BAB III Pembahasan

22
BAB III PEMBAHASAN Tuberkulosis masih menjadi salah satu penyakit paling mematikan di seluruh dunia. World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat lebih dari 8 juta kasus baru tuberkulosa dan lebih kurang 3 juta orang meninggal akibat penyakit ini (8). Tuberkulosis sering dijumpai di daerah dengan penduduk yang padat, sanitasi yang buruk dan malnutrisi (9). Walaupun manifestasi tuberkulosis biasanya terbatas pada paru, penyakit ini dapat mengenai organ apapun, seperti tulang,traktus genitourinarius dan sistem saraf pusat (8). Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi bakteri kronis yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberkulosis dan 16

Transcript of BAB III Pembahasan

Page 1: BAB III Pembahasan

BAB III

PEMBAHASAN

Tuberkulosis masih menjadi salah satu penyakit paling mematikan di

seluruh dunia. World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa setiap

tahun terdapat lebih dari 8 juta kasus baru tuberkulosa dan lebih kurang 3 juta orang

meninggal akibat penyakit ini (8). Tuberkulosis sering dijumpai di daerah dengan

penduduk yang padat, sanitasi yang buruk dan malnutrisi (9). Walaupun manifestasi

tuberkulosis biasanya terbatas pada paru, penyakit ini dapat mengenai organ apapun,

seperti tulang,traktus genitourinarius dan sistem saraf pusat (8).

Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi bakteri kronis yang disebabkan oleh

kuman Mycobacterium tuberkulosis dan ditandai dengan pembentukan granuloma-

granuloma pada jaringan yang terinfeksi oleh cell mediated hiper sensitivity. TB

merupakan penyakit sistemik yang dapat mengenai hampir semua organ tubuh, baik

organ pernafasan (TB Paru – TBP) ataupun organ di luar paru (TB Ekstra Paru-

TBE), seperti kelenjar limfa, meningen, tulang dan sendi, hati dan saluran cerna,

pleura dan perikardium dan lain sebagainya. Karena itu penatalaksanaan TB haruslah

tercakup usaha yang gigih untuk mencari bukti adanya kejadian TB (10).

16

Page 2: BAB III Pembahasan

Walaupun penyakit TB sudah di kenal sejak beribu-ribu tahun sebelum

Masehi, kuman penyebabnya telah dapat di identifikasi oleh Robert Koch pada tahun

1882 serta telah ditemukan obat-obat Streptomisin (1944) dan Rifampisin (1964)

yang merupakan ‘revolusi’ dalam pengobatan TB. Namun penyakit ini hingga kini

masih merupakan masalah yang penting. Banyak faktor yang menyebabkan keadaan

ini yang kesemuanya hanya dapat di atasi melalui pendekatan dan studi psiko sosial–

kultural dan perilaku masyarakat (10).

Diperkirakan terdapat 1.7 miliar orang terinfeksi kuman M.tuberculosis dan

setiap tahun di temukan sekitar 8 juta kasus baru dengan jumlah kematian berkisar 2-

3 juta penderita per tahun. Di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 10 juta orang

memperlihatkan test tuberkulin positif. Pada tahun 1991 dilaporkan sebanyak 26.283

kasus baru dengan angka insiden 10.4 per 100.000 tahun (10).

Di Indonesia dilaporkan, berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah

Tangga (SKRT) pada tahun 1992, setiap tahunnya terdapat sekitar 445.000 kasus

baru, di mana separuhnya tidak terdiagnosis (10).

TB Paru meliputi 83.8% dari seluruh kasus tuberkulosis sedangkan 16.2%

sisanya adalah TB ekstra paru. TB milier juga merupakan TB diseminata, meskipun

hampir selalu mengenai paru, namun dimasukkan dalam kelompok TB ekstra paru

oleh karena banyaknya organ yang terkena. Insiden TB milier meliputi 9.5% dari

seluruh kasus TB ekstra paru dan merupakan urutan nomor 4 setelah TB kelenjar

limfa (27.5%), TB Pleura (23.4%) dan TB saluran urogenital (12.8%) (10).

17

Page 3: BAB III Pembahasan

Penderita TB dapat memperlihatkan keluhan yang bermacam-macam atau

bahkan tanpa keluhan sama sekali. Keluhan umumnya tidak spesifik dan di nominasi

oleh akibat-akibat sistemik, terutama berupa demam, batuk dan gejala-gejala malaise,

seperti anoreksia, tidak ada nafsu makan, penurunan berat badan, sakit kepala, nyeri

otot, keringat malam dan lain sebagainya. Gejala malaise ini makin lama akan makin

berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur (10).

Demikian pula pada pemeriksaan fisik hasilnya dapat bervariasi. Dapat

ditemukan adanya demam, badan yang kurus / status gizi kurang, hepato

splenomegali, penemuan-penemuan kelainan paru atau sama sekali tidak didapatkan

kelainan fisik paru, limfa denopati dll tergantung berat dan di mana lesi berada (10).

Salah satu hal yang terpenting dalam pengobatan TB adalah kemoterapi

dengan anti tuberkulosis oral (OAT). Pemberian OAT ini didasarkan kepada 5

prinsip, yaitu terapi sedini mungkin, paduan beberapa obat, diberikan secara teratur,

dosis cukup dan pemberian lengkap sesuai jangka waktu seharusnya (10).

Tuberculosis milier (tuberculosis disseminata) adalah bentuk tuberculosis

yang ditandai dengan penyebaran luas pada tubuh dan oleh lesi kecil berukuran 1-5

mm yang disebabkan oleh penyebaran luas hematogen dari M. tuberculosis (11).

Kasusnya dilaporkan lebih banyak pada laki-laki walaupun ada juga yang

menemukan bahwa insiden lebih banyak pada wanita. Umumnya hal ini terjadi pada

18

Page 4: BAB III Pembahasan

penderita-penderita yang memiliki kemampuan pertahanan tubuh yang tidak adekuat

dalam menghadapi infeksi kuman M. tuberculsosis (10).

Penyebaran hematogen tersebut dapat melalui Kelenjar Getah Bening

(KGB) bila terjadi infeksi primer di tempat itu kemudian melalui aliran limfa menuju

duktus torasikus. Dapat juga merupakan hasil penempelan kuman M. tuberculosis

pada dinding pembuluh darah sehingga menimbulkan vaskulitis kaseosa pada lapisan

intima sehingga memudahkan terjadinya pelepasan kuman ke dalam aliran darah

sistemik. Proses ini sering mengenai vena-vena besar, duktus torasikus, sistem arteri

dan aorta atau endokardium. Pernah pula dilaporkan penyebran secara milier terjadi

akibat tindakan bedah terhadap organ yang mengalami infeksi tuberkulosis (12).

Gambaran yang tampak pada foto thorax ialah adanya bentuk penyemaian

dari basil TB di paru (1-5 mm). TB milier dapat menyerang satu organ (5%) atau

beberapa organ di seluruh tubuh (90%), termasuk otak, paru, dan ginjal (11).

Pada kasus tuberculosis milier, terapi empiris dini dapat dimulai bila pasien

menunjukkan gejala klinis sesuai organ yang terlibat (13).

Tuberkulosa tulang dan sendi merupakan 35% dari seluruh kasus

tuberkulosa ekstrapulmonal dan paling sering melibatkan tulang belakang, yaitu

sekitar 50% dari seluruh kasus tuberkulosa tulang (8). Keterlibatan spinal biasanya

19

Page 5: BAB III Pembahasan

merupakan akibat dari penyebaran hematogen dari lesi pulmonal ataupun dari infeksi

pada sistem genitourinarius (12).

Percival Pott pertama kali menguraikan tentang tuberkulosa pada kolumna

spinalis pada tahun 1779. Destruksi pada diskus dan korpus vertebra yang berdekatan,

kolapsnya elemen spinal dan kifosis berat dan progresif kemudian dikenal sebagai

Pott’s disease (12). Walaupun begitu tuberkulosa spinal telah diidentifikasi pada

mumi di Mesir sejak 3000 tahun sebelum masehi dengan lesi skeletal tipikal dan

analisis DNA (14).

Spondilitis tuberkulosa memiliki distribusi di seluruh dunia dengan prevalensi

yang lebih besar pada negara berkembang. Tulang belakang adalah tempat

keterlibatan tulang yang paling sering, yaitu 5-15% dari seluruh pasien dengan

tuberculosis (8).

Dilaporkan seorang pria berumur 40 tahun yang datang dengan keluhan

tidak bisa tidak bisa berjalan dan bangun dari berbaring 1 bulan SMRS. Kelemahan

muncul perlahan – lahan dan saat ini pasien tidak bisa lagi mengangkat tubuh dari

berbaring. Pasien juga mengeluh nyeri di bagian pinggang, nyeri terasa menusuk –

nusuk dan hilang timbul. Pasien mengaku pernah jatuh terduduk dari ketinggian 1

meter 7 bulan yang lalu, tetapi setelah itu tidak terjadi apa - apa.

Pasien kadang – kadang batuk berdahak berwarna putih disertai demam dan

keringat malam hari sudah sekitar 2 minggu SMRS, namun sekarang keluahan

20

Page 6: BAB III Pembahasan

dirasakan berkurang. Pasien juga mengeluhkan sesak napas yang munculnya tidak

berhubungan dengan aktifitas. Sesak dirasa terus – menerus dan tidak membaik

dengan perubahan posisi.

Pasien juga mengeluhkan penurunanan nafsu makan dan berat badan sejak 2

bulan ini. Pasien mengaku pernah menjalani riwayat pengobatan untuk batuk selama

6 bulan dan sudah selesai. Pasien juga mengeluhkan adanya sariawan.

Indonesia merupakan negara berkembang di mana prevalensi spondilitis

tuberculosa lebih besar di negara – negara berkembang, terutama di Asia,

dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk masih menjadi merupakan

masalah utama (15).

Usia pasien ini adalah 40 tahun. Pada spondilitis tuberculosa umumnya

tejadi pada masa anak – anak (16), akan tetapi saat ini dengan adanya

perbaikan pelayanan kesehatan, maka insidensi usia ini mengalami

perubahan sehingga golongan umur dewasa menjadi lebih sering

terkena dibandingkan anak-anak. Angka kejadian pada pria terus

meningkat pada seluruh tingkat usia tetapi pada wanita cenderung

menurun dengan cepat setelah usia anak-anak, insidensi ini kemudian

meningkat kembali pada wanita setelah melahirkan anak. Puncak usia

terjadinya infeksi berkisar antara usia 40-50 tahun untuk wanita,

sementara pria bisa mencapai usia 60 tahun (3).

21

Page 7: BAB III Pembahasan

Jenis kelamin pasien adalah laki – laki, di mana secara

epidemiologi ditemukan bahwa kasus tuberculosis milier lebih banyak

ditemukan pada pria dibanding wanita (11).

Gejala utama yang dikeluhkan pasien sesuai dengan

masnifestasi klinis pada pasien spondilitis tuberculosa berupa nyeri

punggung persisten dan lokal, keterbatasan mobilitas tulang belakang, demam

kelemahan pinggang, kelemahan kaki. Gejala sistemik muncul seiring dengan

perkembangan penyakit. dan komplikasi neurologis dapat muncul saat destruksi

berlanjut. Pasien ini mengeluhkan tidak bisa berjalan dan bangun dari berbaring karena

kelemahan pinggang, nyeri di bagian pinggang, nyeri terasa menusuk – nusuk dan

hilang timbul. pasien juga mengeluhkan gejala lainnya yang menggambarkan penyakit

kronis, mencakup malaise, penurunan berat badan dan fatigue (11,12).

Gejala lain yang muncul pada pasien ini, sesuai dengan gejala yang sering

muncul pada pada pasien dengan tuberculosis milier. Penderita TB dapat

memperlihatkan keluhan yang bermacam-macam atau bahkan tanpa keluhan sama

sekali. Keluhan umumnya tidak spesifik dan di nominasi oleh akibat-akibat sistemik,

terutama berupa demam tanpa sebab yang diketahui (Fever Unknown Origin),

kelemahan, batuk, sesak napas, gejala-gejala malaise, seperti anoreksia, tidak ada

nafsu makan, penurunan berat badan, sakit kepala, nyeri otot, keringat malam dan

lain sebagainya. Gejala malaise ini makin lama akan makin berat dan terjadi hilang

timbul secara tidak teratur (1, 10, 11).

22

Page 8: BAB III Pembahasan

Demikian pula pada pemeriksaan fisik pasien dengan tuberculosis milier

hasilnya dapat bervariasi. Dapat ditemukan adanya demam, badan yang kurus / status

gizi kurang, hepato splenomegali, penemuan-penemuan kelainan paru atau sama

sekali tidak didapatkan kelainan fisik paru, limfa denopati dll tergantung berat dan di

mana lesi berada (11). Pada pasien ini, ditemukan badan yang kurus dan kelainan

pada pemeriksaan paru berupa peningkatan frekuensi napas (36x), SaO2 81%, retraksi

otot pernapasan, perkusi redup di pulmo dextra, dan rhonki.

Pasien ini tidak dapat diperiksa sputumnya, karena ketika akan diperiksa,

batuk tidak berdahak, hanya berupa mucosalivary. Pada TB paru milier, BTA sering

kali tidak ditemukan pada pemeriksaan sputum. Dari berbagai laporan BTA sputum

umumnya hanya ditemukan pada 20%-25% kasus sedang kultur BTA positif pada

30%-60% kasus (5).

Pada kasus ini pasien ini dicurigai dengan HIV AIDS karena pasien

mengeluhkan banyak sariawan di rongga mulutnya, tetapi pada pemeriksaan Rapid

test, hasilnya negatif. Oleh karena itu pasien mendapatkan terapi nistatin drop dan

betadin gorggle.

Pada hasil foto thorax, ditemukan adanya gambaran TB milier yakni adanya

bercak milier. Secara keseluruhan, sekitar 80% penderita TB milier memperlihatkan

gambaran foto thorak milier, yaitu berupa nodul-nodul kecil dan halus dengan

diameter <2 mm yang tersebar merata di kedua lapangan paru. Namun demikian,

karena nodul-nodul yang terjadi terlalu kecil untuk di lihat, kadang-kadang kesan foto

torak seperti normal (11).

23

Page 9: BAB III Pembahasan

Pada foto Lumbal AP Lateral, tampak destruksi dan kompresi L4 dan

penyempitan ruang diskus intervertebralis antara L3 dan L4 yang merupakan

gambaran pada spondilitis TB. Pada pemeriksaan CT Scan, ditemukan adanya

destruksi corpus vertebrae end plate inferior VL 3, corpus VL dan fraktur kompresi

VL 4 disertai destruksi pedicles dan procesus spinosus VL 4, serta tampak

paravertebra soft tissue mass setinggi VL 3-4 kanan dan kiri (terutama kanan).

Gambaran radiologis pada spondilitis TB antara lain (17):

- Destruksi litik corpus vertebra

- Penyempitan ruang diskus intervertebralis

- Osteoporosis pada end-plate vertebral

- Kolaps corpus vertebra

- Bayangan paravertebral dari abses, kadang-kadang dengan kalsifikasi

Oleh karena itu, pasien ini didiagnosis sebagai spondilitis TB.

Pasien diterapi dengan infuse RL:D5 1:1, injeksi ranitidin 2x1

ampul, dan injeksi ondansentron 2x4 mg untuk terapi pada keluhan

malaise, fatigue, dan mual. Untuk keluhan sariawan diterapi dengan

Nistatin drop 3x20 tetes dan Betadine gorgle 3 x kumur-kumur 15ml. Untuk

mengatasi keluhan nyeri dan kelemahn pada pinggang, pasien diberi injeksi ketorolac

3x1 ampul, sedangkan untuk stabilisasi dan imobilisasi tulang belakang pada

daerah lumbal bawah, lumbosakral dan sakral dipasang body jacket atau

korset (5).

24

Page 10: BAB III Pembahasan

Injeksi dexamethasone 3x1 gram diberikan untuk mengobati inflamasi pada

tulang belakang yang disebabkan oleh spondilitis tuberculosa, serta untuk

mengurangi gejala neurologis (18). Sebenarnya peran steroid pada terapi

medis untuk penyakit ini masih kontroversial. Obat ini membantu

pasien yang terancam mengalami spinal block disamping mengurangi

edema jaringan (5). Pemberian dexamethasone diberikan dengan tapering – off

pada hari ke sembilan, dilanjutkan dengan hari ke sepuluh, dan diberhentikan pada

hari ke sebelas. Tapering - off bertujuan untuk mencegah timbulnya efek samping

pada pengehentian pemberian secara tiba-tiba. Pemberian kortikosteroid jangka lama

yang dihentikan tiba-tiba dapat menimbulkan insufisiensi adrenal akut dengan gejala

demam, mialgia, artralgia, dan malaise (18).

Injeksi levofloxacin diberikan dengan tujuan sebagai antibiotika untuk

mengobati kecurigaan infeksi sekunder pada tulang belakang. Setelah diberikan

selama tujuh hari, injeksi levofloxacin diberhentikan.

25

Page 11: BAB III Pembahasan

Pasien diterapi dengan obat anti tuberculosis kategori I untuk berat badan 48

kg yakni Rifampisin 450, Isoniazid 300, Pirazinamid 1000, dan Etambutol 750.

Pasien diterapi dengan kategori satu karena tuberculosis milier dan spondilitis

tuberculosa (yang merupakan tuberculosis ekstra paru berat) harus diterapi dengan

OAT kategori I (penderita TB ekstra paru berat) selama 6 bulan (19). Steptomisin

diberikan sebagai kombinasi terakhir atau tambahan pada regimen yang ada

(20). Terapi untuk kasus tuberculosis adalah (19,20):

Tabel 3.1. Dosis Obat Berdasarkan Berat Badan (20).

» Kategori I 2R7H7E7Z7/4R7H7, 2R7H7E7Z7/4R3H3, 2R7H7E7Z7/7H7E7 :

- Penderita TB paru baru, sputum BTA positif

- Penderita TB paru, sputum BTA negative, rontgent positif dengan kelainan luas

- TB milier

- Penderita TB ekstra paru berat

» Kategori II 2R7H7E7Z7/6R7H7E7, 2R7H7E7Z7/E3H3Z3:

- Penderita kambuh

- Penderita gagal

- Penderita after default

26

Page 12: BAB III Pembahasan

» Kategori III 2R7H7Z7/4R7H7, 2R3H3Z3/4R3H3, 2RHZ/6HE:

- Penderita TB paru, sputum BTA negative, rontgent positif dengan

kelainan paru tidak luas

- Penderita TB ekstra paru ringan

» Kategori IV H seumur hidup, bila mampu OAT lini kedua:

- Penderita TB kronik

Direncanakan untuk dilakukan intervensi pembedahan yakni debridement

dan dekompresi setelah pemberian OAT 2 bulan, sebagai terapi pembedahan pada

spondilitis tuberculosa (16). Kuman tuberkulosa pada umumnya dapat

dibunuh atau dihambat dengan pemberian obat – obat anti

tuberkulosa. Namun karena vertebra yang terinfeksi mengalami

destruksi dengan pembentukan sekuester dan perkejuan, maka

tindakan bedah menjadi penting untuk dapat mengevakuasi sumber infeksi dan

jaringan nekrotik, terutama sekuester. Destruksi korpus vertebra dapat menyebabkan

kompresi terhadap medulla spinalis dan menyebabkan defisit neurologik, sehingga

memerlukan tindakan bedah (20).

Tujuan terapi operatif adalah menghilangkan sumber infeksi, mengkoreksi

deformitas, menghilangkan komplikasi neurologik dan kerusakan lebih lanjut. Salah

satu tindakan bedah yang penting adalah debridement yang bertujuan menghilangkan

sumber infeksi dengan cara menbuang semua debri dan jaringan nekrotik, benda

asing dan mikro-organisme (20). Intervensi operasi banyak bermanfaat

27

Page 13: BAB III Pembahasan

untuk pasien yang mempunyai lesi kompresif secara radiologis dan

menyebabkan timbulnya kelainan neurologis. Setelah tindakan operasi

pasien biasanya beristirahat di tempat tidur selama 3-6 minggu.

Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3-4 minggu pemberian

terapi obat antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif)

dilakukan tetapi tidak memberikan respon yang baik sehingga lesi

spinal paling efektif diterapi dengan operasi secara langsung dan

tumpul untuk mengevakuasi “pus” tuberkulosa, mengambil sekuester

tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi dan memfusikan segmen

tulang belakang yang terlibat (5).

Indikasi operasi antara lain (20,21):

1. Jika terapi konservatif tidak memberikan hasil yang memuaskan, secara klinis dan

radiologis memburuk. Terjadi progress dari kifosis atau instabilitas.

2. Deformitas bertambah, terjadi destruksi korpus multiple, deformitas spinal dengan

nyeri dan instabilitas.

3. Terjadinya kompresi pada medula spinalis dengan atau tidak dengan defisit

neurologik, paraparesis, paraplegia, terdapat abses paravertebral

4. Lesi terletak torakolumbal, torakal tengah dan bawah pada penderita anak. Lesi

pada daerah ini akan menimbulkan deformitas berat pada anak dan tidak dapat

ditanggulangi hanya dengan OAT.

28

Page 14: BAB III Pembahasan

5. Radiologis menunjukkan adanya sekuester, kavitasi dan kaseonekrotik dalam

jumlah banyak.

Operasi debridement dengan fusi dan dekompresi juga diindikasikan bila

(5,21):

1. Diagnosa yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsi

2. Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan

3. Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase

4. Untuk penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan mengancam

atau kifosis berat saat ini

5. Penyakit yang rekuren

Rajasekaran dan Soundarapandian dalam penelitiannya

menyimpulkan bahwa terdapat hubungan nyata antara sudut akhir

deformitas dan jumlah hilangnya corpus vertebra. Untuk

memprediksikan sudut deformitas yang mungkin timbul peneliti

menggunakan rumus :

Y = a + bX dengan keterangan :

Y = sudut akhir dari deformitas

X = jumlah hilangnya corpus vertebrae

a dan b adalah konstanta dengan a = 5,5 dan b= 30, 5.

Dengan demikian sudut akhir gibbus dapat diprediksi, dengan

akurasi 90% pada pasien yang tidak dioperasi. Jika sudut prediksi ini

29

Page 15: BAB III Pembahasan

berlebihan, maka operasi sedini mungkin harus dipertimbangkan

(5).

Kontraindikasi tindakan pembedahan adalah vertebral collapse. Hal ini

dikarenakan tindakan pembedahan tersebut justru akan memperberat deformitas

padaa vertebra (21).

Pasien pulang pada hari perawatan ke-13 (23 Juli 2012) dengan rawat jalan

untuk terapi tuberculosis milier dan spondilitis tuberculosa di bagian paru dan bedah

orthopaedic.

30