal dilakukan oleh pihak lain di luar institusi (WHO, 2010).
Evaluasi mutu perguruan tinggi diperlukan untuk mendapatkan umpan balik
tentang kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman sebagai landasan untuk
melakukan upaya peningkatan mutu secara berkelanjutan.
Evaluasi mutu suatu jasa atau produk hampir sama dengan pengukuran
kepuasan konsumen, yaitu ditentukan oleh variabel harapan dan kenyataan
yang dirasakan. Harapan konsumen merupakan keyakinan konsumen sebelum
mencoba suatu produk atau jasa. Apabila produk atau jasa sesuai dengan yang
diharapkan maka mutu diinterpretasikan baik, tetapi apabila tidak sesuai
maka mutu diinterpretasikan buruk (Tjiptiono, 1997).
Kegiatan evaluasi mempunyai peranan penting dalam pendidikan,
begitu pula dalam proses pembelajaran klinik. Evaluasi dilakukan untuk
mengidentifikasi proses pembelajaran klinik yang telah dilaksanakan
berdasarkan perencanaan, dan pelaporan dilakukan sebagai bentuk
penyampaian hasil evaluasi, sedangkan tindak lanjut/umpan balik adalah
46
program yang perlu dikembangkan sebagai implikasi hasil evaluasi (Depkes,
2009b).
Salah satu kendala yang dihadapi dalam evaluasi mutu pendidikan saat
ini adalah pemberian umpan balik (feedback) yang belum memadai bagi
program studi untuk melakukan perbaikan mutu yang berkelanjutan
(Bornmann et al., 2006). Evaluasi dan umpan balik bagi program studi yang
dilakukan oleh mahasiswa sebagai konsumen pendidikan, bertujuan agar
program studi mengevaluasi kembali penyelenggaraan pendidikan yang sudah
diterapkan kepada para mahasiswanya.
Penyelenggaraan pendidikan dapat dikatakan bermutu ketika proses
pembelajaran dilaksanakan secara interaktif dan inspiratif dalam suasana
yang menyenangkan, menantang, dan memotivasi mahasiswa untuk
berpartisipasi aktif, kreatif, dan mandiri sesuai dengan bakat dan minat
mereka (Depkes, 2009c). Evaluasi mutu pendidikan mencakup semua ranah
pembelajaran yang dilakukan secara obyektif, transparan, dan akuntabel.
Evaluasi mutu pendidikan dapat berfungsi untuk mengukur pencapaian
akademis mahasiswa, kebutuhan akan remedial, serta memberikan masukan
untuk meningkatkan mutu pembelajaran.
Penyediaan tenaga kerja kesehatan berkaitan dengan mutu lulusan
pendidikan tenaga kesehatan (Diknakes), oleh karena itu harus bisa
dipertanggungjawabkan baik kepada masyarakat maupun profesi. Lulusan
Diknakes harus mampu menunjukkan kemampuannya kepada masyarakat
secara umum dan secara khusus kepada profesinya, tanggung jawab lulusan
47
tersebut dapat ditunjukkan dengan sikap dan moral serta mutu pelayanan
yang baik yang diberikan kepada konsumen kesehatan (Emilia, 2008). Hal ini
ditegaskan juga oleh Dalt et al. (2010) bahwa isu tentang penjaminan mutu
dan mutu berkelanjutan dalam pendidikan kesehatan berkaitan dengan mutu
pelayanan yang diberikan.
Pedoman untuk evaluasi proses pembelajaran menurut Kirkpatrick dan
Kirkpatrick (2006) meliputi: a) adanya kelompok kontrol dan perlakuan, b)
melakukan evaluasi pengetahuan, keterampilan, dan/atau sikap sebelum dan
sesudah pembelajaran, c) tes tertulis digunakan untuk mengukur pengetahuan
dan sikap, d) penilaian kinerja digunakan untuk mengukur keterampilan, dan
e) mendapat respon 100%.
Evaluasi kepuasan mahasiswa dapat dipakai untuk melakukan penilaian
tentang mutu pembelajaran, dengan demikian mahasiswa bebas
mengemukakan pendapat tentang mutu pembelajaran dan kepuasan
mahasiswa sebagai klien, konsumen, atau pelanggan (Gatfield et al., 1999 cit.
Anderson, 2006). Evaluasi diri (self assessment) pada tingkat mahasiswa
penting untuk menganalisis kegiatan utama pada proses belajar mengajar
karena dapat mengetahui mutu kurikulum dan program studi.
Faktor utama yang dapat mempengaruhi mutu pelayanan perguruan
tinggi yaitu harapan dan persepsi mahasiswa tentang mutu perguruan tinggi,
sehingga baik buruknya mutu perguruan tinggi berdasarkan penilaian
kepuasan mahasiswa tergantung pada kemampuan perguruan tinggi dalam
memenuhi harapan mahasiswa (Tjiptiono, 2005). Gaalen (2010) menyatakan
48
ada dua perspektif tentang kesenjangan/gap antara mutu yang diharapkan dan
kenyataan mutu yang diterima. Mutu yang diharapkan dan mutu yang
didesain diukur sebelum penggunaan produk, sedangkan mutu yang diterima
(kenyataan) dan mutu yang diberikan diukur setelah produk diberikan dan
digunakan (Tabel 3).
Tabel 3. Gap antara Harapan dan Kenyataan (Gaalen, 2010)
Subyektif Obyektif Sebelum Mutu yang
diharapkan (Expected quality)
GAP Desain mutu (Designed quality)
GAP GAP Sesudah Mutu pada
kenyataan (Perceived quality)
GAP Mutu yang diberikan (Supplied quality)
Kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang atau masyarakat setelah
membandingkan hasil yang dirasakan dengan harapannya. Apabila hasilnya
sama atau melebihi dari harapan maka akan timbul perasaan puas, sebaliknya
akan timbul ketidakpuasan jika hasil yang dirasakan tidak sesuai dengan yang
diharapkan. Kepuasan setiap orang tidak sama/berbeda, hal ini disebabkan
perbedaan pengalaman, perasaan, latar belakang kesukuan, tingkat sosial,
serta pendidikan (Pohan, 2003). Salah satu penentu faktor kepuasan
konsumen adalah persepsi mengenai mutu produk, harga, dan faktor-faktor
yang bersifat pribadi dan sesaat (Rangkuti, 2002).
Kepuasan mahasiswa pada model penjaminan mutu di tingkat program
studi adalah penilaian mahasiswa tentang perencanaan, proses pembelajaran,
pencapaian hasil belajar, evaluasi, serta umpanbalik (AUN-QA, 2006). Mutu
pada perguruan tinggi adalah mutu sebagai satisfaction of the client
49
(kepuasan konsumen), mutu dihubungkan dengan pemenuhan standar untuk
memenuhi kepuasan konsumen. Mahasiswa adalah konsumen, sehingga mutu
adalah kepuasan mahasiswa (Ellis, 1993 cit. Prihatiningsih, 2003; Green,
1994 cit. AUN-QA, 2006). Evaluasi mutu pembelajaran klinik yang
dilakukan adalah evaluasi program tingkat 1 menurut Kirkpatrick-Kirkpatrick
(2006) yaitu evaluasi tentang kepuasan pengguna/mahasiswa mengenai mutu
pembelajaran klinik. Pemahaman dari beberapa pengertian di atas, penulis
berpendapat bahwa kepuasan sangat subyektif, tingkat kepuasan seseorang
terhadap suatu obyek sangat bervariasi mulai dari sangat puas, puas, kurang
puas, bahkan sangat tidak puas.
4 Pembelajaran Klinik Pendidikan Keperawatan Gigi berbasis Model Penjaminan Mutu PDCA
Kegiatan penjaminan mutu dilakukan untuk mengatasi kesenjangan
antara harapan dan kenyataan yang diterima mahasiswa (Vissher, 2009).
Kesenjangan yang ada sangat memungkinkan dapat menghambat pencapaian
kompetensi, oleh karena itu pengukuran mutu pembelajaran klinik adalah
bersifat sangat kompleks dan membutuhkan beberapa pendekatan seperti
Inventory DREEM (a Dundee Ready Education Environment) yang dapat
digunakan untuk menjamin dan menjaga mutu pendidikan (Varma et al.,
2005; Hays, 2006).
Roff (2005) mengembangkan a Dundee Ready Education Environment
Measure (DREEM) sebuah instrumen berskala internasional dan generik,
instrumen ini dapat memberi gambaran tentang kelebihan dan kekurangan
dari sebuah lembaga pendidikan. Instrumen ini juga dapat digunakan untuk
50
menilai hubungan antara lingkungan pendidikan dengan prestasi akademik
mahasiswa, serta dapat berfungsi sebagai alat untuk memprediksi dan
mengidentifikasi mahasiswa yang berprestasi dan tidak berprestasi
(Dimoliatis et al., 2010).
Efektivitas pembelajaran klinik dipengaruhi oleh hal-hal seperti kerja
sama yang baik antara staf, mahasiswa, sarana prasarana, dan suasana klinik
yang menyenangkan. Efektivitas pembelajaran klinik dapat diketahui dengan
mengevaluasi mutu pembelajaran klinik dilihat dari level mikro yaitu
kepuasan mahasiswa terhadap proses pembelajaran klinik (Gaalen, 2010).
Ruiz dan Lozano (2000) mengatakan bahwa pengetahuan, keterampilan dan
pengalaman di klinik menjadi kunci yang menentukan mutu pembelajaran
klinik. Efektivitas pembelajaran klinik dapat diketahui dengan mengevaluasi
mutu pembelajaran klinik menggunakan model penjaminan mutu PDCA.
Obyek evaluasi mutu pembelajaran klinik mencakup aspek perencanaan
(plan), pelaksanaan (do), evaluasi (check), dan umpan balik (act).
Dalam kaitannya dengan pendidikan tenaga kesehatan, institusi ini
mengaplikasikan model penjaminan mutu PDCA. JKG Poltekkes Kemenkes
Yogyakarta juga menggunakan model PDCA walaupun belum terlaksana
dengan baik. JKG belum secara rutin melakukan evaluasi untuk mengukur
mutu pembelajaran klinik karena belum tersedianya suatu instrumen yang
dapat digunakan untuk mengevaluasi mutu pada level mikro yaitu evaluasi
mutu proses pembelajaran menurut penilaian kepuasan mahasiswa.
51
Aspek-aspek mutu pada pembelajaran klinik sebagai implementasi
model PDCA adalah sebagai berikut:
a. Perencanaan (Plan):
Dent dan Harden (2009) mengemukakan tentang pentingnya
penjelasan mengenai rencana pembelajaran yang akan dilaksanakan
kepada mahasiswa meliputi tujuan pembelajaran, konten pembelajaran,
desain/ strategi pembelajaran, evaluasi, serta umpan balik, demikian juga
pembelajaran klinik di JKG dilaksanakan dengan perencanaan sesuai
dengan tujuan pembelajaran, ranah belajar dan hierarkinya.
Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) klinik JKG berisi
rancangan kegiatan pembelajaran klinik yang akan dilakukan oleh
mahasiswa dan pembimbing klinik dalam mencapai kompetensi praktik
klinik. RPP memuat tujuan pembelajaran, standar kompetensi, materi
pokok, langkah pembelajaran dan dilengkapi dengan bahan ajar
(Kemenkes, 2010b). Perencanaan proses pembelajaran klinik di JKG
selain silabus dan pedoman praktik klinik, dilengkapi juga dengan
kerangka acuan praktik klinik, buku pencapaian target kompetensi, dan
buku pegangan instruktur. Pada tahap perencanaan, dosen pembimbing
klinik merumuskan tujuan pembelajaran, kompetensi yang harus dicapai,
serta persiapan diri bagi mahasiswa sebelum melakukan praktik.
b. Pelaksanaan (Do)
Pada tahap pelaksanaan pembelajaran klinik terjadi interaksi antara
mahasiswa dan dosen untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pencapaian
52
kompetensi pembelajaran klinik adalah hasil proses pembelajaran
sepanjang pendidikan dan berkembang sejalan dengan waktu, hal ini
sangat tergantung peran pembimbing klinik, peer group, dan lingkungan
pembelajaran (Leach, 2004).
Stark (2003) mengemukakan pentingnya pembimbing klinik sebagai
role models, dan untuk meningkatkan mutu pembelajaran klinik juga perlu
dukungan sarana prasarana, dana, serta pelatihan keterampilan mengajar.
Kemampuan pembimbing klinik harus mempunyai 3 (tiga) kriteria yaitu:
1) kompetensi khusus (doing the right thing), 2) pendekatan khusus (doing
the thing right), dan 3) profesionalisme (the right person doing it) (Harden
et al., 1999).
Pelaksanaan pembelajaran klinik keperawatan gigi dibimbing oleh
dosen dan instruktur klinik. Kompetensi yang harus dicapai mahasiswa
JKG pada pembelajaran klinik adalah: 1) mahasiswa mampu melakukan
asuhan keperawatan gigi (promotif, preventif, dan kuratif sederhana), 2)
mahasiswa mampu melaksanakan tindakan kegawatdaruratan gigi sebagai
hasil kolaborasi, 3) mahasiswa mampu melakukan tindakan pencabutan
gigi dengan kasus-kasus tertentu, 4) mahasiswa mampu melakukan
tindakan konservasi gigi dengan kasus-kasus tertentu (Kemenkes, 2010b).
Pembelajaran klinik JKG dilakukan dengan menghadirkan pasien,
selain melatih keterampilan klinis, pembelajaran juga mengajarkan
komunikasi terapeutik dengan pasien, dan etika menghadapi pasien. Cox
(1993) menyatakan keuntungan pembelajaran dengan menghadirkan
53
pasien adalah pembimbing klinik dapat memberikan professional role
model kepada mahasiswa, mengamati keterampilan mahasiswa, dan
memberikan feedback langsung. Pasien yang dihadirkan adalah pasien
rawat jalan dan mahasiswa dapat langsung belajar berdasarkan kasus.
c. Evaluasi (Check)
Evaluasi hasil pembelajaran adalah proses sistematis untuk mencapai
tingkat pencapaian tujuan pembelajaran yang terdiri atas kegiatan
mengukur dan menilai. Mengukur adalah kegiatan mengamati penampilan
peserta didik berdasarkan indikator yang telah ditetapkan dengan
menggunakan metode dan alat pengukuran tertentu. Menilai adalah
membandingkan hasil pengukuran penampilan peserta didik dengan
kriteria keberhasilan yang ditetapkan (Nursalam, 2007). Mardapi (2008)
mengatakan bahwa evaluasi pembelajaran merupakan salah satu
komponen dalam sistem pembelajaran dan fokus evaluasi adalah pada
hasil pelaksanaan (output) proses pembelajaran.
Kegiatan evaluasi mempunyai peranan penting dalam pendidikan,
begitu pula dalam proses pembelajaran klinik. Evaluasi dilakukan untuk
mengidentifikasi proses pembelajaran klinik telah dilaksanakan
berdasarkan rencana, dan pelaporan dilakukan sebagai bentuk
penyampaian hasil evaluasi. Pencapaian target klinik dilakukan melalui
kegiatan evaluasi hasil pembelajaran di klinik (Nursalam, 2007; Depkes,
2009b).
54
Assessment adalah serangkaian kegiatan yang dirancang untuk
mengukur prestasi belajar (achievement) siswa sebagai hasil dari suatu
program instruksional. Hasil assessment terhadap peserta didik dapat
digunakan sebagai bukti yang patut dipertimbangkan dalam rangka
evaluasi pembelajaran. Assessment tidak hanya menilai peserta didik
melainkan sangat fungsional untuk menilai sistem pembelajaran itu sendiri
(Hamalik, 2009).
Metode penilaian yang dipilih harus sesuai dengan tujuan
pembelajaran, dapat dimungkinkan untuk menggunakan lebih dari satu
metode penilaian. Penilaian formatif untuk memperbaiki kekurangan
peserta didik dalam proses pembelajaran, sedangkan penilaian sumatif
untuk menentukan pencapaian kompetensi yang telah ditentukan.
Jenis-jenis penilaian yang dilakukan harus mampu mengungkap
kompetensi peserta didik, jenis penilaian yang biasa dilakukan selama ini
melalui tes obyektif dan uraian (Sudjana dan Ibrahim, 2007), terdapat jenis
penilaian lain yang berorientasi pada pengungkapan kompetensi peserta
didik, yaitu portofolio, dan penilaian yang berbasis pada karya peserta
didik. Prosedur penilaian harus valid, reliabel, praktis, fair dan berguna
(Azwar, 2009). Hancock (2007) mengatakan ada pengaruh performance
assessment terhadap prestasi belajar dan motivasi mahasiswa.
Hasil belajar nampak dalam suatu prestasi yang diberikan oleh
individu yang belajar, maka setiap prestasi yang tepat merupakan suatu
kenyataan perbuatan belajar atau performance (Ormrod, 2009). Adanya
55
kenyataan bahwa proses belajar dapat terlaksana melalui berbagai kegiatan
belajar yang masing-masing mempunyai kekhususan, maka hasil belajar
pun akan nampak pada adanya perubahan tingkah laku yang berbeda-beda
yang diwujudkan dalam prestasi-prestasi tertentu. Faktor yang
mempengaruhi prestasi belajar dapat berasal dari dalam diri individu
maupun dari luar (Arikunto dan Jabar, 2009).
Pemilihan instrumen penilaian harus selaras dengan tujuan
pembelajaran. Secara umum penilaian mengacu pada piramida pencapaian
kompetensi Miller yaitu Knows-Knows how-Shows how-Does (Harden et
al., 1999). Standar penilaian pembelajaran klinik diknakes meliputi: 1)
instrumen penilaian dalam bentuk cheklist/lembar observasi yang mengacu
pada perencanaan pembelajaran, 2) instrumen penilaian harus mengandung
aspek pengetahuan, sikap dan ketrampilan dengan memfokuskan pada
aspek keterampilan, 3) indikator penilaian harus dikomunikasikan kepada
peserta didik, 4) harus diberikan feedback/umpan balik hasil penilaian
kepada peserta didik, 5) hasil penilaian harus berorientasi kepada
kompetensi dasar, 6) penilaian dapat diulang sampai peserta didik
kompeten, 7) standar nilai kelulusan menggunakan sistem Penilaian
Standar Mutlak atau Penilaian Acuan Patokan (PAP) dengan batas lulus
2,75 (Kemenkes, 2010c).
Penilaian atau evaluasi hasil belajar setiap mata praktik pada JKG
meliputi penggabungan dari penilaian formatif, sumatif, dan komprehensif.
Penilaian formatif untuk memperbaiki kekurangan mahasiswa dalam
56
proses pembelajaran meliputi laporan praktik dan tugas-tugas, sedangkan
penilaian sumatif untuk menentukan pencapaian kompetensi yang telah
ditentukan yaitu ujian praktik keterampilan akhir semester, sedangkan
penilaian komprehensif meliputi ujian praktik akhir semester dan uji
penilaian pencapaian kompetensi.
Aspek-aspek yang dinilai dari pencapaian kompetensi meliputi
kognitif, afektif, dan psikomotor. Penilaian aspek-aspek tersebut
disesuaikan dengan target kompetensi yang harus dicapai mahasiswa.
Penilaian hasil belajar juga memperhatikan hal-hal seperti bobot penilaian
dan nilai akhir. Standar penilaian yang dilakukan untuk mendapatkan nilai
akhir adalah mahasiswa mendapat nilai huruf mutu, kemudian nilai huruf
mutu dikonversi menjadi angka mutu (Kemenkes, 2010b).
d. Tindakan (Act)
Tindakan adalah semua bentuk informasi yang dikomunikasikan
kepada mahasiswa dengan tujuan memperbaiki hasil pembelajaran dapat
berupa umpan balik (feedback). Umpan balik merupakan kunci utama
keberhasilan proses pembelajaran, membantu mahasiswa berpikir reflektif
sesuai kaidah pembelajaran arahan sendiri pada orang dewasa (Nicol dan
Dick, 2006). Keberhasilan umpan balik dipengaruhi beberapa faktor
seperti jenis umpan balik, struktur umpan balik, waktu umpan balik
diberikan, serta karakteristik mahasiswa dan dosen (Archer, 2010).
Umpan balik dan refleksi merupakan bagian dari metode
pembelajaran yang biasa dilakukan di klinik, namun kedua hal tersebut
57
umumnya kurang dimanfaatkan (Branch dan Paranjape, 2002). Pemberian
umpan balik akan mendorong mahasiswa untuk berpikir atau melakukan
refleksi, supervisor (pembimbing klinik) dapat memiliki pengaruh yang
positif pada pembelajaran. Peran pembimbing klinik adalah sebagai
pemberi umpan balik, kolega, asesor, peran reflektif, coach, role model
profesional (Irby dan Bowen, 2004).
Umpan balik yang dilakukan pada pembelajaran klinik JKG antara
lain dengan melakukan diskusi baik antar mahasiswa maupun dengan
pembimbing klinik mengenai pengalaman klinik, kesulitan yang dihadapi,
atau kasus-kasus yang tidak dapat diselesaikan oleh mahasiswa. Dalam
memberikan feedback, pembimbing harus menjelaskan dengan tepat,
sesering mungkin, fokus pada hal-hal tertentu saja dan menghubungkan
dengan target kompetensi yang harus dicapai mahasiswa. Pembimbing
dapat juga memberikan tugas yang bisa direspon cepat oleh mahasiswa.
D. Landasan Teori
Proses pembelajaran di klinik adalah proses inti dalam pendidikan tenaga
kesehatan, keberadaan standar kompetensi lulusan menjadi sangat mutlak dan
sifatnya strategis. Tujuan pendidikan diploma keperawatan gigi adalah
menghasilkan ahli madya keperawatan gigi yang kompeten di bidangnya.
Pembelajaran klinik adalah selaras dengan pendidikan keperawatan gigi yang
mengutamakan pembelajaran praktik daripada teori. Penguasaan keterampilan
klinik merupakan elemen yang penting dari mutu lulusan tenaga kesehatan
58
termasuk perawat gigi, dan upaya peningkatan mutu pembelajaran adalah untuk
menghasilkan output yang baik.
Media ajar adalah alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan
isi materi dalam proses pembelajaran, media ajar dapat memperjelas pesan dan
informasi yang ingin disampaikan kepada mahasiswa. Keterampilan klinik
memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar dan berlatih keterampilan
menggunakan media ajar dalam bentuk alat simulasi sebelum mempraktikkan
pada situasi yang sesungguhnya, clinical setting membutuhkan simulator antara
lain model anatomi/model fisiologik.
Model anatomi yang tidak realistik membuat simulasi menjadi tidak
realistik juga, dan lebih memprihatinkan bila simulasi tanpa model maka
pembelajaran dapat menjadi lebih mahal dan banyak intervensi langsung kepada
pasien. Pengembangan media ajar pada praktik skaling sebagai tindak lanjut
dari evaluasi implementasi model penjaminan mutu PDCA (Plan, Do, Check,
dan Act) pada pembelajaran klinik, hal ini dilakukan sebagai upaya untuk
meningkatkan kualitas perawat gigi sehingga mampu bersaing di pasar global.
Media ajar yang dikembangkan dalam bentuk model gigi sebagai alat
simulasi karena model gigi yang ada saat ini belum memadai, model gigi tidak
dapat digerakkan sesuai kebutuhan operator dan tidak menyerupai kondisi pasien
sesungguhnya sehingga pembelajaran praktik skaling menjadi tidak optimal dan
hal ini menyebabkan pula pencapaian target mahasiswa sering tidak tuntas.
Metode simulasi praktik skaling dilakukan untuk mencapai kompetensi show
hows yaitu mahasiswa dapat melakukan sebuah keterampilan pada situasi
59
terkendali. Kualitas pembimbing klinik pada penggunaan media ajar juga
menjadi hal yang menentukan keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran,
pembimbing dituntut mempunyai kompetensi dalam memberikan bimbingannya,
pembimbing harus menguasai keterampilan teknis dan juga keterampilan
hubungan antar manusia.
E. Kerangka Teori
Berdasarkan kajian pustaka maka kerangka teori dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
Gambar 5. Kerangka Teori (modifikasi Notoatmodjo, 2007)
Proses pembelajaran menurut Notoatmodjo (2007) dinyatakan dalam
model analisis sistem terdiri dari input (masukan), process (proses), serta output
(keluaran). Proses pembelajaran tergantung juga pada faktor internal dan
eksternal yang dapat mempengaruhi hasil pembelajaran. Keluaran dari proses
pembelajaran adalah hasil pembelajaran berupa prestasi mahasiswa yang
berkaitan dengan kompetensi yang harus dicapai mahasiswa.
Pembelajaran klinik model PDCA
Prestasi Mahasiswa a. Nilai kognitif b. Nilai keterampilan praktik
Upaya peningkatan mutu praktik skaling
instrumen eval. mutu
Kepuasan mahasiswa
area yg diteliti
input process output
1. faktor internal (sikap, minat dan bakat, motivasi)
2. faktor eksternal (dukungan orang tua/keluarga, pengajar/pembimbing, sarana prasarana)
60
F. Kerangka Konsep
Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Gambar 6. Kerangka Konsep Keterangan: --------- tidak diteliti
Gambar 6 menunjukkan proses pembelajaran praktik skaling dilakukan
intervensi media ajar yang akan dikembangkan dalam penelitian. Faktor-faktor
internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi hasil pembelajaran mahasiswa
tidak dikendalikan dalam penelitian ini.
G. Hipotesis Penelitian
1. Hipotesis primer:
Ada pengaruh intervensi menggunakan media ajar yang dikembangkan
pada praktik skaling terhadap prestasi mahasiswa.
2. Hipotesis sekunder:
a. Ada perbedaan nilai kognitif mahasiswa sebelum dan setelah intervensi
menggunakan media ajar pada praktik skaling.
b. Ada perbedaan nilai keterampilan mahasiswa sebelum dan setelah
intervensi menggunakan media ajar pada praktik skaling.
Pembelajaran Praktik skaling
Variabel bebas
Variabel terikat
Prestasi Mahasiswa a. Nilai kognitif b. Nilai keterampilan praktik
1. faktor internal (sikap, minat dan bakat, motivasi)
2. faktor eksternal (dukungan orang tua/keluarga, pengajar/pembimbing, sarana prasarana)
Media ajar yg dikembangkan
61
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancang Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental semu (quasi
experiment) dengan rancang penelitian pretest-posttest control group design.
Sampel pada desain penelitian ini terdiri dari dua kelompok: kelompok
eksperimen adalah kelompok yang diberi perlakuan sedangkan kelompok yang
tidak diberi perlakuan adalah kelompok kontrol (Sugiyono, 2010b; Johnson dan
Christensen, 2008). Pretest dilakukan untuk mengetahui keadaan awal kelompok
kontrol dan kelompok eksperimen. Pengaruh perlakuan dianalisis dengan uji
statistik, jika ada perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol maka perlakuan yang diberikan berpengaruh secara signifikan
(Fraenkel dan Wallen, 2009). Desain penelitian adalah sebagai berikut:
R O1 X O2
R O3 O4
Gambar 7. Desain penelitian
Keterangan: O1 : pretest kelompok eksperimen O2 : posttest kelompok eksperimen O3 : pretest kelompok kontrol O4: posttest kelompok kontrol X: perlakuan R: random
62
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah Prodi Diploma III Jurusan Keperawatan Gigi
(JKG) Poltekkes Kemenkes, Jl. Kyai Mojo 56 Pingit, Yogyakarta. Waktu
penelitian bulan April 2011 s.d. Oktober 2012.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi adalah mahasiswa diploma III Jurusan Keperawatan Gigi.
Sampel penelitian adalah mahasiswa semester 3 dan 5, dengan kriteria inklusi
sebagai berikut:
1. Mahasiswa yang akan atau sudah selesai mengikuti praktik skaling.
2. Bersedia ikut serta dalam penelitian (mengisi informed consent).
Kriteria eksklusi: mahasiswa yang sedang menjalani cuti akademik,
mengundurkan diri atau tidak aktif selama penelitian dilakukan.
D. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel adalah simple random sampling, pengambilan
sampel dilakukan secara acak (Sugiyono, 2010a). Ukuran sampel ditentukan
dengan rumus sebagai berikut
Keterangan:
λ² = dk = 1, taraf kesalahan 5% P = Q = 0,5 d = 0,05 s = jumlah sampel N = 235 Jumlah sampel penelitian sebanyak 140 mahasiswa.
s = λ².N.P.Q d2 (N-1)+ λ².P.Q
63
E. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas : Pembelajaran praktik skaling
a. kelompok kontrol
b. kelompok eksperimen
2. Variabel terikat : Prestasi mahasiswa
a. nilai kognitif
b. nilai keterampilan praktik
F. Definisi Operasional Variabel
1. Pembelajaran praktik skaling adalah pembelajaran pembersihan karang
gigi/kalkulus yang dilakukan mahasiswa, dibagi menjadi 2 kelompok yaitu:
a. Kelompok kontrol yaitu kelompok mahasiswa yang menggunakan media
ajar standar sebagai alat simulasi praktik. Skala: ordinal.
b. Kelompok eksperimen yaitu kelompok mahasiswa yang menggunakan
media ajar yang dikembangkan sebagai alat simulasi praktik. Skala:
ordinal.
2. Prestasi mahasiswa adalah nilai yang diperoleh mahasiswa setelah melakukan
praktik, terdiri dari:
a. Nilai kognitif yaitu nilai praktik dari aspek pengetahuan mahasiswa yang
diperoleh sebelum dan setelah intervensi media ajar, diukur menggunakan
lembar tes praktik skaling. Skala: interval.
b. Nilai keterampilan yaitu nilai praktik dari aspek psikomotor/keterampilan
mahasiswa yang sebelum dan setelah intervensi media ajar, diukur
64
menggunakan lembar penilaian keterampilan praktik skaling. Skala:
interval.
G. Instrumen Penelitian
1. Lembar penilaian keterampilan praktik skaling.
2. Lembar tes praktik skaling.
3. Media ajar yang dikembangkan.
4. Media ajar standar.
5. Alat-alat praktik skaling.
H. Cara Pengumpulan Data
1. Studi literatur, konsultasi pakar, dan diskusi kelompok terarah (Focus Group
Discussion) dilakukan pada saat pembuatan rancangan nstrumen rancangan
media ajar yang akan dikembangkan.
2. Nilai kognitif diukur menggunakan lembar tes praktik skaling mahasiswa.
3. Nilai keterampilan diukur dengan menggunakan lembar penilaian praktik
skaling mahasiswa.
I. Jalannya Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yaitu:
1. Studi Pendahuluan
Studi pendahuluan dilakukan untuk mengetahui hasil evaluasi
implementasi model penjaminan mutu PDCA pembelajaran klinik sehingga
dapat disusun rekomendasi-rekomendasi program yang perlu mendapat
prioritas dalam rangka peningkatan mutu pembelajaran klinik pendidikan
keperawatan gigi (lampiran 3).
65
2. Pengembangan Media Ajar untuk Praktik Skaling
Pengembangan media ajar berupa alat simulasi pada praktik skaling
dilakukan sebagai upaya tindak lanjut (follow up) yaitu menyediakan fasilitas
pembelajaran praktik yang memadai, karena pembelajaran skills lab
dilakukan sebagai prasyarat sebelum mahasiswa praktik klinik. Salah satu
keterampilan yang harus dikuasai dan termasuk tugas pokok seorang perawat
gigi yaitu praktik skaling atau pembersihan karang gigi (Depkes, 2010).
Keterampilan skaling dibutuhkan untuk mengidentifikasi kelainan-kelainan
jaringan periodontal sehingga mahasiswa diharapkan mampu untuk
melakukan pencegahan penyakit gigi dan mulut sedini mungkin.
Praktik skaling di JKG memerlukan media ajar sebagai alat simulasi
yang memadai berupa model gigi (typodont), yang menyerupai keadaan
rongga mulut pasien sesungguhnya, sehingga lebih memudahkan mahasiswa
mengikuti pembelajaran praktik skaling, menarik perhatian dan menambah
motivasi mahasiswa. Penggunaan model gigi dengan kalkulus artifisial dan
dilengkapi alat penyangga untuk memudahkan pemasangan pada meja kerja
dan kenyamanan operator.
Langkah-langkah pengembangan media ajar sebagai berikut:
a. Pembuatan rancangan media ajar (Sugiyono, 2010b; Azwar, 2009)
Media ajar yang dikembangkan adalah unit model gigi dengan kalkulus
artifisial.
b. Konsultasi pakar tentang rancangan media ajar yang dikembangkan
(Patton, 2009; Moleong, 2010):
66
Rancangan model gigi dikonsultasikan dulu pada pakar untuk
melihat validitas alat. Pakar yang diikutsertakan dalam penelitian ini
adalah ahli di bidang Ilmu Pencegahan Penyakit Gigi dan Mulut
(Periodontologi) dari Fakultas Kedokteran Gigi UGM berjumlah 3 orang.
Konsultasi mengenai rancangan media ajar yang berupa model gigi
dilakukan dengan meminta pendapat pakar untuk mengisi lembar
pernyataan berupa kuisioner yang berisi pernyataan-pernyataan mengenai
model gigi dengan kalkulus artifisial (Sugiyono, 2010a).
Uji kesepakatan pakar (judgment experts) dilakukan dengan
measuring agreement menggunakan Cohen’s kappa statistic (Woodward,
1999).
Rumus Kappa: k = PO - PE 1 - PE
Keterangan:
k = Kappa
PO = proporsi jumlah yang diobservasi
PE = proporsi jumlah ekspektasi
Hasil kesepakatan kappa (Fleiss, 1991 cit. Woodward,1999) adalah
sebagai berikut:
Excellent agreement jika k ≥ 0,75
Good agreement jika 0,4<k<0,75
Poor agreement jika k≤0,4
67
3. Demonstrasi Model Gigi dengan Kalkulus Artifisial
Model gigi dengan kalkulus artifisial yang akan dijadikan alat simulasi
praktik skaling terlebih dahulu dilakukan demonstrasi cara penggunaannya
pada mahasiswa. Demonstrasi dilakukan untuk menyamakan persepsi antara
dosen/instruktur pembimbing praktik dengan mahasiswa tentang cara
penggunaan model gigi. Lokasi dilakukan di skills lab JKG Poltekkes
Kemenkes Yogyakarta, demonstrasi diadakan pada tanggal 11 dan 12
Oktober 2012.
Demonstrasi diikuti oleh mahasiswa semester 3 dan 5, dilakukan oleh
dokter gigi pembimbing praktik skaling. Mahasiswa diberi penjelasan cara
melakukan skaling dengan benar, cara menilai kebersihan mulut pasien, serta
posisi saat melakukan skaling pada pasien.
3. Pengukuran Pengaruh Intervensi Model Gigi dengan Kalkulus Artifisial terhadap Prestasi Mahasiswa dilihat dari Nilai Kognitif dan Nilai Keterampilan Praktik Skaling
Setelah dilakukan demonstrasi penggunaan model gigi, kemudian
dilakukan aplikasi model gigi dengan kalkulus artifisial pada praktik skaling,
baik pada mahasiswa semester 3 maupun 5. Mahasiswa dibagi 2 kelompok
yaitu kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Kelompok kontrol
menggunakan model gigi standar sebagai alat simulasi, sedangkan kelompok
eksperimen menggunakan model gigi dengan kalkulus artifisial.
Pada kedua kelompok terlebih dahulu dilakukan uji normalitas untuk
menentukan penggunaan parameter (Soegiyono, 2010b). Secara skematik
68
jalannya penelitian terdiri dari 4 tahap yang ditunjukkan pada Gambar 8
sebagai berikut:
Gambar 8. Skema jalannya penelitian
J. Teknis Analisis Data
Teknik analisis statistik untuk mengetahui pengaruh intervensi media ajar
dalam bentuk model gigi dengan kalkulus artifisial terhadap prestasi mahasiswa
dilihat dari nilai kognitif dan nilai keterampilan praktik skaling menggunakan
program SPSS for windows versi 16.00 yang berlisensi.
K. Etika Penelitian
Penelitian ini dinilai kelayakannya oleh Komisi Etik Penelitian FK UGM
untuk mendapatkan ethical clearance. Subyek penelitian terlebih dulu diberi
penjelasan maksud, tujuan, manfaat, serta prosedur penelitian. Semua informasi
III. Demonstrasi model gigi dengan kalkulus artifisial
IV. Pengukuran pengaruh intervensi model gigi dengan kalkulus artifisial terhadap
prestasi mahasiswa dilihat dari nilai kognitif dan nilai keterampilan praktik
skaling.
II. Pengembangan Media ajar untuk Praktik Skaling
I. Studi Pendahuluan
69
dan data yang diperoleh hanya digunakan untuk keperluan penelitian dan dijaga
kerahasiaannya. Apabila responden bersedia diikutsertakan dalam penelitian
maka responden diminta menandatangani lembar persetujuan (informed
consent).
Pengukuran nilai kognitif dan nilai keterampilan praktik mahasiswa pada
penelitian ini tidak berkontribusi terhadap nilai akhir mahasiswa. Setelah
pengumpulan data selesai, mahasiswa kelompok kontrol juga mendapat
kesempatan melakukan praktik menggunakan media ajar yang dikembangkan,
hal ini bertujuan untuk melengkapi pemahaman mahasiswa dalam melakukan
praktik skaling dengan benar.
70
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.Hasil Penelitian
1. Pengembangan Media Ajar untuk Praktik Skaling
Model gigi (typodont) standar yang digunakan sebagai alat simulasi
praktik skaling saat ini belum menggambarkan keadaan rongga mulut pasien
sesungguhnya, model tidak mendukung pencapaian salah satu kompetensi
yang harus dicapai mahasiswa yaitu mahasiswa mampu melakukan tindakan
skaling dengan benar yang merupakan salah satu tugas pokok seorang
perawat gigi. Model gigi standar yang saat ini digunakan mahasiswa sebagai
alat simulasi praktik skaling dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 9. Model gigi standar
Model gigi standar (Gambar 9) berupa satu unit rahang atas dan rahang
bawah tanpa ada gambaran kalkulus pada pasien, model ini hanya dilengkapi
pengait sehingga bisa dibuka. Model juga tanpa alat penyangga sehingga
kurang efektif dalam penggunaannya. Pengembangan model gigi agar
mahasiswa lebih memahami cara melakukan praktik skaling secara benar,
model memperhatikan segi kenyamanan yaitu posisi mahasiswa sebagai
operator dengan posisi pasien saat melakukan tindakan skaling, untuk itu
71
model gigi perlu dilengkapi dengan alat penyangga yang dapat diatur
posisinya sesuai kebutuhan operator.
Unit model gigi yang dikembangkan adalah model yang mendekati
kondisi pasien sebenarnya. Unit ini terdiri dari dua bagian yaitu: a) model gigi
dengan kalkulus artifisial dan b) alat penyangga. Model gigi dapat diatur
sedemikian rupa sehingga model dapat dibuka sesuai kebutuhan operator,
sedangkan alat penyangga dapat diatur posisinya seperti posisi pasien.
Unit model gigi ini terdiri dari beberapa komponen yaitu: pipa stainles
steel (tiang penyangga), gear, clamp, pengunci (pulir), clamp cayel, model
gigi, dan kalkulus artifisial. Sketsa unit model gigi dengan kalkulus artifisial
(Gambar 10) sebagai berikut:
Gambar 10. Sketsa media ajar yang dikembangkan dalam bentuk unit model gigi dengan alat penyangga
Keterangan:
(1) Pipa stainless steel:
Pipa stainless steel berfungsi sebagai tiang penyangga serta
penghubung antara clamp dengan model gigi, pipa ini memiliki diameter
12 mm dengan panjang 50 cm. Pemasangan pipa stainless steel
72
dihubungkan dengan gear dengan cara menempatkan pipa yang pada
bagian ujung bawahnya dibuat membulat sehingga membuat pergerakan
pipa pada gear bisa bergerak ke atas dan ke bawah sesuai kebutuhan
operator.
(2) Gear
Gear berfungsi sebagai poros dari pergerakan stainless steel, gear
ini memiliki diamater 30 mm dengan panjang 6 cm. Pemasangan gear
dihubungkan dengan clamp dan pipa stainless steel, gear merupakan
poros yang menggerakkan stainless steel ke atas, ke bawah, dan rotasi
dengan menggunakan putaran roda gigi sehingga mampu mengatur
gerakan dari alat penyangga dengan baik.
(3) Clamp
Clamp merupakan satu kesatuan dengan pengunci (pulir) yang
dihubungkan juga dengan gear. Pemasangan clamp ditempatkan pada
meja kerja dengan sistem pengunciannya yaitu dengan cara memutar
pengunci (pulir) sampai mencengkeram meja kerja. Clamp memiliki
panjang 7 cm dengan tinggi 10 cm.
(4) Pengunci (pulir)
Pengunci (pulir) merupakan bagian dari clamp yang posisinya
terletak diantara clamp, berfungsi mengunci clamp pada meja kerja.
Pengunci (pulir) memiliki panjang 9.5 cm.
(5) Clamp cayel
Clamp cayel terdiri dari 2 buah, masing-masing dihubungkan
73
dengan model gigi baik pada rahang atas maupun rahang bawah. Pada
masing-masing clamp cayel terdapat pengunci yang berfungsi sebagai
penahan model gigi pada alat penyangga (pipa stainless steel). Clamp
cayel berfungsi untuk menyangga model gigi serta mengatur pembukaan
dan penutupan rahang pada model gigi sehingga memudahkan operator
untuk mengatur pembukaan dan penutupan rahang. Clamp cayel
memiliki panjang 4 cm.
(6) Model Gigi
Model gigi yang digunakan adalah model gigi Hero Dental
Products Japan.
(7) Kalkulus artifisial
Kalkulus dibuat dari campuran resin dan hardener dalam jumlah
yang sama, aduk hingga merata kemudian diberi acrylic colour sampai
diperoleh warna seperti kalkulus sesungguhnya.
Model gigi dengan kalkulus artifisial lebih mendekati kondisi nyata
pasien, lebih mudah bagi pembimbing praktik dalam menyampaikan
informasi tentang teknik skaling. Model dilengkapi dengan alat penyangga
dan kalkulus artifisial sehingga lebih membantu melatih keterampilan praktik
skaling dan menambah motivasi mahasiswa. Model ini efektif dan efisien
karena alat penyangga dapat dipasang di meja kerja dan posisinya diatur
sesuai kebutuhan operator/mahasiswa, praktis dan ekonomis, dapat digunakan
kembali untuk praktik berikutnya.
Model yang dikembangkan (Gambar 11) adalah sebagai berikut:
74
Gambar 11. Model gigi dengan kalkulus artifisial dan alat penyangga
Perbedaan model gigi standar dengan model gigi yang dikembangkan
adalah sebagai berikut:
Tabel 4. Perbedaan model gigi standar dan model gigi yang dikembangkan
No Model gigi standar Model gigi yang dikembangkan 1 Model belum dapat melatih aspek keterampilan
skaling mahasiswa dengan cukup memadai. Model sudah dapat melatih aspek keterampilan skaling dengan cukup memadai.
2 Model tidak memberikan gambaran klinis keadaan pasien sesungguhnya.
Model sudah memberikan gambaran klinis keadaan pasien sesungguhnya.
3 Posisi model tidak dapat diatur sesuai kebutuhan operator.
Posisi model dapat diatur sesuai kebutuhan operator.
4 Tidak ada kalkulus artifisial sehingga mahasiswa sulit menggambarkan kelainan kalkulus.
Ada kalkulus artifisial yang mempunyai perlekatan dan warna menyerupai kalkulus sesungguhnya sehingga membantu mahasiswa dalam praktik skaling.
5 Tidak ada alat penyangga sehingga tidak praktis karena harus dipegang sendiri oleh mahasiswa.
Dilengkapi alat penyangga model yang dapat dipasang di meja kerja.
Data yang diperoleh dari para pakar kemudian dihitung kesepakatannya
menggunakan uji kesepakatan Cronbach Alpha. Hasil uji kesepakatan ketiga
pakar diperoleh nilai Kappa (k) ≥0,671 artinya terdapat kesepakatan yang
baik antara ketiga pakar mengenai rancangan model gigi tersebut. Hasil
perhitungan kesepakatan pakar ditunjukkan pada Tabel 5 sebagai berikut:
75
Tabel 5. Hasil perhitungan kesepakatan pakar
Pakar Kappa’s
Value Approx
Sig. Keterangan
Pakar A_B 0.800 0.005 Excellent agreement
Pakar B_C 0.750 0.007 Excellent agreement
Pakar A_C 0.671 0.028 Good agreement
Tabel 6. Hasil uji kesepakatan Kappa berdasarkan frequency table
Pakar Persentasi kesepakatan (%)
Pakar A_B 91,7
Pakar B_C 83,3
Pakar A_C 91,7
Hasil perhitungan kesepakatan pakar berdasarkan diperoleh nilai kappa
(k) ≥0,671, sedangkan berdasarkan tabel frekuensi persentasi kesepakatan
antar pakar >80% (Tabel 5 dan 6). Hal ini berarti telah terjadi kesepakatan
yang baik antar pakar sehubungan dengan model gigi dengan kalkulus
artifisial sehingga model gigi tersebut layak dijadikan instrumen penelitian.
Responden pada penelitian ini adalah mahasiswa semester 3 dan 5
pendidikan diploma III Keperawatan Gigi. Karakteristik responden menurut
jenis kelamin adalah sebagai berikut:
Tabel 7. Karakteristik responden menurut jenis kelamin
No Jenis kelamin Frekuensi Persentase (%) 1 Laki-laki 43 30,71 2 Perempuan 97 69,29 Jumlah 140 100
76
2. Pengukuran Pengaruh Intervensi Model Gigi dengan Kalkulus Artifisial terhadap Prestasi Mahasiswa dilihat dari Nilai Kognitif dan Nilai Keterampilan Praktik Skaling
Tabel 8. Uji normalitas data (one sample kolmogorov smirnov-test)
Kelompok Pretest kog sm3
Posttest kog. sm3
Pretest kog sm3
Posttest kog. sm3
Ketrp. sm3
Ketrp. sm5
0,487 0,522 0,640 0,406 0,285 0,113 Eksperimen p-value Kontrol p- value 0,610 0,665 0,312 0,836 0,139 0,311
Hasil uji normalitas menunjukkan masing-masing data mempunyai nilai
p>0,05 artinya data pada penelitian ini berdistribusi normal (Tabel 8).
Tabel 9. Hasil analisis paired t-test nilai kognitif kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada semester 3 dan 5
Pretest Posttest Variabel
Mean±SD Mean±SD Δ Mean p 95%CI
Semester 3 Eksperimen Kontrol Semester 5 Eksperimen Kontrol
45,4±9,6 42,4±8,9
51,3±11,2 54,6±10,0
64±10,9 62±10,4
70,4±10,7 68,5±10,6
18,6 19,6
19,1 13,9
0,001 0,001
0,001 0,001
14,49 – 22,70 15,19 – 24,00
15,03 – 23,25 9,68 – 18,25
Hasil analisis paired t-test nilai kognitif mahasiswa semester 3
menunjukkan rata-rata nilai pretest kelompok eksperimen sebesar 45,4 dan
posttest sebesar 64, sedangkan rata-rata pretest kelompok kontrol sebesar
42,4 dan posttest sebesar 62 artinya ada perbedaan yang signifikan (p=0,001)
antara rata-rata nilai pretest dan posttest pada kelompok eksperimen maupun
kelompok kontrol. Pada mahasiswa semester 5, rata-rata nilai pretest
kelompok eksperimen sebesar 51,3 dan posttest sebesar 68,5 sedangkan rata-
rata pretest kelompok kontrol sebesar 54,6 dan posttest sebesar 68,5 artinya
setelah intervensi model gigi ada perbedaan yang bermakna (p=0,001) antara
77
rata-rata nilai pretest dan posttest pada kelompok eksperimen maupun
kelompok kontrol (Tabel 9).
Tabel 10. Hasil analisis independent t-test perbedaan selisih nilai kognitif kelompok eksperimen dan kontrol pada semester 3 dan 5
Variabel Mean±SD Δ Mean p 95%CI
Semester 3 Eksperimen Kontrol Semester 5 Eksperimen Kontrol
18,6±11,9 19,6±12,8
19,1±11,9 13,9±12,4
-1
5,2
0,73
0,08
-6,91 – 4,91
-0,65 – 10,99
Hasil analisis perbedaan selisih rata-rata nilai kognitif kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol pada Tabel 9 menunjukkan pada
mahasiswa semester 3 ada selisih rata-rata nilai antara kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol sebesar -1 dengan p=0,73. Demikian juga untuk
mahasiswa semester 5 selisih rata-rata nilai kognitif antara kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol sebesar 5,2 dengan p=0,08; hal ini berarti
baik pada mahasiswa semester 3 maupun semester 5 setelah intervensi model
gigi walaupun ada peningkatan rata-rata nilai kognitif kedua kelompok,
namun tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik.
Tabel 11. Hasil analisis paired t-test nilai keterampilan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol semester 3 dan 5
Sem 3 Sem 5
Variabel Mean±SD Mean±SD
Δ Mean p 95%CI
Jenis perlakuan Eksperimen Kontrol
87,5±7,6 76,5±10,1
91,1±4,9 77,9±7,1
3,7 1,5
0,006 0,530
1,16 – 6,21 -3,20 – 6,12
Tabel 11 memperlihatkan bahwa rata-rata nilai keterampilan mahasiswa
kelompok eksperimen semester 3 sebesar 87,5 dan semester 5 sebesar 91,1.
78
Rata-rata nilai keterampilan mahasiwa semester 5 lebih tinggi dibandingkan
semester 3, namun demikian tidak ada perbedaan yang signifikan secara
statistik nilai keterampilan pada kelompok eksperimen (p=0,006). Rata-rata
nilai keterampilan mahasiswa kelompok kontrol semester 3 sebesar 76,5 dan
semester 5 sebesar 77,9. Rata-rata nilai keterampilan kelompok kontrol
mahasiswa semester 5 lebih tinggi dibandingkan semester 3, namun tidak ada
perbedaan yang signifikan secara statistik (p=0,53).
Tabel 12. Hasil analisis independent t-test perbedaan selisih nilai keterampilan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol semester 3 dan 5
Variabel Mean±SD Δ Mean p 95%CI
Jenis perlakuan Eksperimen Kontrol
3,7±7,4
1,5±13,5
2,2
0,397
-3,01 – 7,46
Hasil analisis perbedaan selisih rata-rata nilai keterampilan kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol antara mahasiswa semester 3 dan 5 pada
Tabel 12 menunjukkan bahwa ada selisih rata-rata nilai sebesar 2,2 dengan
p=0,397. Hal ini berarti baik pada mahasiswa semester 3 maupun semester 5
setelah intervensi model gigi walaupun ada peningkatan rata-rata nilai
keterampilan kedua kelompok, namun tidak ada perbedaan yang bermakna
secara statistik.
Tabel 13. Hasil analisis multivariat menggunakan regresi linier nilai kognitif terhadap nilai keterampilan semester 3 dan 5
Variabel Koef. p 95%CI constanta R2
Kognitif semester 3 Kognitif semester 5
0,012 0,143
0,915 0,182
-0,202 – 0,225 -0,069 – 0,355
-0,018 0,027
79
Pada analisis multivariat menggunakan analisis regresi linier, yaitu
menguji secara bersama-sama selisih rata-rata nilai kognitif pada semester 3
dan 5 dengan selisih rata-rata nilai keterampilan semester 3 dan 5 (Tabel 13).
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai koefisien kognitif semester 3 sebesar
0,012 sedangkan semester 5 sebesar 0,143 dengan p=0,915. Nilai ini
menunjukkan bahwa setiap peningkatan nilai kognitif semester 3 akan
meningkatkan nilai keterampilan sebesar 0,012 setelah dikontrol dengan nilai
kognitif semester 5. Kenaikan rata-rata nilai kognitif semester 5 akan
meningkatkan nilai keterampilan sebesar 0,143 setelah dikontrol dengan nilai
kognitif semester 3. Nilai koefisien determinan (R2)=0,027 yang berarti
bahwa nilai kognitif semester 3 dan 5 memprediksi terhadap peningkatan
nilai keterampilan sebesar 2,7 %.
B. Pembahasan
Uji normalitas menunjukkan masing-masing data mempunyai nilai
p>0,05 artinya data pada penelitian ini berdistribusi normal, sehingga
pengujian hipotesis menggunakan uji parametrik (Tabel 8). Hasil analisis
paired t-test rata-rata nilai pretest lebih rendah dibandingkan posttest baik
pada mahasiswa semester 3 maupun 5 baik pada kelompok eksperimen
maupun kontrol dengan nilai p=0,001 artinya ada perbedaan yang signifikan
secara statistik (Tabel 9), hal ini karena posttest dilakukan setelah mahasiswa
melakukan praktik skaling sehingga sudah mendapat pengalaman hal-hal
yang berkaitan dengan praktik.
80
Prestasi mahasiswa dapat dilihat dari sisi kognitif yaitu untuk melihat
penguasaan pengetahuan sebagai ukuran pencapaian hasil belajar (Sudjana
dan Ibrahim, 2007), sesuai juga dengan pernyataan Kolb (1984) dan
Harsono (2008) bahwa pembelajaran akan lebih efektif ketika didasarkan
pada pengalaman sehingga akan lebih memudahkan mahasiswa mencapai
kompetensi yang ditetapkan kurikulum.
Hasil analisis independent t-test pada Tabel 10 menunjukkan bahwa
mahasiswa semester 3 ada perbedaan selisih rata-rata nilai antara kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol sebesar -1 dengan p=0,73. Demikian juga
untuk mahasiswa semester 5 sebesar 5,2 dengan p=0,08; hal ini berarti baik
pada mahasiswa semester 3 maupun semester 5 setelah intervensi model gigi
ada peningkatan rata-rata nilai kognitif kedua kelompok, namun tidak ada
perbedaan yang signifikan secara statistik.
Kekuatan media ajar berupa alat simulasi pada proses penilaian
keterampilan yang didemonstrasikan mahasiswa adalah model dapat
meminimalisir variabilitas situasi yang dapat menimbulkan bias pada proses
penilaian, hal ini sangat penting dalam pencapaian target kompetensi
mahasiswa. Pernyataan ini sejalan dengan Scalese et al., 2007 bahwa media
ajar berupa alat simulasi dapat digunakan dalam proses penilaian kompetensi
klinik mahasiswa.
Mahasiswa dapat melakukan keterampilan praktik sesuai teori sehingga
meningkatkan motivasi dan hasil belajar mahasiswa. Pendapat ini didukung
oleh penelitian Ismahmudi (2007) ada hubungan antara minat dan motivasi
81
pembelajaran terhadap target keterampilan praktik mahasiswa, serta
pernyataan Niemantsverdriet et al. (2005) dan Reid (2006) bahwa faktor-
faktor yang mempengaruhi hasil proses pembelajaran antara lain adalah
lingkungan, keinginan, dan motivasi mahasiswa.
Tabel 11 memperlihatkan bahwa rata-rata nilai keterampilan mahasiswa
semester 5 lebih tinggi daripada semester 3, namun secara statistik tidak ada
perbedaan yang signifikan baik kelompok eksperimen (p=0,006) maupun
kelompok kontrol (p=0,53). Penguasaan keterampilan praktik merupakan
unsur penting dari mutu lulusan perawat gigi dan penyediaan media ajar
berupa model gigi sesuai kondisi nyata pasien adalah salah satu upaya
peningkatan mutu pembelajaran klinik.
Penggunaan alat simulasi dapat meningkatkan keterampilan klinik
mahasiswa (Gerner et al., 2010). Model dapat melatih kemampuan
mahasiswa dalam berpikir analitis dan penelusuran masalah yang dihadapi
mahasiswa. Hal ini diperkuat pernyataan bahwa model berupa alat simulasi
pembelajaran merupakan sebuah usaha menciptakan pengalaman
menghadapi pasien tanpa menimbulkan hal-hal yang dapat merugikan pasien
(Waxman dan Telles, 2009).
Mutu proses pembelajaran juga ditentukan oleh input dari pembelajaran
misalnya kualitas calon mahasiswa JKG yang rendah menyebabkan motivasi
belajar yang rendah, masih ditemukan juga mahasiswa yang tidak
berpartisipasi secara aktif dalam proses pembelajaran. Sumiati dan Asra
(2007) mengatakan bahwa motivasi memberi semangat seseorang untuk
82
berperilaku dan memberi arah dalam belajar, hal ini ditegaskan juga oleh
Snell et al. (2000) dan Ormrod (2009) bahwa ada hubungan antara mutu
pembelajaran dengan output dari upaya peningkatan mutu pembelajaran
yaitu prestasi mahasiswa.
Hasil analisis independent t-test perbedaan selisih rata-rata nilai
keterampilan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol antara mahasiswa
semester 3 dan 5 pada Tabel 12 menunjukkan bahwa baik pada mahasiswa
semester 3 maupun semester 5 setelah intervensi model gigi walaupun ada
peningkatan rata-rata nilai keterampilan kedua kelompok, namun tidak ada
perbedaan yang bermakna secara statistik (p=0,397).
Kedudukan media ajar berupa model gigi adalah alat simulasi untuk
menyalurkan pesan/informasi hal-hal yang berkaitan dengan praktik skaling.
Latihan penggunaan model yang kurang sehingga kesempatan mahasiswa
mempraktikkan model menjadi lebih sedikit menyebabkan pembelajaran
belum secara maksimal. Proses untuk mencapai keterampilan di klinik
memerlukan perencanaan secara sistematik sehingga target kompetensi
mahasiswa bisa tercapai, selain itu dibutuhkan peran pembimbing. Wimmers
(2006) menyatakan bahwa peran pembimbing sangat penting untuk
meningkatkan kompetensi peserta didik. Mandriawati (1998) juga
menegaskan bahwa peran pembimbing praktik adalah membimbing
mahasiswa mengaplikasikan teori ke dalam praktik, melatih keterampilan,
serta sebagai fasilitator.
83
Pada analisis regresi linier yaitu menguji secara bersama-sama selisih
rata-rata nilai kognitif dengan selisih rata-rata nilai keterampilan semester 3
dan 5 (Tabel 13) menunjukkan bahwa nilai koefisien determinan (R2)=0,027
yang berarti nilai kognitif semester 3 dan 5 memprediksi terhadap
peningkatan nilai keterampilan sebesar 2,7%, nilai kognitif berkontribusi
2,7% terhadap peningkatan nilai keterampilan, sedangkan peningkatan
sebesar 97,3% disebabkan faktor-faktor lain.
Pengembangan media ajar hanyalah salah satu sarana pendidikan dari
beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi hasil pembelajaran, masih
banyak faktor internal dan eksternal lain yang dapat mempengaruhi hasil
pembelajaran mahasiswa yang tidak dikendalikan pada penelitian ini,
pernyataan ini didukung oleh Syah (2010). Keterbatasan media ajar yang
dikembangkan, kurangnya peran pembimbing dalam memberikan
pemahaman maupun umpan balik kepada mahasiswa, serta waktu
pembelajaran yang kurang, berkontribusi rendah terhadap peningkatan
keterampilan mahasiswa pada penelitian ini.
C. Kelebihan dan Keterbatasan Penelitian
1. Kelebihan Penelitian
Kelebihan penelitian ini adalah:
a. Permasalahan pada penelitian ini digali dengan menggunakan instrumen
evaluasi model penjaminan mutu PDCA pada pembelajaran klinik.
84
b. Instrumen evaluasi mutu pembelajaran klinik yang dihasilkan pada
penelitian ini sangat mudah diterapkan, praktis, tidak memerlukan tenaga
dan biaya yang besar.
c. Instrumen evaluasi mutu pembelajaran klinik bermanfaat sebagai salah
satu acuan untuk melakukan evaluasi diri (self-assessment) dalam rangka
peningkatan mutu pendidikan keperawatan gigi maupun program studi lain
di lingkungan Politeknik Kesehatan Kemenkes.
d. Penelitian ini menghasilkan media ajar berupa unit model gigi dengan
kalkulus artifisial dilengkapi alat penyangga yang sederhana, memenuhi
kebutuhan operator, mudah direplikasi, aman, dan harganya terjangkau.
e. Penggunaan unit model gigi dengan kalkulus artifisial dapat dilakukan
kapan saja dan memungkinkan peniruan berbagai kondisi pasien untuk
praktik skaling sesuai kebutuhan .
f. Penelitian ini menghasilkan panduan pelaksanaan penilaian mutu
pembelajaran klinik pendidikan keperawatan gigi Poltekkes Kemenkes.
g. Penelitian ini menghasilkan panduan penggunaan model gigi dengan
kalkulus artifisial sebagai alat simulasi praktik skaling pada pendidikan
diploma keperawatan gigi.
2. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian ini adalah:
a. Implementasi evaluasi model penjaminan mutu PDCA ini hanya dilakukan
untuk menemukan masalah potensial pada pembelajaran klinik pendidikan
keperawatan gigi.
85
b. Model gigi hanya digunakan untuk kebutuhan praktik skaling.
c. Model gigi belum dikalibrasi.
d. Penelitian ini tidak dilakukan pengendalian faktor-faktor determinan yang
bisa mempengaruhi hasil pembelajaran mahasiswa.
86
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kesimpulan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tersedianya unit model gigi dengan kalkulus artifisial sebagai media ajar
yang memadai untuk praktik skaling yang merupakan salah satu upaya tindak
lanjut (follow up) untuk meningkatkan mutu pembelajaran klinik.
2. Ada pengaruh intervensi menggunakan media ajar yang dikembangkan pada
praktik skaling terhadap prestasi mahasiswa, yaitu:
a. Ada perbedaan yang signifikan nilai kognitif mahasiswa antara sebelum
dan setelah intervensi menggunakan media ajar pada praktik skaling.
b. Ada perbedaan yang signifikan nilai keterampilan mahasiswa antara
sebelum dan setelah intervensi menggunakan media ajar pada praktik
skaling.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan penelitian maka saran yang diajukan adalah
sebagai berikut:
1. Implementasi model penjaminan mutu PDCA sebaiknya dilakukan secara
berkelanjutan dan tidak hanya satu siklus PDCA.
2. Instrumen evaluasi model penjaminan mutu PDCA sebaiknya dikembangkan
pada level yang lebih luas (program studi/institusi) dan diaplikasikan pada
Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes yang lain atau jurusan lain di
lingkungan Politeknik Kesehatan.
87
3. Model gigi (typodont) perlu disempurnakan lagi sehingga tidak terbatas
digunakan untuk praktik skaling tetapi juga sebagai media ajar praktik yang
lain seperti oral diagnose, promosi kesehatan gigi dan mulut, konservasi gigi,
dan lain-lain.
4. Perlunya kalibrasi model gigi.
5. Penelitian lebih lanjut tentang intervensi media ajar dilakukan dengan
memperhatikan faktor-faktor lain seperti sikap, minat dan bakat, serta
motivasi, dan lain-lainnya yang dapat mempengaruhi hasil pembelajaran
mahasiswa.
88
RINGKASAN
Paradigma baru manajemen pendidikan tinggi di Indonesia yaitu
peningkatan mutu secara berkelanjutan, otonomi, akuntabilitas, akreditasi dan
evaluasi perlu dicapai (Depdiknas, 2003). Penerapan sistem penjaminan mutu
(quality assurance) di suatu lembaga pendidikan tinggi sangat diperlukan
sehingga para lulusan mampu bersaing di pasar global dengan mutu yang baik
(Hadi, 2005). Perguruan tinggi perlu melaksanakan sistem penjaminan mutu
untuk menjamin agar mutu pendidikan perguruan tinggi dapat dipertahankan dan
ditingkatkan sesuai dengan yang direncanakan/dijanjikan.
Mutu pembelajaran di perguruan tinggi merupakan sebuah isu strategis
karena hal tersebut merupakan faktor determinan bagi tercapainya tujuan
pembelajaran (Morley, 2003 cit. Hoecht, 2006). Berdasarkan pengertian ini,
perguruan tinggi memiliki peran strategis dalam mempersiapkan mahasiswa
untuk bertanggung jawab di dalam masyarakat.
Proses pembelajaran di klinik adalah proses inti dalam pendidikan tenaga
kesehatan, oleh karena itu keberadaan standar kompetensi lulusan menjadi
sangat mutlak dan sifatnya strategis (Wellard et al., 2009). Pembelajaran klinik
selaras dengan pendidikan keperawatan gigi yang mengutamakan pembelajaran
praktik daripada teori. Pendidikan keperawatan gigi dituntut untuk menghasilkan
sebuah kurikulum yang membantu mahasiswa mencapai kompetensi yang
diharapkan, hal ini sesuai pendapat Papp et al. (2003) yang menyatakan bahwa
pembelajaran klinik adalah salah satu cara untuk meningkatkan kompetensi
profesional mahasiswa keperawatan.
89
Pembelajaran klinik menjadi faktor utama yang mendukung proses
pendidikan keperawatan gigi untuk menghasilkan mutu lulusan yang kompeten
di bidangnya, hal ini sesuai pendapat Papp et al. (2003) bahwa pembelajaran
klinik adalah salah satu cara untuk meningkatkan kompetensi profesional
mahasiswa keperawatan. Mahasiswa diharapkan mempunyai kompetensi yang
menyeluruh berdasarkan pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman klinik
yang sudah mereka dapatkan selama pendidikan.
Tujuan pembelajaran klinik Jurusan Keperawatan Gigi (JKG) adalah
menciptakan ahli madya keperawatan gigi yang kompeten yaitu mampu
mengelola pelayanan asuhan kesehatan gigi dan mulut. Kemampuan dan
keterampilan dasar yang diberikan dalam pendidikan difokuskan dalam bidang
promotif, preventif, dan kuratif terbatas (Depkes, 2004). Peningkatan mutu
pembelajaran klinik pada pendidikan keperawatan gigi menjadi faktor utama
yang mendukung proses pendidikan vokasi untuk meningkatkan kualitas
lulusannya. Pengalaman pembelajaran praktik klinik penting untuk
mempersiapkan mahasiswa ke arah penerapan pengetahuan, sikap, dan
keterampilan profesional dengan memberi kesempatan mahasiswa melalui
proses pembelajaran dalam situasi nyata.
Hasil analisis studi pendahuluan tentang implementasi model PDCA pada
pembelajaran klinik di JKG menunjukkan bahwa kebutuhan media ajar berupa
model gigi (typodont) yang digunakan sebagai alat simulasi praktik skaling.
Model gigi standar yang saat ini digunakan belum menyerupai keadaan
sesungguhnya pada pasien sehingga pembelajaran praktik skaling menjadi tidak
90
efektif, hal ini menyebabkan target pencapaian kompetensi mahasiswa sering
menjadi tidak tuntas. Media ajar praktik skaling yang realistik dibutuhkan
supaya penyampaian informasi yang berkaitan dengan keterampilan skaling
lebih mudah dipahami, menambah motivasi belajar mahasiswa, meningkatkan
interaksi antar mahasiswa maupun pembimbing dengan mahasiswa, sehingga
meningkatkan mutu proses dan produk pembelajaran. Berdasarkan latar
belakang tersebut dirumuskan masalah: Apakah pengembangan media ajar pada
proses pembelajaran praktik skaling berpengaruh terhadap prestasi mahasiswa?
Tujuan penelitian ini adalah: 1) untuk mengembangkan media ajar yang
memadai untuk pembelajaran praktik skaling, 2) untuk mengetahui pengaruh
intervensi menggunakan media ajar yang dikembangkan pada praktik skaling
terhadap prestasi mahasiswa dilihat dari nilai kognitif dan nilai keterampilan.
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental semu (quasi
experiment) dengan rancang penelitian pretest-posttest control group design.
Teknik pengambilan sampel adalah simple random sampling, Jumlah sampel
140 mahasiswa terdiri dari mahasiswa semester 3 dan 5. Kriteria inklusi adalah
1) mahasiswa akan atau sudah selesai mengikuti praktik skaling, 2) bersedia ikut
serta dalam penelitian (mengisi informed consent). Kriteria eksklusi: mahasiswa
yang sedang menjalani cuti akademik, mengundurkan diri atau tidak aktif selama
penelitian dilakukan. Analisis data secara statistik dilakukan untuk mengetahui
pengaruh intervensi media ajar terhadap prestasi mahasiswa pada praktik skaling
dilihat dari nilai kognitif dan keterampilan praktik.
91
Dasar pemikiran pengembangan model ini antara lain model gigi standar
yang saat ini digunakan belum menggambarkan kondisi rongga mulut pasien
sesungguhnya sehingga pembelajaran praktik mahasiswa menjadi tidak efektif.
Model gigi standar tidak mendukung pencapaian salah satu kompetensi yang
harus dicapai mahasiswa yaitu mahasiswa mampu melakukan tindakan skaling
dengan benar yang merupakan salah satu tugas pokok seorang perawat gigi.
Langkah-langkah pengembangan model gigi meliputi: 1) pembuatan rancangan
model, 2) konsultasi pakar, 3) demonstrasi penggunaan model yang
dikembangkan, 4) aplikasi model pada praktik skaling.
Pembuatan rancangan model meliputi pembuatan sketsa model gigi, unit
model gigi yang dikembangkan terdiri dari dua bagian yaitu: (1) model gigi
dengan kalkulus artifisial dan (2) alat penyangga. Model gigi dapat diatur
sedemikian rupa sehingga model dapat dibuka sesuai kebutuhan operator,
sedangkan alat penyangga dapat diatur posisinya seperti posisi pasien. Unit
model gigi ini terdiri dari komponen-komponen yaitu: pipa stainles steel (tiang
penyangga), gear, clamp, pengunci (pulir), clamp cayel, model gigi, dan
kalkulus artifisial. Alat penyangga dapat digerakkan ke atas, ke bawah, atau
gerakan rotasi agar posisi antara operator dan model dapat diatur sesuai
kebutuhan operator sehingga mahasiswa merasa nyaman pada waktu praktik
skaling.
Hasil uji kesepakatan ketiga pakar diperoleh nilai Kappa (k) ≥0,671 artinya
terdapat kesepakatan yang baik antara ketiga pakar mengenai rancangan model
gigi tersebut sehingga model gigi layak dijadikan instrumen penelitian.
92
Demonstrasi penggunaan model terlebih dahulu supaya ada kesamaam
persepsi antara pembimbing klinik dengan mahasiswa, selanjutnya dilakukan
aplikasi model pada praktik skaling. Aplikasi model gigi dengan kalkulus
artifisial dilakukan pada mahasiswa JKG. Jumlah responden 140 mahasiswa,
yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol. Hasil uji normalitas menunjukkan masing-masing data mempunyai
nilai p>0,05 artinya data pada penelitian ini berdistribusi normal, sehingga
pengujian hipotesis menggunakan uji parametrik.
Hasil penelitian menunjukkan uji analisis paired t-test rata-rata nilai
pretest lebih rendah dibandingkan posttest baik pada mahasiswa semester 3
maupun 5 baik pada kelompok eksperimen maupun kontrol dengan nilai
p=0,001 artinya ada perbedaan yang signifikan secara statistik, hal ini karena
posttest dilakukan setelah mahasiswa melakukan praktik skaling sehingga sudah
mendapat pengalaman hal-hal yang berkaitan dengan praktik. Prestasi
mahasiswa dapat dilihat dari sisi kognitif yaitu untuk melihat penguasaan
pengetahuan sebagai ukuran pencapaian hasil belajar (Sudjana dan Ibrahim,
2007), sesuai juga dengan pernyataan Kolb (1984) dan Harsono (2008) bahwa
pembelajaran akan lebih efektif ketika didasarkan pada pengalaman sehingga
akan lebih memudahkan mahasiswa mencapai kompetensi yang ditetapkan
kurikulum.
Hasil analisis independent t-test menunjukkan bahwa mahasiswa semester
3 ada perbedaan selisih rata-rata nilai antara kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol sebesar -1 dengan p=0,73. Demikian juga untuk mahasiswa
93
semester 5 sebesar 5,2 dengan p=0,08; hal ini berarti baik pada mahasiswa
semester 3 maupun semester 5 setelah intervensi model gigi ada peningkatan
rata-rata nilai kognitif kedua kelompok, namun tidak ada perbedaan yang
signifikan secara statistik. Kekuatan media ajar berupa alat simulasi pada proses
penilaian keterampilan yang didemonstrasikan mahasiswa adalah model dapat
meminimalisir variabilitas situasi yang dapat menimbulkan bias pada proses
penilaian, hal ini sangat penting dalam pencapaian target kompetensi
mahasiswa. Pernyataan ini sejalan dengan Scalese et al., 2007 bahwa media ajar
berupa alat simulasi dapat digunakan dalam proses penilaian kompetensi klinik
mahasiswa.
Mahasiswa dapat melakukan keterampilan praktik sesuai teori sehingga
meningkatkan motivasi dan hasil belajar mahasiswa. Pendapat ini didukung oleh
penelitian Ismahmudi (2007) ada hubungan antara minat dan motivasi
pembelajaran terhadap target keterampilan praktik mahasiswa, serta pernyataan
Niemantsverdriet et al. (2005) dan Reid (2006) bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi hasil proses pembelajaran antara lain adalah lingkungan,
keinginan, dan motivasi mahasiswa.
Rata-rata nilai keterampilan mahasiswa semester 5 lebih tinggi daripada
semester 3, namun secara statistik tidak ada perbedaan yang signifikan baik
kelompok eksperimen (p=0,006) maupun kelompok kontrol (p=0,53).
Penguasaan keterampilan praktik merupakan unsur penting dari mutu lulusan
perawat gigi dan penyediaan media ajar berupa model gigi sesuai kondisi nyata
pasien adalah salah satu upaya peningkatan mutu pembelajaran klinik.
94
Penggunaan alat simulasi dapat meningkatkan keterampilan klinik mahasiswa
(Gerner et al., 2010). Model dapat melatih kemampuan mahasiswa dalam
berpikir analitis dan penelusuran masalah yang dihadapi mahasiswa. Hal ini
diperkuat pernyataan bahwa model berupa alat simulasi pembelajaran
merupakan sebuah usaha menciptakan pengalaman menghadapi pasien tanpa
menimbulkan hal-hal yang dapat merugikan pasien (Waxman dan Telles, 2009).
Mutu proses pembelajaran juga ditentukan oleh input dari pembelajaran
misalnya kualitas calon mahasiswa JKG yang rendah menyebabkan motivasi
belajar yang rendah, masih ditemukan juga mahasiswa yang tidak berpartisipasi
secara aktif dalam proses pembelajaran. Sumiati dan Asra (2007) mengatakan
bahwa motivasi memberi semangat seseorang untuk berperilaku dan memberi
arah dalam belajar, hal ini ditegaskan juga oleh Snell et al. (2000) dan Ormrod
(2009) bahwa ada hubungan antara mutu pembelajaran dengan output dari upaya
peningkatan mutu pembelajaran yaitu prestasi mahasiswa.
Hasil analisis independent t-test perbedaan selisih rata-rata nilai
keterampilan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol antara mahasiswa
semester 3 dan 5 menunjukkan bahwa baik pada mahasiswa semester 3 maupun
semester 5 setelah intervensi model gigi walaupun ada peningkatan rata-rata
nilai keterampilan kedua kelompok, namun tidak ada perbedaan yang bermakna
secara statistik (p=0,397).
Kedudukan media ajar berupa model gigi adalah alat simulasi untuk
menyalurkan pesan/informasi hal-hal yang berkaitan dengan praktik skaling.
Latihan penggunaan model yang kurang sehingga kesempatan mahasiswa
95
mempraktikkan model menjadi lebih sedikit menyebabkan pembelajaran belum
secara maksimal. Proses untuk mencapai keterampilan di klinik memerlukan
perencanaan secara sistematik sehingga target kompetensi mahasiswa bisa
tercapai, selain itu dibutuhkan peran pembimbing. Wimmers (2006)
menyatakan bahwa peran pembimbing sangat penting untuk meningkatkan
kompetensi peserta didik. Mandriawati (1998) juga menegaskan bahwa peran
pembimbing praktik adalah membimbing mahasiswa mengaplikasikan teori ke
dalam praktik, melatih keterampilan, serta sebagai fasilitator.
Pada analisis regresi linier yaitu menguji secara bersama-sama selisih rata-
rata nilai kognitif dengan selisih rata-rata nilai keterampilan semester 3 dan 5
diperoleh nilai koefisien determinan (R2)=0,027 yang berarti nilai kognitif
semester 3 dan 5 memprediksi terhadap peningkatan nilai keterampilan sebesar
2,7%, nilai kognitif berkontribusi 2,7% terhadap peningkatan nilai keterampilan,
sedangkan peningkatan sebesar 97,3% disebabkan faktor-faktor lain.
Pengembangan media ajar hanyalah salah satu sarana pendidikan dari
beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi hasil pembelajaran, masih banyak
faktor internal dan eksternal lain yang dapat mempengaruhi hasil pembelajaran
mahasiswa yang tidak dikendalikan pada penelitian ini, pernyataan ini didukung
oleh Syah (2010). Keterbatasan media ajar yang dikembangkan, kurangnya
peran pembimbing dalam memberikan pemahaman maupun umpan balik kepada
mahasiswa, serta waktu pembelajaran yang kurang, berkontribusi rendah
terhadap peningkatan keterampilan mahasiswa pada penelitian ini.
96
Kelebihan penelitian ini adalah: 1) permasalahan pada penelitian ini digali
dengan menggunakan instrumen evaluasi model penjaminan mutu PDCA pada
pembelajaran klinik, 2) instrumen evaluasi mutu pembelajaran klinik yang
dihasilkan pada penelitian ini sangat mudah diterapkan, praktis, tidak
memerlukan tenaga dan biaya yang besar, 3) instrumen evaluasi mutu
pembelajaran klinik bermanfaat sebagai salah satu acuan untuk melakukan
evaluasi diri (self-assessment) dalam rangka peningkatan mutu pendidikan
keperawatan gigi maupun program studi lain di lingkungan politeknik
kesehatan., 4) penelitian ini menghasilkan media ajar berupa unit model gigi
dengan kalkulus artifisial dilengkapi alat penyangga yang sederhana, memenuhi
kebutuhan operator, mudah direplikasi, aman, dan harganya terjangkau, 5)
penggunaan unit model gigi dengan kalkulus artifisial dapat dilakukan kapan
saja dan memungkinkan peniruan berbagai kondisi pasien untuk praktik skaling
sesuai kebutuhan, 6) penelitian ini menghasilkan panduan pelaksanaan penilaian
mutu pembelajaran klinik Pendidikan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes,
7) penelitian ini menghasilkan panduan penggunaan model gigi dengan kalkulus
artifisial sebagai alat simulasi praktik skaling pada pendidikan diploma
keperawatan gigi.
Keterbatasan penelitian ini adalah: 1) implementasi evaluasi model
penjaminan mutu PDCA ini hanya dilakukan untuk menemukan masalah
potensial pada pembelajaran klinik pendidikan keperawatan gigi, 2) model gigi
hanya digunakan untuk kebutuhan praktik skaling, 3) model gigi belum
97
dikalibrasi, 4) penelitian ini tidak dilakukan pengendalian faktor-faktor
determinan yang bisa mempengaruhi hasil pembelajaran mahasiswa.
Kesimpulan pada penelitian ini adalah: 1) tersedianya unit model gigi
dengan kalkulus artifisial sebagai media ajar yang memadai untuk praktik
skaling yang merupakan salah satu upaya tindak lanjut (follow up) untuk
peningkatan mutu pembelajaran klinik, 2) ada pengaruh intervensi menggunakan
media ajar yang dikembangkan pada praktik skaling terhadap prestasi
mahasiswa, yaitu: a) ada perbedaan yang signifikan nilai kognitif mahasiswa
antara sebelum dan setelah intervensi menggunakan media ajar pada praktik
skaling, b) ada perbedaan yang signifikan nilai keterampilan mahasiswa antara
sebelum dan setelah intervensi menggunakan media ajar pada praktik skaling.
Saran yang diajukan adalah sebagai berikut: 1) implementasi model
penjaminan mutu PDCA sebaiknya dilakukan secara berkelanjutan dan tidak
hanya satu siklus PDCA, 2) instrumen evaluasi model penjaminan mutu PDCA
sebaiknya dikembangkan pada level yang lebih luas (program studi/institusi) dan
diaplikasikan pada JKG Poltekkes Kemenkes yang lain atau jurusan lain di
lingkungan politeknik kesehatan, 3) model gigi (typodont) perlu disempurnakan
lagi sehingga tidak terbatas digunakan untuk praktik skaling tetapi juga sebagai
media ajar praktik yang lain seperti oral diagnose, promosi kesehatan gigi dan
mulut, konservasi gigi, dan lain-lain, 4) perlunya kalibrasi model gigi, 5)
penelitian lebih lanjut tentang intervensi media ajar dilakukan dengan
memperhatikan faktor-faktor lain seperti sikap, minat dan bakat, serta motivasi,
dan lain-lainnya yang dapat mempengaruhi hasil pembelajaran mahasiswa.
98
SUMMARY
New paradigm of higher education management in Indonesia is the
continuous quality improvement, autonomy, accountability, accreditation and
evaluation that needs to be achieved (Ministry of Education, 2003).
Implementation of quality assurance system in a higher education institution is
needed so that the graduates are able to compete in the global market based on
their good quality (Hadi, 2005). Universities need to implement the quality
assurance system to guarantee the quality of a higher education institution that
can be maintained and enhanced periodically.
Quality of learning in higher education is a strategic issue because it is a
determinant factor for the achievement of learning goals (Morley, 2003 cit.
Hoecht, 2006). Based on this understanding, the university must have a strategic
role in preparing students to be responsible in the community.
Learning process in the clinic is the core process in health education;
therefore, the existence of competency standards becomes very absolute and
strategic (Wellard et al., 2009). Clinical learning is in line with dental nursing
education that promotes learning practice rather than theory. Dental Nursing
Education is required to produce a curriculum that helps students achieve
expected competency; this is consistent with the opinion by Papp et al. (2003)
which states that clinical learning is one way to improve the professional
competence of nursing students.
Clinical learning are key factors supporting the process of dental nursing
education to produce quality graduates who are competent in their field; it is
99
consistent with an opinion of Papp et al. (2003) that clinical learning is one way
to improve the professional competence of nursing students. Students are
expected to have a thorough competence based on knowledge, skills, and
experience.
The objective of clinical learning of Dental Nursing is creating dental
experts who are competent to manage the care of oral health. Basic abilities and
skills given in education is focused on the areas of promotive, preventive, and
limited curative (MOH, 2004). Improving the quality of clinical learning in
dental nursing education becomes key factors in the process of vocational
education to improve the quality of its graduates. Learning experience on
clinical practice is important to prepare students towards the application of
knowledge, attitudes, and professional skills by allowing students through the
learning process in a real situation.
The analysis results of preliminary study on the PDCA model
implementation of clinical learning in dental nursing education indicated that
learning media needed a dental model (typodont) used as a simulation tool of
scaling practices. Standard dental models that were currently used did not
resemble the actual state of the patient so that scaling practice learning became
not effective; this led to the incomplete achievement of student competence.
Realistic learning media of scaling practices were needed in order to deliver
information related to scaling skill which was more easily understood, enhanced
the motivation of students, and improved the interaction between students and
tutors thus the media improved the quality of processes and products of learning.
100
Based on the background, the formulated problem was “does the development of
learning media in the learning process of scaling practices affect student
achievement?”
The objectives of this study were: 1) to develope appropriate forms of
learning media on learning scaling practices, and 2) to determine the effect of
media intervention were developed in the scaling practice on student
achievement.
This was a quasi-experimental study with a research design of pretest-
posttest control group. Sampling technique was simple random sampling and the
sample size consisted of 140 students sitting in semester 3 and 5. The inclusion
criteria were 1) the student would take or had completed a scaling practice and
2) the student was willing to participate in the research by filling informed
consent. The exclusion criteria were the students undertaking an academic leave,
resigning or being inactive when the research was being conducted. Statistical
analysis of the data was done to determine the effect of media intervention on
student achievement in the scaling practice seen from the score of cognitive and
practical skills.
The rationale for the development of this model included standard dental
models that were currently used did not describe the condition of the oral cavity
so that the student actual practice became ineffective. Standard dental models
did not support the achievement of one of the competencies that students must
achieve to act scaling properly which is one of the main duties of a dental nurse.
Step-by- step development of dental models included: 1) making the design of
101
the model, 2) expert consultation, 3) demonstration of the use of the model
developed, and 4) application of the model in practice scaling.
Drafting of the models included sketching dental models and dental
models unit developed consisted of two parts: (1) model of artificial teeth with
calculus and (2) buffer. Dental models could be arranged so that the model could
be opened as the operator needed, while a buffer could be positioned as the
patient's position. The unit dental model consisted of components, stainless steel
pipe (poles), gear, clamp, lock, clamp cayel, dental models, and artificial
calculus. A buffer could be moved up, down, or the rotational position so that
the movement between the operator and the model could be adjusted as needed;
thus, students felt comfortable at the time in scaling practices.
Test results by the three experts obtained an agreement of Kappa value
(k) of ≥ 0.671, meaning that there was a good agreement among the three experts
about the design of the model that dental model deserved to be the instrument of
research.
Demonstration of the use of models was done in advance so that there
was the same perception between clinical instructor and the student; then model
application to the scaling practice was made. Application of the dental model
with artificial calculus was done to the students of dental nursing education.
Number of respondents was 140 students, who were divided into 2 groups: the
experimental group and the control group. The test results indicated each data
had a value of p> 0.05, meaning that the data in this study were normally
distributed so that hypothesis testing used parametric test.
102
Paired t-test analysis showed that the mean value of pretest was lower
than that in the posttest in the third and fifth semester students both in the
experimental group and in the control with p of 0.001, meaning that there was a
statistically significant difference; it was because the posttest was conducted
after the students practiced scaling so that they had got experience relating to the
practice. Student achievement can be seen from the cognitive side to see the
acquisition of knowledge as a measure of achievement of learning outcomes
(Sudjana and Ibrahim, 2007), which was also consistent with the statement of
Kolb (1984) and Harsono (2008) that learning is more effective when it is based
on experience that will facilitate students to achieve competencies set within
curriculum.
Results of independent t-test showed that there was a difference in
students of the third semester in the mean difference between the experimental
group and the control group at -1 with p = 0.73. Similarly, for the fifth semester
students was at 5.2 with p = 0.08; this means either the 3rd or 5th semester student
after intervention of dental model had an increase in the mean cognitive scores
in both groups, but not statistically and significantly different. The strength of
simulation tools in the form of learning media in assessment skills demonstrated
by the students was that the model could minimize situations variability that
could lead to bias in the assessment process; it was very important in achieving
the target of student competence. This statement was in line with Scalese et al.,
2007, that learning media in form of simulation tools could be used in student
clinical competency assessment process.
103
Students could practice skills according to the theory that this increased
student motivation and learning outcomes. This view was supported by a
research by Ismahmudi (2007) that there was a relationship between learning
interest and motivation and learning targets in practice skills and a statement by
Niemantsverdriet et al (2005) and Reid (2006) that the factors that influenced
learning outcomes included environment, desire, and motivation of students.
The mean value of skills of the 5th semester student was higher than that
of the 3rd semesters students, but statistically there was no significant difference
in either the experimental group (p = 0.006) and in the control group (p = 0.53).
Mastery of practical skills is an important element of quality dental nurse
graduates and provides learning media in the form of dental models resembling
the real conditions of the patient. This is one of the efforts to improve the quality
of clinical learning. The use of simulation tools can improve the clinical skills of
students (Gerner et al., 2010). Models can train students' ability to think
analytically and search problems faced by students. This reinforced the assertion
that a model of simulation tools is an effort to create a learning experience to
face the real patient without causing the things that may harm the patient
(Waxman and Telles, 2009).
Quality of the learning process was also determined by the input of
learning, for example, the quality low of prospective students caused low
motivation; it was also found students who did not participate actively in the
learning process. Sumiati and Asra (2007) say that motivation encourages
someone to behave and give direction in learning; it is confirmed also by Snell et
104
al (2000) and Ormrod (2009) that there is a relationship between the quality of
learning and output by improving the quality of the learning, which is student
achievement.
The results of independent t -test showed the mean difference value skills
of the experimental group and the control group between the students of
semester 3 and 5. There was an increased mean value of the skills in both
groups; however, the difference was statistically significant (p = 0.397).
The learning media in the form of dental models was as a simulation tool
to funnel messages/information relating to the practice of scaling. Lack of model
use practice resulted in fewer opportunities for students to practice the model
causing learning. Process to achieve skills in the clinic requires systematic
planning that the targets on student competence can be achieved, but it takes the
role of mentors. Wimmers (2006) states that the role of the mentor is crucial to
improve the competence of learners. Mandriawati (1998) also confirms that the
role of the mentor is to guide students to practice applying the theory and skills
and to be the facilitator.
In the linear regression analysis which was tested simultaneously, the
mean difference in cognitive value with the mean difference values of skills in
semesters 3 and 5 acquired determinant coefficient (R2) = 0.027, which means
the cognitive score of semester 3 and 5 predicted the increase in the value of
skills by 2.7 %; cognitive scores contributed 2.7 % to the increase in the value of
skills, whereas an increase of 97.3 % was due to other factors.
105
Development of learning media is just one educational facility of several
external factors that affect learning outcomes; there are many other internal and
external factors that can affect student learning outcomes that are were
controlled in this study. This statement was supported by Syah (2010). Limited
learning media Developed, lack of understanding of the role of mentors in
providing feedback to students, and less learning time contributed to improving
the skills of students in this study.
The advantages of this study are: 1) problems on this study of this
excavated using evaluate the implementation of the PDCA model of quality
assurance in learning clinical dental nursing education, 2) instrument of clinical
learning quality assessment produced in this study is very easy to implement,
practical, not requiring a huge effort and cost, 3) this instrument is very useful as
a reference for other study programs to conduct self-assessment in order to
improve the quality of polytechnic education in health environment, 4) this study
also produces learning media in the form of dental models with artificial
calculus and a simple buffer, easily replicated, safe, and affordable, 5) The use
of this model can be done anytime and allow impersonation on various patient
conditions to practice scaling as needed, 6) this study produced instruments to
evaluate the implementation of the PDCA model of quality assurance guide in
learning clinical dental nursing education in health polytechnic, 7) this study
produced in deployment guide dental models with artificial calculus and a
simple buffer as a means of simulating in practice scaling of dental nursing
education.
106
Limitations of this study are: 1) the implementation of PDCA quality
assurance assessment model just made to find potential problems at the learning
clinic dental nursing education, 2) dental models are used only for the needs of
the practice of scaling, 3) dental model has not been calibrated, and 4) this study
does not consider other determinant factors that can affect student learning
outcomes.
The conclusions of this research are: 1) there is an availability of
adequate learning media in the form of dental models and artificial calculus
equipped with a buffer for scaling practices, 2) there is an effect of intervention
using learning media in the scaling practice on a student achievement, namely:
a) a significant difference in cognitive value of scaling practices on students
before and after learning media intervention, b) a significant difference in the
score of scaling practice skills students before and after learning media
intervention.
The recommendations are as follows: 1) the implementation of the
PDCA model of quality assurance should be conducted on an ongoing basis and
not just in the PDCA cycle, 2) instrument on PDCA model of quality assurance
assessment should be developed on a broader level (study program/institution)
and applied to the dental nursing education of other health polytechnics or other
majors in health polytechnic environment, 3) dental models (typodont) needs to
be refined further so that the practice is not limited for scaling but also as a
medium of teaching practices such as oral diagnosis, oral health promotion,
dental conservation, and others, 4) there is a need for calibration of dental
107
model, 5) further research on learning media interventions should be made by
taking into account other factors such as attitudes, interests and talents,
motivations, and others that can affect student learning outcomes.
108
DAFTAR PUSTAKA
Anderson G., 2006. Assuring Quality/Resisting Quality Assurance: Academics’ responses to ‘quality’ in some Australian universities, Quality in Higher Educ., 12(2): 161-173.
Archer J.C., 2010. State of Science in Health Professional Education: Effective feedback. Med Educ., 44: 101-108.
Arikunto S., 2002. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Edisi Revisi, Bumi Aksara, Jakarta.
Arikunto S., dan Jabar C.S.A., 2009. Evaluasi Program Pendidikan, Ed. 2, Cet. 3, Bumi Aksara, Jakarta.
Arsyad A., 2006. Media Pembelajaran, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Asean University Network Quality Assurance, 2006. Manual for The
Implementation of The Guidelines, HRK German Rectors’ Conference. _____, 2010. Guide to AUN Actual Quality Assessment at Programme Level,
Version No. 2.0, Aun Secretariat, Bangkok, Thailand. Azwar S., 2004. Reliabilitas dan Validitas, Cetakan V, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta. _____, 2008. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya, Cetakan 2, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta. _____, 2009. Dasar-Dasar Psikometri, Cetakan VIII, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta. _____, 2010a. Metode Penelitian, Cetakan X, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. _____, 2010b. Penyusunan Skala Psikologi, Cetakan XIII, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta. Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, 2008. Pedoman Akreditasi
Perguruan Tinggi, BAN-PT, Jakarta. _____, 2009. Akreditasi Program Studi Diploma, Buku Borang IIIA Borang
Program Studi, edisi 7 Januari 2010, BAN-PT, Jakarta. Baird I., 2010. Programme Specification Document for Certificate Higher
Education Dental Nurse Practice, Tesside University, p.1-15. Bornmann L., Mittag S., and Daniel H.D., 2006. Quality Assurance in higher
education: meta evaluation of multi-stage evaluation procedures in Germany, Higher Educ., 52: 687-709.
Bradley P., and Postlethwaite K., 2003. Setting up a clinical skills learning facility, Med Educ., 37(Suppl. 1): 6–13.
Bradley P., Bond V., and Bradley P. 2006. A questionnare survey of students’perceptions of nurse tutor teaching in a clinical skills learning programme, Med Teach., 28(1): 49-52.
Branc W.T., and Paranjape A., 2002. Feedback and reflection: Teaching methods for clinical settings. Acad Med., 77(12): 1185-1188.
Brown R., 2004. Quality Assurance in Higher Education The UK Experience since 1992, RoutledgeFalmer, London and New York.
Buchel T.L., and Edwards F.D., 2005. Characteristics of Effective Clinical Teachers, Fam Med., 37(1): 30-5.
109
Carranza F.A., 2006. Carranza’s Clinical Periodontology, 9thEd., W.B. Saunders Co., Philadelphia, p.631-632.
Coates H., 2005. The Value of Student Engagement for Higher Education Quality Assurance, Quality in Higher Educ., 11(1): 25-36.
Collin J.P., and Harden R.M., 1998. AMEE medical education guideno. 13: Real patients, simulated patients and simulators in clinical examinations. Med Teach., 20(6): 508-515.
Cox K., 1993. Planning bedside teaching. MJA, 158: 493-495. Daelmans H.E.M., Hoogenboom R.J.I., Donker A.J.M., Scherpbier A.J.J.A.,
Stehouwer C.D.A., and van der Vleuten C., 2004. Effectiveness of clinical rotations as a learning environment for achieving competence, Med Teach., 26(4): 305-312.
Dalt D.L., Callegaro S., Mazzi A., Scipioni A., Lago P., Chiozza M.L., Zacchello F., and Perilongo G., 2010. A model of quality assurance and quality improvement for postgraduate medical education in Europe, Med Teach., 32: e57-e64
Dent J.A., 2001. Current trends and future implications in the developing role of clinical skills centers, Med Teach., 23(5): 483-489.
Dent J.A., dan Harden R.M., 2009. A Practical Guide For Medical Teachers, Third Edition, Churchill Livingstone, Toronto.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2003. Kurikulum Pendidikan Diploma III Kesehatan Gigi, Jakarta.
_____, 2004. Panduan Pembelajaran Klinik DIII Kesehatan, Badan PPSDM Kesehatan, Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, Jakarta.
_____, 2009a. Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tenaga Kesehatan, Badan PPSDM, Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, Jakarta.
_____, 2009b. Standar Proses Pembelajaran Pendidikan Tenaga Kesehatan, Badan PPSDM Kesehatan, Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, Jakarta.
_____, 2009c. Pedoman Penjaminan Mutu Pendidikan Tenaga Kesehatan, Badan PPSDM Kesehatan, Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, Jakarta.
Departemen Pendidikan Nasional, 2003. Pedoman Penjaminan Mutu (Quality Assurance), Dirjen Dikti, Jakarta.
_____, 2008a. Sistem Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi SPM-PT, Dirjen Dikti, Jakarta.
_____, 2008b. Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Pembelajaran, Direktorat tenaga Kependidikan, Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Jakarta.
Dieter P.E., 2009. A Faculty Development Program can result in an improvement of the quality and output in medical education, basic sciences and clinical research and patient care, Med Teach., 31: 655-659.
Dimoliatis IDK., Vasilaki E., Anastassopoulos P., Ionannidis J.P.A., Roff S., 2010. Validation of the Greek Translation of the Dundee Ready Education Environment Measure (DREEM), Education for Health, http://www.educationfotrhealth.net/
Djamarah S.B., 2008. Psikologi Belajar, PT Asdi Mahasatya, Jakarta.
110
Dornan T., Scherpbier A., and Boshuizen H., 2003. Toward valid measures of self directed learning, Med Educ., 37: 983-91.
Emilia O., 2003. The Relationship between The Clinical Learning Environment and The Approaches to Learning of Medical Students, Thesis, Medical Education School of Public Health and Community Medicine, Faculty of Medicine The University of New South Wales.
_____, 2008. Kompetensi Dokter dan Lingkungan Belajar Klinik di Rumah Sakit, Cetakan pertama, Gadjah Mada University Press, UGM, Yogyakarta.
Fraenkel J.R. and Wallen N.E., 2009. How to Design and Evaluate Research in Education, McGraw-Hill Co, Inc., New York.
Fry H., Ketteridge S., and Marshall S., 2009. A Handbook for Teaching and Learning in Higher Education Enhancing Academic Practice, Third Edition, Routledge, New York and London.
Gaalen A.V., 2010. EAIE Professional Development Series for International Educators 4: Internationalisation and Quality Assurance, European Association for International Education (EAIE), Amsterdam, The Netherlands.
Gagne R.M., Briggs L.J., and Wager W.W., 1992. Principles of Instructional Design, Harcourt Brace Jobanovich College Publisher, Florida.
Gaspersz V., 2005. Total Quality Management, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Gerner B., Sanci L., Cahill H., Ukoumunne O.C., Gold L., Rogers L., McCallum Z., and Wake M., 2010. Using simulated patients to develop doctors' skills in facilitating behaviour change: addressing childhood obesity, Med Educ., 44: 706-715.
Gordon J., 2006. ABC of learning and teaching in medicine: One to one teaching and feedback, BMJ, Vol.326: 543-545.
Gupta P., 2005. From PDCA to PPPP: The four P’s of process management lead to quality success, Quality Digest, QCI International.
Gvaramadze I., 2008. From Quality Assurance to Quality Enhancement in the European Higher Education Area, European Journal of Educ., 43(4): 443-467.
Hadi P., 2005. Strategi Peningkatan Mutu Madrasah Tsanawiyah (Penelitian Kualitatif pada Strategi Peningkatan Mutu MTsN di kab Jember, Jawa Timur), Disertasi, PPS, UPI, Bandung.
Hall J.E., and Altmaier E.M., 2008. Global Promise Quality Assurance and Accountability in Professional Psychology, Oxford University Press.
Hamalik O., 2009. Proses Belajar Mengajar, Cetakan kesembilan, Bumi Aksara, Jakarta.
Hancock D.R., 2007. Effect of performance assessment on the achiement and motivation of graduate students, Active Learning in Higher Educ., 8: 219-231.
Harden R.M., Crosby J.R., and Davis M.H., 1999. AMEE Guide no 14. Outcome-based education:Part 1. An Introducton to Outcome-Based Education, Med Teach., 21(1): 7-14.
111
Harsono, 2008. Student-Centered Learning di Perguruan Tinggi, Jur. Pend. KPKI, 3(1): 4-8.
Hart J., and Rogojinaru A., 2007. The Development of National Qualifications and Quality Assurance Frameworks in the Contex of the TVET Reform in Romania, European Journal of Educ., 42(4): 549-572.
Hays R., 2006. Teaching and Learning in Clinical Settings, Radcliffe Publishing Ltd, United Kingdom.
Hoecht A., 2006. Quality Assurance in UK Higher Education: Issues of trust, control, professional autonomy and accountability, Higher Educ., 51: 541-563.
Hutchinson L., 2003. ABC learning & teaching: Educational environment, BMJ, 326:810-812.
Irby D., and Bowen J.L., 2004. Time-efficient strategies for learning and performance, The Clin Teach., 1(1): 23-28.
Issa N., Mayer R.E., Schuller M., Wang E., Shapiro M.B., and DaRosa D.A., 2013. Teaching for understanding medical classrooms using multimedia design principles, Med Educ., 47: 388-396.
Ismahmudi R., 2007. Hubungan antara Minat dan Motivasi Mahasiswa mengikuti Pembelajaran Klinik Keperawatan dengan Pencapaian Target Keterampilan Klinik di Akper Muhammadiyah Samarinda, Tesis, Ilmu Keperawatan, Universitas Muhammadiyah Samarinda, Kalimantan Timur.
Jacoeb T.Z., Soewondo P., dan Kurniawan A., 2005. Pedoman Penjaminan Mutu Pendidikan Kedokteran Dasar, Unit Penjaminan Mutu Akademik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UPMA-FKUI), Jakarta.
Jihad A., dan Haris A., 2010. Evaluasi Pembelajaran, Multi Pressindo, Yogyakarta.
Johnson B., and Christensen L., 2008. Educational Research: Quantitative, Qualitative, and Mixed Approaches, 3rd Ed., Sage Publications Inc., California.
Jones G.L., 2005. Beyond tomorrow’s doctors’ a review of basic medical education in the UK, Annals of Tropical Paediatrics, pp.71-78.
Juran J.M., and Godfrey A.B., 1999. Juran’s Quality Handbook, 5thed., McGraw-Hill Co., New York.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010a. Standar Pengelolaan Pendidikan Tenaga Kesehatan, Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan, Kemenkes, Jakarta.
_____, 2010b. Kurikulum Inti Pendidikan Diploma III Keperawatan Gigi, Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan, Kemenkes, Jakarta.
_____, 2010c. Standar Penilaian Pendidikan Tenaga Kesehatan, Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan, Kemenkes, Jakarta.
_____, 2011. Pedoman Implementasi Kurikulum Inti Pendidikan Diploma III Keperawatan Gigi, Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM
112
Kesehatan, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan, Kemenkes, Jakarta.
Kirkpatrick D.L., and Kirkpatrick J.D., 2006. Evaluating Training Programs: The Four Levels, Third Edition, Berrett-Koehler Publishers, Inc, San Fransisco.
Klaus H., Rateitschak E.M., Wolf H.E., and Hassel T.M., 1989. Color Atlas of Dental Medicine 1: Periodontology, 2nd Revised and Expanded Ed., Thieme Medical Publishers, Inc., New York.
Kneebone R. and Nestel D., 2005. Learning clinical skills-the place of and simulation feedback. London: Blackwell Publishing Ltd., The Clin Teach., 2(2): 86-90.
Knowles M.S., Holton E., and Swanson R.A., 2005. The Adult Learner: The Definitive Classic in Adult Education and Human Resource Development, Amsterdam, Elsevier.
Kohoutek J., 2009. Studies on Higher Education. Unesco Cepes, Bucharest. Kolb D.A., 1984. Experiental Learning: Experience as The Source of Learning
and Development, Prentice Hall, New Jersey. Kyle R.R., and Murray W.B., 2008. Clinical Simulation: Operation,
Engineering, and Management, Elsevier, Amsterdam. Lake F.R., and Ryan G., 2006. Teaching on the run tips 12: planning for learning
during clinical attachments, MJA, 184(5): 238-239. Leach D.C., 2004. Profesionalism: the formation of physician, Am J Bioeth., 4,
p.11-12. Leahy M.J., Thielsen V.A., Millington M.J., Austin B., and Fleming A., 2009.
Quality Assurance and Program Evaluation: Terms, models, and Applications, JRA, 33(2): 69-82.
Manson J.D., dan Eley B.M., 1989. Buku Ajar Periodonti (Outline of Periodontics), Edisi 2, Penerbit Hipokrates, Jakarta.
Mandriawati G.A., 1998. Hubungan Manajemen Pembelajaran Klinik dengan Kinerja Lulusan Bidan SPK di Jawa dan Bali, Tesis, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, UGM, Yogyakarta.
Mardapi D., 2008. Teknik Penyusunan Instrumen Tes dan Nontes, Cetakan I, Mitra Cendikia, Yogyakarta.
McAlister L., Lincoln M., McLeod S., and Maloney D., 1997. Facilitating Learning in Clinical Settings, School of Communication Disorders The University of Sidney, Stanley Thornes (publisher) Ltd, Australia.
McLaughlin J.A., dan Jordan, G.B., 2004. Using logic models dalam Wholey J.S., Hatry H.P. dan Newcomber K.E., Handbook of practical program evaluation, Hoboken, 2nd Ed., NJ: John Wiley and Sons, p.7-32.
Moleong L.J., 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
Nicol D.J., and Macfarlande-Dick D., 2006. Formative assessment and self-regulated learning: A model and seven principles of good feedback practice, Studies in Higher Educ., 31: 199-218.
113
Niemantsverdriet S., Vleuten C.V.P.M., Majoor G.R., and Scherpbier A.J.J.A., 2005. An explorative study into learning on international trainesships: experiental learning processes dominate. Med Educ., 39: 1236-1242.
Notoatmodjo S., 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, PT Rineka Cipta, Jakarta.
Nursalam, 2007. Manajemen Keperawatan: Aplikasi Dalam Praktek Keperawatan Profesional, Salemba Medika, Jakarta.
O’Neill P.A., Owen A.G., McArdle P., and Duffy K., 2006. Views, behaviours and perceived staff development needs of doctors and surgeons regarding learners in outpatient clinics, Med Educ., 40: 348-354.
Ormrod J.E., 2009. Human Learning, Fifth Edition, Pearson Prentice Hall, New Jersey.
Papp I., Markkanen M., and Bonsdorff M.V., 2003. Clinical environment as a learning environment: student nurses’perceptions concerning clinical learning experiences, Nurse Educ. Today, 23:262-268.
Pattison G.L., and Pattison A.M., 1996. Principles of Periodontal Instrumentation, in: Carranza F.A. Jr and Newman M.G. (ed.), Clinical Periodontology, 8th Ed., Philadelphia, W.B. Saunders Co., p.451-465.
Patton M.Q., 2009. Metode Evaluasi Kualitatif, Cetakan II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Pohan I.S., 2003. Jaminan Mutu Pelayanan Kesehatan, Kesain Blanc, Bekasi, Indonesia.
Politeknik Kesehatan Departemen Kesehatan Yogyakarta, 2008. Self Assesment Awal Kesiapan Dokumen Akreditasi, Poltekkes Depkes, Yogyakarta.
Phinney D.J., and Halstead J.H., 2004. Delmar’s Dental Assisting A Comprehensive Approach, 2ndEd., Thomson, Delmar Learning, Australia.
Prihatiningsih T.S., 2003. Quality Assurance in Undergraduate Medical Education: A Multiple Case Study in Bangladesh, Thailand and Indonesia, Thesis, University of Dundee.
_____, 2007. Strategi Analisis Data Kualitatif untuk Penelitian Pendidikan dan Profesi Kesehatan, Jur. Pend. KPKI, 2(1): 31-35.
Quality Assurance Agency for Higher Education, 2004. Programme Specification for a Programme leading to an Award if Foundation Degree Science (FdSc) Dental Nursing, The University of Northampton, p.1-14.
_____, 2005. Dental care profeesions Benchmark statement: Health care programmes, phase 2, The QAA for Higher Education, Southgate House, Southgate street, Gloucester.
Rangkuti F., 2002. Measuring Customer Satisfaction: Teknik Mengukur Kepuasan Pelanggan, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Reed C.S., and Brown R.E., 2001. Outcome-asset impact model: Linking outcomes and assets, Evaluation and Program Planning, 24: 287-295.
Reid G., 2006. Learning Styles and Inclusion, Paul Chapman Publishing, A Sage Publications Inc., California.
Reilly O., dan Obermann M., 2002. Pengajaran Klinik dalam Pendidikan Keperawatan, EGC, Jakarta.
114
Richardson W.G., 2005. Kaizen: Japanese concept of continuous improvement, http//witiger.com.
Roff S., 2005. The Dundee Ready Educational Environment Measure (DREEM): a generic instrument for measuring student’s perceptions of undergraduate health professions curricula, Med Teach., 27(4): 322-325.
Ruiz J.G., and Lozano J.M., 2000. Clinical Epidemiological Principles in Bedside Teaching, Indian Journal of Pediatrics, 67(1): 43-47.
Sallis E., 2003. Total Quality Management in Education, 3rd ed. London: Kogan Page.
Santrock J.W., 2009. Educational Psychology, 4th ed., McGraw-Hill, Boston. Sari D.N., Wasistyastuti W., dan Suwono, 2008. Tingkat Persepsi Mahasiswa
Program Studi Pendidikan Dokter FK UGM terhadap Situasi Pembelajaran Studi Berdasarkan DREEM: Kajian Berdasarkan Persepsi Mahasiswa Angkatan 2007 Sebelum dan Sesudah Terpapar Kegiatan Belajar, Jur. Pend. KPKI, 3(4): 145-151.
Satori D., dan Komariah A., 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif, Cetakan ke-2., Penerbit Alfabeta, Bandung.
Scalese R.J., Obeso V.T., and Issenberg S.B., 2007. Simulation Technology for Skill Training and Competency Assessment in Medical Educ., J. Gen Inter Med., 23(suppl. 1): 46-49.
Semiawan C.R., 2009. Kreativitas Keberbakatan: Mengapa, Apa dan Bagaimana, Indeks, Jakarta.
Shadish W.R., Cook T.D., and Leviton L.C., 1991. Foundations of Program Evaluation, Theories of Practice, Sage Publications, The International Professional Publishers, Newburry Park, London, New Delhi.
Slameto, 2010. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, PT Rineka Cipta, Jakarta.
Snell L., Tallett S., Haist S., Hays, R, Norcini J., Prince K., Rothman A., and Rowe R., 2000. A review of the evaluation of clinical teaching: new perspectives and challenges, Med Educ.,34: 862-870.
Sokolowski J.A., and Banks C.M., 2011. Modeling and Simulation in the Medical and Health Sciences. In Principles of Modeling and Simulation: A Multidisciplinary Approach. A John Wiley & Sons, Inc., Publication, Hoboken, New Jersey.
Sokovic M., Pavletic D., and Kern Pipan K., 2010. Quality Improvement Methodologies-PDCA cycle, RADAR matric, DMAIC and DFSS, Journal of Achiements in Materials and Manufacturing Engineery, Vol. 43, Issue I, p.476-483.
Spencer J., 2003. ABC of learning and teaching in medicine: Learning and teaching in the clinical environment, BMJ, 326: 591-326.
Stark P., 2003. Teaching and learning in the clinical setting: a qualitative study of the perceptions of students and teachers, Med Educ., 37: 975-982.
Stockhausen L., 1994. The Clinical Learning Spiral: a model to develop reflective practitioners, Nurse Educ. Today, 14, p.363-371.
Stokroos H.H.V., Daelmans H.E.M., Van Der Vleuten C.P.M., Haarman H.J.TH.M., Scherpbier A.J.J.A., 2003. Med Teach., 25(2): 120-126.
115
Stufflebeam D. L., and Shinkfield A. J., 2007. CIPP model for evaluation: An improvement/accountability approach. In D. Stufflebeam (Ed.), Evaluation theory, models, and applications, San Francisco: Jossey-Bass, p.325-365.
Sudjana, N. dan Ibrahim, 2007. Penelitian dan Penilaian Pendidikan, Cetakan keempat, Sinar Baru Algensindo, Bandung.
Sugiyono, 2010a. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D), Alfabeta, Bandung.
_____, 2010b. Statistika untuk Penelitian, Alfabeta, Bandung Sumiati dan Asra, 2007. Metode Pembelajaran, Wacana Prima, Bandung. Sunaryo, 2004. Psikologi untuk Keperawatan, EGC, Jakarta. Supranto J., 2001. Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan: untuk menaikkan
pangsa pasar, Rineka Cipta, Jakarta. Suryadi E. 2008. Pendidikan di Laboratorium Keterampilan Klinik, Fakultas
Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Suyudi A., 1995. Pengendalian Mutu, Modul MMR, UGM, Yogyakarta. Syah M., 2010. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Cetakan 9,
Remaja Rosdakarya, Bandung Tjiptono F., 1997. Prinsip-prinsip Total Quality Service, Penerbit Andy,
Yogyakarta. _____, 2005. Manajemen Jasa, Ed. IV, Penerbit Andy, Yogyakarta. Umaedi, 1999. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah: Sebuah
pendekatan baru dalam pengelolaan sekolah, Dirjen Dikdasmen, Depdiknas, Jakarta.
Umar H., 2010. Riset Pemasaran dan Perilaku Konsumen, Cetakan kelima, Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Jakarta Business Research Center (JBRC), Jakarta.
Universitas Gadjah Mada, 2006. Panduan Pelaksanaan Sistem Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi Universitas Gadjah Mada, KJM, UGM, Yogyakarta.
Varma R., Tiyagi E., and Gupta J.K., 2005. Determining the quality of educational climate across multiple undergraduate teaching sites using the DREEM inventory, BMC Med Educ., 5(8): 1-4.
Visscher A.J., 2009. Improving Quality Assurance in European Vocational Education and Training: Factors Influencing the Use of Quality Assurance Findings, Springer, The Netherlands.
Walasek T.A., Kucharczyk Z., and Morawska-Walasek D., 2011. Assuring quality of e-learning project through the PDCA approach, International Scientific Journal, 48(1): 56-61.
Waxman K.T., and Telles C.L., 2009. The Use of Benner's Framework in High Fidelity Simulation Faculty Development the Bay Area Simulation Collaborative Model, Clinical Simulation in Nursing, 5; 231-235.
Wellard S.J., Solvoll B.A., and Heggen K.M., 2009. Picture of Norwegian clinical learning laboratories for undergraduate nursing students, Nurse Education in Practice, 9, p.228-235.
116
Westerheijden D.F., Stensaker B., and Rosa M.J., 2007. Quality Assurance in Higher Education: Trends in Regulation, Translation and Transformation, Vol. 20, Springer, The Netherland.
Wimmers P.F., Schmidt H.G., and Splinter T.A.W., 2006. Influence of Clerkship Experiences on Cinical Competence, Backwell Publishing Ltd., Med Educ., 40(5): 450-458.
Woodward M., 1999. Epidemiology: Study Design and Data Analysis, Chapman&Hall/CRC, Washington D.C., p.88-92.
World Health Organizatin Regional Office for South East Asia, 2010. Guidelines on Quality Assurance and Accreditation of Nursing and Midwifery Educational Institutions, Indraprastha Estate, Mahatma Gandhi Marg, New Delhi, India.
Yoyo S., 2007. Media Ajar Pendidikan Bioetika, Jur. Pend. KPKI, 2(3): 100-106 Yunus F., 2007. Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan,
http://www.duniaguru.com
117
lampiran
118
Lampiran 1. Surat ijin penelitian dari Jurusan Kesehatan Gigi Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
119
Lampiran 2. Surat keterangan kelaikan etik (ethical clearance) dari Komisi Etik Penelitian Kedokteran dan Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM
120
Lampiran 3. Studi pendahuluan pada Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
STUDI PENDAHULUAN
Penerapan sistem penjaminan mutu (quality assurance) di perguruan tinggi
merupakan sebuah tuntutan yang harus dipenuhi untuk mendukung tercapainya
mutu proses dan produk agar mampu bersaing di pasar global. Mutu
pembelajaran di perguruan tinggi merupakan isu strategis karena hal tersebut
menjadi faktor determinan bagi tercapainya tujuan pembelajaran (Morley, 2003
cit. Hoecht, 2006), demikian pula peningkatan mutu pembelajaran pada
pendidikan keperawatan gigi Politeknik Kesehatan Kemenkes harus terus
dilakukan untuk menghasilkan tenaga perawat gigi yang berkualitas dan mampu
bersaing di pasar global.
I. Tujuan
Tujuan studi pendahuluan adalah untuk mengetahui mutu pembelajaran
klinik pendidikan keperawatan gigi berdasarkan kepuasan mahasiswa.
Kegiatan studi pendahuluan meliputi:
1. Pengembangan instrumen untuk evaluasi model penjaminan mutu PDCA
(Plan, Do, Check, dan Act) pembelajaran klinik pendidikan keperawatan
gigi pada level mikro.
2. Pengukuran mutu pembelajaran klinik keperawatan gigi.
3. Penyusunan rekomendasi-rekomendasi program yang akan
direncanakan/dilakukan sebagai upaya tindak lanjut (follow up) untuk
peningkatan mutu pembelajaran klinik.
121
II. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan
Lokasi adalah Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes, Jalan
Kyai Mojo 56 Pingit Yogyakarta. Waktu pelaksanaan yaitu bulan Februari
2011 sampai dengan bulan Juli 2011.
III. Jalannya Studi Pendahuluan
A. Pengembangan Instrumen untuk Evaluasi Model Penjaminan Mutu PDCA (Plan, Do, Check, dan Act) Pembelajaran klinik Pendidikan Keperawatan Gigi pada Level Mikro
1. Pembuatan Kisi-kisi Instrumen (Sugiyono, 2010b; Azwar, 2009)
Evaluasi mutu proses pembelajaran klinik yang akan dilakukan
adalah evaluasi level 1 Kirkpatrick-Kirkpatrick (2006) tentang reaksi
mahasiswa (student satisfaction index) terhadap proses pembelajaran
klinik. Indikator mutu pembelajaran klinik menggunakan model
penjaminan mutu PDCA yaitu perencanaan (Plan), pelaksanaan (Do),
evaluasi (Check), dan umpan balik (Act) (Depkes, 2009b; AUNQA,
2010).
Acuan yang digunakan dalam pembuatan kisi-kisi instrumen
adalah sebagai berikut: a) instrumen evaluasi mutu proses belajar
mengajar pada tingkat prodi menurut pendapat mahasiswa (AUN-QA,
2010), b) standar proses pembelajaran pendidikan tenaga kesehatan
(Depkes, 2009b), c) DREEM (Dundee Ready Education Environment
Measure) (Roff, 2005; Dimoliatis et al., 2010) serta d) instrumen
tentang pengalaman belajar klinik mahasiswa kedokteran UGM
122
(Emilia, 2003). Instrumen-instrumen di atas diadopsi dan kontennya
disesuaikan dengan pembelajaran klinik keperawatan gigi.
2. Konsultasi Pakar dan FGD tentang Draft Instrumen (Patton, 2009; Moleong, 2010)
Pakar sebagai sumber data pada tahap penelitian ini adalah
orang yang berkompeten terhadap pembelajaran klinik kesehatan gigi
dan mulut khususnya pada poltekkes kemenkes. Para pakar diminta
pendapatnya tentang instrumen yang telah disusun, jumlah pakar
minimal 3 orang dengan latar belakang pendidikan minimal bergelar
pascasarjana/doktor sesuai dengan lingkup yang diteliti (Sugiyono,
2010a).
Uji kesepakatan pakar (judgment experts) dilakukan dengan
measuring agreement menggunakan Cohen’s kappa statistic
(Woodward, 1999).
Rumus Kappa:
k = PO - PE 1 - PE
Keterangan:
k = Kappa PO = proporsi jumlah yang diobservasi PE = proporsi jumlah ekspektasi Hasil kesepakatan kappa (Fleiss, 1991 cit. Woodward,1999) adalah
sebagai berikut:
Excellent agreement jika k ≥ 0,75 Good agreement jika 0,4<k<0,75 Poor agreement jika k≤0,4
123
Responden FGD adalah dosen/instruktur pembimbing klinik
JKG, tujuan FGD adalah mendiskusikan rancangan/draft instrumen
evaluasi mutu supaya kontennya sesuai dengan kompetensi perawat
gigi yang harus dicapai melalui pembelajaran klinik, selanjutnya
instrumen siap untuk diujicoba.
3. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Instrumen yang digunakan untuk penilaian mutu pembelajaran
klinik harus valid, reliabel, praktis, dan mudah penggunaannya untuk
memperoleh hasil penilaian yang benar dan tepat, sehingga sebelum
kuisioner digunakan sebagai alat ukur terlebih dahulu dilakukan uji
coba. Hal ini dilakukan untuk mengetahui tingkat pemahaman
responden terhadap kuisioner serta untuk menguji validitas dan
reliabilitas dari kuisioner tersebut.
Sesuai dengan persyaratan uji coba minimal maka ujicoba
dilakukan terhadap 30 responden. Uji validitas dilakukan untuk
mendapatkan alat ukur yang valid artinya instrumen tersebut dapat
digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur (Sugiyono,
2010a; Azwar, 2010a). Validitas konstruk dilakukan dengan
mengkorelasikan skor yang diperoleh masing-masing pernyataan
dengan skor total, dalam penelitian ini digunakan teknik product
moment (Azwar, 2004; Azwar, 2010b).
124
Rumus yang digunakan untuk uji validitas instrumen adalah
sebagai berikut:
( )( )[ ] ( )( )[ ]2222
)()(
∑∑∑ ∑∑ ∑ ∑
−−
−=
YYNXXN
YXXYNrxy
Keterangan :
rxy : Koefisien korelasi N : banyaknya sampel ∑X : Jumlah skor butir (X) ∑Y : Jumlah variabel (Y) ∑X2 : Jumlah skor butir (X) kuadrat ∑Y2 : Jumlah variabel (Y) kuadrat ∑XY: Jumlah perkalian skor butir (X) dan skor variabel (Y) Pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05), maka dari perhitungan
tersebut akan diperoleh r tabel, jika nilai butir-butir pernyataan kurang
dari r tabel (<r tabel) maka item pernyataan tersebut dinyatakan gugur
(tidak valid).
Uji reliabilitas (reliability, kepercayaan) menunjukkan bahwa sebuah
instrumen dapat mengukur sesuatu yang diukur secara konsisten dari
waktu ke waktu. Pengukuran reliabilitas ini menggunakan rumus
Alpha Cronbach yaitu pengukuran reliabilitas dengan pendekatan
internal consistency untuk skala multi item yang merupakan indikasi
homogenitas item. Pengukuran dinyatakan reliabel jika nilai r yang
diperoleh (r hitung) ≥ 0,60 (Soegiyono, 2010b).
Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
( ) ⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡−⎥
⎦
⎤⎢⎣
⎡−
= ∑2
2
11 11 i
b
kkr
σσ
Keterangan :
125
r = koefisien reliabilitas k = jumlah butir pernyataan (soal) σb
2 = varians butir pernyataan (soal) σi
2 = varians skor tes
B. Pengukuran Mutu Pembelajaran Klinik
Langkah-langkah yang dilakukan yaitu: a) memberi penjelasan
maksud dan tujuan penelitian, b) responden diberi lembar informed
consent untuk menyatakan kesediaannya ikutserta dalam penelitian,
c) membagikan instrumen yang berbentuk kuisioner kepada responden,
d) menjelaskan cara pengisian kuisioner, e) pengumpulan data, dan f)
analisis data.
C. Penyusunan Rekomendasi-rekomendasi Program yang akan direncanakan/dilakukan sebagai Upaya Tindak Lanjut (follow up):
Pada langkah ini dilakukan FGD untuk menyusun rekomendasi-
rekomendasi program peningkatan mutu pembelajaran klinik
berdasarkan hasil evaluasi mutu pembelajaran klinik.
IV. Teknis Analisis
Teknis analisis yang berkaitan dengan pengembangan instrumen
evaluasi model penjaminan mutu PDCA dilakukan melalui uji kesepakatan
pakar, sedangkan hasil FGD melalui tahapan-tahapan seperti reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Satori dan Komariah, 2010;
Moleong, 2010). Gambaran mutu pembelajaran klinik pendidikan
keperawatan gigi dilihat dari implementasi model penjaminan mutu PDCA
berdasarkan kepuasan mahasiswa dilakukan dengan membuat pemetaan
126
mutu menggunakan diagram Kartesius yang diadopsi dan dimodifikasi dari
Umar (2010).
Umar (2010) mendefinisikan diagram Kartesius adalah alat untuk
mengukur dua dimensi yaitu harapan dan kenyataan. Diagram Kartesius
adalah suatu bangunan yang terdiri atas 4 bagian yang dibatasi oleh dua
garis yang berpotongan tegak lurus pada titik-titik X dan Y. Titik X
merupakan rata-rata dari skor kenyataan yang diterima mahasiswa,
sedangkan titik Y merupakan rata-rata dari skor harapan.
Data dari kuisioner evaluasi mutu diplot nilai-nilainya pada diagram
kartesius, bila plot nilai-nilainya berada di kuadran A, B, C, dan D maka
indikator yang ditanyakan memiliki arti masing-masing, dengan demikian
informasi ini dapat digunakan untuk mengambil keputusan hal-hal yang
perlu segera ditindaklanjuti (kuadran A), dipertahankan (kuadran B),
dikurangi (kuadran C) dan dipertahankan/dikurangi karena kurang
dibutuhkan (kuadran D) seperti berikut ini:
Harapan
A (Attributes to
Improve)
B (Main Performance)
C (Attributes to
Maintain)
D
(Attributes to de-emphasize)
Kenyataan Gambar 1. Diagram Kartesius (Umar, 2010)
127
Keterangan:
Kuadran A: prioritas utama (attributes to improves)
Pada posisi ini jika dilihat dari kepentingan mahasiswa, indikator mutu
berada pada tingkat tinggi, jika dilihat dari kepuasannya mahasiswa
merasakan tingkat yang rendah sehingga mahasiswa menuntut adanya
perbaikan tersebut, prodi hendaknya melakukan usaha untuk meningkatkan
kepuasan mahasiswa yang berarti pula komponen-komponen pada indikator
mutu perlu disesuaikan agar kepuasan mahasiswa dapat meningkat.
Kuadran B: dipertahankan (main performance)
Pada posisi ini jika dilihat dari kepentingan mahasiswa, indikator mutu
berada pada tingkat tinggi dan dilihat dari kepuasan mahasiswa pada tingkat
tinggi juga. Hal ini menuntut prodi untuk dapat mempertahankan posisinya
karena indikator mutu inilah telah menarik mahasiswa untuk memanfaatkan
pembelajaran klinik.
Kuadran C: prioritas rendah (attributes to maintain)
Pada posisi ini jika dilihat dari kepentingan mahasiswa, indikator-indikator
mutu kurang dianggap penting tetapi jika dilihat dari tingkat kepuasan
mahasiswa cukup baik namun mahasiswa mengabaikan indikator mutu yang
terletak pada posisi ini.
Kuadran D: berlebihan (attributes to de emphasize)
Pada posisi ini jika dilihat dari kepentingan mahasiswa, indikator-indikator
mutu kurang dianggap penting tetapi jika dilihat dari tingkat kepuasannya
mahasiswa merasa sangat puas.
128
Indeks kepuasan diperoleh dari selisih skor kenyataan dan harapan,
sebagai berikut (Supranto, 2011):
Indeks kepuasan = skor kenyataan – skor harapan
V. Hasil Studi Pendahuluan dan Pembahasan:
A. Hasil Studi Pendahuluan
1. Pembuatan Kisi-kisi Instrumen
Rancangan/draft instrumen yang mengacu pada beberapa
instrumen yang berhubungan dengan proses pembelajaran klinik. Skala
pengukuran yang digunakan pada instrumen ini adalah skala Likert
dengan 5 (lima) alternatif jawaban yaitu sangat puas (SP), puas (P),
ragu-ragu (R), tidak puas (TP), dan sangat tidak puas (STP).
Hasil pembuatan kisi-kisi instrumen adalah penetapan aspek-
aspek yang dinilai dan indikator-indikatornya sebagai berikut:
Tabel 1. Aspek-aspek yang dinilai dalam penilaian mutu pembelajaran klinik
No Aspek yang dinilai Indikator-indikator 1 Perencanaan (Plan) a. Jadual kegiatan pembelajaran
b. Tujuan pembelajaran c. Orientasi d. Penjelasan kompetensi klinik
2 Pelaksanaan (Do) a. Suasana pembelajaran b. Kerjasama di klinik c. Pengembangan kompetensi d. Kesempatan belajar dan praktik berbagai
prosedur klinik e. Aplikasi keterampilan praktik klinik dalam
kehidupan sehari-hari f. Belajar dan berlatih secara konsisten g. Tugas lain di luar tugas klinik h. Pengembangan kepercayaan diri mahasiswa
3 Evaluasi (Check) a. Waktu pembelajaran b. Sarana prasarana klinik c. Cara penilaian praktik klinik
4 Tindakan (Act) a. Diskusi antara pembimbing dan mahasiswa b. Peran pembimbing c. Akses pembimbingan
129
2. Konsultasi Pakar dan FGD tentang Draft Instrumen
Konsultasi pakar dilaksanakan pada bulan Mei 2011. Pakar terdiri
4 orang yang berkompeten terhadap pembelajaran klinik di lingkungan
Poltekkes Kemenkes. Hasil pengukuran uji kesepakatan pakar
(measuring agreement) menggunakan Cohen’s Kappa Statistic adalah
sebagai berikut:
Tabel 2. Hasil pengukuran kesepakatan pakar (nilai Kappa)
Pakar Kappa’s Value Approx Sig. Keterangan Pakar A_B 0.862 0.001 Excellent
agreement Pakar A_C 0.784 0.001 Excellent
agreement Pakar A_D 0.814 0.001 Excellent
agreement Pakar B_C 0.760 0.001 Excellent
agreement Pakar B_D 0.801 0.001 Excellent
agreement Pakar C_D 0.726 0.001 Good agreement
Tabel 2 menunjukkan bahwa hasil pengukuran kesepakatan (measuring
agreement) dari pakar diperoleh hasil nilai Kappa (k) ≥ 0.726 artinya
terdapat kesepakatan yang baik antara keempat pakar (Fleiss, 1991 cit.
Woodward,1999)
Tabel 3. Hasil uji kesepakatan Kappa berdasarkan frequency table
Pakar Persentasi kesepakatan (%)
Pakar A_B 95,6
Pakar A_C 93,3
Pakar A_D 93,3
Pakar B_C 93,3
Pakar B_D 93,3
Pakar C_D 91,1
130
Selanjutnya dilakukan FGD pada tanggal 27 Mei 2011 untuk
merevisi rancangan instrumen yang telah disepakati pakar sehingga
kontennya sesuai dengan pembelajaran klinik pendidikan Keperawatan
Gigi.
Tabel 4 menunjukkan hasil FGD tentang draft instrumen sebagai
berikut:
Tabel 4. Hasil FGD tentang draft instrumen evaluasi mutu
No Kategori Masukan Kesimpulan 1. Item pernyataan a. Item pernyataan yang nilainya
0 dikeluarkan (FR2.b4p1) b. Ada 9 item yang dikeluarkan
(FR3.b2p2)
Jumlah item pada kuisioner yang semula 45, di drop out 9, sehingga jumlah item pernyatan sekarang 36.
2. Konten kuisioner
a. Kalimat terlalu umum/kurang spesifik (FR2.b6p1)
b. Item saranaprasarana lebih diperjelas (FR5.b2p4)
a. Kalimat yang terlalu umum diganti/dikeluarkan.
b. Saranaprasarana antara lain: ruang tunggu, dental unit, sarana promosi, ruang sterilisasi, perpustakaan.
3. Teknis pelaksanaan
Pemberitahuan cara pengisian kuisioner (FR4.b2p6)
Perlunya petunjuk cara pengisian kuisioner
Rincian jumlah item kuisioner evaluasi model penjaminan mutu
PDCA pada pembelajaran klinik pendidikan keperawatan gigi sebagai
berikut:
Tabel 5. Jumlah item kuisioner evaluasi model penajaminan mutu PDCA pembelajaran klinik
Pernyataan Aspek yang dinilai
Harapan Kenyataan
Jumlah total
item
I Perencanaan (Plan) 4 4 8
II Pelaksanaan (Do) 8 8 16
III Evaluasi (Check) 3 3 6
IV Tindakan (Act) 3 3 6
Jumlah total 18 18 36
131
3. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Uji coba kuisioner dilakukan untuk mengetahui validitas dan
reliabilitas instrumen. Uji coba dilakukan pada mahasiswa semester VI,
jumlah responden adalah 30 mahasiswa (n=30) dengan tingkat
kepercayaan 95% (α = 0,05) dan derajat kebebasan (df = 28) diperoleh r
tabel sebesar 0,374.
Uji validitas dan reliabilitas instrumen dilakukan dengan uji
analisis Cronbach’s Alpha menggunakan program SPSS for windows
versi 16.00 dengan hasil sebagai berikut:
Tabel 6. Hasil uji validitas dan reliabilitas instrumen evaluasi mutu
Harapan Kenyataan No
Item r hitung Keterangan No Item r hitung Keterangan
1 0.592 valid 19 0.617 valid 2 0.547 valid 20 0.680 valid 3 0.699 valid 21 0.619 valid 4 0.632 valid 22 0.617 valid 5 0.564 valid 23 0.736 valid 6 0.698 valid 24 0.610 valid 7 0.694 valid 25 0.758 valid 8 0.729 valid 26 0.716 valid 9 0.551 valid 27 0.477 valid
10 0.690 valid 28 0.695 valid 11 0.601 valid 29 0.651 valid 12 0.488 valid 30 0.735 valid 13 0.475 valid 31 0.618 valid 14 0.646 valid 32 0.455 valid 15 0.452 valid 33 0.404 valid 16 0.535 valid 34 0.490 valid 17 0.418 valid 35 0.785 valid 18 0.567 valid 36 0.691 valid
Cronbach’s Alpha Instrumen Part 1 Part 2 Keterangan
Harapan 0.877 0.844 reliabel Kenyataan 0.865 0.853 reliabel
132
Hasil uji validitas dan reliabilitas diperoleh bahwa 36 item
pernyataan adalah valid (r hitung > r tabel 0,374 ) dan reliabel (α > 0,6)
sehingga seluruh item pernyataan tersebut layak untuk dijadikan
instrumen penelitian (Tabel 6).
4. Pengukuran Mutu Pembelajaran Klinik berdasarkan Implementasi Evaluasi Model Penjaminan Mutu PDCA
Sampel penelitian adalah mahasiswa semester VI sebanyak adalah
37 mahasiswa. Hasil evaluasi implementasi model penjaminan mutu
PDCA pada pembelajaran klinik JKG Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
menurut kepuasan mahasiswa sebagai berikut:
Tabel 7. Indeks kepuasan mahasiswa berdasarkan skor kenyataan dan harapan tentang mutu pembelajaran klinik
Rata-rata skor Aspek
mutu No Item
Kenyataan Harapan Indeks kepuasan
mahasiswa 1 3.703 3.676 0.027 2 3.730 3.811 -0.081 3 3.919 3.892 0.027
Plan
4 3.946 3.892 0.054 Rata-rata 3.842 3.818 0.007
5 3.892 3.595 0.297 6 3.865 3.297 0.568 7 3.892 3.405 0.486 8 4.000 3.378 0.622 9 3.838 3.351 0.486
10 3.811 3.378 0.432 11 3.838 3.649 0.189
Do
12 3.757 3.135 0.622 Rata-rata 3.861 3.399 0.463
13 3.486 3.595 -0.108 14 3.054 3.622 -0.568
Check*)
15 3.243 3.784 -0.541 Rata-rata 3.261 3.667 -0.405
16 3.324 3.270 0.054 17 2.919 2.811 0.108
Act
18 3.162 3.027 0.135 Rata-rata 3.135 3.036 0.099
133
Hasil perhitungan kepuasan mahasiswa dilihat dari 2 dimensi yaitu
harapan dan kenyataan menunjukkan indikator perencanaan (plan) item ke
indeks kepuasan -0,081. Secara keseluruhan dilihat dari aspek
perencanaan pembelajaran klinik mahasiswa sudah puas dengan indeks
kepuasan 0,007 (Tabel 7).
Hasil pemetaan posisi mutu pembelajaran klinik JKG Poltekkes
Kemenkes Yogyakarta berdasarkan diagram Kartesius (Umar, 2010)
adalah sebagai berikut:
Gambar2. Diagram Kartesius pemetaan posisi mutu pembelajaran klinik JKG Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
Berdasarkan pemetaan mutu pembelajaran klinik menurut kepuasan
mahasiswa maka yang menjadi prioritas utama upaya perbaikan mutu
pembelajaran klinik adalah pada item-item pernyataan dalam kuisioner
dengan nilai yang rendah. Nilai indikator kepuasan mahasiswa yang
Plan; 3.824; 3.818
Do; 3.861; 3.399
Check; 3.261; 3.667
Act; 3.135; 3.036
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
1.000 2.000 3.000 4.000 5.000
Matrix Harapan ‐ KenyataanMAHASISWA YOGYAKARTA
Plan Do Check Act Kenyataan
Harapan
Attributes to Maintaince
Attributes to De‐emphasize
Attributes to Improve
Main Performance
134
paling rendah adalah tentang penyediaan sarana prasarana pembelajaran
klinik yang belum memadai. Hasil pelaksanaan FGD dibuat rangkuman
berdasarkan kategori (Prihatiningsih, 2007) sebagai berikut:
Tabel 8. Rangkuman hasil FGD kelompok I
No Kategori Masukan Kode 1 Prioritas utama Kuadran A yaitu pada indikator
mutu ‘check’ menjadi prioritas utama peningkatan mutu
F1P1.b1p1; F1P1.b3p1
2 Kepuasan mahasiswa Adanya ketidakpuasan mahasiswa terhadap sarana prasarana pembelajaran klinik
F1P1.b4p1; F1P2.b3p2
3 Keterampilan praktik skaling preklinik/skills lab
Praktik preklinik/skills lab perlu mendapat perhatian karena pengalaman pembelajaran di skills lab melatih keterampilan mahasiswa sebelum menangani pasien sesungguhnya
F1P2.b2p3 F1P2.b5p3 FiP2.b7p3 F1P5.b3p6
4 Sarana prasarana Dibutuhkannya media ajar pada praktik skaling skills lab yang berupa model gigi dengan kalkulus tiruan
F1.P1.b5p1; F1P2.b2p2; F1P4.b4p4; F1P2.b1p5; F1P6.b1p7; FiP3.b2p8; F1P1.b2p9
Tabel 9. Rangkuman hasil FGD kelompok II
No Kategori Masukan Kode 1 Prioritas utama Indikator evaluasi/check
menjadi prioritas program peningkatan mutu
F2S1.b2p1
2 Kepuasan mahasiswa
a. Mahasiswa merasa tidak nyaman dengan kondisi di skills lab
b. Persepsi antara pembimbing dan mahasiswa harus sama
F2S3.b2p10; F2S1.b2p12
3 Keterampilan praktik skaling preklinik/skills lab
a. Kelulusan praktik skills lab menjadi prasyarat yang harus dipenuhi mahasiswa sebelum masuk klinik
b. Praktik skaling masih ada kendala sehingga nilai skaling mahasiswa masih ada yang rendah
c. Pelaksanaan praktik skaling harus memperhatikan posisi operator dan pasien
F2S4.b2p2 F2S2.b1p3 F2S4.b2p4 F2S5.b1p5 F2S4.b1p6 F2S1.b1p7 F2S2.b1p9 F2S3.b1p10 F2S4.b2p14
4 Sarana prasarana Perlunya model gigi yang memadai, yang dilengkapi dengan kalkulus artifisial
F2S1.b5p1 F2S1.b3p7 F2S5.b1p8 F2S5.b1p11 F2S2.b1p13
135
Kesimpulan FGD Kelompok I dan II adalah prioritas utama program
peningkatan mutu berdasarkan kepuasan mahasiswa adalah pada indikator
evaluasi (check), khususnya sarana prasarana pembelajaran harus lebih
diperhatikan. Salah satu kebutuhan sarana prasarana saat ini adalah media ajar
praktik skaling di skills lab berupa suatu model gigi yang dilengkapi dengan
kalkulus artifisial.
B. Pembahasan
1. Pengembangan Instrumen Evaluasi Model Penjaminan Mutu PDCA pada Pembelajaran Klinik Pendidikan Keperawatan Gigi
Pada tahap pengembangan instrumen, kegiatan-kegiatan yang dilakukan
adalah pembuatan kisi-kisi instrumen, konsultasi pakar dan FGD, serta uji
validitas dan reliabilitas instrumen. Hasil pengukuran kesepakatan pakar
tentang draft instrumen (Tabel 3) menunjukkan bahwa nilai Kappa ≥0,726
berarti ada kesepakatan yang baik antara keempat pakar, hal ini diperkuat
juga dengan hasil uji kesepakatan pakar menggunakan tabel frekuensi (Tabel
4) yaitu persentasi kesepakatan >90%, selanjutnya dilakukan FGD untuk
meninjau kembali rancangan instrumen hasil kesepakatan pakar disesuaikan
dengan kondisi klinik JKG.
Hasil pelaksanaan FGD (Tabel 4) adalah instrumen evaluasi mutu
pembelajaran klinik berbentuk kuisioner dengan 4 (empat) aspek yang dinilai
dalam evaluasi model penjaminan mutu PDCA yaitu perencanaan (plan),
pelaksanaan (do), evaluasi (check), dan tindakan (act). Indikator-indikator
terdiri dari pernyataan kepuasan mahasiswa yang dilihat dari 2 (dua) dimensi
136
yaitu harapan dan kenyataan yang diterima yang diukur menggunakan skala
Likert.
Jumlah item pernyataan dalam kuisioner ada 36 item yang terdiri dari
18 item kenyataan dan 18 item harapan mahasiswa mengenai pembelajaran
klinik (Tabel 5). Hasil uji validitas dan reliabilitas instrumen (Tabel 6)
diperoleh bahwa 36 item valid (r hitung>0,374) dan reliabel (α> 0,6) sehingga
instrumen layak digunakan dalam penelitian ini.
2. Pengukuran Mutu Pembelajaran Klinik berdasarkan Implementasi Evaluasi Model Penjaminan Mutu PDCA
Tabel 7 memperlihatkan bahwa indikator-indikator pada aspek evaluasi
(check) masih perlu harus dilakukan peningkatan mutu sedangkan pada aspek
pelaksanaan (do) dan tindakan (act) diperoleh rata-rata mahasiswa merasa
puas dengan mutu pada kedua aspek tersebut. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Sokovic et al. (2010) bahwa aspek terpenting dari PDCA terletak
pada tahap evaluasi (check) setelah penyelesaian suatu kegiatan dan ketika
putaran selanjutnya akan dimulai lagi untuk melakukan perbaikan suatu
program.
Secara keseluruhan kenyataan yang diberikan pada pembelajaran klinik
sudah lebih baik daripada harapan yang diinginkan mahasiswa, sehingga
mahasiswa merasa puas (Tabel 7). Hal ini diperkuat oleh pernyataan Gaalen
(2010) bahwa mutu bisa dilihat dari persepsi mahasiswa yaitu kepuasan
terhadap hasil atau pelayanan dalam pendidikan dan dipertegas juga oleh
penyataan Umar (2010) bahwa mutu dapat diukur karena adanya kesenjangan
antara harapan dan kenyataan yang diterima mahasiswa.
137
Hasil pengukuran mutu pembelajaran klinik JKG ditunjukkan dengan
diagram kartesius pemetaan mutu (Gambar 2) sebagai berikut: aspek evaluasi
(check) berada pada kuadran A (attribute to improve) artinya pada posisi ini
jika dilihat dari kepentingan mahasiswa, mutu aspek check berada pada
tingkat tinggi, sedangkan jika dilihat dari kepuasan mahasiswa pada tingkat
yang rendah sehingga mahasiswa menuntut adanya perbaikan mutu pada
indikator-indikator aspek evaluasi. Program studi hendaknya melakukan
usaha-usaha untuk meningkatkan kepuasan mahasiswa yang berarti pula
perbaikan komponen-komponen pada indikator mutu aspek evaluasi misalnya
tersedianya waktu yang cukup sehingga target kompetensi yang harus dicapai
mahasiswa dapat diselesaikan/tuntas, penyediaan sarana prasarana praktik
yang memadai, dan penjelasan yang lengkap tentang prinsip-prinsip
pembelajaran klinik.
Pada aspek evaluasi (check), indikator yang berkaitan dengan sarana
dan prasarana pembelajaran klinik yang belum memadai memperoleh skor
kenyataan paling rendah yaitu 3,054. Hal ini diperkuat oleh penemuan pada
studi pendahuluan bahwa nilai praktik klinik ada yang masih rendah (30%
mahasiswa belum tuntas), juga media ajar khususnya alat simulasi praktik
skaling yang saat digunakan ini belum memadai karena belum
menggambarkan kondisi mulut yang hampir sama dengan pasien
sesungguhnya sehingga pembelajaran menjadi kurang efektif sehingga akan
berpengaruh pada nilai praktik mahasiswa. Omrod (2009) mengatakan bahwa
138
pembelajaran yang efektif dan strategi pembelajaran berhubungan dengan
prestasi belajar mahasiswa.
Jones (2005) menyatakan bahwa penguasaan keterampilan klinik
merupakan elemen yang penting dari mutu lulusan, skills lab memberi
kesempatan mahasiswa belajar dan berlatih keterampilan sebelum
mempraktikkan pada situasi yang sesungguhnya. Penggunaan model yang
tidak realistis menyebabkan pembelajaran menjadi tidak realistik juga, dan
yang lebih memprihatinkan pembelajaran tanpa model simulasi menjadi lebih
mahal dan banyak intervensi pada pasien (Kyle dan Murray, 2009).
Hasil FGD menunjukkan bahwa penyediaan sarana prasarana skills lab
antara lain media ajar yang memadai juga perlu dilakukan, mengingat
kompetensi yang dilaksanakan pada pembelajaran di skills lab menjadi
prasyarat memasuki pembelajaran klinik. Stark (2003) dan Suryadi (2008)
bahwa keberhasilan pembelajaran klinik perlu didukung antara lain dengan
tersedianya model pembelajaran yang memadai sebagai media ajar atau alat
simulasi untuk meningkatkan keterampilan praktik mahasiswa.
Aspek perencanaan (plan) pembelajaran klinik terletak pada kuadran B
(main performance), jika dilihat dari kepentingan mahasiswa, pada posisi ini
aspek mutu perencanaan berada pada tingkat tinggi dan jika dilihat dari
kepuasan mahasiswa pada tingkat tinggi juga. Hal ini menuntut program studi
untuk dapat mempertahankan posisinya karena perencanaan pembelajaran
yang baik di JKG telah menarik perhatian dan memotivasi mahasiswa untuk
memanfaatkan pembelajaran klinik. Perencanaan pembelajaran klinik JKG
139
sudah mencakup tujuan pembelajaran, jadual kegiatan praktik klinik,
persiapan mahasiswa dengan melakukan orientasi sebelum masuk klinik,
serta penjelasan kompetensi yang harus dicapai mahasiswa.
Indikator pada aspek perencanaan yang berkaitan dengan “Pembimbing
klinik telah menjelaskan kepada mahasiswa tentang kompetensi praktik klinik
yang harus dicapai” diperoleh skor kenyataan tertinggi (3,946). Perencanaan
pembelajaran dilengkapi dengan silabus dan rencana program pembelajaran
sehingga pelaksanaan pembelajaran lebih terarah untuk mencapai kompetensi
yang diharapkan.
Lake dan Ryan (2006) bahwa tujuan pembelajaran klinik harus
dinyatakan secara jelas, serta tersedianya waktu yang cukup untuk
pembelajaran. Indikator perencanaan menyediakan proses, metode, alat, dan
teknik untuk menutupi setiap kesenjangan komponen ini dan dengan
demikian memastikan bahwa kesenjangan antara mutu yang diharapkan dan
mutu yang diterima mahasiswa menjadi berkurang (Juran dan Godbrey,
1999).
Kuadran C (attributes to maintain) terdapat aspek tindakan (act), jika
dilihat dari kepentingan mahasiswa pada posisi ini maka indikator-indikator
pada aspek umpan balik dianggap kurang penting tetapi jika dilihat dari
tingkat kepuasan mahasiswa cukup baik. Mahasiswa mengabaikan aspek
mutu yang terletak pada posisi ini, hal ini disampaikan juga oleh Bornmann et
al. (2006), Branch dan Paranjape (2002) menyatakan bahwa aspek umpan
balik (feedback) pada proses evaluasi mutu pendidikan saat ini belum banyak
140
dimanfaatkan oleh program studi untuk melakukan perbaikan mutu
pembelajaran.
Indikator yang berkaitan dengan “Pembimbing klinik aktif dan
mendorong peran aktif mahasiswa” diperoleh skor harapan paling rendah
(2,881) artinya mahasiswa kurang puas dengan hal ini. Keadaan ini mungkin
karena pembimbing klinik mempunyai banyak tugas lain di luar pembelajaran
klinik sehingga pembelajaran menjadi kurang efektif, karena kondisi sekarang
banyak dosen/instruktur pembimbing klinik sedang melaksanakan tugas
belajar sehingga rasio antara pembimbing klinik dan mahasiswa menjadi
tidak ideal (BAN-PT, 2009). Hal ini sesuai juga dengan pendapat Reilly dan
Obermann (2002) bahwa metode pembelajaran disamping dipengaruhi
karakteristik peserta didik, mutu dan keterampilan pembimbing, juga harus
mempertimbangkan rasio antara pembimbing dan peserta didik.
Stokroos et al. (2003) menyatakan bahwa untuk meningkatkan
efektivitas pembelajaran klinik, maka komponen-komponen pembelajaran
klinik perlu diperhatikan diantaranya adalah peran pembimbing klinik sebagai
salah satu penentu keberhasilan pembelajaran. Pembelajaran klinik
memerlukan dukungan pembimbing klinik agar mahasiswa mampu
mengembangkan penalaran klinik dan profesionalismenya karena proses
bimbingan harus dilaksanakan terencana dan terus menerus (Spencer, 2003).
Aspek pelaksanaan (do) terdapat pada kuadran D (attributes to de
emphasize. Pada posisi ini jika dilihat dari kepentingan mahasiswa, indikator-
indikator mutu aspek pelaksanaan pembelajaran klinik kurang dianggap
141
penting tetapi jika dilihat dari tingkat kepuasannya, mahasiswa merasa sangat
puas. Hal ini sesuai pernyataan Snell et al. (2000) dan Fry et al. (2009)
bahwa ada hubungan antara mutu pembelajaran klinik dengan output
pembelajaran yaitu peningkatan prestasi mahasiswa, dalam hal ini adalah
nilai praktik klinik.
Indikator yang berkaitan dengan “Pembelajaran klinik memberi
kesempatan belajar dan mempraktikkan berbagai prosedur” diperoleh skor
kenyataan tertinggi (4,000). Hal ini ditegaskan juga oleh Ruiz dan Lozano
(2000) bahwa pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman pembelajaran di
klinik menjadi kunci yang menentukan mutu pembelajaran.
Kegiatan belajar mengajar baik teori maupun praktik perlu didukung
dengan sarana prasarana yang baik. Unsur penunjang seperti laboratorium,
skills lab, perpustakaan dan sarana lain seperti tersedianya media ajar yang
memadai sangat membantu mahasiswa dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Adanya komponen-komponen tersebut, mahasiswa diharapkan mempunyai
kompetensi yang menyeluruh berdasarkan pengetahuan, keterampilan dan
pengalaman klinik yang sudah mereka dapatkan selama studi.
3. Upaya Tindak Lanjut (Follow up) untuk Perbaikan Mutu Pembelajaran Klinik
Kesimpulan FGD Kelompok I dan II adalah prioritas utama program
peningkatan mutu berdasarkan kepuasan mahasiswa adalah pada indikator
evaluasi (check), khususnya sarana prasarana pembelajaran harus lebih
diperhatikan. Salah satu kebutuhan sarana prasarana saat ini adalah media ajar
praktik skaling di skills lab berupa suatu model gigi yang dilengkapi dengan
142
kalkulus artifisial. Model gigi ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan
dan keterampilan praktik skaling pada mahasiswa, model gigi juga harus
memperhatikan kenyamanan mahasiswa yaitu posisi operator dengan pasien,
sehingga kondisinya hampir sama dengan pasien sesungguhnya.
Kesepakatan, komitmen, serta kerjasama segenap pihak yang terkait
dalam proses pembelajaran klinik, termasuk mahasiswa, dosen, tenaga
penunjang, dan unsur manajemen serta dukungan pengambil kebijakan di
lingkungan pendidikan keperawatan gigi menjadi syarat mutlak bagi
terselenggaranya model penjaminan mutu PDCA
VI. Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan pada studi pendahuluan ini adalah sebagai berikut:
1. Adanya instrumen yang valid dan relibel (r hitung>0.374; α>0.6) untuk
melakukan evaluasi implementasi model penjaminan mutu PDCA
pembelajaran klinik pendidikan keperawatan gigi pada level mikro.
2. Mutu pembelajaran klinik keperawatan gigi adalah baik, berdasarkan
implementasi model penjaminan mutu PDCA menurut kepuasan
mahasiswa.
3. Belum tersedianya model gigi sebagai media ajar yang memadai untuk
praktik skaling.
Saran yang diajukan pada studi pendahuluan ini adalah sebagai
berikut:
1. Implementasi model penjaminan mutu PDCA sebaiknya dilakukan secara
berkelanjutan dan tidak hanya terbatas pada pembelajaran klinik
143
sehingga dihasilkan tindak lanjut (follow up) yang lain dalam rangka
perbaikan mutu pendidikan keperawatan gigi.
2. Instrumen evaluasi model penjaminan mutu PDCA sebaiknya
dikembangkan pada level yang lebih luas (program studi/institusi) dan
diaplikasikan pada Jurusan Kperewatan Gigi Poltekkes Kemenkes yang
lain atau jurusan lain di lingkungan Politeknik Kesehatan.
3. Perlunya penelitian lebih lanjut untuk mengembangkan media ajar dalam
bentuk model gigi yang memadai pada praktik skaling.
144
Lampiran 4. Panduan konsultasi narasumber/pakar/expert tentang draft instrumen evaluasi mutu pembelajaran klinik keperawatan gigi
Panduan Konsultasi Narasumber/Pakar/Expert
I. Persiapan Konsultasi:
1. Menghubungi narasumber untuk meminta kesediaannya, menentukan waktu dan tempat konsultasi.
2. Mempersiapkan alat-alat (tape recorder, alat dokumentasi, alat tulis menulis), materi, buku catatan.
II. Pelaksanaan Konsultasi: 1. Memperkenalkan diri. 2. Menyampaikan maksud dan tujuan konsultasi. 3. Meminta kesediaan pakar untuk mengisi daftar pernyataan sehubungan
dengan instrumen yang dikembangkan. 4. Meminta ijin untuk membuat dokumentasi konsultasi.
III. Penutup:
Menyampaikan terimakasih dan akan mengkonfirmasi bila ada hal-hal yang belum jelas.
IV. Pengolahan hasil konsultasi: 1. Mengumpulkan data hasil pengisian lembar pernyataan pakar. 2. Membuat kesepakatan pakar (kesepakatan Kappa/measuring
agreement). 3. Menginterpretasikan hasil perhitungan kesepakatan pakar. 4. Membuat kesimpulan.
145
Lampiran 5. Daftar pakar pada pembuatan instrumen evaluasi model penjaminan mutu PDCA pada pembelajaran klinik keperawatan gigi
No Nama Pakar Jabatan Instansi
1 Drs Suherman, M.Kes Kabid. Pendidikan dan Pelatihan
BPPSDM Pusdiklatnakes Kementerian Kesehatan, Jakarta
2 Dr.drg.H.Supriyana,M.Pd Pudir I Bidang Akademik Poltekkes Kemenkes Semarang, Jawa Tengah
3 Drg Farida, M.Kes,Sp.KG Dosen Pembimbing Klinik Yansuh Kesgilut/Kabag. Pengabdian Masyarakat
Jurusan Kesehatan Gigi, Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
4 Prof.drg Niken Widiyanti Sriyono,MDSc.
Dosen Luar Biasa Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, FKG, UGM, Yogyakarta
146
Lampiran 6. Bukti fisik konsultasi pakar tentang instrumen evaluasi model penjaminan mutu PDCA pada pembelajaran klinik keperawatan gigi
BUKTI FISIK
1. Nama : Drs Suherman, M.Kes
2. NIP : 196508121986031004
3. Pangkat/Gol. : Pembina/IVa
4. Jabatan : Kabid. Pendidikan dan Pelatihan
5. Instansi : Pusdiklatnakes, BPPSDM Kemenkes RI
6. Alamat instansi : Jl Hang Jebat III Blok F3 Kebayoran Baru, Jakarta
Hari/tanggal : Senin, 16 Mei 2011
Kegiatan : Konsultasi instrumen evaluasi mutu pembelajaran klinik pendidikan diploma III Kesehatan Gigi
Saran: 1. Draft instrumen sudah baik dan layak untuk
diujicobakan. 2. Setelah ujicoba disarankan membuat laporan
untuk pusdiknakes.
Jakarta, 16 Mei 2011 Mengetahui,
Drs Suherman, M.Kes NIP.196508121986031004
147
BUKTI FISIK
1. Nama : Dr. drg. Supriyana, MPd.
2. NIP : 196606141993021001
3. Pangkat/Gol. : Pembina/IVA
4. Jabatan : Pembantu Direktur I Bidang Akademik
5. Instansi : Politeknik Kesehatan Kemenkes Semarang
6. Alamat instansi : Jl. Tirto Agung, Pedalangan, Banyumanik, Semarang
Hari/tanggal : Rabu, 18 Mei 2011
Kegiatan : Konsultasi instrumen evaluasi mutu pembelajaran klinik pendidikan diploma III Kesehatan Gigi
Saran: a. Alternatif jawaban item pertanyaan pada
kuisioner evaluasi mutu pembelajaran klinik sebaiknya ada 5 (lima) pilihan untuk lebih memudahkan dalam uji validitas dan reliabilitas instrumen.
b. Selain mahasiswa, pihak yang terkait dengan pembelajaran klinik agar dilibatkan dalam kegiatan penelitian ini (kajur, kaprodi, dan pengelola klinik).
Semarang, 18 Mei 2011 Mengetahui,
(Dr. drg. Supriyana, MPd.) NIP.196606141993021001
148
BUKTI FISIK
1. Nama : Drg Farida, M.Kes, SpKG
2. NIP : 195508011981032001
3. Pangkat/Gol. : Pembina/IVA
4. Jabatan : Dosen Pembimbing Klinik Yansuh Kesgilut/Ka Bag. Pengabdian Masyarakat
5. Instansi : Politeknik Kesehatan Kemenkes Yogyakarta
6. Alamat instansi : Jl Kyai Mojo 56 Pingit, Yogyakarta
Hari/tanggal : Senin, 23 Mei 2011
Kegiatan : Konsultasi instrumen evaluasi mutu pembelajaran klinik pendidikan diploma III Kesehatan Gigi
Saran:
a. Pada tahap perencanaan ditambah tentang perlunya dilakukan simulasi/demonstrasi sebelum pembelajaran klinik pada pasien sesungguhnya.
b. Pada tahap pelaksanaan ditambahkan tentang adanya buku catatan kegiatan mahasiswa selama pembelajaran klinik.
Yogyakarta, 23 Mei 2011 Mengetahui,
(drg Farida, M.Kes., Sp.KG) NIP. 195508011981032001
149
BUKTI FISIK
1. Nama : Prof.drg. Niken Widyanti Sriyono, MDSc.
2. Jabatan : Dosen Luar Biasa
3. Instansi : Fakultas Kedokteran Gigi, UGM
4. Alamat instansi : Jl. Denta, Sekip Utara, Bulaksumur, Yogyakarta
Hari/tanggal : Selasa, 24 Mei 2011
Kegiatan : Konsultasi instrumen evaluasi mutu pendidikan diploma III Kesehatan Gigi
Rincian kegiatan : 1. Masukan pada item pernyataan pada kuisioner evaluasi mutu pada: variabel perencanaan item no. 4,19,20,21; variabel pelaksanaan item no.6,7,8,23,24,27; variabel evaluasi item no.31,32 serta variabel umpan balik item no.16,17,35.
2. Kuisioner masih terlalu umum, sebaiknya disesuaikan dengan tujuan pembelajaran klinik.
3. Saran: setelah draft instrumen direvisi, dilanjutkan dengan FGD dengan pembimbing klinik di Jurusan Kesehatan Gigi Poltekkes Kemenkes, kemudian dilakukan ujicoba instrumen.
Yogyakarta, 24 Mei 2011 Mengetahui,
(Prof.drg. Niken Widyanti Sriyono, MDSc.)
150
Lampiran 7. Data pendapat pakar mengenai instrumen instrumen evaluasi model penjaminan mutu PDCA pada pembelajaran klinik keperawatan gigi
item PAKAR
A B C D PERENCANAAN 1 1 1 1 1
2 1 1 1 1 3 1 1 1 1 4 1 1 1 0 5 1 1 1 1 6 1 1 1 1 7 1 1 1 0 8 1 1 1 1
PELAKSANAAN 9 1 1 1 1 10 1 1 1 1 11 1 1 1 1 12 1 1 1 1 13 0 0 1 0 14 1 1 1 1 15 1 1 1 1 16 1 1 1 1 17 0 0 1 0 18 1 1 1 1 19 0 1 1 1 20 0 0 0 0 21 0 1 0 0 22 1 1 1 1 23 1 1 1 1 24 1 1 1 1 25 0 0 0 0 26 1 1 1 1 27 1 1 1 1
EVALUASI 28 1 1 1 1 29 1 1 1 1 30 1 1 1 1 31 1 1 1 1 32 1 1 1 1 33 0 0 0 0 34 1 1 1 1 35 0 0 0 0 36 1 1 1 1 37 1 1 1 1
TINDAKAN 38 1 1 1 1 39 1 1 1 1 40 1 1 1 1 41 1 1 1 1 42 1 1 1 1 43 0 0 0 0 44 0 0 0 0 45 1 1 1 1
Keterangan: 1 = setuju 0 = tidak setuju
151
Lampiran 8. Hasil perhitungan measuring agreement (Cohen’s kappa) statistik Crosstabs
Case Processing Summary Cases Valid Missing Total N Percent N Percent N Percent Pakar_A * Pakar_B 45 100.0% 0 .0% 45 100.0%
Pakar_A * Pakar_B Crosstabulation Pakar_B Tidak Sesuai Sesuai Total
Count 7 2 9Tidak Sesuai Expected Count 1.4 7.6 9.0Count 0 36 36Sesuai Expected Count 5.6 30.4 36.0Count 7 38 45
Pakar_A
Total Expected Count 7.0 38.0 45.0
Symmetric Measures
Value Asymp.
Std. Errora Approx. Tb Approx.
Sig. Kappa .848 .104 5.758 .001Measure of
Agreement N of Valid Cases 45
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
152
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases Valid Missing Total N Percent N Percent N Percent Pakar_A * Pakar_C 45 100.0% 0 .0% 45 100.0%
Pakar_A * Pakar_C Crosstabulation Pakar_C Tidak Sesuai Sesuai Total
Count 6 3 9Tidak Sesuai Expected Count 1.2 7.8 9.0Count 0 36 36Sesuai Expected Count 4.8 31.2 36.0Count 6 39 45
Pakar_A
Total Expected Count 6.0 39.0 45.0
Symmetric Measures
Value
Asymp. Std.
Errora Approx. Tb Approx.
Sig. Kappa .762 .129 5.262 .001Measure of
Agreement N of Valid Cases 45 a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
153
Crosstabs
Case Processing Summary Cases Valid Missing Total N Percent N Percent N Percent Pakar_A * Pakar_D 45 100.0% 0 .0% 45 100.0%
Pakar_A * Pakar_D Crosstabulation Pakar_D Tidak Sesuai Sesuai Total
Count 8 1 9Tidak Sesuai Expected Count 2.0 7.0 9.0Count 2 34 36Sesuai Expected Count 8.0 28.0 36.0Count 10 35 45
Pakar_A
Total Expected Count 10.0 35.0 45.0
Symmetric Measures
Value
Asymp. Std.
Errora Approx.
Tb Approx. Sig.
Kappa .800 .111 5.379 .001Measure of Agreement N of Valid Cases 45 a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
154
Crosstabs
Case Processing Summary Cases Valid Missing Total N Percent N Percent N Percent Pakar_B * Pakar_C 45 100.0% 0 .0% 45 100.0%
Pakar_B * Pakar_C Crosstabulation Pakar_C Tidak Sesuai Sesuai Total
Count 5 2 7Tidak Sesuai Expected Count .9 6.1 7.0Count 1 37 38Sesuai Expected Count 5.1 32.9 38.0Count 6 39 45
Pakar_B
Total Expected Count 6.0 39.0 45.0
Symmetric Measures
Value Asymp.
Std. ErroraApprox.
Tb Approx.
Sig. Kappa .731 .147 4.920 .001Measure of
Agreement N of Valid Cases 45
a. Not assuming the nul hypothesis b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
155
Crosstabs
Case Processing Summary Cases Valid Missing Total N Percent N Percent N Percent Pakar_B * Pakar_D 45 100.0% 0 .0% 45 100.0%
Pakar_B * Pakar_D Crosstabulation Pakar_D Tidak Sesuai Sesuai Total
Count 7 0 7Tidak Sesuai Expected Count 1.6 5.4 7.0Count 3 35 38Sesuai Expected Count 8.4 29.6 38.0Count 10 35 45
Pakar_B
Total Expected Count 10.0 35.0 45.0
Symmetric Measures
Value Asymp.
Std. ErroraApprox.
Tb Approx.
Sig. Kappa .784 .118 5.386 .001Measure of
Agreement N of Valid Cases 45
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
156
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases Valid Missing Total N Percent N Percent N Percent Pakar_C * Pakar_D 45 100.0% 0 .0% 45 100.0%
Pakar_C * Pakar_D Crosstabulation Pakar_D Tidak Sesuai Sesuai Total
Count 6 0 6Tidak Sesuai Expected Count 1.3 4.7 6.0Count 4 35 39Sesuai Expected Count 8.7 30.3 39.0Count 10 35 45
Pakar_C
Total Expected Count 10.0 35.0 45.0
Symmetric Measures
Value
Asymp. Std.
Errora Approx.
Tb Approx.
Sig. Kappa .700 .137 4.922 .001Measure of
Agreement N of Valid Cases 45 a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
157
Frequency Table
Diference_1 (Pakar A & B)
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
-1 2 4.4 4.4 4.4 0 43 95.6 95.6 100.0
Valid
Total 45 100.0 100.0
Diference_2 (Pakar A & C)
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent -1 3 6.7 6.7 6.7 0 42 93.3 93.3 100.0
Valid
Total 45 100.0 100.0
Diference_3 (Pakar A & D)
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent -1 1 2.2 2.2 2.2 0 42 93.3 93.3 95.6 1 2 4.4 4.4 100.0
Valid
Total 45 100.0 100.0
Diference_4 (Pakar B & C)
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent -1 2 4.4 4.4 4.4 0 42 93.3 93.3 97.8 1 1 2.2 2.2 100.0
Valid
Total 45 100.0 100.0