Case Report Anestesi RA Pada Psien DM Hipertensi

34
BAB I LAPORAN KASUS A. IDENTITAS Nama : Ny. M Umur : 64 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Islam Status Pernikahan : Menikah Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Pendidikan terakhir : SMP Alamat : Jepara Diagnosa : Neglected Fraktur Femur Operasi : ORIF Operator : dr. Vito, Sp.B Ahli anestesi : dr. Hartawan, Sp.An No. CM : 232107 B. Anamnesis: Keluhan utama: Tekanan darah menurun drastis Riwayat : 1

description

dm

Transcript of Case Report Anestesi RA Pada Psien DM Hipertensi

BAB ILAPORAN KASUS

A. IDENTITAS

Nama: Ny. MUmur: 64 tahunJenis Kelamin : PerempuanAgama: IslamStatus Pernikahan: MenikahPekerjaan: Ibu Rumah TanggaPendidikan terakhir: SMPAlamat: JeparaDiagnosa: Neglected Fraktur FemurOperasi: ORIFOperator: dr. Vito, Sp.BAhli anestesi: dr. Hartawan, Sp.AnNo. CM:232107B. Anamnesis:Keluhan utama: Tekanan darah menurun drastis

Riwayat : Pasien datang ke RSAY metro dengan keluhan kaki kanannya tidak dapat digunakan untuk berjalan. Pasien mengatakan mengalami patah tulang sejak empat bulan yang lalu dan telah melakukan pengobatan ke sangkal putung, namun hingga saat ini kaki kanan pasien masih sakit jika digunakan untuk berjalan. Berdasarkan hal tersebut, pasien memutuskan untuk berobat ke RSAY dan dianjurkan untuk dilakukan tindakan pembedahan oleh dokter yang merawat pasien.

Riwayat penyakit dahulu: Riwayat Diabetes Melitus (+), sejak 1 tahun yang lalu terkontrol dengan obat (metformin) Riwayat Hipertensi (+) Riwayat Asma disangkal Riwayat Alergi disangkal Riwayat Operasi sebelumnya disangkalRiwayat penyakit keluarga: Riwayat Diabetes Mellitus (+) pada Ibu Pasien Riwayat hipertensi disangkal Riwayat Asma disangkal Riwayat Alergi disangkal

C. Pemeriksaan Fisik: Keadaan umum : Tampak sakit sedang Kesadaran : Compos mentis GCS: E 4 M 6 V 5 Total 15 Tekanan darah : 150/100 mmHg Nadi : 74x/menit RR : 20 x/menit Suhu : 36,5 C Berat Badan : 60kg Tinggi badan : 150 cm Pemakaian gigi palsu : DisangkalKepala Mata: Konjungtiva anemis Sclera: Ikterik (-) Mallampati score: 1 Buka mulut: > 4 cm Tiromental distance: >6 cmLeher Kelenjar tiroid : Pembesaran (-) KGB : Pembesaran (-)Thoraks Cor: I : iktus kordis tidak terlihat P : iktus kordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra P : batas jantung kanan di ICS V linea parasternalis dextra Batas jantung kiri di ICS VI linea midclavicula sinistra Pinggang jantung di ICS II linea parasternalis A : S1 S2 Regular mur-mur (-) gallop (-) Pulmo I : Mengembang simetris P : fremitus taktil dan vocal simetris P : sonor di seluruh lapangparu A : VBS kiri = kanan, rhonki basah halus (-/-), wheezing (-/-) Abdomen : I : cembunglembut A : BU (+) P :Defans muscular (-), ps/pp (-/-), nyeri tekan (-) P : Nyeri Tekan (-) Ekstremitas Atas : edema (+/+)Bawah : edema (+/+) ; varises (-/-)

D. Pemeriksaan Penunjang: Darah RutinDarah RutinHasilNormal

Haemoglobin12,7 g/dl12 16 g/dl

Hematokrit36,5 %35 47%

Leukosit9.600 mm33.800 10.600 mm3

Trombosit288.000 mm3150.000- 450.000 mm3

Eritrosit4,58 juta/mm33,6- 5,8 juta/mm3

Kimia KlinikUrin rutinHasilNormal

AST (SGOT)14 U/L< 25 U/L

ALT (SGPT)13 U/L< 30 U/L

Ureum37 mg/dl15-50 mg/dl

Kreatinin0,9 mg/dl0,8 - 1,3 mg/dl

Glukosa darah sewaktu170 mg/dl70 100 mg/dl

UrineUrine RutinKimia urineBerat jenis urine1.010pH Urine7.0Protein UrineNegatif

E. DiagnosaAnestesi Spinal pada ORIF femur dextra dengan Hipertensi Grade I dan DM terkontrol

F. Informed ConssentIzin tindakan anestesi dan operasi telah dimengerti, disetujui, dan ditandatangani oleh keluarga pasien.

G. Prosedur AnestesiStatus Fisik: ASA IIKesadaran: Compos Mentis GCS: 15Airway : Tidak terintubasiTekanan darah: 150/100 mmHgNadi : 84x/menitRR: 16 x/menitSuhu: AfebrisSpO2: 100%Premedikasi : (-)Tindakan Operasi : Sectio secariaJenis Anestesi : Regional AnestesiTeknik Anestesi : Spinal Anestesi setinggi L3-L4MedikasiAnestesi local : Bucain 0,5% 20 mgPosisi : DudukDurante operasi: Kalnex 500 mgCairanTotal AsupanCairan: 1. Kristaloid: RL 20002. Koloid: Widahes 500 cc (durante operasi)Cairan yang Keluar: - Perdarahan 400 cc- Urin 10 cc

H. MonitoringMonitoring selama operasi ( 2 jam ) Tekanan darah: Terendah (saat operasi berlangsung 110/60 mmHg) Tertinggi (saat operasi berlangsung : 160/100 mmHg) Nadi:- Tertinggi 105x/menit- Terendah 70x/menit Saturasi oksigen: 98-100 %

I. Gambar Grafik

J. Instruksi Post Operasi Posisi pasien supine Observasi tekanan darah, Nadi, Respirasi tiap 15 menit Infus RL Analgetika Ketorolac 30 mg + Tramadol 100 mg drip RL 500 cc Antibiotik

K. Keadaan Pasca BedahPasien masuk recovery room dengan keadaan : Keadaan umum: Compos Mentis Tekanan darah: 150/90mmHg Nadi: 80x/menit Respirasi: 16 x/menit Dipasang O2 : 2 L/menit

L. Resume Prosedur AnestesiNy. M, usia 64 tahun dengan diagnosis Anestesi Spinal Pada ORIF dengan Hipertensi Grade I dan DM terkontrol status ASA II (pasien dengan penyakit sistemik ringan-sedang tidak mengganggu aktivitas rutin). Pada pasien ini dilakukan tindakan operasi ORIF dan dilakukan pembiusan Regional Anestesi dengan teknik spinal anestesi setinggi discus intervertebralis L3-L4 dengan menggunakan Bupivacain 0,5% sebanyak 20 mg. Pada permulaan operasi pasien diberikan satu kolf RL yang diberikan secara cepat. Tanda-tanda vital pasien normal saat mulai operasi, hanya tekanan darah yang agak tinggi yaitu sebesar 150/100 mmHg, Namun saat operasi berlangsung Tekanan Darah pasien menurun menjadi 110/60 sehingga diputuskan untuk diberikan Fimahes 500 cc. Total cairan yang diberikan selama operasi sebanyak 2000 cc. Jumlah perdarahan pada saat operasi 300 cc dan urine yang keluar 10 cc.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. DIABETES MELLITUS

DefinisiKelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemi yag terjadi karena kelainan kerja insulin atau sekresi insulin atau keduanyaKlasifikasi Menurut klasifikasi klinisnya diabetes melitus dibedakan menjadi :1.Tipe 1 (DMT1)2.Tipe 2 (DMT2) 3.Diabetes kehamilan (gestasional) 4. Diabetes tipe lainDiagnosis : Ada gejala klasik berupa polyuria, polydipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak jelas penyebabnya GDS 200 mg/dl atau GDP 126 mg/dl TTGO 200 mg/dl HbA1C > 6,5 %Penatalaksanaan DM :Anti hiperglikemik oral Biguanid Gitazone Sulfonilurea Glinid Penghambat glukosidase alfa

Respon Metabolik Terhadap AnestesiDanPembedahanPembedahan menginduksi banyak respon stress yang dimediasi oleh sistim neuroendokrin yang kemudian melepaskan katekolamin,glukagon dan kortisol. Pembedahanmenyebakan kerusakan jaringan selanjutnya mengaktifasi lekosit, fibroblast dan sel endotel menghasilkana cytokine. Cytokine terutama adalalah interleukin-6 yang meningkat dalam 30-60 menit setelah operasi. Interleukin-6 diketahui menstimulasi kelenjar pituitary menghasilkan ACTH yang menyebabkan pelepasan cortisol. Hormon-hormon tersebut menginduksi hiperglikemia.Pasien nondiabetik mampu mempertahankan homeostasis glukosa dengan mensekresi insulin yg cukup untuk menyeimbangi peningkatan glukosa oleh respon stress. Mekanisme kompensasi ini pada pasien diabetes mengalami gangguan baik pada DM tipe 1 maupun tipe 2Obat anestesi dapat berpengaruh pada metabolisme glukosa melalui modulasi tonus simpatis. Evidens invitro menunjukkan obat inhalasi menekan sekresi insulin.Sudah diketahui dalam beberapa tahunbahwa opioid dapat menekan sekresi kelenjar hipotalamus dan hipofisa sehingga mengurangi peningkatan hormon stress tmt kortisolDefisiensi relatif insulin menyebabkan gangguan regulasi glukosa dan hiperglikemia. Defisiensi tersebut ditambah dengan resistensi insulin menambah resiko terjadinya ketoasidosis. Regional anestesi dan blok saraf perifer mengurangi resiko ini, akan tetapi tidak ada data yang menyimpulkan jenis anestesi tersebut memperbaiki ketahanan hidup pasien DM post operatif.ManajemenPerioperatifPada hari operasi pasien seharusnya menghentikan obat anti diabetik oral . Sulfonilureas, meglitinides (Secretagogues) berpotensi menyebabkan hipoglikemia. Selain itu sulfonilurea telah dihubungkan dengan prekondisi iskemia miokard dan mungkin dapat meningkatkan resiko miokardial iskemia dan infark pada perioperatif. Pasien yang menggunakan metformin seharusnya menghentikannya karena beresiko terjadinya asidosis laktat. Untuk pasien ini, insulin short acting boleh diberikan subkutaneus, dosis sesuai sliding scale atau secara infus kontinyu. Demikian juga pasa pasien DM tipe 2 yang konsentrasi gula darahnya tidak dapat di kontrol dengan menggunakan obat oral perlu dipertimbangkan pemberian insulin preoperatif.Pada pasien DM yang tergantung insulin (tipe 1) dianjurkan mengurangi dosis insulin waktu tidur (malam) sebelum waktu operasi untuk mecegah hipoglikemia.Mempertahankan level insulin boleh secara kontinyu didasarkan pada hasil-hasil pemeriksaan gula darah sebelumnya dan advis dokter yang merawatnya. Dianjurkanmengkonsul pasien ke dokter anestesiologi dan penyakit dalam untuk mendapat rekomendasi sesuai kondisi sekarang. Pasien seharusnya dimonitor secara periodik untuk menilai hiperglikemia atau hipoglikemia.Preoperatif pasien DM: Semua pengobatan umum seharusnya diteruskan sampai waktu pagi hari operasi . metformin sebagaimana telah dijelaskan diatas seharusnya dihentikan 2 hari sebelum operasi mayor karena dapat menyebabkan asidosis laktat. Chlorpropamida seharusnya dihentikan 3 hari sebelum operasikarena masa kerjanya memanjangDalam kedua kasus ini obat kerja pendek seperti glibenklamid dapat menggantikannya. Glibenclamid seharusnyadihentikan sekurang-kurangnya 24 jam sebelum operasi. Periksa gula darah preoperatif setiap 4 jam pada DM tipe 1 dan 8 jam pada DM tipe 2 Bila diabetes sangat tidak terkontrol tetapi keton tidak ditemukan baik didarah maupun urine , mulai pemberian insulin menurut sliding scale. Bila keton ditemukan tunda operasi bila tidak urgen dan dikelola secara tim. Jika operasi tergolong urgen pasien dikelola menurut pengelolaan operasi mayor pasien DM. Secara umum jika pasien diperkirakan dapat makan dan minum dalam 4 jam sejak mulai operasi termasukminor. Semua operasi selain minor dikategorikan sebagai operasimayor.Dari sumber yang lain disebutkanbahwa pembedahan dapat digolongkan mayor bila menggunakan general anestesi selama lebih atau sama dengan satu jam. Pasien bedah minor yang puasa seharusnya dijadwalkan sebagai operasi minorpertama. Bila gula darah >10 mmol/L(180 mg%) pasien dikelola sesuai penanganan bedah mayor. Pasien DM yang terkontrol dengan diit harus dimonitor gula darahnya lebih sering (per-4 jam). Hindari penggunaan larutan RL karena laktat dapat meningkatkan konsentrasi gula darah.

B. Anestesi SpinalAnestesi spinal (intratekal, intradural, subdural, subArachnoid) ialah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat anestesi lokal ke dalam ruang subArachnoid. Larutan anestesi lokal yang disuntikan pada ruang subarachnoid akan memblock konduksi impuls syaraf. Terdapat tiga bagian syarat yaitu motor, sensori dan otonom. Motor menyampaikan pesan ke otot untuk berkontraksi dan ketika diblok, otot akan mengalami paralisis. Syaraf sensori akan menghantarkan sensasi seperti rabaan dan nyeri ke sumsum tulang dan ke otak, sedangkan syaraf otonom akan mengontrol tekanan darah, nadi, kontraksi usus dan fungsi lainnya yang diluar kesadaran. Pada umumnya, serabut otonom dan nyeri yang pertama kali diblock dan serabut motor yang terakhir. hal ini akan memiliki timbal balik yang penting. Contohnya, vasodilatasi dan penurunan tekanan darah yang mendadak mungkin akan terjadi ketika serabut otonom diblock dan pasien merasakan sentuhan dan masih merasakan sakit ketika tindakan pembedahan dimulai.Kelebihan pemakaian anestesi spinal, diantaranya biaya minimal, kepuasan pasien, tidak ada efek pada pernafasan, jalan nafas pasien terjaga, dapat dilakukan pada pasien diabetes mellitus, perdarahan minimal, aliran darah splancnic meningkat, terdapat tonus visceral, jarang terjadi gangguan koagulasi. Sedangkan kekurangan pemakaian anestesi spinal akan menimbulkan hipotensi, hanya dapat digunakan pada operasi dengan durasi tidak lebih dari dua jam, bila tidak aseptik akan menimbulkan infeksi dalam ruang subarachnoid dan meningitis, serta kemungkinan terjadi postural headache.Anestesi spinal merupakan pilihan anestesi pada daerah dibawah umbilikus, misalnya repair hernia, ginekologi, operasi urogenital dan operasi di daerah perineum dan genitalia. Anestesi spinal khususnya diindikasikan pada pasien lanjut usia dan pasien dengan penyakit sistemik seperti penyakit pernafasan, hepar, renal dan gangguan endokrin (diabetes mellitus). Pada bagian obstetri, dengan anestesi spinal pada sectio caesarea didapatkan keuntungan ganda yaitu pada ibu dan bayinya. Anestesi spinal dikontra-indikasikan bila peralatan dan obat resusitasi tidak adekuat, gangguan perdarahan, hipovolemia, pasien menolak, pasien tidak kooperatif, septikemia, deformitas anatomi, penyakit neurologi.Kontraindikasi absolut pemakaian anestesi spinal yaitu pasien menolak, infeksi pada tempat penyuntikan, hipovolemia berat, syok, koagulopati (mendapatkan terapi antikoagulan), tekanan intrakranial tinggi, fasilitas resusitasi minimun, kurang pengalaman, tanpa didampingi konsultan anestesi. Sedangkan kontraindikasi relatif diantaranya infeksi sistemik (sistemik,bakteriemia), infeksi sekitar tempat suntikan, kelainan neurologis, kelainan psikis, bedah lama, penyakit jantung, hipovolemia ringan dan nyeri punggung kronis.Pada dasarnya persiapan untuk anestesia spinal seperti persiapan pada anestesi umum. Daerah sekitar tempat tusukan diperiksa, adakah kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tidak teraba prosessus spinosus. Selain itu juga harus dipersiapkan informed consent, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang meliputi hemoglobin, hematokrit, PT (prothrombine time) dan PTT (partial thromboplastine time). Persiapan pre-operasi sangat penting dilakukan, sehingga diharapkan pasien dipersiapkan semaksimal mungkin dan bila terdapat penyulit dapat dilakukan medikasi pre-operasi.Pasien yang telah dijadwalkan untuk pembedahan elektif umumnya berada dalam keadaan optimal baik fisik maupun mental dengan diagnosis yang definitif dan penyakit lain yang kadang-kadang menyertainya sudah terkendali dengan baik. Berbeda dengan penderita emergensi yang memerlukan tindakan bedah darurat baik dengan anestesi umum atau regional merupakan suatu tindakan yang penuh dengan risiko. Hal ini disebabkan penderita datang secara mendadak dan pada umumnya berada dalam keadaan yang kurang baik, waktu untuk memperbaiki keadaan umum terbatas, kadang-kadang sulit untuk mengatasi penyakit lain dan bahkan memperburuk keadaan.Premedikasi pada anestesi spinal tidak perlu, namun pada pasien tertentu, dapat diberikan benzodiazepine seperti 5-10 mg diazepam secara oral yang diberikan 1 jam sebelum operasi. Agen narkotik dan sedatif dapat digunakan sesuai keadaan. Pemberaian anticholinergics seperti atropine atau scopolamine (hyoscine) tidak perlu.(6)Agen anestesi lokal dapat berupa molekul berat (hiperbarik), ringan (hipobarik), dan beberapa isobaric seperti LCS. Larutan hiperbarik cenderung menyebar kebawah, sementara isobaric tidak dipengaruhi oleh arah. Hal ini akan lebih memudahkan untuk memperkirakan dari pemakaian agen hiperbarik. Agen isobaric dapat dijadikan hiperbarik dengan menambahkan dextrose. Agen hipobarik pada umumnya tidak digunakan. Beberapa agen anestesi lokal yang digunakan pada anestesi spinal, diantaranya:1. Bupivacaine (Marcaine). 0.5% hiperbarik (heavy). Bupivacaine memiliki durasi kerja 2-3 jam.2. Lignocaine (Lidocaine/Xylocaine). 5% hiperbarik (heavy), dengan durasi 45-90 minutes. Jika ditambahkan 0.2ml adrenaline 1:1000 akan memperpanjang durasi kerja.3. Cinchocaine (Nupercaine, Dibucaine, Percaine, Sovcaine). 0.5% hiperbarik (heavy) sama dengan bupivacaine.4. Amethocaine (Tetracaine, Pantocaine, Pontocaine, Decicain, Butethanol, Anethaine, Dikain).5. Mepivacaine (Scandicaine, Carbocaine, Meaverin). A 4% hiperbarik (heavy) sama dengan lignocaine.Semua pasien yang akan dilakukan tindakan anestesi spinal, sebelumnya harus mendapatkan cairan intravena. Volume cairan yang diberikan disesuaikan dengan usia pasien dan luasnya block. Seorang dewasa muda, sehat yang akan dilakukan repair hernia membutuhkan 500cc. Pasien lanjut usia yang tidak mampu melakukan kompensasi terhadap terjadinya vasodilatasi dan hipotensi maka minimal mendapatkan 1000cc. Jika direncanakan akan dilakukan block tinggi, minimal 1000 cc. Pasien yang akan dilakukan sectio caesarea membutuhkan minimal 1500 cc. cairan yang digunakan yaitu normal saline atau larutan Hartmann's. Dektrose 5% tidak segera dimetabolisme sehingga tidak efektif untuk mempetahankan tekanan darah.Teknik anestesi spinal yaitu dengan posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Tempat penyuntikan pada perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista illiaka dengan tulang punggung, ialah L4 atau L4-5. setelah dilakukan tindakan asepsis dan diberi zat anestesi lokal (lidokain 1-2%, 2-3 ml). Cara tusukan median atau paramedian. Tusukan introducer sedalam kira-kira 2cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian dimasukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang tersebut. Struktur yang dilalui oleh jarum spinal sebelum mencapai CSF, diantaranya kulit, lemak sukutan, ligamentum interspinosa, ligamentum flavum, ruang epidural, duramater, ruang subarachnoid. Setelah resistensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisis obat dan obat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit.Faktor yang berpengaruh terhadap penyebaran penyuntikan larutan anestesi lokal adalah berat jenis dari larutan anestesi lokal, posisi pasien, konsentrasi dan volume zat anestesi, ukuran jarum, keadaan fisik pasien tekanan intraabdominal, level penyuntikan dan kecepatan penyuntikan. Lama kerja anestesi lokal tergantung dari berat jenis anestesi lokal, beratnya dosis, ada tidaknya vasokonstriktor dan besarnya penyebaran anestesi lokal.Komplikasi tindakan anestesi spinal diantaranya hipotensi berat, bradikardi, trauma pembuluh darah, hipoventilasi, trauma pembuluh darah, trauma saraf, mual-muntah, gangguan pendengaran, block spinal tinggi atau spinal total. Sedangkan komplikasi pasca tindakan diantaranya nyeri tempat suntikan, nyeri punggung, nyeri kepala, retensi urin, meningitis.Anestesi spinal ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarackhnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid. Medulla spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan serebrospinal, dibungkus oleh meningens (duramater, lemak dan pleksus venosus). Pada dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3. 8

Indikasi Anestesi Spinal1. Bedah ekstremitas bawah.2. Bedah panggul3. Tindakan sekitar rektum-perineum4. Bedah obstetri ginekologi5. Bedah urologi6. Bedah abdomen bawah

BAB IIIANALISA KASUS

Berdasarkan hasil anamnesa yang dilakukan terhadap Ny. M, 64 tahun didapatkan bahwa pasien memiliki riwayat Diabetes Melitus dan Hipertensi. Kedua penyakit sistemik berpengaruh terhadap tindakan pembedahan yang dilakukan, dan dapat menimbulkan komplikasi jika penatalaksanaannya tidak tepat. Oleh karena itu perlu penatalaksanaan yang tepat untuk mencegah timbulnya komplikasi. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan pada pasien ini diantaranya :1. Pertimbangan perioperatifPenilaian preoperatif yang komperhensif, monitoring ketat, dan manajemen intensif intraoperatif hingga post operatif tim multidisiplin perlu diterapkan pada pasien ini. Berkaitan dengan penyakit Diabetes Melitus yang dideritanya, hubungan yang erat dan kompleks antar glukosa insulin serta pengaruh anestesi dan operasi adalah hal yang pokok dalam penanganan dan hasil akhir yang optimal.Dasar pemeriksaan perioperatif adalah anamnesa dan pemeriksaan fisik yang komperhensif. Sebagaimana diperkirakan bahwa sepertiga pasien diabetik tidak menyadari penyakitnya, mungkin penting untuk menskrining semua pasien rencana operasi sedang atau besar dengan memeriksa glycosylate hemoglobin(HbA1c). Anamnesa seharusnya mencakup gejala-gejala penyakit jantung iskemia, retinal, neurologis dan penyakit vaskuler perifer.Angka kematian penyakit jantung kira-kira 2-4kali lebih besar dari pasien nondiabetik. Anamnesa yang komperhensif dari penyakit jantung harus lengkap tmt pasien rencana operasi sedang hingga berat. Pasien yang direncanakan operasi vaskuler mayor boleh melakukan pemeriksaan fungsi jantung noninvasif (dobutamin stress echo) atau angiografi koronari.Pemeriksaan klinis termasuk penilaian adanya hipotensi orthostatik sebagai potensial dari neuropati otonom. Pemeriksaan funduskopi memberi informasi adanya kemungkinanpasien buta post operatif khususnya pada pasien operasi spinal yang memanjang (posisi prone) dan operasi jantung bypass.Evaluasi laboratorium perioperatif pada semua pasien diabetes rencana operasi sedang atau mayor, operasi jantung atau nonjantung seharusnya termasuk konsentrasi gula serum, HbA1c, elektrolit, BUN, dan kreatinin (memperkirakan GFR). Sebagai tambahan urinalisis seharusnya dinilai proteinuria dan mikroalbuminuria. Pencapaian konsentrasi gula darah yang diharapkan pada setiap pasien adalah bervariasi didasarkan pada berbagai faktor seperti, jenis pembedahan, beratnya penyakit yang mendasari, kesiapan untuk mencapai kontrol glukosa darah, umur, dan sesitifitas terhadap insulin. Berbagai percobaan klinis yang mencakup berbagai populasi pasiendan menguji hiperglikemiaperioperatif. Berdasarkan data dari berbagai hasil penelitian tersebut. Asosiasi Diabetes Amerika merekomendasikan target konsentrasi glukosa darah pada pasien didasarkan data berbagai hasil penelitian untuk tindakan pembedahan adalah Gula Darah Puasa 90-136 mg/dl dan Gula darah sewaktu < 180mg. Pada pasien ini gula darah nya adalah 170 mg sehingga kemungkinan infeksi pada pmebedahan rendah.Pada hari operasi pasien seharusnya menghentikan obat anti diabetik oral. Sulfonilureas, meglitinides (Secretagogues) berpotensi menyebabkan hipoglikemia. Selain itu sulfonilurea telah dihubungkan dengan prekondisi iskemia miokard dan mungkin dapat meningkatkan resiko miokardial iskemia dan infark pada perioperatif. Pasien yang menggunakan metformin seharusnya menghentikannya karena beresiko terjadinya asidosis laktat. Untuk pasien ini, insulin short acting boleh diberikan subkutaneus, dosis sesuai sliding scale atau secara infus kontinyu. Demikian juga pasa pasien DM tipe 2 yang konsentrasi gula darahnya tidak dapat di kontrol dengan menggunakan obat oral perlu dipertimbangkan pemberian insulin preoperatif.Secara umum manajemen perioperatif pada pasien ini yang berkaitan dengan penyakit DM telah dilaksanakan dengan baik.Berkaitan dengan penyakit hipertensi yang dideritanya, Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan menjalani prosedur pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harus dicari, yaitu: Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensinya. Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah terjadi. Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita. Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi, untuk prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi.Semua data-data di atas bisa didapat dengan melakukan anamnesis riwayat perjalanan penyakitnya, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan prosedur diagnostik lainnya. Penilaian status volume cairan tubuh adalah menyangkut apakah status hidrasi yang dinilai merupakan yang sebenarnya ataukah suatu relatif hipovolemia (berkaitan dengan penggunaan diuretika dan vasodilator). Disamping itu penggunaan diuretika yang rutin, sering menyebabkan hipokalemia dan hipomagnesemia yang dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya aritmia.Untuk evaluasi jantung, EKG dan x-ray toraks akan sangat membantu. Adanya LVH dapat menyebabkan meningkatnya risiko iskemia miokardial akibat ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Untuk evaluasi ginjal, urinalisis, serum kreatinin dan BUN sebaiknya diperiksa untuk memperkirakan seberapa tingkat kerusakan parenkim ginjal. Jika ditemukan ternyata gagal ginjal kronis, maka adanya hiperkalemia dan peningkatan volume plasma perlu diperhatikan. Untuk evaluasi serebrovaskuler, riwayat adanya stroke atau TIA dan adanya retinopati hipertensi perlu dicatat.

b. Manajemen Durante Operatif * Premedikasi dan InduksiPremedikasi jarang diberikan terutama pada penderita dengan keadaan umum yang buruk, atau karena keterbatasan waktu. Namun pada beberapa kasus dapat diberikan premedikasi secara intravena atau intramuskular dengan antikolinergik disertai pemberian antasida, antagonis reseptor H2 atau metoclopramide, walaupun tidak efektif dan menguntungkan. Pada pasien ini tidak diberikan premedikasi. Tindakan pemilihan jenis anestesi pada pasien ini diperlukan beberapa pertimbangan. Teknik anestesi disesuaikan dengan keadaan umum pasien, jenis dan lamanya pembedahan dan bidang kedaruratan. Metode anestesi sebaiknya seminimal mungkin sifat analgesi cukup kuat, tidak menyebabkan trauma psikis terhadap pasien, toksisitas rendah, aman, nyaman, relaksasi otot dan memungkinkan ahli bedah bekerja optimal. Pada pasien ini digunakan teknik Regional Anestesi (RA) dengan Sub Arachnoid Block (SAB), yaitu pemberian obat anestesi lokal ke ruang subarachnoid. Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai bawah, panggul, dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus seperti bedah endoskopi urologi, bedah rektum, perbaikan fraktur tulang panggul, bedah obstetri dan ginekologi. Induksi menggunakan Bupivacaine HCL yang merupakan anestesi lokal golongan amida. Obat anestesi regional bekerja dengan menghilangkan rasa asakit atau sensasi pada daerah tertentu dari tubuh. Cara kerjanya yaitu menghambat proses konduksi syaraf perifer jaringan tubuh, bersifat reversibel. Mula kerja lambat dibanding lidokain, tetapi lama kerja 8 jam. Setelah itu posisi pasien dalam keadaan terlentang (supine). MonitoringMonitor tekanan darah setiap 5 menit sekali untuk mengetahui penurunan tekanan darah yang bermakna. Hipotensi terjadi bila terjadi penurunan tekanan darah sebesar 20-30% atau sistole kurang dari 100 mmHg. Hipotensi merupakan salah satu efek dari pemberian obat anestesi spinal, karena penurunan kerja syaraf simpatis. Bila keadaan ini terjadi maka cairan intravena dicepatkan, bolus ephedrin 5-15 mg secara intravena, dan pemberian oksigen. Pada pasien ini terjadi hipotensi, sehingga pemberian cairan dicepatkan, lalu diberikan fimahes sebanyak 500 cc. Tindakan ini sudah tepat arena tekanan darah pasien mengalami penurunan sebasar 30% dari tekanan darah semula.Untuk operasi yang banyak kehilangan cairan atau darah, pemantauan urin output dan volume intravaskular sangat penting. Walaupun dengan urin output yang cukup tidak memastikan fungsi ginjal baik, namun selalu diusahakan pencapaian urin output lebih besar dari 0,5 mL/kgBB/jam. Terapi CairanSeperti telah dibicarakan diatas, pertimbangan pemberian cairan sangat penting untuk pasien dengan penurunan tekanan darah (hipotensi). Perhatikan jika ditemukan pemberian cairan yang berlebihan, namun masalah biasanya jarang dengan pasien yang urin outputnya cukup. Maka perlu dilakukan pemantauan pada urin outputnya, jika cairan yang berlebihan diberikan maka akan menyebabkan edema atau kongestif paru yang lebih mudah ditangani daripada gagal ginjal akut.

Perhitungan Rencana Pemberian CairanBB : 50 kgLama operasi: 2 jamPerdarahan : 3000 ccCairan yang diberikan : hestar 2 labu dan kolf Ringer laktat 3 labu

Kebutuhan cairan maintenance untuk pasien dengan berat badan 50 kg :4 x 10=402 x 10=201 x 30=30+90 cc

Jumlah cairan selama operasi besar :8 x 50 x 3jam=3300 cc

Perdarahan selama operasi:Darah yang disuccion= 1200 ccCuci NaCl= 500 cc 700 ccKassa besar= 8 kassa x 60 cc= 480 ccKassa kecil= 12 kassa x 10ccc= 120 ccDarah yang berceceran =100 cc +Jumlah perdarahan= 1400cc

Perdarahan =1200 ccEBV ( +- 70 x BB )=70 x 50 = 3500 ccGrade Perdarahan ;1200 x 100%=34%(30%-40% = perdarahan besar)3500Total cairan yang dibutuhkan :

Cairan selama operasi=3300 ccPerdarahan=1200 cc(3300cc +1200cc = 4500 cc)

Cairan yang diberikankristaloid 4 labu = 4x 500 cc=2.000Koloid 2 labu=2 x 500= 1.000 cc 3.000 ccSisa cairan yang belum diberikan= 4500 3000= 1500 ccCairan Post Operasi1500 x (24-(3+6))=2250 cc

Kebutuhan cairan post operasi:Cairan sisa + cairan post op =1500+ 2250 =250cc/jam = 63 gtt/menit Sisa waktu 15

POST OPERATIF

20