2011pwp_BAB III Pembahasan
-
Upload
hendry-wijayanti -
Category
Documents
-
view
24 -
download
0
Transcript of 2011pwp_BAB III Pembahasan
UJI KERAGAMAN GENETIK ZOOXANTHELLAE DARI BEBERAPA
SUMBER INANG DAN KAJIAN PERTUMBUHANYA
DI LINGKUNGAN BINAAN
Abstrak
Zooxanthellae merupakan fitobiotik yang selalu hidup bersimbiosis
dengan beberapa biota dasar seperti protista, cnidaria dan moluska. Proses
simbiotiknya dengan karang menghasilkan ekosistem terumbu karang yang sangat
penting di lingkungan perairan laut dangkal. Dalam proses simbiotik antara
karang dan zooxanthellae tersebut keberadaannya sangat ditentukan oleh kondisi
perairan. Dalam satu inang dapat dijumpai beberapa jenis clade sesuai dengan
kemampuan inangnya untuk melindungi terhadap perubahan lingkungan
sekitarnya. Fenomena fleksibilitas hubungan inang simbion ini akan diteliti dalam
suatu kegiatan pemurniannya melalui tahapan evaluasi keragaman dan upaya
penumbuhan secara terbina.
Penelitian ini bertujuan untuk : (a) mengevaluasi faktor kebutuhan cahaya,
temperatur dan nutrien yang mendukung pertumbuhan zooxanthellae, (b)
mengkaji keragaman zooxanthellae berdasarkan profil DNAnya dari sumber inang
sea anemon, tridacna, Acropora, Favites dan Goniastrea aspera dan (c) Mengkaji
upaya optimalisasi pertumbuhan zooxanthellae secara massal. Penelitian
dilaksanakan di Laboratorium Pakan Alami dan Genetika Balai Besar
Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara mulai Agustus 2004
sampai dengan Oktober 2005.
Hasil yang menonjol dari tahap kajian ini adalah : (a) cahaya yang
mendukung untuk penumbuhan berjenjang hingga massal adalah cahaya hijau
dengan kisaran kekuatan cahaya 84,56 sampai dengan 102,78 µmol quanta m-2
dt-
1, kisaran temperatur yang mendukung adalah antara 20
oC hingga 23
oC dengan
penambahan nutrien awal 200 µM NaNO3. (b) Variasi keragaman clade dari
sumber inang Sea anemon, Tridacna, Acropora, Favites dan Goniastrea adalah
clade A, clade B dan clade C, dengan sebaran Sea anemon mengandung
zooxanthellae clade A (80%) dan clade B (20%), Tridacna mengandung
zooxanthellae clade A (80%) dan clade B (20%), Acropora mengandung
zooxanthellae clade A (60%), clade B (20%) dan clade C (20%), Favites
mengandung zooxanthellae clade A (20%) dan clade C (80%) serta Goniastrea
mengandung zooxanthellae clade A (60%) dan clade B (40%). (c) Pada kondisi
lingkungan yang terkendali, maka potensi pertumbuhan puncak zooxanthellae
clade A, B dan C dapat dipertahankan dengan penambahan ulang NO3-N sebesar
0,0445 mg/l dalam selang waktu 16 hari.
Abstract
Zooxanthellae is phytobiotic that always live symbiotically with several
seabed biota such as protist, cnidaria dan mollusc. Its symbiotic process with coral
results in an important coral reef ecosystem at a shallow water environment.
Water condition determines the existence of zooxanthellae in the symbiotic
process. Several clades could be found in one host depending on the host
42
capability of adjusting the environmental change. This flexibility of host-symbiont
relationship phenomenon will be studied in purification of zooxanthellae with
two step, are diversity evaluation of zooxanthellae and growth rate in the artificial
environment.
The study of purification of zooxanthellae was proposed to: (a) Evaluating
factor needed irradiance, temperature and nutrient that supporting of
zooxanthellae growth, (b) explore genetic diversity of zooxanthellae based on
profill it’s DNA from sea anemone, Tridacna, Acropora, Favites and Goniastrea,
(c) Explore the effort optimalization growing of zooxanthellae. The experiment
took place for 24 weeks in Natural food and Genetic laboratory of Main Center of
Brackishwater Aquaculture Development Jepara from August 2004 to October
2005.
The research showed that: (a) The range of supporting irradiance,
temperature and nutrient are : green radiance (with comparison 84,56 - 102,78
µmol quanta m-2
dt-1
), 20 – 23oC and initial nutrient 200 µM of NaNO3, (b)
Diversity variation clade from host (organism test) are clade A, clade B and clade
C, with dispertion of Sea anemon are clade A (80%) and clade B (20%), Tridacna
are clade A (80%) and clade B (20%), Acropora are clade A (60%), clade B
(20%) and clade C (20%), Favites are clade A (20%) and clade C (80%),
Goniastrea are clade A (60%) dan clade B (40%). (c) In controlling environment,
the potention of peak growth of third clade are can be maintenanced with adding
NO3-N amount 0,0445 mg/l and repeat again for 16 days.
Pendahuluan
Terumbu karang adalah suatu ekosistem dasar laut dengan penghuni utama
berupa karang batu. Berbagai spesies dan bentuk karang batu ini bersama-sama
dengan makhluk hidup lainnya membentuk suatu ekosistem. Arsitektur terumbu
karang yang indah dibentuk oleh ribuan binatang kecil yang disebut polip. Dalam
bentuk sederhananya karang dapat terdiri dari satu polip saja yang mempunyai
bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan
dikelilingi oleh tentakel. Dinding polip maupun tentakel karang terdiri dari tiga
lapisan yaitu ektoderma, endoderma dan mesoglea. Ektoderma merupakan
jaringan terluar yang terdiri dari beberapa jenis sel, antara lain sel mukus dan
nematocyst. Sel-sel mukus berfungsi sebagai penghasil mukus yang membantu
menangkap makanan dan membersihkan diri dari sedimen yang melekat,
sedangkan nematocyst berfungsi sebagai penangkap makanan, pertahanan diri dan
dalam fase larva berperan sebagai pemonitor tempat pelekatan planula (Mariscal,
1974). Mesoglea merupakan jaringan yang terletak antara lapisan ektoderma
43
dengan endoderma, terdiri dari jelly. Di dalam lapisan jelly terdapat fibril,
sedangkan di bagian luar terdapat semacam sel otot. Endoderma merupakan
jaringan yang terletak di bagian dalam, sebagian besar sel-selnya mengandung sel-
sel algae (zooxanthellae) yang merupakan simbion bagi hewan karang
(Muscatine, 1974). Seluruh permukaan jaringan karang juga dilengkapi dengan
silia dan flagela, keduanya berkembang dengan baik di lapisan luar tentakel dan di
dalam sel mesenteri. Dalam banyak spesies karang, individu polip berkembang
menjadi banyak individu yang disebut dengan koloni.
Salah satu sifat konservatif dari biota karang adalah adanya simbiosis
dengan zooxanthellae. Dari hubungan konservatif ini maka terbentuk bangunan
terumbu karang yang banyak ditemukan di lingkungan perairan benthic tropis
(Muller-Parker dan D’Elia 1997). Dari hubungan fungsional tersebut,
zooxanthellae menyediakan lebih kurang 95% hasil fotosintetik mereka kepada
inang karang, dan produk ini dimanfaatkan karang untuk pertumbuhan,
reproduksi, dan pemeliharaan fisiologisnya. Sebagai umpan balik, inang karang
menyediakan kebutuhan fisiologi endosimbion berupa nutrien dan perlindungan di
dalam jaringan-jaringan polipnya (Davies, 1993; Muscatine and Porter, 1977,
Falkowski et al., 1984, Barnes and Chalker, 1990, Muller-Parker and D’Elia,
1997).
Dalam berbagai penelitian di lapangan, diinformasikan tentang berbagai
aspek lingkungan fisika kimianya yang berperan dalam mendukung peningkatan
dan repon positif densitas zooxanthellae di dalam jaringan polip karang. Respon
cahaya yang dapat diterima oleh zooxanthellae pada jaringan polip karang
bervariasi pada setiap jenis. Respon cahaya ini bergantung kepada jenis
pigmentasi dominan yang menyusunnya. Chlorophyl-c ditemukan pada
sekelompok alga coklat seperti cryptophyceae, dinophyceae, rhaphidophyceae,
chrysophyceae, bacillariophyceae, xanthophyceae dan phaeophyceae (Meek,
1974). Komponen chlorophyl-c mengandung 3 komponen yang secara spectrum
berbeda nyata, yaitu chlorophyl-c1, c2 dan c3. Dalam hal ini chlorophyl-c2 selalu
terdapat pada dinophyceae (zooxanthellae termasuk dalam kelompok ini; baik
yang hidup bebas maupun alga simbiotik). Sementara itu, Hall dan Rao (1987)
mengemukakan bahwa jenis-jenis pigmen tersebut mampu merepon pada variasi
44
panjang gelombang 445 sampai dengan 625 nm. Pada panjang gelombang yang
lebih pendek khususnya pada panjang gelombang 280-320 nm dan 320-400 nm,
maka akan menyebabkan peningkatan eksitasi elektroniknya sehingga dapat
merusak sel-sel dalam tubuh fitobiotik (Page, 1990) termasuk zooxanthellae
(Rivers et al., 2002; Klein dan Klein, 1970; Parrish et al., 1978)
Karang secara umum berkembang baik pada lingkungan perairan dengan
kadar nutrien yang rendah. Pengaruh anthropogenik menyebabkan eutrifikasi di
kawasan terumbu karang yang hidup di perairan pantai (Berner dan Izhaki, 1994;
Stambler et al., 1994; Wilkinson, 1999). Hal tersebut diperlihatkan bahwa karang
dipengaruhi secara langsung oleh peningkatan konsentrasi nitrogen yang
menyebabkan terjadinya peningkatan pertumbuhan populasi zooxanthellae
(Hoegh-Guldberg dan Smith, 1989; Dubinsky et al., 1990; Stambler et al., 1991
dan 1994; Stimson dan Kinzie, 1991; Hoegh-Guldberg, 1994, Marubini dan
Davies, 1996; Muller-Parker dan D’Elia, 1997); dalam kadar yang berlebihan
akan menyebabkan efek berbalik dalam bentuk menurunkan laju pertumbuhan
karang (Stambler et al., 1991; Ferrier-Pages et al., 2000; Dubinsky et al., 1990;
Hoegh-Guldberg et al, 1997, Marubini dan Davies, 1996).
Aspek penting lainnya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan
zooxanthellae adalah temperatur. Tekanan akibat temperatur tinggi tidak seperti
tekanan yang dialami oleh karang pada temperatur dingin. Secara prinsipil,
pengaruh temperatur panas menyebabkan kerusakan (breakdown) simbiosis
karang dengan zooxanthellae. Peningkatkan temperatur perairan sampai 2-3 o
C
dari temperatur normal untuk beberapa bulan menyebabkan pemutihan yang luas
dan bahkan kematian karang seperti observasi yang telah dilakukan di Indonesia
pada tahun 1983 oleh Brown dan Suharsono (1990); dan di tempat lain pada
periode tahun 1986-1987 dan 1989-1990 (Williams dan Bunkley Williams, 1990).
Peningkatan temperatur secara ekstrim juga dapat menyebabkan kerusakan sel
zooxanthellae hingga menjadi mati (Zamani, 1995). Catatan lain dari
kelangsungan hidup karang akibat temperatur rendah hampir sama, yaitu :
Solenastrea hyades di utara Carolina (Veron, 1995) ditemukan pada temperatur
10,6 o
C; Acropora Sp, Porites Spp dan Platygyra daedalea di Teluk Persia dan
45
Teluk Arab pada temperatur 11 o
C oleh Coles dan Fadlallah (1991); Montipora
Spp di P. Yaeyama pada temperatur kurang dari 13 oC (Nomura, 1986).
Faktor-faktor lingkungan tersebut dinyatakan sebagai efek aspek
horizontal (open system) dari keragaman zooxanthellae yang tertransduksi pada
inang polip (Coffroth dan Santos, 2005). Kajian tentang keragaman zooxanthellae
secara molekular mulai dikaji sejak 1980 (Schoenberg and Trench,1980; Baker
2003; LaJeunesse 2001 dan Santos et al., 2001). Keragaman zooxanthellae pada
karang dan beberapa biota laut lainnya hingga kini telah terinformasikan sebanyak
8 clade yaitu A, B, C, D, E, F, G, H (Coffroth dan Santos, 2005). Tiap-tiap clade
mempunyai daya toleransi yang spesifik terhadap kondisi lingkungan sekitarnya
bergantung kepada biogeografinya (LaJeunesse et al. 2003; Savage et al. 2002;
Tchernov et al. 2004; Iglesias-Prieto and Trench, 1997; Rowan et al. 1997;
Warner. et al. 1996).
Terkait dengan tujuan penelitian secara makro terhadap proses translokasi
zooxanthellae antar inang ini maka dikaji keragaman zooxanthellae berdasarkan
tahapan budidayanya. Dengan diperolehnya suatu biakan zooxanthellae secara
bertahap, diharapkan diperoleh informasi tentang clade yang lebih murni. Di
samping itu dengan mempergunakan tahapan kegiatan pemurnian diharapkan
mendapatkan informasi mengenai beberapa variabel penentu khususnya terhadap
upaya pembiakan secara massal dengan pertumbuhan yang lebih cepat. Informasi
terakhir merupakan masukan yang berguna pada tahap implementasi translokasi
antar sumber inangnya.
Tujuan dari kajian pertumbuhan zooxanthellae massal dan uji keragaman
genetik berdasar penumbuhan di lingkungan binaan adalah :
1. Mengevaluasi faktor kebutuhan cahaya, temperatur dan nutrien optimum yang
mendukung pertumbuhan zooxanthellae;
2. Mengkaji keragaman zooxanthellae berdasarkan profil DNAnya dari sumber
inang sea anemon, tridacna, Acropora, Favites dan Goniastrea aspera;
3. Mengkaji upaya optimalisasi pertumbuhan zooxanthellae secara massal.
46
Metodologi
Penelitian tentang penumbuhan massal dan keragaman zooxanthellae yang
dilakukan pada lingkungan binaan ini merupakan seri pertama dari penelitian
sekuensial tentang translokasi zooxanthellae pada karang Goniastrea aspera.
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah produk zooxanthellae massal
dengan inisial beberapa clade zooxanthellae.
Peralatan Percobaan
Peralatan yang dipergunakan dalam penelitian ini untuk peralatan selam
dan transek mempergunakan : scuba diving, tali rol 50 meter, palu, tatah, tempat
contoh karang dan sterefoam. Peralatan tersebut dipergunakan untuk penelitian
pendahuluan penentuan materi uji. Peralatan inokulasi meliputi : ruang inokulasi
(ruang inkubasi), infected cable untuk penggoresan materi zooxanthellae,
perlengkapan gelas (glass ware) berupa erlenmeyer, petri disk, ruang pembiakan
murni, lampu neon putih dan neon hijau, botol 1 liter, pendingin, blender,
centrifuge 3.000 rpm, microskop binokuler dan sedwich rafter. Peralatan untuk
pemasalan pertumbuhan zooxanthellae meliputi : konikle tank, aerator yang
dilengkapi dengan batu aerasi dan selangnya; pencahayaan neon hijau. Peralatan
uji keragaman zooxanthllae meliputi : seperangkat peralatan PCR (Polymerase
Chain Reaction) mencakup PCR thermocycler, elektrophoresis chamber dan UV
transiluminator ; Peralatan analisis kualitas air media mencakup : perangkat
penangas (water heater, stirer) dan filter air, deionyzed water instrument;
thermometer skala 50oC, refraktometer dan spectrophotometer.
Bahan Percobaan
Bahan uji adalah zooxanthellae yang berasal dari sumber inang tridacna,
sea anemon, karang Acropora, Favites dan Gonistrea aspera. Banyaknya bahan
uji masing-masing satu koloni. Bahan uji ini diambil pada habitat atau lokasi yang
sama dengan kedalaman 2-5 meter di perairan Pulau Bokor Kabupaten Jepara
Jawa Tengah. Pengambilan pada lokasi yang sama dimaksudkan agar tiap bahan
uji mempunyai potensi yang sama dalam mentransduksi zooxanthellae yang
melintas atau tersuspensi di kawasan tersebut.
47
Bahan uji selanjutnya dibawa ke laboratorium dengan mempergunakan
ember besar yang memungkinkan tiap bahan terendam air laut. Untuk
mempertahankan media, maka diberikan tambahan es untuk mempertahankan
temperatur media. Pada laboratorium, bahan uji ditempatkan pada konikel tank
volume 1 ton yang telah dipersiapkan secara terpisah dan dilengkapi dengan
aerasi. Konikel tank ditempatkan pada ruang indoor untuk menghindari pengaruh
pencahayaan yang kuat.
Tahapan Penelitian
Untuk mengarahkan kepada tujuan yang hendak dicapai, maka dilakukan
beberapa langkah kegiatan yang dirinci sebagaimana diuraikan berikut.
Langkah I : Inokulasi dan Pemisahan Zooxanthellae
Pada langkah I dilakukan dua tahap kegiatan, yaitu tahap inokulasi dan
tahap pengenceran awal dalam wadah berukuran 25 ml. Tahap inokulasi yaitu
menerapkan teknik isolasi zooxanthellae mengikuti cara yang dilakukan oleh
Nordemar et al., (2003). Dalam hal ini setelah inang (khususnya karang) diperoleh
dari alam selanjutnya dipotong sebesar lebih kurang 50 g. Contoh inang
selanjutnya diblender hingga tercacah secara sempurna. Campuran keruh dari
CaCO3 cangkang atau rangka dan polip kemudian dialihkan dalam botol tube
gelas volume 15 ml sebanyak 6 buah. Adapun materi zooxanthellae dari sea
anemon dan tridacna dihasilkan dari hasil blender langsung dari hewannya.
Dengan demikian materi yang diperoleh terdapat 5 buah dengan notasi SA (sea
anemon); Tr (Tridacna); Ac (Karang Acropora); Fv (Karang Favites) dan Gn
(Karang Goniastrea aspera). Materi yang sudah dimasukkan dalam tabung
sentrifugal ditata dalam tempatnya dan diputar dengan kecepatan 3.000 rpm
selama 10 menit. Cairan supernatan hasil sentrifuge selanjutnya dipisahkan ke
dalam botol yang sudah dipersiapkan. Cairan ini mengandung zooxanthellae yang
dimaksud dan nantinya akan diinokulasikan ke dalam media agar.
Pada percobaan uji keragaman ini dilakukan beberapa tahap penggunaan
media agar karena ketidak berhasilan tumbuh. Media agar pertama yang
dipergunakan dalam pemurnian zooxanthellae adalah media agar Allen (Commbs
dan Hall, 1982) dengan komposisi sebagaimana disajikan pada Tabel 4.
48
Tabel 4. Komposisi Kimia Media Agar Allen untuk Budidaya Biakan Murni
Zooxanthellae
No Jenis Kimia Jumlah yang ditambahkan Stok (g/200 ml H2O) 1 NaNO3 1,5 g -
2 K2HPO4 5 ml 1,50
3 MgSO4.7H2O 5 ml 1,50
4 Na2CO3 5 ml 0,08
5 CaCl2 10 ml 0,05
6 Na2SiO3.H2O 10 ml 1,16
7 Asam citrat 1 ml 1,20
8 Trace elemen 1 ml (dalam M) dengan komposisi :
Zn 0,08
Mn 0,90
Mo 0,03
Co 0,05
Cu 0,04
Fe 11,70
EDTA 11,70
Percobaan dengan mempergunakan media agar tersebut memberikan respons
negatif yaitu zooxanthellae tidak dapat tumbuh. Percobaan lanjut dengan media
agar yang sama dengan penambahan Vitamin B12 sebesar 100 pmol/l (Croft et
al., 2005) memberikan respon positif yang lemah.
Untuk meningkatkan respons perkembangan inokulan dilakukan dengan
mencoba mempergunakan media DIFCO Bacto-agar (Guillard dan Ryther, 1962)
yang juga diperkaya dengan larutan trace mineral dan larutan vitamin. Komposisi
kimiawinya adalah sebagaimana diperlihatkan pada tabel berikut.
Tabel 5. Komposisi Kimia Media Agar Bacto untuk Budidaya Biakan
Murni Zooxanthellae
No Jenis Kimia Jumlah yang
ditambahkan
Stok (g/950 ml Air
Laut Tersaring) 1 NaNO3 1 ml 75
2 NaH2PO4.H2O 1 ml 5
3 Na2SiO3.9H2O 1 ml 30
4 Larutan Trace Mineral
1. FeCl3.6H2O 3,15 g
2. Na2EDTA.2H2O 4,36 g
3. CuSO4.5H2O 1 ml 9,8
4. Na2MoO4.2H2O 1 ml 6,3
5. ZnSO4.7H2O 1 ml 22,0
6. CoCl2.6H2O 1 ml 10
7. MnCl2.4H2O 1 ml 180
5 Larutan Vitamin
1. Vitamin B12 1ml 1
2. Biotin 10 ml 0,1
3. Thiamine.HCl 200 mg
49
Penggunaan media Bacto agar ini juga memberikan respon positif yang lemah
yang diindikasikan dengan penumbuhan inokulan zooxanthellae yang tipis.
Respon positif dengan hasil yang baik diperoleh dengan mempergunakan
media agar baik Bacto-agar maupun media Agar Allen setelah kedua media
diberikan penambahan vitamin C sebesar 0,4 g dan 2 g/l pada masing-masing
media agar Allen dan Bacto agar. Penambahan vitamin C pada media agar untuk
pemurnian zooxanthellae yang dilakukan oleh Yakobovitch et al., (2004) adalah
sebesar 3 g/l. Formulasi pengaturan media agar Bacto dengan penambahan
beberapa unsur vitamin tersebut dipergunakan untuk percobaan lanjut pada
penelitian ini. Cara ini dilakukan secara berurutan sesuai dengan rencana
percobaan. Dalam hal ini untuk setiap kegiatan dipergunakan petri disk sebanyak
25 buah yang telah disiapkan terlebih dahulu dengan memasukkan kedalamnya
media agar.
Setelah terdapat indikasi pertumbuhan hasil pembiakan di dalam media
agar maka materi tersebut selanjutnya dipisahkan atau dinetralisir ke dalam media
cair dengan volume 25 ml. Pemisahan dalam media yang rendah dimaksudkan
agar materi yang dikonsentrasikannya masih dapat terukur. Pemisahan ini
merupakan langkah lanjut dari seri percobaan pemurnian zooxanthellae yang
diikuti oleh langkah percobaan pengembangan media budidaya zooxanthellae.
Langkah II : Pengembangan Media Budidaya Zooxanthellae
Hasil pemisahan tahap inokulasi akan didapatkan jenis media yang sesuai
dan direspon oleh inokulan zooxanthellae awal. Selanjutnya dilakukan percobaan
ulangan atau inokulasi ulangan mempergunakan Bacto-agar yang telah diperkaya
vitamin B12, vitamin C dan trace mineral. Hasil inokulasi dilanjutkan dengan
langkah pengembangan media budidaya dengan cara mengencerkan medium
menjadi 25 ml dari hasil penggoresan langkah inokulasi. Langkah pengembangan
media budidaya dilakukan beberapa tahapan pekerjaan penumbuhan
zooxanthellae dengan tujuan mendapatkan peubah media yang memberikan
respon paling cepat bagi pertumbuhan zooxanthellae. Pekerjaan ini juga
berlangsung secara sekuensial disebabkan karena acuan untuk mendapatkan
media optimum belum terinformasikan. Adapun sekuensi pekerjaan adalah :
50
1. Media dengan pencahayaan neon putih (tinggi 60 watt) dengan temperatur
kamar (dalam media terukur berfluktuasi antara 24 – 27oC) serta penambahan
NaNO3 sebesar 6,5 μM;
2. Media dengan pencahayaan neon putih (sedang 20 watt) dengan temperatur
kamar (dalam media terukur berfluktuasi antara 24 – 27oC) serta penambahan
NaNO3 sebesar 6,5 μM;
3. Media dengan pencahayaan neon hijau (rendah 10 watt) dengan temperatur
kamar (dalam media terukur berfluktuasi antara 24 – 27oC) serta penambahan
NaNO3 sebesar 6,5 μM;
4. Media dengan pencahayaan neon hijau (rendah 10 watt) dengan temperatur
manipulasi (penambahan es dalam media, temperatur terukur berfluktuasi
antara 20 – 23oC) serta penambahan NaNO3 sebesar 6,5 μM;
Materi yang dicobakan bernotasi sama dengan hasil inokulasi yaitu SA, Tr, Ac, Fv
dan Gn. Untuk tiap tahap pekerjaan materi tersebut dibagi secara rata pada 5
(lima) medium bervolume 25 ml, yang dipergunakan sebagai ulangan. Dari hasil
pertumbuhan optimum dari manipulasi lingkungan tersebut selanjutnya dilakukan
peningkatan media secara bertahap mulai dari 1 liter sampai dengan 3 liter.
Aplikasi media eksternal mempergunakan rekomendasi hasil percobaan
pengembangan media budidaya zooxanthellae.
Langkah III : Uji Keragaman Zooxanthellae
Hasil percobaan pengembangan media budidaya zooxanthellae dari 25 ml
dilanjutkan dengan penumbuhan 1 liter sampai dengan 3 liter sebagai bahan untuk
uji keragaman zooxanthellae. Variabel untuk menjelaskan keragaman
zooxanthellae pada penelitian ini adalah uji DNA mempergunakan metoda PCR -
RFLP (Polymerase Chain Reaction - Restriction Fragment Length
Polymorphisme). Dengan demikian diperoleh 25 contoh yang dipersiapkan untuk
pengujian DNA, yaitu :
1. SA = Zooxanthellae dari sumber inang sea anemon sebanyak 5 contoh yaitu :
SA-1, SA-2, SA-3, SA-4, SA-5.
2. Tr = Zooxanthellae dari sumber inang Tridacna sebanyak 5 contoh yaitu : Tr-
1, Tr-2, Tr-3, Tr-4, Tr-5.
3. Ac = Zooxanthellae dari sumber inang Acropora sebanyak 5 contoh yaitu :
Ac-1, Ac-2, Ac-3, Ac-4, Ac-5.
4. Fv = Zooxanthellae dari sumber inang Favites sebanyak 5 contoh yaitu : Fv-1,
Fv-2, Fv-3, Fv-4, Fv-5.
51
5. Gn = Zooxanthellae dari sumber inang Goniastrea aspera sebanyak 5 contoh
yaitu : Gn-1, Gn-2, Gn-3, Gn-4, Gn-5.
Untuk melakukan uji keragaman zooxanthellae dilakukan beberapa tahap, yaitu :
Penyiapan zooxanthellae. Contoh zooxanthellae pada masing-masing clade
dibiakkan lebih lanjut hingga tumbuh pada media 1 liter dengan kepekatan yang
cukup tinggi. Zooxanthellae dari medium bervolume 1 liter selanjutnya difiltrasi
secara bertahap dengan melakukan sentrifugasi pada 2500 rpm selama 10 menit.
Materi endapan sebagai zooxanthellae atau pelet dipisahkan dari cairan ekstrak
dengan mempergunakan pemipetan. Pelet zooxanthellae selanjutnya diresuspensi
dengan larutan Buffer Isolasi Zooxanthellae {0,4 M NaCl; 40 mM MgSO4; 10
mM EDTA; 20 mM Tris-HCl; pH 7,6; 8 mM dithiothreitol; 0,05% (v/v) dan
Tween-20 (pltyoxyethylene-sorbitan); Sigma Chemical Co}), sebanyak 10 ml.
DNA Zooxanthellae. Sel zooxanthellae dibilas lagi dengan Buffer isolasi DNA
(DNAB : 0,4 M NaCl; 50 mM EDTA, pH 8,0) dalam tube microcentrifuge,
selanjutnya diresuspensi dalam 0,4 ml DNAB dengan sodium dodecyl sulfat
(SDS) sebagai konsentrasi final 1% (v/v). Cairan ini kemudian dipanaskan pada
temperatur 65oC selama 60 menit. Contoh selanjutnya diinkubasi dengan
penambahan Proteinase K (Boehringer Mannheim Biochemicals) 0,5 mg/ml pada
temperatur 37 – 45oC selama 6 jam. Contoh ini disimpan pada temperatur -20
oC
dan dapat stabil selama 2 minggu pada temperatur kamar. Asam nukleat dari
materi tersebut dipresipitasi dengan penambahan 100 µl dari 0,3 M sodium asetat,
dan dipresipitasi lagi dengan ethanol. Endapan diresuspensi dengan 50 µl
aquadest (hasil penyaringan deionyzed instrument) dan disimpan pada temperatur
-20oC.
Amplifikasi DNA. Keragaman DNA dalam uji ini diamplifikasi sesuai dengan
teknik amplifikasi yang dilakukan oleh Rowan dan Power (1991); Rowan dan
Knowlton (1995) Chen et al., (2003) dengan mempergunakan universal primer
ss3 (5’–GCAGTTATAATTTATTTGATGGTCACTGCTAC-3’). Reagen yang
dilakukan dalam analisis PCR (PCR cocktail) mengandung 4 µl DNA template
(target), 10 µl 10 x larutan buffer PCR (1 M Tris-HCl, pH : 8,3); 6 µl dari 25 mM
MgCl2; 1,5 mM total dNTPs, 30 pmol dari setiap primer dan 0,5 µl
Taqpolymerase (5 unit/ µl); keseluruhan dalam 100 µl. Proses amplifikasi ini
52
mempergunakan DNA thermal cycler (PCR ekspres, Hybaid) dengan mengikuti
profil pengaturan temperatur : 94oC selama 1 menit; 65
oC selama 2 menit dan
72oC selama 3 menit. Keseluruhan dilaksanakan dalam 30 silkus. Adapun enzim
yang dipergunakan dalam pemutusan ikatan basa pada contoh yang diuji
mempergunakan jenis HaeIII.
Hasil restriksi dengan enzim HaeIII akan didapatkan pita-pita DNA dengan
ukuran yang bervariasi (polimorfik). Pita DNA tersebut merupakan penera
besarnya base pair (bp) dari zooxanthellae yang diuji. Nilai pasangan basa (base
pair) ini selanjutnya dipergunakan penyejajaran banding dengan nilai pasangan
basa yang didapatkan dari GenBank (www.ncbi.nlm.nih.gov) melalui analisis
phylogenik.
Langkah IV : Uji Penumbuhan Massal Zooxanthellae
Tujuan dari uji penumbuhan massal zooxanthellae adalah mendapatkan
formulasi bagi penumbuhan optimum zooxanthellae secara berkelanjutan atau
mendapatkan formulasi bagi upaya mempertahankan pertumbuhan optimum.
Untuk keperluan ini, maka diperlukan dua tahap kajian, pertama adalah percobaan
pemanfaatan nutrien yang optimum dan kedua adalah melakukan perhitungan
waktu penyediaan nutrien ulang untuk mendapatkan ketersediaan nutrien yang
sesuai bagi perkembangan zooxanthellae. Percobaan tahap pertama bertujuan
mendapatkan kadar nutrien yang efisien sedangkan percobaan tahap kedua
bertujuan mendapatkan waktu penambahan serta jumlah penyediaan kembali
nutrien.
A. Percobaan Pertumbuhan Zooxanthellae pada Berbagai Tingkat Nutrien
Tahap pertama dilaksanakan dengan menerapkan 2 taraf perlakuan yaitu
clade zooxanthellae dan kadar nutrien. Clade zooxanthellae yang ditumbuhkan
diperoleh dari uji langkah keragaman zooxanthellae (Langkah III) sedangkan taraf
nutrien yang diaplikasikan terdiri dari 5 jenjang kadar, yaitu :
N-1 adalah menerapkan penambahan NaNO3 sebesar 50 μM;
N-2 adalah menerapkan penambahan NaNO3 sebesar 100 μM;
N-3 adalah menerapkan penambahan NaNO3 sebesar 150 μM;
N-4 adalah menerapkan penambahan NaNO3 sebesar 200 μM;
N-5 adalah menerapkan penambahan NaNO3 sebesar 250 μM;
53
Perancangan percobaan dengan dua taraf perlakuan tersebut mengacu kepada
Perancangan Faktorial mempergunakan pengulangan 3 (tiga kali) pada media
volume 1 liter.
B. Percobaan Pemasalan Pertumbuhan Zooxanthellae
Tahap penumbuhan massal yang akan dipergunakan dalam proses
pengkayaan zooxanthellae akan dilalui tiga tahap :
1. Tahap analisis waktu pengisian ulang nutrien
Pada tahap ini diperhitungan waktu pengisian ulang nutrien berdasarkan
penurunan kadar nutrien akibat permintaan oleh pertumbuhan zooxanthellae.
Landasan perhitungan ini adalah adanya beberapa fase pertumbuhan fitoplankton
sebagaimana zooxanthellae (Fogg, 1969) serta model demand-suplay nutrien dan
pertumbuhan plankton (Harris, 1976). Perhitungan pengisian ulang nutrien
didasarkan kepada fomulasi sebagaimana diinformasikan oleh Taff (1988),
dengan rumus :
Keterangan :
Tpk = Waktu pengisian kembali, adalah tenggang waktu untuk melakukan
pengisian nutrien, sehingga nutrien di dalam media percobaan menjadi
terpelihara;
∑Ns = Jumlah dimana pemesanan ulang harus dilakukan adalah kadar nutrien
tertinggi selama percobaan untuk masing-masing percobaan.
Td = Waktu adalah waktu ditempuhnya pertumbuhan tertinggi hasil
percobaan;
∑Ns = Jumlah nutrien yang ditarik adalah beda atau selisih kadar nutrien (dalam
hal ini nitrat awal) dengan kadar nitrat pada saat pertumbuhan optimum
percobaan;
Pada tahap ini jenis zooxanthellae yang diukur adalah jenis yang
mempunyai clade berbeda. Masing-masing mempergunakan perlakuan
temperatur, cahaya dan nutrien sebagaimana telah dilakukan pada tahap uji
sebelumnya, dengan pengulangan 3 kali. Untuk keperluan analisis penambahan
ulang nutrien, maka variabel kunci yang diukur adalah densitas zooxanthellae dan
NO3-N secara harian.
54
2. Tahap Penumbuhan berjenjang
Pada tahap ini penumbuhan zooxanthellae dilakukan secara berjenjang
mulai dari 1 liter, 3 liter, 5 liter, 100 liter hingga 1 ton. Pelaksanaan pada tahap
penumbuhan berjenjang dari zooxanthellae beragam clade ini mengakomodir
semua perlakuan yang memberikan respon pertumbuhan paling tinggi dari
percobaan tahap sebelumnya, namun dengan wadah berukuran berjenjang.
3. Analisis Kualitas Air
Analisis kualitas air diperlukan untuk menilai kelayakan media yang dapat
mendukung kegiatan penumbuhan zooxanthellae. Metoda analisis kualitas air
tersebut adalah seperti diperlihatkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Peubah yang diukur, metoda dan periode pengukuran
No. Peubah Satuan Metoda Periode Ukur 1 Temperatur
oC Thermometer Menyesuaikan
tahapan
kegiatan
percobaan
2 Salinitas o/oo Refraktometer
3 Nitrat (NO3-N) mg/l Spectrophotometer
4 Orthofosfat (PO4-P) mg/l Spectrophotometer
5 pH - pH meter
6 Oksigen terlarut mg/l Tetrimetrik
7 Intensitas cahaya µmol quanta m-2
dt-1
Photon flux meter
4.Waktu dan Tempat
Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Pakan Alami dan Genetika Balai
Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara. Materi percobaan
adalah zooxanthellae dari inang sea anemon, tridacna, karang Acropora, Favites
dan Goniastrea diperoleh dari hasil sampling di Terumbu Karang Pulau Bokor
Jepara. Waktu pelaksanaan kajian ini adalah Agustus 2004 sampai Oktober 2005.
5. Analisis Data
Uji respon pertumbuhan zooxanthellae mengacu kepada perlakuan ganda
yaitu jenis clade dan jumlah nutrien dengan mengaplikasikan perancangan
faktorial acak dan mempergunakan analisis ragam dua arah (Steel dan Torrie,
1979). Data penunjang media seperti perubahan temperatur, salinitas, nitrat (NO3-
N), pH, orthofosfat (PO4-P) dan intensitas cahaya dikaji secara deskriptif. Adapun
untuk mengevaluasi tingkat kekerabatan antar DNA individu uji mempergunakan
bantuan uji cluster berhirarkhi dengan perangkat lunak SAS 9.1.
55
Hasil Percobaan
Inokulasi dan pemisahan zooxanthellae dari inangnya merupakan tahap
awal dari serangkaian kegiatan tentang pertumbuhannya. Pemakaian dari beberapa
jenis agar yang dilakukan secara seri memberikan respons yang berbeda, hasilnya
adalah sebagaimana disajikan pada Tabel berikut .
Tabel 7. Respon Penumbuhan Beberapa Zooxanthellae pada Media Agar
Jenis inang Ulangan Madia
Agar Allen
Madia Agar
Allen yang
diperkaya
Larutan
Vitamin B
Madia Agar
Bacto yang
diperkaya
Larutan
Vitamin B
Madia Agar
Allen yang
diperkaya
Larutan
Vitamin B dan
C
Madia Agar Bacto
yang diperkaya
Larutan Vitamin B
dan C
Sea Anemone 1 - - + +++ +++
2 - - - +++ +++
3 - + + +++ +++
4 - - + +++ +++
5 - + - +++ +++
Tridacna 1 - - + +++ +++
2 + - - +++ +++
3 - + - +++ +++
4 - - - +++ +++
5 - - + +++ +++
Acropora 1 + - - +++ +++
2 - - + +++ +++
3 - + + +++ +++
4 - - - +++ +++
5 - - - +++ +++
Favites 1 + + - +++ +++
2 - + - +++ +++
3 - - + +++ +++
4 - - - +++ +++
5 - - - +++ +++
Goniastrea 1 + + + +++ +++
2 - - + +++ +++
3 - + - +++ +++
4 - - - +++ +++
5 - - - +++ +++
Keterangan :
- = Negatif (tidak ditemukan ciri berkembang)
+ = Positif lemah (Ditemukan ciri tumbuh namun lemah)
+++ = Positif kuat (Ditemukan ciri tumbuh kuat)
Hasil pengamatan dan pencacahan terhadap densitas zooxanthellae masa
awal memperlihatkan bahwa media agar Allen dan Bacto-agar yang diperkaya
dengan vitamin B12 tidak berespons hingga berespon positif lemah terhadap
kemampuan tumbuh zooxanthellae dari berbagai jenis inang (Sea anemon/Sa;
Tridacna/Tr, Karang Acropora/Ac, Favites/Fv dan Goniastrea/Gn). Dengan
demikian respon tumbuh zooxanthellae pada dua media agar awal bersifat acak.
Pada media pemurnian baik Allen-agar dan Bacto-agar yang diperkaya
larutan vitamin B12 dan vitamin C memperlihatkan respon yang positif dengan
56
pewarnaan yang lebih kuat untuk semua jenis sumber inang dan ulangannya. Dari
25 petri disk yang memberikan ciri potensi penumbuhan zooxanthellae
selanjutnya dipisahkan ke dalam wadah media bervolume 25 ml selama 1 minggu.
Pencacahan zooxanthellae secara komposit pada 1 minggu hasil pemurnian
disajikan pada Gambar 14.
Gambar 14. Densitas Zooxanthellae Hasil Pemurnian Awal dari Media
Inokulan
Densitas zooxanthellae hasil pemisahan yang diperoleh dari urutan
pekerjaan seperti diuraikan di atas, masih mencirikan sumber inang aslinya.
Zooxanthellae ini masih merupakan jenis yang bersifat hipotetik yang belum
teridentifikasi cladenya. Dalam masa pemurnian lanjut dengan maksud untuk
mendapatkan keragaman serta pola pengaturan pertumbuhan massal dilakukan
sekuensi kegiatan penumbuhan. Aplikasi perlakuan pada tahap ini mencakup
beberapa kegiatan. Hasil analisis densitas zooxanthellae dari kegiatan tahap
pengembangan media untuk berbagai tingkat perubahan pemeliharaan media
(cahaya, temperatur dan nutrien) yang dilakukan secara seri adalah sebagaimana
disajikan pada Gambar 15. (Lampiran 1)
57
Gambar 15. Pertumbuhan Zooxanthellae pada Berbagai Pengubahan
Kondisi Media
Keterangan :
A = Perkembangan Zooxanthellae pada pencahayaan neon putih
(tinggi 60 watt), temperatur : 24–27oC serta penambahan
NaNO3 sebesar 6,5 µg.
B = Perkembangan Zooxanthellae pada pencahayaan neon putih
(sedang 20 watt), temperatur : 24–27oC serta penambahan
NaNO3 sebesar 6,5 µg
C = Perkembangan Zooxanthellae pencahayaan neon hijau
(rendah 10 watt); temperatur : 24–27oC serta penambahan
NaNO3 sebesar 6,5 µg
D = Perkembangan Zooxanthellae pencahayaan neon hijau
(rendah 10 watt); temperature : 20–23oC) serta
penambahan NaNO3 sebesar 6,5 µg
A B
C D
58
Hasil analisis densitas zooxanthellae sebagaimana disajikan pada Gambar
15 memberikan keterangan bahwa tiap tahap kegiatan memberikan respon
pertumbuhan zooxanthellae yang positif. Pada awal masa penumbuhan, rata-rata
perlakuan memperlihatkan perkembangan lambat, selanjutnya pertumbuhan
meningkat dengan cepat pada hari ke 9 sampai ke 16. Hal ini sesuai dengan pola
umum perkembangan alga sebagaimana dinyatakan oleh Fogg (1971).
Pertumbuhan eksponensial pada zooxanthellae antar tahap kegiatan tergolong
cukup lama dibandingkan dengan pertumbuhan jenis diatom lain yang ukurannya
lebih besar, seperti Chaetoceros (Yuwono, 1994). Dalam penelitiannya tersebut
diperoleh hasil bahwa pertumbuhan maksimum terjadi pada hari ke 5, sedangkan
jenis Nitzschia pertumbuhan maksimumnya dicapai pada hari ke 7. Penumbuhan
zooxanthellae yang dilakukan oleh Rosenthal et al. (2005) pada uji penambahan
nitrogen pada media budidayanya diperoleh pertumbuhan maksimum pada hari
ke 15.
Di samping hal tersebut, analisis terhadap densitas zooxanthellae antar
sekuen percobaan memperlihatkan terjadi respon peningkatan pertumbuhan pada
media yang mendapatkan pencahayaan lebih rendah (dari pencahayaan putih
menjadi hijau) dan penurunan temperatur (dari temperatur 24-27oC menjadi
kisaran temperatur 20–23oC). Hasil uji terhadap pertumbuhan antar tahap kegiatan
menunjukkan bahwa tidak terjadi perbedaan (p>0,01) pada media dengan
pencahayaan neon putih (tinggi 60 watt) dengan temperatur kamar (dalam media
terukur berfluktuasi antara 24–27oC) serta penambahan NaNO3 sebesar 6,5 µg dan
media dengan pencahayaan neon putih (sedang 20 watt) dengan temperatur kamar
(dalam media terukur berfluktuasi antara 24–27oC) serta penambahan NaNO3
sebesar 6,5 µg.
Pada media percobaan III yaitu cahaya hijau dan temperatur 24–27oC
terjadi perbedaan pertumbuhan zooxanthellae (P<0,01) antar sumber inang,
namun untuk zooxanthllae pada inang karang jenis Favites sama respon
pertumbuhannya dengan inang karang Goniastrea. Dalam hal ini respon
pertumbuhan rata-rata zooxanthellae tertinggi pada inang jenis Favites diikuti oleh
Goniastrea, Acopora, Tridacna dan Sea Anemon. Selanjutnya dengan menerapkan
perlakuan penurunan temperatur dari hasil percobaan tahap III (dari 24–27oC
59
menjadi 20–23oC sebagai percobaan tahap IV), diperoleh keterangan bahwa rata-
rata peningkatan pertumbuhannya lebih tinggi dibandingkan percobaan III. Dalam
hal ini juga diperlihatkan adanya perbedaan respon pertumbuhan zooxanthellae
antar inang. Tidak ditemukan perbedaan respon pertumbuhan zooxanthellae antara
tridacna dengan sea anemon, namun tidak dengan jenis inang dari karang. Dalam
hal ini respon pertumbuhan zooxanthellae dari inang Favites sama dengan yang
berasal dari inang Goniastrea (Lampiran 2).
Hasil analisis densitas zooxanthellae mengikuti sekuen percobaan
memperoleh beberapa simpulan yang nantinya dapat dipergunakan untuk
melaksanakan telaah keragaman zooxanthellae serta menganalisis waktu
penambahan ulang nutrien untuk keperluan pemeliharaan pertumbuhan
zooxanthellae yang optimum. Simpulan yang diperoleh dari sekuen analisis
densitas sebagaimana diuraikan di atas adalah bahwa media yang perlu
dipertahankan untuk mengoptimalkan pertumbuhan zooxanthellae adalah media
dengan pencahayaan rendah (hijau) serta dipertahankan temperatur 20–23oC.
Uji DNA untuk analisis keragaman zooxanthellae dilakukan dengan
maksud untuk mencari clade yang berbeda bagi keperluan kajian tahap
translokasi. Dalam hal ini diperoleh 25 contoh analisis dengan komposisi 5 jenis
contoh zooxanthellae dari inang sea anemon, 5 jenis contoh zooxanthellae dari
inang Tridacna, 5 jenis contoh zooxanthellae dari inang Acropora, 5 jenis contoh
zooxanthellae dari inang Favites dan 5 jenis contoh zooxanthellae dari inang
Goniastrea.
Dua puluh lima contoh zooxanthellae dari 5 (lima) sumber inang setelah
melalui serangkaian uji DNA, dihasilkan restriksi DNA zooxanthellae oleh enzim
HaeIII dalam bentuk profil RFPL (pita). Profil RFLP tersebut bervariasi baik
dalam jumlah dan nilai pasangan basanya dengan nilai antara 250 bp hingga 1250
bp. Hasilnya adalah sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 16.
Telaah profil RFPL yang diperoleh dari rangkaian analisis PCR terhadap
contoh-contoh zooxanthellae menunjukkan nilai-nilai base pairnya dari setiap
contoh yang diuji. Nilai-nilai tersebut selanjutnya diuji untuk mengetahui tingkat
kekerabatan diantaranya. Uji tersebut berupa analisis cluster dengan
mempergunakan nilai base pair ingroup yang diperoleh dari analisis PCR-RPLF
60
dengan outgroup (kelompok luar pembanding) yang diperoleh dari GenBank yang
berkesesuaian. Outgroup mencirikan jenis clade. Dari hasil analisis phylogenik
akan didapatkan tingkat kekerabatan dari contoh yang diuji.
Gambar 16. Genotip RFLP dari contoh zooxanthellae yang dimurnikan dari beberapa
sumber inang. Amplifikasi PCR dilanjutkan dengan restriksi DNA
mempergunakan enzim HaeIII. (A) Zooxanthellae yang dimurnikan dari
inang 5 individu sea anemon, (B) Zooxanthellae yang dimurnikan dari
inang 5 individu tridacna, (C) Zooxanthellae yang dimurnikan dari inang 5
individu Acropora, (D) Zooxanthellae yang dimurnikan dari inang 5
individu Favites dan (E) Zooxanthellae yang dimurnikan dari 5 individu
inang Goniastrea. Marker DNA berukuran standart 1500 bp, dengan selang
peningkatan 100 bp dari bawah.
Nilai analisis PCR sebagaimana disajikan pada Gambar 16 menunjukkan
hasil yang bersifat polymorfism. Ini berarti bahwa terdapat perbedaan antara clade
biota uji. Perbedaan ini dilanjutkan dengan melakukan analisis phylogenik. Hasil
analisis phylogenik dengan uji cluster diperoleh hasil seperti diperlihatkan pada
Gambar 17 berikut.
E
A B
C D
61
2,0 1,5 1,0 0,5 0,0
Minimal distance between cluster
Gambar 17. Hubungan kekerabatan DNA dari beberapa jenis zooxanthellae berdasarkan
Analisis Cluster. Clade A diakses dari GenBank dengan kode EU449053 dan
EU449026; Kode akses Clade B adalah EU449070, EU449072 dan EU449066;
Kode akses Clade C adalah EU333740, EU333737 dan EU333735; Kode akses
Clade D adalah EU333707 dan EU333708. Sa-1 sampai dengan Sa-5 adalah
Zooxanthellae yang dimurnikan dari inang 5 individu sea anemon, Tr-1 sampai
dengan Tr-5 adalah Zooxanthellae yang dimurnikan dari inang 5 individu tridacna;
Ac-1 sampai dengan Ac-5 adalah Zooxanthellae yang dimurnikan dari inang 5
individu Acropora; Fv-1 sampai dengan Fv-5 adalah Zooxanthellae yang
dimurnikan dari 5 individu inang Favites. Gn-1 sampai dengan Gn-5 adalah
Zooxanthellae yang dimurnikan dari 5 individu inang Goniastrea.
Sa-1
Sa-4
Tr-4
Gn-4
Gn-5
Sa-5
Tr-1
Tr-5
Ac-1
Ac-3
Ac-5
Fv-4
Gn-3
Clade A : EU449053
Clade A : EU449026
Sa-2
Tr-3
Sa-3
Tr-2
Clade B : EU449066
Gn-2
AC-4
Gn-1
Clade B : EU449079
Clade B : EU449072
Fv-1
Fv-3
Clade C : EU333740
Clade C : EU333737
Ac-2
Fv-2
Fv-5
Clade C : EU333735
Clade D : EU333707
Clade D : EU333708
62
Analisis cluster dengan bantuan perangkat lunak SAS 9.1 (analisis cluster
berhirarki menggunakan single linkage) terhadap clade zooxanthellae
sebagaimana disajikan pada gambar di atas menginformasikan bahwa materi
pemurnian zooxanthellae yang telah dilakukan secara sekuensial didapatkan tiga
jenis clade yaitu : Clade A, Clade B dan Clade C. Hasil analisis juga memberikan
gambaran bahwa clade zooxanthellae yang ditemukan berdasarkan sekuensi
pemurnian beragam antar sumber inang. Keragaman DNA pada karang Acropora
lebih beragam yaitu mengandung Clade A, Clade B dan Clade C. Karang jenis
Favites ditemukan jenis Clade A dan C, sedang pada biota sea anemon, tridacna
dan karang Goniastrea ditemukan jenis Clade A dan B.
Hasil uji DNA dari 25 contoh dapat direkapitulasi kualitas genotipnya
sebagaimana disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Ragam DNA Zooxanthellae dari Beberapa Inang
No Inang Ulangan Clade
1 Sea Anemon (SA) 1 A
2 2 A
3 3 B
4 4 A
5 5 A
6 Tridacna (TR) 1 A
7 2 B
8 3 A
9 4 A
10 5 A
11 Acropora (AC) 1 A
12 2 C
13 3 A
14 4 B
15 5 A
16 Favites (FV) 1 C
17 2 C
18 3 C
19 4 A
20 5 C
21 Goniastrea (GN) 1 B
22 2 B
23 3 A
24 4 A
25 5 A
63
Hasil uji DNA melalui serangkaian percobaan di atas diperoleh 3 jenis clade
zooxanthellae, yaitu clade A, clade B dan clade C. Ketiga clade ini selanjutnya
ditingkatkan penumbuhannya dengan memberlakukan kajian optimasi nutrien
untuk mendapatkan pertumbuhan optimum yang dapat dipertahankan. Sementera
itu variabel pendukung lain ditetapkan dengan mempergunakan kondisi yang
optimal. Dalam hal ini temperatur diberlakukan pada kisaran 20–23oC dan
pencahayaan diberlakukan dengan mengkondisikan pada cahaya hijau dengan
kekuatan intensitasnya sebesar 84,56 sampai dengan 102,78 µmol quanta m-2
dt-1
.
Dalam kajian optimasi nutrien tersebut, dipergunakan lima taraf
konsentrasi nutrien awal NaNO3 yaitu : N-1 (50 µg), N-2 (100 µg), N-3 (150 µg),
N-4 (200 µg) dan N-5 (250 µg). Faktor lingkungan lain mengacu kepada hasil
analisis sebelumnya. Hasil analisis terhadap pertumbuhan zooxanthellae tertinggi
pada berbagai taraf nutrien adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Densitas Zooxanthellae Tertinggi Hasil Budidaya dari Beberapa Inang
Tingkat Nutrien Densitas Zooxanthellae (10
6 individu/l)
A-1 A-2 A-3
N-1 10.57 12.71 12.70
N-2 14.88 13.84 14.27
N-3 14.32 14.73 15.91
N-4 18.13 19.26 16.45
N-5 17.76 18.64 18.61
B-1 B-2 B-3
N-1 15.38 14.82 16.94
N-2 18.02 15.42 18.38
N-3 19.64 18.28 19.65
N-4 20.34 19.25 23.74
N-5 21.46 21.08 21.60
C-1 C-2 C-3
N-1 15.66 16.35 15.29
N-2 17.92 17.19 16.59
N-3 17.23 18.92 17.42
N-4 21.44 21.58 22.39
N-5 21.16 21.43 23.45
Keterangan :
Densitas pertumbuhan maksimum
Penyinaran media dengan cahaya green dengan temperatur 20-23oC
Hasil analisis terhadap pertumbuhan zooxanthellae pada berbagai taraf nutrien
sebagaimana disajikan pada tabel di atas menunjukkan adanya kecenderungan
meningkat dengan peningkatan nutrien serta terjadi respon pertumbuhan
zooxanthellae yang berbeda antar clade. Hal ini sesuai dengan hasil uji statistik
64
terhadap pertumbuhan antar clade antar nutrien. Dalam hal ini pertumbuhan
optimum terjadi pada kadar N-4, sedangkan pertumbuhan antar clade zooanthellae
tidak berbeda (Lampiran 3). Keadaan ini memberikan penjelasan bahwa
penyediaan nutrien awal N-4 diperkirakan mencukupi bagi peningkatan
pertumbuhannya, khususnya pada saat terjadi pertumbuhan eksponensial dari
zooxanthellae yang dibudidayakan. Sediaan nutrien untuk pendukungan
pertumbuhan optimum merupakan faktor penting bagi upaya pemasalan,
sementara sediaan nutrien yang rendah tidak akan mencukupi bagi dukungan
pertumbuhan optimum zooxanthellae.
Hasil pencacahan densitas zooxanthellae antar clade secara rata-rata hasil
percobaan di atas adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 18.
Gambar 18. Pertumbuhan Zooxanthellae antar Clade
Pertumbuhan zooxanthellae antar clade mempunyai ciri yang sama dengan
pertumbuhan fitoplankton, dengan diawali oleh pertumbuhan lag phase
selanjutnya diikuti oleh exponential phase. Puncak pertumbuhan terjadi pada hari
ke 16 yang peningkatannya rata-rata bertahan hingga hari ke 22, selanjutnya
terjadi penurunan densitasnya. Pertumbuhan tersebut merupakan respon
permintaan akan nurien yang terlarut di dalam media. Pola perubahan NO3-N
pada media budidaya zooxanthellae tersebut adalah sebagaimana disajikan pada
Gambar 19 (Lampiran 4).
65
Gambar 19. Perubahan Kadar NO3-N selama Budidaya Zooxanthellae
Mengkombinasikan potensi pertumbuhan (sebagaimana pada Gambar 18)
dan sediaan nutrien (sebagaimana Gambar 19), maka dapat diperhitungkan waktu
penambahan ulang nutrien agar pertumbuhan zooxanthellae dapat dipertahankan
pada tingkat pertumbuhan optimum. Dalam hal ini perubahan nutriennya adalah
hasil penambahan NaNO3 sebesar 200 µg (N-4); sedangkan nutriennya adalah
rataan penurunan kadar NO3-N akibat permintaan untuk pertumbuhan
zooxanthellae clade A, B dan C. Hasil perhitungan waktu penambahan ulang
nutrien mengikuti formula Taff (1980) adalah pada hari ke 16. Nutrien yang
ditambahkan adalah sebesar jumlah penarikan rata-rata sebesar 0,0455 mg/l.
Penerapan perlakuan N-4 dengan penambahan pada media terlarut sebesar
0,0455 mg NO3-N/l pada periode hari ke-16 memberikan hasil pemeliharaan
zooxanthellae yang optimum. Hasil pencacahannya adalah sebagaimana disajikan
pada Gambar 20.
66
Gambar 20. Pertumbuhan Zooxanthellae pada Bak Massal dengan
Penambahan Nutrien
Hasil pencacahan pada media budidaya zooxanthellae yang telah ditambahkan
nutrien memperlihatkan hasil bahwa pertumbuhan optimumnya dapat
dipertahankan. Ini berbeda dengan hasil pencacahan serupa pada media yang tidak
ditambah sebagaimana disajikan pada Gambar 18 sebelumnya. Model media
inilah yang nantinya akan diterapkan ke dalam media karang Goniastrea aspera
yang telah dibleachingkan untuk mengevaluasi tahap kajian translokasi
zooxanthellae dan pertumbuhan karangnya.
Pembahasan
Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu habitat di laut yang
mempunyai keanekaragaman tinggi di bumi. Terbentuknya kondisi tersebut tidak
lepas dari pengaruh hubungan simbiosis mutualistiknya dengan simbion
dinoflagellata (Hallock, 2001). Simbion ini merupakan alga bersel tunggal yang
umum dinamakan zooxanthellae serta secara dominan merupakan genus
dinoflagellata yang mempunyai hubungan fungsional lainnya dengan berbagai
host inang seperti protiss, Porifera, Cnidaria dan molusca (Glynn, 1996; Lobban
et al., 2002; Rowan, 1998; Trench, 1993). Sebagian besar kasus aglae ini terjadi
secara intraselluler, berada dalam segerombolan atau kompleks sekitar vacuole sel
inang (Colley dan Trench, 1983; Wakefield dan Kempf, 2001), tetapi beberapa
invertebrata (genera Hippopus dan Tridacna) simbion intrasellulernya berada
dalam suatu sistem tubular (Norton et al., 1992).
67
Zooxanthellae sebagai fitobiotik khususnya berasosiasi dengan beberapa
biota dasar di lingkungan perairan laut untuk berkembang secara faali
memerlukan dukungan dari lingkungan eksternalnya. Menurut Harris (1976)
dukungan faktor eksternal utama terhadap perkembangan fitobiotik adalah
cahaya, temperatur dan nutrien. Hal yang sama dikemukakan oleh Parson et al.,
(1984) bahwa zooxanthellae sebagai biota fitofototropik serta bersifat mikro,
maka secara mendasar perkembangannya dibatasi oleh 3 variabel utama yaitu
cahaya, nutrient dan temperatur. Ketiga unsur utama tersebut bersama dengan
perangkat molekular dari zooxanthellae membentuk suatu persamaan fotosintesis
kompleks yang proses maupun hasilnya memberikan dukungan terhadap
inangnya.
Menurut Edward (1983) energi cahaya merupakan faktor penting bagi
awal produksi. Selanjutnya dikemukakan bahwa di dalam lingkungan perairan
terdapat empat aspek yang perlu diperhatikan pengaruhnya, yaitu : (1) upaya-
upaya yang dilakukan sel-sel fitobiotik dalam mempergunakan energi cahaya; (2)
terjadinya penyaluran cahaya di dalam perairan; (3) pengaruh langsung dari
cahaya terhadap kematian fitobiotik yang bergantung kepada kedalaman air dan
(4) timbal balik dari penyebaran dan penambahan cahaya yang masuk dan
tertahan di dalam air. Respon biotik dari fitoplankton umumnya dan khususnya
zooxanthellae terhadap eksitasi elektronik cahaya akan diterima dalam berbagai
nilai panjang gelombang. Secara teoritis kelengkapan photosystem I dan
photosystem II dari fitoplankton mampu menerima efek pencahayaan, namun
seringkali dalam kondisi tertentu (misalnya pada pencahayaan yang kuat dengan
keberadaannya di perairan dangkal) eksitasi elektronik yang terjadi tidak cukup
mampu diterima fitoplankton, sebaliknya pada kedalaman yang tinggi eksitasi
elektronik tidak cukup untuk merespon reduksi sel pigmen (Page, 1990). Kondisi
inilah yang dapat menyebabkan efek cahaya dapat bersifat inhibiting khususnya di
perairan dangkal dan sekaligus limiting pada perairan yang lebih dalam. Pengaruh
temperatur lebih banyak berperan terhadap katalisasi proses enzimatik yang
berkaitan dengan proses respirasi.
Hasil percobaan memperlihatkan bahwa meskipun cahaya bukan satu-
satunya variabel yang secara nyata memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan
68
zooxanthellae, namun bersama dengan temperatur dan nutrien memberikan
informasi tentang respons pertumbuhan optimum. Dalam hal ini respon
pertumbuhan zooxanthellae pada percobaan cahaya meningkat dari berturut-turut
neon putih (tinggi 60 watt) dengan konsentrasi maksimum 1.213,32x103 ind/lt,
neon putih (sedang 20 watt) dengan konsentrasi maksimum 1407,03x103 ind/lt;
neon hijau (rendah 10 watt) baik pada temperatur yang sama dengan ketiga di atas
yaitu 24-27oC maupun 20–23
oC, berturut-turut dengan konsentrasi maksimum
1.640,58x103 ind/lt dan 2.172,59x10
3 ind/lt (Lampiran 1). Kondisi ini
memperlihatkan bahwa respon zooxanthellae lebih tinggi pada pencahayaan yang
rendah. Sementara itu hasil perhitungan kadar zooxanthellae pada berbagai jenis
karang oleh Baker dan Rowan (1997) pada beberapa kedalaman di perairan
Karibia dan Pasifik Tenggara memperlihatkan bahwa semakin dalam perairan
hingga 11 meter kadar zooxanthellae semakin tinggi. Sebaliknya semakin dangkal
perairan memperlihatkan konsentrasi yang semakin rendah. Penelitian serupa
diperlihatkan oleh Barneah et al., (2004); Burn (1985); Davis (1982); Davies
(1993). Hal ini (Sorokin, 1993) mempunyai kaitan yang erat dengan pigmen-
pigmen penyusun zooxanthellae.
Pertumbuhan zooxanthellae dalam jaringan polyp karang atau inang lainnya
di dalam media alami merupakan model yang diadopsi pada penelitian ini. Untuk
mengaplikasikannya diperlukan pentahapan kegiatan disertai dengan menerapkan
pengelolaan media yang optimal sesuai dengan kebutuhan hidup inangnya. Pada
fase kritis pemisahannya dari inang ke dalam media binaan dilakukan beberapa
tahap uji coba dengan penerapan media. Pemisahan zooxanthellae dapat dilakukan
dengan penambahan nutrien esensial nitrat dan fosfat serta trace mineral dan
vitamin. Penambahan vitamin B12 dan vitamin C secara bersamaan memberikan
respon nyata terhadap upaya penumbuhan zooxanthellae pada tahap pemisahan.
Vitamin B12 dan vitamin C merupakan unsur esensial bagi fitoplankton
termasuk zooxanthellae. Radionov et al., (2003) mengemukakan bahwa vitamin
B12 merupakan unsur penting yang diperlukan oleh fitoplankton untuk reproduksi
dan aktivitas metabolisme. Lebih lanjut dikemukakan oleh Swift (1980) bahwa
vitamin B12 merupakan cofaktor penting dalam reaksi-reaksi intramolekuler yang
menyangkut regulasi unsur C dan H. Oleh karenanya vitamin B12 merupakan
69
unsur penting dalam mekanisme metabolisme fitoplankton termasuk
zooxanthellae. Sementara itu, Hapette dan Poulet (1990) mengemukakan bahwa
vitamin C merupakan unsur yang diperlukan juga oleh fitoplankton. Peran vitamin
C pada fitoplankton adalah sebagai unsur penting yang berguna dalam mekanisme
detoksifikasi logam berat dan merupakan mikronutrien untuk pertumbuhan.
Peran vitamin C yang lebih penting bagi fitobiotik khususnya zooxanthellae
adalah sebagai penanda biokimia dalam mekanisme aktivitas glutathione (Brody,
1945). Hal ini sejalan dengan pernyataan Lenhoff (1974) dan temuan Hapette dan
Poulet (1990). Dalam hal ini Lenhoff (1974) menyatakan bahwa dalam
mekanisme pemangsaan aktif dari schleractinia peran glutathione memegang
peranan yang sangat penting. Unsur ini merupakan molekul kimiawi dengan
komponen nitrogen yang menyebarkan sinyal untuk mendeteksi pakan. Sementara
dipihak lain menyatakan (Hapette dan Poulet, 1990) bahwa vitamin C (ascorbic
acid) bagi sebagian besar biota konsumer (termasuk karang) ditunjang oleh
fitoplankton termasuk zooxanthellae. Mengadopsi hubungan tersebut, maka
vitamin C bagi zooxanthellae dapat berperan sebagai agen pensinyalan dalam
menarik nutrien dari lingkungan luar.
Selain sisi fungsional tersebut, maka vitamin C bagi zooxanthellae adalah
sebagai antioksidan yang dihasilkan oleh tanaman (termasuk zooplankton) dari
suatu enzym GDP-L-galactose phosphorylase (Science Daily. 2007) (http://www.
sciencedaily.com/releases/2007/09/070923205844.htm). Perannya sangat besar
pada zooxanthellae khususnya terhadap pertahanan awal bagi pengaruh
pencahayaan setelah dipindahkan dari media alaminya pada polyp karang. Oleh
sebab itu penambahan vitamin C atau perangsangan awal dengan penambahan
vitamin C di samping berperan dalam proses penyediaan nutrien untuk tumbuh
juga sebagai unsur ketahanan dalam melangsungkan hidupnya.
Komposisi pigmen zooxanthellae mempunyai kesamaan dengan
dinoflagellata planktonik yang hidup bebas seperti Peridinium dan Amphidium
(Tineonyanov et al., 1980). Mereka mengandung pigmen a dan c; dan khusus
zooxanthlellae pada skleractinia mengandung pigmen caretenoid, peridinine dan
dinoxanthus. Rasio chlorophyl-c dan a pada zooxanthellae berbeda antar inang
dengan tingkat stabilitas antara 0,2–0,5. Kandungan chlorophyl zooxanthellae
70
bervariasi antara 5-12 μg 10-6
sel, antara 15–50 μg g-1
dari bobot koloni atau
antara 5–25 μg cm-1
dari permukaan koloni. Pigmen piridinine dan carotenoid
berkombinasi dengan chlorophyl pada sel zooxanthellae, suatu tipikal untuk
protein pigmen kompleks pada dinoflagellata (Sorokin, 1993). Mereka secara
signifikan meningkatkan efisiensi pada penggunaan energi cahaya khususnya
cahaya hijau dengan kisaran 490 dan 540 nm, sehingga meningkatkan
kemampuan zooxanthellae terhadap fotoadaptasi.
Pengaruh cahaya terhadap pertumbuhan zooxanthellae juga berkaitan
dengan faktor eksitasi elektronik. Akibat pancaran cahaya yang kuat
menyebabkan sel-sel pigmennya tidak bekerja secara optimal (Page, 1990),
sebaliknya pada pencahayaan yang lemah menyebabkan cahaya tidak mampu
meningkatkan merespon peningkatan ektivitas ionik pada sel pigmen akibatnya
fotosintesis zooxanthellae menjadi terganggu. Terkait dengan respon cahaya,
zooxanthellae dikategorikan sebagai kelompok fitoplankton dengan kemampuan
untuk bekerja optimum pada pencahayaan rendah. Yentsch (1980)
mengkategorikan kelompok fitoplankton demikian sebagai kelompok fitoplankton
tipe gelap.
Hasil pengukuran terhadap intensitas cahaya selama masa pemisahan dan
pengembangan media budidaya di lingkungan laboratorium adalah dengan
mempergunakan sumber cahaya hijau berkekuatan 10 watt memberikan intensitas
cahaya pada media budidaya pemisahan dan pengembangan media budidaya
dengan kisaran 84,56 sampai dengan 102,78 µmol quanta m-2
dt-1
. Sementara itu
dari sisi kualitas, penggunaan cahaya hijau mempunyai relevansi dengan kondisi
lingkungan alaminya. Menurut Thurman dan Webber (1984) dinyatakan bahwa
cahaya hijau merupakan cahaya tampak (visible light) yang mempunyai
kemampuan transmisi ke dalam perairan laut cukup optimal setelah cahaya biru.
Nilai cahaya yang terukur pada areal penempatan contoh budidaya
zooxanthellae dalam gelas pada tahap pengembangan media budidaya dalam
penelitian ini berdasar hasil pengukuran di atas merupakan kondisi cahaya
optimum bagi zooxanthellae. Kisaran nilai intensitas cahaya sebesar 84,56 sampai
dengan 102,78 µmol quanta m-2
dt-1
mempunyai padanan dengan kondisi
pencahayaan pada kedalaman sekitar 5 sampai 10 meter di lingkungan perairan
71
alami. Hal ini merujuk pada aplikasi furmula Hukum Bouger-Lambert (Tom Beer,
1997) dan nilai extenction coefisien pada lingkungan pantai senilai 0,368, serta
hasil pengukuran intensitas cahaya di permukaan laut. Hasil pengukuran intensitas
cahaya di permukaan laut adalah 730 µmol quanta m-2
dt-1
. Perhitungan intensitas
cahaya pada kedalaman sekitar 5 meter dengan aplikasi formula tersebut senilai
115,94 µmol quanta m-2
dt-1
. Demikian pula apabila mengacu kepada hasil
perhitungan koefisien extinction oleh Shiah et al., (1996) sebesar 0,467
menghasilkan nilai 70,67 µmol quanta m-2
dt-1
pada lingkungan karang di
kedalaman sekitar 5 meter.
Secara faali, peran temperatur terhadap respon adaptif fitoplankton disebut
Nordemar et al. (2003) sebagai allogenic faktor; yaitu suatu variabel yang
mempunyai efek tetap bagi adaptasi suatu organisme fitoplankton termasuk
zooxanthellae. Dalam hal ini bersama dengan cahaya akan menentukan masing-
masing respon faali internal dengan tingkat kapasitas . Studi khusus tentang yang
dilakukan terhadap penumbuhan zooxanthellae memberikan respon optimal pada
temperatur rendah yaitu dengan kisaran 20–23oC. Fluktuasi temperatur ini
bersama dengan cahaya hijau memberikan respon bagi pertumbuhan
zooxanthellae yang lebih besar sebagaimana dilaporkan oleh Campbell dan Aarup
(1989) dan lebih tinggi dibandingkan kegiatan serupa pada fluktuasi temperatur
23- 25oC seperti dilaporkan oleh Coles dan Jokiel (1976).
Respon allogenic tersebut bila dikaitkan dengan fenomena pemutihan
karang yang telah banyak terekam memperlihatkan sinergisme. Demikian pula
bila dikaitkan dengan pola pemulihan habitat pada kondisi allogenic yang
terkendali (Fitt et al., 1993). Pada tingkat kerja zooxanthellae lanjut sebagaimana
dinyatakan oleh Szmant dan Gassman (1990) serta Gleason (1993) bahwa selama
kondisi allogenik terkendali dan efek bleaching terjadi secara parsial serta
pemenuhan nutrien terpenuhi maka sintasan karang akan terpelihara. Hal ini
berkaitan erat dengan tingkat konsumsi nutrien sehingga memberikan dampak
bagi peningkatan pertumbuhan zooxanthellae. Goreau et al., (2000)
mengemukakan bahwa pada temperatur rendah dalam kisaran kostruktif maka
akan semakin meningkatkan konsumsi nutrien, yang selanjutnya direspon bagi
pertumbuhan zooxanthellae.
72
Nutrien merupakan variabel utama dalam fitobiotik, variabel ini merupakan
materi utama dalam penyusunan morfologi maupun dalam proses faalinya.
Masing-masing jenis nutrien baik yang bersifat makro maupun mikro mempunyai
peran dalam serangkaian kehidupan fisiologi fitobiotik perairan. Unsur utama
dalam kehidupan fitobiotik perairan adalah nitrogen, fosfor dan karbon (Szmant,
2002). Ketiganya merupakan komponen penyusun utama dalam makro molekul
protein, karbohidrat dan lemak, yang juga merupakan komponen utama penyusun
fitoplankton. Mekanisme kemanfaatan fisiologis berbagai jenis nutrien tersebut
merupakan resultante dari aktivitas eksternal maupun sifat internal fitoplankton.
Tiap jenis fitoplankton baik kualitasnya maupun kuantitasnya mempunyai
sensitivitas yang berbeda terhadap kebutuhan nutriennya, dan Szmant
(2002) menyebutnya sebagai faktor autogenic. Hal ini disebabkan karena
ketersediaannya akan sangat menentukan tipologi molekularnya maupun
koordinasi perbandingan antara satu unsur dengan unsur lain; keduanya
merupakan faktor penting terhadap respon biotik. Sifat dinamik dari lingkungan
eksternal menjadikan suatu fenomena suksesional yang sangat signifikan di
beberapa perairan di dunia (D’elia dan Wiebe,1990; Done, 1992 dan Edinger et
al., 1998)
Zooxanthellae sebagai fitobiotik di lingkungan laut mempunyai sifat yang
lebih spesifik dibandingkan dengan jenis fitoplankton lainnya; yaitu oleh sifatnya
dalam sistem simbiosis dengan beberapa biota benthik. Dalam hal ini kemampuan
allogenik maupun autogeniknya lebih bersifat terbatas. Pada kondisi
endosimbiosis spesifikasi ini ditunjang oleh sifat stabilitas kondisi lingkungan di
dalam tubuh inang. Sementara itu dalam keadaan bebas, kehifupan zooxanthellae
akan mengikuti sifat kelenturan lingkungan eksternal. Oleh sebab itu, Cook et al
(1997) mengemukakan bahwa status nutrisi bagi kebutuhan zooxanthellae dapat
dijadikan sebagai indikator kesuburan terumbu karang.
Zooxanthellae sebagaimana fitobiotik lainnya sangat memerlukan
dukungan ketersediaan nutrien yang cukup. Tingkat kebutuhannya akan nutrien
sangat berbeda dengan lingkungan eksternal di kawasan perairan terumbu karang.
Sorokin (1993) mengemukakan bahwa terdapat kontradiktif antara lingkungan
ekternal terumbu karang dengan lingkungan internalnya dalam kompleks rangka
73
karang. Pada perairan oligotropik sebagaimana di lingkungan sekitar terumbu
karang (D’elia dan Wiebe, 1990), tidak merupakan suatu hal luar biasa bagi basis
nutrisi endosimbion. Sementara di lain pihak dinoflagellata ini memainkan
peranan penting dalam penyediaan pakan dan fisiologi bagi inang (Muscatine dan
Porter, 1977). Sebagai contoh, kebutuhan carbon secara fotosintetik, secara tipikal
dalam bentuk gliserol dan molekul sederhana lain dapat ditranslokasi dari alga
pada laju dan kapasitas volume sesuai dengan kebutuhan respirasi inang
(Falkowski et al., 1984; Muscatine, 1990; Muscatine et al., 1984). Tingkat
hubungan endosimbiosis ini cukup efektif mempertahankan masih cukup
tingginya kadar nutrien itu sendiri di dalam kompleks mikro yaitu di rangka.
Szmant (2002) mengemukakan bahwa tingkat turn over yang rendah di kawasan
terumbu terjadi akibat sejalannya akumulasi nutrien dalam rangka dengan
pertumbuhan karang itu sendiri. Lapointe (1997) mengemukakan bahwa
lingkungan karang merupakan kawasan perairan oligotropik khususnya sediaan
nitrogennya. Kadar nitrogen dari hasil perangkuman di beberapa perairan terumbu
karang adalah 0,2–0,5 μM NH3-N dan 0,1–0,3 μM NO3-N. Kadar ini masih
tercukupi hingga laju pertumbuhan tetap pada penelitian ini. Selanjutnya bila
dibandingkan dengan dengan kadar nutrien internal karang, Lapointe (1997)
menyatakan bahwa nilai tersebut jauh lebih tinggi dari lingkungan eksternalnya.
Dikemukakan lebih lanjut bahwa regenerasi NH3-N dalam skeleton dapat
mencapai 200% dari kebutuhan.
Sorokin (1993) merangkum beberapa peneliti yang menginformasikan
bahwa perbedaan kedalaman berpengaruh terhadap konsumsi nutrien khususnya
orthofosfat. Di lagoon Wistari Atoll, konsumsi PO4-P pada kedalaman adalah
sebesar 0,88 μg/l/hari dan 0,84 μg/l/hari masing-masing pada kedalaman 2 m dan
0,7 m. Sementara Lapointe (1997) menyebutkan bahwa orthofosfat di kawasan
terumbu karang berkisar pada konsentrasi <0,3 μg/l. Hasil pengukuran orthofosfat
pada kajian nutrien ini adalah berkisar antara 0,0032–0,0041 mg/l. Dengan
kebutuhan yang sangat kecil akan orthofosfat tersebut maka dapat dinyatakan
bahwa unsur ini bukan merupakan unsur pembatas bagi upaya penumbuhannya.
Kasus tersebut nampaknya berlaku secara umum di kawasan terumbu
karang kecuali akibat-akibat antropogenik (Nordemar et al., 2003). Akibatnya
74
model alir energi di kawasan terumbu karang didasarkan kepada fenomena alir
materi energi dasar (Sorokin, 1993). Selanjutnya dikemukakan bahwa
berdasarkan skema umum aliran energi di dalam ekosistem terumbu karang dapat
dinyatakan bahwa energi netabolisme yang umum terjadi terutama disusun
melalui pool detritus meskipun dukungan ke dalam ekosistem ini juga berasal dari
perairan eksternalnya. Dengan adanya fenomena ini maka masukan energi lebih
terkumpul dari tanaman bentik (macroalga). Ini mungkin yang menjadi penyebab
mengapa efek invasi biotik pada lingkungan ekosistem terumbu karang lebih
banyak terjadi melalui daerah dasar khususnya macro alga. Dalam hal ini porsi
pendukungnya yang terbesar adalah simbiotik alga dan macroalga itu sendiri,
yang dikemukakan oleh Sorokin (1993) tidak sebaik yang disumbang dari
phytoplankton eksternal.
Sebagai bahan perbandingan besaran energi metabolisme yang berputar
serta fenomena pendukungnya terhadap berbagai tipe terumbu yang ada, yaitu
fringing reef, barrier reef dan atoll maka akan dipergunakan 4 variabel tolok ukur,
yaitu :
1. Bahan organik Tersuspensi yang dalam hal ini berperan sebagai pendukung
sediaan bahan dasar metabolisme dalam ekosistem terumbu karang
2. Nutrien yang dalam hal ini lebih ditekankan kepada unsur nitrogen
3. Biomassa fitoplankton sebagai variabel produsen
Bahan organik pada dasarnya dapat berbentuk terlarut dan tersuspensi.
Pertimbangan penggunaan tersuspensi ini karena umumnya bahan demikian
mempunyai bobot yang lebih besar sehingga dapat secara sendiri melakukan
poses penenggelaman atau juga dimungkinkan membentuk flok sesama bahan
organik atau bentukan flok bersama dengan material inorganik. Secara kimiawi
kondisi ini sangat dimungkinkan terjadi karena umumnya materi organik
mempunyai gugus bebas bersifat ionik sedangkan bahan inorganik mengandung
gugus aktif kation, sehingga sangat mudah keduanya membentuk ikatan (Stumm
dan Morgan, 1991).
Di samping pendapat tersebut, Ferrer dan Szmant (1988) menyatakan 50%
lebih skeleton karang merupakan struktur porous di sekelilingnya di-temukan
berbagai jenis organisme dengan dukungan berbagai multifungsi (Tabel 10).
75
Tabel 10. Komposisi Komunitas Endolitik Dan Aktivitas Metaboliknya Dalam
Lingkungan Konstituen Rangka Karang Hidup
No Organisme Peranan
1 Makroorganisme
a. Sponge Oksigenasi, suplai nutrien dan bahan organik sisa feses dan
ekskresi ammonium b. Bivalve
c. Sipunculid
d. Polychaeta
e. Barnacle
2 Mikroorganisme
a. Alga Fotosintesis; produksi oksigen dan karbon orgnik
b. Fungi Respirasi, penguraian bahan organik dan regenerasi nutrien
c. Bacteria
Organisme-organisme ini mengimport bahan organik serta unsur kimiawi lainnya
ke dalam skeleton atau mengakumulasi di skeleton. Bahan organik serta proses
derivasinya akan menjadi cadangan fungsional bagi zooxanthellae dan
berkembangnya organisme-organisme tersebut.
Nutrien yang dipergunakan dalam penelitian disini adalah nitrogen.
Pertimbangan penggunaan nitrogen sebagai bahan evaluasi pembanding karena
unsur ini merupakan unsur esensial di luar fosfor lebih dimungkinkan terjadi
dibandingkan dengan fosfor. Menurut Harris (1976) bentuk nitrogen yang
dimanfaatkan oleh fitobiotik dapat beragam, sedangkan fosfor hanya dalam
bentuk orthofosfat. Di samping itu penggunaan unsur nitrogen bagi kriteria
sediaan nutrien di karang di dasarkan kepada aspek bahwa buangan limbah hasil
metabolisme atau limbah terlarut umumnya merupakan bahan organik, sementara
itu menurut Connell dan Miller (1995) bahwa 80% dari bahan ini tersusun oleh
campuran nitrogen. Yang kedua adalah bahwa fosfor sebagai nutrien esensial
tidak diperhitungkan karena unsur ini memang sulit tersedia dalam bentuk
orthofosfat. Hal ini disebabkan karena unsur fosfat dalam bentuk orthofosfat pada
lingkungan karang sangat mudah untuk terikat oleh ion Ca2+
yang memang
keberadaannya melimpah di kawasan ini untuk kemudian membentuk hidroksi
apatit yang sulit larut dalam perairan (Stum dan Morgan, 1991).
Fenomena pertumbuhan zooxanthellae secara internal diperkirakan
mempunyai fenomena pertumbuhan sebagaimana kondisi laboratorium selama
batasan-batasan allogeniknya dapat terpenuhi. Ini didasarkan kepada telusur yang
76
dilakukan oleh Hoegh-Guldberg and Smith, 1989; Porter et al., 1989; Fitt et al.,
1993; Gleason, 1993, pada kajian pemutihan parsial karang. Pada kondisi
demikian selama dapat terpeliharanya atau dipenuhinya kebutuhan allogenik maka
zooxanthellae dapat berkembang dengan cepat. Hal yang sama juga ditemukan
pada fenomena kajian ketahanan karang pada penelitian ini. Dalam penelitian ini
yang dilakukan secara bertahap diperoleh keterangan bahwa zooxanthellae dapat
berkembang dengan baik dalam lingkup laboratorium. Hal serupa diperoleh oleh
Taylor (1978) yang mengemukakan bahwa zooxanthellae dapat mengalami
peningkatan dengan penambahan ammonium. Tetapi zooxanthellae tidak dapat
tumbuh hanya dengan penambahan PO4-P (Stambler et al., 1991). McGuire
(1997) mengemukakan bahwa penambahan 5 hingga 10 μM ammonium selama 8
minggu belum mampu mempengaruhi perkembangan zooxanthellae serta tidak
memberikan pengaruh negatif bagi penurunan pertumbuhannya.
Berkenaan dengan hal tersebut, hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa
dalam skala laboratorium terjadi suatu proses penurunan NO3-N sejalan dengan
permintaannya bagi pertumbuhan zooxanthellae. Perubahan dua variabel tersebut
adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 21.
Gambar 21. Pemiskinan NO3-N dan Perkembangan Zooxanthellae
Dalam hal ini persediaan kadar NO3-N sebesar <0.01 mg/l kurang mampu
menopang perkembangan zooxanthellae. Hal ini sesuai dengan hasil yang
diperoleh Atkinson (1988) bahwa persediaan ammonium media sebesar kurang
dari 15 μM tidak mampu meningkatkan perkembangan zooxanthellae. Oleh
77
karenanya, pada masa perkembangan massal dilakukan penambahan nitrat hingga
mempunyai kadar 0,0455 mg/l pada hari ke 16, yaitu pada saat terlampauinya
pertumbuhan eksponensial zooxanthellae. Terpeliharanya kadar tersebut, mampu
mempertahankan perkembangan zooxanthellae antar clade yang dicobakan
(Gambar 22).
Gambar 22. Respon Penambahan NO3-N terhadap upaya
Mempertahankan Perkembangan Zooxanthellae
Variasi clade pada zooxanthellae yang telah dibuktikan keberadaannya
serta dikaitkan dengan kebutuhan inang terhadap simbiosisnya pada jaringan polip
merupakan konsekuensi kebutuhan faali variasi clade terhadap keragaman
lingkungan eksternalnya. Menurut Van Oppen et al., (2005) dikemukakan bahwa
karang di terumbu karang Aneonantik dan Karibia selalu mengandung
zooxanthellae clade A dan mempunyai variasi clade B dan C sebagai pembeda.
Sementara karang di Kawasan Pasifik selalu mempunyai variasi zooxanthellae
clade C. Fenomena ini diperkirakan mempunyai keterkaitan dengan sifat pola
distribusi aliran laut. Pada dua lautan pertama mempunyai ciri sirkulasi spesifik
yang mempunyai pengaruh terhadap distribusi karang maupun zooxanthellae
secara relatif tertutup. Pengaruh glasial dan hemispere utara merupakan faktor
yang menyebabkan adaptasi karang maupun co-dominansi clade zooxanthellae di
kawasan ini. Sementara di kawasan Pasifik pengaruh bervariasinya lingkungan
78
tropis sangat mempengaruhi adaptasi karang selama periode tersebut, sehingga
zooxanthellae clade C tersebut menjadi dominan.
Di lain pihak Pochon et al., (2001) mempunyai pendapat lain bahwa
populasi simbion mengikuti pola log normal Fisher dan jarang mengikuti sebaran
inangnya (species karang) secara spesifik. Oleh karenanya Coffroth dan Santos
(2005) menyebutkan bahwa transduksi zooxanthellae terhadap inangnya dapat
terjadi melalui dua kondisi yang disebut close system (sistem tertutup) yaitu suatu
kondisi terjadinya hubungan inang-simbion yang terjadi melalui tautan sejak
planulanya (bersifat endemik) serta open system (sistem terbuka) yaitu suatu
kondisi ditemukannya ragam clade pada suatu inang berasal dari transduksinya
dengan lingkungan sekitar sebagaimana dikemukakan oleh Pochon et al (2001).
Pendapat ini sesuai dengan pernyataan Iglesias-Preto dan Trench (1997); Rowan
et al., (1997); Warner et al., (1996) yang menyatakan bahwa tipe Symbiodinium
berubah-ubah dalam responsnya terhadap perubahan lingkungan.
Dalam hal sebaran clade zooxanthellae pada berbagai sumber inang
terdapat banyak ragam variasi yang telah ditemukan. Berbagai studi tersebut telah
mendemonstrasikan bahwa identitas clade tersebut selalu berkorelasi dengan
fungsi fisiologis (LaJeunesse et al., 2003; Tchernov et al., 2004; Savage et al.,
2002). Hal tersebut menunjukkan bahwa zooxanthellae mempunyai fleksibilitas
yang tinggi dalam membentuk hubungan simbiosis dengan inangnya yang tidak
hanya terbatas pada karang semata, akan tetapi dengan beberapa jenis biota laut
lainnya seperti sea anemon maupun tridacna. Hal terakhir telah diperlihatkan dari
hasil analisis DNA pada penelitian ini.
Fleksibilitas transduksi zooxanthellae pada jaringan polip karang tetap
bergantung kepada rentang perubahan kondisi lingkungan eksternal. Rodriquez-
Laretty et al, (2001) dalam penelitiannya di bagian utara Australia melaporkan
bahwa analisis DNA Montipora digitata yang diuji dalam suatu periode tertentu
sebelumnya diduga merupakan jenis karang yang endemik dengan zooxanthellae
clade C. Namun demikian, dalam monitoring selanjutnya ternyata terjadi proses
transduksi dengan clade lain dalam waktu yang 1 bulan. Transduksi ini konsisten
dalam perkembangan lanjut dari karang tersebut. Oleh karenanya, maka tingkat
79
fluktuasi dari variabilitas lingkungan sangat menentukan konsistensi
perkembangan zooxanthellae dalam jaringan polip karang.
Dari serangkaian penelitian yang telah dilakukan khususnya terhadap
isolasi zooxanthellae dari berbagai jenis biota, mengindikasikan bahwa terdapat
kesamaan clade antar inang dengan penekanan clade A dan B spesifik hanya
ditemukan pada Tridacna dan sea anemon. Jenis ini mempunyai kemampuan yang
kuat terhadap tekanan eksternalnya mengingat pemisahannya diambil dari
lingkungan dengan kedalaman yang rendah yaitu 3 meter. Namun demikian, clade
ini juga ditemukan pada Favites dan Goniastrea aspera yang diperoleh pada
kedalaman 10 meter, dimana tekanan allogeniknya sudah semakin menurun. Hasil
penumbuhan massal pada kondisi lingkungan binaan memperlihatkan pola
pertumbuhan yang optimal dari masing-masing clade.
Dalam proses penumbuhan ini telah diupayakan mempergunakan
pendekatan penekanan lingkungan eksternalnya, sehingga diperoleh homogenitas
yang cukup tinggi. Dengan dapat ditekannya pengaruh eksternal, maka konsistensi
kegiatan faali dari zooxanthellae biakan dapat tumbuh dengan cukup baik. Ini
merupakan suatu bukti bahwa identitas clade tersebut selalu berkorelasi dengan
fungsi fisiologis (LaJeunesse et al., 2003; Tchernov et al., 2004; Savage et al.,
2002). Dalam hal ini pemeliharaan unsur-unsur kritis bagi fitobiotik seperti
temperatur, cahaya dan nutrien (Harris, 1976) akan dapat mengoptimalkan fungsi
fisiologisnya untuk dapat tumbuh dengan optimum.
Simpulan
Hasil percobaan tentang uji keragaman genetik zooxanthellae dari
beberapa sumber inang dan kajian pertumbuhannya di lingkungan binaan
sebagaimana diuraikan di atas adalah :
(a) Cahaya yang mendukung penumbuhan zooxanthellae berjenjang hingga
massal adalah cahaya hijau dengan kekuatan cahaya 84,56 sampai dengan
102,78 µmol quanta m-2
dt-1
, kisaran temperatur yang mendukung adalah
antara 20oC hingga 23
oC dengan penambahan nutrien awal 200 µM NaNO3;
(b) Variasi keragaman clade dari sumber inang Sea anemon, Tridacna, Acropora,
Favites dan Goniastrea adalah clade A, clade B dan clade C, dengan sebaran
80
Sea anemon mengandung zooxanthellae clade A (80%) dan clade B (20%),
Tridacna mengandung zooxanthellae clade A (80%) dan clade B (20%),
Acropora mengandung zooxanthellae clade A (60%), clade B (20%) dan
clade C (20%), Favites mengandung zooxanthellae clade A (20%) dan clade
C (80%) serta Goniastrea mengandung zooxanthellae clade A (60%) dan
clade B (40%);
(c) Pada kondisi lingkungan yang terkendali, maka potensi pertumbuhan puncak
zooxanthellae clade A, B dan C dapat dipertahankan dengan penambahan
ulang NO3-N sebesar 0,0445 mg/l dalam selang waktu 16 hari.