A4 402 BAB I Pend Damai 01-12

13

Click here to load reader

description

pendahuluan damai

Transcript of A4 402 BAB I Pend Damai 01-12

PERISTIWA PEMBANTAIAN PKI DI ACEH

Bab I

Pendahuluan

Dari AM, Menjadi GAM XE "GAM" , Melalui Proses Dialog dan Perundingan, Diakhiri dengan MoU Helsinki XE "MoU Helsinki" Berawal dari perbedaan persepsi dan keyakinan, seolah-olah kolonial Belanda telah menyerahkan Aceh kepada Republik Indonesia, pada saat pengakuan ke-daulatan RI di tahun 1949.

Yang terjadi adalah, Belanda menyatakan pengakuan kedaulatan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. Menurut pemahaman Hasan Tiro XE "Hasan Tiro" , tidak seharusnya kedaulatan Indonesia yang diakui oleh Belanda tersebut, juga berlaku untuk Aceh. Karena menurut beliau, Aceh bukanlah bagian dari Indonesia, atau Aceh adalah negara merdeka sejak awal.

Jika kita tarik ke belakang, ditemuilah pita emasnya bahwa, Belanda sebagai bagian dari Sekutu XE "Sekutu" , menyerah kepada Jepang XE "Jepang" di awal Perang Dunia II, yang ditandai dengan penyerangan pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat, Pearl Harbour XE "Pearl Harbour" , oleh Jepang, pada tahun 1942. Dengan demikian Jepang menguasai Aceh atau diun-dang/dijemput masuk ke Aceh, menggantikan penjajah Belanda. Kemudian Jepang menyerah kepada Sekutu menyusul Bom Atom XE "Bom Atom" atas Hirosyima XE "Hirosyima" dan Nagasaki XE "Nagasaki" , pada tahun 1945, yang menandai berakhirnya Perang Dunia II. Sementara Indonesia ketika itu sedang sangat serius memproses Kemerdekaannya, dan kemudian berhasil diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, oleh Soekarno XE "Soekarno" -Hatta XE "Hatta" .

Belanda tidak rela, maunya dia, agar Jepang XE "Jepang" meyerahkan kem-bali Indonesia sebagai bekas jajahannya kepada Belanda, setelah Sekutu XE "Sekutu" dinyatakan menang perang. Sementara Indonesia yang ke-merdekaan sudah hamil tua, ingin segera memproklamasikan kemerdekaannya tersebut. Terjadilah gerakan perjuangan rakyat, untuk membela tanah air dari cengkeraman aneka rupa penjajah baik baru maupun lama. Gerakan perjuangan ini ingin mengusir se-tiap penjajah dari setiap jengkal wilayah Indonesia. Inilah yang dinamakan kemudian sebagai perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan penegakan kedaulatan Republik Indonesia.

Belanda bersikukuh hendak menguasai kembali Indonesia, ter-masuk Aceh, dan untuk itu dia memdompleng Sekutu XE "Sekutu" yang ber-alasan masuk ke Indonesia untuk melucuti Jepang XE "Jepang" , yang sudah kalah perang. Terjadilah dua kali apa yang disebut sebagai Agresi (Aksi) Polisionil Sekutu/Belanda terhadap Indonesia. Dalam agresi-agresi tersebut, seluruh wilayah Aceh tidak terjamah kembali oleh Belanda, kecuali Sabang XE "Sabang" /Pulau Weh XE "Pulau Weh" . Setelah capek berperang dan banyak menelan korban, serta atas tekanan masyarakat Inter-nasional, akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, pada tanggal 27 Desember 1949, lebih dari 4 tahun setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Pengertian Indonesia bagi Belanda adalah bekas jajahannya yang lazim disebut sebagai Hindia Belanda XE "Hindia Belanda" , di mana Aceh ada di dalamnya.

Dalam pengakuan kedaulatan Indonesia tersebutlah, terkesan, seolah-olah Belanda ikut menyerahkan Aceh kepada Indonesia.

Hasan Tiro XE "Hasan Tiro" dan pengikutnya, mengklaim bahwa Belanda tidak berhak menyerahkan Aceh kepada Indonesia, dengan dua alasan. Pertama, Belanda tidak mempunyai atau tidak memegang kedau-latan atas Aceh; dan kedua, Aceh memang bukan atau belum pernah menjadi bagian dari Indonesia. Aceh menurut beliau sejak semula merupakan suatu kerajaan yang merdeka dan berdaulat. Our fatherland Acheh, Sumatra XE "Sumatra" , had always been a free and independent souvereign State since the world begun, kata Hasan Tiro dalam berbagai kesempatan, dan juga disebutkan dalam Redeclaration of Acheh Sumatra, December 4, 1976, yang artinya lebih kurang: Aceh sejak semula adalah negara yang merdeka dan berdaulat. Sedang-kan di pihak lain, Belanda menganggap Aceh adalah bagian dari Indonesia, mengingat daerah ini adalah bagian dari Hindia Belanda XE "Hindia Belanda" (Nederlands Indie XE "Nederlands Indie" ), bersama seluruh Sumatra (kecuali Bengkulu XE "Bengkulu" ), Jawa XE "Jawa" , Borneo XE "Borneo" , Celebes XE "Celebes" , pulau-pulau lainnya di kepulauan Nusa Tenggara XE "Nusa Tenggara" , kepulauan Maluku XE "Maluku" dan Papua XE "Papua" . Anthony Reid XE "Anthony Reid" , dalam bukunya menyebutkan bahwa, Gubernur Jendral Hindia Belanda Van Swieten XE "Van Swieten" mengumunkan pada tanggal 31 Januari 1874: Aceh sebagai bagian dari Hindia Belanda atas dasar hak pemenangan perang. Belanda juga mungkin merasa berhak atas kedaulatan Aceh, sejak dari ditandatanganinya perjanjian oleh beberapa ulee-balang XE "uleebalang" , yang menurut T. Ibrahim Alfian XE "Ibrahim Alfian" ada sebanyak 31 uleebalang menandatanganinya, sebagai Penguasa dan atas nama keuleebalang-annya. Perjanjian tersebut antara lain menyatakan bahwa ke uleebalangan mereka menjadi suatu bagian daripada Hindia Belanda, dan setia untuk selama-lamanya kepada Baginda Sri Maharaja Belanda dan kepada wakil Baginda Sri Paduka yang Dipertuan Besar Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dan oleh karenanya Gubernur Jenderal memberikan kepada uleebalang tersebut jabatan peme-rintahan dalam keuleebalangan itu. Selain itu menurut Anthony Reid, ada tujuh uleebalang (di antara 12 uleebalang semuanya) bersama Habib Abd ar Rahman XE "Habib Abd ar Rahman" dan Teuku Muda Baet XE "Teuku Muda Baet" , yang dekat dengan mereka, yang berkuasa di sekitar Kutaraja XE "Kutaraja" dan Aceh Besar XE "Aceh Besar" , menyerah pada tanggal 13 Oktober 1878. Sedangkan uleebalang Pase, dan Idi mendukung ekspedisi Belanda pada bulan Nopember 1876. Lalu menyusul uleebalang-uleebalang lainnya seperti di Simpang Ulim, Tanjong Seumantok, Langsa, Teunom, Lhokkruet, dan sebagainya. Kemudian rangkaian pengakuan kepada Hindia Belanda tersebut diikuti dengan menyerahnya Sultan Aceh Tuanku Muhammad Daud, pada tanggal 20 Januari 1903, yang diterima oleh Van Heutsz. Dalam pernyataan beliau antara lain menyebutkan, bahwa: kerajaan Aceh merupakan bagian dari Hindia Belanda dan oleh karena itu berada di bawah kedaulatan Belanda. Selain itu, semenjak berseminya benih-benih perjuangan menuju Indonesia Merdeka, Aceh sebagai bagian dari Hindia Belanda, telah bersama bagian Indonesia lainnya, mengusir setiap penjajah dari bumi persada Nusantara. Bahkan Presiden Soekarno XE "Soekarno" memberi gelar kepada Aceh sebagai daerah modal bagi Republik Indonesia. Hal tersebut disebutkan dalam pidatonya pada rapat raksasa tanggal 18 Juli, 1948, di Bireuen XE "Bireuen" , yang kemudian diulangi lagi dalam pidatonya di Meulaboh XE "Meulaboh" , Aceh Barat, tanggal 4 September 1959. 1). Jika dibedah perihal predikat tersebut, ditemuilah alasannya antara lain adalah:

1. Sementara wilayah Indonesia lainnya, dikuasai dan dijajah Belanda sekitar 350 tahun, Aceh, terus berjuang dengan gigih sejak awal mula Belanda menyatakan perang kepada Aceh pada tahun 1873, sampai dengan datangnya Jepang XE "Jepang" pada tahun 1942. Belanda hanya dapat mengklaim telah mengusai Aceh secara formal, dalam bentuk pernyataan atau perjanjian pengakuan kedaulatan oleh Sultan dan atau beberapa uleebalang XE "uleebalang" , namun secara material atau de facto, terjadi perlawanan dan peperangan rakyat melawan pendudukan Belanda yang terus-menerus dan di mana-mana.

2. Ketika kemerdekaan Indonesia masih bayi di tahun 1945, dan masih mengalami berbagai krisis dan kontroversi, 4 orang ulama Aceh, yakni, Tgk. H. Hasan Krueng Kale XE "Hasan Krueng Kale, Tgk." , Tgk. M. Daud Beureueh XE "Daud Beureueh, Tgk." , Tgk. H. Jafar Lam Jabat, dan Tgk. Ahmad Hasballah Indrapuri, tampil atas nama ulama seluruh Aceh, menyatakan: Segenap lapisan rakyat telah bersatu padu dengan patuh berdiri di belakang pemimpin Ir. Soekarno XE "Soekarno" untuk menunggu perintah dan kewajiban yang akan dijalankan. Menurut keyakinan kami bahwa perjuangan ini (maksudnya: perjuangan kemerdekaan) adalah perjuangan suci yang disebut perang sabil. Maka percayalah wahai bangsaku, bahwa perjuangan ini adalah sebagai sam-bungan perjuangan dahulu di Aceh yang dipimpin oleh Almarhum Tengku Chik Ditiro XE "Chik Ditiro, Tgk." , dan pahlawan-pahlawan kebangsaan yang lain. Dan sebab itu bangunlah wahai bangsaku sekalian, bersatu padu menyusun bahu mengangkat langkah maju kemuka untuk mengikut jejak perjuangan nenek kita dahulu. Tunduklah dengan patuh akan segala perintah-perintah pemimpin kita untuk kesela-matan tanah air, agama, dan bangsa.

3. Gubernur Militer Aceh Tgk. M. Daud Beureueh XE "Daud Beureueh, Tgk." menolak undangan Dr. Tengku Mansur XE "Mansur, Dr." yang menamakan dirinya Wali Negara Sumatra XE "Sumatra" Timur, untuk hadir dalam Muktamar Sumatra yang dilaksanakan tanggal 28 Maret 1949 selama 5 hari di Medan. Abu Beureueh XE "Daud Beureueh, Tgk." , mencium aroma lain dari maksud penyelenggaraan Muktamar tersebut, yakni untuk tujuan pendirian atau pengu-kuhan Negara Bagian Aceh, sebagai negara boneka Belanda yang di arsiteki oleh Van Mook, seorang ahli pecah dan kuasai (devide et impera XE "devide et impera" ). Beliau secara tegas menolaknya untuk hadir dengan mengatakan, menurut Ibrahim Alfian XE "Ibrahim Alfian" dalam bukunya Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah, 1999, labih kurang sebagai berikut: Maksud Belanda ialah hendak mendiktekan kepada Dr. Mansur XE "Mansur, Dr." , supaya menjalankan politik devide et impera-nya lagi, sebab itu kita menolak adanya Muktamar Sumatra tersebut, dan kita sendiri telah siap sedia menanti segala ke-mungkinan yang bakal terjadi dari sikap penolakan kita ini. Kita yakin bahwa mereka yang telah menerima baik undangan Dr. Mansur XE "Mansur, Dr." tersebut, bukanlah orang Republiken, tetapi adalah kaki tangan dan budak kolonialisme Belanda yang selama ini sudah diberi makan roti. Kesetiaan rakyat Aceh terhadap Pemerintah Republik Indonesia bukan dibuat-buat serta diada-adakan, tetapi kesetiaan yang tulus dan ikhlas yang keluar dari lubuk hati mur-ni dengan perhitungan dan perkiraan yang pasti. Rakyat Aceh tahu pasti bahwa kemerdekaan secara terpisah-pisah, negara per negara, tidak akan meguntungkan dan tidak akan membawa kepada kemerdekaan yang abadi.

5. Ketika Indonesia di awal kemerdekaan sedang berada di jurang kebangkrutan, terutama dari segi keuangan atau dana perjuang-an, rakyat Aceh, terutama ibu-ibu Aceh secara beramai-ramai mengumpulkan perhiasannya seperti: emas, suasa, intan, dan berlian, untuk disumbangkan kepada Pemerintah, bagi menam-bah biaya perjuangan menegakkan kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia. Di lain pihak para pengusaha Aceh yang tergabung dalam Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (GASIDA XE "GASIDA" ) urunan untuk membeli dua pesawat terbang, yang kemudian satu pesawat diserahkan kepada Pemerintah Pusat dengan nama Seulawah-01 XE "Seulawah-01" , sedangkan yang satu lagi tidak diketahui entah ke mana diselewengkan oleh pihak tertentu. Dari laba pengoperasian pesawat tersebut dijadikan tambahan dana perjuangan, dan kemudian pesawat itulah sebagai cikal-bakal dari maskapai Garuda Indonesian Airways. (GIA).

6. Ketika Belanda hendak menguasai kembali Indonesia dengan melakukan agresinya di mana Belanda menyusup dalam ketiak Sekutu XE "Sekutu" , dan menyerang Medan-Sumut, secara bergelombang Aceh mengirimkan pasukan dan bala tentaranya untuk memper-tahankan RI (dalam hal ini Medan) di front pertempuran Medan Area XE "Medan Area" Selatan. Memang, ketika itu Sekutu tidak sampai men-jamah Aceh, kecuali Sabang XE "Sabang" . Oleh kerenanya Aceh berperang melawan Belanda/Sekutu di Medan, dan bukan di Aceh.

Ke semua ceritera tersebut di atas, mengantarkan kita atau orang-orang yang bersedia menjadikan ceritera di atas sebagai refe-rensi, kepada kesimpulan bahwa Aceh adalah bagian integral dari Indonesia, betapun ada pihak-pihak yang mengingkarinya. Kondisi dan kenyataan ini juga rupanya di sadari dan dipahami betul oleh Belanda dan Jepang XE "Jepang" . Oleh karenanya menjadi masuk akal (make sense) pula jika setelah Jepang menyerah kerena bom atom Sekutu XE "Sekutu" pada tahun 1945, Jepang tidak menyerahkan Indonesia kembali kepada Belanda dan atau kepada Sekutu, tetapi kepada Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 Demikian pula ketika Belanda setelah dua kali gagal melakukan agresi dengan menumpang pada keberadaan Sekutu. Akhirnya, harus mengakui kedaulatan Indonesia pada tahun 1949.

Walaupun Hasan Tiro XE "Hasan Tiro" , mendalihkan gerakannya kepada kebe-naran sejarah Aceh yang murni, tetap saja Prof. Dr. T. Ibrahim Alfian XE "Ibrahim Alfian" , bersikukuh mengatakan bahwa Gerakan Aceh Merdeka yang dipim-pin Hasan Tiro, 4 Desember 1976 merupakan tindakan untuk men-cari keuntungan pribadi. Sebab, lanjutnya, tingkah laku Hasan Tiro selama ini tidak hanya berkhianat terhadap negara RI, tetapi juga kepada pemimpin Aceh Tengku M. Daud Beureueh XE "Daud Beureueh, Tgk." dan rakyat Aceh. Rakyat Aceh dibohongi, katanya, dengan menjual hasil bumi untuk kepentingannya sendiri. Alfian juga mengatakan bahwa yang menen-tang ajakan Hasan Tiro adalah Hasan Saleh, yang dalam bukunya Hasan Saleh menyatakan bahwa Gerakan Aceh Merdeka pimpinan Hasan Tiro merupakan upaya pembohongan terhadap Tengku M. Daud Beureueh XE "Daud Beureueh, Tgk." dan rakyat Aceh untuk ketiga kalinya. Hasan Saleh juga mengatakan dalam bukunya tersebut bahwa: Saudarakan tahu bahwa Hasan Tiro telah menipu Tengku Daud Beureueh XE "Daud Beureueh, Tgk." dan rakyat Aceh sebanyak dua kali?. Ganjilkah apabila hendak menipu untuk ketiga kalinya. Namun, Hasan Tiro secara diametral membantah tudingan tersebut, dengan antara lain mengatakan: tidaklah mung-kin rakyat mau diajak untuk memberontak, jika hanya untuk meme-nuhi kepentingan, atau atas keinginan satu atau segelintir orang saja.

Hasan Tiro XE "Hasan Tiro" dengan pengetahuannya yang cukup dan kepiawai-annya dalam mengorganisir orang-orang, mampu meyakinkan bebe-rapa kalangan terutama para orang muda baik dari Universitas Sumatra XE "Sumatra" Utara (USU), maupun non-USU Medan, Unsyiah dan sebagainya. Mereka antara lain adalah: Dr. Muchtar Yahya Hasbi XE "Muchtar Yahya Hasbi" , Dr. Husaini Hasan XE "Husaini Hasan, Dr." , Dr. Zaini Abdullah XE "Zaini Abdullah, Dr." , Dr. Zubir Mahmud XE "Zubir Mahmud, Dr." , Marzuki Mahmud, Ir. Asnawi XE "Asnawi, Ir." , Amir Ishak XE "Amir Ishak" , Ilyas Nurdin XE "Ilyas Nurdin" , Dailami XE "Dailami" , Munzir XE "Munzir" , Hasbi Abdullah XE "Hasbi Abdullah" , Nurdin Abdurrahman XE "Nurdin Abdurrahman" , dan juga dari berbagai Perguruan Tinggi dan kalangan lain baik di Aceh maupun di luar Aceh.

Tidak begitu jelas kapan persisnya Hasan Tiro XE "Hasan Tiro" bersama teman-teman beliau (atau sendiri?) kemudian membentuk Aceh-Sumatra XE "Sumatra" National Liberation Front, disingkat ASNLF XE "ASNLF" , kecuali yang kita ketahui adalah redeklarasi dari The Independence of Acheh Sumatra di mana Hasan Tiro menyatakan dirinya sebagai Chairman, National Liberation Front of Acheh Sumatra, and Head of State. Abu Jihad XE "Abu Jihad" mengatakan dalam bukunya Hasan Tiro dan Pergolakan Aceh ANSLF dibentuk pada tanggal 29 Nopember 1976. Namun, menurut catatan Hasan Tiro, pada tanggal tersebut, kegiatan beliau dan teman-temannya adalah memindahkan Markas Besarnya dari Panton Weng ke daerah Tiro. Memang ada dikatakan oleh beliau sebagai berikut: By November 29, 1976, thirty days after may landing, our adherents have become large enough and the formal Organization of the National Liberation Front of Acheh Sumatra has become a reality. Penulisan ASNLF pun, yang dikutip baik dalam bukunya Abu Jihad maupun bukunya Al Chaidar, ternyata dalam catatan harian Hasan Tiro disebut sebagai NLFAS XE "NLFAS" , yakni singkatan dari National Liberation Front of Acheh Sumatra. Namun, kedua singkatan (abriviation) tersebut sesungguhnya mewakili substansi yang sama. Gerakan ini menyatakan akan berjuang untuk kemerdekaan dari apa yang mereka sebut sebagai neokolonial Indonesia-Jawa. Gerakan ini menggunakan tema pokok, tuntutan keadilan, anti diskriminasi, dan anti eksploitasi kekayaan alam Aceh oleh dan untuk pihak lain, serta issu kesejahteraan atau perbaikan hidup rakyat. Oleh karenanya relatip cepat mendapat perhatian dan kemudian simpati rakyat. Sedangkan di lain pihak, Pemerintah terutama aparat Keamanan melebelkan gerakan Hasan Tiro ini sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK XE "GPK" ) atau Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro (GPLHT XE "GPLHT" ), dan kemudian sekitar awal tahun 2001, menamakannya sebagai Gerakan Sipil Bersenjata Aceh (GSBA XE "GSBA" ). Barulah pada atau sejak tanggal 11 April 2001, melalui Konsideran Inpres No.4 tahun 2001, gerakan Hasan Tiro ini disebut secara resmi sebagai Gerakan Separatis Bersenjata. Gerakan ini selain disambut oleh beberapa intelektual muda Aceh, juga menarik perhatian dan mendapat dukungan di kalangan sebagian masyarakat di akar rumput. Rakyat Aceh lebih populer mengenalnya dan lebih lancar menyebut gerakan ini sebagai Aceh Merdeka (AM). Merasakan kenyataan seperti itu, telah memberikan semangat dan kebulatan tekad bagi Hasan Tiro dan pengikutnya, untuk mendeklarasikan Kemerdekaan bagi Aceh-Sumatra pada tanggal 4 Desember 1976. Sejak itulah orang-orang GAM XE "GAM" selalu memperingati tanggal 4 Desember sebagai hari Ulang Tahun GAM.

Secara perlahanlahan tetapi pasti gerakan ini meluas, merambat baik dalam dimensi kalangan (strata) dan kelompok masyarakat maupun dalam dimensi kewilayahan. Secara segmenter, pengaruh AM telah merasuk ke hampir semua lapisan masyarakat, termasuk pegawai negeri dan bahkan para oknum beberapa aparat keamanan. Pendukung atau simpatisan AM mulanya adalah mereka yang menggandrungi keadilan, perubahan dan perbaikan, serta berasumsi di sana akan ada sesuatu yang mereka harapkan. Salah satu penyebabnya adalah adanya janji pimpinan AM, bahwa kalau masuk GAM XE "GAM" , tidak usah bekerja pun akan dapat gaji. Hasan Tiro XE "Hasan Tiro" menuliskan dalam bukunya, yakni: menurut Edmund Burkue yang mengutip ucapan ahli negara Perancis yang mengatakan: Belum pernah rakyat dari suatu negara memberontak oleh karena pemerintahnya lemah dan kocar-kacir. Bagi rakyat, yang telah menggerakkan mereka memberontak bukanlah keinginan buat menyerang, tetapi kehilangan kesabaran buat menderita. Dan Edouard Laboulaye XE "Edouard Laboulaye" menurut beliau, pernah mengatakan bahwa: pemberontakan adalah usaha terakhir rakyat yang hak-haknya sudah dirampas oleh penindasan.

Selain itu, sebagian dari orang-orang yang mempunyai hu-bungan historis dan tradisional serta kaitan emosional dengan DI/TII, juga merupakan kelompok yang potensial menjadi pendukung AM. Sedangkan pada tahapan perkembangan berikutnya, orang-orang atau keluarga yang teraniaya dan terzalimi oleh kekerasan dan kekejaman Aparat Keamanan, adalah juga pendukung potensial AM, dan bahkan ada yang terang-terang menjadi anggata AM hanya untuk balas dendam, walaupun dia tadinya bukan AM.

Namun, ada hal yang cukup menarik untuk diamati, jika dibandingkan dengan peristiwa DI/TII, maka pendukung terhadap AM dapat dikatakan lebih merata. Jika kita sepakat dengan Snouck Horgronye dan juga diperkuat oleh pendapat Nazaruddin Syam-suddin, dalam bukunya Revolusi di Serambi Mekkah, (1999), yang membedakan elite Aceh menjadi 3 kelompok besar yakni ulama, kalangan sultana dan kalangan uleebalang, maka DI/TII hampir dapat dikatakan tidak didukung oleh kalangan uleelang, kecuali satu dua orang. Di samping itu, DI/TII juga tidak didukung oleh kalangan ulama Perti yang sebagian besar mendiami daerah pantai Barat/ Selatan (yang menghadap Lautan Hindia), serta ulama dayah XE "ulama dayah" , yang umumnya alumni Pesantren Darussalam XE "Pesantren Darussalam" Labuhan Haji XE "Labuhan Haji" di bawah Pimpinan Tengku H. Muda Wali XE "Muda Wali, Tgk. H." , sebagaimana dikatakan oleh Abu Adnan Bakongan XE "Adnan Bakongan, Abu" dan Buya Zamzami Syam XE "Zamzami Syam, Buya" , Singkil XE "Singkil" . Sedangkan AM, walaupun keseluruhan pendukungnya secara kwantitatip relatip lebih kecil dari DI/TII, namun dapat dikatakan lebih merata di kalangan semua kelompok dan wilayah Aceh. Dengan nama gerakan seperti itu, jelaslah secara harfiah bahwa AM atau ASNLF XE "ASNLF" bukanlah gerakan yang berideologikan agama (baca: Islam) sebagaimana DI/TII, tetapi lebih sebagai gerakan nasionalis yang sekuler yang berjuang untuk kemerdekaan. Karena sifat sekulernya itulah, makanya para ulama tidaklah secara unblock dan serta merta mendukungnya, sebagaimana DI/TII, walaupun ada juga beberapa ulama atau pimpinan pesantren yang diketahui umum, adalah orang-orang AM. Bahkan menurut Richard Barber XE "Richard Barber" , perjuangan AM yang sekuler tersebut tidaklah menyenangkan atau memuaskan bagi para ulama. Whilst sentiment in Aceh were sympathetic to the cause, this did not translate to strong active participation, primarily because the relatively secular nature of the independent state proposed by GAM XE "GAM" did not satisfy the Islamic objectives of the ulama.

Ada beberapa issue atau berita miring yang terdengar pada awal mula munculnya A.M. dan ketika maraknya GAM XE "GAM" , antara lain

1. Hasan Tiro XE "Hasan Tiro" ingin mendirikan Negara Aceh Merdeka yang merupakan bagian dari Commenwealth XE "Commenwealth" Inggris XE "Inggris" . ..).

2. Tgk. H.M. Daud Beureueh XE "Daud Beureueh, Tgk." , mendukung perjuangan Hasan Tiro XE "Hasan Tiro" , dengan motivasi untuk menjadikan Aceh sebagai bagian dari Negara Bagian Kelantan XE "Kelantan" Malaysia XE "Malaysia" .

3. Hasan Tiro XE "Hasan Tiro" akan mendirikan negara Aceh yang Merdeka berbentuk Kerajaan (absolut monarchi) dengan mengangkat dirinya sebagai Raja Aceh, dan putera mahkotanya adalah Karim bin Hasan Tiro.

4. Akibat ketidak sepakatan soal bentuk negara tersebut dan ideologi yang akan diterapkan, maka GAM XE "GAM" telah terpecah menjadi dua faksi; yang pertama disebut sebagai GAM, dipimpin oleh Malik Mahmud XE "Malik Mahmud" , di Stockholm XE "Stockholm" ; dan yang kedua disebut MP GAM XE "MP GAM" (Majelis Pemerintahan GAM), dipimpin oleh Dr. Husaini Hasan XE "Husaini Hasan, Dr." , juga berada di Stockholm; serta kedua-duanya mengakui dan mendaulat Hasan Tiro XE "Hasan Tiro" sebagai Wali Negara.

5. Ada keterangan yang mengatakan bahwa sebab khusus sebagai pemicu munculnya ASNLF XE "ASNLF" (Aceh-Sumatra XE "Sumatra" National Liberation Front) yang kemudian menjadi Aceh Mereka (AM), lalu menjadi Gerakan Aceh Merdeka (GAM XE "GAM" ), adalah rasa kecewa yang mendalam dari gagalnya Hasan Tiro XE "Hasan Tiro" mendapatkan konsesi untuk menjadi kontraktor di Mobil Oil XE "Mobil Oil" , yang ketika itu sedang memulai eksploitasi gas (LNG XE "LNG" ) di Arun XE "Arun" , Aceh Utara.

Perjalanan waktu bergerak terus, GAM XE "GAM" semakin membesar, sementara orang-orang yang tadinya menganggap enteng atau anggap kecil (under estimate), mulai menyadari kenyataan bahwa senjata GAM telah lebih banyak, yang diawali dengan keberanian/ kenekatan mereka merampas senjata milik Apkam RI, baik Polisi maupun tentara, dan mulai pula melalukan penghadangan, pencu-likan dan penyerbuan secara terbuka. Usaha fund rising di kalangan masyarakat di desa dan kota di Aceh, semakin untensip dan merata, dengan dalih untuk membeli senjata. Sementara di kalangan TNI/ Polri XE "TNI/Polri" , menanggapinya secara terbelah, ada yang ingin melakukan pendekatan kultural dan sosial-politik, yang ditentang habis-habisan oleh kalangan garis keras yang menginginkan AM atau GAM, ditumpas, dibasmi, diberantas, dan juga menggunakan istilah-istilah lainnya yang ganas dan haus darah, seolah-olah GAM adalah barang mati, begitu saja dengan mudah dapat dimusnahkan atau diberantas.

Adalah Presiden Habibie XE "Habibie, Presiden" awal mulanya yang berupaya keras un-tuk merubah sikap dan paradigma bangsa ini dalam melihat dan memposisikan GAM XE "GAM" . Kata beliau, GAM atau pendukungnya adalah orang Aceh, jadi mereka adalah warga negara Indonesia. Orang Aceh adalah saudara kandung dari orang Indonesia lainnya, jadi tidak selayaknya dan tidak masuk akal kita memerangi mereka. GAM adalah persoalan dalam negeri kita, mari kita selesaikan secara internal, dengan persuasif secara kekeluargaan, dengan pendekatan budaya, dengan secara damai, adil, dan bermartabat serta ber-wawasan ke depan, kata beliau. Beliau pun telah mencabut DOM XE "DOM" , membebaskan tapol/napol dan memberikan amnesti, dan mem-bangun beberapa proyek vital dan strategis, serta mempersiapkan bantuan bagi para korban konflik, baik dalam bentuk uang, natura (in kind) maupun beasiswa. Beliau sendiri menyatakan dan menye-diakan diri sebagai Bapak Angkat dari beberapa siswa Aceh korban Konflik. Beliau sangat memberi perhatian kepada pelanggaran HAM XE "HAM" dan juga secara khusus yang berhubungan dengan adanya kuburan masaal, ataupun kuburan orang-orang yang terbunuh karena keke-jaman dan kekerasan, selama DOM.

Upaya damai melalui dialog untuk menyelesaikan masalah Aceh diteruskan oleh Presiden Gus Dur XE "Gus Dur, Presiden" , yang memprakarsai mengundang keikutsertaan HDC XE "HDC" , sebagai mediator dan fasilitator dialog antara Pem RI dengan GAM XE "GAM" . Dialog pun berlangsung di Jenewa XE "Jenewa" , walaupun lebih banyak secara tidak langsung, yang akhirnya menghasilkan Jeda Kemanusiaan XE "Jeda Kemanusiaan" atau lengkapnya Joint Understanding on Huma-nitarian Pause XE "Joint Understanding on Humanitarian Pause" ditandatangani pada 12 Mai 2001. Setelah berjalan beberapa waktu dan semua badan/istitusi yang berkenaan dengan kesepahaman tersebut telah dibentuk dan telah bekerja di Aceh, namun akhirnya, terpaksa terhenti. Hanya karena kedua pihak kurang konsekuen dalam memenuhi tugas dan kewajibannya serta komitment-komitmennya. Dalam Era Gus Dur XE "Gus Dur, Presiden" , arus dan semangat Referendum XE "Referendum" bertiup kencang dan menggetarkan banyak kalangan. Gus Dur XE "Gus Dur, Presiden" pun tidak mau ketinggalan dengan aspirasi tersebut, beliau lebih cenderung menyesuaikan diri, sehingga terkesan, lebih memberi angin kepada kemungkinan dilaksanakannya referendum. Hal itu tidak saya terkait dengan bebagai statement beliau yang memang susah ditebak, dan suka bukin kejutan, tetapi juga, ber-hubungan dengan sikap beliau sebelum menjadi Presiden ketika membuka selubung referendum dihalaman Mesjid Raya Baitul Rahman XE "Mesjid Raya Baitul Rahman" .

Kemudian Presiden Megawati XE "Megawati" , meneruskan upaya damai melalui dialog, dengan tetap mendapat bantuan atau fasilitasi dari HDC XE "HDC" . Kemudian Menko Polkam yang waktu itu dijabat oleh SBY XE "SBY" , membentuk Desk Aceh XE "Desk Aceh" , di kantor Menko Polkam, di mana 6 orang masyarakat sipil Aceh di Jakarta diangkat sebagai penasehatnya. Walaupun diselingi dengan berbagai operasi dalam rangka pelaksanakan beberapa Inpres, tantang Langkah-langkah Kompre-hensif dalam Rangka Penyelesaian Masalah Aceh, akhirnya pembicaraan damai melalui dialog tersebut menghasilkan apa yang disebut dengan Cessation of Hostilities Agreement (COHA). Yang ditandatangani pada tanggal 9 Desember 2002. COHA itu pun kemudian dapat disebut gagal, mengingat di ujung-ujungnya ternyata kedua pihak (entah siapa yang memulai), tidak dapat memenuhi kewajibannya atau tidak dapat menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat merusak kesepakatan tersebut. Akhirnya diberlakukankanlah status Darurat Militer bagi Aceh selama setahun (2 tahapan) sejak 19 Mai 2003 s/d 19 Mai 2004, dan kemudian disusul dengan status Darurat Sipil, selama 6 bulan. Sejak saat Megawati pula, Menko Kesra Jusuf Kalla, mulai melirik soal penyelesaian masalah Aceh secara damai, setelah beliau sukses menangani konflik Maluku XE "Maluku" dan Poso, sehingga sering bertemu dengan penasihat Desk Aceh.

Terpilihnya SBY XE "SBY" sebagai Presiden RI dan JK sebagai Wakil Presiden RI, selain sebagai kemenangan bagi pencinta demokrasi Indonesia, juga merupakan sesuatu harapan dari rakyat Aceh, karena kedua beliau, di mata orang Aceh adalah sebagai tokoh yang menggandrungi penyelesaian masalah Aceh secara damai, bukan melalui peperangan. Dengan dikomandani oleh JK, tentunya setahu dan seizin Presiden, terjadilah penjajakan dan kemudian mulailah perundingan generasi ketiga, yang di fasilitasi dan dimediasi oleh mantan Presiden Finlandia XE "Finlandia" Martti Ahtisaari XE "Martti Ahtisaari, Presiden Finlandia" , di Helsinki. Setelah melalui jalan yang berliku dan beronak/duri, sampailah pada kemungkinan penanda-tangan MoU, antara Pem Ri dan GAM XE "GAM" , dengan dise-pakatinya rumusan berkenaan dengan beberapa substansi yang dianggap oleh Pem RI dan GAM selama ini sebagai pengganjal. Substansi-substansi krusial tersebut antara lain berkenaan dengan soal independence, soal self-government XE "self-government" , soal special autonomy, soal mobilisasi dan decommisioning senjata GAM, soal relokasi TNI/ Polri XE "TNI/Polri" non organik. Demikian pula substansi berkenaan dengan soal Partai lokal, dan pemilihan lokal, soal-soal yang berkenaan dengan per-setujuan DPRD/Pemerintahan Daerah, terhadap beberapa kebijakan pusat, beberapa hal dibidang ekonomi, dan sebagainya.

Akhirnya dengan kelapangan dada masing-masing dan dengan keinginan keras untuk menghentikan peperangan dan memulai damai, kedua pihak menandatangani naskah final dari MoU Helsinki XE "MoU Helsinki" , pada tanggal 15 Agustus 2005, tepat 7 bulan 20 hari setelah terjadinya bencana Gempa XE "Gempa" dan Tsunami XE "Tsunami" di Aceh, dengan nama aslinya: Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia, dan Gerakan Aceh Merdeka (Memorandum of Under-standing between The Government of the Republic of Indonesia, and The Free Aceh Movement). Penanda tanganan tersebut disambut secara beragam di Aceh dan di berbagai kalangan Indonesia lainnya. Ada yang gembira dan bersyukur, serta menaruh banyak harapan, ada pula yang menyambutnya dengan pesimistis, bahkan ada pula yang secara terang-terangan menentang-nya yang seungguhnya sejak dalam proses perundingan pun mereka sudah menyuarakan ketidak setujuannya tersebut. Disadari bahwa masih banyak yang harus dikerjakan, antara lain: yang berkenaan dengan ketaatan masing-masing pihak terhadap komitmen yang telah dibuat dalam MoU, demikian pula yang berkenaan dengan reintegrasi baik GAM XE "GAM" maupun masyarakat korban konflik, kedalam masyarakat, berikut dengan pencairan dana bantuan dan bantuan lainnya yang diberikan oleh pemerintah untuk memperlancar reintegrasi. Bagaimana pula proses rekonsiliasi di tengah-tengah masyarakat, adalah perkara yang sangat menentukan apakah damai di Aceh akan abadi atau hanya sementara. Kesemuanya sang waktulah yang menjadi saksi sejarah bagaimana juntrungan MoU Helsinki XE "Helsinki" tersebut dalam pelaksa-naannya (MoU in Action) dan bagaimana wujud ke depannya. Apakah pelaksanaannya sesuai dengan yang tertulis dalam MoU, dan harapan rakyat, atau tidak, akhirnya tingkah laku (performance) para pihak lah yang akan menentukan-nya. Oleh karenanya jangan berhenti berdoa dan berbuat. Semoga Allah Swt menerangi hati mereka.***

Anthony Reid XE "Anthony Reid" , Asal Mula Konflik Aceh, (terj.), 2005, hlm. 170.

Reid XE "Anthony Reid" , ibid.

Uleebalang Pidie, Teuku Pakeh Dalam, misalnya, menandatangani pernyataan mengaku takluk kepada Belanda, dan membenarkan Belanda mendirikan Benteng-nya di Pidie, pada tanggal 28 Februari 1876.

Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, 1992.

Hasan Tiro, The Price of Freedom (The Unfinished Diary).

Abu Jihad, Hasan Tiro dan Pergolakan Aceh, (Jakarta: Titian Ilmu Insani, 2000).

Al Chaidar, Gerakan Aceh Merdeka: Jihad Rakyat Aceh Mewujudkan Negara Islam, (Jakarta: Madani Press, 1999).

Hasan Tiro, Demokrasi untuk Indonesia, 1958.

Richard Barber XE "Richard Barber" , Aceh: The Untold Story, 2000.

10

DAMAI DI SERAMBI MEKKAH11BAB I: Pendahuluan