ASKEP LAMINEKTOMY

41
ASKEP LAMINEKTOMY ASUHAN KEPERAWATAN dengan FRAKTUR VERTEBRA (LUMBAL) A. Pengertian Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya. Faktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan putir, mendadak bahkan kontraksi otot ekstrem. Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga akan terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, rupture tendo, kerusakan saraf dan kerusakan pembuluh darah. (Brunner and Suddarth, 2001). Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Gejala – gejala fraktur tergantung pada sisi, beratnya dan jumlah kerusakan pada struktur lain, biasanya terjadi pada orang dewasa laki-laki yang disebabkan oleh kecelakaan, jatuh, dan perilaku kekerasan. (Marilyn, E. Doengoes, 1999). Fraktur adalah deformasi atau dekontinuitas dari tulang oleh tenaga yang melebihi kekuatan tulang. (http://www.medicastore.com/med/detail=patah;tulang/). Dari ketiga pengertian diatas penulis menyimpulkan fraktur lumbal adalah kerusakan pada tulang belakang berakibat trauma, biasanya terjadi pada orang dewasa laki-laki yang disebabkan oleh kecelakaan, jatuh, dan perilaku kekerasan. B. Etiologi Adapun penyebab dari fraktur menurut Brunner and Suddart, 2001 adalah sebagai berikut : Trauma langsung merupakan utama yang sering menyebabkan fraktur. Fraktur tersebut terjadi pada saat benturan dengan benda keras. Putaran dengan kekuatan yang berlebihan (hiperfleksi) pada tulang

Transcript of ASKEP LAMINEKTOMY

ASKEP LAMINEKTOMYASUHAN KEPERAWATAN dengan FRAKTUR VERTEBRA (LUMBAL)

A. Pengertian

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya. Faktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan putir, mendadak bahkan kontraksi otot ekstrem. Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga akan terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, rupture tendo, kerusakan saraf dan kerusakan pembuluh darah. (Brunner and Suddarth, 2001).

Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Gejala – gejala fraktur tergantung pada sisi, beratnya dan jumlah kerusakan pada struktur lain, biasanya terjadi pada orang dewasa laki-laki yang disebabkan oleh kecelakaan, jatuh, dan perilaku kekerasan. (Marilyn, E. Doengoes, 1999).

Fraktur adalah deformasi atau dekontinuitas dari tulang oleh tenaga yang melebihi kekuatan tulang. (http://www.medicastore.com/med/detail=patah;tulang/).

Dari ketiga pengertian diatas penulis menyimpulkan fraktur lumbal adalah kerusakan pada tulang belakang berakibat trauma, biasanya terjadi pada orang dewasa laki-laki yang disebabkan oleh kecelakaan, jatuh, dan perilaku kekerasan.

B. Etiologi

Adapun penyebab dari fraktur menurut Brunner and Suddart, 2001 adalah sebagai berikut :

Trauma langsung merupakan utama yang sering menyebabkan fraktur. Fraktur tersebut terjadi pada saat benturan dengan benda keras.Putaran dengan kekuatan yang berlebihan (hiperfleksi) pada tulang akan dapat mengakibatkan dislokasi atau fraktur.Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas dan sebagainya.Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang.Postur Tubuh (obesitas atau kegemukan) dan “Body Mekanik” yang salah seperti mengangkat benda berat.

C. Patofisiologi

1. Perjalanan Penyakit

Kolumna vertebralis tersusun atas seperangkat sendi antara korpus vertebra yang saling berdekatan. Diantaranya korpus vertebra mulai dari vertebra sevikalis kedua sampai vertebra sakralis terdapat discus intervertebralis. Discus-discus ini membentuk sendi fibrokartilago yang lentur antara korpus pulposus ditengah dan annulus fibrosus di sekelilingnya. Nucleus pulposus merupakan rongga intervertebralis yang terdiri dari lapisan tulang rawan dalam sifatnya semigelatin, mengandung berkas-berkas serabut kolagen, sel – sel jaringan penyambung dan sel-sel tulang rawan.

Zat-zat ini berfungsi sebagai peredam benturan antara korpus vertebra yang berdekatan, selain itu juga memainkan peranan penting dalam pertukaran cairan antara discus dan pembuluh-pembuluh kapiler.

Apabila kontuinitas tulang terputus, hal tersebut akan mempengaruhi berbagai bagian struktur yang ada disekelilingnya seperti otot dan pembuluh darah. Akibat yang terjadi sangat tergantung pada berat ringannya fraktur, tipe, dan luas fraktur. Pada umumnya terjadi edema pada jaringan lunak, terjadi perdarahan pada otot dan persendian, ada dislokasi atau pergeseran tulang, ruptur tendon, putus persyarafan, kerusakan pembuluh darah dan perubahan bentuk tulang dan deformitas. Bila terjadi patah tulang, maka sel – sel tulang mati. Perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat patah dan kedalaman jaringan lunak disekitar tulang tersebut dan biasanya juga mengalami kerusakan. Reaksi peradangan hebat timbul setelah fraktur.

2. Manifestasi Klinik

Manifestasi klinik fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekkan deformitas, krepitus, pembengkakan lokal dan perubahan warna.

a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilasi. Spasme otot yang menyertai fraktur yang merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.

b. Setelah terjadi fraktur, bagian – bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara tidak alamiah. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas yang bisa diketahui dengan ekstermitas normal.

c. Terjadi pemendekan tulang karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.

d. Saat ekstermitas diperiksa teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya.

e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit yang terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.

3. Proses Penyembuhan Tulang

a. Tahap Hematoma, Pada tahap terjadi fraktur, terjadi kerusakan pada kanalis Havers sehingga masuk ke area fraktur setelah 24 jam terbenutk bekuan darah dan fibrin yang

masuk ke area fraktur, terbenuklah hematoma kemudian berkembang menjadi jaringan granulasi.

b. Tahap Poliferasi, Pada aerea fraktur periosteum, endosteum dan sumsum mensuplai sel yang berubah menjadi fibrin kartilago, kartilago hialin dan jaringan panjang.

c. Tahap Formiasi Kalus atau Prakalus, Jaringan granulasi berubah menjadi prakalus. Prakalus mencapai ukuran maksimal pada 14 sampai 21 hari setelah injuri.

d. Tahap Osifikasi kalus, Pemberian osifikasi kalus eksternal (antara periosteum dan korteks), kalus internal (medulla) dan kalus intermediet pada minggu ke-3 sampai dengan minggu ke-10 kalus menutupi lubang.

e. Tahap consolidasi, Dengan aktivitas osteoblasi dan osteoklas, kalus mengalami proses tulang sesuai dengan hasilnya.

Faktor – faktor yang mempengaruhi proses pemulihan :

a. Usia klien

b. Immobilisasi

c. Tipe fraktur dan area fraktur

d. Tipe tulang yang fraktur, tulang spongiosa lebih cepat sembuh dibandingkan dengan tulang kompak.

e. Keadaan gizi klien

f. Asupan darah dan hormon – hormon pertumbuhan yang memadai

g. Latihan pembebanan berat badan untuk tulang panjang

h. Komplikasi atau tidak misalnya infeksi biasa menyebabkan penyembuhan lebih lama.

i. Keganasan lokal, penyakit tulang metabolik dan kortikosteroid.

4. Komplikasi

a. Syok

Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma.

b. Mal union, gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan mal union, sebab-sebab lainnya adalah infeksi dari jaringan lunak yang terjepit diantara fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling beradaptasi dan membentuk sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union).

c. Non union

Non union adalah jika tulang tidak menyambung dalam waktu 20 minggu. Hal ini diakibatkan oleh reduksi yang kurang memadai.

d. Delayed union

Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam waktu lama dari proses penyembuhan fraktur.

e. Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata (KID).

Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau pada saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat seperti plate, paku pada fraktur.

f. Emboli lemak

Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil, yang memsaok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain.

g. Sindrom Kompartemen

Masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Berakibat kehilangan fungsi ekstermitas permanen jika tidak ditangani segera.

h. Cedera vascular dan kerusakan syaraf yang dapat menimbulkan iskemia, dan gangguan syaraf. Keadaan ini diakibatkan oleh adanya injuri atau keadaan penekanan syaraf karena pemasangan gips, balutan atau pemasangan traksi.

C. Jenis Fraktur

Adapun klasifikasi menurut Brunner and Suddarth, 2001 adalah sebagai berikut :

1. Berdasarkan garis patah yang terdapat pada tulang, fraktur dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Fraktur komplet adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran.

b. Fraktur tidak komplet adalah patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.

2. Berdasarkan robekan yang terdapat pada kulit, fraktur dibedakan menjadi dua, yaitu :

a. Fraktur tertutup (fraktur simple) adalah fraktur yang tidak menyebabkan robeknya kulit.

b. Fraktur terbuka (fraktur komplikata/ kompleks) adalah fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa sampai patahan tulang.

3. Berdasarkan sesuai pergeseran anatomis fragmen tulang dibedakan menjadi tulang bergeser dan fraktur tidak bergeser.

4. Berbagai jenis khusus fraktur adalah sebagai berikut :

a. Greenstick adalah fraktur di mana salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya membengkok.

b. Transversal adalah fraktur sepanjang garis tengah tulang.

c. Oblik adalah fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang.

d. Spiral adalah fraktur memuntir seputar batang tulang.

e. Kominutif adalah fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen.

f. Depresi adalah fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam.

g. Kompresi adalah fraktur di mana tulang mengalami kompresi.

h. Patologik adalah fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit.

i. Avulsi adalah tertariknya fragmen tulang oleh ligament atau tendo pada perlekatannya.

D. Penatalaksanaan Medis

1. Pengobatan dan Terapi Medis

a. Pemberian anti obat antiinflamasi seperti ibuprofen atau prednisone

b. Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah fase akut

c. Obat-obat relaksan untuk mengatasi spasme otot

d. Bedrest, Fisioterapi

2. Konservatif

Pembedahan dapat mempermudah perawatan dan fisioterapi agar mobilisasi dapat berlangsung lebih cepat. Pembedahan yang sering dilakukan seperti disektomi dengan peleburan yang digunakan untuk menyatukan prosessus spinosus vertebra; tujuan peleburan spinal adalah untuk menjembatani discus detektif, menstabilkan tulang belakang

dan mengurangi angka kekambuhan. Laminectomy mengangkat lamina untuk memanjakan elemen neural pada kanalis spinalis, menghilangkan kompresi medulla dan radiks. Microdiskectomy atau percutaeneus diskectomy untuk menggambarkan penggunaan operasi dengan mikroskop, melihat potongan yang mengganggu dan menekan akar syaraf.

E. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Fraktur

1. Pengkajian Keperawatan

Merupakan tahap awal dari pendekatan proses keperawatan dan dilakukan secara sistematika mencakup aspek bio, psiko, sosio, dan spiritual. Langkah awal dari pengkajian ini adalah pengumpuln data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan klien dan keluarga, observasi pemeriksaan fisik, konsultasi dengan anggota tim kesehatan lainnya dan meninjau kembali catatan medis ataupun catatan keperawatan. Pengkajian fisik dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.

Adapun lingkup pengkajian yang dilakukan pada klien fraktur menurut Brunner and Suddarth, 2002 adalah sebagai berikut :

a. Data demografi/ identitas klien

Antara lain nama, umur, jenis kelamin, agama, tempat tinggal, pekerjaan, dan alamat klien.

b. Keluhan utama

Adanya nyeri dan sakit pada daerah punggung

c. Riwayat kesehatan keluarga

Untuk menentukan hubungan genetik perlu diidentifikasi misalnya adanya predisposisi seperti arthritis, spondilitis ankilosis, gout/ pirai (terdapat pada fraktur psikologis).

d. Riwayat spiritual

Apakah agama yang dianut, nilai-nilai spiritual dalam keluarga dan bagaimana dalam menjalankannya.

e. Aktivitas kegiatan sehari-hari

Identifikasi pekerjaan klien dan aktivitasnya sehari-hari, kebiasaan membawa benda-benda berat yang dapat menimbulkan strain otot dan jenis utama lainnya. Orang yang kurang aktivitas mengakibatkan tonus otot menurun. Fraktur atau trauma dapat timbul pada orang yang suka berolah raga dan hockey dapat menimbulkan nyeri sendi pada tangan.

f. Pemeriksaan fisik

1) Pengukuran tinggi badan

2) Pengukuran tanda-tanda vital

3) Integritas tulang, deformitas tulang belakang

4) Kelainan bentuk pada dada

5) Adakah kelainan bunyi pada paru-paru, seperti ronkhi basah atau kering, sonor atau vesikuler, apakah ada dahak atau tidak, bila ada bagaimana warna dan produktivitasnya.

6) Kardiovaskuler: sirkulasi perifer yaitu frekuensi nadi, tekanan darah, pengisian kapiler, warna kulit dan temperatur kulit.

7) Abdomen tegang atau lemas, turgor kulit, bising usus, pembesaran hati atau tidak, apakah limpa membesar atau tidak.

8) Eliminasi: terjadinya perubahan eliminasi fekal dan pola berkemih karena adanya immobilisasi.

9) Aktivitas adanya keterbatasan gerak pada daerah fraktur

10) Apakah ada nyeri, kaji kekuatan otot, apakah ada kelainan bentuk tulang dan keadaan tonus otot.

g. Tes Diagnostik

Pada klien dengan trauma tulang belakang, biasanya dilakukan beberapa tes diagnostik untuk menunjang diagnosa medis, yaitu :

1) Foto Rontgen Spinal, yang memperlihatkan adanya perubahan degeneratif pada tulang belakang, atau tulang intervetebralis atau mengesampingkan kecurigaan patologis lain seperti tumor, osteomielitis.

2) Elektromiografi, untuk melokalisasi lesi pada tingkat akar syaraf spinal utama yang terkena.

3) Venogram Epidural, yang dapat dilakukan di mana keakuratan dan miogram terbatas.

4) Fungsi Lumbal, yang dapat mengkesampingkan kondisi yang berhubungan, infeksi adanya darah.

5) Tanda Le Seque (tes dengan mengangkat kaki lurus ke atas) untuk mendukung diagnosa awal dari herniasi discus intervertebralis ketika muncul nyeri pada kaki posterior.

6) CT - Scan yang dapat menunjukkan kanal spinal yang mengecil, adanya protrusi discus intervetebralis.

7) MRI, termasuk pemeriksaan non invasif yang dapat menunjukkan adanya perubahan

tulang dan jaringan lunak dan dapat memperkuat adanya herniasi discus.

8) Mielogram, hasilnya mungkin normal atau memperlihatkan “penyempitan” dari ruang discus, menentukan lokasi dan ukuran herniasi secara spesifik.

2. Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan secara teoritis menurut Doengoes, 2000 untuk klien dengan gangguan tulang belakang, yaitu :

a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan agen pencedera fisik kompresi saraf: spasme otomatis.

b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri: ketidaknyamanan; spasme otot; kerusakan neuromuscular.

c. Anxietas/ koping individu tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi; perubahan status kesehatan; ketidakadekuatan mekanisme koping.

d. Immobilisasi berhubungan dengan ketidakmampuan berjalan

e. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kehilangan sensori dan mobilitas permanen.

f. Retensi urinarius berhubungan dengan cedera vertebra

g. Konstipasi berhubungan dengan efek kerusakan spinalis

h. Disfungsi seksual berhubungan dengan disfungsi neurologi

3. Perencanaan keperawatan

Perencanaan keperawatan secara teoritis menurut Doengoes, 2000 adalah sebagai berikut :

a. Diagnosa keperawatan I

Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan agen pencedera fisik kompresi saraf: spasme otomatis.

Tujuan : Nyeri hilang atau terkonrol

Kriteria hasil :

1. Klien melaporkan nyeri hilang atau terkontrol

2. Klien dapat mengungkapkan yang dapat menghilangkan

3. Klien dapat mendomenstrasikan penggunaan intervensi terapeutik seperti keterampilan relaksasi, modifikasi perilaku untuk menghilangkan nyeri.

Rencana tindakan :

1) Kaji adanya keluhan nyeri, catat lokasi, lama serangan, faktor pencetus atau memperberat. Minta klien untuk mendapatkan skala nyeri 1 – 10.

Rasional : Membantu menentukan intervensi dan memberikan dasar untuk perbandingan dan evaluasi terhadap terapi.

2) Pertahankan tirah baring selama fase akut. Letakkan klien dalam posisi semi fowler dengan tulang spinal, pinggang dan lutut dalam keadaan fleksi; posisi telentang dengan atau tanpa meninggikan kepala 10° - 30° atau pada posisi lateral.

Rasional : Tirah baring dalam posisi yang nyaman memungkinkan klien untuk menurunkan penekanan pada bagian tubuh tertentu dan intervertebralis.

3) Batasi aktivitas selama fase akut sesuai kebutuhan

Rasional : Menurunkan gaya gravitasi dan gerak yang dapat menghilangkan spasme otot dan menurunkan edema dan tekanan pada struktur sekitar discus intervertebralis yang terkena.

4) Letakkan semua kebutuhan, termasuk bel panggil dalam batas yang mudah dijangkau atau diraih klien.

Rasional : Menurunkan resiko peregangan saat meraih

5). Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi

Rasional : Memfokuskan perhatian klien dan membantu menurunkan tegangan otot dan meningkatkan proses penyembuhan.

6). Instruksikan atau anjurkan klien untuk melakukan mekanisme tubuh atau gerakan yang tepat.

Rasional : Menghilangkan stress pada otot dan mencegah trauma lebih lanjut.

7) Berikan kesempatan untuk berbicara atau mendengarkan masalah klien

Rasional : Berbicara dapat menurunkan strees atau rasa takut selama dalam keadaan sakit dan dirawat.

8) Berikan tempat tidur ortopedik atau letakan papan dibawah kasur atau matras.

Rasional : Memberikan sokongan dan menurunkan fleksi spinal yang menurunkan spasme.

9) Berikan obat sesuai kebutuhan: relakskan otot seperti Diazepam (Valium)

Rasional : Merelaksasikan otot dan menurunkan nyeri

b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri: ketidaknyamanan; spasme otot; kerusakan neuromuscular.

Tujuan : Kerusakan mobilitas fisik tidak terjadi

Kriteria hasil :

1. Klien mengungkapkan pemahaman tentang situasi atau faktor resiko dan aturan pengobatan individu.

2. Mendemonstrasikan teknik atau perilaku yang mungkin

3. Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit atau kompensasi.

Rencana tindakan :

1) Berikan tindakan pengamanan sesuai indikasi dengan situasi yang spesifik.

Rasional : Tergantung pada bagian tubuh yang terkena atau jenis prosedur, aktivitas yang kurang berhati-hati akan meningkatkan kerusakan spinal.

2) Catat respon-respon emosi atau perilaku pada immobilisasi, berikan aktivitas yang disesuaikan dengan klien.

Rasional : Immobilisasi yang dipaksakan dapat memperbesar kegelisahan, peka rangsangan. Aktivitas pengalihan dapat membantu dalam memfokuskan perhatian dan meningkatkan koping dengan batasan tersebut.

3) Bantu klien untuk melaksanakan latihan rentang gerak aktif dan pasif

Rasional : Memperkuat otot abdomen dan fleksor tulang belakang, memperbaiki mekanika tubuh.

4) Anjurkan klien untuk melatih kaki bagian bawah dan lutut

Rasional : Stimulasi sir vena atau arus balik vena menurunkan keadaan vena yang statis dan kemungkinan terbentuknya trombus.

5) Bantu klien dalam melakukan ambulasi progresif

Rasional : Keterbatasan aktivitas tergantung pada kondisi yang khusus, tapi biasanya

berkembang dengan lambat sesuai toleransi.

c. Anxietas/ koping individu tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi; perubahan status kesehatan; ketidakadekuatan mekanisme koping.

Tujuan : Adaptasi klien efektif

Kriteria hasil :

1. Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang pada tingkat dapat diatasi.

2. Mengidentifikasi ketidakefektifan perilaku koping

3. Mendemonstrasikan pemecahan masalah

Rencana tindakan :1) Kaji tingkat anxietas pasien.Rasional : Membantu mengidentifikasi dalam keadaan sekarang

2) Berikan informasi yang akurat dan jawab dengan jujur

Rasional : Memungkinkan pasien untuk membuat keputusan yang didasarkan atas pengetahuan.

3) Berikan pasien untuk mengungkapkan masalah yang dihadapinya

Rasional : Meningkatkan koping yang sedang dihadapi

4) Kaji adanya masalah sekunder yang mungkin merintangi keinginan untuk sembuh.

Rasional : Memberikan perhatian terhadap klien, tanggung jawab untuk meningkatkan penyembuhan.

5) Cara perilaku dari orang terdekat atau keluarga yang meningkatkan peran sakit.

Rasional : Orang terdekat keluarga secara tanpa sadar memungkinkan untuk mempertahankan sesuatu yang dapat klien lakukan.

6) Rujuk pada kelompok pelayanan sosial, konselor finansial, psikoterapi dan sebagainya.

Rasional : Memberikan dukungan untuk beradaptasi pada perubahan dan memberikan sumber – sumber untuk mengatasi masalah.

d. Immobilisasi berhubungan dengan ketidakmampuan berjalan

Tujuan : Kerusakan mobilitas fisik dapat teratasi

Kriteria hasil :

1. Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi

2. Mempertahankan posisi fungsional

3. Meningkatkan kekuatan fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh.

4. Menunjukan teknik aktivitas

Rencana tindakan :

1) Kaji derajat mobilitas yang dihasilkan oleh cedera dan perhatikan persepsi pasien terhadap imobilisasi.

Rasional : Pasien mungkin dibatasi oleh pandangan dari persepsi diri tentang keterbatasan fungsi actual, memerlukan informasi untuk meningkatkan kemajuan kesehatan.

2) Dorong partisipasi pada aktivitas terapeutik/ rekreasi

Rasional : Memberikan kesempatan untuk mengeluarkan energi, memfokuskan kembali perhatian dan membantu menurunkan isolasi sosial.

3) Intruksikan pasien untuk dibantu dalam rentang gerak aktif dan pasif pada ekstremitas yang sakit dan yang tidak sakit.

Rasional : Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan tonus otot.

4) Dorong penggunaan latihan isometik tanpa menekuk sendi atau menggerakan tungkai, dan mempertahankan masa otot.

Rasional : Kontraksi otot isometik tanpa menekuk sendi membantu kekuatan otot

5). Konsul dengan ahli terapi fisik/ okupais, rehabilitasi spesial

Rasional : Berguna dalam membuat akktifitas individual latihan

e. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kehilangan sensori dan mobilitas permanen.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kerusakan integritas kulit dapat teratasi.

Kriteria hasil :

1. Menunjukan perilaku untuk mencegah kerusakan kulit memudahkan penyembuhan sesuai indikasi.

2. Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/ penyembuhan lesi terjadi

Rencana tindakan :

1) Kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing, kemerahan, perdarahan, perubahan warna.

Rasional : Memberikan informasi tentang sirkulasi kulit dan masalah yang mungkin disebabkan oleh alat traksi/ gibs.

2) Masase kulit dan penonjolan tulang, pertahankan tempat tidur kering dan bebas kerutan.

3) Ubah posisi dengan sering

4) Gunakan tempat tidur busa, bulu domba, bantal apung atau kasur udara sesuai indikasi.

f. Retensi urinarius berhubungan dengan cedera vertebra

Tujuan : Setelah dilakukan tindak keperawatan retensi urinarius teratasi.

Kriteria hasil : Mengosongkan kandung kemih secara adekuat sesuai kebutuhan individu.

Rencana tindakan :

1) Observasi dan catat jumlah frekuensi berkemih

Rasional : Menentukan apakah kandung kemih dikosongkan dan saat kapan intervensi itu diperlukan.

2) Lakukan palpasi terhadap adanya distensi kandung kemih

Rasional : Menandakan adanya retensi urine

3) Tingkat pemberian cairan

Rasional : Mempertahankan fungsi ginjal

4) Berikan stimulasi terhadap pengosongan urine dengan mengalirkan air hangat diarea suprapubis.

g. Disfungsi seksual berhubungan dengan disfungsi neurologi

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan disfungsional teratasi.

Kriteria Hasil : Mengungkapkan penerimaan efek penggunaan obat pada fungsi seksual.

Rencana Tindakan :

1). Kaji informasi pasien tentang saat ini dan biarka pasien menggambarkan masalah dengan bahasanya sendiri.

Rasional : Menentukan tingkat pengetahuan pasien yang menjadi kebutuhan

2). Diskusikan prognosis untuk disfungsi seksual misalnya impotent atau hasrat seksual rendah.

Rasional : Impoten diatasi dengan pantangan dari obat, pada kira-kira 25% yang kembali berfungsi normal adalah lambat, 5 % tetap impotent.

Implementasi Keperawatan 

Pelaksanaan keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. (Drs. Nasrul Effendi, 2000). Ada tiga fase dalam tindakan keperawatan, yaitu :

1. Fase Persiapan

Meliputi pengetahuan tentang rencana, validasi rencana, pengetahuan dan keterampilan menginterpretasikan rencana, persiapan klien dan lingkungan.

2. Fase Intervensi

Merupakan puncak dari implementasi yang berorientasi pada tujuan dan fokus pada pengumpulan data yang berhubungan dengan reaksi klien termasuk reaksi fisik, psikologis, sosial dan spiritual. Tindakan keperawatan dibedakan berdasarkan kewenangan dan tanggung jawab secara professional, yaitu :

Secara Mandiri (Independen)

Adalah tindakan yang diprakarsai sendiri oleh perawat untuk membantu pasien dalam mengatasi masalahnya atau menanggapi reaksi karena adanya stressor (penyakit), misalnya :

1) Membantu klien dalam melakukan kegiatan sehari – hari

2) Melakukan perawatan kulit untuk mencegah dekubitus

3) Memberikan dorongan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya secara wajar.

4) Menciptakan lingkungan terapeutik

b. Saling ketergantungan/ kolaborasi (Interdependen)

Adalah tindakan keperawatan atas dasar kerja sama sesama tim perawatan atau kesehatan lainnya seperti dokter, fisiotherapy, analisis kesehatan, dsb.

c. Rujukan/ Ketergantungan

Adalah tindakan keperawatan atas dasar rujukan dari profesi lain diantaranya dokter, psikologis, psikiater, ahli gizi, fisiotherapi, dsb.

Pada penatalaksanaanya tindakan keperawatan dilakukan secara :

1). Langsung : Ditangani sendiri oleh perawat

2). Delegasi : Diserahkan kepada orang lain/ perawat lain yang dapat dipercaya

3. Fase Dokumentasi

Merupakan terminasi antara perawat dan klien. Setelah implementasi dilakukan dokumentasi terhadap implementasi yang dilakukan. Ada tiga sistem pencatatan yang digunakan :

Sources Oriented RecordProblem Oriented RecordComputer Assisted Record

5. Evaluasi Keperawatan

Adalah mengukur keberhasilan dari rencana dan pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilakukan dalam memenuhi kebutuhan klien. Teknik penilaian yang didapat dari beberapa cara, yaitu :

1. Wawancara : Dilakukan pada klien dan keluarga

2. Pengamatan : Pengamatan klien terhadap sikap, pelaksanaan, hasil yang dicapai dan perubahan tingkah laku klien.

Jenis evaluasi ada dua macam, yaitu :

a. Evaluasi Formatif

Evaluasi yang dilakukan pada saat memberikan intervensi dengan respon segera.

b. Evaluasi Sumatif

Merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisis status pasien pada saat tertentu berdasarkan tujuan rekapitulasi dari hasil yang direncanakan pada tahap perencanaan. Ada tiga alternatif yang dapat dipergunakan oleh perawat dalam memutuskan/ menilai :

1) Tujuan tercapai : Jika klien menunjukkan perubahan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

2) Tujuan tercapai sebagian : Jika klien menunjukkan perubahan sebagian dari standar dan kriteria yang telah ditetapkan.

3) Tujuan tidak tercapai : Jika klien tidak menunjukkan perubahan dan kemajuan sama sekali dan akan timbul masalah baru

LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR

I. Konsep Dasar

A.  Definisi

Menurut Suddarth (2002:2353) Fraktur adalah diskontiunitas jaringan tulang yang banyak disebabkan karena kekerasan yang mendadak atau tidak atau kecelakaan.

Menurut Santoso Herman (2000:144) Fraktur adalah terputusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang disebabkan oleh kekerasan.

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Carpenito 2000:43)

Fraktur adalah patahnya kontinuitas tulang yang terjadi ketika tulang tidak mampu lagi menahan tekanan yang diberikan kepadanya. (Doenges, 2000:625)

B.  Klasifikasi Fraktur

Fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:

a.       Berdasarkan sifat fraktur.

1)      Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.

2)      Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.

b.      Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.

1)      Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.

2)      Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:

a)      Hair Line Fraktur (patah retidak rambut).

b)      Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.

c)      Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.

c.       Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme trauma.

1)      Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.

2)      Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.

3)      Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi.

4)      Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.

5)      Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang.

d.      Berdasarkan jumlah garis patah.

1)      Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.

2)      Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.

3)      Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.

e.       Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.

1)      Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum nasih utuh.

2)      Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:

a)      Dislokai ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping).

b)      Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).

c)      Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).

d)     Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.

e)      Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.

(Suddarth, 2002:2354-2356)

C.    Etiologi

Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang di sebabkan oleh kendaraan bermotor.

Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama pada anak-anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan. (Doenges, 2000:627)

Menurut Carpenito (2000:47) adapun penyebab fraktur antara lain:

1)      Kekerasan langsung

Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.

2)      Kekerasan tidak langsung

Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.

3)      Kekerasan akibat tarikan otot

Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.

Menurut (Doenges, 2000:627) adapun penyebab fraktur antara lain:

1)      Trauma Langsung

Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang mengakibatkan fraktur

2)      Trauma Tak Langsung

Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat kejadian kekerasan.

3)      Fraktur Patologik

Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal(kongenital,peradangan, neuplastik dan metabolik).

D. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinik dari faktur ,menurut Brunner and Suddarth,(2002:2358)

a.       Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai almiah yang di rancang utuk meminimalkan gerakan antar fregmen tulang

b.      Setelah terjadi faraktur, bagian-bagian tidak dapat di gunakan dan cenderung bergerak secara alamiah (gerak luar biasa) bukanya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen tulang pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstermitas yang bisa diketahui membandingkan ekstermitas yang normal dengan ekstermitas yang tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.

c.       Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu samalain sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi)

d.      Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya (uji krepitus dapat mengaibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat).

e.       Pembengkakan dan perubahan warna lokal terjadi sebagai akibat trauma dari pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru bisa terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cidera.

Menurut Santoso Herman (2000:153) manifestasi klinik dari fraktur adalah:

·         Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen tulang diimobilisasi, hematoma, dan edema.

·          Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah

·         Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.

·         Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya

·         Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit.

E.      Patofisiologi

Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau trauma. Baik itu karena trauma langsung misalnya: tulang kaki terbentur bemper mobil, atau tidak langsung misalnya: seseorang yang jatuh dengan telapak tangan menyangga. Juga bisa karena trauma akibat tarikan otot misalnya: patah tulang patela dan olekranon, karena otot trisep dan bisep mendadak berkontraksi. (Doenges, 2000:629)

Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darahketempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melekatkan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru

imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati Carpenito (2000:50)

Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan dengan pembengkakan yg tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dapat berakibat anoksia jaringanyg mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen (Brunner & suddarth, 2002: 2387).

            Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Doenges, 2000:629).

F.  Proses Penyembuhan Tulang

a. Tahap Hematoma.

Pada tahap terjadi fraktur, terjadi kerusakan pada kanalis Havers sehingga masuk ke area fraktur setelah 24 jam terbenutk bekuan darah dan fibrin yang masuk ke area fraktur, terbenuklah hematoma kemudian berkembang menjadi jaringan granulasi.

b. Tahap Poliferasi.

Pada aerea fraktur periosteum, endosteum dan sumsum mensuplai sel yang berubah menjadi fibrin kartilago, kartilago hialin dan jaringan panjang.

c.    Tahap Formiasi Kalus atau Prakalus.

 Jaringan granulasi berubah menjadi prakalus. Prakalus mencapai ukuran maksimal pada 14 sampai 21 hari setelah injuri.

d. Tahap Osifikasi kalus, Pemberian osifikasi kalus eksternal (antara periosteum dan korteks), kalus internal (medulla) dan kalus intermediet pada minggu ke-3 sampai dengan minggu ke-10 kalus menutupi lubang.

e. Tahap consolidasi, Dengan aktivitas osteoblasi dan osteoklas, kalus mengalami proses tulang sesuai dengan hasilnya.

Faktor – faktor yang mempengaruhi proses pemulihan :

a.       Usia klien

b.      Immobilisasi

c.       Tipe fraktur dan area fraktur

d.      Tipe tulang yang fraktur, tulang spongiosa lebih cepat sembuh dibandingkan dengan tulang kompak.

e.       Keadaan gizi klien.

f.       Asupan darah dan hormon – hormon pertumbuhan yang memadai.

g.      Latihan pembebanan berat badan untuk tulang panjang.

h.      Komplikasi atau tidak misalnya infeksi biasa menyebabkan penyembuhan lebih lama.

i.        Keganasan lokal, penyakit tulang metabolik dan kortikosteroid.

              (Doenges, 2000:632-633)

G. Komplikasi

a. Syok

Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma.

b. Mal union.

Gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan mal union, sebab-sebab lainnya adalah infeksi dari jaringan lunak yang terjepit diantara fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling beradaptasi dan membentuk sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union).

c. Non union

Non union adalah jika tulang tidak menyambung dalam waktu 20 minggu. Hal ini diakibatkan oleh reduksi yang kurang memadai.

d.   Delayed union

Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam waktu lama dari proses penyembuhan fraktur.

e.    Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata (KID).

Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau pada saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat seperti plate, paku pada fraktur.

f.     Emboli lemak

Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil, yang memsaok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain.

g.    Sindrom Kompartemen

Masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Berakibat kehilangan fungsi ekstermitas permanen jika tidak ditangani segera.

h.    Cedera vascular dan kerusakan syaraf yang dapat menimbulkan iskemia, dan gangguan syaraf. Keadaan ini diakibatkan oleh adanya injuri atau keadaan penekanan syaraf karena pemasangan gips, balutan atau pemasangan traksi. (Brunner & suddarth, 2002: 2390).

      H. Pemeriksaan Penunjang

1.      X.Ray

2.      Foto Ronsen

3.      Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans

4.       Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.

5.      CCT kalau banyak kerusakan otot.

(Carpenito 2000:50)

H.  Penatalaksanaan Medis

1. Pengobatan dan Terapi Medis

a. Pemberian anti obat antiinflamasi.

b. Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah fase akut

c. Obat-obat relaksan untuk mengatasi spasme otot

d. Bedrest, Fisioterapi

2. Konservatif

                  Pembedahan dapat mempermudah perawatan dan fisioterapi agar mobilisasi dapat berlangsung lebih cepat. Pembedahan yang sering dilakukan seperti disektomi dengan peleburan yang digunakan untuk menyatukan prosessus spinosus vertebra; tujuan peleburan spinal adalah untuk menjembatani discus detektif, menstabilkan tulang belakang dan mengurangi angka kekambuhan. Laminectomy mengangkat lamina untuk memanjakan elemen neural pada kanalis spinalis, menghilangkan kompresi medulla dan radiks. Microdiskectomy atau percutaeneus diskectomy untuk menggambarkan penggunaan operasi dengan mikroskop, melihat potongan yang mengganggu dan menekan akar syaraf.

   (Carpenito 2000:50)

II. Manajemen Keperawatan

I.     Pengkajian

B1 (Breathing) : Napas pendek

B2 (Blood)        : Hipotensi, bradikardi,

B3 (Brain)        : Pusing saat melakukan perubahan posisi, nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah trauma dan mengalami deformitas pada daerah trauma.

   B4 (Bleader)    : Inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut dan peristaltic hilang

      B5 ( Bowel)     : Mengalami distensi perut dan peristaltik usus hilang

      B6 (Bone)        : Kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok spinal, hilangnya sensasi dan hilangnya tonus otot dan hilangnya reflek.

J. Diagnosa Keperawatan

Adapun diagnosa yang yang mungkin kita angkat dan menjadi perhatian pada fraktur servikal, diantaranya :

a.       Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragmakerusakan

b.      Mobilitas fisik berhubungan dng kelumpuhan gangguan rasa nyaman nyeri

c.       Berhubungan dengan adanya cedera gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungan

d.      Dengan gangguan persarafan pada usus dan rektum.

e.        Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syarat perkemihan.

(Brunner & suddarth, 2002: 2392).

K. Intervensi Keperawatan

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragmakerusakan

Tujuan perawatan : pola nafas efektif setelah diberikan oksigen

Kriteria hasil        : Pentilasi adekuat

Intervensi :

1)       Pertahankan jalan nafas; posisi kepala tanpa gerak.

R/: Pasien dengan cedera cervicalis akan membutuhkan bantuan untuk mencegah aspirasi/ mempertahankan jalan nafas.

2)       Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat jumlah, jenis dan karakteristik sekret.

R/ : Jika batuk tidak efektif, penghisapan dibutuhkan untuk mengeluarkan sekret, dan mengurangi resiko infeksi pernapasan.

3)       Kaji fungsi pernapasan.

R/: Trauma pada C5-6 menyebabkan hilangnya fungsi pernapasan secara partial, karena otot pernapasan mengalami kelumpuhan.

4)       Auskultasi suara napas.

R/ : Hipoventilasi biasanya terjadi atau menyebabkan akumulasi sekret yang berakibat pnemonia.

5)       Observasi warna kulit.

R/: Menggambarkan adanya kegagalan pernapasan yang memerlukan tindakan segera.

6)       Kaji distensi perut dan spasme otot.

R/:  Kelainan penuh pada perut disebabkan karena kelumpuhan diafragma.

7)       Anjurkan pasien untuk minum minimal 2000 cc/hari.

R/: Membantu mengencerkan sekret, meningkatkan mobilisasi sekret sebagai ekspektoran.

8)       Lakukan pengukuran kapasitas vital, volume tidal dan kekuatan pernapasan.

R/: Menentukan fungsi otot-otot pernapasan. Pengkajian terus menerus untuk mendeteksi adanya kegagalan pernapasan.

9)       Pantau analisa gas darah.

R/: Untuk mengetahui adanya kelainan fungsi pertukaran gas sebagai contoh : hiperventilasi PaO2 rendah dan PaCO2 meningkat.

10)   Berikan oksigen dengan cara yang tepat : metode dipilih sesuai dengan keadaan isufisiensi pernapasan.

R/: Membentu pasien dalam bernafas.

11)   Lakukan fisioterapi nafas.

R/: Mencegah sekret tertahan

               (Brunner & suddarth, 2002: 2392-2393).

2.  Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelumpuhan.

Tujuan perawatan : Selama perawatan gangguan mobilisasi bisa diminimalisasi sampai cedera diatasi dengan pembedahan.

Kriteria hasil             : Tidak ada kontrakstur, kekuatan otot meningkat, pasien mampu beraktifitas kembali secara bertahap.

Intervensi :

1)       Kaji secara teratur fungsi motorik.

R/: Mengevaluasi keadaan secara umum.

2)       Lakukan log rolling.

R/: Membantu ROM secara pasif

3)       Pertahankan sendi 90 derajad terhadap papan kaki.

R/: Mencegah footdrop

4)       Ukur tekanan darah sebelum dan sesudah log rolling.

R/: Mengetahui adanya hipotensi ortostatik

5)       Inspeksi kulit setiap hari.

R/: Gangguan sirkulasi dan hilangnya sensai resiko tinggi kerusakan integritas kulit.

6)       Berikan relaksan otot sesuai pesanan seperti diazepam.

R/: Berguna untuk membatasi dan mengurangi nyeri yang berhubungan dengan spastisitas.

           (Brunner & suddarth, 2002: 2394).

3. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya cedera

Tujuan keperawatan : Rasa nyaman terpenuhi setelah diberikan perawatan dan pengobatan

Kriteria hasil : Melaporkan rasa nyerinya berkurang

Intervensi:

1)       Kaji terhadap nyeri dengan skala 0-5. Rasional.

R/: Pasien melaporkan nyeri biasanya diatas tingkat cedera.

2)       Bantu pasien dalam identifikasi faktor pencetus.

R/: Nyeri dipengaruhi oleh; kecemasan, ketegangan, suhu, distensi kandung kemih dan  berbaring lama.

3)       Berikan tindakan kenyamanan.

R/: memberikan rasa nayaman dengan cara membantu mengontrol nyeri.

4)       Dorong pasien menggunakan tehnik relaksasi.

R/: Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol.

5)       Berikan obat antinyeri sesuai pesanan.

R/: Untuk menghilangkan nyeri otot atau untuk menghilangkan kecemasan dan meningkatkan istirahat.

(Brunner & suddarth, 2002: 2394).

4. Gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungan dengan gangguan persarafan pada usus dan rectum

          Tujuan perawatan : Pasien tidak menunjukkan adanya gangguan eliminasi alvi/konstipasi

           Kriteria hasil : Pasien bisa b.a.b secara teratur sehari 1 kali

           Intervensi:

1)       Auskultasi bising usus, catat lokasi dan karakteristiknya.

R/: Bising usus mungkin tidak ada selama syok spinal.

2)       Catat adanya keluhan mual dan ingin muntah, pasang NGT.

R/: Pendarahan gantrointentinal dan lambung mungkin terjadi akibat trauma dan stress.

3)       Berikan diet seimbang TKTP cair

R/: Meningkatkan konsistensi feces

4)       Berikan obat pencahar sesuai pesanan.

R/: Merangsang kerja usus

(Brunner & suddarth, 2002: 2395).

5.      Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syarat perkemihan.

Tujuan perawatan : Pola eliminasi kembali normal selama perawatan

Kriteria hasil : Produksi urine 50 cc/jam, keluhan eliminasi uirine tidak ada

Intervensi :

1)       Kaji pola berkemih, dan catat produksi urine tiap jam.

R/: Mengetahui fungsi ginjal

2)       Palpasi

R/: Kemungkinan adanya distensi kandung kemih.

3)       Anjurkan pasien untuk minum 2000 cc/hari.

R/: membantu mempertahankan fungsi ginjal.

4)       Pasang dower kateter.

R/: Membantu proses pengeluaran urine

(Brunner & suddarth, 2002: 2395).

L.     Implementasi Keperawatan

Pelaksanaan keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Ada tiga fase dalam tindakan keperawatan, yaitu :

1. Fase Persiapan

Meliputi pengetahuan tentang rencana, validasi rencana, pengetahuan dan keterampilan menginterpretasikan rencana, persiapan klien dan lingkungan.

2. Fase Intervensi

Merupakan puncak dari implementasi yang berorientasi pada tujuan dan fokus pada pengumpulan data yang berhubungan dengan reaksi klien termasuk reaksi fisik, psikologis, sosial dan spiritual. Tindakan keperawatan dibedakan berdasarkan kewenangan dan tanggung jawab secara professional, yaitu :

a.    Secara Mandiri (Independen)

Adalah tindakan yang diprakarsai sendiri oleh perawat untuk membantu pasien dalam mengatasi masalahnya atau menanggapi reaksi karena adanya stressor (penyakit), misalnya :

1) Membantu klien dalam melakukan kegiatan sehari – hari

 2)  Melakukan perawatan kulit untuk mencegah dekubitus

 3) Memberikan dorongan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya secara wajar.

 4)  Menciptakan lingkungan terapeutik

 b. Saling ketergantungan/ kolaborasi (Interdependen)

Adalah tindakan keperawatan atas dasar kerja sama sesama tim perawatan atau kesehatan lainnya seperti dokter, fisiotherapy, analisis kesehatan, dsb.

c. Rujukan/ Ketergantungan

Adalah tindakan keperawatan atas dasar rujukan dari profesi lain diantaranya dokter, psikologis, psikiater, ahli gizi, fisiotherapi, dsb.

Pada penatalaksanaanya tindakan keperawatan dilakukan secara :

1). Langsung : Ditangani sendiri oleh perawat

2). Delegasi : Diserahkan kepada orang lain/ perawat lain yang dapat dipercaya

3. Fase Dokumentasi

Merupakan terminasi antara perawat dan klien. Setelah implementasi dilakukan dokumentasi terhadap implementasi yang dilakukan. Ada tiga sistem pencatatan yang digunakan :

a. Sources Oriented Record

b. Problem Oriented Record

c. Computer Assisted Record

         (Deonges, 2000:643-644)

M.   Evaluasi Keperawatan

Adalah mengukur keberhasilan dari rencana dan pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilakukan dalam memenuhi kebutuhan klien. Teknik penilaian yang didapat dari beberapa cara, yaitu :

1. Wawancara : Dilakukan pada klien dan keluarga

2. Pengamatan : Pengamatan klien terhadap sikap, pelaksanaan, hasil yang dicapai dan perubahan tingkah laku klien.

Jenis evaluasi ada dua macam, yaitu :

a. Evaluasi Formatif

Evaluasi yang dilakukan pada saat memberikan intervensi dengan respon segera.

b. Evaluasi Sumatif

Merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisis status pasien pada saat tertentu berdasarkan tujuan rekapitulasi dari hasil yang direncanakan pada tahap perencanaan. Ada tiga alternatif yang dapat dipergunakan oleh perawat dalam memutuskan/ menilai :

1) Tujuan tercapai : Jika klien menunjukkan perubahan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

2) Tujuan tercapai sebagian : Jika klien menunjukkan perubahan sebagian dari standar dan kriteria yang telah ditetapkan.

3) Tujuan tidak tercapai : Jika klien tidak menunjukkan perubahan dan kemajuan sama sekali dan akan timbul masalah baru.

(Deonges,2000: 635)

Daftar Pustaka

·         Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta

·         Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6, EGC, Jakarta

·         Doenges at al (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3, EGC, Jakarta

·         Herman Santoso, dr., SpBO (2000), Diagnosis dan Terapi Kelainan Sistem Muskuloskeletal, Diktat Kuliah PSIK, tidak dipublikasikan.