1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat
-
Upload
mammy-nya-allya -
Category
Documents
-
view
840 -
download
77
Transcript of 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat
Kontrak Belajar:
• Jumlah pertemuan dalam 1 semester: 14 kali pertemuan (minimal 12 kali)
• Syarat mengikuti ujian akhir: kehadiran minimal 75% dari jumlah pertemuan
• Komponen penilaian:UTSUAS
Tugas/kuis (mungkin)
2
Sistem Penilaian
• Penilaian Acuan Patokan
A: >= 75
B: 60 – 74,99
C: 45 – 59,99
D: 25 – 44,99
E: < 25
3
4
Course Outline:
Upaya peningkatan
absorbsi
Biofarmasetika
Ketersediaan hayati obat
Kecepatan pembatas absorbsi
Pasien anak
Pengaturan Dosis
Kondisi patofisiologi
tertentu
faktor
Bioavailabilitas/Bioekivalensi
Dapat dilakukan
pada
Pertimbangan untuk
mempengaruhi
mempengaruhi
parameter
Pasien geriatri
5
Tujuan Pembelajaran:
1.mampu memahami definisi dan ruang lingkup biofarmasetika serta kedudukan ilmu ini
terhadap ilmu lain yang mendukung.
2.mampu memperhitungkan beberapa faktor yang mempengaruhi biofarmasetika sediaan
obat
3. mampu memahami parameter pembatas kecepatan absorbsi dan perhitungannya.
4. mampu memahami upaya peningkatan absorbsi dan perhitungannya
5. dapat menghitung disolusi intrinsic dan parameter-parameternya.
6.dapat mengkorelasikan percobaan in vitro ke in vivo dan implikasi korelasinya pada
penggunaan ke manusia
7 mampu memahami bioavailabilitas dan bioekivalensi obat dan parameter-parameternya
8 mampu menentukan strategi penentuan rute pemberian dan bentuk sediaan obat.
9. mampu menghitung dosis pada pasien geriatri, pediatri dengan parameter tertentu.
10.mampu menghitung dosis pada pasien tertentu dengan menggunakan grafik dan
nomogram pengaturan dosis
Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa diharapkan:
6
Time Line:Pertemuan
keMateri Pengampu
1 Definisi & ruang lingkup dan arti penting biofarmasetika
Gunawan S
2 Absorpsi Obat
3 Kecepatan Pembatas absorbsi dan Upaya peningkatan absorbsi
4 Disolusi intrinsik
5 Korelasi Invitro-invivo
6 Sediaan lepas lambat
7 Sediaan lepas lambat
8 Sediaan Lepas lambat
UTS
9 Bioavailabilitas & Bioekivalensi
Arifah SW
10 Fase farmakokinetik pada pemberian obat
11 Dosage regimen di klinik : pasien Anak
12 Dosage regimen di klinik : pasien Lanjut usia
13 Dosage regimen pd penyakit ginjal
14 Dosage regimen pd penyakit hati
UAS
Pustaka
• Shargel, L., Yu, Andrew, B.C., 2005, Applied Biopharmaceutics and Pharmacokinetics, 5th Ed., McGraw Hill, New York.
• H. van de Waterbeemd, H. Lennerna¨s and P. Artursson (Eds.), Drug Bioavailability Estimation of Solubility, Permeability, Absorption and Bioavailability
• Obat umumnya tdk diberikan kepd pasien dlm btk zat kimia murni, melainkan dlm btk sediaan, spt:– Tablet – Kapsul– Salep, dll
• Sediaan obat:– Zat aktif– Zat tambahan/eksipien
• Sediaan obat didesain u/ menghantarkan obat:– Lokal– Sistemik
• Perlu pemahaman tentang prinsip-prinsip biofarmasetika penghantaran obat (drug delivery)
Biofarmasetika:
Ilmu yang mempelajari hubungan:• Sifat fiskokimia obat• Bentuk sediaan• Rute pemberian obat,Dengan jumlah dan kecepatan obat yang dapat
diabsorpsi
12
Biofarmasetika
• = dampak dari sifat fisikokimia obat dan sediaan obat thd penghantaran obat dlm tubuh pada kondisi normal maupun patologis.
• Perhatian utama dlm biofarmasetika adalah BIOAVAILABILITAS (KETERSEDIAAN HAYATI)
15
Obat
[D][D] + [P] [D - P]
Target
Kompartemen Jaringan Metabolit
Urine, Paru, dll
Absorpsi
Urine
Eksresi
Eksresi
Biotra
nsfo
rmas
i
Biofarmasetika
Faktor-faktor yang terlibat dalam biofarmasetika:
• Stabilitas obat dalam sediaan• Pelepasan obat dari sediaan• Kecepatan pelepasan obat dari tempat absorpsi• Absorpsi sistemik obat
16
Fase Biofarmasetika:
• Liberasi• Disolusi• Absorpsi
17
Obat Dispersi padatanZat aktif
Dispersi Molekular zat aktif
Darah
Pelepasan(Liberasi)
Pelarutan(Disolusi)
Penyerapan
(Absorpsi)
Tujuan Biofarmasetika
• Mengatur penghantaran obat dari bentuk sediaan sedemikian rupa shg didapatkan aktivitas terapetik (efficacy) dan keamanan (safety) yang optimal bagi pasien.
Studi biofarmasetika memungkinkan desain rasional sediaan obat berdasarkan:
1. Sifat fisikokimia obat2. Rute pemakaian:
– Sifat anatomis dan fisiologis tempat pemakaian (misal: oral, topikal, suntikan, implan, transdermal dll.)
3. Efek farmakologis yg diinginkan (segera, lambat/tertunda, target organ/sel ttt.)
4. Sifat toksikologis obat5. Keamanan eksipien6. Efek eksipien dan sediaan terhadap penghantaran
obat
Evaluasi biofarmasetika dalam suatu bentuk sediaan obat meliputi:
• Sifat fisikokimia bahan obat (zat aktif)• Anatomi dan fisiologi tempat absorpsi• Sifat produk obat (formulasi)
22
PENTING, DALAM MERANCANG BENTUK SEDIAAN OBAT!!!
Obat topikal• Obat yg dikehendaki bekerja pd tempat pemberian
(site of administration)• Misal: kulit, hidung, mata, membran mukosa, rongga
bukal, tenggorokan, rektum• Intravaginal, pd saluran uretra, intranasal, di dlm
mata, pd mata atau oral • Antiinfeksi, antijamur, anestetik lokal, antasid,
astringen, vasokonstriktor, antihistamin, kortikoseteroid
• Aksi farmakodinamik langsung pd lokasi tanpa mempengaruhi bagian tubuh yg lain
• Absorpsi sistemik tidak dikehendaki
Obat Topikal
• Tablet vaginal– Ingredien cocok dg anatomi dan fisiologi vagina
• Obat mata– pH, isotonisitas, sterilitas, iritasi kornea, air mata,
kemungkinan absorpsi sistemik• Dosis biasanya dinyatakan dlm besaran
konsentrasi (misal: salep hidrokortison 0,5%)
Ketersediaan hayati obat topikal
• Obat tidak dikehendaki tersedia sistemik, melainkan lokal
• Liberasi dan disolusi (tanpa absorpsi)
Pemberian Sistemik
• Ketersediaan hayati (bioavailabilitas): laju (rate) dan jumlah (extent) obat/zat aktif utuh yang mencapai sirkulasi sistemik
27
Depend on:
1. Physical chemistry of Drug substance
2. Anatomy and physiology of absorption site
3. Nature of drug dosage form (formulation)
Kenapa obat tidak dapat diabsorpsi secara sempurna dalam tubuh?
• Permeabilitas obat yang rendah• Kelarutan obat yang kecil• Kerusakan obat akibat enzym atau non enzym
28
Regulatori :Komponen Persyaratan Obat
Innovator Multisource Generic
• Chemistry• Manufacturing• Controls• Labeling• Testing• Preclinical/Clinical
Studies• Bioavailability• GMP/Other
• Chemistry• Manufacturing• Controls• Labeling• Testing• Bioequivalence• GMP/Other
Bioavailabilitas
• = ukuran yg menunjukkan kecepatan (rate) dan intensitas/jumlah (extent) zat aktif yang mencapai tempat aksinya.
• = ukuran yang menunjukkan kecepatan (rate) dan intensitas/jumlah (extent) zat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik.
Desain dan komposisi btk sediaan obat berpengaruh pd efek obat:
• Efek disengaja– Perubahan laju absorpsi pd sediaan modified-
release– Meningkatnya bioavailabilitas obat pd sediaan yg
menggunakan teknik yg meningkatkan absorpsi• Efek tak dikehendaki
– Turunnya jml obat yg m’capai sirkulasi sistemik krn desain sediaan yg jelek
So, bioavailabilitas jg mencerminkan kualitas produk dan kinerja in vivo-nya
Faktor-faktor yg mempengaruhi absorpsi obat (bioavailabilitas)
1. Sifat fisikokimia obat (zat aktif): pKa, kelarutan, permeabilitas, bentuk kristal, laju disolusi
2. Faktor biofarmasetika sediaan obat: eksipien, tekanan kompresi pd tablet, penyalut, matriks
3. Faktor patofisiologis: GI transit, pH lingkungan, metabolisme atau efflux presistemik, mekanisme transport, “absorption window”, penyakit, demografi meliputi: gender, usia, etnisitas, dll.
4. Faktor lain: interaksi dg makanan, interaksi dg obat lain
Sediaan ObatObat/API* Formulasi
Ketersediaan Hayati
(Bioavailabilitas)
*API=Active pharmaceutical
ingredient
Faktor-faktor farmasetik yg mempengaruhi ketersediaan hayati
• Tipe produk obat/sediaan obat (misal, larutan, suspensi, suppositoria)
• Sifat eksipien dalam sediaan obat• Sifat fisikokimia molekul obat• Rute pemberian
Tablet atau
kapsul
Partikel halus
Obat dlm darah,
cairan atau jaringan
lain
Granul atau agregat
Obat dlm larutan/in vitro atau
in vivo
Disintegrasi Deagregasi
DisolusiDisolusi
Absorpsi
Disolusi
Ketersediaan hayati
(Bioavailabilitas)
Disintegrasi
• FI IV: “sediaan dinyatakan hancur sempurna bila sisa sediaan yg tertinggal pd kasa alat uji merupakan massa lunak yg tdk mpy inti yg jelas, kecuali bagian penyalut atau cangkang kapsul yg tdk larut”.
• Proses disintegrasi tdk menunjukkan pelarutan sempurna tablet/obat.
Disintegrasi
• Data uji disintegrasi bisa digunakan tanpa data uji disolusi untuk obat yang – sangat mudah larut dan – permeabilitasnya tinggi
menurut sistem klasifikasi biofarmasetika (Biopharmaceutical Classification System, BSC)
Sediaan obat padat yg tdk memerlukan uji disintegrasi
• Troches• Tablet kunyah• Sediaan sustained-release atau prolonged-
atau repeat-action
Disolusi
• Proses zat padat masuk ke dalam pelarut menghasilkan suatu larutan
• Proses zat padat melarut• Kecepatan suatu zat melarut• Pelarutan (bedakan dengan kelarutan)
DinamisKinetika
Kelarutan
• Jumlah zat yang dapat terlarut • Konsentrasi solut dalam suatu larutan jenuh
pada temperatur tertentu• Merupakan besaran konsentrasi
StatisTermodinamika
Kelarutan (solubilitas) ≠ Pelarutan (disolusi)Tapi, high solubility ~ high dissolution rate
• Disolusi obat dari bentuk sediaan seringkali menentukan absorpsi sistemik obat tsb
• Shg, disolusi bisa digunakan untuk memprediksi bioavailabilitas dan meneliti faktor-faktor formulasi untuk mempengaruhi bioavailabilitas obat.
Rate limiting step ketersediaan hayati
• Untuk obat dengan kelarutan rendah dalam sediaan padat, penentu kecepatan (rate limiting/rate controlling/rate determining step) bioabsorpsi biasanya adalah tahap disolusi karena tahap ini adalah tahap yang paling lambat ketimbang tahap-tahap lainnya.
Tablet atau
kapsul
Partikel halus
Obat dlm darah,
cairan atau jaringan
lain
Granul atau agregat
Obat dlm larutan/in vitro atau
in vivo
Disintegrasi Deagregasi
DisolusiDisolusi
Absorpsi
Disolusi
Ketersediaan hayati
(Bioavailabilitas)
Rate limiting step menurut Kaplan (1973)
• Laju disolusi intrinsik (intrinsic dissolution rate/IDR)
• Dengan metode rotating disk alat disolusi yg dirancangnya dg menggunakan 500 ml medium disolusi pH 1-8, suhu 37oC, kecepatan putar 50 putaran permenit, maka: …..
Rate limiting rate menurut Kaplan (1973)
• Bila kec disolusi intrinsik < 0,1 mg menit-1 cm-2, absorpsi obat dibatasi oleh kecepatan disolusi
• Bila kec disolusi intrinsik antara 0,1 – 1, 0 mg menit-1 cm-2, absorpsi obat berada dalam batas more information is needed before making any prediction
• Bila kec disolusi intrinsik obat >1,0 mg menit-1 cm-2, tidak ada masalah tentang kec disolusi terhadap absorpsi obat
Rate limiting step menurut Kaplan (1973)
• Obat-obat dg kelarutan <1% pada suhu 37oC dan pH 1 – 7 sering muncul masalah absorpsi obat tersebut
• Obat-obat yg kelarutannya >= 1% maka kecepatan disolusi bukan sebagai langkah penentu pd proses absorpsinya
Cs
C
Partikel padat
Stagnant layer (h)
Larutan bulk
Tahapan Disolusi1. Lepasnya molekul dr
permukaan padatan membentuk molekul terhidrasi pd antarmuka padatan-cairan.
2. Transport massa dari antarmuka ke larutan bulk
Kebanyakan proses disolusi dikendalikan oleh proses kedua, yg merupakan proses yg dikendalikan oleh difusi.
Transport difusional dipengaruhi oleh:– Tingkat pengadukan– Viskositas medium– Suhu medium– Ukuran partikel obat
Cs
C
Partikel padat
Stagnant layer (h)
Larutan bulk
Persamaan Disolusi(Noyes-Whitney)
dC----- = K.S(Cs – C) dt
dC----- : Kecepatan disolusi bahan obat dt K : Tetapan kecepatan disolusi D : Koefisien difusi h : Tebal lapisan stagnan S : Luas permukaan bahan obat yang terdisolusi Cs : Kelarutan bahan obat (jenuh) C : Kadar bahan obat yang terlarut dalam cairan medium
dC D.S(Cs – C)----- = -------------- dt h
Cs
C
Partikel padat
Stagnant layer (h)
Larutan bulk
Faktor2 yg mempengaruhi kec disolusi in vitro
1. S, luas permukaan padatan2. Cs, kelarutan padatan dalam medium
disolusi3. C, konsentrasi solut dalam larutan pada
waktu t4. K, konstanta kecepatan disolusi
Faktor2 yg mempengaruhi kec disolusi in vitro
1. S, luas permukaan padatan dipengaruhi oleh -ukuran partikel padatan -dispersibilitas serbuk padatan dalam medium -Porositas partikel padatan
Ukuran partikel padatan
• S ~ 1/ukuran partikel• Ukuran partikel berubah selama proses
disolusi.• Massa kompak biasanya terdisintegrasi
menjadi partikel yg lebih kecil.• Particle size was practically irrelevant for
drugs at a solubility of 1 mg/ml. The greatest effect of particle size was for low-solubility low dose drugs.
• So, there was little effect of particle size on a low-solubility drug at high dose or on high-solubility drug at low dose.
Wetting• It is the effective surface area that is
important (i.e. the surface area available to the dissolution fluid) rather than the actual particle size.
• Consequently, if the drug is hydrophobic and if the dissolution medium has poor wetting properties, a decrease in particle size may retard dissolution rate.
Dispersibilitas serbuk padatan dalam medium disolusi
• Jika partikel membentuk massa koheren (agregasi) maka luas permukaan yang tersedia untuk proses pelarutan menjadi berkurang
Porositas partikel padatan
• Pori2 harus cukup besar untuk memberi akses kepada medium disolusi dan memberi jalan difusi molekul solut keluar dari padatan
Faktor2 yg mempengaruhi kec disolusi in vitro
2. Cs, kelarutan padatan dalam medium disolusiDipengaruhi oleh - temperatur - sifat medium disolusi (pH, kosolven) - struktur molekul solut (garam asam lemah, esterifikasi) - Bentuk kristal padatan (polimorfi, solvasi) - Keberadaan senyawa lain (efek ion, pembentukan kompleks, solubilizing agents)
Faktor2 yg mempengaruhi kec disolusi in vitro
3. C, konsentrasi solut dalam larutan pd waktu t (konsentrasi bulk)
dipengaruhi oleh - volume medium disolusi - proses yg menghilangkan (memindah) zat
terlarut dari medium disolusi)
Volume medium disolusi
• Jika volume kecil maka C akan mendekati harga Cs
• Jika volume besar maka C dpt diabaikan (kondisi sink) (Cs - C) ~ Cs
dC----- = K.S(Cs – C) dt
dC----- = K.S.Cs dt
Proses yg menghilangkan zat terlarut dari medium disolusi
• Adsorpsi oleh adsorben tak-larut• Partisi ke cairan lain yg tak-campur
(immiscible) dg medium disolusi• Pengambilan solut dg dialisis• Penggantian terus-menerus larutan dengan
medium disolusi baru
Faktor2 yg mempengaruhi kec disolusi in vitro
4. K, konstanta kecepatan disolusiDipengaruhi oleh- Ketebalan lapisan stagnan- Koefisien difusi solut dalam medium disolusi
dC----- = K.S(Cs – C) dt
dC D.S(Cs – C)----- = -------------- dt h
Ketebalan lapisan stagnan
• Dipengaruhi oleh- Tingkat pengadukan (laju pengadukan atau
penggojogan)- Bentuk, ukuran dan posisi stirer - Bentuk dan ukuran wadah- Volume medium disolusi- Viskositas medium disolusi
Hidrodinamik
Koefisien difusi solut dalam medium disolusi (D)
• Dipengaruhi oleh- Viskositas medium- Ukuran molekul yang
berdifusi
r
TkD
6
molekuljarijarir
suhuT
kekentalan
Boltzmantetapank
difusiKoefisienD
Laju Disolusi Intrinsik• Ditetapkan dg metode
rotating-disk (Wood et al.)• Serbuk obat ditekan dlm die
dg punch --> pellet.• Punch dibiarkan tinggal di die
dg posisi tetap. Kmd rangkaian tsb. dipasang pd tangkai stirer.
• Disolusi terjadi dari permukaan yang luasnya konstan.
Sistem Klasifikasi Biofarmasetika (Amidon, 1995)
Kelas Kelarutan Permeabilitas
I Tinggi Tinggi
II Rendah Tinggi
III Tinggi Rendah
IV Rendah Rendah
Klasifikasi Biofarmasetik (Amidon, 1995)
Kriteria:• Kelarutan tinggi: dosis tertinggi larut dlm ≤
250 ml media air pd rentang pH 1-8• Permeabilitas tinggi: tingkat absorpsi pd
manusia lebih besar dari 90% dosis pemberian
Klasifikasi Biofarmasetik (Amidon, 1995)
• Contoh Obat- Kelas I : propranolol, metoprolol- Kelas II : ketoprofen, carbamazepin- Kelas III : ranitidin, atenolol- Kelas IV : hidroklorotiazid, frusemid
• BCS Class I: Obat dg kelarutan tinggi, permeabilitas tinggi. Senyawa2 ini umumnya sgt baik absorpsinya. – Utk senyawa2 kelas I yg diformulasi sbg produk lepas-
segera (immediate release), laju disolusi biasanya melebihi laju pengosongan lambung.
– Sehingga, jika paling tidak 85% dr suatu produk melarut dlm 30 menit pd uji disolusi in vitro pd seluruh rentang pH, maka bisa diharapkan hampir 100% absorpsi dpt diharapkan
– Dengan demikian kemudian, uji data bioekivalensi in vivo tidak lagi diperlukan untuk memastikan kesebandingan (comparability) produk.
• BCS Class II: Obat dg kelarutan rendah, permeabilitas tinggi.– Bioavailabilitas produk yg mengandung senyawa
ini kemungkinan besar terbatasi oleh laju disolusinya.
– Oleh sebab itu, akan teramati adanya korelasi antara bioavailabiltas in vivo dg laju disolusi in vitro (in vitro-in vivo correlation/IVIVC)
• BCS Class III: Obat dg kelarutan tinggi, permeabilitas rendah. – Absorpsi obat ini terbatasi oleh laju absorpsinya,
sedangkan disolusi kemungkinan besar akan terjadi dg sgt cepat.
– Untuk itu, ada saran bhw selama formulasi uji dan referens tdk mengandung bahan yg bisa mengubah permeabilitas obat atau waktu transit GI, kriteria waiver seperti utk senyawa kelasi I bisa diberlakukan.
• BCS Class IV: Obat dg kelarutan rendah, permeabilitas rendah– Senyawa2 ini mempy bioavailabilitas oral yg These
compounds have very poor oral bioavailability. – They are not only difficult to dissolve but often
exhibit limited permeability across the GI mucosa. – These drugs tend to be very difficult to formulate
and can exhibit very large intersubject and intrasubject variability.
Strategi Formulasi
• Kelas I : tidak perlu strategi formulasi khusus• Kelas II : meningkatkan jml obat terlarut• Kelas III : manipulasi uptake transporter • Kelas IV : kombinasi strategi kelas II dan III dengan penekanan pada strategi kelas II
Manipulasi sediaan untuk meningkatkan kecepatan disolusi
1. Upaya meningkatkan S
2. Upaya meningkatkan Cs
dC----- = K.S.Cs dt
1. Upaya meningkatkan S
a. Pemberian wetting agent/pembasah Tujuan: mengurangi tegangan permukaan dan sudut
kontak (θ)
Yg menyebabkan susahnya pembasahan: - Udara yang terperangkap pd pori2 tablet - Zat hidrofob (talk, Mg stearat)
Contoh wetting agent: surfaktan
1. Upaya meningkatkan S
b. Pengecilan ukuran partikel (mikronisasi) luas permukaan spesifik berbanding terbalik dengan diameter partikelc. Dispersi padat obat hidrofilik diinkorporasi / didispersikan
ke dlm matriks hidrofilik(1) Metode fusi(2) Metode solven/kopresipitasi
1. Upaya meningkatkan S
(1) Metode fusi- Pemanasan hingga carrier dan obat bercampur- Pendinginan cepat obat terperangkap dlm
dispersi dg ukuran sekecil mungkin
Kerugian:- Ketercampuran terbatas pd pemanasan- Degradasi oleh panas- Pemisahan fase ketika pendinginan
1. Upaya meningkatkan S
(2) Kopresipitasi- Obat dan bahan tambahan dilarutkan dalam 1 pelarut- diuapkan dg cepat (jika lambat akan terbentuk kristal
dg ukuran partikel besar), mis: vacuum drying, spray drying
Kerugian:- Mudah terjadi pemisahan fase- Pilihan solven terbatas (biasanya kloroform)- Pilihan matriks terbatas (polivinilpirolidon dan
polietilen glikol)
1. Upaya meningkatkan S
(3) Sugar glass (lanjutan) Pembentuk ‘glass’: - Gula (sukrosa, dekstrosa, galaktosa) - As. Sitrat, as. Suksinat - PVP
1. Upaya meningkatkan S
(3) Sugar glass (lanjutan) Contoh obat: - Furosemid (PVP) - Griseovulfin (as suksinat) - Flubiprofen (fosfolipid)
2. Upaya meningkatkan Cs
a. Membuat dalam bentuk garamb. Kompleksasic. Solvat dan Hidratd. dll (lih. Yalkowsky)
2. Upaya meningkatkan Cs
a. Membuat dalam bentuk garam- Disolusi obat asam lemah dlm cairan GI
relatif rendah- Meningkatkan pH lapisan difusi stagnan
akan menaikkan kelarutan (Cs) dan kec pelarutan (disolusi) obat tsb
Dengan membuat obat dalam bentuk garam maka pH di dalam lapisan stagnan akan naik, sehingga meningkatkan kelarutan dan, dengan demikian juga, disolusi obat tersebut.
Setelah terdisolusi, obat (HA) keluar dari lapisan stagnan dan masuk ke bulk cairan lambung yang ber-pH lebih asam, sehingga kelarutannya akan turun dan terjadi presipitasi.
Karena presipitat yang terjadi sangat halus maka akan segera terlarut (terdisolusi) kembali dengan cepat (HA-terlarut) dan siap diabsorpsi.
Contoh:• Luminal Luminal Na• Tolbutamid Tolbutamid Na• Naproksen Naproksen Na• Teofilin Teofilin etilendiamin• Klorpromazin Klorpromazin HCL
2. Upaya meningkatkan Cs
b. Kompleksasi= asosiasi reversibel antara m molekul substrat
dan n molekul ligand membentuk spesies baru SmLn
Km:n
mS + nL SmLn
Tipe kompleks Contoh
Inorganik I3-
Koordinasi Cis-dichlorodiamineplatinum
Khelat Kalsium EDTA
Metal-olefin Ferrocene
Inklusi Digitonin-kolesterol
Kompleks molekuler Fenol-PEG, asam benzoat-kafein
(Yalkowsky)
2. Upaya meningkatkan Cs
c. Solvat dan HidratAdanya solven (hidrat air) dalam struktur
kristal molekul obatBentuk anhidrat ---> seringkali (tidak selalu)
lebih besar kelarutannya dp bentuk hidratEritromisin dihidrat ---> Kelarutan >>Ampisilin anhidrat ---> Kelarutan>>
Uji Disolusi
• Kegunaan uji disolusi• Alat disolusi• Media disolusi• Faktor2 yg mempengaruhi uji disolusi• Penyajian data disolusi
Kegunaan Uji Disolusi• Pengembangan produk (drug development
stages) – To guide development of new formulation
• To evaluate the rate of drug release from formulations and assess their stability and formulation changes
• Is employed to establish IVIVC in order to predict BA/BE of drug products
Kegunaan Uji Disolusi• Proses produksi (manufacturing process/release of
drug products)– Pemastian keseragaman produk (batch to batch
consistency)– Pemastian terjaganya kualitas dan kinerja produk setelah
dilakukan perubahan ttt, spt: formulasi, proses pembuatan, scale up
– To signal potential problems with in vivo bioavailability– To grant biowaver for:
• Low strength• Post approval changes
Kegunaan Uji disolusi
• New Drug Application (NDA)– Data CMC (Chemical,
Manufacturing, Control)– Data bioavailabilitas– Data disolusi in vitro
• Abbreviated New Drug Application (ANDA)– Data CMC– Bioequivalence– Data disolusi in vitro
Alat disolusi
• Alat 1 USP-NF(Rotating basket method/pengaduk keranjang)
• Alat 2 USP-NF (Paddle method/pengaduk dayung)
• Alat 3, 4, 5, 6, 7 USP-NF• Alternatives (rotating bottle, alat disolusi
intrinsik, metode peristaltik, sel difusi)
• Alat 1 dan 2 paling banyak digunakan– Alat 1 100 rpm– Alat 2 50 rpm
• Volume medium biasanya 900 ml
Alat Nama Produk obat/bentuk sediaan
Alat 1 Rotating basket Tablets
Alat 2 Paddle Tablets, capsules, modified drug product, suspensions
Alat 3 Reciprocating cylinder
Extended-release drug product
Alat 4 Flow cell Drug product containing low-water-soluble drugs
Alat 5 Paddle over disk
Transdermal drug products
Alat 6 Cylinder Transdermal drug products
Alat 7 Reciprocating disk
Extended-release drug products
Rotating bottle Non-USP-NF
Extended release drug products (beads)
Diffusion cell (Franz)
Non-USP-NF
Ointments, cream, transdermal drug products
Pemilihan metode biasanya disebutkan dalam monografi kompendia
Media disolusi• Idealnya diformulasi semirip mungkin dengan
pH cairan in vivo; misal: 0,1 N HCl digunakan untuk meniru pH lambung.
• Penambahan surfaktan dan enzim bisa dilakukan untuk mendekati kondisi usus– Simulated gastric fluid (SGF) with/without enzyme– Simulated intestinal fluid (SIF) with/without
enzyme• Kondisi sink dpt dibuat dg penggunaan dua
fase media (partisi),
Faktor2 yg mempengaruhi uji disolusi
Vibrasi alat Wadah (bentuk)Prosedur sampling
- Flow through (continuous)- Filtering
TemperaturDeaerasi medium (agitasi oleh gelembung,
penyumbatan pori oleh udara)
Penyajian data disolusi
• Profil disolusi: jumlah obat terdisolusi pada beberapa titik waktu (kurva fungsi waktu)
• Single-time specification: jumlah obat terdisolusi pada satu waktu tertentu
• Two-point specification
Umumnya farmakope tidak mensyaratkan profil disolusi tapi mensyaratkan agar sejumlah ttt hrs larut pd selang waktu ttt
• Single-point specification– As a routine quality control test (for highly soluble and
rapidly dissolving drug products)• Two-point specification
– For characterizing quality of the drug product– As a routine quality control for certain types of drug
products (e.g. slow dissolving or poorly water soluble drug product lik carbamazepine)
• Dissolution profile comparison– For accepting product sameness under SUPAC-related
changes– To waive bioequivalence requirements for lower strengths
of a dosage form– To support waivers for other bioequivalence requirements
Persyaratan USP
• Jumlah obat terlarut pd selang waktu tertentu (Q) dinyatakan dalam persen thd kadar pd label
• Harga Q biasanya tercantum dlm monografi• Tiga tahap uji disolusi dilakukan (S1, S2, S3): Mula2,
enam tablet/kapsul diuji disolusi. Jika tidak memenuhi syarat S1, enam unit berikutnya diuji. Uji dilanjutkan sampai kriteria uji terpenuhi atau sampai ketiga tahap selesai dilakukan.
Tahap Jumlah yg diuji
Kriteria penerimaan
S1 6 Tiap unit tidak boleh kurang dari Q + 5%
S2 6 Rata-rata dari 12 unit (S1+S2) sama dengan atau lebih besar dari Q, dan tidak ada unit yang kurang dari Q – 15%
S3 12 Rata-rata dari 24 unit (S1+S2+S3) sama dengan atau lebih besar dari Q, tidak lebih dari 2 unit yang kurang dari Q – 15%, dan tidak ada unit yg kurang dari Q – 25%
Perbandingan Profil Disolusi
Misal:• Pada perubahan formulasi produk yang telah
disetujui• Pembuatan oleh produsen lain (generik, me-
too product)
Perbandingan Profil Disolusi
• Pada perubahan formulasi minor, uji disolusi single-point cukup memadai.
• Pada perubahan formulasi yg lebih besar (major changes) perbandingan profil disolusi– Uji disolusi dilakukan pd kondisi yg sama antara
produk sebelum dan sesudah perubahan
Profil disolusi bisa dianggap serupa dari segi:1. Kemiripan profil keseluruhan2. Kemiripan pada setiap titik waktu sampel
disolusi
Perbandingan Profil Disolusi
• Model independent approach– Difference factor (f1)– Similarity factor (f2)
• Model independent multivariate confidence region procedure
• Model dependent approach
100 1
1log 505,0
1
22 xTR
nxf
n
t tt
100 x 1
11
n
t t
n
t tt
R
TRf
n = jumlah titik waktu samplingRt dan Tt = jumlah kumulatif obat terlarut pd waktu t untuk
formulasi referens dan formulasi uji
Prosedur:1. Tentukan profil disolusi dari dua produk
/formulasi (produk uji/pasca perubahan dan referens/sblm perubahan), masing2 12 unit
2. Menggunakan harga rata-rata disolusi dari kedua kurva pada tiap interval waktu, hitung difference factor (f1) dan similarity factor (f2)
3. Kurva dianggap ‘mirip’ jika f1 mendekati 0 dan f2 mendekati 100
• Umumnya f1 0-15 dan f2 50-100 memastikan kesamaan (sameness) atau kesetaraan (equivalence) dari dua kurva.
• Hal-hal yg perlu diperhatikan:– Pengukuran disolusi dari formula uji dan referens
harus dilakukan pd kondisi yang sama.– Titik-titik waktu sampling untuk kedua profil harus
sama (misal: 15, 30, 45, 60 menit)– Batch referens yg digunakan adalah batch
sebelum perubahan yg paling baru diproduksi• Hanya satu pengukuran setelah 85%
pelepasan yang diikutkan dalam perhitungan agar bisa dihitung rata-ratanya,