BAB I PENDAHULUAN -...

21
1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi penjelasan yang melatarbelakangi timbulnya isu penelitian serta motivasi dilakukannya penelitian ini. Bab ini juga menjelaskan fenomena dan penelitian-penelitian yang berkaitan dengan profesionalisma dan independensi auditor yang ditinjau dari sisi psikologis dan sosiologis. Selain itu, bab ini juga berisi tentang pertanyaan penelitian, tujuan dan kontribusi dari penelitian. Bagian ini diakhiri dengan sistematika penulisan disertasi. I. Latar Belakang Masalah Skandal audit di Amerika seperti Enron dengan Arthur Andersen, Xerox dengan KPMG, dan Barclays dengan Price Waterhouse Copper (PWC), dan di Indonesia seperti Bank Summa dengan KAP (Kantor Akuntan Publik) Andersen, dan PT Kimia Farma Tbk dengan KAP Hans Tuannakota telah menimbulkan keraguan publik terhadap independensi auditor. Hal ini disebabkan perusahaan yang terlibat skandal tersebut telah diaudit dan mendapat opini audit wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion) tetapi perusahan-perusahaan tersebut pada tahun berikutnya terbukti melakukan kecurangan dalam penyajian laporan keuangannya. Kondisi ini tidak dapat dipungkiri karena KAP harus menjaga kelangsungan usahanya dan di lain pihak, perusahaan teraudit memerlukan opini audit wajar tanpa pengecualian untuk menurunkan konflik keagenan serta untuk memenuhi aturan yang berlaku. Arthur Andersen dianggap kurang independen terhadap Enron karena Arthur

Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...

1

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi penjelasan yang melatarbelakangi timbulnya isu penelitian serta

motivasi dilakukannya penelitian ini. Bab ini juga menjelaskan fenomena dan

penelitian-penelitian yang berkaitan dengan profesionalisma dan independensi auditor

yang ditinjau dari sisi psikologis dan sosiologis. Selain itu, bab ini juga berisi tentang

pertanyaan penelitian, tujuan dan kontribusi dari penelitian. Bagian ini diakhiri

dengan sistematika penulisan disertasi.

I. Latar Belakang Masalah

Skandal audit di Amerika seperti Enron dengan Arthur Andersen, Xerox

dengan KPMG, dan Barclays dengan Price Waterhouse Copper (PWC), dan di

Indonesia seperti Bank Summa dengan KAP (Kantor Akuntan Publik) Andersen, dan

PT Kimia Farma Tbk dengan KAP Hans Tuannakota telah menimbulkan keraguan

publik terhadap independensi auditor. Hal ini disebabkan perusahaan yang terlibat

skandal tersebut telah diaudit dan mendapat opini audit wajar tanpa pengecualian

(unqualified opinion) tetapi perusahan-perusahaan tersebut pada tahun berikutnya

terbukti melakukan kecurangan dalam penyajian laporan keuangannya.

Kondisi ini tidak dapat dipungkiri karena KAP harus menjaga kelangsungan

usahanya dan di lain pihak, perusahaan teraudit memerlukan opini audit wajar tanpa

pengecualian untuk menurunkan konflik keagenan serta untuk memenuhi aturan yang

berlaku. Arthur Andersen dianggap kurang independen terhadap Enron karena Arthur

2

Andersen memiliki kepentingan ekonomi yang besar pada Enron (Zeff, 2003). Hal ini

nampak bahwa pada tahun sebelum skandalnya terungkap, Enron merupakan klien

penting bagi Arthur Andersen karena mampu memberikan pendapatan sebesar $25

juta untuk jasa audit dan $27 juta untuk jasa konsultasi dan jasa yang lain (Kadlec,

2002). Demikian juga dengan fenomena kebankrutan bank Summa dan skandal

manipulasi laporan keuangan oleh PT Kimia Farma Tbk. Sebelum bangkrut, bank

tersebut mendapat opini audit wajar tanpa pengecualian (Media Akuntansi, 2001: 6-7)

demikian juga dengan PT Kimia Farma Tbk, sebelum skandalnya terungkap, diberi

opini audit wajar tanpa pengecualian. PT Kimia Farma Tbk telah melaporkan laba

bersih sebesar Rp132 milyar pada tanggal 31 Desember 2001. Auditor dari KAP

Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM) berdalih bahwa mereka telah melakukan

prosedur pengauditan dengan benar dan tidak menemukan adanya kesalahan dalam

penyajian laporan keuangan.

Isu mengenai independensi pada auditor akan selalu terjadi dalam hubungan

antara auditor dan teraudit karena keduanya memiliki kepentingan yang berbeda.

Teraudit harus menyajikan laporan keuangan yang andal untuk memenuhi peraturan

yang ditetapkan1, memenuhi kontrak pendanaan eksternal, memberi sinyal yang

bagus pada investor, serta memenuhi kebutuhan pelanggan dan supplier. Untuk

menguatkan keterandalan laporan keuangan tersebut, teraudit membutuhkan opini

1UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dalam Pasal 68 (1) menyatakan bahwadireksi wajib menyerahkan laporan keuangan perseroan kepada akuntan publik untuk diaudit apabila (a) kegiatan usaha perseroan adalah menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat, (b) perseroan menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat, (c) perseroan merupakan perseroan terbuka, (d) perseroan merupakan persero, (e) perseroan mempunyai aset dan/atau jumlah peredaran usaha dengan jumlah nilai paling sedikit Rp50.000.000.000, atau (f) diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan.

3

dari auditor. Opini audit wajar tanpa pengecualian terutama dari auditor yang

memiliki reputasi bagus dianggap dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap

laporan keuangan yang disajikan (Francis dan Wilson, 1988). Oleh karena itu teraudit

akan berusaha untuk mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian dari auditor. Pada

sisi yang lain, auditor harus mengikuti standar audit yang telah ditetapkan oleh

organisasi profesi akuntan publik (Indonesia: IAPI atau Institut Akuntan Publik

Indonesia) ketika menjalankan tugas pengauditan sehingga ketika auditor

menghadapi teraudit yang memiliki keinginan seperti di atas maka akan muncul

dilema etis di dalam dirinya.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang

mengukur tingkat independensi auditor pada level KAP yaitu dengan mendasarkan

pada kemungkinan auditor mengeluarkan opini mengenai going-concern

modifikasian (Robinson, 2008; Callaghan et al., 2009; Li, 2009; Ruiz-Barbadillo et

al., 2009), kemungkinan teraudit mendapat opini audit dengan kualifikasi dan tingkat

managemen laba (Gul et al., 2009), keagresifan teraudit dalam laporan keuangan

yang mereka buat, tingkat ongkos nonaudit dan tingkat managemen laba (Gul et al.,

2003), tingkat ongkos nonaudit dan tingkat konservatisma (Ruddock et al., 2006).

DeFond dan Francis (2005) serta Chen et. al. (2010) menyatakan bahwa penelitian

tentang independensi dengan menggunakan analisis pada aras KAP kurang mampu

menangkap kinerja auditor secara individual. DeFond dan Francis (2005) menyatakan

bahwa untuk memperluas pemahaman terhadap perilaku auditor dan kualitas audit,

pengujian dengan aras analisis individual akan melengkapi pengujian dengan aras

analisis KAP. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan aras individual dalam

4

analisis terhadap kinerja auditor dengan mengukur tingkat independensi auditor

berdasarkan kemampuan auditor dalam mengatasi dilema etis ketika menghadapi

tekanan dari teraudit.

Penelitian dengan menggunakan aras individual sebagai unit analisisnya juga

sejalan dengan handbook yang dikeluarkan IFAC (International Federation of

Acountants) mengenai pedoman pelaksanaan pengauditan yang menyatakan bahwa

standar pengauditan internasional digunakan untuk mengatur pelaksanaan audit oleh

auditor baik secara individu maupun kelompok, biasanya partner yang menerima

penugasan (engagement partner) atau anggota lain dalam tim penugasan. Kantor

akuntan publik hanya diwajibkan untuk membuat sistem pengendalian kualitas untuk

audit dan telaah terhadap laporan keuangan. Selain itu, Standar Profesional Akuntan

Publik secara umum juga mengatur perilaku auditor secara individual dan bukan

KAP. Analisis terhadap pembuatan keputusan auditor secara individual akan dapat

memberikan gambaran yang lebih spesifik mengenai kinerja KAP secara

keseluruhan.

Perilaku independen dari auditor akan nampak ketika auditor mampu

mengatasi tekanan dari teraudit yang sangat berkepentingan dengan laporan keuangan

auditan. Teraudit akan mempengaruhi auditor untuk memberi pendapat sesuai dengan

kepentingannya. Kondisi ini mengakibatkan teraudit sering melakukan belanja opini

(opinion shopping) untuk mempengaruhi auditor dalam memberikan opini auditnya.

Di pihak auditor, jika teraudit merupakan klien “penting” (memberi pendapatan yang

5

signifikan) maka auditor akan dihadapkan pada posisi yang sulit dalam memberikan

pendapat yang objektif atas laporan keuangan yang diauditnya.2

Silvers (2007) mengemukakan bahwa pada saat ini para profesional, termasuk

auditor, lebih mengutamakan untuk memaksimumkan pendapatan dibandingkan

menjaga profesionalisma mereka. Hal ini akan mengakibatkan perilaku auditor

menjadi tidak independen sehingga hasil kerja dan loyalitas auditor tidak dipercaya

oleh masyarakat. Jika profesionalisma auditor dipertanyakan oleh publik maka tata

kelola perusahaan yang bagus dan pengembangan pasar modal suatu negara tidak

akan bekerja secara optimal. Oleh karena itu, auditor yang bertindak profesional akan

menjadi penjaga gawang (gatekeeper) bagi efektifitas pelaksanaan tata kelola

perusahaan yang bagus yang selanjutnya mendorong pengembangan pasar modal di

suatu negara (Silvers, 2007).

IAI dan IAPI telah membuat kebijakan untuk mengatur kembali proses

pendidikan akuntansi di Indonesia dengan tujuan untuk meningkatkan

profesionalisma akuntan, termasuk juga auditor (Akuntan Indonesia, 2012: 8).

Auditor diwajibkan untuk mengikuti ujian sertifikasi akuntan publik (USAP) dan

mengikuti pendidikan profesional berkelanjutan (PPL). Langkah-langkah yang

diambil oleh IAPI ini lebih menitikberatkan pada pengembangan pengetahuan dan

ketrampilan auditor. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah peningkatan

2 Goodwin (2002) serta Brown dan Wright (2008) menyatakan bahwa konflik antara auditor dan teraudit dapat diatasi dengan empat macam gaya managemen konflik yang dilakukan auditor yaitu dengan (1) strategi mendominasi (contending/dominating strategy),(2) strategi membantu (concessionary/obliging strategy),(3) strategi berkompromi (compromising strategy), dan (4) strategi menghindar (avoiding strategy).

6

profesionalisma auditor dengan melakukan restrukturisasi pendidikan profesi sudah

cukup untuk meningkatkan independensi auditor.

Carey (2008) mengatakan bahwa untuk menjadi akuntan atau auditor yang

profesional tidak cukup hanya meningkatkan pengetahuan dan keahlian saja tetapi

juga harus menjaga dan mengembangkan nilai-nilai profesional. Carrington (2010)

menyatakan bahwa kualitas audit dipengaruhi oleh penampilan profesional dari

auditor dan penampilan profesional ini tidak dapat dilepaskan dari proses audit yang

dilakukan. Pengembangan nilai-nilai profesional dilakukan selama auditor bekerja

dan pengembangan nilai-nilai ini akan sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat ia

bekerja dan bagaimana ia berinteraksi di dalam lingkungan kerja atau di dalam

organisasi profesinya (Lui et al., 2003).

Lui et al. (2003) mendefinisikan profesionalisma dari perspektif sosialisasi.

Berdasarkan perspektif ini, profesionalisma dapat dipandang sebagai nilai-nilai,

sasaran-sasaran, dan norma-norma yang dipelajari melalui sosialisasi profesional.

Proses sosialisasi ini memerlukan waktu yang panjang dan melibatkan banyak agen

sosialisasi yaitu sekolah, organisasi profesional, dan tempat bekerja. Profesionalisma

terbentuk sejalan dengan jenjang karir yang dilalui oleh seorang profesional di dalam

suatu organisasi. Oleh karena itu tingkat profesionalisma akan dipengaruhi oleh

persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh organisasinya. Lui et al. (2003)

menemukan bahwa profesionalisma akan mempengaruhi sikap kerja seseorang yang

ditunjukkan oleh meningkatnya kepuasan kerja dan identifikasi profesional, serta

menurunnya keinginan untuk keluar dari pekerjaannya. Selanjutnya, sikap kerja akan

mempengaruhi perilaku seseorang dalam bekerja (Salancik dan Pfeffer, 1978).

7

Profesionalisma merupakan dasar atau pedoman bagi pekerja profesional

untuk bersikap dan berperilaku dalam pekerjaannya. Bagi seorang auditor, perilaku

kerja yang harus ditunjukkan kepada masyarakat adalah sikap independen yaitu

dengan memberi pendapat yang objektif atau tidak memihak pada pihak-pihak yang

memiliki kepentingan terhadap laporan keuangan yang diauditnya. Jadi, semakin

tinggi tingkat profesionalisma yang dimiliki oleh auditor diharapkan ia menjadi

semakin independen terhadap kliennya ketika menghadapi konflik dengan kliennya.

Pengembangan profesionalisma auditor sangat tergantung pada lingkungan tempat ia

bekerja dan bagaimana nilai-nilai profesionalisma di organisasi profesinya

ditanamkan.

Penelitian ini menggunakan perspektif psikologis-sosiologis dalam rerangka

teori kognitif sosial (social cognitive theory) untuk menjelaskan perilaku auditor

dalam kaitannya dengan penyelesaian dilema etis yang dihadapinya ketika dirinya

dihadapkan dengan kepentingan yang besar dari teraudit agar memberi opini wajar

tanpa pengecualian terhadap laporan keuangan yang disajikan. Dilema etis terjadi

ketika di satu sisi menghadapi tekanan dari teraudit yang besar dan di sisi yang lain

harus tetap menjaga nilai-nilai profesionalisma. Penyelesaian terhadap dilema etis

akan tercermin pada kemampuan auditor dalam mempertahankan independensinya.

Penelitian ini bertujuan menguji peran konteks kerja dalam pengembangan

profesionalisma auditor dan kekhawatiran auditor mendapat sanksi profesional dalam

meningkatkan kemampuan auditor dalam bertindak independen. Berdasar teori

kognitif sosial, penelitian ini bermaksud menguji peran konteks kerja dan lingkungan

hukum dalam membentuk kognitif seseorang dan perilaku seseorang.

8

Teori kognitif sosial ini dikenalkan oleh Bandura pada tahun 1986 yang

merupakan pengembangan dari teori pembelajaran sosial (social learning theory)

yang juga pernah ditulis oleh Bandura pada tahun 1977. Menurut teori kognitif sosial,

ada tiga aspek yang saling berpengaruh dalam proses pembuatan keputusan individu

yaitu kognitif (dan faktor personal lain), lingkungan, serta perilaku. Perilaku

independen dari auditor adalah manifestasi dari proses kognitif yang dilakukan

auditor dalam memproses informasi. Informasi ini tidak hanya berasal dari

pengalaman dirinya, tetapi juga melibatkan konteks sosial tempat auditor berinteraksi

dan pengalaman orang lain di masa lalu. Informasi yang berasal dari konteks sosial

dan dari pengalaman orang lain disebut sebagai informasi sosial (Salancik dan

Pfeffer, 1978). Pemrosesan informasi sosial berkaitan dengan pembelajaran yang

dilakukan seseorang selama ia berinteraksi di dalam suatu lingkungan tertentu.

Munculan dari pemrosesan informasi ini akan dapat digunakan untuk membentuk

regulasi diri yang selanjutnya akan membentuk sistem diri. Munculan dari

pemrosesan informasi sosial yang dilakukan dalam interaksinya dengan lingkungan

tempat ia bekerja akan nampak pada tingkat profesionalismanya. Tingkat

profesionalisma ini akan menentukan seberapa besar identifikasi profesionalnya

dibandingkan dengan identifikasinya pada organisasi.

Menurut Bandura (2001), regulasi diri berhubungan dengan kapasitas untuk

mengkoordinasikan proses kognitif, afektif, dan keperilakuan untuk mencapai sasaran

yang telah ditetapkan. Regulasi diri ini akan membentuk efikasi diri yang dapat

digunakan sebagai pedoman bagi seseorang agar dapat melakukan tindakan sesuai

sasaran yang ditetapkan. Profesionalisma yang dimiliki oleh auditor merupakan

9

regulasi diri bagi auditor agar ia dapat menghasilkan audit yang berkualitas. Jadi,

profesionalisma sebenarnya merupakan hasil atau munculan dari pemrosesan

informasi sosial yang dilakukan oleh auditor. Kekhawatiran auditor mendapat sanksi

profesional juga merupakan munculan dari proses kognitif auditor dalam menghadapi

risiko mendapat sanksi profesional. Tinggi rendahnya kekhawatiran akan tergantung

pada pengalaman dirinya atau pengalaman orang lain ketika keliru dalam

memberikan pendapat.

Simon (1957), dikutip oleh Bazerman (1994), mengatakan bahwa manusia

memiliki keterbatasan dalam rasionalitasnya (bounded rationality) sehingga ia tidak

selalu dapat memproses informasi dengan baik. Hal ini mengakibatkan keputusan

yang dibuat menjadi tidak optimal. Keterbatasan di dalam rasionalitas ini akan

menimbulkan bias kognitif selama pemrosesan informasi sehingga akan

menimbulkan regulasi diri yang mungkin tidak rasional. Di dalam pemrosesan

informasi sosial, faktor lingkungan memiliki peran besar dalam menimbulkan bias

kognitif. Bias kognitif yang dialami auditor mengakibatkan pembentukan

profesionalisma di dalam dirinya menjadi tidak optimal dan mungkin cenderung

menjadi tidak rasional. Ketika auditor berada di dalam lingkungan yang mendukung

pengembangan nilai-nilai profesional maka profesionalisma auditor akan meningkat,

tetapi jika lingkungan tidak mendukung pengembangan nilai-nilai profesional maka

berangsur-angsur profesionalisma yang dimiliki auditor akan luntur.

Lingkungan kerja (konteks kerja) dapat menjadi sumber bias kognitif karena

masing-masing organisasi memiliki tata cara dan struktur organisasi yang berbeda-

beda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa auditor di KAP big 4 memiliki komitmen

10

independensi yang lebih rendah dibandingkan auditor di KAP non big 4 (Gendron et

al., 2006; Suddaby et al., 2009). Suddaby et al. (2009) mengatakan bahwa di KAP

big 4, prosedur operasi standar tersusun dengan baik dan prosedur ini digunakan

sebagai pedoman bagi setiap anggota organisasi dalam menjalankan pekerjaaannya.

Prosedur operasi standar yang digunakan sebagai pedoman untuk melakukan

pengauditan mengakibatkan auditor kurang memiliki kesempatan untuk

menggunakan autonominya untuk menggunakan pertimbangan profesionalnya dalam

membuat keputusan. Ketika auditor memutuskan untuk tetap bekerja pada KAP

tersebut maka nilai-nilai profesionalismanya berangsur-angsur akan berkurang dan

dikompromikan dengan nilai-nilai organisasional yang berlaku di dalam KAP

tersebut. Sikka (2009) mengatakan bahwa sebagian besar akuntan bekerja di dalam

suasana birokratis yang dijalankan dengan logika komersial dibandingkan

profesional. Di dalam struktur organisasi yang seperti ini, akuntan akan terus menerus

mengalami proses pendisiplinan yang memprioritaskan nilai-nilai organisasional

dibandingkan nilai-nilai profesional sehingga pada akhirnya nilai-nilai profesional

dikalahkan oleh nilai-nilai dan kebijakan organisasional. Penurunan profesionalisma

ini akan berakibat pada penurunan kualitas audit yang ditunjukkan oleh perilku

independensi terhadap teraudit.

Bentuk bisnis baru yang dilakukan oleh KAP big 4 mengakibatkan auditor

menjadi bias dalam memproses informasi karena di tempat kerja ia berinteraksi

dengan banyak profesional lain yang memiliki nilai-nilai profesional yang berbeda-

beda (Sikka, 2009). Sudabby et al. (2009) mengatakan bahwa KAP big 4 umumnya

menawarkan lebih banyak jasa, selain jasa audit, dibandingkan KAP non big 4. Hal

11

ini membawa konsekuensi bahwa banyak orang dengan latar belakang profesi yang

bermacam-macam bekerja KAP big 4. Setiap profesi memiliki norma-norma dan

nilai-nilai profesional sehingga masing-masing profesi akan memperlakukan kliennya

dengan cara yang berbeda-beda. Konsultan cenderung akan memberi perhatian pada

kepuasan kliennya dengan mengakomodasi segala keinginan dan kebutuhannya. Di

sisi lain, nilai-nilai dan norma-norma yang dianut auditor justru menghendaki auditor

untuk bertindak objektif dan tidak mengakomodasi keinginan dari kliennya. Auditor

dapat mengalami bias kognitif di dalam memproses informasi ketika auditor secara

tidak sadar melaksanakan pekerjaannya dengan berlandaskan pada nilai-nilai dan

norma-norma yang digunakan oleh konsultan. Bias kognitif ini mengakibatkan

pengembangan profesionalismanya tidak optimal dan akhirnya auditor tidak dapat

bertindak independen sehingga opini yang dibuat juga tidak objektif.

Karakteristik hukum dan pelaksanaannya juga akan mempengaruhi kinerja

auditor. Penelitian lintas negara menunjukkan bahwa auditor dari KAP big 4 tidak

selalu menunjukkan kualitas audit yang lebih bagus dibandingkan dengan KAP non

big 4 (Favere-Marches, 2000; Khurara dan Raman, 2004; Francis dan Wang, 2008;

dan Michas, 2011). Francis dan Wang (2008) menemukan bahwa tingkat

perlindungan investor di suatu negara memiliki pengaruh kuat pada kinerja KAP big

4. KAP big 4 yang beroperasi di negara dengan tingkat perlindungan investor yang

lemah menunjukkan kualitas audit yang tidak lebih bagus dibandingkan KAP non big

4. Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat perlindungan investor akan

mempengaruhi perilaku auditor. Tingkat perlindungan investor yang lemah

mengakibatkan teraudit berani untuk menekan auditor agar memenuhi keinginan

12

dirinya (Fan dan Wong, 2005). Di sisi lain, auditor juga berani untuk tidak bertindak

independen karena risiko litigasi yang dihadapinya rendah (Francis et al., 2002;

Francis dan Wang, 2008). Auditor di Indonesia kemungkinan juga cenderung untuk

bertindak tidak independen karena Indonesia termasuk negara dengan karakteristik

tingkat perlindungan investor yang lemah (La Porta et al., 2006). Selain itu,

perusahaan-perusahaan di Indonesia memiliki karakteristik kepemilikan yang

terkonsentrasi (Siregar, 2006). Kepemilikan yang terkonsentrasi mengakibatkan

perusahaan-perusahaan di Indonesia menghadapi masalah keagenan yang besar.

Kepemilikan yang terkonsentrasi mengakibatkan ekspropriasi dari pemegang saham

mayoritas pada pemegang saham minoritas. Dominasi pemegang saham mayoritas di

dalam perusahaan juga ditunjukkan oleh kurangnya pemisahan yang jelas antara

manager dan pemegang saham mayoritas karena manager juga dijabat oleh pemegang

saham mayoritas. Di dalam perusahaan yang kepemilikannya terkonsentrasi pada

keluarga, manager atau direksi dan komisaris yang bukan independen umumnya

berasal atau masih memiliki hubungan keluarga dengan pemegang saham mayoritas.

Dalam kondisi ini, komisaris independen pun kemungkinan juga tidak dapat

berfungsi secara optimal karena dominasi pemegang saham mayoritas yang sangat

kuat. Bahkan berdasarkan penelusuran terhadap hasil rapat umum pemegang saham

(RUPS), penulis menemukan bahwa RUPS pada beberapa perusahaan justru

melimpahkan wewenang kepada direksi untuk mengangkat, menghentikan, dan

memberi kompensasi pada auditor yang mengaudit laporan keuangan perusahaan.

Dalam situasi seperti ini, auditor akan memiliki posisi yang sangat lemah ketika

13

mengaudit perusahaan sehingga auditor tidak dapat bertindak independen dan

akhirnya opini yang diberikan tidak objektif.

Berdasar perspektif psikologis, lingkungan hukum akan berpengaruh pada

penilaian seseorang terhadap risiko mendapatkan sanksi. Clarkson et al. (2002)

mengatakan bahwa ketika seseorang melihat adanya efek negatif dari munculan

terhadap suatu tindakan, maka ia akan berhati-hati dalam melakukan tindakan yang

sama di masa depan. Hal ini berarti, munculan negatif dari suatu tindakan yang

diambil akan menurunkan bias kognitif yang muncul dari pemrosesan informasi yang

dilakukan oleh auditor. Semakin tinggi risiko mendapatkan sanksi profesional ketika

auditor keliru dalam memberikan pendapat akan berpengaruh pada kekhawatiran

auditor mendapat sanksi profesional dan selanjutnya kekhawatiran ini akan

meningkatkan independensi auditor. Semakin tinggi kekhawatiran mendapat sanksi

profesional maka semakin rendah keberanian auditor dalam menghadapi risiko

mendapatkan sanksi tersebut. Keberanian ini berkaitan dengan tingkat kepercayaan

seseorang bahwa ia mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi. Keberanian

menghadapi risiko ini terbentuk dari proses kognitif yang dialami oleh auditor

maupun pengalaman orang lain terhadap sanksi yang diterima ketika mereka keliru

dalam melakukan pengauditan.

Penelitian ini penting dilakukan di Indonesia karena sebagian besar

perusahaan di Indonesia merupakan perusahaan dengan struktur kepemilikan yang

terkonsentrasi dan tingkat perlindungan investor yang lemah. Kondisi ini

memungkinkan auditor menghadapi dilema etis yang besar ketika berhadapan dengan

teraudit. Struktur kepemilikan yang terkonsentrasi mengakibatkan pemisahan antara

14

pemegang saham dan managemen menjadi tidak jelas karena pemegang saham

mayoritas sebagian besar juga menduduki posisi managemen. Oleh karena itu konflik

keagenan lebih banyak terjadi antara pemegang saham mayoritas dengan pemegang

saham minoritas atau dengan kreditur. Hal ini mengakibatkan tekanan yang besar

bagi auditor untuk bertindak independen ketika menghadapi teraudit. Tingkat

perlindungan investor yang lemah akan mengakibatkan auditor cenderung

mendukung kepentingan pihak yang memiliki kekuasaan dan memberi keuntungan

kepada dirinya.

Isu penelitian di atas menjadi menarik untuk diteliti. Peneliti berpendapat

bahwa pengembangan profesionalisma tidak cukup hanya meningkatkan

pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai etis yang seharusnya dimiliki oleh seorang

profesional. Tata kelola yang bagus dari KAP menjadi faktor penunjang bagi

keberhasilan auditor dalam menjaga kualitas auditnya yaitu dengan bertindak

independen. Selain penegakan hukum yang efektif, peneliti menduga bahwa konteks

kerja juga memiliki peran penting di dalam pengembangan tingkat profesionalisma

dan independensi auditor. Penelitian ini mengukur konteks kerja dengan membagi

auditor berdasarkan tempat mereka bekerja yaitu di KAP big 4 atau KAP non big 4.

Penelitian ini bermaksud menguji peran konteks kerja dalam pengembangan

profesionalisma auditor dan kualitas pekerjaan auditor yang ditunjukkan dengan

kemampuan auditor mengatasi dilema etis yaitu dengan menunjukkan sikap

independen dan memberi opini audit yang objektif. Selain itu, penelitian ini juga

menguji pengaruh kekhawatiran mendapat sanksi profesional pada independensi

auditor dan apakah konteks kerja berpengaruh pada hubungan keduanya.

15

II. Pertanyaan Penelitian

Di dalam latar belakang telah diuraikan fenomena yang berkaitan dengan skandal

audit. Skandal audit yang melibatkan auditor dan teraudit telah menimbulkan

keraguan publik terhadap independensi auditor ketika ia melakukan pengauditan.

Pertanyaan penting yang muncul dari fenomena di atas adalah apakah auditor secara

individual juga telah kehilangan independensinya ketika ia mengaudit laporan

keuangan dan apakah profesionalisma dapat digunakan untuk mengawal

independensi auditor. Independensi auditor merupakan perilaku yang ditunjukkan

oleh auditor dalam pembuatan keputusan ketika ia menghadapi dilema etis karena

adanya keinginan teraudit terhadap penyajian laporan keuangan yang tidak sesuai

dengan nilai-nilai profesional auditor. Selain itu, berdasar teori kognitif sosial,

lingkungan dapat berpengaruh pada keputusan yang dibuat oleh seseorang. Sehingga

pertanyaan yang diajukan adalah apakah konteks kerja dan tingkat penegakan hukum

akan berpengaruh pada independensi auditor. Berdasar uraian di atas, peneliti

mengajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

a. Apakah profesionalisma berpengaruh positif pada indepedensi auditor?

b. Apakah konteks kerja berpengaruh pada tingkat profesionalisma dan

independensi auditor?

c. Apakah tingkat penegakan hukum yang termanifestasi di dalam tingkat

kekhawatiran auditor terhadap sanksi profesional yang akan diterima memiliki

tingkat yang berbeda antar konteks kerja?

16

d. Apakah kekhawatiran mendapat sanksi profesional berpengaruh positif pada

peningkatan independensi auditor?

e. Apakah kekhawatiran mendapat sanksi profesional memperkuat hubungan antara

profesionalisma dan independensi.

III. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bermaksud untuk menguji peran konteks kerja dan kekhawatiran

auditor mendapat sanksi profesional dalam meningkatkan (menurunkan)

profesionalisma dan independensi auditor ketika auditor menghadapi dilema etis.

Penelitian ini dilakukan dalam rerangka teori kognitif sosial. Dengan menggunakan

pendekatan pemrosesan informasi sosial, penelitian ini menguji pengaruh konteks

kerja dan kekhawatiran mendapat sanksi profesional dalam membentuk sikap kerja

dan perilaku individual. Konteks kerja menunjukkan tempat auditor bekerja yaitu

apakah bekerja di KAP big 4 atau non big 4. Kekhawatiran mendapat sanksi

profesional mencerminkan persepsi terhadap risiko bahwa auditor keliru dalam

memberikan pendapat. Variabel ini juga dapat digunakan untuk mengukur besarnya

tingkat percaya diri auditor dalam menghadapi risiko mendapat sanksi profesional.

Secara spesifik, penelitian ini bermaksud menguji:

a. Peran profesionalisma auditor untuk meningkatkan independensinya.

b. Peran konteks kerja dalam pengembangan profesionalisma auditor dan

peningkatan independensi auditor.

17

c. Peran kekhawatiran mendapat sanksi profesional dalam peningkatan

independensi auditor.

III. Motivasi Penelitian

Ada dua hal yang memotivasi peneliti untuk mengambil tema penelitian ini:

a. Sebagian besar perusahaan di Indonesia memiliki struktur kepemilikan yang

terkonsentrasi dan lebih banyak didominasi oleh keluarga. Hal ini mengakibatkan

pemisahan antara manager dan pemegang saham (terutama pemegang saham

mayoritas) menjadi kurang jelas. Konflik kepentingan lebih banyak terjadi antara

pemegang saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas atau antara

pemegang saham mayoritas dengan kreditur. Auditor harus dapat mengatasi

konflik ini dengan cara memberi pendapat yang objektif terhadap laporan

keuangan. Ketika pemegang saham mayoritas memiliki kepentingan yang besar

terhadap laporan keuangan dan kepentingan ini berbenturan dengan kepentingan

minoritas atau kreditor maka auditor akan menghadapi dilema yang besar.

b. Indonesia termasuk negara dengan tingkat penegakan hukum yang lemah (La

Porta et al., 1999). Hal ini dapat berakibat pada penurunan kinerja KAP, terutama

KAP besar (Francis dan Wang, 2008 serta Michas, 2011). Francis dan Wang

(2008) mengatakan bahwa tingkat proteksi investor menjadi motivasi bagi auditor

big 4 untuk melakukan audit yang berkualitas. Di Indonesia, auditor big 4

kemungkinan juga menjadi tidak lebih independen dibandingkan auditor non big

4 ketika menghadapi teraudit.

18

Peneliti menduga bahwa kedua hal di atas dapat berpotensi meningkatkan

tekanan teraudit pada auditor. Hal ini dapat menyebabkan auditor mengalami dilema

etis karena ia harus menjalankan audit sesuai dengan norma-norma profesionalnya

dalam kondisi tekanan dari teraudit yang besar. Kemampuan auditor dalam mengatasi

dilema etis ditunjukkan oleh kemampuan auditor bertindak independen. Kemampuan

auditor dalam bertindak independen berhubungan dengan kemampuan membuat

keputusan etis. Berdasar teori kognitif sosial, kemampuan auditor dalam membuat

keputusan etis akan tergantung pada kapasitas kognitif moral yang dimiliki dan

lingkungan tempat ia membuat keputusan. Kapasitas kognitif moral ditunjukkan oleh

profesionalisma dan kekhawatiran mendapat sanksi profesional, sedangkan

lingkungan tempat ia membuat keputusan ditunjukkan oleh karakteristik organisasi

tempat ia bekerja.

IV. Kontribusi Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi bagi:

a. Bagi pemerintah, dalam hal ini adalah Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa

Penilai(PPAJP), dan Komite Profesi Akuntan Publik3

Terdapat dua kontribusi yang dapat diberikan kepada kepada pemerintah dan

Komite Profesi Akuntan Publik yaitu:

3 Komite Profesi Akuntan Publik dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 84 tahun 2012. Tugas komite ini adalah memberikan pertimbangan terhadap (a) kebijakan pemberdayaan, pembinaan, dan pengawasan akuntan publik dan KAP, (b) penyusunan standar akuntansi dan SPAP, dan (c) hal-hal yang berkaitan dengan profesi akuntan publik (diatur di pasal 4).

19

1) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti empiris mengenai peran

konteks kerja dalam peningkatan profesionalisma auditor. Pemberdayaan

dan pembinaan akuntan publik dan KAP tidak hanya berfokus pada

restrukturisasi terhadap sistem pendidikan bagi auditor dan calon auditor

tetapi juga diperlukan restrukturisasi terhadap struktur organisasi KAP yang

dapat mendukung pengembangan profesionalisma auditor.

2) Penelitian ini diharapkan dapat memberi bukti empiris mengenai peran

penegakan peraturan untuk meningkatkan kualitas audit. Substansi peraturan

yang semakin memberatkan tidak cukup untuk meningkatkan kualitas audit,

tetapi yang terpenting adalah pelaksanaan peraturan tersebut secara

konsisten. Kekhawatiran auditor mendapat sanksi profesional akan

menimbulkan persepsi bahwa melanggar peraturan akan berisiko tinggi bagi

kariernya maka mereka akan berhati-hati dalam melaksanakan pekerjaannya.

Hal ini akan meningkatkan kinerja auditor tersebut. Oleh karena itu,

penetapan aturan mengenai sanksi pidana bagi auditor mungkin tidak akan

membantu menyelesaikan masalah independensi jika tidak diikuti dengan

pelaksanaan peraturan tersebut secara konsisten.

b. Bagi pengembangan teori dan metodologi

1) Penelitian ini menggunakan aras analisis pada auditor secara individual

sehingga diharapkan memberi tambahan pemahaman terhadap perilaku

auditor dan kualitas audit. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendukung

penelitian-penelitian sebelumnya yang mengukur tingkat independensi

auditor pada aras KAP.

20

2) Penggunaan auditor sebagai subjek penelitian dan penggunaan metoda

survei berbasis skenario untuk mengamati pembuatan keputusan etis

responden diharapkan dapat memberi alternatif bagi penggunaan metoda

penelitian lain yang sudah digunakan sebelumnya. Pengamatan terhadap

pembuatan keputusan oleh profesional akan lebih mendekati kondisi yang

sebenarnya di dalam praktik. Penelitian mengenai pembuatan keputusan oleh

auditor juga dapat menangkap peran lingkungan dalam mempengaruhi

keputusan auditor.

V. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini disajikan dalam lima bab, yaitu pengantar, tinjauan pustaka dan

pengembangan hipotesis, metoda penelitian, hasil penelitian, dan penutup.

Pada bab pengantar diuraikan mengenai isu penelitian yang berkaitan dengan

independensi auditor dengan menunjukkan berbagai fenomena yang terkait dengan

penurunan independensi auditor. Selanjutnya, bab ini juga menjelaskan mengenai

tujuan penelitian ini dilakukan, motivasi penelitian yang menunjukkan relevansi

penelitian ini khususnya di Indonesia, dan terakhir adalah kontribusi penelitian ini

bagi pengembangan profesi akuntansi, pengembangan metodologi, serta

pengembangan teori kognitif sosial di bidang pengauditan.

Bab dua berisi tentang penyebab terjadinya konflik antara auditor dan teraudit

dan bagaimana menyelesaikan konflik tersebut, penjelasan mengenai teori kognitif

sosial secara umum dan penerapannya di dalam organisasi, dan penjelasan tentang

21

bias kognitif di dalam pemrosesan informasi dan dilema etis dalam rerangka teori

kognitif sosial. Di bab ini juga dijelaskan mengenai berbagai penelitian yang sudah

dilakukan sebelumnya terkait dengan variabel-variabel yang diteliti yaitu

profesionalisma, konteks kerja, kekhawatiran mendapat sanksi profesional, dan

independensi auditor.

Bab tiga berisi tentang metoda penelitian yang digunakan adalah survei

berbasis skenario yang digunakan dalam penelitian ini, partisipan yang dipilih

sebagai subjek dalam penelitian ini, desain penelitian, pengukuran variabel, model

penelitian, dan metoda pengujiannya.

Bab empat berisi tentang demografi subjek penelitian, pengujian realiabilitas

dan validitas data yang digunakan, pengujian statistik deskriptif, pengujian hipotesis

dan pembahasan. Bab ini juga berisi hasil analisis unruk menguji masing-masing

hipotesis yang diajukan. Selanjutnya pada bagian pembahasan diuraikan mengenai

hasil pengujian statistik di atas berikut interpretasi terhadap hasil tersebut.

Terakhir, bab lima berisi tentang simpulan dan implikasi dari hasil penelitian.

Selain itu di dalam bab ini juga dibahas mengenai keterbatasan dan saran untuk

penelitian berikutnya.