BAB III Pembahasan
-
Upload
kepompong-kupukupu -
Category
Documents
-
view
33 -
download
10
Transcript of BAB III Pembahasan
BAB III
PEMBAHASAN
Tuberkulosis masih menjadi salah satu penyakit paling mematikan di
seluruh dunia. World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa setiap
tahun terdapat lebih dari 8 juta kasus baru tuberkulosa dan lebih kurang 3 juta orang
meninggal akibat penyakit ini (8). Tuberkulosis sering dijumpai di daerah dengan
penduduk yang padat, sanitasi yang buruk dan malnutrisi (9). Walaupun manifestasi
tuberkulosis biasanya terbatas pada paru, penyakit ini dapat mengenai organ apapun,
seperti tulang,traktus genitourinarius dan sistem saraf pusat (8).
Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi bakteri kronis yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberkulosis dan ditandai dengan pembentukan granuloma-
granuloma pada jaringan yang terinfeksi oleh cell mediated hiper sensitivity. TB
merupakan penyakit sistemik yang dapat mengenai hampir semua organ tubuh, baik
organ pernafasan (TB Paru – TBP) ataupun organ di luar paru (TB Ekstra Paru-
TBE), seperti kelenjar limfa, meningen, tulang dan sendi, hati dan saluran cerna,
pleura dan perikardium dan lain sebagainya. Karena itu penatalaksanaan TB haruslah
tercakup usaha yang gigih untuk mencari bukti adanya kejadian TB (10).
16
Walaupun penyakit TB sudah di kenal sejak beribu-ribu tahun sebelum
Masehi, kuman penyebabnya telah dapat di identifikasi oleh Robert Koch pada tahun
1882 serta telah ditemukan obat-obat Streptomisin (1944) dan Rifampisin (1964)
yang merupakan ‘revolusi’ dalam pengobatan TB. Namun penyakit ini hingga kini
masih merupakan masalah yang penting. Banyak faktor yang menyebabkan keadaan
ini yang kesemuanya hanya dapat di atasi melalui pendekatan dan studi psiko sosial–
kultural dan perilaku masyarakat (10).
Diperkirakan terdapat 1.7 miliar orang terinfeksi kuman M.tuberculosis dan
setiap tahun di temukan sekitar 8 juta kasus baru dengan jumlah kematian berkisar 2-
3 juta penderita per tahun. Di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 10 juta orang
memperlihatkan test tuberkulin positif. Pada tahun 1991 dilaporkan sebanyak 26.283
kasus baru dengan angka insiden 10.4 per 100.000 tahun (10).
Di Indonesia dilaporkan, berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT) pada tahun 1992, setiap tahunnya terdapat sekitar 445.000 kasus
baru, di mana separuhnya tidak terdiagnosis (10).
TB Paru meliputi 83.8% dari seluruh kasus tuberkulosis sedangkan 16.2%
sisanya adalah TB ekstra paru. TB milier juga merupakan TB diseminata, meskipun
hampir selalu mengenai paru, namun dimasukkan dalam kelompok TB ekstra paru
oleh karena banyaknya organ yang terkena. Insiden TB milier meliputi 9.5% dari
seluruh kasus TB ekstra paru dan merupakan urutan nomor 4 setelah TB kelenjar
limfa (27.5%), TB Pleura (23.4%) dan TB saluran urogenital (12.8%) (10).
17
Penderita TB dapat memperlihatkan keluhan yang bermacam-macam atau
bahkan tanpa keluhan sama sekali. Keluhan umumnya tidak spesifik dan di nominasi
oleh akibat-akibat sistemik, terutama berupa demam, batuk dan gejala-gejala malaise,
seperti anoreksia, tidak ada nafsu makan, penurunan berat badan, sakit kepala, nyeri
otot, keringat malam dan lain sebagainya. Gejala malaise ini makin lama akan makin
berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur (10).
Demikian pula pada pemeriksaan fisik hasilnya dapat bervariasi. Dapat
ditemukan adanya demam, badan yang kurus / status gizi kurang, hepato
splenomegali, penemuan-penemuan kelainan paru atau sama sekali tidak didapatkan
kelainan fisik paru, limfa denopati dll tergantung berat dan di mana lesi berada (10).
Salah satu hal yang terpenting dalam pengobatan TB adalah kemoterapi
dengan anti tuberkulosis oral (OAT). Pemberian OAT ini didasarkan kepada 5
prinsip, yaitu terapi sedini mungkin, paduan beberapa obat, diberikan secara teratur,
dosis cukup dan pemberian lengkap sesuai jangka waktu seharusnya (10).
Tuberculosis milier (tuberculosis disseminata) adalah bentuk tuberculosis
yang ditandai dengan penyebaran luas pada tubuh dan oleh lesi kecil berukuran 1-5
mm yang disebabkan oleh penyebaran luas hematogen dari M. tuberculosis (11).
Kasusnya dilaporkan lebih banyak pada laki-laki walaupun ada juga yang
menemukan bahwa insiden lebih banyak pada wanita. Umumnya hal ini terjadi pada
18
penderita-penderita yang memiliki kemampuan pertahanan tubuh yang tidak adekuat
dalam menghadapi infeksi kuman M. tuberculsosis (10).
Penyebaran hematogen tersebut dapat melalui Kelenjar Getah Bening
(KGB) bila terjadi infeksi primer di tempat itu kemudian melalui aliran limfa menuju
duktus torasikus. Dapat juga merupakan hasil penempelan kuman M. tuberculosis
pada dinding pembuluh darah sehingga menimbulkan vaskulitis kaseosa pada lapisan
intima sehingga memudahkan terjadinya pelepasan kuman ke dalam aliran darah
sistemik. Proses ini sering mengenai vena-vena besar, duktus torasikus, sistem arteri
dan aorta atau endokardium. Pernah pula dilaporkan penyebran secara milier terjadi
akibat tindakan bedah terhadap organ yang mengalami infeksi tuberkulosis (12).
Gambaran yang tampak pada foto thorax ialah adanya bentuk penyemaian
dari basil TB di paru (1-5 mm). TB milier dapat menyerang satu organ (5%) atau
beberapa organ di seluruh tubuh (90%), termasuk otak, paru, dan ginjal (11).
Pada kasus tuberculosis milier, terapi empiris dini dapat dimulai bila pasien
menunjukkan gejala klinis sesuai organ yang terlibat (13).
Tuberkulosa tulang dan sendi merupakan 35% dari seluruh kasus
tuberkulosa ekstrapulmonal dan paling sering melibatkan tulang belakang, yaitu
sekitar 50% dari seluruh kasus tuberkulosa tulang (8). Keterlibatan spinal biasanya
19
merupakan akibat dari penyebaran hematogen dari lesi pulmonal ataupun dari infeksi
pada sistem genitourinarius (12).
Percival Pott pertama kali menguraikan tentang tuberkulosa pada kolumna
spinalis pada tahun 1779. Destruksi pada diskus dan korpus vertebra yang berdekatan,
kolapsnya elemen spinal dan kifosis berat dan progresif kemudian dikenal sebagai
Pott’s disease (12). Walaupun begitu tuberkulosa spinal telah diidentifikasi pada
mumi di Mesir sejak 3000 tahun sebelum masehi dengan lesi skeletal tipikal dan
analisis DNA (14).
Spondilitis tuberkulosa memiliki distribusi di seluruh dunia dengan prevalensi
yang lebih besar pada negara berkembang. Tulang belakang adalah tempat
keterlibatan tulang yang paling sering, yaitu 5-15% dari seluruh pasien dengan
tuberculosis (8).
Dilaporkan seorang pria berumur 40 tahun yang datang dengan keluhan
tidak bisa tidak bisa berjalan dan bangun dari berbaring 1 bulan SMRS. Kelemahan
muncul perlahan – lahan dan saat ini pasien tidak bisa lagi mengangkat tubuh dari
berbaring. Pasien juga mengeluh nyeri di bagian pinggang, nyeri terasa menusuk –
nusuk dan hilang timbul. Pasien mengaku pernah jatuh terduduk dari ketinggian 1
meter 7 bulan yang lalu, tetapi setelah itu tidak terjadi apa - apa.
Pasien kadang – kadang batuk berdahak berwarna putih disertai demam dan
keringat malam hari sudah sekitar 2 minggu SMRS, namun sekarang keluahan
20
dirasakan berkurang. Pasien juga mengeluhkan sesak napas yang munculnya tidak
berhubungan dengan aktifitas. Sesak dirasa terus – menerus dan tidak membaik
dengan perubahan posisi.
Pasien juga mengeluhkan penurunanan nafsu makan dan berat badan sejak 2
bulan ini. Pasien mengaku pernah menjalani riwayat pengobatan untuk batuk selama
6 bulan dan sudah selesai. Pasien juga mengeluhkan adanya sariawan.
Indonesia merupakan negara berkembang di mana prevalensi spondilitis
tuberculosa lebih besar di negara – negara berkembang, terutama di Asia,
dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk masih menjadi merupakan
masalah utama (15).
Usia pasien ini adalah 40 tahun. Pada spondilitis tuberculosa umumnya
tejadi pada masa anak – anak (16), akan tetapi saat ini dengan adanya
perbaikan pelayanan kesehatan, maka insidensi usia ini mengalami
perubahan sehingga golongan umur dewasa menjadi lebih sering
terkena dibandingkan anak-anak. Angka kejadian pada pria terus
meningkat pada seluruh tingkat usia tetapi pada wanita cenderung
menurun dengan cepat setelah usia anak-anak, insidensi ini kemudian
meningkat kembali pada wanita setelah melahirkan anak. Puncak usia
terjadinya infeksi berkisar antara usia 40-50 tahun untuk wanita,
sementara pria bisa mencapai usia 60 tahun (3).
21
Jenis kelamin pasien adalah laki – laki, di mana secara
epidemiologi ditemukan bahwa kasus tuberculosis milier lebih banyak
ditemukan pada pria dibanding wanita (11).
Gejala utama yang dikeluhkan pasien sesuai dengan
masnifestasi klinis pada pasien spondilitis tuberculosa berupa nyeri
punggung persisten dan lokal, keterbatasan mobilitas tulang belakang, demam
kelemahan pinggang, kelemahan kaki. Gejala sistemik muncul seiring dengan
perkembangan penyakit. dan komplikasi neurologis dapat muncul saat destruksi
berlanjut. Pasien ini mengeluhkan tidak bisa berjalan dan bangun dari berbaring karena
kelemahan pinggang, nyeri di bagian pinggang, nyeri terasa menusuk – nusuk dan
hilang timbul. pasien juga mengeluhkan gejala lainnya yang menggambarkan penyakit
kronis, mencakup malaise, penurunan berat badan dan fatigue (11,12).
Gejala lain yang muncul pada pasien ini, sesuai dengan gejala yang sering
muncul pada pada pasien dengan tuberculosis milier. Penderita TB dapat
memperlihatkan keluhan yang bermacam-macam atau bahkan tanpa keluhan sama
sekali. Keluhan umumnya tidak spesifik dan di nominasi oleh akibat-akibat sistemik,
terutama berupa demam tanpa sebab yang diketahui (Fever Unknown Origin),
kelemahan, batuk, sesak napas, gejala-gejala malaise, seperti anoreksia, tidak ada
nafsu makan, penurunan berat badan, sakit kepala, nyeri otot, keringat malam dan
lain sebagainya. Gejala malaise ini makin lama akan makin berat dan terjadi hilang
timbul secara tidak teratur (1, 10, 11).
22
Demikian pula pada pemeriksaan fisik pasien dengan tuberculosis milier
hasilnya dapat bervariasi. Dapat ditemukan adanya demam, badan yang kurus / status
gizi kurang, hepato splenomegali, penemuan-penemuan kelainan paru atau sama
sekali tidak didapatkan kelainan fisik paru, limfa denopati dll tergantung berat dan di
mana lesi berada (11). Pada pasien ini, ditemukan badan yang kurus dan kelainan
pada pemeriksaan paru berupa peningkatan frekuensi napas (36x), SaO2 81%, retraksi
otot pernapasan, perkusi redup di pulmo dextra, dan rhonki.
Pasien ini tidak dapat diperiksa sputumnya, karena ketika akan diperiksa,
batuk tidak berdahak, hanya berupa mucosalivary. Pada TB paru milier, BTA sering
kali tidak ditemukan pada pemeriksaan sputum. Dari berbagai laporan BTA sputum
umumnya hanya ditemukan pada 20%-25% kasus sedang kultur BTA positif pada
30%-60% kasus (5).
Pada kasus ini pasien ini dicurigai dengan HIV AIDS karena pasien
mengeluhkan banyak sariawan di rongga mulutnya, tetapi pada pemeriksaan Rapid
test, hasilnya negatif. Oleh karena itu pasien mendapatkan terapi nistatin drop dan
betadin gorggle.
Pada hasil foto thorax, ditemukan adanya gambaran TB milier yakni adanya
bercak milier. Secara keseluruhan, sekitar 80% penderita TB milier memperlihatkan
gambaran foto thorak milier, yaitu berupa nodul-nodul kecil dan halus dengan
diameter <2 mm yang tersebar merata di kedua lapangan paru. Namun demikian,
karena nodul-nodul yang terjadi terlalu kecil untuk di lihat, kadang-kadang kesan foto
torak seperti normal (11).
23
Pada foto Lumbal AP Lateral, tampak destruksi dan kompresi L4 dan
penyempitan ruang diskus intervertebralis antara L3 dan L4 yang merupakan
gambaran pada spondilitis TB. Pada pemeriksaan CT Scan, ditemukan adanya
destruksi corpus vertebrae end plate inferior VL 3, corpus VL dan fraktur kompresi
VL 4 disertai destruksi pedicles dan procesus spinosus VL 4, serta tampak
paravertebra soft tissue mass setinggi VL 3-4 kanan dan kiri (terutama kanan).
Gambaran radiologis pada spondilitis TB antara lain (17):
- Destruksi litik corpus vertebra
- Penyempitan ruang diskus intervertebralis
- Osteoporosis pada end-plate vertebral
- Kolaps corpus vertebra
- Bayangan paravertebral dari abses, kadang-kadang dengan kalsifikasi
Oleh karena itu, pasien ini didiagnosis sebagai spondilitis TB.
Pasien diterapi dengan infuse RL:D5 1:1, injeksi ranitidin 2x1
ampul, dan injeksi ondansentron 2x4 mg untuk terapi pada keluhan
malaise, fatigue, dan mual. Untuk keluhan sariawan diterapi dengan
Nistatin drop 3x20 tetes dan Betadine gorgle 3 x kumur-kumur 15ml. Untuk
mengatasi keluhan nyeri dan kelemahn pada pinggang, pasien diberi injeksi ketorolac
3x1 ampul, sedangkan untuk stabilisasi dan imobilisasi tulang belakang pada
daerah lumbal bawah, lumbosakral dan sakral dipasang body jacket atau
korset (5).
24
Injeksi dexamethasone 3x1 gram diberikan untuk mengobati inflamasi pada
tulang belakang yang disebabkan oleh spondilitis tuberculosa, serta untuk
mengurangi gejala neurologis (18). Sebenarnya peran steroid pada terapi
medis untuk penyakit ini masih kontroversial. Obat ini membantu
pasien yang terancam mengalami spinal block disamping mengurangi
edema jaringan (5). Pemberian dexamethasone diberikan dengan tapering – off
pada hari ke sembilan, dilanjutkan dengan hari ke sepuluh, dan diberhentikan pada
hari ke sebelas. Tapering - off bertujuan untuk mencegah timbulnya efek samping
pada pengehentian pemberian secara tiba-tiba. Pemberian kortikosteroid jangka lama
yang dihentikan tiba-tiba dapat menimbulkan insufisiensi adrenal akut dengan gejala
demam, mialgia, artralgia, dan malaise (18).
Injeksi levofloxacin diberikan dengan tujuan sebagai antibiotika untuk
mengobati kecurigaan infeksi sekunder pada tulang belakang. Setelah diberikan
selama tujuh hari, injeksi levofloxacin diberhentikan.
25
Pasien diterapi dengan obat anti tuberculosis kategori I untuk berat badan 48
kg yakni Rifampisin 450, Isoniazid 300, Pirazinamid 1000, dan Etambutol 750.
Pasien diterapi dengan kategori satu karena tuberculosis milier dan spondilitis
tuberculosa (yang merupakan tuberculosis ekstra paru berat) harus diterapi dengan
OAT kategori I (penderita TB ekstra paru berat) selama 6 bulan (19). Steptomisin
diberikan sebagai kombinasi terakhir atau tambahan pada regimen yang ada
(20). Terapi untuk kasus tuberculosis adalah (19,20):
Tabel 3.1. Dosis Obat Berdasarkan Berat Badan (20).
» Kategori I 2R7H7E7Z7/4R7H7, 2R7H7E7Z7/4R3H3, 2R7H7E7Z7/7H7E7 :
- Penderita TB paru baru, sputum BTA positif
- Penderita TB paru, sputum BTA negative, rontgent positif dengan kelainan luas
- TB milier
- Penderita TB ekstra paru berat
» Kategori II 2R7H7E7Z7/6R7H7E7, 2R7H7E7Z7/E3H3Z3:
- Penderita kambuh
- Penderita gagal
- Penderita after default
26
» Kategori III 2R7H7Z7/4R7H7, 2R3H3Z3/4R3H3, 2RHZ/6HE:
- Penderita TB paru, sputum BTA negative, rontgent positif dengan
kelainan paru tidak luas
- Penderita TB ekstra paru ringan
» Kategori IV H seumur hidup, bila mampu OAT lini kedua:
- Penderita TB kronik
Direncanakan untuk dilakukan intervensi pembedahan yakni debridement
dan dekompresi setelah pemberian OAT 2 bulan, sebagai terapi pembedahan pada
spondilitis tuberculosa (16). Kuman tuberkulosa pada umumnya dapat
dibunuh atau dihambat dengan pemberian obat – obat anti
tuberkulosa. Namun karena vertebra yang terinfeksi mengalami
destruksi dengan pembentukan sekuester dan perkejuan, maka
tindakan bedah menjadi penting untuk dapat mengevakuasi sumber infeksi dan
jaringan nekrotik, terutama sekuester. Destruksi korpus vertebra dapat menyebabkan
kompresi terhadap medulla spinalis dan menyebabkan defisit neurologik, sehingga
memerlukan tindakan bedah (20).
Tujuan terapi operatif adalah menghilangkan sumber infeksi, mengkoreksi
deformitas, menghilangkan komplikasi neurologik dan kerusakan lebih lanjut. Salah
satu tindakan bedah yang penting adalah debridement yang bertujuan menghilangkan
sumber infeksi dengan cara menbuang semua debri dan jaringan nekrotik, benda
asing dan mikro-organisme (20). Intervensi operasi banyak bermanfaat
27
untuk pasien yang mempunyai lesi kompresif secara radiologis dan
menyebabkan timbulnya kelainan neurologis. Setelah tindakan operasi
pasien biasanya beristirahat di tempat tidur selama 3-6 minggu.
Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3-4 minggu pemberian
terapi obat antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif)
dilakukan tetapi tidak memberikan respon yang baik sehingga lesi
spinal paling efektif diterapi dengan operasi secara langsung dan
tumpul untuk mengevakuasi “pus” tuberkulosa, mengambil sekuester
tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi dan memfusikan segmen
tulang belakang yang terlibat (5).
Indikasi operasi antara lain (20,21):
1. Jika terapi konservatif tidak memberikan hasil yang memuaskan, secara klinis dan
radiologis memburuk. Terjadi progress dari kifosis atau instabilitas.
2. Deformitas bertambah, terjadi destruksi korpus multiple, deformitas spinal dengan
nyeri dan instabilitas.
3. Terjadinya kompresi pada medula spinalis dengan atau tidak dengan defisit
neurologik, paraparesis, paraplegia, terdapat abses paravertebral
4. Lesi terletak torakolumbal, torakal tengah dan bawah pada penderita anak. Lesi
pada daerah ini akan menimbulkan deformitas berat pada anak dan tidak dapat
ditanggulangi hanya dengan OAT.
28
5. Radiologis menunjukkan adanya sekuester, kavitasi dan kaseonekrotik dalam
jumlah banyak.
Operasi debridement dengan fusi dan dekompresi juga diindikasikan bila
(5,21):
1. Diagnosa yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsi
2. Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan
3. Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase
4. Untuk penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan mengancam
atau kifosis berat saat ini
5. Penyakit yang rekuren
Rajasekaran dan Soundarapandian dalam penelitiannya
menyimpulkan bahwa terdapat hubungan nyata antara sudut akhir
deformitas dan jumlah hilangnya corpus vertebra. Untuk
memprediksikan sudut deformitas yang mungkin timbul peneliti
menggunakan rumus :
Y = a + bX dengan keterangan :
Y = sudut akhir dari deformitas
X = jumlah hilangnya corpus vertebrae
a dan b adalah konstanta dengan a = 5,5 dan b= 30, 5.
Dengan demikian sudut akhir gibbus dapat diprediksi, dengan
akurasi 90% pada pasien yang tidak dioperasi. Jika sudut prediksi ini
29
berlebihan, maka operasi sedini mungkin harus dipertimbangkan
(5).
Kontraindikasi tindakan pembedahan adalah vertebral collapse. Hal ini
dikarenakan tindakan pembedahan tersebut justru akan memperberat deformitas
padaa vertebra (21).
Pasien pulang pada hari perawatan ke-13 (23 Juli 2012) dengan rawat jalan
untuk terapi tuberculosis milier dan spondilitis tuberculosa di bagian paru dan bedah
orthopaedic.
30