2011pwp_BAB III Pembahasan

40
UJI KERAGAMAN GENETIK ZOOXANTHELLAE DARI BEBERAPA SUMBER INANG DAN KAJIAN PERTUMBUHANYA DI LINGKUNGAN BINAAN Abstrak Zooxanthellae merupakan fitobiotik yang selalu hidup bersimbiosis dengan beberapa biota dasar seperti protista, cnidaria dan moluska. Proses simbiotiknya dengan karang menghasilkan ekosistem terumbu karang yang sangat penting di lingkungan perairan laut dangkal. Dalam proses simbiotik antara karang dan zooxanthellae tersebut keberadaannya sangat ditentukan oleh kondisi perairan. Dalam satu inang dapat dijumpai beberapa jenis clade sesuai dengan kemampuan inangnya untuk melindungi terhadap perubahan lingkungan sekitarnya. Fenomena fleksibilitas hubungan inang simbion ini akan diteliti dalam suatu kegiatan pemurniannya melalui tahapan evaluasi keragaman dan upaya penumbuhan secara terbina. Penelitian ini bertujuan untuk : (a) mengevaluasi faktor kebutuhan cahaya, temperatur dan nutrien yang mendukung pertumbuhan zooxanthellae, (b) mengkaji keragaman zooxanthellae berdasarkan profil DNAnya dari sumber inang sea anemon, tridacna, Acropora, Favites dan Goniastrea aspera dan (c) Mengkaji upaya optimalisasi pertumbuhan zooxanthellae secara massal. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pakan Alami dan Genetika Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara mulai Agustus 2004 sampai dengan Oktober 2005. Hasil yang menonjol dari tahap kajian ini adalah : (a) cahaya yang mendukung untuk penumbuhan berjenjang hingga massal adalah cahaya hijau dengan kisaran kekuatan cahaya 84,56 sampai dengan 102,78 μmol quanta m -2 dt - 1 , kisaran temperatur yang mendukung adalah antara 20 o C hingga 23 o C dengan penambahan nutrien awal 200 μM NaNO 3 . (b) Variasi keragaman clade dari sumber inang Sea anemon, Tridacna, Acropora, Favites dan Goniastrea adalah clade A, clade B dan clade C, dengan sebaran Sea anemon mengandung zooxanthellae clade A (80%) dan clade B (20%), Tridacna mengandung zooxanthellae clade A (80%) dan clade B (20%), Acropora mengandung zooxanthellae clade A (60%), clade B (20%) dan clade C (20%), Favites mengandung zooxanthellae clade A (20%) dan clade C (80%) serta Goniastrea mengandung zooxanthellae clade A (60%) dan clade B (40%). (c) Pada kondisi lingkungan yang terkendali, maka potensi pertumbuhan puncak zooxanthellae clade A, B dan C dapat dipertahankan dengan penambahan ulang NO 3 -N sebesar 0,0445 mg/l dalam selang waktu 16 hari. Abstract Zooxanthellae is phytobiotic that always live symbiotically with several seabed biota such as protist, cnidaria dan mollusc. Its symbiotic process with coral results in an important coral reef ecosystem at a shallow water environment. Water condition determines the existence of zooxanthellae in the symbiotic process. Several clades could be found in one host depending on the host

Transcript of 2011pwp_BAB III Pembahasan

Page 1: 2011pwp_BAB III Pembahasan

UJI KERAGAMAN GENETIK ZOOXANTHELLAE DARI BEBERAPA

SUMBER INANG DAN KAJIAN PERTUMBUHANYA

DI LINGKUNGAN BINAAN

Abstrak

Zooxanthellae merupakan fitobiotik yang selalu hidup bersimbiosis

dengan beberapa biota dasar seperti protista, cnidaria dan moluska. Proses

simbiotiknya dengan karang menghasilkan ekosistem terumbu karang yang sangat

penting di lingkungan perairan laut dangkal. Dalam proses simbiotik antara

karang dan zooxanthellae tersebut keberadaannya sangat ditentukan oleh kondisi

perairan. Dalam satu inang dapat dijumpai beberapa jenis clade sesuai dengan

kemampuan inangnya untuk melindungi terhadap perubahan lingkungan

sekitarnya. Fenomena fleksibilitas hubungan inang simbion ini akan diteliti dalam

suatu kegiatan pemurniannya melalui tahapan evaluasi keragaman dan upaya

penumbuhan secara terbina.

Penelitian ini bertujuan untuk : (a) mengevaluasi faktor kebutuhan cahaya,

temperatur dan nutrien yang mendukung pertumbuhan zooxanthellae, (b)

mengkaji keragaman zooxanthellae berdasarkan profil DNAnya dari sumber inang

sea anemon, tridacna, Acropora, Favites dan Goniastrea aspera dan (c) Mengkaji

upaya optimalisasi pertumbuhan zooxanthellae secara massal. Penelitian

dilaksanakan di Laboratorium Pakan Alami dan Genetika Balai Besar

Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara mulai Agustus 2004

sampai dengan Oktober 2005.

Hasil yang menonjol dari tahap kajian ini adalah : (a) cahaya yang

mendukung untuk penumbuhan berjenjang hingga massal adalah cahaya hijau

dengan kisaran kekuatan cahaya 84,56 sampai dengan 102,78 µmol quanta m-2

dt-

1, kisaran temperatur yang mendukung adalah antara 20

oC hingga 23

oC dengan

penambahan nutrien awal 200 µM NaNO3. (b) Variasi keragaman clade dari

sumber inang Sea anemon, Tridacna, Acropora, Favites dan Goniastrea adalah

clade A, clade B dan clade C, dengan sebaran Sea anemon mengandung

zooxanthellae clade A (80%) dan clade B (20%), Tridacna mengandung

zooxanthellae clade A (80%) dan clade B (20%), Acropora mengandung

zooxanthellae clade A (60%), clade B (20%) dan clade C (20%), Favites

mengandung zooxanthellae clade A (20%) dan clade C (80%) serta Goniastrea

mengandung zooxanthellae clade A (60%) dan clade B (40%). (c) Pada kondisi

lingkungan yang terkendali, maka potensi pertumbuhan puncak zooxanthellae

clade A, B dan C dapat dipertahankan dengan penambahan ulang NO3-N sebesar

0,0445 mg/l dalam selang waktu 16 hari.

Abstract

Zooxanthellae is phytobiotic that always live symbiotically with several

seabed biota such as protist, cnidaria dan mollusc. Its symbiotic process with coral

results in an important coral reef ecosystem at a shallow water environment.

Water condition determines the existence of zooxanthellae in the symbiotic

process. Several clades could be found in one host depending on the host

Page 2: 2011pwp_BAB III Pembahasan

42

capability of adjusting the environmental change. This flexibility of host-symbiont

relationship phenomenon will be studied in purification of zooxanthellae with

two step, are diversity evaluation of zooxanthellae and growth rate in the artificial

environment.

The study of purification of zooxanthellae was proposed to: (a) Evaluating

factor needed irradiance, temperature and nutrient that supporting of

zooxanthellae growth, (b) explore genetic diversity of zooxanthellae based on

profill it’s DNA from sea anemone, Tridacna, Acropora, Favites and Goniastrea,

(c) Explore the effort optimalization growing of zooxanthellae. The experiment

took place for 24 weeks in Natural food and Genetic laboratory of Main Center of

Brackishwater Aquaculture Development Jepara from August 2004 to October

2005.

The research showed that: (a) The range of supporting irradiance,

temperature and nutrient are : green radiance (with comparison 84,56 - 102,78

µmol quanta m-2

dt-1

), 20 – 23oC and initial nutrient 200 µM of NaNO3, (b)

Diversity variation clade from host (organism test) are clade A, clade B and clade

C, with dispertion of Sea anemon are clade A (80%) and clade B (20%), Tridacna

are clade A (80%) and clade B (20%), Acropora are clade A (60%), clade B

(20%) and clade C (20%), Favites are clade A (20%) and clade C (80%),

Goniastrea are clade A (60%) dan clade B (40%). (c) In controlling environment,

the potention of peak growth of third clade are can be maintenanced with adding

NO3-N amount 0,0445 mg/l and repeat again for 16 days.

Pendahuluan

Terumbu karang adalah suatu ekosistem dasar laut dengan penghuni utama

berupa karang batu. Berbagai spesies dan bentuk karang batu ini bersama-sama

dengan makhluk hidup lainnya membentuk suatu ekosistem. Arsitektur terumbu

karang yang indah dibentuk oleh ribuan binatang kecil yang disebut polip. Dalam

bentuk sederhananya karang dapat terdiri dari satu polip saja yang mempunyai

bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan

dikelilingi oleh tentakel. Dinding polip maupun tentakel karang terdiri dari tiga

lapisan yaitu ektoderma, endoderma dan mesoglea. Ektoderma merupakan

jaringan terluar yang terdiri dari beberapa jenis sel, antara lain sel mukus dan

nematocyst. Sel-sel mukus berfungsi sebagai penghasil mukus yang membantu

menangkap makanan dan membersihkan diri dari sedimen yang melekat,

sedangkan nematocyst berfungsi sebagai penangkap makanan, pertahanan diri dan

dalam fase larva berperan sebagai pemonitor tempat pelekatan planula (Mariscal,

1974). Mesoglea merupakan jaringan yang terletak antara lapisan ektoderma

Page 3: 2011pwp_BAB III Pembahasan

43

dengan endoderma, terdiri dari jelly. Di dalam lapisan jelly terdapat fibril,

sedangkan di bagian luar terdapat semacam sel otot. Endoderma merupakan

jaringan yang terletak di bagian dalam, sebagian besar sel-selnya mengandung sel-

sel algae (zooxanthellae) yang merupakan simbion bagi hewan karang

(Muscatine, 1974). Seluruh permukaan jaringan karang juga dilengkapi dengan

silia dan flagela, keduanya berkembang dengan baik di lapisan luar tentakel dan di

dalam sel mesenteri. Dalam banyak spesies karang, individu polip berkembang

menjadi banyak individu yang disebut dengan koloni.

Salah satu sifat konservatif dari biota karang adalah adanya simbiosis

dengan zooxanthellae. Dari hubungan konservatif ini maka terbentuk bangunan

terumbu karang yang banyak ditemukan di lingkungan perairan benthic tropis

(Muller-Parker dan D’Elia 1997). Dari hubungan fungsional tersebut,

zooxanthellae menyediakan lebih kurang 95% hasil fotosintetik mereka kepada

inang karang, dan produk ini dimanfaatkan karang untuk pertumbuhan,

reproduksi, dan pemeliharaan fisiologisnya. Sebagai umpan balik, inang karang

menyediakan kebutuhan fisiologi endosimbion berupa nutrien dan perlindungan di

dalam jaringan-jaringan polipnya (Davies, 1993; Muscatine and Porter, 1977,

Falkowski et al., 1984, Barnes and Chalker, 1990, Muller-Parker and D’Elia,

1997).

Dalam berbagai penelitian di lapangan, diinformasikan tentang berbagai

aspek lingkungan fisika kimianya yang berperan dalam mendukung peningkatan

dan repon positif densitas zooxanthellae di dalam jaringan polip karang. Respon

cahaya yang dapat diterima oleh zooxanthellae pada jaringan polip karang

bervariasi pada setiap jenis. Respon cahaya ini bergantung kepada jenis

pigmentasi dominan yang menyusunnya. Chlorophyl-c ditemukan pada

sekelompok alga coklat seperti cryptophyceae, dinophyceae, rhaphidophyceae,

chrysophyceae, bacillariophyceae, xanthophyceae dan phaeophyceae (Meek,

1974). Komponen chlorophyl-c mengandung 3 komponen yang secara spectrum

berbeda nyata, yaitu chlorophyl-c1, c2 dan c3. Dalam hal ini chlorophyl-c2 selalu

terdapat pada dinophyceae (zooxanthellae termasuk dalam kelompok ini; baik

yang hidup bebas maupun alga simbiotik). Sementara itu, Hall dan Rao (1987)

mengemukakan bahwa jenis-jenis pigmen tersebut mampu merepon pada variasi

Page 4: 2011pwp_BAB III Pembahasan

44

panjang gelombang 445 sampai dengan 625 nm. Pada panjang gelombang yang

lebih pendek khususnya pada panjang gelombang 280-320 nm dan 320-400 nm,

maka akan menyebabkan peningkatan eksitasi elektroniknya sehingga dapat

merusak sel-sel dalam tubuh fitobiotik (Page, 1990) termasuk zooxanthellae

(Rivers et al., 2002; Klein dan Klein, 1970; Parrish et al., 1978)

Karang secara umum berkembang baik pada lingkungan perairan dengan

kadar nutrien yang rendah. Pengaruh anthropogenik menyebabkan eutrifikasi di

kawasan terumbu karang yang hidup di perairan pantai (Berner dan Izhaki, 1994;

Stambler et al., 1994; Wilkinson, 1999). Hal tersebut diperlihatkan bahwa karang

dipengaruhi secara langsung oleh peningkatan konsentrasi nitrogen yang

menyebabkan terjadinya peningkatan pertumbuhan populasi zooxanthellae

(Hoegh-Guldberg dan Smith, 1989; Dubinsky et al., 1990; Stambler et al., 1991

dan 1994; Stimson dan Kinzie, 1991; Hoegh-Guldberg, 1994, Marubini dan

Davies, 1996; Muller-Parker dan D’Elia, 1997); dalam kadar yang berlebihan

akan menyebabkan efek berbalik dalam bentuk menurunkan laju pertumbuhan

karang (Stambler et al., 1991; Ferrier-Pages et al., 2000; Dubinsky et al., 1990;

Hoegh-Guldberg et al, 1997, Marubini dan Davies, 1996).

Aspek penting lainnya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan

zooxanthellae adalah temperatur. Tekanan akibat temperatur tinggi tidak seperti

tekanan yang dialami oleh karang pada temperatur dingin. Secara prinsipil,

pengaruh temperatur panas menyebabkan kerusakan (breakdown) simbiosis

karang dengan zooxanthellae. Peningkatkan temperatur perairan sampai 2-3 o

C

dari temperatur normal untuk beberapa bulan menyebabkan pemutihan yang luas

dan bahkan kematian karang seperti observasi yang telah dilakukan di Indonesia

pada tahun 1983 oleh Brown dan Suharsono (1990); dan di tempat lain pada

periode tahun 1986-1987 dan 1989-1990 (Williams dan Bunkley Williams, 1990).

Peningkatan temperatur secara ekstrim juga dapat menyebabkan kerusakan sel

zooxanthellae hingga menjadi mati (Zamani, 1995). Catatan lain dari

kelangsungan hidup karang akibat temperatur rendah hampir sama, yaitu :

Solenastrea hyades di utara Carolina (Veron, 1995) ditemukan pada temperatur

10,6 o

C; Acropora Sp, Porites Spp dan Platygyra daedalea di Teluk Persia dan

Page 5: 2011pwp_BAB III Pembahasan

45

Teluk Arab pada temperatur 11 o

C oleh Coles dan Fadlallah (1991); Montipora

Spp di P. Yaeyama pada temperatur kurang dari 13 oC (Nomura, 1986).

Faktor-faktor lingkungan tersebut dinyatakan sebagai efek aspek

horizontal (open system) dari keragaman zooxanthellae yang tertransduksi pada

inang polip (Coffroth dan Santos, 2005). Kajian tentang keragaman zooxanthellae

secara molekular mulai dikaji sejak 1980 (Schoenberg and Trench,1980; Baker

2003; LaJeunesse 2001 dan Santos et al., 2001). Keragaman zooxanthellae pada

karang dan beberapa biota laut lainnya hingga kini telah terinformasikan sebanyak

8 clade yaitu A, B, C, D, E, F, G, H (Coffroth dan Santos, 2005). Tiap-tiap clade

mempunyai daya toleransi yang spesifik terhadap kondisi lingkungan sekitarnya

bergantung kepada biogeografinya (LaJeunesse et al. 2003; Savage et al. 2002;

Tchernov et al. 2004; Iglesias-Prieto and Trench, 1997; Rowan et al. 1997;

Warner. et al. 1996).

Terkait dengan tujuan penelitian secara makro terhadap proses translokasi

zooxanthellae antar inang ini maka dikaji keragaman zooxanthellae berdasarkan

tahapan budidayanya. Dengan diperolehnya suatu biakan zooxanthellae secara

bertahap, diharapkan diperoleh informasi tentang clade yang lebih murni. Di

samping itu dengan mempergunakan tahapan kegiatan pemurnian diharapkan

mendapatkan informasi mengenai beberapa variabel penentu khususnya terhadap

upaya pembiakan secara massal dengan pertumbuhan yang lebih cepat. Informasi

terakhir merupakan masukan yang berguna pada tahap implementasi translokasi

antar sumber inangnya.

Tujuan dari kajian pertumbuhan zooxanthellae massal dan uji keragaman

genetik berdasar penumbuhan di lingkungan binaan adalah :

1. Mengevaluasi faktor kebutuhan cahaya, temperatur dan nutrien optimum yang

mendukung pertumbuhan zooxanthellae;

2. Mengkaji keragaman zooxanthellae berdasarkan profil DNAnya dari sumber

inang sea anemon, tridacna, Acropora, Favites dan Goniastrea aspera;

3. Mengkaji upaya optimalisasi pertumbuhan zooxanthellae secara massal.

Page 6: 2011pwp_BAB III Pembahasan

46

Metodologi

Penelitian tentang penumbuhan massal dan keragaman zooxanthellae yang

dilakukan pada lingkungan binaan ini merupakan seri pertama dari penelitian

sekuensial tentang translokasi zooxanthellae pada karang Goniastrea aspera.

Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah produk zooxanthellae massal

dengan inisial beberapa clade zooxanthellae.

Peralatan Percobaan

Peralatan yang dipergunakan dalam penelitian ini untuk peralatan selam

dan transek mempergunakan : scuba diving, tali rol 50 meter, palu, tatah, tempat

contoh karang dan sterefoam. Peralatan tersebut dipergunakan untuk penelitian

pendahuluan penentuan materi uji. Peralatan inokulasi meliputi : ruang inokulasi

(ruang inkubasi), infected cable untuk penggoresan materi zooxanthellae,

perlengkapan gelas (glass ware) berupa erlenmeyer, petri disk, ruang pembiakan

murni, lampu neon putih dan neon hijau, botol 1 liter, pendingin, blender,

centrifuge 3.000 rpm, microskop binokuler dan sedwich rafter. Peralatan untuk

pemasalan pertumbuhan zooxanthellae meliputi : konikle tank, aerator yang

dilengkapi dengan batu aerasi dan selangnya; pencahayaan neon hijau. Peralatan

uji keragaman zooxanthllae meliputi : seperangkat peralatan PCR (Polymerase

Chain Reaction) mencakup PCR thermocycler, elektrophoresis chamber dan UV

transiluminator ; Peralatan analisis kualitas air media mencakup : perangkat

penangas (water heater, stirer) dan filter air, deionyzed water instrument;

thermometer skala 50oC, refraktometer dan spectrophotometer.

Bahan Percobaan

Bahan uji adalah zooxanthellae yang berasal dari sumber inang tridacna,

sea anemon, karang Acropora, Favites dan Gonistrea aspera. Banyaknya bahan

uji masing-masing satu koloni. Bahan uji ini diambil pada habitat atau lokasi yang

sama dengan kedalaman 2-5 meter di perairan Pulau Bokor Kabupaten Jepara

Jawa Tengah. Pengambilan pada lokasi yang sama dimaksudkan agar tiap bahan

uji mempunyai potensi yang sama dalam mentransduksi zooxanthellae yang

melintas atau tersuspensi di kawasan tersebut.

Page 7: 2011pwp_BAB III Pembahasan

47

Bahan uji selanjutnya dibawa ke laboratorium dengan mempergunakan

ember besar yang memungkinkan tiap bahan terendam air laut. Untuk

mempertahankan media, maka diberikan tambahan es untuk mempertahankan

temperatur media. Pada laboratorium, bahan uji ditempatkan pada konikel tank

volume 1 ton yang telah dipersiapkan secara terpisah dan dilengkapi dengan

aerasi. Konikel tank ditempatkan pada ruang indoor untuk menghindari pengaruh

pencahayaan yang kuat.

Tahapan Penelitian

Untuk mengarahkan kepada tujuan yang hendak dicapai, maka dilakukan

beberapa langkah kegiatan yang dirinci sebagaimana diuraikan berikut.

Langkah I : Inokulasi dan Pemisahan Zooxanthellae

Pada langkah I dilakukan dua tahap kegiatan, yaitu tahap inokulasi dan

tahap pengenceran awal dalam wadah berukuran 25 ml. Tahap inokulasi yaitu

menerapkan teknik isolasi zooxanthellae mengikuti cara yang dilakukan oleh

Nordemar et al., (2003). Dalam hal ini setelah inang (khususnya karang) diperoleh

dari alam selanjutnya dipotong sebesar lebih kurang 50 g. Contoh inang

selanjutnya diblender hingga tercacah secara sempurna. Campuran keruh dari

CaCO3 cangkang atau rangka dan polip kemudian dialihkan dalam botol tube

gelas volume 15 ml sebanyak 6 buah. Adapun materi zooxanthellae dari sea

anemon dan tridacna dihasilkan dari hasil blender langsung dari hewannya.

Dengan demikian materi yang diperoleh terdapat 5 buah dengan notasi SA (sea

anemon); Tr (Tridacna); Ac (Karang Acropora); Fv (Karang Favites) dan Gn

(Karang Goniastrea aspera). Materi yang sudah dimasukkan dalam tabung

sentrifugal ditata dalam tempatnya dan diputar dengan kecepatan 3.000 rpm

selama 10 menit. Cairan supernatan hasil sentrifuge selanjutnya dipisahkan ke

dalam botol yang sudah dipersiapkan. Cairan ini mengandung zooxanthellae yang

dimaksud dan nantinya akan diinokulasikan ke dalam media agar.

Pada percobaan uji keragaman ini dilakukan beberapa tahap penggunaan

media agar karena ketidak berhasilan tumbuh. Media agar pertama yang

dipergunakan dalam pemurnian zooxanthellae adalah media agar Allen (Commbs

dan Hall, 1982) dengan komposisi sebagaimana disajikan pada Tabel 4.

Page 8: 2011pwp_BAB III Pembahasan

48

Tabel 4. Komposisi Kimia Media Agar Allen untuk Budidaya Biakan Murni

Zooxanthellae

No Jenis Kimia Jumlah yang ditambahkan Stok (g/200 ml H2O) 1 NaNO3 1,5 g -

2 K2HPO4 5 ml 1,50

3 MgSO4.7H2O 5 ml 1,50

4 Na2CO3 5 ml 0,08

5 CaCl2 10 ml 0,05

6 Na2SiO3.H2O 10 ml 1,16

7 Asam citrat 1 ml 1,20

8 Trace elemen 1 ml (dalam M) dengan komposisi :

Zn 0,08

Mn 0,90

Mo 0,03

Co 0,05

Cu 0,04

Fe 11,70

EDTA 11,70

Percobaan dengan mempergunakan media agar tersebut memberikan respons

negatif yaitu zooxanthellae tidak dapat tumbuh. Percobaan lanjut dengan media

agar yang sama dengan penambahan Vitamin B12 sebesar 100 pmol/l (Croft et

al., 2005) memberikan respon positif yang lemah.

Untuk meningkatkan respons perkembangan inokulan dilakukan dengan

mencoba mempergunakan media DIFCO Bacto-agar (Guillard dan Ryther, 1962)

yang juga diperkaya dengan larutan trace mineral dan larutan vitamin. Komposisi

kimiawinya adalah sebagaimana diperlihatkan pada tabel berikut.

Tabel 5. Komposisi Kimia Media Agar Bacto untuk Budidaya Biakan

Murni Zooxanthellae

No Jenis Kimia Jumlah yang

ditambahkan

Stok (g/950 ml Air

Laut Tersaring) 1 NaNO3 1 ml 75

2 NaH2PO4.H2O 1 ml 5

3 Na2SiO3.9H2O 1 ml 30

4 Larutan Trace Mineral

1. FeCl3.6H2O 3,15 g

2. Na2EDTA.2H2O 4,36 g

3. CuSO4.5H2O 1 ml 9,8

4. Na2MoO4.2H2O 1 ml 6,3

5. ZnSO4.7H2O 1 ml 22,0

6. CoCl2.6H2O 1 ml 10

7. MnCl2.4H2O 1 ml 180

5 Larutan Vitamin

1. Vitamin B12 1ml 1

2. Biotin 10 ml 0,1

3. Thiamine.HCl 200 mg

Page 9: 2011pwp_BAB III Pembahasan

49

Penggunaan media Bacto agar ini juga memberikan respon positif yang lemah

yang diindikasikan dengan penumbuhan inokulan zooxanthellae yang tipis.

Respon positif dengan hasil yang baik diperoleh dengan mempergunakan

media agar baik Bacto-agar maupun media Agar Allen setelah kedua media

diberikan penambahan vitamin C sebesar 0,4 g dan 2 g/l pada masing-masing

media agar Allen dan Bacto agar. Penambahan vitamin C pada media agar untuk

pemurnian zooxanthellae yang dilakukan oleh Yakobovitch et al., (2004) adalah

sebesar 3 g/l. Formulasi pengaturan media agar Bacto dengan penambahan

beberapa unsur vitamin tersebut dipergunakan untuk percobaan lanjut pada

penelitian ini. Cara ini dilakukan secara berurutan sesuai dengan rencana

percobaan. Dalam hal ini untuk setiap kegiatan dipergunakan petri disk sebanyak

25 buah yang telah disiapkan terlebih dahulu dengan memasukkan kedalamnya

media agar.

Setelah terdapat indikasi pertumbuhan hasil pembiakan di dalam media

agar maka materi tersebut selanjutnya dipisahkan atau dinetralisir ke dalam media

cair dengan volume 25 ml. Pemisahan dalam media yang rendah dimaksudkan

agar materi yang dikonsentrasikannya masih dapat terukur. Pemisahan ini

merupakan langkah lanjut dari seri percobaan pemurnian zooxanthellae yang

diikuti oleh langkah percobaan pengembangan media budidaya zooxanthellae.

Langkah II : Pengembangan Media Budidaya Zooxanthellae

Hasil pemisahan tahap inokulasi akan didapatkan jenis media yang sesuai

dan direspon oleh inokulan zooxanthellae awal. Selanjutnya dilakukan percobaan

ulangan atau inokulasi ulangan mempergunakan Bacto-agar yang telah diperkaya

vitamin B12, vitamin C dan trace mineral. Hasil inokulasi dilanjutkan dengan

langkah pengembangan media budidaya dengan cara mengencerkan medium

menjadi 25 ml dari hasil penggoresan langkah inokulasi. Langkah pengembangan

media budidaya dilakukan beberapa tahapan pekerjaan penumbuhan

zooxanthellae dengan tujuan mendapatkan peubah media yang memberikan

respon paling cepat bagi pertumbuhan zooxanthellae. Pekerjaan ini juga

berlangsung secara sekuensial disebabkan karena acuan untuk mendapatkan

media optimum belum terinformasikan. Adapun sekuensi pekerjaan adalah :

Page 10: 2011pwp_BAB III Pembahasan

50

1. Media dengan pencahayaan neon putih (tinggi 60 watt) dengan temperatur

kamar (dalam media terukur berfluktuasi antara 24 – 27oC) serta penambahan

NaNO3 sebesar 6,5 μM;

2. Media dengan pencahayaan neon putih (sedang 20 watt) dengan temperatur

kamar (dalam media terukur berfluktuasi antara 24 – 27oC) serta penambahan

NaNO3 sebesar 6,5 μM;

3. Media dengan pencahayaan neon hijau (rendah 10 watt) dengan temperatur

kamar (dalam media terukur berfluktuasi antara 24 – 27oC) serta penambahan

NaNO3 sebesar 6,5 μM;

4. Media dengan pencahayaan neon hijau (rendah 10 watt) dengan temperatur

manipulasi (penambahan es dalam media, temperatur terukur berfluktuasi

antara 20 – 23oC) serta penambahan NaNO3 sebesar 6,5 μM;

Materi yang dicobakan bernotasi sama dengan hasil inokulasi yaitu SA, Tr, Ac, Fv

dan Gn. Untuk tiap tahap pekerjaan materi tersebut dibagi secara rata pada 5

(lima) medium bervolume 25 ml, yang dipergunakan sebagai ulangan. Dari hasil

pertumbuhan optimum dari manipulasi lingkungan tersebut selanjutnya dilakukan

peningkatan media secara bertahap mulai dari 1 liter sampai dengan 3 liter.

Aplikasi media eksternal mempergunakan rekomendasi hasil percobaan

pengembangan media budidaya zooxanthellae.

Langkah III : Uji Keragaman Zooxanthellae

Hasil percobaan pengembangan media budidaya zooxanthellae dari 25 ml

dilanjutkan dengan penumbuhan 1 liter sampai dengan 3 liter sebagai bahan untuk

uji keragaman zooxanthellae. Variabel untuk menjelaskan keragaman

zooxanthellae pada penelitian ini adalah uji DNA mempergunakan metoda PCR -

RFLP (Polymerase Chain Reaction - Restriction Fragment Length

Polymorphisme). Dengan demikian diperoleh 25 contoh yang dipersiapkan untuk

pengujian DNA, yaitu :

1. SA = Zooxanthellae dari sumber inang sea anemon sebanyak 5 contoh yaitu :

SA-1, SA-2, SA-3, SA-4, SA-5.

2. Tr = Zooxanthellae dari sumber inang Tridacna sebanyak 5 contoh yaitu : Tr-

1, Tr-2, Tr-3, Tr-4, Tr-5.

3. Ac = Zooxanthellae dari sumber inang Acropora sebanyak 5 contoh yaitu :

Ac-1, Ac-2, Ac-3, Ac-4, Ac-5.

4. Fv = Zooxanthellae dari sumber inang Favites sebanyak 5 contoh yaitu : Fv-1,

Fv-2, Fv-3, Fv-4, Fv-5.

Page 11: 2011pwp_BAB III Pembahasan

51

5. Gn = Zooxanthellae dari sumber inang Goniastrea aspera sebanyak 5 contoh

yaitu : Gn-1, Gn-2, Gn-3, Gn-4, Gn-5.

Untuk melakukan uji keragaman zooxanthellae dilakukan beberapa tahap, yaitu :

Penyiapan zooxanthellae. Contoh zooxanthellae pada masing-masing clade

dibiakkan lebih lanjut hingga tumbuh pada media 1 liter dengan kepekatan yang

cukup tinggi. Zooxanthellae dari medium bervolume 1 liter selanjutnya difiltrasi

secara bertahap dengan melakukan sentrifugasi pada 2500 rpm selama 10 menit.

Materi endapan sebagai zooxanthellae atau pelet dipisahkan dari cairan ekstrak

dengan mempergunakan pemipetan. Pelet zooxanthellae selanjutnya diresuspensi

dengan larutan Buffer Isolasi Zooxanthellae {0,4 M NaCl; 40 mM MgSO4; 10

mM EDTA; 20 mM Tris-HCl; pH 7,6; 8 mM dithiothreitol; 0,05% (v/v) dan

Tween-20 (pltyoxyethylene-sorbitan); Sigma Chemical Co}), sebanyak 10 ml.

DNA Zooxanthellae. Sel zooxanthellae dibilas lagi dengan Buffer isolasi DNA

(DNAB : 0,4 M NaCl; 50 mM EDTA, pH 8,0) dalam tube microcentrifuge,

selanjutnya diresuspensi dalam 0,4 ml DNAB dengan sodium dodecyl sulfat

(SDS) sebagai konsentrasi final 1% (v/v). Cairan ini kemudian dipanaskan pada

temperatur 65oC selama 60 menit. Contoh selanjutnya diinkubasi dengan

penambahan Proteinase K (Boehringer Mannheim Biochemicals) 0,5 mg/ml pada

temperatur 37 – 45oC selama 6 jam. Contoh ini disimpan pada temperatur -20

oC

dan dapat stabil selama 2 minggu pada temperatur kamar. Asam nukleat dari

materi tersebut dipresipitasi dengan penambahan 100 µl dari 0,3 M sodium asetat,

dan dipresipitasi lagi dengan ethanol. Endapan diresuspensi dengan 50 µl

aquadest (hasil penyaringan deionyzed instrument) dan disimpan pada temperatur

-20oC.

Amplifikasi DNA. Keragaman DNA dalam uji ini diamplifikasi sesuai dengan

teknik amplifikasi yang dilakukan oleh Rowan dan Power (1991); Rowan dan

Knowlton (1995) Chen et al., (2003) dengan mempergunakan universal primer

ss3 (5’–GCAGTTATAATTTATTTGATGGTCACTGCTAC-3’). Reagen yang

dilakukan dalam analisis PCR (PCR cocktail) mengandung 4 µl DNA template

(target), 10 µl 10 x larutan buffer PCR (1 M Tris-HCl, pH : 8,3); 6 µl dari 25 mM

MgCl2; 1,5 mM total dNTPs, 30 pmol dari setiap primer dan 0,5 µl

Taqpolymerase (5 unit/ µl); keseluruhan dalam 100 µl. Proses amplifikasi ini

Page 12: 2011pwp_BAB III Pembahasan

52

mempergunakan DNA thermal cycler (PCR ekspres, Hybaid) dengan mengikuti

profil pengaturan temperatur : 94oC selama 1 menit; 65

oC selama 2 menit dan

72oC selama 3 menit. Keseluruhan dilaksanakan dalam 30 silkus. Adapun enzim

yang dipergunakan dalam pemutusan ikatan basa pada contoh yang diuji

mempergunakan jenis HaeIII.

Hasil restriksi dengan enzim HaeIII akan didapatkan pita-pita DNA dengan

ukuran yang bervariasi (polimorfik). Pita DNA tersebut merupakan penera

besarnya base pair (bp) dari zooxanthellae yang diuji. Nilai pasangan basa (base

pair) ini selanjutnya dipergunakan penyejajaran banding dengan nilai pasangan

basa yang didapatkan dari GenBank (www.ncbi.nlm.nih.gov) melalui analisis

phylogenik.

Langkah IV : Uji Penumbuhan Massal Zooxanthellae

Tujuan dari uji penumbuhan massal zooxanthellae adalah mendapatkan

formulasi bagi penumbuhan optimum zooxanthellae secara berkelanjutan atau

mendapatkan formulasi bagi upaya mempertahankan pertumbuhan optimum.

Untuk keperluan ini, maka diperlukan dua tahap kajian, pertama adalah percobaan

pemanfaatan nutrien yang optimum dan kedua adalah melakukan perhitungan

waktu penyediaan nutrien ulang untuk mendapatkan ketersediaan nutrien yang

sesuai bagi perkembangan zooxanthellae. Percobaan tahap pertama bertujuan

mendapatkan kadar nutrien yang efisien sedangkan percobaan tahap kedua

bertujuan mendapatkan waktu penambahan serta jumlah penyediaan kembali

nutrien.

A. Percobaan Pertumbuhan Zooxanthellae pada Berbagai Tingkat Nutrien

Tahap pertama dilaksanakan dengan menerapkan 2 taraf perlakuan yaitu

clade zooxanthellae dan kadar nutrien. Clade zooxanthellae yang ditumbuhkan

diperoleh dari uji langkah keragaman zooxanthellae (Langkah III) sedangkan taraf

nutrien yang diaplikasikan terdiri dari 5 jenjang kadar, yaitu :

N-1 adalah menerapkan penambahan NaNO3 sebesar 50 μM;

N-2 adalah menerapkan penambahan NaNO3 sebesar 100 μM;

N-3 adalah menerapkan penambahan NaNO3 sebesar 150 μM;

N-4 adalah menerapkan penambahan NaNO3 sebesar 200 μM;

N-5 adalah menerapkan penambahan NaNO3 sebesar 250 μM;

Page 13: 2011pwp_BAB III Pembahasan

53

Perancangan percobaan dengan dua taraf perlakuan tersebut mengacu kepada

Perancangan Faktorial mempergunakan pengulangan 3 (tiga kali) pada media

volume 1 liter.

B. Percobaan Pemasalan Pertumbuhan Zooxanthellae

Tahap penumbuhan massal yang akan dipergunakan dalam proses

pengkayaan zooxanthellae akan dilalui tiga tahap :

1. Tahap analisis waktu pengisian ulang nutrien

Pada tahap ini diperhitungan waktu pengisian ulang nutrien berdasarkan

penurunan kadar nutrien akibat permintaan oleh pertumbuhan zooxanthellae.

Landasan perhitungan ini adalah adanya beberapa fase pertumbuhan fitoplankton

sebagaimana zooxanthellae (Fogg, 1969) serta model demand-suplay nutrien dan

pertumbuhan plankton (Harris, 1976). Perhitungan pengisian ulang nutrien

didasarkan kepada fomulasi sebagaimana diinformasikan oleh Taff (1988),

dengan rumus :

Keterangan :

Tpk = Waktu pengisian kembali, adalah tenggang waktu untuk melakukan

pengisian nutrien, sehingga nutrien di dalam media percobaan menjadi

terpelihara;

∑Ns = Jumlah dimana pemesanan ulang harus dilakukan adalah kadar nutrien

tertinggi selama percobaan untuk masing-masing percobaan.

Td = Waktu adalah waktu ditempuhnya pertumbuhan tertinggi hasil

percobaan;

∑Ns = Jumlah nutrien yang ditarik adalah beda atau selisih kadar nutrien (dalam

hal ini nitrat awal) dengan kadar nitrat pada saat pertumbuhan optimum

percobaan;

Pada tahap ini jenis zooxanthellae yang diukur adalah jenis yang

mempunyai clade berbeda. Masing-masing mempergunakan perlakuan

temperatur, cahaya dan nutrien sebagaimana telah dilakukan pada tahap uji

sebelumnya, dengan pengulangan 3 kali. Untuk keperluan analisis penambahan

ulang nutrien, maka variabel kunci yang diukur adalah densitas zooxanthellae dan

NO3-N secara harian.

Page 14: 2011pwp_BAB III Pembahasan

54

2. Tahap Penumbuhan berjenjang

Pada tahap ini penumbuhan zooxanthellae dilakukan secara berjenjang

mulai dari 1 liter, 3 liter, 5 liter, 100 liter hingga 1 ton. Pelaksanaan pada tahap

penumbuhan berjenjang dari zooxanthellae beragam clade ini mengakomodir

semua perlakuan yang memberikan respon pertumbuhan paling tinggi dari

percobaan tahap sebelumnya, namun dengan wadah berukuran berjenjang.

3. Analisis Kualitas Air

Analisis kualitas air diperlukan untuk menilai kelayakan media yang dapat

mendukung kegiatan penumbuhan zooxanthellae. Metoda analisis kualitas air

tersebut adalah seperti diperlihatkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Peubah yang diukur, metoda dan periode pengukuran

No. Peubah Satuan Metoda Periode Ukur 1 Temperatur

oC Thermometer Menyesuaikan

tahapan

kegiatan

percobaan

2 Salinitas o/oo Refraktometer

3 Nitrat (NO3-N) mg/l Spectrophotometer

4 Orthofosfat (PO4-P) mg/l Spectrophotometer

5 pH - pH meter

6 Oksigen terlarut mg/l Tetrimetrik

7 Intensitas cahaya µmol quanta m-2

dt-1

Photon flux meter

4.Waktu dan Tempat

Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Pakan Alami dan Genetika Balai

Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara. Materi percobaan

adalah zooxanthellae dari inang sea anemon, tridacna, karang Acropora, Favites

dan Goniastrea diperoleh dari hasil sampling di Terumbu Karang Pulau Bokor

Jepara. Waktu pelaksanaan kajian ini adalah Agustus 2004 sampai Oktober 2005.

5. Analisis Data

Uji respon pertumbuhan zooxanthellae mengacu kepada perlakuan ganda

yaitu jenis clade dan jumlah nutrien dengan mengaplikasikan perancangan

faktorial acak dan mempergunakan analisis ragam dua arah (Steel dan Torrie,

1979). Data penunjang media seperti perubahan temperatur, salinitas, nitrat (NO3-

N), pH, orthofosfat (PO4-P) dan intensitas cahaya dikaji secara deskriptif. Adapun

untuk mengevaluasi tingkat kekerabatan antar DNA individu uji mempergunakan

bantuan uji cluster berhirarkhi dengan perangkat lunak SAS 9.1.

Page 15: 2011pwp_BAB III Pembahasan

55

Hasil Percobaan

Inokulasi dan pemisahan zooxanthellae dari inangnya merupakan tahap

awal dari serangkaian kegiatan tentang pertumbuhannya. Pemakaian dari beberapa

jenis agar yang dilakukan secara seri memberikan respons yang berbeda, hasilnya

adalah sebagaimana disajikan pada Tabel berikut .

Tabel 7. Respon Penumbuhan Beberapa Zooxanthellae pada Media Agar

Jenis inang Ulangan Madia

Agar Allen

Madia Agar

Allen yang

diperkaya

Larutan

Vitamin B

Madia Agar

Bacto yang

diperkaya

Larutan

Vitamin B

Madia Agar

Allen yang

diperkaya

Larutan

Vitamin B dan

C

Madia Agar Bacto

yang diperkaya

Larutan Vitamin B

dan C

Sea Anemone 1 - - + +++ +++

2 - - - +++ +++

3 - + + +++ +++

4 - - + +++ +++

5 - + - +++ +++

Tridacna 1 - - + +++ +++

2 + - - +++ +++

3 - + - +++ +++

4 - - - +++ +++

5 - - + +++ +++

Acropora 1 + - - +++ +++

2 - - + +++ +++

3 - + + +++ +++

4 - - - +++ +++

5 - - - +++ +++

Favites 1 + + - +++ +++

2 - + - +++ +++

3 - - + +++ +++

4 - - - +++ +++

5 - - - +++ +++

Goniastrea 1 + + + +++ +++

2 - - + +++ +++

3 - + - +++ +++

4 - - - +++ +++

5 - - - +++ +++

Keterangan :

- = Negatif (tidak ditemukan ciri berkembang)

+ = Positif lemah (Ditemukan ciri tumbuh namun lemah)

+++ = Positif kuat (Ditemukan ciri tumbuh kuat)

Hasil pengamatan dan pencacahan terhadap densitas zooxanthellae masa

awal memperlihatkan bahwa media agar Allen dan Bacto-agar yang diperkaya

dengan vitamin B12 tidak berespons hingga berespon positif lemah terhadap

kemampuan tumbuh zooxanthellae dari berbagai jenis inang (Sea anemon/Sa;

Tridacna/Tr, Karang Acropora/Ac, Favites/Fv dan Goniastrea/Gn). Dengan

demikian respon tumbuh zooxanthellae pada dua media agar awal bersifat acak.

Pada media pemurnian baik Allen-agar dan Bacto-agar yang diperkaya

larutan vitamin B12 dan vitamin C memperlihatkan respon yang positif dengan

Page 16: 2011pwp_BAB III Pembahasan

56

pewarnaan yang lebih kuat untuk semua jenis sumber inang dan ulangannya. Dari

25 petri disk yang memberikan ciri potensi penumbuhan zooxanthellae

selanjutnya dipisahkan ke dalam wadah media bervolume 25 ml selama 1 minggu.

Pencacahan zooxanthellae secara komposit pada 1 minggu hasil pemurnian

disajikan pada Gambar 14.

Gambar 14. Densitas Zooxanthellae Hasil Pemurnian Awal dari Media

Inokulan

Densitas zooxanthellae hasil pemisahan yang diperoleh dari urutan

pekerjaan seperti diuraikan di atas, masih mencirikan sumber inang aslinya.

Zooxanthellae ini masih merupakan jenis yang bersifat hipotetik yang belum

teridentifikasi cladenya. Dalam masa pemurnian lanjut dengan maksud untuk

mendapatkan keragaman serta pola pengaturan pertumbuhan massal dilakukan

sekuensi kegiatan penumbuhan. Aplikasi perlakuan pada tahap ini mencakup

beberapa kegiatan. Hasil analisis densitas zooxanthellae dari kegiatan tahap

pengembangan media untuk berbagai tingkat perubahan pemeliharaan media

(cahaya, temperatur dan nutrien) yang dilakukan secara seri adalah sebagaimana

disajikan pada Gambar 15. (Lampiran 1)

Page 17: 2011pwp_BAB III Pembahasan

57

Gambar 15. Pertumbuhan Zooxanthellae pada Berbagai Pengubahan

Kondisi Media

Keterangan :

A = Perkembangan Zooxanthellae pada pencahayaan neon putih

(tinggi 60 watt), temperatur : 24–27oC serta penambahan

NaNO3 sebesar 6,5 µg.

B = Perkembangan Zooxanthellae pada pencahayaan neon putih

(sedang 20 watt), temperatur : 24–27oC serta penambahan

NaNO3 sebesar 6,5 µg

C = Perkembangan Zooxanthellae pencahayaan neon hijau

(rendah 10 watt); temperatur : 24–27oC serta penambahan

NaNO3 sebesar 6,5 µg

D = Perkembangan Zooxanthellae pencahayaan neon hijau

(rendah 10 watt); temperature : 20–23oC) serta

penambahan NaNO3 sebesar 6,5 µg

A B

C D

Page 18: 2011pwp_BAB III Pembahasan

58

Hasil analisis densitas zooxanthellae sebagaimana disajikan pada Gambar

15 memberikan keterangan bahwa tiap tahap kegiatan memberikan respon

pertumbuhan zooxanthellae yang positif. Pada awal masa penumbuhan, rata-rata

perlakuan memperlihatkan perkembangan lambat, selanjutnya pertumbuhan

meningkat dengan cepat pada hari ke 9 sampai ke 16. Hal ini sesuai dengan pola

umum perkembangan alga sebagaimana dinyatakan oleh Fogg (1971).

Pertumbuhan eksponensial pada zooxanthellae antar tahap kegiatan tergolong

cukup lama dibandingkan dengan pertumbuhan jenis diatom lain yang ukurannya

lebih besar, seperti Chaetoceros (Yuwono, 1994). Dalam penelitiannya tersebut

diperoleh hasil bahwa pertumbuhan maksimum terjadi pada hari ke 5, sedangkan

jenis Nitzschia pertumbuhan maksimumnya dicapai pada hari ke 7. Penumbuhan

zooxanthellae yang dilakukan oleh Rosenthal et al. (2005) pada uji penambahan

nitrogen pada media budidayanya diperoleh pertumbuhan maksimum pada hari

ke 15.

Di samping hal tersebut, analisis terhadap densitas zooxanthellae antar

sekuen percobaan memperlihatkan terjadi respon peningkatan pertumbuhan pada

media yang mendapatkan pencahayaan lebih rendah (dari pencahayaan putih

menjadi hijau) dan penurunan temperatur (dari temperatur 24-27oC menjadi

kisaran temperatur 20–23oC). Hasil uji terhadap pertumbuhan antar tahap kegiatan

menunjukkan bahwa tidak terjadi perbedaan (p>0,01) pada media dengan

pencahayaan neon putih (tinggi 60 watt) dengan temperatur kamar (dalam media

terukur berfluktuasi antara 24–27oC) serta penambahan NaNO3 sebesar 6,5 µg dan

media dengan pencahayaan neon putih (sedang 20 watt) dengan temperatur kamar

(dalam media terukur berfluktuasi antara 24–27oC) serta penambahan NaNO3

sebesar 6,5 µg.

Pada media percobaan III yaitu cahaya hijau dan temperatur 24–27oC

terjadi perbedaan pertumbuhan zooxanthellae (P<0,01) antar sumber inang,

namun untuk zooxanthllae pada inang karang jenis Favites sama respon

pertumbuhannya dengan inang karang Goniastrea. Dalam hal ini respon

pertumbuhan rata-rata zooxanthellae tertinggi pada inang jenis Favites diikuti oleh

Goniastrea, Acopora, Tridacna dan Sea Anemon. Selanjutnya dengan menerapkan

perlakuan penurunan temperatur dari hasil percobaan tahap III (dari 24–27oC

Page 19: 2011pwp_BAB III Pembahasan

59

menjadi 20–23oC sebagai percobaan tahap IV), diperoleh keterangan bahwa rata-

rata peningkatan pertumbuhannya lebih tinggi dibandingkan percobaan III. Dalam

hal ini juga diperlihatkan adanya perbedaan respon pertumbuhan zooxanthellae

antar inang. Tidak ditemukan perbedaan respon pertumbuhan zooxanthellae antara

tridacna dengan sea anemon, namun tidak dengan jenis inang dari karang. Dalam

hal ini respon pertumbuhan zooxanthellae dari inang Favites sama dengan yang

berasal dari inang Goniastrea (Lampiran 2).

Hasil analisis densitas zooxanthellae mengikuti sekuen percobaan

memperoleh beberapa simpulan yang nantinya dapat dipergunakan untuk

melaksanakan telaah keragaman zooxanthellae serta menganalisis waktu

penambahan ulang nutrien untuk keperluan pemeliharaan pertumbuhan

zooxanthellae yang optimum. Simpulan yang diperoleh dari sekuen analisis

densitas sebagaimana diuraikan di atas adalah bahwa media yang perlu

dipertahankan untuk mengoptimalkan pertumbuhan zooxanthellae adalah media

dengan pencahayaan rendah (hijau) serta dipertahankan temperatur 20–23oC.

Uji DNA untuk analisis keragaman zooxanthellae dilakukan dengan

maksud untuk mencari clade yang berbeda bagi keperluan kajian tahap

translokasi. Dalam hal ini diperoleh 25 contoh analisis dengan komposisi 5 jenis

contoh zooxanthellae dari inang sea anemon, 5 jenis contoh zooxanthellae dari

inang Tridacna, 5 jenis contoh zooxanthellae dari inang Acropora, 5 jenis contoh

zooxanthellae dari inang Favites dan 5 jenis contoh zooxanthellae dari inang

Goniastrea.

Dua puluh lima contoh zooxanthellae dari 5 (lima) sumber inang setelah

melalui serangkaian uji DNA, dihasilkan restriksi DNA zooxanthellae oleh enzim

HaeIII dalam bentuk profil RFPL (pita). Profil RFLP tersebut bervariasi baik

dalam jumlah dan nilai pasangan basanya dengan nilai antara 250 bp hingga 1250

bp. Hasilnya adalah sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 16.

Telaah profil RFPL yang diperoleh dari rangkaian analisis PCR terhadap

contoh-contoh zooxanthellae menunjukkan nilai-nilai base pairnya dari setiap

contoh yang diuji. Nilai-nilai tersebut selanjutnya diuji untuk mengetahui tingkat

kekerabatan diantaranya. Uji tersebut berupa analisis cluster dengan

mempergunakan nilai base pair ingroup yang diperoleh dari analisis PCR-RPLF

Page 20: 2011pwp_BAB III Pembahasan

60

dengan outgroup (kelompok luar pembanding) yang diperoleh dari GenBank yang

berkesesuaian. Outgroup mencirikan jenis clade. Dari hasil analisis phylogenik

akan didapatkan tingkat kekerabatan dari contoh yang diuji.

Gambar 16. Genotip RFLP dari contoh zooxanthellae yang dimurnikan dari beberapa

sumber inang. Amplifikasi PCR dilanjutkan dengan restriksi DNA

mempergunakan enzim HaeIII. (A) Zooxanthellae yang dimurnikan dari

inang 5 individu sea anemon, (B) Zooxanthellae yang dimurnikan dari

inang 5 individu tridacna, (C) Zooxanthellae yang dimurnikan dari inang 5

individu Acropora, (D) Zooxanthellae yang dimurnikan dari inang 5

individu Favites dan (E) Zooxanthellae yang dimurnikan dari 5 individu

inang Goniastrea. Marker DNA berukuran standart 1500 bp, dengan selang

peningkatan 100 bp dari bawah.

Nilai analisis PCR sebagaimana disajikan pada Gambar 16 menunjukkan

hasil yang bersifat polymorfism. Ini berarti bahwa terdapat perbedaan antara clade

biota uji. Perbedaan ini dilanjutkan dengan melakukan analisis phylogenik. Hasil

analisis phylogenik dengan uji cluster diperoleh hasil seperti diperlihatkan pada

Gambar 17 berikut.

E

A B

C D

Page 21: 2011pwp_BAB III Pembahasan

61

2,0 1,5 1,0 0,5 0,0

Minimal distance between cluster

Gambar 17. Hubungan kekerabatan DNA dari beberapa jenis zooxanthellae berdasarkan

Analisis Cluster. Clade A diakses dari GenBank dengan kode EU449053 dan

EU449026; Kode akses Clade B adalah EU449070, EU449072 dan EU449066;

Kode akses Clade C adalah EU333740, EU333737 dan EU333735; Kode akses

Clade D adalah EU333707 dan EU333708. Sa-1 sampai dengan Sa-5 adalah

Zooxanthellae yang dimurnikan dari inang 5 individu sea anemon, Tr-1 sampai

dengan Tr-5 adalah Zooxanthellae yang dimurnikan dari inang 5 individu tridacna;

Ac-1 sampai dengan Ac-5 adalah Zooxanthellae yang dimurnikan dari inang 5

individu Acropora; Fv-1 sampai dengan Fv-5 adalah Zooxanthellae yang

dimurnikan dari 5 individu inang Favites. Gn-1 sampai dengan Gn-5 adalah

Zooxanthellae yang dimurnikan dari 5 individu inang Goniastrea.

Sa-1

Sa-4

Tr-4

Gn-4

Gn-5

Sa-5

Tr-1

Tr-5

Ac-1

Ac-3

Ac-5

Fv-4

Gn-3

Clade A : EU449053

Clade A : EU449026

Sa-2

Tr-3

Sa-3

Tr-2

Clade B : EU449066

Gn-2

AC-4

Gn-1

Clade B : EU449079

Clade B : EU449072

Fv-1

Fv-3

Clade C : EU333740

Clade C : EU333737

Ac-2

Fv-2

Fv-5

Clade C : EU333735

Clade D : EU333707

Clade D : EU333708

Page 22: 2011pwp_BAB III Pembahasan

62

Analisis cluster dengan bantuan perangkat lunak SAS 9.1 (analisis cluster

berhirarki menggunakan single linkage) terhadap clade zooxanthellae

sebagaimana disajikan pada gambar di atas menginformasikan bahwa materi

pemurnian zooxanthellae yang telah dilakukan secara sekuensial didapatkan tiga

jenis clade yaitu : Clade A, Clade B dan Clade C. Hasil analisis juga memberikan

gambaran bahwa clade zooxanthellae yang ditemukan berdasarkan sekuensi

pemurnian beragam antar sumber inang. Keragaman DNA pada karang Acropora

lebih beragam yaitu mengandung Clade A, Clade B dan Clade C. Karang jenis

Favites ditemukan jenis Clade A dan C, sedang pada biota sea anemon, tridacna

dan karang Goniastrea ditemukan jenis Clade A dan B.

Hasil uji DNA dari 25 contoh dapat direkapitulasi kualitas genotipnya

sebagaimana disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Ragam DNA Zooxanthellae dari Beberapa Inang

No Inang Ulangan Clade

1 Sea Anemon (SA) 1 A

2 2 A

3 3 B

4 4 A

5 5 A

6 Tridacna (TR) 1 A

7 2 B

8 3 A

9 4 A

10 5 A

11 Acropora (AC) 1 A

12 2 C

13 3 A

14 4 B

15 5 A

16 Favites (FV) 1 C

17 2 C

18 3 C

19 4 A

20 5 C

21 Goniastrea (GN) 1 B

22 2 B

23 3 A

24 4 A

25 5 A

Page 23: 2011pwp_BAB III Pembahasan

63

Hasil uji DNA melalui serangkaian percobaan di atas diperoleh 3 jenis clade

zooxanthellae, yaitu clade A, clade B dan clade C. Ketiga clade ini selanjutnya

ditingkatkan penumbuhannya dengan memberlakukan kajian optimasi nutrien

untuk mendapatkan pertumbuhan optimum yang dapat dipertahankan. Sementera

itu variabel pendukung lain ditetapkan dengan mempergunakan kondisi yang

optimal. Dalam hal ini temperatur diberlakukan pada kisaran 20–23oC dan

pencahayaan diberlakukan dengan mengkondisikan pada cahaya hijau dengan

kekuatan intensitasnya sebesar 84,56 sampai dengan 102,78 µmol quanta m-2

dt-1

.

Dalam kajian optimasi nutrien tersebut, dipergunakan lima taraf

konsentrasi nutrien awal NaNO3 yaitu : N-1 (50 µg), N-2 (100 µg), N-3 (150 µg),

N-4 (200 µg) dan N-5 (250 µg). Faktor lingkungan lain mengacu kepada hasil

analisis sebelumnya. Hasil analisis terhadap pertumbuhan zooxanthellae tertinggi

pada berbagai taraf nutrien adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Densitas Zooxanthellae Tertinggi Hasil Budidaya dari Beberapa Inang

Tingkat Nutrien Densitas Zooxanthellae (10

6 individu/l)

A-1 A-2 A-3

N-1 10.57 12.71 12.70

N-2 14.88 13.84 14.27

N-3 14.32 14.73 15.91

N-4 18.13 19.26 16.45

N-5 17.76 18.64 18.61

B-1 B-2 B-3

N-1 15.38 14.82 16.94

N-2 18.02 15.42 18.38

N-3 19.64 18.28 19.65

N-4 20.34 19.25 23.74

N-5 21.46 21.08 21.60

C-1 C-2 C-3

N-1 15.66 16.35 15.29

N-2 17.92 17.19 16.59

N-3 17.23 18.92 17.42

N-4 21.44 21.58 22.39

N-5 21.16 21.43 23.45

Keterangan :

Densitas pertumbuhan maksimum

Penyinaran media dengan cahaya green dengan temperatur 20-23oC

Hasil analisis terhadap pertumbuhan zooxanthellae pada berbagai taraf nutrien

sebagaimana disajikan pada tabel di atas menunjukkan adanya kecenderungan

meningkat dengan peningkatan nutrien serta terjadi respon pertumbuhan

zooxanthellae yang berbeda antar clade. Hal ini sesuai dengan hasil uji statistik

Page 24: 2011pwp_BAB III Pembahasan

64

terhadap pertumbuhan antar clade antar nutrien. Dalam hal ini pertumbuhan

optimum terjadi pada kadar N-4, sedangkan pertumbuhan antar clade zooanthellae

tidak berbeda (Lampiran 3). Keadaan ini memberikan penjelasan bahwa

penyediaan nutrien awal N-4 diperkirakan mencukupi bagi peningkatan

pertumbuhannya, khususnya pada saat terjadi pertumbuhan eksponensial dari

zooxanthellae yang dibudidayakan. Sediaan nutrien untuk pendukungan

pertumbuhan optimum merupakan faktor penting bagi upaya pemasalan,

sementara sediaan nutrien yang rendah tidak akan mencukupi bagi dukungan

pertumbuhan optimum zooxanthellae.

Hasil pencacahan densitas zooxanthellae antar clade secara rata-rata hasil

percobaan di atas adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 18.

Gambar 18. Pertumbuhan Zooxanthellae antar Clade

Pertumbuhan zooxanthellae antar clade mempunyai ciri yang sama dengan

pertumbuhan fitoplankton, dengan diawali oleh pertumbuhan lag phase

selanjutnya diikuti oleh exponential phase. Puncak pertumbuhan terjadi pada hari

ke 16 yang peningkatannya rata-rata bertahan hingga hari ke 22, selanjutnya

terjadi penurunan densitasnya. Pertumbuhan tersebut merupakan respon

permintaan akan nurien yang terlarut di dalam media. Pola perubahan NO3-N

pada media budidaya zooxanthellae tersebut adalah sebagaimana disajikan pada

Gambar 19 (Lampiran 4).

Page 25: 2011pwp_BAB III Pembahasan

65

Gambar 19. Perubahan Kadar NO3-N selama Budidaya Zooxanthellae

Mengkombinasikan potensi pertumbuhan (sebagaimana pada Gambar 18)

dan sediaan nutrien (sebagaimana Gambar 19), maka dapat diperhitungkan waktu

penambahan ulang nutrien agar pertumbuhan zooxanthellae dapat dipertahankan

pada tingkat pertumbuhan optimum. Dalam hal ini perubahan nutriennya adalah

hasil penambahan NaNO3 sebesar 200 µg (N-4); sedangkan nutriennya adalah

rataan penurunan kadar NO3-N akibat permintaan untuk pertumbuhan

zooxanthellae clade A, B dan C. Hasil perhitungan waktu penambahan ulang

nutrien mengikuti formula Taff (1980) adalah pada hari ke 16. Nutrien yang

ditambahkan adalah sebesar jumlah penarikan rata-rata sebesar 0,0455 mg/l.

Penerapan perlakuan N-4 dengan penambahan pada media terlarut sebesar

0,0455 mg NO3-N/l pada periode hari ke-16 memberikan hasil pemeliharaan

zooxanthellae yang optimum. Hasil pencacahannya adalah sebagaimana disajikan

pada Gambar 20.

Page 26: 2011pwp_BAB III Pembahasan

66

Gambar 20. Pertumbuhan Zooxanthellae pada Bak Massal dengan

Penambahan Nutrien

Hasil pencacahan pada media budidaya zooxanthellae yang telah ditambahkan

nutrien memperlihatkan hasil bahwa pertumbuhan optimumnya dapat

dipertahankan. Ini berbeda dengan hasil pencacahan serupa pada media yang tidak

ditambah sebagaimana disajikan pada Gambar 18 sebelumnya. Model media

inilah yang nantinya akan diterapkan ke dalam media karang Goniastrea aspera

yang telah dibleachingkan untuk mengevaluasi tahap kajian translokasi

zooxanthellae dan pertumbuhan karangnya.

Pembahasan

Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu habitat di laut yang

mempunyai keanekaragaman tinggi di bumi. Terbentuknya kondisi tersebut tidak

lepas dari pengaruh hubungan simbiosis mutualistiknya dengan simbion

dinoflagellata (Hallock, 2001). Simbion ini merupakan alga bersel tunggal yang

umum dinamakan zooxanthellae serta secara dominan merupakan genus

dinoflagellata yang mempunyai hubungan fungsional lainnya dengan berbagai

host inang seperti protiss, Porifera, Cnidaria dan molusca (Glynn, 1996; Lobban

et al., 2002; Rowan, 1998; Trench, 1993). Sebagian besar kasus aglae ini terjadi

secara intraselluler, berada dalam segerombolan atau kompleks sekitar vacuole sel

inang (Colley dan Trench, 1983; Wakefield dan Kempf, 2001), tetapi beberapa

invertebrata (genera Hippopus dan Tridacna) simbion intrasellulernya berada

dalam suatu sistem tubular (Norton et al., 1992).

Page 27: 2011pwp_BAB III Pembahasan

67

Zooxanthellae sebagai fitobiotik khususnya berasosiasi dengan beberapa

biota dasar di lingkungan perairan laut untuk berkembang secara faali

memerlukan dukungan dari lingkungan eksternalnya. Menurut Harris (1976)

dukungan faktor eksternal utama terhadap perkembangan fitobiotik adalah

cahaya, temperatur dan nutrien. Hal yang sama dikemukakan oleh Parson et al.,

(1984) bahwa zooxanthellae sebagai biota fitofototropik serta bersifat mikro,

maka secara mendasar perkembangannya dibatasi oleh 3 variabel utama yaitu

cahaya, nutrient dan temperatur. Ketiga unsur utama tersebut bersama dengan

perangkat molekular dari zooxanthellae membentuk suatu persamaan fotosintesis

kompleks yang proses maupun hasilnya memberikan dukungan terhadap

inangnya.

Menurut Edward (1983) energi cahaya merupakan faktor penting bagi

awal produksi. Selanjutnya dikemukakan bahwa di dalam lingkungan perairan

terdapat empat aspek yang perlu diperhatikan pengaruhnya, yaitu : (1) upaya-

upaya yang dilakukan sel-sel fitobiotik dalam mempergunakan energi cahaya; (2)

terjadinya penyaluran cahaya di dalam perairan; (3) pengaruh langsung dari

cahaya terhadap kematian fitobiotik yang bergantung kepada kedalaman air dan

(4) timbal balik dari penyebaran dan penambahan cahaya yang masuk dan

tertahan di dalam air. Respon biotik dari fitoplankton umumnya dan khususnya

zooxanthellae terhadap eksitasi elektronik cahaya akan diterima dalam berbagai

nilai panjang gelombang. Secara teoritis kelengkapan photosystem I dan

photosystem II dari fitoplankton mampu menerima efek pencahayaan, namun

seringkali dalam kondisi tertentu (misalnya pada pencahayaan yang kuat dengan

keberadaannya di perairan dangkal) eksitasi elektronik yang terjadi tidak cukup

mampu diterima fitoplankton, sebaliknya pada kedalaman yang tinggi eksitasi

elektronik tidak cukup untuk merespon reduksi sel pigmen (Page, 1990). Kondisi

inilah yang dapat menyebabkan efek cahaya dapat bersifat inhibiting khususnya di

perairan dangkal dan sekaligus limiting pada perairan yang lebih dalam. Pengaruh

temperatur lebih banyak berperan terhadap katalisasi proses enzimatik yang

berkaitan dengan proses respirasi.

Hasil percobaan memperlihatkan bahwa meskipun cahaya bukan satu-

satunya variabel yang secara nyata memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan

Page 28: 2011pwp_BAB III Pembahasan

68

zooxanthellae, namun bersama dengan temperatur dan nutrien memberikan

informasi tentang respons pertumbuhan optimum. Dalam hal ini respon

pertumbuhan zooxanthellae pada percobaan cahaya meningkat dari berturut-turut

neon putih (tinggi 60 watt) dengan konsentrasi maksimum 1.213,32x103 ind/lt,

neon putih (sedang 20 watt) dengan konsentrasi maksimum 1407,03x103 ind/lt;

neon hijau (rendah 10 watt) baik pada temperatur yang sama dengan ketiga di atas

yaitu 24-27oC maupun 20–23

oC, berturut-turut dengan konsentrasi maksimum

1.640,58x103 ind/lt dan 2.172,59x10

3 ind/lt (Lampiran 1). Kondisi ini

memperlihatkan bahwa respon zooxanthellae lebih tinggi pada pencahayaan yang

rendah. Sementara itu hasil perhitungan kadar zooxanthellae pada berbagai jenis

karang oleh Baker dan Rowan (1997) pada beberapa kedalaman di perairan

Karibia dan Pasifik Tenggara memperlihatkan bahwa semakin dalam perairan

hingga 11 meter kadar zooxanthellae semakin tinggi. Sebaliknya semakin dangkal

perairan memperlihatkan konsentrasi yang semakin rendah. Penelitian serupa

diperlihatkan oleh Barneah et al., (2004); Burn (1985); Davis (1982); Davies

(1993). Hal ini (Sorokin, 1993) mempunyai kaitan yang erat dengan pigmen-

pigmen penyusun zooxanthellae.

Pertumbuhan zooxanthellae dalam jaringan polyp karang atau inang lainnya

di dalam media alami merupakan model yang diadopsi pada penelitian ini. Untuk

mengaplikasikannya diperlukan pentahapan kegiatan disertai dengan menerapkan

pengelolaan media yang optimal sesuai dengan kebutuhan hidup inangnya. Pada

fase kritis pemisahannya dari inang ke dalam media binaan dilakukan beberapa

tahap uji coba dengan penerapan media. Pemisahan zooxanthellae dapat dilakukan

dengan penambahan nutrien esensial nitrat dan fosfat serta trace mineral dan

vitamin. Penambahan vitamin B12 dan vitamin C secara bersamaan memberikan

respon nyata terhadap upaya penumbuhan zooxanthellae pada tahap pemisahan.

Vitamin B12 dan vitamin C merupakan unsur esensial bagi fitoplankton

termasuk zooxanthellae. Radionov et al., (2003) mengemukakan bahwa vitamin

B12 merupakan unsur penting yang diperlukan oleh fitoplankton untuk reproduksi

dan aktivitas metabolisme. Lebih lanjut dikemukakan oleh Swift (1980) bahwa

vitamin B12 merupakan cofaktor penting dalam reaksi-reaksi intramolekuler yang

menyangkut regulasi unsur C dan H. Oleh karenanya vitamin B12 merupakan

Page 29: 2011pwp_BAB III Pembahasan

69

unsur penting dalam mekanisme metabolisme fitoplankton termasuk

zooxanthellae. Sementara itu, Hapette dan Poulet (1990) mengemukakan bahwa

vitamin C merupakan unsur yang diperlukan juga oleh fitoplankton. Peran vitamin

C pada fitoplankton adalah sebagai unsur penting yang berguna dalam mekanisme

detoksifikasi logam berat dan merupakan mikronutrien untuk pertumbuhan.

Peran vitamin C yang lebih penting bagi fitobiotik khususnya zooxanthellae

adalah sebagai penanda biokimia dalam mekanisme aktivitas glutathione (Brody,

1945). Hal ini sejalan dengan pernyataan Lenhoff (1974) dan temuan Hapette dan

Poulet (1990). Dalam hal ini Lenhoff (1974) menyatakan bahwa dalam

mekanisme pemangsaan aktif dari schleractinia peran glutathione memegang

peranan yang sangat penting. Unsur ini merupakan molekul kimiawi dengan

komponen nitrogen yang menyebarkan sinyal untuk mendeteksi pakan. Sementara

dipihak lain menyatakan (Hapette dan Poulet, 1990) bahwa vitamin C (ascorbic

acid) bagi sebagian besar biota konsumer (termasuk karang) ditunjang oleh

fitoplankton termasuk zooxanthellae. Mengadopsi hubungan tersebut, maka

vitamin C bagi zooxanthellae dapat berperan sebagai agen pensinyalan dalam

menarik nutrien dari lingkungan luar.

Selain sisi fungsional tersebut, maka vitamin C bagi zooxanthellae adalah

sebagai antioksidan yang dihasilkan oleh tanaman (termasuk zooplankton) dari

suatu enzym GDP-L-galactose phosphorylase (Science Daily. 2007) (http://www.

sciencedaily.com/releases/2007/09/070923205844.htm). Perannya sangat besar

pada zooxanthellae khususnya terhadap pertahanan awal bagi pengaruh

pencahayaan setelah dipindahkan dari media alaminya pada polyp karang. Oleh

sebab itu penambahan vitamin C atau perangsangan awal dengan penambahan

vitamin C di samping berperan dalam proses penyediaan nutrien untuk tumbuh

juga sebagai unsur ketahanan dalam melangsungkan hidupnya.

Komposisi pigmen zooxanthellae mempunyai kesamaan dengan

dinoflagellata planktonik yang hidup bebas seperti Peridinium dan Amphidium

(Tineonyanov et al., 1980). Mereka mengandung pigmen a dan c; dan khusus

zooxanthlellae pada skleractinia mengandung pigmen caretenoid, peridinine dan

dinoxanthus. Rasio chlorophyl-c dan a pada zooxanthellae berbeda antar inang

dengan tingkat stabilitas antara 0,2–0,5. Kandungan chlorophyl zooxanthellae

Page 30: 2011pwp_BAB III Pembahasan

70

bervariasi antara 5-12 μg 10-6

sel, antara 15–50 μg g-1

dari bobot koloni atau

antara 5–25 μg cm-1

dari permukaan koloni. Pigmen piridinine dan carotenoid

berkombinasi dengan chlorophyl pada sel zooxanthellae, suatu tipikal untuk

protein pigmen kompleks pada dinoflagellata (Sorokin, 1993). Mereka secara

signifikan meningkatkan efisiensi pada penggunaan energi cahaya khususnya

cahaya hijau dengan kisaran 490 dan 540 nm, sehingga meningkatkan

kemampuan zooxanthellae terhadap fotoadaptasi.

Pengaruh cahaya terhadap pertumbuhan zooxanthellae juga berkaitan

dengan faktor eksitasi elektronik. Akibat pancaran cahaya yang kuat

menyebabkan sel-sel pigmennya tidak bekerja secara optimal (Page, 1990),

sebaliknya pada pencahayaan yang lemah menyebabkan cahaya tidak mampu

meningkatkan merespon peningkatan ektivitas ionik pada sel pigmen akibatnya

fotosintesis zooxanthellae menjadi terganggu. Terkait dengan respon cahaya,

zooxanthellae dikategorikan sebagai kelompok fitoplankton dengan kemampuan

untuk bekerja optimum pada pencahayaan rendah. Yentsch (1980)

mengkategorikan kelompok fitoplankton demikian sebagai kelompok fitoplankton

tipe gelap.

Hasil pengukuran terhadap intensitas cahaya selama masa pemisahan dan

pengembangan media budidaya di lingkungan laboratorium adalah dengan

mempergunakan sumber cahaya hijau berkekuatan 10 watt memberikan intensitas

cahaya pada media budidaya pemisahan dan pengembangan media budidaya

dengan kisaran 84,56 sampai dengan 102,78 µmol quanta m-2

dt-1

. Sementara itu

dari sisi kualitas, penggunaan cahaya hijau mempunyai relevansi dengan kondisi

lingkungan alaminya. Menurut Thurman dan Webber (1984) dinyatakan bahwa

cahaya hijau merupakan cahaya tampak (visible light) yang mempunyai

kemampuan transmisi ke dalam perairan laut cukup optimal setelah cahaya biru.

Nilai cahaya yang terukur pada areal penempatan contoh budidaya

zooxanthellae dalam gelas pada tahap pengembangan media budidaya dalam

penelitian ini berdasar hasil pengukuran di atas merupakan kondisi cahaya

optimum bagi zooxanthellae. Kisaran nilai intensitas cahaya sebesar 84,56 sampai

dengan 102,78 µmol quanta m-2

dt-1

mempunyai padanan dengan kondisi

pencahayaan pada kedalaman sekitar 5 sampai 10 meter di lingkungan perairan

Page 31: 2011pwp_BAB III Pembahasan

71

alami. Hal ini merujuk pada aplikasi furmula Hukum Bouger-Lambert (Tom Beer,

1997) dan nilai extenction coefisien pada lingkungan pantai senilai 0,368, serta

hasil pengukuran intensitas cahaya di permukaan laut. Hasil pengukuran intensitas

cahaya di permukaan laut adalah 730 µmol quanta m-2

dt-1

. Perhitungan intensitas

cahaya pada kedalaman sekitar 5 meter dengan aplikasi formula tersebut senilai

115,94 µmol quanta m-2

dt-1

. Demikian pula apabila mengacu kepada hasil

perhitungan koefisien extinction oleh Shiah et al., (1996) sebesar 0,467

menghasilkan nilai 70,67 µmol quanta m-2

dt-1

pada lingkungan karang di

kedalaman sekitar 5 meter.

Secara faali, peran temperatur terhadap respon adaptif fitoplankton disebut

Nordemar et al. (2003) sebagai allogenic faktor; yaitu suatu variabel yang

mempunyai efek tetap bagi adaptasi suatu organisme fitoplankton termasuk

zooxanthellae. Dalam hal ini bersama dengan cahaya akan menentukan masing-

masing respon faali internal dengan tingkat kapasitas . Studi khusus tentang yang

dilakukan terhadap penumbuhan zooxanthellae memberikan respon optimal pada

temperatur rendah yaitu dengan kisaran 20–23oC. Fluktuasi temperatur ini

bersama dengan cahaya hijau memberikan respon bagi pertumbuhan

zooxanthellae yang lebih besar sebagaimana dilaporkan oleh Campbell dan Aarup

(1989) dan lebih tinggi dibandingkan kegiatan serupa pada fluktuasi temperatur

23- 25oC seperti dilaporkan oleh Coles dan Jokiel (1976).

Respon allogenic tersebut bila dikaitkan dengan fenomena pemutihan

karang yang telah banyak terekam memperlihatkan sinergisme. Demikian pula

bila dikaitkan dengan pola pemulihan habitat pada kondisi allogenic yang

terkendali (Fitt et al., 1993). Pada tingkat kerja zooxanthellae lanjut sebagaimana

dinyatakan oleh Szmant dan Gassman (1990) serta Gleason (1993) bahwa selama

kondisi allogenik terkendali dan efek bleaching terjadi secara parsial serta

pemenuhan nutrien terpenuhi maka sintasan karang akan terpelihara. Hal ini

berkaitan erat dengan tingkat konsumsi nutrien sehingga memberikan dampak

bagi peningkatan pertumbuhan zooxanthellae. Goreau et al., (2000)

mengemukakan bahwa pada temperatur rendah dalam kisaran kostruktif maka

akan semakin meningkatkan konsumsi nutrien, yang selanjutnya direspon bagi

pertumbuhan zooxanthellae.

Page 32: 2011pwp_BAB III Pembahasan

72

Nutrien merupakan variabel utama dalam fitobiotik, variabel ini merupakan

materi utama dalam penyusunan morfologi maupun dalam proses faalinya.

Masing-masing jenis nutrien baik yang bersifat makro maupun mikro mempunyai

peran dalam serangkaian kehidupan fisiologi fitobiotik perairan. Unsur utama

dalam kehidupan fitobiotik perairan adalah nitrogen, fosfor dan karbon (Szmant,

2002). Ketiganya merupakan komponen penyusun utama dalam makro molekul

protein, karbohidrat dan lemak, yang juga merupakan komponen utama penyusun

fitoplankton. Mekanisme kemanfaatan fisiologis berbagai jenis nutrien tersebut

merupakan resultante dari aktivitas eksternal maupun sifat internal fitoplankton.

Tiap jenis fitoplankton baik kualitasnya maupun kuantitasnya mempunyai

sensitivitas yang berbeda terhadap kebutuhan nutriennya, dan Szmant

(2002) menyebutnya sebagai faktor autogenic. Hal ini disebabkan karena

ketersediaannya akan sangat menentukan tipologi molekularnya maupun

koordinasi perbandingan antara satu unsur dengan unsur lain; keduanya

merupakan faktor penting terhadap respon biotik. Sifat dinamik dari lingkungan

eksternal menjadikan suatu fenomena suksesional yang sangat signifikan di

beberapa perairan di dunia (D’elia dan Wiebe,1990; Done, 1992 dan Edinger et

al., 1998)

Zooxanthellae sebagai fitobiotik di lingkungan laut mempunyai sifat yang

lebih spesifik dibandingkan dengan jenis fitoplankton lainnya; yaitu oleh sifatnya

dalam sistem simbiosis dengan beberapa biota benthik. Dalam hal ini kemampuan

allogenik maupun autogeniknya lebih bersifat terbatas. Pada kondisi

endosimbiosis spesifikasi ini ditunjang oleh sifat stabilitas kondisi lingkungan di

dalam tubuh inang. Sementara itu dalam keadaan bebas, kehifupan zooxanthellae

akan mengikuti sifat kelenturan lingkungan eksternal. Oleh sebab itu, Cook et al

(1997) mengemukakan bahwa status nutrisi bagi kebutuhan zooxanthellae dapat

dijadikan sebagai indikator kesuburan terumbu karang.

Zooxanthellae sebagaimana fitobiotik lainnya sangat memerlukan

dukungan ketersediaan nutrien yang cukup. Tingkat kebutuhannya akan nutrien

sangat berbeda dengan lingkungan eksternal di kawasan perairan terumbu karang.

Sorokin (1993) mengemukakan bahwa terdapat kontradiktif antara lingkungan

ekternal terumbu karang dengan lingkungan internalnya dalam kompleks rangka

Page 33: 2011pwp_BAB III Pembahasan

73

karang. Pada perairan oligotropik sebagaimana di lingkungan sekitar terumbu

karang (D’elia dan Wiebe, 1990), tidak merupakan suatu hal luar biasa bagi basis

nutrisi endosimbion. Sementara di lain pihak dinoflagellata ini memainkan

peranan penting dalam penyediaan pakan dan fisiologi bagi inang (Muscatine dan

Porter, 1977). Sebagai contoh, kebutuhan carbon secara fotosintetik, secara tipikal

dalam bentuk gliserol dan molekul sederhana lain dapat ditranslokasi dari alga

pada laju dan kapasitas volume sesuai dengan kebutuhan respirasi inang

(Falkowski et al., 1984; Muscatine, 1990; Muscatine et al., 1984). Tingkat

hubungan endosimbiosis ini cukup efektif mempertahankan masih cukup

tingginya kadar nutrien itu sendiri di dalam kompleks mikro yaitu di rangka.

Szmant (2002) mengemukakan bahwa tingkat turn over yang rendah di kawasan

terumbu terjadi akibat sejalannya akumulasi nutrien dalam rangka dengan

pertumbuhan karang itu sendiri. Lapointe (1997) mengemukakan bahwa

lingkungan karang merupakan kawasan perairan oligotropik khususnya sediaan

nitrogennya. Kadar nitrogen dari hasil perangkuman di beberapa perairan terumbu

karang adalah 0,2–0,5 μM NH3-N dan 0,1–0,3 μM NO3-N. Kadar ini masih

tercukupi hingga laju pertumbuhan tetap pada penelitian ini. Selanjutnya bila

dibandingkan dengan dengan kadar nutrien internal karang, Lapointe (1997)

menyatakan bahwa nilai tersebut jauh lebih tinggi dari lingkungan eksternalnya.

Dikemukakan lebih lanjut bahwa regenerasi NH3-N dalam skeleton dapat

mencapai 200% dari kebutuhan.

Sorokin (1993) merangkum beberapa peneliti yang menginformasikan

bahwa perbedaan kedalaman berpengaruh terhadap konsumsi nutrien khususnya

orthofosfat. Di lagoon Wistari Atoll, konsumsi PO4-P pada kedalaman adalah

sebesar 0,88 μg/l/hari dan 0,84 μg/l/hari masing-masing pada kedalaman 2 m dan

0,7 m. Sementara Lapointe (1997) menyebutkan bahwa orthofosfat di kawasan

terumbu karang berkisar pada konsentrasi <0,3 μg/l. Hasil pengukuran orthofosfat

pada kajian nutrien ini adalah berkisar antara 0,0032–0,0041 mg/l. Dengan

kebutuhan yang sangat kecil akan orthofosfat tersebut maka dapat dinyatakan

bahwa unsur ini bukan merupakan unsur pembatas bagi upaya penumbuhannya.

Kasus tersebut nampaknya berlaku secara umum di kawasan terumbu

karang kecuali akibat-akibat antropogenik (Nordemar et al., 2003). Akibatnya

Page 34: 2011pwp_BAB III Pembahasan

74

model alir energi di kawasan terumbu karang didasarkan kepada fenomena alir

materi energi dasar (Sorokin, 1993). Selanjutnya dikemukakan bahwa

berdasarkan skema umum aliran energi di dalam ekosistem terumbu karang dapat

dinyatakan bahwa energi netabolisme yang umum terjadi terutama disusun

melalui pool detritus meskipun dukungan ke dalam ekosistem ini juga berasal dari

perairan eksternalnya. Dengan adanya fenomena ini maka masukan energi lebih

terkumpul dari tanaman bentik (macroalga). Ini mungkin yang menjadi penyebab

mengapa efek invasi biotik pada lingkungan ekosistem terumbu karang lebih

banyak terjadi melalui daerah dasar khususnya macro alga. Dalam hal ini porsi

pendukungnya yang terbesar adalah simbiotik alga dan macroalga itu sendiri,

yang dikemukakan oleh Sorokin (1993) tidak sebaik yang disumbang dari

phytoplankton eksternal.

Sebagai bahan perbandingan besaran energi metabolisme yang berputar

serta fenomena pendukungnya terhadap berbagai tipe terumbu yang ada, yaitu

fringing reef, barrier reef dan atoll maka akan dipergunakan 4 variabel tolok ukur,

yaitu :

1. Bahan organik Tersuspensi yang dalam hal ini berperan sebagai pendukung

sediaan bahan dasar metabolisme dalam ekosistem terumbu karang

2. Nutrien yang dalam hal ini lebih ditekankan kepada unsur nitrogen

3. Biomassa fitoplankton sebagai variabel produsen

Bahan organik pada dasarnya dapat berbentuk terlarut dan tersuspensi.

Pertimbangan penggunaan tersuspensi ini karena umumnya bahan demikian

mempunyai bobot yang lebih besar sehingga dapat secara sendiri melakukan

poses penenggelaman atau juga dimungkinkan membentuk flok sesama bahan

organik atau bentukan flok bersama dengan material inorganik. Secara kimiawi

kondisi ini sangat dimungkinkan terjadi karena umumnya materi organik

mempunyai gugus bebas bersifat ionik sedangkan bahan inorganik mengandung

gugus aktif kation, sehingga sangat mudah keduanya membentuk ikatan (Stumm

dan Morgan, 1991).

Di samping pendapat tersebut, Ferrer dan Szmant (1988) menyatakan 50%

lebih skeleton karang merupakan struktur porous di sekelilingnya di-temukan

berbagai jenis organisme dengan dukungan berbagai multifungsi (Tabel 10).

Page 35: 2011pwp_BAB III Pembahasan

75

Tabel 10. Komposisi Komunitas Endolitik Dan Aktivitas Metaboliknya Dalam

Lingkungan Konstituen Rangka Karang Hidup

No Organisme Peranan

1 Makroorganisme

a. Sponge Oksigenasi, suplai nutrien dan bahan organik sisa feses dan

ekskresi ammonium b. Bivalve

c. Sipunculid

d. Polychaeta

e. Barnacle

2 Mikroorganisme

a. Alga Fotosintesis; produksi oksigen dan karbon orgnik

b. Fungi Respirasi, penguraian bahan organik dan regenerasi nutrien

c. Bacteria

Organisme-organisme ini mengimport bahan organik serta unsur kimiawi lainnya

ke dalam skeleton atau mengakumulasi di skeleton. Bahan organik serta proses

derivasinya akan menjadi cadangan fungsional bagi zooxanthellae dan

berkembangnya organisme-organisme tersebut.

Nutrien yang dipergunakan dalam penelitian disini adalah nitrogen.

Pertimbangan penggunaan nitrogen sebagai bahan evaluasi pembanding karena

unsur ini merupakan unsur esensial di luar fosfor lebih dimungkinkan terjadi

dibandingkan dengan fosfor. Menurut Harris (1976) bentuk nitrogen yang

dimanfaatkan oleh fitobiotik dapat beragam, sedangkan fosfor hanya dalam

bentuk orthofosfat. Di samping itu penggunaan unsur nitrogen bagi kriteria

sediaan nutrien di karang di dasarkan kepada aspek bahwa buangan limbah hasil

metabolisme atau limbah terlarut umumnya merupakan bahan organik, sementara

itu menurut Connell dan Miller (1995) bahwa 80% dari bahan ini tersusun oleh

campuran nitrogen. Yang kedua adalah bahwa fosfor sebagai nutrien esensial

tidak diperhitungkan karena unsur ini memang sulit tersedia dalam bentuk

orthofosfat. Hal ini disebabkan karena unsur fosfat dalam bentuk orthofosfat pada

lingkungan karang sangat mudah untuk terikat oleh ion Ca2+

yang memang

keberadaannya melimpah di kawasan ini untuk kemudian membentuk hidroksi

apatit yang sulit larut dalam perairan (Stum dan Morgan, 1991).

Fenomena pertumbuhan zooxanthellae secara internal diperkirakan

mempunyai fenomena pertumbuhan sebagaimana kondisi laboratorium selama

batasan-batasan allogeniknya dapat terpenuhi. Ini didasarkan kepada telusur yang

Page 36: 2011pwp_BAB III Pembahasan

76

dilakukan oleh Hoegh-Guldberg and Smith, 1989; Porter et al., 1989; Fitt et al.,

1993; Gleason, 1993, pada kajian pemutihan parsial karang. Pada kondisi

demikian selama dapat terpeliharanya atau dipenuhinya kebutuhan allogenik maka

zooxanthellae dapat berkembang dengan cepat. Hal yang sama juga ditemukan

pada fenomena kajian ketahanan karang pada penelitian ini. Dalam penelitian ini

yang dilakukan secara bertahap diperoleh keterangan bahwa zooxanthellae dapat

berkembang dengan baik dalam lingkup laboratorium. Hal serupa diperoleh oleh

Taylor (1978) yang mengemukakan bahwa zooxanthellae dapat mengalami

peningkatan dengan penambahan ammonium. Tetapi zooxanthellae tidak dapat

tumbuh hanya dengan penambahan PO4-P (Stambler et al., 1991). McGuire

(1997) mengemukakan bahwa penambahan 5 hingga 10 μM ammonium selama 8

minggu belum mampu mempengaruhi perkembangan zooxanthellae serta tidak

memberikan pengaruh negatif bagi penurunan pertumbuhannya.

Berkenaan dengan hal tersebut, hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa

dalam skala laboratorium terjadi suatu proses penurunan NO3-N sejalan dengan

permintaannya bagi pertumbuhan zooxanthellae. Perubahan dua variabel tersebut

adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 21.

Gambar 21. Pemiskinan NO3-N dan Perkembangan Zooxanthellae

Dalam hal ini persediaan kadar NO3-N sebesar <0.01 mg/l kurang mampu

menopang perkembangan zooxanthellae. Hal ini sesuai dengan hasil yang

diperoleh Atkinson (1988) bahwa persediaan ammonium media sebesar kurang

dari 15 μM tidak mampu meningkatkan perkembangan zooxanthellae. Oleh

Page 37: 2011pwp_BAB III Pembahasan

77

karenanya, pada masa perkembangan massal dilakukan penambahan nitrat hingga

mempunyai kadar 0,0455 mg/l pada hari ke 16, yaitu pada saat terlampauinya

pertumbuhan eksponensial zooxanthellae. Terpeliharanya kadar tersebut, mampu

mempertahankan perkembangan zooxanthellae antar clade yang dicobakan

(Gambar 22).

Gambar 22. Respon Penambahan NO3-N terhadap upaya

Mempertahankan Perkembangan Zooxanthellae

Variasi clade pada zooxanthellae yang telah dibuktikan keberadaannya

serta dikaitkan dengan kebutuhan inang terhadap simbiosisnya pada jaringan polip

merupakan konsekuensi kebutuhan faali variasi clade terhadap keragaman

lingkungan eksternalnya. Menurut Van Oppen et al., (2005) dikemukakan bahwa

karang di terumbu karang Aneonantik dan Karibia selalu mengandung

zooxanthellae clade A dan mempunyai variasi clade B dan C sebagai pembeda.

Sementara karang di Kawasan Pasifik selalu mempunyai variasi zooxanthellae

clade C. Fenomena ini diperkirakan mempunyai keterkaitan dengan sifat pola

distribusi aliran laut. Pada dua lautan pertama mempunyai ciri sirkulasi spesifik

yang mempunyai pengaruh terhadap distribusi karang maupun zooxanthellae

secara relatif tertutup. Pengaruh glasial dan hemispere utara merupakan faktor

yang menyebabkan adaptasi karang maupun co-dominansi clade zooxanthellae di

kawasan ini. Sementara di kawasan Pasifik pengaruh bervariasinya lingkungan

Page 38: 2011pwp_BAB III Pembahasan

78

tropis sangat mempengaruhi adaptasi karang selama periode tersebut, sehingga

zooxanthellae clade C tersebut menjadi dominan.

Di lain pihak Pochon et al., (2001) mempunyai pendapat lain bahwa

populasi simbion mengikuti pola log normal Fisher dan jarang mengikuti sebaran

inangnya (species karang) secara spesifik. Oleh karenanya Coffroth dan Santos

(2005) menyebutkan bahwa transduksi zooxanthellae terhadap inangnya dapat

terjadi melalui dua kondisi yang disebut close system (sistem tertutup) yaitu suatu

kondisi terjadinya hubungan inang-simbion yang terjadi melalui tautan sejak

planulanya (bersifat endemik) serta open system (sistem terbuka) yaitu suatu

kondisi ditemukannya ragam clade pada suatu inang berasal dari transduksinya

dengan lingkungan sekitar sebagaimana dikemukakan oleh Pochon et al (2001).

Pendapat ini sesuai dengan pernyataan Iglesias-Preto dan Trench (1997); Rowan

et al., (1997); Warner et al., (1996) yang menyatakan bahwa tipe Symbiodinium

berubah-ubah dalam responsnya terhadap perubahan lingkungan.

Dalam hal sebaran clade zooxanthellae pada berbagai sumber inang

terdapat banyak ragam variasi yang telah ditemukan. Berbagai studi tersebut telah

mendemonstrasikan bahwa identitas clade tersebut selalu berkorelasi dengan

fungsi fisiologis (LaJeunesse et al., 2003; Tchernov et al., 2004; Savage et al.,

2002). Hal tersebut menunjukkan bahwa zooxanthellae mempunyai fleksibilitas

yang tinggi dalam membentuk hubungan simbiosis dengan inangnya yang tidak

hanya terbatas pada karang semata, akan tetapi dengan beberapa jenis biota laut

lainnya seperti sea anemon maupun tridacna. Hal terakhir telah diperlihatkan dari

hasil analisis DNA pada penelitian ini.

Fleksibilitas transduksi zooxanthellae pada jaringan polip karang tetap

bergantung kepada rentang perubahan kondisi lingkungan eksternal. Rodriquez-

Laretty et al, (2001) dalam penelitiannya di bagian utara Australia melaporkan

bahwa analisis DNA Montipora digitata yang diuji dalam suatu periode tertentu

sebelumnya diduga merupakan jenis karang yang endemik dengan zooxanthellae

clade C. Namun demikian, dalam monitoring selanjutnya ternyata terjadi proses

transduksi dengan clade lain dalam waktu yang 1 bulan. Transduksi ini konsisten

dalam perkembangan lanjut dari karang tersebut. Oleh karenanya, maka tingkat

Page 39: 2011pwp_BAB III Pembahasan

79

fluktuasi dari variabilitas lingkungan sangat menentukan konsistensi

perkembangan zooxanthellae dalam jaringan polip karang.

Dari serangkaian penelitian yang telah dilakukan khususnya terhadap

isolasi zooxanthellae dari berbagai jenis biota, mengindikasikan bahwa terdapat

kesamaan clade antar inang dengan penekanan clade A dan B spesifik hanya

ditemukan pada Tridacna dan sea anemon. Jenis ini mempunyai kemampuan yang

kuat terhadap tekanan eksternalnya mengingat pemisahannya diambil dari

lingkungan dengan kedalaman yang rendah yaitu 3 meter. Namun demikian, clade

ini juga ditemukan pada Favites dan Goniastrea aspera yang diperoleh pada

kedalaman 10 meter, dimana tekanan allogeniknya sudah semakin menurun. Hasil

penumbuhan massal pada kondisi lingkungan binaan memperlihatkan pola

pertumbuhan yang optimal dari masing-masing clade.

Dalam proses penumbuhan ini telah diupayakan mempergunakan

pendekatan penekanan lingkungan eksternalnya, sehingga diperoleh homogenitas

yang cukup tinggi. Dengan dapat ditekannya pengaruh eksternal, maka konsistensi

kegiatan faali dari zooxanthellae biakan dapat tumbuh dengan cukup baik. Ini

merupakan suatu bukti bahwa identitas clade tersebut selalu berkorelasi dengan

fungsi fisiologis (LaJeunesse et al., 2003; Tchernov et al., 2004; Savage et al.,

2002). Dalam hal ini pemeliharaan unsur-unsur kritis bagi fitobiotik seperti

temperatur, cahaya dan nutrien (Harris, 1976) akan dapat mengoptimalkan fungsi

fisiologisnya untuk dapat tumbuh dengan optimum.

Simpulan

Hasil percobaan tentang uji keragaman genetik zooxanthellae dari

beberapa sumber inang dan kajian pertumbuhannya di lingkungan binaan

sebagaimana diuraikan di atas adalah :

(a) Cahaya yang mendukung penumbuhan zooxanthellae berjenjang hingga

massal adalah cahaya hijau dengan kekuatan cahaya 84,56 sampai dengan

102,78 µmol quanta m-2

dt-1

, kisaran temperatur yang mendukung adalah

antara 20oC hingga 23

oC dengan penambahan nutrien awal 200 µM NaNO3;

(b) Variasi keragaman clade dari sumber inang Sea anemon, Tridacna, Acropora,

Favites dan Goniastrea adalah clade A, clade B dan clade C, dengan sebaran

Page 40: 2011pwp_BAB III Pembahasan

80

Sea anemon mengandung zooxanthellae clade A (80%) dan clade B (20%),

Tridacna mengandung zooxanthellae clade A (80%) dan clade B (20%),

Acropora mengandung zooxanthellae clade A (60%), clade B (20%) dan

clade C (20%), Favites mengandung zooxanthellae clade A (20%) dan clade

C (80%) serta Goniastrea mengandung zooxanthellae clade A (60%) dan

clade B (40%);

(c) Pada kondisi lingkungan yang terkendali, maka potensi pertumbuhan puncak

zooxanthellae clade A, B dan C dapat dipertahankan dengan penambahan

ulang NO3-N sebesar 0,0445 mg/l dalam selang waktu 16 hari.