Biofarmasetika obat inhalasi

37
MAKALAH BIOFARMASETIKA Sediaan Per-Inhalasi Kelompok 3 Kelas A Disusun Oleh: 1. Devi Indrawati (2010210070) 2. Dewi Utami Dimiyanti (2010210075) 3. Dhia Fauziah Yamin (2010210076) 4. Dion Damara (2010210079) 5. Dita Tri Mahliga (2010210080) 6. Dwi Activisionis Hia (2010210082) 7. Ervina Novianti (2010210092) 8. Gabby Anastasia Agatha (2010210116) 9. Ira Rahmawati Sa'diyah (2010210139)

description

Biofarmasetika obat inhalasi

Transcript of Biofarmasetika obat inhalasi

MAKALAH

BIOFARMASETIKA

Sediaan Per-Inhalasi

Kelompok 3Kelas ADisusun Oleh:

1. Devi Indrawati

(2010210070)

2. Dewi Utami Dimiyanti(2010210075)3. Dhia Fauziah Yamin(2010210076)

4. Dion Damara

(2010210079)

5. Dita Tri Mahliga

(2010210080)6. Dwi Activisionis Hia(2010210082)7. Ervina Novianti

(2010210092)8. Gabby Anastasia Agatha(2010210116)9. Ira Rahmawati Sa'diyah(2010210139)

FAKULTAS FARMASIUNIVERSITAS PANCASILA

JAKARTA

2013

BAB I

PENDAHULUANI. Latar Belakang

1. Pengertian Biofarmasetika

Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia formulasi obat terhadap bioavailabilitas obat. Bioavailabilitas menyatakan kecepatan dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik. Biofarmasetika bertujuan untuk mengatur pelepasan obat sedemikian rupa ke sirkulasi sistemik agar diperoleh pengobatan yang optimal pada kondisi klinik tertentu.Absorpsi sistemik suatu obat dari tempat ekstravaskular dipengaruhi oleh sifat-sifat anatomik dan fisiologik tempat absorpsi serta sifat-sifat fisikokimia atau produk obat. Biofarmasetika berusaha mengendalikan variable-variabel tersebut melalui rancangan suatu produk obat dengan tujuan terapetik tertentu. Dengan memilih secara teliti rute pemberian obat dan rancangan secara tepat produk obat, maka bioavaibilitas obat aktif dapat diubah dari absorpsi yang sangat cepat dan lengkap menjadi lambat, kecepatan absorpsi yang diperlambat atau bahkan sampai tidak terjadi absorpsi sama sekali.Biofarmasetika:

Predisposisi zat aktif di dalam tubuh. Hubungan sifat fisiko-kimia formulasi obat terhadap bioavailabilitas obat

Tujuan biofarmasetik:

Mempelajari semua proses pelepasan obat (zat aktif) dari bentuk sediaan obat ke dalam sirkulasi sistemik agar diperoleh efek terapetik yang optimal pada kondisi klinik tertentu.

Tahap/Fase Biofarmasetika:

Meliputi semua unsur yang terkait mulai saat pemberian obat sampai terjadi absorbsi zat aktif. Terdiri dari 3 tahap/fase :

a. Liberasi

Proses pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan

Terdiri dari 2 tahap : pemecahan dan pelarutan Tujuan : memperoleh dispersi halus padatan zat aktif dalam cairan ditempat obat masuk kedalam tubuh.

b. Disolusi

Pelarutan zat aktif membentuk dispersi molekuler dalam air Absorbsi dapat berlangsung kalau terjadi disolusi zat aktif

c. AbsorbsiMasuknya zat aktif kedalam sirkulasi sistemik.2. Pengertian Aerosol

Aerosol berasal dari kata aer yang berarti udara dan sol yang berarti larutan, jadi aerosol merupakan larutan di dalam udara. Menurut Farmakope Indonesia edisi IV, aerosol farmasetik adalah sediaan yang dikemas di bawah tekanan, mengandung zat aktif terapetik yang dilepas pada saat sistem katup yang sesuai ditekan. Sedian ini digunakan untuk pemakaian topikal pada kulit dan juga pemakaian lokal pada hidung (aerosol nasal), mulut (aerosol lingual) atau paru-paru (aerosol inhalasi).

Aerosol digunakan untuk memasukkan obat kedalam alveolus pulmonari melalui saluran napas. Bentuk sediaan aerosol telah dikenal dan digunakan sejak beberapa abad yang lalu. Dahulu, baik farmasis maupun kedokteran menggunakan istilah pengasapan (fumigasi), penghirupan (inhalasi) dan rokok obat untuk sediaan aerosol. Selama bertahun-tahun penggunaan aerosol hanya didasarkan atas data empirik dan hal itulah yang menimbulkan berbagai keraguan para dokter.Istilah aerosol digunakan untuk sediaan semprotan kabut tipis dari suatu sistem bertekanan tinggi. Komponen dasar sistem aerosol adalah wadah, propelan, konsentrat mengandung zat aktif, katup dan penyemprot. Aerosl biasa dibuat dengan salah satu dari dua proses yaitu pengisian dengan pendinginan atau pengisian dengan tekanan.Propelan adalah pemberi tekanan yang dibutuhkan untuk mengeluarkan bahan dari wadah. Secara umum dilasifikasikan sebagai gas yang dicairkan atau gas yang dimampatkan. Umumnya mempunyai tekanan uap yang lebih besar dari tekanan atmosfer, meliputi berbagai hidrokarbon, khususnyafluoroklorometana dan etana, hidrokarbon dengan bobot molekul rendah seperti butana dan pentana dan gas mampat seperti karbondioksida, nitrogen dan nitrosa.

Kini istilah aerosol lebih dikenal dengan pengertian kabut yang dibentuk oleh partikel-partikel padat atau cairan yang terdispersi dalam udara atau gas, dan partikel tersebut cukup halus hingga tetap tersuspensi dalam waktu singkat. Definisi sederhana tersebut menimbulkan beberapa kesulitan dalam evaluasi biofarmasetika dari sediaan aerosol.

Seperti diketahui, saluran nafas merupakan satu-satunya organ tubuh yang berhubungan langsung dengan lingkungan luar dan lingkungan dalam tubuh. Oleh sebab itu salurah napas dapat dan harus mempunyai sistem pertahanan terhadap semua pengaruh luar, termasuk obat. Jika senyawa yang terhirup tidak atau kurang bersih, maka senyawa akan tertahan dan selanjutnya bila senyawa tersebut toksik maka akan timbul efek patogenik atau bila senyawa tersebut merupakan bahan obat, akan timbul efek setempat dan jika senyawa memasuki peredaran darah maka selanjutnya akan memberikan efek sistemik.

Keuntungan dari pemberian obat melalui saluran napas adalah terhindarnya obat dari pengaruh cairan lambung yang kadang dapat menyebabkan peruraian bahan aktif yang peka dan untuk obat yang khusus bekerja pada saluran napas maka obat dapat bekerja langsung.

Bahkan senyawa-senyawa tertentu yang diberikan lewat saluran napas dapat memasuki sistem peredaran darah dengan sangat cepat, sehingga kadang-kadang aerosol memberikan kesetaraan yang sama dengan bila bahan tersebut diberikan secara injeksi intravena.3. Penegertian InhalasiInhalasi adalah sediaan obat atau larutan atau suspensi terdiri atas satu atau lebih bahan obat yang diberikan melalui saluran napas hidung atau mulut untuk memperoleh efek lokal atau sistemik. Larutan bahan obat dalam air sterilatau dalam larutan natrium klorida untuk inhalasi dapat disemprotkan menggunakan gas inert. Semprotan larutan dapat diisap langsung dari alat penyemprot atau alat penyemprot dapat disambungkan pada masker plastik, selubung atau alat pernapasan dengan tekanan positif yang terputus-putus.Kelompok sediaan lain yang dikenal dengan inhaler dosis terukur adalah suspensi atau larutan obat dalam gas propelan cair dengan atau tanpa kosolven dan dimaksudkan untuk memberikan dosis obat terukur ke dalam saluran pernapasan. Serbuk juga dapat diberikan secara inhalasi, menggunakan alat mekanik secara manual untuk meghasilkan tekanan atau inhalasi yang dalam bagi penderita yang bersangkutan.Jenis inhalasi khusus yang disebut inhalan terdiri dari satu atau kombinasi beberapa obat, yang karena bertekanan uap tinggi dapat terbawa oleh aliran udara ke dalam saluran hidung dan memberikan efek. Wadah obat yang diberikan secara inhalasi disebut inhaler.

Berikut merupakan penyebaran partikel di saluran nafas :Diameter Partikel Aerosol Permukaan Penetrasi Maksimum

Lebih dari 30 mLubang hidungPharynx

Laryx

20-30 mTrakea

10-20 mBronkus dan Bronchiolus

3-5 mBronchiolus terminalis

Kurang dari 3 mCanal alveoli lalu ke alveoli paru

II. Tujuan

Untuk mengetahui studi biofarmasetika sediaan per inhalasi

III. Manfaat

Memberi informasi tentang definisi dan evaluasi bioavailabilitas sediaan per inhalasi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Mekanisme Pembersihan Partikel Mineral Pada Permukaan Paru Bagian Dalam

II. Faktor-Faktor dalam Bioavailabilitas Obat

Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui suatu rangkaian proses. Proses tersebut meliputi: 1. disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat

2. pelarutan obat

3. absorpsi melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik. Di dalam proses disintegrasi obat, pelarutan dan absorpsi, kecepatan obat mencapai sistem sirkulasi ditentukan oleh tahapan yang paling lambat dalam rangkaian tersebut. Tahap yang paling lambat di dalam suatu rangkaian proses kinetik disebut tahap penentu kecepatan(rate limiting step).Untuk obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air, laju pelarutan serigkali merupakan tahap yang paling lambat, oleh karena itu mengakibatkan terjadinya efek penentu kecepatan terhadap bioavailablitas obat. Tetapi sebaliknya, untuk obat yang mempunyai kelarutan besar dalam air, laju pelarutannya cepat sedangkan laju lintas atau tembus obat lewat membran merupakan tahap paling lambat atau merupakan tahap penentu kecepatan.

1. Pertimbangan Dalam Rancangan Bentuk Sediaan

Pertimbangan terpenting dalam merancang suatu sediaan adalah keamanan dan keefektifan. Bahan-bahan aktif dan in aktif harus aman bila digunakan seperti yang diharapkan. Obat harus dilepas secara efektif ke tempat sasaran sehingga efek terapetik yang diharapkan dapat dicapai. Bentuk sediaan harus tidak menambah efek samping atau efek yang tidak dikehendaki terhadap obat. Dalam menyiapkan produk obat, farmasis mencoba mempertimbangkan kebutuhan dokter, penderita dan biaya produksi. Pertimbangan ini kemudian disesuaikan dengan batasan sifat fisika, kimia dan biologik obat.

a. Pertimbangan Penderita

Bentuk sediaan harus sesuai untuk penderita. Bila suatu obat yang terasa pahit dipakai sebagai tablet atau kapsul hendaknya disalut. Ukuran tablet atau kapsul hendaknya cukup kecil sehingga mudah ditelan. Frekuensi pemberian dosis dijaga minimum.b. Pertimbangan Dosis

Bentuk sediaan harus dirancang dengan pertimbangan dosis. Beberapa obat mempunyai perbedaan dosis individual yang besar, dan harus tersedia beberapa macam kekuatan dosis sehingga suatu dosis yang sesuai dapat dipakai dari bentuk sediaan yang tersedia. Pada obat tertentu, pemberian dosis obat didasarkan atas luas permukaan tubuh atau berat badan dan dengan pemantauan konsentrasi obat dalam tubuh, dosis dapat disesuaikan kembali.

c. Pertimbangan Frekuensi Pemberian Dosis

Frekuensi dosis suatu obat dikaitkan dengan waktu-paruh eliminasi obat dan juga konsentrasi terapetik obat. Untuk suatu obat dengan waktu-paruh pendek, pertimbangan sering diberikan untuk memperpanjang lama kerja obat. Resiko kelebihan dosis yang tidak terpakai dan potensi untuk penurunan bioavailabilitas obat harus dipertimbangkan jika suatu dosis yang lebih besar diformulasi untuk mencapai suatu lama kerja yang lebih panjang.d. Pertimbangan Terapetik

Pengetahuan indikasi terapetik obat merupakan hal yang penting untuk formulator. Suatu obat yang digunakan untuk suatu kondisi segera dan kondisi akut hendaknya diformulasi sehingga obat tersebut mencapai sasaran dengan cepat. Suatu obat yang digunakan untuk jangka terapi yang lebih panjang dapat mencapai sasaran lebih lambat. Sebagai contoh, suatu obat yang menghilangkan sakit hendaknya diabsorpsi secara cepat sehingga diperoleh hilangnya rasa sakit yang cepat, sedangkan suatu obat yang dirancang untuk mencegah keadaan asmatik dapat diabsorpsi secara lambat sehingga efek perlindungan dari obat berakhir setelah suatu jangka waktu yang panjang.

e. Efek Samping Pada Saluran Cerna

Beberapa obat yang diberikan secara oral mengiritasi lambung. Obat-obat ini dapat menyebabkan mual dan rasa sakit pada lambung bila diberikan pada lambung yang kosong. Untuk menurunkan iritasi lambung, dalam beberapa hal makanan atau antacid dapat diberikan bersama-sama dengan obat. Cara lain, untuk menurunkan iritasi lambung obat dapat disalut enterik. Untuk memperbaiki bioavailabilitas obat dan menurunkan efek samping pada saluran cerna, obat-obat tertentu telah diformulasi dalam kapsul gelatin lunak. Jika obat diformulasi dalam kapsul gelatin lunak sebagai suatu larutan, maka obat dapat terdispersi dan melarut lebih cepat dengan meninggalkan sedikit residu obat dalam dinding usus dan menyebabkan iritasi. Ada beberapa pilihan untuk formulator guna memperbaiki toleransi obat dan memperkecil iritasi lambung. Sifat bahan tambahan dan keadaan fisik obat merupakan hal yang penting dan harus ditetapkan secara hati-hati sebelum suatu produk obat diformulasi. Beberapa bahan tambahan dapat memperbaiki kelarutan obat dan mempermudah absorpsi. Sedangkan yang lain secara fisika dapat mengabsorpsi obat untuk menurunkan iritasi.

III. Pengertian dan Evaluasi Ketrsediaan Hayati Sediaan Inhalasi1. Pengertian sediaan Inhalasi

Inhalasi adalah proses melalui paru-paru. Inhalasi hanya dapat dilakukan untuk obat yang berbentuk gas atau cairan yang mudah menguap. Misalnya anestesi umum dan obat lain yang dapat diberikan dalam bentuk aerosol. Absorbsi terjadi melalui epitel paru dan mukosa saluran nafas. Absorbsi terjadi secara cepat karena permukaan absorbsinya luas, tidak mengalami metabolisme lintas pertama di hati. Metode ini lebih sulit dilakukan, memerlukan alat dan metode khusus, sukar mengaturya dosis dan sering mengiritasi paru

Pemberian sediaan inhalasi merupakan cara pemberian obat yang paling penting pada berbagai penyakit saluran pernafasan dan paru. Pada pasien dewasa, inhalasi sering digunakan untuk pengobatan asma, bronchitis kronik, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan emfisema. Sedangkan pada anak, terapi inhalasi merupakan pengobatan utama asma terutama saat terjadi serangan akut.

Terapi inhalasi adalah cara pemberian obat secara langsung ke dalam saluran napas melalui uap yang dihirup. Tujuan utamanya adalah obat dengan konsentrasi yang efektif dapat tercapai diparu-paru dengan efek samping sistemik yang minimal.

Seperti yang tercantum dalam farmakope perancis edisi IX, aerosol merupakan dispersi butiran cairan yang sangat halus didalam udara dan berdiameter rata-rata 5 mikro meter.Terdapat pula aerosol alami, misalnya awan atmosfer yang diameter partikelnya 0,2-15 mikro meter.Aerosol larutan obat diperoleh dengan dispersi mekanik menggunakan alat generator yang terdiri dari elemen-elemen:

a. Sumber gas (kompresor atau gas mampat);

b. Generator pendispersi larutan dalam gas dan alat pencegah pembentukan partikel yang sangat voluminous;

c. Pemanas untuk memberikan keadaan isoterm pada partikel-partikel, karena terdapat pelepasan gas yang dapat menyebabkan pendinginan sebagian.

Terdapat 2 (dua) jenis alat pendispersi sediaan yaitu : alat aerosol klinis (dalam farmakope disebut aerosol obat), dan alat yang berisi gas pendorong atau pseudoaerosol atau yang disebut juga bentuk sediaan farmasetik bertekanan. Walaupun kedua jenis alat tersebut mempunyai elemen-elemen yang sejenis, namun dispersi yang dihasilkan mempunyai sifat fisiko-kimia dan efektivitas klinis berbeda.

Ditinjau dari sudut sistemnya, aerosol merupakan suatu sistem dispersi yang terdiri dar 2 fase, yaitu:

a. Fase pendispersi (fase penyebar), berupa campuran udara dan gas.

b. Fase terdispersi (fase yang tersebar), umumnya berupa larutan dalam air dan kadang-kadang berupa serbuk, walau tidak tercantum dalam Farmakope.

Seperti pada semua sistem dispersi, sediaan aerosol harus stabil, partikel-partikel tidak boleh membasahi dinding dan tidak boleh melarut secara tak beraturan dalam cairan pendukungnya. Stabilitas sediaan aerosol dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu:

a. Muatan partikel

b. Tiap partikel aerosol memiliki muatan listrik bertanda sama dengan demikian partikel-partikel tersebut akan saling tolak menolakc. Kehalusan partikel

d. Aerosol harus berbentuk kabut halus yang kering dan memiliki gerak browne. Penyebaran ukuran pertikelf. Perbandingan bobot jenis gas/cairan.

Terdapat tiga jenis aerosol berdasarkan jumlah fase dispersinya yaitu:

a. Aerosol sejati atau aerosol mono dispersi, terdiri dari partikel-partikel yang sangat halus, berdiameter sekitar 1 (satu) mikro meter, dengan penyebaran ukuran partikel yang merata. Karena adanya gerak Brown maka aerosol jenis monodispersi sangat homogen. Jumlah zat aktif yang terkandung dalam aerosol tersebut sangat kecil untuk dapat memberikan efek sistemik setelah penyerapan melalui paru, tetapi karena penyebaran dan penembusan partikel segera terjadi maka efek pada organ yang bersangkutan segera terjadi.

b. Aerosol polidispersi, terdiri dari partikel-partikel dengan ukuran yang lebih besar dan beragam. Aerosol tipe ini lebih kurang stabil karena partikelnya berat dan karena fenomena koalesen antara partikel-partikel kecil dengan yang besar. Penenmbusan dan penahanan partikel ini hanya terjadi pada saluran napas bagian atas, dan dalam hal ini jumlah pembawa zat aktif sangat berpengaruh, dan setelah terjadi penyerapan setempat maka obat dapat memberikan efek sistemik.

c. Aerosol sejati dilengkapi dengan alat penyemprot klinis, sedangkan aeosol polidispersi dikemas dengan wadah gelas dan dengan bahan pendorong gas.

Sedangkan aerosol dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu :

a. Aerosol tidak larut atau aerosol serbuk

Yang dimaksudkan dengan aerosol tak larut adalah bahan obat padat atau serbuk yang diberikan dalam bentuk aerosol. Namun bentuk ini tidak tercantum dalam Farmakope Perancis. Serbuk harus dilindungi dari kelembaban dengan penambahan bahan pelindung, sekaligus sebagai bahan pengencer yang diameternya mendekati diameter zat aktif sebagai fungsi dari luas permukaan. Tetapi perlu dipertimbangkan kemungkinan adanya penyerapan zat aktif oleh bahan pengencer. Dua teknik pembuatan aerosol serbuk adalah :

Yang pertama terdiri dari larutan padat zat aktif dalam klorofluorohidrokarbon dan disebarkan dengan pemercik khusus, misalnya yang digunakan untuk mikrokristal isoprenalin dalam generator aerosol. Teknik kedua yang relatif baru adalah serbuk berada dalam suatu gel, sehingga memungkinkan penderita dapat menghirup partikel halus tanpa kesulitan.Alatnya terdiri dari :

Satu tabung yang dapat bergerak dari atas ke bawah.

Baling-baling yang terdapat dalam tabung tersebut dan dilengkapi dengan kuvet sebagai wadah kapsul yang mengandung serbuk.

Kunci pemantik bukal yang dibuat dari peniti baja yang tidak dapat teroksidasi.Pemakaian alat tersebut dilakukan dengan tahap sebagai berikut :

Alat dibuka dan kapsul dimasukkan ke dalam kuvet baling-baling.

Selanjutnya kapsul dilubangi dengan peniti dan setelah terlihat hembusan maka tempatkan kunci pemantik di antara bibir dan hirup dalam-dalam melalui spin haler.

Baling-baling akan bergerak saat aspirasi dan mendeskripsikan serbuk tersebut.

Ulang beberapa kali hingga sekitar 50% serbuk terdapat dipermukaan mulut dan kerongkongan.b. Bentuk Sediaan Bertekanan

Sejumlah faktor yang secara langsung dapat mempengaruhi aktivitas sediaan bertekanan adalah : Jenis gas pendorong (gas padat N2, gas cair CHClF)

Tetapan dielekrik gas pendorong (terutama klorofluoro hidrokarbon)

Tekanan dan jumlah gas pendorong

Kekentalan sediaan (terutama penting untuk suspensi)

Tegangan permukaan Bobot jenis campuran yang disemprotkan (gas dan atau larutan zat aktif)

Pelarut yang digunakan untuk larutan atau suspensi zat aktif (alkohol, glikol, hindari minyak)

Keadaan zat aktif dalam campuran (kristal tersuspensi atau terlarut dalam gas atau pelarut)

Ukuran partikel zat aktif (suspensi 25-75mikrometer) dan kecenderungannya untuk mengumpal selama penyimpanan Derajat hidratasi kristal zat aktif

Surfaktan dalam campuran Bahan tambahan dalam sediaan (pelincir, anti penggumpalan dan lain-lain)

Lama pemakaian (perubahan dosis perlu diketahui)

Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi pembagian zat aktif dalam larutan atau suspensi yang mengandung partikel zat aktif yang halus. Pada sediaan yang mengandung bahan tambahan dalam sediaan akan meningkatkan ukuran partikel secara bertahap dan mengubah depotnya dalam mukosa.

Telah diketahui bahwa bila nitrogen digunakan sebagai gas pendorong (atau gas pelarut yang tidak campur dengan larutan zat aktif) dan karena busanya sangat halus maka cairan dalam sediaan aerosol dapat terbagi menjadi partikel yang cukup halus untuk mencapain alveoli paru-paru. Bila memungkinkan enersi partikel ini diharapkan dapat menyebabkan pengendapan dengan cara tumbukan dalam saluran napas. Cairan dalam jumlah sedikit dapat mencapai alveoli, tetapi menjadi tidak aktif bila konsentrasinya sangat rendah. Sebaliknya parikel yang mengendap karena tumbukan dalam saluran nafas akan diserap oleh mukosa bukal, bronkus, dll, selanjutnya memperlihatkan aksi pada saluran napas setelah melalui peredaran darah. Peranan pemantik sangat penting karena umumnya bentuk sediaan diberikan melalui lubang hidung atau disemprotkan ke dalam kerongkongan.Jika nitrogen digunakan sebagai gas pendorong, dan zat aktif dilarutkan atau disuspensikan dalam klorofluoro hidrokarbon, maka diameter partikel yang diperoleh lebih berpengaruh dibandingkan jumlah gas. Semakin banyak jumlah gas maka ukuran partikel saat terjadi kontak dengan udara semakin kecil. Bila zat aktif yang dikeluarkan oleh alat pembagi dosis berjumlah sedikit, maka perlu dilakukan beberapa kali penyemprotan.

Partikel-partikel yang besar dapat menyumbat saluran pemantik, sedangkan partikel yang halus akan dihirup dan mencapai bagian trakea-bronkus, serta sangat jarang dapat mencapai bagian paru-paru yang lebih dalam. Pada daerah trakea-bronkus, partikel akan didepo dengan mekanisme tumbukan dan pengendapan, kemudian akan cepat diserap,memasuki peredaran sistemik dan akan segera menunjukkan aksinya. Aksi yang terjadi lebih cepat dibandingkan dengan aerosol polidispers (walau diameternya lebih kecil dari 5 mikrometer, seperti yang disebutkan dalam farmakope).

Peningkatan aksi yang sangat cepat tersebut menjelaskan mengapa dapat tejadi kecelakaan pada pengobatan asma dengan aerosol yang mengandung bronkodilator (adrenalin dan lain-lain). Subjek merasa bahwa awan partikel tidak berbahaya dan dengan jelas penjelasan medis yang cukup maka penggunaan serta penyalahgunaan cara tersebut cukup sederhana. Bila jumlah zat aktif yang mencapai alveoli sangat kecil, maka hanya akan diperoleh effek setempat.

Efektivitas pengobatan aerosol menrupakan fungsi dari jumlah zat aktif yang tertahan dan jumlah tersebut yang berhubungan langsung dengan irama pernapasan subjek. Seorang penderita dalam keadaan kritis sulit melakukan pernapasan yang dalam dan inspirasi yang bermakna, hal ini merupakan faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan lama aktivitas sediaan dengan aerosol. Pada pemberian aerosol obat, seluruh kompartemen saluran paru-paru dapat menjadi jenuh oleh partikel obat, hal ini di satu sisi disebabkan oleh kontak yang kurang dari 10menit,dan di sisi lain karena jumlah yang diberikan jauh lebih berperan, walaupun ritme pernapasan subjek tidak sesuai dengan irama normal.2. Zat Aktif dalam Sediaan AerosolPemilihan bahan obat didasarkan atas prinsip berikut ini :

Penggunaan bentuk aerosol hanya menguntungkan bila konsentrasi zat aktif saat kontak lebih besar dari konsentrasi setelah pemberian lewat jalur pemberian lainnya.

Zat aktif harus benar-benar beraksi pada permukaan saluran nafas.

Oleh sebab itu zat aktif harus memenuhi 2 syarat utama yaitu :

Pelarutan zat aktif dalama cairan pembawa harus setinggi mungkin.

Aktivitas terapetik harus tampak pada dosis kecil, dengan kata lain dosis per oral juga kecil.

Zat aktif dengan pososlogi 24jam dalam jumlah berbilang gram, bila diberikan dalam bentuk aerosol maka efektivitasnya lebih rendah dibandingkan bila diberikan lewat oral, karena tidak mungkin untuk menyerbuk halus sejumlah besar bahan obat hingga mencapai ukuran aktif.Sebaliknya, obat dengan posologi 24jam dalam jumlah miligram atau sentigram dapat diberikan dalam bentuk sediaan aerosol. Dengan cara pemberian aerosol memungkinkan dicapainya konsentrasi pada titik tangkap yang lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi yang dicapai bila obat diberikan melalui cara pemberian lainnya. Untuk bronkodilator, dosis efektif dengan aerosol adalah 1/200 kali dibandingkan dengan dosis per oral (isoprenalin).

Tidak adanya toksisitas zat aktif juga harus dipastikan, karena dalam banyak hal pemakaian berulang dapat dilakukan tanpa resiko toksisitas. Jumlah larutan yang diberikan untuk seluruh permukaan saluran nafas umumnya 1,5 x 108 l/cm2 (luas total pemukaan saluran napas adalah 80-100m2). Zat aktif dapat diberikan dalam bentuk aerosol dan dapat dibedakan menurut tujuan pemakaiannya terhadap penyakit paru-paru atau untuk aksi sistemik. Jumlah larutan yang diberikan untuk seluruh permukaan saluran napas umumnya 1,5 x 108 l/cm2 (luas total permukaan saluran nafas adalah 80-100 m2.3. Proses Evaluasi Biofarmasetik

Pada aerosol dengan efek sistemik, dimungkinkan untuk memprakirakan aktivitas farmakologik atau terapetik, atau menentukan kadar obat dalam darah dan membandingkannya dengan kadar yang didapat dari cara pemberian intravena atau jika mungkin dengan cara pemberian lainnya.

Pada aerosol dengan efek setempat, sangat diperlukan untuk melaksanakan studi ketersediaan hayati relatif dengan membandingkan berbegai formulasi yang berbeda untuk memilih formula yang lebih setempat, efeknya lebih lama, lebih spesifik, lebih cepat sebagai fungsi dari ukuran partikel yang harus sehomogen mungkin. Terdapat beberapa parameter zat aktif yaitu :

a. Stabilitas fisiko-kimia dan stabilitas terapetik dari partikel aerosol yang halus

b. Daerah deppo dan perannya untuk menghasilkan efek terapetik yang sesuai dan terukur

c. Laju penyerapan, metabolisme dan atau pembersihan untuk menghindari efek sekunder

d. Pengaruh bahan tambahan dalam sediaan terhadap partikel.

Evaluasi ketersediaan hayati aerosol pada manusia mempunyai beberapa kesulitan yang berkaitan dengan :

a. Pemilihan subjek percobaan (sakit atau sehat) b. Efek partikel aerosol (sistemik atau setempat)

c. Pembuatan partikel yang homogen diameternya.

Proses selanjutnya yang lebih penting adalah menyatakan efektivitas pengobatan aerosol.

a. Tahap Pertama

Yaitu pemilihan bagian saluran napas yang akan dicapai oleh zat aktif untuk memberikan aksi setempat atau untuk diserap dan selanjutnya menghasilkan efek sistemik.

Pemilihan ini tergantung pada :

sifat pengobatan dari zat aktif

diameter partikel aerosol

b. Tahap Kedua

Yaitu pemilihan alat untuk pembuatan sediaan aerosol sedemikian hingga diperoleh diameter partikel yang diinginkan. Dalam hal ini, perlu dipertimbangkan resiko hidratasi partikel yang higroskopis dan depo prematur. Pemilihan alat harus dilengkapi dengan cara pemberian(tujuan bukal, nasal, masker wajah) karena harus dihindari terjadinya depo yang tidak dikehendaki dalam saluran napas.c. Tahap Ketiga

Yaitu penelitian in vivo pada hewan (anjing misalnya) untuk meramalkan toksisitas dan reaksi samping yang mungkin terjadi setelah pemberian zat aktif dalam aerosol. Percobaan ini menggunakan pipa khusus ke berbagai tempat disaluran napas untuk mengamati adanya reaksi-reaksi tertentu termasuk reaksi sistemik atau setempat dan meneliti toksisitas dan penyerapan gas pendorong pada permukaan saluran misalnya dengan mengevaluasi kadar dalam darah.d. Tahap KeempatYaitu evaluasi pada subyek manusia. Dalam hal ini keadaan pemberian dan penghirupan partikel harus tepat. Ritme pernapasan harus ditentukan sebagai fungsi dari aksi yang diharapkan. Jumlah obat yang diberikan harus selalu dievaluasi dengan seksama terutama bila zat aktif beraksi sangat kuat pada dosis kecil. Akhirnya, pengaruh formulasi dapat diperkirakan dengan membandingkan sediaan terhada[p suatu larutan air dengan catatan zat aktif dapat larut dalam air.e. Tahap Kelima (Tahap Akhir)

Diikuti dengan studi ketercampuran-obat dan stabilitas zat aktif dalam bentuk terpilih (larutan, serbuk, bentuk sediaan farmasi bertekanan dan lain-lain).

4. Pengaruh Formulasi Terhadap Ketersediaan Hayati AerosolPelarut yang sering digunakan dalam sediaan aerosol adalah

Air suling steril, didapar atau tidak, hal ini dapat mengubah sifat reologi mucus, mengubah aksi setempat.

Larutan NaCl isotonic atau larutan glucose isotonic untuk menghindari terjadinya atelektasis (pengerutan) seperti keadaan yang teramati pada pemberian larutan hipertonik

Selain itu dapat pula digunakan :

Air mineral yang mengandung Natrium atau sulfur (terutama air Uriage).

Beberapa minyak atsiri alam (terpentina, gomenol); pelarut tersebut merupakan pelarut yang dapat meningkatkan aksi bakteriostatik senyawa antibiotika.

Alcohol yang dengan cepat menguap dapat membagi partikel dan mengecilkan ukurannya.

Propylene glikol (seperti pelarut untuk penisilina, fenileprina dan isoproteronol

Kadang-kadang pada pelarut ditambahkan senyawa antioksidan untuk menstabilkan zat aktif yang banyak kontak dengan udara dan atau senyawa antiseptic untuk meniadakan pertumbuhan mikroba.

Untuk memperlambat proses penyerapan, penembusan partikel aerosol melintasi alveoli dan untuk memperpanjang efek setempat dapat digunakan pelarut senyawa:

Minyak tumbuhan untuk mengurangi efek sistemik yang merugikan atau tidak berguna Polivinilpirolidon Asam p-amiobenzoat

Sebaliknya untuk meningkatkan atau mempercepat penyerapan dapat ditambah bahan-bahan sebagai berikut:

Hialurozidase

Surfaktan

Untuk memperbaiki homogenitas aerosol polidispersi, ke dalam pelarut dapat ditambahkan bahan higroskopis seperti propilen glikol atau gliserin. Misel yang terjadi akan meningkatkan volume uap air yang mengembun di permukaan selama perjalanannya dalam saluran nafas dan peningkatan ini harus dipertimbangkan. Akhirnya untuk mengurangi iritasi bahan obat tertentu dapat ditambahkan novocaine, propylene glikol atau trietilen-glikol karena sifat bronkodilatasinya.

5. Evaluasi Ketersediaan Hayati Sediaan Per Inhalasi

Tujuan:

1) Efek sistemik: untuk memperkirakan aktivitas farmakologik atau terapetik, atau menentukan kadar obat dalam darah dan membandingkannya dengan kadar yang didapat dari cara pemberian intravena (bioavaiabilitas absolut) atau jika mungkin cara pemberian lainnya.

2) Efek lokal (setempat): untuk melaksanakan studi ketersediaan hayati relatif dengan membandingkan berbagai formulasi yang berbeda untuk memilih formula yang lebih aktif secara lokal, efeknya lebih lama, lebih spesifik, lebih cepat sebagai fungsi dari ukuran partikel yang harus sehomogen mungkin.

Yang mempengaruhi ketersediaan hayati sediaan aerosol:

1) Stabilitas fisiko-kimia dan stabilitas terapetik partikel aerosol.

2) Daerah depo dan perannya untuk menghasilkan efek terapeutik yang sesuai dan terukur.

3) Laju penyerapan, metabolisme dan atau pembersihan untuk menghindari efek sekunder.

4) Bahan tambahan dalam sediaan terhadap partikel.

5) Metode pembuatan.

Subjek:

1) Subjek hewan

Subjek kelinci dari suatu larutan feri klorida yang terbagi halus yang dapat diidentifikasi dalam bronkus kecil melalui reaksi kalium ferosianat membuktikan aktivitas bahan obat dalam sediaan aerosol.

Kelemahan: haruss hati-hati dalam menarik kesimpulan dan menghubungkannya dengan manusia karena perbedaan anatomi fisiologi antara hewwan dan manusia.

1. Subjek manusia

a. harus diuji keadaan subjek percobaan

b. sering timbul berbagai masalah, misalnya pengukuran sifat reologi lapisan mukosa normal yang selanjutnya berpengaruh pada protokol percobaan.

c. Hal-hal yang harus diperhaikan adalah:

1) Jumlah aerosol yang dihirup

2) Jumlah zat aktif yang terikat dan atau terserap

d. Jumlah aerosol yang dihirup dapat ditentukan dengan rumus:

C = P

W

C = konsentrasi per menit dalam volume udara

P = volume larutan pendispersi

V = debit udara pada waktu yang sama

e. Penentuan kadar secara kimia lebih akurat, tetapi partikel-partikel dijerat terlebih dahulu menggunakan barbotage, dalam wadah tertutup, dan dengan ruang elektrostatik.

f. Penentuan jumlah aerosol yang terikat atau terserap dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:

Pengukuran konsentrasi zat aktif dalam aerosol.

Studi radiologi pencacahan zat aktif yang kedap cahaya.

Evaluasi kadar obat dalam darah atau efek farmakologi.

Evaluasi perubahan sifat alir getah bronkus secara in vivo, atau lendir.

Model saluran nafas untuk mempertimbangkan pengaruh ukuran partikel terhadap nasib aerosol dalm tubuh:

kadar obat dalam darah

Konsentrasi aerosolLama kontak

depo penahanan pada pembersihan

Volume pernafasan

saluran nafas

/ epurasi

respon farmakologi

BAB III

PEMBAHASANParu-paru merupakan organ yang efisien untuk transportasi gas, daerah permukaan alveoli yang luas, tingginya permeabilitas sel epitel alveolar dan banyaknya persediaan darah yang memenuhi perfusi paru-paru memfasilitasi pertukaran antara darah dan udara segar. Karakteristik inilah yang memiliki peran penting dalam proses absorbsi obat dan menjamin penyerapan obat yang diberikan secara inhalasi. Keuntungan yang paling utama dari rute pemberian inhalasi ini adalah obat tidak mengalami proses metaboisme oleh hati, obat langsung diabsorbsi ke dalam peredaran darah atau sirkulasi sistemik. Anestesi gas atau dalam bentuk yang mudah menguap adalah contoh penting obat yang selalu diberikan dengan cara inhalasi. Inhalasi amyl nitrat dahulu banyak digunakan untuk mencegah serangan angina. Nikotin, morfin dan tetrahidrokanabinol sangatlah cepat diabsorbsi dari asap tembakau, opium atau marijuana yang diberikan secara inhalasi.

Sudah banyak penelitian menegenai absorbsi gas melalui paru-paru. Tetapi relatif sedikit yang membahas absorbsi pulmonary obat dalam bentuk padatan atau cairan. Informasi yang berguna telah tersedia dari serangkaian penelitian yang melibatkan peningkatan trakea perlahan dari larutan obat pada tikus percobaan. Penelitian-penelitian tersebut ditujukan untuk melihat berbagai persamaan antara penyerapan pada saluran gastrointestinal dan saluran pulmonary. Sebagian besar senyawa terlihat diabsorbsi secara difusi pasif melewati pori-pori membran lemak. Molekul besar yang bersifat polar seperti heparin lambat diabsorbsi. Absorbsi dari elektrolit lemah asam para amino salisilat, prokainamid, atau sulfixosazole tergantung pada funsi pH. Absorbsi dari molekul yang larut lemak sangatlah cepat.

Meskipun, pada prinsipnya kebanyakan obat yang diberikan melalui paru-paru ditujukan untuk efek sistemik, pada praktiknya, pemberian aerosol hanyalah sebatas obat-obatan yang mempengaruhi fungsi paru-paru. Mencakup adrenocorticoid steroid (beclomethasone), bronchodilator (epinefrin, isoproterenol, metaproterenol, atau albuterol) dan anti alergi (cromolyn).

Satu alasan untuk terbatasnya penggunaan aerosol secara inhalasi adalah rendahnya efisiensi bentuk sediaan yang berimbas pada pemberian obat ke dalam saluran pernapasan. Sejumlah besar dosis dari pemberian aerosol memberi efek samping pada mulut dan tengorokan karena lebih sering tertelan dibandingkan terhirup. Perubahan besar dapat teramati pada aktivitas obat mencapai cabang-cabang pulmonary. Oleh karena itu, walaupun absorbsi dapat terjadi dengan cepat melalui paru-paru, pemberian aerosol tidak dapat menjadi pilihan alternatif untuk sediaan injeksi intravena. Namun, rute pemberian ini merupakan yang terpenting dalam penggunaan obat pada kelainan saluran pernapasan.

Ada beberapa kontroversi tentang rute pemberian terbaik obat bronchodilator. Bronchodilator inhalasi dapat mencapai organ target secara langsung dan meminimalisir resiko pada efek sistemik. Di sisi lain, beberapa pendapat mengenai rute intravena , khususnya pada peningkatan obstruksi saluran pernapasan, karena penetrasi aerosol sangat terbatas. Beberapa penelitian komparatif telah membawa terapi aerosol menjadi paling utama. Beberpa penelitian baru memperlihatkan intravena dan inhalasi terbutaline memiliki keunggulan yang sama pada asma kronis, tetapi pemberian inalasi lebih dipilih karena dapat mencegah efek samping sistemik. Perbedaan antara dua rute pemberian tersebut hanyalah terjadinya peningkatan denyut nadi. Suatu efek yang sangat tidak diinginkan yang terjadi pada pemberian terbutalin secara intravena.

Rute pemberian aerosol lebih dipilih dibandingkan rute pemberian oral untuk obat-obat yang digunakan pada kelainan saluran pernapasan. Pada beberapa kasus, obat lebih baik diabsorbsi melalui paru-paru, dibandingkan saluran gastrointestinal. Pada kasus yang lain, efek lokal secara langsung pada tempat kerja obat menjadi kelemahan rute pemberian aerosol. Pengecualian terpenting yaitu teofilin, yang tidak pernah digunakan dalam bentuk aerosol, mungkin karena diperlukan dosis yang besar untuk digunakan sebagai bronchodilator. Teofil digunakan dalam berbagai dosis oral dan larutan intravena. Terbutaline juga hanya tersedia dalam bentuk oral dan injeksi di Amerika, sedangkan bentuk aerosol beredar di negara lain.

Ukuran partikel dari sediaan aerosol adalah dalam bentuk tetesan kecila atau partikulat, meskipun sulit untuk dikontrol, ini adalah faktor terpenting dari efikasi bentuk sediaan. Partikel ukuran besar (20m) akan berdampak pada mulut, tenggorokan, dan saluran pernapasan bagian atas. Partikel berukuran kecil (0,6m) berpenetrasi dengan efisien ke dalam perifer dan cabang pulmonary, itu berarti absorbsi berlangsung dengan cepat, tetapi total retensi sangatlah rendah dan fraksi obat dalam jumlah besar akan ikut terhembuskan.

Kondisi pasien sangat menentukan penetrasi obat aerosol ke dalam saluran pernapasan. Kekurangannya, efek bronchodilator aerosol pada pengobatan asma sangat bergantung pada kemampuan pasien dalam menghirup dibandingkan resistensi intrinsik pada obat.

Pengembangan cromolyn menjadi sediaan aerosol telah dilakukan dengan baik. Senyawa ini diindikasikan untuk profilaktik ada asma bronchial. Obat tersebut masuk ke dalam golongan antialergi dan absorbsinya pada saluran pencernaan sangatlah rendah. Hal tersebut ditunjukkan melalu percobaan pada hewan coba dan pada manusia sehat dimana 5-10% dosis pemberian terdeposit di paru-paru. Sedangkan penelitian pada pasien asma terlihat deposit yang lebih rendah.

Cromolyn diberikan dalam bentuk inhalasi yang didesain untuk pemberian obat sebegai serbuk aerosol ke dalam paru-paru mealalui saluran pernapasan. Obat untuk pemberian dengan cara inalasi memiliki rentang ukuran partikel antara 2 hingga 6m.

Cromolyn yang diberian secara inhalasi memiliki beberapa keuntungan yaitu pada pelepasan yang dimulai dengan nafas dalam sehingga dapat deroleh penetrasi yang baik di paru-paru. Pemakaian cromolyn padqa pasien asma anak-anak memperlihatkan aktivitas yang efektif dalam mengurangi gejala dan asupan bronkodilator. Uji klinik yang lain membandingkan efikasi dari isoproterenol dari gerakan nafas inhaler dan dari konvensional inhaler. Hasilnya memperlihatkan bahwa kedia alat tersebut memberi kemampuan yang sama dalam mengurangi bronchospasme, tapi ada penurunan dosis yang signifikan selama penggunaan gerakan nafas inhaler. Dapat disimpulkan bahwa bioavailabilitas lebih baik pada gerakan nafas inhaler. Namun, sediaan tersebut belum tentu ideal untuk semua pasien. Beberapa pasien mengalami iritasi pada penggunaan aerosol serbuk. Dan pada pasien anak-anak tidak mampu menggunakan alatnya dengan baik.

Tidak semua pasien mendapatkan terapi antialergi dan bronchodilator yang tepat dari aerosol dikarenakan tidak semua pasien mampu menggunakan alat inhalernya dengan baik knususnya pada penekannya dengan benar. Beberapa penelitian menunnjukkan banyaknya pasien yang memakai inhaler dengan cara yang salah. Maka diperlukan instrusi yang jelas untuk pemakaiannya. Sebab cara pemakaian akan menentukan efek terapeutik obat yang akan diperoleh.

BAB IV

PENUTUPI. Simpulan

Paru-paru merupakan organ yang efisien untuk transportasi gas, memiliki permukaan yang luas pada alveoli, permeabilitas yang tinggi pada sel-sel epitel alveolar, dan kaya akan suplai darah untuk memenuhi perfusi paru-paru yang memfasilitasi pertukaran antara darah dan udara yang kaya akan oksigen. Karakteristik tersebutlah yang memiliki peran penting dalam absorbsi obat dan menjamin efektivitas obat yang diberikan secara inhalasi. Ini merupakan keuntungan dari rute pemberian inhalasi, yaitu obat tidak mengalami metabolisme di hati sehingga obat dapat langsung di absorbsi dalam sirkulasi sistemik. Disamping itu rute pemberian inhalasi juga memiliki keuntungan karena tidak melalui saluran pencernaan sehingga tidak ada masalah pada saluran pencernaan. Tetapi rute pemberian dengan cara ini juga memiliki kekurangan, yaitu dosis pemberian dapat tidak seragam terutama jika digunakan oleh anak-anak karena pemberian dosis tergantung pada tekanan dari katup inhaler. Selain itu, penggunaan rute ini tergantung pada kemampuan pasien dalam menghirup aerosol, contohnya pada aerosol bronkodilator untuk pengobatan asma yang lebih tergantung pada kemampuan pasien dalam menghirup dibandingkan dengan resistensi intrinsik terhadap obat. II. Saran

1. Sebaiknya ukuran partikel dalam formulasi sediaan inhalasi perlu diperhatikan karena akan mempengaruhi penetrasi obat ke dalam sirkulasi sistemik.2. Dalam formulasi sediaan inhalasi harus memperhatikan beberapa pertimbangan unruk menjamin bioavailabilitas obat, diantaranya

Pertimbangan penderita Pertimbangan dosis

Pertimbangan frekuensi pemberian dosis

Pertimbangan terapetik

Efek samping pada saluran cernaDAFTAR PUSTAKA1. Aiache, J.M dan Guyot Hermann. Biofarmasetika 2 Biofarmasi Edisi Ke-2. Paris : Technique et Documentation 11.

2. Anonimus, aerosol dalam Google, http://irwanfarmasi.blogspot.com/2009/05/aerosolinhalasi-dan-obat-semprot_2326.html, diunduh 30 April 2013 pukul 17.40.

3. Anonimus, aerosol dalam Google, http://mfi.farmasi.ugm.ac.id/files/news/4._16-1-2005-RISWAKA.pdf, diunduh 30 April 2013 pukul 17.42.

4. Anonimus, aerosol dalam Google, http://izetie.wordpress.com/2012/03/23/bagaimanaobat-bekerja/, diunduh 30 April 2013 pukul 17.44.

5. Anonimus, aerosol dalam Google, http://rgmaisyah.files.wordpress.com/2010/06/tugasmakalah-ptf_aerosol_rgm.pdf, diunduh 30 April 2013 pukul 17.46.

6. Anonimus, biofarmasetika dalam Google, http://krissandygatez.blogspot.com/2012/05/farmakokinetik-absorpsi.html, diunduh 30 April 2013 pukul 17.48.7. Anonimus, biofarmasetika sediaan inhalasi dalam Google, http://onnalkosakoy.blogspot.com/2011/09/aspek-biofarmasetik-produk-obat.html, diunduh 1 Mei 2013 pukul 10.148. Farmakope Indonesia edisi IV.1995. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.9. Gibaldi, Milo. Biopharmaceutics and Clinical Pharmacokinetics Third Edition. Washington : University of Washington Seattle

10. Shargel L., dan Yu Andrew B.C., 2005.Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan.Airlangga University Press.

Partikel intra alveolar

Bagian yang tidak larut

Bagian yang terhidrolisis

Bagian ionik

Perlintasan melalui sekat

Fagositosis oleh makrofag

Perjalanan dalam cairan lapisan endo-alveoler

Perjalanan dalam darah atau getah bening

Melalui sekat setelsh fagositosis

Muncul lagi pada mukosilier