ASKEP SOL
-
Upload
dwi-putriana-rasyidah-lubis -
Category
Documents
-
view
238 -
download
20
description
Transcript of ASKEP SOL
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
SPACE OCCUPYING LESSION ( SOL )
A. Pengertian
SOL merupakan generalisasi masalah tentang adanya lesi pada ruang
intracranial khususnya yang mengenai otak. Banyak penyebab yang dapat
menimbulkan lesi pada otak seperti kuntusio serebri, hematoma, infark, abses
otak dan tumor intra kranial. ( Long, C 1996 ; 130 )
Dalam Laporan Pendahuluan ( LP ) ini, penulis batasi pada Tumor
Otak Adapun definisi Tumor Otak adalah proses pertumbuhan termasuk
benigna dan maligna yang mengenai otak dan sumsum tulang belakang
( Bullock, 1996 ).
B. Etiologi
Faktor Resiko, tumor otak dapat terjadi pada setiap kelompok Ras,
insiden meningkat seiring dengan pertambahan usia terutama pada dekade
kelima, keenam dan ketujuh .faktor resiko akan meningkat pada orang yang
terpajan zat kimia tertentu ( Okrionitil, tinta, pelarut, minyak pelumas ),
namun hal tersebut belum bisa dipastikan.Pengaruh genetik berperan serta
dalam tibulnya tumor, penyakit sklerosis TB dan penyakit neurofibomatosis.
C. Tanda dan gejala
1. Tanda dan gejala peningkatan TIK :
a. Sakit kepala
b. Muntah
c. Papiledema
2. Gejala terlokalisasi ( spesifik sesuai dengan dareh otak yang terkena ) :
a. Tumor korteks motorik ; gerakan seperti kejang kejang yang terletak
pada satu sisi tubuh ( kejang jacksonian )
b. Tumor lobus oksipital ; hemianopsia homonimus kontralateral ( hilang
Penglihatan pada setengah lapang pandang , pada sisi yang
berlawanan dengan tumor ) dan halusinasi penglihatan
c. Tumor serebelum ; pusing, ataksia, gaya berjalan sempoyongan
dengan kecenderungan jatuh kesisi yang lesi, otot otot tidak
terkoordinasi dan nistagmus ( gerakan mata berirama dan tidak
disengaja )
d. Tumor lobus frontal ; gangguan kepribadia, perubahan status
emosional dan tingkah laku, disintegrasi perilaku mental., pasien
sering menjadi ekstrim yang tidak teratur dan kurang merawat diri
e. Tumor sudut serebelopontin ; tinitus dan kelihatan vertigo, tuli (
gangguan saraf kedelapan ), kesemutan dan rasa gatal pada wajah dan
lidah ( saraf kelima ), kelemahan atau paralisis ( saraf kranial
keketujuh ), abnormalitas fungsi motorik.
f. Tumor intrakranial bisa menimbulkan gangguan kepribadian, konfusi,
gangguan bicara dan gangguan gaya berjalan terutam pada lansia.
( Brunner & Sudarth, 2003 ; 2170 )
D. Pemeriksaan Diagnostik
1. CT Scan ; memberi informasi spesifik mengenai jumlah, ukuran,
kepadatan, jejas tumor dan meluasnya odema cerebral serta memberi
informasi tentang sistem vaskuler
2. MRI ; membantu dalam mendeteksi tumor didalam batang otakdan daerah
hiposisis, dimana tulang menggangu dalam gambaran yang menggunakan
CT Scan
3. Biopsi Stereotaktik ; dapat mendiagnosa kedudukan tumor yang dalam dan
untuk memberi dasar pengobatan serta informasi prognosis.
4. Angiografi ; memberi gambaran pembuluh darahserebral dan letak tumor
5. Elektro ensefalografi ; mendeteksi gelombang otak abnormal pada daerah
yang ditempati tumor dan dapat memungkinkan untuk mengevaluasi lobus
temporal pada waktu kejang
( Doenges, 2000 )
E. Pengkajian
1. Data dasar ; nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, alamat,
golongan darah, penghasilan
2. Riwayat kesehatan ; apakah klien pernah terpajan zat zat kimia tertentu,
riwayat tumor pada keluarga, penyakit yang mendahului seperti sklerosis
TB dan penyakit neurofibromatosis, kapan gejala mulai timbul
3. Aktivitas / istirahat, Gejala : kelemahan / keletihan, kaku, hilang
keseimbangan. Tanda : perubahan kesadaran, letargi, hemiparese,
quadriplegi, ataksia, masalah dalam keseimbangan, perubaan pola
istirahat, adanya faktor faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri,
cemas, keterbatasan dalam hobi dan dan latihan
4. Sirkulasi, gejala : nyeri kepala pada saat beraktivitas. Kebiasaan :
perubahan pada tekanan darah atau normal, perubahan frekuensi jantung.
5. Integritas Ego, Gejal : faktor stres, perubahan tingkah laku atau
kepribadian, Tanda : cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi,
bingung, depresi dan impulsif.
6. Eliminasi : Inkontinensia kandung kemih/ usus mengalami gangguan
fungsi.
7. makanan / cairan , Gejala : mual, muntah proyektil dan mengalami
perubahan selera. Tanda : muntah ( mungkin proyektil ), gangguan
menelan ( batuk, air liur keluar, disfagia )
8. Neurosensori, Gejala : Amnesia, vertigo, synkop, tinitus, kehilangan
pendengaran, tingling dan baal pad aekstremitas, gangguan pengecapan
dan penghidu. Tanda : perubahan kesadaran sampai koma, perubahan
status mental, perubahan pupil, deviasi pada mata ketidakmampuan
mengikuti, kehilangan penginderaan, wajah tidak simetris, genggaman
lemah tidak seimbang, reflek tendon dalam lemah, apraxia, hemiparese,
quadriplegi, kejang, sensitiv terhadap gerakan
9. Nyeri / Kenyamanan, Gejala : nyeri kepala dengan intensitas yang
berbeda dan biasanya lama. Tanda : wajah menyeringai, respon menarik
dri rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa istirahat / tidur.
10. Pernapasan, Tanda : perubahan pola napas, irama napas meningkat,
dispnea, potensial obstruksi.
11. Hormonal : Amenorhea, rambut rontok, dabetes insipidus.
12. Sistem Motorik : scaning speech, hiperekstensi sendi, kelemahan
13. keamanan , Gejala : pemajanan bahan kimia toksisk, karsinogen,
pemajanan sinar matahari berlebihan. Tanda : demam, ruam kulit, ulserasi
14. seksualitas, gejala: masalah pada seksual ( dampak pada hubungan,
perubahan tingkat kepuasan )
15. Interaksi sosial : ketidakadekuatan sitem pendukung, riwayat perkawinan
( kepuasan rumah tangga, dudkungan ), fungsi peran.
( Doenges, 2000 )
F. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah oleh SOL
dibuktikan dengan perubahan tingkat kesadaran, kehilangan memori,
perubaan respon motorik / sensori, gelisah dan perubahan tanda vital
Kriteria evaluasi : Pasien akan dipertahankan tingkat kesadaran ,
perbaiakan kognisi, fungsi motorik / sensorik, TTV stabil, tidak ada tanda
peningkatan TIK
Intervensi :
a. Tentukan penyebab penurunan perfusi jaringan
b. Pantau status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nila
standar ( GCS )
c. Pantau TTV
d. Kaji perubahan penglihatan dan keadan pupil
e. Kaji adanya reflek ( menelan, batuk, babinski )
f. Pantau pemasukan dan pengeluaran cairan
g. Auskultasi suara napas, perhatikan adananya hipoventilasi, dan suara
tambahan yang abnormal
Kolaborasi :
h. Pantau analisa gas darah
i. Berikan obat sesuai indikasi : deuretik, steroid, antikonvulsan
j. Berikan oksigenasi
2. Resiko tinggi terhadap ketidakefektifan pola napas b.d kerusakan
neurovaskuler, kerusakan kognitif.
Kriteria evaluasi : pasien dapat, dipertahanakan pola nafas efektif, bebas
sianosis, dengan GDA dalam batas normal
Intervensi :
a. Kaji dan catat perubahan frekuensi, irama, dan kedalaman pernapasan
b. Angkat kepala tempat tidur sesuai atuiran / posisi miringsesuai
indikasi
c. Anjurkan utuk bernapas dalam, jika pasien sadar
d. Lakukan penghisapan lendir dengan hati hati jangan lebih dari 10 – 15
detik, catat karakter warna, kekentalan dan kekeruhan sekret
e. Pantau pengguanaan obat obatan depresan seperti sedatif
Kolaborasi:
f. Berikan O2 sesuai indikasi
g. Lakaukan fisioterapi dada jika ada indikasi
3. Nyeri ( akut ) / kronis b.d agen pencedera fisik, kompresi saraf oleh SOL,
peningkatan TIK, ditandai dengan : menyetakan nyeri oleh karena
perubahan posisi, nyeri, pucat sekitar wajah, perilaku berhati hati, gelisah
condong keposisi sakit, penurunan terhadap toleransi aktivitas,
penyempitan fokus pad dirisendiri, wajah menahan nyeri, perubahna pla
tidur, menarik diri secara fisik
Kriteria evalusi : pasien melaporkannyeri berkurang, menunjukan
perilaku untuk mengurangi kekambuhan atau nyeri .
Intervensi :
a. kaji keluhan nyeri
b. Observasi keadaan nyeri nonverbal ( misal ; ekspresi wajah, gelisah,
menangis, menarik diri, diaforesis, perubaan frekuensi jantung,
pernapasan dan tekanan darah.
c. Anjurkan untuk istirahat denn tenang
d. Berikan kompres panas lembab pada kepala, leher, lengan sesuai
kebutuhan
e. Lakukan pemijatan pada daerah kepala / leher / lengan jika pasien
dapat toleransi terhadap sentuhan
f. Sarankana pasien untuk menggnakan persyaratan positif “ saya
sembuh “ atau “ saya suka hidup ini “
Kolaborasi :
g. Berikan analgetik / narkotik sesuai indikasi
h. Berikan antiemetiksesuai indikasi
4. Perubahan persepsi sensori b.d perubahan resepsi sensoris, transmisi dan
atau integrasi ( trauma atau defisit neurologis ), ditandai denagg
disorientasi, perubaan respon terhadap rangsang, inkoordinasi motorik,
perubahan pola komunikasi, distorsi auditorius dan visual, penghidu,
konsentrasi buruk, perubahan proses pikir, respon emosiaonal berlebihan,
perubahan pola perilaku
Kriteria evaluasi : pasien dapat dipertahanakan tingkat kesadaran dan
fuingsi persepsinya, mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya
keterlibatan residu, mendemonstrasikan perubahan gaya hidup.
Intervensi :
a. Kaji secar teratur perubahan orientasi, kemampuan bicara, afektif,
sensoris dan proses pikir
b. Kaji kesadaran sensoris seperti respon sentuan , panas / dingin, benda
tajam atau tumpul, keadaran terhadap gerakan dan letak tubuh,
perhatkian adanya masalah penglihatan
c. Observasi repon perilaku
d. Hilangkan suara bising / stimulus ang berlebihan
e. Berikan stimulus yang berlebihan seperti verbal, penghidu, taktil,
pendengaran, hindari isolasi secara fisik dan psikologis
Kolaborasi :
f. pemberian obat supositoria gna mempermudah proses BAB
g. konsultasi dengan ahli fisioterapi / okupasi
5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d peningkatan TIK,
konsekuensi kemoterapi, radiasi, pembedahan, ( anoreksia, iritasi,
penyimpangan rasa mual ) dibuktikan oleh : keluhan masukan makan
tidak adekuat, kehilangan sensai pengecapan, kehilangan minat makan,
ketidakmampuan untk mencerna yang dirasakan / aktual, berat badan 20
% atau lebih dibawah badan ideal untuk tinggi dan bentuk tubuh,
penurunan penumpukn lemak / masa otot, sariawab, rongga mulut
terinflamasi, diare,konstipasi, kram abdomen.
Krieteria evaluasi :pasien dapat mendemonstrasikan berat badan stabil,
mengungkapkan pemasukan adekuat, berpartisipasi dalam intervensi
spesifik untuk merangsang nafsu makan
Intervensi :
a. Pantau masukan makanan setiap hari
b. Ukur BB setiap hari sesui indikasi
c. Dorong pasien untuk makandiit tinggi kalori kaya nutrien sesui
program
d. Kontrol faktor lingkungan ( bau, bising ) hindari makanan terlalu
manis, berlemak dan pedas. Ciptakan suasana makan yang
menyenangkan
e. Identifikasipasien yang mengalami mual / muntah
Kolaborasi :
f. Pemberian anti emetik dengan jadwal reguiler
g. Vitamin A, D, E dan B6
h. Rujuk kepada ahli diit
i. Pasang / pertahankan slang NGT untuk pemberian makanan enteral
( Doenges, 2000 dan L.J Carpenito, 1997 )
Daftar Pustaka
Barbara C. Long, alih bahasa R.Karnaen dkk, 1996, Perawatan Medikal Bedah.
EGC, Jakarta
Barbara L. Bullock 1996, Patofisiology, Adaptasi and alterations infeksius
function, Fourth edition, Lipincott, Philadelpia
Brunner & Sudarth, 2003, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Ed 8 Vol 3 ,
EGC, jakarta
Lynda Juall Carpenito, Alih bahasa Yasmin Asih, 1997, Diagnosa Keperawatan ,
ed 6, EGC, Jakarta
Marilyn E. Doenges, et al, 1997, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, jakarta
Sylvia A. Price, Alih bahasa Adji Dharma, 1995 Patofisiologi, konsep klinik
proses- proses penyakit ed. 4, EGC, Jakarta
Case tumor medula spinalis
PENDAHULUAN
Dalam keadaan normal, medula spinalis dilindungi oleh kolumna spinalis yang memiliki struktur seperti tulang, tetapi penyakit tertentu dapat menekan medula spinalis dan mengganggu fungsi normalnya.
Jika penekannya sangat hebat, maka sinyal saraf ke atas dan ke bawah medula spinalis akan terhambat total. Penekanan yang tidak terlalu hebat hanya akan mengganggu beberapa sinyal. Jika penekanan telah ditemukan dan diobati sebelum terjadinya kerusakan saraf, maka biasanya fungsi medula spinalis akan kembali seperti semula. Insiden dari semua tumor primer medula spinalis sekitar 10% sampai 19% dari semua tumor primer susunan saraf pusat. (SSP), dan seperti semua tumor pada aksis saraf, insidennya meningkat seiring dengan umur. Prevalensi pada jenis kelamin tertentu hampir semuanya sama, kecuali pada meningioma yang pada umumnya terdapat pada wanita, serta ependymoma yang lebih sering pada laki-laki. Sekitar 70% dari tumor intradural merupakan ekstramedular dan 30% merupakan intramedular.
Untuk itulah dibuat presentasi kasus tumor medula spinalis agar dapat dijadikan pembelajaran dan pembahasan yang bermanfaat.
SMF NEUROLOGI
RUMAH SAKIT KEPOLISIAN PUSAT RADEN SAID SUKANTO
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. M
Jenis Kelamin : Wanita
Usia : 36 tahun
Agama : Islam
Alamat : JLN Kelapa dua wetan no.17
Status sosial : Baik
Pekerjaan : TKW
Status Ekonomi : Menengah ke bawah
Cekat tangan : Kanan
Tanggal masuk : 06/05/11
Tanggal pemeriksaan : 09/05/11
ANAMNESIS
(autoanamnesis)
KELUHAN UTAMA:
Kedua kaki tidak dapat digerakkan
KELUHAN TAMBAHAN:
Kaki terasa baal, Batuk dan sesak
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
1 bulan SMRS pasien datang ke UGD Rumkitpuspol Raden Said Sukanto dengan kedua tungkai lemas dan tidak dapat berjalan. Nyeri masih dirasakan di punggung bawah pasien. Pasien tidak mengalami demam dan tidak keluar pasir atau batu dari saluran kemih, BAB dan BAK pasien terkontrol. Pada hari itu juga pasien rawat inap di ruang Nuri Rumkitpuspol Raden Said Sukanto. Selama menjalani rawat inap pasien merasa semakin lama kaki tidak dapat digerakkan dan baal. Pasien juga mengeluh sesak dan batuk .
8 bulan sebelum masuk RS Bhayangkara Tk 1, pasien selama bekerja di Saudi sering mengeluh kedua tungkainya lemah sehingga pasien sering jatuh + 20 kali saat melakukan aktivitas ringan seperti membawa air minum untuk tamu, dan pada akhirnya saat jatuh yang terakhir bulan februari pasien tidak bisa kembali berjalan. Pasien juga mengeluh kedua kakinya kesemutan dan baal. Pasien tidak bisa merasakan udara dingin atau panas saat ada di Saudi. Pasien juga mengatakan tidak pernah mengalami trauma yang hebat pada pinggang bawah, panggul dan kaki. Pasien sempat dirawat di RS Saudi selama 1 bulan. Namun, tidak ada perbaikan dan pihak Rumah Sakit Saudi menganjurkan untuk operasi.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Pasien tidak pernah mengalami trauma yang hebat pada pinggang, panggul maupun kaki. Pasien juga tidak menderita kencing manis.
RIWAYAT KELUARGA
Tidak ada riwayat diabetes, kolestrol, dan tekanan darah tinggi dalam keluarga pasien.
RIWAYAT KEBIASAAN / POLA HIDUP
Pasien tidak memiliki alergi terhadap obat-obatan tertentu.
Pasien tidak merokok dan meminum alcohol
PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALIS
Kesadaran : Compos mentis.
Tekanan darah : 110 / 70 mmHg.
Nadi : 90 x / menit.
Pernapasan : 28x / menit.
Suhu : 36,40 C
Kepala : normosefali tanpa tanda trauma.
Mata : konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-. Pupil : 2mm / 2mm. Isokor reaksi cahaya langsung dan tidak langsung ++/++
Telinga : Bentuk normal, tidak ada luka, perdarahan, ataupun cairan.
Hidung : Bentuk normal, septum nasi di tengah, tidak ada luka dan perdarahan.
Mulut: Tidak terdapat deviasi bibir ke kanan. Mukosa rongga mulut merah tanpa massa, lekuoplakia atau lesi lain. Hygiene baik. Lidah simetris kiri dan kanan, tidak ditemukan adanya deviasi ke satu sisi.
Leher: Tidak ada luka, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening.
Thoraks:
o Inspeksi : terlihat normal.
o Palpasi normal.
o Perkusi : redup sampai pekak di paru kanan
o Auskultasi:
Jantung: S1 dan S2 normal. Tidak terdengar murmur atau gesekan (rub). Tidak ada bunyi Gallop.
Paru: SD vesikuler melemah di paru kanan dan ronki (+/-). tidak ada wheezing
Abdomen: Hepar : 2 jari bawah arcus costae, tepi tumpul
Lien : shuffner 1
Bising usus : 5 x / menit
Tidak terdapat nyeri tekan, tidak ada tahanan, tidak teraba massa.
Punggung: Tidak terdapat luka dekubitus
Ekstremitas atas
- Bentuk : Normal
- Terdapat hematom bekas pemasangan infus pada kedua ekstremitas atas
- Aksial : normal, tak ada benjolan
Ekstremitas bawah :
- Bentuk : Atrofi pada kedua ekstremitas bawah
- Terdapat luka dekubitus pada kedua tumit
STATUS NEUROLOGIS
GCS: E4M6V5 = 15
TANDA RANGSANG MENINGEAL: negatif
Kaku kuduk : negatif
Lasegue : negatif
Kernigue : negatif
Brudzinski I : negatif
Brudzinski II : negatif
SARAF KRANIALIS
N. I: normal, pasien masih dapat mencium bau makanan, jeruk
N. II:
Visus dan lapang pandang normal. Pupil bulat, isokor, ukuran 2mm / 2mm. Refleks cahaya langsung dan tak langsung ++/++.
N. III, N. IV, dan N. VI:
Pergerakan bola mata normal tidak ada yang tertinggal. Tidak ada nistagmus. Tidak terdapat ptosis.
N. V:
Sensorik: normal pada ketiga area. Motorik:
inspeksi: tidak terlihat hipotrofi
palpasi: saat menggigit keras, kontraksi otot kiri dan kanan sama keras.
N. VII:
Inspeksi : Wajah pasien kiri dan kanan simetris.
Celah palpebra kiri dan kanan normal.
Plica nasolabialis kiri dan kanan simetris.
Pasien dapat memejamkan mata dengan kuat ketika pemeriksa berusaha mengangkat kedua kelopak mata pasien.
Pada saat pasien mengangkat alisnya, kerutan di dahi tampak normal.
Pada saat menyeringai, tidak ada sisi yang tertinggal Pasien dapat menggembungkan pipinya.
N. VIII:
Fungsi pendengaran: suara gesekan terdengar. Fungsi keseimbangan: tidak dilakukan. Pasien tidak dapat berdiri
karena paraplegi.
N. IX dan N.X:
Tidak ada disfoni dan disfagi. Arkus faring terlihat simetris. Uvula berada di tengah.
N. XI
Pasien dapat menoleh ke kanan dan ke kiri.
N. XII
Di dalam mulut lidah terlihat normal, tidak ada deviasi, atrofi, dan fasikulasi.
Saat menjulurkan lidah, tidak terlihat deviasi
MOTORIK
Inspeksi: ekstremitas bawah tampak atrofi dan terdapat fasikulasi
Tonus : Ekstremitas atas : normotonus / normotonus
Ekstremitas bawah: hipotonus / hipotonus
Kekuatan: Kanan Kiri
- Lengan atas 5 5- Lengan bawah 5 5- Tangan 5 5- Jari tangan 5 5- Tungkai atas 4 2
- Tungkai bawah 4 2- Kaki 3 3- Jari kaki 3 3
Refleks fisiologis: Kanan Kiri
- Biseps 2+ 2+ - Triseps 2+ 2+- Patella 1+ 1+- Achilles 1+ 1+
Refleks patologis: Kanan Kiri
- Hoffman-Trommer - -- Babinski - -- Oppenheim - -- Gordon - -- Schaefer - -- Chaddock - -
Reflek superfisialis dinding perut : tidak dapat diperiksa karena pasien gemuk
SENSORIK Kanan Kiri
Rangsang nyeri
Ekstremitas atas normoalgesia normoalgesia
Ekstremitas bawah analgesia analgesia
Rangsang raba
Ekstremitas atas normoestesia normoestesia
Ekstremitas bawah anestesia anestesia
(Sensorik pada kedua ekstremitas bawah negatif sampai pertengahan prosesus xiphoideus dengan pusat)
Rangsang Suhu
Ekstremitas atas tidak diperiksa tidak diperiksa
Ekstremitas bawah tidak diperiksa tidak diperiksa
Rangsang getar
Ekstremitas atas tidak diperiksa tidak diperiksa
Ekstremitas bawah tidak diperiksa tidak diperiksa
OTONOM
BAB : tidak terkontrol
BAK : tidak terkontrol (menggunakan kateter)
Keringat : normal
FUNGSI LUHUR: MMSE – tidak dilakukan.
RESUME
Pasien wanita, 36 tahun dengan paraplegi sejak 1 bulan yang lalu yang berlangsung progresif. Keluhan diawali dengan nyeri pada punggung bawah yang menjalar ke kedua tungkai tanpa disertai kesemutan sejak 8 bulan yang lalu. Pasien telah mendapatkan pengobatan dan rawat inap di RS Saudi namun tidak menghasilkan kemajuan. BAB dan BAK pasien tidak terkontrol dan terpasang kateter. Pasien pernah mengeluh kedua kakinya lemas dan sering terjatuh sebelumnya namun bisa kembali berjalan. Pasien juga mengatakan tidak pernah mengalami trauma yang hebat pada pinggang bawah, panggul dan kaki. Pemeriksaan fisik umum tampak sesak kesadaran CM, Nadi 90x/menit, RR:28x/menit terpasang canule oksigen. Pemeriksaan thorak perkusi redup sampai pekak di paru kanan, auskultasi SD vesikuler melemah di paru kanan dan ronki (+/-). Pemeriksaan neurologi Rangsang meningeal negative, saraf cranial tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan ekstremitas atas tidak ditemukan kelainan. Ekstrimitas bawah tampak fasikulasi, atrofi, hipotonus, flaksid, reflek fisiologis menurun dan reflek patologis negatif. Sensorik pada kedua ekstremitas bawah negatif sampai pertengahan prosesus xiphoideus dengan pusat. Fungsi otonom terganggu ditandai dengan BAK dan BAB yang terkontrol.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium 09/05/11 Hemoglobin : 8,6 g/dlLeukosit : 16.600 /uLHematokrit : 27 vol%Trombosit : 302.000 /uLKimia Klinik
Protein total : 5,7Albumin : 2,6Globulin : 3,1Bilirubin total : 1,16Bilirubin Direct : 0,34SGOT : 9,8SGPT : 39,8Cholesterol total : 112Trigliserid : 99Ureum : 36Creatinin : 0,7Asam urat : 6,5Glukosa darah sewaktu: 53
Rontgen Thoracolumbal (9/5/11)Kesan: tidak tampak kelainan
Thorax AP (11/5/21) kesan: kardiomegali, efusi pleura kanan, edema pulmo
Cairan Pleura (13/5/11)Makroskopis: warna putih kecoklatan, keruh. Mikroskopis jumlah sel (-),PMN (-), MN (-).Kimia : Protein 522, glukosa 16, rivalta +
BTA (13/05/11) Negative
PEMERIKSAAN ANJURAN
- MRI Thoracal setinggi Th IV –V
DIAGNOSIS
KLINIS : Paraparese, anesthesia extremitas bawah dan Efusi pleura dextra.
TOPIS : Vertebrae thoracal VI - VIII
ETIOLOGI : Suspect Space Occupying Lesion
TATALAKSANA
Non Farmakologis
- IVFD D5 : RL 2 : 1 (20tpm)
- O2 2L àPasien sesak (k/p)
- Bed rest total
- Pasang kateter
- Konsul bagian paru pasang WSD atau aspirasi cairan pleura berulang àuntuk mengatasi sesak akibat timbunan cairan di rongga pleura
Medikamentosa
1. Analgesik – Tramadol (Ultracet) tablet 2 x 12. Neurobion 5000 tablet 2 x 1 3. Sangobion 2 x 1
Fisioterapi
Terapi gerakan pasif dan dapat dilanjutkan dengan gerakan aktif jika terdapat kemajuan
Menggunakan korset untuk menstabilkan posisi tubuh Pembedahan
PROGNOSIS
Ad vitam : dubia
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Pembahasan Kasus
Jenis Kelamin : Wanita
Usia : 36 tahun
1. Daftar masalah
Kedua kaki tidak dapat digerakkan, baal à lesi pada medulla spinalis
Tekanan pada medula spinalis bisa berasal dari:
Tulang belakang yang patah atau tulang lainnya di dalam kolumna spinalis
Ruptur pada satu atau beberapa diskus yang terletak diantara tulang belakang
Infeksi (abses medula spinalis).
Tumor medula atau kolumna spinalis.
Umur pasien 36tahun àmenyingkirkan proses degenerative (minimal)
Pasien tidak mengalami demam à menyingkirkan kecurigaan infeksi lebih kecil ?
Tidak ada riwayat trauma yang hebat àmenyingkirkan kecurigaan akibat trauma
Sejak 8 bulan yang lalu pasien sering terjatuh saat melakukan aktivitas ringan dan bisa kembali berjalan karena kedua kakinya terasa lemas dan pasien sering mengeluh kesemutan à curiga akibat SOL.
Dari pemeriksaan fisik
Kekuatan motorik
- Tungkai atas 4 2- Tungkai bawah 4 2- Kaki 3 3- Jari kaki 3 3
(Sensorik pada kedua ekstremitas bawah negatif sampai pertengahan prosesus xiphoideus dengan pusat) à untuk menentukan dermatom à Vertebrae thoracal VI – VIII
BAB dan BAK pasien terkontrol àkemungkinan SOL pada Thorak
PEMERIKSAAN ANJURAN
- MRI Thoracal setinggi Th Vi –Vii àseseuai dermatom, naik 1-2 tangga dari (Th VIII)
Tinjauan Pustaka
Diagnosa
Penekanan medula spinalis yang berjalan paling lambat biasanya merupakan akibat dari kelainan pada tulang yang disebabkan oleh artrits degenerativa atau tumor yang pertumbuhannya sangat lambat. Penderita tidak merasakan nyeri atau nyeri bersifat ringan, perubahan rasa (misalnya kesemutan) dan kelemahan berkembang dalam beberapa bulan.
Gejala klinik berdasarkan lokasi tumor à Tumor daerah thorakal, Penderita lesi daerah thorakal seringkali datang dengan kelemahan spastik yang timbul perlahan pada ekstremitas bagian bawah dan kemudian mengalami parastesia. Pasien dapat mengeluh nyeri dan perasaan terjepit dan tertekan pada dada dan abdomen, yang mungkin dikacaukan dengan nyeri akibat intrathorakal dan intraabdominal. Pada lesi thorakal bagian bawah, refleks perut bagian bawah dan tanda beevor dapat menghilang.
Kompresi segmen lumbal bagian atas tidak mempengaruhi refleks perut, namun menghilangkan refleks kremaster dan mungkin menyebabkan kelemahan fleksi panggul dan spastisitas tungkai bawah. Juga terjadi kehilangan refleks lutut dan refleks pergelangan kaki dan tanda babynski bilateral. Nyeri umunya dialihkan ke selangkangan. Lesi yang melibatkan lumbal bagian bawah dan segmen-segmen sakral bagian atas menyebabkan kelemahan dan atrofi otot-otot perineum, betis dan kaki. Hilangnya sensasi daerah perianal dan genitalia yang disertai gangguan kontrol usus dan kandung kemih merupakan tanda khas lesi yang mengenai daerah sakral bagian bawah
Radiologi
Modalitas utama dalam pemeriksaan radiologis untuk mediagnosis semua tipe tumor medula spinalis adalah MRI. Alat ini dapat menunjukkan gambaran ruang dan kontras pada struktur medula spinalis dimana gambaran ini tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan yang lain.
Terapi yang dapat dilakukan pada tumor medulla spinalis adalah :
Pembedahan
Pembedahan sejak dulu merupakan terapi utama pada tumor medulla spinalis. Pengangkatan yang lengkap dan defisit minimal post operasi, dapat mencapai 90% pada ependymoma, 40% pada astrositoma dan 100% pada hemangioblastoma. Pembedahan juga merupakan penatalaksanaan terpilih untuk tumor ekstramedular. Pembedahan, dengan tujuan mengangkat tumor seluruhnya, aman dan merupakan pilihan yang efektif. Pada pengamatan kurang lebih 8.5 bulan, mayoritas pasien terbebas secara keseluruhan dari gejala dan dapat beraktifitas kembali.
PROGNOSIS
Tumor dengan gambaran histopatologi dan klinik yang agresif mempunyai prognosis yang buruk terhadap terapi. Pembedahan radikal mungkin dilakukan pada kasus-kasus ini. Pengangkatan total dapat menyembuhkan atau setidaknya pasien dapat terkontrol dalam waktu yang lama. Fungsi neurologis setelah pembedahan sangat bergantung pada status pre operatif pasien. Prognosis semakin buruk seiring meningkatnya umur (>60 tahun).
2. Daftar masalah
Sesak dan batuk
Pemeriksaan Thoraks:
o Inspeksi : terlihat normal.
o Palpasi normal.
o Perkusi : redup sampai pekak di paru kanan
o Auskultasi:
Jantung: S1 dan S2 normal. Tidak terdengar murmur atau gesekan (rub). Tidak ada bunyi Gallop.
Paru: SD vesikuler melemah di paru kanan dan ronki (+/-). tidak ada wheezing
Thorax AP (11/5/21) kesan: kardiomegali, efusi pleura kanan, edema pulmo
Efusi pleura à konsul bagian paru untuk dilakukan efusi pleura.
Cairan Pleura (13/5/11)Makroskopis: warna putih kecoklatan, keruh. Mikroskopis jumlah sel (-),PMN (-), MN (-).Kimia : Protein 522, glukosa 16, rivalta +
BTA (13/05/11) Negative
Daftar Pustaka
1. Sidharta, Priguna (2008). Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta : Dian Rakyat.
2. Ginsberg, Lionel (2008). Sensasi . Hal 51 Jakarta : Erlangga.3. Sidharta, Priguna & Mardjono, Mahar. 2006. Neurologi Klinis Dasar.
Jakarta : Dian Rakyat.4. Ginsberg, Lionel (2008). Medula spinalis. Hal 134 Jakarta : Erlangga.5. Price SA,Wilson LM. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit.
vol.2. ed.6. cet.1. Jakarta : EGC; 2006. p.1177-11806. Sjamsuhidajat, R, Wim deJong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, 1997.
Penatalaksanaan Trauma Spinal dan Cedera CervikalSRS
II. 1. ANATOMI
Tulang belakang manusia adalah pilar atau tiang yang berfungsi sebagai penyangga tubuh dan melindungi sumsum tulang belakang. Pilar itu terdiri atas 33 ruas tulang belakang yang tersusun secara segmental yang terdiri atas 7 ruas tulang servikal (vertebra servikalis), 12 ruas tulang torakal (vertebra torakalis), 5 ruas tulang lumbal (vertebra lumbalis), 5 ruas tulang sakral yang menyatu
(vertebra sakral), dan 4 ruas tulang ekor (vertebra koksigea). Setiap ruas tulang belakang dapat bergerak satu dengan yang lain oleh karena adanya dua sendi di posterolateral dan diskus intervertebralis di anterior. Pada pandangan dari samping pilar tulang belakang membentuk lengkungan atau lordosis di daerah servikal, torakal dan lumbal. Keseluruhan vertebra maupun masing-masing tulang vertebra berikut diskus intervertebralisnya bukanlah merupakan satu struktur yang mampu melenting, melainkan satu kesatuan yang kokoh dengan diskus yang memungkinkan gerakan antar korpus ruas tulang belakang. Lingkup gerak sendi pada vertebra servikal adalah yang terbesar. Vertebra torakal berlingkup gerak sedikit karena adanya tulang rusuk yang membentuk toraks, sedangkan vertebra lumbal mempunyai ruang lingkup gerak yang lebih besar dari torakal tetapi makin ke bawah lingkup geraknya makin kecil.
Secara umum struktur tulang belakang tersusun atas dua kolom yaitu :
1.Kolom korpus vertebra beserta semua diskus intervetebra yang berada di antaranya2.Kolom elemen posterior (kompleks ligamentum posterior) yang terdiri atas lamina , pedikel, prosesus spinosus, prosesus transversus dan pars artikularis, ligamentum-ligamentum supraspinosum dan intraspinosum, ligamentum flavum, serta kapsul sendi.
Setiap ruas tulang belakang terdiri atas korpus di depan dan arkus neuralis di belakang yang di situ terdapat sepasang pedikel kanan dan kiri, sepasang lamina, dua pedikel, satu prosesus spinosus, serta dua prosesus transversus. Beberapa ruas tulang belakang mempunyai bentuk khusus, misalnya tulang servikal pertama yang disebut atlas dan ruas servikal kedua yang disebut odontoid. Kanalis spinalis terbentuk antara korpus di bagian depan dan arkus neuralis di bagian belakang. Kanalis spinalis ini di daerah servikal berbentuk segitiga dan lebar, sedangkan di daerah torakal berbentuk bulat dan kecil. Bagian lain yang menyokong kekompakan ruas tulang belakang adalah komponen jaringan lunak yaitu ligamentum longitudinal anterior, ligamentum longitudinal posterior, ligamentum flavum, ligamentum interspinosus, dan ligamentum supraspinosus. 5Stabilitas tulang belakang disusun oleh dua komponen, yaitu komponen tulang dan komponen jaringan lunak yang membentuk satu struktur dengan tiga pilar. Pertama yaitu satu tiang atau kolom di depan yang terdiri atas korpus serta diskus intervertebralis. Kedua dan ketiga yaitu kolom di belakang kanan dan kiri yang terdiri atas rangkaian sendi intervertebralis lateralis. Secara keseluruhan tulang belakang dapat diumpamakan sebagai satu gedung bertingkat dengan tiga tiang utama, satu kolom di depan dan dua kolom di samping belakang, dengan lantai yang terdiri atas lamina kanan dan kiri, pedikel, prosesus transversus dan prosesus spinosus. Tulang belakang dikatakan tidak stabil bila kolom vertikal terputus pada lebih dari dua komponen.
Sumsum tulang belakang berjalan melalui tiap-tiap vertebra dan membawa saraf yang menyampaikan sensasi dan gerakan dari dan ke berbagai area tubuh.
Semakin tinggi kerusakan saraf tulang belakang, maka semakin luas trauma yang diakibatkan. Misal, jika kerusakan saraf tulang belakang di daerah leher, hal ini dapat berpengaruh pada fungsi di bawahnya dan menyebabkan seseorang lumpuh pada kedua sisi mulai dari leher ke bawah dan tidak terdapat sensasi di bawah leher. Kerusakan yang lebih rendah pada tulang sakral mengakibatkan sedikit kehilangan fungsi.
II. 2. EPIDEMIOLOGI
Di U.S., insiden trauma sumsum tulang belakang sekitar 5 kasus per satu juta populasi per tahun atau sekitar 14.000 pasien per tahun. Insiden trauma sumsum tulang belakang tertinggi pada usia 16-30 tahun (53,1 %). Insiden trauma sumsum tulang belakang pada pria adalah 81,2 %. Sekitar 80 % pria dengan trauma sumsum tulang belakang terdapat pada usia 18-25 tahun. 1SCIWORA (spinal cord injury without radiologic abnormality) terjadi primer pada anak-anak. Tingginya insiden trauma sumsum tulang belakang komplit yang berkaitan dengan SCIWORA dilaporkan terjadi pada anak-anak usia kurang dari 9 tahun.
II. 3. ETIOLOGI
Penyebab trauma sumsum tulang belakang meliputi kecelakaan sepeda motor (44 %), tindak kekerasan (24 %), jatuh (22 %), kecelakaan olahraga misal menyelam (8 %), dan penyebab lain (2 %). 3Jatuh merupakan penyebab utama trauma sumsum tulang belakang pada orang usia 65 tahun ke atas. Trauma sumsum tulang belakang karena kecelakaan olahraga biasanya terjadi pada usia 29 tahun.
II. 4. PATOFISIOLOGI
Sumsum tulang belakang terdiri atas beberapa traktus atau jalur saraf yang membawa informasi motorik (desenden) dan sensorik (asenden). Traktus kortikospinal adalah jalur motorik desenden yang terletak di anterior sumsum tulang belakang.
Kolumna dorsal adalah traktus sensorik asenden yang membawa informasi raba, propriosepsi dan vibrasi ke korteks sensorik. Traktus spinotalamikus lateral membawa sensasi nyeri dan suhu. Traktus spinotalamikus anterior membawa sensasi raba. Fungsi otonom dibawa oleh traktus interomedial anterior.Trauma traktus kortikospinal atau kolumna dorsal berakibat terjadinya paralisis ipsilateral atau hilangnya sensasi raba, propriosepsi, dan getar. Sedangkan trauma pada traktus spinotalamikus lateral menyebabkan hilangnya sensasi suhu dan nyeri kontralateral. Trauma sumsum tulang belakang anterior menyebabkan paralisis dan hilangnya sensasi raba inkomplit.
Fungsi otonom dijalankan melalui traktus interomedial anterior. Saraf simpatis keluar dari sumsum tulang belakang di antara C7-L1, sedangkan saraf parasimpatis keluar di antara S2 dan S4. Oleh karena itu lesi atau trauma sumsum tulang belakang dapat menyebabkan disfungsi otonom.
Syok neurogenik ditandai dengan disfungsi otonom, seperti hipotensi, bradikardi relative, vasodilatasi perifer, dan hipotermi. Hal ini biasanya tidak terjadi pada trauma sumsum tulang belakang di bawah T6. Syok spinal didefinisikan sebagai hilangnya seluruh fungsi neurologis komplit, termasuk refleks dan tonus otot, dan terkait dengan disfungsi otonom. Syok neurogenik mengacu pada terjadinya trias hipotensi, bradikardi dan vasodilatasi perifer akibat disfungsi otonom dan gangguan pada sistem kontrol saraf simpatis pada trauma sumsum tulang belakang akut.
Suplai darah sumsum tulang belakang terdiri atas 1 arteri spinalis anterior dan 2 arteri spinalis posterior. Arteri spinalis anterior mensuplai dua pertiga anterior sumsum tulang belakang. Trauma iskemik pada arteri ini berdampak terjadinya disfungsi traktus kortikospinal, spinotalamikus lateral, dan interomedial anterior. Sindrom arteri spinalis anterior meliputi paraplegia, hilangnya sensasi nyeri dan suhu dan disfungsi otonom. Arteri spinalis posterior mensuplai kolumna dorsalis. Trauma vaskular dapat menyebabkan lesi sumsum tulang belakang pada level segmen yang lebih tinggi daripada level trauma tulang belakang. Trauma vaskular mengakibatkan iskemik pada servikal yang tinggi. Trauma hiperekstensi servikal dapat menyebabkan trauma iskemik sumsum tulang belakang. Trauma sumsum tulang belakang bisa primer atau sekunder. Trauma primer merupakan akibat dari gangguan mekanis elemen neural. Trauma ini biasa terjadi pada fraktur dan atau dislokasi tulang belakang. Akan tetapi, dapat juga terjadi tanpa adanya fraktur atau dislokasi tulang belakang. Trauma penetrasi seperti trauma tembak juga dapat menyebabkan trauma primer.
Kelainan ekstradural juga dapat menyebabkan trauma primer. Hematom epidural spinal atau abses menyebabkan trauma dan kompresi sumsum tulang belakang akut.
Trauma vaskular sumsum tulang belakang yang disebabkan gangguan arteri, trombosis arteri atau hipoperfusi yang menyebabkan syok adalah penyebab utama trauma sekunder.
Sindrom sumsum tulang belakang dapat komplit atau inkomplit. Sindrom sumsum tulang belakang komplit ditandai hilangnya fungsi motorik dan sensorik di bawah level lesi. Sindrom sumsum tulang belakang inkomplit meliputi the anterior cord syndrome, the Brown-Séquard syndrome, dan the central cord syndrome. Sindrom lainnya meliputi the conus medullaris syndrome, the cauda equina syndrome, dan spinal cord concussion.
Trauma inkomplit berarti seseorang memiliki beberapa fungsi di bawah level trauma, meskipun fungsi tersebut tidak normal. Sebagai contoh, seseorang dapat mengalami kelemahan bahu tetapi masih dapat menggerakkannya. Seseorang dapat kehilangan kemampuan untuk menggerakkan otot di bawah kehilangan sensasi nyeri dan suhu. The International and American Spinal Injury Association (ASIA) mendefinisikan trauma sumsum tulang belakang inkomplit sebagai suatu keadaan dimana seseorang masih memiliki fungsi sumsum tulang belakang di bawah sakrum (di bawah S5).
Trauma inkomplit meliputi :
Anterior cord syndrome, yang meliputi hilangnya fungsi motorik dan sensasi nyeri dan/atau suhu, dengan dipertahankannya propriosepsi.
Brown-Séquard syndrome meliputi hilangnya fungsi propriosepsi dan motorik ipsilateral, dengan hilangnya sensasi nyeri dan suhu kontralateral.
Central cord syndrome biasanya melibatkan lesi servikal, dengan kelemahan otot pada ekstremitas atas yang dominant daripada ekstremitas bawah. Hilangnya sensasi bervariasi, nyeri dan/atau suhu lebih sering terganggu daripada propriosepsi dan/atau vibrasi. Biasnya terjadi disestesia, khususnya pada ekstremitas atas (misal sensasi panas di tangan atau lengan).
Conus medullaris syndrome adalah trauma vertebra sakral dengan atau tanpa keterlibatan saraf lumbal. Sindrom ini ditandai arefleksia pada kandung kemih, pencernaan. Hilangnya fungsi motorik dan sensorik pada ekstremitas bawah bervariasi.Cauda equina syndrome melibatkan trauma saraf lumbosakral dan ditandai arefleksia pada pencernaan dan /atau kandung kemih, dengan hilangnya fungsi motorik dan sensorik ekstremitas bawah yang bervariasi. Trauma ini biasanya disebabkan oleh herniasi diskus lumbal sentral.
A spinal cord concussion ditandai dengan defisit neurologik sementara pada sumsum tulang belakang yang akan pulih sempurna tanpa adanya kerusakan struktural yang nyata.
Trauma komplit berarti terjadi kehilangan komplit dari sensasi dan kontrol otot di bawah level trauma. Hampir separuh dari trauma sumsum tulang belakang adalah komplit. Sebagian besar trauma sumsum tulang belakang, termasuk trauma komplit, merupakan akibat luka dari sumsum tulang belakang atau kehilangan darah yang mengalir ke sumsum tulang belakang dan bukan dari terpotongnya sumsum tulang belakang.
Trauma sumsum tulang belakang seperti stroke, merupakan proses yang dinamis. Lesi sumsum tulang belakang inkomplit dapat menjadi komplit. Kaskade kompleks dari patofisiologi yang terkait dengan radikal bebas, edema vasogenik,
dan penurunan aliran darah mengakibatkan terjadinya manifestasi klinis. Oksigenasi yang normal, perfusi dan keseimbangan asam basa dibutuhkan untuk mencegah perburukan.
II. 5. KLASIFIKASI
Holdsworth membuat klasifikasi cedera spinal sebagai berikut :
Cedera fleksi
Cedera fleksi menyebabkan beban regangan pada ligamentum posterior, dan selanjutnya dapat menimbulkan kompresi pada bagian anterior korpus vertebra dan mengakibatkan wedge fracture (teardrop fracture). Cedera semacam ini dikategorikan sebagai cedera yang stabil.
Cedera fleksi-rotasi
Beban fleksi-rotasi akan menimbulkan cedera pada ligamentum posterior dan kadang juga prosesus artikularis, selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya dislokasi fraktur rotasional yang dihubungkan dengan slice fracture korpus vertebra. Cedera ini merupakan cedera yang paling tidak stabil.
Cedera ekstensi
Cedera ekstensi biasanya merusak ligamentum longitudinalis anterior dan menimbulkan herniasi diskus. Biasanya terjadi pada daerah leher. Selama kolum vertebra dalam posisi fleksi, maka cedera ini masih tergolong stabil.Cedera kompresi vertikal (vertical compression)Cedera kompresi vertical mengakibatkan pembebanan pada korpus vertebra dan dapat menimbulkan burst fracture.
Cedera robek langsung (direct shearing)
Cedera robek biasanya terjadi di daerah torakal dan disebabkan oleh pukulan langsung pada punggung, sehingga salah satu vertebra bergeser, fraktur prosesus artikularis serta ruptur ligamen.
Berdasarkan sifat kondisi fraktur yang terjadi, Kelly dan Whitesides mengkategorikan cedera spinal menjadi cedera stabil dan cedera non-stabil.
Cedera stabil mencakup cedera kompresi korpus vertebra baik anterior atau lateral dan burst fracture derajat ringan. Sedangkan cedera yang tidak stabil mencakup cedera fleksi-dislokasi, fleksi-rotasi, dislokasi-fraktur (slice injury), dan burst fracture hebat.
Cedera stabil Fleksi
Cedera fleksi akibat fraktura kompresi baji dari vertebra torakolumbal umum ditemukan dan stabil. Kerusakan neurologik tidak lazim ditemukan. Cedera ini menimbulkan rasa sakit, dan penatalaksanaannya terdiri atas perawatan di rumah sakit selama beberapa hari istorahat total di tempat tidur dan observasi terhadap paralitik ileus sekunder terhadap keterlibatan ganglia simpatik. Jika baji lebih besar daripada 50 persen, brace atau gips dalam ekstensi dianjurkan. Jika tidak, analgetik, korset, dan ambulasi dini diperlukan. Ketidaknyamanan yang berkepanjangan tidak lazim ditemukan
Fleksi ke Lateral dan Ekstensi
Cedera ini jarang ditemukan pada daerah torakolumbal. Cedera ini stabil, dan defisit neurologik jarang. Terapi untuk kenyamanan pasien (analgetik dan korset) adalah semua yang dibutuhkan.
Kompresi Vertikal Tenaga aksial mengakibatkan kompresi aksial dari 2 jenis :
(1) protrusi diskus ke dalam lempeng akhir vertebral,
(2) fraktura ledakan. Yang pertama terjadi pada pasien muda dengan protrusi nukleus melalui lempeng akhir vertebra ke dalam tulang berpori yang lunak. Ini merupakan fraktura yang stabil, dan defisit neurologik tidak terjadi. Terapi termasuk analgetik, istirahat di tempat tidur selama beberapa hari, dan korset untuk beberapa minggu.
Meskipun fraktura ”ledakan” agak stabil, keterlibatan neurologik dapat terjadi karena masuknya fragmen ke dalam kanalis spinalis. CT-Scan memberikan informasi radiologik yang lebih berharga pada cedera. Jika tidak ada keterlibatan neurologik, pasien ditangani dengan istirahat di tempat tidur sampai gejala-gejala akut menghilang. Brace atau jaket gips untuk menyokong vertebra yang digunakan selama 3 atau 4 bulan direkomendasikan.
Jika ada keterlibatan neurologik, fragmen harus dipindahkan dari kanalis neuralis. Pendekatan bisa dari anterior, lateral atau posterior. Stabilisasi dengan batang kawat, plat atau graft tulang penting untuk mencegah ketidakstabilan setelah dekompresi.
Cedera Tidak Stabil
Cedera Rotasi – Fleksi
Kombinasi dari fleksi dan rotasi dapat mengakibatkan fraktura dislokasi dengan vertebra yang sangat tidak stabil. Karena cedera ini sangat tidak stabil, pasien harus ditangani dengan hati-hati untuk melindungi medula spinalis dan radiks. Fraktura dislokasi ini paling sering terjadi pada daerah transisional T10 sampai L1 dan berhubungan dengan insiden yang tinggi dari gangguan neurologik.
Setelah radiografik yang akurat didapatkan (terutama CT-Scan), dekompresi dengan memindahkan unsur yang tergeser dan stabilisasi spinal menggunakan berbagai alat metalik diindikasikan.
Fraktura ”Potong”
Vertebra dapat tergeser ke arah anteroposterior atau lateral akibat trauma parah. Pedikel atau prosesus artikularis biasanya patah. Jika cedera terjadi pada daerah toraks, mengakibatkan paraplegia lengkap. Meskipun fraktura ini sangat tidak stabil pada daerah lumbal, jarang terjadi gangguan neurologi karena ruang bebas yang luas pada kanalis neuralis lumbalis. Fraktura ini ditangani seperti pada cedera fleksi-rotasi.
Cedera Fleksi-Rotasi
Change fracture terjadi akibat tenaga distraksi seperti pada cedera sabuk pengaman. Terjadi pemisahan horizontal, dan fraktura biasanya tidak stabil. Stabilisasi bedah direkomendasikan.
II. 6. JENIS TRAUMA
Cedera sumsum tulang belakang terjadi akibat patah tulang belakang dan terbanyak mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompresi atau rotasi tulang belakang. Di daerah torakal tidak banyak terjadi karena terlindung oleh struktur toraks.
Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi. Sedangkan kerusakan pada sumsum tulang belakang dapat berupa memar, kontusio, kerusakan melintang laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, atau perdarahan.
Kelainan sekunder pada sumsum tulang belakang dapat disebabkan oleh hipoksemia dan iskemia. Iskemia disebabkan oleh hipotensi, udem atau kompresi.
Perlu disadari bahwa kerusakan pada sumsum tulang belakang merupakan kerusakan yang permanen, karena tidak akan terjadi regenerasi dari jaringan saraf. Pada fase awal setelah trauma tidak dapat dipastikan apakah gangguan fungsi disebabkan oleh kerusakan sebenarnya dari jaringan saraf atau disebabkan oleh tekanan, memar atau udem.
II. 7. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis bergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi. Kerusakan melintang memberikan gambaran berupa hilangnya fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai syok spinal. Syok spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat. Peristiwa ini umumnya berlangsung selama satu hingga enam minggu, kadang lebih lama. Tandanya adalah kelumpuhan flaksid, anestesia, arefleksi, hilangnya perspirasi, gangguan fungsi rektum dan kandung kemih, priapismus, bradikardia dan hipotensi. Setelah syok spinal pulih kembali, akan terjadi hiperrefleksi. Terlihat pula tanda gangguan fungsi autonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik, serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi. 5Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik di bawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu.5
Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan. Keadaan ini pada umumnya terjadi akibat cedera di daerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak sehingga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang terlipat. Cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul beban berat di atas kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang mendadak sehingga beban jatuh dan tulang belakang hiperekstensi. Gambaran klinis berupa tetraparese parsial. Ganguan pada ekstremitas bawah lebih ringan daripada ekstremitas atas, sedangkan daerah perianal tidak terganggu. 5
Sindrom Brown-Sequard disebabkan oleh kerusakan separuh lateral sumsum tulang belakang. Sindrom ini jarang ditemukan. Gejala klinis berupa gangguan motorik dan hilangnya rasa vibrasi dan posisi ipsilateral; di kontralateral terdapat gangguan rasa nyeri dan suhu.
Kerusakan tulang belakang setinggi vertebra L1-L2 mengakibatkan anestesia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya refleks anal dan refleks bulbokavernosa. Sindrom ini disebut sindrom konus medularis.
Sindrom kauda equina disebabkan oleh kompresi pada radiks lumbosakral setinggi ujung konus medularis dan menyebabkan kelumpuhan dan anestesia di daerah lumbosakral yang mirip dengan sindrom konus medularis. Gejala yang biasa dikeluhkan oleh pasien dengan trauma tulang belakang adalah: Nyeri mulai dari leher sampai bawah
Kehilangan fungsi (misal tidak dapat menggerakkan lengan)
Kehilangan atau berubahnya sensasi di berbagai area tubuh
II. 8. DIAGNOSIS
Trauma tulang belakang perlu dicurigai pada kondisi-kondisi berikut :
Pasien tidak sadar
Pasien dengan multipel trauma
Trauma di atas klavikula
Jatuh dari ketinggian lebih dari 10 kaki (atau dua kali tinggi pasien)
Kecelakaan dengan kecepatan tinggi
Pada pemeriksaan jasmani dipentingkan pemeriksaan neurologik dengan mengingat kemungkinan cedera sumsum belakang.
Pada pemeriksaan laboratorium, perlu diperiksa dan dimonitor kadar hemoglobin dan hematokrit untuk mendeteksi atau memonitor kehilangan darah. Selain itu, urinalisis juga perlu untuk mendeteksi trauma traktus genitourinarius.
Diagnosis ditegakkan dengan foto rontgen proyeksi antero-posterior dan lateral, dan bila perlu tomografi. Rontgen tulang belakang dilakukan untuk melihat kerusakan vertebra (rontgen bagus untuk menunjukkan tulang tetapi tidak untuk jaringan lunak seperti sumsum tulang belakang). Jika pasien memiliki gejala atau terdapat trauma sumsum tulang belakang, dilakukan CT-Scan atau MRI yang akan menunjukkan lebih detail dibanding rontgen. CT –scans lebih baik daripada MRI dalam menunjukkan tulang, sedangkan MRI biasanya lebih baik dalam menunjukkan jaringan lunak seperti sumsum tulang belakang. Semua tindakan diagnostik tersebut dikerjakan tanpa memindahkan atau mengubah posisi penderita. Mielografi dikerjakan pada penderita dengan gangguan neurologik, seperti kelumpuhan, tetapi pada foto polos maupun tomografinya tidak tampak fraktur.
II. 9. PENATALAKSANAAN
Semua penderita koban kecelakaan yang memperlihatkan gejala adanya kerusakan pada tulang belakang, seperti nyeri leher, nyeri punggung, kelemahan anggota gerak atau perubahan sensitivitas harus dirawat seperti merawat pasien kerusakan tulang belakang akibat cedera sampai dibuktikan bahwa tidak ada kerusakan tersebut. 5Setelah diagnosis ditegakkan, di samping kemungkinan pemeriksaan cedera lain yang menyertai, misalnya trauma kepala atau trauma toraks, maka pengelolaan patah tulang belakang tanpa gangguan neurologik bergantung pada stabilitasnya. Pada tipe yang stabil atau tidak stabil temporer, dilakukan imobilisasi dengan gips atau alat penguat. Pada patah tulang belakang dengan gangguan neurologik komplit, tindakan pembedahan terutama ditujukan untuk stabilisasi patah tulangnya untuk memudahkan perawatan atau untuk dapat dilakukan mobilisasi dini. Mobilisasi dini merupakan syarat penting sehingga penyulit yang timbul pada kelumpuhan akibat cedera tulang belakang seperti infeksi saluran nafas,
infeksi saluran kencing atau dekubitus dapat dicegah. Pembedahan juga dilakukan dengan tujuan dekompresi yaitu melakukan reposisi untuk menghilangkan penyebab yang menekan medula spinalis, dengan harapan dapat mengembalikan fungsi medula spinalis yang terganggu akibat penekanan tersebut. Dekompresi paling baik dilaksanakan dalam waktu enam jam pascatrauma untuk mencegah kerusakan medula spinalis yang permanen. Tidak boleh dilakukan dekompresi dengan cara laminektomi, karena akan menambah instabilitas tulang belakang.
Perhatian utama pada penderita cedera tulang belakang ditujukan pada usaha mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah atau cedera sekunder, yaitu dengan dilakukannya imobilisasi di tempat kejadian dengan memanfaatkan alas yang keras.
Pengangkutan penderita tidak dibenarkan tanpa menggunakan tandu atau sarana apapun yang beralas keras. Hal ini dilakukan pada semua penderita yang patut dicurigai berdasarkan jenis kecelakaan, penderita yang merasa nyeri di daerah tulang belakang, lebih-lebih lagi bila terdapat kelemahan pada ekstremitas yang disertai mati rasa. Selain itu harus selalu diperhatikan jalan napas dan sirkulasi. 5Bila dicurigai cedera di daerah servikal, harus diusahakan agar kepala tidak menunduk dan tetap di tengah dengan menggunakan bantal kecil atau gulungan kain untuk menyangga leher pada saat pengangkutan. 5Setelah semua langkah tersebut di atas dipenuhi, barulah dilakukan pemeriksaan fisik dan neurologik yang lebih cermat. Pemeriksaan penunjang seperti radiologik dapat dilakukan.
Pada umumnya terjadi paralisis usus selama dua sampai enam hari akibat hematom retroperitoneal sehingga memerlukan pemasangan pipa lambung.
Pemasangan kateter tetap pada fase awal bertujuan mencegah terjadi pengembangan kandung kemih yang berlebihan, yang lumpuh akibat syok spinal. Selain itu pemasangan kateter juga berguna untuk memantau produksi urin, serta mencegah terjadinya dekubitus karena menjamin kulit tetap kering.
Perhatian perlu diberikan untuk mencegah terjadinya pneumoni dan memberikan nutrisi yang optimal.
Penanggulangan Cedera Tulang Belakang dan Sumsum Tulang Belakang :
Prinsip umum: pikirkan selalu kemungkinan adanya cedera mielum mencegah terjadinya cedera kedua waspada akan tanda yang menunjukkan jejas lintang lakukan evaluasi dan rehabilitasi
Tindakan : adakan imobilisasi di tempat kejadian (dasar papan)optimalisasi faal ABC : jalan nafas, pernafasan, dan peredaran darah penanganan kelainan yang lebih urgen pemeriksaan neurologik untuk menentukan tempat lesi
pemeriksaan radiologik (kadang diperlukan) tindak bedah (dekompresi, reposisi, atau stabilisasi) pencegahan penyulit
* ileus paralitik → sonde lambung
* penyulit kelumpuhan kandung kemih → kateter
* pneumoni
* dekubitus
Tindak Bedah
Jika terdapat tanda kompresi pada sumsum belakang karena deformitas fleksi, fragmen tulang, atau hematom, maka diperlukan tindakan dekompresi.
Dislokasi yang umumnya disertai instabilitas tulang belakang memerlukan tindakan reposisi dan stabilisasi.
Pembedahan darurat diperlukan bila terdapat gangguan neurologik progresif akibat penekanan, pada luka tembus, dan pada sindrom sumsum belakang bagian depan yang akut.Pembedahan selalu harus dipertimbangkan untuk mempermudah perawatan dan fisioterapi agar mobilisasi dan rehabilitasi dapat berlangsung lebih cepat. Pembedahan akan mengurangi kemungkinan terjadinya penyulit, tetapi tidak harus dilakukan sebagai tindakan darurat untuk mengatasi gangguan stabilitas tulang belakang.
Tindakan Bedah Pada Cedera Tulang Belakang dan Sumsum Belakang
Tindakan darurat luka tembus sindrom sumsum anterior akut
* peluru
* tikam / bacok gangguan neurologik progresif (penekanan)
Tindakan elektif patah tulang tidak stabil
Tujuan :mencegah jejas lintang mempercepat penyembuhan dan revalidasimemungkinkan rehabilitasi aktif mempermudah perawatan dan fisioterapi aktif Pada pasien yang tidak sadar mungkin terdapat tanda syok spinal (nadi lambat dan tekanan darah rendah, kelemahan umum pada seluruh anggota gerak, kehilangan kontrol buang air besar atau buang air kecil.Penting untuk diingat bahwa trauma tulang belakang tidak tersingkir jika pasien dapat menggerakkan dan merasakan anggota geraknya. Jika mekanisme trauma
melibatkan kekuatan yang besar, pikirkan yang terburuk dan dirawat seperti merawat korban trauma tulang belakang.
Pertolongan Pertama Pada Trauma Tulang Belakang meliputi :
1.Perhatikan ABC nya (Airway, Breathing, Circulation)
2.Pertahankan posisi pasien. Jangan pindahkan atau membiarkan korban bergerak kecuali korban dapat meninggal atau terluka jika tetap pada posisinya (misal menghindari batu yang jatuh). Posisi leher harus tetap dipertahankan dengan menahan kepala pada kedua sisi.
Ketika petugas datang, korban dipasang kolar servikal yang keras dengan sangat hati-hati, kemudian diimobilisasi dengan sistem transportasi spinal yang bisa berupa matras, papan keras.
II. 9. KOMPLIKASI
- Defisit neurologis sering meningkat selama beberapa jam atau hari pada trauma sumsum tulang belakang akut, meskipun sudah mendapat terapi optimal.Salah satu tanda adanya kemunduran neurologis adalah adanya defisit sensoris.Pasien dengan trauma sumsum tulang belakang beresiko tinggi terjadi aspirasi, karena itu perlu pemasangan NGT (Nasogastric Tube).
- Hipotermia.
- Dekubitus
- Seseorang dengan tetraplegia beresiko tinggi terjadi komplikasi medis sekunder. Persentase terjadinya komplikasi pada individu dengan tetraplegia komplit adalah sebagai berikut : pneumonia (60,3 %), ulkus akibat tekanan (52,8 %), trombosis vena dalam (16,4 %), emboli pulmo (5,2 %), infeksi pasca operasi (2,2 %).- Komplikasi pulmo pada trauma tulang belakang biasa terjadi, dimana secara langsung berhubungan dengan mortalitas dan trauma saraf.
Komplikasi pulmo tersebut meliputi : atelektasis sekundermenurunnya batuk, sehingga meningkatkan resiko sumbatan oleh secret, atelektasis dan pneumonia kelelahan otot
II. 10. PROGNOSIS
Pada awal tahun 1900, angka kematian 1 tahun setelah trauma pada pasien dengan lesi komplit mencapai 100 %. Namun kini, angka ketahanan hidup 5 tahun pada pasien dengan trauma quadriplegia mencapai 90 %. Perbaikan yang terjadi dikaitkan dengan pemakaian antibiotik untuk mengobati pneumonia dan infeksi traktus urinarius.
Pasien dengan trauma tulang belakang komplit berpeluang sembuh kurang dari 5 %. Jika terjadi paralisis komplit dalam waktu 72 jam setelah trauma, peluang perbaikan adalah nol.
Prognosis trauma tulang belakang inkomplit lebih baik.Jika fungsi sensoris masih ada, peluang pasien untuk dapat berjalan kembali lebih dari 50 %.
DAFTAR PUSTAKA
1.Schreiber, Donald, 2004. Spinal Cord Injuries.http://www.emedicine.com/emerg/byname/spinal-cord-injuries.htm
2.Anonim, 2005. Spinal Cord Injury. http://www.neurosurgerytoday.org/what/patient_e/spinal.asp
3.Anonim, 2006. Spinal Cord Injuries.http://www.sci-recovery.org/sci.htm
4.Langran, Mike, 2006. Spinal Injuries.http://www.ski-injury.com/spinal1.htm
5.Jong, Syamsuhidayat, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta.6.Listiono, Djoko, dr., 1998. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, edisi III, PT. Gramedia, Jakarta.7.Sabiston, D.C., 1994, Buku Ajar Bedah Sabiston Bagian 2, EGC, Jakarta.8.Senior, 2007. Jangan sembarangan Menggerakkan Leher Anda.http://portal.cbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail.aspx?x=Work+Out&y=cybermed%7C0%7C0%7C7%7C198