2. Refleksi Kasus Anestesi
-
Upload
dicky-d-toragarry -
Category
Documents
-
view
21 -
download
0
description
Transcript of 2. Refleksi Kasus Anestesi
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesi seperti disiplin ilmu yang lain mempunyai perbendaharaan kata
teknik. Perbendaharaan kata ini timbul secara tidak direncanakan, dan sayangnya
tidak selalu tepat, serta kadang-kadang memusingkan. Istilah yang sama
mempunyai penafsiran secara teknik yang banyak, sesuai dengan latar belakangnya
dan mungkin sama sekali berbeda dari pemakaiannya secara umum.
Istilah ini diturunkan dari dua kata Yunani yang secara bersama-sama
berarti “hilangnya rasa atau sensasi”. Istilah ini digunakan oleh para ahli saraf
dengan maksud untuk menyatakan bahwa terjadi kehilangan rasa secara patologis
pada bagian tertentu dari tubuh. “anestesi” juga dilakukan oleh John Elliotson dari
RS London Utara yang melakukan hypnosis untuk mengendalikan nyeri sewaktu
pembedahan pada permulaan abad ke-19 tepat sebelum dilakukannya anestesi
umum secara farmakologis.
Pemakaian istilah “anestesi” secara teknis pada masa kini (yang berarti
“pengurangan nyeri sewaktu pembedahan”), dihubungkan dengan penggunaan
istilah oleh dokter Amerika, Oliver Wendell Holmes (1809-1894), yang
memakainya untuk penemuan “eterisasi” Morton setelah pertunjukannya. Kata
“anestesi” jika digunakan tunggal pada masa kini, berarti anestesi umum.
Anestesi umum menunjukkan bahwa penderita telah dibuat tidak sadar
dengan obat-obatan namun dapat disadarkan kembali pada pelaksanaan tidakan
pembedahan yang menyakitkan.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Ny. IN
2. Usia : 37 tahun
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Pekerjaan : Ibu rumah tangga
5. Tanggal masuk : 15 Februari 2015
6. Tanggal operasi : 7 Maret 2015
7. Tanggal pengambilan data : 7 Maret 2015
8. Ruangan : AMC Lt.3
9. Rumah sakit : RSU Anutapura Palu
B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama
Terdapat benjolan di leher bagian kiri
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien perempuan mengeluh adanya benjolan di leher bagian kiri yang
dirasakan sejak 3 minggu yang lalu. Awalnya benjolan tersebut berukuran
kecil kemudian membesar dan berwarna merah. Keluhan disertai rasa nyeri di
sekitar benjolan. Pasien juga mengeluh demam sejak 2 minggu yang lalu,
demam terus menerus, menggigil (+), mual (+), muntah (-).
2
3. Riwayat penyakit terdahulu
Riwayat trauma (-), riwayat sakit gigi sebelah kiri (+), riwayat hipertensi (-),
riwayat diabetes mellitus tipe II (+), riwayat asma (-), riwayat alergi obat dan
makanan (-)
4. Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien.
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum: Tampak sakit berat
Physical status – American Society Anesthesiologist: 3
2. Kesadaran: compos mentis
3. GCS = 15
4. Tanda vital:
- Tekanan darah : 120/70 mmHg
- Denyut nadi : 100 x/menit reguler
- Respirasi : 18 x/menit
- Suhu : 36,5°C
5. Pemeriksaan kepala:
- Kepala : Bentuk normocephal
- Mata : Konjugtiva anemis (-)/(-), sklera ikterik (-)/(-)
- Hidung : Bentuk normal, darah (-), lendir (-)
- Telinga : Bentuk normal, darah (-)
- Mulut : Bentuk normal, warna bibir normal, tonsil T1/T1
3
6. Pemeriksaan leher
- Inspeksi : asimetris, tampak benjolan di regio colli sinistra berwarna
merah.
- Palpasi : nyeri tekan di regio colli sinistra, lunak berisi cairan
berukuran ± 5cm x 5cm x 4cm
7. Pemeriksaan thorax
- Inspeksi : Ekspansi dada simetris, jejas (-), ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : Nyeri tekan (-), vokal fremitus normal kanan=kiri
- Perkusi : Perkusi paru sonor, batas jantung normal
- Auskultasi : Bunyi paru vesikuler, rhonkhi -/-, wheezing
8. Pemeriksaan abdomen
- Inspeksi : Permukaan tampak datar
- Auskultasi : Peristaltik usus (+) kesan normal
- Perkusi : Tympani
- Palpasi : Organomegali (-), nyeri tekan (-)
9. Pemeriksaan anogenital: tidak ada keluhan
10. Pemeriksaan ekstremitas
- Atas: Akral hangat, edema (-)/(-), kekuatan otot 5/5
- Bawah: Atas: Akral hangat, edema (-)/(-), kekuatan otot 5/5
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Pemeriksaan laboratorium:
WBC : 5,9 x 103/uL (4,8 – 10,8)
RBC : 5,1 x 106/uL (4,7 – 6,1)
4
HGB : 12,4 g/dL (14 – 18)
HCT : 37,6 % (42 – 52)
PLT : 76 x 103/uL (150 – 450)
- CT : 7 menit (1 – 4 menit)
- BT : 3 menit (10 – 15 menit)
- GDS : 178 mg/dl (170 mg/dl)
- Kreatinin : 0,77 mg/dl (0,50 – 0,90)
- Ureum : 40 mg/dl (10 – 50)
- Albumin : 3,37 g/ml (3,4 – 4,8)
- SGOT : 25 uL (6 – 30)
- SGPT : 13 uL (7 – 32)
- HbsAG : Reaktif
- Radiologi
Foto cervical AP/Lateral
Alignment vertebra cervical baik
Tak tampak listhesis maupun fraktur
Mineralisasi tulang baik
Discus intervertebralis baik
Tampak soft tissue density regio colli sinistra
Airway dalam batas normal
Kesan: soft tissue mass regio colli sinistra
5
E. RESUME
Pasien perempuan mengeluh adanya benjolan di leher bagian kiri yang
dirasakan sejak 3 minggu yang lalu. Awalnya benjolan tersebut berukuran kecil
kemudian membesar dan berwarna merah. Keluhan disertai rasa nyeri di sekitar
benjolan. Pasien juga mengeluh demam sejak 2 minggu yang lalu, demam terus
menerus, menggigil (+), mual (+). Riwayat sakit gigi sebelah kiri (+), riwayat
diabetes mellitus tipe II (+).
Keadaan umum sakit berat
Physical status – American Society Anesthesiologist: 3
Pemeriksaan leher: asimetris, tampak benjolan di regio colli sinistra berwarna
merah, nyeri tekan di regio colli sinistra, lunak berisi cairan berukuran ± 5cm x
5cm x 4cm.
Pemeriksaan Laboratorium
- HGB : 12,4 g/dL (14 – 18)
- HCT : 37,6 % (42 – 52)
- PLT : 76 x 103/uL (150 – 450)
- CT : 7 menit (1 – 4 menit)
- BT : 3 menit (10 – 15 menit)
- GDS : 178 mg/dl (170 mg/dl)
- HbsAg : Reaktif
F. DIAGNOSIS
Abses regio colli sinistra
6
G. PENATALAKSAAN
1. Medikamentosa
- IVFD RL 20 tpm
- Cefadroxil tablet 2x500 mg
- metronidazol tablet 3x500 mg
- Furosemide 10 mg (1-0-0)
- Novorapid 3x14 IU
- Omeprazole 20 mg 1x1 kapsul
2. Tindakan
Insisi drainase abses regio colli sinistra
H. LAPORAN ANESTESI
1. Diagnosis pra bedah: Abses regio colli sinistra
2. Diagnosis pasca bedah: Abses regio colli sinistra
3. Penatalaksanaan pre operasi: IVFD Futrolit 200 cc (pre operasi)
4. Penatalaksanaan anestesia
a. Jenis pembedahan: insisi drainase abses regio colli sinistra
b. Jenis anestesia: general anesthesia
c. Teknik anestesia: anestesi dengan masker gas
d. Premedikasi:
- Injeksi midazolam 3 mg/iv
- Petidin 50 mg/iv
e. Induksi: injeksi recofol 100 mg/iv
f. Maintanance: O2 5 lpm, Sevoflurane inhalasi
7
g. Respirasi: spontan respirasi
h. Posisi: supine
i. Cairan durante operasi: RL 500 cc
j. Jumlah perdarahan: ± 100 cc
k. Lama anestesia: 11.40 – 12.05
l. Lama operasi: 11.45 – 12.00
Pasien perempuan Ny. IN berusia 37 tahun masuk di ruangan bedah
sentral pada tanggal 7 Maret 2015 pukul 11.35 wita dengan terpasang
infus futrolit 20 tetes permenit di tangan kanan kemudian dilakukan
pemasangan alat untuk pemeriksaan tanda vital dengan hasil denyut nadi
100 kali permenit dan saturasi oksigen (SpO2) 99%. Pada pukul 11.40
wita dilakukan pemberian premedikasi dengan injeksi midazolam 3 mg
dan petidin 50 mg secara intravena. Setelah pemberian premedikasi,
pasien kemudian diberikan induksi recofol 100 mg secara intravena dan
dilakukan pemasangan sungkup muka untuk mengalirkan oksigen.
Setelah pasien terinduksi, dilakukan pemeliharaan anestesi dengan
kombinasi inhalasi oksigen 5 liter permenit dan sevofluran maintenance
yang konsentrasinya dapat di atur sesuai kebutuhan pasien dengan
vaporizer pada mesin anestesi. Ventilasi dilakukan dengan spontan
respirasi sampai operasi selesai. Selama operasi berlangsung, dilakukan
pemantauan monitor untuk tanda-tanda vital tiap 5 menit dan
mencatatnya di lembaran follow up anestesi.
8
WAKTU(wita)
TEKANAN DARAH(mmHg)
DENYUT NADI
(kali permenit)
SATURASI OKSIGEN
(SpO2)11.40 120/70 90 99 %
11.45 120/70 94 99 %
11.50 120/80 94 99 %
11.55 120/70 93 99 %
12.00 120/70 90 99 %
Tindakan insisi drainase berlangsung selama 20 menit dengan
jumlah perdarahan ± 100 cc dengan cairan futrolit 24 tetes permenit.
Setelah operasi, kadar oksigen dan sevofluran diturunkan menjadi 0%
kemudian pasien disadarkan dengan memanggil nama pasien serta
memberikan sensasi nyeri dengan mencubit bahu pasien sampai adanya
respon sehingga pasien dinyatakan sadar kemudian di bawa ke ruangan
perawatan.
9
BAB III
PEMBAHASAN
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri sentral disertai hilangnya
kesadaran yang bersifat reversible yang bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit
dan membuat pasien nyaman selama operasi berlangsung dan setelah operasi.
Komponen dari anestesi umum meliputi analgesic, amnesia, relaksasi otot,
monitoring tanda–tanda vital dan penurunan kesadaran selama operasi berlangsung.
Anestesi umum digunakan pada pasien yang tidak kooperatif seperti bayi dan
anak–anak, selain itu anestesi umum dilakukan karena lokasi operasi seperti kepala
dan leher. Selain itu posisi operasi dan durasi operasi menentukan jenis anestesi.
Untuk operasi di daerah tubuh bagian abdomen dan ekstremitas bawah dapat
dilakukan anestesi spinal. Pada pasien dilakukan anestesi umum karena melihat
lokasi yang akan di operasi berada di bagian leher, oleh karena itu dilakukan
anestesi umum. Pasien ini tidak dilakukan intubasi karena melihat dari lamanya
operasi diperkirakan tidak lama.
Untuk tahap anestesi umum ada 4 yaitu premedikasi, induksi, maintanance,
dan pemulihan. Premedikasi yang bertujuan untuk menenangkan pasien,
mengurangi rasa takut pasien, mengurangi nyeri atau sakit saat anestesi dan
pembedahan, mengurangi dosis dan efek samping anestesi. Obat yang digunakan
untuk premedikasi yaitu obat golongan narkotika (seperti morfin dan petidin) dan
golongan sedative (seperti barbiturate dan diazepam). Premedikasi yang digunakan
pada pasien ini yaitu injeksi midazolam 3 mg/iv dan petidin 50 mg/iv. Midazolam
merupakan golongan benzodiazepin merupakan agen obat antiansietas yang
10
bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor di beberapa tempat di sistem saraf
pusat termasuk sistem limbik dan formatio retikularis, menghasilkan efek yang
dimediasi oleh sistem reseptor GABA, meningkatkan permeabilitas membran
neuron yaitu pertukaran ion Cl- sehingga menghambat efek inhibisi GABA. Dosis
untuk operasi adalah 0,07-0,1 mg/kgBB, untuk dosis premedikasi peroral adalah
0,1-0,2 mg/kgBB maksimal 5 mg, perektal adalah 0,3 mg/kgBB maksimal 7,5 mg,
sedangkan untuk intravena maupun intramuscular adalah 0,05 mg/kgBB atau dosis
maksimal 2,5 mg. Petidin merupakan golongan narkotik yang paling sering
digunakan untuk premedikasi. Keuntungan penggunaan obat ini adalah
memudahkan induksi, mengurangi kubutuhan obat anestesi, menghasilkan
analgesia prabedah dan pasca bedah, memudahkan melakukan pemberian
pernapasan buatan. Narkotik ini dapat menyebabkan vasodilatasi perifer, sehingga
dapat menyebabkan hipotensi ortostatik. Hal ini akan lebih berat lagi bila
digunakan pada pasien dengan hipovolemia. Berlawanan dengan barbiturate,
narkotik ini dapat menyebabkan depresi pusat pernapasan di medulla oblongata
yang akan dapat ditunjukkan dengan turunnya respon terhadap CO2. Mual dan
muntah menunjukkan adanya stimulasi narkotik pada pusat muntah di medulla.
Bila pasien dalam posisi tidur akan memngurangi efek tersebut. Dosis petidin 1-2
mg/kgBB.
Induksi merupakan mulai masuknya obat anestesi sampai hilangnya
kesadaran. Obat induksi yang digunakan pada pasien ini adalah recofol 100 mg/iv.
Propofol merupakan obat hipnotik dan sedasi lipofilik yang menyebabkan depresi
sistem saraf pusat global dengan cara berperan agonis pada reseptor GABA. Dosis
recofol 2-2,5 mg/kgBB diberikan secara intravena.
11
Pemeliharaan/maintanance adalah tahapan dimana pembedahan dapat
berlangsung dengan baik (untuk para ahli bedah). Anestesi yang digunakan adalah
anestesi inhalasi sebab eksresinya melalui sistem respirasi sehingga dengan adanya
gangguan fungsi ginjal tidak akan merubah obat tersebut, obat-obat yang bisa
dipakai antara lain isoflouran, halotan, desfluran, dan sevofluran. Pada pasien ini
digunakan pemeliharaan dengan sevofluran yang merupakan cairan volatile yang
mengganggu aktivitas kanal ion neuron terutama reseptor neurotransmitter sinaptik
termasuk nikotinic acetylcholine, GABA, dan reseptor glutamat. Sevofluran lebih
banyak digunakan karena efek recovery lebih cepat. Selain itu, efek samping
berupa mual dan muntah juga lebih kecil risikonya dibandingkan obat inhalasi
lainnya seperti halothan, dll. Sevofluran juga tidak menimbulkan aritmia jantung.
Dosis sevofluran tergantung untuk kegunaannya, untuk induksi konsentrasi yang
diberikan pada udara inspirasi adalah 3,0-5,0 % bersama dengan N2O, untuk
pemeliharaan dengan pola napas spontan konsentasi yang diberikan sekitar 2-3 %
sedangkan untuk napas kendali diberikan sekitar 0,5-1,0 %.
Tindakan insisi dan drainase berlangsung selama 20 menit dengan jumlah
perdarahan ± 100 cc. Setelah operasi, kadar oksigen dan sevofluran diturunkan
menjadi 0% kemudian pasien disadarkan dengan memanggil nama pasien serta
memberikan sensasi nyeri dengan mencubit bahu pasien sampai adanya respon
sehingga pasien dinyatakan sadar. Tanda-tanda pemulihan yaitu adanya aktivitas
refleks, ketegangan otot, sensitivitas terhadap nyeri.
12
BAB IV
KESIMPULAN
1. Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri sentral disertai hilangnya
kesadaran yang bersifat reversible yang bertujuan untuk menghilangkan rasa
sakit dan membuat pasien nyaman selama operasi berlangsung dan setelah
operasi.
2. Komponen dari anestesi umum meliputi analgesic, amnesia, relaksasi otot,
monitoring tanda–tanda vital dan penurunan kesadaran selama operasi
berlangsung.
3. Tahap anestesi umum ada 4 yaitu premedikasi, induksi, maintanance, dan
pemulihan.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Barash, P., Cullen, B., Stoelting, R., Cahalan, M., Stock, M., Ortega, R., 2013.
Clinical Anesthesia seventh edition. Lippincott Williams & Wilkins.
Philadelphia.
2. Bloog, C., Boulton, T. 1994. Anestesiologi Edisi 10. EGC. Jakarta
3. Longnecker, D., Brown, D., Newman, M., Zapol, W., 2012. Anesthesiology
second edition. McGraw-Hill. New York.
14