Anestesi Umum Pada Hipertensi

43
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat serta karuniaNya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Anestesi Umum pada Pasien Ca mamae sinistra dengan Hipertensi”. Dalam menyelesaikan laporan kasus ini, kami mendapat bantuan dan bimbingan, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. dr. Guntur, Sp.An dan sebagai pembimbing yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu dan menjalani Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soeselo, Slawi. 2. Staf dan paramedis yang bertugas di Kamar Operasi Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soeselo Slawi, khususnya kepada seluruh penata anestesi yang telah membantu selama kami menjalankan kepaniteraan. Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh karena kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Penulis berharap laporan khusus ini dapat memberikan manfaat yaitu menambah ilmu pengetahuan bagi seluruh pembaca, khususnya untuk mahasiswa kedokteran dan masyarakat pada umumnya. Slawi, Januari 2015 1

description

ga

Transcript of Anestesi Umum Pada Hipertensi

Page 1: Anestesi Umum Pada Hipertensi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala

limpahan rahmat serta karuniaNya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan

kasus dengan judul “Anestesi Umum pada Pasien Ca mamae sinistra dengan

Hipertensi”. Dalam menyelesaikan laporan kasus ini, kami mendapat bantuan dan

bimbingan, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. dr. Guntur, Sp.An dan sebagai pembimbing yang telah memberikan kesempatan

kepada penulis untuk menimba ilmu dan menjalani Kepaniteraan Klinik Ilmu

Anestesi di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soeselo, Slawi.

2. Staf dan paramedis yang bertugas di Kamar Operasi Rumah Sakit Umum Daerah

dr. Soeselo Slawi, khususnya kepada seluruh penata anestesi yang telah membantu

selama kami menjalankan kepaniteraan.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih memiliki banyak

kekurangan, oleh karena kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Penulis

berharap laporan khusus ini dapat memberikan manfaat yaitu menambah ilmu

pengetahuan bagi seluruh pembaca, khususnya untuk mahasiswa kedokteran dan

masyarakat pada umumnya.

Slawi, Januari 2015

Penulis

1

Page 2: Anestesi Umum Pada Hipertensi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1

DAFTAR ISI 2

BAB I PENDAHULUAN 3

BAB II LAPORAN KASUS 3

I. IDENTITAS PASIEN 3

II. ANAMNESIS 3

III. PEMERIKSAAN FISIK 4

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG 5

V. PENATALAKSANAAN 6

VI. RESUME 6

VII. ASSESSMENT 5

VIII. PENATALAKSANAAN 3

BAB II ANALISA KASUS 9

BAB III TINJAUAN PUSTAKA 12

DAFTAR PUSTAKA 40

2

Page 3: Anestesi Umum Pada Hipertensi

LAPORAN KASUS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI

RUMAH SAKIT UMUM DR. SOESELO SLAWI

---------------------------------------------------------------------------------------

IDENTITAS PASIEN

Nama :

Umur : 43 Tahun

Alamat : Jatinegara

Jenis Kelamin

Status Perkawinan : Menikah

Pekerjaan : Wiraswasta.

Agama : Islam

No.CM : 171099

I. ANAMNESIS

1. Keluhan Utama

Benjolan pada lipatan paha kiri sejak 3 hari yang lalu.

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang pada sabtu tanggal 4 oktober 2014 ke Poli Bedah Rumah Sakit

Umum Daerah dr. Soeselo Slawi dengan benjolan pada lipat paha kiri sejak 3 hari

yang lalu. Benjolan telah dirasakan oleh pasien sejak 15 tahun yang lalu. Mula – mula

benjolan hanya sebesar bola pingpong dengan konsistensi lunak dan dapat

digerakkan. Pasien mengaku pada saat itu benjolan tidak terasa sakit dan masih dapat

dimasukkan. Benjolan akan muncul saat pasien sedang mengangkat barang – barang

berat atau batuk lama namun saat berbaring benjolan tidak dirasakan lagi. Benjolan

lama kelamaan dirasakan pasien membesar dan mulai terasa sakit. Pasien

mengeluhkan terasa sakit saat pasien batuk dan mengejan. Pasien menyangkal adanya

demam dan mual muntah. Buang air kecil dan buang air besar lancar. Pasien

menyangkal ada batuk lama sebelumnya.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

3

Page 4: Anestesi Umum Pada Hipertensi

Pasien mengaku tidak pernah mengalami hal ini sebelumnya. Pasien memiliki

riwayat dispepsia. Hipertensi tidak terkontrol . Diabetes Mellitus disangkal. Pasien

menyangkal pernah operasi sebelumnya.

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama. Riwayat kencing manis,

hipertensi dan keganasan dalam keluarga disangkal.

5. Riwayat Kebiasaan

Pasien merokok sejak masih muda selama 33 tahun dan pasien mampu

menghabiskan 2 bungkus rokok sehari. duduk di sekolah menengah pertama.

II. PEMERIKSAAN FISIK

STATUS GENERALIS

Keadaan Umum

Kesan sakit : Tampak Sakit Sedang

Kesadaran : Compos Mentis

Tanda Vital

Tekanan Darah : 160/100mmHg

Nadi : 96x/menit, reguler

Suhu : 36C

Pernapasan : 20x/menit

Kepala : bentuk normochepali, rambut hitam, distribusi merata dan

tidak mudah dicabut

Wajah : Simetris, Pucat (-), Sianosis(-) dan Ikterik (-)

Mata : Conjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-

Hidung : Bentuk normal, deviasi septum (-), sekret -/-, hiperemis

mukosa -/-

Telinga : tidak ada kelainan

Mulut : sianosis (-), lidah tidak kotor

Leher : KGB serta kelenjar tyroid tidak teraba membesar.

Thoraks : Paru : suara nafas vesikuler +/+, rh -/-, wh -/-

Jantung : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

Ekstremitas : Simetris, tidak sianosis, pitting oedem -/-, akral hangat.

Abdomen

4

Page 5: Anestesi Umum Pada Hipertensi

Inspeksi : Simetris, perut buncit, efloresensi (-), spider nevi (-).

Auskultasi : Bising usus normal.

Palpasi : supel, defans muscular (-), smiling umbilicus (-), dilatasi

pembuluh darah(-)

Perkusi : Timpani.

STATUS LOKALIS

Regio Genitalia

Inspeksi : tampak ada benjolan pada paha sinistra, ukuran sebesar buah

salak , bentuk benjolan lonjung.

Palpasi : konsistensi benjolan lunak, permukaan benjolan rata, benjolan

tidak dapat ditekan masuk ke arah perut, benjolan dapat digerakkan, nyeri tekan

(-), teraba hangat

Auskultasi : bising usus (+).

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. LABORATORIUM

Hematologi

Leukosit 10.4 103/uL

Eritrosit 5.6 106/uL

Hemoglobin 16.2 %

Trombosit 280 103/uL

APTT 28.0 detik

PT 11.1 detik

Golongan darah O

Rhesus factor Positif

Gula darah sewaktu 103

Ureum 47.5

Kreatinin 0.86

Albumin 3.05

SGOT 13

SGPT 6

IV. ASSESSMENT

5

Page 6: Anestesi Umum Pada Hipertensi

Tn. Sohidin, 43 tahun dengan diagnosis Hernia Inguinalis Lateralis Reponible

Sinistra , dengan vital sign tekanan darah 160/100 mmHg dan yang lain dalam

batas normal. Laboratorium: leukosit 10.4 103/uL, Eritrosit 5.6 106/uL, Hb

16.2 %, APTT test 28.8 detik dan PT test 11.1, gula darah sewaktu 103,

ureum 47.5, kreatinin 0.86 SGPT 6 dan SGOT 13. Radiologi tidak ada

kelainan. Status ASA II dengan riwayat hipertensi (+) tidak terkontrol. Akan

dilakukan spinal anestesi.

V PENATALAKSANAAN

1. Persiapan operasi

a. Persetujuan operasi tertulis (informed consent) ( + )

b. Puasa 6-8 jam (+)

c. Oksigenasi 3 L/ menit

d. Pemasangan IV line memakai abocath nomor 20 dan tranfusi set

dengan Ringer laktat

e. Pemasangan kateter urin dan disambungkan dengan urine bag

2. Jenis anestesi : Anestesi regional

3. Teknik anestesi : Spinal anestesi, L3-L4, LCS (+)

4. Premedikasi : Ondancetron 4 mg/2 ml, fortanest 40 mg

5. Induksi : Bupivacaine HCl 5mg/ml; 3ml

6. Maintenance : Oksigen 3L/menit

7. Monitoring : Tanda vital selama operasi berlangsung setiap 5 menit,

cairan,

dan perdarahan

8. Pengawasan pasca anestesi di ruang pulih sadar

MONITORING

JAM TD HR SpO2 Keterangan

09.00 180/95 mmHg 100 x/menit 100 % Ondancentron 4 mg

09.05 160/80 mmHg 90x/menit 100% Bupivacaine HCl 5mg/ml à3 ml

Mulai operasi

09.10 140/85 mmHg 86 x/menit 99% Mulai operasi

6

Page 7: Anestesi Umum Pada Hipertensi

09.15 136/80 mmHg 96 x/menit 99 %

09.20 125/62 mmHg 104 x/menit 100 % RL 500cc

09.25 120/57 mmHg 104 x/menit 99 %

09.30 115/56 mmHg 100 x/menit 99 %

09.35 113/63 mmHg 104 x/menit 99%

09.40 118/71 mmHg 100 x/menit 99% • RL 500 cc

09.45 125/68 mmHg 100 x/menit 100%

09.50 130/72 mmHg 104 x/menit 100% Ketorolac 30 mg

09.55 136/80 mmHg 104x/menit 99% Operasi Selesai

10.00 138/80 mmHg 104x/menit 100% • RR

• Nilai Aldrete’s score

10.05 • Pasien dipindahkan ke

bangsal

10.10 • BU (+)

POST OPERASI: TD : 138/80 mmHg

N : 100 x/menit

RR : 20 x/menit

Aldrete’s score: 9

Instruksi post operasi :

• Infus RL 20 tpm

• Medikamentosa:

- Injeksi Ceftriaxon 1x2gr

- Injeksi Ketorolac 3x30 mg

- Injeksi Ranitidin 2x50 mg

- Awasi TV 24 jam

Bila sadar penuh, mual muntah (-), pusing (-), BU (+) à diet biasa bertahap

7

Page 8: Anestesi Umum Pada Hipertensi

BAB II

ANALISIS KASUS

Pasien seorang anak laki – laki berusia 15 tahun datang ke poli THT RSUD

Karawang dengan kesadaran compos mentis, keadaan umum tampak sakit ringan,

megeluh sakit pada lengan atas kanan. Tekanan darahnya, nafas, suhu dan nadinya

dalam batas normal. Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik, terdapat kemerahan,

bengkak serta adanya detritus pada tonsil kanan dan kiri pasien. Dari pemeriksaan

laboratorium tidak terdapat kelainan apapun.

Pasien dianjurkan untuk menjalani operasi, ijin operasi didapatkan dari pasien

dan disetujui oleh dokter spesialis anestesi. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang, disimpulkan bahwa pasien termasuk ASA I. Menjelang

operasi, pasien tampak sakit ringan, tenang, tekanan darahnya, nadi, nafas, dan

suhunya dalam batas normal.

Operasi dilakukan pada tanggal 12 November 2014 pukul 10.00 sedangkan

anestesi dimulai pada pukul 09.30 di RSUD dr. Soeselo kabupaten Tegal dengan

memberikan obat premedikasi fentanyl 50 mg, midazolam 5mg, roculax selanjutnya

obat medikasi profopol 70 mg, asam traneksamat 650mg, ondancentron 4 mg &

ketorolac 30mg serta diberikan anestesi inhalasi berupa campuran N20 2 l/ menit & O2

2 l/m serta sevoflurant 2 vol%. Dilakukan pemasangan ET nomor 7 dengan bantuan

laringoskop.

Phetidin, dosis premedikasi dewasa 50 – 70 mg (1 – 1,5 mg/kgBB) intravena

diberikan untuk menekan tekanan darah dan pernafasan serta merangsang otot polos.

Dosis induksi 1 – 2 mg/ kgBB intravena.

Untuk medikasi diberikan Propofol merupakan derivate fenol yang banyak

digunakan sebagai anastesi intravena dan lebih dikenal dengan nama dagang dripivan.

Dosis sedasinya 2 – 3 mg/kgBB. Sebaiknya menyuntikkan obat anastesi ini pada vena

besar karena dapat menimbulkan nyeri.

. Asam traneksamat adalah obat antifibrinolitik yang menghambat

pemutusan benang fibrin. Asam traneksamat digunakan untuk profilaksis dan

pengobatan pendarahan. Dosis injeksi intravena perlahan : 0.5 -1 g atau 10

mg/kgBB.

8

Page 9: Anestesi Umum Pada Hipertensi

Ondansetron adalah antagonis reseptor 5HT yang poten dan selektif yang

berfungsi untuk mencegah mual dan muntah pasca bedah 4 mg/i.m. sebagai dosis

tunggal atau injeksi i.v. secara perlahan.

Efek analgetik ketorolac sama baiknya dengan morfin dengan dosis yang

sebanding, tanpa takut terjadinya depresi pemapasan. Hal inilah salah satu sebab

dipilihnya ketorolac sebagai analgetik pasca operasi Ketorolac juga bersifat anti

inflamasi sedang. Dosis awal Ketorolac yang dianjurkan adalah 10 mg diikuti dengan

10–30 mg tiap 4 sampai 6 jam bila diperlukan.

Isofluran merupakan eter berhalogen berbau tajam dan mudah terbakar.

Keuntungan isofluran adalah irama jantung stabil dan tidak terangsang oleh adrenalin

serta induksi dan masa pulih anestesi cepat. Namun harga obat ini mahal. Dosis

induksi 3 – 3,5 % dalam oksigen atau campuran N2 dan O2.

Terapi Cairan Intra operatif

Kebutuhan cairan basal (BB=65kg)

4 x 10kg = 40

2 x 10kg = 20

1 x 45kg = 45

----------+

105ml/jam

Kebutuhan cairan intraoperasi (operasi besar)

8 x 65kg = 520ml/jam

Kebutuhan cairan saat puasa dari pukul 02.00 – 10.00 (8jam)

8 x 105ml/jam = 840ml

Di ruangan sudah diberi cairan 500ml

Jadi kebutuhan cairan puasa sekarang = 840 – 500 = 340ml

Pemberian cairan pada jam pertama operasi

: Kebutuhan basal + kebutuhan intraoperasi + 50% x kebutuhan cairan puasa

: 105 + 520 + 170 = 795 ml

Pemberian cairan pada jam kedua operasi

: Kebutuhan basal + kebutuhan intraoperasi + 25% x kebutuhan cairan puasa

: 105 + 520 + 85 = 710 ml

Kebutuhan cairan selama operasi : ( 2 Jam )

Jam I + Jam II = 795 ml + 710 ml

9

Page 10: Anestesi Umum Pada Hipertensi

= 1505 ml

Cairan yang masuk selama operasi (2 Jam 30 menit)

± 1600 cc Ringer Laktat

Allowed Blood Loss

20 % x EBV = 20 % x (75 x 65) = 975 ml

Jumlah cairan keluar = 500 ml

Maka tidak perlu dilakukan transfusi darah, namun cukup diberikan cairan kristaloid

sebanyak 1560 ml atau koloid sebanyak 520 ml

Kebutuhan cairan selama operasi + cairan yang harus diberikan sebagai pengganti

perdarahan = 1710 ml + 1560 ml = 3270 ml.

Cairan yang harus diganti di ruang pemulihan (kristaloid)

= 3270 ml – 3100 ml = 170 ml

Selama puasa dan operasi pasien telah diberikan cairan RL 500cc sebanyak 3

kali maka total terapi cairan yang paisen dapat adalah 1500 cc, maka terapi

cairan pasien terpenuhi.

BAB III

10

Page 11: Anestesi Umum Pada Hipertensi

TINJAUAN PUSTAKA

ANESTESI PADA HIPERTENSI

Diagnosis dan Klasifikasi Hipertensi

Diagnosis suatu keadaan hipertensi dapat ditegakkan bila ditemukan adanya

peningkatan tekanan arteri diatas nilai normal yang diperkenankan

berdasarkan umur, jenis kelamin dan ras. Batas atas tekanan darah normal yang

diijinkan adalah sebagai berikut :

Dewasa 140/90 mmHg

Dewasa muda (remaja) 100/75 mmHg

Anak usia prasekolah 85/55 mmHg

Anak < 1 tahun (infant) 70/45 mmHg

M e n u r u t T h e J o i n t N a t i o n a l C o m m i t t e e 7 ( J N C 7 ) o n

p r e v e n t i o n , d e t e c t i o n , evaluation, and treatment of high blood

pressure tahun 2003, klasifikasi hipertensi dibagi atas prehipertensi, hipertensi

derajat 1 dan 2 (lihat tabel 1)

Tabel 1. Klasifikasi hipertensi menurut JNC 7.

11

Page 12: Anestesi Umum Pada Hipertensi

Klas i f i ka s i d i a t a s un tuk dewasa 18 t ahun ke a t a s . Has i l

pengukuran TD dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk posisi dan

waktu pengukuran, emosi, a k t i v i t a s , o b a t y a n g s e d a n g

d i k o n s u m s i d a n t e k n i k p e n g u k u r a n T D . K r i t e r i a ditetapkan

setelah dilakukan 2 atau lebih pengukuran TD dari setiap kunjungan dan adanya

riwayat peningkatan TD darah sebelumnya. Penderita dengan klasifikasi

prehipertensi mempunyai progresivitas yang meningkat untuk menjadi

hipertensi. Nilai rentang TD antara 130-139/80-89 mmHg mempunyai risiko 2 kali

berkembang menjadi hipertensi dibandingkan dengan nilai TD yang lebih rendah dari

nilai itu.

Pertimbangan Anestesia Penderita Hipertensi

Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau

tekanan  darah diastolik > 90 mmHg .1 Hipertensi yang sudah ada dapat menyebabkan

berbagai tanggapan kardiovaskular yang berpotensi meningkatkan resiko

pembedahan, termasuk disfungsi diastolik dari hipertrofi ventrikel kiri, disfungsi

sistolik menyebabkan gagal jantung kongestif, kerusakan ginjal, dan otak dan

penyakit occlusive koroner. Tingkat risiko tergantung pada tingkat keparahan

hipertensi.2 Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan

menjalani prosedur pembedahan, harus mencakup empat hal dasar yang harus dicari,

yaitu jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensinya, penilaian

ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah terjadi, penilaian yang

akurat tentang status volume cairan tubuh penderita dan penentuan kelayakan

penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi, untuk prosedur pembedahan

yang memerlukan teknik hipotensi.3 Selama operasi, pasien dengan dan tanpa

hipertensi memiliki kemungkinan untuk terjadinya peningkatan tekanan darah dan

tachycardia selama induksi anestesi. Prediktor umum hipertensi perioperatif adalah

memiliki riwayat hipertensi sebelumnya, terutama tekanan darah diastolik lebih besar

dari 110 mm Hg. Sedangkan prinsip umum dalam pemberian anestesi pada pasien

hipertensi adalah menjaga stabilitas kardiovaskular selama anestesi dan periode

perioperatif. Pasien dengan hipertensi memiliki resiko perubahan tekanan darah lebih

besar daripada populasi normal dan telah terbukti bahwa ketidakstabilan tekanan

darah dapat dikaitkan dengan morbiditas kardiovaskular dan peningkatan  kematian

pasca operasi, terutama pada pasien dengan hipertensi berat yang  tidak terkontrol.

12

Page 13: Anestesi Umum Pada Hipertensi

Pasien yang memiliki hipertensi, membutuhkan tekanan darah yang lebih tinggi untuk

perfusi organ yang memadai daripada pasien dengan normotensi (terutama  pada

orang tua).  Menghindari hipotensi (dan normotension pada pasien yang biasanya

memiliki angka tekanan darah yang tinggi dalam kesehariannya), dapat mencegah

komplikasi akibat perfusi yang kurang, terutama untuk mengontrol hemodinamik.

Hipertensi pasca operasi yang didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥ 190 mm

Hg dan / atau diastolik 100 mm Hg di dua pembacaan berturut-turut setelah operasi,

mungkin memiliki gejala sisa yang secara signifikan merugikan pada kedua jantung

dan noncardiac pasien. Hipertensi, dan krisis hipertensi, sangat umum  pada periode

pascaoperasi awal dan terkait dengan tonus simpatik yang meningkat dan resistensi

pembuluh darah. Hipertensi pascaoperasi sering dimulai sekitar 10-20 menit setelah

operasi dan dapat berlangsung sampai 4 jam. Jika tidak diobati, pasien akan

meningkatkan risiko untuk pendarahan, peristiwa serebrovaskular, dan infark

miokard.4

Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif adalah

sama pen t i ngnya dengan pengon t ro l an h ipe r t ens i pada pe r i ode

p r eope ra t i f . Pada hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran kekanan

autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini

akan mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika TD

diturunkan secara tiba-tiba. Terapi  j a n g k a p a n j a n g d e n g a n o b a t

a n t i h i p e r t e n s i a k a n m e n g g e s e r k e m b a l i k u r v a a u t r e g u l a s i

k e k i r i k e m b a l i k e n o r m a l .

Hipertensi Intraoperatif

Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga

pada periode anestesia maupun saat pasca bedah. Hipertensi intraoperatif

yang tidak berespon dengan didalamkannya anestesia dapat diatasi dengan

antihipertensi secara parenteral, namun faktor penyebab bersifat reversibel atau bisa

diatasi seperti anestesia yang kurang dalam, hipoksemia atau hiperkapnea

harus disingkirkan terlebih dahulu.

Manajemen Post Operatif

Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada pasien

yang mende r i t a h ipe r t ens i e s ens i a l . H ipe r t ens i dapa t

13

Page 14: Anestesi Umum Pada Hipertensi

meningka tkan kebu tuhan oks igen mioka rd s eh ingga be rpo t ens i

menyebabkan i skemia mioka rd , d i s r i tm ia  jantung dan CHF.

Disamping itu bisa juga menyebabkan stroke dan perdarahan u l ang l uka

ope ra s i ak iba t t e r j ad inya d i s rups i va sku l e r dan dapa t

be rkons t r i bus i m e n y e b a b k a n h e m a t o m a p a d a d a e r a h l u k a

o p e r a s i s e h i n g g a m e n g h a m b a t penyembuhan luka operasi.

Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi ada banyak faktor, disamping

secara primer karena penyakit hipertensinya yang tidak teratasi dengan

baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem respirasi, nyeri, ove r l oad

ca i r an a t au d i s t ens i da r i kandung kemih . Sebe lum d ipu tu skan

un tuk memberikan obat-obat antihipertensi, penyebab-penyebab sekunder tersebut

harus d iko reks i du lu .

Nye r i me rupakan s a l ah s a tu f ak to r yang pa l i ng be rkons t r i bus i

menyebabkan hipertensi pasca operasi, sehingga untuk pasien yang berisiko, nyeri

sebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan morfin epidural secara infuse

kon t i nyu . Apab i l a h ipe r t ens i mas ih ada mesk ipun nye r i sudah

t e r a t a s i , maka i n t e rvens i s eca r a f a rmako log i ha rus s ege ra

d i l akukan dan pe r l u d i i nga t bahwa meskipun pasca operasi TD

kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya sudah mempunyai riwayat

hipertensi, sebaiknya obat antihipertensi pasca bedah tetap diberikan.

Hipertensi pasca operasi sebaiknya diterapi dengan obat antihipertensi secara

parenteral misalnya dengan beta blocker yang terutama digunakan untuk

menga t a s i h ipe r t ens i dan t ak ika rd i a yang t e r j ad i . Apab i l a

penyebabnya ka rena overload cairan, bisa diberikan diuretika furosemid dan

apabila hipertensinya disertai dengan heart failure sebaiknya diberikan ACE-

inhibitor. Pasien dengan iskemia m i o k a r d y a n g a k t i f s e c a r a

l a n g s u n g m a u p u n t i d a k l a n g s u n g d a p a t d i b e r i k a n nitrogliserin

dan beta-blocker secara intravena sedangkan untuk hipertensi

beratsebaiknya segera diberikan sodium nitroprusside. Apabila penderita

sudah bias m a k a n d a n m i n u m s e c a r a o r a l s e b a i k n y a

a n t i h i p e r t e n s i s e c a r a o r a l s e g e r a dimulai.

14

Page 15: Anestesi Umum Pada Hipertensi

PEMBAHASAN ANESTESI UMUM

Anestesi umum adalah menghilangkan nyeri secara sentral disertai dengan

hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Anestesi memungkinkan

pasien untuk mentoleransi prosedur bedah yang akan menimbulkan sakit yang tak

tertahankan, mempotensiasi eksaserbasi fisiologis yang ekstrim, dan menghasilkan

kenangan yang tidak menyenangkan.

Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:

1. Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran

2. Analgesia: hilangnya respon terhadap nyeri

3. Muscle relaxant: relaksasi otot rangka

Faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi antara lain:

1. Faktor Respirasi

Pada setiap inspirasi, sejumlah zat anestesi akan masuk ke dalam paru-paru

(alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan parsial tertentu. Bila

tekanan parsial dalam alveolus lebih tinggi, maka zat anestesi akan berdifusi

melalui membran alveolus menuju sirkulasi sehingga tekanan parsial dalam

alveolus sama dengan tekanan parsial dalam sirkulasi. Hal-hal yang

mempengaruhi hal tersebut adalah:

a. Konsentrasi zat anestesi yang dihirup; makin tinggi konsentrasinya,

makin cepat naik tekanan parsial zat anestesi dalam alveolus.

b. Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat

meningginya tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada

hipoventilasi

2. Faktor Sirkulasi

a. Aliran darah paru dan cardiac output menentukan pengangkutan gas

anestesi dari paru ke jaringan dan sebaliknya. Bila terjadi gangguan

maka makin sedikit obat anestesi yang dapat diangkut.

15

Page 16: Anestesi Umum Pada Hipertensi

b. Blood gas partition coefisien adalah rasio konsentrasi zat anestesi

dalam darah dan dalam gas bila keduanya dalam keadaan seimbang.

Bila kelarutan zat anestesi dalam darah tinggi (BG koefisien tinggi),

maka obat yang berdifusi cepat larut dalam darah. Bila BG koefisien

rendah, maka cepat terjadi keseimbangan antara alveoli dan sirkulasi

darah, akibatnya penderita mudah tertidur saat induksi dan mudah

terbangun saat anestesi diakhiri.

3. Faktor Jaringan

a. Perbedaan tekanan parsial obat anestesi antara sirkulasi darah arteri

dan jaringan.

b. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat

anestesi, kecuali halotan.

c. Kecepatan metabolism obat.

d. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:

- Jaringan kaya pembuluh darah: otak, jantung, hepar, ginjal.

Organ-organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga

tekanan parsial zat anestesi meningkat dengan cepat dalam

organ-organ ini. Otak menerima 14% curah jantung.

- Kelompok intermediate: otot skelet dan kulit.

- Lemak: jaringan lemak.

- Jaringan sedikit pembuluh darah: relatif tidak ada aliran darah

yaitu ligament dan tendon.

4. Faktor Obat Anestesi

Setiap obat anestesi mempunyai potensial yang berbeda. Untuk mengukur

potensi obat anestesi digunakan Minimal Alveolar Concentration (MAC).

MAC adalah konsentasi obat anestesi inhalasi dalam alveolus yang dapat

mencegah respon nyeri pada 50% individu. Makin rendah MAC makin tinggi

potensi obat anestesi tersebut.

TAHAPAN TINDAKAN ANESTESI UMUM

16

Page 17: Anestesi Umum Pada Hipertensi

I. Penilaian dan persiapan pra anestesi

Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan kunjungan pasien terlebih dahulu

sehingga pada waktu pasien dibedah, pasien dalam keadaan bugar. Tujuan dari

kunjungan tersebut adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi,

mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.

a. Penilaian pra bedah

Anamnesis

Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya

sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu

mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot,

gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang

anestesi berikutnya dengan lebih baik. Beberapa peneliti menganjurkan

obat yang mungkin bisa menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya

jangan digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam

waktu tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan

juga jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari

sebelumnya

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat

penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi

intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi

intubasi. Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum tentu

tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi

semua sistem organ tubuh pasien

Pemeriksaan Laboratorium

Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan

penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi

pemeriksaan darah (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan)

dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan

EKG dan foto thoraks.

Klasifikasi status fisik

17

Page 18: Anestesi Umum Pada Hipertensi

Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang

adalah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists

(ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat perkiraan resiko anestesi, karena

dampak samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari dampak samping

pembedahan.

Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.

Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang

Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas

rutin terbatas

Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat

melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman

kehidupannya setiap saat

Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa

pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam

Masukan oral

Refleks laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi

lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko

utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan

risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif

dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama

periode tertentu sebelum induksi.

Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada

bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi

anestesi. Minuman bening, air putih teh manis sampai 3 jam dan untuk

keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam

sebelum induksi anestesi.

b. Premedikasi

Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya adalah dilakukan

premedikasi, yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesi diberi dengan

tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi

diantaranya:

18

Page 19: Anestesi Umum Pada Hipertensi

1) Menimbulkan rasa nyaman pada pasien

2) Menghilangkan rasa khawatir

3) Memberikan ketenangan

4) Mengurangi rasa sakit

5) Mencegah mual dan muntah

6) Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan

7) Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung

Waktu dan cara pemberian premedikasi:

Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam1 jam, secara

intramuscular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus yang sangat

darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti obat-obat dapat

diberikan secara intravena. Obat akan sangat efektif sebelum induksi. Bila

pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan pemberian

premedikasi intramuscular, subkutan tidak dianjurkan. Semua obat

premedikasi bila diberikan secara intravena dapat menyebabkan sedikit

hipotensi kecuali atropine dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan

pemberian secara perlahan-lahan dan diencerkan.

Obat-obat yan g s erin g digunak an :

1. Analgesik narkotik

a. Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB

b. Morfin ( amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB

c. Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3µgr/kgBB

2. Analgesik non narkotik : ponstan, tramol

3. Hipnotik

a. Ketamin ( fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB

b. Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB

4. Sedatif

a. Diazepam/valium/stesolid ( amp 2cc = 10mg), dosis 0,1 mg/kgBB

b. Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis 0,1mg/kgBB

c. Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5 mg/kgBB

d. Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1 mg/kgBB

19

Page 20: Anestesi Umum Pada Hipertensi

5. Anti emetic

a. Sulfas atropine (anti kolinergik) (amp 1 cc = 0,25 mg), dosis 0,001

II. Induksi anestesi

Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar,

sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi dapat

dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal. Setelah pasien

tidur akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan

(maintenance) anestesi sampai tindakan pembedahan selesai.

Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:

S : Scope, stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.

Laringoskop, pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien.

Lampu harus cukup terang.

T : Tube, pipa trakea. pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan >

5 tahun dengan balon (cuffed).

A : Airway, pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-

faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak

sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.

T : Tape, plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.

I : Introducer, mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang

mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.

C : Connector, penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia

S : Suction, penyedot lender, ludah danlain-lainnya.

1. Induksi intravena

Paling banyak dikerjakan dan digemari. Indiksi intravena dikerjakan dengan

hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan

dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan

pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen.

Dikerjakan pada pasien yang kooperatif. Obat-obat induksi intravena:

a. Tiopental (pentotal, tiopenton), amp 500 mg atau 1000 mg

20

Page 21: Anestesi Umum Pada Hipertensi

sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan

2,5% ( 1ml = 25mg). Hanya boleh digunakan untuk intravena dengan

dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60

detik. Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan

menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis,

anestesia atau depresi napas. Tiopental menurunkan aliran darah otak,

tekanan likuor, tekanan intracranial dan diduga dapat melindungi otak

akibat kekurangan O2 . Dosis rendah bersifat anti-analgesi.

b. Propofol (diprivan, recofol)

Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat

isotonic dengan kepekatan 1% (1ml = 1o mg). Suntikan intravena

sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat

diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-

2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesia intravena total 4-12

mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/kg.

Pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan

untuk anak < 3 tahun dan pada wanita hamil.

c. Ketamin (ketalar)

Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia, hipertensi,

hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan mual-

muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Sebelum pemberian

sebaiknya diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau diazepam

(valium) dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi

saliva diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg dan

untuk intramuscular 3-10 mg. ketamin dikemas dalam cairan bening

kepekatan 1% (1ml = 10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml = 100

mg).

d. Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)

Diberikan dosis tinggi. Tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga

banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung.

21

Page 22: Anestesi Umum Pada Hipertensi

Untuk anestesi opioid digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg

dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.

2. Induksi intramuscular

Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara

intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.

3. Induksi inhalasi

a. N2O (nitrous oxide, dinitrogen monoksida) berbentuk gas, tak

berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat

udara. Pemberian harus disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik

lemah, analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi

nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan

sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu cairan anastetik lain

seperti halotan.

b. Halotan (fluotan), sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi,

asalkan anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan

analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring. Kelebihan

dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi

hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi

miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan analgesi lemah,

anestesi kuat. Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga

mininggikan kadar gula darah.

c. Enfluran (etran, aliran), efek depresi napas lebih kuat dibanding

halotan dan enfluran lebih iritatif disbanding halotan. Depresi terhadap

sirkulasi lebih kuat dibanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan

aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibanding halotan.

d. Isofluran (foran, aeran), meninggikan aliran darah otak dan tekanan

intracranial. Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat

dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran

banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung

dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk anestesi teknik

hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.

22

Page 23: Anestesi Umum Pada Hipertensi

e. Desfluran (suprane), sangat mudah menguap. Potensinya rendah

(MAC 6.0%), bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi d dan

hipertensi. Efek depresi napasnya seperti isofluran dan etran.

Merangsang jalan napas atas sehingga tidak digunakan untuk induksi

anestesi.

f. Sevofluran (ultane), waktu induksi dan waktu pulih dari anestesi lebih

cepat dibandingkan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak

merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi

inhalasi disamping halotan.

4. Induksi per rectal

Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau midazolam.

III.Pemeliharaan (maintenance) anestesi

Pada periode ini diberikan obat anestesi dalam dosis tertentu, tergantung jenis

operasinya. Anestesi tidak boleh terlalu dalam karena dapat membahayakan jiwa,

namun tidak boleh terlalu ringan karena pasien bisa saja masih dapat merasakan

nyeri. Hal tersebut akan menimbulkan trauma psikis, selain itu dapat

menyebabkan spasme saluran pernapasan, batuk, muntah, atau gangguan

kardiovaskuler.

Pada fase pemeliharaan juga dapat dipakai obat inhalasi atau intravena. Anestesi

umum dilakukan sampai tingkat kedalaman obat mencapai trias anestesi, yaitu

penderita tidur, analgesik cukup, dan terjadi relaksasi otot.

Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50

µg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup,

sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat

juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse

propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena,

pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi

dengan udara + O2 atau N2O + O2. Rumatan inhalasi biasanya menggunakan

campuran N2O dan O2 dengan perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol%

23

Page 24: Anestesi Umum Pada Hipertensi

atau enfluran 2-4% atau isofluran 2-4vol% atau sevofluran 2-4% bergantung

apakah pasien bernapas spontan, dibantu atau dikendalikan.

Berdasarkan respirasinya, anestesi umum dibedakan menjadi:

- Respirasi spontan, yaitu penderita bernapas sendiri secara spontan

- Respirasi kendali/respirasi terkontrol/balance anestesi: pernapasan

sepenuhnya tergantung bantuan kita

- Respirasi dibantu (assisted respiration): penderita bernapas spontan tapi

masih diberikan sedikit bantuan

Berdasarkan sistem aliran udara pernapasan dalam rangkaian alat anestesi,

anestesi dibedakan menjadi 4 sistem, yaitu:

- Sistem open

Merupakan sistem yang paling sederhana. Disini udara ekspirasi bebas

keluar menuju udara bebas dan tidak ada hubungan fisik secara langsung

antara jalan napas dengan alat anestesi.

- Sistem semi open

Pada sistem ini, obat anestesi dilengkapi dengan reservoir bag, selain itu

ditambah dengan klep 1 arah untuk mengeluarkan udara ekspirasi, klep ini

disebut non-rebreathing valve. Tingkat keborosan dan polusi lebih rendah

disbanding sistem open. Sistem open dan semi open disebut juga sistem

non rebreathing karena tidak boleh ada udara ekspirasi yang dihirup

kembali, serta tidak membutuhkan sodalyme untuk menyaring CO2.

- Sistem semi closed

Udara ekspirasi yang mengandung gas anestesi dan oksigen yang lebih

rendah dibandingkan dengan udara inspirasi, juga mengandung CO2 yang

lebih tinggi. Gas-gas ini dialirkan menuju canester yang mengandung

sodalyme untuk menyaring CO2. Lalu udara ini digabungkan dengan

campuran gas anestesi dan oksigen dari sumber gas (Fresh Gas Flow)

untuk diinspirasi kembali. Kelebihan aliran gas akan dikeluarkan melalui

klep over flow. Karena udara ekspirasi dihirup kembali, maka obat

anestesi dan oksigem dapat dihemat dan polusi juga berkurang.

- Sistem closed

24

Page 25: Anestesi Umum Pada Hipertensi

Prinsipnya sama dengan sistem semi closed, namun disini tidak ada udara

yang keluar menuju udara bebas. Sistem semi closed dan closed disebut

juga sistem rebreathing, karena udara ekspirasi dihirup kembali dan butuh

sodalyme untuk membersihkan CO2.

IV. Pemulihan

Pada akhir operasi, anestesi akan diakhiri dengan menghentikan pemberian obat

anestesi. Pada anestesi inhalasi, bersamaan dengan penghentian obat anestesi

aliran oksigen dinaikkan. Hal ini disebut oksigenasi. Dengan oksigenasi, maka

oksigen akan mengisi tempat yang sebelumnya ditempati oleh obat anestesi

inhalasi di alveoli dan kemudian keluar bersamaan dengan udara ekspirasi.

Tekanan parsial obat anestesi di dalam alveoli akan menurun, sehingga lebih

rendah dibandingkan tekanan parsial obat anestesi di dalam darah. Kemudian

terjadi difusi dari dalam darah menuju alveoli, semakin tinggi perbedaan tekanan

parsial semakain cepat difusi.

TATALAKSANA JALAN NAPAS

Hubungan jalan napas dan dunia luar melalui 2 jalan:

1. Hidung

Menuju nasofaring

2. Mulut

Menuju orofaring

Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum durum dan palatum molle

dan dibagian belakang bersatu di hipofaring. Hipofaring menuju esophagus dan laring

dipisahkan oleh epiglotis menuju ke trakea. Laring terdiri dari tulang rawan tiroid,

krikoid, epiglotis dan sepasang aritenoid, kornikulata dan kuneiform.

A. Manuver tripel jalan napas

Terdiri dari:

1. Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital.

2. Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibular

3. Mulut dibuka

Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas bebas, sehingga gas

atau udara lancar masuk ke trakea lewat hidung atau mulut.

25

Page 26: Anestesi Umum Pada Hipertensi

B. Jalan napas faring

Jika maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan napas mulut- faring

lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau jalan napas lewat hidung (naso- pharyngeal

airway).

C. Sungkup muka

Mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau system anestesi ke jalan napas

pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika digunakan untuk bernapas

spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor dan gas masuk semua ke trakea lewat

mulut atau hidung.

D. Sungkup laring (Laryngeal mask)

Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlubang

dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembang-kempiskan

seperti balon pada pipa trakea. Tangkai LMA dapat berupa pipa kerasdari

polivinil atau lembek dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten.

E. Pipa trakea (endotracheal tube)

Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan

standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat dimasukan melalui mulut (orotracheal

tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube).

F. Laringoskopi dan intubasi

Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop merupakan alat

yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat memasukkan

pipa trakea dengan baik dan benar.

Ind ik asi in tub asi trak ea

Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui

rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara

pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya

digolongkan sebagai berikut:

1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun. Kelainan anatomi, bedah

kasus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan napas, dan lain-

lainnya.

2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi

Kesu li tan in tub asi

26

Page 27: Anestesi Umum Pada Hipertensi

1. Leher pendek berotot

2. Mandibula menonjol

3. Maksila/gigi depan menonjol

4. Uvula tak terlihat

5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas

6. Gerak vertebra servikal terbatas

Ko mp lik asi in tub asi

1. Selama intubasi

a. Trauma gigi geligi

b. Laserasi bibir, gusi, laring

c. Merangsang saraf simpatis

d. Intubasi bronkus

e. Intubasi esophagus

f. Aspirasi

g. Spasme bronkus

2. Setelah ekstubasi

a. Spasme laring

b. Aspirasi

c. Gangguan fonasi

d. Edema glottis-subglotis

e. Infeksi laring, faring, trakea

Ekstubasi

1. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:

a. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan

b. Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi

2. Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah ringan dengan catatan

tak akan terjadi spasme laring.

3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dan

cairan lainnya.

27

Page 28: Anestesi Umum Pada Hipertensi

DAFTAR PUSTAKA

1. Hypertension management. 2009. Available at:

http://www.surgicalcriticalcare.net/Guidelines/Hypertension

%20management%202009.pdf

2.   Kaplan MN., Perioperative management of hypertension.

http://www.uptodate.com

3. Wiryana M., 2008. Manajemen perioperatif pada hipertensi.

http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/6_manajemen%20perioperatif%20pd

%20hipertensi.pdf

4.   Mayell AC. 2006. Hypertension in anaesthesia.

http://www.frca.co.uk/article.aspx?articleid=100656

5. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua.

Jakarta: Bagian anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI: 2010.

6. Brown DL & Wedel DJ. Spinal, Epidural and caudal anesthesia. in: Miller RD.

Editor. Anesthesia. Fourt edition. California, Churchill Livingstone New York,

1990 vol. 2. p. 1505 - 1530

7. Bridenbaugh PO, Greene NM. Spinal (Subarachnoid), Neural blockade. in:

Causins MJ & Bridenbaugh PO, editor. Neural blockade in clinical anesthesia and

management of pain. second edition. Washington, J.B lipincott company; 1988. p.

213 – 248.

8. Cadwel C, Nielson CH, Balth T, Taylor P, Helton B, Butler P. Comparison Of

high dose epineprine and phenilephrine in spinal anesthesia with tetracain.

Anesthesiology 62: 804, 1985.

9. Brown DL & Wedel DJ. Spinal, Epidural and caudal anesthesia. in: Miller RD.

Editor. Anesthesia. Third edition. California, Churchill Livingstone New York,

1990 vol. 2. p. 1377 – 1400.

28

Page 29: Anestesi Umum Pada Hipertensi

10. Spencer SL. Local Anesthetics: Clinical Aspects. in: Benzon, Raja, Molloy, Liu,

Fishman. Esentials of Pain Medicine and Regional anesthesia. second edition.

Philadelphia , 2005 p. 559 – 596.

11. Casey WF. Spinal Anaesthesia - a Practical Guide. 2000, Desember 05; Available

at. : http://www.manbit.com/oa/f16-1.htm Accssed november24, 2005

29