Biofarmasetika Word(3)

40
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi saluran pernafasan bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara maju maupun negara berkembang. Berdasarkan laporan WHO tahun 1999, infeksi saluran pernafasan bawah merupakan penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia. Di Indonesia sendiri, infeksi saluran pernafasan bawah merupakan penyebab kematian nomor 6 setelah penyakit kardiovaskuler, penyakit serebrovaskuler, keganasan, tuberkulosis, dan penyakit paru lainnya. Penyebab tersering infeksi saluran pernafasan bawah adalah bakteri, baik bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif. Untuk saat ini, penatalaksanaan infeksi saluran pernafasan bawah masih menggunakan metode empirik, biasanya dengan menggunakan antibiotik spectrum luas, Metode empirik rupanya digunakan untuk penatalaksanaan awal infeksi saluran pernafasan bawah karena infeksinya bersifat membahayakan nyawa akibat komplikasi yang ditimbulkannya, seperti gagal nafas, sepsis, efusi pleura, empisema, abses paru, dan pneumotoraks jika tidak segera ditangani. Selain itu mikroba yang berhasil diisolasi juga belum tentu sebagai penyakit infeksi saluran nafas bawah, juga

Transcript of Biofarmasetika Word(3)

Page 1: Biofarmasetika Word(3)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Infeksi saluran pernafasan bawah masih tetap merupakan masalah utama

dalam bidang kesehatan, baik di negara maju maupun negara berkembang.

Berdasarkan laporan WHO tahun 1999, infeksi saluran pernafasan bawah

merupakan penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia. Di

Indonesia sendiri, infeksi saluran pernafasan bawah merupakan penyebab

kematian nomor 6 setelah penyakit kardiovaskuler, penyakit serebrovaskuler,

keganasan, tuberkulosis, dan penyakit paru lainnya.

Penyebab tersering infeksi saluran pernafasan bawah adalah bakteri, baik

bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif. Untuk saat ini,

penatalaksanaan infeksi saluran pernafasan bawah masih menggunakan metode

empirik, biasanya dengan menggunakan antibiotik spectrum luas, Metode

empirik rupanya digunakan untuk penatalaksanaan awal infeksi saluran

pernafasan bawah karena infeksinya bersifat membahayakan nyawa akibat

komplikasi yang ditimbulkannya, seperti gagal nafas, sepsis, efusi pleura,

empisema, abses paru, dan pneumotoraks jika tidak segera ditangani. Selain itu

mikroba yang berhasil diisolasi juga belum tentu sebagai penyakit infeksi saluran

nafas bawah, juga diperlukan waktu yang cukup lama untuk mengkultur bakteri

yang berhasil diisolasi.

Menurut American Thoracic Society (ATS), terdapat beberapa antibiotik

yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan infeksi saluran nafas bawah,

diantaranya adalah sefalosporin, generasi ketiga. Saat ini, seftriaxon, salah satu

antibiotik sefalosporin generasi ketiga, masih dipakai untuk mengobati infeksi

saluran nafas bawah khususnya yang disebabkan oleh bakteri gram negative

karena aktivitasnya yang cukup kuat untuk melawan bakteri gram negatif. Akan

tetapi masih perlu dipertanyakan efektivitas dari penggunaan antibiotic tersebut.

Berdasarkan hasil uji resistensi bakteri saluran nafas bawah terhadap

beberapa antibiotik yang dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Klinik

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tahun 2000, terdapat 40% dari

Page 2: Biofarmasetika Word(3)

2

55 isolat, bakteri saluran nafas bawah resisten terhadap seftriaxon, 25%

intermediet, dan 35% sensitif, Pola kepekaan ini terus berubah setiap tahunnya.

Oleh karena itu, diperlukan penelitian yang dapat melaporkan pola kepekaan

bakteri terhadap beberapa antibiotik secara kontinu untuk meningkatkan

pelayanan kesehatan.

1.2. Tujuan

Untuk mengetahui perjalanan obat dalam tubuh pada pasien infeksi

saluran pernafasan bawah.

1.3. Masalah

Apakah perbedaan bentuk sediaan obat dapat mempengaruhi pengobatan

pada penyakit infeksi saluran pernafasan bawah.

Page 3: Biofarmasetika Word(3)

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi paru

Paru-paru adalah salah satu organ sistem pernapasan yang berada di dalam

kantong yang dibentuk oleh pleura pariestaslis dan pleura viseralis. Kedua paru-

paru sangat lunak, elastis, sifatnya ringan terapung di dalam air, dan berada dalam

rongga torak. Jika dibentangkan luas permukaannya ± 90 m2. Banyaknya

gelembung paru-paru. Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian

besar terdiri dari gelembung (gelembung hawa, alveoli). Gelembung alveoli

terdiri dari sel-sel epitel dan endotel kurang lebih 700 juta buah.

Bagian-bagian utama paru-paru adalah alveoli, trachea, diafragma,

bronchi, dan bronchioles. Trachea atau batang tenggorokan berupa pipa tempat

lalunya udara. Udara yang dihirup dari hidung dan mulut akan ditarik ke trachea

menuju paru-paru. Bronchi merupakan batang yang menghubungkan paru-paru

kanan dan kiri dengan trachea. Udara dari trachea akan di bawa keparu-paru lewat

batang ini. Bronchioles merupakan cabang-cabang dari bronchi berupa tabung-

tabung kecil yang jumlahnya sekitar 30.000 buah untuk satu paru-paru.

Bronchioles ini akan membawa oksigen lebih jauh ke dalam paru-paru. Alveoli

Page 4: Biofarmasetika Word(3)

4

merupakan ujung dari bronchioles yang jumlahnya sekitar 600 juta pada paru-paru

manusia dewasa. Pada aveoli ini oksigen akan didifusi menjadi karbondioksida

yang diambil dari dalam darah.

2.2. Bronhkitis kronis

2.2.1. Definisi

Bronkitis kronis adalah penyakit yang tidak spesifik pada orang dewasa.

Biasanya pasien akan melaporkan batuk dengan sputum hampir sepanjang hari

selama paling tidak 3 bulan berturutan setiap tahun selama 2 tahun berturutan.

(ISO Farmakoterapi, 2008)

2.2.2. Patofisiologi

Bronkitis kronis terjadi akibat dari beberapa faktor pendukung termasuk

merokok, terpapar debu, asap, polusi lingkungan, dan infeksi bakteri atau virus.

Pada bronkitis kronis, dinding bronkus menebal dan jumlah mukus yang

disekresi sel globet di permukaan epitel bronkus besar dan kecil meningkat nyata

(ISO Farmakoterapi, 2008).

Bronkitis kronis menyebabkan penyempitan saluran nafas. Penyempitan

ini dapat mengakibatkan obstruksi jalan nafas dan menimbulkan sesak. Pada

bronchitis kronis, saluran pernafasan kecil yang berdiameter kurang dari 2 mm

menjadi lebih sempit, berkelok-kelok, dan berobliterasi. Saluran nafas besar juga

menyempit karena hipertrofi dan hiperplasi kelenjar mukus (Kapita Selekta

Kedokteran, 2001)

2.2.3. Manifestasi klinis dan Diagnosis

1. Manifestasi klinis

1. Batuk

2. Sputum putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau

mukopurulen

3. Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernafasan tambahan untuk bernafas

Page 5: Biofarmasetika Word(3)

5

2. Diagnosis

1. Anamnesis : riwayat penyakit yang ditandai 3 gejala klinis di atas dan faktor-

faktor penyebab

2. Pemeriksaan fisik :

a. Pasien biasanya tampak kurus dengan barrel-shaped chest (diameter

anteroposterior dada meningkat

b. Fremitus taktil dada kurang atau tidak ada

c. Perkusi dada hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih

rendah, pekak jantung berkurang

d. Suara nafas berkurang dengan ekspirasi memanjang

3. Pemeriksaan radiologi

a. Foto toraks pada bronchitis kronik memperlihatkan tubular shadow

bayangan garis-garis yang parallel keluar dari hilus menuju apeks paru

dan corakan paru yang bertambah

b. Pada emfisema paru, foto toraks menunjukkan adanya overinflasi dengan

gambaran diafragma yang rendah dan datar, penciutan pembuluh darah

pulmonal, dan penambahan corakan ke distal

4. Pemeriksaan fungsi paru

5. Pemeriksaan gas darah

6. Pemeriksaan EKG

7. Pemeriksaan laboratorium darah: hitung sel darah putih

2.2.4. Pencegahan

1. Pencegahan : mencegah kebiasaan merokok, infeksi, dan polusi udara

2. Terapi eksaserbasi akut digunakan antibiotik karena biasanya disertai

infeksi

3. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena

hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2

4. Fisioterapi membantu mengeluarkan sputum

5. Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan nafas

Page 6: Biofarmasetika Word(3)

6

2.2.5. Terapi

Tujuan dari terapi adalah untuk mengurangi keparahan gejala dan

menghilangkan kekambuhan akut mencapai perpanjangan interval yang bebas

infeksi.

Terapi farmakologi

Pada eksaserbasi akut pemberian bronkodilator oral atau aerosol seperti

albuterol aerosol

Untuk pasien yang secara konsisten tetap menunjukkan keterbatasan

dalam masuknya udara pernafasan, perubahan terapi bronkodilator harus

dipertimbangkan

Penggunaan antibiotic masih diperdebatkan, walaupun penting. Pemilihan

antibiotik sesuai dengan pathogen, resiko interaksi rendah, dan tidak

menimbulkan masalah kepatuhan.

Pemilihan antibiotik harus mempertimbangkan resistensi pathogen

terhadap penisilin yaitu H. influenza 30-40%, M. peneumoniae penghasil

B laktamase 95% dan S. pneumonia 30%. Ampisilin sering

dipertimbangkan sebagai pilihan untuk bronchitis kronis eksaserbasi akut,

tetapi regimen dosis dan resisten terhadap betalaktamase membatasi

keamanan dan cost-ffectiveness

Bila mikoplasma terlibat dalam infeksi, penggunaan makrolid masih

diragukan. Azitromisin dapat dipertimbangkan sebagai pilihan untuk kasus

mikoplasma.

Fluorokuinolon antibiotic alternative yang efektif untuk dewasa terutama

bila pathogen adalah gram atau untuk pasien yang parah. Beberapa S.

penumonii resisten terhadap fluorokuinolon yang generasi yang lebih baru

seperti gatifloksasin

Pada pasien yang mempunyai riwayat kekambuhan oleh faktor pencetus

kejadian tertentu seperti musim dingin, percobaan profilaksis antibiotic

mungkin bermanfaat. Bila tidak ada perbaikan secara klinik, selama

periode yang sesuai misalnya 2-3 bulan/tahun, terapi profilaksis dapat

dihentikan

Page 7: Biofarmasetika Word(3)

7

Antibiotik yang umum digunakan dengan durasi 10-14 hari

2.3. Bronkhitis akut

2.3.1. Definisi

Bronkhitis adalah suatu peradangan pada cabang tenggorok (bronchus/

saluran udara ke paru-paru) tidak termasuk alveoli, yang umumnya berhubungan

dengan infeksi pernafasan umum. Penyakit ini biasanya bersifat ringan dan pada

akhirnya akan sembuh sempurna, tetapi pada penderita yang memiliki penyakit

menahun (misalnya penyakit jantung atau penyakit paru-paru) dan pada usia

lanjut, bronchitis bisa bersifat serius. Bronkhitis akut terutama terjadi selama

musim dingin. Faktor pencetusnya adalah: Cuaca dingin, lembab, dan banyaknya

zat pengiritasi seperti polusi udara, asap rokok (ISO Farmakoterapi, 2008)

.

2.3.2.Patofisiologi

Penyebab utamanya adalah virus, terutama virus common cold, rhinovirus, coronavirus, virus pathogen pada saluran pernafasan bawah seperti virus influenza, adenovirus, respiratory virus, syncytial virus. Patogen penyebab lainnya adalah : Mycoplasma pneumonia, Chlamydia pneumoniae, Bordetella pertussis. Infeksi pernafasan akut mungkin berkaitan dengan peningkatan hipersensivitas saluran pernafasan dan mungkin terjadi menjadi pathogenesis penyakit paru kronis obstruktif (ISO Farmakoterapi, 2008)

Serangan bronchitis berulang bisa terjadi pada perokok dan penderita

penyakit paru-paru dan saluran pernafasan menahun. Infeksi berulang bisa

merupakan akibat dari : Sinusitis kronis, bronkiektasis, alergi, dan pembesaran

amandel dan adenoid pada anak-anak. Bronkhitis iritatif bias disebabkan oleh :

Berbagai jenis debu, asap dari asam kuat, ammonia, beberapa pelarut organic,

klorin, hydrogen sulfide, sulfur dioksida dan bromine, polusi udara yang

menyebabkan iritasi ozon dan nitrogen dioksida, tembakau dan rokok lainnya.

Infeksi brpnkus dan trakea menyebabkan membrane mukosa udem dan

merah serta peningkatan sekresi bronkus. Kerusakan epitel saluran pernafasan

dapat bervariasi dari ringan-berat dan dapat berpengaruh pada fungsi mukosiliari

bronkus. Selain itu peningkatan sekresi bronchial yang kental dan lengket akan

mengganggu aktivitas mukosiliari (ISO Farmakoterapi, 2008)

Page 8: Biofarmasetika Word(3)

8

Infeksi saluran pernafasan akut mungkin berkaitan dengan peningkatan

hiperreaktivitas saluran pernafasan dan mungkin menjadi pathogenesis penyakit

paru kronis obstruktif (ISO Farmakoterapi, 2008)

2.3.3. Manifestasi klinis dan diagnosis

Bronkitis adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri dan jarang

menyebabkan kematian. Bronkitis akut biasanya diawali dengan infeksi saluran

pernafasan atas. Pasien mengalami gejala yang tidak spesifik seperti tidak enak

badan dan sakit kepala, ingusan, dan sakit leher (ISO Farmakoterapi, 2008)

Batuk adalah penanda bronchitis akut yang terjadi awal dan akan menetap

walaupun keluhan nasal dan nasofaring menghilang. Seringkali, awalnya, batuk

nonproduktif tapi berkembang menghasilkan sputum yang mukopurulen. (ISO

Farmakoterapi, 2008)

Pemeriksaan dada menunjukkan adanya ronki dan bunyi tidak normal

bilateral (rale moist bilateral). Foto sinar X menunjukkan hasil normal. Kultur

bakteri sputum umumnya digunakan secara terbatas karena ketidakmampuan

untuk meniadakan flora normal nasofaring dengan teknik sampling (ISO

Farmakoterapi, 2008)

Uji deteksi virus dapat digunakan bila diagnose spesifik dibutuhkan.

Kultur atau diagnose serologi M. pneumonia dan kultur atau deteksi Ab langsung

secara fluororescensi untuk B. pertusis seharusnya dilakukan pada kasus berat dan

lama bila perkiraan epidemiologi menunjukkan keterlibatan pathogen tersebut

(ISO Farmakoterapi, 2008)

2.3.4. Terapi Farmakologi

Tujuan terapi untuk membuat pasien nyaman dan pada kasus berat untuk

mengobati dehidrasi dan gangguan respirasi.

Terapi simtomatis dan suportif. Antipiretik tunggal seringkali cukup .

Istrirahat dan analgetik-antipiretik lemah sering dapat mengatasi keluhan

lemah dan demam. Aspirin atau paracetamol (650 mg untuk dewasa dan

atau 10-15 mg/kgbb/dosis pada anak dengan dosis harian maksimum

dewasa 4 g dan anak 60 mg/kg)

Page 9: Biofarmasetika Word(3)

9

Atau gunakan ibuprofen 200-800 mg pada dewasa, anak 10 mg/kg. Dosis

maksimum dewasa 3,2 g dan 40 mg/kg/dosis pada anak. Berikan setiap 4-

6 jam.

Pasien dianjurkan untuk minum cairan untuk mencegah dehidrasi dan

kemungkinan penurunan sekresi respirasi dan kekentalan mucus. Pada

anak pemberian aspirin harus dihindari karena adanya hubungan antara

penggunaan aspirin dengan munculnya sindroma Reye. Paracetamol lebih

dianjurkan

Terapi embun dan atau penggunaan uap dapat mengencerkan secret. Batuk

ringan yang menetap yang mengganggu dapat diterapi dengan

dextromethorpan, terapi batuk yang lebih berat mungkin membutuhkan

kodein atau obat yang sejenis.

Penggunaan antibiotic tidak dianjurkan, tetapi pada pasien dengan demam

menetap dan gejala pernafasan lebih dari 4-6 hari, kemungkinan adanya

infeksi bakteri harus dicurigai

Bila mungkin terapi antibiotic ditujukan terhadap pathogen yang

diantisipasi (misalnya Streptococcus peneumoniae dan Haemophilus

influenza) dan atau bakteri yang dominan tumbuh pada kultur

kerongkongan

M. pneumoniae bila dicurigai atau positif agglutinin dingin (titer ≥ 1:32)

atau dipastikan oleh kultur/serologi. Terapi dengan eritromisin atau

analognya (klaritromisin atau azitromisin). Fluorokuinolon juga

menunjukkan aktivitas terhadap pathogen tersebut (misalnya gatifloksasin

atau levofloksasin dosis tinggi) dan dapat digunakan pada orang dewasa.

Selama epidemic yang melibatkan virus influenza A, Amantadin atau

Rimantadin mungkin efektif untuk meminimkan gejala-gejala terkait bila

diberikan di awal penyakit.

2.4. Bronkhiolitis

2.4.1. Definisi

Bronchiolitis adalah suatu peradangan pada bronchiolus yang disebabkan

oleh Virus. ( suriadi & Rita, 2006: 135 )

Page 10: Biofarmasetika Word(3)

10

Bronchiolitis adalah penyakit obstruktif akibat inflamasi akut pada saluran

nafas kecil (bronkiolus), terjadi pada anak berusia kurang dari 2 tahun dengan

insidens tertinggi sekitar usia 6 bulan.( Mansjoer, arif, 2000: 468 )

Bronchiolitis merupakan suatu inflamasi infeksi virus pada bronkiolus,

yang menyebabkan obstruktif akut jalan nafas dan penurunan pertukaran gas

dalam alveoli. ( CPD_ContinuingProfessionalDevelopmentDokterIndonesia,

diunduh: Kamis, 25 April 2013 )

Bronkiolitis adalah peradangan pada bronkiolus, ditandai dengan adanya

penyempitan jalan nafas sekunder karena penumpukan sel-sel radang. Bronkiolitis

merupakan penyakit paru yanghanya diderita anak umur kurang dari 2 tahun

(tersering adalah 6 bulan-2 tahun), karena diameterbronkiolus yang relatif masih

kecil, sehingga peradangan sedikit saja dapat menimbulkan sesak nafas. Penyebab

utamanya adalah infeksi oleh RSV (Respiratory Syncitial Virus)

.Pemeriksaan fisik pada bronkiolitis serupa pada asma bronkiale, karena

patofisiologinyahampir mirip, yaitu adanya penyempitan saluran nafas. Bedanya

dengan asma adalah bahwabronkiolitis tidak berespon terhadap pemberian

inhalasi beta agonis atau adrenalin

2.4.2. Etiologi

Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV),

60–90% dari kasus, dan sisanya disebabkan oleh virus Parainfluenzae tipe 1,2,

dan 3, Influenzae B, Adenovirus tipe 1,2, dan 5, atau Mycoplasma. RSV adalah

penyebab utama bronkiolitis dan merupakan satu-satunya penyebab yang dapat

menimbulkan epidemi. Hayden dkk (2004) mendapatkan bahwa infeksi RSV

menyebabkan bronkiolitis sebanyak 45%-90% dan menyebabkan pneumonia

sebanyak 40%. ( Mansjoer, Arif. 2000 :468)

Parainfluenza virus (PIV) 3 menyebabkan sekitar 25-50% kasus,

sedangkan PIV tipe 1 dan 2, adenovirus tipe 1,2 dan 5, rinovirus, virus influenza,

enterovirus, herpes simplex virus, dan Mycoplasma pneumonia masing-masing

menyebabkan sedikit kasus (< 25%).

Pada daerah yang penduduknya padat insiden bronkiolitis oleh RSV

terbanyak pada usia 2 bulan. Makin muda umur bayi menderita bronkiolitis

Page 11: Biofarmasetika Word(3)

11

biasanya akan makin berat penyakitnya. Bayi yang menderita bronkiolitis berat

mungkin terjadi oleh karena kadar antibodi maternal yang rendah.

Insiden infeksi Respiratory Syncitial Virus (RSV) sama pada laki-laki dan

wanita, namun bronkiolitis berat lebih sering terjadi pada laki-laki. Faktor resiko

terjadinya bronkiolitis adalah jenis kelamin laki-laki, status ekonomi rendah,

jumlah anggota keluarga yang besar, perokok pasif, rendahnya antibodi maternal

terhadap RSV, dan bayi yang tidak mendapatkan air susu ibu (ASI) (Razi

maulana, 2011)

2.4.3. Patofisiologi

 Infeksi pernafasan atas oleh Respiratory Synctial Virus ( RSV ) Edema

secret atau lender, debris seluller menghambat bronkiolus Bronkiolus konstriksi

selama ekspirasi, dan menyebabkan hyperinflasi pada paru  Terjadi atelektasis

karena obstruksi komplit dan udara tidak teraborbsi  Pertukaran gas terganggu

atau abnormal  Hypoxemia Terjadi asidosis metabolic dan alkalosis respiratorik

ringan.

Terjadinya hyperinflasi pada paru merupakan akibat dari udara yang tidak

terabsorbsi oleh karena terjadi konstriksi pada bronkiolus selama ekspirasi.

Dengan mekanisme terjadinya konstriksi dimana udara tidak dapat diabsorbsi

maka akan terjadinya atelektasis. ( Mansjoer,arif. 2000: 35).

2.4.4. Manifestasi Klinik

a. Tanda dan Gejala

Diawali dengan gelisah, demam rendah, batuk, ingusan

Gejala berkembang; muntah, diare, pernafasan berbunyi, peningkatan

laju pernafasan. Pernafasan lambat dan sulit dengan dada tertarik,

hidung memerah

Pemeriksaan fisik yaitu takikardi, laju pernafasan 40-80/menit pada bayi di

RS. Pernafasan berbunyi, konjuntivitas ringan pada sepertiga pasien, otitis media

pada 5-10% pasien.

Page 12: Biofarmasetika Word(3)

12

Pemerkisaan laboratorium yaitu:

Sel darah putih perifer normal atau sedikit meningkat. Gas darah arteri:

hipoksemia dan hipercarbia/hiperkapnia (jarang). Sering terjadi dehidrasi

karena intake cairan kurang pada penderita yang batuk, demam, mual

muntah

Diagnosa terutama berdasarkan pada penemuan klinik dan riwayat. Isolasi

patogen akan menegakkan diagnosa dugaan

Mula-mula bayi menderita gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang

encer dan bersin. Gejala ini berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai

demam dan nafsu makan berkurang. Kemudian timbul distres nafas yang ditandai

oleh batuk paroksismal, wheezing, sesak napas. Bayi-bayi akan menjadi rewel,

muntah serta sulit makan dan minum. Bronkiolitis biasanya terjadi setelah kontak

dengan orang dewasa atau anak besar yang menderita infeksi saluran nafas atas

yang ringan. Bayi mengalami demam ringan atau tidak demam sama sekali dan

bahkan ada yang mengalami hipotermi. (breathebetter.blogspot.com, diunduh:

kamis, 25 April 2013 )

Terjadi distres nafas dengan frekuensi nafas lebih dari 60 kali per menit,

kadang-kadang disertai sianosis, nadi juga biasanya meningkat. Terdapat nafas

cuping hidung, penggunaan otot bantu pernafasan dan retraksi. Retraksi biasanya

tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru).

Terdapat ekspirasi yang memanjang , wheezing yang dapat terdengar dengan

ataupun tanpa stetoskop, serta terdapat crackles. Hepar dan lien teraba akibat

pendorongan diafragma karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi. Sering terjadi

hipoksia dengan saturasi oksigen <92% pada udara kamar. Pada beberapa pasien

dengan bronkiolitis didapatkan konjungtivitis ringan, otitis media serta faringitis.

Ada bentuk kronis bronkiolitis, biasanya disebabkan oleh karena adenovirus atau

inhalasi zat toksis (hydrochloric, nitric acids ,sulfur dioxide). ( Mansjoer,arif.

2000: 468 ).

2.4.5. Terapi

Page 13: Biofarmasetika Word(3)

13

Bronkhiolitis adalah penyakit yang sembuh sendiri dan umumnya tidak

memerlukan terapi, selain menghilangkan kecemasan dan antipiretik,

kecuali bila bayi hipoksia atau dehidrasi

Pada kasus berat, terapi pilihan adalah terapi oksigen dan cairan IV

Terapi beta adrenergic aerosol nampaknya bermanfaat sedikit untuk

sebagian besar pasien tetapi mungkin berguna pada anak dengan

predisposisi yang mengarah ke bronkospasme

Karena bakteri bukan penyebab utama maka antibiotik secara rutin

sebaiknya tidak diberikan. Tetapi sering dokter memberikan di awal

karena penemuan klinik dan radiologi sering menunjukkan kemungkinan

pneumonia bakteri

Ribavirin dapat dipertimbangkan pada pasien yang menderita penyakit

paru atau jantung dengan infeksi akut. Penggunaan obat ini membutuhkan

peralatan khusus, generator aerosol partikel kecil dan pelaksana terlatih

2.4.6. Pencegahan

Tidak ada vaksin untuk mencegah terjadinya infeksi RSV ( Respiratory

Syncytial Virus). Tapi bila kita bertindak secara rasional dan berhati-hati, kita

dapat mencegah tersebarnya infeksi virus ini

Sering-sering mencuci tangan. Lakukan hal tersebut terutama sebelum

menyentuh anak, dan ajarkan pada anak-anak pentingnya mencuci tangan.

Hindari paparan terhadap infeksi RSV. Batasi kontak antara bayi dengan

orang-orang yang sedang mengalami demam dan selesma.

Jagalah kebersihan. Pastikan agar rak-rak selalu dalam keadaan bersih

terutama rak yang terdapat di dapur dan kamar mandi, terutama bila ada

anggota keluarga yang sedang selesma. Segera buang tisu bekas pakai.

Jangan menggunakan gelas yang sudah digunakan oleh orang lain.

Gunakan gelas sendiri atau gunakan gelas sekali pakai bila anda atau

orang lain sedang sakit.

Jangan merokok. Bayi yang terkena paparan tembakau memiliki resiko

lebih tinggi terkena infeksi RSV dan berpotensi lebih besar terkena gejala

yang lebih parah.

Page 14: Biofarmasetika Word(3)

14

2.4.7. Obat-obat Infeksi saluran pernafasan bawah

1. Antibiotik

a. Makrolid

Aktivitasnya sangat baik terhadap Chlamydia. Kadar azitromycin yang

tercapai dalam serum setelah pemberian oral relative rendah, tetapi

kadar di jaringan dan sel fagosit sangat tinggi.Obat yang dilepaskan

perlahan-lahan sehingga dapat diperoleh masa paruh eliminasi sekitar

3 hari. Dengan demikian, obat cukup diberikan sekali sehari dan lama

pengobatan dapat dikurangi. Absorpsinya berlangsung cepat, namun

terganggu bila diberikan bersama dengan makanan. Obat ini tidak

menghambat sitokrom P-450 sehingga praktis tidak menimbulkan

masalah interaksi obat.

Dosis azitromycin untuk dewasa 1x 500 mg/hari selama 3 hari

sedangkan untuk anak-anak 10 mg/kgBB/hari, sekali sehari selama 3

hari.

Eritromisin efektif terhadap kokus Gram-positif, seperti S.pyogenes

dan S.pneumoniae.

Basa eritromisin diserap baik oleh usus kecil bagian atas;

aktivitasnya menurun karena obat dirusak oleh lambung. Untuk

mencegah pengrusakan oleh asam lambung, basa eritromisin diberi

selaput yang tahan asam atau digunakan dalam ester stearat atau

etilsuksinat. Adanya makanan juga menghambat penyerapan

eritromisin.

Hanya 2-5% eritromisin yang dieksresi dalam bentuk aktif melalui

urin. Eritromisin mengalami pemekatan dalam jaringan hati. Kadar

obat aktif dalam cairan empedu dapat melebihi 100x kadar yang

tercapai dalam darah. Masa paruh eliminasi eritromisin adalah sekitar

1,5 jam. Dalam keadaan insufisiensi ginjal tidak diperlukan modifikasi

dosis. Obat ini diekskresi terutama melalui hati. Dialisis peritoneal dan

hemodialisis tidak dapat mengeluarkan eritromisin dari tubuh.

Page 15: Biofarmasetika Word(3)

15

b. Amoxicillin dan Ampicillin

Mekanisme kerja antibiotik betalaktam adalah :

Obat bergabung dengan penicillin-binding protein (PBPs) pada

kuman

Terjadi hambatan sintesis dinding sel kuman karena proses

tranpeptidasi antar ratai peptidoglikan terganggu

Terjadi aktivasi enzim proteolitik pada dinding sel

Jumlah ampicillin pada pemberian oral dipengaruhi besarnya dosis dan

ada tidaknya makanan dalam saluran cerna. Dengan dosis lebih kecil

persentase yang diabsorpsi relative lebih besar

Absorpsi ampicillin oral akan dihambat dengan adanya makanan

dalam saluran cerna. Perbedaan absorpsi ampisilin bentuk trihidrat dan

bentuk anhidrat tidak memberikan perbedaan bermakna dalam

penggunaan di klinik (Rianto Setiabudy, 2007)

Absorpsi amoksisilin di saluran cerna jauh lebih baik daripada

ampisilin. Dengan dosis oral yang sama, amoksisilin mencapai kadar

dalam darah yang tingginya kira-kira 2 kali lebih tinggi daripada yang

dicapai oleh ampisilin, sedang waktu paruh eliminasi kedua obat ini

hamper sama. Penyerapan ampisilin terhambat oleh adanya makanan

di lambung, sedangkan amoksisilin tidak.

Ampisilin didistribusikan luas di dalam tubuh dan peningkatannya

oleh protein plasma hanya 20%. Ampisilin yang masuk ke dalam

empedu mengalami sirkulasi enterohepatik, tetapi yang diekskresi

bersama tinja jumlahnya cukup tinggi. Pada bronchitis atau

pneumonia, ampisilin disekresi ke dalam sputum sekitar 10% kadar

serum. Bila diberikan sesaat sebelum persalinan, dalam satu jam kadar

obat dalam darah fetus menyamai kadar obat dalam darah ibunya. Pada

bayi premature dan neonates, pemberian ampisilin menghasilkan kadar

dalam darah yang lebih tinggi dan bertahan lebih lama dalam darah

(Rianto Setiabudy, 2007)

Distribusi amoksisilin secara garis besar sama dengan ampisilin.

Page 16: Biofarmasetika Word(3)

16

Biotransformasi golongan penisilin umumnya dilakukan oleh

mikroba berdasarkan pengaruh enzim penisilinase dan amidase. Proses

biotransformasi oleh hospes tidak bermakna. Akibat pengaruh

penisilinase terjadi pemecahan cincin betalaktam, dengan kehilangan

seluruh aktivitas antimikroba. Amidase memecah rantai samping,

dengan akibat penurunan potensi mikroba.

Ekskresi umumnya melalui proses sekresi tubuli ginjal yang dapat

dihambat oleh probenesid. Masa paruh eliminasi dalam darah

diperpanjang oleh probenesid menjadi 2-3 kali lebih lama.

c. Fluorokuinolon

Fluorokuinolon bekerja dengan mekanisme yang sama yang sama

dengan kelompok kuinolon terdahulu. Fluorokuinolon baru

menghambat topoisomerase II (= DNA girase) dan IV pada kuman.

Enzim topoisomerase II berfungsi menimbulkan relaksasi pada DNA

yang mengalami positive supercoiling (pilinan positif yang berlebihan)

pada waktu transkripsi dalam proses replikasi DNA. Topoisomerase

IV berfungsi dalam pemisahan DNA baru yang terbentuk setelah

proses replikasi DNA kuman selesai (Rianto Setiabudy, 2007)

Bioavailabilitas pada pemberian per oral sama dengan pemberian

parenteral. Penyerapan siprofloksasin dan mungkin juga

fluorokuinolon lainnya terhambat bila diberikan bersama antasida.

Fluorokuinolon hanya sedikit terikat dengan protein. Golongan obat ini

didistribusi dengan baik pada berbagai organ tubuh. Dalam urin semua

fluorokuinolon mencapai kadar yang melampaui Kadar Hambat

Minimal untuk kebanyakan kuman pathogen selama minimal 12 jam.

Masa paruh eliminasi panjang sehingga obat cukup diberikan 2 kali

sehari. Kebanyakan fluorokuinolon dimetabolisme di hati dan

diekskresikan melalui ginjal. Sebagian kecil obat akan dikeluarkan

melalui empedu.

Secara umum, efektivitas fluorokuinolon generasi pertama

(siprofloksasin, ofloksasin, enoksasin) untuk infeksi bakteri saluran

nafas bawah adalah cukup baik. Kuinolon baru (gatifloksasin,

Page 17: Biofarmasetika Word(3)

17

moksifloksasin dan gemifloksasin) dan levofloksasin mempunyai daya

antibakteri yang cukup baik terhadap kuman Gram positif, Gram

negative, dan kuman atipik penyebab infeksi saluran nafas bawah.

2. Analgetik dan antipiretik

Paracetamol merupakan obat untuk menghilangkan atau mengurangi

nyeri ringan sampai sedang. Dan mempunyai efek menurunkan suhu tubuh

dengan mekanisme yang diduga berdasarkan efek sentral seperti salisilat.

Paracetamolmerupakan penghambat biosintesis PG yang lemah. Efek

iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada obat ini, demikian

juga gangguan pernafasan dan keseimbangan asam basa (sulistia Gan,

2007).

Paracetamol diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna.

Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu 0,5 jam dan masa

paruh plasma dicapai antara 1-3 jam. Dalam plasma 25% paracetamol

terikat dengan protein plasma. Obat ini mengalami hidroksilasi. Metabolit

hasil hidroksilasi ini dapat menimbulkan methemoglobinemia dan

hemolisis eritrosit. Obat ini diekskresi melalui ginjal, sebagian kecil

sebagai paracetamol (3%) dan sebagian besar dalam bentuk terkonyugasi.

3. Antitusif dan ekspektoran

Dextrometorfan merupakan antitusif non narkotika. Obat ini diabsorpsi

dengan cepat dengan presentase ikatan protein dan waktu paruh belum

diketahui. Dextrometorfan di metabolism di hati dan diekskresi melaui

urin. Depresi SSO meningkat bila ditelan bersama dengan alcohol,

narkotik, sedative-hipnotik, barbiturate atau antidepresi.

Onset kerja dextrometorfan relative cepat yaitu 15-30 menit dan lama

kerjanya adalah 3-6 jam.

Ekspektoran adalah melunakkan secret bronkus sehingga dapat

dihilangkan dengan batuk. Obat ini dapat dipakai dengan atau tanpa agen

farmakologi lain. Ekspektoran yang sering digunakan adalah glyceril

guaiacolat atau guaiafenesin. Ekspektoran lain adalah ambroxol yang

berikatan dengan protein plasma sebanyak 90% dan waktu paruh 9 jam

dalam bentuk metabolit aktif.

Page 18: Biofarmasetika Word(3)

18

4. Bronkhospasmolitik

β2 simpatomimetik dengan merangsang reseptor β₂ akan menyebabkan

relaksasi otot bronkus dan dengan demikian menanggulangi

bronkhospasmus. Senyawa ini merangsang gerakan flimer silia sehingga

bersihan mucus silier meningkat.

Teofilin demikian juga garamnya dengan basa organik yang larut air,

misalnya etilendiamin (aminofilin , euphyllin) seperti pada beta

simpatomimetik merupakan bronkhospasma kuat. Harus diperhatikan

bahwa indeks terapeutik relative kecil, yang pada kadar plasma yang

tinggi menimbulkan efek samping yang berat. Kadar plasma terapeutik

yang baik terletak antara 10 dan 20 µg/ml. Untuk profilaksis digunakan

preparat teofilin dalam bentuk retard. Dengan cara ini tidak hanya kerja

obat diperpanjang, tetapi munculnya kadar puncak dalam plasma yang

tidak diinginkan akan terhindarkan.

Page 19: Biofarmasetika Word(3)

19

BAB III

PEMBAHASAN

Berikut adalah kasus bronchitis kronis dan bronkiolitis yang dapat dilihat

dari data tabel berikut ini:

Kasus 1

  Keluhan/tindakan awal Pemeriksaan penunjang TerapiBronkitis kronis Batuk, sesak, suhu  EKG : sinus takikardi O₂  2 lt/menit(Tn Udin  78 thn) suhu badan 37⁰, kurang Lab :

Infus RL 20 tts/menit

  tidur, lemas, cepat capekHb                   : 15,9 g/dl (11,6-16,3) Inhalasi :

 tekanan darah 135/75 mmHg Leukosit        : 6200/mm3

(combivent & ventolin)

  denyut nadi 84x/menit Hematokrit  : 45.0 % (35-45 Terapi Injeksi :    Eritrosit :5,34 juta/mm³ ceftriaxon, methil

    Trombosit     : 180.000 U/Lprednisolon, aminop-

    Basofil            : 0,2 % (0-2) ylin injeksi    GDS                  : 148 mg/dl      Rontgen thorax COR normal,       gambaran bronkitis kronis  

Kasus 2

Bronkhiolitisbatuk, berkeringat, demam, X-ray, pemberian oksigen 

Paracetamol drop,

(An. Sari (5 bulan) pucat, nafsu makan kurang,  

cetirizin drop, vitamin 

  gelisah  drop, ambroxol drop

                     

Kasus 3        Bronchitis akut batuk, sesak Rontgent Levofloxacin 500, 

Tn F (38 thn) BB  : 67 kg  teofillin, seretide disk

  TB  : 162 cm  salbutamol, ambroxol

  TD  : 159/97 mm Hg      Nadi : 101 x/menit    

Page 20: Biofarmasetika Word(3)

20

Kasus 1

Pasien mendapat combivent udv yaitu terdiri dari ipratropium bromide dan

salbutamol. Ipratropium bromide adalah suatu antikolinergik (parasimpatolitik)

yang akan menghambat refleks vagal dengan cara mengantagonis kerja

asetilkolin. Pada pemberian inhalasi ipratropium bromide tidak mempengaruhi

kekentalan, produksi, maupun pembersihan mucus. Obat ini bermanfaat untuk

penyakit saluran pernafasan walaupun efektivitasnya sebagai bronkodilator tidak

sekuat β-agonis. Untuk bronchitis kronis, ipratropium bromide lebih efektif

daripada β-2 agonis dan sebagai pilihan utama. Obat ini juga tidak diserap

sehingga jarang menimbulkan efek samping sistemik.

Efek obat mencapai puncaknya antara 1-2 jam setelah pemberian inhalasi

dan bertahan selama 3-5 jam. Toleransi tidak terjadi dalam pemakaian sampai 5

tahun.

Pasien mendapat kortikosteroid yaitu metil prednisolon, meskipun tidak

secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Tetapi sebagai anti inflamasi obat

ini bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat

peningkatan basofil, eosinofil, dan leukosit lain di jaringan paru dan menurunkan

permeabilitas vascular, sehingga saat ini kortikosteroid adalah obat paling efektif

untuk penyakit saluran nafas.

Biotransformasi steroid terjadi di dalam dan di luar hati. Metabolitnya

merupakan senyawa inaktif atau berpotensi rendah. Setelah penyuntikkan IV

steroid radioaktif sebagian besar dalam waktu 72 jam dieksresi dalam urin,

sedangkan di feses dan empedu hampir tidak ada. Pada kasus bronchitis kronis,

glukokortikoid dosis besar diberikan metil prednisolon 60-100 mg setiap 6 jam

dapat diberikan secara IV. Bila gejala mereda dapat diikuti pemberian prednisone

oral 40-60 mg/hari.

Pemberian antibiotik ceftriaxon pada pasien tersebut diperlukan karena

bronchitis kronis disebabkan oleh bakteri. Ceftriakson merupakan sefalosporin

generasi ketiga yang aktif terhadap bakteri gram positif, tetapi kurang aktif

dibandingkan dengan generasi pertama. Ceftriakson diberikan secara IM atau IV.

Obat ini melewati sawar darah uri, mencapai kadar tinggi di cairan synovial dan

cairan pericardium. Pada pemberian sistemik, kadar obat di cairan mata relative

Page 21: Biofarmasetika Word(3)

21

tinggi, tetapi tidak mencapai vitreus. Kadar ceftriaxon dalam empedu cukup

tinggi. Ceftriaxon diekskresi dalam bentuk utuh melalui ginjal. Ceftriaxon

mempunyai ikatan dengan protein 83-96%, waktu paruh dalam plasma adalah 8

jam sedangkan ekskresi dalam urin sebesar 60-80%.

Kasus 2

Pada kasus kedua yaitu kasus bronchiolitis, dimana pasien mengalami

gejala batuk, pilek dan penurunan nafsu makan. Obat-obat yang diberikan

meliputi cetirizin, paracetamol, vitamin dan ambroxol.

Paracetamol adalah suatu analgetik dan antipiretik derivate para amino

fenol. Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen. Efek analgetik

paracetamol serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri

ringan sampai sedang yang dapat menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme

berdasarkan efek sentral seperti salisilat.

Paracetamol diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna.

Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa paruh

plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh. Obat ini

dimetabolisme di hati oleh enzim mikrosom hati. Sebagian besar paracetamol

(80%) dikonyugasi dengan asam glukoronat dan sebagian kecil oleh asam sulfat.

Obat ini mengalami hidroksilasi. Metabolit hasil hidroksilasi ini dapat

menimbulkan methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Paracetamol diekskresi

melalui ginjal, sebagian kecil yaitu 3% dan sebagian besar dalam bentuk

terkonyugasi.

Cetirizin merupakan antagonisme terhadap histamine. AH1 menghambat

efek histamine pada pembuluh darah, bronkus dan bermacam-macam otot polos,

selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan

lain yang disertai penglepasan histamine endogen berlebihan. AH1 dapat

menghambat kerja histamine pada otot polos usus dan bronkus dan

bronkokonstriksi dapat dihambat oleh AH1 pada percobaan dengan marmot.

Pada kasus bronkhiolitis kasus diatas diperlukan karena pasien mengalami

gejala pilek sehingga penggunaan cetirizin sangat diperlukan untuk mengurangi

gejala bronkhiolitis tersebut.

Page 22: Biofarmasetika Word(3)

22

Cetirizin diabsorpsi dengan baik, efeknya timbul 15-30 menit setelah

pemberian oral dan maksimal setelah 1-2 jam. Masa kerja cetirizin lama yaitu 12-

24 jam dibandingkan dibandingkan AH1 generasi pertama yang hanya 4-6 jam.

Kadar obat tertinggi terdapat dalam paru-paru sedangkan pada limfa, ginjal,otak,

otot dan kulit lebih rendah. Tempat utama biotransformasi adalah hati tetapi dapat

juga pada ginjal dan paru-paru. Cetirizin merupakan metabolit hasil karboksilasi

dari hidroksizin. Cetirizin diekskresi melalui urin setelah 24 jam, terutama dalam

bentuk metabolitnya.

Pemberian vitamin diperlukan karena pasien mengalami gejala kurang

nafsu makan dan untuk memberikan asupan gizi yang cukup.

Sedangkan pemberian ambroksol diperlukan karena pasien mengalami

batuk dengan retensi dahak yang banyak. Obat ini bersifat mukolitik yaitu obat

yang dapat mengencerkan secret saluran nafas dengan jalan memecah benang-

benang mukoprotein dan mukopolisakarida dari sputum.

Kasus 3

Pada kasus ketiga pasien mendapat obat levofloxacin, teofillin,

salbutamol, ambroxol dan seretide diskus.

Pemberian antibiotik pada pasien dengan kasus 3 sebenarnya tidak mutlak

diperlukan tetapi dalam keadaan khusus memang diperlukan, dalam hal ini

levofloxacin yaitu suatu antibiotik golongan kuinolon baru yang mempunyai daya

antibakteri cukup baik terhadap bakteri gram positif, gram negative dan bakteri

atipik penyebab infeksi saluran pernafasan bawah.

Mekanisme kerja levofloxacin adalah menghambat topoisomerase II

(=DNA girase) dan IV pada bakteri. Enzim topoisomerase II berfungsi

menimbulkan relaksasi pada DNA yang mengalami positive supercoiling (pilinan

positif yang berlebihan) pada waktu transkripsi dalam proses replikasi DNA.

Bioavailabilitas levofloxacin hampir 90% dan kadar puncak 2 mg/L

dengan waktu paruh 4,6 jam sedangkan eliminasi renal sebanyak 85-90%.

Pada pasien kasus 3 mendapat obat teofillin yang merupakan turunan metil

xantin yang mempunyai efek antara lain merangsang susunan saraf pusat dan

melemaskan otot polos terutama bronkus.

Page 23: Biofarmasetika Word(3)

23

Mekanisme kerja teofillin adalah menghambat enzim fosfodiesterase

(PDE) sehingga mencegah pemecahan cAMP dan cGMP menjadi 5’-AMP dan 5’-

GMP. Penghambatan PDE menyebabkan akumulasi cAMP dan cGMP dalam sel

sehingga menyebabkan relaksasi otot polos, termasuk otot polos bronkus.

Teofillin cepat diabsorpsi setelah pemberian oral, rectal atau parenteral.

Absorpsi juga berlangsung lengkap untuk beberapa sediaan lepas lambat. Dalam

keadaan perut kosong, sediaan teofillin bentuk cair atau tablet tidak bersalut dapat

menghasilkan kadar puncak plasma dalam waktu 2 jam. Adanya makanan dalam

lambung akan memperlambat kecepatan absorpsi teofillin tetapi tidak

mempengaruhi derajat besarnya absorpsi. Teofillin didistribusikan ke seluruh

tubuh. Dalam kadar terapi, teofillin mempunyai ikatan protein 60%. Eliminasi

teofillin terutama melalui metabolism di hati. Sebagian besar diekskresi melalui

urin dalam bentuk asam metilurat atau metilxantin. Waktu paruh dari teofillin

adalah 8-9 jam.

Pemakaian ambroxol dalam kasus 3 diperlukan karena pasien mengalami

batuk berdahak. Ambroxol mempunyai efek mukolitik dan sekretorik, sehingga

dapat mengeluarkan lendir kental dan lengket dari saluran pernafasan. Ambroxol

dapat menormalkan kembali sekresi lendir, mengurangi batuk dan volume dahak,

sehingga mukosa pernafasan menjadi normal dan pernafasan menjadi lega.

Pada kasus 3 pasien mendapat seretide diskus yang terdiri dari salmeterol

xinafoate dan fluticasone propionate yaitu suatu kortikosteroid inhalasi dengan

long acting-β2 agonis yang dapat mengurangi eksaserbasi sedang sampai berat

pada penyakit infeksi saluran pernafasan bawah.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

Page 24: Biofarmasetika Word(3)

24

4.1. Kesimpulan

1. Bronkitis kronis adalah penyakit yang tidak spesifik pada orang dewasa.

Biasanya pasien akan melaporkan batuk dengan sputum hampir sepanjang

hari selama paling tidak 3 bulan berturutan setiap tahun selama 2 tahun

berturutan.

Bronkhitis adalah suatu peradangan pada cabang tenggorok (bronchus/

saluran udara ke paru-paru) tidak termasuk alveoli, yang umumnya

berhubungan dengan infeksi pernafasan umum

Bronchiolitis adalah suatu peradangan pada bronchiolus yang disebabkan

oleh Virus. Bronchiolitis merupakan penyakit obstruktif akibat inflamasi

akut pada saluran nafas kecil (bronkiolus), terjadi pada anak berusia

kurang dari 2 tahun dengan insidens tertinggi sekitar usia 6 bulan

2. Obat- obat yang biasa digunakan dalam infeksi saluran nafas bawah adalah

golongan antibiotik betalaktam yaitu ampisilin dan amoksisilin, golongan

fluorokuinolon antara lain ciprofloksasin, azitromisin, levofloksasin;

golongan obat analgetik dan antipiretik antara lain paracetamol dan

golongan obat antitusif dan ekspektoran antara lain bromheksin,

ambroksol dan glyceril guaiacolat. Selain itu dapat digunakan obat

golongan xantin yaitu teofillin dan kortikosteroid antara lain metil

prednisolon dan kortikosteroid inhalasi.

3. Bentuk sediaan obat seperti nebules atau inhaler lebih cepat bereaksi dan

menimbulkan efek daripada dalam bentuk tablet atau kapsul karena obat

dalam bentuk nebules atau inhaler tidak memerlukan metabolisme seperti

pada tablet atau kapsul karena efeknya lokal. Oleh karena itu lebih tepat

penanganannya untuk pasien bronchitis yang biasanya diiringi dengan

gejala sesak nafas.

4.2. Saran

Pada pasien dengan kasus bronchitis kronis harus mendapat perawatan

yang lebih intensif karena biasanya ada obat yang harus diberikan melalui

Page 25: Biofarmasetika Word(3)

25

injeksi sedangkan pada kasus bronchitis akut biasanya cukup diberikan

obat oral saja dan bisa ditambahkan pula obat dalam bentuk diskus atau

MDI (meter dose inhalation). Sedangkan untuk kasus bronchiolitis hanya

diberikan obat simptomatis saja yaitu untuk menurunkan demam dan pilek

atau alergi saja dan tidak memerlukan penambahan antibiotik.

DAFTAR PUSTAKA

Arief mansjoer, Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1, Media

Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2001

Barbara G. Wells, Pharmacotherapy Handbook Seventh Edition, Mc Graw Hill

Medical

Rianto Setiabudy, Farmakologi dan Terapi Edisi 5, Departemen Farmakologi

dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2007

Retnosari Andrajati, Iso Farmakoterapi, PT ISFI Penerbitan, Jakarta, 2008

Www.medicastore.com

Yati H Istiantoro, Farmakologi dan Terapi Edisi 5, Departemen Farmakologi dan

Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2007